PENDAHULUAN
1
Tetapi juga memungkinkan terjadi akibat semakin intennya kontak sosial
antar masyarakat. Hal ini mengakibatkan unsur-unsur budaya mulai mengalami
persebaran keberbagai tempat, sehingga terjadi proses ambil-mengambil antar
masyarakat. Pemikiran tentang adanya proses persebaran inilah yang kemudian
melahirkan pemikiran baru dalam antropologi yang kemudiandikenal dengan teori
difusionisme.
Teori Elliot Smith (1871 1937 ) dan W.J Perry ( 1887 1949 )
2
Orang-orang Mesir yang disebut dengan putra-putra dewa matahari ini
melakukan perpindahan dengan cara menyebar ke berbagai tempat tersebut dalam
usaha mereka untuk mencari logam mulia dan batu mulia seperti emas, perak dan
permata.
Pandangan mengenai mesin sentris ini, sebenarnya tidak begitu aneh pada
zaman itu, yakni pada perang dunia I. Ketika orang Eropa sedang kagum-
kagumnya kepada peninggalan mesir kuno. Elliot Smith merasa kagum terhadap
peninggalan peninggalan mesir kuno, hingga ia melakukan penelitian di seluruh
wilayah mesir itu, hingga timbulnya suatu teori heliolitik. Heliolitik kemudian
dijadikan sebagai suatu penelitian besar oleh W.J Perry, yang mencoba mencari
dengan teliti jalannya dif sertausi heliotik.Unsur unsur yang tersangkut dalam
gerak persebaran itu, serta sebab sebab dari defusi. Dalam persebarannya dari
Mesir ke Amerika Tengah dan Selatan itu, Perry membukukan hasil penelitiannya
ke dalam buku yang berjudul The Children Of The Sun. (1923).
Penyebaran budaya ini terjadi ketika orang-orang Mesir -yang mereka
sebut putra-putra dewa matahari (children of the sun)-, menyebar ke berbagai
tempat di dunia untuk mencari logam mulia dan batu mulia (Baal, 1987). Teori ini
segera ditolak para ahli antropologi karena (a) tidak didukung oleh data yang
cukup dan akurat, dan (b) pengumpulan data tidak dilakukan melalui prosedur dan
metode penelitian yang jelas. Teori itu terasa sangat spekulatif. Meskipun
demikian, para ahli antropologi menyadari bahwa pandangan Perry dan Smith
tentang kebudayaan ada benarnya, yakni bahwa unsur-unsur kebudayaan dapat
menyebar dari satu masyarakat ke masyarakat yang lain, dan kebudayaan memang
terlihat memiliki pusat yang merupakan sumber penyebaran unsur-unsurnya. Di
pusat ini pulalah terdapat dinamika kebudayaan yang paling tinggi. Selain itu,
Perry dan Smith juga telah menyodorkan sebuah cara pandang baru terhadap
kebudayaan yakni cara pandang yang difusionistis. Dinamika dan perkembangan
kebudayaan kemudian tidak hanya ditempatkan dalam bentang waktu, tetapi juga
dalam bentang ruang. 1
1 Prof.Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra, M.A., M.Phil.,Paradigma dan Revolusi Ilmu Dalam Antropologi Budaya( Yogyakarta : Universitas
Gadjah Mada, 2008), hlm. 13. (
3
Pada masa sekarang, teori heliotik itu hanya dapat kita pandang sebagai
suatu contoh saja dan di jadikan sebagai salah satu cara oleh para ahli antropologi
untuk mencoba menerangkan gejala persamaan unsur - unsur kebudayaan di
berbagai tempat di dunia.
Namun kemudian, teori Heliostik mendapat banyak kecaman. Salah satu
kecaman tersebut datang dari seorang yang bernama R.H.Lowie ( antropologi
Amerika ) yang menyatakan bahwa teori Heliostik itu merupakan teori difusi yang
ekstream, yang tidak sesuai dengan kenyataan, baik di pandang dari sudut hasil
hasil penggalian penggalian ilmu perhistori, maupun dari sudut sudut konsep
tentang proses difusi dan pertukaran unsur unsur kebudayaan antara bangsa
bangsa yang telah di terima dalam ranah ilmu antropologi pada masa itu.
4
seperti : gerilyawan, ilmuwan, sejarawan, Pancasilais, agamis,
dan lain-lain.
Difusi intern yaitu timbulnya hubungan timbal balik antara
bahasa Indonesia dengan bahasa Jawa (seperti masuknya kata
lugas, busana, pangan dll) atau dengan bahasa Sunda (kata-kata
nyeri, pakan, tahap, langka) mengenai penyerapan kosakata.
Unsur-unsur budaya timur dan barat yang masuk ke Indonesia dilakukan
dengan teknik meniru. Misalnya, penyebaran agama Islam melalui media
perdagangan, berikut cara berdagang yang jujur, dan model pakaian yang
digunakan, lambat laun ditiru oleh masyarakat.
Peristiwa yang terjadi pada belahan bumi yang lain dapat disaksikan dan
didengarkan pada waktu yang bersamaan, meski orang berada di wilayah
yang sangat jauh dari tempat berlangsungnya kejadian tersebut. Peristiwa
peperangan di negara-negara Balkan atau bencana kelaparan yang terjadi
di Afrika dengan mudah dan cepat dapat segera diketahui dalam hitungan
detik, bahkan secara langsung dapat diketahui saat itu juga. Arus
globalisasi informasi semakin mempermudah proses difusi kebudayaan,
setelah teknologi internet semakin berkembang sehingga pembauran
kebudayaan asing tidak bisa dihindarkan. Hal ini juga berarti semakin
mempermudah terjadinya proses pembauran atau per campuran pada suatu
bangsa.
5
BAB III
KESIMPULAN
III. I Kesimpulan
III.II Saran
6
Daftar Pustaka
http://blog.unnes.ac.id/agungrifzqi05/2015/11/teori-difusi-rivers-elliot-smith-dan-
w-j-perry/ di akses pada 08April 2017, pukul 21 : 44 WIB
Prof.Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra, M.A., M.Phil.,Paradigma dan Revolusi Ilmu Dalam Antropologi Budaya( Yogyakarta :
Universitas Gadjah Mada, 2008), hlm. 13.
(http://repository.universitasmalikusalleh.ac.id/1913/1/MATERI%20AJAR%20TEORI%20ANTROPOLOGI
%202.pdf di akses pada 08 April 2017, pukul 22 : 11 WIB )