Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

AKUNTANSI MANAJEMEN

ANALISIS KASUS TRANSFER PRICING

PT TOYOTA MOTOR MANUFACTURING INDONESIA

Disusun Oleh

I Gede Yudi Henrayana (24)

Kelas 8A Program Studi D IV Alih Program

NPM 154060006560

Untuk Memenuhi Tugas Akhir Semester VIII

Mata Kuliah Akuntansi Manajemen

Tahun Akademik 2015/2016


ABSTRAK

Transfer pricing adalah kebijakan penentuan harga untuk penjualan barang/jasa yang terjadi dalam
internal satu perusahaan atau satu kelompok perusahaan. Belakangan ini, transfer pricing lebih banyak
digunakan untuk tujuan perencanaan pajak daripada untuk pengukuran kinerja divisi. PT Toyota Motor
Manufacturing Indonesia juga melakukan transfer pricing untuk tujuan perencanaan pajak. Namun, Direktorat
Jenderal Pajak (DJP) menganggap bahwa PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia melakukan transfer pricing
guna penghindaran pajak. Adapun modus yang dilakukan oleh PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia adalah
melakukan penjualan dengan transfer price di luar prinsip kewajaran dan kelaziman usaha kepada perusahaan
afiliasinya yang berada di Singapura. Untuk membuktikan bahwa PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia
melakukan transfer pricing guna penghindaran pajak, DJP menggunakan Metode Perbandingan Harga antara
Pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa (Comparable Uncontrolled Price/CUP). Adapun kendala dalam
penggunaan metode ini adalah mencari data pembanding yang sesuai. Metode yang digunakan DJP untuk
penentuan transfer price yang wajar disanggah oleh pihak PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia karena
perusahaan yang menjadi perbandingan petugas pajak, yaitu Hindustan Motors (India), Yulon Motor (Taiwan),
dan Force Motor Limited (India), berstatus merugi. Sementara itu, PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia
pada 2008 masih untung sehingga tidak bisa dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan tersebut. Terbitnya
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 7/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Pembentukan dan Pelaksanaan
Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement/APA) patut diapresiasi. Dengan melakukan APA
dengan Wajib Pajak, DJP akan mempunyai dasar yang lebih kuat dalam penentuan transfer price yang wajar.
Selain itu, APA juga dapat meningkatkan basis data perpajakan DJP.

Kata kunci: transfer pricing, PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia, Advance Pricing Agreement

ABSTRACT

Transfer pricing is a pricing policy for the sale of goods/services that occur within a company or a group
of companies. Lately, transfer pricing is used more for tax planning purpose rather than for performance
measurement purpose. PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia also uses transfer pricing for tax planning
purpose. However, the Directorate General of Taxation (DGT) considers that PT Toyota Motor Manufacturing
Indonesia used transfer pricing for tax evasion. PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia is accused selling to
its affiliated company in Singapore with transfer price beyond the arms length principles. To prove that PT
Toyota Motor Manufacturing Indonesia used transfer pricing for tax evasion, the DGT used Comparable
Uncontrolled Price (CUP) method. The constraint in the use of this method is to find an appropriate comparable
data. However, the method used by the DGT is refuted by PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia because
the company used as comparisons by DGT, namely Hindustan Motors (India), Yulon Motor (Taiwan), and Force
Motors Limited (India), were in the condition of loss. Meanwhile, PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia in
2008 still earned a profit so cannot be compared to those companies. The enactment of the Minister of Finance
Regulation 7/PMK.03/2015 concerning Procedures for the Establishment and Implementation of Advance Pricing
Agreement (APA) should be appreciated. By entering APAs with the taxpayers, the DGT will have a stronger
basis in determining whether the transfer price is within the arms length principles or not. In addition, the APAs
can also improve the database of DGT.

Keywords: transfer pricing, PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia, Advance Pricing Agreement

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Dalam era globalisasi seperti saat ini, dunia seolah-olah tanpa batas. Pengaruh
globalisasi juga terjadi dalam bidang ekonomi dan bisnis. Perusahaan-perusahaan tidak
hanya melakukan kegiatan bisnisnya hanya satu negara saja. Banyak perusahaan yang
melaksanakan kegiatan lintas negara, baik melalui cabang maupun anak perusahaannya.
Perusahaan-perusahaan semacam ini dinamakan perusahaan multinasional (multinational
corporation atau multinational company/MNC).

Salah satu perusahaan multinasional terbesar di dunia adalah Toyota. Toyota adalah
perusahaan otomotif yang berpusat di Jepang. Toyota memiliki banyak cabang, anak
perusahaan, dan perusahaan terafiliasi di berbagai negara di seluruh dunia. Salah satu anak
perusahaan Toyota di adalah PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia yang berkedudukan
di Indonesia.

Pengelolaan perusahaan multinasional tentunya berbeda dengan pengelolaan yang


hanya berbasis di satu negara. Pengelolaan keuangan perusahaan multinasional
menggunakan suatu skema yang lebih kompleks guna memaksimalkan keuntungannya.
Salah satu skema pengelolaan keuangan yang digunakan oleh perusahaan multinasional
adalah transfer pricing, terutama untuk perencanaan pajaknya.

Transfer pricing adalah suatu mekanisme yang umum digunakan oleh perusahaan
multinasional untuk perencanaan pajaknya. Transfer pricing untuk tujuan perencanaan pajak
tidak sepenuhnya ilegal, asalkan memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditetapkan oleh
pemerintah suatu negara. Idealnya, transfer pricing suatu perusahaan multinasional dapat
mengurangi beban pajak perusahaan dari sudut pandang konsolidasi, sementara di sisi lain
tetap memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditetapkan oleh pemerintah.

Akan tetapi, hal yang terjadi untuk kasus PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia
tidaklah demikian. Berdasarkan hasil pemeriksaan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terhadap
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan (SPT Tahunan PPh) PT Toyota Motor
Manufacturing Indonesia Tahun Pajak 2005 sampai dengan Tahun Pajak 2008, PT Toyota
Motor Manufacturing Indonesia dianggap telah melakukan transfer pricing yang ilegal
sehingga mengecilkan pajak yang harus dibayarnya di Indonesia. Atas hasil pemeriksaan
DJP ini PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia telah melakukan upaya hukum sampai
dengan tingkat banding ke Pengadilan Pajak. Namun, sampai saat ini putusan banding atas
kasus ini belum terbit.

Kasus pajak terkait praktik transfer pricing PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia
menarik untuk dibahas. DJP, selaku otoritas pajak Indonesia, dapat mengambil pelajaran
berharga dari kasus transfer pricing PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia. Pada
makalah ini, penulis akan melakukan analisis tentang kasus transfer pricing PT Toyota
Motor Manufacturing Indonesia, kendala yang dihadapi DJP dalam kasus ini, serta alternatif
pemecahan masalah bagi DJP untuk menghadapi kasus-kasus transfer pricing di masa
mendatang.

1.2. Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah kasus pajak terkait transfer pricing yang terjadi pada PT Toyota Motor
Manufacturing Indonesia?
2. Kendala apakah yang dihadapi oleh DJP dalam kasus transfer pricing PT Toyota Motor
Manufacturing Indonesia?
3. Bagaimanakah alternatif pemecahan masalah bagi DJP untuk menghadapi kasus-kasus
transfer pricing di masa mendatang?
2
1.3. Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui bagaimana kasus pajak terkait transfer pricing yang terjadi pada PT
Toyota Motor Manufacturing Indonesia
2. Untuk mengetahui kendala yang dihadapi oleh DJP dalam kasus transfer pricing PT
Toyota Motor Manufacturing Indonesia
3. Memberikan alternatif pemecahan masalah bagi DJP untuk menghadapi kasus-kasus
transfer pricing di masa mendatang.

1.4. Keterkaitan Topik dengan Kerangka Isu Aktual Akuntansi Manajemen


Salah satu isu aktual dalam akuntansi manajemen adalah transfer pricing. Dewasa
ini, kebanyakan perusahaan multinasional menggunakan transfer pricing untuk tujuan
perencanaan pajak, tidak lagi untuk pengukuran kinerja divisi/anak/cabang perusahaan. Isu
transfer pricing ini adalah fenomena global yang tidak hanya dihadapi oleh DJP selaku
otoritas pajak Indonesia, tetapi juga oleh otoritas-otoritas pajak negara lainnya di dunia.
Penulis berharap makalah ini mampu memberikan sumbangan pikiran bagi DJP, instansi
tempat penulis bekerja, dalam menyelesaikan kasus transfer pricing.

1.5. Keterbatasan Penelitian


Penelitian ini dilakukan terhadap kasus transfer pricing PT Toyota Motor
Manufacturing Indonesia. Kasus transfer pricing ini terjadi pada Tahun Pajak 2005 sampai
dengan Tahun Pajak 2008. Oleh karena itu, hasil penelitian mungkin hanya relevan untuk
kasus transfer pricing PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia dan kasus-kasus transfer
pricing yang serupa.

3
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1. Pengertian Transfer Pricing


Menurut Hansen dan Mowen (2007, 440), a transfer price is the price charged for a
component by the selling division to the buying division of the same company. Sementara
menurut Garrison, Noreen, dan Brewer (2010, 558), a transfer price is the price charged
when one segment of a company provides goods or services to another segment of the
same company. Senada dengan kedua definisi di atas, Bhimani, Horngren, Datar, dan
Foster (2008, 619) mendefinisikan transfer price sebagai the price one subunit (segment,
department, division, and so on) of an organisation charges for a product or service supplied
to another subunit of the same organisation. Jadi, dalam konteks satu perusahaan, transfer
pricing adalah suatu kebijakan penentuan harga untuk penjualan barang/jasa yang terjadi
dalam internal satu perusahaan.

Jika dilihat dari sudut pandang perusahaan multinasional, transfer pricing menurut
Madura (2014, 708) adalah policy for pricing goods sent by either the parent or a subsidiary
to a subsidiary of an MNC. Definisi ini tidaklah jauh berbeda dari definisi yang diberikan
oleh Hansen dan Mowen, Bhimani, Horngren, Datar, dan Foster, serta Garrison, Noreen,
dan Brewer di atas. Pada intinya, transfer pricing adalah kebijakan penentuan harga untuk
penjualan barang/jasa yang terjadi dalam internal satu perusahaan atau satu kelompok
perusahaan. Transfer pricing memiliki dua tujuan utama, yaitu pengukuran kinerja divisi dan
penentuan beban pajak yang optimal.

Pada umumnya, terdapat tiga pendekatan untuk penentuan kebijakan transfer price
yang digunakan, yaitu market price, cost-based transfer price, dan negotiated transfer price.
Namun, Atkinson, Kaplan, Matsumura, dan Young (2012, 485) menambahkan satu
pendekatan penentuan transfer price, yaitu administered transfer price.
1. Market-Based Transfer Price
Jika barang/jasa yang akan ditransfer memiliki pasar ekternal yang kompetitif, maka
harga yang digunakan sebagai transfer price adalah harga pasar. Pendekatan harga pasar
ini adalah pendekatan yang paling baik digunakan untuk penentuan transfer price. Akan
tetapi, pendekatan harga pasar ini sulit untuk diterapkan karena jarang sekali terdapat suatu
pasar eksternal yang kompetitif untuk semua jenis barang/jasa.

2. Cost-Based Transfer Price


Karena jarang sekali terdapat suatu pasar eksternal yang kompetitif untuk semua
jenis barang/jasa, maka perusahaan dapat menggunakan pendekatan biaya untuk
penentuan transfer price. Transfer price ditentukan berdasarkan biaya untuk memproduksi
barang/jasa. Perusahaan dapat menggunakan biaya berdasarkan variable costing atau full
(absorption) costing. Namun, penentuan transfer price berdasarkan biaya memiliki tiga
kelemahan, yaitu:
a. penggunaan biaya, terutama full cost, dapat menyebabkan pengambilan keputusan yang
salah
b. jika biaya digunakan sebagai transfer price, maka divisi penjual tidak akan pernah
memperoleh laba (profit) dari transfer internal, sehingga pengukuran kinerja divisi
penjual sulit untuk dilakukan
c. pendekatan biaya untuk penentuan transfer tidak memberikan insentif untuk mengontrol
biaya.

3. Negotiated Transfer Price


Pendekatan ketiga yang dapat digunakan untuk penentuan transfer price adalah
negosiasi antara manajer divisi penjual dan manajer divisi pembeli. Divisi penjual dan divisi
pembeli akan menyetujui terjadinya penjualan internal barang/jasa apabila kedua divisi
sama-sama memperoleh laba dari penjualan internal tersebut. Oleh karena itu, transfer price
yang disepakati berada dalam range of acceptable transfer prices, yaitu harga yang

4
menyebabkan divisi penjual dan divisi pembeli sama-sama memperoleh laba dari penjualan
internal. Menurut Atkinson, Kaplan, Matsumura, dan Young (2012, 485), pendekatan
negotiated transfer price memiliki kelemahan, yaitu can lead to decisions that do not provide
the greatest economic benefits.

4. Administered Transfer Price


Berdasarkan pendekatan ini, transfer price ditentukan oleh suatu pembuat kebijakan
(arbitrator), yang umumnya adalah manajemen puncak. Administered transfer price
biasanya digunakan saat terjadi transaksi yang sifatnya sering terjadi dalam organisasi.
Pendekatan ini mudah diterapkan dan dapat menghindari terjadinya konflik divisi penjual
dan pembeli dalam penentuan transfer price. Akan tetapi, pendekatan administered transfer
price umumnya mengorbankan semangat pengukuran kinerja dari konsep transfer pricing
karena transfer price ditentukan berdasarkan pertimbangan perencanaan keuangan
perusahaan, bukan pertimbangan ekonomi dan akuntabilitas.

2.2. Aspek Perpajakan Transfer Pricing


Hansen dan Mowen (2007, 834) menyatakan bahwa if all countries had the same
tax structure, then transfer prices would be set independently of taxes. Namun, karena
negara-negara di dunia ini memiliki struktur dan peraturan perpajakan yang berbeda-beda,
kebijakan transfer pricing juga dipengaruhi oleh aspek perpajakan. Malahan, transfer pricing
kebanyakan digunakan oleh perusahaan multinasional untuk tujuan perencanaan pajak
daripada untuk tujuan pengukuran kinerja. Penggunaan transfer pricing untuk tujuan
perencanaan pajak sebenarnya sah-sah saja. Menurut Madura (2014, 468), multinational
corporations are subject to certain guidelines on transfer pricing, but they usually have some
flexibility and tend to use a transfer pricing policy that will minimize taxes while satisfying the
guidelines. Secara umum, skema perencanaan pajak yang digunakan oleh perusahaan
multinasional dengan transfer pricing adalah memindahkan laba dari negara dengan tarif
pajak tinggi ke negara dengan tarif pajak yang lebih rendah (lihat Gambar 1).

INDONESIA

Pendapatan
Beban

Negara dengan Tarif Pajak Lebih Rendah

Gambar 1
Skema Umum Perencanaan Pajak dengan Transfer Pricing

Belakangan ini, isu transfer pricing menjadi fokus utama bagi perusahaan-
perusahaan multinasional. Berdasarkan 2010 Global Transfer Pricing Survey (Ernst &
Young, 2011), transfer pricing adalah isu perpajakan terpenting bagi perusahaan induk
5
(parent company), sebagaimana terlihat pada Gambar 2. Bahkan, sebanyak 32% dan 42%
dari responden menyatakan bahwa isu transfer pricing adalah isu yang sangat kritis dan
sangat penting yang akan dihadapi perusahaan dalam dua tahun ke depan, sebagaimana
terlihat pada Tabel 1.

Gambar 2
Isu-Isu Perpajakan Terpenting bagi Perusahaan Induk
Sumber: Ernst & Young (2011, 7)

Di Indonesia, menurut Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2010


sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-
32/PJ/2011 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam Transaksi
antara Wajib Pajak dengan Pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa, Wajib Pajak dalam
melakukan transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa wajib
menerapkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha. Prinsip kewajaran dan kelaziman
usaha (arm's length principle/ALP) merupakan prinsip yang mengatur bahwa apabila kondisi
dalam transaksi yang dilakukan antara pihak yang mempunyai Hubungan istimewa sama
atau sebanding dengan kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak yang tidak
mempunyai hubungan istimewa yang menjadi pembanding, maka harga atau laba dalam
transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa harus
sama dengan atau berada dalam rentang harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan
antara pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa yang menjadi pembanding. Jadi,
menurut peraturan perpajakan Indonesia, transfer pricing diperbolehkan, asalkan penentuan
transfer price dilaksanakan dengan menggunakan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha.

Tabel 1
Pentingnya Transfer Pricing dalam Dua Tahun ke Depan

Sumber: Ernst & Young (2011, 7)

Apabila transfer pricing dilaksanakan di luar prinsip kewajaran dan kelaziman usaha,
maka sesuai Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan,
Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan

6
pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya
Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan
Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi
oleh hubungan istimewa dengan menggunakan metode perbandingan harga antara pihak
yang independen, metode harga penjualan kembali, metode biaya-plus, atau metode
lainnya. Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2011, metode
yang digunakan untuk penentuan transfer price yang sesuai dengan prinsip kewajaran
dan kelaziman usaha adalah Metode Perbandingan Harga antara Pihak yang tidak
mempunyai Hubungan Istimewa (Comparable Uncontrolled Price/CUP), Metode Harga
Penjualan Kembali (Resale Price Method/RPM), Metode Biaya-Plus (Cost Plus Method),
Metode Pembagian Laba (Profit Split Method/PSM), atau Metode Laba Bersih Transaksional
(Transactional Net Margin Method/TNMM).

2.3. Kerangka Pemikiran


Kerangka pemikiran penulisan makalah ini dapat dilihat pada Gambar 3 di bawah ini.
Penulis akan melakukan analisis terhadap kasus transfer pricing PT Toyota Motor
Manufacturing Indonesia. Dari hasil analisis kasus transfer pricing PT Toyota Motor
Manufacturing Indonesia, kita akan mengetahui kendala yang dihadapi DJP dalam kasus
tersebut. Selanjutnya, penulis akan mencoba memberikan alternatif pemecahan masalah
bagi DJP untuk menghadapi kasus-kasus transfer pricing di masa mendatang.

analisis kasus
transfer pricing alternatif
kendala yang
PT Toyota Motor pemecahan
dihadapi DJP
Manufacturing masalah
Indonesia

Gambar 3
Kerangka Pemikiran

7
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian


Penelitian ini adalah penelitian kualitatif.

3.2. Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi
kepustakaan. Penulis melakukan analisis terhadap buku, jurnal ilmiah, dan pemberitaan
media massa terkait kasus transfer pricing PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia. Selain
melakukan studi kepustakaan, penulis juga menggunakan wawancara tidak terstruktur
sebagai teknik pengumpulan data. Adapun pihak yang penulis wawancarai adalah petugas
pajak yang pernah menangani kasus transfer pricing.

3.3. Teknik Analisis Data


Untuk menjawab permasalahan penelitian, penulis menggunakan teknik analisis data
kualitatif untuk menghasilkan data deskriptif-analitis. Analisis ini dipilih karena sangat
fleksibel dan memudahkan pencarian ide serta petunjuk mengenai situasi permasalahan.

8
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1. Analisis Kasus Transfer Pricing PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia


Kasus PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia dapat ditelusuri mulai tahun 2003.
Pada tahun 2003, Toyota Indonesia melakukan restrukturisasi mendasar pada bisnisnya.
Sebelumnya, semua lini bisnis produksi dan distribusi mereka dilakukan di bawah satu
bendera, yaitu PT Toyota Astra Motor. Pemilik saham PT Toyota Astra Motor terdiri atas dua
pihak, yaitu PT Astra International, Tbk (sebesar 51%) dan Toyota Motor Corporation
Jepang (sebesar 49%). Pada pertengahan 2003, PT Astra International, Tbk menjual
sebagian besar sahamnya di PT Toyota Astra Motor kepada Toyota Motor Corporation
Jepang. PT Astra International, Tbk menjual sahamnya di PT Toyota Astra Motor karena
mereka mempunyai utang jatuh tempo yang tak bisa ditangguhkan lagi. Setelah penjualan
saham tersebut, Toyota Motor Corporation Jepang menjadi pemegang saham mayoritas PT
Toyota Astra Motor dengan kepemilikan saham sebesar 95%. Akibat dari perubahan
kepemilikan tersebut, nama perusahaan berubah dari PT Toyota Astra Motor menjadi PT
Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN). PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia
menjalankan fungsi produksi Toyota Indonesia.

Sementara itu, untuk menjalankan fungsi distribusi di pasar domestik, Astra dan
Toyota Motor Corporation Jepang kemudian mendirikan perusahaan agen tunggal
pemegang merek (ATPM). Perusahaan ini agen tunggal pemegang merek ini menggunakan
nama lama, yaitu PT Toyota Astra Motor (TAM). Pada perusahaan ini, Astra menjadi
pemegang saham mayoritas dengan menguasai 51% saham, sementara sisanya sebesar
46% menjadi milik Toyota Motor Corporation Jepang.

Kasus PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia mulai tercium karena Wajib Pajak
melakukan permohonan pengembalian pajak (restitusi) untuk Tahun Pajak 2005, 2007, dan
2008. Atas permohonan restitusi tersebut, DJP melakukan pemeriksaan pajak terhadap PT
Toyota Motor Manufacturing Indonesia. Dari pemeriksaan pajak terhadap SPT Toyota pada
Tahun Pajak 2005, petugas pajak menemukan sejumlah kejanggalan. Pada 2004 misalnya,
laba bruto Toyota turun lebih dari 30%, dari Rp 1,5 triliun (2003) menjadi Rp 950 miliar.
Selain itu, rasio gross margin (perbandingan antara laba kotor dengan tingkat penjualan)
juga mengalami penurunan, dari sebelumnya 14,59% pada tahun 2003 menjadi hanya
6,58% pada tahun 2004.

Sebelum restrukturisasi, gross margin PT Toyota Astra Motor mengalami


peningkatan 11% hingga 14% per tahun. Namun setelah dilakukan restrukturisasi, gross
margin PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia hanya sekitar 1,8% hingga 3% per tahun.
Sementara di PT Toyota Astra Motor (perusahaan agen tunggal pemegang merek yang
didirikan setelah restrukturisasi), gross margin mencapai 3,8% hingga 5%. Jika gross margin
PT Toyota Astra Motor digabung dengan PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia,
persentasenya masih sebesar 7%. Hal ini berarti margin laba sebelum pajak setelah
restrukturisasi lebih rendah 7% dibandingkan dengan margin laba kotor sebelum
restrukturisasi yang mencapai 14%.

Berdasarkan hasil pemeriksaan pajak SPT Toyota, petugas pajak menyimpulkan


penyebab turunnya gross margin adalah adanya transfer pricing dengan harga di luar prinsip
kewajaran dan kelaziman usaha serta pembayaran royalti yang dinilai tak wajar. Pada
pembahasan kali ini penulis hanya akan membahas mengenai transfer pricing PT Toyota
Motor Manufacturing Indonesia.

Untuk penjualan ekspornya, Toyota memiliki kebijakan bahwa PT Toyota Motor


Manufacturing Indonesia harus melakukan penjualan kepada Toyota Motor Asia Pacific Pte.,
Ltd, unit bisnis Toyota yang berkedudukan di Singapura. Toyota Motor Asia Pacific Pte., Ltd
inilah yang nantinya akan menyalurkan penjualan PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia
ke negara-negara lainnya seperti Filipinan dan Thailand. Skema jual-beli melalui negara
9
perantara semacam itu sebenarnya lazim saja dalam perdagangan internasional, apalagi
penjual dan pembelinya adalah bagian dari kelompok perusahaan multinasional yang sama.
Namun, hal ini akan menjadi permasalahan di bidang perpajakan jika transfer price yang
digunakan tidak berdasarkan pada prinsip kewajaran dan kelaziman usaha serta digunakan
untuk melakukan penghindaran pajak.

PT Toyota Toyota Motor


Motor Asia Pacific negara tujuan
Manufacturing Pte., Ltd ekspor
Indonesia (Singapura)

Gambar 4
Skema Penjualan Ekspor PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia

Kebijakan Toyota dengan memilih Singapura sebagai negara perantara penjualan


ekspornya menarik untuk diperhatikan. Singapura adalah negara yang mempunyai tarif
Pajak Penghasilan korporasi yang paling rendah di Asia Tenggara, yaitu sebesar 15%
sampai dengan 17%. Tarif Pajak Penghasilan korporasi Singapura jauh berada di bawah
Indonesia, di mana untuk tahun pajak sebelum 2009 (tahun pajak untuk kasus transfer
pricing PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia), tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak
badan Indonesia adalah progresif sebesar 10%, 15%, dan 30%. Hal ini tentunya
memberikan insentif kepada perusahaan-perusahaan multinasional, seperti Toyota, untuk
memindahkan pendapatannya dari Indonesia ke Singapura guna meringankan beban
pajaknya secara keseluruhan.

Petugas pajak menganggap PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia melakukan


transfer pricing di luar prinsip kewajaran dan kelaziman usaha yang ditujukan untuk
mengecilkan pembayaran pajaknya di Indonesia. Temuan DJP dari pemeriksaan pajak SPT
PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia Tahun Pajak 2007 menunjukkan bahwa
sepanjang tahun 2007, PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia tercatat mengekspor
17.181 unit Fortuner ke Singapura. Dari pemeriksaan atas laporan keuangan Toyota,
petugas pajak menemukan bahwa harga pokok penjualan atau cost of goods sold (COGS)
Fortuner itu adalah Rp 161 juta per unit. Anehnya, dokumen internal Toyota menunjukkan
bahwa semua Fortuner itu dijual 3,49% lebih murah dibandingkan nilai tersebut. Dengan
demikian, Toyota Indonesia menanggung kerugian dari penjualan mobil-mobil itu ke
Singapura.

Petugas pajak juga mendapatkan temuan pemeriksaan yang sama pada penjualan
mobil Innova diesel dan Innova bensin. PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia menjual
Innova diesel dan Innova bensin kepada Toyota Motor Asia Pacific Pte., Ltd masing-masing
dengan harga 1,73% dan 5,14% lebih murah dari biaya produksinya per unit. Sementara itu,
pada ekspor Rush dan Terios, PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia hanya
memperoleh keuntungan yang tipis, yaitu hanya 1,15% dan 2,69% dari biaya produksinya
per unit.

Temuan petugas pajak atas penjualan ekspor PT Toyota Motor Manufacturing


Indonesia menjadi semakin menarik apabila disandingkan dengan penjualan domestiknya.
Toyota Indonesia menjual produk-produk serupa kepada pembeli lokal di Indonesia dengan
harga yang berbeda. Ketika dijual di dalam negeri, mobil-mobil tersebut dijual dengan gross
margin sebesar 3,43% sampai dengan 7,67%.

Akan tetapi, temuan pemeriksaan pajak tersebut belum cukup untuk menyimpulkan
bahwa PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia melakukan penghindaran pajak melalui
transfer pricing. Kebijakan diskriminasi harga antara penjualan ekspor dan domestik adalah
hal yang wajar apabila penentuan harganya berdasarkan pada prinsip kewajaran dan
kelaziman usaha. Selain itu, mungkin saja proses produksi yang dilakukan PT Toyota Motor
10
Manufacturing Indonesia atas produk-produk yang menjadi temuan petugas pajak tersebut
tidak efisien sehingga PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia terpaksa melakukan
penjualan ekspor dengan harga jual di bawah biaya produksinya. Untuk membuktikan
terjadinya penghindaran pajak melalui transfer pricing, petugas pajak harus memeriksa nilai
kewajaran dari semua transaksi dari PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia ke Toyota
Motor Asia Pacific Pte., Ltd di Singapura.

Adapun cara yang digunakan oleh DJP untuk menilai kewajaran transfer price dari
transaksi PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia ke Toyota Motor Asia Pacific Pte., Ltd di
Singapura adalah dengan cara membandingkan harga itu dengan traksaksi perusahaan
sejenis di luar negeri. Metode ini disebut dengan Metode Perbandingan Harga antara Pihak
yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa (Comparable Uncontrolled Price/CUP). Cara ini
merujuk pada Transfer Pricing Guideline yang disusun Organization for Economic
Cooperation and Development (OECD). Petugas pajak kemudian menggunakan lima
perusahaan otomotif yang dianggap memiliki karakteristik serupa sebagai pembanding
untuk Toyota. Kelima perusahaan itu adalah Hindustan Motors (India), Yulon Motor
(Taiwan), Force Motor Limited (India), Shenyang Jinbei, dan Dongan Heibao (Cina). Dari
penelaahan atas transaksi afiliasi kelima perusahaan tersebut, pemeriksa pajak menetapkan
bahwa kisaran gross margin yang dapat dinilai wajar (arms length range) untuk perusahaan
otomotif yang melakukan ekspor adalah 3,22% sampai dengan 13,58%. Karena kisaran
gross margin dari transaksi PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia ke Toyota Motor Asia
Pacific Pte., Ltd di Singapura berada di bawah kisaran tersebut, DJP menyimpulkan bawah
PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia melakukan transfer pricing guna penghindaran
pajak.

4.2. Kendala yang Dihadapi oleh DJP dalam Kasus Transfer Pricing PT Toyota Motor
Manufacturing Indonesia
Untuk membuktikan bahwa PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia melakukan
transfer pricing guna penghindaran pajak, DJP menggunakan Metode Perbandingan Harga
antara Pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa (Comparable Uncontrolled
Price/CUP). Adapun kendala dalam penggunaan metode ini adalah mencari data
pembanding yang sesuai. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan petugas pajak
lainnya, ketersediaan data pembanding ini adalah persoalan utama dalam kasus transfer
pricing yang dihadapi oleh DJP. Dalam kasus transfer pricing PT Toyota Motor
Manufacturing Indonesia, petugas pajak menggunakan Hindustan Motors (India), Yulon
Motor (Taiwan), Force Motor Limited (India), Shenyang Jinbei, dan Dongan Heibao (Cina).
DJP menganggap bahwa kelima perusahaan tersebut memiliki karakteristik serupa dengan
Toyota sehingga layak dijadikan pembanding.

Akan tetapi, simpulan DJP bahwa PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia


melakukan transfer pricing guna penghindaran pajak dibantah oleh pihak PT Toyota Motor
Manufacturing Indonesia. Dalam sidang di Pengadilan Pajak, pihak PT Toyota Motor
Manufacturing Indonesia berpendapat bahwa perusahaan-perusahaan yang digunakan
sebagai perbandingan oleh petugas pajak, yaitu Hindustan Motors (India), Yulon Motor
(Taiwan), dan Force Motor Limited (India), berstatus merugi. Sementara itu, PT Toyota
Motor Manufacturing Indonesia pada tahun 2008 masih untung. Dengan demikian, pihak PT
Toyota Motor Manufacturing Indonesia berpendapat bahwa perusahaan-perusahaan
tersebut tidak layak dijadikan sebagai pembanding dalam kasus tersebut.

Penentuan besarnya transfer price yang wajar memang sangat susah untuk
dilaksanakan. Permasalahan yang dihadapi oleh DJP terutama adalah ketersediaan data
pembanding untuk menentukan besarnya transfer price yang wajar. Terhadap beberapa
komoditas, seperti minyak mentah dan crude palm oil (CPO), memang lebih mudah
menentukan besarnya transfer price yang wajar karena datanya tersedia dan mudah
diakses. Namun, sebagian besar produk perusahaan-perusahaan multinasional susah dicari
pembandingnya karena setiap produk mempunyai spesifikasi, fungsi, dan brand yang

11
berbeda. Permasalahan penentuan besarnya transfer price yang wajar tidak hanya dialami
oleh DJP, tetapi juga oleh otoritas-otoritas pajak negara lainnya di dunia.

Untuk mengatasi permasalahan penentuan besarnya transfer price yang wajar,


otoritas pajak di dunia, terutama negara anggota OECD, banyak yang menggunakan
Advance Pricing Agreement (APA) dan Mutual Agreement Procedure (MAP). Advance
Pricing Agreement dan Mutual Agreement Procedure terbukti cukup sukses untuk
menangani kasus transfer pricing. Oleh karena itu, terbitnya Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 7/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Pembentukan dan Pelaksanaan Kesepakatan
Harga Transfer (Advance Pricing Agreement) patut diapresiasi.

4.3. Advance Pricing Agreement (APA) dan Mutual Agreement Procedure (MAP)
Menurut OECD, APA adalah an administrative approach that attempts to prevent
transfer pricing disputes from arising by determining criteria for applying the arm's length
principle to transactions in advance of those transactions taking place. APA menurut
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 7/PMK.03/2015 adalah adalah perjanjian tertulis antara
Direktur Jenderal Pajak dan Wajib Pajak, atau Direktur Jenderal Pajak dengan Otoritas
Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra P3B yang melibatkan Wajib Pajak, untuk
menyepakati kriteria-kriteria dan/atau menentukan harga wajar atau laba wajar di muka.
Sementara itu, MAP adalah prosedur administratif yang diatur dalam P3B untuk
menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam penerapan P3B. Jadi, pembentukan APA
dilakukan melalui MAP dalam hal APA dimaksud melibatkan Otoritas Pajak Negara Mitra
atau Yurisdiksi Mitra P3B.

Gambar 5
Negara-Negara yang Menggunakan APA sampai dengan Tahun 2011
Sumber: http://www.ey.com/Media/vwLUExtFile/guide_to_advance_pricing_agreements/
$FILE/map_large.jpg
12
APA sudah banyak digunakan oleh otoritas pajak di dunia. Daftar negara yang telah
menggunakan APA sampai dengan tahun 2011 dapat dilihat pada Gambar 5 di atas. Secara
formal, Indonesia telah menggunakan APA sejak 2010, dengan diterbitkannya Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2010. Akan tetapi, Peraturan Direktur Jenderal
Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 belum mengatur secara jelas prosedur pembentukan dan
pelaksanaan APA. Tata cara pembentukan dan pelaksanaan APA baru diatur dalam
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 7/PMK.03/2015.

APA memiliki keuntungan bagi kedua belah pihak, baik bagi Wajib Pajak maupun
DJP selaku otoritas pajak. Dengan membuat kontrak harga transfer (APA) dengan otoritas
pajak, Wajib Pajak akan memperoleh dua keuntungan utama, yaitu kepastian dalam transfer
pricing dan penghematan biaya dan waktu. APA akan membuat Wajib Pajak lebih nyaman
dalam menjalankan kegiatan usahanya karena sudah ada batasan yang telah disepakati
dengan otoritas pajak mengenai besarnya transfer price yang dianggap wajar. Hal ini akan
mengurangi potensi terjadinya sengketa pajak. Pemeriksaan pajak dan upaya hukum untuk
menyelesaikan sengketa pajak terkait transfer pricing seringkali memakan biaya yang besar
dan waktu yang lama. Karena potensi terjadinya sengketa pajak dapat dikurangi dengan
adanya APA, maka Wajib Pajak dapat menghemat biaya dan waktu.

Dengan melakukan APA dengan Wajib Pajak, DJP akan mempunyai dasar yang
lebih kuat dalam penentuan transfer price yang wajar. Jika Wajib Pajak melakukan transfer
pricing dengan harga di bawah APA, maka DJP sudah dapat menyimpulkan bahwa Wajib
Pajak melakukan transfer pricing untuk penghindaran pajak. Di sisi lain, APA juga dapat
meningkatkan basis data perpajakan DJP karena APA paling sedikit memuat tentang para
pihak yang memiliki hubungan istimewa, transaksi yang termasuk dalam ruang lingkup APA,
metode transfer pricing, pembanding (comparables), jangka waktu berlakunya APA, asumsi
kritikal (critical assumptions), dan penyesuaian transfer pricing (transfer pricing adjustment).
Sementara itu, dengan melakukan APA yang melibatkan otoritas pajak negara mitra atau
yurisdiksi mitra P3B, DJP dapat menghindari terjadinya pengenaan pajak berganda
terhadap Wajib Pajak.

Meskipun memberikan keuntungan, DJP tetap harus berhati-hati dalam membuat


APA. Jangan sampai APA yang dibuat DJP dengan Wajib Pajak berpotensi menurunkan
penerimaan negara. Ketentuan dalam APA harus dibuat dengan sejelas mungkin agar tidak
terjadi perbedaan penafsiran antara DJP dan Wajib Pajak. Analisis yang mendalam dan
hati-hati perlu dilakukan DJP sebelum menandatangani APA dengan Wajib Pajak, terutama
terkait transaksi yang termasuk dalam ruang lingkup APA, metode transfer pricing,
pembanding (comparables), jangka waktu berlakunya APA, asumsi kritikal (critical
assumptions), dan penyesuaian transfer pricing (transfer pricing adjustment).

13
BAB V
PENUTUP

5.1. Simpulan
Adapun hal-hal yang dapat disimpulkan dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Transfer pricing adalah kebijakan penentuan harga untuk penjualan barang/jasa yang
terjadi dalam internal satu perusahaan atau satu kelompok perusahaan.
2. Transfer pricing memiliki dua tujuan utama, yaitu pengukuran kinerja dan penentuan
beban pajak yang optimal. Namun, belakangan ini transfer pricing lebih banyak
digunakan untuk tujuan perencanaan pajak daripada untuk pengukuran kinerja divisi.
3. DJP menganggap bahwa PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia melakukan transfer
pricing guna penghindaran pajak. Adapun modus yang dilakukan oleh PT Toyota Motor
Manufacturing Indonesia adalah melakukan penjualan dengan transfer price di luar
prinsip kewajaran dan kelaziman usaha kepada perusahaan afiliasinya yang berada di
Singapura.
4. Untuk membuktikan bahwa PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia melakukan
transfer pricing guna penghindaran pajak, DJP menggunakan Metode Perbandingan
Harga antara Pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa (Comparable
Uncontrolled Price/CUP). Adapun kendala dalam penggunaan metode ini adalah
mencari data pembanding yang sesuai.
5. Metode yang digunakan DJP untuk penentuan transfer price yang wajar disanggah oleh
pihak PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia karena perusahaan yang menjadi
perbandingan petugas pajak, yaitu Hindustan Motors (India), Yulon Motor (Taiwan), dan
Force Motor Limited (India), berstatus merugi. Sementara itu, PT Toyota Motor
Manufacturing Indonesia pada 2008 masih untung sehingga tidak bisa dibandingkan
dengan perusahaan-perusahaan tersebut.
6. Terbitnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 7/PMK.03/2015 tentang Tata Cara
Pembentukan dan Pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing
Agreement/APA) patut diapresiasi.
7. Dengan melakukan APA dengan Wajib Pajak, DJP akan mempunyai dasar yang lebih
kuat dalam penentuan transfer price yang wajar. Selain itu, APA juga dapat
meningkatkan basis data perpajakan DJP.

5.2. Saran
Adapun alternatif saran yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalah terkait
kasus transfer pricing yang mirip dengan kasus PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia
antara lain:
1. DJP agar mensosialisasikan APA sehingga menarik Wajib Pajak untuk melaksanakan
program APA.
2. DJP perlu melakukan analisis yang mendalam dan hati-hati sebelum menandatangani
APA dengan Wajib Pajak.
3. Ketentuan dalam APA harus dibuat dengan sejelas mungkin agar tidak terjadi
perbedaan penafsiran antara DJP dan Wajib Pajak.

14
DAFTAR PUSTAKA

Atkinson, Anthony A, Robert S. Kaplan, Ella Mae Matsumura, dan S. Mark Young. 2012.
Management Accounting, Information for Decision-Making and Strategy Execution.
Edisi ke-6. Upper Saddle River: Pearson Education, Inc.

Bhimani, Alnoor, Charles T. Horngren, Srikant M. Datar, dan George Foster. 2008.
Management and Cost Accounting. Edisi ke-4. Essex: Pearson Education Limited.

Garrison, Ray H., Eric W. Noreen, dan Peter C. Brewer. 2010. Managerial Accounting. Edisi
ke-8. New York: McGraw-Hil/Irwin.

Ernst & Young. 2011. 2010 Global Transfer Pricing Survey, Adressing The Challenges of
Globalization. http://www.ey.com/Publication/vwLUAssets/Global_transfer_pricing_
survey_-_2010/$FILE/2010-Globaltransferpricingsurvey_17Jan.pdf (diakses tanggal 6
Agustus 2016).

Ernst & Young. Guide to Advance Pricing Agreements (APAs), Managing Global Transfer
Pricing Issues with APAs. http://www.ey.com/GL/en/Services/Tax/International-
Tax/Guide-to-advance-pricing-agreements--APA----Managing-Global-Transfer-Pricing-
Issues-with-APA (diakses tanggal 7 Agustus 2016).

Guidelines for APA. OECD.org. http://www.oecd.org/tax/transfer-pricing/


guidelinesforapa.htm (diakses tanggal 7 Agustus 2016).

Hansen, Don R. dan Maryanne M. Mowen. 2007. Managerial Accounting. Edisi ke-8. Mason:
Thomson South-Western.

Madura, Jeff. 2014. International Financial Management. Edisi ke-12. Stamford: Cengage
Learning.

Mangoting, Yenni. 2000. Aspek Perpajakan dalam Praktek Transfer Pricing. Jurnal
Akuntansi & Keuangan Vol. 2, No. 1, Mei 2000: 69 82. Universitas Kristen Petra.
http://puslit2.petra.ac.id/gudangpaper/files/1747.pdf (diakses tanggal 6 Agustus 2016).

Nurhayat, Wiji. 2014. Tarif Pajak di Singapura Terendah se-ASEAN, Apa Bahayanya bagi
RI?. detikFinance. http://finance.detik.com/read/2014/01/11/180857/2464970/4/tarif-
pajak-di-singapura-terendah-se-asean-apa-bahayanya-bagi-ri (diakses tanggal 20 Juli
2016).

Prahara Pajak Raja Otomotif. Tempo.co. https://investigasi.tempo.co/toyota/ (diakses


tanggal 20 Juli 2016).

Sengketa Pajak Toyota Motor Menanti Palu Hakim. 2013. Kontan.co.id


http://nasional.kontan.co.id/news/sengketa-pajak-toyota-motor-menanti-palu-hakim
(diakses tanggal 20 Juli 2016).

Setiawan, Hadi. 2014. Transfer Pricing dan Risikonya terhadap Penerimaan Negara.
http://www.kemenkeu.go.id/sites/default/files/2014_kajian_pprf_Transfer%20Pricing%2
0dan%20Risikonya%20Terhadap%20Penerimaan%20Negara.pdf (diakses tanggal 7
Agustus 2016).

Suryana, Anandita Budi. 2012. Menangkal Kecurangan Transfer Pricing.


http://www.pajak.go.id/content/article/menangkal-kecurangan-transfer-pricing (diakses
tanggal 6 Agustus 2016).

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.

15
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 7/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Pembentukan dan
Pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement).

Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 sebagaimana telah diubah


dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2011 tentang
Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam Transaksi antara
Wajib Pajak dengan Pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa.

16

Anda mungkin juga menyukai