Anls
Anls
OVERVIEW ANLS
Dr. Mursyid Bustami, Sp.S(K), KIC
Latar belakang
Seiring dengan kemajuan dalam pembangunan khususnya yang berkaitan dengan kesehatan
maka terjadi pula pergeseran pola penyakit. Dahulu penyakit infeksi merupakan keadaan yang
menjadi stau masalah besar di bjdang kesehatan, pada saat sekarang penyakit degeneratif
merupakan masalah utama.
Di bidang neurologi terjadi juga hal yang sama walaupun masalah infeksi susunan saraf pusat
akhir-akhir ini mengalami peningkatan jumlah kasus (dengan banyaknya penyandang HIV).
Sebagaimana di negara berkembang lainnya stroke merupakan penyebab kematian utama ke 3
setelah kasus trauma dan jantung serta penyebab kecaactan utama. Bahkan dari data Depkes
(Riskesdas) menunjukkan bahwa stroke merupakan penyebab kematian utama di rumah-rumah
sakit di Indonesia. Selain itu kejadian trauma kepala dan trauma medula spinalis dengan segala
akibatnya memperlihatkan kecenderungan peningkatan, hal ini sejalan dengan semnakin
tingginya tingkat kecelakaan lalu lintas.
Otak yang hanya dengan berat 2% dari berat badan merupakan organ tubuh yang terpenting
dengan tingkat metabolisme yang sangat tinggi. Metabolisme otak dangat tergantung pada
ketersediaan oksigen dan glukosa, dan otak tidak mempunyai kemampuan untuk menyimpan
cadangan oksigen da glukosa tersebut. Sehingga sewaktu terjadi gangguan terhadap suplai
maka dalam waktu yang sangat singkat akan terjadi kerusakan dalam arti kata periode emas
kerusakan saraf sangatlah singkat. Sampai saat ini masih dipercaya bahwa kemampuan
regenerasi jaringan saraf sangat minimal dan apabila terjadi gangguan. Gangguan pada otak
bila tidak segera diatasi dengan baik akan berakibat terjadinya kerusakan permanen yang
berakhir dengan kematian atau kecacatan. Hal ini dapat diatasi dengan upaya penanganan
yang cepat dan segera. Sebagai contoh pada pasien trauma otak berat tingkat kematian akan
meningkat melebihi 3 kali lipat dan tingkat kecacatan yang berat akan meningkat melebihi dari
10 kali lipat pada keadaan saturasi oksigen <60% dibanding >90%. Untuk itu tentunya
1
diperlukan ketepatan penanganan khususnya penanganan emergensi dan penegakkan diagnosis
yang tepat, atau paling tidak melakukan upaya-upaya yang dapat menghambat kematian sel-sel
saraf.
Suatu kenyataan yang sering terjadi, di ruangan gawat darurat bila kedatangan pasien dengan
kasus neurologi terutama yang berat, maka yang ada di fikiran dokter adalah rasa pesimistis
terhadap prognosis. Pendidikan kedokteran telah membekali seorang dokter dengan ilmu yang
cukup, namun kadangkala pada sebagian dokter masih ada kecanggungan dalam aplikasi
terhadap pasien secara langsung. Pada hal pada saat itu dokter yang menghadapi pasien harus
segera bertindak dan semakin cepat kita lakukan sesuatu tindakan yang tepat maka semakin
besar kemungkinan pasien tertolong dan tentunya semakin turun tingkat kematian dan
kecacatan.
Tujuan
Tujuan umum ANLS
Dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan dan penatalaksanaan medis terhadap pasien
dengan kasus neuroemergensi.
Tujuan khusus ANLS
Setelah selesai mengikuti program ini diharapkan para peserta (dokter) mempunyai
kemampuan untuk :
1. Memahami konsep kegawatdaruratan primer dalam tatalaksana pasien neurologi.
2. Menguasai tatalaksana yang diprioritaskan pada kondisi emergensi pasien neurologi.
3. Mengetahui strategi awal selama jam-jam pertama pelayanan pasien akut neuro-
emergensi.
4. Mengetahui dan mampu melakukan tindakan terhadap pasien dengan kasus
neurologi yang memerlukan tindakan segera.
5. Merencanakan, memutuskan dan melakukan rujukan ke fasilitas yang lebih memadai.
2
Konsep penting dalam ANLS
1. Keadaan yang sangat mengancam nyawa dan mengancam
terhadap kecacatan neurologi merupakan prioritas utama.
2. Pada kasus emergensi kegagalan dalam menegakkan diagnosis
definitif jangan sampai menghalangi penanganan awal.
3. Pada kasus emergensi keinginan untuk memperoleh riwayat
penyakit yang rinci jangan sampai menunda tindakan emergensi terhadap pasien dengan
gangguan neurologi akut.
3
Assesment Neurologi
Objektif
Tinjauan prinsip-prinsip injuri serebral primer dan sekunder dan mekanisme terjadinya
injuri sel-sel saraf tersebut.
Penerapan konsep umum dalam manajemen injuri serebral.
Latar belakang
Jaringan otak merupakan jaringan dengan tingkat metabolisme tinggi, meskipun pada area
dengan densitas kapiler yang rendah. Otak dengan berat hanya 2% dari berat badan
membutuhkan sekitar 15% dari seluruh kardiak out put, 20% dari oksigen yang beredar serta
25% glukosa digunakan untuk metabolisme otak. Fungsi metabolisme sel otak sangat
tergantung pada ketersediaan secara terus menerus oksigen dan glukosa sebagai sumber energi.
Otak tidak dapat menyimpan cadangan oksigen dan glukosa sehingga kekurangan oksigen akan
terjadi metabolisme anaerob, sedangkan bila kekurangan glukosa akan terjadi kegagalan
metabolisme serebral.
Pada stroke akut, trauma kepala, kejang, infeksi SSP, hipoksik-iskemik akan terjadi gangguan
metabolisme otak berupa ketidakseimbangan antara suplai & kebutuhan (demand).
Sedangkan injuri sekunder merupakan injuri yang terjadi sebagai akibat lanjut dari proses
injuri primer. Injuri sekunder meliputi hipoperfusi baik global seperti syok, gagal jantung
maupun regional pada perdarahan subarachnoid; hipoksia seperti gagal nafas, anemia;
4
perubahan elektrolit seperti hipo-hiper-natremia atau perubahan asam basa sepeti asidosis
berat. Selain itu injuri otak sekunder dapat terjadi akibat injuri reperfusi dengan dilepasnya
asam radikal bebas.
Selain itu yang penting juga dijaga adalah deliveri oksigen kejaringan khususnya jaringan otak.
Deliveri oksigen tergantung dari kemampuan jantung (output kardiak) dan kandungan oksigen
dalam arteri yang ditentukan oleh kadar hemoglobin dan saturasi oksigen (kemampuan paru).
Prinsip dalam menjaga keseimbangan metabolism otak adalah menjaga balans oksigen yaitu
keseimbangan pemakaian (demand) dan suplai (delivery). Dalam kondisi patologi hendaknya
diusahakan menekan pemakaian oksigen yang tidak normal dan menjaga suplai tetap baik.
Beberapa upaya dalam menekan pemakaian oksigen di otak yang tidak normal antara lain
mengatasi kejang, menjaga tidak terjadi hipertermia, mengatasi nyeri, cemas dan agitasi,
mengatasi menggigil dan jangan lakukan stimulasi yang berlebihan seperti penyedotan lendir
pernafasan berlebihan.
5
Upaya dalam rangka menjaga suplai oksigen tetap optimal dapat dilakukan antara lain menjaga
transport oksigen sistemik, mejaga tekanan darah optimal, mencegah hiperventilasi rutin,
mengupayakan cairan tubuh dalam kondisi euvolemia.
Assessment
Dalam menghadapi kasus neuro-emergensi yang pertama harus diketahui apakah pasien dalam
keadaan injuri primer atau sekunder. Untuk itu diperlukan pemeriksaan neurologi yang tepat
dan seperlunya dalam rangka mengambil keputusan yang tepat. Pemeriksaan tingkat
kesadaran, saraf kranialis dan pemeriksaan motrik serta sensorik yang diperlukan daalm
kondisi emergensi santalah diperlukan. Adakalanya diperlukan pemeriksaan penunjang yang
sesuai seperti pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan CT Scan pada stroke, trauma kepala
atau lesi desak ruang, punksi lumbal untuk analisa cairan serebrospinal dalam kasus infeksi
susunan saraf pusat. Pada kasus-kasus tertentu mungkin memerlukan konsultasi ke bedah saraf
segera seperti pada kasus perdarahan epidural atau subdural dengan derajat tertentu, fraktur
terbuka atau impressi tulang cranium, hidrosefalus akut, perdarahan serebelum atau adanya
kebocoran cairan serebrospinal.
Setelah dilakukan pemeriksaan dan tindakan awal, maka selanjutnya diperlukan pemantauan
dan pemeriksaan neurologi lengkap yang mengarah ke terapi definitif.
Kesimpulan
Injuri susunan saraf pusat meliputi injuri primer dan injuri sekunder. Dengan penanganan
yang tepat dan segera akan mencegah terjadinya kerusakan otak yang lebih berat. Upaya utama
dalam penanganan injuri serebral ini adalah menjaga agar tidak terjadi hipoksia dan hipotensi.
Selain dari itu juga penting mengontrol konsumsi oksigen serebral dan mengoptimalkan
deliveri oksigen ke jaringan khususnya serebral dan medulla spinalis.
6
BAB II
Anatomi dan Fisiologi Susunan Saraf Pusat
Dr. Salim Harris SpS, (K)
Pendahuluan
Dalam melakukan diagnosa penyakit susunan saraf diperlukan penetapan topis kelainan yang
ada. Penentuan topis didasarkan atas temuan-temuan baik secara anamnesis maupun dalam
pemeriksaan fisik. Dengan mengetahui fungsi anatomi dan susunan saraf akan memudahkan
dalam diagnosis dan dapat melakukan satu anjuran dalam menentukan pola pemeriksaan
penunjang yang akan dilakukan selanjutnya. Pengetahuan topografis ini di samping untuk
menentukan diagnosis juga dapat digunakan untuk menentukan prognosis kasus yang
bersangkutan. Kemampuan menentukan letak topis suatu penyakit saraf harus didasarkan
pengetahuan tentang neuroanatomi dan neurofisiologi yang tepat. Susunan saraf terdiri dari 3
bangun utama yaitu susunan saraf pusat, perifer dan otonom. Ketiga susunan saraf ini saling
terkaitan satu dengan yang lain nya.
Adanya gangguan pada susunan saraf pusat akan memberikan gejala dan tanda-tanda yang
berbeda dengan susunan saraf perifer, demikian pula dengan susunan saraf otonom akan tetapi
keberadaan gangguan susunan saraf dengan topis yang berbeda dapat memberikan manifestasi
klinik yang hampir bersamaan. Ada kalanya satu penyakit akan bermanifestasi lebih dari satu
topis anatomi yang berbeda, sehingga memberikan manifestasi klinik yang berbeda-beda dari
satu jenis penyakit. Ada kalanya seorang penderita penyakit membawa lebih dari satu penyakit
yang topisnya berbeda sehingga ditemukan manifestasi klinis pada waktu yang bersamaan
yang berbeda pula atau memberikan gambaran manifestasi klinis yang tercampur. Oleh karena
nya diperlukan pengetahuan yang cukup mendalam dari anatomi susunan saraf dan fungsinya
dalam melakukan diagnose suatu penyakit susunan saraf.
Seperti kita ketahui lesi susunan saraf pusat akan memberikan peningkatan reflex, peningkatan
tonus, sedangkan lesi susunan saraf perifer akan memberikan tonus yang menurun dan reflex
yang menurun. Kedua hal ini dapat kita temukan pada satu jenis penyakit secara bersamaan
misalnya pada motor neuron disease. Demikian juga halnya seorang penderita polineuropati
diabetika yang disertai dengan penyakit stroke maka akan ditemukan manifestasi kelainan yang
bersifat ganda hal ini tidak akan mengganggu kita dalam menegakkan diagnose apabila
pengetahuan mengenai neuroanatomi dan neurofisiologi.
7
Keberadaan susunan saraf dalam mengantarkan impuls membutuhkan neurotransmitter sebagai
mediasi yang memberikan titik awal untuk penyebaran impuls tersebut. Diketahui
neurotransmitter mempunyai peran yang berbeda-beda dalam susunan saraf ada kalanya
neurotransmitter untuk satu sistim berbeda pada sistim yang sama pada tempat yang berbeda.
Sebagai contoh neurotransmitter untuk simpatis adalah norepineprin, tetapi untuk produksi
keringat diperlukan saraf simpatis memerlukan neurotransmitter asetilkolin, dengan demikian
keberadaan neurotransmitter mempunyai peran yang sangat penting untuk dapat diketahui
dengan jelas sehingga gangguan manifestasi klinis yang ditimbulkan dapat diketahui seakurat
mungkin.
Susunan saraf pusat dalam mendapatkan konstribusi nutrisi dan energi akan melalui suatu
sistim yaitu sawar darah otak atau (blood brain barier), sawar darah otak merupakan suatu
sistim susunan yang menjembatani antara bagian sel saraf dan strukturnya dengan pembuluh
darah melalui sel-sel saraf penunjang seperti sel-sel glia.
Lesi yang terjadi pada susunan saraf hanya mempunyai dua sifat yaitu lesi irritatif yang
merupakan lesi yang bersifat menstimulasi sel saraf untuk melakukan stimulasi kerja berlebih
sehingga dalam klinis akan didapatkan respon persepsi dari motorik, sensorik maupun otonom
yang meningkat. Sedangkan lesi yang kedua yaitu lesi paralitik yang memberikan respon
kehilangan fungsi baik pada susunan yang bersifat sensorik, motorik maupun otonom.
Susunan saraf pusat terdiri dari otak dan sumsum tulang belakang.
Otak
Otak terdiri dari otak besar atau disebut cerebrum, otak kecil atau cerebellum, diencepahalon
dan batang otak atau brainstem.
Cerebrum Atau otak besar terdapat dua buah yang kita kenal sebagai dua hemisfer yaitu otak
kiri dan otak kanan. Keduanya dihubungkan oleh sebuah commisura yaitu corpus calosum.
Masing masing otak besar terdiri dari susunan yang disebut kortek serebri , jaringan masa putih
atau white matter dan ganglia basalis.
8
Kedua otak ini dalam menjalankan fungsinya mempunyai domain yang berbeda, di mana otak
kiri mempunyai peranan fungsi kognitif yang dominan di samping fungsi-fungsi lain.
Sedangkan otak kanan lebih berperan dalam fungsi seni (Art) disamping fungsi fungsi lainnya.
Adanya korpus kalosum yang menjembatani kedua hemisphere otak yaitu otak kanan dan otak
kiri dalam setiap informasi yang dimiliki selalu mendapatkan kontrol balik penuh baik dari
otak kanan maupun otak kiri.
Permukaan luar otak besar terdapat lekukan-lekukan ke dalam yang disebut sulkus dan apabila
sulkus ini lebih dalam disebut fissura. Tujuan dari adanya sulkus atau fissura ialah untuk
memperluas permukaan otak yang berada pada rongga yang relative kecil. Di antara dua sulkus
terdapat sebuah tonjolan yang disebut girus. Girus mempunyai nama-nama spesifik yang
berhubungan dengan fungsi daerah otak setempat seperti girus presentralis, girus post sentralis
dan sebagainya. Permukaan otak berwarna abu-abu sehingga disebut subtansia grisea, warna
abu-abu ini disebabkan karena permukaan otak tersebut mengandung badan sel saraf
seluruhnya dan selanjutnya permukaan luar otak ini disebut sebagai cortex, sedangkan bagian
dibawahnya berwarna putih dan disebut sebagai subtansia alba dikarenakan mengandung
serabut-serabut saraf yang bermielin. Di dalam bangunan berwarna putih yang disebut sebagai
subtansia alba ini akan ditemukan kelompok-kelompok atau pulau-pulau yang mempunyai
komponen sel neuron dan disebut sebagai ganglia basalis.
Otak besar berdasarkan luas wilayahnya dapat dibagi menjadi bagian-bagian yang disebut
dengan lobus antara lain :
1. Lobus frontal
2. Lobus parietal
3. Lobus oksipital
4. Lobus temporal
5. Insula
6. Rhine-Encephalon
Masing-masing lobus tersebut akan dipisahkan oleh celah yang disebut sebagai sulkus atau
fissura sebagai contoh pemisah antara lobus frontalis dan lobus parietalis disebut sulkus
centralis. Pemisah lobus parietalis dengan lobus oksipitalis disebut sulkus paritooksipitalis.
Sedangkan pemisah antara lobus temporal dengan lobus yang lain disebut sulkus lateralis .
9
Lobus frontalis
Lobus frontalis merupakan daerah otak yang terbesar yang terletak di muka dari belakang
orbita sampai dengan pertengahan kepala yaitu sulkus sentralis. Bagian ini mempunyai peran
penting sebagai pusat dari :
1. Perintah gerak
2. Pusat pergerakan
3. Pusat bicara (broka)
4. Pusat emosi
5. Pusat berfikir
6. Pusat pengatur gerak mata
7. Pusat perilaku
8. Pusat inisiatif
9. Pusat reaksi terhadap jatuh
10. Pusat untuk mengatur kondisi tubuh
11. Dan pusat-pusat lainnya
Lobus Parietalis
10
Dibatasi bagian depan oleh sulkus sentralis dan dibagian belakang dibatasi oleh sulkus
paritooksipitalis dan bagian samping dibatasi oleh sulkus lateralis. Bagian otak ini yang paling
menonjol adalah daerah yang paling muka yang dikenal dengan girus post sentralis yang
mempunyai fungsi sebagai pusat analisator dari sensasi somato sensorik yang meliputi untuk
perasaan nyeri, suhu, perasaan taktil atau menilai objek. Sebagian kecil yang bersebelah
dengan lobus temporalis juga berfungsi dalam proses bicara (speech)
Lobus Temporalis
Merupakan bagian otak yang terdapat pada lateral bawah yang mempunyai peran dalam
sebagai pusat pendengaran dan berperan dalam mengerti kata atau pembicaraan (speech),
memahami suara, memahami irama musik, memahami tinggi rendahnya nada, mengerti nama,
mengetahui posisi kiri-kanan, dan sebagainya.
Dengan adanya sulkus temporalis superior dan inferior maka lobus temporalis dari bagian
samping terbagi menjadi tiga, yaitu : gyrus temporalis superior, gyrus temporalis media, dan
gyrus temporalis inferior. Sedangkan pada bagian bawah dalam akan terdapat gyrus
parahipocampus yang dipisahkan oleh sulkus collateral dengan gyrus occipito-temporal
media, sedangkan gyrus occipito-temporal media oleh sulkus occipito-temporal dipisahkan
dengan gyrus occipito-temporal lateral. Bagian ujung depan dari gyrus parahypocampus
terdapat pemisah yang disebut sulkus rhinal, sulkus ini memisahkan gyrus parahypocampus
dengan ujung lobus temporal yang disebut uncus. Sedangkan bagian belakang dari gyrus
parahypocampus disebut gyrus lingual.
11
Lobus oksipitalis
Lobus oksipitalis adalah bagian otak yang paling belakang, di anterior (bagian media)
dipisahkan dengan lobus parietalis oleh sulkus paritoaksipitalis sedangkan dibagian samping
atau lateral dipisahkan dari lobus temporalis oleh preoksipital incisures (lekukan halus). Lobus
oksipital peranan utamanya adalah sebagai pusat penerimaan dan analisa penglihatan dikenal
sebagai kortek calcarina dan pengenalan penglihatan serta warna. Dikenalsebagai area 17
sebagai pusat penglihatan primer dan area 18, 19 sebagai pusat penglihatan sekunder dan
tersier dengan peran utama sebagai pusat memori penglihatan. Pada stimulasi elektrik di area
18,19 akan menimbulkan aura penglihatan dalam bentuk kilatan cahaya, warna dan garis,
sedangkan kerusakan daerah ini akan menimbulkan gangguan berupa kemunduran kemampuan
pengenal obyek, bentuk dan ukuran benda (optical agnosia, alexia)
Insula
Insula atau Reil island adalah bagian otak yang sepenuhnya tertutup oleh lobus
frontalis, parietalis dan operculum temporalis, terletak tepat dibawah lekukan sulcus
centralis, fissura lateralis dan tepat di lateral claustrum. Insula peranannya tak banyak
diketahui, tetapi terdapat hubungan dengan sirkuit pengecapan. Stimulasi elektrik pada
insula menimbulkan hallusinasi penciuman dan pengecapan.
12
Rhineencephalon (bulbus olfactorius)
Merupakan tonjolan dari telencephalon atau otak yang berperan dalam penciuman. Terdapat
sel-sel bipolar pada mukosa hidung bagian atas yang merupakan neuron pertama dalam sistim
penciuman kemudian terjadi sinaps dengan sel sel mitral dan tuftel yang berada pada bulbus
olfactorius yang juga menjadi neuron kedua dalam proses penciuman, selanjutnya axan dari sel
sel ini akan membentuk traktus olfaktorius, selanjutnya tractus terpecah dua menjadi medial
olfactory striae dan lateral olfactory striae, selanjutnya lateral olfaktori striae akan ke pusat
penciuman Brodmanns area 28,enthorinal region pada gyrus temopralis media, sedangkan
medial olfaktori striae akan menuju thalamus dan berhubungan dengan hypothalamus sebagai
bagian dari system limbic.
13
Kommisura (Commisura)
Merupakan bangunan axon saraf yang terdapat dalam masa putih atau substansia alba dari
jaringan otak, bangunan in terbentuk sedemikian rupa sehingga berfungsi sebagai penghubung
neuron. Bangunan yang terdiri dari masa axon ini dapat dibedakan sesuai dengan funsi
penghubungnya menjadi 3 bagian yaitu:
1. Kommisura transversal.
2. Kommisura Assosiasi.
3. Kommisura proyeksi.
Kommisuran transversal adalah kumpulan serabut /axon saraf yang menghubungkan satu
hemisphere dengan hemisphere lainnya contoh:
14
1. Corpus Calosum.
2. Commissura Anterior.
3. Commissura Hyppocampal .
Sedangkan kommisura assosiasi adalah kumpulan atau axon sarap yang menghubungkan satu
bangunan dengan bangunan lainnya dalam satu hemisphere contoh:
1. Serabut intracortical.
2. Serabut subcortical.
3. Serabut assosiasi panjang.(FLS, FLI, uncinate Fasc, Arcuate Fasc, Cingulum)
FLS ( Fasiculus logitudinalis superior). Menghubungkan lobus frontal dengan lobus occipital.
FLI ( Fasiculus longitudinalis inferior). Menghubungkan lobus occipital dengan lobus temporal
Fasiculus Uncinate. Menghubungkan lobus frontalis dengan lobus temporalis anterior .
Fasiculus Arcuate: Menghubungkan lobus frontalis dengan cortex occipitotemporalis.
Cingulum. Yang mengitari cortex gyrus cingulate
Kommisura proyeksi adalah kumpulan atau serabut saraf/axon yang menghubungkan satu
bagunan dengan bangunan lainnya yang bersifat tinggi dan rendah (bawah keatas atau
sebaliknya) contoh:
15
Ganglia Basalis
Adalah masa abu-abu yang berada pada bagian dalam hemisphere cerebri ( masa putih). Terdiri
dari
1. Nucleus Caudatus.
3. Amygdala
1. N.Caudatus.
2. Putamen.
3. Claustrum.
4. N.Amygdala.
Semua bagian ganglia basalis masuk dalam Sistim extrapiramidalis kecuali claustrum.
Secara topokgrapis terlihat bahwa Putamen dipisahkan dari claustrum oleh capsula externa.
Nucleus caudatus merupakan masa kelabu yang memajang dari bagian cranial tepat disisi
lateral ventricle lateralis dan berbentuk seperti buah peer memanjang kebelakang sebagai ekor
dan berahir setinggi amygdala. Nucleus caudatus terlihat melingkari putamen dan melakukan
hubungan /commissura dengan putamen.
Nucleus lentiformis oleh Lamina medullaris externa dibagi menjadi 2 bagian yaitu:
1. Putamen.
2. Globus Pallidus.
Nucleus Lentiformis (Putamen, Globus pallidus) , N.caudatus, Subtansia nigra, dan Thalamus
saling berhubungan dengan serabut/commissura assosiasi.
Nucleus Lentiformis, Terdiri dari 2 komponen nuclei yang berbeda dalam phylogenis,struktur
maupun fungsinya.
1. Putamen berasal dari matrix disekitar ventricle lateralis ( seperti asal Nucleus
caudatum) dan merupakan neocortex.
16
2. Globus Pallidus atau Pallidum. Merupakan bagian diencephalon, berasal dari matrix
disekitar ventrikle III yang berhubungan dengan nucleus subthalamicus (Richter, 1965)
Neostriatum terdiri dari nucleus caudatus dan putamen, sedangkan paleostriatum adalah globus
pallidus atau disebut pallidum.
17
William F Ganong dalam bukunya review of medical physiology membagi basal
ganglia dalam 5 bagian masing masing, Nukleus kaudatus, Putamen, Globus pallidus,
subthalamic nucleus ( body of Luys ) dan subtansia Nigra.
Kepustakaan :
BAB III
18
PEMERIKSAAN NEUROEMERGENSI
Dr. Eka Musridharta, Sp.S, KIC
Tujuan
1. Memahami pentingnya pemeriksaan neurologi
2. Memahami sistematika pemeriksaan neurologi
3. Mampu melakukan pemeriksaan neurologi pada kasus-kasus emergensi
Latar Belakang
Pesatnya perkembangan ilmu dan teknologi di bidang kedokteran telah banyak memberikan
sumbangsih bagi tenaga medis dalam menegakkan diagnosis dan memberikan terapi.
Pemeriksaan penunjang canggih juga semakin akrab dengan para dokter. Meskipun demikian,
pemeriksaan penunjang generasi terbaru sekalipun tetap tidak dapat menggantikan posisi
pemeriksaan fisik termasuk pemeriksaan neurologis. kursus ANLS seperti halnya kursus-
kursus yang lain (ATLS / ACLS), evaluasi dan pengobatan emergensi pada pasien neurologi
yang akut, riwayat penyakit sebelumnya secara rinci untuk sementara tidak perlu diketahui.
Pemeriksaan neurologis akan memberikan informasi yang tidak dapat diberikan oleh
pemeriksaan penunjang. Meskipun kedudukannya demikian penting ternyata pemeriksaan
neurologis seringkali dikesampingkan oleh para dokter terutama pada keadaan emergensi.
Tampaknya banyak dokter yang beranggapan bahwa pemeriksaan neurologis hanyalah
menghabiskan waktu, tidak relevan dengan kondisi emergensi dan sulit dilakukan.
19
Onset keluhan/gejala klinis (kapan keluhan/gejala ini pertama kali muncul?)
Progresifitas dari keluhan tersebut (apakah keluhan ini bertambah berat, menetap atau
membaik?)
Keluhan tambahan lainnya (adakah keluhan atau gejala lainnya yang menyertai keluhan
utama?)
Riwayat penyakit sebelumnya (apakah pernah menderita sakit seperti ini sebelumnya
atau pernahkah menderita sakit lainnya?)
Untuk mendiagnosa banding digunakan singkatan VITAMINS :
V : Vascular Onset biasanya tiba-tiba atau mendadak
I : Infectious Tanda-tanda infeksi: demam, flu like syndrome
T : Traumatic Riwayat trauma sebelumnya
A : Autoimmune Riwayat remisi-eksaserbasi, gejala penyakit
autominun lain mis SLE
M : Metabolic/Toxic Paparan zat toxic, gigitan hewan, penyakit
metabolik
I : Idiophatic/ Iatrogenic Riwayat menjalani prosedur medis, keluhan
sudah berulang kali
N : Neoplastic Penurunan berat badan, kelemahan, riwayat
tumor di organ lain
S : Seizure, pSychiatric, Riwayat kejang, perubahan perilaku, kelainan
Structural organ/anatomis sebelumnya
Pada pasien dengan kegawatdaruratan neurologi prinsip ABC dan D dijalankan, pada
keadaan kegawatdaruratan hampir semua pasien dengan kondisi berat akan cenderung
memburuk bila tidak segera diatasi dengan cepat dan tepat. sehingga pada keadaan
kegawatdaruratan neurologi tidak perlu dilakukan pemeriksaan neurologi menyeluruh.
Pada Pemeriksaan Neuroemergensi yang paling penting adalah:
1. Tingkat kesadaran.
2. Pupil dan gerakan bola mata.
3. Tanda rangsang meningeal.
4. Fungsi saraf-saraf kranial.
5. Fungsi motorik dan reflek
Pemeriksaan kegawatdaruratan neurologi dilakukan bersamaan, segera atau setelah dilakukan
tindakan ABC, yang bertujuan untuk mencari ada atau tidaknya defisit neurologis fokal,
20
mencari tanda-tanda meningitis dan menilai tingkat kesadaran dan fungsi neurologis.
Ad.1.Tingkat Kesadaran diperankan oleh 2 aspek penting:
a. Arousal suatu fungsi primitif yang diatur oleh batang otak dan medial talamus.
b. Awarenes untuk dapat berfungsi dengan baik memerlukan korteks serebri dan sebagian
besar nukleus di subkorteks yang intak.
Langkah pertama yang harus dilakukan untuk memeriksa kesadaran adalah menentukan derajat
kesadaran. Derajat kesadaran dinilai secara kualitatif dan kuantitatif. Jika derajat kesadaran
terganggu maka atensi, konsentrasi dan fungsi kognitif lainnya dapat dipastikan juga akan
terpengaruh.
Derajat kesadaran kualitatif :
- Delirium, suatu tingkat kesadaran di mana terjadi peningkatan yang abnormal dari
aktivitas psikomotor dan siklus tidur-bangun yang terganggu. Pada keadaan ini pasien
tampak gaduh gelisah, kacau, disorientasi, berteriak, aktivitas motoriknya meningkat,
meronta-ronta.
- Somnolen. Keadaan mengantuk. Kesadaran akan pulih penuh bila dirangsang. Disebut
juga letargi atau obtundasi. Tingkat kesadaran ini ditandai oleh mudahnya penderita
dibangunkan, mampu memberi jawaban verbal dan menangkis rangsang nyeri.
- Stupor: respon terhadap lingkungan hilang sebagian. Pasien sulit dibangunkan,
responnya lambat, tidak adekuat, mengabaikan lingkungannya dan segera kembali ke
kondisi stupornya.
- Koma: suatu tingkat kesadaran di mana pasien tidak dapat dibuat terjaga dengan
stimulus biasa. Pasien tidak responsif terhadap lingkungannya dan dirinya sendiri.
Tidak ada gerakan volunter dan siklus tidur-bangun.
Derajat kesadaran lebih mudah dideskripsikan menggunakan suatu skala Kuantitatif yaitu
Skala Koma Glasgow (SKG)
21
Eye (E)
Membuka mata spontan 4
Membuka mata dengan stimulus verbal 3
Membuka mata dengan rangsang nyeri 2
Tidak membuka mata 1
Respon motorik (M)
Dapat mengikuti perintah 6
Dapat melokalisasi rangsang nyeri 5
Tidak dapat melokalisasi rangsang nyeri, fleksi menjauhi rangsang nyeri 4
Dekortikasi 3
Deserebrasi 2
Tidak ada respon motorik 1
Respon verbal (V)
Orientasi tempat, waktu dan orang baik. Konversasi seperti biasa. 5
Disorientasi, confuse, tetapi masih dapat berbicara dalam bentuk kalimat. 4
Kata-kata yang tidak berarti 3
Hanya merintih atau mengerang 2
Tidak ada respon verbal 1
SKG tertinggi 15 dan terendah 3. Pasien dengan derajat kompos mentis memiliki nilai SKG 15
sedangkan pasien dengan koma SKG 3.
Langkah kedua setelah menentukan derajat kesadaran adalah menilai atensi. Tentunya pada
pasien dengan penurunan derjat kesadaran atensi akan terganggu. Pasien dengan atensi yang
normal akan melihat ke arah pemeriksa dan menjawab pertanyaan dengan cepat. Pada
gangguan atensi biasanya fiksasi visual terganggu, respon verbal lambat.
Langkah ketiga adalah menilai konsentrasi. Pasien diminta untuk menghitung mundur dari 20
ke 1 dan menyebutkan nama bulan dengan urutan terbalik. Pada gangguan konsentrasi respon
lambat, ada yang terlewatkan atau terbalik.
Ad.2. Pupil
Komponen utama pemeriksaan pupil adalah
Ukuran, bentuk dan simetri pupil
Reaktivitas pupil terhadap cahaya
22
Refleks cahaya langsung dan tidak langsung
Refleks akomodasi
Dalam menentukan etiologi kesadaran menurun, pemeriksaan pupil dapat memberikan
petunjuk sebagai berikut :
Refleks pupil yang normal dan ukurannya simetrik : keadaan ini seringkali dijumpai
pada koma metabolik. Pada intoksikasi opiat dapat dijumpai pupil yang miosis.
Ukuran pupil yang tidak sama (anisokor) : pada pasien dengan kesadaran menurun
terdapatnya tanda ini memberikan dugaan kuat telah terjadi herniasi otak. Beberapa
keadaan perkecualian dapat dijumpai, misalnya pada pasien cedera kepala dengan
trauma langsung pada mata dapat menimbulkan pupil yang anisokor tanpa herniasi
otak.
Pupil midriasis bilateral dan tidak menunjukkan refleks cahaya : keadaan ini seringkali
dijumpai pada tahap akhir herniasi otak. Perkecualian yang dapat dijumpai adalah
pasien intoksikasi amfetamin atau atropin.
Pupil pin-point bilateral : keadaan ini seringkali dijumpai pada perdarahan di pons.
Keracunan opiat dapat memperlihatkan gambaran pupil seperti ini, namun pada
keracunan opiat refleks tendon akan menurun, sebaliknya pada perdarahan di pons
dapat dijumpai peningkatan refleks tendon dan adanya tanda refleks babinski.
23
Pada meningitis tanda rangsang meningeal yang paling sering ditemukan adalah kaku
kuduk. Lasegue dipergunakan untuk memeriksa iritasi radiks.
Pada pasien dengan HNP lumboskaral misalnya, laseguenya tidak dapat melebihi sudut
70 dan timbul nyeri saat tungkai diangkat.
Ad.5. Motorik
Pemeriksaan motorik sebenarnya sudah harus dimulai sejak pasien datang. Beberapa
aspek motorik dapat dilihat dari penampilan pasien. Pemeriksaan motorik yang harus
dilakukan meliputi kekuatan motorik, refleks fisiologis, refleks patologis, pemeriksaan
trofi dan tonus otot.
Kekuatan motorik
Berkurangnya kekuatan otot disebut paresis, sedangkan hilangnya kontraksi otot disebut plegi.
Sebelum menilai kekuatan otot pastikan terlebih dahulu regio otot yang akan diperiksa tidak
ada pembengkakan, nyeri, fraktur dsb yang dapat mempengaruhi kekuatan motorik. Kekuatan
motorik dinyatakan dalam suatu skala, yang sering digunakan adalah The Medical Research
Council Scale of Muscle Strength. Sejatinya kekuatan motorik diperiksa pada setiap otot atau
sekelompok otot.
Untuk memudahkan kita perlu memperhatikan riwayat penyakit pasien. Pasien dengan
kecurigaan lesi intrakranial seperti stroke, tumor maupun meningitis pada umumnya
kelemahan ototnya akan memiliki pola hemiparesis atau hemiplegi.
Sedangkan pada kelainan di medula spinalis berupa tetraparesis/plegi ataupun
paraparesis/plegi. Pada GBS kelemahan yang timbul umumnya asending, dimulai dari otot
24
distal lalu menjalar ke proksimal. Sedangkan pada miastenia gravis kelemahan berfluktuasi.
Setelah diprovokasi dengan aktivitas biasanya kelemahan akan semakin jelas dan setelah
beristirahat kelemahan akan membaik Kelemahan akibat kelainan otot (miogen) akan
menimbulkan kelemahan yang tidak terdistribusi berdasarkan segmen dermatom dan umumnya
proksimal lebih lemah dibandingkan dengan distal. Gower sign adalah salah satu tanda yang
tampak pada kelainan miogen. Neuropati yang berat juga dapat mengakibatkan kelemahan
otot.
1 = ada kontraksi tetapi tidak ada gerakan pada persendian yang seharusnya digerakkan oleh otot
Tonus dan Trofi Otot
tersebut
Perhatikan besar dan bentuk otot. Hipotrofi/atrofi lebih terlihat pada kelainan lower motor
neuron. Sedangkan pada kelainan upper motor neuron atrofi yang terjadi berupa disuse atrofi
dan umumnya baru tampak setelah jangka waktu tertentu. Atrofi biasanya lebih jelas terlihat
pada otot-otot tangan seperti tenar, hipotenar dan otot-otot interosei. Sedangkan pada tungkai
bawah pada tibialis anterior. Selain dengan inspeksi pemeriksaan trofi otot juga memerlukan
palpasi.
Beberapa cara dapat dilakukan untuk memeriksa tonus otot. Abduksikan bahu, lalu fleksikan
lengan bawah pada siku. Pada otot hipotonia, fleksibilitas otot akan meningkat sehingga lengan
dapat ditekuk sampai sudut yang ekstrim. Sedangkan otot hipertonus kurang fleksibel. Tehnik
lain adalah dengan menilai gerakan pendulus pada tungkai (pendulousness of the legs). Pasien
diminta duduk di tepi tempat tidur dengan tungkai tergantung. Kemudian dorong kedua tungkai
dengan kekuatan yang sama. Perhatikan ayunan tungkai yang timbul. Pada tonus yang normal
ayunan tungkai semakin lama semakin lambat dan akan berhenti setelah 6-7 ayunan. Ayunan
tungkai ini akan berkurang pada hipertonus dan bertambah pada hipotonus. Rigiditas dan
spastisitas adalah bentuk hipertonus. Rigiditas dapat berupa lead-pipe rigidity dapat pula
berupa cogwheel rigidity. Pada lead-pipe rigidity dengan gerakan pasif lengan bawah, tahanan
akan dirasakan sejak awal gerakan hingga akhir gerakan. Sedangkan cogwheel rigidity akan
terasa seolah lengan yang digerakkan pasif tersebut seperti tersangkut pada roda gigi. Untuk
mendapatkan rigiditas gerakan pasif dilakukan perlahan-lahan.
25
Cogwheel rigidity paling sering ditemukan pada pasien parkinson. Rigiditas dijumpai pada
kelainan di basal ganglia. Spastisitas terjadi pada lesi yang melibatkan traktus kortikospinal.
Berbeda dengan rigiditas yang umumnya mengenai semua otot dengan derajat yang sama,
derajat spastisitas umumnya berbeda antar otot.
Pemeriksaan Refleks
Pemeriksaan refleks memiliki nilai yang penting karena dibandingkan dengan pemeriksaan lain
pemeriksaan refleks tidak terlalu bergantung pada kooperasi pasien. Karenanya dianggap
refleks lebih obyektif dari pemeriksaan lain.
Refleks terbagi menjadi refleks dalam (regang otot), refleks superfisial dan refleks
patologis.Refleks dalam (regang otot) dibangkitkan dengan memberikan stimulus regangan
pada tendon otot dengan mengetukkan palu refleks. Untuk dapat membangkitkan refleks ini
diperlukan alat dan tehnik yang tepat.
Respon refleks dinyatakan dalam angka. 0= tidak ada refleks (arefleksia), 1+= ada refleks
tetapi lemah, 2+= normal, 3+= meningkat tetapi belum dianggap patologis (tidak disertai tanda
26
patologis lainnya), 4+= meningkat, patologis kadang-kadang disertai klonus. Refleks
dinyatakan meningkat bila zona refleksnya meluas.
Refleks dalam yang lazim dilakukan pada pemeriksaan rutin adalah refleks bisep, trisep,
brakioradialis, patela dan akiles.
Refleks patologis, disebut demikian karena respon ini tidak dijumpai pada individu normal.
Refleks patologis pada ekstremitas bawah lebih konstan, lebih mudah dibangkitkan, lebih
dipercaya dan lebih relevan dengan klinis dibandingkan dengan refleks patologis pada
ekstremitas atas. Refleks patologis yang terpenting adalah tanda Babinski. Pada individu
normal stimulasi pada kulit plantar akan menghasilkan respon plantar fleksi jari-jari kaki. Lesi
pada jaras kortikospinal akan mengakibatkan respon ini berubah menjadi dorso fleksi jari-jari
kaki terutama ibu jari disertai dengan mekarnya jari-jari lainnya. Pemeriksaan klinis
neuroemergensi ini akan menuntun para dokter untuk mengetahui apakah sistim saraf bekerja
dengan baik atau tidak dan menentukan lokasi lesi.
Daftar Pustaka
1. Adams RD, Victor M, Ropper AH. Principles of neurology 6th ed. New York : Mc
Graw-Hill 1997
2. Bickerstaff ER, Spillane JA. Neurological examination in clinical practice 5thed.
Bombay : Delhi Oxford 1989
27
2. Bannisters R clinical neurology. 7threv ed. Kota : Oxford, 1992
3. Brumback RA. Neurology clinics. Behavior Neurology. Kota : Philadelphia Vol.11,
Sauders 1993
4. Haerer AF. The neurologic examniation. Reved. Philadelphia : 1992
5. Devinsy O. Behavior neurology. St Louis : Mosby Yearbook, 1992
6. Fuller G. Neurological examination made easy. Edin urgh : Churchill Livingstione
1993
7. Harrison MJG. Neurological skills. Kota : PG Asian Singapore economy edition 1990
8. Heilman KM, Valenstein E. Clinical neuropsychology. 3rd ed. New York : Oxford 1993
9. Hijdra A, Koudstaal PJ, Ross RAC, eds. Neurologie Wetenschappelike uitgevery.
Utrecht : Bunge, 1994
10. Lindsay KW, Bone I, Neurology and neurosurgery. Illustrated 2nd ed. Kota : Edinburgh
ELBS, 1991
11. Munro J. Edwards C. Macleods clinical examination. 8th ed. Kota : Edinburgh ELBS
1992
12. Rolak LA Neurology secrets. Singapore Info access & distribution, 1993
13. Strub RL, Black FW. The mental status examination in neurology. 3rd ed Philadelphia
FA Davis, 1993
14. Talley NJT, Connor SO. Clinical examination a guide to physical diagnosis,
Singapore : PG, 1988
15. Tan CK, Wong WC. Handbook of neuroanatomy. Singapore : PG, 1990
Toghill PJ. Examination patients an introduction to clinical medicine. London, ELBS 1991
BAB IV
GANGGUAN KESADARAN
Dr. Abdulbar Hamid, Sp.S(K)
28
Pendahuluan
Mengetahui riwayat penyakit pasien dengan penurunan kesadaran sangatlah penting.
Pemeriksaan tanda vital dapat memberikan banyak informasi dalam mencari penyebab
penurunan kesadaran. Bila ditemukan tekanan darah yang sangat tinggi, perlu dipikirkan suatu
hipertensi ensefalopati dan juga stroke perdarahan. Sedangkan tekanan darah yang rendah
dapat diakibatkan oleh terganggunya perfusi ke sistim saraf pusat yang diakibatkan oleh proses
sistemik. Pasien dengan riwayat sakit kepala dan demam sebelum penurunan kesadaran
mengarahkan kita pada suatu infeksi intrakranial. Sedangkan riwayat sakit kepala dan defisit
neurologik fokal seperti hemiparesis atau paresis N. kranialis yang terjadi tiba-tiba lebih
mendukung suatu diagnosis stroke. Cedera kepala harus disingkirikan pada setiap kasus
dengan penurunan kesadaran. Anamnesis tentang riwayat trauma kepala sebelumnya sangat
diperlukan. Perhatikan juga jejas-jejas di seluruh tubuh pasien. Trauma cervical harus selalu
dipertimbangkan. Leher sebaiknya tidak dimanipulasi dan gunakan collar neck sampai fraktur
cervical dapat disingkirkan.
Definisi :
Kesadaran adalah keadaan sadar terhadap diri sendiri dan lingkungan.
Koma adalah suatu keadaan tidak sadar total terhadap diri sendiri dan lingkungan
meskipun distimulasi dengan kuat.
Diantara keadaan sadar dan koma terdapat berbagai variasi keadaan/status gangguan
kesadaran.
Secara klinis derajat kesadaran dapat ditentukan dengan pemeriksaan bedside.
Anatomi kesadaran
Keadaan sadar ditentukan oleh 2 komponen yaitu formasio retikularis dan hemisfer serebral.
Formasio retikularis terletak di rostral midpons, midbrain (mesencephalon) dan thalamus ke
korteks serebri. Ini dinamakan ascending reticular activating system (ARAS).
Content (isi kesadaran) ditentukan oleh korteks serebri.
29
Gambar. ARAS (Ascending Reticular Activating System)
30
Kondisi neurologi sebelumnya
Seputar onset (?trauma, ?obat-obatan, ?toksin
Koma Non-trauma
Tidak ada fokal atau tanda lateralisasi
meningismus / bukan meningismus
Fokal atau tanda lateralisasi
Dengan meningismus
SAH
Meningitis
Ensefalitis
Tanpa meningismus
Kondisi anoksik iskemik
Gg metabolik
Intoksikasi
Infeksi Sistemik
Hipo/hipertermia
Epilepsi
Behavioural
Toksin atau obat-obatan:
Sedatif , Narkotika , Alkohol
Racun
Obat-obat psikotropik
Karbon monoksida (CO)
Overdosis (disengaja & kecelakaan)
Status withdrawal
Pemeriksaan Penunjang :
Glukose, Test fungsi hati, ginjal, analisa gas darah, hematologi dan koagulasi
EKG, Ro foto thoraks, CT scan (+/- kontras)
31
32
Tehnik pemeriksaan kesadaran dengan rangsang nyeri
33
Diagnosis banding koma
Penyakit Sifat dan ciri penyakit Penegakan diagnosis
Stroke Onset cepat (Acute) diagnosis klinis koma dan
Defisit Neurologis ditandai oleh kerusakan otak yang
berat pada distribusi fokal
Radiologi : infark atau
perdarahan
Anoxia Diikuti koma Riwayat henti janting
anoksia episode Atau sebab lain dari anoksia
Myoclonus dan atau kejang sering Gejala klinis koma dengan atau
terlihat tanpa myoclonus
Tanda Multifocal sign dengan
ketidak sesuaian topis untuk anoxia
Keracunan koma dengan hilangnya reflek Gambaran klinik tidak spesifik
batang otak tanpa tanda fokal Suspicion is key
Riwayat substance ingestion Drug screen is critical
Gangguan (disorder) Dapat dibedakan pada gejala klinis Penegakan diagnosis
Trauma Kepala koma setelah trauma kepala dengan Tanda Klinis
atau tanpa gejala fokal Riwayat trauma kepala
Fluktuasi status mental radiologi : normal, contusion,
Tanda trauma yg berlebihan edema, perdarahan
Gangguan Metabolik Gangguan metabolik jarang sebagai Hasil Lab abnormal : elektrolit,
penyebab koma,lebih sering dll
disebabkan encephalopathy Pencitraan dan hasil LAB
Koma dengan batang otak intak menunjukkan penyebab lain-
Dapat terjadi kejang pikirkan penyebab lainnya
Sindrom Locked in pada Pasien immobile dan penampakan Dapat berkomunikasi dengan
infark batang otak seperti koma pergerakan mata
Pasien gerak mata vertical masih ada Infark batang otak dapat terlihat
dan dapat dilakukan dengan kondisi di MRI/ CTscan
ini.
Pseudocoma Tampilan klinis koma dengan fungsi Pada pemeriksaan :
otak masih ada Dengan diangkat melewati kepala
Pasien dapat tidak mengetahui bahwa dan dilepas/ dijatuhkan kea rah
dirinya dalam keadaan pseudocoma wajah, pada keadaan pseudocoma
Tidak ada respon intestional lengan jatuh ke arah wajah
Normal EEG
Persistence vegetative state Keadaan tidak sadar dengan respon Pemeriksaan klinis
refleks masih ada Temuan respon batang otak thd
Berbeda dengan koma oleh karena rangsangan masih ada
masih ada kemampuan berespon Pencitraan dan Lab menunjukkan
Tampilan pasien seperti sadar/ tidur, penyebab tidak responsif
tapi pada pemeriksaan pasien tidak
dapat kontak dengan lingkungan,
perintah dan situasi
34
Gamb. Lesi otak dan pola nafas
35
Mekanisme : relative hingga tidak abnormal terhadap respon pada ssp yg sensitive
CO2
Setelah konsentrasi CO2 turun hingga level terendah hingga sampai terjadi stimulasi
pusat pernafasan, fase apneu akan terus terjadi hingga CO2 terakumulasi dan proses
pernafasan berjalan kembali
Hiperventilasi pada Central neurogenic
Muncul dan terdapat pada disfungsi batang otak atau pons bagian atas.
Pernafasan cepat antara 40-50x/mnt
PO2 meningkat lebih dari 70-80 mmHg.
Jika level PO2 dibawah normal hipoxemia
Penyakit jantung, paru, dan problem metabolik dapat juga menyebabkan
hiperventilasi.
Pernafasan Apneustic
Lokasi di lesi bagian bawah pontine, didapat fase inspirasi yang memanjang dan
berhenti pada saat inspirasi maksimal/penuh.
Pernafasan Cluster
Hanya signifikan pada kerusakan bagian bawah pontine, karakteristik kelainan ini
hampir sama dengan pernafasan mendekati proses apnoe
Pernafasan Ataxic
Kerusakan terjadi pada bagian bawah pontine atau masalah pada pusat pernafasan di
medullar Polanya adalah chaotic dan haphazard dengan ketidakteraturan pada henti
nafas adanya petunjuk menghembuskan nafas dan akhirnya pernafasan dada.
36
Daftar Pustaka
1. Duus P : Topical Diagnosis in Neurology : anatomy, physiology, signs,
symptoms, 3rd edition, Stuttgart, New York, Thieme, 1983
2. Lindsay. K.W., Bone I., and Callander. R : Neurology and
Neurosurgery Illustrated, Churchill Livingstone, 1st edition, Edinburg, London, 1988
3. Chusid JP : Correlative Neuroanatomy and Functional Neurology, 17th
edition, Maruzen Asia, 1979
4. Narayan RK, Wilberger JE, Povlishock JT : Neurotrauma, Mc Graw
Hill, 1996
Greenberg MS : Handbook of Neurosurgery, 5th edition, Thieme, 2001
37
BAB V
MANAJEMEN PENINGGIAN TEKANAN INTRAKRANIAL
Dr. Lyna Surtidewi, Sp.S(K)
Pendahuluan
Otak merupakan jaringan tubuh yang mempunyai tingkat metabolisme tinggi, hanya dengan
berat kurang lebih 2% dari berat badan memerlukan 15% kardiak output, menyita 20% oksigen
yang beredar di tubuh, serta membutuhkan 25% dari seluruh glukosa dalam tubuh. Pada
keadaan emergensi dan kritis akan terjadi peningkatan kebutuhan akan bahan-bahan
metabolisme tersebut. Dengan demikian apabila suplai dari bahan-bahan untuk metabolisme
otak terganggu tentunya akan menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan otak yang dapat
berakibat kematian dan kerusakan permanen (kecacatan).
Dua hal yang berperan dalam menjaga metabolisme otak berjalan normal adalah kecukupan
oksigen dan kecukupan sumber energi yaitu glukosa. Oleh karena otak tidak dapat menyimpan
cadangan energi maka metabolisme otak tergantung pada aliran darah yang optimal (CBF).
Dalam keadaan emergensi dan kritis akan terjadi kegagalan sistem autoregulasi pembuluh
darah serebral. Karena aliran darah ke otak (CBF) adalah hasil pembagian tekanan perfusi ke
otak (CPP) dengan tahanan pembuluh darah serebral (CVR), maka pada kegagalan sistem
autoregulasi CBF sangat tergantung pada CPP.
Pada keadaan normal CBF adalah 50 cc/100 gr jaringan otak/menit. Pada keadaan sehat
(mekanisme autoregulasi utuh), CBF 50 cc/100 gr jaringan otak/menit tersebut dapat dipenuhi
dengan rentang CPP antara 40 140 mmHg. Kerusakan jaringan otak irreversibel akan terjadi
apabila CBF < 18 cc/100 gr jaringan otak/menit. Pada keadaan emergensi neurologi seperti
infeksi akan terjadi peninggian tekanan intrakranial (TIK) akibat edema otak. Oleh karena
CPP merupakan selisih antara MAP dengan TIK maka adalah sangat penting menjaga tekanan
darah optimal dan mengendalikan (menurunkan) TIK. Pada makalah ini akan difokuskan
dalam mengendalikan (manajemen) peninggian TIK.
38
Gejala peninggian TIK
- Sakit kepala, akibat kompresi saraf kranialis, arteri dan vena, biasanya memburuk pada
pagi hari dan diperberat oleh aktivitas.
- Muntah yang tidak didahului mual dan mungkin projektil
- Perubahan tingkat kesadaran
- Paling sensitif dan indikator penting, tahap awal mungkin tidak spesifik seperti gelisah,
iritabilitas, letargi.
- Perubahan tanda-tanda vital. Cushings triad: peninggian tekanan darah sistolik, bradikardi
(muncul belakangan), pola nafas iregular (late sign); peningkatan suhu; ocular signs seperti
pelebaran pupil akibat tekanan pada N III dan refleks pupil melambat dan anisokor.
- Penurunan fungsi motorik: hemiparesis atau hemiplegia; dekortikasi gangguan pada
traktus motorik; deserebrasi kerusakan berat pada mesensefalon dan batang otak
39
- Atasi hipoksia.
Kekurangan oksigen akan menyebabkan terjadinya metabolisme anarob, sehingga akan
terjadi metabolisme tidak lengkap yang akan menghasilkan asam laktat sebagai sisa
metabolisme. Peninggian asam laktat di otak akan menyebabkan terjadinya asidosis laktat,
selanjutnya akan terjadi edema otak dan peninggian TIK.
- Hindari beberapa hal yang menyebabkan peninggian tekanan abdominal seperti batuk,
mengedan dan penyedotan lendir pernafasan berlebihan.
Tatalaksana Khusus
Mengurangi efek masa.
Pada kasus tertentu seperti hematoma epidural, subdural, maupun perdarahan intraserebral
spontan maupun traumatika serta tumor maupun abses tentunya akan menyebabkan peninggian
TIK dengan segala konsekuensinya. Sebagian dari keadaan tersebut memerlukan tindakan
pembedahan untuk mengurangi efek masa,
41
Kesimpulan
Peninggian TIK merupakan keadaan emergensi yang mengancam nyawa sehingga harus segera
ditangani. Ada beberapa tindakan yang dapat dilakukan dalam penatalaksaan peninggian TIK
yaitu tindakan umum (mengusahakan keadaan fisologis) dan tindakan khusus seperti evakuasi
massa termasuk hematoma, mengurangi CSS (drainase CSS), menurunkan volume darah
intravaskular (hiperventilasi, hemodilusi, hipotermia, terapi barbiturat) dan mengurangi
cairan interstisial/edema dengan cairan hipertonis serta pemakaian glukokortikoid.
Daftar Pustaka
1. Ropper A.(ed). Neurological and Neurosurgical Critical Care, 3rd ed. New York, Raven
Press, 1993:11-52.
2. Marino PL. The ICU Book, Philadelphia, Lea and Febiger, 1991: 190-201.
3. Goldschlager NF, Hemodynamic monitoring. In Critical Care Medicine, Luce JM and
Pierson DJ (eds), Philadelphia, WB Saunders, 1988: 104 -114.
42
4. Dunn LT. Raised intracranial pressure. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2002;73:23-27.
5. Williams MA. Intracranial Pressure Monitoring and Management for Neurologists.
AAN, 1998.
6. Strand T. Evaluation of Long-term Outcome and Safety after Hemodilution therapy in
Acute Ischemic Stroke. Stroke, 1992; 23: 657 662.
7. The Hemodilution in Stroke Study Group. Hypervolemic Hemodilution Treatment of Acute
Stroke: Results of Randomized Multicenter Trial Using Pentastarch. Stroke,1989; 20:
317 323.
8. Hacke W, Stingele R, Steiner T, et al. Critical Care of Acute Ischemic Stroke. Intensive
Care Med,1995;21:856 62.
9. Schwab S, Schwarz, Sprange M, et al. Moderate hypothermia in the Treatment of Patients
with Severe Middle Cerebral Artery Infarction. Stroke, 1998; 29:2461 2466.
10. Manno E.M.. When to use hyperventilation, mannitol, or cortisosteroid to reduce increased
intracranial pressure from cerberal edema. In Though call in acute neurology (Rabinstein
AA, ed). Elsevier, Philadhelpia, 2004: 107-119.
BAB VI
STATUS EPILEPTICUS
Dr. Fitri Octaviana, Sp.S
Status Epileptikus (SE) adalah suatu kegawatdaruratan medis mayor yang sering dijumpai pada
komunitas, mengenai antara 120.000 - 200.000 orang per tahun di Amerika Serikat. Rata-rata
frekuensi dari SE refrakter berbeda-beda dari kira-kira 10% sampai dengan 40%. Kegagalan
dalam mendiagnosa dan mengobati SE secara akurat dan efektif menghasilkan morbiditas dan
mortalitas yang nyata.
43
Definisi
SE merupakan aktivitas bangkitan terus menerus yang berlangsung selama 30 menit atau lebih
ATAU aktivitas bangkitan hilang timbul yang berlangsung selama 30 menit atau lebih dan
selama waktu tersebut tidak terdapat pemulihan kesadaran.
Loweinstein dan kawan kawan memberikan definisi operasional yang bertujuan
menentukan waktu pada saat pasien - pasien sebaiknya dapat diterapi seolah - olah mereka
berada dalam status epileptikus yang sedang berlangsung, termasuk di antaranya bangkitan
yang berlangsung kurang dari 5 menit.
Beberapa tipe dari bangkitan epilepsi telah dapat dideskripsikan. SE dapat diklasifikasikan
dengan adanya kejang motorik (status epileptikus konvulsivus) atau dari lena/absans (status
epileptikus non konvulsivus). Kemudian SE dapat dibagi lagi menjadi SE yang melibatkan
seluruh tubuh (SE Umum) atau hanya melibatkan sebagian tubuh (SE Parsial).
Terkait dengan hal tersebut, SE dapat dibagi menjadi konvulsivus umum (SE tonik klonik), non
konvulsivus umum (contoh : lena/absans), konvulsivus parsial (kejang motorik parsial simpel)
atau non konvulsivus parsial (kejang parsial komplek).
44
Tabel 2. Klasifikasi status epileptikus
SE non konvulsi lebih sulit didiagnosis. Gambaran klinik berupa penurunan kesadaran, agitasi,
afasia, confusion amnesia, nistagmus. Diagnosis hanya dapat di konfirmasi dengan pasti
melalui pemeriksaan EEG4. Pada sebuah studi disebutkan 8% pasien-pasien dengan koma
menunjukkan SE non konvulsi5. Gambar 2 menunjukkan gambaran EEG pada pasien SE non
konvulsi dengan gambaran klinis berupa amnesia.
45
International League Against Epilepsy (ILAE) merekomendasikan klasifikasi Status Epilepsi
pada anak (tabel 2).3
46
Terkait dengan Epilepsi Kriptogenik Status Epileptikus yang tidak simtomatik dan terjadi pada
anak dengan diagnosis epilepsi kriptogenik sebelumnya
atau saat terjadi episode status epileptikus adalah kali
kedua bangkitan tanpa provokasi, yang mengarah pada
diagnosis epilepsi kriptogenik.
Tidak Terklasifikasi (unclassified) Status epileptikus yang tidak dapat diklasifikasikan dalam
kelompok yang lain.
Etiologi
Banyak kasus SE terjadi pada pasien dengan penyakit akut ataupun penyakit neurologis akut.
Sekitar 50% kasus terjadi tanpa adanya epilepsi sebelumnya. Individu dengan riwayat epilepsi
berisiko mengalami SE. Etiologi SE dapat dibagi dalam proses akut dan kronik (disimpulkan
dalam tabel 3)
47
Berdasarkan perubahan neurofisiologi, SE dibagi menjadi dua fase. Selama Fase 1, permintaan
metabolik meningkat yang disebabkan oleh pelepasan muatan listrik sel serebral yang
abnormal, lalu menyebabkan peningkatan tekanan darah arterial dan aktivitas autonom. Proses
ini menyebabkan peningkatan tekanan darah arterial, peningkatan nilai glukosa darah,
berkeringat, hiperpireksia dan salvias/berliur. Fase 2 terjadi 30 menit setelah Fase 1. Fase 2
ditandai oleh kegagalan autoregulasi serebral, penurunan laju darah serebral, dan peningkatan
tekanan intrakranial dan hipotensi sistemik. Hal ini berdampak pada penurunan tekanan perfusi
serebral (gambar 3). Status Epileptikus yang memanjang dihubungkan dengan perubahan
sistemik yang luas, yang turut menyebabkan masalah ketersediaan oksigen otak yang
inadekuat. 4,6
Komplikasi sistemik dari bangkitan umum SE dapat mempengaruhi sistem saraf pusat
(hipoksia serebri, edema serebri, perdarahan otak), sistem kardiovaskular (infark miokard,
aritmia, henti jantung), sistem pernafasan (pneumonia aspirasi, hipertensi pulmonal, emboli
paru), perubahan metabolik (dehidrasi, perubahan elektrolit, nekrosis tubular akut) 4,6
Pengobatan
Terapi harus dilanjutkan secara bersamaan pada empat aspek: hentikan SE; cegah munculnya
kejang berulang setelah SE diatasi; atasi penyebab timbulnya SE; atasi komplikasi.4,7
48
Prinsip utama pengelolaan kegawatdaruratan adalah bantuan hidup dasar yang mencakup
menjaga jalan nafas dan pernapasan dan menjaga sirkulasi yang adekuat. Dalam SE, jalan
napas harus dijaga mulai dari tahap awal dan intubasi trakhea akan dibutuhkan saat bangkitan
sedang diatasi sehingga ventilasi yang adekuat dapat dipastikan dan aspirasi pulmonal dapat
dicegah.
Pemantauan harus dimulai, termasuk EKG, mengukur tekanan darah dan pulse oksimetri pada
semua pasien.
Pengukuran gula darah di samping tempat tidur harus dilakukan. Jika terdapat tanda
hipoglikemi yang signifikan, glukosa 50% 50 ml harus diberikan. Jika sebelumnya terdapat
riwayat atau curiga ke arah alkoholisme, thiamin 100 mg intravenous harus diberikan
bersamaan dengan glukosa untuk mencegah timbulnya Ensefalopati Wernicke.1,4,7
Anamnesa yang teliti tentang riwayat penyakit dahulu pasien dari keluarganya mungkin dapat
memberikan keterangan tentang faktor penyebab seperti penggantian obat antikonvulsan baru
baru ini, alcohol withdrawal, overdosis obat, dan stroke atau infeksi susunan saraf pusat. Sken
Tomografi Komputer (CT Scan) atau magnetic resonance imaging (MRI) mungkin dibutuhkan
untuk mengetahui proses fokal. Pemeriksaan cairan serebrospinal mungkin juga diindikasikan
jika tekanan intrakranial tidak ditemukan.
Terapi Farmakologi
Tujuan utama dari terapi adalah penghentian bangkitan secara cepat dan aman dan mencegah
berulangnya bangkitan. Algoritme penggunaan obat untuk SE diperlihatkan pada gambar 4.
Benzodiazepin
Obat ini bekerja sebagai antagonis dari reseptor GABA A dan secara potensial menghambat
aktivitas neuron. Mereka bekerja dengan cepat dan karenanya mempunyai tempat untuk
mengontrol SE. Lorazepam 0,1mg/kg intravena (IV) sangat diperhitungkan menjadi obat
pilihan pertama untuk penatalaksanaan akut. Tapi sejak lorazepam IV tidak tersedia di
Indonesia, diazepam 0,2mg/kg dipertimbangkan untuk menjadi obat pilihan utama di negara
kita. Diazepam mempunyai durasi kerja yang sangat pendek karena cepat diredistribusi ke
cadangan lemak tubuh. Diazepam dapat diberikan melalui rektal. Semua benzodiazepine
49
menyebabkan sedasi dan depresi pernapasan, dan dosis yang berulang mempunyai efek
akumulasi. Efek sedasi dapat menurunkan pemulihan kesadaran setelah SE berhenti.4,7
Hidantoin
Apabila diazepam tidak berhasil menghentikan aktivitas bangkitan dalam waktu 10 menit, atau
apabila bangkitan intermiten berlangsung selama 20 menit atau lebih, maka harus ditambahkan
obat lain. Fenitoin (atau fosfofenitoin) masih menjadi obat pilihan untuk terapi lini kedua untuk
status epileptikus yang tidak berespons terhadap diazepam. Fenitoin sangat larut dalam lemak
dan mencapai puncaknya dalam waktu 15 menit setelah pemberian intravena. Loading dose
fenitoin (20 mg/kg) harus diberikan berdasarkan berat badan dan menggunakan vena besar
untuk pemberiannya karena tingginya pH larutan. Pemberiannya harus dengan cairan garam
fisiologis dan pemberian bersama obat lain harus dihindarkan, karena adanya risiko presipitasi.
Infus fenitoin merupakan faktor risiko signifikan terjadinya hipotensi, aritmia, pemanjangan
gelombang QT. Oleh karena itu, pemantauan EKG dan tekanan darah sangat diperlukan.4,7
Fenobarbital
Penggunaan fenobarbital intravena 10-20 mg/kg cenderung terbatas pada penanganan status
refrakter, yang mana penggunaannya masih efektif. Mekanisme kerjanya dengan
memperpanjang inhibisi potensial pascasinaps melalui kerja kanal GABA Cl. Fenobarbital
tidak memasuki otak secepat obat-obatan yang lipofilik, akan tetapi kadar terapetik dicapai
dalam 3 menit dan dipertahankan untuk jangka waktu yang panjang, Efek samping fenobarbital
adalah sedasi dalam, depresi napas, hipotensi.
Anestesi umum
Ini merupakan terapi definitif bagi status epileptikus refrakter dan harus dilakukan di unit rawat
intensif. Pengobatan anti epilepsi kerja jangka panjang, seperti fenitoin dan fenobarbital, harus
dipertahankan selama fase ini, pengawasan kadar obat dan dipertahankan pada batas atas dari
kisaran normal.
Thiopental adalah barbiturat intravena kerja cepat yang digunakan untuk menangani status
epileptikus. Thiopental menimbulkan hipotensi. Barbiturat juga imunosupresif poten dan
50
penggunaan jangka panjang meningkatkan risiko infeksi nosokomial. Propofol dapat
digunakan sebagai alternatif. Propofol memiliki efek seperti barbiturat dan benzodiazepin pada
reseptor GABA dan bekerja sebagai antikonvulsan poten pada dosis klinis. Bolus awal sebesar
1 mg/kg diberikan dalam waktu 5 menit dan diulang jika aktivitas bangkitan belum dapat
dikendalikan. Infus pemeliharaan harus disesuaikan antara 2-10 mg/kg/jam sampai didapatkan
kecepatan pemberian yang paling kecil yang dapat menekan aktivitas epileptiform pada EEG.
Penghentian tiba-tiba harus dihindarkan karena berisiko menyebabkan terjadinya presipitasi
bangkitan akibat penghentian obat.
Terapi baru
Hasil
Mortalitas keseluruhan kasus status epileptikus dewasa sekitar 25%. Pasien yang berusia diatas
60 tahun memiliki mortalitas yang lebih tinggi (38%). Kira-kira 89% pasien meninggal dunia
pada saat atau setelah status epileptikus karena penyebab status, dimana hanya 2% kematian
yang berhubungan langsung dengan status epileptikus.4,6
Terapi lini pertama efektif dalam mengendalikan bangkitan pada 65% kasus status epileptikus,
maka terapi dini sangatlah penting. Pasien dengan status epileptikus yang tidak terkontrol lebih
dari satu jam memiliki mortalitas 34,8% dibandingkan dengan 3,7% bila bangkitan dapat
diatasi dalam 30 menit.9
51
Diazepam 0.2 mg/kg IV over 1-2 min
Seizure continuing
Phenobarbital
20mg/kg IV at 50-75 mg/min
Seizure continuing
0 10 20 30 40 50 60 70 80
Time (minutes)
Daftar Pustaka
1. Lowenstein DH. The management of refractory status epilepticus: an update. Epilepsia
2006;47(S1):35-40
52
2. Treiman DM. Generalized convulsive status epilepticus. In: Engel J, Pedley TA
(editors). Epilepsy: a comprehensive textbook. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins, 2008. pp 665-73
3. Raspall-Chaure M, Chin RFM, Neville BG, Bedford H, Scott RC. The epidemiology of
convulsive status epilepticus in children: a critical review. Epilepsia 2007;48(9):1652-1663
4. Chapman MG, Smith M, Hirsch NP. Status epilepticus. Anaesthesia 2001;56:648-659
5. Towne AR, Waterhouse EJ, Coggs JG, et al. Prevalence of nonconvulsive status
epilepticus in comatose patients. Neurology 2000; 54: 340-345.
6. Shorvon SD, Pellock JM, DeLorenzo RJ. Acute physiologic changes, morbidity, and
mortality of status epilepticus. . In: Engel J, Pedley TA (editors). Epilepsy: a
comprehensive textbook. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2008. pp 737-747
7. Alldredge BK, Treiman DM, Bleck TP, Shorvon SD. Treatment of status epilepticus. .
In: Engel J, Pedley TA (editors). Epilepsy: a comprehensive textbook. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins, 2008. pp 13571374
8. Treiman DM, Meyers PD, Walton NY et al. A comparison of four treatments for
generalized convulsive status epilepticus. New England Journal of Medicine 1998; 339:
792-298.
9. DeLorenzo RJ, Towne AR, Pellock JM et al. Status epilepticus in children, adults and
the elderly. Epilepsia 1992; 33 (Suppl. 4): S15-25
BAB VII
53
Pendahuluan
Penderita yang datang ke Instalasi/Unit Gawat Darurat dengan penurunan kesadaran, kejang
disertai demam, segra harus dicurigai infeksi SSP, apalagi bila pada pemeriksaan neurologi
ditemukan tanda-tanda iritasi meningeal. Kemungkinan lain seperti perdarahan subarakhnoid
juga dapat menyerupai keadaan ini.
Penderita seperti ini segera harus diatasi karena angka kematian yang cukup tinggi. Secara
keseluruhan di RSCM mencapai 30%. Jadi, infeksi SSP merupakan kondisi yang mengancam
hidup. Maka tindakan emergensi dan cepat menjadi prioritas pertama untuk menyelamatkan
penderita. Seluruh tindakan saat ini dilakukan hanya berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
saja, karena penunjang memerlukan waktu lama.
Akhir-akhir ini semua infeksi SSP harus dicurigai menderita HIV, karena infeksi SSP
merupakan oportunistik bagi HIV. Umumnya, toksoplasmosis, dapat juga TBC,
sitomegalovirus, kriptokokkosis, dan infeksi lainnya. Perlakuan pemeriksaan penderita ini
disesuaikan dengan cara menghadapi kasus HIV.
Awalnya, pengobatan penderita dilakukan secara empiris, setelah keadaan darurat teratasi.
Pendekatan pada penderita meningitis akut mengikuti langkah berikut:
1. Diagnosis, dan segera atasi kejang, TTIK dan kemungkinan terjadi syok septik.
2. Patofisiologi meningitis akut.
3. Membedakan bakteri, virus dan jamur.
54
o Kaku kuduk
o Gangguan fungsi mental
- Gejala Lanjut:
o Seizure
o Kelumpuhan saraf kranial
o Tuli
o Stupor dan tanda neurologi fokal
Demam timbul karena interleukin-1 dan bakterial pirogen dilepaskan dalam cairan
serebrospinalis dan mempengaruhi hipotalamus. Sedangkan nyeri kepla terjadi sekunder
karena iritasi serabut-serabut yang iritatif nyeri pada selaput otak di daerah servikal dan radiks
servikal.
Iritasi pada radiks saraf kemungkinan juga sebagai dasar patofisiologi timbulnya tanda Kernig
dan Brudzinski. Pada penderita dengan imunocompromised, gejala-gejala klasik ini sering tidak
tampak, biasanya penderita confuse, kesadaran menurun, hipotensi, demam, dan sakit kepala
ringan.
Oleh karena itu ada beberapa hal yang harus dilakukan bila berhadapan dengan penderita
kejang:
o Siapkan infus, cegah aspirasi dengan membuat posisi lateral dekubitus
o Diazepam 10 mg.i.v, diazepam dapat diulang setiap 5 menit, disusul pemberian O2
o Siapkan alat bantu pernafasan
o Persiapkan pemeriksaan glukosa darah, elektrolit.
55
o Antikonvulsan siapkan, airway-breathing-circulation dilakukan segera, ikuti dengan
pemberian O2
o Bila kejang terus berulang, maka program terapi disesuaikan dengan manajemen status
konvulsivus
Diazepam diberikan i.v, kosentrasi serum dan otak bertahan selama 10-15 detik dan efek
puncak pada 8 menit kemudian. Sedanagkan pemberian oral, retkal akan bertahan antara 0,5-3
jam.
Diazepam, 90-95% diikat protein plasma dan selain di otak juga dapat memasuki jaringan
lemak. Obat ini memperlihatkan efek farmakokinetik ganda. Awalnya, waktu paruh serum
dihubungkan dengan distribusi ke tubuh dan bagian SSP. Pada fase kedua, terjadi metabolism
di hepar dan diekskresikan melalui urine dengan waktu paruh eliminasi 1-2 hari. Meskipun
waktu paruh eleminasi diazepam lama, obat ini efektif untuk waktu paruh teraupetik 15 menit
jika digunakan untuk mengontrol kejang (dosis 0,25 mg/kgBB).
Bila penderita masih kejang, diazepam dapat diulang 5 mg i.v. sampai maksimum 20 mg.
Setelah itu dianjurkan fenitoin 15-20 mg/kg BB i.v. lambat atau per-infus. Kecepatan
pemberian fenitoin tidak boleh melebihi 200mg/menit karena risiko perubahan EKG dan
aritmia. Bila terjadi kelainan ini, tetasan diperlamabat. Jika kejang masih menetap, dianjurkan
perawatan ICU dengan perlakuan sesuai dengan protocol status konvulsivus.
Syok Septik
Syok septik terjadi karena interaksi kompleks sel-sel. Produk bakteri berinteraksi dengan sel
pejamu dan serum protein timbul rangkaian ang dapat menyebabakan cedera sel dan kematian.
Sebenarnya yang berbahaya bukan hanya produk bakteri tetapi penyebaran dan respons pejamu
yang tidak beraturan akan menyebabkan pelepasan mediator yang merusak sel.
Hipotensi dapat terjadi pada penderita meningitis dengan sepsis. Bila syok, maka penderita
mengalami:
1. Hipotensi
2. Takhipnoe > 20 x /menit
3. Takhikardia > 140 x /menit
4. Oliguria
56
Bila pasien tidak ada respons dengan guyuran cairan isotonik/kristaloid, berikan dopamin
(5-10) mcg/kg/menit/iv.
Infuse diatur sesuai dengan tekanan darah seringkali pasien memerlukan dosisi dopamin
diatas 20 mcg/kg/menit
Kortiko steroid dosis besar pada penelitian tidak terbukti bermanfaat
Di luar negeri diberikan terapi anti-endotoksin antibodi
Syok septis dengan disfungsi end organ perlu perawatan intensif di ICU
57
pathogen, pencegahanedema serebri dan pada kasus kasus tertentu mencegah efek sekunder
dari sitokin pro inflamatori dalam rongga subarachnoid.
Laboratorium
Metode yang paling sederhana ialah dengan menggunakan pewarnaan gram pada liquor.
Cairan di sentrifuse dan sedimen dibuat pewarnaan. Test ini sangat cepat, yaitu < 15
dengan sensitifitas 25% dan spesifisitas 95%. Kemungkinan untuk menemukan bakteri bila
jumlah organism 103 CFU/ml; 25% dan 103-105 CFU/ml; 60% - 97% bila > 105.
Test antigen bakteri
Diagnostik cepat juga adalah dengan menentukan antigen bakteri dalam likuor. Merupakan
test imunologis untuk menentukan antigen larut dalam bakteri. Keuntungan test antigen ini
cepat (0,5-1 jam) dan dapat mendiagnosis bakteri yang dikenal, sedangkan kerugian test ini
tidak dapat menentukan bakteri yang jarang dan tidak dapat digunakan untuk sensitivitas
antibiotik.
Kultur bakteri
CSF diokulasikan ke plat agar darah dan plat agar cokelat. Kultur lambat, tapi dapat
menentukan sensitivitas bakteri.
Deteksi asam nukleat bakteri
Dilakukan dengan PCR dengan 2 langkah, pertama menentukan bakteri dan kemudian
menentukan reseptor RNA kuman-kuman. Juga tidak dapat menentukan sensitifitas
antibiotik.
Kesimpulan
1. Penderita infeksi SSP mempunyai prognosis buruk bila tidak segera diterapi.
2. Kejang, tekanan tinggi intrakranial, dan syok septik merupakan keadaan yang segera harus
diatasi.
58
3. Pengobatan pada penyakit SSP harus segera dilakukan secara empiris. Perkiraan penyebab
dicari setelah penderita teratasi kegawatannya dan setelah mendapat obat.
Daftar Pustaka
1. Marshall RS, Masyer SA. On call neurology: increased intracranial pressure. 1997:p.154-
64.
2. Cruz J. Neurologic and neurosurgical emergencies. 1998:p.1-34.
3. Lindsay KW, Bone I, Callender R. Neurosurgery and illustrated 2nd ed. 1991:p.72-100.
4. Becker K. Management of increased intracranial pressure. American academy of neurology
8AC 006-1, 2000.
5. Stapczynski JS. Shock septic. In: medicine journal vol. 2, no. 5, May 2001.
59
BAB VIII
KEDARURATAN NEUROLOGI PADA STROKE
Dr. Salim Harris SpS(K)
Departemen Neurologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Pendahuluan
Stroke merupakan satu gangguan aliran darah ke otak, baik bersifat regional maupun global
yang berlangsung begitu cepat, yang dapat menimbulkan kerusakan otak, dengan manifestasi
yang ditimbulkannya berupa kecacatan baik anggota gerak maupun fungsi-fungsi lainnya.
Proses stroke berlangsungnya begitu cepat dengan manifestasi gangguan klinis yang sangat
bervariasi sehingga WHO menekankan gejala stroke harus bertahan dalam 24 jam pertama.
Keberadaan dari kedaruratan stroke akan mengancam kehidupan sel otak yang diketahui tidak
mempunyai cadangan energi sehingga menimbulkan kecacatan menetap dan hal ini telah
terbukti, kecacatan akibat stroke memegang rangking tertinggi di dunia.
Ancaman kedaruratan ini juga dapat mengancam kehidupan penderita stroke itu sendiri karena
dengan terjadinya gangguan aliran darah otak, maupun kejadian pecahnya pembuluh darah,
dalam kurun waktu 24 jam akan diikuti oleh edema serebri, edema serebri merupakan beban
yang begitu hebat kepada otak yang berada dalam ruang yang relatif sempit dan daya kembang
yang minimal sehingga dapat terjadi penonjolan atau pendorongan bagian otak ketempat yang
tidak semestinya ada dan hal ini disebut herniasi. Herniasi akan mengakibatkan terjadinya
penekanan pada parenkim otak yang masing-masing menjadi pusat vital baik pusat kesadaran,
pusat pernafasan, pusat pergerakan jantung dan lainnya yang selanjutnya akan mengakibatkan
terjadinya gangguan pada fungsi-fungsi pusat pusat vital tersebut. Gangguan pusat pusat vital
di otak akibat herniasi pada akhirnya dapat mengakibatkan kematian. Sehingga secara umum
dikatakan kematian akibat stroke menduduki rangking ke 3 sesudah kanker dan penyakit
kardiovaskular.
60
Faktor Resiko Stroke
Stroke iskemik maupun hemoragik merupakan manifestasi hasil akhir dari suatu proses kronik
akibat suatu penyakit maupun kebiasaan/pola hidup dan dapat didasari akibat faktor genetik,
keberadaan hal tersebut pada akihrnya akan mengakibat gangguan pada sistem pembuluh darah
besar, menengah maupun kecil yang apabila keadaan ini terjadi di sistem peredaran odarah tak
maka akan bermanifestasi sebagai stroke.
Hipertensi merupakan penyakit kronis di mana terjadinya peningkatan tekanan darah baik
sistolik maupun diastolik atau keduanya, baik yang mempunyai penyebab (sekunder) ataupun
yang tidak diketahui penyebabnya (primer). Kondisi tekanan darah yang tinggi ini yang
berlangsung lama akan menimbulkan kondisi patologi pada pembuluh darah seperti
lipohialinosis maupun terjadi mikroaneurisma. Tekanan darah yang berlangsung lama di
samping dapat menimbulkan aneurisma juga dapat memicu terjadinya arterosklerosis. Peran
beta-amyloid pada dinding pembuluh darah telah lama diketahui, pada hipertensi akan
mengakibatkan menumpuknya beta-amiloid pada pembuluh darah kecil dan media terutama
pada daerah kortikal selanjutnya terjadilah penebalan membrane basalis pembuluh darah dan
terjadilah stenosis dari lumen seperti halnya yang terjadi proses lipohialinosis yang berasal dari
permukaan pembuluh darah kecil. Keadaan ini akan mengakibatkan terjadinya stroke iskemik.
Nekrosis amyloid dan mikro aneurisma terjadi akibat proses fragmentasi elastin lamina internal
yang akan berakhir dengan terjadinya proses perdarahan otak.
Kelainan Jantung
Kelainan jantung baik kelainan irama seperti pada fibrilasi atrial, kelainan otot jantung seperti
yang terjadi pada daerah imobilisasi setelah mengalami infark dan kelainan katup jantung serta
gagalnya fungsi jantung dapat menimbulkan bekuan-bekuan darah kecil terlepas dan mengalir
ke aliran darah yang akhirnya akan mencapai pembuluh darah di otak, bekuan atau emboli ini
akan akan berhenti pada pembuluh darah yang berdiameter lebih kecil dari bekuan darah
(emboli) keadaan ini menimbulkan stroke iskemik. Gangguan irama jantung terutama fibrilasi
61
atrium merupakan penyebab yang utama pada orang-orang lanjut usia mengalami stroke
iskemik. Gangguan katup jantung baik sebagai stenosis maupun insufisiensi akan
mengakibatkan terjadinya gangguan turbulensi keadaan ini akan menimbulkan lepasnya
bekuan-bekuan darah kecil selanjutnya akan masuk ke adalam aliran darah untuk berakhir pada
pembuluh darah yang lebih kecil
Di samping itu kerusakan pada katup janntung akan mengakibatkan timbulnya bekuan darah
yang menempel pada katup jantung sehingga terbentuklah trombus dan trombus ini akan
berisiko stroke iskemik apabila terlepas (kardio emboli stroke). Daerah infark jantung dengan
spesifikasi adanya gelombang Q pada EKG merupakan daerah yang tidak/kurang mempunyai
kemampuan berkontraksi sehingga berisiko untuk menjadi tempat terbentuknya bekuan darah
di dalam jantung.
Adanya peningkatan LDL kolesterol maupun homosistein baik tersendiri maupun bersamaan
dengan terbentuknya LDL tiolakton akan mengakibatkan terjadinya kerusakan dari endotel
pembuluh darah baik pembuluh darah besar, sedang maupun kecil. Keadaan ini akan memicu
timbulnya respon dari trombosit sebagai repair maupun tumpukan daripada LDL di dalam
endotel yang selanjutnya akan terbentuk plak maupun trombus, yang pada ahirnya kedua
proses ini akan menimbulkan penyumbatan pada pembuluh darah.
Keberadaan gula darah yang meningkatan tidak saja mengakibatkan gangguan pada viskositas
dengan segala aspeknya, tetapi juga akan mempengaruhi mitokondria yang semula berperan
dalam memproduksi ATP kini mitokondria juga menghasilkan ROS yang bersifat toksin baik
terhadap sel maupun menimbulkan injury pada endotel. Keadaan ini semua akan menimbulkan
62
kerusakan pada beberapa target organ yang salah satunya adalah otak dengan manifestasi
berupa stroke.
Fibrinogen
Fibrinogen merupakan protein dengan berat molekul besar yang merupakan suatu reaktif
protein, apabila terjadi peningkatan kadarnya didalam darah akan berisiko terjadinya
peningkatan viskositas darah.
Fibrinogen yang juga merupakan faktor 1 dari elemen pembekuan darah apabila terjadi
peningkatan kadarnya akan menimbulkan keadaan hipercoagulable state, sehingga darah
mudah membeku.
Sel darah merah mempunyai kemampuan merubah bentuk (deformabilitas), kemampuan ini
ditentukan oleh kandungan muatan negatif yang berada dipermukaan sel tersebut. Adanya
potensial aksi negatif ini dikenal sebagai zeta potensial. Apabila terjadi peningkatan kadar
fibrinogen yang merupakan protein bermuatan positif maka kelebihan fibronogen ini akan
melakukan ikatan dengan muatan negatif yang berada di permukaan Sel darah merah
selanjutnya akan menimbulkan gangguan pada kemampuan merubah bentuk ( deformability )
daripada sel darah merah, gagalnya eritrosit melakukan perubahan bentuk ini akan
mengakibatkan terjadinya kesulitan sewaktu melewati pembuluh darah kecil di otak yang
berdiameter relatif lebih kecil dari eritrosit. Hal ini mengakibatkan terjadinya slugging dan
pada akhirnya menimbulkan lakunar infark di otak.
Polisitemia
Keadaan meningkatnya jumlah sel darah merah yang beredar di dalam aliran darah disebabkan
karena penyakit primer polisitemia maupun sebagai suatu reaktif dari kondisi-kondisi tertentu
seperti pada mereka yang mengkonsumsi karbondioksida (perokok) yang mempunyai ikatan
lebih kuat terhadap oksigen, kondisi ini akan mengakibatkan bertambahnya sel darah yang
63
berada pada aliran secara otomatis akan mengakibatkan terjadinya gangguan aliran darah pada
tingkat arteri di otak. Kondisi dehidrasi akan menimbulkan dampak peningkatan viskositas
yang berakibat serupa dengan terjadinya gangguan aliran pembuluh darah kecil di otak akibat
polisitemia.
Terdapat perbedaan yang mendasar pada stroke hemoragik/subaraknoid dengan stroke iskemik.
Kedua tipe stroke ini berbeda dalam proses terjadinya stroke, di mana pada stroke hemoragik
terjadinya diskontuinitas pembuluh darah berakibat keluarnya darah dari pembuluh darah dan
akan mengisi parenkim otak maupun rongga-rongga di dalam otak. Sedangkan pada stroke
iskemik/sumbatan mengakibatkan terputusnya aliran darah di dalam pembuluh darah. Akibat
adanya sumbatan ini maka terjadinya gangguan suplai energi yang pada akhirnya menimbulkan
kematian pada jaringan otak.
Otak yang beratnya sekitar 2 % dari berat badan menerima 15-20 % curahan darah dari jantung
di mana cerebral blood flow (CBF)/aliran darah ke otak di pertahakan konstan pada hitungan
50-60 cc/gram otak per menit. Atau dapat dikatakan konsumsi otak sekitar 20 % dari total
oksigen tubuh dalam kondisi istirahat. Apabila terjadi gangguan aliran darah ini apapun
sebabnya dengan nilai di bawah 20 % dari nilai CBF atau sama dengan 10-15 cc akan
mengakibatkan kematian jaringan yang menetap. Adanya aliran darah ke otak di antara 20 cc
di bawah 50 cc / gram otak per menit, otak akan mengalami gangguan perfusi tetapi belum
menimbulkan kematian sel otak secara permanen. Kondisi ini dikenal sebagai daerah
penumbra. Adanya autoregulasi semata-mata bertujuan untuk mempertahankan sel otak dari
kematian. Cerebral Perfusi Pressure (CPP) merupakan kelanjutan dari tekanan darah sistemik
yang digunakan untuk mempertahankan kelangsungan suplai energi ke otak secara konstan,
apabila terjadi penurunan tekanan darah yang berakibat penurunan CPP maka pembuluh darah
otak akan mengalami vasodilatasi sehingga memungkinkan peningkatan cerebral blood
64
volume (CBV). Hal ini akan mampu mempertahankan CBF dalam kondisi konstan sehingga
keberadaan sel otak tetap normal, apabila penurunan tekanan darah berkelanjutan yang
berakibat terjadinya penurunan CPP berkelanjutan dan otak sudah tidak mampu meningkatkan
cerebral blood volume, kondisi ini memungkinkan sel otak tetap hidup walaupun sudah terjadi
kegagalan perfusi, hal ini disebabkan peningkatan daripada efisiensi otak yaitu dengan
meningkatnya oksigen ekstration fraction (OEF). Walaupun demikian pada kondisi ini
cerebral blood flow mengalami penurunan tetapi cerebral metabolisme rate for oxyigen
(CMRO2) masih dalam batas normal.
Apabila tekanan perfusi terus menurun, CBV tidak mampu meningkat lagi, CBF terus menurun
dan OEF tidak mampu meningkat lagi, maka CMRO2 menurun maka terjadilah iskemia otak
dan secara klinis ditandai dengan adanya defisit neurologi.
Proses biomolekuler kerusakan sel otak diawali akibat gagalnya pompa natrium kalium
sehingga natrium di dalam sel tidak mampu dikeluarkan mengakibatkan terjadi depolarisasi
membran presinaptik dengan keluarnya neurotransmitter glutamat dan hal ini akan
mengakibatkan terbukanya reseptor NMDA dan hal ini mengakibatkan masuknya kalsium ke
dalam sel, dengan masuknya kalsium kedalam sel akan terjadi pengeluaran kalsium oleh
organel sel lainnya seperti mitokondria dan lisosom, hal ini akan mengakibatkan terjadinya
penumpukkan kalsium yang bertambah banyak di dalam sitoplasma sel. Kemudian kondisi ini
akan memicu terbukanya voltage channel calsium receptor (VSCC) maka dengan leluasa
kalsium masuk ke dalam sel, tingginya kadar kalsium di dalam sel akan mengaktifkan enzim-
enzim posfolifase, protease, dan radikal bebas lainnya, enzim posfolifase ini akan melakukan
hidrolisa dari membran lipid sehingga terbentuk asam lemak bebas dan terbentuklah asam
arakidonat dan terjadilah pembentukkan peroksida sehingga timbul kerusakan membran sel
yang disebut sebagai nekrosis. Sedangkan daerah penumbra proses kematian sel melalui proses
apoptosis yaitu dengan terbentuknya cytoplasmic bud kemudian menjadi apoptotic bud,
selanjutnya apoptocic bud ini ini akan ditangkap oleh makrofag, sebagian dari apoptotic bud
yang tidak tertangkap oleh makrofag akan mengalami lisis disebut sebagai nekrosis sekunder.
Kedaruratan Kehidupan
65
Stroke tidak saja mengancam kematian sel tetapi juga dapat menimbulkan kematian pada
individu yang menderita. Hal ini umumnya disebabkan karena adanya kegagalan fungsi otak,
fungsi pernafasan, fungsi jantung, dan organ-organ lainnya. Adanya edema serebri yang terjadi
pada 24 jam pertama, akan menimbulkan peningkatan tekanan di dalam kepala yang berisiko
terjadinya herniasi, di mana bagian otak akan keluar mencari bagian-bagian atau rongga-
rongga yang longgar untuk menempatkan dirinya sehingga menimbulkan kegagalan dari kedua
sistem otak baik kanan maupun kiri atau terjadinya kegagalan sistem batang otak. Pengaruh
daripada stroke terhadap sistem kardiovaskular atau jantung dapat dilihat dari aspek pengaruh
sistem sentral yaitu peran sentral dalam mengontrol fungsi jantung seperti kerusakan dari
insula dan bagian-bagian dari batang otak sehingga menimbulkan kegagalan aktifitas jantung
di lain pihak adanya stroke akan berdampak pada sistim hemodinamik maupun berdampak
pada viskositas darah yang pada akhirnya akan berisiko pada gangguan koroner. Gangguan
pernafasan, seperti di ketahui adanya peran batang otak dalam mengatur ritme pernafasan, bila
terjadi gangguan pada batang otak maka akan menimbulkan gangguan pada sistim pernapasan.
Seperti terjadinya pernafasan biot atau cheynestoke. Keadaan edema serebri akan meningkat
tekanan intrakranial, hal ini akan mengakibakan peningkatan frekuensi pernafasan sehingga
terjadinya hipokapnia, keadaan ini tidak saja dapat menimbulkan gagal nafas tetapi juga dapat
menimbulkan gangguan sirkulasi darah ke otak akibat vasokontriksi umum.
Kedaruratan Fungsional
Yang dimaksud dengan kedaruratan fungsional adalah kegagalan dalam menyelamatkan sel
otak akibat terjadinya stroke. Akibat kedaruratan fungsional ini akan terlihat meningkatnya
nilai kecacatan sehingga penderita akan selamat dari kematian tetapi mengalami
ketergantungan terhadap lingkungan/orang lain (dependent). Nilai ketergantungan ini dapat
dilihat dalam melakukan kegiatan kehidupan sehari-hari seperti makan, berjalan, mandi,
membersihkan diri dari najis, menyisir rambut dan sebagainya. Kedaruratan fungsional ini
dapat dikurangi sedemikian rupa sehingga penderita stroke setidak-tidaknya mampu menolong
dirinya sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Adanya pengobatan yang cepat tepat dan akurat
seperti pemberian trombolisis pada penderita stroke iskemik yang sesuai dengan waktunya,
akan dapat menyelamatkan kematian sel sehingga keluaran fungsional (functional outcome)
66
akan didapatkan lebih baik dibandingkan tanpa penggunan trombolisis. Hal-hal yang dapat
meringankan risiko terjadinya kerusakan sel dapat dilakukan dari sejak pertama kali penderita
mengalami serangan stroke di mana penderita yang mengalami serangan stroke akan
mengalami gangguan hemodinamik intraserebral sehingga sebaik-baiknya penderita diletakkan
dalam posisi tidur dengan posisi kepala maksimal 30o yang terangkat dari bahu sampai ke
kepala dengan tujuan memperbaiki venous return (bed rest).
Keberadaan penderita stroke yang tidak melakukan posisi tirah baring akan berisiko terhadap
regional perfusion pada daerah stroke yang akan bertambah parah, hal ini akan berakibat
terjadinya perluasan daerah infark yang semula merupakan daerah penumbra. Pemberian obat-
obat anti hipertensi selayaknya ditinggalkan apabila tekanan darah rerata (MABP) dibawah 130
mmHg. Hal ini didasarkan atas peningkatan tekanan darah yang terjadi merupakan reaksi
normal akibat terjadinya suatu gangguan hemodinamik di otak. Apabila diperlukan penurunan
tekanan darah sebelum memberikan obat-obat tekanan darah haruslah dipastikan tidak ada
nyeri, tidak ada demam, tidak ada retensi urin dan sebagainya yang mungkin berpengaruh
terhadap tekanan darah. Adanya demam tidak semata-mata berisiko terjadinya vasodilatasi
yang akan berdampak terjadinya steal syndrome, tetapi akan berpengaruh terhadap peningkatan
metabolisme otak yang sebanding dengan peningkatan suhu yang terjadi. Adanya kejang
haruslah dihindari demikian juga adanya peningkatan kadar gula darah karena akan berakibat
terjadinya lonjakan asam laktat di daerah serebral yang berakibat timbulnya regional asidosis
akhirnya akan diikuti oleh kematian sel, demikian pula halnya pada kondisi gula darah yang
rendah akan berpengaruh negatif kepada metabolisme sel otak yang sedang mengalami sekarat.
Pemberian oksigen dalam jumlah besar akan mengakibatkan PaO2 meningkat , apabila terjadi
peningkatan berlebih maka akan diikuti oleh kondisi hiperkapnia yang akan berisiko terjadinya
vasodilatasi di luar daerah penumbra yang pada akhirnya akan menimbulkan steal syndrome
pula. Sehingga dengan pengetahuan patofisiologi dan patogenesis stroke tidak saja dapat
menurunkan angka kematian tetapi juga dapat meminimalisasi kecacatan pada penderita stroke.
Penutup
67
Penatalaksanaan penderita stroke sudah dilakukan sejak penderita berada di rumah sehingga
pengetahuan mengenai stroke sebaiknya dimasyarakatkan tidak saja di kalangan medis tetapi
juga di kalangan awam dengan modalitas yang berbeda. Hal ini akan sangat menolong baik
bagi penderita stroke maupun bagi dokter sehingga penatalaksanaan stroke dapat terlaksana
dengan cepat, tepat dan akurat yang pada akhirnya akan memberikan keluaran pengobatan
dengan menurunnya angka kematian dan meminimalisasi kecacatan penderita stroke sehingga
ketergantungan menjadi sangat kecil dan pada akhirnya dapat terlaksana efisiensi baik dalam
hal finansial, lama rawat,dan penderitaan psikososial penderita dan keluarga.
Kepustakaan :
1. Stroke Practical Management, Third Edition, C.P. Warlow et. All, 2008.
2. Review of Medical Physiology, 22 Edition, William F. Ganong, 2005.
3. Stroke, A Practical Guide to Management, Second edition, C.P. Warlow, 2001.
4. Principal of Neurology, Adam and Victor, Eight Edition, 2005.
5. Trombolitic Therapy of Acute Stroke, Patric De laden, Second Edition, 2005.
68
BAB IX
PENDAHULUAN
Vertigo dan sakit kepala merupakan keluhan yang sering dikeluhkan pasien untuk mencari
pertolongan medis. Bermacam-macam istilah digunakan pasien dalam mendeskripsikan vertigo
seperti pusing, puyeng, oyong, melayang dan sebagainya. Seringkali pasien menggunakan
istilah sakit kepala dan vertigo dengan istilah pusing.
Vertigo adalah suatu ilusi dimana seseorang merasa tubuhnya bergerak terhadap lingkungan-
nya atau lingkungan yang bergerak tehadap dirinya.1 Sakit kepala adalah rasa nyeri pada kepala
yang bersifat unilateral atau menyeluruh.2
Pada kasus vertigo 5 - 10% pasien berobat ke dokter umum dan 10 - 20 % berobat ke dokter
saaraf dan THT.3 Berdasarkan data dari Amerika didapatkan 2,2 % penderita sakit kepala
yang bersifat akut mencari pertolongan medis ke unit gawat darurat.
VERTIGO
Fungsi keseimbangan tubuh kita terdiri dari 3 sistem yaitu : sistem vestibular, sistem visual dan
sisrtem somatosensorik. Apabila terjadi gangguan pada salah satu atau lebih dari ketiga sistem
tersebut maka akan timbul gejala vertigo.4
Vertigo yang mengenai sistem vestibular disebut vertigo vestibular sedangkan vertigo yang
timbul pada kelainan somatosensorik dan visual disebut vertigo non vestibular
Pada vertigo vestibular : sifat vertigo seperti berputar, serangan bersifat episodik, diserrtai
gejala otonom, kadang kadang dijumpai gangguan pendengaran dan dicetuskan oleh gerakan
kepala.5
Dalam menghadapi kasus vertigo vestibular kita harus membedakan apakah lesinya di perifer
(pada labirin dan n. vestibularis) atau pada lesi sentral (pada batang otak sampai korteks).6
69
Secara klinis vertigo vestibular tipe perifer timbulnya lebih mendadak, keluhan vertigo lebih
berat, lebih sering diperburuk dengan gerakan kepala, gejala otonom lebih dominan dan
disertai dengan tinnitus. Pada vertigo vestibular tipe sentral gejala ini lebih ringan dan disertai
dengan defisit neurologi.7
Penyebab vertigo vestibular perifer : benign paroxysmal positional vertigo (BPPV), tumor
N.VIII, infeksi, oklusi a.labirin, autoimun, trauma. Sedangkan penyebab vertigo vestibular
sentral : vaskular, tumor, epilepsi, trauma, demielinisasi, degeneratif, sindroma paraneoplastik,
migren vestibular.3,4,6
1. Terapi kausal
2. Terapi simtomatik
3. Latihan vestibular
Terapi simtomatik ditujukan pada dua gejala utama yaitu vertigo dan gejala otonom. Jenis
jenis obat anti vertigo yang banyak digunakan :
SAKIT KEPALA
Dalam menghadapi pasien dengan sakit kepala diperlukan anamnesis yang sangat teliti.
Riwayat sakit kepala sebelumnya harus dianalisa seperti usia mulai timbul serangan, frekwensi,
durasi dan gejala penyerta ketika sakit kepala timbul. Sakit kepala primer yang sering
dijumpai : sakit kepala tipe tegang (tension type headache) dan migren. Dalam menghadapi
kasus sakit kepala juga harus dipikirkan adanya kemungkinan sakit kepala yang disebabkan
penyakit lain yang disebut sebagai sakit kepala sekunder. Seringkali sakit kepala sekunder
tidak terdiagnosis ketika menghadapi pasien dengan serangan sakit kepala, untuk itu ada
beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menghadapi pasien dengan keluhan sakit kepala :
11,12
1. Sakit kepala yang sangat berat/ pertama kali dialami oleh pasien
70
2. Frekwensi yang semakin sering dan rasa sakit yang semakin berat
4. Bersifat progresif
6. Adanya gejala sistemik seperti : demam, berat badan menurun, riwayat keganasan,
infeksi dan imunosupresi
Penyakit-penyakit yang dapat menimbulkan sakit kepala yang hebat dalam bidang neurologi :
perdarahan subarakhnoid, ensefalopati hipertensif, meningitis, ensefalitis, penyakit
serebrovaskular (stroke hemoragik, iskemik), tumor, abses serebri.13,14
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan sesuai dengan etiologi seperti : hematologi, CT Scan
atau MRI kepala, pungsi lumbal.
Terapi migren lini pertama : aspirin, ibuprofen, naproxen sodium, acetaminofen + aspirin +
caffeine. Jika tidak ada respon dengan terapi lini pertama dapat diberikan golongan triptan.
KESIMPULAN
1. Vertigo dan sakit kepala merupakan gejala subyektif dari pasien dan disebabkan oleh
berbagai kausal
2. Prinsip terapi pada vertigo : terapi kausal, terapi simptomatik dan terapi rehabilitatif
3. Sakit kepala yang disebabkan oleh kelainan struktural pada otak memerlukan
penanganan yang cepat dan tepat
71
DAFTAR PUSTAKA
1. Pritcard TC, Alloway KP. Medical Neuroscience. Fence Creek Publishing, 1999 : 39 - 47
2. The International Classification of Headache Disorders, 2nd edition. Chephalalgia 2004;42
Suplement.
3. Brandt T. Vertigo, Its Multisensory syndromes. Springer-Verlag. London, 2nd ed. 2000; 3-47
4. Melvil-Jones G. The Peripheral Vestibular Message. In J.A Sharpe and H.O barber (eds) :
The Vestibulo-ocular Reflex and Vertigo. Raven Press. New York, 1993: 1 -14
5. Uemura T, Suzuki J, Hozawa J. Et al. Neurotological Examination. Igaku Shoinltd, tokyo,
1991 : 32 46
6. Fife TD. Common Central Causes of Dizziness and Vertigo. AAN. Annual Meeting, 2007
7. Jacobson GP, Newman CW, Kartush JM. Handbook of Balance Function Testing. Mosby
year Book. Toronto 1982 : 156 187
8. Brandt T. Vertigo. Springer-Verlag. London.2003: 251 283
9. Hain TC. Vertigo. In RT Johnson(ed): Current Therapy in Neurologic Disease. BC Decker
Inc, 1999 : 8 12
10 Hain TC. Canalith Repositioning for Benign Paroxysmal Positional Vertigo. AAN annual
meeting 2008
11 Black DF, Swanson JW. Headache in the Emergency Department. AAN annual meeting
2007
12 Silberstein SD, Lipton RB, Dalessio DJ. Overview, Diagnosis and Classifcation of
Headache. In Wolfs Headache and Other Head Pain. Oxford University Press, Inc, 2001 :
3 - 26
13 Wijdicks FM. Catastrophc Neurologic Disorders in the Emergency Departemen. Oxford
University Press, 2004 : 36 -42
14 Saper JR. Headache : Urgent Consideratons in Diagnosis and Treatment. In Emergent and
Urgent Neurology. Lippincott Williams & Wilkins, 1999 : 289 -314
72
BAB X
KEGAWATDARURATAN PENYAKIT NEUROMUSKULAR
Dr. Manfaluthy Hakim, Sp.S(K)
Pendahuluan
Tidak seperti stroke ataupun cedera kepala, penyakit neuromuskular tidak terlalu sering
dijumpai. Akibatnya banyak dokter dan tenaga medis yang tidak mengenali penyakit ini.
Gangguan neuromuskular memiliki spektrum gejala dan tanda yang cukup luas. Mulai dari
kesemutan di ujung jari hingga kegagalan pernapasan yang dapat mengancam nyawa. Oleh
karenanya mengenali penyakit ini sejak awal sangatlah penting.
Umumnya gejala penyakit neuromuskular berupa kelemahan ataupun kesemutan atau bisa juga
keduanya bersamaan, maka penyakit ini mengenai lower motor neuron.
Dengan demikian bila kita mencurigai pasien dengan penyakit neuromuskular langkah pertama
tentunya memastikan bahwa kelainan pada pasien tersebut bukan upper motor neuron.
Perbedaan upper motor neuron dan lower motor neuron adalah sbb:
UMN LMN
Bentuk kelumpuhan Hemiparesis, quadriparesis, Kelemahan pada otot
paraparesis. tertentu sesuai distribusi
radiks atau pleksus
Atrofi Disuse atrophy (muncul Atrophy akibat denervase
belakangan dan tidak (muncul lebih cepat dan
terlalu jelas) lebih jelas)
Fasikulasi dan fibrilasi - +
Refleks fisiologis Meningkat Menurun atau hilang
Klonus + -
Tonus Hipertonus Hipotonus
Refleks patologis + -
73
Beberapa penyakit neuromuskular yang sering ditemui:
Letak lesi Pola kelainan Contoh
Motor Neuron Kelemahan, atrofi, fasikulasi, tidak ada Amyotrophic lateral
gangguan sensorik. sclerosis (ALS), spinal
Pada ALS, gejala LMN disertai UMN muscular atrophy,
Polio: kelemahan asimetrik, riw. Infeksi polio
Radiks Kelemahan dan gangguan sensorik sesuai Kompresi radiks ec
dengan inervasi radiks yang terkena HNP
Sindrom Kauda ekuina
Pleksus (Plexopathy) Sesuai inervasi pleksus yang terkena Trauma pleksus
Neuritis brakialis akut
Saraf perifer
Mononeuropati Kelainan sesuai distribusi saraf perifer Sindrom terowongan
yang terkena carpal/tarsal
Mononeuropati Proses multifokal yang hanya mengenai Kelainan saraf tepi
multiplex bagian tertentu dari saraf perifer pada Morbus Hansen
Polineuropati Difus, simetris, stocking-glove pattern, Neuropati DM
distal hyporefleksia
Poliradikuloneuropati Ascending paralisis, anteceden infeksi GBS
(GIT atau ISPA), refleks patela menurun
Neuromuscular Kelemahan berfluktuatif terutama setelah Myastenia Gravis
Junction aktivitas, tidak ada gangguan sensorik, Botulism
refleks fisiologis normal
Otot Kelemahan otot proksimal yang difus, Polimiositis, muscular
tidak ada defisit sensorik distrofi.
Bila berbicara tentang kelainan UMN berarti merujuk pada kelainan sepanjang traktus motorik
atau kortikospinal yaitu dari korteks serebri hingga kornu anterior. Sedangkan kelainan LMN
dimulai dari kornu anterior (motor neuron) hingga otot.
74
3. Kelainan miogen, kelemahan lebih dominan di proximal. Sedangkan kelainan neurogen
seperti polineruopati di distal.
4. Adakah gejala sensorik?
5. Mintalah pasien untuk melokalisasi gejala sensorik yang dirasakannya.
6. Apakah pasien merasakan kedutan otot (fasikulasi) dan kram?
7. Gejala ini sering dijumpai pada kelainan motor neuron dan kelainan miogen.
8. Adakah nyeri?
9. Nyeri mungkin berhubungan dengan kelainan struktur muskuloskeletal seperti HNP,
trauma pleksus. Atau mungkin juga kelainan neuropatik.
10. Adakah gejala otonom?
11. Gangguan BAB dan BAK, gangguan penglihatan, impotensi, anhidrosis, ortostatik
dizziness.
75
Miastenia gravis
Miastenia yang disebabkan oleh obat-obatan
Eaton Lambert (myasthenic) syndrome (ELS)
Botulism
Keracunan organofosfat
Otot :
Poliomyelitis
Paralysis periodic (PP)
Miopati toksik
Mioglobinuri/ rabdomiolisis
Neuroleptic Malignant Syndrome (NMS)
76
Gelang bahu/ gelang panggul
Defisiensi asam maltase
Defisiensi karnitin
Komplikasi pada jantung :
Gangguan konduksi
Distrofi miotonik
Polimiositis
Sindroma Kearns-Sayre
Sindroma lain dengan oftalmoplegi eksternal yang progresif
Distrofi muskuler Emery-Dreyfuss
Disfungsi otonomik
AIDP
Gangguan elektrolit
Paralysis periodik
Yang khas pada AIDP adalah bahwa gejala dimulai dengan parestesi bagian distal diikuti
dengan terjadinya paresis yang subakut, yang relative simetris yang mengenai otot-otot bagian
distal maupun proksimal. Kelemahan bulbar dan ataksia atau disfungsi otot-otot pernafasan
bisa lebih menonjol, dan dapat terjadi juga gangguan otonom seperti aritmia jantung dan dapat
terjadi juga gangguan otonom seperti aritmia jantung dan tekanan darah yang fluktuatif.
Seringkali, mula-mula pasien mengeluh nyeri pada otot-otot disertai cramps, dan dapat
terjadi suatu iritasi radiks yang terdeteksi dengan suatu tes mengangkat tungkai secara lurus.
Paresis n. facialis bisa terjadi pada 50% pasien.
Derajat kelemahan bervariasi yang melibatkan ekstremitas dan otot-otot yang dipersarafi saraf
cranial, dan juga terjadi hiporefleksi atau arefleksi (Tabel 3).
77
Pertimbangan untuk melakukan pemeriksaan terhadap HIV
Penatalaksanaan
Rawat di rumah sakit
Pertimbangan plasmaferesis atau pemberian IVIg
Evaluasi fungsi pernafasan secara berkala dan serial, adakan ventilasi bila perlu
monitor aritmia kardial dan hipotensi
Tetapkan progresivitas penyakit
Berikan dorongan/ support yang adekuat dengan perawawtan kulit dan respiratory toilet
Infeksi yang rekuren harus diobati
Bila ada kecurigaan adanya AIDP perlu dilakukan pemeriksaan pungsi lumbal untuk melihat
peningkatan protein cairan likuor yang tanpa disertai pleiositosis. Walaupun disosiasi sito-
albuminik ini merupakan suatu tanda khas pada AIDP, namun kadang-kadang ditemukan hasil
likuor yang normal pada 72 - 96 jam pertama dari penyakit ini. Pemeriksaan kecepatan hantar
saraf (KHS = Nerve Conduction Velocity/ NCV) dan juga termasuk EMG sangat bernilai dalam
mengkonfirmasi diagnosa AIDP.
Tanda-tanda demielinisasi terlihat dari masa laten yang memanjang, penurunan kecepatan
hantar saraf, blok hantar saraf (conduction block) atau disperse temporal, dan gelombang F (F-
wave) yang hilang atau memanjang.
Kelainan hantar saraf paling dini tampak setelah 3 sampai 10 hari dan terdiri dari F-wave yang
melambat karena terkenanya radiks, diikuti kemudian oleh adanya tempat-tempat yang
cenderung terkena kompresi yang menyebabkan terjadinya suatu blok hantar saraf (conduction
block) dan lalu mengenai badan sarafnya sendiri yang terlihat dari adanya penurunan kecepatan
hantar saraf yang menunjukkan adanya suatu demielinisasi.
Perjalanan penyakit AIDP pada kira-kira 95% kasus adalah monofasik dengan kelemahan yang
progresif selama 4-6 minggu, diikuti suatu penyembuhan motorik yang datar (plateau in
strength), lalu perlahan-lahan mengalami perbaikan. Derajat kelemahan sangat bervariasi,
dimana sekitar dari jumlah pasien memerlukan dukungan ventilator. Ventilator seharusnya
digunakan bila kapasitas vital menurun kurang dari 800 ml. Karena sistim otonom umumnya
terkena, maka harus waspada terhadap terjadinya aritmia dan hipotensinya. Prognosis untuk
penyembuhan sangat baik, lebih dari 90% pasien mengalami perbaikan tanpa meninggalkan
defisit yang bermakna, namun pada 3-5% pasien bisa berkembang menjadi kronis (CIDP =
Chronic Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy) atau gejala-gejala berulang (CRPN =
78
Chronic Recurrent Polyneuropathy). Alat untuk menentukan prognosa yang paling bermakna
dari perbaikan yang terjadi adalah dengan mengukur degenerasi aksonal yang ditunjukkan
dengan adanya Low Amplitude Compound Motor Amplitude Potential (CMAPs) pada
pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS = NCV).
Adalah penting sekali untuk mengobservasi pasien secara teliti untuk melihat progresivitas
penyakitnya. Pasien yang tidak mampu bergerak atau dengan berbagai derajat disfungsi otot-
otot pernafasan harus mendapatkan terapi aktif dengan plasmaferesis atau immunoglobulin
secara intravena (IVIg). Plasmaferesis menggunakan suatu plasma exchange lebih kurang 20 L
(200-250 ml/ kg selama beberapa hari) secara bermakna menurunkan lama dan beratnya
disability pada AIDP, namun beberapa penyelidikan terbaru juga memperlihatkan keuntungan
dari IVIg. Suatu tim The Dutch Guillan-Barre Study Group mengemukakan pengobatan
dengan IVIg (0.4 g/kg selama 5 hari) sama atau malahan lebih superior dibandingkan plasma
exchange. Penyelidikan-penyelidikan yang lain kurang meyakinkan dan mengemukakan
kemungkinan terjadinya relaps pada pasien dengan pengobatan IVIg disbanding plasma
exchange. IVIg merupakan pengobatan lini pertama yang lebih praktis yang tidak diragukan
lagi kemanjurannya dengan komplikasi yang rendah, dan mudah digunakan, namun sangat
mahal biayanya. Plasma exchange memerlukan tenaga yang terlatih dan peralatan yang tidak
selalu dapat tersedia dengan biaya yang juga mahal, namun lebih murah dari IVIg. Tidak ada
studi tentang keuntungan menggabungkan penggunaan IVIg dan plasma exchange sehingga
hanya salah satu saja terapi yang direkomendasikan.
79
Diagnosa dapat ditegakkan dengan suatu stimulasi repetitive dengan frekuensi 3/detik pada
suatu saraf motorik, dimana suatu respon dekremental dengan penurunan amplitude CMAP
yang melebihi 10% adalah positif. Kekuatan (dan amplitude CMAP) seharusnya mengalami
perbaikan yang cepat dengan pemberian edrofonium (tensilon) iv. (Edrofonium adalah suatu
inhibitor asetilkholinesterase yang secara transient membuat lebih banyak asetilkolin tersedia
untuk menstimulasi reseptor post-sinaps).
Umumnya gejala Myasthenia gravis adalah penglihatan ganda (diplopia) disertai ptosis. Selain
disfungsi ocular, yang terjadi pada lebih banyak dari 80% pada penderita yang menderita
myasthenia gravis, dapat terjadi juga gangguan mengunyah, berbicara dan menelan, kelemahan
otot-otot leher serta otot-otot proksimal. Jarang terjadi disfungsi bulbar yang bisa
menyebabkan suatu dyspnoe atau suatu pneumonia aspirasi. Penyakit ini lebih sering terjadi
pada wanita usia 15 - 30 tahun dan pria > 40 tahun.
Bisa ditegakkan diagnosa bila kelemahan dapat ditimbulkan dengan terjadinya fatique. Pada
pemeriksaan penderita dengan gejala-gejala ocular, pasien disuruh melihat ke atas terus selama
1 menit (persistent upward gaze) dan harus diobservasi akan terjadinya ptosis yang progresif.
Bila tidak ada perbaikan dengan tensilon, hentikan pemberian inhibitor kholinesterase. Bila
keluhan penderita adalah kelemahan ekstremitas setelah kecapaian (fatique), suatu
pemeriksaan berulang dengan melipat lutut atau lengan terhadap tahanan akan menyebabkan
kelemahan lebih tampak lagi. Tidak seperti AIDP atau AMAN, refleks tetap ada pada pasien
dengan Myasthenia gravis (Tabel 4).
Tes tensilon adalah pemeriksaan tambahan pada evaluasi kasus-kasus emergency, tapi
interpretasi secara subjektif dari suatu respon ringan sampai sedang dapat mengarah ke suatu
misdiagnosis. Setelah pemberian suatu dosis 2 mg tensilon, di observasi efek kholinergik yang
tidak dikehendaki (takikardi, sinkop) disusul dengan pemberian 8 mg untuk mengobservasi
perbaikan klinis.
Beberapa obat-obatan dapat menimbulkan gejala-gejala miastenik pada individu yang normal.
Gejala sekunder D-penicillamine (yang juga meningkatkan titer AChR Ab) dan aminogikosid
akan berubah bila salah satu dari obat-obatan tersebut dihentikan. Obat-obatan tertentu juga
dapat memperberat gejala-gejala myasthenia gravis (Tabel 5).
80
Magnesium sulfat pada wanita miastenik dengan pre eklamsi atau eklamsi terutamaa bisa
mengganggu karena obat ini mendepresi pelepasan Ach di presinaps dan bisa mengakibatkan
perburukan klinis yang mendadak.
Penatalaksanaan myasthenia gravis pada penderita yang baru di diagnosa sebagai myasthenia
gravis tergantung pada beratnya gejala-gejalanya.
Evaluasi segera harus dilakukan terhadap fungsi paru-paru dan menilai resiko terjadinya
aspirasi bila fungsi menelan terganggu. Pengobatan dapat dimulai dengan pemberian
piridostigmin (Mestinon) dosis rendah, 30-60 mg setiap 4 jam, dimana terjadi perbaikan
simptomatik, sambil mengevaluasi secara keseluruhan.
Diperlukan suatu evaluasi yang lengkap termasuk stimulasi saraf berulang (repetitive nerve
stimulation), mengukur AchR Ab, suatu CT scan dada untuk mengevaluasi adanya suatu
timoma dan persiapan timektomi dan juga tes fungsi tiroid.
Timektomi selalu diindikasikan pada pasien dengan suspek timoma dan memberikan
keuntungan/ benefit pada semua penderita miastenia yang sedang dan berat. Timektomi
sebaiknya dipertimbangkan hanya pada penderita dimana gejala-gejala telah stabil dan
sebaiknya tidak dilakukan sebagai suatu prosedur emergency.
Imunosupresan dengan prednisone atau azatioprin, atau dua-duanya efektif pada penyakit
autoimun ini, dimulai dengan dosis rendah secara alternating, peningkatan dosis prednisone
perlahan-lahan akan meminimalkan perburukan yang mungkin terjadi pada 10 hari pertama
akibat efek steroid-induced blockade. Azathioprin lebih baik diberikan pada penderita yang
berespons tidak lengkap terhadap kortikosteroid, efek samping steroid, atau terdapat suatu
kontraindikasi terhadap penggunaan steroid. Karena efektivitas imunosupresan dan timektomi,
banyak penderita akhirnya tidak perlu melanjutkan terapi dengan pyridostigmin.
Penghentian obat piridostigmin ini penting, karena pada pemberian yang terlalu lama dengan
dosis tinggi, pyridostigmin bisa menurunkan pengaturan reseptor di post-sinaps (dowm
regulation) yang membuat inhibisi asetilkholinesterase oleh pyridostigmin tidak efektif lagi.
Plasmaferesis, IVIg dan imunoadsorbsi dari plasma memberi hasil perbaikan yang cepat
dengan keuntungan yang menetap selama beberapa minggu atau bulan. Penggunaan
plasmaferesis atau IVIg pada krisis miastenia atau persiapan operasi adalah menguntungkan.
Krisis miastenia merupakan suatu keadaan dimana terjadi keadaan klinis yang memburuk
sebagai akibat penyakitnya sendiri atau adanya suatu keadaan akut yang mempresipitasi seperti
81
suatu infeksi yang interkuren, hipokalemia, penyakit tiroid atau pemberian obat-obat yang
menyebabkan terjadinya neuromuscular blocking (Tabel 4-5). Krisis miastenia yang terjadi
pada penderita yang diketahui menderita penyakit miastenia ditandai dengan adanya
kelemahan yang akut dan progresif yang jika tidak diobati, menghasilkan suatu kuadriparesis,
disfungsi bulbar, kemungkinan aspirasi dan kegagalan ventilasi. Sebelum ditemukannya terapi
imunosupresan, krisis kholinergik sekunder sebagai akibat dari overdosis pemberian inhibitor
kholinesterase dan juga depolarisasi dari motor end plate merupakan penjelasan yang lain
mengapa terjadi perburukan tersebut. Dengan adanya pilihan pengobatan yang beragam akhir-
akhir ini, krisis kholinergik dan efek samping muskarinik lainnya, seperti diare, kejang perut,
keringat dan salvias berlebihan, dapat diminimalkan dengan penggunaan inhibitor
kholinesterase yang lebih bijaksana. Bila pasien diberikan atropine untuk meredakan efek
samping muskarinik, kelemahan yang bertambah mungkin merupakan tanda-tanda satu-
satunya adanya ekses kholinergik. Respon terhadap edrofonium iv bisa menolong membedakan
apakah suatu kelemahan pasien bersifat miastenik atau kholinergik; pada krisi miastenik,
gejala-gejala akan tetap tidak berubah dan pada krisis kholinergik gejala-gejala menjadi lebih
buruk, karena kelemahan diakibatkan oleh kelebihan kholinergik.
Penatalaksanaan akut :
Monitoring fungsi pernafasan dan menelan
Periksa dan obati infeksi, hipokalemia dan gangguan pada tiroid
Pertimbangan plasmaferesis atau pemberian IVIg
82
Tabel 5. Obat-obatan yang memperburuk miastenia gravis.
Antibiotika : Neomisin Antikonvulsan :
Streptomisin fenitoin
Kanamisin Trimetadon
Gentamisin Obat-obatan psikotropik
Tobramisin Garam litium
Polimiksin B Khlorpromasin
Kolistiin Hormon :
Oksi tetrasiklin Kortikosteroid (pada permulaan)
Linkomisin ACTH
Klndamisin Hormon tiroid
Obat-obatan antireumatik : Obat-obatan lain :
d-penisilamin Garam magnesium
khloroquin Narkotika
Obat-obatan kardiovaskuler : Barbiturat
Lidokain
Kinin
Kuinidin
Prokainamid
Propanolol
Oksprenolol
Plasma exchange (55 ml/ kg/ hr selama 5 hari) adalah pilihan terapi untuk pengobatan
kelemahan yang membahayakan hidup. Perbaikan biasanya tampak pada pemberian ke-3 dan
seharusnya menetap dalam 2-4 minggu. Suatu studi terbatas menduga bahwa IVIg kurang
menguntungkan dalam pengobatan krisis miastenik dibandingkan dengan plasmaferesis,
namun penyelidikan-penyelidikan yang lebih banyak dibutuhkan untuk menjelaskan isu
tersebut. Dosis tinggi kortikosteroid (prednisone, 40-60 mg/ hr) atau Azatioprine (2-4
mg/kg/hr), atau dua-duany diberikan setelah plasma exchange akan melindungi pasien dari
suatu krisis yang berulang bila efek perbaikan dari plasma exchange mulai berkurang.
Gejala dari Botulism secara superficial bisa menyerupai myasthenia gravis. Bagaimanapun,
onset biasanya mendadak dan progresif secara cepat disertai gejala-gejala gastrointestinal.
Toksin botulinum mempengaruhi pelepasan Ach dari membrane presinaptik. Bila dosis toksin
rendah, akan terjadi suatu kelemahan yang ringan dan disfagia.
Kebanyakan penderita botulism menderita kelemahan, pandangan yang kabur, nausea dan
vomitus dalam 18-36 jam setelah terkena toksin. Reaksi pupil yang menghilang membantu
membedakan botulismus dari gangguan paut saraf-otot (neuromuscular junction) yang lain.
83
Bantuan ventilatior untuk otot-otot pernafasan sering kali diperlukan. Serum dan feses
seharusnya diperiksa untuk menemukan toksin botulinum dan C.botulinum. sebagai tambahan,
makanan yang dicurigai sebagai penyebab seharusnya juga diperiksa.
Pada stimulasi repetitive dengan frekuensi 3x/detik, tampak suatu penurunan amplitude
(decrement) CMAP, sedangkan adanya fasilitasi respons motorik dengan stimulasi dengan
frekuensi cepat 50x/detik mendukung suatu diagnosis botulism.
Bila dicurigai suatu botulism, iv infuse 2 vial trivalent (ABE) antitoksin botulism (10.000 IU
dari setiap antitoksin dalam setiap vial) harus diberikan segera.
Diperlukan kewaspadaan terhadap suatu kemungkinan terjadinya reaksi anafilaksis karena
derivat antitoksin ini berasal dari serum kuda. Antitoksin tidak menetralisir toksin yang
mengikat reseptor tapi efektif sebagai antidote terhadap toksin sebelum ia mengikat reseptor
tersebut; dengan demikian, gejala-gejala klinis mungkin tidak mengalami perbaikan segera.
Katartik dan enema bisa menurunkan level toksin, gastric lavage dan emetika sebaiknya
diberikan, juga harus dihindari terjadinya aspirasi karena kelemahan bulbar.
84
Kelemahan akut akibat gangguan otot
Miopati inflamasi (polimiositis dan dermatomiositis) dapat menghasilkan kelemahan yang
nonfluktuatif secara akut dan subakut. Biasanya kelemahan lebih banyak di proksimal,
termasuk otot-otot leher, berkembang dalam beberapa minggu sampai bulan, dan bisa
berhubungan dengan disfagia, mialgia, artralgia dan kemerahan pada kulit.
Terapi awal biasanya dengan pemberian kortikosteroid dosis tinggi (Prednison 50-100mg).
Pada beberapa penderita yang berat penyakitnya, diperlukan pemberian makanan secara
parenteral, monitoring jantung dan kadang kala alat Bantu pernafasan. Follow-up klinis yang
ketat mengenai derajat kelemahannya dan peningkatan CPK diperlukan untuk menentukan
lama dan besarnya dosis steroid yang diberikan. Pasien yang intoleran atau refrakter terhadap
steroid lebih baik menggunakan imunosupresan yang lain seperti azathioprine, siklofosfamid
dan metotreksat. Bila berfluktuasi maka lakukan evaluasi kardiologis dan pernafasan.
Komplikasi paru akibat gangguan neuromuskular
Pasien-pasien dengan penyakit neuromuscular mempunyai resiko mendapatkan komplikasi
paru-paru yang membahayakan hidup pada setiap tingkatan penyakitnya, apakah saat sdar atau
sedang tidur. Dokter yang tidak waspada, dan tidak mengenal gejala-gejala non spesifik dari
respiratory distress akan terperanjat dan tidak siap bila seorang pasien dengan suatu
kelemahan yang ringan tiba-tiba berkembang menjadi suatu kegagalan respirasi (respiratory
failure). Meskipun beberapa penderita gangguan neuromuscular dengan kegagalan respirasi
akan mengalami tanda-tanda klinis dari respiratory distress, termasuk retraksi interkostal dan
85
suprasternal, pernafasan cuping hidung, sianosis, namun ada juga penderita-penderita yang
lain, dimana kelemahannya menutupi gejala-gejala tersebut, hanya tampak confused, agitasi,
atau penurunan kesadaran (drowsy) atau mungkin mengeluh sakit kepala. Dengan gejala-gejala
yang non spesifik ini, semua pasien dengan kelemahan akut seharusnya di monitor di ICU
dengan analisis gas darah serial dan tes fungsi paru. Suatu tim medis dan keperawatan yang
siap mengantisipasi intubasi tracheal bila terjadi suatu kasus emergency.
Penderita dengan penyakit neuromuscular progresif yang kronis, seperti penyakit cornu
anterior (Amyotropic Lateral Sclerosis/ ALS, Spinal Muscular Atrophies/ SMA) dan miopati
dengan kelainan genetic (Duchene, Becker, miopati pada gelang bahu dan panggul dan distrofi
otot miotonik) sering meninggal akibat kegagalan otot-otot respirasi. Pada kelemahan
diafragma dan otot-otot interkostal dan otot-otot pendukung fungsi respirasi dibutuhkan
ventilator. Disfungsi bulbar menyebabkan sukar batuk dan meningkatkan resiko terjadinya
pneumonia karena aspirasi. Selain itu, gerakan ekstremitas pasien yang terbatas dapat
menyebabkan deep venous thrombosis (DVT), dan emboli paru. Pneumonia seringkali tak
terlihat pada pasien dengan kelumpuhan dan yang menggunakan kursi roda. Pada penderita-
penderita demikian ini yang mempunyai reserve pulmonair yang hanya sedikit, maka suatu
infeksi saluran pernafasan yang menyebabkan kesukaran bernafas menjadi suatu emergency.
Imunisasi terhadap influenza dan pneumokokus sebagai profilaksis dianjurkan untuk semua
pasien-pasien ini.
Kegagalan pernafasan telah dilaporkan pada berbagai penyakit neuromuskuler seperti distrofi
miotonik, miopati congenital, miopati okuler, defisiensi acid maltase dan poliomyelitis, dimana
sebetulnya kelemahan tidak begitu berat untuk menyebabkan kegagalan pernafasan tersebut.
Respons ventilator yang berkurang terhadap tekanan oksigen yang berkurang atau peninggian
tekanan CO2 yang meninggi dianggap sebagai penyebabnya sehingga sebetulnya kekuatan otot
untuk bernafas masih ada namun respons khemoreseptor sentral yang kurang.
Hiporespons terhadap hipoksemi atau hiperkapnia menerangkan mengapa pada penderita
penyakit neuromuskuler terjadi kegagalan pernafasan pada anestesi umum atau sebagai akibat
dari obat-obat yang menekan pernafasan.
Pada semua penderita penyakit neuromuskuler harus di antisipasi akan terjadinya komplikasi
respiratoir dan harus ditindaklanjuti untuk mengembalikannya pada keadaan-keadaan yang
reversibel. Rontgen paru-paru harus dibuat untuk menyingkirkan adanya infiltrate paru dan
86
suatu EKG/ elektrokardiogram perlu dibuat untuk mengevaluasi adanya cor-pulmonale dan
aritmia kardial. Bila terjadi kegagalan pernafasan yang diakibatkan oleh kelemahan otot
pernafasan adalah ireversibel, maka penggunaan ventilator perlu dipertimbangkan dengan
pembicaraan terlebih dahulu dengan penderita maupun keluarganya mengenai pembiayaannya.
Daftar Pustaka
87
1. Foley PA & Ringel SP. Neuromuscular disorders In : Emergent and Urgent
Neurology, 2 ed., Weiner & Shulman eds, Lippincott Williams & Wilkins, Philladhelphia,
1999, 83-98.
2. Ropper AH. The Guillain Barre Syndrome. N Engl J Med 1992; 326 : 1130.
3. Hartung HP, Pollard JD, Harvey GK, Toyka KV. Immunopathogenesis and treatment of
the Guillain Barre Syndrome. Muscle Nerve 1995; 18 : 137.
4. Gutmann L, Critical Illness Neuropathy and Myopathy. Arch Neurol. 1999; 56 : 527-
528.
5. Bolton CF, Gilbert JJ, Hahn AF, Sibbald WJ. Polineuropathy in critically ill patients. J
Neurol Neurosurg Psychiatry. 1984; 47 : 1223-1231.
6. Kokontis L and Gutmann Ludwig, Current Treatment of Neuromuscular Diseases,
Arch Neurol, vol 57, Jul 2000, 939-943.
7. Raine JM. Drug Safety Information.
http://www.mca.gov.uk/ourwork/monitorsafequalmed/safetymessages/ceri.pdf2001;August
BAB XI
88
CEDERA KRANIOSEREBRAL DAN MEDULLA SPINALIS
Dr. Abdulbar Hamid, Sp.S(K)
CEDERA KRANIOSEREBRAL
Pendahuluan
Cedera Kranioserebral (CK) ialah cedera yang mengenai kepala dan otak, baik yang terjadi
secara langsung (kerusakan primer) maupun tidak langsung (kerusakan sekunder). Cedera
kranioserebral tersering ialah CK tertutup yang sebagian besar disebabkan karena kecelakaan
lalu-lintas, terjatuh dari ketinggian, olahraga (tinju) dan lain-lain. Faktor risiko CK yang paling
sering ialah; usia muda, minum minuman keras atau obat-obatan, sistem penunjang lalu-lintas
yang kurang baik dan sistem pengaman kendaraan tidak ada atau kurang baik.
Di Amerika CK penyebab kematian nomor satu pada usia anak-anak dan remaja, diperkirakan
tiap tahun ada 1.500.000 kasus CK, dan 230.000 dirawat dan selamat, angka kematian
50.000/tahun, dan lebih dari 90.000 menderita cacat kronis, 10% penderita dari jumlah diatas
meninggal sebelum tiba di rumah sakit, CK berat 50% fatal. Di Indonesia CK yang terjadi
sebagian besar adalah CK tertutup akibat kekerasan (rudapaksa), karena kecelakaan lalulintas,
dan sebagian besar (84%) menjalani terapi konservatif dan sisanya sebanyak 16%
membutuhkan tindakan operatif. CK merupakan keadaan yang serius, karena itu setiap dokter
dan tenaga medis diharapkan mempunyai ketrampilan dan pengetahuan praktis untuk
melakukan pertolongan pertama kepada penderita sebelum ahli saraf tiba di rumah sakit atau
melakukan rujukan ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas bedah saraf. Tindakan pemberian
oksigen yang adekuat dan mempertahankan tekanan darah yang cukup untuk perfusi otak dan
menghindarkan terjadinya cedera otak sekunder merupakan pokok-pokok tindakan yang sangat
penting untuk keberhasilan kesembuhan penderita. Sistem triase bagi penderita CK tergantung
pada beratnya cedera dan tersedianya fasilitas yang ada ditempat pertolongan pertama. Untuk
CK berat ahli bedah saraf harus dilibatkan sedini mungkin, jika tidak ada fasilitas bedah saraf
penderita harus dirujuk ke RS yang ada fasilitas bedah sarafnya.
89
Cedera kranioserebral (CK) akan menyebabkan kerusakan kranioserebral primer dan sekunder.
CK primer ialah cedera karioserbral yang timbul pada saat rudapaksa, sedang CK sekunder
terjadi setelah rudapaksa akan timbul edema serebri, rusaknya blood brain barrier, nekrosis
jaringan, hipertermi, dan lain-lain.
Rhinorrhoe Otorrhoe
Poss-auricular ecchymoses
(Battles sign)
Peri-orbital ecchymoses
(Raccoons sign)
90
post-auricular ecchymoses (Battles sign), peri-orbital ecchymoses (Raccoons eyes),
dan ditemukan cedera saraf kranialis. Pemeriksaan penunjang foto kepala dengan posisi
basis cranii atau CT scan kepala.
4. jaringan otak : bisa timbul cedera fokal atau diffus (lihat gambar).
a. fokal; pada tempat cedera atau counter coup timbul edema, laserasi, perdarahan
atau kontusio, sering pada lobus temporal dan frontal, biasanya multipel
mungkin bilateral.
5. selaput otak (duramater): akibat cedera kranioserebral dapat timbul perdarahan pada
epidural, subdural, ataupun sub-arachnoid.
91
SDH terjadi karena robeknya vena vena Perdarahan epidural terjadi karena robek-nya a.
jembatan, sinus venosus, dura-mater atau meningea media dengan atau tanpa fraktur os
robeknya arachnoidea, sehingga darah temporalis, 70% perdarahan ter jadi di daerah
terkumpul diantara
Berat ringannya duramater
cedera dan
kranioserebral temporal/parietal. Darah ter kumpul antara duramater-
arachnoid. tengkorak.
Secara klinis berat ringannya cedera kepala dapat dibagi menjadi (lihat tabel 1)
No Tipe CK Kriteria
2 Ringan (CKR) GCS = 14 atau 15, LOC < 10 menit, amnesia pasca
CK < 24 jam, dapat disertai gejala klinik lain; mual,
muntah, nyeri kepala atau vertigo.
92
neurologis.
Penatalaksanaan
B (Breathing)
gangguan pernafasan dapat disebabkan karena kelainan sentral, atau perifer, yaitu
* kelainan sentral; menyebabkan depresi pernafasan yang ditandai dengan
pola pernafasan cheynes stoeks, hiperventilasi neurogenik atau ataksik.
* kelainan perifer; karena aspirasi, taruma dada, edema paru, emboli paru atau
infeksi. Tindakan beri O2, cari dan atasi penyebab, bila perlu pasang ventilator.
C (Circulation)
hipotensi dapat karena cedera otak, tapi terbanyak karena faktor extrakranial.
Hipovolemia biasanya karena perdarahan luar atau ruptura alat dalam, trauma dada
disertai dengan tamponade jantung/pneu-motorak, septik syok.
D (Disability)
setelah resusitasi ABC, lakukan pemeriksaan fisik meliputi; kesadaran, tensi, nadi,
bentuk dan frekuensi pernafasan, pupil (besar, bentuk dan reaksi cahaya), defisit
neurologis dan cedera extrakranial.
Pemeriksaan penunjang
94
buat foto kepala dan leher
foto lain atas indikasi
skaning otak dibuat bila ada fraktur tulang kranial
pemeriksaan laboratorium
Tekanan intracranial (TIK), normal 0-15 mmH2O, bila didapatkan peningkatan TIK diatas 20
mmH2O harus diturunkan dengan cara :
1. hiperventilasi
2. terapi diuretic
- diuretic osmotic (mannitol 20%), dosis 0,5-1g/KgBB, diberikan dalam waktu
30 menit untuk mencegah rebound diulangi setelah 6 jam dengan dosis 0,25-
0,5g/Kg BB dalam waktu 30 menit, monitor osmolality < 310 mOsm.
- Loop diuretic (furosemid) dosis 40mg/hr, iv diberikan bersama-sama
mannitol, karena mempunyai efek sinergi & memperpanjang efek osmotic
mannitol.
3. posisi tidur
bagian kepala ditinggikan 20-30 dengan kepala dan dada pada satu bidang.
95
Tatalaksana CK dengan kesadaran menurun
Terapi kortikosteroid masih kontroversi, kortikosteroid yang terbaru cukup menjanjikan ialah
21-aminosteroid (lazaroid), pemberian kortikosteroid pada cedera kepala berat (CKB) saat ini
antara lain dengan :
Neurorestorasi/rehabilitasi
Posisi baring dirubah setiap 8 jam, dilakukan tapotase torak, dan geakan extrimitas secara pasif
untuk mencegah pneumonia ortostatik dan dekubitus.
a. Terapi khusus :
mengatasi peninggian tekanan intracranial berikan manitol 20%
hiperventilasi.
antibiotika jika perlu misalnya pada luka robek, otorhoe, dll.
b. Rehabilitasi :
mobilisasi bertahap dilakukan secepatnya setelah keadaan klinik stabil.
latihan otot diberikan bila ada kelumpuhan.
terapi wicara bila ada gangguan bicara.
terapi okupasi.
Daftar Pustaka
96
6. Tintinally JE, Keley GD, Stapezynski JS, Emergency Medicine, A
Comprehensive study guide 2000, page 1645-1660
BAB XII
Pengenalan terhadap nyeri merupakan salah satu tujuan utama pengobatan, oleh karena nyeri
termasuk gejala yang penting pada berbagai penyakit dan menyebabkan penderitaan bagi
pasien. Begitu banyaknya variasi nyeri dan pasti pernah dialami oleh hampir seluruh orang di
dunia, menjadikan nyeri sebagai tanda vital kelima yang harus ditinjau secara rutin dalam
pemeriksaan fisik sehari-hari. 1
Pada dasarnya, nyeri adalah mekanisme proteksi terhadap rangsangan yang bersifat merusak
jaringan, dan nyeri ini akan menghilang segera setelah rangsangan tersebut berakhir dengan
bantuan analgesik endogen. Pada keadaan tertentu, nyeri akut harus segera ditangani dengan
tepat, oleh karena dapat berlangsung menjadi nyeri kronik akibat sensitisasi di sentral yang
justru akan semakin menyulitkan pengobatan dan mengganggu kualitas hidup pasien.1, 2
Berdasarkan durasinya, nyeri terdiri dari nyeri akut jika berlangsung kurang dari 1 bulan dan
nyeri kronik jika lebih dari 3 bulan setelah injury. Penyebabnya bisa akibat trauma, pasca
operatif, menjelang melahirkan, atau nyeri muskuloskeletal yang menyebabkan rangsangan di
reseptor nyeri sehingga disebut nyeri nosiseptif, atau akibat perangsangan langsung di sistem
saraf yang disebut nyeri neuropatik.3
Nyeri didefinisikan sebagai suatu sensasi dan pengalaman yang tidak menyenangkan akibat
adanya kerusakan jaringan atau potensi untuk mengalami kerusakan jaringan. Persepsi nyeri ini
baru akan dirasakan oleh penderitanya jika jalur nyeri berlangsung mulai dari stimulus injury
97
atau inflamasi yang merangsang reseptor nyeri ditransmisikan dalam sistem aferen sampai ke
korteks sensorik. Transmisi sinyal ini difasilitasi oleh berbagai zat endogen yang dilepaskan
saat terjadi kerusakan jaringan. Pada sinaps-sinaps tertentu di sepanjang jalur aferen tersebut
terdapat pula mekanisme inhibisi dari pusat berupa pelepasan analgesik endogen. Oleh karena
itu, pengetahuan yang baik tentang mekanisme nyeri dan modulasi daerah tertentu di sepanjang
jarasnya akan sangat membantu pemilihan terapi nyeri yang tepat dan adekuat.
98
diteruskan ke sistem limbik (pusat emosi dan memori), sehingga nyeri dapat mempengaruhi
emosi seseorang dan menyebabkan trauma/ketakutan pada nyeri yang hebat. Namun otak juga
mempunyai mekanisme inhibisi dengan mensekresikan analgesik endogen seperti opiat
(enkefalin dan dinorfin), serotonin, dan norepinefrin yang dapat menghambat transmisi sinyal
di medula spinalis. 4
Oleh karena itu, terapi nyeri dapat dilakukan pada beberapa tempat:
1. Di sekitar lokasi injury, berupa pemberian golongan obat anti inflamasi non-steroid
(OAINS) untuk menekan mediator inflamasi yang merangsang reseptor nyeri. Penelitian
terakhir juga menunjukkan bahwa salah satu golongan OAINS yang menghambat
siklooksigenase 2 (COX-2 inhibitor) di medula spinalis.1
2. Pemberian opiat oleh karena adanya reseptor opiat di medulla spinalis dan batang otak.
Nyeri adalah suatu gejala, dari berbagai penyebab. Maka pada prinsipnya, penanganan nyeri
harus sekaligus menangani penyebabnya. Seberapa besar analgesik yang harus diberikan
bergantung pada beratnya nyeri, yang akan dilaporkan oleh pasien sendiri. Agar lebih obyektif
dapat digunakan skala nyeri, antara lain Visual Analog Scale (VAS), sebagai patokan beratnya
nyeri dan pemantauan efektivitas obat yang diberikan. 5 Ada pedoman nyeri dari WHO dalam
menentukan golongan obat sesuai dengan derajat nyeri (WHO stepladder), seperti pada
gambar 1.
99
Gambar 2. WHO stepladder
Terapi nyeri dimulai dengan OAINS. Sebuah metaanalisis yang membandingkan beberapa
analgesik dari golongan AINS dan opiat mendapatkan bahwa OAINS memberikan hasil yang
baik. Dapat dimulai dengan paracetamol saja atau dikombinasi dengan OAINS. Namun
pertimbangan utama pada nyeri akut adalah ada tidaknya gangguan ginjal dan koagulasi. Pada
pasien dengan kelainan jantung atau ginjal sebelumnya, pemberian OAINS dapat
menyebabkan gagal ginjal akut (acute renal failure). Selain itu, OAINS menyebabkan
pemanjangan waktu perdarahan (bleeding time) yang signifikan hingga 30%, namun biasanya
masih dalam batas normal. Hal ini dapat berlangsung selama beberapa hari pada aspirin dan
hanya beberapa jam pada non aspirin. Efek samping tersering dari penggunaan OAINS jangka
panjang adalah perdarahan lambung, maka yang paling aman adalah Ibuprofen.6
Pada pasien yang masih bisa menelan, pemberian per rektal atau intravena tidak terbukti lebih
baik dari pada per oral. Pemberian topikal akan efektif pada nyeri akibat cedera
muskuloskeletal akut.
Golongan obat yang utama menangani nyeri yang berat adalah opioid. Pemberian morfin
intravena (IV) secara intermiten sangat efektif untuk nyeri akut. Namun pemakaiannya sering
tidak adekuat akibat adanya paradigma yang salah dan kekhawatiran akan adiksi dan depresi
napas. Adiksi tidak akan terjadi pada pemberian jangka pendek. Suatu systematic review pada
11.000 pasien yang diberikan morfin untuk nyeri akut, setelah setahun kemudian hanya 4 orang
yang mengalami adiksi (0,04%). Depresi napas dapat terjadi pada pemberian opioid untuk
100
orang yang tidak nyeri atau dosis opioid yang lebih besar dari pada yang dibutuhkan. Oleh
karena itu, prinsip utama adalah peningkatan dosis secara bertahap sesuai dengan kebutuhan
dengan efek samping yang paling minimal. Sangat dianjurkan juga hanya 1 jenis agar dapat
dinilai dosis dan efeknya, serta tidak ada jeda waktu dengan waktu pemberian yang
seharusnya.
Jika pasien masih mengeluh nyeri setelah pemberian 1 jenis opioid dan diyakini sudah
diabsorbsi dengan baik, maka dapat ditambah lagi jenis yang sama dengan dosis yang lebih
kecil dalam waktu 5 menit setelah pemberian IV, 1 jam setelah intramuskular atau subkutan,
atau 90 menit setelah pemberian oral. Jika dosis kedua masih belum efektif, maka prosesnya
dapat diulang atau ubah cara pemberian untuk mendapatkan kontrol yang lebih cepat.
Pemberian obat lepas lambat, oral, atau transdermal tidak disarankan pada nyeri akut, oleh
karena perlambatan onset dan perbaikannya justru akan memberikan hasil yang lebih buruk.
Pilihan utama opioid adalah morfin. Namun morfin dan turunannya (diamorfin dan codein)
mempunyai metabolit aktif, sehingga pada pasien dengan gangguan ginjal dapat terjadi
akumulasi metabolit yang justru lebih aktif dari pada morfin itu sendiri sehingga efeknya
berlebihan.
Golongan opioid tidak disarankan tunggal pada nyeri neuropatik dan nyeri kronik. Golongan
ini menyebabkan toleransi sehingga perlu dosis yang semakin tinggi, dengan efek samping
dapat berupa sedasi, mual, muntah, konstipasi, atau depresi napas. Dengan adanya mekanisme
nyeri yang berbeda, diperlukan kombinasi dengan golongan lain untuk mendapatkan efek
analgesik yang lebih kuat serta efek samping yang minimal.7
Pemberian antikonvulsan telah terbukti efektif dapat mengurangi dosis opioid, terutama pada
nyeri neuropatik, seperti gabapentin, pregabalin, karbamazepin, dan levetiracetam. Golongan
antidepresan trisiklik juga digunakan untuk meningkatkan kadar serotonin sebagai analgesik
endogen serta efek depresi akibat nyeri.4, 7
Analgesik intervensi dapat berupa inhalasi Nitrous Oxyde (NO) pada kasus obstetrik dan
pembersihan luka (wound dressing), kortikosteroid untuk mengurangi edema akibat tumor dan
nyeri pasca operasi daerah kepala dan leher, serta ketamin dan klonidin pada nyeri dalam
keadaan gawat darurat (emergency analgesia).
101
Analgesia lokal dapat dipertimbangkan untuk mengatasi nyeri secara total dengan menghambat
transmisi nyeri yag terlokalisir tanpa menimbulkan efek samping sistemik, seperti blok pada
pleksus atau saraf perifer untuk nyeri operasi atau trauma daerah tungkai, serta analgesia
epidural atau intratekal pada operasi besar (torakoabdominal atau tungkai). TENS, akupunktur,
dan terapi perilaku terutama pada nyeri kronik, tidak terlalu berperan pada nyeri akut.
Kesimpulan
Penanganan nyeri akut harus dilakukan dengan segera. Pemilihan tatalaksana yang tidak tepat
tidak hanya akan membuat pasien menderita, namun akan berlanjut menjadi nyeri kronik yang
lebih mengganggu kualitas hidup pasien. Oleh karena itu, pemahaman mekanisme nyeri dan
modulasi yang dapat dilakukan di sepanjang jaras nyeri akan sangat membantu manajemen
yang lebih baik.
Daftar Pustaka
102