Anda di halaman 1dari 13

Skenario 2

FACES TRAUMA

A boy aged 8 years was brought to the Emergency Unit after an accident. He
bounced from the host and his bike hit the pavement and the bottle containing the
liquid battery rupture and the liquid is brought about him. Conscious patient,
suffering from facial and jaw injuries are very severe, the patient also look crowded.
On physical examination the doctor found the patient's difficulty answering the
question being asked by a doctor because of the deformity on the right cheek and out
of the mouth and nose bleeding.
Step 1

Tidak ada.

Step 2

1. Mengapa pasien pada kasus terlihat sesak?


2. Apakah ada pengaruh cairan aki yang mengontaminasi mata?
3. Apakah intepretasi dari keluarnya perdarahan dari mulut dan hidung?
4. Apakah yang harus dilakukan dalam penatalaksanaan pasien?
5. Apa saja pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien?
6. Apakah diagnosa yang bisa ditegakkan dari permasalahan yang ada di
kasus?

Step 3

1. Patofisiologi sesak pada kasus

kerusakan pada
Benturan pada perdarahan
tulang dan kulit
wajah (epistaksis)
di wajah

sumbatan jalan
napas karena sumbatan jalan
deformitas napas
tulang

Gambar 1. Patofisiologi sesak pada kasus


2. Pengaruh cairan aki pada mata

kontaminasi ke
Cairan aki = bahan
mata = trauma
kimia
kimia pada mata

dapat merusak mata tatalaksana segera

Gambar 2. Pengaruh cairan kimia pada mata.

3. Intepretasi keluarnya darah dari mulut dan hidung


Keluarnya darah dari hidung disebut juga dengan epistaksis. Epistaksis
dibagi menjadi dua, yaitu epistaksis anterior dan epistaksis posterior.

Epistaksis

Epistaksis Anterior Epistaksis Posterior


Perdarahan keluar hanya Perdarahan keluar dari hidung
dari hidung dan ada darah mengalir lewat
tenggorokan = kemungkinan
keluar melalui mulut

Gambar 3. Klasifikasi epistaksis


4. Penatalaksanaan pada pasien

Initial assessment = ABC


Hentikan perdarahan
Irigasi mata
Non medikamentosa Bersihkan luka pada muka dan
rahang
Jahit luka pada muka dan rahang
Reposisi dan fiksasi

Analgesik
Medikamentosa Antibiotik

Gambar 4. Penatalaksanaan pada pasien

5. Pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan pada pasien di kasus yaitu


pemeriksaan radiologi.
6. Diagnosa yang dapat ditegakkan dari kasus berdasarkan keluhan yang
ada.

Deformitas pada pipi kanan fraktur maksila dekstra

kerusakan jaringan lunak,


Luka dan wajah dan kemungkinan terjadi fraktur
rahangnya yang berat melibatkan beberapa tulang di
wajah
Air aki mengenai mata trauma kimia pada mata

Perdarahan melalui hidung


epistaksis posterior
dan mulut

Terlihat sesak obstruksi jalan napas

Step 4

Trauma Muka
1. Etiologi
Trauma ini dapat disebabkan oleh banyak faktor.
2. Klasifikasi
Trauma muka dapat diklasifikasikan menjadi 5, yaitu
a. Fraktur os nasal
b. Fraktur os zygoma/ arkus zygomatikum
c. Fraktur os maksila
d. Fraktur os mandibula
e. Fraktus os orbita
Klasifikasi fraktur maksila Le Fort dibagi menjadi tiga, yaitu

a. Fraktur maksila Le Fort I


Fraktur ini dapat diperiksa dengan palpasi. Fraktur ini meliputi fraktur
horizontal bagian bawah antara maksila dan palatum atau arkus
alveolar kompleks. Garis fraktur berjalan ke belakang melalui lamina
pterigoid. Fraktur ini bisa unilateral atau bilateral.

Gambar 6. Fraktur Le Fort I

b. Fraktur maksila Le Fort II (Fraktur Piramid)


Fraktur ini berjalan melalui tulang hidung dan diteruskan ke tulang
lakrimalis, dasar orbita, pinggir infraorbita dan menyebrang ke bagian
atas dari sinus maksila juga ke arah lamina pterigoid sampai ke fossa
pterigopalatina.

Gambar 7. Fraktur Le Fort II


c. Fraktur maksila Le Fort III (Craniofacial Dysjunction)
Fraktur ini memisahkan secara lengkap antara tulang wajah dan
tulang cranial. Garis fraktur berjalan melalui sutura nasofrontal
diteruskan sepanjang taut etmoid melalui fisura orbitalis superior
melintang ke arah dinding lateral ke orbita, sutura zigomatiko frontal
dan sutura temporo zigomatik. Fraktur ini biasanya bersifat kominutif
dan sering menimbulkan komplikasi intracranial seperti timbulnya
pengeluaran cairan otak melalui atap atmoid dan lamina kribiformis.

Gambar 8. Fraktur Le Fort III

3. Manifestasi klinis
Pada penderita trauma muka dapat timbul beberapa kelainan yaitu
a. Kerusakan jaringan lunak (edema, kontusio, abrasi, laserasi dan
avulsi),
b. Emfisema subkutis,
c. Rasa nyeri,
d. Deformitas yang dapat dilihat atau diperiksa dengan cara perabaan,
e. Epistaksis (anterior dan posterior),
f. Obstruksi hidung karena perdarahan pada septum nasi,
g. Fraktur septum atau dislokasi septum,
h. Gangguan mata (gangguan penglihatan, diplopia, pergeseran posisi
dari bola mata, abrasi kornea, epifora, ekimosis dari konjungtiva dan
ekimosis periorbita),
i. Gangguan sensoris (anastesia atau hiperestesia),
j. Gangguan saraf motorik (parese atau paralisis dari satu atau semua
cabang saraf ke-7),
k. Krepitasi os nasal, os maksila dan mandibula,
l. Trismus,
m. Maloklusi,
n. Fraktur gigi atau terlepasnya gigi tersebut,
o. Kebocoran cairan otak,
p. Terdapat tanda infeksi jaringan lunak pada daerah hematoma.

Pemeriksaan harus dilakukan dengan lengkap seperti pemeriksaan fisik


secara sistematis disertai dengan pemeriksaan penunjang yang sesuai, dan
konsultasi ke bagian terkait untuk mengetahui gejala-gejala di atas.

4. Penatalaksanaan
Penanganan khusus pada trauma muka tergantung pada kondisi jaringan
yang terkena. Penanganan ada yang harus dilakukan dengan segera
(Immediate) dan ada yang bisa dilakukan pada waktu berikutnya
(delayed). Penanganan yang harus dilakukan segera dilakukan pada
periode akut setelah terjadi kecelakaan meliputi tidak ada tindakan khusus
untuk fraktur muka kecuali mempertahankan jalan napas, mengatasi
perdarahan, memperbaiki sirkulasi darah dan cairan tubuh. Tindakan
reposisi dan fiksasi definitif bukan merupakan tindakan Life Saving
sehingga tindakan ini dapat ditunda (delayed). Pada fraktur maksila harus
dilakukan tindakan segera. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan
fungsi normal dan efek kosmetik yang baik.
Bila terjadi sumbatan jalan napas maka segera lakukan trakeostomi
secepatnya karena pada trauma maksilofasial menimbulkan edema faring,
frakur-dislokasi dengan gangguan pada nasofaring dan orofaring,
peningkatan sekresi dan gigi tercabut yang dapat menyebabkan masalah
dalam mempertahankan airway yang terbuka.

Pada fraktur maksila dapat terjadi perdarahan hebat dari arteri maksilaris
interna dan arteri ethmoidalis anterior sehingga harus segera diatasi. Jika
tidak berhasil maka lakukan pengikatan arteri.

Bila trauma mengakibatkan kerusakan jaringan lunak pada muka maka


muka harus dibersihkan dari kotoran atau benda asing yang menempel di
kulit. Bila ada jaringan lunak yang rusak maka lakukan debridemen pada
jaringan tersebut. Laserasi atau luka sayat pada muka harus dijahit
secepatnya, bila mungkin lakukan dalam kurun waktu 6-8 jam setelah
kejadian atau usahakan <24 jam dari kejadian. Hal ini dilakuakn untuk
mencegah timbulnya cacat atau jaringan parut pada wajah. Vaksin anti
tetanus (ATS) atau toxoid tetanus dapat diberikan pada pasien. Selain itu,
antibiotik pun harus diberikan untuk mencegah infeksi sekunder.
Tindakan selanjutnya yaitu berupa reduksi dan fiksasi fraktur muka
dilakukan di kamar operasi.

Reduksi dan fiksasi dikerjakan < 2 minggu sesudah trauma. Pada fraktur
maksila, bila kondisi pasien cukup baik setelah trauma maka reduksi
fraktur maksila dapat dilakukan. Reduksi pada fraktur ini biasanya tidak
sulit dikerjakan kecuali, adanya kerusakan tulang sangat hebat yang
disertai fraktur servikal dan kelainan kepala yang tak terdeteksi serta
adanya infeksi. Fiksasi pada fraktur maksila dilakukan dengan fiksasi
intermaksila dengan menggunakan kawat baja untuk mengikat gigi,
menggunakan kombinasi dari reduksi terbuka dan pemasangan kawat
baja/ mini plate, dan dengan pin.

Trauma Kimia pada Mata

1. Etiologi
Bahan kimia baik yang bersifat asam maupun basa (alkali).
2. Klasifikasi Trauma
Trauma kimia dibagi menjadi dua, yaitu
a. Trauma asam
b. Trauma basa/ alkali
3. Pengaruh Bahan Kimia
Bahan kimia dalam menyebabkan kerusakan pada mata tergantung pada
pH, kecepatan dan jumlah bahan kimia yang mengenai mata,

Trauma Asam

1. Etiologi
Bahan yang dapat merusak mata terutama bahan anorganik, organik
(asetat, forniat) dan organik anhindrat (asetat).
2. Patogenesis
Bila bahan asam mengenai mata maka akan segera terjadi pengendapan
atau penggumpalan protein permukaan sehingga menyebabkan kerusakan
superfisial. Bila konsentrasi rendah maka sifat kerusakan tidak destruktif,
sedangkan bila konsentrasi tinggi maka kerusakan yang ditimbulkan lebih
dalam dan mirip seperti kerusakan yang ditumbulkan oleh trauma alkali.
3. Tatalaksana
a. Irigasi jaringan yang terkena secepatnya dan selama mungkin sekitar
15-30 menit. Irigasi menggunakan air keran, larutan garam fisiologis,
dan larutan Natrium Bikarbonat 3 %. Irigasi ini bertujuan untuk
menghilangkan dan melarutkan bahan yang mengakibatkan trauma.
b. Beri anestesi topikal. Hal ini diberikan bila terjadi blefarospasme.
c. Pengobatan yang diberikan berupa antibiotik topikal untuk mencegah
infeksi, sikloplegik (sulfas atropine 1 %) diberikan bila terjadi ulkus
kornea atau kerusakan lebih dalam, dan bebat mata selama mata
masih sakit.
4. Prognosis
Biasanya trauma akibat asam akan normal kembali. Ketajaman
penglihatan biasanya tidak terganggu.

Trauma Basa
1. Etiologi
Bahan kimia basa
2. Patogenesis
Bahan kimia dapat menimbulkan efek sangat gawat pada mata melebihi
efek kerusakan yang ditimbulkan trauma asam. Ketika bahan kimia basa
mengenai mata, bahan kimia tersebut akan menembus dengan cepat
kornea, bilik mata depan dan sampai dengan jaringan retina. Bahan kimia
basa ini bersifat koagulasi sel, menyebabkan saponifikasi disertai dengan
dehidrasi. Bahan akustik soda dapat menembus bilik mata depan dalam
waktu 7 detik.
3. Klasifikasi Trauma
Menurut klasidikasi Thoft, trauma basa dapat dibedakan menjadi
a. Derajat 1
Hiperemi konjungtiva disertai dengan keratitis pungtata.
b. Derajat 2
Hipermia konjungtiva dan hilangnya epitel kornea.
c. Derajat 3
Hiperemi disertai nekrosis konjungtiva dan lepasnya lapisan epitel
kornea.
d. Derajat 4
Konjungtiva perilimal nekrosis sebanyak 50 %.

Klasifikasi trauma basa berdasarkan derajat kerusakan menurut Hughes

a. Ringan
Terdapat erosi epitel dan kekeruhan ringan pada kornea, tidak
terdapat iskemia dan nekrosis kornea atau konjungtiva. Prognosis dari
derajat ini dubia.
b. Sedang
Terdapat kekeruhan kornea sehingga sukar melihat iris dan pupil
secara mendetail, terdapat nekrosis dan iskemia ringan konjungtiva
dan kornea. Prognosis dari derajat ini dubia et malam.
c. Berat
Terdapat kekeruhan kornea sehingga pupil tak dapat terlihat, terdapat
iskemia konjungtiva dan sclera sehingga tampak pucat. Prognosis dari
derajat ini malam.
4. Tatalaksana
a. Secepatnya irigasi dengan garam fisiologik. Sebaiknya irigasi selama
mungkin minimal 60 menit.
b. Berikan sikloplegia berupa sulfas atropine 1% 3 X 1 tetes per hari.
c. Berikan antibiotik.
d. Berikan EDTA untuk mengikat basa. EDTA diberikan setelah 1
minggu trauma alkali, untuk menetralisir kolagenase yang terbentuk
pada hari VII.
5. Prognosis
Alkali yang menembus ke dalam bola mata akan merusak retina dan
berakhir pada kebutaan.
6. Komplikasi
Simblefaron, kekeruhan kornea, edema, neovaskularisasi kornea, katarak,
dan ftisis bola mata.

Step 5

1. Jelaskan pemeriksaan penunjang apa saja yang dapat dilakukan pada


trauma maksilofasial? jelaskan pula posisi radiologi apa saja yang dapat
dilakukan dan apa yang ditemukan?
2. Bagaimana penatalaksanaan pada pasien trauma maksilofasial secara
keseluruhan dan saat adanya obstruksi jalan napas akibat perdarahan?
3. Apa saja gejala kegawatdarutatan yang dapat muncul pada obstruksi jalan
napas?

Step 6
Mencari jawaban dari pertanyaan yang menjadi Learning Objective pada
skenario ini, dari berbagai literatur, jurnal, dsb.

Step 7

Anda mungkin juga menyukai