Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
ASTO(anti sterptosilin O) merupakan antibodi yang paling banyak dikenal
dan paling sering digunakan untuk indikator terdapatnya infeksi streptokokus. Lebih
kurang 80% penderita demam rematik menunjukkan peningkatan titer antibodi
tterhadap streptokokus.penelitian menunjukkan bahwa komponen streptokokus yang
lain memiliki reaktivitas bersama dengan jaringan lain. Ini meliputi reaksi silang
imunologik diantara karbohidrat streptokokus dan glikoprotein katup, diantaranya
membran protoplasma streptokokus dan jaringan saraf subtalamus serta nuclei dan
diantara hialuronat kapsul dan kartilago artikular
Demam rematik merupakan penyakit vascular kolagen multisystem yang
terjadi setelah infeksi Streptokokus grup A pada individu yang memiliki faktor
predisposisi. Penyakit ini masih merupakan penyebab terpenting penyakit jantung
didapat (acquired heart disease) pada anak dan dewasa muda di banyak negara
terutama Negara berkembang. Keterlibatan kardiovaskuler pada penyakit ini ditandai
oleh adanya inflamasi endokardium dan mmiokardium melalui suatu proses autoimun
yang menyebabkan kerusakan jaringan.

Streptokokus grup A (Streptokokus beta hemolitik) dapat menghasilkan


berbagai produk ekstraseluler yang mampu merangsang pembentukan antibodi.
Antibodi itu tidak merusak kuman dan tidak memiliki daya perlindungan, tetapi
adanya antibodi tersebut dalam serum menunjukkan bahwa di dalam tubuh baru saja
terdapat Streptokokus yang aktif. Antibodi yang terbentuk adalah Antistreptolisin O,
Antihialuronidase (AH), antistreptokinase (Anti-SK), anti desoksiribonuklease B
(AND-B), dan anti nikotinamid adenine dinukleotidase (anti-NADase).

B. Tujuan Praktikum
Untuk mengetahui cara pemeriksaan asto latex
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Demam reumatik dan penyakit jantung reumatik telah jarang ditemui di negara
maju. Sebaliknya, hal ini tetap merupakan masalah besar di negara berkembang, di
duga ada sekitar 15-20 juta kasus baru demam reumatik di dunia tiap tahun suatu
angka yang mungkin lebih kecil dari kenyataannya. Prevalensi demam reumatik di
Indonesia belum diketahui secara pasti, meskipun beberapa penelitian yang pernah
dilakukan menunjukkan bahwa prevalensi penyakit jantung reumatik berkisar 0,3
sampai 0,8 per 1.000 anak sekolah. Dengan demikian, secara kasar dapat diperkirakan
bahwa prevalensi demam reumatik di Indonesia pasti lebih tinggi dari angka tersebut,
mengingat penyakit jantung reumatik merupakan akibat dari demam reumatik(Alfrida,
2009)

Penyakit jantung reumatik merupakan kelainan katup jantung yang menetap


akibat demam reumatik akut sebelumnya. Penyakit ini terutama mengenai katup mitral
(75%), aorta (25%), jarang mengenai katup trikuspid dan tidak pernah menyerang katup
pulmonal.Setiap tahunnya rata-rata ditemukan 55 kasus dengan demam reumatik akut
(DRA) dan PJR.Diperkirakan prevalensi PJR di Indonesia sebesar 0,3-0,8 anak
sekolah 5-15 tahun(Akgun Y,2005)

Serangan pertama maupun serangan ulangan telah menurun dengan tajam dalam
30-40 tahun terakhir ini. Demikian pula beratnya penyakit serta angka kematian juga
telah berubah. Perbaikan yang terus-menerus dalam keadaan sosial ekonomi, higiene,
penggunaan obat anti streptokok serta mungkin perubahan yang terjadi pada
kumannya sendiri telah menurunkan angka kejadian demam reumatik. Di negara- negara
yang mencatat demam reumatik dan penyakit jantung reumatik, pada umumnya
dilaporkan 10-30 kasus baru setiap 10.000 penduduk setiap tahun, tetapi di negara-
negara berkembang angka kejadian demam reumatik masih lebih tinggi (Herwanto,2008)

Agen penyebab adalah infeksi Streptococcus beta hemolyticus group A pada


tenggorok selalu mendahului terjadinya demam reumatik, baik pada serangan utama
atau pada serangan ulang. Hubungan etiologis antara kuman Streptokokus dengan
demam reumatik diketahui dai data sebagai berikut(Farokah, 2007) :

1. Pada sebagian besar kasus demam reumatik akut terdapat peninggian kadar
antibodi terhadap Streptokokus, atau dapat diisolasi kuman Streptococcus beta
hemolyticus group A, atau keduanya.
2. Insidensi demam reumatik yang tinggi biasanya bersamaan dengan insidensi
infeksi oleh Streptococcus beta hemolyticus group A yang tinggi pula. Kira-kira

3% penderita infeksi saluran nafas oleh kuman tersebut akan mengalami


komplikasi demam reumatik atau penyakit jantung reumatik. Hal ini diamati
pada masyarakat tertutup seperti asrama tentara. Di masyarakat diperkirakan
sekitar 0,3% dari penderita infeksi saluran nafas bagian atas oleh Streptococcus
beta hemolyticus group A akan menderita demam reumatik atau penyakit
jantung reumatik. Sebaliknya insidensi demam reumatik akan menurun bila
infeksi kuman tersebut pada suatu golongan penduduk diobati dengan baik.

3. Serangan ulang demam reumatik akan sangat menurun bila penderita mendapat
pencegahan yang teratur dengan antibiotika.

Menurut (Genix,1992) Faktor-faktor predisposisi yang berpengaruh pada


timbulnya demam reumatik dan penyakit jantung reumatik terdapat pada individunya
sendiri serta pada keadaan lingkungan :

1. Faktor Genetik

Banyak demam reumatik/penyakit jantung reumatik yang terjadi pada suatu


keluarga maupun pada anak-anak kembar. Meskipun pengetahuan tentang faktor
genetik pada demam reumatik ini tidak lengkap, namun pada umumnya disetujui
bahwa ada faktor keturunan pada demam reumatik ini, sedangkan cara
penurunannya belum dapat dipastikan.

2. Faktor Jenis Kelamin

Dahulu sering dinyatakan bahwa demam reumatik lebih sering didapatkan pada
anak wanita dibandingkan dengan anak laki-laki. Tetapi data yang lebih besar
menunjukkan tidak ada perbedaan jenis kelamin, meskipun manifestasi tertentu
mungkin lebih sering ditemukan pada salah satu jenis kelamin. Misalnya gejala
korea jauh lebih sering ditemukan pada wanita daripada laki-laki. Kelainan
katup sebagai gejala sisa penyakit jantung reumatik juga menunjukkan
perbedaan jenis kelamin. Pada orang dewasa gejala sisa berupa stenosis mitral
lebih sering didapatkan pada wanita, sedangkan insufisiensi aorta lebih sering
ditemukan pada laki-laki.

3. Golongan Etnik dan Ras

Data di Amerika Utara menunjukkan bahwa serangan pertama maupun ulang


demam reumatik lebih sering didapatkan pada orang kulit hitam dibandingkan
dengan orang kulit putih. Tetapi data ini harus dinilai secara hati-hati, sebab
mungkin pelbagai faktor lingkungan yang berbeda pada kedua golongan tersebut
ikut berperan atau bahkan merupakan sebab yang sebenarnya. Yang telah dicatat
dengan jelas ialah terjadinya stenosis mitral.

4. Umur

Umur agaknya merupakan faktor predisposisi terpenting pada timbulnya demam


reumatik atau penyakit jantung reumatik. Penyakit ini paling sering mengenai
anak berumur antara 5-15 tahun dengan puncak sekitar umur 8 tahun. Tidak
biasa ditemukan pada anak yang berumur 3-5 tahun dan sangat jarang sebelum
anak berumur 3 tahun atau setelah 20 tahun. Distribusi umur ini dikatakan sesuai
dengan insidensi infeksi Streptokokus pada anak usia sekolah.

5. Keadaan Sosial Ekonomi yang Buruk

Mungkin ini merupakan faktor lingkungan yang terpenting sebagai predisposisi


untuk terjadinya demam reumatik. Insidensi demam reumatik di negara-negara
yang sudah maju, jelas menurun sebelum era antibiotika. Termasuk dalam
keadaan sosial ekonomi yang buruk ialah sanitasi lingkungan yang buruk,
rumah-rumah dengan penghuni padat, rendahnya pendidikan sehingga
pengertian untuk segera mengobati anak yang menderita sakit sangat kurang,
pendapatan yang rendah sehingga biaya untuk perawatan kesehatan kurang dan
lain-lain. Semua hal ini merupakan faktor-faktor yang memudahkan timbulnya
demam reumatik.

2. Iklim dan Geografi

Demam reumatik adalah penyait kosmopolit. Penyakit ini terbanyak didapatkan


di daerah yang beriklim sedang, tetapi data akhir-akhir ini menunjukkan bahwa
daerah tropis pun mempunyai insidensi yang tinggi, lebih tinggi daripada yang
diduga semula. Di daerah yang letaknya tinggi agaknya insidensi demam
reumatik lebih tinggi daripada di dataran rendah.
Banyak manifestasi klinis demam reumatik muncul pada gangguan vaskular
kolagen. Seorang pasien dengan kelaianan jantung, sendi dan kulit sebaiknya
dievaluasi untuk penyakit demam reumatik, arthritis reumatoid dan SLE. Setiap orang
dengan gangguan ini hanya dapat didiagnosis dengan evaluasi klinis dan laboratorium
yang lengkap terhadap ketiga penyakit tersebut diatas.

Diagnosis demam reumatik lazim didasarkan pada suatu kriteria yang untuk
pertama kali diajukan oleh T. Duchett Jones yang kemudian dikenal sebagai kriteria
Jones. Kriteria Jones memuat kelompok kriteria mayor dan minor yang pada dasarnya
merupakan manifestasi klinik dan laboratorik demam reumatik. Pada perkembangan
selanjutnya, kriteria ini kemudian diperbaiki oleh American Heart Association dengan
menambahkan bukti adanya infeksi streptokokus Apabila ditemukan 2 kriteria mayor,
atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor, ditambah dengan bukti adanya infeksi
streptokokus sebelumnya, kemungkinan besar menandakan adanya demam reumatik.
Perlu diingat bahwa kriteria Jones tidak bersifat mutlak, tetapi hanya sebagai suatu
pedoman dalam menentukan diagnosis demam rematik. Kriteria ini bermanfaat untuk
memperkecil kemungkinan terjadinya kesalahan diagnosis, baik berupa overdiagnosis
maupun underdiagnosis(Mcllwan, 1998).
BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM

A. Waktu dan Tempat

Praktikum ini dilaksanakan pada hari Rabu, 15 Juli 2017 pukul 09.00
12.00 WITA bertempat di Laboratorium Klinik Terpadu Sekolah Tinggi
Ilmu Kesehatan Mandala Waluya.
B. Prosedur Kerja

a. Pra analitik
- Persiapan pasien : Tidak memerlukan persiapan khusus
- Persiapan alat dan bahan : Kaset rapid tes, lanset, reagen buffer, pipet
tetes, gelas kimia.
- Persiapan sampel : Whole blood
b. Analitik
- Menyiapkan alat dan bahan yang akan digunakan
- Menyimpan KIT pada suhu ruang selama 30 menit
- Membuat pengenceran serum 1:20
- Mengambil 1 tetes control positif dan meletakkan pada lingkaran
pertama
- Mengambil 1 tetes control negatif dan meletakkan pada lingkaran
kedua
- Mengambil sampel serum 50 mikroliter menggunakan mikropipet
kemudian tuangkan pada lingkaran ketiga
- Menambahkan 1 tetes reagen ASTO pada masing masing lingkaran
- Mencampur sampai rata dengan menggunakan pipet sekali pakai
- Menggoyangkan jangan sampai keluar lingkaran
- Mengamati terbentuknya glutinasi dan membandingkan dengan
kontrol
Semi kuantitatif

- Menyiapkan 5 tabung dan diberi label sesuai seri pengenceran


- Menggunakan saline fisiologis untuk serial pengenceran
- Menyiapkan 5 tabung reaksi
- Memasukkan larutan buffer pada masing masing tabung yang telah
dilakukan pengenceran
- Memasukkan 100 ml serum kedalam tabung 1
- Mencampurkan kemudian dipindahkan 100 ml ke tabung 2. Kerjakan
hal yang sama sampai tabung 4. Sampel darah tabung 4 dibuang
100ml.
- Mengerjakan semua tabung sama seperti cara kualitatif
- Membaca hasil setelah 3 menit
c. Pasca analitik
- (+) positif : Terbentuk 2 atau 3 garis berwarna.
- ( - ) Negatif : Terbentuk satu garis warna
- Invalid : Jika tidak timbul garis warna pada zona kontrol
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Pengamatan
Tabel.1. Hasil Pengamatan pada percobaan ASTO Latex :

N0 IDENTITAS PASIEN HASIL KETERANGAN

1 Nama :Septiani Nima (-) Negatif

Jk : Perempuan

Umur :20 Tahun

Riwayat : Pernah Penyakit

malaria

B. Pembahasan
Pada percobaan ini masih sama dengan malaria yang
membedakannya hanya cara pemeriksannya saja. Seperti yang kita ketahui
bahwa pemeriksaan asto latex adalah antibodi yang paling banyak dikenal dan
paling sering digunakan untuk indikator terdapatnya infeksi streptokokus.
reaksi silang imunologik diantara karbohidrat streptokokus dan glikoprotein
katup, diantaranya membran protoplasma streptokokus dan jaringan saraf
subtalamus serta nuclei dan diantara hialuronat kapsul dan kartilago artikular

Hal-hal yang mempengaruhi penyakit ini seperti faktor


genetikBanyak demam reumatik/penyakit jantung reumatik yang terjadi pada
suatu keluarga maupun pada anak-anak kembar. Meskipun pengetahuan
tentang faktor genetik pada demam reumatik ini tidak lengkap, namun pada
umumnya disetujui bahwa ada faktor keturunan pada demam reumatik ini,
sedangkan cara penurunannya belum dapat dipastikan.
Apabila ditemukan 2 kriteria mayor, atau 1 kriteria mayor dan 2
kriteria minor, ditambah dengan bukti adanya infeksi streptokokus sebelumnya,
kemungkinan besar menandakan adanya demam reumatik. Perlu diingat
bahwa kriteria Jones tidak bersifat mutlak, tetapi hanya sebagai suatu pedoman
dalam menentukan diagnosis demam rematik. Kriteria ini bermanfaat untuk
memperkecil kemungkinan terjadinya kesalahan diagnosis, baik berupa
overdiagno sis maupun underdiagnosis

Pada hasil pengamatan yang kami lakukan pengenceran 1:2


konsentrasi 40 hasil yang didapatkan positif(+)Melakukan pengenceran serum
dengan NaCl 0,9% dari pengenceran yaitu , , 1/8, 1/16, 1/32, 1/64 dan
seterusnya Diagnosa demam rematik/ melewati beberapa fase dan manifestasi
klinisnya kurang spesifik. fase awal:Penderita biasanya mengalami keluhan yang
tidak khas, seperti nyeri kerongkongan, demam, kesulitan makan dan minum,
lemas, sakit kepala, dan batuk. Pada fase ini, kebanyakan penderita hanya
didiagnosa mengalami penyakit flu atau amandel (tonsilitis) dan biasanya
diberikan obat-obat penurun panas dan penghilang rasa sakit. Demam rematik
mulai bisa diindikasikan jika penderita beberapa minggu kemudian mengalami
keluhan dengan keluhan yang lebih spesifik dan serius, terutama yang berkaitan
dengan sendi, jantung, dan saraf.

Banyak faktor ynag terjadi jika seseorang terkena pemnyakit ini


seperti faktor Umur agaknya merupakan faktor predisposisi terpenting pada
timbulnya demam reumatik atau penyakit jantung reumatik. Penyakit ini paling
sering mengenai anak berumur antara 5-15 tahun dengan puncak sekitar umur
8 tahun. Tidak biasa ditemukan pada anak yang berumur 3-5 tahun dan sangat
jarang sebelum anak berumur 3 tahun atau setelah 20 tahun. Distribusi umur ini
dikatakan sesuai dengan insidensi infeksi Streptokokus pada anak usia sekolah.

Faktor lingkungan pun mungkin ini merupakan faktor yang


terpenting sebagai predisposisi untuk terjadinya demam reumatik. Insidensi
demam reumatik di negara-negara yang sudah maju, jelas menurun sebelum era
antibiotika. Termasuk dalam keadaan sosial ekonomi yang buruk ialah
sanitasi lingkungan yang buruk, rumah-rumah dengan penghuni padat,
rendahnya pendidikan sehingga pengertian untuk segera mengobati anak yang
menderita sakit sangat kurang, pendapatan yang rendah sehingga biaya untuk
perawatan kesehatan kurang dan lain-lain. Semua hal ini merupakan faktor-faktor
yang memudahkan timbulnya demam reumatik.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan
Pada hasil yang kami dapatkan adalah (-) Negatif yang dimana
Streptokokus beta hemolitik tidak menghasilkan berbagai produk ekstraseluler
yang mampu merangsang pembentukan antibodi.

B. Saran

Sebaiknya alat dan bahan-bahannya diperbanyak lagi jumlahnya.


DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2013. Artritis Rheumatoid. Diakses di : htttp://meetdoctor.com/


topic/artritis-reumatoid. Diakses 24 Mei 2013.

Maliani, Lestari. 2011. Rheumatoid Factor. Diakses di : http://lestariamaliani.


blogspot.com/2011/10/rheumatoid-factor.html. diakses 24 Mei 2013

Prodia. Immunoserologi-Anti CCP IgG. Diakses di : http://prodia.co.id/imuno-


serologi/anti-ccp-igg. diakses 24 Mei 2013

Sarliyanti, Merlin. 2012. Pemeriksaan Rheumatoid Faktor. Diakses di:


http://merlin sarliyanti.blogspot.com/2012/06/pemeriksaan-rematoid-
faktor.html. diakses 24 Mei 2013

Anda mungkin juga menyukai