Anda di halaman 1dari 74

ISSN : 2085 3793

Dyah Siwi Hety


Model Pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini (IMD) Pada Ibu Bersalin Di
RSUD Prof.Dr.Soekandar Mojosari Mojokerto

Arief Fardiansyah, dan Ifa Rohmatul Ayuningsih


Hubungan Stimulasi Pendidikan Tk Dengan Indeks Prestasi Di SD
Jurang Sapi 3 Kecamatan Tapen Kabupaten Bondowoso

Dwi Helynarti Syurandari


Efektifitas Pendidikan Kesehatan Terhadap PHBS Di MTS Miftahul
Ulum Kecamatan Kemlagi Kabupaten Mojokerto

Sri Sudarsih
Hubungan Pengetahuan Dan Sikap Ibu Tentang Status Gizi Balita Di
Desa Jabon Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto

Farida Yuliani
Hubungan Pengetahuan Ibu Tentang Asi Eksklusif Dengan Pemberian
MP ASI Sebelum Usia 6 Bulan Di Desa Gayaman Kecamatan
Mojoanyar Kabupaten Mojokerto

Eka Diah Kartiningrum


Kesehatan Gigi Ibu Hamil Di Di Puskesmas Kedungsari Mojokerto

Abdul Muhith dan Angga Novida Yasma


Pengaruh Terapi William Flexion Exercise Terhadap Nyeri Punggung
Bawah Pada Lansia Di Panti Werdha Mojopahit Mojokerto

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MAJAPAHIT


MOJOKERTO
Jurnal Hlm. Mojokerto ISSN
VOL 6 No. 1
Kesehatan 1 - 127 Maret 2014 2085 - 3793
MEDICA MAJAPAHIT
JURNAL ILMIAH KESEHATAN SEKOLAH TINGGI ILMU
KESEHATAN MAJAPAHIT MOJOKERTO

Diterbitkan oleh Bagian Penelitian dan Pengabdian Masyarakat


Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Majapahit Mojokerto sebagai terbitan berkala
yang terbit pada bulan Maret dan September menyajikan informasi dan analisis
masalah-masalah kesehatan.
Kajian ini bersifat ilmiah sebagai hasil pikiran yang empiric dan
teoritis. Untuk itu redaksi bersedia menerima karya ilmiah hasil penelitian, atau
artikel termasuk ide-ide pengembangan di bidang kesehatan yang dihasilkan
oleh dosen-dosen dan mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Majapahit
Mojokerto. Redaksi berhak menyuntik, menyingkat dan memperbaiki karangan
sejauh tidak mengubah isinya. Dilarang memperbanyak, mengutip dan
menerjemahkan isi dalam jurnal ini tanpa seijin redaksi.

Pelindung
Ketua Yayasan Kesejahteraan Warga Kesehatan (YKWK)

Penasehat
Ketua Stikes Majapahit

Pemimpin Redaksi
Sri Sudarsih, S.Kp., M.Kes

Penyunting
Arief Fardiansyah, ST., M.Kes
Anwar Kholil, S.Pd. M.Pd

Redaksi Pelaksana
Dwi Helynarti, S.Si

Tata Usaha/ Sirkulasi/ Iklan


Siti Khalimah, SE.

Alamat Redaksi: Kantor P2M Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Majapahit


Mojokerto, Jl. Raya Jabon KM 2 Gayaman Mojoanyar
Mojokerto
Telp/ Fax (0321) 329 915
Vol 6. No. 1, Maret 2014 MEDICA MAJAPAHIT

Pengantar Redaksi

Jurnal Medica Majapahit merupakan bentuk jurnal yang didedikasikan untuk


mempublikasikan hasil penelitian yang dilakukan oleh civitas akademik Stikes
Majapahit yang bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
Artikel yang pertama ditulis oleh Dyah Siwi Hety dengan judul Model
Pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini (IMD) Pada Ibu Bersalin Di RSUD
Prof.Dr.Soekandar Mojosari Mojokerto. Pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini)di
RSUD pada umumnya tidak sesuai dengan SOP (Standard Operational Procedure) yang
ada di rumah sakit. Hambatan yang terjadi pada waktu pelaksanaan IMD (Inisiasi
Menyusu Dini) yaitu, pada ibu bersalin antara lain: kecapekan, rasa lapar serta
ketidaktahuan ibu tentang IMD (Inisiasi Menyusu Dini). Hambatan juga terjadi pada
petugas kesehatan atau bidan yaitu, kurangnya tenaga bidan sehingga pelaksanaan IMD
(Inisiasi Menyusu Dini) tidak maksimal. Pengembangan model pelaksanaan IMD
(Inisiasi Menyusu Dini) pada ibu bersalin yaitu dari 6 langkah IMD yang ada di rumah
sakit menjadi 11 langkah model modifikasi IMD.
Artikel kedua ditulis oleh Arief Fardiansyah, dan Ifa Rohmatul Ayuningsih
dengan judul Hubungan Stimulasi Pendidikan Tk Dengan Indeks Prestasi Di SD
Jurang Sapi 3 Kecamatan Tapen Kabupaten Bondowoso. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa ada hubungan antara stimulasi keikutsertaan pendidikan TK
dengan indeks prestasi siswa di SDN 3 Jurang Sapi Kecamatan Tapen Kabupaten
Bondowoso. Berdasarkan hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa siswa yang sudah
pernah mengikuti pendidikan di Taman Kanak Kanak akan memperoleh berbagai
pengalaman dan bekal dalam menghadapi pembelajaran disekolah dasar sehingga mereka
dapat menerapkan hal tersebut dalam mengikuti pembelajaran di sekolah dasar.
Hendaknya bagi para guru atau tenaga pengajar agar lebih meningkatkan kompetensi
yang dimiliki dalam memberikan stimulasi dalam merangsang motivasi belajar anak
sehingga anak akan mempunyai motivasi yang lebih baik dalam belajar dan dapat
meningkatkan prestasi belajar mereka.
Artikel yang ketiga ditulis oleh Dwi Helynarti Syurandari dengan judul Efektifitas
Pendidikan Kesehatan Terhadap PHBS Di MTS Miftahul Ulum Kecamatan
Kemlagi Kabupaten Mojokerto. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa perilaku
hidup bersih dan sehat sebelum diberikan pendidikan kesehatan sebagian besar
dikategorikan anak sehat III, Perilaku Hidup Bersih dan Sehat sesudah diberi pendidikan
kesehatan sebagian besar responden dikategorikan anak sehat IV. Ada pengaruh
pendidikan kesehatan terhadap PHBS anak kelas 5 MTS Miftahul Ulum Kecamatan
Vol 6. No. 1, Maret 2014 MEDICA MAJAPAHIT

Kemlagi Kabupaten Mojokerto. Hal ini berdasarkan hasil uji statistic Wilcoxon
didapatkan hasil : 0,000 < : 0,05 (5%) dengan demikian H1 diterima dan Ho di tolak.
Hasil penelitian ini dapat meningkatkan pengetahuan bagai anak-anak mengenai perilaku
hidup bersih dan sehat. Sehingga dapat membiasakan diri untuk berperilaku hidup secara
bersih dan sehat di lingkungan sekolah, rumah maupun masyarakat. Sebagai bahan
tambahan untuk memberikan penyuluhan tentang perilaku hidup bersih dan sehat baik
disekolah-sekolah maupun masyarakat.
Artikel yang keempat ditulis oleh Sri Sudarsih dengan judul Hubungan
Pengetahuan Dan Sikap Ibu Tentang Status Gizi Balita Di Desa Jabon Kecamatan
Mojoanyar Kabupaten Mojokerto. Pengetahuan dan sikap merupakan faktor
predisposisi yang mempengaruhi perilaku ibu dalam memberikan asupan gizi pada balita
yang pada akhirnya mempengaruhi status gizi balita. Tenaga kesehatan khususnya
perawat dapat meningkatkan program kerja dalam peningkatan gizi balita dengan
memberikan contoh menu yang seimbang pada ibu balita, mengadakan lomba balita
sehat, mengadakan lomba memasak makanan balita yang menarik dan bervariasi, serta
memberikan tips cara mengatasi kesulitan makan pada balita
Artikel yang kelima ditulis oleh Farida Yuliani dengan judul Hubungan
Pengetahuan Ibu Tentang Asi Eksklusif Dengan Pemberian MP ASI Sebelum
Usia 6 Bulan Di Desa Gayaman Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto.
Pengetahuan tentang ASI eksklusif mempengaruhi pemberian MP ASI dini, pada
pengetahuan baik akan mendorong ibu tidak memberikan MP ASI dini. Sebaliknya jika
pengetahuan cukup dan kurang akan mendorong ibu memberikan MP ASI dini.
Artikel yang keenam ditulis oleh Eka Diah Kartiningrum dengan judul Kesehatan
Gigi Ibu Hamil Di Di Puskesmas Kedungsari Mojokerto. Hasil penelitian
menunjukkan sejumlah 25 responden, sebagian besar responden mempunyai
DMFT rendah artinya mempunyai kesehatan gigi kurang sejumlah 15
responden(60 %). Semakin kurang pengetahuan ibu hamil dalam mengkonsumsi
kalsium maka kesehatan giginya semakin kurang. Faktor utama yang
mempengaruhi kurangnnya pengetahuan adalah kurang pemahaman responden
terhadap objek tertentu Oleh karena itu, diharapkan tenaga kesehatan dapat
memberikan konseling tentang konsumsi kalsium guna meningkatkan mutu
pelayanan kesehatan selama kehamilan.
Artikel yang ketujuh ditulis oleh Abdul Muhith dan Angga Novida Yasma
dengan judul Pengaruh Terapi William Flexion Exercise Terhadap Nyeri
Punggung Bawah Pada Lansia Di Panti Werdha Mojopahit Mojokerto. Hasil
Vol 6. No. 1, Maret 2014 MEDICA MAJAPAHIT

penelitian membuktikan bahwa ada perubahan intensitas nyeri yang dirasakan


responden sesudah terapi karena terjadi penurunan ketegangan otot terutama otot
bagian lumbo sacral spine. Maka dari itu terapi latihan william flexion exercise
dapat digunakan sebagai salah satu terapi alternatif dan tidak hanya berfokus pada
terapi farmakologis dalam menangani nyeri khususnya nyeri punggung bawah.

Redaksi,
Vol 6. No. 1, Maret 2014 MEDICA MAJAPAHIT

DAFTAR ISI

Model Pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini (IMD) Pada Ibu Bersalin Di


RSUD Prof.Dr.Soekandar Mojosari Mojokerto
Dyah Siwi Hety.................................................................................................. 1

Hubungan Stimulasi Pendidikan TK Dengan Indeks Prestasi Di SD Jurang


Sapi 3 Kecamatan Tapen Kabupaten Bondowoso
Arief Fardiansyah, dan Ifa Rohmatul Ayuningsih ......................................... 29

Efektifitas Pendidikan Kesehatan Terhadap PHBS Di MTS Miftahul Ulum


Kecamatan Kemlagi Kabupaten Mojokerto
Dwi Helynarti Syurandari. ............................................................................... 42

Hubungan Pengetahuan Dan Sikap Ibu Tentang Status Gizi Balita Di Desa
Jabon Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto
Sri Sudarsih ...................................................................................................... 57

Hubungan Pengetahuan Ibu Tentang ASI Eksklusif Dengan Pemberian MP


ASI Sebelum Usia 6 Bulan Di Desa Gayaman Kecamatan Mojoanyar
Kabupaten Mojokerto
Farida Yuliani ................................................................................................. 83

Kesehatan Gigi Ibu Hamil Di Puskesmas Kedungsari Mojokerto


Eka Diah Kartiningrum .................................................................................... 98
Pengaruh Terapi William Flexion Exercise Terhadap Nyeri Punggung
Bawah Pada Lansia Di Panti Werdha Mojopahit Mojokerto
Abdul Muhith dan Angga Novida Yasma .................................................... 111
Vol 6. No. 1, Maret 2014 MEDICA MAJAPAHIT

MODEL PELAKSANAAN INISIASI MENYUSU DINI (IMD) PADA IBU BERSALIN


DI RSUD PROF.DR.SOEKANDAR MOJOSARI MOJOKERTO

Dyah Siwi Hety *)

Abstract
In this study aims to analyze the implementation of Early Initiation of Breastfeeding,
analyze implementation constraints and develop models of the implementation of Early
Initiation of Breastfeeding on maternal. This research uses a qualitative study, future
research on starting December 2012 until July 2013.Informan research midwives and
maternal. The research method uses observation, in-depth interviews and focus group
disscusion. Researcher's own research instrument, checklist, interview guide and focus group
guide disscusion. Descriptive analysis of the description, which includes the step of data
collection, reduction and presentation of data. The results of observations on the direct
maternal midwife directly by the command to hold her baby. Barriers that happens is
tiredness and hunger. Results of in-depth interviews saying only pregnant women information
about nutrition, information about the initiation of early breastfeeding mother knows only
partially. Focus Group Results disscusion maternal expect information about early
breastfeeding initiation given time pregnancy check and families may wait time of delivery.
The observation of the midwife, seem hasty and not in accordance with the Standard
Operational Procedure is in the hospital. Results of in-depth interviews, all midwives could
explain the steps to implement correctly. Barriers that happens is, a shortage of midwives.
Focus Group Results disscusion all midwives said to be realized additional midwives. Early
Initiation of Breastfeeding Early implementation is not in accordance with the Standard
Operational Procedure. Bottleneck that occurs in the maternal fatigue, hunger and ignorance
about Early Initiation of Breastfeeding mom. Barriers on the midwife, a shortage of midwives
so that the implementation of Early Initiation of Breastfeeding was not optimal. Model
development by involving husbands or families. Socialize hospital guidelines contained in the
Standard Operational Procedure and facilities have used standard. Supervision and
reminded all midwives to record activities Early Initiation of Breastfeeding.
Keywords: models, early initiation of breastfeeding, maternal.

A. PENDAHULUAN
Pemberian ASI esklusif yang diberikan untuk bayi selama 6 bulan pertama sangat penting
dan bermanfaat. Pemberian ASI eksklusif ini baik bagi pertumbuhan dan perkembangan otak
balita. Berdasarkan data WHO, cakupan ASI eksklusif masih rendah untuk negara berkembang
dan negara miskin termasuk Indonesia. Berdasarkan penelitian, bayi dibawah usia 6 bulan yang
tidak diberikan ASI mempunyai risiko lima kali lipat terhadap kesakitan dan kematian akibat
diare dan pneumonia dibandingkan dengan bayi yang mendapatkan ASI eksklusif (Dinartiana,
2011). Pemberian ASI eksklusif secara baik, sekitar 6 bulan pertama kelahiran akan berdampak
sangat positip bagi pertumbuhan dan perkembangan bayi baik secara emosional maupun fisik.
Bayi akan tumbuh lebih sehat dengan sistem imun yang sempurna dari air susu ibu (ASI), karena
ASI mampu memberikan perlindungan yang sempurna bagi bayi yang baru lahir.
Menurut data SDKI tahun 2012 angka kematian bayi di Indonesia mengalami penurunan,
pada tahun 2012 tercatat 32 per 1000 kelahiran hidup menurun dibandingkan pada tahun 2007
yang tercatat sebesar 34 per 1000 kelahiran hidup. Angka kematian bayi di Indonesia ini masih
jauh dari harapan target MDGs pada tahun 2015 yaitu sebesar 23 per 1000 kelahiran hidup.
Salah satu solusi dalam mengurangi penyebab kematian pada bayi adalah melalui
pemberian ASI dalam 1 jam pertama yang dinamakan Inisiasi Menyusu Dini (IMD), dan
dilanjutkan pemberian secara eksklusif selama 6 bulan, kemudian diteruskan selama 2 tahun
pertama atau lebih. Program IMD (Inisiasi Menyusu Dini) ini harus terus disosialisasikan ke
*) Penulis adalah DosenPoliteknik Kesehatan Majapahit Mojokerto
Vol 6. No. 1, Maret 2014 MEDICA MAJAPAHIT
masyarakat, karena banyak hal positip yang berguna bagi pertumbuhan dan perkembangan bayi.
Secara naluriah, bayi akan memiliki ikatan emosional yang sangat kuat dengan ibu melalui
kontak pertama setelah kelahirannya melalui inisiasi menyusu dini.
The World Alliance for Breastfeeding Action (WABA) tahun 2007, memperkirakan 1 juta
bayi dapat diselamatkan setiap tahunnya bila diberikan ASI pada 1 jam pertama kelahiran,
kemudian dilanjutkan ASI eksklusif sampai dengan 6 bulan. Melakukan Inisiasi Menyusu Dini
(IMD) dipercaya akan membantu meningkatkan daya tahan tubuh bayi terhadap penyakit-
penyakit yang berisiko kematian tinggi (misalnya kanker syaraf, leukemia, dan beberapa
penyakit lainnya). Menurut penelitian Dr.Karen Edmond tahun 2006 di Ghana, jika bayi diberi
kesempatan menyusu dalam satu jam pertama dengan dibiarkan kontak kulit ke kulit ibu maka 22
persen nyawa bayi dibawah usia 28 hari terhindar dari kematian (Utami Roesli, 2012).
IMD (Inisiasi Menyusu Dini) berdampak pada penurunan angka kematian balita, yang
banyak dipengaruhi oleh penerapan pemberian ASI Eksklusif, hal ini diperkuat oleh penelitian
yang dilakukan WHO pada tahun 2000 di enam negara berkembang. Hasil penelitian diketahui
bahwa risiko kematian bayi antara usia 9 sampai 12 bulan dapat meningkat 40 persen pada bayi
yang tidak disusui, sehingga alasan untuk melakukan inisiasi menyusui dini sebagai awal
suksesnya penerapan ASI eksklusif secara optimal. IMD (Inisiasi Menyusu Dini), dapat
mengurangi angka kematian balita sebesar 8,8 persen (Biro Humas Pemprov Jatim, 2013).
Infant Mortality Rate atau angka kematian bayi di Jawa Timur dalam beberapa tahun ini
mengalami tingkat penurunan yang signifikan, bahkan pada tahun 2012 tercatat 30 per 1.000
kelahiran hidup menurun dibandingkan pencapaian pada tahun 2007 yang tercatat sebesar 35 per
1.000 kelahiran hidup (SDKI, 2012). Menurut data SDKI 2002-2003 dan SKRT 2001 proporsi
kematian balita yang terbanyak adalah pada usia 0 7 hari sebesar 35 persen.
Pada tahun 2012, IMD (Inisiasi Menyusu Dini) dan ASI Eksklusif di Jawa Timur sudah
mencapai 64,5 persen, hal ini merupakan suatu program yang luar biasa dan signifikan dibanding
tahun 2010 yang hanya mencapai 37 persen. Di wilayah Jawa Timur masih ada dua kabupaten
yang cakupannya rendah dalam hal IMD, yakni Lamongan dan Trenggalek (Biro Humas
Pemprov Jatim, 2013).
Selama ini masih banyak ibu yang mengalami kesulitan untuk menyusui bayinya, hal ini
disebabkan kemampuan bayi untuk menghisap ASI kurang sempurna sehingga secara
keseluruhan proses menyusu terganggu. Keadaan ini ternyata disebabkan terganggunya proses
alami dari bayi untuk menyusu sejak dilahirkan. Penolong persalinan selalu memisahkan bayi
dari ibunya segera setelah lahir, untuk dibersihkan, ditimbang, ditandai dan diberi pakaian.
Ternyata proses ini sangat menggangu alami bayi untuk menyusu (Utami Roesli, 2012).
WHO dan UNICEF merekomendasikan inisiasi menyusu dini sebagai tindakan
penyelamatan kehidupan, karena inisiasi menyusu dini dapat menyelamatkan 22 persen bayi
yang meninggal sebelum usia satu bulan. Menyusui satu jam pertama kehidupan yang diawali
dengan kontak kulit antara ibu dan bayi dinyatakan sebagai indikator global, ini merupakan hal
yang baru bagi Indonesia, dan merupakan program pemerintah. Semua tenaga kesehatan di
semua tingkat pelayanan kesehatan maupun masyarakat diharapkan dapat mensosialisasikan dan
melaksanakan serta mendukung suksesnya program ini, sehingga diharapkan akan tercapai
sumber daya Indonesia yang berkualitas.
Pengetahuan tentang IMD (Inisiasi Menyusu Dini) belum banyak diketahui masyarakat
bahkan juga petugas kesehatan. Masalah ini wajar, karena IMD (Inisiasi Menyusu Dini) adalah
ilmu pengetahuan baru bagi masyarakat Indonesia. Kebanyakan ibu tidak tahu bahwa
membiarkan bayi menyusu sendiri segera setelah kelahiran atau yang biasa disebut proses IMD
(Inisiasi Menyusu Dini) sangat bermanfaat. Proses IMD (Inisiasi Menyusu Dini) ini hanya
membutuhkan waktu sekitar 60 menit sangat berpengaruh pada kehidupan bayi untuk seumur
hidup. Melakukan IMD (Inisiasi Menyusu Dini) bayi akan belajar beradaptasi dengan dunia luar,
selain itu kedekatan antara ibu dan bayi akan terbentuk selama proses tersebut. Kurangnya
pengetahuan dari orang tua, pihak medis maupun keengganan untuk melakukannya, membuat
IMD (Inisiasi Menyusu Dini) masih jarang dilaksanakan.
Vol 6. No. 1, Maret 2014 MEDICA MAJAPAHIT
Faktor keberhasilan dalam menyusui adalah menyusui secara dini, berbagai upaya telah
dilakukan untuk mempromosikan pemberian ASI Eksklusif. Pengetahuan ibu, baik melalui kader
kesehatan maupun petugas kesehatan tentang IMD (Inisiasi Menyusu Dini) masih kurang,
bahkan hanya ada beberapa rumah sakit saja yang memberikan layanan IMD (Inisiasi Menyusu
Dini) untuk ibu melahirkan.
Program IMD (Inisiasi Menyusu Dini) di RSUD Prof.Dr.Soekandar Mojosari Mojokerto
sudah dilaksanakan sejak tahun 2010, tetapi dalam pelaksanaannya belum maksimal yang
dikarenakan tidak ada dukungan dari pihak yang terkait. Rumah Sakit ini merupakan satu-
satunya rumah sakit milik Pemerintah Daerah Kabupaten Mojokerto yang sudah melaksanakan
Inisiasi Menyusu Dini (IMD). Data Inisiasi Menyusu Dini (IMD) di RSUD Prof.Dr.Soekandar
Mojosari Mojokerto pada tahun 2012, yang melahirkan secara normal sebanyak 926 ibu, dengan
perincian persalinan normal tanpa komplikasi 212 ibu dan persalinan normal dengan komplikasi
(KPP, Pre eklamsi, di oksitosin drip dan lain-lain) sebanyak 714 orang ibu. Tetapi yang
dilaksanakan Inisiasi Menyusu Dini (IMD) hanya 194 ibu dari jumlah persalinan normal tanpa
komplikasi, hal ini disebabkan pertimbangan kondisi kesehatan ibu maupun bayinya. Pada
persalinan dengan tindakan dan secara operasi caesar belum dilaksanakan IMD (Inisiasi
Menyusu Dini).
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis ingin mengetahui model pelaksanaan
Inisiasi Menyusu Dini (IMD) pada ibu bersalin di RSUD Prof.Dr.Soekandar Mojosari
Mojokerto.

B. METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif, yang menggambarkan model
pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini) di RSUDProf.Dr.Soekandar Mojosari Mojokerto.
Rancang bangun penelitian menggunakan uraian deskriptif. Pengambilan data dilaksanakan
dengan mengobservasi langkah, waktu, hambatan serta setiap kejadian yang ada pada
pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini (IMD) untuk mendapatkan data dari informan. Observer
dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri. Untuk mendapatkan informasi lebih lanjut, apakah
hasil observasi dapat dipercaya atau tidak, peneliti melakukan wawancara mendalam. Sarana
yang digunakan adalah panduan wawancara mendalam, buku catatan, alat tulis, dan alat rekaman.
Setelah observasi dan wawancara mendalam dapat diketahui bagaimana pelaksanaan IMD
(Inisiasi Menyusu Dini) saat ini yang ada serta hambatannya. Hasil dari observasi dan wawancara
mendalam dibahas dalam FGD (Focus Group Discussion). Penelitian ini adalah penelitian
kualitatif yang memiliki data dari hasil observasi yang dilakukan peneliti, wawancara mendalam
serta FGD(Focus Group Discussion). Cara menganalisis data menggunakan uraian diskriptif
dengan menganalisis setiap data yang terdapat dalam penelitian ini. Informasi yang terkumpul
dari observasi, wawancara mendalam dan FGD(Focus Group Discussion) merupakan data
mentah. Tugas peneliti adalah mempersiapkan pernyataan menyangkut data yang terkumpul..

Tabel 1. Definisi Operasional Hubungan Pengetahuan Ibu Tentang ASI Eksklusif


Dengan Pemberian MP ASI Sebelum Usia 6 Bulandi Desa Gayaman Kecamatan
Mojoanyar Kabupaten Mojokerto
Variabel Definisi Operasional Kriteria Skala
Pengetahuan ibu Semua bentuk pemahaman dan Baik = > 75% Ordinal
tentang ASI pengertian ibu yang berhubungan Cukup = 60-75%
eksklusif dengan ASI eksklusif yang berisikan Kurang= < 60%
mengenai :
- Pengertian ASI eksklusif (Arikunto, 2006)
- Alasan pemberian ASI eksklusif
- Faktor yang terkait pemberian
ASI eksklusif
- Komposisi ASI
- Manfaat ASI eksklusif
Vol 6. No. 1, Maret 2014 MEDICA MAJAPAHIT

Variabel Definisi Operasional Kriteria Skala


- 12 keunggulan ASI eksklusif
- Pemberian ASI
- Tips sukses pemberian ASI
eksklusif
Instrumen yang dipergunakan adalah
lembar kuesioner
Pemberian MP Makanan pendamping ASI yang Diberikan : 0 Nominal
ASI sebelum diberikan sebelum usia 6 bulan Tidak diberikan : 1
usia 6 bulan Instrumen yang dipergunakan adalah
lembar observasi

Populasi dalam penelitian ini adalah semua Ibu bayi sebelum usia 6 bulan, sebanyak 48
responden, terhitung sampai tanggal 7-19 Juni 2013. Dalam penelitian ini jumlah sampel yang
digunakan sebanyak 48 responden. Peneliti menggunakan sampel jenuh yaitu cara pengambilan
sampel dengan mengambil semua anggota populasi menjadi sampel (Aziz Alimul,
2009:76).Penelitian ini dilakukan di Desa Gayaman Kecamatan Mojoanyar Kabupaten
Mojokerto pada bulan Agustus-September 2013.
Teknik Pengumpulan Data setelah mendapatkan ijin dari Dinkes Kabupaten Mojokerto
dan di Desa Gayaman Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto. Peneliti mengadakan
pendekatan kepada ibu bayi untuk mendapatkan persetujuan sebagai responden. Setelah
mendapat persetujuan menjadi responden, peneliti mulai melakukan pengambilan data dengan
teknik observasi. Instrumen Pengumpulan Data yang digunakan yaitu lembar kuesioner dan
lembar cheklist. Teknik Analisis Data menggunakan distribusi frekwensi dan diuji dengan
wicoxon sign rank test.

A. HASILPENELITIAN
1. Hasil observasi dan wawancara mendalam ibu bersalin.
Hasil wawacara mendalam tentang informasi yang didapat waktu ANC(Ante Natal
Care) kebanyakan mengatakan hanya informasi mengenai nutrisi ibu hamil saja. Seperti
petikan wawancara peneliti dengan informan Ny.E berikut ini.
..........Ibu hamil harus memperbanyak makan sayur dan buah supaya
bayinya sehat dan air susunya lancar. Bayinya nanti harus disusui sendiri
ndak boleh diberi susu botol.
Penjelasan yang rinci mengenai faktor yang mempengaruhi produksi dan
pengeluaran ASI (Air Susu Ibu) tidak diberikan saat ANC(Ante Natal Care). Hasil
wawancara mendalam tentang cara perawatan payudara semua informan mengatakan hanya
dibersihkan dengan sabun waktu mandi. Perawatan payudara pada waktu hamil merupakan
hal yang penting untuk membantu pengeluaran ASI (Air Susu Ibu). Berikut wawancara
peneliti dengan informan Ny.M.
..........Cara merawat payudara ya dengan membersihkannya setiap mandi
dengan menggunakan sabun, biar bersih. Saya tidak pernah mendengar cara
merawat payudara yang lain.
Sedangkan penjelasan tentang ASI eksklusif rata-rata ibu bersalin sudah mengetahui
sejak sebelum hamil dari orang tuanya, tetangga, teman dan media massa ataupun media
elektronik. Waktu ANC(Ante Natal Care) bidan tidak memberikan informasi mengenai ASI
eksklusif secara jelas, hanya mengatakan bayinya harus disusui. Berikut petikan wawancara
peneliti dengan informan Ny.P.
..........Kalau informasi tentang ASI eksklusif saya sudah tahu dari ibu saya,
teman dan tetangga yang sudah pernah punya anak. Di iklan televisi,
gambar di puskesmas juga ada, waktu periksa hamil bu bidan ndak pernah
memberitahu, hanya mengatakan bayinya harus disusui.
Vol 6. No. 1, Maret 2014 MEDICA MAJAPAHIT
Informasi mengenai IMD (Inisiasi Menyusu Dini) hanya sebagian kecil ibu saja
yang mengatakan pernah mendapat informasi waktu ANC(Ante Natal Care) dari bidan dan
majalah. Pada waktu ANC(Ante Natal Care) bidan sudah harus memberikan pengetahuan
tentang IMD (Inisiasi Menyusu Dini) sebagai persiapan untuk masa meneteki. Berikut ini
petikan wawancara peneliti dengan informan Ny.M.
..........Waktu periksa hamil di bidan saya diberitahu kalau waktu
melahirkan bayinya ditaruh di atas perut untuk mencari puting susu saya.
Kata bu bidan bayinya belajar menyusu sendiri.
Ada beberapa orang ibu yang tidak mengetahui arti IMD (Inisiasi Menyusu Dini),
waktu wawancara mendalam tentang IMD (Inisiasi Menyusu Dini) tampak kebingungan dan
menjawab tidak tahu.
Hasil yang didapatkan dari observasi pada waktu pelaksanaan IMD (Inisiasi
Menyusu Dini), ibu bersalin langsung menurut perintah bidan untuk memegang bayinya
tanpa memberikan penjelasan terlebih dahulu bahwa akan dilaksanakan IMD (Inisiasi
Menyusu Dini). Ekspresi wajah ibu bersalin tampak bergembira bisa memeluk bayinya,
seperti petikan wawancara mendalam peneliti dengan informan Ny.R.
..........Ya senang sekali bisa memeluk dan melihat anak saya mencari
puting susu, lucu sekali. Masih bayi kok sudah tahu susu saya.
Hasil wawancara mendalam semua ibu bersalin mengeluh lapar dan capek, sehingga
pada waktu bidan menyuruh memegang bayinya saat berada diatas perut kadang dilepaskan.
Masalah ini disebabkan keluarga tidak mendampingi saat persalinan berlangsung. Berikut
ini petikan wawancara peneliti dengan informan Ny.P.
.......... Setelah melahirkan ya lapar, ya capek sekali, khan habis
mengeden. Suami dan ibu saya ndak boleh masuk nunggu di sini.
Jadi hasil dari observasi dan wawancara mendalam rata-rata ibu bersalin aktif dan
mau memegang bayinya tetapi kadang dilepaskan karena lapar dan capek. Keinginan dan
harapan ibu bersalin tentang peningkatan pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini) yaitu,
berharap informasi tentang IMD (Inisiasi Menyusu Dini) ini diberikan oleh bidan kepada
semua ibu hamil supaya mengetahuinya sehingga bisa meneteki bayinya dengan benar.
Berikut ini adalah petikan hasil wawancara peneliti dengan informan Ny.M.
..........Bu bidan harus memberikan informasi IMD waktu periksa hamil,
sehingga semua ibu mengetahui dan bisa meneteki dengan benar.
Informasi tentang IMD (Inisiasi Menyusu Dini) ini memang harus dimulai sejak ibu hamil,
sehingga pada waktu pelaksanaan bisa berjalan sesuai harapan.
Informasi yang di dapat ibu bersalin waktu ANC (Ante Natal Care) hanya tentang
nutrisi waktu hamil saja, informasi tentang IMD (Inisiasi Menyusu Dini) hanya sedikit.
Informasi yang di dapat pada waktu hamil akan mempengaruhi pengetahuan ibu, semakin
banyak informasi semakin baik pula pengetahuannya. Pendidikan ibu bersalin yang
terbanyak adalah pendidikan dasar, yaitu 2 orang ibu pendidikan akhir SD, 3 orang ibu
pendidikan akhir SMP, pendidikan akhir SMA 1 orang ibu dan 2 orang pendidikan akhir
sarjana. Ditinjau dari karakteristik pendidikan ibu sangat rendah, sehingga mempengaruhi
pengetahuannya tentang IMD (Inisiasi Menyusu Dini). Faktor usia ibu sebagian besar
berusia antara 25 tahun 30 tahun yaitu 4 orang ibu, yang berusia antara 30 tahun 35
tahun hanya 2 orang ibu, usia lebih 35 tahun 1 orang ibu, dan usia antara 20 tahun 25
tahun juga hanya 1 orang ibu.
Sebagian besar ibu mempunyai 2 orang anak (paritas 2), yaitu 5 orang ibu.
Sedangkan yang paritas 1 hanya 3 orang ibu. Semakin banyak paritas, semakin baik pula
pengetahuan dan pengalaman ibu tentang IMD (Inisiasi Menyusu Dini) dan meneteki pada
anak pertama dulu.
2. Hasil observasi dan wawancara mendalam bidan.
Hasil observasi waktu pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini) bidan terkesan
tergesa-gesa dan tidak sesuai dengan SOP(Standard Operational Procedure) yang ada.
Hasil wawancara mendalam tentang pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini), semua bidan
Vol 6. No. 1, Maret 2014 MEDICA MAJAPAHIT
bisa menjelaskan langkah pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini) secara benar. Berikut
wawancara peneliti dengan informan bidan L.
............Ya setelah bayinya lahir langsung diletakkan di atas perut ibu,
kemudian dibersihkan. Tali pusat diklem, dipotong terus diikat, setelah
itu bayi diletakkan tengkurap di dada ibu sambil diberi selimut untuk
memulai IMD.
Hasil wawancara tentang beban kerja waktu melaksanakan IMD (Inisiasi Menyusu
Dini) semua bidan mengatakan tidak ada beban, hal ini berbanding terbalik dengan hasil
observasi yang terkesan tergesa-gesa untuk segera memindahkan bayi ke ruang neonatus.
Seperti petikan wawancara peneliti dengan informan bidan D berikut ini.
..........Ya tidak ada beban kerja, karena sudah menjadi kewajiban saya
sebagai seorang bidan, jadi harus dilaksanakan.
Hasil yang di dapatkan dari wawancara mendalam tentang hambatan pelaksanaan
IMD (Inisiasi Menyusu Dini) semua informan menjawab yaitu tenaga bidan yang terbatas
tidak sesuai dengan jumlah pasien yang ada serta kondisi ibu bersalin dan bayi saat
persalinan berlangsung. Hambatan ini yang membuat pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu
Dini) tidak bisa berjalan maksimal. Berikut adalah petikan wawancara peneliti dengan
informan bidan T.
..........Kalau pas pasiennya banyak tenaga terbatas sehingga
pelaksanaan IMD tidak bisa maksimal. Belum lagi kalau keadaan
pasiennya jelek.
Waktu pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini) bidan tidak memerlukan
persiapan khusus, dengan alasan karena ibu bersalin sudah membawa perlengkapan bayi
dari rumah. Seharusnya semua fasilitas atau perlengkapan termasuk selimut, topi bayi
dilengkapi oleh pihak rumah sakit. Pada waktu pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini)
bidan meminta perlengkapan yang dibutuhkan kepada keluarga ibu bersalin. Hasil observasi
terhadap semua bidan perlengkapan yang dipakai waktu IMD (Inisiasi Menyusu Dini) hanya
kain bersih dan kering 2 potong saja, tanpa memakai selimut ibu dan topi bayi. Berikut
petikan wawancara peneliti dengan informan bidan I.
..........Tidak perlu persiapan khusus, karena ibu bersalin khan sudah
membawa perlengkapan bayi dari rumah, kita tinggal meminta kepada
keluarganya saja.
Hasil wawancara mendalam terhadap semua informan mengatakan program IMD
(Inisiasi Menyusu Dini) sudah tepat dilaksanakan di rumah sakit ini, karena rumah sakit
tersebut merupakan rumah sakit sayang ibu dan bayi. Selain sudah menjadi rumah sakit
sayang ibu dan bayi, rumah sakit tersebut juga menjadi lahan praktek mahasiswa
keperawatan dan kebidanan. Seperti petikan wawancara peneliti dengan informan bidan P
berikut ini:
..........Pelaksanaan IMD sudah tepat dilaksanakan di rumah sakit ini,
karena rumah sakit ini sudah merupakan rumah sakit sayang ibu dan
bayi. Selain itu rumah sakit ini juga banyak mahasiswa keperawatan dan
kebidanan yang praktek.
Semua bidan berharap pihak rumah sakit segera membuat kebijakan peraturan
tentang penerapan IMD (Inisiasi Menyusu Dini) dan ada penambahan tenaga bidan supaya
pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini) bisa berjalan maksimal. Selama ini sudah ada
SOP (Standard Operational Procedure) tentang IMD (Inisiasi Menyusu Dini), tetapi hasil
observasi pelaksanaannya belum semua bidan melaksanakan dengan benar. Hasil
wawancara terhadap semua bidan mereka mengatakan bahwa promosi susu formula sudah
dilarang masuk rumah sakit. Berikut ini petikan wawancara peneliti dengan informan bidan
D.
..........Saya tidak setuju sekali kalau ada promosi susu formula masuk
rumah sakit, karena yang terbaik untuk bayi adalah ASI.
Vol 6. No. 1, Maret 2014 MEDICA MAJAPAHIT
Hasil yang didapat waktu observasi memang tidak ditemukan susu formula, baik
itu diruang neonatus maupun di ruang nifas. Setelah bayi mendapat perawatan di ruang
neonatus untuk pemberian salep mata, injeksi vitamin K, pemberian identitas,
penimbangan serta pengukuran dan bayi dibedong, kemudian bayi diberikan ke ibunya
untuk rawat gabung. Indikasi untuk rawat gabung adalah kalau kondisi kesehatan ibu dan
bayi memungkinkan.
Faktor pengetahuan bidan tentang IMD (Inisiasi Menyusu Dini) adalah cukup
baik, yaitu bisa menjelaskan semua langkah yang ada dalam tahap pelaksanaan IMD
(Inisiasi Menyusu Dini). Faktor kepatuhan bidan terhadap pelaksanaan IMD (Inisiasi
Menyusu Dini) sangat kurang karena tidak sesuai SOP(Standard Operational Procedure)
yang ada di rumah sakit. Dengan adanya ketidakpatuhan bidan dalam melaksanakan IMD
(Inisiasi Menyusu Dini) membuat komitmen bidan menjadi rendah, sehingga tidak ada
tanggung jawab dalam pelaksanaannya. Ditinjau dari pengalaman kerja sudah cukup,
karena sebgian besar bekerja antara 5 10 tahun sebanyak 4 orang bidan, antara 11 20
tahun 2 orang bidan dan 1 orang bidan bekerja lebih 21 tahun, sedangkan hanya 1 orang
bidan saja yang lama kerja kurang dari 5 tahun.
Fasilitas rumah sakit yang digunakan untuk pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu
Dini) memang tidak tersedia, yang dipergunakan adalah perlengkapan dari ibu bersalin
sendiri. Kebijakan dari rumah sakit tentang pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini)
sudah ada SOP (Standard Operational Procedure), tetapi pelaksanaannya belum
maksimal.
3. Hasil FGD(Focus Group Discussion) bidan.
FGD pada tahap pertama ini di ikuti oleh 8 orang bidan, yaitu 4 orang
pendidikan terakhir D4 Kebidanan, dan 4 orang pendidikan terakhir D3 Kebidanan.
Waktu lama bekerja bidan yaitu 1 orang bidan bekerja kurang dari 5 tahun, 4 orang bidan
bekerja antara 5 - 10 tahun, 2 orang bidan bekerja antara 11 20 tahun dan 1 orang bidan
bekerja antara 21 - 30 tahun. FGD dilaksanakan selama 60 menit di kantor kepala
ruangan bersalin. Ringkasan hasil dari observasi adalah semua bidan waktu pelaksanaan
IMD (Inisiasi Menyusu Dini) terkesan tergesa-gesa dan tidak sesuai dengan
SOP(Standard Operational Procedure),padahal pada waktu wawancara mendalam
tentang langkah pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini) bisa menjelaskan secara
benar. Hasil wawancara mendalam tentang masalah beban kerja, semua bidan menjawab
tidak ada beban kerja karena merupakan suatu kewajiban. Masalah ini tidak sesuai
dengan hasil observasi, katanya tidak ada beban kerja tetapi pelaksanaan IMD (Inisiasi
Menyusu Dini) tergesa-gesa dan bayi segera di pindah ke ruang neonatus.
Berikut petikan hasil FGD yang didapatkan dari bidan H.
..........Hambatan pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini) yaitu
tentang tenaga bidan yang kurang jumlahnya, sehingga pelaksanaan
IMD (Inisiasi Menyusu Dini) tidak bisa berjalan maksimal. Satu kali
rotasi dinas hanya 2 - 3 orang bidan saja yang berdinas. Padahal
dalam ruang bersalin ada 4 bagian ruangan (ruang PONEK, ruang
nifas fisiologi, ruang nifas patologi, dan ruang ginekologi), belum lagi
kalau jumlah pasien banyak sekali.
Perbandingan jumlah bidan dan jumlah pasien tidak seimbang, hal ini yang
membuat pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini) tidak bisa berjalan maksimal.
SOP(Standard Operational Procedure) tentang IMD (Inisiasi Menyusu Dini) selama ini
sudah ada di Rumah Sakit, tetapi kebijakan untuk pelaksanaan belum sepenuhnya
dilaksanakan. Kenyataan selama ini pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini) di rumah
sakit hanya melibatkan bidan dan ibu bersalin saja. Saran dan harapan para peserta FGD
adalah segera direalisasikan untuk penambahan tenaga bidan. Berikut petikan hasil FGD
dengan bidan P.
Vol 6. No. 1, Maret 2014 MEDICA MAJAPAHIT
..........Semoga pihak rumah sakit segera menambah tenaga bidan,
sehingga kami tidak pontang panting antar ruangan dan IMD bisa
berjalan sesuai dengan SOP.
Jadi semua peserta FGD berharap pihak rumah sakit segera merealisasikan
penambahan tenaga bidan sehingga pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini) bisa
berjalan maksimal.
4. Hasil FGD(Focus Group Discussion) ibu bersalin.
FGD pada tahap kedua ini di ikuti oleh 8 orang ibu bersalin, dengan latar
belakang pendidikan yang berbeda-beda. 2 orang ibu pendidikan akhir Sarjana, 1 orang
ibu pendidikan akhir SMA, 3 orang ibu berpendidikan SMP dan 2 orang ibu
berpendidikan SD. FGD ini dilaksanakan di ruang nifas fisiologi selama 60 menit.
Hasil yang didapatkan dari observasi pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini),
ibu bersalin mau dan aktif waktu di suruh memegang bayinya saat berada di atas perut.
Hasil observasi pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini) ibu bersalin kadang
melepaskan peganggannya, sehingga bayi mau terjatuh.
Hasil wawancara mendalam tentang hambatan apa ketika harus disuruh
memegang bayinya, semua ibu menjawab capek dan lapar karena habis mengedan.
Kebanyakan ibu bersalin tidak mengerti maksud dan tujuan sewaktu di suruh memegang
bayinya, karena bidan tidak menjelaskan terlebih dahulu.
Berikut petikan hasil FGD dengan informan Ny.E.
..........Saya bingung eh tiba-tiba bu bidan nyuruh memegang bayi
saya, terus saya menurut saja. Tetapi lama-lama kok capek, karena
tangan saya yang satu ada infusnya.
Berikut ini juga ada petikan hasil FGD dengan informan Ny.R.
..........Waktu setelah melahirkan bayi saya, bidan hanya
memberitahu kalau bayinya belajar menyusu sendiri dan tolong
bayinya dipegang biar tidak terjatuh.
Hasil wawancara mendalam tentang IMD (Inisiasi Menyusu Dini) hanya
sebagian kecil ibu saja yang mengetahuinya. Informasi yang didapatkan dari bidan saat
periksa hamil hanya tentang nutrisi ibu hamil, untuk informasi yang lain tidak diberikan.
Harapan dan saran para ibu bersalin adalah bidan memberikan penjelasan tentang
IMD (Inisiasi Menyusu Dini) saat periksa hamil, dengan adanya informasi tentang IMD
(Inisiasi Menyusu Dini), ibu hamil bisa mempersiapkan untuk meneteki bayinya nanti.
Seperti petikan hasil FGD dengan informan Ny.W berikut ini.
.........Saat periksa hamil bidan harus memberi penjelasan tentang
IMD, jadi saya bisa mempersiapkan untuk menyusui nanti.
Ibu bersalin juga berharap saat persalinan berlangsung, suami atau keluarga di
perbolehkan menunggu di dalam ruang bersalin. Waktu menjelang persalinan ibu perlu
semangat dan dukungan dari suami atau keluarga serta bantuan untuk melayani
keperluan makan minum dan lain-lain.
Berikut petikan hasil FGD dengan informan Ny.P.
..........Waktu mau melahirkan suami atau ibu saya boleh masuk
ruang bersalin untuk menunggu saya, karena saya takut di dalam
sendirian.
Kepingin minum dan ke kamar mandi ndak ada yang membantu.
5. Hasil FGD(Focus Group Discussion) bidan, staf pelayanan medik dan ibu bersalin.
FGD pada tahap ketiga ini di ikuti oleh 4 orang bidan, 4 orang ibu bersalin dan 2
orang staf pelayanan medik. Pelaksanaan FGD di dalam kantor kepala ruangan bersalin
dan dilaksanakan selama 60 menit. Hasil FGD bidan adalah memberikan pendapat
bahwa ada penambahan tenaga bidan pada setiap rotasi dinas. Berikut hasil FGD dengan
bidan T.
.........Dengan adanya penambahan tenaga bidan pelaksanaaan IMD
bisa berjalan dengan maksimal. Selama ini bidan yang berdinas setiap
Vol 6. No. 1, Maret 2014 MEDICA MAJAPAHIT
satu shif hanya sekitar 2 3 orang bidan saja, sedangkan ruangannya
ada 4. Jumlah bidan yang berdinas tidak seimbang dengan jumlah
pasien yang ada, sehingga dalam tugasnya bidan menjadi repot dan
sibuk.
Ibu bersalin berpendapat bahwa harus ada pendamping saat persalinan, suami
atau keluarga yang lain karena waktu persalinan terasa lelah dan lapar dan perlu bantuan.
Berikut hasil FGD dengan informan Ny.S.
..........Saat menjelang persalinan ibu perlu semangat dan dukungan
dari suami atau keluarga, serta bantuan untuk melayani keperluan
makan minum dan lain-lain. Seharusnya suami atau keluarga
diperbolehkan masuk ruang bersalin untuk bantu-bantu.
Staf pelayanan medik hanya memberikan pendapat tenaga bidan harus
menambah pengetahuan dan ketrampilan tentang menolong persalinan, karena IMD
(Inisiasi Menyusu Dini) sudah termasuk 58 langkah APN (Asuhan Persalinan Normal).
Berikut petikan hasil FGD dengan informan Ny. H.
..........Semua bidan diharapkan menambah pengetahuan dan
ketrampilan tentang APN, karena IMD sudah termasuk di dalamnya.
Semua bidan yang ada di rumah sakit ini khan hampir semuanya
sudah pelatihan APN.
Berikut ini juga ada pendapat dari staf Pelayanan Medik Ny.E.
..........Setiap jadwal pertemuan siang klinik diharapkan semua tenaga
medis atau paramedis selalu mengikutinya. Pada pertemuan siang
klinik selalu diberikan penambahan pengetahuan dan ketrampilan
tentang teori yang terbaru termasuk teori tentang IMD (Inisiasi
Menyusu Dini).
6. Kesimpulan hasil observasi, wawancara mendalam dan FGD pada ibu bersalin.
Hasil yang didapatkan dari observasi pada waktu pelaksanaan IMD (Inisiasi
Menyusu Dini), ibu bersalin langsung menurut perintah bidan untuk memegang bayinya
tanpa memberikan penjelasan terlebih dahulu bahwa akan dilaksanakan IMD (Inisiasi
Menyusu Dini). Tampak ekspresi wajah ibu bersalin menjadi kebingungan.
Hambatan yang terjadi waktu pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini) adalah
rasa capek dan lapar, sehingga pada waktu bidan menyuruh memegang bayinya kadang
terlepas.
Hasil wawancara mendalam pada ibu bersalin tentang informasi yang didapat
waktu ANC(Ante Natal Care) kebanyakan mengatakan hanya informasi mengenai nutrisi
ibu hamil saja. Informasi mengenai IMD (Inisiasi Menyusu Dini) hanya beberapa ibu
saja yang mengatakan pernah mendapat informasi waktu ANC(Ante Natal Care) dari
bidan dan dari majalah.
Hasil FGD ibu bersalin mengatakan bahwa bidan harus memberikan informasi
tentang IMD pada waktu periksa hamil, sehingga ibu bersalin bisa mempersiapkan untuk
masa meneteki. Ibu bersalin juga berharap saat persalinan berlangsung suami atau
keluarga di perbolehkan menunggu di dalam ruang bersalin untuk membantu semua
keperluan ibu bersalin.
7. Kesimpulan hasil observasi, wawancara mendalam dan FGD pada bidan.
Hasil observasi pada waktu pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini) bidan
terkesan tergesa-gesa dan tidak sesuai dengan SOP yang ada di rumah sakit.
Hasil wawancara mendalam tentang pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini),
semua bidan bisa menjelaskan langkah pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini) secara
benar. Hasil wawancara mendalam tentang masalah beban kerja, semua bidan menjawab
tidak ada beban kerja karena merupakan suatu kewajiban dan harus dilaksanakan.
Masalah ini tidak sesuai dengan hasil observasi pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu
Dini).
Vol 6. No. 1, Maret 2014 MEDICA MAJAPAHIT
Untuk hambatan yang terjadi pada waktu pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini),
yaitu tentang kekurangan jumlah bidan sehingga pelaksanaan tidak bisa berjalan
maksimal.
Hasil FGD semua bidan mengatakan bahwa segera direalisasikan untuk penambahan
tenaga bidan.
8. Perbedaan IMD yang sudah terlaksana di RSUD Prof.Dr.Soekandar Mojosari
Mojokerto dengan draf yang di buat oleh peneliti.
IMD yang sudah ada di RSUD Usulan modifikasi IMD

1. Bayi lahir langsung letakkan di atas 1. Memenuhi syarat pelaksanaan IMD,


perut ibu yang sudah di beri alas kain (tidak ada kontraindikasi ibu dan
yang bersih dan kering. bayi).
2. Keringkan seluruh tubuh bayi 2. Menolong persalinan dan melihat jam
termasuk kepala secepatnya, kecuali untuk memulai IMD.
kedua tangannya. 3. Melakukan penilaian pada bayi (apgar
3. Tali pusat di klem, di potong lalu di score harus > 7)
ikat. 4. Mengeringkan tubuh bayi mulai dari
4. Hindari membersihkan vernix (lemak muka, kepala, dan bagian tubuh yang
putih) yang melekat di tubuh bayi lain kecuali kedua tangannya.
karena zat ini yang membuat nyaman 5. Meletakkan bayi tengkurap di dada
tubuh bayi. ibu, luruskan bahu bayi sehingga bayi
5. Tanpa dibedong, bayi langsung di menempel di dada ibu.
tengkurapkan di atas dada ibu, dengan 6. Kemudian selimuti ibu beserta bayi
kontak kulit bayi dan kulit ibu. dengan kain yang bersih kering dan
6. Bayi dan ibu di selimuti bersama-sama pasang topi di kepala bayi.
dan di beri topi bayi untuk 7. Mempersilahkan suami atau keluarga
menghindari pengeluaran panas dari untuk mengadzani bayi.
kepala. 8. Menganjurkan suami atau keluarga
untuk membantu ibu dalam memegang
bayinya.
9. Biarkan bayi tetap melakukan kontak
kulit ke kulit di dada ibu paling
sedikit selama satu jam.
10. Melanjutkan prosedur penanganan
bayi sehat sesuai dengan asuhan bayi
baru lahir normal setelah satu jam
pertama bayi berhasil menyusu.
11. Bila dalam waktu satu jam belum
berhasil menyusu, lanjutkan IMD di
ruang rawat gabung.

9. Tanggapan peserta FGD setelah dipaparkan hasil usulan modifikasi IMD.


9.1 Tanggapan ibu bersalin.
Semua ibu bersalin memberikan pendapat bahwa kalau IMD suami atau
keluarga yang lain boleh masuk ke dalam ruang bersalin. Seperti petikan hasil FGD
pada Ny.E.
..........Ya enak seperti itu, suami atau keluarganya boleh masuk
untuk bantu-bantu, terus kita merasa tenang ada yang menunggu di
dalam ruang bersalin.
Vol 6. No. 1, Maret 2014 MEDICA MAJAPAHIT
9.2 Tanggapan bidan.
Bidan juga berharap keluarga pasien boleh membantu dan masuk ke dalam
ruang bersalin untuk menunggu, tetapi di batasi hanya satu orang saja. Berikut
petikan hasil FGD dengan bidan D.
..........Wah saya senang sekali kalau IMD dengan melibatkan
suami atau keluarga, bisa meringankan beban kerja saya. Tetapi
yang boleh masuk membantu di ruang bersalin hanya satu orang
saja, biar tidak ribut di dalam ruangan.
9.3 Tanggapan staf Pelayanan Medik.
Tanggapan dari staf Pelayanan Medik adalah setuju dengan draf IMD
modifikasi ini, tetapi harus di bicarakan dulu ke dalam rapat rutin rumah sakit.
Berikut petikan hasil FGD dengan informan Ny.H.
..........Pada intinya saya setuju sekali dengan usulan IMD ini, tetapi
harus di bahas dulu dalam forum rapat rutin rumah sakit.

E. PEMBAHASAN
Hasil dari penelitian bahwa dalam pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini) di ruang
bersalin RSUD Prof.Dr.Soekandar Mojosari Mojokerto, pada beberapa ibu bersalin banyak yang
mengatakan tidak pernah mendapatkan informasi tentang IMD (Inisiasi Menyusu Dini)
sebelumnya. Informasi yang di dapat pada waktu hamil hanya tentang nutrisi ibu hamil saja,
sedangkan untuk informasi yang lain seperti: perawatan payudara, IMD (Inisiasi Menyusu Dini),
faktor yang mempengaruhi produksi dan pengeluaran ASI serta ASI eksklusif tidak diberikan.
Seharusnya IMD (Inisiasi Menyusu Dini) disosialisasikan pada waktu ANC(Ante Natal Care)
dengan menggunakan brosur, pamflet dan video, sehingga ibu memperoleh pengetahuan tentang
IMD (Inisiasi Menyusu Dini) sebagai persiapan untuk masa meneteki. IMD (Inisiasi Menyusu
Dini) merupakan langkah awal menuju kesuksesan ASI eksklusif, dan sebaiknya IMD (Inisiasi
Menyusu Dini) dilaksanakan sejak lahir sebagai awal dari hubungan menyusui yang
berkelanjutan. Hasil penelitian Amalia dan Ni luh Sumini pada tahun 2011, menunjukkan bahwa
ada hubungan yang signifikan antara pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini) terhadap
keberhasilan pemberian ASI Eksklusif pada ibu yang mempunyai bayi usia 7 12 bulan. Hal ini
berdasarkan pada uji korelasi Rank Spearman yang diperoleh p value 0,000(p<0,05).
Meningkatnya pengetahuan ibu bisa diperoleh dari media massa dan penyuluhan (informasi)
sehingga bisa mempermudah dalam menerima pesan. Dengan demikian akan mempengaruhi
pengetahuan ibu bersalin tentang IMD (Inisiasi Menyusu Dini). Karena pengetahuan merupakan
hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek
tertentu (Notoatmodjo, 2003). Pada aspek pendidikan ibu bersalin rata-rata berpendidikan akhir
SMP, semakin tinggi pendidikan seseorang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan. Pendidikan
seseorang mempengaruhi cara pandang terhadap diri dan lingkungannya. Sehingga akan
berbeda sikap orang yang berpendidikan tinggi dan yang berpendidikan rendah. Dengan
tingginya pendidikan yang ditempuh diharapkan tingkat pengetahuan seseorang bertambah
sehingga memudahkan dalam menerima atau mengadopsi perilaku yang positif (Latipun,
2005). Faktor usia ibu bersalin pada masa usia produktif yaitu lebih dari 20 tahun dan kurang dari
35 tahun, pada masa ini bukan merupakan faktor resiko untuk hamil. Ibu yang sudah masuk pada
usia produktif berarti telah memasuki masa kedewasaan, semakin dewasa ibu semakin baik pula
pola pemikirannya.
Menurut Notoatmodjo (2003), usia juga mempengaruhi pengetahuan seseorang
karena dengan bertambahnya usia biasanya akan lebih dewasa pula intelektualnya. Pada
aspek paritas rata-rata mempunyai 2 orang anak, berarti ibu sudah memiliki banyak pengalaman
tentang meneteki dan IMD (Inisiasi Menyusu Dini). Karena pengalaman merupakan suatu cara
untuk memperoleh kebenaran dari pengetahuan dengan cara mengulang kembali pengetahuan
yang diperoleh dalam memecahkan masalah yang dihadapi di masa lalu (Notoatmodjo,
2003). Promosi susu formula sudah dilarang masuk Rumah Sakit, jadi tidak mempengaruhi
bidan atau petugas dalam melaksanakan program IMD (Inisiasi Menyusu Dini). Pelarangan
Vol 6. No. 1, Maret 2014 MEDICA MAJAPAHIT
masuknya promosi susu formula ini sudah sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan
No.237/Menkes/SK/IV/1997 tentang pemasaran pengganti ASI. Pada aspek pengetahuan bidan
sudah cukup baik, karena rata-rata sudah berpendidikan tinggi. Semakin tinggi pendidikan bidan
maka semakin baik pula tingkat pengetahuannya tentang pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu
Dini). Pengetahuan bidan ini ditunjang dengan kualifikasi pendidikan yang sudah cukup, yaitu
dengan rata-rata pendidikan minimal D3 Kebidanan dan D4 Kebidanan. Tetapi waktu
pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini) banyak ditemukan beberapa kendala dalam kualitas
tenaga SDM (Sumber Daya Manusia) yaitu kemampuan dan ketrampilan bidan belum cukup baik
dan terkesan tergesa-gesa. Sumber daya manusia bertugas merespon tuntutan publik dalam
rangka meningkatkan pemberdayaan para pelaksana program sehingga tercipta sumber daya
manusia yang memiliki kemampuan dan ketrampilan dalam memberikan pelayanan. Sebetulnya
setiap bulan diadakan pertemuan yang namanya siang klinik yang bertujuan untuk meningkatkan
kemampuan dan ketrampilan para tenaga medis maupun paramedis. Kepatuhan bidan dalam
melaksanakan SOP(Standard Operational Procedure) belum cukup baik dan sering pada waktu
pelaksanaannya tidak sesuai dengan tahapan yang ada di dalam SOP (Standard Operational
Procedure). Menurut teori Obedience yang dikembangkan oleh Milgram, menyatakan bahwa
kunci untuk patuh tidak bergantung pada perilaku atau gaya otoritas. Tetapi seseorang mau
patuh terhadap perintah otoritas dikarenakan adanya legitimasi otoritas tersebut.
Ketidakpatuhan bidan dalam melaksanakan SOP(Standard Operational Procedur)
membuat komitmen menjadi rendah. Menurut Richard M. Steers (dalam Sri Kuntjoro, 2002)
rendahnya komitmen mencerminkan kurangnya tanggung jawab seseorang dalam menjalankan
tugasnya.
Pada aspek pengalaman kerja, sebagian bidan lama kerja kurang dari 10 tahun.
Pengalaman kerja merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi komitmen seseorang.
Menurut Minner (dalam Sopiah, 2008) bahwa pengalaman kerja seseorang sangat berpengaruh
terhadap tingkat komitmen pegawai atau karyawan. Pegawai atau karyawan yang baru beberapa
tahun bekerja dan pegawai atau karyawan yang sudah lama bekerja dalam organisasi akan
memiliki tingkat komitmen yang berlainan.
Sarana atau fasilitas yang ada di Rumah Sakit belum tersedia, seperti: topi bayi dan
selimut. Fasilitas hendaknya tersedia dalam jumlah serta jenis yang memadai dan selalu dalam
keadaan siap pakai. Pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini) harus ditunjang fasilitas yang
lengkap dan sebelumnya sudah harus disiapkan sehingga dapat meningkatkan kualitas mutu
pelayanan.
Pada pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini) dukungan dari seorang pimpinan sangat
mempengaruhi pelaksanaan program agar dapat mencapai tujuan secara efektif dan efisien.
Wujud dari pimpinan ini adalah menempatkan kebijakan menjadi prioritas program, disamping
itu juga tersedia dana yang cukup untuk kegiatan pelaksanaan program agar mendukung dan
bekerja secara total dalam melaksanakan program atau kebijakan.
Teori yang digunakan dalam pemecahan masalah ini adalah menggunakan konsep teori
perilaku yang dikembangkan oleh Green yang dikenal dengan teori model PRECEDE-
PROCEED. PRECEDE-PROCEED merupakan kepanjangan dari Predisposing, reinforcing,
Enabling Constructs in Educational/Environmental Diagnosis dan Evaluation - Policy,
Organization Construc In Education, Environment Development. Kerangka kerja PRECEDE-
PROCEED yaitu, memberikan struktur penerapan teori dan konsep secara sistematis dalam
perencanaan dan evaluasi program untuk perubahan perilaku kesehatan. Pada prinsipnya
PRECEDE-PROCEED adalah fundamental partisipasi, yang menyatakan bahwa keberhasilan
dalam mencapai perubahan ditingkatkan dengan partisipasi aktif dari audience dalam
mendefinisikan prioritas masalah yang tertinggi dan tujuan dalam mengembangkan dan
menerapkan solusi. Perencanaan pemecahan masalah yang digunakan untuk pelaksanaan IMD
(Inisiasi Menyusu Dini) di ruang bersalin RSUD Prof.Dr.Soekandar adalah dengan model
rencana PRECEDE-PROCEED yang terdiri dari berbagai tahap, yaitu:
Vol 6. No. 1, Maret 2014 MEDICA MAJAPAHIT
Tahap 1 : Social Diagnosis
Temuan masalah kesehatan yaitu hambatan pelaksanaan program IMD (Inisiasi
Menyusu Dini) pada ibu bersalin.
Hambatan dari faktor ibu adalah kelelahan, sedangkan dari faktor bidan adalah
keterbatasan tenaga bidan.
Perubahan perilaku kesehatan untuk mencapai masalah kesehatan adalah: perilaku
terhadap sistem pelayanan kesehatan (petugas kesehatan atau bidan, respon ibu
bersalin terhadap pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini).
Tahap 2 : Diagnosis Epidemiologi.
Data Inisiasi Menyusu Dini (IMD) pada tahun 2012 dari 926 ibu bersalin normal (714
bersalin normal dengan komplikasi dan 212 bersalin normal tanpa komplikasi) hanya
194 yang dilaksanakan Inisiasi Menyusu Dini (IMD).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini)
belum sesuai SOP(Standard Operational Procedure).
Tahap 3 : Diagnosis Perilaku dan Lingkungan (behavioral and environmental diagnosis).
Lingkungan internal: yaitu ibu bersalin.
Lingkungan eksternal: yaitu petugas kesehatan atau bidan sebagai pelaksana program
IMD (Inisiasi Menyusu Dini).
Tahap 4 : Diagnosis pendidikan dan organisasi.
Rencana program penanganan masalah kesehatan diklasifikasikan pada tiga bidang
yaitu: Predisposing factors, reinforcing factors, enabling factors.
Faktor predisposisi (predisposing factors) yaitu petugas kesehatan atau bidan
(pengetahuan, kepatuhan, komitmen, pengalaman, lama kerja) tentang pelaksanaan
IMD (Inisiasi Menyusu Dini).
Faktor pendorong (reinforcing factors) yaitu dukungan suami atau keluarga dan
lingkungan kerja bidan.
Faktor pendukung (enabling factors) yaitu fasilitas dan anggaran keuangan RSUD,
dalam hal ini penyediaan fasilitas untuk pelaksanaan IMD (selimut dan topi bayi).
Serta kebijakan yang ada di RSUD tentang pelaksanaan IMD.
Tahap 5 : Diagnosis Administrasi dan Kebijakan.
Pihak RSUD dalam menangani masalah ini telah mengeluarkan peraturan tentang
sanksi atau teguran apabila bidan tidak melaksanakan program IMD sesuai dengan
SOP. Dengan adanya peraturan ini bisa meningkatkan tingkat kepatuhan bidan dalam
melaksanakan IMD, sehingga program bisa tercapai dengan maksimal. Kegiatan yang
terprogram bisa berupa pelatihan bagi tenaga bidan tentang pelaksanaan IMD, yang
rutin dilaksanakan setiap tahun. Kegiatan juga berupa siang klinik yang di adakan
setiap bulan sekali oleh pihak rumah sakit sebagai forum pertemuan tenaga medis dan
paramedis. Organisasi yang ditunjuk secara fungsional adalah bidang pelayanan
medik untuk menangani dan memantau program IMD ini.
Tahap 6 : Implementasi.
Tahap ini merupakan awal dari kegiatan model PROCEED.
Pelaksanaan program IMD (Inisiasi Menyusu Dini) dalam hal ini adalah RSUD
Prof.Dr.Soekandar Mojosari Mojokerto telah memprogramkan penanganan masalah
pelaksanaan IMD dengan cara menerapkan SOP IMD yang ada dan persalinan dengan
pendampingan suami atau keluarga. Pelaksanaan IMD harus sesuai dengan SOP yang
ada di ruang bersalin. Kegiatan dilaksanakan berdasarkan temuan-temuan pada tahap
sebelumnya. Untuk meningkatkan pengetahuan ibu bersalin adalah dengan pemutaran
video tentang IMD di ruang tunggu poli hamil, pembagian brosur, leaflet tentang
IMD. Sedangkan untuk meningkatkan pengetahuan bidan adalah dengan pelatihan
tentang IMD serta penambahan tenaga bidan. Rumah sakit juga harus melengkapi
fasilitas atau saran prasarana yang diperlukan untuk pelaksanaan IMD, seperti
selimut dan topi bayi.
Vol 6. No. 1, Maret 2014 MEDICA MAJAPAHIT
Tahap 7 : Evaluasi proses.
Evaluasi dilakukan dengan menyediakan komponen evaluasi pada pelaksanaan
program, yang berupa pencatatan pelaporan kegiatan IMD pada buku laporan
persalinan dan buku laporan bayi yang di IMD. Evaluasi juga dilakukan pada ketiga
faktor (faktor predisposisi, pendukung dan pendorong) dengan kegiatan yang telah
dilakukan apakah ada perkembangan ke arah positif dari ketiga faktor tersebut.
Tahap 8 : Evaluasi dampak.
Evaluasi ini ditujukan untuk mengevaluasi efektifitas program tentang kemampuan
dan pengetahuan bidan dalam melaksanakan program IMD, apakah sudah ada
kepatuhan bidan terhadap SOP IMD.
Tahap 9 : Evaluasi outcome.
Dari kegiatan yang sudah dilaksanakan apakah bisa mengoptimalkan pelaksanaan
IMD. Untuk jangka panjang apakah program IMD bisa dilanjutkan lagi. Dukungan
anggaran keuangan rumah sakit apakah masih relevan bisa mengoptimalkan program
IMD.

F. PENUTUP
Pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini) yang ada di RSUD Prof.Dr.Soekandar
Mojosari Mojokerto yaitu dalam pelaksanaannya tidak sesuai dengan SOP (Standard Operational
Procedure) yang ada di rumah sakit.Hambatan yang terjadi pada waktu pelaksanaan IMD
(Inisiasi Menyusu Dini) yaitu, pada ibu bersalin antara lain: kecapekan, rasa lapar serta
ketidaktahuan ibu tentang IMD (Inisiasi Menyusu Dini). Hambatan juga terjadi pada petugas
kesehatan atau bidan yaitu, kurangnya tenaga bidan sehingga pelaksanaan IMD (Inisiasi
Menyusu Dini) tidak maksimal.Pengembangan model pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini)
pada ibu bersalin yaitu dari 6 langkah IMD yang ada di rumah sakit menjadi 11 langkah model
modifikasi IMD.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Bari Saifudin. (2008). Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal
(edisi revisi). JNPKKR-POGI. Jakarta.
Afifuddin. (2009). Metode Penelitian Kualitatif. CV.Pustaka Setia. Bandung.
Anonim. (2007).infant child feeding-early initation. http//www.google.co.id/Oslo Norwegia
breastfeeding initation.php.htm (sitasi 2 Maret 2013).
Biro Humas Pemprov Jatim. (2012). imd di Jatim.http://www.google.com/imd jatim.htm (sitasi 3
Maret 2013).
Dinartiana A dan Sumini. (2011). Hubungan Pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini dengan Keberhasilan
ASI Eksklusif Pada Ibu Yang Mempunyai Bayi Usia 7-12 Bulan. Dinamika Kesehatan, Vol 1,
No 2, Agustus 2011. Hal 1-12.
Gulardi Wiknjosastro. (2008). Paket Pelatihan Pelayanan Obstetri dan Neonatal Emergensi
Komprehensif. JNPK-KR/POGI dan IDAI-USAID Indonesia. Jakarta.
JNPK-KR/POGI (2007). Buku Acuan Pelatihan Asuhan Persalinan Normal (edisi revisi 3). JNPK-
KR/POGI dan JHPIEGO Corporation. Jakarta.
Jones L. (2008). Principles to promote the initiation and establishment of lactation in the mother of a
preterm or sick infant [artikel online]. Mei 2008 [cited Maret 2012]. Available from:http:
www.breastfeeding.com.
Karen Glanz, BarbaraK.Rimer. (2008). Behavior and Health Education ,Jossey-
BassAWileyImprint989 Market Street, San Francisco, CA 94103-1741-
www.josseybass.com.
Latipun. (2005). Psikologi Konseling. UMM Press. Malang.
Milgram, Stanley. (1974). Obedience to Authority an experimental view.First Published in the U.S.A
in 1974 by Harper & Row, Publishers, Inc.
Moleong L.(2004). Metodologi Penelitian Kualitatif. (Edisi Revisi), Remaja Rosdakarya. Bandung.
Nawawi Martini. (2005). Penelitian Terapan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Vol 6. No. 1, Maret 2014 MEDICA MAJAPAHIT
Notoatmodjo, Soekidjo.(2003). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. PT.Rineka Cipta. Jakarta.
Notoatmodjo, Soekidjo.(2010). Ilmu Perilaku Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta.
Paramita R. (2008). Manfaat inisiasi menyusu dini [online]. 2008 [cited Maret 2008]. Availablefrom:
http://www.asipasti.co.cc/2008/02/manfaat-inisiasi- menyusui-dini-imd.html.
Robbins SP, dan Judge. (2007). Perilaku Organisasi, Salemba Empat. Jakarta.
Roesli Utami. (2012). Panduan Inisiasi Menyusu Dini Plus ASI Eksklusif (cetakan ke V), Pustaka
Bunda. Jakarta.
Sopiah. (2008). Perilaku Organisasi, Andi Offset.Yogyakarta.
Sugiyono, (2012). Memahami Penelitian Kualitatif, CV.Alfabeta. Bandung.
Unicef India. (2007). World Breastfeeding Week. Available from:http://www.google.co.id/world
breastfeeding week-early initation.htm (sitasi 2 Maret 2013).
Vol 6. No. 1, Maret 2014 MEDICA MAJAPAHIT

HUBUNGAN STIMULASI PENDIDIKAN TK DENGAN INDEKS PRESTASI


DI SD JURANG SAPI 3 KECAMATAN TAPEN
KABUPATEN BONDOWOSO

Arief Fardiansyah1, Ifa Rohmatul Ayuningsih2*)

Abstrak
Ada perbedaan anak yang sudah masuk TK. Anak yang sudah masuk TK mempunyai
kemampuan membaca dan berhitung yang baik dan mempunyai kemampuan motorik dan ketangkasan
yang lebih baik dibandingkan anak lain yang tidak masuk TK. Namun, sampai saat ini akses anak usia
dini terhadap layanan pendidikan dan perawatan melalui TK masih sangat terbatas dan tidak merata.
Tujuan penelitian ini untuk hubungan Stimulasi Keikusertaan Pendidikan TK Dengan Indeks Prestasi
di SDN 3 Jurang Sapi Kecamatan Tapen Kabupaten Bondowoso.Desain penelitian ini adalah analitik
dengan pendekatan korelasional. Stimulasi keikutsertaan pendidikan TK sebagai variabel independen
dan indeks prestasi sebagai variabel dependen. Populasi penelitian yaitu Semua siswa Kelas SDN 3
Jurang Sapi Kecamatan Tapen Kabupaten Bondowoso sejumlah 30 orang. Sampel diambil dengan
teknik total sampling. Data dikumpulkan dengan instrumen wawancara pada orang tua dan diuji
dengan uji spearman rho. Kemudianhasil disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi. Hasil uji
spearman rho diperoleh data = 0,00, = 0,05 maka < sehingga ada hubungan antara stimulasi
keikutsertaan pendidikan TK dengan indeks prestasi siswa di SDN 3 Jurang Sapi Kecamatan Tapen
Kabupaten Bondowoso. Berdasarkan hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa siswa yang sudah
pernah mengikuti pendidikan di Taman Kanak Kanak akan memperoleh berbagai pengalaman dan
bekal dalam menghadapi pembelajaran disekolah dasar sehingga mereka dapat menerapkan hal
tersebut dalam mengikuti pembelajaran di sekolah dasar.Hendaknya bagi para guru atau tenaga
pengajar agar lebih meningkatkan kompetensi yang dimiliki dalam memberikan stimulasi dalam
merangsang motivasi belajar anak sehingga anak akan mempunyai motivasi yang lebih baik dalam
belajar dan dapat meningkatkan prestasi belajar mereka.
Kata Kunci : Pendidikan TK, Indeks Prestasi

A. PENDAHULUAN
Pendidikan prasekolah diselenggarakan untuk membantu meletakkan dasar
sikap,pengetahuan, keterampilan dan daya cipta di luar lingkungan keluarga bagi anak usia
sebelum memasuki pendidikan dasar. Usia tersebut merupakan masa yang sangat menentukan
bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Dalam masa ini, anak berada pada usia peka untuk
menerima rangsangan yang cukup baik, terarah dan didorong ke tingkat pertumbuhan dan
perkembangannya sehingga diharapakan kemampuan dasar anak didik dapat berkembang dan
tumbuh secara baik dan benar. Selain itu, anak yang memperoleh pendidikan di lingkungan
prasekolah dapat mempersiapkan diri memasuki pendidikan dasar sehingga menentukan masa
depan anak lebih baik. Salah satu pendidikan bagi anak prasekolah adalah TK (Taman Kanak-
Kanak). Tujuan program ini mengembangkan seluruh aspek fisik, mental, emosi, sosial dan
bahasa anak. Anak yang mengikuti pendidikan prasekolah akan dapat belajar dengan cepat untuk
mengembangkan kemampuan, terutama dalam beradaptasi dengan lingkungan dan juga mencapai
indeks prestasi belajar yang baik (Rahman, 2009).
Anak sekolah dasar di Indonesia pada tahun 2010 lebih dari 100 juta jiwa,sedangkan
hasil penelitian menunjukkan bahwa 30-50% anak mempunyai indeks prestasi belajar yang
kurang karena bimbingan dari orang tua (Darmaji, 2010). Dari sekitar 28,2 juta anak usia 4-6
tahun baru 7,2 juta (25,3%) yang memperoleh layanan TK. Sementara itu menurut data Balitbang
Depdiknas, anak usia 5-6 tahun yang jumlahnya sekitar 8,14 juta anak, baru sekitar 2,63 juta
anak (atau sekitar 32,36%) yang memperoleh layanan pendidikan di TK (Hutabarat, 2009). Hasil
survey di Indonesia tahun 2009 oleh Wiliem dari 12.356 anak sekolah dasar di dapatkan 63,5%
anak sekolah mempunyai presentasi belajar yang kurang (Wanda,2009). Berdasarkan studi
pendahuluan pada tanggal 24 April 2013 pada siswa kelas 1 di SD Jurang Sapi 3 Kecamatan
*) 1 Penulis adalah Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Majapahit Mojokerto
2 Penulis adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Majapahit Mojokerto
Vol 6. No. 1, Maret 2014 MEDICA MAJAPAHIT
Tapen Kabupaten Bondowoso dengan observasi nilai ujian tengah semester di dapatkan 8 murid
(26,7%) yang pernah mengikuti pendidikan TK memiliki indeks prestasi nilai yang baik, 12
murid (40%) yang pernah mengikuti pendidikan TK juga memiliki indeks prestasi nilai yang
cukup dan 10 murid (33,3%) yang tidak pernah mengikuti pendidikan TK memiliki indeks
prestasi ujian tengah semester dengan nilai yang kurang baik.
Menurut Dui (2008) menyatakan ada perbedaan anak yang sudah masuk TK. Anak yang
sudah masuk TK mempunyai kemampuan membaca dan berhitung yang baik dan mempunyai
kemampuan motorik dan ketangkasan yang lebih baik dibandingkan anak lain yang tidak masuk
TK. Namun, sampai saat ini akses anak usia dini terhadap layanan pendidikan dan perawatan
melalui TK masih sangat terbatas dan tidak merata. Salah satunya disebabkan oleh status
ekonomi menengah ke bawah, anak-anak dari keluarga miskin dan anak-anak pedesaan belum
memperoleh kesempatan pendidikan secara proposional. Kendala berikutnya adalah kurangnya
pengetahuan orang tua. Sebagian besar orang tua tidak memahami akan potensi luar biasa yang
dimiliki anak-anak usia 4-6 tahun. Keterbatasan pengetahuan dan informasi yang di miliki orang
tua menyebabkan potensi yang dimiliki anak tidak berkembang (Berlian,2009).

B. METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian analitik, yaitu
suatu studi untuk menemukan fakta dengan interpretasi yang tepat dan hasil penelitian diolah
dengan menggunakan uji statistik. Sedangkan rancangan penelitian yang digunakan adalah Case
Control yaitu rancang bangun dengan melihat kebelakang dari suatu kejadian yang berhubungan
dengan kejadian kesakitan yang diteliti Dengan rancangan membandingkan 2 kelompok kasus
dengan kelompok control untuk mengetahui proporsi kejadian berdasarkan riwayat ada tidaknya
paparan (Hidayat,2008).

Pengaruh Stimulasi Indeks Prestasi

Confounding Faktor : Psikologis, Mereproduksi, Jasmani, Rohani, Prinsip gestalt,


Pengesahan yang kuat, Teknik belajar kelompok, Perbedaan perorangan,
Motivaasi, Faktor fisiologi, Faktor eksogen

Gambar 1. Frame WorkHubungan Stimulasi Pendidikan TK Dengan Indeks Prestasi di SD


Jurang Sapi 3 Kecamatan Tapen Kabupaten Bondowoso

Hipotesis dalam penelitian ini adalah :


H1 : Ada pengaruh stimulasi terhadap indeks prestasi di SD Jurang Sapi 3 Kecamatan Tapen
Kabupaten Bondowoso.

Tabel 1. Definisi Operasional Efektifitas Pendidikan Kesehatan terhadap PHBS di MTS


Miftahul Ulum Kecamatan Kemlagi Kabupaten Mojokerto
Variabel Definisi Operasional Kriteria Skala
Variabel
Independen
Stimulasi Pemberian rangsangan dalam suatu Baik : 76-100% Ordinal
Pendidikan aktivitas yang membedakan tingkat Cukup : 56-75%
TK pendidikan yang tidak sekolah TK Kurang : < 56%
dengan anak yang sekolah TK
Vol 6. No. 1, Maret 2014 MEDICA MAJAPAHIT

Variabel Definisi Operasional Kriteria Skala


Variabel
Dependen
Indeks Hasil baik yang dicapai seseorang a. Istimewa (100%) apabila Ordinal
Prestasi setelah melakukan kegiatan Nilai bahan pelajaran dapat
harian siswa (Cheklist) dikuasai siswa.
b. Baik optimal 76-99%
apabila sebagian besar (76-
99%)bahan pelajaran yang
diajarkan dapat dikuasai.
c. Baik minimal bahan
pelajaran yang dikuasai
hanya 60-75% yang
dikuasai siswa.
d. Kurang apabila pelajaran
diajarkan kurang dari 60%
dikuasai oleh siswa
(Dzamara, 2010)

Pada peneltian ini populasinya semua anak kelas 1 di SD Jurang Sapi Kecamatan Tapen
Kabupaten Bondowoso sejumlah 30 orang.Sampel penelitian adalah seluruh murid kelas 1 di SD
Jurang Sapi 3 Kecamatan Tapen Kabupaten Bondowoso sejumlah 30 orang dengan kriteria
jumlah anak yang tidak masuk TK sebelum masuk SD sebanyak 10 orang dan anak yang masuk
TK terlebih dahulu sebanyak 20 anak.Pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah Total
Sampling yaitu pengambilan sampel secara kebetulan yang ditemui oleh peneliti pada saat
penelitian (Hidayat,2008). Penelitian ini dilakukan di SD Jurang Sapi 3 Kecamatan Tapen
Kabupaten Bondowoso pada bulan Juni 2013. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini
adalah kuesioener. Data diperoleh kemudian ditabulasi dan dilakukan uji statistik yaitu Uji
Korelasi Spearman Rank dengan tingkat signifikan 0,05 untuk mengetahui ada tidaknya
pengaruh variabel independent terhadap variabel dependen. Jika p< 0,05 maka Ho (hipotesa nol)
ditolak, artinya ada pengaruh stimulasi terhadap indeks prestasi di SD Jurang Sapi 3 Kecamatan
Tapen Kabupaten Bondowoso.

C. HASIL PENELITIAN
1. Data Umum
a. Jenis Kelamin
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin di SDN 3
Jurang Sapi Kecamatan Tapen Kabupaten Bondowoso Pada Tanggal
16 Juli 22 Juli 2013
No. Jenis Kelamin Frekuensi Persentase
1 Laki-Laki 12 60
2 Perempuan 8 40
Jumlah 20 100

Berdasarkan tabel 2 dapat diketahui bahwa setengahnya responden berjenis


kelamin laki laki sebanyak 12 responden (60%).
Vol 6. No. 1, Maret 2014 MEDICA MAJAPAHIT
b. Umur
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur di SDN 3 Jurang
Sapi Kecamatan Tapen Kabupaten Bondowoso Pada Tanggal 16 Juli
22 Juli 2013
No. Umur Frekuensi Persentase
1 6 Tahun 6 30
2 7 tahun 14 70
Jumlah 20 100

Berdasarkan tabel 3 dapat diketahui bahwa sebagian besar responden berusia 7


tahun sebanyak 14 responden (70%).

2. Data Khusus
a. Stimulasi Keikutsertaan Pendidikan TK
Tabel 4. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Stimulasi Keikutsertaan
Pendidikan TK di SDN 3 Jurang Sapi Kecamatan Tapen Kabupaten
Bondowoso Pada Tanggal 16 Juli 22 Juli 2013
No. Latar Belakang Pendidikan Frekuensi Persentase
1 Mengikuti Pendidikan TK 20 100
Jumlah 20 100

Berdasarkan tabel 4 dapat diketahui bahwa terdapat 20 responden (100%)


mengikuti pendidikan TK.

b. Indeks Prestasi
Tabel 5. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Indeks Prestasidi SDN 3
Jurang Sapi Kecamatan Tapen Kabupaten Bondowoso Pada Tanggal
16 Juli 22 Juli 2013
No. Indeks Prestasi Frekuensi Persentase
1 Baik Sekali (86-100) 0 0
2 Baik (71-85) 7 35
3 Cukup (56-70) 13 65
Jumlah 20 100

Berdasarkan tabel 5 dapat diketahui bahwa hampir setengahnya responden


memperoleh indeks prestasi dengan kriteria cukup sebanyak 13 responden (65%).

c. Indeks Prestasi
Tabel 6. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Indeks Prestasidi SDN 3
Jurang Sapi Kecamatan Tapen Kabupaten Bondowoso Pada Tanggal
16 Juli 22 Juli 2013
Keikutsertaan Indeks Prestasi Siswa
Pendidikan Sangat Baik Cukup Kurang Total
TK Baik
f % f % f % f % f %
Mengikuti TK 0 0 7 35 13 65 0 0 20 100
0 0 7 35 13 65 0 0 20 100

Berdasarkan tabel 6 dapat diketahui bahwa dari 20 responden yang mengikuti


pendidikan TK diperoleh data 7 responden indeks prestasinya baik, 13 responden
indeks prestasinya cukup.
Vol 6. No. 1, Maret 2014 MEDICA MAJAPAHIT
Hasil uji spearman rho diperoleh data = 0,00, = 0,05 maka < sehingga
ada hubungan antara stimulasi keikutsertaan pendidikan TK dengan indeks prestasi
siswa di SDN 3 Jurang Sapi Kecamatan Tapen Kabupaten Bondowoso.

D. PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN


1. Stimulasi Keikutsertaan Pendidikan TK
Berdasarkan tabel 4diperoleh data bahwa terdapat 20 responden (100%) yang
mengikuti pendidikan TK.Taman Kanak-Kanak adalah salah satu bentuk pendidikan
prasekolah yang menyediakan program pendidikan dini bagi anak usia empat tahun sampai
memasuki pendidikan dasar (Patmonodewo, 2003).Sedangkan fungsi Taman Kanak kanak
adalah Fungsi pendidikan taman kanak-kanak adalah membina, menumbuhkan,
mengembangkan seluruh potensi anak secara optimal sehingga terbentuk perilaku dan
kemampuan dasar sesuai dengan tahap perkembangannya agar memiliki kesiapan untuk
memasuki pendidikan selanjutnya (Mudjito, 2010). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
dengan anak yang pernah mengikuti pendidikan TK mereka akan banyak memperoleh
bimbingan dan pengarahan dari pengajarnya di TK sehingga anak anak akan mempunyai
persiapan dan bekal dalam menjalani pembelajaran di tingkat pendidikan sesudahnya,
sehingga mereka akan lebih siap dalamdaripada anak yang tidak mengikuti pembelajaran
pendidikan di Taman Kanak kanak.
Adanya perbedaan pada hasil penelitian tersebut bisa disebabkan faktor usia
Orangtua, Faktor latar pendidikan Orangtua.
Faktor Pertama adalah berdasarkan usia orang tua responden Menurut Marsidi
(2007) dalam Soedriman (2009), pada usia dewasa awalseseorang memasuki situasiantara
rasa kebersamaan sambil mengalahkan rasakehilangan identitas danmemasuki taraf
memelihara danmempertahankan apa yang telah ia miliki yang akan berpengaruh pada
pola pengasuhan kepada anak. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa usia orang tua
responden pada penelitian ini tergolong pada usia dewasa akhir dimana pada usia ini orang
tua sudah mempunyai pengalaman yang cukup tentang model pendidikan yang baik untuk
anak mereka sehingga banyak siswa yang mengikuti pendidikan di Taman Kanak-kanak
karena orang tua mengharapkan mereka dapat lebih siap dalam mengikuti pembelajaran di
sekolah dasar nantinya.
Faktor kedua berdasarkan latar belakang pendidikan orang tua Shalahuddin (1990)
dalam Soedirman (2009) menjelaskan bahwa, jenjang pendidikan juga mempengaruhi pola
pikir, sehingga dimungkinkan mempunyai pola pikir yang terbuka untuk menerima
informasi baru serta mampu untuk mempelajari hal-hal yang dapat meningkatkan
kemampuan sosialisasi anaknya. Sedangkan menurut Eka (2004) yang menyatakan bahwa,
tingkat pendidikan orang tua tidak mempengaruhi dalam keputusan orang tua untuk
menerapkan pola asuh. Walaupun pendidikan menengah kebawah tidak menghalangi
keputusan untuk menerapkan pola asuh yang cocok dan sesuai bagi anak-anaknya.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa meskipun sebagian besar dari orang tua responden
tidak mengenyam pendidikan yang tinggi atau mereka hanya sampai pada level pendidikan
dasar, akan tetapi karena keinginan dan motivasi yang kuat dari orang tua agar anak
memperoleh pendidikan yang baik sehingga banyak orang tua yang mengirim anaknya
untuk mengikuti pendidikan mulati dari taman kanak kanak,karena orang tua beranggapan
pada pendidikan di TK anak akan mulai proses belajar secara dini sehingga mereka akan
lebih siap dalam mengikuti pembelajaran pada tingkat pendidikan diatasnya.
2. Indeks Prestasi
Berdasarkan tabel 5 diketahui bahwa sebagian besar responden memperoleh indeks
prestasi dengan kriteria cukup sebanyak 14 responden (65%). Sedangkan sebagian kecil
mempunyai indeks prestasi yang baik sebanyak 7 responden (35%).
Belajar adalah suatu proses dan bukan suatu hasil, oleh karena itu belajar
berlangsung secara aktif dan integratif dengan menggunakan berbagai bentuk perbuatan
untuk mencapai tujuan. Demikian juga menurut Whittaker, bahwa belajar dapat
Vol 6. No. 1, Maret 2014 MEDICA MAJAPAHIT
didefinisikan sebagai proses dimana tingkah laku ditimbulkan atau diubah melalui
pengalaman(Wasty,2008).Prestasi belajar menurut kamus bahasa Indonesia adalah
penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan oleh mata pelajaran,
lazimnnya ditunjukkan dengan nilai tes atau angka nilai yang diberikan oleh guru
(Depkes,2006).Adanya perbedaan hasil indeks prestasi pada siswa disekolah disebabkan
oleh Motivasi, Usia responden dan Jenis kelamin.Faktor pertama adalah Motivasi. Dengan
adanya motivasi, siswa akan belajar lebih keras, ulet, tekun dan memiliki dan memiliki
konsentrasi penuh dalam proses belajar pembelajaran. Dorongan motivasi dalam belajar
merupakan salah satu hal yang perlu dibangkitkan dalam upaya pembelajaran di sekolah
(Hamdu, 2012).
Pendidikan dan pengajaran adalah suatu proses yang sadar tujuan. Tujuan dapat
diartikan sebagai suatu usaha untuk memberikan rumusan hasil yang diharapkan siswa
setelah melaksanakan pengalaman belajar. Tercapai tidaknya tujuan pengajaran salah
satunya adalah terlihat dari prestasi belajar yang diraih siswa. Dengan prestasi yang tinggi,
para siswa mempunyai indikasi berpengetahuan yang baik. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa sebagian besar siswa di SDN 3 Jurang Sapi Kecamatan Tapen Kabupaten
Bondowoso mempunyai prestasi belajar yang cukup baik,hal ini disebabkan mereka
mempunyai keinginan dan motivasi yang baik dalam meningkatkan prestasi mereka dalam
belajar. Keinginan tersebut timbul kemungkinan karena dorongan dari orang tua atau juga
karena kemauan untuk menjadi yang terbaik serta bimbingan dan arahan yang diberikan
oleh guru di kelas.
Faktor yang kedua adalah Usia responden. Berdasarkan tabel 3 diperoleh data
bahwa sebagian besar responden berusia 7 tahun sebanyak 20 responden (66,7%). Menurut
Hurlock dalam Soedirman (2009) menyatakan bahwa Semakin bertambahnya usia anak
maka akan berpengaruh juga pada perkembangan kognitif danperkembangan interpersonal
anak, anak tidak hanya berhubungan denganorang tua saja, namun menuju pada hubungan
sosial di luar rumah seperti saudara dan anak tetangga, anak mulaiterlibat dalam permainan
dengan teman sebaya sehingga anak mulai berbagi rasa dan perhatian dengan temannya.
Responden pada penelitian ini menunjukkan bahwa mereka sudah mampu untuk
bersosialisasi denga lingkungan sekitarnya terutama dengan guru dan teman sekolahnysa
sehingga dengan kemampuan sosialisasi yang baik ini responden dapat memperoleh banyak
pengetahuan tentang cara belajar atau materi pembelajaran yang disampaikan, dimana hal
ini akan dapat meningkatkan prestasi belajar siswa baik secara akademis maupun
nonakademis.
Faktor yang ketiga adalah Jenis kelamin Responden. Berdasarkan tabel 3 diperoleh
data bahwa sebagian besar responden berjenis kelamin laki laki sebanyak 12 responden
(65%). Menurut Hurlock (1997) yang dikutip oleh Soedirman (2009) menyatakan bahwa
jenis kelamin mempunyai pengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap
perkembangan dan pengaruh hormonal adalah faktor yang penting yang mempengaruhi
perbedaan perkembangan anak laki-laki dan perempuan. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa pada usia sekolah anak perempuan akan lebih mampu menyesuaikandiri
dibandingkandengan anak laki-laki. Anak perempuan mempunyai sikap sosial yang
lebihbaik, penuh kehangatan, dan mampumenyesuaikan tingkah laku, sikap, dan nilainya
sesuai dengan tuntutankelompok dengan kemampuan tersebut dapat meningkatkan
motivasi belajar anak karena mereka tidak ingin tersaingi dengan temannya.
3. Hubungan Stimulasi Keikutsertaan Pendidikan TK Dengan Indeks Prestasi
Berdasarkan tabel 6dari 20 responden yang mengikuti pendidikan TK diperoleh data
7 responden indeks prestasinya baik, 13 responden indeks prestasinya cukup.
Hasil uji spearman rho diperoleh data = 0,00, = 0,05 maka < sehingga ada
hubungan antara stimulasi keikutsertaan pendidikan TK dengan indeks prestasi siswa di
SDN 3 Jurang Sapi Kecamatan Tapen Kabupaten Bondowoso.
Belajar dikatakan sebagai proses perubahan dan belum mampu menjadi mampu, dan
terjadi dalam jangka waktu tertentu. Perubahan yang terjadi ini harus relative bersifat
Vol 6. No. 1, Maret 2014 MEDICA MAJAPAHIT
menetap dan tidak hanya terjadi pada perilaku yang saat ini Nampak, tetapi juga pada
perilaku yang mungkin terjadi di masa dating, perubahan-perubahan tersbut terjadi karena
adanya pengalaman (Irwanto,2008). Sedangkan prestasi belajar merupakan tingkat
kemanusiaan yang dimiliki siswa dalam menerima, menolak dan menilai informasi-
informasiyangdiperolehdalam prosesbelajarmengajar.Prestasibelajarseseorangsesuaidengan
tingkatkeberhasilan sesuatudalammempelajari materipelajaranyangdinyatakan dalambentuk
nilaiatauraportsetiapbidangstudisetelahmengalami prosesbelajarmengajar.Prestasibelajar
siswadapatdiketahuisetelahdiadakanevaluasi.Hasildari evaluasidapatmemperlihatkantentang
tinggiataurendahnyaprestasibelajarsiswa (Hamdu, 2012).
Berdasarkan hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa siswa yang sudah pernah
mengikuti pendidikan di Taman Kanak Kanak akan memperoleh berbagai pengalaman dan
bekal dalam menghadapi pembelajaran disekolah dasar sehingga mereka dapat menerapkan
hal tersebut dalam mengikuti pembelajaran di sekolah dasar. Berbeda dengan anak yang
tidak pernah mengikuti pendidikan di Taman Kanak kanak mereka tidak memperoleh
bekal yang cukup dalam mengikuti pembelajaran di Sekolah Dasar dimana bekal yang
diperoleh hanya dari pengajaran disampaikan oleh orang tua.

E. PENUTUP
Para guru atau tenaga pengajar agar lebih meningkatkan kompetensi yang dimiliki dalam
memberikan stimulasi dalam merangsang motivasi belajar anak sehingga anak akan mempunyai
motivasi yang lebih baik dalam belajar dan dapat meningkatkan prestasi belajar mereka, bagi
orang tua diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan wawasan tentang stimulasi dalam
merangsang pembelajaran anak sehingga mereka dapat merangsang motivasi dan kemauan
belajar anak yang semakin lebih baik dan aktif lagi sehingga anak akan lebih mampu untuk
meningkatkan motivasi mereka dalam belajar.

DAFTAR PUSTAKA.
Agustin, Lisa dan GhullamHamdu. (2012) Jurnal Penelitian. Jakarta(http://pdf-
penting.blogspot.com/2012/03/pengaruh-motivasi-belajarsiswa.html. diakses tanggal 6
Agustus 2012).
Dini.(2010). Tumbuh Kembang Anak Di Tingkat Pelayanan Kesehatan Dasar. Jakarta: Depkes RI.
DimyatidanMudjiono.(2006).BelajardanPembelajran.Jakarta:PTRajagrafindoPersada.
Djamarah,Syaiful Bahri. (2011). Psikologi Belajar.Jakarta: Rineka Cipta.
Hidayat, A. Aziz Alimul. (2008). Metode Penelitian Keperawatan Dan Teknik Analisis Data. Jakarta:
Salemba Medika.
Hurlock, E. (2005). Psikologi Perkembangan. Jakarta : Erlangga.
Mudjito. (2010). Pedoman Pengembangan Program Pembelajaran Di Taman Kanak-Kanak.Jakarta:
Kementrian Pendidikan Nasional.
Narendra, MB, dkk. (2002). Buku Ajar Tumbuh Kembang Anak dan Remaja. Jakarta: Sagung Seto
(http://seputarduniaanak.blogspot.com/2009/11/stimulasi-perkembangan-anak.html, diakses
tanggal 23 Mei 2012).
Nursalam. (2008). Konsep Dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan.Jakarta:
Salemba Medika.
Patmonodewo, Soemantri. (2003). Pendidikan Anak Prasekolah. Jakarta : Rineka Cipta.
Poerwanto,Ngalim.(2007).PsikologiPendidikan.Bandung:PTRosdaKarya.
SDN 3 Jurang Sapi. (2012). Pedoman Penilaian Raport. Bondowoso: Depdiknas.
Setiadi. (2007). Konsep Dan Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta : Graha Ilmu.
Soemanto, Wasty. (2010). Psikologi Pendidikan.Jakarta: Rineka Cipta.
Syah, Muhibbin. (2011). Psikologi Belajar. Jakarta : PT Rajawali Pers.
-------------. (2005). Pedoman Pelaksanaan Stimulasi,Deteksi Dini dan Intervensi.
Sadirman.(2004).InteraksidanMotivasiBelajar.Jakarta:PTRinekaCipta.
Vol 6. No. 1, Maret 2014 MEDICA MAJAPAHIT

EFEKTIFITAS PENDIDIKAN KESEHATAN TERHADAP PHBS


DI MTS MIFTAHUL ULUM KECAMATAN KEMLAGI
KABUPATEN MOJOKERTO

Dwi Helynarti Syurandari*)

Abstrak
Perilaku Hidup bersih dan Sehat merupakan sekumpulan perilaku yang dipraktikkan oleh
peserta didik, guru dan masyarakat lingkungan sekolah atas dasar kesadaran sebagai hasil
pembelajaran, Fenomena yang terjadi saat ini adalah banyak anak-anak khususnya tingkat sekolah
dasar tidak melakukan hidup bersih dan sehat seperti adanya anak yang tidak mencuci tangan
sebelum makan, memotong kuku, membuang sampah sebarangan dan bermain di tempat-tempat yang
tidak bersih tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan perilaku hidup bersih dan sehat
sebelum dan sesudah diberi pendidikan kesehatan. Jenis penelitian yang digunakan adalah pra
eksperimen dengan rancang bangun pra-pasca test dalam satu kelompok dengan populasi semua anak
sekolah dasar kelas 5 di MTS Miftahul Ulum Kecamatan Kemlagi Kabupaten Mojokerto sebanyak 29
anak, dengan sampel sebanyak 29 anak. Melalui non probability sampling dengan teknik total
sampling dengan uji statistik Rank Spearman dengan tingkat signifikan 0,05. Berdasarkan hasil
penelitian diketahui bahwa perilaku hidup bersih dan sehat sebelum diberikan pendidikan kesehatan
sebagian besar dikategorikan anak sehat III, Perilaku Hidup Bersih dan Sehat sesudah diberi
pendidikan kesehatan sebagian besar responden dikategorikan anak sehat IV. Ada pengaruh
pendidikan kesehatan terhadap PHBS anak kelas 5 MTS Miftahul Ulum Kecamatan Kemlagi
Kabupaten Mojokerto. Hal ini berdasarkan hasil uji statistic Wilcoxon didapatkan hasil : 0,000 < :
0,05 (5%) dengan demikian H1 diterima dan Ho di tolak. Hasil penelitian ini dapat meningkatkan
pengetahuan bagai anak-anak mengenai perilaku hidup bersih dan sehat. Sehingga dapat
membiasakan diri untuk berperilaku hidup secara bersih dan sehat dilingkungan sekolah, rumah
maupun masyarakat. Sebagai bahan tambahan untuk memberikan penyuluhan tentang perilaku hidup
bersih dan sehat baik disekolah-sekolah maupun masyarakat.
Kata Kunci : Pendidikan Kesehatan, PHBS

A. PENDAHULUAN
Perilaku Hidup bersih dan Sehat (PHBS) di Sekolah adalah sekumpulan perilaku yang
dipraktikkan oleh peserta didik, guru dan masyarakat lingkungan sekolah atas dasar kesadaran
sebagai hasil pembelajaran, sehingga secara mandiri mampu mencegah penyakit, meningkatkan
kesehatannya, serta berperan aktif dalam mewujudkan lingkungan sehat (Depkes, 2008).
Fenomena yang terjadi saat ini adalah banyak anak khususnya tingkat sekolah dasar tidak
melakukan hidup bersih dan sehat seperti adanya anak yang tidak mencuci tangan sebelum
makan, memotong kuku, membuang sampah sebarangan dan bermain di tempat yang tidak
bersih. Hal ini menyebabkan munculnya berbagai penyakit diantaranya adalah diare, batuk, dan
penyakit kulit (Depkes, 2009). Pendidikan kesehatan perlu diberikan pada peserta didik untuk
meningkatkan pengetahuannya tentang hidup bersih dan sehat karena melalui pendidikan
kesehatan anak didik akan lebih tahu bagaimana pentingnya kesehatan sehingga mereka akan
termotivasi untuk menerapkan hidup bersih dan sehat (Depkes, 2008).
Salah satu dampak perilaku hidup bersih dan sehat secara umum adalah diare.
Berdasarkan data Badan Kesehatan Dunia atau World Health Organization setiap tahun 40%
anak di dunia meninggal akibat diare, sementara data Departemen Kesehatan menunjukkan
diantara 1000 penduduk terdapat 300 orang (30%) yang terjangkit penyakit diare sepanjang
tahun (Dinkes Jatim, 2010). Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2011, menunjukkan
perilaku hidup bersih dan sehat di Indonesia masih rendah, yaitu 38,7%, dibandingkan dengan
target Nasional sampai tahun 2013 sebesar 65,0%. Hasil Riskesdas juga menghasilkan peta
masalah kesehatan yang terkait dengan perilaku hidup bersih dan sehat, yaitu 50 balita yang
ditimbang lebih kurang empat kali selama enam bulan terakhir adalah sebanyak 23 anak (45,4%),
kurang makan buah dan sayur pada penduduk umur kurang dari 10 tahun adalah 93,6%,
*) Penulis adalah Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Majapahit Mojokerto
Vol 6. No. 1, Maret 2014 MEDICA MAJAPAHIT
pemakaian air bersih dalam rumah tangga per orang setiap hari <20 liter adalah 14,4%, yang
menggunakan jamban sendiri adalah 60%, rumah tangga yang tidak ada penampungan sampah
dalam rumah adalah 72,9% (Riskesdas, 2012). Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan di
MTS Miftahul Ulum Kecamatan Kemlagi Kabupaten Mojokerto kelas 5 pada tanggal 03 Agustus
2012, dengan menggunakan kuesioner pada 10 anak didapatkan hasil bahwa sebagian besar yaitu
sebanyak 6 anak (60%) anak sehat 1, dan 3 anak (30%) pada kategori anak sehat 3, serta 1 anak
(10%) termasuk sehat 4 dilakukan menggunakan kuesioner perilaku hidup bersih dan sehat.
Munculnya berbagai penyakit yang sering menyerang anak usia sekolah (usia 6-12
tahun) di atas, ternyata umumnya berkaitan dengan PHBS. Oleh karena itu, penanaman nilai-nilai
PHBS disekolah merupakan kebutuhan mutlak dan dapat dilakukan melalui pendekatan Usaha
Kesehatan Sekolah (UKS). PHBS disekolah adalah upaya untuk memberdayakan siswa, guru,
dan masyarakat lingkungan sekolah agar tahu, mau dan mampu mempraktikan PHBS, dan
berperan aktif dalam mewujudkan sekolah sehat. Bentuk PHBS yang seringkali terlupakan oleh
anak adalah berkaitan dengan kebersihan tangan, buang sampah sebarangan. Banyak orang tidak
pernah membayangkan bahwa masalah kebersihan diri anak dapat menyebabkan munculnya
penyakit kulit, penyakit yang berhubungan dengan pencernaan disebabkan makan makanan yang
mengandung zat berbahaya (Heryaman, 2009).Untuk mengatasi masalah ketidaktahuan anak
akan perilaku hidup bersih dan sehat dapat dilakukan melalui pendidikan kesehatan tentang
perilaku hidup bersih dan sehat. Dengan pendidikan kesehatan diharapkan anak didik tidak
mengalami masalah-masalah kesehatan yang dapat dicegah sedini mungkin dengan membiasakan
berperilaku hidup bersih dan sehat. Upaya tersebut antara lain melakukan pemberian informasi
tentang pentingnya perilaku hidup bersih dan sehat sesuai dengan 8 indikator PHBS meliputi;
Mencuci tangan dengan air yang mengalir dan menggunakan sabun, Mengkonsumsi jajanan sehat
di kantin sekolah, Menggunakan jamban yang bersih dan sehat, Olahraga yang teratur dan
terukur, Memberantas jentik nyamuk, Tidak merokok di sekolah, Menimbang berat badan dan
mengukur tinggi badan setiap 6 bulan, Membuang sampah pada tempatnya.
Upaya pencegahan berupa pemberian penyuluhan oleh Tenaga kesehatan tentang PHBS
dapat dimulai dari lingkungan keluarga, untuk mengatasi ketidak tahuan peserta didik tentang
perilaku hidup bersih dan sehat dapat dilakukan dengan memberikan informasi tentang kesehatan
baik melalui kurikulum ataupun penyuluhan oleh tenaga kesehatan Hal ini dilakukan agar peserta
didik dapat menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat di sekolah. Misalnya dengan
membiasakan cuci tangan sebelum dan sesudah makan, bermain ditempat yang bersih dan
memiih jajanan disekolah yang sehat. Dengan memasukkan pendidikan kesehatan dalam
kurikulum sekolah maka dapat meningkatkan pengetahuan siswa tentang berperilaku hidup
bersih dan sehat dengan benar. (Yulianto Wisnu A. 2004). Dari uraian diatas maka peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian tentang perilaku hidup bersih dan sehat dengan judul
Efektifitas Pendidikan Kesehatan terhadap PHBS di MTS Miftahul Ulum Kecamatan Kemlagi
Kabupaten Mojokerto.

B. METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan adalah para eksperimen dengan rancang bangun pra-
pasca test dalam satu kelompok (The One Group Pra-test-Posttest Design). Ciri dari tipe ini
adalah mengungkapkan hubungan sebab akibat dengan cara melibatkan satu kelompok subjek.
Kelompok subjek diobservasi sebelum dilakukan intervensi, kemudian diobservasi lagi setelah
diintervensi (Nursalam, 2011).
Vol 6. No. 1, Maret 2014 MEDICA MAJAPAHIT
Anak sehat I :
bila < 25 %

Pendidikan a. Predisposing factors Perilaku Hidup Anak sehat II :


Kesehatan - Pengetahuan, Bersih dan Sehat bila 25%-49%
- Sikap, (PHBS) Anak
- Kepercayaan, Sekolah Anak sehat III:
- Tradisi, bila 50%-74%
- Nilai dan sebagainya.
b. Enabling factors
- Ketersediaan Anak sehat IV :
sumber- bila 75 %
sumber/fasilitas
c. Rainforcing factors
- Sikap dan perilaku
petugas

Gambar 1. Frame Work Efektifitas Pendidikan Kesehatan terhadap PHBS di MTS


Miftahul Ulum Kecamatan Kemlagi Kabupaten Mojokerto

Hipotesis adalah jawaban sementara atau dugaan sementara, sebagai kesimpulan dari tinjauan
teori untuk menjawab pertanyaan yang ditulis dalam rumusan masalah. Hipotesis dalam
penelitian ini adalah :
H1 : Ada Pengaruh Pendidikan Kesehatan terhadap PHBS di MTS Miftahul Ulum Kecamatan
Kemlagi Kabupaten Mojokerto.

Tabel 1. Definisi Operasional Efektifitas Pendidikan Kesehatan terhadap PHBS di MTS


Miftahul Ulum Kecamatan Kemlagi Kabupaten Mojokerto
Variabel Definisi Operasional Kriteria Skala
Variabel Proses meningkatkan pengetahuan dalam - -
independen: memelihara dan meningkatkan kesehatan pada
Pendidikan anak sekolah dasar dengan cara memberikan
Kesehatan pendidikan kesehatan pada anak sekolah dasar
kelas 5 diberikan 3 kali dalam 1 minggu
selama 2 minggu. Setiap pertemuan durasi
waktu 1 jam
Variabel Berubahnya Perilaku/ tindakan anak sekolah Benar : 1 Ordinal
dependen: dasar terhadap hidup bersih dan sehat meliputi : Salah : 0
perubahan a. Mencuci tangan dengan air yang mengalir Penilaian Perilaku :
perilaku dan menggunakan sabun 1. Anak Sehat I :
hidup bersih b. Mengkonsumsi jajanan sehat di kantin bila < 25 %
dan sehat sekolah 2. Anak Sehat II :
pada anak c. Menggunakan jamban yang bersih dan sehat bila 25 % - 49 %
sekolah d. Olahraga yang teratur dan terukur 3. Anak Sehat III :
dasar e. Memberantas jentik nyamuk bila 50 % - 74 %
f. Tidak merokok di sekolah 4. Anak Sehat IV :
g. Menimbang berat badan dan mengukur bila 75 %
tinggi badan setiap 6 bulan
h. Membuang sampah pada tempatnya
Diukur dengan menggunakan kuesioner
Vol 6. No. 1, Maret 2014 MEDICA MAJAPAHIT
Penelitian dilaksanakan di MTS Miftahul Ulum Kecamatan Kemlagi Kabupaten
Mojokerto pada bulan Juli sampai bulan Nopember 2013. Populasi dalam penelitian ini adalah
seluruh siswa kelas 5 MTS Miftahul Ulum Kecamatan Kemlagi Kabupaten Mojokerto sebanyak
29 anak. Pengambilan sampling dalam penelitian ini adalah non probability sampling dengan
teknik total sampling, yaitu pengambilan sampel yang dilakukan dengan menggunakan semua
anggota populasi sebagai sampel (Sugiyono, 2007).
Teknik pengumpulan data adalah dengan menggunakan instrumen kuesioner.
Mengadakan pendekatan responden dengan menggunakan kuesioner, dengan tahapan awal
membagikan kuesioner pre tes tentang perilaku hidup bersih dan sehat pada saat pertemuan
pertama. Memberikan pendidikan tentang Prilaku Hidup Bersih Dan Sehat 3 kali dalam satu
minggu selama 2 minggu. Setiap pertemuan durasi waktu selama 1 jam dengan cara
menyampaikan materi tentang PHBS. Terakhir adalah membagikan Kuesioner post test tentang
perilaku hidup bersih dan sehat pada saat pertemuan keenam.
Pada tahapan analisis data dilakukan dengan menggunakan uji statistik Wilcoxon dengan
tingkat signifikan 0,05 menggunakan SPSS 16 Jika < 0,05 maka H o (hipotesa nol) ditolak,
artinya Ada Pengaruh Pendidikan Kesehatan terhadap PHBS di MTS Miftahul Ulum Kecamatan
Kemlagi Kabupaten Mojokerto.

C. HASIL PENELITIAN
1. Data Umum
a. Umur Orang Tua
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur Orang Tua Siswa
Kelas 5 MTS Miftahul Ulum Kecamatan Kemlagi Kabupaten Mojokerto,
No. Umur Orang Tua Frekuensi Persentase
1 < 20 tahun 7 24
2 20-35 tahun 12 41
3 > 35 tahun 10 35
Jumlah 29 100

Berdasarkan tabel 2 dapat diketahui bahwa umur orang tua responden paling
banyak berusia 20-35 tahun yaitu 12 orang (41%) dan paling sedikit berusia < 20 tahun
yaitu 7 orang (24%).

b. Pekerjaan Orang Tua


Tabel 3. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pekerjaan Orang Tua
Siswa Kelas 5 MTS Miftahul Ulum Kecamatan Kemlagi Kabupaten
Mojokerto.
No. Pekerjaan Orang Tua Frekuensi Persentase
1 Petani 11 38
2 PNS 7 24
3 Swasta 8 28
4 Wiraswasta 3 10
Jumlah 29 100

Berdasarkan tabel 3 dapat diketahui bahwa pekerjaan orang tua responden


paling banyak petaniyaitu 11 orang (38%) dan paling sedikit wiraswasta yaitu3 orang
(10%).
Vol 6. No. 1, Maret 2014 MEDICA MAJAPAHIT
c. Pendidikan Orang Tua
Tabel 4. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pendidikan Orang Tua
Siswa Kelas 5 MTS Miftahul Ulum Kecamatan Kemlagi Kabupaten
Mojokerto.
No. Pendidikan Orang Tua Frekuensi Persentase
1 SD 8 28
2 SMP 11 38
3 SMA 7 24
4 Perguruan Tinggi 3 10
Jumlah 29 100

Berdasarkan tabel 4 dapat diketahui bahwa pendidikan orang tua responden


paling banyak SMP yaitu 11 orang (38%) dan paling sedikit Perguruan Tinggi yaitu3
orang (10%).

2. Data Khusus
a. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) Responden Sebelum Diberi Pendidikan
Kesehatan
Tabel 5. Distribusi Frekuensi Responden Menurut Perilaku Hidup Bersih Dan
Sehat (PHBS)Sebelum Diberi Pendidikan Kesehatan Siswa Kelas 5
MTS Miftahul Ulum Kecamatan Kemlagi Kabupaten Mojokerto.
Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat
No. (PHBS)Sebelum Diberi Frekuensi Persentase
Pendidikan Kesehatan
1 Anak sehat I 0 0
2 Anak sehat II 7 24
3 Anak sehat III 15 52
4 Anak sehat IV 7 24
Jumlah 29 100

Berdasarkan tabel 5 dapat diketahui bahwa perilaku hidup bersih dan sehat
(PHBS)sebelum diberi pendidikan kesehatanresponden anak sehat III yaitu 15 orang
(52%) dan paling sedikit anak sehat II dan IV yaitu 7 orang (24%).

b. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) Responden Sesudah Diberi Pendidikan
Kesehatan
Tabel 6. Distribusi Frekuensi Responden Menurut Perilaku Hidup Bersih Dan
Sehat (PHBS)Sesudah Diberi Pendidikan Kesehatan Siswa Kelas 5
MTS Miftahul Ulum Kecamatan Kemlagi Kabupaten Mojokerto.
Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat
No. (PHBS) Sesudah Diberi Frekuensi Persentase
Pendidikan Kesehatan
1 Anak sehat I 0 0
2 Anak sehat II 0 0
3 Anak sehat III 12 41
4 Anak sehat IV 17 59
Jumlah 29 100

Berdasarkan tabel 6 dapat diketahui bahwa perilaku hidup bersih dan sehat
(PHBS)Sesudah diberi pendidikan kesehatanresponden anak sehat IV yaitu 17 orang
(59%) dan paling sedikit anak sehat III yaitu 12 orang (41%).
Vol 6. No. 1, Maret 2014 MEDICA MAJAPAHIT
c. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) Responden Sebelum dan Sesudah Diberi
Pendidikan Kesehatan
Tabel 7. Tabulasi Silang Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat (PHBS)Sebelum dan
Sesudah Diberi Pendidikan Kesehatan Siswa Kelas 5 MTS Miftahul
Ulum Kecamatan Kemlagi Kabupaten Mojokerto.
(PHBS) Sesudah Diberi Pendidikan
(PHBS)
Kesehatan
Sebelum Diberi Total
Anak Anak Anak Anak
Pendidikan Kesehatan
Sehat I Sehat II Sehat III Sehat IV
Anak Sehat I 0 0 0 0 0
Anak Sehat II 0 0 6 1 7
Anak Sehat III 0 0 6 9 15
Anak Sehat IV 0 0 0 7 7
Total 0 0 12 17 29
Hasil Uji Wilcoxon : 0.000 < : 0.05

Berdasarkan tabel 7 dapat diketahui bahwa terdapat perubahan perilaku hidup


bersih dan sehat sebelum dan sesudah diberi pendidikan kesehatan yaitu sebagian besar
responden sebelum diberi pendidikan kesehatan dikategorikan anak sehat III sebanyak
15 anak sedangkan setelah diberi pendidikan kesehatan didapatkan sebagian besar
responden dikategorikan anak sehat 4 sebanyak 17 anak.
Berdasarkan hasil uji statistik Wilcoxon didapatkan hasil : 0,000 < : 0,05
(5%) dengan demikian Ho di tolak artinya bahwa terdapat perubahan perilaku hidup
bersih dan sehat (PHBS)Siswa Kelas 5 MTS Miftahul Ulum Kecamatan Kemlagi
Kabupaten Mojokerto Sebelum dan Sesudah Diberi Pendidikan Kesehatan.

D. PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN


1. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) Sebelum Diberi Pendidikan Kesehatan
Berdasarkan tabel 5 dapat diketahui bahwa perilaku hidup bersih dan sehat
(PHBS)sebelum diberi pendidikan kesehatanresponden anak sehat III yaitu 15 orang (52%)
dan paling sedikit anak sehat II dan IV yaitu 7 orang (24%).
PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat) adalah upaya untuk memberikan
pengalaman belajar atau menciptakan suatu kondisi bagi perorangan, keluarga, kelompok
dan masyarakat dengan membuka jalur komunikasi, memberikan informasi dan melakukan
edukasi untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku melalui pendekatan pimpinan
(advocacy), bina suasana (socialsupport) dan pemberdayaan masyarakat (empowerment)
sebagai suatu upaya untuk membantu masyarakat mengenali dan mengetahui masalahnya
sendiri dalam tatanan rumah tangga agar dapat menerapkan cara-cara hidup sehat dalam
rangka menjaga dan meningkatkan kesehatannya (Dinkes Jatim, 2010). Perilaku timbul
karena dorongan dalam rangka pemenuhan kebutuhan. Perilaku juga bisa dari indvidu
tersebut dan dapat pula dipengaruhi dari luar misalnya pengaruh dari budaya, nilai-nilai,
ataupun keyakinan yang ada dalam masyarakat. (Suliha, 2001). Perilaku itu sendiri yang
dipengaruhi oleh karakteristik individu, Penilaian individu terhadap perubahan yang
ditawarkan, Interaksi dengan petugas yang merekomendasikan perubahan perilaku,
Pengalaman mencoba merubah perilaku yang serupa (Notoatmodjo, 2007).
Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa perilaku hidup bersih dan sehat pada anak
kelas 5 MTS Miftahul Ulum Kecamatan Kemlagi Kabupaten Mojokerto masih kurang. Hal
ini dikarenakan setelah peneliti membagikan kuesioner tentang PHBS hasilnya masih
banyak yang menjawab salah tentang perilaku hidup bersih dan sehat sehingga peneliti
mengkategorikan PHBSnya pada tingkat Anak sehat III Hal ini dipengaruhi oleh lingkungan
dan keluarga.
Vol 6. No. 1, Maret 2014 MEDICA MAJAPAHIT
Berdasarkan tabel 4.2 diketahui bahwa pekerjaan orang tua responden hampir
setengahnya bekerja sebagai petani sebanyak 11 orang (38%) dan sebagian kecil bekerja
sebagai PNS yaitu sebanyak 3 orang (10%).
Azwar (2011) menjelaskan pekerjaan adalah serangkaian tugas yang harus
dilakukan terutama untuk menunjang kehidupannya dan kehidupan keluarga. bekerja
umumnya merupakan kegiatan yang menyita waktu. Bekerja bagi orang tua akan
mempunyai pengaruh terhadap kehidupan keluarga. Dengan bekerja seorang pemimpin
rumah tangga akan dapat memenuhi kebutuhan keluarganya.
Perilaku hidup bersih dan sehat pada anak kelas 5 MTS Miftahul Ulum Kecamatan
Kemlagi Kabupaten Mojokerto yang kurang baik, tidak lepas dari tingkat ekonomi keluarga,
dan perhatian keluarga terhadap kesehatan anggota keluarganya. Diketahui bahwa hampir
setengahnya orang tua responden pekerjaannya sebagai petani, hal ini dapat mempengaruhi
pola hidup bersih dan sehat pada keluarganya. Dengan sibuk bekerja di sawah
dimungkinkan kurang ada waktu luang untuk memberikan perhatian terhadap kebersihan
rumah atauppun perilaku anaknya.
Berdasarkan tabel 4.3 diketahui bahwa hampir setengahnya orang tua responden
berpendidikan tingkat SMP sebanyak 11 orang (38%) dan hanya sebagian kecil yang
berpendidikan PT yaitu sebanyak 3 orang (10%)
Menurut Azwar (2011) mengatakan bahwa pendidikan seseorang akan berpengaruh
pada kehidupan sehari-hari. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka akan semakin
banyak pengetahuan yang dimiliki. Dalam hal ini pengetahuan tentang perilaku hidup bersih
dan sehat sehingga dapat memberkan arahan pada anak dan keluarganya untuk berperilaku
hidup bersih dan sehat.
Hampir setengahnya pendidikan orang tua responden hanya pada tingkat SMP,
dengan pendidikan setingkat SMP orang tua kurang dapat memberikan arahan pada anaknya
tentang perilaku hidup bersih dan sehat.
2. Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat (PHBS) Sesudah Diberi Pendidikan Kesehatan
Berdasarkan tabel 6 dapat diketahui bahwa perilaku hidup bersih dan sehat
(PHBS)Sesudah diberi pendidikan kesehatanresponden anak sehat IV yaitu 17 orang (59%)
dan paling sedikit anak sehat III yaitu 12 orang (41%)
PHBS (perilaku hidup bersih dan sehat) adalah tindakan yang dilakukan oleh
perorangan, kelompok atau masyarakat yang sesuai dengan norma-norma kesehatan,
menolong dirinya sendiri dan berperan aktif dalam pembangunan kesehatan untuk
memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya (Notoatmodjo, 2007). Faktor yang
Mempengaruhi Rendahnya PHBS; Pengetahuan tentang perilaku hidup bersih dan sehat
yang rendah, Status ekonomi rendah, Pendidikan yang rendah, Faktor kesibukan sehingga
kurang perhatian terhadap lingkungannya, Kondisi lingkungan yang tidak memenuhi
syarat kesehatan baik kualitas maupun kuantitasnya, Pola pelayanan kesehatan yang
masih menitik beratkan pada pelayanan kuratif(Notoatmodjo, 2007).
Setelah dilakukan pendidikan kesehatan terhadap siswa kelas 5 MTS Miftahul Ulum
Kecamatan Kemlagi Kabupaten Mojokerto terjadi perubahan yang cukup signifikan, hal ini
juga dibuktikan oleh hasil jawaban responden tentang pertanyaan yang sama dan hasilnya
menunjukkan bahwa jawaban responden tentang pertanyaan PHBS banyak yang benar
sehingga sudah pada tingkat sehat IV. dengan demikian pendiidkan kesehatan juga dapat
berperan terhadap perubahan perilaku siswa kelas 5 tentang PHBS.
3. Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat (PHBS) Sebelum Dan Sesudah Diberi Pendidikan
Kesehatan
Berdasarkan tabel 7 dapat diketahui bahwa terdapat perubahan perilaku hidup bersih
dan sehat sebelum dan sesudah diberi pendidikan kesehatan yaitu sebagian besar responden
sebelum diberi pendidikan kesehatan dikategorikan anak sehat III sebanyak 15 anak
sedangkan setelah diberi pendidikan kesehatan didapatkan sebagian besar responden
dikategorikan anak sehat 4 sebanyak 17 anak.
Vol 6. No. 1, Maret 2014 MEDICA MAJAPAHIT

Berdasarkan hasil uji statistik Wilcoxon didapatkan hasil : 0,000 < : 0,05 (5%)
dengan demikian Ho di tolak artinya bahwa terdapat perubahan perilaku hidup bersih dan
sehat (PHBS)Siswa Kelas 5 MTS Miftahul Ulum Kecamatan Kemlagi Kabupaten
Mojokerto sebelum dan sesudah diberi pendidikan kesehatan.
PHBS (perilaku hidup bersih dan sehat) adalah upaya untuk memberikan
pengalaman belajar atau menciptakan suatu kondisi bagi perorangan, keluarga, kelompok
dan masyarakat dengan membuka jalur komunikasi, memberikan informasi dan melakukan
edukasi untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku melalui pendekatan pimpinan
(advocacy), bina suasana (socialsupport) dan pemberdayaan masyarakat (empowerment)
sebagai suatu upaya untuk membantu masyarakat mengenali dan mengetahui masalahnya
sendiri dalam kehidupan sehari-hari agar dapat menerapkan cara-cara hidup sehat dalam
rangka menjaga dan meningkatkan kesehatannya (Dinkes Jatim, 2010).

F. PENUTUP
Dari hasil penelitian diatas dapat diketahui bahwa pendidikan kesehatan dapat
mempengaruhi perubahan perilaku hidup bersih dan sehat. Hal ini karena setelah diberi
pendidikan kesehatan pengetahuan responden tentang PHBS semakin meningkat, sehingga dalam
menerapkan PHBS dapat lebih baik dari sebelum diberikan pendidikan kesehatan.
Hasil penelitian ini dapat dijadikan tambahan referensi untuk melakukan penelitian
selanjutnya, tentang perubahan perilaku hidup bersih dan sehat pada anak sekolah dasar. Agar
dapat lebih baik dan luas dengan menambahkan faktor-faktor yang mempengaruhi PHBS.
Meningkatkan pengetahuan siswa mengenai perilaku hidup bersih dan sehat. Sehingga dapat
membiasakan diri untuk berperilaku hidup secara bersih dan sehat dilingkungan sekolah, rumah
maupun masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA.
Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Azwar, Saifuddin. (2011). Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta Pustaka Pelajar.
Depkes.(2008). PHBS di Sekolah. http://www.promkes.depkes.go.id/index.php/phbs-di-sekolah.
(sitasi 12 September 2013).
Depkes.(2009). Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Untuk Anak Sekolah. Jakarta: Depkes.
Dinkes Jatim. (2010). Prevalensi kejadian PHBS. http://www.dinkesjatim.go.id/index.php/prevalensi-
kejadian-phbs. (sitasi 12 September 2013).
Heryaman.(2009). Munculnya Berbagai Penyakit Pada Anak
Sekolah.http://www.kesehatan.anak.com/munculnya-berbagai-penyakit-pada-anak-sekolah.
(sitasi 12 September 2013).
Hidayat, Aziz Alimul. (2007).Riset Keperawatan Sebuah Karya Ilmiah.Salemba: Jakarta
Notoatmodjo. (2003). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
Notoatmodjo.(2005). Metode Penelitian Kesehatan, PT. Jakarta : Rineka Cipta.
__________ . (2007). Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Nursalam. (2011). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta:
Salemba Medika.
Riskesdas.(2012). Hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2011. Jakarta.
Yulianto, Wisnu A. (2004). Perilaku Hidup Bersih dan Sehat.
http://www.ilmu.kesehatan.com/perilaku-hidup-bersih-dan-sehat. (sitasi 12 September 2013).
Vol 6. No. 1, Maret 2014 MEDICA MAJAPAHIT

HUBUNGAN PENGETAHUANDANSIKAPIBUTENTANGSTATUS GIZIBALITA DI


DESA JABON KECAMATAN MOJOANYAR KABUPATENMOJOKERTO

Sri Sudarsih *)

Abstrak
Balitamerupakansalahsatukelompokumur di masyarakat yang
rawangizidanrawanpenyakit.Pemberianmakanbalitasangattergantungpadaibu.Ibudenganpengetahuangi
zi yang baik, kemungkinanakanmemberikangizi yang cukupbagianaknya.
Selainitusikapibumerupakanhal yang
sangatpentingdalampemberianmakanpadaanak.Makadariitupenelitianinibertujuanmengetahuihubunga
npengetahuandansikapibutentangstatus gizibalita di Desa Jabon Kecamatan Mojoanyar
KabupatenMojokerto.Jenispenelitiananalitikobservasionaldenganrancangbanguncross sectional.
Variabel independennyapengetahuandansikapibudan variabel dependennya status gizibalita.
Populasinyaseluruh ibu dan balita sebanyak 53 ibudanbalitadandiambil 41 orang
sebagaisampelmenggunakanpurposive sampling.Data
diambilmenggunakankuesionerdanlembarobservasi, timbangan sertaKK atau KMS
balita.SelanjutnyadianalisismenggunakanSpearmans rhotestdanChi square
test.Hasilpenelitianmenunjukkan sebagian besar memiliki pengetahuan yang
kurangtentanggizibalitayaitusebanyak 26 orang (63%), sebagian besar memiliki sikap negatif
tentanggizibalita yaitu sebanyak 23 orang (56%), dan sebagian besar status gizibalitanya kurang yaitu
sebanyak 26 orang (63%). HasilSpearmans rho
testmenunjukkanadahubunganpengetahuanibutentangstatus gizibalita di Desa Jabon Kecamatan
Mojoanyar KabupatenMojokerto.padanilai p (0,007) < (0,05) dan hasil Chi square test
menunjukkan ada hubungan pengetahuan dansikapibutentang status gizibalita di Desa Jabon
Kecamatan Mojoanyar KabupatenMojokerto.padanilaip(0,000) < (0,05).Pengetahuan dan sikap
merupakan faktor predisposisi yang mempengaruhi perilaku ibu dalam memberikan asupan gizi pada
balita yang pada akhirnya mempengaruhi status gizi balita.
Tenagakesehatankhususnyaperawatdapatmeningkatkan program
kerjadalampeningkatangizibalitadenganmemberikancontoh menu yang seimbangpadaibubalita,
mengadakanlombabalitasehat, mengadakanlombamemasakmakananbalita yang menarikdanbervariasi,
sertamemberikan tips caramengatasikesulitanmakanpadabalita.
Kata kunci: pengetahuan, sikap, status gizibalita

A. PENDAHULUAN
Balita merupakan salah satu kelompok umur di masyarakat yang rawan gizi dan rawan
penyakit. Kelompok ini merupakan kelompok umur yang paling banyak menderita akibat
kekurangan zat gizi dan jumlahnya dalam populasi besar (Notoatmodjo, 2007). Masa balita
merupakan periode perkembangan fisik dan mental yang pesat, sehingga balita memiliki
kebutuhan gizi yang berbeda dari orang dewasa (Proverawati, 2009). Penyediaan makanan bagi
keluarga pada umumnya merupakan tugas seorang ibu yang bukan seorang ahli gizi, sehingga ibu
harus sanggup menyediakan hidangan yang cukup (Sedioetama, 2006). Pengetahuan yang
dimiliki oleh seorang ibu akan mempengaruhi dalam pengambilan keputusan dan juga akan
berpengaruh pada perilakunya. Ibu dengan pengetahuan gizi yang baik, kemungkinan akan
memberikan gizi yang cukup bagi anaknya. Selain itu keadaan lingkungan dan sikap ibu
merupakan hal yang sangat penting dalam pemberian makan pada anak (Proverawati, 2009).
Permasalahan gizi pada anak usia balita adalah bahwa pada usia ini seorang anak masih
merupakan golongan konsumen pasif yaitu belum dapat mengambil dan memilih makanan
sendiri. Mereka juga masih sukar diberikan pengertian tentang pentingnya makanan, di samping
kemampuan menerima berbagai jenis makanan juga masih terbatas (Santoso, 2004).
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Indonesia tahun 2010 menunjukkan prevalensi
status gizi balita berdasarkan indeks BB/U, gizi buruk 4,9%, gizi kurang 13,0%, gizi baik 76,2%
dan gizi lebih 5,8%. Berdasarkan indeks TB/U, sangat pendek 18,5%, pendek 17,1%, dan normal

*) Penulis adalah Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Majapahit Mojokerto


Vol 6. No. 1, Maret 2014 MEDICA MAJAPAHIT
64,4%. Berdasarkan indeks BB/TB, sangat kurus 6,0%, kurus 7,3%, normal 72,8% dan gemuk
14,0%. Berdasarkan indeks TB/U dan BB/TB, pendek kurus 2,1%, pendek normal 25,3%,
pendek gemuk 7,6%, normal kurus 11,1%, normal normal 49,1%, dan normal gemuk 4,8%
(Depkes, 2011). Sedangkan berdasarkan sumber yang sama untuk wilayah Jawa Timur
menyumbang prevalensi status gizi balita berdasarkan indeks BB/U, gizi buruk 4,8%, gizi kurang
12,3%, gizi baik 75,3% dan gizi lebih 7,6%. Berdasarkan indeks TB/U, sangat pendek 20,9%,
pendek 14,9%, dan normal 64,1%. Berdasarkan indeks BB/TB, sangat kurus 7,3%, kurus 6,8%,
normal 68,8% dan gemuk 17,1%. Berdasarkan indeks TB/U dan BB/TB, pendek kurus 1,6%,
pendek normal 24,2%, pendek gemuk 9,7%, normal kurus 12,4%, normal normal 46,4%, dan
normal gemuk 5,7% (Depkes, 2011). Profil Kesehatan Kabupaten Mojokerto tahun 2010
menunjukkan jumlah balita secara keseluruhan adalah 84.214 balita, dengan jumlah balita bawah
garis merah (BGM) sebanyak 1.524 balita (1,8%) serta terdapat 152 balita gizi buruk (0,18%)
(Dinkes Kabupaten Mojokerto, 2011).
Studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 21-23 Mei 2013 di Desa Jabon
Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto menunjukkan jumlah balita sebanyak 53 balita,
ditimbang sebanyak 42 balita (79,2%) dengan BB naik sebanyak 12 balita (28,6%) dan BB tidak
naik sebanyak 30 balita (71,4%) dan balita tidak ditimbang sebanyak 11 balita (20,8%). Status
BGM sebanyak 5 balita (11,9%), BB kurang sebanyak 13 balita (30,9%), BB normal sebanyak
22 balita (52,4%) dan BB lebih sebanyak 2 balita (4,8%). Hasil wawancara terhadap 8 orang ibu
yang memiliki balita di Desa Jabon Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto menunjukkan 6
orang ibu (75,0%) kurang mengetahui mengenai gizi balita dan mereka menganggap bahwa
makanan empat sehat lima sempurna tidak terlalu penting, yang terpenting adalah balitanya mau
makan, meski hanya dipenuhi dari makanan jajanan, sedangkan 2 ibu (25,0%) lainnya cukup
mengetahui tentang gizi balita dan menganggap bahwa sangat penting untuk memperhatikan gizi
balita karena mempengaruhi masa depannya.
Faktor yang menyebabkan kurang gizi telah diperkenalkan UNICEF meliputi beberapa
tahapan penyebab timbulnya kurang gizi pada anak balita, baik penyebab langsung maupun tidak
langsung, Pertama, penyebab langsung yaitu makanan anak dan penyakit infeksi yang mungkin
diderita anak. Penyebab gizi kurang tidak hanya disebabkan makanan yang kurang tetapi juga
karena penyakit. Kedua, yaitu penyebab tidak langsung yaitu ketahanan pangan di keluarga, pola
pengasuhan anak, serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan (Waryono, 2010).
Menurut Soekirman (2000) pola asuh adalah sikap dan perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal
memberikan makan, kebersihan, memberi kasih sayang, dan sebagainya (Masithah, 2005).
Faktor-faktor tersebut sangat terkait dengan tingkat pendidikan, pengetahuan, dan keterampilan
keluarga (Waryono, 2010). Tingkat pengetahuan gizi ibu adalah kemampuan seorang ibu dalam
memahami konsep dan prinsip serta informasi yang berhubungan dengan gizi. Kismoyo(2005)
mengatakan tingkat pengetahuan seseorang dipengaruhi oleh pengalaman, faktor pendidikan,
lingkungan, sosial, sarana dan prasarana maupun derajat penyuluhan yang diperoleh (Siwi,
2010).
Kurangnya asupan makanan dan adanya penyakit merupakan penyebab langsung
malnutrisi anak yang paling penting. Penyakit, terutama penyakit infeksi mempengaruhi jumlah
asupan makanan dan penggunaan nutrien oleh tubuh. Kurangnya asupan makanan sendiri dapat
disebabkan oleh kurangnya jumlah makanan yang diberikan, kurangnya kualitas makanan yang
diberikan dan cara pemberian makanan yang salah (Masitah, 2005). Gizi kurang ataupun buruk
terkait dengan dampak terhadap sosial ekonomi keluarga maupun negara, di samping berbagai
konsekuensi yang diterima anak itu sendiri. Dalam kondisi akut, gizi buruk bisa mengancam jiwa
karena berbagai disfungsi yang dialami, ancaman yang timbul antara lain hipotermi karena
jaringan lemaknya yang tipis, hipoglikemia dan kekurangan elektrolit penting serta cairan tubuh.
Jika fase akut tertangani namun tidak difollow up dengan baik, akibatnya anak tidak dapat
mengejar ketinggalannya dalam jangka panjang. Kondisi ini berdampak buruk terhadap
pertumbuhan maupun perkembangannya di kemudian hari (Nency, 2005). Sebaliknya pada kasus
gizi lebih seperti obesitas pada anak, bila terus berlanjut sampai dewasa dapat mengakibatkan
Vol 6. No. 1, Maret 2014 MEDICA MAJAPAHIT
semakin meningkatnya penyakit degeneratif seperti jantung koroner, diabetes mellitus,
hipertensi, dan penyakit hati (Almatsier, 2009).
Masalah gizi pada hakekatnya adalah masalah kesehatan masyarakat, namun
penanggulangannya tidak dapat dilakukan dengan pendekatan medis dan pelayanan kesehatan
saja. Terdapat banyak faktor penyebab timbulnya masalah gizi, oleh karena itu pendekatan
penanggulangannya harus melibatkan berbagai sektor yang terkait (Supariasa, 2002). Upaya
psikologis untuk mengatasi masalah nutrisi pada anak dapat dilakukan dengan berbagai cara.
Hubungan emosional antara anak dan ibu hendaknya baik. Ibu perlu sabar, tenang dan tekun.
Adakan suasana makan yang menyenangkan anak, bersih, dan berikan pujian apabila anak
melakukan cara makan dengan baik serta cukup makan. Ibu bisa menggunakan alat makan yang
menarik, disukai anak dan sesuai dengan kondisi anak sehingga memudahkan anak untuk makan
(Santoso, 2004). Selain itu perlu diupayakan pemberian penyuluhan oleh tenaga kesehatan untuk
meningkatkan pengetahuan dan merubah sikap ibu tentang gizi agar status gizi balita dapat
terjaga pada tataran status gizi baik.

B. METODE PENELITIAN
Jenis penelitian adalah analitik observasional (Setiadi, 2007). Rancang bangun yang
digunakan adalah cross sectional. Penelitian cross sectional adalah jenis penelitian yang
menekankan waktu pengukuran atau observasi data variabel independen dan dependen hanya
satu kali pada satu saat. Pada jenis ini, variabel independen dan dependen dinilai secara simultan
pada suatu saat, jadi tidak ada tindak lanjut (Nursalam, 2008).

Pengetahuan ibu Sikap ibu tentang Status gizi balita


tentang gizi balita gizi balita

Variabel perancu:
1. Status kesehatan
2. Ketahanan pangan
3. Pola asuh

Gambar 1. Frame WorkHubunganPengetahuandanSikapIbuTentangStatus GiziBalita di


Desa Jabon Kecamatan Mojoanyar KabupatenMojokerto

Hipotesis yang merupakan jawaban sementara atas pertanyaan penelitian ini adalah
sebagai berikut :
H 1 = Ada hubunganpengetahuandansikapibutentangstatus gizibalitadi Desa Jabon Kecamatan
Mojoanyar KabupatenMojokerto

Tabel 1. Definisi Operasional Hubungan PengetahuandanSikapIbuTentangStatus


GiziBalita di Desa Jabon Kecamatan Mojoanyar KabupatenMojokerto
Variabel Definisi Operasional Kriteria Skala
Independen: Segala sesuatu yang diketahui ibu 1. Baik: 76-100% Ordinal
Pengetahuan ibu tentang gizi pada balita yang 2. Cukup: 56-75%
tentang gizi meliputi: 3. Kurang: 55%
balita 1. Pengertian gizi (Nursalam, 2008)
2. Manfaat zat gizi
3. Masalah gizi
4. Kebutuhan gizi balita
yang diukur menggunakan kuesioner
Vol 6. No. 1, Maret 2014 MEDICA MAJAPAHIT

Variabel Definisi Operasional Kriteria Skala


Sikap ibu Respon ibu baik secara kognitif, 1. Sikap positif: Nominal
tentang gizi afektif dan konatif mengenai gizi Skor T > 50,
balita balita yang diukur menggunakan 2. Sikap negatif :
kuesioner Skor T < 50,
(Azwar, 2008)
Dependen: Perwujudan dari keadaan Kriteria: Ordinal
Status gizi balita keseimbangan konsumsi anak usia 1- 1. Status gizi lebih:
5 tahun yang didasarkan pada >+2SD
kategori yang digunakan (BB/umur) 2. Status gizi baik:
-2SD s/d +2SD
Alat ukur menggunakan timbangan 3. Status gizi kurang:
berat badan dan data umur -3SD s/d -2SD
3. Status gizi buruk:
<-3SD
(Susilowati, 2008)

Penelitian dilaksanakan di Desa Jabon Kecamatan Mojoanyar KabupatenMojokertopada


tanggal 06-10 Agustus 2013. Populasi dalam penelitian iniadalah seluruh ibu dan balita di Desa
Jabon Kecamatan Mojoanyar KabupatenMojokerto sebanyak 53 ibu dan balita, dengan sampel
sebagian ibu dan balita di Desa Jabon Kecamatan Mojoanyar KabupatenMojokerto yang
memenuhi kriteria inklusi sebanyak 41 orang.
1. Kriteria inklusi
a. Ibu yang bersedia menjadi responden beserta balitanya.
b. Kooperatif dengan bersedia mengikuti jalannya penelitian.
c. Ibu mampu membaca dan menulis.
2. Kriteria eksklusi
a. Ibu atau balita yangmengalami sakit hingga tidak memungkinkan untuk dilakukan
pengambilan data.
b. Ibu atau balita yang tidak berada di tempat selama pengambilan data.
Teknik sampling yang digunakan adalah non probability samplingtipe purposive
sampling dengan teknik penetapan sampel dengan cara memilih sampel diantara populasi sesuai
dengan yang dikehendaki peneliti (tujuan atau masalah dalam penelitian), sehingga sampel
tersebut dapat mewakili karakteristik populasi yang telah dikenal sebelumnya. Pengumpulan data
pengetahuan dan sikap ibu tentang gizi balita menggunakan instrumen kuesioner, sedangkan data
status gizi balita menggunakan teknik observasi atau pengamatan dengan cara menimbang berat
berat badan menggunakan timbangan dan menanyakan data umur melalui kartu keluarga (KK)
atau KMS balita.
Untuk menganalisis pengetahuan ibu tentang gizi balita dilakukan dilakukan pengolahan
data dengan distribusi menggunakan prosentase tingkat pengetahuan, menganalisis sikap ibu
tentang gizi balita adalah dengan menggunakan rumus skor T. Pada status gizi balita diukur
dengan melakukan penimbangan berat badan dan melihat tinggi badan anak tersebut. Selanjutnya
dihitung dengan menggunakan rumus Z skor. Untuk mengetahui ada tidaknya hubungan
pengetahuan dan sikap ibu tentang gizi balita dengan status gizi balita di Desa Jabon Kecamatan
Mojoanyar KabupatenMojokerto dilakukan uji statistik kuantitatif bivariat. Analisis pada
ubungan pengetahuan ibu tentang gizi balita dengan status gizi balita di Desa Jabon Kecamatan
Mojoanyar KabupatenMojokerto menggunakan uji korelasi Spearman rho dengan ketentuan
p< (0,05) = H 0 ditolak dan jika p> (0,05) = H 0 diterima, dan pada hubungan sikap ibu
tentang gizi balita dengan status gizi balita di Desa Jabon Kecamatan Mojoanyar
KabupatenMojokerto dilakukan uji statistik berupa X2 (Chi Square) untuk menguji independensi
(kesalingtergantungan). Jika uji Chi Square tidak dapat dilakukan karena tidak memenuhi syarat
yang berlaku, maka dilakukan uji Fisher Exact, dengan ketentuan p< (0,05) = H 0 ditolak dan
jika p> (0,05) = H 0 diterima.
Vol 6. No. 1, Maret 2014 MEDICA MAJAPAHIT

B. HASIL PENELITIAN
1. Data Umum
a. Karakteristik responden berdasarkan umur
Tabel 2. Distribusi frekuensi responden berdasarkan umur di Desa Jabon
Kecamatan Mojoanyar KabupatenMojokerto pada tanggal 06-10
Agustus 2013
No. Umur Frekuensi Persentase
1 < 20 tahun 6 15
2 20-35 tahun 27 66
3 > 35 tahun 8 19
Jumlah 41 100
Berdasarkan tabel 2menunjukkan bahwa dari 41 responden, sebagian besar
berumur 20-35 tahun yaitu sebanyak 27 orang (66%) dan sebagian kecil berumur <20
tahun sebanyak 6 orang (15%).

b. Karakteristik responden berdasarkan pekerjaan


Tabel 3. Distribusi frekuensi responden berdasarkan pekerjaandi Desa Jabon
Kecamatan Mojoanyar KabupatenMojokerto pada tanggal 06-10
Agustus 2013
No. Pekerjaan Frekuensi Persentase
1 Ibu Rumah Tangga 32 78
2 Petani 5 13
3 Wiraswasta 2 5
4 Swasta 1 2
5 PNS 1 2
Jumlah 41 100
Berdasarkan tabel 3menunjukkan bahwa dari 41 responden, sebagian besar
adalah ibu rumah tangga yaitu sebanyak 32 orang (78%) dan sebagian kecil bekerja di
sektor swasta dan PNS masing-masing sebanyak 1 orang (2%).

c. Karakteristik responden berdasarkan pendidikan


Tabel 4. Distribusi frekuensi responden berdasarkan pendidikandi Desa Jabon
Kecamatan Mojoanyar KabupatenMojokerto pada tanggal 06-10
Agustus 2013
No. Pendidikan Frekuensi Persentase
1 Dasar (SD dan SMP) 31 76
2 Menengah (SMA) 8 19
3 Tinggi (Perguruan Tinggi) 2 5
Jumlah 41 100
Berdasarkan tabel 4menunjukkan bahwa dari 41 responden, sebagian besar
berpendidikan SD dan SMP yaitu sebanyak 31 orang (76%) dan sebagian kecil
berpendidikan tinggi yaitu sebanyak 2 orang (5%).

d. Karakteristik responden berdasarkan paritas


Tabel 5. Distribusi frekuensi responden berdasarkan paritasdi Desa Jabon
Kecamatan Mojoanyar KabupatenMojokerto pada tanggal 06-10
Agustus 2013
Vol 6. No. 1, Maret 2014 MEDICA MAJAPAHIT

No. Paritas Frekuensi Persentase


1 1 anak 12 29
2 2 - 4 anak 29 71
3 5 anak atau lebih 0 0
Jumlah 41 100

Berdasarkan tabel 5menunjukkan bahwa dari 41 responden, sebagian besar


memiliki 2-4 anak yaitu sebanyak 29 orang (71%) dan tidak satupun yang mempunyai
5 anak atau lebih.

e. Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin balita


Tabel 6. Distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis kelamin balitadi Desa
Jabon Kecamatan Mojoanyar KabupatenMojokerto pada tanggal 06-10
Agustus 2013
No. Jenis Kelamin Balita Frekuensi Persentase
1 Laki-laki 22 54
2 Perempuan 19 46
Jumlah 41 100
Berdasarkan tabel 6menunjukkan bahwa dari 41 responden balita, sebagian
besar berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 22 orang (54%) dan hampir
setengahnya adalah perempuan sebanyak 19 orang (46%).

f. Karakteristik responden berdasarkan umur balita


Tabel 7. Distribusi frekuensi responden berdasarkan umur balitadi Desa Jabon
Kecamatan Mojoanyar KabupatenMojokerto pada tanggal 06-10
Agustus 2013
No. Umur Balita Frekuensi Persentase
1 12-35 bulan 19 46
2 36-60 bulan 22 54
Jumlah 41 100
Berdasarkan tabel 7menunjukkan bahwa dari 41 responden balita, sebagian
besar berumur 36-60 bulan yaitu sebanyak 22 orang (54%) dan hampir setengahnya
berumur 12-35 bulan sebanyak 19 orang (46%).

2. Data Khusus
a. Pengetahuan ibu tentang gizi balita
Tabel 8 Distribusi frekuensi responden berdasarkan pengetahuan ibu tentang gizi
balitadi Desa Jabon Kecamatan Mojoanyar KabupatenMojokerto pada
tanggal 06-10 Agustus 2013
No. Pengetahuan Frekuensi Persentase
1 Baik 4 10
2 Cukup 11 27
3 Kurang 26 63
Jumlah 41 100
Berdasarkan tabel 8menunjukkan bahwa dari 41 responden, sebagian besar
pengetahuan ibu tentang gizi balita kurang yaitu sebanyak 26 orang (63%) dan sebagian
kecil adalah baik sebanyak 4 orang (10%).

b. Sikap ibu tentang gizi balita


Tabel 9 Distribusi frekuensi responden berdasarkan sikap ibu tentang gizi
balitadi Desa Jabon Kecamatan Mojoanyar KabupatenMojokerto pada
tanggal 06-10 Agustus 2013
Vol 6. No. 1, Maret 2014 MEDICA MAJAPAHIT

No. Sikap Frekuensi Persentase


1 Positif 18 44
2 Negatif 23 56
Jumlah 41 100

Berdasarkan tabel 9menunjukan bahwa dari 41 responden, sebagian besar


memiliki sikap negatif tentang gizi balita yaitu sebanyak 23 orang (56%) dan hampir
setengahnya memiliki sikap positif sebanyak 18 orang (44%).

c. Status gizi balita


Tabel 10 Distribusi frekuensi responden berdasarkan status gizi balitadi Desa
Jabon Kecamatan Mojoanyar KabupatenMojokerto pada tanggal 06-10
Agustus 2013
No. Status Gizi Frekuensi Persentase
1 Status gizi lebih 6 15
2 Status gizi baik 13 32
3 Status gizi kurang 19 46
4 Status gizi buruk 3 7
Jumlah 41 100

Berdasarkan tabel 10menunjukkan bahwa dari 41 responden balita, sebagian


besar balita mempunyai status gizi kurang yaitu sebanyak 19 orang (46%) dan sebagian
kecil mempunyai status gizi buruk yaitu sebanyak 3 orang (7%).

d. Hubungan pengetahuan ibu tentang gizi balita dengan status gizi balita
Tabel 11 Tabulasi silang pengetahuan ibu tentang gizi balita dengan status gizi
balitadi Desa Jabon Kecamatan Mojoanyar KabupatenMojokerto pada
tanggal 06-10 Agustus 2013
Status gizi
Total
Pengetahuan Lebih Baik Kurang Buruk
f % F % f % f % f %
Baik 1 2,4 3 7,3 0 0 0 0 4 9,8
Cukup 1 2,4 9 22,0 4 9,8 1 2,4 15 36,6
Kurang 4 9,8 1 2,4 15 36,6 2 4,9 22 53,7
Total 6 14,6 13 31,7 19 46,3 3 7,3 41 100
p (0,007) (0,05)

Berdasarkan tabel 11 menunjukkan bahwa dari 41 responden,hampir


setengahnya memiliki pengetahuan kurang dengan status gizi balitanya kurang
sebanyak 15 orang (36,6%).Responden yang memiliki pengetahuan cukup, sebagian
kecil status gizi balitanya baik sebanyak 9 orang (22,0%). Responden yang memiliki
pengetahuan baik, sebagian kecil status gizi balitanya baiksebanyak 3 orang (7,3%).
Selain itu juga diketahui responden yang memiliki pengetahuan baik, sebagian kecil
status gizi balitanya lebih sebanyak 1 orang (2,4%), responden yang memiliki
pengetahuan cukup, sebagian kecil status gizi balitanya kurang sebanyak 4 orang
(9,8%), buruk sebanyak 1 orang (2,4%) dan lebih sebanyak 1 orang (2,4%). Sedangkan
responden yang memiliki pengetahuan kurang, sebagian kecil status gizi balitanya lebih
sebanyak 4 orang (9,8%), buruk sebanyak 2 orang (4,9%) dan baik sebanyak 1 orang
(2,4%).
Berdasarkan uji Spearmans rho didapatkan nilai p (0,007) < (0,05), artinya
H 0 ditolak dan H 1 diterima sehingga ada hubungan pengetahuan ibu tentang gizi balita
dengan status gizi balita. Nilai r = 0,416 menunjukkan korelasi searah serta kekuatan
Vol 6. No. 1, Maret 2014 MEDICA MAJAPAHIT
hubungan sedang, artinya semakin baik pengetahuan ibu tentang gizi balita maka
semakin baik pula status gizi balita dan pengetahuan ibu tersebut termasuk salah satu
faktor yang cukup dominan mempengaruhi status gizi balita.

e. Hubungan sikapibu tentang gizi balita dengan status gizi balita


Tabel 12 Tabulasi silang sikapibu tentang gizi balita dengan status gizi balitadi
Desa Jabon Kecamatan Mojoanyar KabupatenMojokerto pada tanggal
06-10 Agustus 2013
Status gizi
Total
Sikap Lebih Baik Kurang Buruk
f % f % f % f % f %
Positif 4 9,8 11 26,8 3 7,3 0 0 18 43,9
Negatif 2 4,9 2 4,9 16 39,0 3 7,3 23 56,1
Total 6 14,6 13 31,7 19 46,3 3 7,3 41 100

Berdasarkan tabel 12 menunjukkan bahwa dari 41 responden,hampir setengah


dari responden memiliki sikap negatif dengan status gizi balita kurang sebanyak 16
orang (39,0%). Responden yang mempunyai sikap positif, hampir setengah status gizi
balitanya baik sebanyak 11 orang (26,8%). Selain itu juga diketahui responden yang
mempunyai sikap positif, status gizi balitanya sebagian kecil lebih sebanyak 4 orang
(9,8%) dan kurang sebanyak 3 orang (7,3%). Sedangkan responden yang mempunyai
sikap negatif, status gizi balitanya sebagian kecil buruk sebanyak 3 orang (7,3%), lebih
sebanyak 2 orang (4,9%) dan baik sebanyak 2 orang (4,9%).
Berdasarkan uji Chi square didapatkan nilai frekuensi harapan <5 sebanyak 4
sel, sehingga dilanjutkan menggunakan uji Fisher exact. Hasil uji Fisher exact
didapatkan nilai p (0,000) < (0,05), artinya H 0 ditolak dan H 1 diterima sehingga ada
hubungan sikap ibu tentang gizi balita dengan status gizi balita.

D. PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN


1. Pengetahuan ibu tentang gizi balita
Berdasarkan tabel 8 menunjukkan bahwa dari 41 responden, sebagian besar
pengetahuan ibu tentang gizi balita kurang yaitu sebanyak 26 orang (63%) dan sebagian
kecil adalah baik sebanyak 4 orang (10%). Pengetahuan adalah hasil dari tahu yang terjadi
melalui proses sensoris, khususnya mata dan telinga terhadap objek tertentu. Pengetahuan
merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku terbuka (overt
behaviour). Perilaku yang didasari oleh pengetahuan umumnya bersifat langgeng (Sunaryo
2004). Pengetahuan seseorang terhadap objek mempunyai intensitas atau tingkat yang
berbeda-beda. Tingkat pengetahuan yang paling rendah adalah tahu (know). Tahu diartikan
hanya sebagai recall (memanggil) memori yang telah ada sebelumnya setelah mengamati
sesuatu(Notoatmodjo, 2010). Menurut Wawan dan Dewi (2010), beberapa faktor
melatarbelakangi pengetahuan seseorang, diantaranya umur, pekerjaan, pendidikan, dan
paritas.
Karena penelitian ini dilakukan pada tingkat tahu, maka menunjukkan bahwa
responden kurang mampu untuk mengingat kembali apa yang pernah dipelajari, didengar
atau dibacanya dari berbagai sumber informasi, sehingga responden kurang mampu untuk
menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan dan menyatakan segala sesuatu tentang gizi
balita. Kurangnya pengetahuan ibu tentang gizi balita juga dapat disebabkan karena waktu
ibu yang terbatas karena mengurus rumah tangga sehingga kurang mempunyai waktu untuk
mencari informasi mengenai gizi balita.
Vol 6. No. 1, Maret 2014 MEDICA MAJAPAHIT
Berdasarkan tabel 2 menunjukkan bahwa dari 41 responden, sebagian besar
berumur 20-35 tahun yaitu sebanyak 27 orang (66%) dan sebagian kecil berumur <20 tahun
sebanyak 6 orang (15%). Menurut Hurlock, usia adalah umur individu yang terhitung mulai
saat dilahirkan sampai berulang tahun. Semakin cukup umur, tingkat kematangan dan
kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja. Dari segi kepercayaan
masyarakat seseorang yang lebih dewasa dipercaya dari orang yang belum tinggi
kedewasaannya (Wawan dan Dewi, 2010).
Umur responden sudah termasuk dalam kriteria usia dewasa yang seharusnya sudah
memiliki banyak pertimbangan dalam memutuskan permasalahan dan kebutuhan. Namun
akibat berbagai kesibukan karena kelompok usia ini adalah usia produktif untuk banyak
aktifitas seperti bekerja atau aktifitas rumah tangga menyebabkan banyak hal yang harus
dipikirkan, sehingga kemampuan responden dalam mengingat masalah gizi balita menjadi
terpengaruh dan kurang baik. Kurang kemampuan mengingat kembali bahwa
memperhatikan gizi balita adalah penting menyebabkan pengetahuannya tentang gizi balita
juga menjadi kurang.
Berdasarkan tabel 3 menunjukkan bahwa dari 41 responden, sebagian besar adalah
ibu rumah tangga yaitu sebanyak 32 orang (78%) dan sebagian kecil bekerja di sektor
swasta dan PNS masing-masing sebanyak 1 orang (2%). Menurut Thomas, pekerjaan adalah
keburukan yang harus dilakukan terutama untuk menunjang kehidupannya dan kehidupan
keluarga. Pekerjaan bukanlah sumber kesenangan tetapi lebih banyak merupakan cara
mencari nafkah yang membosankan, berulang dan banyak tantangan. Sedangkan bekerja
umumnya merupakan kegiatan yang menyita waktu (Wawan dan Dewi, 2010).
Berbeda dengan teori tersebut, kondisi di masyarakat menunjukkan bahwa sebagian
besar ibu adalah ibu rumah tangga. Meski status tidak bekerja relatif masih memiliki lebih
banyak waktu luang, namun status tidak bekerja juga membuat responden kurang wawasan
akibat kurang pergaulan. Pergaulan responden hanya terjadi di sekitar rumah. Hal ini
membuat informasi yang didapat termasuk tentang gizi balita tidak menambah pengetahuan
responden. Selain itu status tidak bekerja juga menyebabkan responden memiliki
keterbatasan keuangan untuk membeli sumber informasi seperti majalah atau buku yang
membahas masalah gizi balita, berkunjung ke tenaga kesehatan untuk berkonsultasi tentang
gizi balita, sehingga mempengaruhi kurangnya wawasan tentang gizi balita menyebabkan
pengetahuan responden menjadi kurang.
Berdasarkan tabel 4 menunjukkan bahwa dari 41 responden, sebagian besar
berpendidikan SD dan SMP yaitu sebanyak 31 orang (76%) dan sebagian kecil
berpendidikan tinggi yaitu sebanyak 2 orang (5%). Pengetahuan itu sendiri dipengaruhi oleh
faktor pendidikan formal. Pengetahuan sangat erat hubungannya dengan pendidikan, dimana
diharapkan bahwa dengan pendidikan yang tinggi maka orang tersebut akan semakin luas
pula pengetahuannya. Akan tetapi perlu ditekankan, bukan berarti seseorang yang
berpendidikan rendah mutlak berpengetahuan rendah pula. Hal ini mengingat mengingat
bahwa peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh dari pendidikan non formal saja,
akan tetapi dapat diperoleh melalui pendidikan non formal. Pengetahuan seseorang tentang
suatu objek mengandung dua aspek yaitu aspek aspek positif dan aspek negatif. Kedua
aspek ini yang akan menentukan sikap seseorang, semakin banyak aspek positif dan dan
objek yang diketahui, maka akan menimbulkan sikap makin positif terhadap objek tertentu.
Menurut teori WHO (World Health Organization), salah satu bentuk objek kesehatan dapat
dijabarkan oleh pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman sendiri (Notoatmodjo, 2007).
Pendidikan sebagian besar responden merupakan pendidikan dasar yang masih
kurang mempunyai kemampuan dalam mencari, mengolah dan menyerap informasi yang
diperoleh. Akibat keterbatasan tersebut menyebabkan ibu menjadi kurang mengetahui
mengenai gizi balita yang benar dan tepat. Sedangkan responden yang mempunyai
pengetahuan baik dapat disebabkan karena pendidikan menengah dan tinggi yang dimiliki,
sehingga mempunyai kerangka berpikir yang cukup baik dalam menganalisis kebutuhan gizi
anaknya sehingga pengetahuannya menjadi baik tentang gizi balita.
Vol 6. No. 1, Maret 2014 MEDICA MAJAPAHIT
Berdasarkan tabel 5 menunjukkan bahwa dari 41 responden, sebagian besar
memiliki 2-4 anak yaitu sebanyak 29 orang (71%) dan tidak satupun yang mempunyai 5
anak atau lebih. Pengalaman merupakan sumber pengetahuan atau suatu cara untuk
memperoleh kebenaran pengetahuan. Hal ini dilakukan dengan cara mengulang kembali
pengalaman yang telah diperoleh dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi di masa
lalu (Notoatmodjo, 2005).
Meski telah mempunyai pengalaman sebelumnya dalam mengurus anak, namun
karena pengalaman perawatan gizi anak sebelumnya juga kurang diperhatikan menyebabkan
ibu kurang mempunyai pengalaman yang baik dalam mengurus masalah gizi anak.
Kurangnya pengalaman menyebabkan kurangnya pengetahuan yang dimiliki mengenai gizi
balita.
2. Sikap ibu tentang gizi balita
Berdasarkan tabel 9 menunjukan bahwa dari 41 responden, sebagian besar memiliki
sikap negatif tentang gizi balita yaitu sebanyak 23 orang (56%) dan hampir setengahnya
memiliki sikap positif sebanyak 18 orang (44%). Menurut Ahmadi dalam Sunaryo (2004),
sikap merupakan kesiapan merespons yang sifatnya positif atau negatif terhadap suatu objek
atau situasi secara konsisten. Sikap merupakan kecenderungan bertindak dari individu
berupa respons tertutup terhadap stimulus ataupun objek tertentu. Sikap menunjukan adanya
kesesuaian reaksi terhadap stimulus yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang
bersangkutan. Jadi sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktifitas, akan tetapi
merupakan predisposisi tindakan atau perilaku atau peran (Notoatmodjo, 2005). Menurut
Nursalam dan Pariani (2001), sikap seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu
faktor umur, pekerjaan, pendidikan dan paritas. Jika sebagian besar responden memiliki
sikap yang negatif cenderung tindakan ataupun perilakunya juga negatif, sehingga masalah
gizi pada anak akan tetap terjadi.
Berdasarkan tabel 2 menunjukkan bahwa dari 41 responden, sebagian besar
berumur 20-35 tahun yaitu sebanyak 27 orang (66%) dan sebagian kecil berumur <20 tahun
sebanyak 6 orang (15%).Menurut Hurlock yang dikutip dari Nursalam dan Pariani (2001)
bahwa semakin cukup umur, tingkat kematangan seseorang akan lebih matang dalam
berpikir dan bekerja. Umur merupakan faktor yang penting dalam pembentukan sikap.
Orang yang berusia muda umumnya bersikap kurang perhitungan dengan akal dibandingkan
orang tua yang penuh kehati-hatian (Sunaryo, 2004).
Sesuai dengan teori diatas faktor usia sangat mempengaruhi sikap seseorang, sikap
orang yang sudah berusia lanjut dalam pengalaman belajar mungkin lebih sulit dari orang
yang lebih muda. Responden dalam penelitian ini tergolong usia dewasa yang harusnya
memiliki sikap yang positif namun kenyataannya lebih besar responden yang memiliki sikap
negatif dikarenakan mungkin responden belum cukup paham tentang gizi balita.
Berdasarkan tabel 3 menunjukkan bahwa dari 41 responden, sebagian besar adalah
ibu rumah tangga yaitu sebanyak 32 orang (78%) dan sebagian kecil bekerja di sektor
swasta dan PNS masing-masing sebanyak 1 orang (2%). Menurut Sunaryo (2004), keluarga
dengan sosial ekonomi rendah akan kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Sehingga keluarga tersebut akan berusaha memenuhinya dengan berbagai cara. Demikian
pula sebaliknya. Menurut Notoatmodjo (2005) bahwa dengan adanya pekerjaan, seseorang
akan membutuhkan banyak waktu dan tenaga untuk menyelesaikan pekerjaan yang
dianggap penting dan memerlukan perhatian, sehingga masyarakat yang sibuk bekerja
memiliki waktu yang sedikit untuk memperoleh informasi.
Seharusnya responden yang tidak bekerja atau sebagai ibu rumah tangga memiliki
waktu yang cukup untuk mendapatkan informasi namun dikarenakan kurangnya interaksi
ataupun sosialisasi dengan lingkungan sekitar menjadi salah satu penyebab kurangnya
informasi dan sikapnya menjadi negatif.
Berdasarkan tabel 4 menunjukkan bahwa dari 41 responden, sebagian besar
berpendidikan SD dan SMP yaitu sebanyak 31 orang (76%) dan sebagian kecil
berpendidikan tinggi yaitu sebanyak 2 orang (5%).Pendidikan dapat mempengaruhi
Vol 6. No. 1, Maret 2014 MEDICA MAJAPAHIT
seseorang dalam memotivasikan diri untuk siap berperan serta dalam membangun
kesehatan, sebaliknya pendidikan yang kurang akan menghambat perkembangan sikap
seseorang (Notoatmodjo, 2005). Menurut Sunaryo (2004), secara luas pendidikan mencakup
seluruh proses kehidupan individu sejak dalam ayunan hingga liang lahat, berupa interaksi
individu dengan lingkungannya, baik secara formal maupun informal.
Pendidikan yang rendah cenderung pola berfikirnya juga terbatas berbeda dengan
pendidikan yang cukup, sehingga juga dapat berpengaruh terhadap perkembangan sikap atau
cara bersikap. Namun didapatkan responden yang berpendidikan SMA masih memiliki
sikap negatif. Hal ini dikarenakan kurangnya informasi yang didapat dari lingkungan
maupun sumber media lainnya.
Berdasarkan tabel 5 menunjukkan bahwa dari 41 responden, sebagian besar
memiliki 2-4 anak yaitu sebanyak 29 orang (71%) dan tidak satupun yang mempunyai 5
anak atau lebih. Pengalaman mempersiapkan seseorang untuk mencari orang-orang, hal-hal
dan gejala-gejala yang mungkin serupa dengan pengalaman pribadinya (Sobur,2003).
Pengalaman yang diperoleh responden sebelumnya seharusnya menjadi pelajaran
atau proses pembelajaran untuk selanjutnya. Berbeda dengan hal ini seharusnya responden
yang memiliki anak lebih dari satu memiliki pengalaman sebelumnya tentang gizi balitanya.
Namun masih kurangnya pemahaman baik dan buruknya tentang gizi balita, sehingga
menentukan kepercayaan dalam bersikap yang sesuai. Namun responden yang memiliki 1
anak juga ada yang bersikap positif. Karena responden berusia dewasa dan pendidikan yang
bukan tergolong pendidikan rendah.
3. Status gizi balita
Berdasarkan tabel 10 menunjukkan bahwa dari 41 responden balita, sebagian besar
balita mempunyai status gizi kurang yaitu sebanyak 19 orang (46%) dan sebagian kecil
mempunyai status gizi buruk yaitu sebanyak 3 orang (7%). Status gizi (nutrition status)
merupakanekspresi dari keadaan keseimbangan atau perwujudan dari nutriture dalam
bentuk variabel tertentu (Supariasa, dkk.,2002). Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai
akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi (Almatsier, 2009). Status gizi yang
kurang pada balita dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yang pertama konsumsi makanan
yang tidak mencukupi. Hal ini mungkin disebabkan oleh masalah daya beli, ketersediaan
makanan, diet, alergi, ketidaksukaan makanan yang dapat menyebabkan kesulitan makan
pada anak. Faktor yang kedua yakni peningkatan pengeluaran gizi dari dalam tubuh. Faktor
yang ketiga kebutuhan gizi yang meningkatkan pada kondisi tertentu. faktor yang keempat
yakni penyerapan makanan dalam sistem pencernaan yang mengalami gangguan. Faktor
yang terakhir gangguan penggunaan gizi setelah diserap (Widodo,2009). Kekurangan berat
badan yang berlangsung pada anak yang sedang tumbuh merupakan masalah serius yang
mencerminkan kebiasaan makan yang buruk (Arisman, 2004).
Status gizi kurang yang terjadi disebabkan karena kesulitan makan pada balita
karena kurangnya konsumsi makanan atau asupan makanan bergizi sehingga menyebabkan
penurunan berat badan atau kekurangan berat badan yang tidak sesuai dengan
pertumbuhannya.
Berdasarkan tabel 6 menunjukkan bahwa dari 41 responden balita, sebagian besar
berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 22 orang (54%) dan hampir setengahnya adalah
perempuan sebanyak 19 orang (46%).Berbagai penelitian yang telah dilakukan yang
mengungkapkan bahwa keadaan gizi dan pertumbuhan anak laki-laki lebih baik daripada
keadaan gizi dan pertumbuhan anak perempuan dalam lingkungan yang sama (Proverawati
dan Asfuah, 2009).
Anak laki-laki membutuhkan asupan nutrisi yang lebih daripada anak perempuan
karena anak laki-laki cenderung lebih aktif daripada anak perempuan.
Berdasarkan tabel 7 menunjukkan bahwa dari 41 responden balita, sebagian besar
berumur 36-60 bulan yaitu sebanyak 22 orang (54%) dan hampir setengahnya berumur 12-
35 bulan sebanyak 19 orang (46%).Memasuki usia 2 tahun, kebutuhan makan anak terlihat
lebih menurun. Pada usia ini anak akan terlihat lebih sulit makan dibandingkan dengan usia
Vol 6. No. 1, Maret 2014 MEDICA MAJAPAHIT
sebelumnya. Usia 3-5 tahun bagi anak merupakan tahap dasar mengajarkan anak untuk
mampu memilih makanan yang bergizi dan bermanfaat (Karyadi dan Kolopaking, 2007).
Pada usia ini merupakan masa peralihan makanan pada anak sehingga dapat
menyebabkan anak sulit untuk makan karena memerlukan penyesuaian dengan menu yang
baru dan tekstur yang baru pula. Jika makanan yang tersedia tidak memenuhi selera anak,
dapat menyebabkan anak malas makan yang mempengaruhi status gizinya.
4. Hubungan pengetahuan ibu tentang gizi balita dengan status gizi balita
Berdasarkan tabel 11 menunjukkan bahwa dari 41 responden,hampir setengahnya
memiliki pengetahuan kurang dengan status gizi balitanya kurang sebanyak 15 orang
(36,6%).Responden yang memiliki pengetahuan cukup, sebagian kecil status gizi balitanya
baik sebanyak 9 orang (22,0%). Responden yang memiliki pengetahuan baik, sebagian kecil
status gizi balitanya baiksebanyak 3 orang (7,3%). Selain itu juga diketahui responden yang
memiliki pengetahuan baik, sebagian kecil status gizi balitanya lebih sebanyak 1 orang
(2,4%), responden yang memiliki pengetahuan cukup, sebagian kecil status gizi balitanya
kurang sebanyak 4 orang (9,8%), buruk sebanyak 1 orang (2,4%) dan lebih sebanyak 1
orang (2,4%). Sedangkan responden yang memiliki pengetahuan kurang, sebagian kecil
status gizi balitanya lebih sebanyak 4 orang (9,8%), buruk sebanyak 2 orang (4,9%) dan
baik sebanyak 1 orang (2,4%).
Berdasarkan uji Spearmans rho didapatkan nilai p (0,007) < (0,05), artinya H 0
ditolak dan H 1 diterima sehingga ada hubungan pengetahuan ibu tentang gizi balita dengan
status gizi balita. Nilai r = 0,416 menunjukkan korelasi searah serta kekuatan hubungan
sedang, artinya semakin baik pengetahuan ibu tentang gizi balita maka semakin baik pula
status gizi balita dan pengetahuan ibu tersebut termasuk salah satu faktor yang cukup
dominan mempengaruhi status gizi balita.
Pengetahuan sangat erat hubungannya dengan pendidikan, dimana diharapkan
bahwa dengan pendidikan yang tinggi maka orang tersebut akan semakin luas pula
pengetahuannya. Akan tetapi perlu ditekankan, bukan berarti seseorang yang berpendidikan
rendah mutlak berpengetahuan rendah pula. Hal ini mengingat mengingat bahwa
peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh dari pendidikan non formal saja, akan
tetapi dapat diperoleh melalui pendidikan non formal. Pengetahuan seseorang tentang suatu
objek mengandung dua aspek yaitu aspek aspek positif dan aspek negatif. Kedua aspek ini
yang akan menentukan sikap seseorang, semakin banyak aspek positif dan dan objek yang
diketahui, maka akan menimbulkan sikap makin positif terhadap objek tertentu. Menurut
teori WHO (World Health Organization), salah satu bentuk objek kesehatan dapat
dijabarkan oleh pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman sendiri (Notoatmodjo, 2007).
Pengetahuan responden yang kurang menunjukkan responden kurang mampu untuk
mengingat kembali dan menyebutkan informasi yang pernah diperolehnya mengenai gizi
balita, bahkan mungkin belum pernah mencari informasi mengenai gizi balita. Kurangnya
pengetahuan tersebut menyebabkan perilakunya dalam mengasuh makan balita juga kurang
baik. Akibat kurang baiknya perilaku atau pola asuh makan balita menyebabkan status gizi
balita menjadi kurang. Responden yang mempunyai pengetahuan cukup dan baik memiliki
kerangka rujukan pemikiran yang memadai sebagai bekal pemahaman mengenai gizi balita,
sehingga mereka lebih mudah melakukan recall (mengingat kembali) materi gizi balita yang
mempengaruhi perilaku pola asuh makan balitanya juga baik.
Selain itu, responden dengan pengetahuan baik atau cukup dan status gizi balitanya
lebih dapat disebabkan karena meski ia telah mengetahui bahwa balitanya harus
mengkonsumsi asupan makan yang secukupnya sesuai kebutuhan tubuh, namun dapat
disebabkan nafsu makan anak yang memang baik atau memang karena anak kurang
menjalankan aktifitas, sehingga status gizi balita menjadi lebih. Sedangkan responden yang
mempunyai pengetahuan cukup tentang gizi balita namun status gizi balitanya kurang
bahkan buruk dapat disebabkan karena pengetahuan yang memadai ternyata tidak selalu
merupakan faktor predisposisi yang tepat untuk menjalankan perilaku yang baik pula.
Karena pengetahuan dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor yang turut mempengaruhi
Vol 6. No. 1, Maret 2014 MEDICA MAJAPAHIT
perilaku, misalnya pengaruh lingkungan yang cukup kuat seperti ibu bekerja yang kurang
mempunyai waktu untuk mengurus anak termasuk masalah makannya, sehingga meski ia
cukup mempunyai pengetahuan tentang gizi balita namun status gizi balitanya kurang
bahkan buruk. Selain itu responden yang memiliki pengetahuan kurang dengan status gizi
balitanya lebih dapat disebabkan karena kurangnya pengetahuan menyebabkan responden
membiarkan anak mengkonsumsi makanan apa saja bahkan melewati batas kecukupan gizi
bagi anak seusianya dengan berbagai alas an, seperti anak gemuk adalah anak sehat.
Demikian pula pengetahuan kurang yang dimiliki responden tentang gizi balita namun status
gizi balitanya baik dapat disebabkan karena meski responden kurang mempunyai
pengetahuan tentang gizi balita namun ia cukup telaten dalam mengurus makan anak,
sehingga status gizi balitanya baik. Sedangkan responden dengan pengetahuan kurang dan
status gizi balitanya buruk dapat disebabkan karena kurangnya pengetahuan menyebabkan
responden kurang memperhatikan kebutuhan gizi anak, sehingga menyebabkan status
gizinya buruk.
5. Hubungan sikap ibu tentang gizi balita dengan status gizi balita
Berdasarkan tabel 12 menunjukkan bahwa dari 41 responden,hampir setengah dari
responden memiliki sikap negatif dengan status gizi balita kurang sebanyak 16 orang
(39,0%). Responden yang mempunyai sikap positif, hampir setengah status gizi balitanya
baik sebanyak 11 orang (26,8%). Selain itu juga diketahui responden yang mempunyai sikap
positif, status gizi balitanya sebagian kecil lebih sebanyak 4 orang (9,8%) dan kurang
sebanyak 3 orang (7,3%). Sedangkan responden yang mempunyai sikap negatif, status gizi
balitanya sebagian kecil buruk sebanyak 3 orang (7,3%), lebih sebanyak 2 orang (4,9%) dan
baik sebanyak 2 orang (4,9%).
Berdasarkan uji Chi square didapatkan nilai frekuensi harapan <5 sebanyak 4 sel,
sehingga dilanjutkan menggunakan uji Fisher exact. Hasil uji Fisher exact didapatkan nilai
p (0,000) < (0,05), artinya H 0 ditolak dan H 1 diterima sehingga ada hubungan sikap ibu
tentang gizi balita dengan status gizi balita.
Tugas orang tua tersebut merupakan cerminan pola asuh yang dijalankan. Pola asuh
adalah sikap dan perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal memberikan makan, kebersihan,
memberi kasih sayang, dan sebagainya. Kesemuanya berhubungan dengan keadaan ibu
dalam hal kedekatan fisik dan mental, status gizi, pendidikan umum, pengetahuan tentang
pengasuhan anak yang baik, peran dalam keluarga atau masyarakat dan sebagainya dari ibu
atau pengasuh anak (Soekirman, 2000 dalam Masithah, 2005).
Sikap responden ibu yang negatif dengan status gizi balita yang kurang
menunjukkan kurangnya kesadaran ibu dalam memenuhi kebutuhan gizi balita. Responden
memiliki sikap negatif dengan memaksakan makan pada anak, sehingga anak semakin
menolak makan dan membuat status gizinya menjadi kurang. Sedangkan responden yang
mempunyai sikap positif dan hampir setengah status gizi balitanya baik disebabkan karena
responden menyedari bahwa balita membutuhkan asupan gizi sesuai kebutuhan pada
usianya, sehingga hal ini mempengaruhi perilakunya dalam melakukan pola asuh makan
balita dan menjadikan status gizi balitanya baik.
Selain itu juga diketahui responden yang mempunyai sikap positif, status gizi
balitanya sebagian kecil lebih dapat disebabkan karena ia terlalu berlebihan dalam
memberikan asupan gizi balita atau balitanya kurang melakukan aktifitas sehingga status
gizinya menjadi lebih. Responden yang mempunyai sikap positif namun status gizi balitanya
kurang dapat disebabkan karena berbagai faktor, seperti ibu sudah mengusahakan asupan
gizi yang memadai bagi balitanya namun karena faktor kesehatan balitanya yang memang
mudah sakit menyebabkan status gizi balita menjadi kurang atau karena balita tersebut
memang kurang mempunyai nafsu makan yang baik sehingga meski ibu sudah berusaha
namun anak tetap tidak mau makan yang menyebabkan status gizinya menjadi kurang.
Sedangkan responden yang mempunyai sikap negatif, status gizi balitanya lebih
dapat disebabkan karena kurangnya kesadaran ibu menyebabkan ibu membiarkan anak
mengkonsumsi makanan dalam jumlah berlebih atau beberapa jenis makanan tertentu yang
Vol 6. No. 1, Maret 2014 MEDICA MAJAPAHIT
sebenarnya kurang dibutuhkan oleh tubuh anak seperti makanan yang manis, mengandung
lemak tinggi, sehingga menyebabkan balita tersebut mempunyai status gizi lebih.
Responden yang mempunyai sikap negatif dan status gizi balitanya baik dapat disebabkan
karena meski ibu kurang mempunyai kesadaran akan gizi balita, namun pengaruh
lingkungan cukup kuat seperti lingkungan rumahnya yang mengharuskan makan tiga kali
sehari secara rutin, serta balitanya mempunyai nafsu makan yang cukup baik, sehingga
status gizinya tetap terjaga baik. Namun responden yang mempunyai sikap negatif dengan
status gizi balita buruk dapat dikarenakan sikap negatif responden menyebabkan perilakunya
dalam melakukan pola asuh makan yang buruk sehingga status gizi balitanya menjadi buruk.

E. PENUTUP
Penelitianini dapat digunakan sebagai dasar peneliti selanjutnya untuk mengkaji
mengenai motivasi ibu dalam upaya pemenuhan gizi balita dengan status gizi balita. Bagi tenaga
kesehatan dapat meningkatkan program kerja dalam peningkatan gizi balita khususnya perawat
dengan memberikan contoh menu yang seimbang pada ibu balita, mengadakan lomba balita
sehat, mengadakan lomba memasak makanan balita yang menarik dan bervariasi, serta
memberikan tips cara mengatasi kesulitan makan pada balita.

DAFTAR PUSTAKA
Almatsier, Sunita. (2009). Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Almatsier, Sunita, dkk. (2011). Gizi Seimbang dalam Daur Kehidupan. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama
Azwar, Syaifudin. (2008). Sikap Manusia, Teori dan Pengukurannya. Edisi 2. Cetakan XII. Jakarta:
Pustaka Pelajar.
Badriah, D.L. (2011). Gizi dalam Kesehatan Reproduksi. Bandung: Refika Aditama
FKM UI. (2007). Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: PT Raja Grafindo Perkasa
Hidayat, A. Aziz Alimul. (2007). Metode Penelitian Kebidanan dan Teknik Analisis Data. Jakarta:
Salemba Medika
Masithah, Tita, dkk. (2005). Hubungan Pola Asuh Makan dan Kesehatan dengan Status Gizi Anak
Batita di Desa Mulya Harja. Media Gizi dan Keluarga. Bogor: IPB
Narbuko, Cholid dan Abu Achmadi. (2002). Metodologi Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara
Nency, Yetty dan Muhammad Thohar Arifin. (2005). Gizi Buruk, Ancaman Generasi yang Hilang.
(Online) (http://io.ppijepang.org diakses tanggal 28 April 2012)
Notoatmodjo, Soekidjo. (2007). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka Cipta
Nursalam. (2008). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta:
Salemba Medika
Paath, Erna Francin, et. al. (2004). Gizi dalam Kesehatan Reproduksi. Jakarta: EGC
Proverawati, Atikah dan Siti Asfuah. (2009). Buku Ajar Gizi untuk Kebidanan. Yogyakarta: Nuha
Medika
Santoso, Soegeng dan Anne Lies Ranti. (2004). Kesehatan dan Gizi. Jakarta: Rineka Cipta
Sedyaoetama, Achmad Djaeni. (2006). Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi. Jilid I. Jakarta: Dian
Rakyat
Setiadi. (2007). Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta: Graha Ilmu
______. (2008). Konsep dan Proses Keperawatan Keluarga. Yogyakarta: Graha Ilmu
Siwi, Satiti Setyo. (2010). Hubungan Tingkat Pengetahuan Tentang Gizi Dengan Kadar Hemoglobin
Pada Ibu Hamil Di Kecamatan Jebres Surakarta. (Online). (http://e-journal.akbid-
purworejo.ac.id diakses tanggal 2 April 2012)
Soetjiningsih dan Suandi. (2002). Tumbuh Kembang Anak dan Remaja. Jakarta: IDAI
Susilowati. (2008). Pengukuran Status Gizi dengan Antropometri Gizi (Online)
(http://www.pdfqueen.com diakses tanggal 21 April 2012)
Sulistyoningsih, H. (2011). Gizi untuk Kesehatan Ibu dan Anak. Yogyakarta: Graha Ilmu
Sunaryo. (2004). Psikologi Untuk Keperawatan. Jakarta: EGC
Supariasa, I Dewa Nyoman, dkk. (2002). Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC
Vol 6. No. 1, Maret 2014 MEDICA MAJAPAHIT
Waryono. (2010). Gizi Reproduksi. Yogyakarta: Pustaka Rihama
Wawan, A. Dan Dewi M. (2010). Teori dan Pengukuran Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Manusia.
Yogyakarta: Nuha Medika
Yuniastuti, Ari. (2008). Gizi dan Kesehatan. Jakarta: Graha Ilmu.
HUBUNGAN PENGETAHUAN IBU TENTANG ASI EKSKLUSIF DENGAN
PEMBERIAN MP ASI SEBELUM USIA 6 BULAN DI DESA GAYAMAN
KECAMATAN MOJOANYAR KABUPATEN MOJOKERTO

Farida Yuliani *)

Abstrak
ASI eksklusif berperan penting untuk pertumbuhan, perkembangan, serta kesehatan yang
optimal bagi bayi. Selain itu ASI dapat pula meningkatkan IQ dan EQ anak. Namun upaya pemerintah
dalam penggalakan ASI eksklusif di Indonesia masih menemukan banyak hambatan, diantaranya
kurangnya pengetahuan masyarakat tentang pentingnya ASI eksklusif. Kurangnya pengetahuan
menimbulkan anggapan anaknya akan kelaparan bila hanya diberi ASI, namun sebaliknya mereka
beranggapan anaknya akan tidur nyenyak setelah diberi makan. Oleh sebab itu penelitianini bertujuan
untukmengetahuihubunganpengetahuanibutentang ASI eksklusifdenganpemberian MPASI sebelum
usia 6 bulan.Jenis penelitian adalah analitik korelasional dengan metode cross sectional. Hipotesis
yang diajukan adalah ada hubungan pengetahuan ibu tentang ASI eksklusif dengan pemberian MPASI
sebelum usia 6 bulan di Desa Gayaman Mojoanyar Mojokerto. Terdapat 2 variabel yaitu pengetahuan
ibu tentang ASI eksklusif dan pemberian MPASI sebelum usia 6 bulan. Tekhnik sampling yang
digunakan adalah sampel jenuh, dengan 48 responden. Data dikumpulkan tanggal 7-19 Juni 2010
menggunakan kuesioner dan lembar observasi. Analisis data dengan uji wilcoxon signed ranks
test.Hasil penelitian menunjukkan rata-rata responden berpengetahuan baik yaitu 27 responden
(56.3%) dan rata-rata responden tidak memberikan MP ASI sebelum usia 6 bulan yaitu 28 responden
(58.3%).Hasil uji statistik menunjukkan sig. (2 tailed) (0.000) < (0.05). Maka H 1 diterima, artinya
ada hubungan pengetahuan ibu tentang ASI eksklusif dengan pemberian MP ASI sebelum usia 6
bulan di Desa Gayaman kecamatan Mojoanyar Mojokerto.Pengetahuan tentang ASI eksklusif
mempengaruhi pemberian MP ASI dini, pada pengetahuan baik akan mendorong ibu tidak
memberikan MP ASI dini. Sebaliknya jika pengetahuan cukup dan kurang akan mendorong ibu
memberikan MP ASI dini.Pengetahuan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pemberian
MP ASI sebelum usia 6 bulan. Diharapkan para ibu memberikan ASI eksklusif kepada bayinya dan
meninggalkan tradisi memberikan makanan padat sebelum bayi berusia 6 bulan. Hal ini hendaknya
didukung oleh tenaga kesehatan juga anggota keluarga lainnya.
Kata kunci :Pengetahuan, ASI eksklusif, Pemberian MP ASI

A. PENDAHULUAN
Air susu ibu (ASI) merupakan nutrisi terbaik pada awal usia kehidupan bayi. ASI ibarat
emas yang diberikan gratis oleh Tuhan karena ASI adalah cairan hidup yang dapat menyesuaikan
kandungan zatnya yang dapat memenuhi kebutuhan gizi bayi (Suryoprajogo, 2009). ASI
eksklusif adalah pemberian ASI sedini mungkin setelah persalinan, diberikan tanpa jadwal dan
tidak diberi makanan lain, walaupun hanya air putih, sampai bayi berumur 6 bulan (Hubertin,
2004:3). Pada tahun 2001 World Health Organization / Organisasi Kesehatan Dunia menyatakan
bahwa ASI Eksklusif selama 6 bulan pertama hidup bayi adalah yang terbaik. Dengan
demikian,ketentuan sebelumnya (bahwa ASI eksklusif itu cukup empat bulan) sudah tidak
berlaku lagi.
Mengingat pentingnya ASI eksklusif, maka pemberian makanan pendamping ASI (MP
ASI) yang terlalu dini sangatlah tidak dianjurkan. Pemberian makanan padat/tambahan atau yang
biasa disebut dengan MP ASI yang terlalu dini dapat mengganggu pemberian ASI eksklusif serta
meningkatkan angka kesakitan pada bayi. Selain itu, tidak ditemukan bukti yang mendukung
bahwa pemberian makanan padat/tambahan pada usia 4 atau 5 bulan lebih menguntungkan.
Bahkan sebaliknya, hal ini akan mempunyai dampak yang negatif terhadap kesehatan bayi,
Vol 6. No. 1, Maret 2014 MEDICA MAJAPAHIT
seperti gangguan pencernaan, konstipasi, diare, obesitas, alergi makanan (Dwi Sunar P, 2009)
dan tidak ada dampak positif untuk perkembangan pertumbuhannya(Roesli,Utami. 2009).
Penyebab rendahnya penggunaan ASI eksklusif di Indonesia adalah faktor sosial budaya,
kurangnya pengetahuan akan pentingnya ASI eksklusif, jajaran kesehatan yang belum
sepenuhnya mendukung program pemberian ASI eksklusif, gencarnya promosi susu formula dan
*) Penulis adalah DosenPoliteknik Kesehatan Majapahit Mojokerto
kurangnya dukungan dari masyarakat termasuk institusi yang mempekerjakan perempuan untuk
ibu menyusui. Faktor lainnya adalah tekanan dari lingkungan dan tidak adanya dukungan dari
keluarga. (Dinkes Jatim, 2008)
Banyak ibu yang mempunyai pengetahuan kurang dan beranggapan anaknya kelaparan
dan akan tidur nyenyak jika diberi makan. Meski tidak ada relevansinya banyak yang
beranggapan ini benar. Sistem pencernaan bayi belum sempurna, sehingga sistem pencernaan
harus bekerja lebih keras untuk mengolah dan memecah makanan. Kadang anak yang menangis
terus dianggap sebagai anak tidak kenyang. Padahal menangis bukan semata-mata tanda lapar.
Pemberian makanan setelah bayi berumur 6 bulan memberikan perlindungan besar dari berbagai
penyakit. Hal ini disebabkan sistem imun bayi < 6 bulan belum sempurna. Pemberian MP ASI
dini sama saja dengan membuka pintu gerbang masuknya berbagai jenis kuman (Soraya,Luluk.
2006).
Survei yang dilaksanakan pada tahun 2002 oleh Nutrition and HealthSurveillance System
(NSS) bekerjasama dengan Balitbangkes dan Helen Keller International menunjukkan cakupan
ASI eksklusif 6 bulan sangat rendah yaitu di perkotaan antara 4-12 %, sedangkan di pedesaan 4-
25 %. Sedangkan 13 % bayi di bawah dua bulan telah diberi susu formula dan satu dari tiga bayi
usia 2-3 bulan telah diberi makanan tambahan (Nadhiroh, 2008).
Pemberian air susu ibu (ASI) secara eksklusif dapat menyelamatkan lebih dari 30 ribu
balita di Indonesia. Dalam pekan ASI yang dimulai 1 Agustus hingga 7 Agustus 2008, Badan
PBB Bidang Anak, UNICEF, bekerja sama dengan pemerintah Kabupaten Klaten mendukung
kampanye pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan. Jumlah bayi di Indonesia yang mendapatkan
ASI eksklusif terus menurun. Menurut Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun
2007, jumlah bayi di Indonesia, usia enam bulan yang mendapatkan ASI eksklusif hanya 32,3 %.
Persentase ini jauh dari rata-rata dunia yaitu 38 %. Pada saat yang sama, jumlah bayi di bawah
enam bulan yang diberi susu formula meningkat dari 16,7 % pada tahun 2002 menjadi 27,9 %
pada tahun 2007 (Houston,TX. 2010). Sedangkan cakupan ASI eksklusif di Jawa Timur pada
tahun 2006 sebesar 38,73 %, tahun 2007 sebesar 40,77 % dan pada tahun 2008 meningkat
menjadi 44,52 %. Namun cakupan tersebut masih jauh dari target Indonesia Sehat 2010 sebesar
80% (Dinkes Jatim, 2008). Cakupan ASI eksklusif di Kabupaten Mojokerto yaitu 28% pada
tahun 2008.
Studi pendahuluan yang dilakukan dengan tekhnik wawancara di Desa Gayaman
Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto pada tanggal 5 Juli 2013. Didapatkan, dari 10 ibu
bayi, 7 ibu tidak memberikan ASI eksklusif kepada bayinya, namun memberikan makanan
tambahan lain seperti bubur, pisang, nasi tim, dan susu formula, sebelum usia bayi 6 bulan.
Alasan para ibu memberikan makanan tambahan lain, diantaranya adalah para ibu menganggap
anak mereka kurang kenyang, hanya dengan meminum ASI serta adanya dukungan dari keluarga
yang mendukung pemberian makanan tambahan kepada bayi sebelum usia 6 bulan. Sesuai
dengan pengalaman secara turun-temurun. Dan 3 ibu memberikan ASI eksklusif, tanpa makanan
tambahan lain sampai usia bayi 6 bulan, karena para ibu mengetahui manfaat ASI Eksklusif.
Mengingat pentingnya pemberian ASI eksklusif, maka penggalakan ASI eksklusif yang
dilakukan oleh Kepala Dinas Kesehatan kota Surabaya, dengan mendirikan pondok ASI eksklusif
di kantor dinas kesehatan, patut diacungi jempol. Namun langkah awal tersebut harus
ditindaklanjuti dengan pendirian pondok-pondok ASI eksklusif di instansi lainnya. Setidaknya
dimulai dari instansi pemerintah yang berbau kesehatan, seperti rumah sakit dan puskesmas. Juga
perguruan tinggi yang berbau kesehatan seperti fakultas kedokteran dan prodi keperawatan,
fakultas kesehatan masyarakat, fakultas kedokteran gigi, sekolah tinggi ilmu kesehatan dan
akademi kebidanan. Setelah itu seruan pendirian pondok ASI eksklusif ini harus diikuti seluruh
Vol 6. No. 1, Maret 2014 MEDICA MAJAPAHIT
instansi pemerintah lainnya dan perusahaan swasta. Selain itu perlu diberikan penyuluhan dan
konseling kepada para ibu tentang pentingnya pemberian ASI eksklusif (Nadhiroh, 2008).
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti mengambil Hubungan Pengetahuan Ibu
Tentang ASI Eksklusif Dengan Pemberian MP ASI Sebelum Usia 6 Bulan Desa Gayaman
Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto.
B. METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitiananalitik korelasional,yaitu penelitian
yang bertujuan untuk mengkaji hubungan antar variabel. Sedangkan rancang bangun penelitian
yang dipakai adalah cross sectional, yaitu jenis penelitian yang menekankan waktu pengukuran /
observasi data variabel independen dan dependen hanya satu kali pada satu saat. Dalam
penelitian ini variabel yang digunakan adalah Variabel independen adalah variabel yang nilainya
menentukan variabel lain (Nursalam, 2008:97). Variabel independent pada penelitian ini adalah
pengetahuan ibu tentang ASI eksklusif. Variabel dependen adalah pemberian MP ASI sebelum
usia 6 bulan.

Tabel 1. Definisi Operasional Hubungan Pengetahuan Ibu Tentang ASI Eksklusif


Dengan Pemberian MP ASI Sebelum Usia 6 Bulandi Desa Gayaman Kecamatan
Mojoanyar Kabupaten Mojokerto
Variabel Definisi Operasional Kriteria Skala
Pengetahuan ibu Semua bentuk pemahaman dan Baik = > 75% Ordinal
tentang ASI pengertian ibu yang berhubungan Cukup = 60-75%
eksklusif dengan ASI eksklusif yang berisikan Kurang= < 60%
mengenai :
- Pengertian ASI eksklusif (Arikunto, 2006)
- Alasan pemberian ASI eksklusif
- Faktor yang terkait pemberian
ASI eksklusif
- Komposisi ASI
- Manfaat ASI eksklusif
- 12 keunggulan ASI eksklusif
- Pemberian ASI
- Tips sukses pemberian ASI
eksklusif
Instrumen yang dipergunakan adalah
lembar kuesioner
Pemberian MP Makanan pendamping ASI yang Diberikan : 0 Nominal
ASI sebelum diberikan sebelum usia 6 bulan Tidak diberikan : 1
usia 6 bulan Instrumen yang dipergunakan adalah
lembar observasi

Populasi dalam penelitian ini adalah semua Ibu bayi sebelum usia 6 bulan, sebanyak 48
responden, terhitung sampai tanggal 7-19 Juni 2013. Dalam penelitian ini jumlah sampel yang
digunakan sebanyak 48 responden. Peneliti menggunakan sampel jenuh yaitu cara pengambilan
sampel dengan mengambil semua anggota populasi menjadi sampel (Aziz Alimul,
2009:76).Penelitian ini dilakukan di Desa Gayaman Kecamatan Mojoanyar Kabupaten
Mojokerto pada bulan Agustus-September 2013.
Teknik Pengumpulan Data setelah mendapatkan ijin dari Dinkes Kabupaten Mojokerto
dan di Desa Gayaman Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto. Peneliti mengadakan
pendekatan kepada ibu bayi untuk mendapatkan persetujuan sebagai responden. Setelah
mendapat persetujuan menjadi responden, peneliti mulai melakukan pengambilan data dengan
teknik observasi. Instrumen Pengumpulan Data yang digunakan yaitu lembar kuesioner dan
lembar cheklist. Teknik Analisis Data menggunakan distribusi frekwensi dan diuji dengan
wicoxon sign rank test.
Vol 6. No. 1, Maret 2014 MEDICA MAJAPAHIT

C. PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN


1. Pengetahuan ibu tentang ASI eksklusif
Rata-rata responden berpengetahuan baik yaitu 27 responden (56.3%). Berdasarkan
hasil penelitian didapatkan bahwa sebagian kecil responden berpengetahuan baik tentang
pengertian ASI eksklusif yaitu 22 responden (45.83%). Menurut Hubertin (2004) pengertian
ASI eksklusif adalah pemberian ASI sedini mungkin setelah persalinan, diberikan tanpa
jadwal dan tidak diberi makanan tambahan lain, walaupun hanya air putih, sampai bayi
berumur 6 bulan. Hal ini sesuai dengan apa yang diterapkan oleh para ibu, dengan berbekal
pengetahuan baik yang dimilikinya, seorang ibu mampu memberikan ASI eksklusif sampai
bayi mereka berusia 6 bulan tanpa makanan tambahan lain.
Hasil penelitian menunjukkan sebagian kecil responden berpengetahuan baik
tentang faktor yang terkait pemberian ASI eksklusif yaitu 21 responden (43.75%). Menurut
Dwi Sunar P (2009), ASI memang benar-benar penting, mengenai hal ini, ibu perlu
mengetahui berbagai aspek yang mengharuskannya untuk memberikan ASI eksklusif
kepada bayi sejak 6 bulan pertama kelahirannya, diantaranya adalah aspek kecerdasan yang
menyimpulkan bahwa pemberian ASI yang lancar memungkinkan asupan gizi yang
maksimal. Dengan asupan gizi yang optimal, pemberian ASI eksklusif dapat membantu
perkembangan sistem saraf otak yang berperan meningkatkan kecerdasan bayi. Dengan
pengetahuan yang baik maka ibu memahami betul berbagai aspek yang mengharuskannya
untuk memberikan ASI eksklusif, sehingga ibu termotivasi memberikan yang terbaik kepada
bayinya. Dengan tidak memberikan MP ASI dini, namun lebih memilih memberikan ASI
sampai bayi berumur 6 bulan demi perkembangan optimal si kecil.
Hasil penelitian menunjukkan sebagian kecil responden berpengetahuan baik
tentang manfaat ASI eksklusif yaitu 22 responden (45.83%). Dwi Sunar P (2009)
mengungkapkan bahwa pemberian ASI eksklusif mempunyai banyak manfaat, diantaranya
sebagai makanan utama bayi, karena mengandung lebih dari 60% kebutuhan bayi, dapat
mengurangi resiko infeksi lambung dan usus, sembelit, alergi, serta bayi yang diberi ASI
lebih kebal terhadap penyakit. Ibu memiliki pengetahuan yang baik tentang manfaat ASI
eksklusif sesuai teori yang dikemukakan oleh Dwi Sunar P (2009). Hal ini mendorong ibu
menunda pemberian MP ASI karena ibu telah memahami bahwa dengan hanya diberikan
ASI saja akan sudah mencukupi semua kebutuhan bayinya, baik kebutuhan psikologis
maupun kebutuhan akan asupan nutrisi.
Hasil penelitian menunjukkan sebagian kecil responden berpengetahuan baik
tentang pemberian ASI yaitu 21 responden (43.75%). Hubertin (2004) mengungkapkan
bahwa pola kehidupan bayi untuk 24 jam pertama adalah melakukan adaptasi dengan
lingkungan baru dan yang sangat dibutuhkan adalah faktor kehangatan agar perubahan
seluruh sistem yang ada pada tubuh bayi dapat dimulai secara optimal. Dalam hal ini ibu
berbekal pengetahuan baik tentang pemberian ASI, ibu memahami bahwa dengan
memberikan ASI eksklusif, si kecil akan memperoleh kehangatan serta kenyamanan yang
dibutuhkan oleh bayi saat terlahir di dunia. Ibu lebih memilih memberikan ASI eksklusif
demi kenyamanan bayinya serta bayi dapat tumbuh dengan optimal. Hasil penelitian
menunjukkan sebagian kecil responden berpengetahuan baik tentang tips sukses pemberian
ASI eksklusif yaitu 20 responden (41.6%). Nadia Yuniardo (2010) mengungkapkan bahwa
ada beberapa tips sukses dalam memberikan ASI eksklusif, diantaranya menyusui bayi
sesering mungkin, payudara kanan dan kiri tanpa terjadwal, makan-makanan yang bergizi
dan minum cairan yang cukup banyak. Sesuai dengan teori di atas, para ibu tahu betul
bahwa ada tips khusus yang bisa dilakukan dalam usaha pemberian ASI eksklusif. Sehingga
Vol 6. No. 1, Maret 2014 MEDICA MAJAPAHIT
ibu menerapkan tips tersebut dan hasilnya ibu sukses memberikan ASI eksklusif, karena
ASI yang diproduksi akan lebih banyak dan akan mencukupi nutrisi bayinya.
Pengetahuan juga dipengaruhi oleh umur, tingkat pendidikan, pekerjaan serta
pengalaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian kecil responden yang
mempunyai pengetahuan baik, berumur 20-40 tahun yaitu 20 responden (41.7%). Hal ini
menunjukkan umur seseorang dapat mempengaruhi pengetahuan. Mubarak (2007)
mengemukakan pendapat bahwa dengan bertambahnya umur seseorang akan terjadi
perubahan pada aspek fisik dan psikologis (mental). Pada aspek psikologis atau mental taraf
berpikir seseorang semakin matang dan dewasa.Dengan demikian semakin cukup usia
seseorang, tingkat kemampuan atau kematangan seseorang akan lebih matang dalam berfikir
dan menerima informasi. Dengan mempunyai cukup umur seseorang akan semakin dewasa
baik dalam berfikir, berbuat dan mangambil keputusan. Dengan selalu menggunakan
pertimbangan baik dan buruk akan sesuatu hal yang disampaikan atau diterimanya, secara
tidak langsung seseorang akan mempunyai wawasan dan pada akhirnya pengetahuan
seseorang akan bertambah pula.
Faktor yang mampengaruhi tingkat pengetahuan adalah pengalaman. Sebagian kecil
responden yang berpengetahuan baik mempunyai anak lebih dari satu yaitu sebanyak 17
responden (35.4%). Hendra A.W (2009) mengungkapkan bahwa pengalaman sebagai
sumber pengetahuan merupakan suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan
dengan cara mengulang kembali pengetahuan yang diperoleh dalam memecahkan masalah
yang dihadapi pada masa lalu. Pengalaman dapat mengembangkan kemampuan mengambil
keputusan yang merupakan manifestasi dari keterpaduan menalar secara ilmiah dan etik
yang bertolak dari masalah nyata. Sehingga mempengaruhi dalam mengambil keputusan
dengan pertimbangan baik dan buruk akan sesuatu hal. Dengan banyaknya pengalaman yang
didapatkan seorang ibu, baik dari lingkungan maupun dari pengalaman pribadinya, akan
memotivasi seorang ibu untuk bertindak positif akan masalah yang dihadapinya di masa
sekarang, yang bercermin dari pengalaman masa lalunya.
Dari penelitian yang telah dilakukan, umur, pendidikan, pekerjaan serta pengalaman
mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang. Menurut Notoadmodjo (2007), pengetahuan
merupakan hasil dari proses penginderaan terhadap suatu objek tertentu melalui penglihatan,
pendengaran, penciuman, rasa, dan perabaan yang berawal dari keingintahuan seseorang
terhadap informasi. Jadi pengetahuan merupakan hasil penginderaan manusia dan
merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Setelah ibu
mengetahui dan mendapatkan informasi tentang ASI eksklusif, selanjutnya ibu akan
mengevaluasi terhadap informasi yang di dapat, apakah dapat bermanfaat bagi dirinya atau
tidak. Apabila tidak bermanfaat bagi dirinya maka ia akan meninggalkan dan tidak
mengadopsi pengetahuan tersebut. Akan tetapi sebaliknya apabila informasi tersebut
dianggap menguntungkan, maka selanjutnya ia akan mengadopsi pengetahuan tersebut,
sehingga akan timbul perilaku yang positif.
2. pemberian MPASI sebelum usia 6 bulan
Rata-rata responden yang tidak memberikan MPASI sebelum usia 6 bulan yaitu
sebanyak 28 responden (58.3%). Hal ini dikarenakan sebagian besar responden mempunyai
umur serta pengalaman yang cukup, juga dilatar belakangi oleh sebagian besar responden
yang tidak bekerja.
Hasil penelitian menunjukkan sebagian kecil responden yang tidak memberikan MP
ASI sebelum usia 6 bulan, berumur 20-40 tahun sebanyak 21 responden (43.8%). Menurut
Hendra A.W (2009), usia mempengaruhi daya tangkap dan pola pikir seseorang, dengan
semakin bertambah usia akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya,
sehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin membaik. Dengan mempunyai umur
yang cukup, seseorang akan lebih siap menghadapi sesuatu hal karena orang tersebut
mampu bertindak dan berpikir secara logis.
Pendidikan juga mempengaruhi pemberian MP ASI sebelum usia 6 bulan. Hasil
penelitian menunjukkan sebagian kecil responden yang tidak memberikan MP ASI sebelum
Vol 6. No. 1, Maret 2014 MEDICA MAJAPAHIT
usia 6 bulan mempunyai latar belakang pendidikan SMA yaitu sebanyak 23 responden
(47.9%). Mubarak (2007) mengemukakan bahwa pendidikan berati bimbingan yang
diberikan seseorang kepada orang lain terhadap sesuatu hal agar mereka dapat memahami.
Tidak dapat dipungkiri bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin mudah
pula mereka menerima informasi, dan pada akhirnya semakin banyak pula pengetahuan
yang dimilikinya. Dengan mempunyai latar belakang pendidikan yang cukup, seseorang ibu
akan termotivasi untuk melakukan sesuatu hal yang berguna bagi derajat kesehatannya.
Pekerjaan juga berpengaruh terhadap pemberian MP ASI sebelum usia 6 bulan.
Hasil penelitian menunjukkan rata-rata responden yang tidak memberikan MP ASI sebelum
usia 6 bulan merupakan responden yang tidak bekerja yaitu sebanyak 31 responden (64.6%).
Hal ini sesuai dengan pendapat Markum, yang dikutip dalam Nursalam dan Pariani (2001)
yang mengemukakan bahwa, bekerja pada umumnya merupakan kegiatan yang menyita
waktu. Bekerja bagi ibu-ibu akan mempunyai pengaruh terhadap kehidupannya sehingga ibu
tidak mempunyai banyak waktu. Bekerja umumnya merupakan kegiatan yang menyita
waktu, lingkungan pekerjaan memang dapat menjadikan seseorang memperoleh pengalaman
namun dengan bekerja, seseorang juga akan banyak melewatkan waktu-waktu yang
berharga. Dengan tidak bekerja maka seorang ibu mempunyai lebih banyak waktu untuk
mengurus semua kebutuhan yang diperlukan oleh bayinya, termasuk dalam hal pemenuhan
kebutuhan nutrisi bayi.
Pengalaman juga mempengaruhi pemberian MP ASI sebelum usia 6 bulan. Hasil
penelitian menunjukkan sebagian kecil responden yang tidak memberikan MP ASI sebelum
usia 6 bulan mempunyai jumlah anak lebih dari satu yaitu sebanyak 18 responden (37.5%).
Hal ini sesuai dengan pendapat Mubarak (2007), pengalaman adalah suatu kejadian yang
pernah dialami seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Semakin banyak
pengalaman yang diperoleh seseorang maka semakin membantu seseorang dalam
mengambil keputusan. Dengan mempunyai banyak pengalaman, seorang ibu akan tahu
kapan waktu yang tepat untuk memberikan MP ASI kepada bayinya.
3. Hubungan pengetahuan dengan pemberian MPASI sebelum usia 6 bulan
Berdasarkan tabel tabulasi silang Hubungan pengetahuan dengan pemberian MPASI
sebelum usia 6 bulan penelitian menunjukkan bahwa sebagiankecil responden
berpengetahuan baik dan tidak memberikan MP ASI yaitu sebanyak 25 responden (52,1%).
Dari hasil uji statistik wilcoxon signed ranks test dengan tingkat kemaknaan (0.05)
didapatkan nilai signifikansi () sebesar 0.000 sehingga nilai signifikansi () <, dengan
demikian hipotesis penelitian H 0 ditolak dan H 1 diterima yang berarti terdapat hubungan
pengetahuan ibu tentang ASI eksklusif dengan pemberian MP ASI sebelum usia 6 bulan.
Menurut Suriasumantri (2000) Pengetahuan adalah segenap apa yang kita ketahui
tentang suatu obyek tertentu, termasuk didalamnya adalah ilmu. Pengetahuan merupakan
khasanah kekayaan mental ayang secara langsung turut memperkaya hidup kita.
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya
tindakan seseorang (Overt Behaviour). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat
pengetahuan ibu tentang ASI eksklusif mempengaruhi pemberian MP ASI sebelum usia 6
bulan.
Dengan memiliki usia yang cukup, latar belakang pendidikan cukup, sebagian besar
responden tidak bekerja serta adanya pengalaman, maka seorang ibu lebih bisa dengan
mudah menerima informasi yang didapat. Yang selanjutnya ia akan mengevaluasi terhadap
informasi yang didapat, apakah dapat bermanfaat atau tidak. Apabila tidak bermanfaat maka
seorang ibu akan meninggalkan dan tidak mengadopsinya. Akan tetapi sebaliknya, apabila
informasi tersebut dianggap menguntungkan, maka seorang ibu akan mengadopsi
pengetahuan tersebut, sehingga akan timbul perilaku yang positif. Dengan berbekal
pengetahuan yang baik maka seorang ibu akan tahu kapan waktu yang tepat untuk
pemberian MP ASI kepada bayinya, sehingga pemberian ASI eksklusif dapat dilaksanakan
sampai bayi genap berusia 6 bulan demi perkembangan dan pertumbuhan bayinya.
Vol 6. No. 1, Maret 2014 MEDICA MAJAPAHIT

D. PENUTUP
Tenaga kesehatan dapat menggunakan sebagai bahan masukan demi peningkatan mutu
pelayanan kesehatan yang diberikan. Yang dapat diwujudkan dengan mendukung penggalakan
ASI eksklusif, melalui penyuluhan dan konseling.

DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT Rineka
Cipta.
Damayanti, Diana. (2010). Makanan Pendamping ASI. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Hendra, A.W. (2009). Pengetahuan dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi. (http://www.Pro
Health.com. diakses 24 April 2010).
Hidayat, A.Aziz Alimul. (2007). Metode Penelitian Kebidanan Teknik Analisis Data. Jakarta:
Salemba Medika.
Hidayat, A.Aziz Alirnul. (2009). Metode Penelitian Keperawatan dan TeknikAnalisis Data. Jakarta:
Salemba Medika.
Houston, Tx. (2010). Menyusui Sebuah Respon yang Sangat Penting dalamSituasi Darurat.
(http://www.ASI.blogspot.com. diakses 22 April 2010).
Kristiyanasari, Weni, S. Kep. (2009). ASI, Menyusui dan SADARI. Yogyakarta : Nuha Medika.
Lituhayu, Rivanda. (2010). A-Z Tentang Makanan Pendamping ASl. Yogyakarta : Genius Publisher.
Mubarak, Wahit Iqbal. (2007). Promosi Kesehatan Sebuah Pengantar Proses Belajar Mengajar
dalam Pendidikan. Yogyakarta : Graha Ilmu.
Nadhiroh, Siti Rahayu. (2008). Menanti Perda ASI Eksklusif. (http://www.4rsss Weblog.com.
diakses 22 April 2010).
Nindya, Arum. (2008). ASI Eksklusif. (http://asuh.wikia.com/wiki/ASI_eksklusif.diakses 22 April
2010)
Notoatmodjo, Soekidjo. (2003). Pendidikan dan Perilaku kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Notoatrnodjo, Soekidjo. (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Nursalam. (2008). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta:
Salemba Medika
Prasetyono, Dwi Sunar. (2009). Buku Pintar ASI Eksk1usif.Yogyakarta: Diva Press.
Purwanti, Hubertin Sri, S.SiT. (2004). Konsep Penerapan ASI Eksklusif. Jakarta : EGC.
Setiadi. (2007). Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan.Yogyakarta : Graha Ilmu
Yulia, Nanda. (2010). ASI Ekskusif. (http:// www.asuh.wikia.com, diakses 22 April 2010).
Yuniardo, Nadia. (2010). 12 Keunggulan ASI. (http://www.menyusui.net. diakses 22 April 2010).
Vol 6. No. 1, Maret 2014 MEDICA MAJAPAHIT

KESEHATAN GIGI IBU HAMIL DI DI PUSKESMAS KEDUNGSARI


KABUPATEN MOJOKERTO

Eka Diah Kartiningrum *)

Abstrak
Kalsium gigi akan diserap oleh calon bayi sehingga menyebabkan gigi ibu rapuh dan akhirnya
hilang. Penyakit radang gusi dan gigi bisa mempengaruhi kehamilan dan perkembangan janin salah
satu penyebabnya adalah kurangnnya konsumsi makanan yang mengandung kalsium. Tujuan
penelitian ini adalah menggambarkan kesehatan gigi ibu hamil di Puskesmas Kedungsari Kabupaten
Mojokerto. Jenis Penelitian ini adalah deskriptif. Samplin secara acidental sampling dengan populasi
semua ibu hamil di Puskesmas Kedungsari Kabupaten Mojokerto. pengumpulan menggunakan alat
ukur kuesioner dan observasi yang diberikan pada tanggal 06 mei-03 juni 2013. Hasil penelitian
menunjukkan sejumlah 25 responden, sebagian besar responden mempunyai DMFT rendah artinya
mempunyai kesehatan gigi kurang sejumlah 15 responden(60 %). Semakin kurang pengetahuan ibu
hamil dalam mengkonsumsi kalsium maka kesehatan giginya semakin kurang. Faktor utama yang
mempengaruhi kurangnnya pengetahuan adalah kurang pemahaman responden terhadap objek
tertentu Oleh karena itu, diharapkan tenaga kesehatan dapat memberikan konseling tentang konsumsi
kalsium guna meningkatkan mutu pelayanan kesehatan selama kehamilan
Kata kunci :Kesehatan, Gigi, ibu hamil

A. PENDAHULUAN
Salah satu zat gizi penting pada ibu hamil adalah kalsium (Maulana, 2008). Studi
konsumsi kalsium di kota Bandung menunjukkan hasil rata-rata asupan kalsium masih kurang
dari angka kecukupan gizi yang di anjurkan (Achadi, 2010). Asupan yang di anjurkan kurang
lebih 1200 mg/hari bagi ibu hamil (Lailiyana dkk, 2010). Bila intake kalsium kurang pada ibu
hamil, maka kebutuhan kalsium akan di ambil dari gigi dan tulang ibu. Sehingga tak jarang bagi
bumil yang kurang asupan kalsium giginya menjadi caries atau pun keropos (Eko, 2010). Pada
kehamilan, terjadi peningkatan kadar asam di dalam rongga mulut, belum lagi jika wanita hamil
mengalami mual dan muntah yang dapat mengakibatkan paparan asam lambung pada gigi dan
gusi. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya radang/penyakit gusi dan gigi, yang pada akhirnya
bisa mempengaruhi kehamilan dan perkembangan janin (Adhi, 2009). Kehamilan mempengaruhi
gigi dan gusi dengan menyebabkan peningkatan kebutuhan karbohidrat, meningkatkan resiko
karies gigi, gingivitis kehamilan, kondisi gusi membengkak, vaskuler, nyeri tekan, dan mudah
berdarah (Sinclair, 2009)
Persatuan Dokter Gigi Indonesia mencatat prevalensi radang gusi pada ibu hamil
diseluruh dunia mencapai 75-90%. Data tersebut didukung pula dengan temuan riset yang
dilakukan Rumah Sakit Gigi Universitas Moestopo Beragama mencatat hanya sekitar 0.44% dari
277 pasien yang diteliti terhitung merawat gigi, sementara 2.69% mengalami pendarahan gigi,
71.37% terkena karang gigi, 22.91% mengalami penurunan gusi (4-5 mm) dan 2.64% mengalami
penurunan gusi hingga lebih dari 6 mm (Eman, 2009). Penelitian yang diselenggarakan oleh
Departemen Kesehatan disebutkan bahwa penduduk Indonesia lebih dari 70% telah karies dan
kerusakan gigi (Admin, 2010). Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) mencatat radang gusi
merupakan masalah mulut dan gigi yang sering menimpa ibu hamil dimana 5%-10% nya
mengalami pembengkakan gusi (Eman, 2009).Berdasarkan Data Riset Kesehatan Dasar Depkes
2007 menunjukkan 72,1 persen penduduk Indonesia mengalami karies pada gigi. Penduduk yang
mengalami gangguan kesehatan gigi ini tentu saja termasuk ibu hamil (Tari, 2012)
Secara alamiah, kalsium yang ada di dalam tulang akan "diserap" untuk memenuhi
kebutuhan janin. Fakta ini menjelaskan terjadinya kekeroposan tulang pada ibu hamil yang
kekurangan kalsium . Selain tulang, organ tubuh lain yang mengandung kalsium dalam jumlah
tinggi adalah gigi (Gkisuryautama, 2009). Metabolisme kalsium selama hamil berubah
mencolok. Kadar kalsium dalam darah ibu hamil turun drastis sebanyak 5% di banding tidak
hamil Oleh karena itu, asupan yang optimal perlu dipertimbangkan (Lailiyana, 2010). Saat hamil,
*) Penulis adalah Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto
Vol 6. No. 1, Maret 2014 MEDICA MAJAPAHIT
kalsium gigi akan diserap oleh calon bayi sehingga menyebabkan gigi ibu rapuh dan akhirnya
hilang atau tanggal ( Hudyono, 2008). Penelitian Nizel (1981) di Inggris yang dikutip oleh
Kosasih (2007) menguraikan bahwa makanan dapat berpengaruh terhadap kesehatan gigi. Sering
masalah gizi timbul karena ketidaktahuan atau kurang informasi tentang gizi yang memadai
(berg, 1987). Berdasarkan studi pendahuluan yang di lakukan pada tanggal 6 maret 2013 di
Puskesmas Kedungsari Kabupaten Mojokerto. Setelah di wawancarai dari 5 responden, 3 ibu
hamil mengatakan sering mengalami gangguan kesehatan gigi pada saat kehamilannya dan 2 ibu
hamil yang lain tidak mengalami gangguan kesehatan gigi. Berdasarkan latar belakang di atas,
peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang kesehatan gigi ibu hamildi Puskesmas
Kedungsari Kabupaten Mojokerto.

B. METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan di Puskesmas Kedungsari Kabupaten Mojokerto. Desain
penelitian yang digunakan adalah deskriptif. Pada penelitian ini peneliti melakukan pengambilan
data pada variabel kesehatan gigi pada ibu hamil. Populasinya adalah semua ibu hamil yang
berkunjung di Puskesmas Kedungsari Kabupaten Mojokerto pada bulan Januari-Februari 2013
sebanyak 35 ibu hamil. Sampel terdiri dari bagian populasi terjangkau yang dapat dipergunakan
sebagai subjek penelitian yang melalui sampling Dalam penelitian ini sampelnya memenuhi
kriteria sebagai berikut:
1. Kriteria Inklusi
Merupakan kriteria dimana subjek penelitian dapat mewakili sampel penelitian yang
memenuhi syarat sebagai sampel. (Hidayat, 2007)
a. Ibu hamil di Puskesmas Kedungsari Kabupaten Mojokerto
b. Ibu hamil yang bersedia menjadi responden
2. Kriteria Eksklusi
Merupakan kriteria dimana subjek penelitian tidak dapat mewakili sampel karena
tidak memenuhi syarat sebagai sampel penelitian (Hidayat, 2007)
a. Ibu hamil yang tidak bisa baca dan tulis.
b. Ibu hamil yang berada di luar Puskesmas Kedungsari Kabupaten Mojokerto.
Jadi sampel dalam penelitian ini adalah ibu hamil yang berkunjung di Puskesmas Kedungsari
Kabupaten Mojokerto. Peneliti menggunakan tehnik Non-probabilitysampling jenis accidental
sampling yaitu teknik penentuan sampel berdasarkan kebetulan, yaitu siapa saja yang secara
kebetulan bertemu dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel, bila dipandang orang yang
kebetulan ditemui itu cocok sebagai sumber data.

Tabel 1. Definisi Operasional Kesehatan Gigi Ibu Hamil


Variabel Definisi Operasional Kriteria Skala
Kesehatan gigi Tingkat atau kondisi kesehatan gigi 1) Sangat rendah : 0,0-1,1 Ordinal
ibu hamil ibu ketika hamil yang dapat diukur 2) Rendah : 1,2 2,6
dengan menggunakan cheklist 3) Sedang : 2,7 4,4
4) Tinggi : 4,5 6,5
5) Sangat tinggi : >6,6
(WHO, 2008)

Penelitian menggumpulkan data mengunakan data primer yang langsung didapat dari
responden melalui observasi untuk mengetahui tingkat kesehatan gigi ibu hamil menggunakan
DMFT. Rumus yang digunakan untuk menghitung DMF-T :
Vol 6. No. 1, Maret 2014 MEDICA MAJAPAHIT
Setiap gigi dicatat satu kali, dengan keterangan:
D = Decay atau rusak
- Ada karies pada gigi.
- Mahkota gigi hancur karena karies gigi.
M = Missing atau hilang
- Gigi yang telah dicabut karena karies gigi.
- Karies yang tidak dapat diperbaiki dan indikasi untuk pencabutan.
F = Filled atau tambal
- Tambalan permanen dan sementara.
- Gigi dengan tambalan tidak bagus tapi tanpa karies yang jelas.
Kategori DMF-T menurut WHO :
Sangat rendah (0,0 1,1) : kode 1
Rendah (1,2 2,6) : kode 2
Sedang (2,7 4,4) : kode 3
Tinggi (4,5 6,5) : kode 4
Sangat tinggi (> 6,5) : kode 4
Setelah data terkumpul dilakukan pengecekan pada data dari hasil kuesioner, apakah ada
kesalahan dalam pengisian kuesiner yang terkumpul diperiksa ulang untuk mengetahui
kelengkapan, data dikelompokan dan ditabulasi berdasarkan variabel yang diteliti kemudian
dilakukan perhitungan untuk masing-masing variabel.

C. HASIL PENELITIAN
1. Gambaran Lokasi Penelitian.
Penelitian ini di lakukan di Puskesmas Kedungsari Kabupaten Mojokerto tahun tanggal 6
mei 2013. Luas wilayah puskesmas kedungsari 2097 meter persegi Puskesmas Kedungsari milik
Dinas Kesehatan Kabupaten Mojokerto yang berdiri sejak tahun 1998 yang di tempatkan di Desa
Kedungsari, tepatnya di jalan raya Kedungsari no. 7 Kedungsari Kecamatan Kemlagi, Kabupaten
Mojokerto. Adapun sarana yang di miliki puskesmas kedungsari terdiri dari 2 dokter, 9 bidan, 8
perawat, 1 ruang kepala puskesmas, 1 ruang UGD dan BP umum, 1 ruang BP gigi, 1 ruang KIA
dan KB, 1 ruang tunggu dan loket, 1 ruang gudang obat dan kamar obat, 1 ruang klinik sanitasi, 1
ruang imunisasi dan laborat, 1 ruang tata usaha, 2 ruang toilet, 1 ruang pertemuan.
Data yang diambil terdiri dari data umum dan data khusus pada 25 ibu hamil. Data umum
terdiri dari umur, pendidikan, pekerjaan, sumber informasi yang di dapat ibu. Data khusus terdiri
dari pengetahuan ibu hamil dalam mengkonsumsi kalsium, kesehatan gigi dan hubungan antara
pengetahuan ibu hamil dalam mengkonsumsi kalsium dengan kesehatan gigi di Puskesmas
Kedungsari Kabupaten Mojokerto. Puskesmas Kedungsari Kabupaten Mojokertomembawai 8
desa terletak di jalan raya kedungsari no.7 kedungsari yang berbatasan dengan:
Sebelah Utara : Wilayah Kecamatan Kemlagi, Kabupaten Mojokerto
Sebelah Timur : Wilayah Kecamatan Gedeg, Kabupaten Mojokerto
Sebelah Selatan : Wilayah Kecamatan Kesamben, Kabupaten Jombang
Sebelah Barat : Wilayah Kecamatan Ngusikan, Kabupaten Jombang
2. Data Umum
a. Karakteristik responden berdasarkan umur
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur Di Puskesmas
Kedungsari Kabupaten Mojokerto Pada Tanggal 6 Mei 2 Juni 2013.
No. Umur Responden Frekuensi Persentase(100 %)
1. <20 3 12
2. 20-35 20 80
3. >35 2 8
Jumlah 25 100
Berdasarkan tabel 2 menunjukkan bahwa hamper seluruh responden berumur 20-35
tahun sejumlah 20 orang (80 %).
Vol 6. No. 1, Maret 2014 MEDICA MAJAPAHIT
b. Karakteristik responden berdasarkan pendidikan
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pendidikan Di Puskesmas
Kedungsari Kabupaten Mojokerto Pada Tanggal 6 Mei 2 Juni 2013.
No. Pendidikan responden Frekuensi Persentase (100 %)
1. SD 16 64
2. SMP 6 24
3. SMA 3 12
4. PERGURUAN TINGGI 0 0
Jumlah 25 100
Berdasarkan tabel 3 menunjukkan bahwa sebagian besar responden berpendidikan
SD sejumlah 16 orang (64 %).

c. Karakteristik responden berdasarkan pekerjaan


Tabel 4. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pekerjaan Di Puskesmas
Kedungsari Kabupaten Mojokerto Pada Tanggal 6 Mei 2 Juni 2013.
No. Pekerjaan Responden Frekuensi Persentase (100%)
1. Bekerja 8 32
2. Tidak bekerja 17 68
Total 25 100
Berdasarkan tabel 4 menunjukkan sebagian besar responden tidak bekerja sejumlah
17 orang (68 %).

d. Karakteristik responden berdasarkan sumber informasi.


Tabel 5. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Sumber Informasi Di
Puskesmas Kedungsari Kabupaten Mojokerto Pada Tanggal 6 Mei 2 Juni
2013.
No. Sumber informasi Frekuensi Persentase (100 %)
1. Media Elektronik 0 0
2. Media Masa 1 4
3. Tenaga kesehatan 8 32
4. Teman/Saudara 16 64
Jumlah 25 100
Berdasarkan tabel 5 menunjukkan bahwa sebagian besar responden mendapatkan
informasi dari teman/saudara sejumlah 15 orang (60 %).

3. Data Khusus
a. Kesehatan gigi
Tabel 6. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kesehatan Gigi Ibu Hamil Di
Puskesmas Kedungsari Kabupaten Mojokerto Pada Tanggal 6 Mei - 2 Juni
2013.
No. Kesehatan Gigi Frekuensi Persentase(100 %)
1. DMF-T sangat rendah 10 40
2. DMF-T rendah 15 60
3. DMF-T sedang 0 0
4. DMF-T tinggi 0 0
5. DMF-T sangat tinggi 0 0
Total 25 100
Berdasarkan tabel 6 menunjukkan bahwa sebagian besar responden mempunyai
(DMF-T) rendah artinya mempunyai kesehatan gigi kurang sejumlah 15 orang (60 %).
Vol 6. No. 1, Maret 2014 MEDICA MAJAPAHIT

D. PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN


Hasil penelitian menjelaskan bahwa sebagian besar responden mempunyai (DMF-T)
rendah artinya mempunyai kesehatan gigi kurang sejumlah 15 orang (60 %). Gigi normal terdiri
dari 3 bagian; kepala, leher, dan akar. Kesehatan gigi yaitu berkaitan dengan kesehatan secara
keseluruhan dan kesejahteraan dalam berbagai cara. Kemampuan untuk mengunyah dan menelan
makanan kita, sangat penting untuk mendapatkan nutrisi yang kita butuhkan untuk kesehatan
yang baik. (Potter & Perry, 2005:1367). Karies gigi merupakan masalah gigi paling umum.
Perkembangan lubang merupakan proses patologi yang melibatkan kerusakan email gigi pada
akhirnya melalui kekurangan kalsium. Kekurangan kalsium adalah hasil dari akumulasi musin,
karbohidrat, basilus asam laktat pada saliva yang secara normal ditemukan pada mulut, yang
membentuk lapisan gigi disebut plak(Potter & Perry, 2005:1370) Tanda klinis awal terjadinya
karies gigi ditandai dengan bercak putih (white spot). Hal ini disebabkan karena terjadi pelepasan
ion calcium dan phosphate dari enamel prisma. Pada keadaan ini, permukaan gigi masih terlihat
utuh. Hal ini sering ditemukan pada area yang mudah tertimbun plak seperti area pit dan fissure
serta dibawah kontak point diantara gigi geligi. Bila proses berlanjut maka permukaan gigi akan
pecah dan terbentuklah karies, dan bila hal ini terjadi gigi tersebut harus dilakukan penambalan
(Emid, 2010)
Berdasarkan hasil penelitian ini di dapatkan rata-rata responden mempunyai kesehatan
gigi kurang, Karies gigi merupakan masalah gigi paling umum. Perkembangan lubang
merupakan proses patologi yang melibatkan kerusakan email gigi pada akhirnya melalui
kekurangan kalsium. Kekurangan kalsium adalah hasil dari akumulasi musin, karbohidrat,
basilus asam laktat pada saliva yang secara normal ditemukan Karies dijumpai lebih banyak pada
responden yang kurang kesadaran akan kebersihan giginya,
Sedangkan pada responden yang minat hidup sehatnnya tinggi dan memperhatikan pola
makan dan kebersihan giginnya, karies di jumpai lebih rendah. kurangnya informasi akan
pentingnnya menjaga kebersihan mulut juga menjadi sebab timbulnya penyakit mulut khususnya
pada gigi.
Bila intake Ca kurang pada ibu hamil, maka kebutuhan Ca akan diambil dari gigi dan
tulang ibu. Sehingga tidak jarang bagi bumil yang kurang asupan Ca giginya menjadi karies
ataupun keropos serta diikuti dengan nyeri pada tulang dan persendian (Eko, 2010). Sejak ada
pepatahsatu gigi lepas pada setiap kehamilan, keingintahuan mengenai kesehatan gigi dan
mulut pada ibu hamil semakin meningkat. Namun masalah kesehatan gigi saat hamil sering kali
terabaikan (Adhi, 2010). Kalsium bermanfaat untuk pembentukan tulang dan gigi. Pada ibu
hamil kalsium berfungsi untuk pertumbuhan janin sekitar 250 mg/hari serta untuk persediaan ibu
hamil sendiri agar pembentukan tulang janin tidak mengambil dari persediaan kalsium ibu
(Sibagarian 2010).
Pada ibu hamil yang tidak mengetahui fungsi kalsium maka ibu hamil akan kekurangan
kalsium, untuk memenuhi kebutuhan janin kalsium yang ada dalam tulang dan gigi ibu akan di
serap dan menyebabkan terjadinnya kekeroposan pada tulang dan gigi ibu akan rapuh dan
akhirnya tanggal. Sumber kalsium terdapat pada susu dan hasil olahannya, ikan/hasil laut,
sayuran berwarna hijau dan kacang-kacangan (Achmadi, 2007). Jika ibu hamil tidak mengetahui
sumber makanan yang mengandung kalsium maka ibu hamil akan kekurangan kalsium yang
berakibat pada pertumbuhan janin.
Pada ibu hamil kekurangan kalsium bisa menyebabkan kekeroposan tulang dan
kerapuhan gigi, dan kelebihan kalsium juga tidak baik. Kalsium pada ibu hamil dapat
mengakibatkan batu ginjal atau gangguan ginjal (Almatsier, 2009)
Jumlah konsumsi kalsium yang dianjurkan pada ibu hamil adalah 1200mg/hari bagi ibu
hamil yang berusia 25 tahun keatas dan 800mg/hari bagi ibu hamil yang berusia lebih muda
(Lailiana, 2010). Jadi kalsium sangat di butuhkan oleh tubuh khususnya pada ibu hamil. Hal ini
berarti ibu yang mempunyai pengetahuan kurang dalam mengkonsumsi kalsium tidak diterapkan
selama masa kehamilannya, dari pada ibu yang mempunyai pengetahuan baik. Pada saat hamil
pengetahuan ibu yang kurang mempengaruhi prilakunya, sehingga banyak ibu hamil yang kurang
mengerti dengan nutrisi yang diperlukan pada saat hamil.
Vol 6. No. 1, Maret 2014 MEDICA MAJAPAHIT
Penelitian Nizel (1981) di Inggris yang dikutip oleh Kosasih (2007) menguraikan bahwa
makanan dapat berpengaruh terhadap kesehatan gigi. Saat hamil, kalsium gigi akan diserap oleh
calon bayi sehingga menyebabkan gigi ibu rapuh dan akhirnya hilang atau tanggal.( Hudyono,
2008). Tanda klinis awal terjadinya karies gigi ditandai dengan bercak putih (white spot). Hal ini
disebabkan karena terjadi pelepasan ion kalsium dan fosfat dari enamel gigi. Pada keadaan ini,
permukaan gigi masih terlihat utuh. Hal ini sering ditemukan pada area yang mudah tertimbun
plak. Bila proses berlanjut maka permukaan gigi akan pecah dan terbentuklah karies, dan bila hal
ini terjadi gigi tersebut harus dilakukan penambalan (Emid, 2010). Berdasarkan penelitian
menyimpulkan Jika semakin kurang tingkat pengetahuan ibu hamil dalam mengkonsumsi
kalsium maka semakin rendah DMF-T atau semakin kurang pula kesehatan giginya. Menurut
penelitian ada kesamaan antara penelitian nizel di inggris (1981) makanan dapat berpengarauh
terhadap kesehatan gigi terbukti dari hasil penelitian responden yang kurang makan makanan
yang mengandung kalsium mempunyai masalah pada gigi, misalnnya karies gigi, kerapuan pada
gigi dan masalah gigi lainnya.

E. PENUTUP
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa sebagian besar responden mempunyai (DMF-T)
rendah artinya mempunyai kesehatan gigi kurang sejumlah 15 orang (60 %). Oleh sebab itu
diharapkan petugas kesehatan di Puskesmas Kedungsari Kabupaten Mojokerto dapat
memberikan informasi dan konseling dalam mengkonsumsi kalsium pada ibu hamil selama masa
kehamilan terutama yang memiliki pengetahuan kurang dalam mengkonsumsi kalsium.

DAFTAR PUSTAKA.
Achmadi, Endang L. 2008. Gizi dan Keehatan masyarakat. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
Adhi. 2010. Manajemen Kesehatan gigi pada Kehamilan. http://www.slideshare.net. Di Akses 16
Februari 2013
Almatsier, Sunita. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik Jakarta: PT Rineka Cipta
Asrinah dkk. 2010. Asuhan kebidanan. Yogyakarta: Graha ilmu
Atiek, S. 2006. Indeks Kebersihan Gigi dan Mulut. http://www.blogspot.com,diakses. Di Akses 10
februari 2013
Constance, Sinclair. 2010. Buku saku kebidanan. Jakarta :EGC
Eko. 2010. Gizi Seimbang Ibu Hamil. b57ev.wordpress.com Di akses 1 Maret 2013
Ellya, eva. 2010. Gizi dalam kesehatan reproduksi. Jakarta: Cv. Trans informasi Media
Eman. 2009. Gizi. http://www.gizi.net. Di Akses 16 Februari 2013
Emid. 2010. Karies Gigi. http://www.garudasentramedika.co.id. Di Akses 29 Februari 13
Hidayah, A. Azis alimul. 2010. Metode Penelitian Kebidanan Tekhnik Analisis Data. Jakarta :
Salemba Medika
Hidayat, A. Azis Alimul. 2007. Riset Keperawatan dan Tekhnik Penulisan Ilmiah. Jakarta : Salemba
Medika
Hudyono, Rikko. 2008. Merawat Gigi saat Hamil. http://asnur-kesehatankita.blogspot.com. Di Akses
17 Februari 2010
Imron, moch. 2010. Metodologi penelitian bidang kesehatan. Jakarta : Sugeng seto
Kosasi. 2011. Karies gigi. http://repository.usu.ac.id. Di akses 16 Februari 2010
Lailana dkk. 2008.Buku ajar gizi kesehatan reproduksi. Jakarta: EGC
Manuaba, dr Ida Ayu Candra. 2009. Mamahami Kesehatan Reproduksi Wanita. Jakarta : EGC
Manuaba. 2006. Memahami kesehatan reproduksi wanita. Jakarta ; EGC
Manuaba. 2010. Ilmu kebidanan, penyakit kandungan, dan KB. Jakarta ; EGC
Maulana, mirza. 2010.Panduan Lengkap Kehamilan. Yogyakarta : Katahati
Meilani dkk,2009. Kebidanan komunitas. Jakarta : fitramaya
Notoatmodjo, Prof.Dr.Soekidjo. 2005. Metodilogi Penelitia Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta
Notoatmodjo, Prof.Dr.Soekidjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta
Notoatmodjo, Prof.Dr.Soekidjo. 2010. Promosi Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta
Vol 6. No. 1, Maret 2014 MEDICA MAJAPAHIT
Notoatmodjo. 2007. Promosi kesehatan dan ilmu perilaku. Jakarta : Rineka cipta
Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta : Salemba
Medika
Potter & Perry. 2005. Fundamental Keperawatan. Jakarta : EGC
Prawiroharjo. 2006. Ilmu kebidanan. Jakarta : EGC
Prawiroharjo. 2009. Ilmu kebidanan. Jakarta ; EGC.
Rohmana, tari.http://health.kompas.com/read/2012/10/17/18530081/6
Utama, Gkisurya. 2009. Gigi Keropos Waktu Hamil. http://www.gkisuryautama.org/artikel.php?id.
Diakses 17 Februari 2010
Wawan dan Dewi. 2010. Pengetahuan, sikap, dan perilaku manusia. Yogyakarta: Nuha Medika
Wawan dan Dewi. 2010. Teori & pengukuran Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Manusia Dilengkapi
Contoh Kuesioner. Yogyakarta : Nuha Medika
Vol 6. No. 1, Maret 2014 MEDICA MAJAPAHIT

PENGARUH TERAPI WILLIAM FLEXION EXERCISE TERHADAP NYERI


PUNGGUNG BAWAH PADA LANSIA DI PANTI WERDHA MOJOPAHIT
MOJOKERTO

Abdul Muhith1, Angga Novida Yasma2 *)

Abstrak
Salah satu masalah fisik sehari-hari yang sering ditemukan pada lansia adalah nyeri punggung
bawah. Salah satu tindakan yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah pada nyeri punggung
bawahdapat digunakan Terapi latihan : william flexion exercise. Terapi latihan william flexion
exercise digunakan untuk penguluran otot ekstensor daerah punggung dan penguatan otot-otot daerah
abdomen. Penelitian ini termasuk jenis penelitian dengan desain pre-experimental dengan
menggunakan rancangan theone group pretest-posttest design. Populasi dalam penelitian ini adalah
seluruh lansia yang mengalami nyeri punggung bawah di Panti Werdha Mojopahit Mojokerto yaitu
sejumlah 27 lansia, dan untuk sampel diambil berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi yang
ditentukan oleh peneliti. Untuk pengumpulan data digunakan lembar observasi skala nyeri Bourbanis.
Hasil penelitian didapatkan intensitas nyeri punggung bawah sebelum dilakukan terapi william flexion
exercise yaitu sebagian besar responden mengalami nyeri sedang yaitu sebanyak 6 orang (55 %) dan
terdapat hampir setengah responden lainnya mengalami nyeri berat yaitu 5 orang (45 %). Terjadi
penurunan intensitas nyeri sesudah terapi yang ditunjukkan dengan sebagian besar responden
mengalami nyeri sedang yaitu sebanyak 7 orang (64 %) dan hampir setengah responden lainnya
mengalami nyeri ringan yaitu 5 orang (36 %). Hasil uji statistik menyimpulkan bahwa ada pengaruh
pemberian terapi william flexion exercise terhadap nyeri punggung bawah pada lansia. Simpulan yang
dapat ditarik adalah ada perubahan intensitas nyeri yang dirasakan responden sesudah terapi karena
terjadi penurunan ketegangan otot terutama otot bagian lumbo sacral spine. Maka dari itu terapi
latihan william flexion exercise dapat digunakan sebagai salah satu terapi alternatif dan tidak hanya
berfokus pada terapi farmakologis dalam menangani nyeri khususnya nyeri punggung bawah.
Kata kunci : lansia, nyeri punggung bawah, william flexion exercise

A. PENDAHULUAN
Meningkatnya angka harapan hidup bagi penduduk Indonesia berdampak pada
meningkatnya masalah lanjut usia (lansia) yang semakin kompleks, dari masalah kesehatan
penyakit degeneratif sampai status mental lansia. Hal ini didasari dengan makin lanjutnya usia
seseorang maka kemungkinan terjadinya penurunan anatomik dan fisiologik atas organ-organnya
semakin besar (Boedhi, 2006). Perubahan fisiologis bervariasi pada setiap lansia. Beberapa lansia
tidak mampu melakukan aktivitas atau aktivitasnya terbatas karena adanya masalah fisik,
emosional atau sosial yang membuat lansia merasa sakit. Salah satu masalah fisik sehari-hari yang
sering ditemukan pada lansia adalah nyeri punggung bawah (Bandiyah, 2009). Dengan
munculnya rasa nyeri yang dirasakan oleh lansia ini maka akan mengakibatkan lansia tidak
produktif terutama dalam hal aktivitas maupun keterbatasan dalam merawat dirinya secara
mandiri. Hal ini sangat bertentangan dengan konsep bahwa selama individu tersebut memiliki
semangat untuk hidup serta melakukan kegiatan-kegiatan, maka ia akan tetap produktif dan
berbahagia meskipun usianya telah lanjut, sehingga tidak menjadi beban bagi keluarga dan
masyarakat (Maryam dkk, 2008).
Data epidemiologi mengenai nyeri punggung bawah yang ada yaitu 40% penduduk pulau
Jawa berusia diatas 55 tahun pernah menderita nyeri punggung bawah, prevalensi pada laki-laki
57,2% dan pada wanita 42,8%. Insiden berdasarkan kunjungan pasien dengan keluhan nyeri
punggung bawah ke beberapa rumah sakit di Indonesia berkisar antara 13-17% dari total penyakit
yang dikeluhkan pasien (Sadeli, 2011). Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan di
Panti Werdha Mojopahit Mojokerto didapatkan data jumlah lansia sampai bulan Maret 2012
sebanyak 43 orang dan ditemukan 27 lansia (62,8%) mengalami nyeri punggung bawah. Dari
hasil wawancara, dalam menangani masalah nyeri punggung bawah tersebut sebanyak 16 lansia
1) Penulis adalah Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Majapahit Mojokerto
2) Penulis adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Majapahit Mojokerto
Vol 6. No. 1, Maret 2014 MEDICA MAJAPAHIT
(59,26%) mengatakan langsung minum obat saat nyeri dan sebanyak 11 lansia (40,74%)
mengatakan hanya membiarkannya saja.
Penyebab dari nyeri punggung bawah adalah peregangan dari struktur yang sensitif
terhadap nyeri. Hal lain yang dapat mengakibatkan nyeri punggung bawah misalnya batuk, bersin,
mengangkat benda yang berat, atau peregangan dapat menimbulkan nyeri (Lyndon, 2009).
Gangguan yang terjadi akibat nyeri punggung bawah adanya nyeri tekan pada regio lumbal,
spasme otot-otot punggung, keterbatasan gerak punggung dan penurunan kekuatan otot punggung
dan ekstremitas inferior, sehingga dapat menimbulkan keterbatasan fungsi yaitu gangguan saat
bangun dari keadaan duduk, saat membungkuk, saat duduk atau berdiri lama dan berjalan
(Candra, 2011). Terdapat berbagai tindakan yang dapat dilakukan seorang perawat untuk
mengurangi rasa nyeri yang pasien derita. Tindakan-tindakan tersebut mencakup tindakan non
farmakologis dan tindakan farmakologis. Dalam beberapa kasus nyeri yang sifatnya ringan,
tindakan non farmakologis adalah yang paling utama, sedangkan tindakan farmakologis
dipersiapkan untuk mengantisipasi perkembangan nyeri. Sebagai contoh tindakan non
farmakologis yang dapat dilakukan adalah distraksi, relaksasi, imajinasi terbimbing, stimulasi
kutaneus maupun terapi latihan. Pada kasus nyeri sedang sampai berat, tindakan non farmakologis
menjadi suatu pelengkap yang efektif untuk mengatasi nyeri (Prasetyo, 2010). Salah satu tindakan
yang dapat dilakukan seorang perawat untuk mengatasi masalah pada nyeri punggung bawahdapat
digunakan Terapi latihan : william flexion exercise. Terapi latihan william flexion exercise
digunakan untuk penguluran otot ekstensor daerah punggung dan penguatan otot-otot daerah
abdomen sehingga ketegangan otot dapat menurun akibatnya nyeri dapat berkurang (Agus, 2009).
Oleh sebab itu peneliti tertarik untuk meneliti tentang Pengaruh Terapi William Flexion Exercise
Terhadap Nyeri Punggung Bawah Pada Lansia Di Panti Werdha Mojopahit Mojokerto.
.
B. METODE PENELITIAN
Penelitian ini termasuk jenis penelitian dengan desain pre-experimental dengan
menggunakan rancangan theone group pretest-posttest design. Ciri tipe penelitian ini adalah
mengungkapkan hubungan sebab akibat dengan cara melibatkan satu kelompok subjek.
Kelompok subjek diobservasi sebelum dilakukan intervensi, kemudian diobservasi lagi setelah
intervensi. Pengujian sebab akibat dilakukan dengan cara membandingkan hasil pre-tes dengan
post tes (Nursalam, 2008).

Menentukan Subyek
Penelitian
Melakukan pengukuran intensitas
Pre-Test nyeri sebelum diberikan terapi
Wiliam Flexion Exercise Hasil
Memberikan terapi pengukuran
William Flexion Exercise dibandingkan
yang dilakukan 4-5 antara sebelum
menit, diberikan dan sesudah
sebanyak 2 kali per diberikan terapi
minggu selama 1 bulan Wiliam Flexion
Exercise

Melakukan pengukuran intensitas


Post-Test nyeri sesudah diberikan terapi
Wiliam Flexion Exercise

Gambar 1. Frame WorkPengaruh Terapi William Flexion Exercise Terhadap Nyeri


Punggung Bawah Pada Lansia
Vol 6. No. 1, Maret 2014 MEDICA MAJAPAHIT

Tabel 1. Definisi Operasional Pengaruh Terapi William Flexion Exercise Terhadap


Nyeri Punggung Bawah Pada Lansia
No. Variabel Definisi Operasional Kriteria Skala
1. Terapi William Suatu bentuk terapi yang - -
Flexion diikuti oleh lanjut usia
Exercise dengan maksud menurunkan
ketegangan otot untuk
mengurangi nyeri punggung
bawah pada lansia yang
dilakukan 4-5 menit,
diberikan sebanyak 2 kali
per minggu selama 1 bulan
pada hari selasa dan kamis.
2. Nyeri Perasaan tidak Kriteria Ordinal
Punggung menyenangkan yang dialami Rentang nilai
Bawah seseorang sebagai tanda antara 0-10, yaitu:
adanya gangguan yang 1. Tidak nyeri: 0
dirasakan di daerah 2. Nyeri ringan: 1 - 3
punggung bagian bawah 3. Nyeri sedang: 4 - 6
pada lansia yang dapat 4. Nyeri berat:7 - 9
diukur dengan 5. Nyeri sangat berat: 10
menggunakan skala nyeri
Bourbanis. (Adhyati,2011)

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh lansia yang mengalami nyeri punggung
bawah di Panti Werdha Mojopahit Mojokerto yaitu sejumlah 27 lansia. Sampel adalah sebagian
obyek yang diambil dari keseluruhan obyek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi
(Notoatmodjo,2005). Jumlah sampel yang dipilih dalam penelitian ini adalah 11 lansia.
Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik non probability sampling dengan metode
purposive sampling yaitu suatu teknik penetapan sampel. Adapun kriteria sampel dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Kriteria inklusi adalah karakteristik sampel yang dapat dimasukkan atau yang layak diteliti,
yaitu :
a. Responden tidak mengonsumsi obat pereda nyeri.
b. Responden berusia 55 sampai dengan 75 tahun.
2. Kriteria eksklusi adalah responden yang tidak layak dijadikan sampel, yaitu:.
a. Responden tidak kooperatif.
b. Responden tidak mampu melakukan ADL secara mandiri.
c. Responden dalam keadaan sakit seperti demam.
d. Responden sedang tidak berada di Panti ketika dilakukan penelitian.
Data dikumpulkan dengan menggunakan lembar observasi skala nyeri Bourbanis.
Lembar observasi dilengkapi dengan karakteristik responden yang berisi: inisial nama, umur,
pendidikan terakhir, pekerjaan, tanggal terapi dan intensitas nyeri yang dirasakan. Pemeriksaan
skala nyeri menggunakan seperangkat alat tulis dengan menggunakan instrumen berupa lembar
observasi intensitas nyeri. Langkah-langkah pengumpulan dimulai dari pemilihan responden
sesuai dengan kriteria inklusi, kemudian peneliti melakukan pendekatan pada responden untuk
menjelaskan maksud dan tujuan penelitian serta perlakukan yang akan diberikan pada responden.
Langkah selanjutnya peneliti mengukur skala nyeri punggung bawah responden sebelum
dilakukan terapi dengan cara responden diminta menunjukkan rasa nyeri antara 0-10, 0 : tidak
nyeri, 1-3 : nyeri ringan,4-6 : nyeri sedang,7-9 : nyeri berat,10 : nyeri sangat berat.
Kemudian peneliti mempersiapkan alat-alat yang akan digunakan untuk terapi William
flexion exercise, dalam hal ini matras. Kemudian membimbing responden untuk dilakukan terapi
Vol 6. No. 1, Maret 2014 MEDICA MAJAPAHIT
selama kurang lebih 4-5 menit, diberikan sebanyak 2 kali per minggu selama 1 bulan pada hari
selasa dan kamis. Setelah selesai terapi peneliti kembali mengukur skala nyeri punggung bawah
respondenAdapun tahap-tahap analisis data adalah sebagai berikut :
a. Analisis univariat
Analisis dilakukan terhadap tiap-tiap variabel dari hasil penelitian. Analisis ini
menghasilkan distribusi dan prosentase dari tiap variable, serta meihat apakah semua data
masuk dalam entry atau ada data yang hilang (missing).
b. Analisis bivariat
Analisis untuk melihat dua variabel yang diduga berhubungan atau berpengaruh,
yaitu variabel independen (terapi william flexion exercise) dan variabel dependen(nyeri
punggung bawah). Dalam analisis hasil penelitian ini digunakan jenis uji Wilcoxon dengan
= 0,05. Bila p 0,05 maka H0 diterima dan H1 ditolak dan Bila p < 0,05 maka H0 ditolak
dan H1 diterima.

C. HASIL PENELITIAN
1. Data Umum
Data ini menggambarkan karakteristik responden yang berada di Panti Werdha
Mojopahit Mojokerto yang meliputi :
a. Karakteristik responden berdasarkan umur

Gambar 2. Distribusi frekuensi berdasarkanumur responden yang diberi


terapiwilliam flexion exercise di Panti Werdha Mojopahit Mojokerto
pada bulan Juni 2012.

Gambar 2 menjelaskan bahwa sebagian besar responden berusia 55 64 tahun,


yaitu sebanyak 7 orang (64 %) dan hampir setengah responden lainnya berusia 65 74
tahun, yaitu sebanyak 4 orang (36 %).

b. Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan

Gambar 3. Distribusi frekuensi berdasarkantingkat pendidikan responden yang


diberi terapiwilliam flexion exercise di Panti Werdha Mojopahit
Mojokerto pada bulan Juni 2012.
Vol 6. No. 1, Maret 2014 MEDICA MAJAPAHIT

Gambar 3 dapat menjelaskan bahwa sebagian besar responden tidak sekolah


yaitu sebanyak 6 orang (55 %) dan sebagian kecil responden menempuh pendidikan
SMP yaitu sebanyak 1 orang (9 %).

c. Karakteristik responden berdasarkan pekerjaan.

Gambar 4. Distribusi frekuensi berdasarkanpekerjaan responden yang diberi


terapiwilliam flexion exercise di Panti Werdha Mojopahit Mojokerto
pada bulan Juni 2012.
Berdasarkan gambar 4 dapat dilihat bahwa sebagian besar responden bekerja
sebagai petani yaitu sebanyak 7 orang (64 %) dan sebagian kecil responden lainnya
bekerja sebagai pedagang dan penjahit masing masing sebanyak 2 orang (18 %).

2. Data Khusus
Data ini menggambarkan hasil penelitian yang diperoleh dari responden di Panti
Werdha Mojopahit Mojokerto yang meliputi :
a. Intensitas nyeri punggung bawah pada lansia sebelum diberikan terapi WilliamFlexion
Exercise.
Tabel 2. Distribusi frekuensi intensitas nyeri punggung bawah sebelum
diberikan terapi william flexion exercise
No. Intensitas nyeri punggung bawah Frekuensi Prosentase (%)
1. Tidak Nyeri 0 0
2. Nyeri Ringan 0 0
3. Nyeri Sedang 6 55
4. Nyeri Berat 5 45
5. Nyeri Sangat Berat 0 0
Jumlah 11 100

Tabel 2 menjelaskan bahwa sebagian besar responden mengalami nyeri sedang


yaitu sebanyak 6 orang (55 %) dan hampir setengah responden lainnya mengalami
nyeri berat yaitu 5 orang (45 %).
b. Intensitas nyeri punggung bawah pada lansia sesudah diberikan terapi william flexion
exercise.
Tabel 3. Distribusi frekuensi intensitas nyeri punggung sesudah diberikan terapi
william flexion exercise
No. Intensitas nyeri punggung bawah Frekuensi Prosentase (%)
1. Tidak Nyeri 0 0
2. Nyeri Ringan 4 36
3. Nyeri Sedang 7 64
4. Nyeri Berat 0 0
5. Nyeri Sangat Berat 0 0
Jumlah 11 100
Vol 6. No. 1, Maret 2014 MEDICA MAJAPAHIT

Tabel 3 menjelaskan bahwa sesudah diberikan terapi william flexion


menunjukkan sebagian besar responden mengalami nyeri sedang yaitu sebanyak 7
orang (64 %) dan hampir setengah responden lainnya mengalami nyeri ringan yaitu 4
orang (36 %).

c. Pengaruh pemberian terapi william flexion exercise terhadap nyeri punggung bawah
pada lansia.
Tabel 4. Distribusi frekuensi pengaruh pemberian terapi william flexion exercise
terhadap nyeri punggung bawah
Sesudah terapi
B
Intensitas Nyeri
e Tidak Nyeri Nyeri Nyeri
nyeri Sangat Jumlah
r Nyeri Ringan Sedang Berat
punggung Berat
d bawah F % F % F % F % F %
a
Tidak
s - - - - - - - - - - -
Nyeri
a
Nyeri
r - - - - - - - - - - -
Ringan
k
Nyeri
a - - 4 36 2 19 - - - - 6 (55%)
Sedang
n
Sebelum
Nyeri
terapi - - - - 5 4% - - - - 5 (45%)
t Berat
a Nyeri
b Sangat - - - - - - - - - - -
e Berat
l 11
Jumlah - - 4 36 7 64 - - - -
(100%)
Analisa
4 Wilcoxon Signed Ranks Test 0,003
uji
didapatkan hasil pada saat pengukuran intensitas nyeri punggung bawah sebelum
dilakukan terapi william flexion exercise responden mengalami nyeri berat sebanyak 5
orang (45 %), sesudah dilakukan terapi dan diukur kembali intensitas nyeri punggung
bawah responden menunjukkan responden mengalami penurunan intensitas nyeri
menjadi nyeri sedang. Untuk responden lainnya saat pengukuran intensitas nyeri
punggung bawah sebelum dilakukan terapi william flexion exercise responden
mengalami nyeri sedang yaitu 6 orang (55 %), sesudah dilakukan terapi dan diukur
kembali intensitas nyeri punggung bawah responden menunjukkan responden
mengalami penurunan intensitas nyeri menjadi nyeri ringan sebanyak 4 orang (36 %)
dan sisanya tetap mengalami nyeri sedang sebanyak 2 orang (19 %). Hasil analisis uji
Wilcoxon Signed Ranks Test diperoleh angka significancy yaitu 0,003. Karena nilai
significancy (p) < 0,05 maka H0 ditolak dan H1 diterima yang berarti bahwa ada
pengaruh pemberian terapi william flexion exercise terhadap nyeri punggung bawah
pada lansia.

D. PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN


1. Intensitas nyeri punggung bawah pada lansia sebelum diberikan terapi william flexion
exercise.
Hasil penelitian menjelaskan bahwa sebelum diberikan terapi william flexion
exercise sebagian besar lansia mengalami nyeri sedang yaitu sebanyak 6 orang (55 %) dan
hampir setengah responden lainnya mengalami nyeri berat yaitu 5 orang (45 %).
Vol 6. No. 1, Maret 2014 MEDICA MAJAPAHIT
Nyeri punggung bawah atau low back pain merupakan rasa nyeri, ngilu, pegal yang
terjadi di daerah punggung bagian bawah. Nyeri punggung bawah bukanlah diagnosis tapi
hanya gejala akibat dari penyebab yang sangat beragam (Sinaga, 2011). Nyeri ini muncul
akibat adanya potensi kerusakan ataupun adanya kerusakan jaringan antara lain: dermis
pambuluh darah, facia, muskulus, tendon, cartilago, tulang ligament, intra artikuler
meniscus, bursa. Tanda dan gejala nyeri punggung bawah adalah onset / waktu timbulnya
bertahap, nyeri difus (setempat) sepanjang punggung bawah, tenderness pada otot-otot
punggung bawah, lingkup gerak sendi (LGS) terbatas, tanda-tanda gangguan neurologis
tidak ada (Agus, 2009). Faktor risiko nyeri punggung bawah meliputi usia, jenis kelamin,
status antopometri, pekerjaan, aktivitas, kebiasaaan merokok abnormalitas struktur, dan
riwayat episode nyeri punggung bawah sebelumnya.
Faktor risiko di tempat kerja yang banyak menyebabkan gangguan otot rangka
terutama adalah kerja fisik berat, penanganan dan cara pengangkatan barang, gerakan
berulang, posisi atau sikap tubuh selama bekerja, getaran, dan kerja statis (Setyawan, 2011).
Nyeri punggung bawah yang dialami responden dapat disebabkan oleh karena faktor
pekerjaan. Hal ini terbukti bahwa sebagian besar responden bekerja sebagai petani yaitu
sebanyak 7 orang (64 %). Bekerja sebagai petani menuntut seseorang untuk seringkali
membungkukkan punggungnya pada waktu mencangkul maupun menanam padi. Kegiatan
membungkuk yang berulang menyebabkan ketegangan otot yang meningkat sehingga
muncul rasa nyeri terutama pada punggung bagian bawah. Nyeri punggung bawah dapat
menimbulkan keterbatasan fungsi yaitu gangguan saat bangun dari keadaan duduk, saat
membungkuk, saat duduk atau berdiri lama dan berjalan.
2. Intensitas nyeri punggung bawah pada lansia sesudah diberikan terapi william flexion
exercise.
Intensitas nyeri punggung bawah pada lansia sesudah diberikan terapi william
flexion exercise menunjukkan bahwa sebagian besar lansia mengalami nyeri sedang yaitu
sebanyak 7 orang (64 %) dan hampir setengah responden lainnya mengalami nyeri ringan
yaitu 4 orang (36 %).
Pada dasarnya dikenal dua tahapan terapi nyeri punggung bawah : konservatif dan
operatif. Kedua tahapan terapi tadi mempunyai kesamaan tujuan ialah rehabilitasi (Harsono,
2003). Salah satu tindakan yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah pada nyeri
punggung bawahdapat digunakan Terapi latihan : william flexion exercise. Latihan ini
dirancang untuk mengurangi nyeri punggung dengan memperkuat otot-otot yang
memfleksikan lumbo sacral spine, terutama otot abdominal dan otot gluteusmaximus dan
meregangkan kelompok ekstensor punggung bawah. Latihan ini sebaiknya dilakukan tidak
hanya pada waktu terasa sakit saja (Prasetyo, 2010).
Pengaruh dari terapi William Flexion Exercise yang mempunyai prinsip
memperkuat otot-otot abdominal sebagai otot penggerak fleksi lumbosacral dan
meregangkan otot-otot ekstensor punggung bawah, karena semakin otot itu relax dan tidak
tegang maka otot tersebut dapat bergerak dengan penuh tanpa adanya rasa nyeri dan spasme.
Sehingga responden mengalami penurunan intensitas nyeri terutama nyeri punggung bawah.
3. Pengaruh pemberian terapi william flexion exercise terhadap nyeri punggung bawah
pada lansia.
Dalam penelitian ini akan dibandingkan antara pengukuran intensitas nyeri sebelum
terapi dan sesudah terapi. Berdasarkan tabel 4 didapatkan hasil pada saat pengukuran
intensitas nyeri punggung bawah sebelum dilakukan terapi william flexion exercise
responden mengalami nyeri berat sebanyak 5 orang (45 %), sesudah dilakukan terapi dan
diukur kembali intensitas nyeri punggung bawah responden menunjukkan responden
mengalami penurunan intensitas nyeri menjadi nyeri sedang. Untuk responden lainnya saat
pengukuran intensitas nyeri punggung bawah sebelum dilakukan terapi william flexion
exercise responden mengalami nyeri sedang yaitu 6 orang (55 %), sesudah dilakukan terapi
dan diukur kembali intensitas nyeri punggung bawah responden menunjukkan responden
mengalami penurunan intensitas nyeri menjadi nyeri ringan sebanyak 4 orang (36 %) dan
Vol 6. No. 1, Maret 2014 MEDICA MAJAPAHIT
sisanya tetap mengalami nyeri sedang sebanyak 2 orang (19 %). Hasil uji statistik Wilcoxon
Signed Ranks Test diperoleh angka significancy yaitu 0,003. Karena nilai significancy (p) <
0,05 maka H0 ditolak dan H1 diterima yang berarti bahwa ada pengaruh pemberian terapi
william flexion exercise terhadap nyeri punggung bawah pada lansia.
Dr. Paul William pertama kali memperkenalkan program latihan william flexion
exercise pada tahun 1937 untuk pasien dengan nyeri punggung bawah kronik sebagai respon
atas pengamatan klinik dimana kebanyakan pasien yang pernah mengalami nyeri
punggung bawah dengan degenerasi vertebra hingga penyakit degeneratif discus.
William flexion exercise dirancang untuk mengurangi nyeri punggung bawah dengan
memperkuat otot-otot yang memfleksikan lumbosacral spine terutama otot abdominal dan
otot gluteus maximus dan meregangkan kelompok otot ekstensor punggung. William Flexion
Exercise ini disamping efektif untuk nyeri punggung bawah juga efektif untuk memperbaiki
fleksibilias otot-otot punggung dan sirkulasi darah yang membawa nutrisi ke diskus
intervertebral (Priyambodo, 2008).
Perubahan intensitas nyeri yang dirasakan responden sesudah dilakukan terapi
William flexion exercise menunjukkan bahwa ada pengaruh dari terapi yang dilakukan
dimana dari 11 responden 9 orang mengalami penurunan intensitas nyeri dan 2 orang tetap
merasakan intensitas nyeri yang sama.
Respon nyeri seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu pengalaman
sebelumnya, ansietas, kebudayaan, usia, makna nyeri, gaya koping, perhatian, keletihan
serta dukungan keluarga dan sosial (Potter dan Perry, 2005).
Bila ada 2 responden yang tetap mengalami nyeri dengan intensitas yang sama bisa
disebabkan oleh karena faktor keletihan, dimana di tempat responden sekarang tinggal
responden dituntut untuk hidup secara mandiri meskipun dibantu hanya sebagian oleh
perawat jaga. Berdasarkan hasil pengamatan peneliti responden yang tetap mengalami
intensitas nyeri yang sama memang tampak lebih aktif meskipun usia mereka tergolong
lebih tua daripada responden yang lain. Bila seseorang terlalu banyak beraktivitas maka
akan menyebabkan rasa letih dan juga bila seseorang telah berumur maka kemampuan untuk
melakukan aktivitas-aktivitas yang sering akan meningkatkan intensitas nyeri yang
dirasakan. Selain itu tingkat kemaknaan nyeri antara individu satu dengan lainnya pun
berbeda sehingga tidak semua responden akan mengalami intensitas nyeri yang sama, hal
inilah yang mengakibatkan adanya perbedaan intensitas nyeri saat sebelum terapi maupun
sesudah terapi antar individu.

DAFTAR PUSTAKA
Agus, supriyanto. 2009. Pendekatan Fisioterapi Pada Problem Kapasitas Fisik Dan Kemampuan
Fungsional Pada Kondisi Low Back Pain Miogenik (Online). (http://es.scribd.com, diakses
pada tanggal 20 Maret 2012)
Adhyati,2011. Low back pain (LBP) - USU Repository (Online). (http://repository.usu.ac.id, diakses
pada tanggal 29 Mei 2012)
Bandiyah. 2009. Lanjut Usia. (http://bandiyahs.blogspot.com, diakses pada tanggal 15 Desember
2011)
Boedhi, K. (2006). Asuhan Keperawatan Gerontik (Online). (http://boedhi-
ilmukeperawatan.blogspot.com, diakses pada tanggal 15 Desember 2011)
Candra, 2011. Peran Fisioterapi Dalam Penanganan LBP (Online). (http://etd.eprints.ums.ac.id,
diakses pada tanggal 17 Maret 2012)
Hadian, Agus.2010. Terapi Konservatif untuk Low back Pain (Online). (http://www.jamsostek.co.id,
diakses pada tanggal 29 Mei 2012)
Harsono. 2003. Kapita Selekta Neurologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Pers
Hidayat, A. Aziz. 2003. Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah, Edisi 1. Jakarta : Salemba
medika.
Hidayat, A. Aziz. 2007. Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisa Data. Jakarta : Salemba
Medika
Vol 6. No. 1, Maret 2014 MEDICA MAJAPAHIT
Lyndon, saputra. 2010. Intisari Ilmu Penyakit Dalam. Tangerang : Binarupa Aksara
Maryam, R Siti. 2008. Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Jakarta : Salemba Medika
Notoatmodjo, Soekidjo. 2005. Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta
Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan, Edisi 2. Jakarta :
Salemba Medika
Potter, Patricia A & Perry, Anne Griffin. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep,
Proses dan Praktik, Edisi 4. Jakarta : EGC
Prasetyo, Sigit Nian. 2010. Konsep dan Proses Keperawatan Nyeri. Yogyakarta : Graha Ilmu
Priyambodo, Hanung. 2008. Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kondisi Low Back Pain Miogenik Di
RSUD Boyolali. Karya tulis ilmiah diploma tidak dipublikasikan. Universitas
Muhammadiyah Surakarta
Setyawan, Aris. 2011. Low Back Pain (Online). (http://setyawan.wordpress.com, diakses pada tanggal
21 Maret 2012)
Sinaga. 2009. Nyeri Punggung Bawah/Low Back Pain. (http://sinaga.blogspot.com, diakses pada
tanggal 19 Maret 2012)
Tamsuri, Anas. 2007. Konsep dan Penatalaksanaan Nyeri. Jakarta :EGC
Zuyina, Luklukaningsih. 2010. Sinopsis Fisioterapi Untuk Latihan. Yogyakarta : Nuha Medika
PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL

Format
1. Artikel diketik dengan dengan spasi ganda pada kertas A4 (210x297).
2. Panjang artikel maksimum 7.000 kata dengan huruf Courier atau Times
New Roman font 11 atau sebanyak 15 20 halaman.
3. Margin atas, bawah, samping kanan, dan samping kiri sekurang kurangnya
1 inchi.
4. Setiap tabel dan gambar diberi nomor urut, judul yang sesuai dengan isi
tabel atau gambar serta sumber kutipan.
5. Kutipan dalam teks menyebutkan nama belakang (akhir) penulis, tahun,
dan nomor halaman jika dipandang perlu, contoh :
a. Satu sumber kutipan dengan satu penulis (Maziyah, 2005), jika
disertai dengan halaman (Maziyah, 2005:19).
b. Satu sumber kutipan dengan dua penulis (Tiagarajan dan Semmel,
1981).
c. Satu sumber kutipan dengan lebih dari dua penulis (Anderson dkk,
1982).
d. Dua sumber kutipan dengan penulis yang sama (Anderson, 1988,
1989), jika tahun publikasi sama (Anderson, 1988a, 1988b).
e. Sumber kutipan dari satu institusi sebaiknya menyebutkan singkatan
atau akronim yang bersangkutan (BPN, 2007:BPS, 2008).

Penyerahan Artikel
Artikel diserahkan dalam bentuk compact disk (CD) dan dua eksemplar yang
tercetak, kepada

Kantor P2M Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Majapahit Mojokerto


Jl. Raya Jabon KM 2 Gayaman Mojoanyar Mojokerto
Telp/Fax (0321) 329915

Anda mungkin juga menyukai