Anda di halaman 1dari 10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Osteoporosis


Osteoporosis atau keropos tulang adalah penyakit kronik yang
ditandai dengan pengurangan massa tulang yang disertai kemunduran
mikroarsitektur tulang dan penurunan kualitas jaringan tulang yang dapat
menimbulkan kerapuhan tulang. Keadaan ini berisiko tinggi karena tulang
menjadi rapuh dan mudah retak bahkan patah (Utomo et al, 2010).
Osteoporosis lebih banyak terjadi pada wanita daripada pria. Hal ini
disebabkan pengaruh hormon estrogen yang mulai menurun kadarnya dalam
tubuh sejak usia 35 tahun sedangkan pada pria hormon testosteron turun
pada usia 65 tahun. Menurut statistik dunia 1 dari 3 wanita rentan terkena
penyakit osteoporosis (Utomo et al, 2010).
Osteoporosis sering dijuluki silent thief mencuri massa tulang
secara diam-diam dan juga silent disease menimbulkan gejala bila
penurunan densitas tulang lebih dari 30% dan biasa gejala yang ditimbulkan
berupa fraktur. Seseorang dikatakan osteoporosis, jika T-score hasil
pemeriksaan gold standardnya yaitu DXA <-2,5 (Mithal et al, 2013).
Osteoporosis terbagi menjadi 2 tipe, yaitu primer dan sekunder.
Osetoporosis primer terbagi lagi menjadi 2 yaitu tipe 1 (postmenopausal)
dan tipe 2 (senile). Penyebab terjadinya osteoporosis tipe 1 erat kaitannya
dengan hormon estrogen dan kejadian menopause pada wanita. Tipe ini
biasanya terjadi selama 15 20 tahun setelah masa menopause atau pada
wanita sekitar51 75 tahun dan pada tipe ini tulang trabekular menjadi
sangat rapuh sehingga memiliki kecepatan fraktur 3 kali lebih cepat dari
biasanya (WHO, 1994).
Sedangkan tipe 2 biasanya terjadi diatas usia 70 tahun dan 2 kali lebih
sering menyerang wanita. Penyebab terjadinya senile osteoporosis yaitu
karena kekurangan kalsium dan kurangnya sel-sel perangsang pembentuk
vitamin D. Dan terjadinya tulang pecah dekat sendi lutut dan paha dekat
sendi panggul (WHO, 1994).
Tipe osteoporosis sekunder, terjadi karena adanya gangguan kelainan
hormon, penggunaan obat-obatan dan gaya hidup yang kurang baik seperti
konsumsi alkohol yang berlebihan dan kebiasaan merokok (Ramadani,
2010).

2.2 Hiperkalsiuria
Hiperkalsiuria merupakan kelainan yang paling sering ditemukan pada
pasien dengan batu kalsium. Akan tetapi, peran hiperkalsiuria pada
pembentukan batu masih kontroversial. Investigasi terakhir menyatakan
bahwa plak adalah perkursor yang potensial pada pembentukan batu
kalsium dan angkanya berhubungan langsung dengan kadar kalsium dalam
urin dan angka kejadian batu (Pearle et al, 2012). Konsentrasi kalsium
dalam urin yang tinggi menyebabkan meningkatnya saturasi garam kalsium
pada urin dan menurunnya aktivitas inhibitor seperti sitrat dan kondroitin
sulfat (Stoller, 2008).
a. Absorptive Hypercalciuria
Konsumsi kalsium normal rata-rata per hari adalah 900-1000 mg.
Kira-kira 150-200 mg akan dieksresikan melalui urin. Absorptive
Hypercalciuria (AH) adalah suatu keadaan meningkatnya absorpsi kalsium
pada usus halus, terutama jejunum. Hal ini diakibatkan meningkatnya
jumlah kalsium yang disaring oleh glomerulus, mengakibatkan surpresi dari
hormon paratiroid. Selanjutnya, reabsorpsi kalsium pada tubulus ginjal akan
menurun, mengakibatkan hiperkalsiuria. Kaskade fisiologis ini adalah
sebagai respon dari meningkatnya absorpsi kalsium di usus halus (Stoller,
2008).

b. Resortive Hypercalciuric Nephrolithiasis


Sekitar separuh dari pasien dengan hiperparatiroid primer mengalami
batu saluran kemih. Pasien dengan batu kalsium fosfat, wanita dengan batu
kalsium berulang harus dicurigai memiliki hiperparatiroid. Hiperkalsemia
merupakan tanda umum dari hiperparatiroid. Hormon paratiroid
menghasilkan peningkatan kadar fosfor dalam urin dan menurunnya kadar
fosfor dalam plasma, diikuti dengan meningkatnya kalsium plasma dan urin.
Hal tersebut mengakibatkan Resortive Hypercalciuric Nephrolithiasis
(Pearle et al, 2012).

c. Renal Hyperkalsiuria
Pada hiperkalsiuria renal, kerusakan pada tubulus ginjal
mengakibatkan gangguan pada reabsorpsi kalsium. Hal ini menyebabkan
meningkatnya kadar kalsium dalam urin. Kadar kalsium dalam serum tetap
normal disebabkan ginjal yang kehilangan kalsium dikompensasi oleh
meningkatnya absorpsi kalsium melalui pencernaan dan mobilisasi kalsium
dari tulang diakibatkan peningkatan hormon paratiroid (Pearle et al, 2012).

d. Hyperoxalouric Calcium Nephrolithiasis


Hyperoxalouric calcium nephrolithiasis disebabkan oleh
meningkatnya kadar oksalat dalam urin yaitu diatas 40 mg dalam 24 jam.
Kadar kalsium yang rendah menyebabkan kalsium yang seharusnya
berikatan dengan oksalat menurun. Oksalat yang bebas siap untuk diserap
dan tidak terpengaruh dengan inhibitor-inhibitor. Absorpsi oksalat yang
meningkat mengakibatkan meningkatnya pembentukan produk dari kalsium
oksalat. Hal ini mengakibatkan potensi terjadinya nukleasi dan pertumbuhan
kristal (Pearle et al, 2012).

e. Hypocitraturic Calcium Nephrolithiasis


Bila membentuk kompleks dengan kalsium, akan menurunkan
konsentrasi kalsium dan menurunnya energi untuk nukleasi. Sitrat juga
menghambat agglomerasi, nukleasi spontan dan pertumbuhan kristal dari
kalsium oksalat dan menurunkan kadar monosodium urat menyebabkan
Hypocitraturic calcium nephrolithiasis (Pearle et al, 2012).
2.3 Kalsium
Kalsium merupakan zat gizi mikro yang dibutuhkan oleh tubuh dan
mineral yang paling banyak terdapat dalam tubuh, yaitu 1,5-2% dari berat
badan orang dewasa atau kurang lebih sebanyak 1 kg. Kalsium serum
merupakan satu persen dari kalsium tubuh total, terdapat di dalam cairan
ekstraseluler dan jaringan lunak. Kalsium serum terdiri dari komponen ion
(50%), terikat dengan protein (40%), terutama albumin, serta sebagian kecil
(8-10%) terikat dengan asam organik dan inorganik seperti sitrat, laktat,
bikarbonat dan sulfat. Hampir seluruh kalsium di dalam tubuh ada dalam
tulang yang berperan sentral dalam struktur dan kekuatan tulang dan gigi
(Permatasari, 2011).
Fungsi kalsium antara lain adalah untuk pembentukan tulang dan
gigi,berperan dalam pertumbuhan dan sebagai faktor pembantu dan
pengatur reaksi biokimia dalam tubuh. Pada tulang, kalsium dalam bentuk
garam (hydroxypatite) membentuk matriks pada kolagen protein pada
struktur tulang membentuk rangka yang mampu menyangga tubuh serta
tempat bersandarnya otot yang menyebabkan memungkinkan terjadinya
gerakan (Nieves, 2005).
Keseimbangan kalsium dipertahankan oleh 3 organ utama, yaitu:
sistem gastrointestinal, tulang, dan ginjal. Sistem gastrointestinal menjaga
homeostasis kalsium dengan mengatur absorpsi kalsium melalui sel-sel
gastrointestinal. Jumlah absorpsi tergantung dari asupan, usia manusia,
hormone vitamin D, kebutuhan tubuh akan kalsium, diet tinggi protein dan
karbohidrat serta derajat keasaman yang tinggi (pH rendah). Asupan
kalsium tidak boleh melebihi 2500 mg/hari. Manusia dewasa mengkonsumsi
kalsium sekitar 500-1200 mg sehari. Absorpsi kalsium bervariasi, antara 10-
60% dan pada manusia kurang lebih 175 mg/hari. Jumlah ini menurun
seiring dengan peningkatan usia dan meningkat ketika kebutuhan akan
kalsium meningkat sementara asupan sedikit. Usus hanya mampu menyerap
500-600 mg kalsium sehingga pemberian kalsium harus dibagi dengan jarak
5-6 jam. Absorpsi terjadi dalam usus halus melalui mekanisme yang
terutama dikontrol oleh calcitropic harmones (1,25-
dihydroxycholecalciferol vitamin D3 (1,25- (OH) 2D3) dan parathyroid
harmone (PTH)) (Murray et al, 2009).
Untuk mempertahankan keseimbangan kalsium, ginjal harus
mengeksresikan kalsium dalam jumlah yang sama dengan kalsium yang
diabsorpsi dalam usus halus. Tulang tidak hanya berfungsi sebagai
penopang tubuh namun juga menyediakan sistem pertukaran kalsium untuk
menyesuaikan kadar kalsium dalam plasma dan cairan ekstraseluler. Kurang
lebih 90% kalsium yang masuk akan dikeluarkan melalui feses dan sebagian
kecil melalui urin, sekitar 200 mg/hari untuk mempertahankan kadar normal
dalam tubuh. Metabolisme kalsium dan tulang berkaitan erat satu sama lain
dan terintegrasi. Defisiensi kalsium (misalnya pada lansia), yang disebabkan
oleh defisiensi vitamin D dan peningkatan PTH, mengakibatkan tulang akan
melepaskan kalsium (resorpsi tulang meningkat) untuk dapat
mengembalikan kalsium serum kembali normal (Murray et al, 2009).

2.4 Urin
Urin merupakan larutan kompleks yang terdiri dari sebagian besar air
(96%) air dan sebagian kecil zat terlarut (4%) yang dihasilkan oleh ginjal,
disimpan sementara dalam kandung kemih dan dibuang melalui proses
mikturisi. (Evelyn C. Pearce, 2002).

Proses pembentukan urin, yaitu :

a. Filtrasi (penyaringan) : capsula bowman dari badan malpighi


menyaring darah dalam glomerulus yang mengandung air, garam,
gula, urea dan zat bermolekul besar (protein dan sel darah) sehingga
dihasilkan filtrat glomerulus (urin primer). Di dalam filtrat ini terlarut
zat seperti glukosa, asam amino dan garam-garam.
b. Reabsorbsi (penyerapan kembali) : dalam tubulus kontortus proksimal
zat dalam urin primer yang masih berguna akan direabsorbsi yang
dihasilkan filtrat tubulus (urin sekunder) dengan kadar urea yang
tinggi.
c. Sekresi (pengeluaran) : dalam tubulus kontortus distal, pembuluh
darah menambahkan zat lain yang tidak digunakan dan terjadi
reabsorbsi aktif ion Na+ dan Cl- dan sekresi H+ dan K+. Selanjutnya
akan disalurkan ke tubulus kolektifus ke pelvis renalis.
( Roger Watson, 2002 ).
2.5 Pengeluaran Kalsium Melalui Urin
Kalsium urine adalah kalsium yang berada di dalam urine yang
berasal dari pengendapan garam kalsium di dalam rongga ginjal, saluran
ginjal atau kandung kemih yang berbentuk Kristal yang tidak dapat larut.
(Irianto dan Kusno, 2004).
Ekskresi kalsium dalam urin berbeda-beda menuruti konsentrasi
kalsium dalam serum dan isi kalsium dalam seluruh tubuh. Dengan diet
yang mengandung 0,5- 1 g kalsium sehari, orang normal mengekskresi 100-
400 mg. Apabila kalsium dalam makanan ditingkatkan, ekskresi kalsium
juga meningkat, tetapi mengurangi kalsium tidak banyak berpengaruh
terhadap banyaknya kalsium dalam urin (Widmann, 1992).
Pengeluaran kalsium melalui urin rata-rata 100-400 mg/hari, kalsium
yang difiltrasi glomerulus sebagian besar diabsorbsi kembali pada bagian
proximal tubulus renalis loop henle dan sedikit pada bagian distal tubulus
renalis (Widmann, 1992).
2.6 Kafein
Kafein merupakan alkaloid dengan rumus senyawa kimia
C8H10N4O2, dan rumus bangun 1,3,7-trimethylxanthine. Kafein berbentuk
kristal panjang, berwarna putih seperti sutra dan rasanya pahit. Kafein
berfungsi sebagai unsur rasa dan unsur aroma (Thompson et al, 2011).
Makanan yang mengandung kafein diantaranya kopi, teh, minuman
berkarbonasi dan cokelat. Kopi robusta dan kopi arabika merupakan jenis
kopi yang sering di konsumsi di Indonesia. Kopi robusta memiliki
kandungan kafein yang lebih tinggi dibandingkan dengan kopi arabika yaitu
2% dari berat kopi sedangkan kopi arabika mengandung kafein 1% dari
berat kopi. Kandungan tinggi kafein selanjutnya yaitu kopi instan dan teh
sekitar 20-73 mg/100 ml dan minuman berkarbonasi yaitu 9-19 mg/100 ml.
Selain kopi, teh dan minuman berkarbonasi, cokelat juga merupakan sumber
kafein. Sedangkan dalam 100 gr permen cokelat mengandung kafein sekitar
5-20 mg (Butt et al, 2011).
Kafein masuk ke dalam tubuh melalui sistem oral yang kemudian
diabsorbsi. Jalur masuknya kafein dalam tubuh, yaitu : kafein
kerongkongan (esofagus) lambung (gaster) usus halus
(duodenum/jejunum) kafein hancur menjadi molekul kecil dan
menembus dinding usus halus sirkulasi sistemik. Kafein diabsorbsi cepat
pada saluran cerna dan kadar puncak dalam darah yang dicapai selama 30-
45 menit. Waktu paruh kafein selama 3,5-5 jam. Kafein mempunyai efek
diuretik. Kafein dapat mengurangi penyerapan kembali kalsium di dalam
ginjal, sehingga kalsium keluar lewat urin (Nawrot et al, 2003).
Asupan tinggi kafein dapat meningkatkan pengeluaran kalsium urin
melalui mekanisme penurunan reabsorbsi kalsium di ginjal sehingga
menyebabkan keseimbangan kalsium menjadi negatif yang nantinya akan
mempengaruhi kepadatan tulang. Asupan kafein 300400 mg dapat
meningkatkan kalsium dalam urin sebesar 0.25 mmol atau 10 mg per hari
melalui penurunan reabsorbsi ginjal. Penelitian menyebutkan bahwa asupan
kafein yang terkandung di dalam 177,5 ml kopi dapat meningkatkan
pengeluaran kalsium melalui urin sebanyak 4,6 mg/hari (Butt et al, 2011).

2.7 Pengaruh asupan Kafein Terhadap Kadar Kalsium dalam Urin


Penelitian menyebutkan asupan tinggi kafein dapat mempengaruhi
pengeluaran kalsium urin bila asupan kalsium tidak tercukupi dari
kebutuhan yang seharusnya (Yang-Hwei Tsuang, dkk, 2006).
Asupan tinggi kafein dapat meningkatkan pengeluaran kalsium urin
melalui mekanisme penurunan reabsorbsi kalsium di ginjal sehingga
menyebabkan keseimbangan kalsium menjadi negatif yang nantinya akan
mempengaruhi kepadatan tulang. Asupan kafein 300400 mg dapat
meningkatkan kalsium dalam urin sebesar 0.25 mmol atau 10 mg per hari
melalui penurunan reabsorbsi ginjal (Gropper, S. S, dkk, 2009).
Air seni peminum kafein lebih banyak mengandung kalsium, dan
kalsium itu berasal dari proses pembentukan tulang. Kafein bersifat toksik
yang menghambat proses pembentukan massa tulang atau osteoblas. Kafein
melepas kalsium melalui urine dalam jumlah kecil. Satu cangkir kopi
melepaskan 2 sampai 3 miligram kalsium (Zaviera F, 2008). Tubuh yang
memerlukan kalsium akan mengambilnya dari tulang, sehingga konsentrasi
kalsium di dalam tulang menurun (Astawan M, 2008). Penurunan
konsentrasi kalsium dalam jangka waktu lama akan menyebabkan
osteoporosis (Lane NE, 2003)
2.8 Metode O Cresolphthalein complexone
Ion kalsium bereaksi dengan o-cresolphthalein-complexone dalam
medium alkali membentuk ikatan kompleks berwarna ungu. Absorbansi dari
kompleks ini sebanding dengan konsentrasi kalsium dalam sampel
(Prosedur Calsium merk Human). Pemeriksaan kadar kalsium darah
menggunakan metoda O Cresolphthalein complexone secara photometri
mempunyai keuntungan, yaitu mudah dilakukan, tidak memerlukan banyak
waktu, dan hasilnya dapat dipercaya (Pusdiknakes, 1985).

DAFTAR PUSTAKA
Astawan M. 2008. Sehat dengan Hidangan Hewani. Jakarta: Penebar
Swadaya
Butt M. S., A. Ahmed, M.T. Sultan A. Imran, M. Yasin and M. Imran. 2011.
Evaluating the effect of decaffeination on nutritional and antioxidant
status of different coffee brands. Journal of Food Safety., Vol. 13.,
Page :198-207.
Gropper, S. S., Smith, J. L. & Groff, J. L.2009. Advanced Nutrition and
Human Metabolism. Wadsworth: Cengage Learning.
Irianto, Kus dan Kusno Waluyo. 2004. Gizi dan Pola Hidup Sehat.
Bandung: Yrama Widya.
Lane NE. 2003. Lebih Lengkap Tentang : Osteoporosis Petunjuk untuk
Penderita dan Langkah Langkah Penggunaan Bagi Keluarga.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Mithal A, Ebeling P, Kyer CS. 2014. The Asia-Pacific Regional Audit:
Epidemiology, costs & burden of osteoporosis in 2013. Int Osteoporos
Found. Indian Journal of Endocrinology and Metabolism., Vol. 18.,
Hal : 449-454.
Murray, R. K., Granner, D. K., and Rodwell, V. W. 2009. Biokimia Harper
27th Edition. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Nawrot. P., S. Jordan., J. Eastwood., J. Rotstein., A. Hugenholtz., and
M. Feeley. 2003. Effects of caffeine on human health. Journal of
Food Additives and Contaminants. Vol. 20(1): 130.
Nieves, J. W. 2005. Osteoporosis: The Role of Micronutrient. The American
Journal of Clinical Nutrition., Vol. 81., Page: 1232-1239.
Pearce, C. Evelyn. 2002. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedic. Jakarta :
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Pearle, M.S., Lotan, Y. 2012. Campbell Walsh Urology 10th Edition:
Urinary Lithiasis. USA: Saunders Elsevier.
Permatasari, Tria Astika Endah. 2011. Hubungan Asupan Kalsium dan
Faktor Risiko Lainnya Dengan Kejadian Osteoporosis Pada
Kelompok Dewasa Awal di Wilayah Ciputat-Tangerang Selatan.
Jurnal Kedokteran dan Kesehatan., Vol. 7., No. 2.
Pusdiknakes.1985. Diktat Kimia Klinik. Depkes RI: Jakarta
Ramadani, Meri. 2010. Faktor Faktor Resiko Osteoporosis dan Upaya
Pencegahannya. Jurnal Kesehatan Masyarakat., Vol. 4., No.2.
Roger watson. 2002. Anatomi Fisiologi untuk Perawat. Jakarta : ECG
Stoller, M.L. 2008. Smiths General Urology 18th Edition: Urinary Stone
Disease. USA: McGraw Hill.
Thompson, Janice. L., Melinda M. Manore., and Linda A. Vaughan.
2011. The Science of Nutrition. United States of America:
Pearson Education, Inc. p: 415-513.
Utomo, Margo., Wulandari Meikawati., dan Zilfa Kusuma Putri. 2010.
Faktor Faktor yang Berhubungan dengan Kepadatan Tulang pada
Wanita Postmenopause. Jurnal Kesehatan Masyarakat Indonesia.,
Vol. 6., No.2.
Widmann, Frances. K. 1992. Tinjauan Klinis atas Hasil Pemeriksaan
Laboratorium Edisi 9. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
World Health Organization. 1994. Assessment of fracture risk and its
application to screening for postmenopausal osteoporosis. Report of a
WHO Study Group. Rep a WHO Study Gr. Page;843:1129.
Yang-Hwei Tsuang, Jui-Sheng Sun, Li-Ting Chen, Samuel Chung-Kai Sun
and San-Chi Chen.2006. Direct effects of caffeine on osteoblastic
cells metabolism: the possible causal effect of caffeine on the
formation of osteoporosis. Journal of Orthopaedic Surgery and
Research. 1:7
Zaviera F. 2008. Osteoporosis : Deteksi Dini, Penanganan, dan Terapi
Praktis. Yogyakarta:Katahati

Anda mungkin juga menyukai