KERACUNAN STRIKNIN
Oleh :
Pembimbing :
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan
berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan
judul Keracunan Striknin.
Penulisan makalah ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan Kepaniteraan
Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen Ilmu Kedokteran
Forensik dan MedikolegalFakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada pembimbing, dr.
Asan Petrus, M.Ked(For), Sp.F, yang telah meluangkan waktunya dan
memberikan banyak masukan dalam penyusunan makalah ini sehingga penulis dapat
menyelesaikan tepat pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, baik
isi maupun susunan bahasanya, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari
pembaca sebagai koreksi dalam penulisan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini
bermanfaat, akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.
Penulis
ii
TUJUAN INSTRUKSIONAL
Adapun tujuan instruksional umum dari penulisan makalah ini adalah agar
pembaca memahami tentang keracunan striknin.
iii
DAFTAR ISI
iv
TINJAUAN PUSTAKA
SECARA KLINIS
PENDAHULUAN
Striknin tidak bermanfaat untuk terapi, tetapi untuk menjelaskan fisiologi dan
farmakologi susunan saraf, obat ini menduduki tempat utama diantara obat yang
bekerja secara sentral. Striknin bekerja dengan cara mengadakan antagonisme
kompetitif terhadap transmiter penghambatan yaitu glisin di daerah penghambatan
pascasinaps. Striknin menyebabkan perangsangan pada semua bagian SSP, obat ini
merupakan konvulsan kuat dengan sifat kejang yang khas. Pada hewan coba,
konvulsi ini berupa ekstensif tonik dari badan dan semua anggota gerak. Gambaran
konvulsi oleh striknin ini berbeda dengan konvulsi oleh obat yang merangsang
langsung neuron pusat.1
Sifat khas lainnya dari kejang striknin ialah kontraksi ekstensor yang simetris
yang diperkuat oleh rangsangan sensorik yaitu pendengaran, penglihatan, dan
perabaan. Konvulsi seperti ini juga terjadi pada hewan yang hanya mempunyai
medula spinalis. Striknin ternyata juga merangsang medula spinalis secara langsung,
atas dasar ini efek striknin dianggap berdasarkan kerjanya pada medula spinalis dan
konvulsinya disebut konvulsi spinal. Gejala keracunan striknin yang mula-mula
timbul ialah kaku otot muka dan leher. Setiap rangsangan sensorik dapat
1
menimbulkan gerakan motorik hebat. Pada stadium awal terjadi gerakan ekstensi
yang masih terkoordinasi, akhirnya terjadi konvulsi tetanik. Episode kejang ini
terjadi berulang, frekuensi dan hebatnya kejang bertambah dengan adanya
perangsangan sensorik.2
Striknin merupakan alkaloid utama dalam nux vomica, tanaman yang banyak
tumbuh di India. Striknin merupakan penyebab keracunan tidak sengaja (accidental
poisoning) pada anak. Dalam nux vomica juga terdapat alkaloid brusin yang mirip
striknin baik kimia maupun farmakologinya. Brusin lebih lemah dibanding striknin,
sehingga efek ekstrak nux vomica boleh dianggap hanya disebabkan oleh striknin.1
LETHAL DOSIS
Lethal dose 50 (LD50) adalah dosis yang dapat menimbulkan kematian pada
50% hewan percobaan. Selain LD50, ada pula ED50 yaitu dosis yang efektif pada
50% hewan percobaan. Margin of safety (batas aman) adalah jarak antara ED50 dan
LD50, serta perbandingan keduanya disebut indeks terapi. LD50 dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu spesies hewan, diet, rute pemberian, temperatur, musim, serta
faktor endogen (umur, berat badan, jenis kelamin, serta kesehatan, hewan). Striknin
merupakan senyawa yang sangat toksik dengan LD50 10 mg pada manusia.
Merupakan alkaloid yang tidak berwarna yang biasa digunakan sebagai pestisida.
Striknin bekerja dengan cara mengadakan antagonisme kompetitif terhadap
transmitor penghambatan yaitu glisin di daerah penghambatan pasca sinaps. Striknin
menyebabkan perangsangan pada semua bagian SSP. Obat ini merupakan konvulsan
kuat dengan sifat kejang yang khas. Sifat khas yang lainnya dari kejang striknin
ialah kontraksi ekstensor yang simetris yang diperkuat oleh rangsangan sensorik
yaitu pendengaran, penglihatan dan perabaan. Dosis striknin untuk keperluan medis
2
ialah 1,1 mg sampai 6,4 mg. biasanya, dosis maksimum yang digunakan pada
manusia ialah 3,2 mg. Full lethal dose striknin yaitu 32 mg, namun pada manusia
dilaporkan bahwa 5 mg striknin telah dapat menyebabkan kematian.3
CARA MASUK
Striknin tidak bermanfaat untuk terapi, tetapi untuk menjelaskan fisiologi dan
farmakologi susunan saraf, obat ini menduduki tempat utama diantara obat yang
bekerja secara sentral. Striknin bekerja dengan cara mengadakan antagonisme
kompetitif terhadap transmiter penghambatan yaitu glisin di daerah penghambatan
pascainaps. Glisin juga bertindak sebagai transmiter penghambat pascainaps yang
terletak pada pusat lebih tinggi di SSP.1
Striknin menyebabkan perangsangan pada semua bagian SSP, obat ini
merupakan konvulsan kuat dengan sifat kejang yang khas. Pada hewan coba,
konvulsi ini berupa ekstensif tonik dari badan dan semua anggota gerak. Gambaran
konvulsi oleh striknin ini berbeda dengan konvulsi oleh obat yang merangsang
langsung neuron pusat. Sifat khas lainnya dari kejang striknin ialah kontraksi
ekstensor yang simetris yang diperkuat oleh rangsangan sensorik yaitu pendengaran,
penglihatan dan perabaan. Konvulsi seperti ini juga terjadi pada hewan yang hanya
mempunyai medula spinalis. Striknin ternyata juga merangsang medula spinalis
secara langsung, atas dasar ini efek striknin dianggap berdasarkan kerjanya pada
medula spinalis dan konvulsinya disebut konvulsi spinal. 1
Medula oblongota hanya dipengaruhi striknin pada dosis yang menimbulkan
hipereksitabilitas seluruh SSP. Striknin tidak langsung mempengaruhi sistem
kardiovaskuler, tetapi bila terjadi konvulsi akan terjadi perubahan tekanan darah
berdasarkan efek sentral striknin pada pusat vasomotor. Bertambahnya tonus otot
rangka juga berdasarkan efek sentral striknin.pada hewan coba dan manusia tidak
terbukti adanya stimulasi saluran cerna. Striknin digunakan sebagai perangsang
nafsu makan secara irasional berdasarkan rasanya yang pahit.3
Striknin mudah diserap dari saluran cerna dan tempat suntikan, segera
meninggalkan sirkulasi masuk ke jaringan. Kadar striknin di SSP tidak lebih
3
daripada di jaringan lain. Stirknin segera di metabolisme oleh enzim mikrosom sel
hati dan diekskresi melalui urin. Ekskresi lengkap dalam waktu 10 jam, sebagian
dalam bentuk asal.3
GEJALA KLINIS
Gejala keracunan striknin yang mula-mula timbul ialah kaku otot muka dan
leher. Setiap rangsangan sensorik dapat menimbulkan gerakan motorik hebat. Pada
stadium awal terjadi gerakan ekstensi yang masih terkoordinasi, akhirnya terjadi
konvulsi tetanik. Pada stadium ini badan berada dalam sikap hiperekstensi
(opistotonus), sehingga hanya occiput dan tumit saja yang menyentuh alas tidur.
Semua otot lurik dalam keadaan kontraksi penuh. Napas terhenti karena kontraksi
otot diafragma, dada dan perut. Episode kejang ini terjadi berulang, frekuensi dan
hebatnya kejang bertambah dengan adanya perangsangan sensorik. Kontraksi otot
ini menimbulkan nyeri hebat, dan penderita takut mati dalam serangan berikutnya.
Kematian biasanya disebabkan oleh paralisis batang otak karena hipoksia akibat
gangguan napas. Kombinasi dari adanya gangguan napas dan kontraksi otot yang
hebat dapat menimbulkan asidosis respirasi maupun asidosis metabolik hebat; yang
terakhir ini mungkin akibat adanya peningkatan kadar laktat dalam plasma.3
PENATALAKSANAAN
Obat yang paling bermanfaat untuk mengatasi hal ini adalah diazepam 10 mg
IV, sebab diazepam dapat melawan kejang tanpa menimbulkan potensiasi terhadap
depresi post ictal, seperti yang umum terjadi pada penggunaan barbiturat atau
depresan non selektif lainnya.1 Kadang-kadang diperlukan tindakan anastesia atau
pemberian obat penghambat neuromuskular pada keracunan yang hebat.3
Pengobatan keracunan striknin ialah mencegah terjadinya kejang dan
membantu pernapasan. Intubasi pernapasan endotrakeal berguna untuk memperbaiki
pernapasan. Dapat pula diberikan obat golongan kurariform untuk mengurangi
derajat kontraksi otot. Bilas lambung dikerjakan bila diduga masih ada striknin
4
dalam lambung yang belum diserap. Untuk bilas lambung digunakan larutan
KMnO4 0,5 atau campuran yodium tingtur dan air (1:250) atau larutan asam
tanat. Pada perawatan ini harus dihindarkan adanya rangsangan sensorik.3
1. Jalur Enteral
Jalur Enteral berarti pemberian obat melalui saluran gastrointestinal (GI),
seperti pemberian obat melalui sublingual, bukal, rektal, dan oral. Pemberian melaui
oral merupakan jalur pemberian obat paling banyak digunakan karena paling murah,
paling mudah, dan paling aman. Kerugian dari pemberian obat melalui jalur enteral
adalah absorpsinya lambat, tidak dapat diberikan pada pasien yang tidak sadar atau
tidak dapat menelan. Kebanyakan obat diberikan melalui jalur ini, selain alasan
diatas juga alsan kepraktisan dan tidak menimbulkan rasa sakit. Bahkan dianjurkan
jika obat dapat diberikan melalui jalur ini dan tidak untuk kepentingan emergensi
(obat segera berefek), obat harus diberikan secara enteral.
2. Jalur Parenteral
Parenteral berarti tidak melalui enteral. Termasuk jalur parenteral adalah
transdermal (topikal), injeksi, endotrakeal (pemberian obat kedalam trakea
menggunakan endotrakeal (pemberian obat kedalam trakea menggunakan
endotrakeal tube), dan inhalasi. Pemberian obat melalui jalur ini dapat menimbulkan
efek sistemik atau lokal.
5
TINJAUAN PUSTAKA
FORENSIK
PEMERIKSAAN DALAM
Secara analisa kimia dapat dibuktikan adanya racun di dalam sisa makanan,
obat, atau zat yang masuk ke dalam tubuh korban. Ditemukannya kelainan-kelainan
pada tubuh korban yang sesuai dengan racun yang bersangkutan.
Bedah mayat (otopsi) mutlak harus dilakukan pada kasus keracunan, selain
untuk menentukan jenis racun penyebab kematian, juga penting untuk
menyingkirkan kemungkinan lain penyebab kematian. Otopsi menjadi lebih penting
pada kasus yang telah mendapat perawatan sebelumnya, dimana pada kasus seperti
ini kita tidak akan menemukan racun atau metabolitnya, tetapi dapat ditemukan pada
organ yang bersangkutan.3
6
Jaringan tubuh masing-masing memiliki afinitas yang berbeda terhadap
racun terentu, misalnya:3
1. Jaringan otak adalah material yang paling baik untuk pemeriksaan
racun organik, baik yang mudah menguap maupun tidak.
2. Hepar dan ginjal adalah material yang paling baik untuk
menentukan keracunan logam berat yang akut.
3. Darah dan urin adalah material yang paling baik untuk analisa zat
organik.
4. Darah, tulang, kuku, dan rambut merupakan material yang baik
untuk pemeriksaan keracunan logam yang bersifat kronis.
7
DAFTAR PUSTAKA