Hand Out Desain Struktur Gedung PDF
Hand Out Desain Struktur Gedung PDF
Tugas Akhir
Perencanaan
Desain
S t ru kt u r
G ed u n g
Hanggoro Tri Cahyo A.
Jurusan Teknik Sipil - Universitas Negeri Semarang
Pengantar : Pencerahan untuk Anak Bangsa
Hand Out desain struktur gedung ini ditujukan untuk mahasiswa akhir untuk kelas D3 Teknik
Sipil di Jurusan Teknik Sipil Universitas Negeri Semarang. Berdasarkan hasil pengamatan kami
dalam proses penyelesaian mata kuliah Tugas Akhir, pengetahuan mahasiswa akan desain
struktur gedung yang baik dan benar belumlah mencukupi. Sehingga ditemukan kendala
pada saat bimbingan dan pendadaran, dan kasus yang sering dijumpai adalah mahasiswa
hanya dapat menjawab pertanyaan berdasarkan hasil pekerjaan kakak angkatannya tanpa
mengetahui jawaban yang sesungguhnya. Hal ini tentunya menjadi perhatian kami sebagai
dosen yang sekaligus juga praktisi di dunia konstruksi.
Berbekal keprihatinan akan kemampuan lulusan D3 Teknik Sipil dalam pengusaan ilmu
struktur bangunan gedung, kami berusaha menyusun materi yang relevan dan membagi
pelatihan ini menjadi beberapa sesi yakni :
Besar harapan kami agar nantinya mutu lulusan D3 Teknik Sipil menjadi lebih dan lebih baik
lagi. Taklupa kami ucapkan terimakasih kepada para guru dan kolega kami yang telah banyak
memberikan pencerahan. Semoga sumbangsih kecil ini bermanfaat, mari terus berbagi untuk
masa depan anak bangsa.
Bangunan gedung adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan
kegiatannya untuk kegiatan hunian atau tinggal, kegiatan usaha, kegiatan sosial, kegiatan
budaya, dan/atau kegiatan khusus. Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan
administratif dan persyaratan teknis sesuai dengan fungsi bangunan gedung.
Setiap bangunan gedung, strukturnya harus direncanakan kuat/kokoh, dan stabil dalam
memikul beban/kombinasi beban dan memenuhi persyaratan kelayanan (serviceability)
selama umur layanan yang direncanakan dengan mempertimbangkan fungsi bangunan
gedung, lokasi, keawetan, dan kemungkinan pelaksanaan konstruksinya. Kemampuan
memikul beban diperhitungkan terhadap pengaruh-pengaruh aksi sebagai akibat dari beban-
beban yang mungkin bekerja selama umur layanan struktur, baik beban muatan tetap
maupun beban muatan sementara yang timbul akibat gempa dan angin.
Dalam perencanaan struktur bangunan gedung terhadap pengaruh gempa, semua unsur
struktur bangunan gedung, baik bagian dari sub struktur maupun struktur gedung, harus
diperhitungkan memikul pengaruh gempa rencana sesuai dengan zona gempanya. Struktur
bangunan gedung harus direncanakan secara daktail sehingga pada kondisi pembebanan
maksimum yang direncanakan, apabila terjadi keruntuhan kondisi strukturnya masih dapat
memungkinkan pengguna bangunan gedung menyelamatkan diri.
http://www.canadianarchitect.com
Gambar 1.1. Hubungan umur layan bangunan dengan kualitas layanan.
Kerusakan bangunan adalah tidak berfungsinya bangunan atau komponen bangunan akibat
penyusutan/berakhirnya umur bangunan, atau akibat ulah manusia atau perilaku alam seperti
beban fungsi yang berlebih, kebakaran, gempa bumi, atau sebab lain yang sejenis. Intensitas
kerusakan bangunan dapat digolongkan atas tiga tingkat kerusakan, yaitu:
Kerusakan ringan
Kerusakan ringan adalah kerusakan terutama pada komponen nonstruktural, seperti
penutup atap, langit-langit, penutup lantai dan dinding pengisi.
Kerusakan sedang
Kerusakan sedang adalah kerusakan pada sebagian komponen non struktural, dan
atau komponen struktural seperti struktur atap, lantai, dll.
Kerusakan berat
Kerusakan berat adalah kerusakan pada sebagian besar komponen bangunan, baik
struktural maupun non-struktural yang apabila setelah diperbaiki masih dapat
berfungsi dengan baik sebagaimana mestinya.
Kegagalan pekerjaan konstruksi adalah keadaan hasil pekerjaan konstruksi yang tidak
sesuai dengan spesifikasi pekerjaan sebagaimana disepakati dalam kontrak kerja
konstruksi baik sebagian maupun keseluruhan sebagai akibat kesalahan pengguna jasa
atau penyedia jasa. Pemerintah berwenang untuk mengambil tindakan tertentu apabila
kegagalan pekerjaan konstruksi mengakibatkan kerugian dan atau gangguan terhadap
keselamatan umum.
Kegagalan Bangunan merupakan keadaan bangunan yang tidak berfungsi, baik secara
keseluruhan maupun sebagian dari segi teknis, manfaat, keselamatan dan kesehatan kerja,
dan atau keselamatan umum sebagai akibat kesalahan Penyedia Jasa dan atau Pengguna Jasa
setelah penyerahan akhir pekerjaan konstruksi. Pengguna jasa dan penyedia jasa wajib
bertanggung jawab atas kegagalan bangunan. Kegagalan bangunan yang menjadi tanggung
jawab penyedia jasa ditentukan terhitung sejak penyerahan akhir pekerjaan konstruksi dan
paling lama 10 (sepuluh) tahun. Kegagalan bangunan ditetapkan oleh pihak ketiga selaku
penilai ahli. Pemerintah berwenang untuk mengambil tindakan tertentu apabila
kegagalan bangunan mengakibatkan kerugian dan atau menimbulkan gangguan pada
keselamatan umum, termasuk memberikan pendapat dalam penunjukan, proses penilaian
dan hasil kerja penilai ahli yang dibentuk dan disepakati oleh para pihak.
Hadirnya software struktur komersial yang serba otomatis tidak jarang menjerumuskan
praktisi konstruksi hingga tidak sedikit yang merasa mampu melakukan perhitungan dan
perencanaan bangunan berbagai bentuk walau kurang didukung dengan pengalaman dan
pemahaman yang baik mengenai standar praktek sesuai Code yang ada. Fakta akan
lemahnya code enforcement yang diikuti dengan adanya praktek-praktek pembangunan
yang tidak sepenuhnya mengikuti ketentuan Standard dan Code yang ada, terutama yang
dipicu oleh dorongan pengembang yang hanya mementingkan Rp./m2 yang serendah
mungkin atau oleh perencana yang sadar atau tidak sadar semata-mata mempromosikan
layanannya yang mampu memberikan struktur yang lebih murah tetapi sesungguhnya tidak
sepenuhnya memenuhi persyaratan Code yang ada.
Hal ini terjadi kemungkinan karena para pihak terkait tidak memahami bahwa ketentuan
dalam Code adalah rekomendasi minimum untuk kondisi standar dan bukan rekomendasi
maksimum untuk segala kondisi yang secara legal bisa ditawar. Semuanya dikaitkan pada
konsep bahwa Code dibuat untuk menjaga keamanan publik. Mengingat bahwa biaya
struktur gedung tinggi (termasuk pondasi) umumnya hanya berkisar antara 20-25 % dari biaya
total gedung, sikap memaksakan penghematan struktur yang bisa menyebabkan turunnya
kenyamanan layan atau bahkan turunnya tingkat keamanan struktur jelas merupakan langkah
yang tidak dapat dibenarkan.
Gambar 1.2. Trend persaingan harga yang sangat merugikan keagungan profesi.
Pekerjaan engineering sebenarnya adalah pekerjaan keahlian dan seni memadu berbagai
kegiatan, material, proses, sistem perancangan, variasi dan tingkat keahlian para teknisi dan
pekerja yang terlibat, metode konstruksi, sistem Q/C dan berbagai sistem monitoring dan
kontrol. Untuk meningkatkan mutu bangunan gedung, khususnya mutu struktur diperlukan
disiplin dan kejujuran dari semua pihak yang terlibat. Disiplin yang kuat hanya dapat dicapai
dengan menyadari sepenuhnya tingkat resiko kegagalan yang dapat terjadi. Ada faktor aman,
faktor pembebanan, indek reliabilitas, peraturan SNI, manual dan sebagainya diciptakan
untuk memberikan jawaban atas tantangan resiko ini. Pertanyaan yang timbul mungkin dalah
dengan adanya jawaban ini berapa jauh keamanan yang ada (how safe we are?).
Kelemahan suatu mata rantai cukup untuk meningkatkan resiko. Jika mata rantai yang
mempunyai kelemahan ini ternyata dipengaruhi oleh berbagai faktor atau variabel dan
ternyata proses Q/C atas variabel ini tidak terwujud, masalahnya akan menjadi lebih besar.
Masalah dapat meningkat menjadi kritis jika menghadapi lebih dari satu titik kelemahan, baik
pada satu mata rantai atau pada lebih dari satu mata rantai sehingga dapat memicu
terjadinya satu pertikaian (dispute). Kesulitan yang dihadapi sebenarnya terletak pada begitu
banyaknya ketidakpasitian yang harus diterima sebagai fakta yang harus diperhitungkan
seperti di bawah ini.
1) Ketidakpastian yang diakibatkan oleh faktor alamiah yang dapat dianalisis oleh studi
probabilitas :
Ketidakpastian mengenai mutu dan sifat bahan atau kombinasi bahan.
Ketidakpastian sifat dan besaran pengaruh luar dan kombinasinya.
Ketidakpastian analisis akibat adanya simplifikasi, asusmsi, modeling atau
idealisasi yang tidak bisa tepat mewakili keadaan sesungguhnya.
Ketidakpastian mutu pelaksanaan.
Ketidakpastian nilai yang diberikan masyarakat atas tingkat keamanan.
3) Ketidakpastian yang diakibatkan oleh keterbatasan dan tingkat kebenaran dari data
laboratorium bahan, dari lapangan dan dari riset dan dari proses pengendalian mutu
termasuk juga keterbatasan dan variasi kemampuan ahli dalam berbagai bidang dan
tingkatannya.
Gambar 1.4. Kegagalan atap baja ringan salah satu rumah sakit di Jombang.
1. Kestabilan Struktur
Rx = 0 Mx = 0
Ry = 0 My = 0
Rz = 0 Mz = 0
1. Analisis struktur harus dilakukan dengan cara-cara mekanika teknik yang baku.
2. Analisis dengan komputer, harus disertai dengan penjelasan mengenai prinsip cara
kerja program, data masukan serta penjelasan mengenai data keluaran.
3. Percobaan model diperbolehkan bila diperlukan untuk menunjang analisis teoritis.
4. Analisis struktur harus dilakukan dengan model-model matematis yang
mensimulasikan keadaan struktur yang sesungguhnya dilihat dari segi sifat bahan
dan kekakuan unsur-unsurnya.
5. Bila cara perhitungan menyimpang dari tata cara ini, maka harus mengikuti
persyaratan sebagai berikut :
a. Struktur yang dihasilkan harus dapat dibuktikan cukup aman dengan
bantuan perhitungan dan/atau percobaan.
b. Tanggung jawab atas penyimpangan yang terjadi dipikul oleh perencana
dan pelaksana yang bersangkutan.
c. Perhitungan dan/atau percobaan tersebut diajukan kepada panitia yang
ditunjuk oleh pengawas bangunan yang berwenang, yang terdiri dari ahli-
ahli yang diberi wewenang menentukan segala keterangan dan cara-cara
tersebut. Bila perlu, panitia dapat meminta diadakan percobaan ulang,
lanjutan atau tambahan. Laporan panitia yang berisi syarat-syarat dan
ketentuan-ketentuan penggunaan cara tersebut mempunyai kekuatan yang
sama dengan tata cara ini.
Permodelan atau idealisasi struktur diperlukan untuk keperluan analisis struktur. Permodelan
ini dilakukan dengan membagi struktur menjadi elemen-elemen dasar dengan cara
memisahkan hubungan antara elemen-elemen struktur, kemudian mengganti aksi elemen
dengan sekumpulan gaya dan/atau momen, yang mempunyai efek ekivalen.
GEOMETRI
Elemen garis/batang : Struktur rangka kaku (frame), Struktur rangka (truss), Struktur
pelengkung.
Elemen bidang : Pelat (plate), Cangkang (shell), Pelat lipat (folding plate), Kubah
(dome), Dinding geser (Shear wall).
KEKAKUAN
Struktur kaku : Struktur tidak mengalami perubahan bentuk yang berarti akibat
pengaruh pembebanan, misalnya Struktur balok (beam), dan Frame.
Struktur tidak kaku : Struktur mengalami perubahan bentuk tergantung pada kondisi
pembebanan, misalnya Struktur kabel.
MATERIAL
Material struktur : Struktur beton bertulang, Struktur Baja, Struktur Kayu,
Struktur Komposit.
Beban Gempa
Untuk mempermudah pelaksanaan dan biaya bekisting, sedapat mungkin ukuran kolom
disamakan atau variasinya dibuat minimal dengan mutu beton dan jumlah tulangan yang
diturunkan pada lantai yang lebih tinggi.
Cost Analysis
- Setiap disain harus diperiksa terhadap cost total struktur
- Pedoman nilai adalah sbb :
Volume beton = 0.25-0.4 m3 beton / m2 lantai
Berat baja = 90-150 kg baja / m3 beton
Sistem Struktur
Sistem Struktur pemikul beban gravitasi = slab, balok, kolom
Sistem Struktur pemikul beban lateral = portal daktail (balok-kolom) dan shearwall
P-delta effect perlu ditinjau karena wall cukup langsing (h>40meter) dan jumlah lantai > 10
tingkat.
Desainlah keyplan balok-kolom dan struktur atap untuk gedung asrama 2 lantai seperti pada
gambar denah, tampak dan potongan berikut ini :
DENAH LANTAI 1
TAMPAK SAMPING
1. Pembebanan Gedung
Bahan Bangunan :
Baja 7850 kg/m3
Batu alam 2600 kg/m3
Batu belah (berat tumpuk) 1500 kg/m3
Beton Bertulang 2400 kg/m3
Kayu kelas 1 1000 kg/m3
Kerikil, Koral kondisi lembab 1650 kg/m3
Pasangan bata merah 1700 kg/m3
Pasangan batu belah 2200 kg/m3
Pasir jenuh air 1800 kg/m3
Pasir kerikil, koral kondisi lembab 1850 kg/m3
Tanah lempung dan lanau jenuh air 2000 kg/m3
2
Balkon yang menjorok bebas keluar = 300 kg/m
2
Parkir, Heavy (Lantai Bawah) = 800 kg/m
2
Parkir, Light = 400 kg/m
Pot kembang / Planter = h x soil
Water feature/Pool = hw x water
Beban Lift, berat lift x faktor kejut = Wlift x 2,0
(Wlift dari konsultan ME)
Beban hidup pada lantai gedung sudah termasuk perlengkapan ruang sesuai kegunaan
lantai ruang yang bersangkutan dan juga partisi / dinding pemisah ringan dengan berat
tidak lebih dari 100 kg/m.
Beban hidup pada atap atau lantai dak yang dapat dicapai dan dibebani orang harus
diambil minimum 100 kg/m2 bidang datar. Pada balok tepi / gording tepi dari atap yang
tidak ditunjang oleh dinding dan pada kantilever harus ditinjau kemungkinan adanya
beban hidup terpusat minimum 200 kg.
Berhubung peluang terjadinya beban hidup penuh yang membebani semua bagian
secara serempak selama umur gedung tersebut sangat kecil, maka beban hidup
tersebut dianggap tidak efektif sepenuhnya, sehingga dapat dikalikan oleh koefisien
reduksi seperti pada tabel di bawah ini.
Koefisien reduksi
Jumlah Lantai
yang dikalikan beban
yang dipikul
hidup komulatif
1 1,0
2 1,0
3 0,9
4 0,8
5 0,7
6 0,6
7 0,5
8 dan lebih 0,4
Beban Khusus
Semua beban yang bekerja pada gedung akibat selisih suhu, pengangkatan,
pemasangan, penurunan pondasi, susut, gaya rem dari crane, gaya sentrifugal dan gaya
dinamik dari mesin.
Metode LFRD (Load Resistance Factor Design) merupakan metode perhitungan yang
mengacu pada prosedur metode kekuatan batas (Ultimate strength method), dimana di
dalam prosedur perhitungan digunakan dua faktor keamanan yang terpisah yaitu faktor
beban () dan faktor reduksi kekuatan bahan (). Kuat rencana setiap komponen struktur
tidak boleh kurang dari kekuatan yang dibutuhkan yang ditentukan berdasarkan kombinasi
pembebanan LRFD,
Ru Rn
Ru = kekuatan yang dibutuhkan (LRFD)
Rn = kekuatan nominal
= faktor tahanan (< 1.0) (SNI: faktor reduksi)
Setiap kondisi beban mempunyai faktor beban yang berbeda yang memperhitungkan derajat
uncertainty, sehingga dimungkinkan untuk mendapatkan reliabilitas seragam. Dengan kedua
faktor ini, ketidakpastian yang berkaitan dengan masalah pembebanan dan masalah kekuatan
bahan dapat diperhitungkan dengan lebih baik.
1) Kuat perlu U untuk menahan beban mati D paling tidak harus sama dengan
U = 1,4 D (1)
Kuat perlu U untuk menahan beban mati D, beban hidup L, dan juga beban
atap A atau beban hujan R, paling tidak harus sama dengan
U = 1,2 D + 1,6 L + 0,5 (A atau R) (2)
Berdasarkan SNI 03 - 1729 2002, Tata Cara Perencanaan Struktur Baja untuk Bangunan
Gedung maka struktur baja harus mampu memikul semua kombinasi pembebanan di bawah
ini:
1) 1,4D
2) 1,2D + 1,6 L + 0,5 (La atau H)
3) 1,2D + 1,6 (La atau H) ) + (L. L atau 0,8W)
4) 1,2D + 1,3 W + L. L + 0,5 (La atau H)
5) 1,2D 1,0E + L. L
6) 0,9D (1,3W atau 1,0E)
Keterangan:
D adalah beban mati yang diakibatkan oleh berat konstruksi permanen, termasuk dinding,
lantai, atap, plafon, partisi tetap, tangga, dan peralatan layan tetap.
L adalah beban hidup yang ditimbulkan oleh penggunaan gedung, termasuk kejut, tetapi
tidak termasuk beban lingkungan seperti angin, hujan, dan lain-lain.
La adalah beban hidup di atap yang ditimbulkan selama perawatan oleh pekerja,
peralatan, dan material, atau selama penggunaan biasa oleh orang dan benda bergerak
H adalah beban hujan, tidak termasuk yang diakibatkan genangan air.
W adalah beban angin.
E adalah beban gempa.
Setiap aksi yang dapat mempengaruhi kestabilan, kekuatan, dan kemampuan-layan struktur,
termasuk yang disebutkan di bawah ini, harus diperhitungkan:
1) gerakan-gerakan pondasi;
2) perubahan temperatur;
3) deformasi aksial akibat ketaksesuaian ukuran;
4) pengaruh-pengaruh dinamis;
5) pembebanan pelaksanaan.
Jika ada pengaruh struktural akibat beban yang ditimbulkan oleh fluida (F), tanah (S),
genangan air (P), dan/atau temperatur (T) harus ditinjau dalam kombinasi pembebanan di
atas dengan menggunakan faktor beban: 1,3F, 1,6S, 1,2P, dan 1,2T, sehingga menghasilkan
kombinasi pembebanan yang paling berbahaya.
Pada desain dengan kekuatan ijin (Allowable Strength Design), kuat ijin setiap komponen
struktur tidak boleh kurang dari kekuatan yang dibutuhkan,
Ru Rn /
Ru = kekuatan yang dibutuhkan (ASD)
Rn = kekuatan nominal
= faktor keamanan
Rn/ = kuat ijin
Gaya dalam pada komponen struktur dilakukan dengan analisis elastis orde pertama pada
kondisi beban kerja. Faktor keamanan diterapkan hanya pada sisi tahanan, dan keamanan
dihitung pada kondisi beban kerja (tak terfaktor). Kombinasi pembebanan untuk desain
struktur baja dengan metode ASD :
Pembebanan Tetap : DL + LL
Pembebanan Sementara : DL + LL + E atau DL + LL + W
Pada metode desain berdasarkan tegangan kerja (working stress design), kapasitas dukung
aman ditentukan dari nilai ultimit kapasitas dukung tanah dibagi dengan faktor aman (S.F).
Selain meninjau kapasitas dukung aman, perencana harus mempertimbangkan kondisi batas
kemampulayanan agar tidak terlampaui. Pada saat kriteria penurunan mendominasi,
tegangan tanah yang bekerja di bawah dasar pondasi dibatasi oleh nilai yang sesuai tentunya
dibawah nilai kapasitas dukung aman, yang disebut dengan kapasitas dukung ijin tanah.
Pembebanan Tetap : DL + LL
Pembebanan Sementara : DL + LL + E atau DL + LL + W
Pada peninjauan beban kerja pada tanah pondasi, maka untuk kombinasi pembebanan
sementara, kapasitas dukung tanah yang diijinkan dapat dinaikkan menurut tabel :
Pada peninjauan beban kerja pada pondasi tiang untuk kombinasi pembebanan sementara,
selama tegangan yang diijikan di dalam tiang memenuhi syarat-syarat yang berlaku untuk
bahan tiang, kapasitas dukung tiang yang diijinkan dapat dikalikan 1,5.
Adanya beban pada elemen struktur selalu menyebabkan terjadinya perubahan dimensional
pada elemen struktur tersebut. Struktur tersebut mengalami perubahan ukuran atau bentuk
atau kedua-duanya. Pada sebagian besar jenis material, misalnya baja, perubahan
dimensional yang terjadi dapat secara kasar dikelompokkan ke dalam dua jenis, yaitu
deformasi elastis dan deformasi plastis yang terjadi secara berurutan dengan semakin
bertambahnya beban. Apabila elemen struktur tersebut mula-mula dibebani, maka deformasi
yang terjadi masih dalam daerah elastis dari material seperti pada Gambar 4.1.
Regangan (Strain)
=L / L
Taraf beban atau tegangan yang diasosiasikan dengan daerah plastis, deformasinya tidak
berbanding lurus dengan beban atau tegangan yang ada. Deformasi dalam daerah plastis
jauh lebih besar daripada dalam daerah elastis, bahkan pada material tertentu dapat terjadi
deformasi berlebihan tanpa adanya penambahan beban.
Seperti yang akan dibahas lebih rinci berikut ini, tidak semua material mempunyai perilaku
elastis dan plastis apabila bebannya bertambah. Sebagai contoh, baja dapat sedangkan beton
polos (plain concrete) tidak (Gambar 4.3).
2. Elastisitas
Perilaku Elastis. Bagian ini membahas secara lebih rinci perilaku material yang masih berada
dalam daerah elastis, yaitu material dapat kembali ke ukuran dan bentuk semula apabila
tegangan dihilangkan. Hingga saat ini konsep mengenai tegangan telah banyak dibahas. Cara
utama dalam menjelaskan perubahan ukuran dan bentuk adalah dengan menggunakan
konsep regangan (). Secara umum regangan didefinisikan sebagai rasio (perbandingan)
antara perubahan ukuran atau bentuk suatu elemen yang mengalami tegangan, terhadap
ukuran atau bentuk semula (S) elemen [yaitu = S/(S + S)]. Karena merupakan
perbadingan, regangan tidak mempunyai dimensi fisis. Ada hubungan umum antara
tegangan dan regangan untuk material elastis yang pertama kali dinyatakan oleh Robert
Hooke (1635-1703) dan dikenal sebagai Hukun Hooke. Hukum Hooke ini menayatakan
bahwa untuk benda elastis, perbandingan antara tegangan yang ada pada elemen terhadap
regangan yang dihasilkan adalah konstan. Jadi :
Besar konstanta ini merupakan sifat material dan, seperti telah disinggung di atas, biasanya
disebut sebagai modulus elastisitas. Satuan untuk konstanta ini sama dengan satuan
tegangan (yaitu gaya per satuan luas) karena regangan tidak mempunyai dimensi. Hubungan
Apabila elemen struktur mengalami gaya tarik murni, maka elemen struktur tersebut akan
mengalami perpanjangan. Jika L menunjukkan panjang semula dan L adalah perubahan
panjang, maka regangan yang ada pada batang tersebut adalah :
Seperti telah tersebut diatas, regangan tidak mempunyai dimensi. Kita dapat memandang
regangan sebagai besar deformasi per satuan panjang. Dengan pengertian ini, regangan
dapat dipandang seolah-olah mempunyai dimensi mm/mm atau in/in.
Cara yang biasa dipakai untuk menentukan modulus elastisitas (E) material adalah dengan
menggunakan suatu batang dari material tersebut, yang mempunyai panjang serta luas
tertentu, kemudian diberi beban yang diketahui, dan mengukur besarnya perpajangan L.
Karena tegangan yang ada dapat secara langsung dihitung dengan menggunakan hubungan
f = P/A, dan regangan dapat diperoleh dari hubungan = L/L, maka modulus elastisitas
material tersebut dapat ditentukan dengan menggunakan E = f/. Modulus elastisitas untuk
berbagai material dapat diperoleh dengan prosedur umum seperti ini.
Untuk baja (steel) ES = 204000 MPa, dan untuk aluminium, Ea = 77900 MPa. Harga
yang umum untuk beton (concrete) adalah Ec = 20700 MPa, dan untuk kayu
(timber) adalah Et = 11000 MPa. Nilai E untuk kayu dan beton bergantung pada
karakteristik deformasi beton atau mutu jenis kayu yang digunakan.
Untuk tegangan yang semakin tinggi pada elemen struktur, suatu titik dicapai dimana
regangannya akan menjadi tidak bergantung linear lagi terhadap tegangan. Ini adalah titik
transisi antara daerah elastis dan plastis untuk material tersebut, atau disebut juga sebagai
limit proporsional untuk material. Sesudah titik ini dilalui, konsep modulus elastisitas konstan
sudah tidak berlaku lagi. Untuk kebanyakan material, seperti baja, besar deformasi yang dapat
terjadi di dalam daerah plastis jauh lebih besar dibandingkan dengan di dalam daerah elastis.
Perlu diingat bahwa beberapa material, seperti aluminium, tidak menunjukkan limit
proporsional yang jelas. Bahkan material lain, seperti besi tuang, tidak menunjukkan
deformasi plastis sama sekali. Dengan demikian material yang berbeda akan menunjukkan
perilaku yang berbeda-beda terhadap beban.
Gambar 4.5. Perubahan elastis dalam dalam arah longitudinal dan lateral.
Dimensi lateral batang berkurang apabila batang tersebut mengalami beban tarik, dan
bertambah apabila batang tersebut mengalami beban tekan. Ada suatu konstanta di antara
kedua perubahan lateral ini dengan yang terjadi dalam arah longitudinal.
Konstanta hubungan ini biasanya disebut sebagai angka Poisson () yang didefinisikan
sebagai = -y / x. Untuk baja, angka poisson ini adalah sekitar 0,3.
3. Kekuatan
Perilaku Daktail dan Getas. Material yang dapat mengalami deformasi plastis seperti yang
baru saja dibahas di atas, sampai keadaan sebelum putus biasanya disebut sebagai material
daktail. Baja adalah contoh klasik dari material daktail. Sebaliknya apabila material tidak
menunjukkan perilaku plastis apabila dibebani, tetapi dapat putus pada saat deformasi yang
tidak besar, disebut material getas (brittle). Besi tuang adalah material getas, begitu pula
beton polos (plain concrete). Kurva tegangan-regangan seperti terlihat pada Gambar 4.6 di
bawah ini menggambarkan perbedaan perilaku yang ada diantara kedua jenis umum
material.
Implikasi Daktalitas dalam Desai Struktural. Dari tinjauan desain struktural, material
seperti baja yang menunjukkan perilaku daktail atau plastis seperti yang dijelaskan sebelum
ini sangat diinginkan karena daerah plastisnya (yaitu adanya sedikit pertambahan kapasitas-
pikul-beban di atas titik leleh), memberikan arti sebagai ukuran cadangan kekuatan. Taraf
tegangan desain, atau taraf tegangan izin, selalu menggunakan tegangan dibawah tegangan
leleh material, dan benar-benar di dalam daerah elastis material. Balok baja, misalnya akan
dirancang agar mempunyai taraf tegangan yang sama atau lebih kecil daripada harga
tegangan izin. Taraf tertentu dari defleksi balok elastis adalah sehubungan dengan taraf
tegangan tersebut, dan diasosiasikan dengan regangan elastis. Apabila beban pada balok
bertambah hingga di atas taraf desain yang diantisipasi, maka taraf tegangan lentur dan
regangannya juga bertambah sampai titik leleh material tercapai. Pada saat tersebut baja
leleh, tetapi secara fisik belum putus dan balok mulai mengalami defleksi permanen yang
diasosiasikan dengan daerah plastis material. Defleksi ini dengan jelas dapat terlihat dengan
mata, dan jauh lebih besar dibandingkan defleksi yang digunakan dalam desain sehingga
dapat dipakai sebagai peringatan akan adanya kegagalan. Karena bertambahnya tegangan
yang diperlukan untuk mencapai kekuatan batas material, balok masih dapat memikul beabn
yang sedikit lebih besar sekalipun sudah terjadi defleksi permanen. Hanya apabila kekuatan
batas material sudah tercapai, balok tersebut akan gagal. Karena fenomena ini dikaitkan
dengan bertambahnya kapasitas-pikul-beban sebagai akibat adanya redistribusi tegangan
plastis yang terjadi, maka balok tersebut mempunyai cadangan kapasitas-pikul-beban yang
cukup besar. Dengan demikian, plastisitas material sangat berguna dan merupakan sifat
material yang sangat diinginkan.
Material getas tidak menunjukkan perilaku plastis. Elemen struktur yang menggunakan
material getas, seperti balok dari besi tuang, tidak dapat berdefleksi secara cukup besar untuk
memberi peringatan sebelum terjadinya collapse. Elemen struktur demikian cukup berbahaya
apabila digunakan. Beton juga merupakan material yang getas, tetapi apabila digunakan
bersama material daktail seperti baja (sebagai tulangannya), material gabungannya (disebut
beton bertulang) dapat mempunyai sifat daktail yang ukuran daktailnya dapat direncanakan.
Efek Temperatur
Tempertur rendah seringkali menyebabkan material yang secara normal daktail seperti baja,
mulai menunjukkan perilaku getas. Dalam banyak hal efek temperatur rendah pada material
sama dengan efek laju regangan tinggi.
Efek Rangkak
Sebutan rangkak (creep) di sini dimaksudkan sebagai deformasi terus-menerus dengan
bertambahnya waktu untuk suatu keadaan tegangan konstan. Bahan plastik dan beton polos,
misalnya mempunyai kecenderungan demikian, sedangkan baja tidak. Defleksi jangka
panjang pada struktur akibat rangkak sering kali cukup besar sehingga tidak dapat diabaikan.
Rangkak dapat juga menyebabkan redistribusi tegangan yang tidak diinginkan pada elemen
struktur beton bertulang.
Efek Fatik
Matrial yang mengalami siklus tegangan yang bolak-balik dapat mengalami kegagalan pada
tegangan yang relatif rendah (meskipun masih di bawah kekuatan elastis material). Batas daya
tahan material adalah tegangan satuan maksimum di mana material dapat menahan tak
hingga siklus tanpa mengalami kegagalan. Kebanyakan material yang mengadung ferrum
(seperti baja) mempunyai limit daya tahan yang terdefinisi dengan baik. Material yang tak
mengandung ferrum, seperti aluminium, tidak demikian. Pada umumnya fatik (fatigue) bukan
merupakan masalah pada gedung karena tidak ada beban dominan yang menyebabkan
terjadinya tegangan bolak-balik. Kebanyakan getaran tidak cukup lama untuk menyebabkan
masalah fatik.
Kita telah menyaksikan sekelompok orang yang lebih suka mendahulukan dunia daripada
akhirat, akhirnya mereka menjadi hina, binasa dan tercela.
1. A professional engineer
Structural engineering, being considered a field of specialty within the realm of civil
engineering, is the application of math and science to the design of structures, including
buildings, bridges, storage tanks, transmission towers, roller coasters, aircraft, space vehicles,
and much more, in such a way that the resulting product will safely resist all loads imposed
upon it. The design of structures has always involved theory, buttressed by testing and direct
observation, and a professional engineer is able to make wise use of intuition and experience
to bring theoretical truths into reality. In order to develop an adequate understanding of
structures that are designed, an engineer must make justifiable approximations and
assumptions in regards to materials used and loading imposed and must also simplify the
problem in order to develop a workable mathematical model.
We are all living and working in a rapidly changing environment and more changes are
expected to come. Therefore, to survive and to be a leader of constant change, a new kind of a
structural designer has to emerge, who will be able to meet the challenges of the future.
He/she will have the following major abilities :
To understand engineering design in its complexity and in the context of the ever-
changing societies and technology.
To understand engineering knowledge on both the systems level and on the level of
details necessary for engineering purposes.
To use various analytical and design methods and tools.
Structural engineers usually begin training long before theyve even dreamed of joining the
profession. Structural engineering is much more than just a careerit is a lifelong experience,
meant to be passed along to future generations. The process of designing a structure cannot
be truly understood within textbooks or example problems.
2. Business knowledge:
All engineers need clients, whether the government funding research or a local homeowner
with a dream to fulfill. Managing clients and business aspects, including scheduling, deadlines,
and resource management, is not only a business owners concern, but that of every
employee who is instrumental in delivering a product.
4. Technical knowledge:
There will always be room to learn new things and to expand on existing knowledge related
to the technical aspects of structural engineering including new technologies and discoveries,
building- or bridgecode changes, new design standards, or design methods.
BIM is not software. It is a process built on consistent, coordinated, computable, and reliable
information about a project from design to construction to building operations. With BIM,
architects, engineers, contractors, and owners create coordinated digital design information
and documentation. They then use that information to accurately visualize, simulate, and
analyze performance, appearance, and cost. The outcome is delivering reliable and faster
results that are more economical, and have less impact on the environment.
BIM has started to transform the way many structural engineering firms do business, directly
influencing their rapidly evolving practices. The building industry, for the most part, has
adopted the word processor approach to documenting building designs over the past 20
years. CAD tools are primarily used to create electronic drawings of buildings. Even some 3D
models are little more than 3D drawings. Although the output of these systems may resemble
the output of a BIM solution just as the financial table in the word processor looks the same
as the spreadsheet table it is not computable information. It's quite common to try to use
this incomputable building design data for analysis and find that the data, although
seemingly computable, is actually an empty shell a collection of graphic elements with no
implicit knowledge of building elements such as walls, beams or ducts. For the most part,
humans look at the data, interpret it, and transfer it to new applications for additional analysis.
Architects make occasional use of analysis packages, lighting studies, or baseline energy
calculations, for example, which are typically outsourced to specialized engineering firms.
Whereas the structural engineer is heavily dependent on analysis, which is an integral part of
the structural design process. As a result, a computable building model is a key ingredient for
efficient structural design processes.
Traditional structural processes (those that don't use a building information model) begin
with the architectural document set, be it paper or CAD-based. The structural engineering
team interpret the architectural design to create an overall structural design, then create
specialized analytical models, using different software applications for the multiple types of
structural analyses required for the project; gravity, dynamic (e.g., seismic), and wind analyses.
In parallel, the structural drafters create yet another representation of the building in the
construction documentation process creating multiple drawings of the same information.
This traditional workflow results in multiple models (including the drawings set) that are not
coordinated, requiring manual efforts to keep them in sync. Opportunity for errors abound.
For instance, one of the analysis programs prompts a change to a structural column, but the
structural drafter misses the change, so the analytical representation doesn't match the
physical representation. The documentation falls out of sync. The other analytical models
Revit Structure allows engineers and designers to create a single building model combining a
physical representation of the building which is fully associated with an analytical
representation. This building model is used for the complete production of construction
documents and (since it is computable) can be used for different types of analyses. The
physical representation denotes the physical layout of the structure in the building beams,
columns, walls, footings, etc. It also drives the construction documentation. As the physical
representation develops, the analytical representation is created automatically, containing the
necessary data needed for third-party analysis applications. The analytical representation is an
abstract (usually simplified) 3D digital model used for structural analysis. The engineer adds
specific loads, material properties, and so forth and then runs the analysis. Currently, Revit
Structure is linked via an application programming interface (API) to several leading industry
applications for building analysis: ETABS from CSI (http://www.csiberkeley.com), RISA-3D
from RISA Technologies (http://www.risatech.com) and ROBOT Millennium from RoboBAT
(http://www.robot-structures.com).
If the engineers chooses to, the analysis program can then return information that
dynamically updates the building model and therefore the documentation as well. This
capability eliminates much of the redundant work done by structural engineers to model and
analyze single- or multi-material building frames (steel, concrete, masonry, wood) using many
different applications. The value of using BIM for structural design becomes clear when
comparing and contrasting the traditional structural workflow and a workflow supported by a
building information model.
Traditional structural workflows have two main branches, the iterative design/analysis process
and the documentation process. Both begin with the architects design, communicated
through drawings. As mentioned earlier, the structural engineers interpret the architectural
design to create an overall structural design, and then create specialized analytical models in
different software applications for the different types of analyses required. Time constraints
usually dictate that the documentation effort parallels the design effort, so as the structural
engineers begin their analyses, the structural drafters begin developing the documentation
set framing plans, bracing elevations, typical details, etc.
This use of multiple models models that are not coordinated with each other or the
documentation requires a manual effort to keep them and the documentation package
synchronized, to the detriment of a firm's efficiency, quality, and flexibility. Whereas the use of
At Structural Drafting Design, we provide accurate, clear and concise construction cost
estimation. At Structural Drafting Design, we are experts in preparing accurate, quick and cost
effective construction documents. Our construction documents include coordinated drawings
that integrate architectural, civil, electrical, mechanical and structural drawings into one set of
drawings.
Di dalam peninjauan satu sistem struktur selalu dilalui proses simplifikasi, idealisasi,
penyesuaian produk akhir, dan peninjauan atas detail dan urutan pelaksanaan. Pada
perencanaan struktur tidak ada detail yang sama sekali tidak boleh diubah, sehingga pada
prinsipnya perubahan dan penyesuaian detail dapat dibenarkan jika tidak menimbulkan suatu
pengaruh keandalan dari hubungan antar komponen. Di dalam gambar detail segalanya
menjadi jelas baik dimensi maupun sistem dan urutan pelaksanaannya. Tanpa detail dapat
terjadi kesalah pahaman yang pada waktunya akan sampai pada tingkat yang fatal. Beberapa
kejadian kegagalan yang terjadi diakibatkan oleh masalah detail yang tidak dipersiapkan dan
ini akan mengakibatkan kerugian baik materiil maupun waktu yang tidak sedikit termasuk
kerugian mengenai nama baik.
Kondisi persaingan yang tidak sehat pada dunia konsultansi dan permintaan owner agar
penyelesaian desain dalam periode yang sangat pendek akhirnya berdampak pada ditekan
biaya produksi serendah mungkin. Sehingga seolah-olah karena konsultan diberikan imbal
jasa yang minim, konsultan memberikan tugas pendetailan gambar (yang sebenarnya bagian
dari tugasnya) sepenuhnya kepada kontraktor. Namun sayangnya, kontraktor juga tidak
mempunyai cukup tenaga ahli dalam mempersiapkan detail (detailer) sehingga berujung
pada keliru dalam membaca gambar. Bahkan terkadang kontraktor tidak mengerti apa yang
perlu dipersiapkan dalam detail untuk kemudahan pelaksanaan dan kesempurnaan
pelaksanaaan. Ini membuka peluang resiko yang lebih besar akan terjadinya kegagalan
dimana pengguna bangunan dan lingkungan masyarakat di sekitarnya harus menaggung
resiko yang tidak semestinya. Untuk itu diperlukan chek dan rechek antara pembuat detail,
perencana, pengawas/MK, dan kontraktor sebagai sarana jala pengamanan untuk me-
minimize kemungkinan terjadinya kekeliruan.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
STEP BY STEP SAP2000 v9.0.1
BASIC LEVEL : FRAME / TRUSS DENGAN BEBAN STATIS
Adams, D,K., 2008,The Structural Engineers Professional Training Manual, ISBN 0-07-159399-3,
McGraw-Hill Companies.
Anwar, N., 2002, Building Structures Modeling and Analysis Concepts, International Seminar
on Computer Aided Analysis and Design of Building Structures, Malaysia.
Dradjat Hoedajanto, 2007, Apakah Jakarta Aman Terhadap Gempa Disain Maksimum, Seminar
dan Pameran HAKI KONSTRUKSI TAHAN GEMPA DI INDONESIA
Keputusan Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah Nomor: 332/KPTS/M/2002, Pedoman
Teknis Pembangunan Bangunan Gedung Negara.
Madutujuh, N.., 2004, Short Course : Building Design with SANS for Windows, Engineering
Software Research Center, Bandung.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan
Jasa Konstruksi.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Bangunan Gedung.
Schierle G.G, 2006, Architectural Structures, Univ. Southem California
Schodek D.L., 1995, Struktur (Terjemahan Ir. Bambang Suryoatmono, MSc) , Penerbit Eresco,
Bandung.
Shahab, H., 1996, Menata Pengertian Keamanan dan Pengamanan Struktur, Penerbit
Djambatan.
Shahab, H., 2001, Detail Peran : Meningkatkan Pengamanan bagi Pemilik, Pengguna dan
Lingkungan, Penerbit Djambatan, Jakarta.
Steffie Tumilar, 2006, Latar Belakang dan Kriteria dalam Menentukan Tolok Ukur Kegagalan
Bangunan, HAKI, Jakarta.
Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi.
Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung.