Anda di halaman 1dari 12

KUALITAS HIDUP ORANG TUA YANG MEMILIKI ANAK PENDERITA

EPILEPSI DI DOMPET DUAFA PURWOKERTO

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

Mata Kuliah Semiar Proposal

Oleh :

NILAM INTAN PRAMESTI

1407010045

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO

2017
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Epilepsi adalah gangguan saraf yang ditandai dengan kejang mendadak dan

tanpa alasan yang jelas, juga muncul berulang kali. Disebabkan oleh terganggunya

aktivitas listrik pada otak. Beberapa tandanya adalah kejang atau konvulsi dan

hilangnya kesadaran. (ini sepertinya saduran, lampirkan sumbernya)

Otak adalah pusat komando tubuh, yang terdiri dari jutaan saraf. Semuanya

mengirimkan pesan ke bagian tubuh tertentu, dan memberikan instruksi bagaimana

harus bekerja atau bereaksi terhadap kondisi tertentu. Sederhananya, tanpa adanya

otak, manusia tidak dapat makan, berjalan, bernapas, dan hal-hal lainnya.

Untuk melakukan komunikasi ini, otak mengirimkan sinyal listrik melalui

saraf yang tergabung di tulang belakang. Epilepsi terjadi saat sinyal yang tengah

dikirimkan mengalami gangguan atau ada informasi elektrik dalam jumlah besar yang

terkirim.

Menurut Epilepsy Foundation, epilepsi merupakan gangguan saraf keempat

yang paling sering diderita di Amerika Serikat. Paling tidak dari 26 orang, salah

satunya menderita epilepsi. Namun, penyakit ini lebih sering menyerang orang

dewasa dan anak-anak. Kadang, epilepsi sering tertukar dengan penyakit kejang

lainnya, yang disebut kejang non-epilepsi. Paling tidak 20% penderita yang dianggap

menderita epilepsi, ternyata mengidap kejang non-epilepsi.


Menurut WHO (ini WHO mana? Tahun berapa?) Epilepsi merupakan

gangguan neurologis kronis yang dapat terjadi di segala usia. Epilepsi dikenal sebagai

salah satu kondisi tertua di dunia, sekitar 50 juta orang di dunia mengidap epilepsi.

Penyakit ini telah lama dikenal dalam masyarakat terbukti dengan adanya istilah-

istilah bahasa daerah untuk penyakit ini seperti sawan, ayan, sekalor, dan celengan,

tapi pengertian tentang penyakit ini masih kurang bahkan salah, penderita epilepsi

sering digolongkan dalam penyakit gila, kutukan, dan turunan sehingga penderita

tidak diobati bahkan disembunyikan. Akibatnya banyak penderita epilepsi yang tidak

terdiagnosis dan mendapat pengobatan yang tidak tepat sehingga menimbulkan

dampak klinik dan psikososial yang merugikan bagi penderita maupun keluarganya.

Sebagian besar kasus epilepsi dijumpai pada usia anak-anak, dan merupakan salah

satu penyakit neurologis yang utama pada kelompok usia tersebut.

Epilepsi merupakan penyakit yang kompleks, karena tidak hanya cedera medis

yang dirasakan penderita, tetapi juga adanya stigma dan dampak psikososial dialami

oleh penderita epilepsi, seperti yang dinyatakan oleh Ketua Perhimpunan

Penanggulangan Epilepsi di Indonesia Jakarta (dalam, Robiawan,2013) bahwa

sebagian besar masyarakat masih melihat epilepsi sebagai penyakit kutukan, itu

sebabnya, banyak penderita epilepsi yang lebih bungkam mengungkapkan statusnya

karena takut dianggap aib dalam masyarakat. Kurangnya pengetahuan yang dimiliki

masyarakat, sedikit banyak memberikan dampak kepada pederita epilepsi, dimana

penderita menjadi mengucilkan diri dan dikucilkan saat serangan epilepsi datang.

` Keadaan yang dialami penderita epilepsi akan mempengaruhi anggota

keluarga yang lain, sehingga keluarga akan menampilkan sikap overprotective atau

sikap rejected dari kehidupan keluarga terhadap anak yang menyandang epilepsi.

Sikap overprotective terjadi karena keluarga tidak ingin penderita epilepsi terluka
secara fisik dan mental. Sikap rejected pada anak epilepsi ditampilkan karena mereka

merasa malu dan akhirnya keluarga mengucilkan anak epilepsi, menjauhkan dari

sosialisasi dengan masyarakat, mengurung anak bermain bersama teman-temannya

(Markum, 1991). Ini si bang markum, gak ada di dapus, dan juga udah tua sekali ini

Menurut Markum (1991) menyatakan bahwa akibat dari penolakan orangtua

terhadap anak penyandang epilepsi, anak akan merasa terasing, tidak diasayangi dan

serba salah dalam bertindak sehingga anak akan rendah diri, sukar bergaul dan tidak

percaya diri. Akibat dari orangtua yang terlalu khawatir dan terlalu melindungi, akan

menjadikan anak cenderung menjadi penakut, tidak percaya diri, sering ragu, tidak

bisa mandiri dan kadang-kadang berontak, selain itu akan memberikan dampak yang

kurang baik bagi perkembangan anak. Orangtua yang bijaksana tidak akan

memberikan perlakuan yang berbeda antara anak yang normal dengan anak yang

menyandang epilepsi, memberikan tanggungjawab yang sama pada semua anak,

membebaskan anak untuk berkreativitas. Semua itu adalah agar anak epilepsi dapat

hidup selayaknya anak yang normal, karena pada dasarnya anak penyandang epilepsi

adalah anak yang normal diluar terjadinya serangan.

Kurangnya pengertian mengenai epilepsi baik dari keluarga penderita sendiri

maupun masyarakat umum, menyebabkan sebagian besar penderita tidak dapat hidup

secara normal dan bahagia. Epilepsi dianggap sebagai penyakit yang tidak bisa

disembuhkan dan sering dikaitkan dengan penyakit jiwa, sehingga penderita

dikucilkan, tidak dapat bersekolah dan dilarang bermain diluar rumah. Sikap

masyarakat yang menganggap penderita epilepsi sebagai orang yang tidak normal dan

keluarga penderita yang melalaikannya/sebaliknya melindungi secara berlebihan akan

mempengaruhi perkembangan watak para penderita kearah yang tidak wajar dengan

segala akibatnya.
Kualitas hidup adalah tingkat dimana individu dapat memaksimalkan

keberfungsian fisik, psikis, vokasi, dan kehidupan sosialnya (Taylor, 2015). Kualitas

mengacu pada arti tingkat, standar, dan level keunggulan sesuatu. Dengan adanya

hidup sejajar dengan kualitas menunjukkan arti yang lebih luas yaitu keberfungsian

aktivitas seseorang, meliputi perilaku, perkembangan, kebahagiaan, keberuntungan

atau kemalangan, dan secara keseluruhan adalah cara seseorang untuk hidup (Anna

Edelvik, dkk 2017).

Kumar (2008) menyatakan bahwa ibu dengan tingkat pendidikan yang tinggi

mempunyai stres psikologis yang rendah dan kemampuan stategi koping yang tinggi.

Ibu dengan pendidikan tinggi juga cenderung mencari bantuan profesional untuk

kopingnya, memberikan perawatan yang tepat dan teratur terkait berbagai masalah

anak , mengikuiti seminar dan pelatihan terkait masalah anak, serta terpapar fasilitas

yang diperlukan untuk mempertahahankankondisi anak (Moawad, 2012). Hal ii dapat

membantu mempertahankan kualitas hidup anak maupun orang tua.

Hasil penelitian sebelumnya oleh (Muin, 2015) adalah hasil tabulasi silang

penghasilan orang tua dengan kualitas hidup menunjukan orang tua dengan

penghasilan 3-5 juta mempunyai nilai rata-rata kualitas hidup domain fisik,

psikologis, sosial dan lingkungan yang paling tinggi (21.9, 19.9, 10,4 dan 26.1), orang

tua yang berpenghasilan 1-2.9 juta mempunyai nilai rata-rata yang paling rendah pada

kualitas hidup domain fisik, psikologis, dan lingkungan (20.6, 18.35 dan 22.88),

sedangkan orang tua yang berpenghasilan < 1 juta mempunyai nilai rata-rata yang

paling rendah pada kualitas hidup domain sosial. (yang distabilo itu maksudnya apa?)

Kualitas hidup dinilai berdasarkan assessmen individual terhadap

keberfungsian individu, dilihat secara langsung dari observasi terhadap performansi

perilaku individu. Coons & Kaplan (dalam Taylor, 2015) membagi keberfungsian
individu menjadi keberfungsian fisik, keberfungsian psikologis dan keberfungsian

sosial. Segala keberfungsian tersebut membentuk sebuah konsep yaitu kualitas hidup.

Kualitas hidup adalah penilaian individu sejauh mana hidup berisi hal-hal

yang memuaskan dan berarti. Csikzentmihaly (dalam Salsabila, 2012) menemukan

bahwa kualitas hidup seseorang dipengaruhi oleh kebahagiaan yang dirasakan

individu ketika terlibat dalam aktivitas positif yang disukai dan menghabiskan waktu

luangnya dengan aktivitas tersebut. Penelitian ini menunjukkan bahwa dengan melihat

kualitas hidup maka terlihat juga bagaimana kebahagiaan pada individu.

Kebahagiaan sesungguhnya merupakan suatu hasil penilaian terhadap diri dan

hidup, yang membuat emosi positif, seperti kenyamanan dan kegembiraan yang

meluap-luap, maupun aktivitas positif yang tidak memenuhi komponen emosi apapun,

seperti absorbs dan keterlibatan (Seligman, 2005). Seligman juga menyatakan bahwa

kebahagiaan memiliki beberapa faktor. Faktor-faktor itu antara lain uang, status

pernikahan, kehidupan sosial, usia, kesehatan, emosi negatif, pendidikan, iklim, ras,

dan jenis kelamin, serta agama atau tingkat religiusitas seseorang (Seligman, 2005).

Kesehatan menjadi salah satu hal yang mempengaruhi kebahagiaan. Setiap

individu pada dasarnya menginginkan kesehatan dalam hidupnya, karena jika

kesehatan sudah terganggu, maka segala aktivitas yang dijalani seseorang pun akan

menjadi terganggu. Begitu juga dengan kesehatan fisik, kesehatan fisik dan kesehatan

mental keduanya saling berkaitan. Ketika sakitnya mempengaruhi kehidupan sehari

hari, menimbulkan rasa kekhawatiran, cemas bahkan rasa malu tidak dipungkiri juga

bahwa ada beberapa orang yang menjadi sulit dalam beradaptasi mengenai

kesehatannya (Seligman, 2005). Setiap individu juga mempunyai prioritas sendiri

dalam kehidupannya, tujuan hidup dan unsur- unsur/nilai-nilai kehidupan dan tentu

berbeda pada masing-masing individu. Melalui hal ini, dapat disimpulkan bahwa
setiap individu menginginkan kebahagaiaan dalam hidupnya sesuai dengan tujuan

hidup dan nilai-nilai yang dimiliki oleh individu

Definisi kualitas hidup yang sedikit berbeda dibuat berdasarkan WHO (dalam

Power, 2003) yakni kualitas hidup sebagai persepsi individu mengenai posisi mereka

dalam kehidupan dilihat dari konteks budaya dan sistem nilai dimana mereka tinggal

serta hubungannya dengan tujuan, harapan, standard, dan hal-hal lain yang menjadi

perhatian individu. Definisi kualitas hidup berdasarkan WHO ini menekankan adanya

persepsi dari individu mengenai posisi kehidupan mereka saat ini dan persepsi

individu ini dapat dipengaruhi oleh budaya dan sistem nilai dimana individu tinggal.

Bila dikaitkan dengan definisi yang dikemukakan oleh OConnor (1993), dalam

mempersepsi posisi kehidupannya saat ini, individu melihat seberapa jauh perbedaan

antara kondisi kehidupannya saat ini dengan kondisi kehidupan yang diinginkan oleh

individu. Jadi, individu menilai kondisi kehidupannya saat ini dengan melihat jarak

antara posisi kehidupannya saat ini dengan kehidupan yang ia inginkan.

Dikaitkan kembali pada definisi kualitas hidup yang dikemukakan oleh

Moons, Marquet, Budst, dan de Geest (2004), kondisi kehidupan yang dipersepsi oleh

individu dalam kaitannya dengan kualitas hidup adalah kondisi kehidupan individu

dalam beberapa aspek yang penting bagi individu itu sendiri. Berdasarkan beberapa

definsi ini, peneliti menyimpulkan bahwa kualitas hidup adalah penilaian subjektif

individu mengenai posisi kehidupannya saat ini pada beberapa aspek kehidupan yang

penting baginya.

Menurut Cohan & Lazarus (dalam Handini, 2011) kualitashidup adalah

tingkatan yang menggambarkan keunggulan seseorang individu yang dapat dinilai

dari kehidupan mereka.Keunggulan individu tersebut biasanya dilihat dari tujuan

hidupnya, kontrol pribadinya, hubungan interpersonal, perkembangan pribadi,


intelektual dan kondisi materi. Sedangkan Ghozali juga mengungangkap faktor-faktor

yang mempengaruhi kualitas hidup diantaranya adalah mengenali diri sendiri,

adaptasi, merasakan perhatian orang lain, perasaan kasih dan sayang, bersikap

optimis, mengembangkan sikap empati.

Berdasarkan paparan di atas, peneliti tertarik untuk melihat kualitas hidup

orang tua yang mempunyai anak epilepsi, hal unik yang ada pada partisipan I dan

partisipan II juga menambahkan ketertarikan untuk mengkaji lebih dalam bagaimana

orang tua yang mempunyai anak penderita epilepsi. Penelitian ini dilakukan

mengingat pentingnya mengetahui kualitas hidup orang tua yang memiliki anak

penderita epilepsi guna memberikan informasi dan sebagai model. Menggali

kebajikan-kebajikan positif yang ada dalam kualitas hidup orang tuanya lebih

memiliki kesehatan fisik, kesejahteraan psikologis, hubungan sosial, hubungan

dengan lingkungannya, dengan baik. Maka deskripsi di atas menjadi dasar peneliti

untuk melakukan penelitian yang berjudul Kualitas Hidup Orang Tua yang Memiliki

Anak Penderita Epilepsi

(ini sepertinya latar belakangnya terlalu panjang lam, tentang epilepsinya mgkn

sedikit definisi dan epidemiologinya aja, terutama dilokasi nilam ambil subjeknya,

gak usah terlalu melebar nian, jadi cukup definisi epidemiologi penyebabnya.

Trus mungkin bahas dari sisi psikologi orang tuanya, itu kan salah satu stressor juga

lam. Cukup maksimal 3 halaman ajalah itu latar belakang.)

Nb: epidemilogi maksudnya, ada berapa banyak kasusnya di pwt? Cari di web

dinkesnya aja lam, atau dari kemenkes, biasanya ada.


Trus di akhir paragraph, yang saduran, cantumkan lam, boleh diawal atau di akhir

paragraph, boleh juga kata2 sadurannya diolah dulu pake kata2 sendiri.

Trus, sumbernya, usahakan at least 5 tahun terakhir, mau jurnal atau textbook. Untuk

tentang epilepsy, cari aja di buku neurologi, cari lam! Yang psikologinya, mgkn baca

juga buku psikiatri, biar komplet. Ini kan sudah menyangkut klinis soalnya.

.
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telas diuraikan di atas, maka dapat diambil

rumusan masalah Bagaimana kualitas hidup orang tua yang memiliki anak penderita

epilepsi di Dompet Duafa Purwokerto?

C. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk megetahui Kualitas hidup orang tua yang

memiliki anak penderita epilepsi di Dompet Duafa Purwokerto

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Sebagai bahan pengembangan ilmu psikologi pada umumnya serta bidang

psikologi perkembangan pada khususnya yang membahas tentang Kualitas hidup

orang tua yang memiliki anak penderita epilepsi.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi peneliti, yaitu untuk memahami lebih dalam tentang aspek psikologis dan

kualitas hidup orang tua yang meliliki anak penderita epilepsi.

b. Bagi orang tua, yaitu untuk memberikan kualitas hidup dan pola asuh yang

baik pada anak epilepsi.


DAFTAR PUSTAKA

Anna, E., Kritina, M., & Olson I., dkk. (2015). Health-related quality of life and emotional
wellbeing improve in parents after their children have undergone epilepsy surgeryA
prospective population-based study. Epilepsi & Behavior Vol. 7 (196-202) ini kota
penerbitnya gak ada

Apriyani, D. (2010). Gambaran Pola Asuh Orang tua pada Anak Penyandang Epilepsi Usia
Balita Di Poli Klinik anak RSUP.Perjan Dr. Hasandikin Bandung. Jurnal Kesehatan
Kartika Stikes A. Yani, (30-37). ini volume jurnalnya gak ada
http://digilib.unimus.ac.id/download.php?id=12085. Diakses tanggan 10/10/2017 pukul 16:13
wib ini jangan masuk dapus deh, formatnya kan jelas lam, natajualkoper (nama,
tahun, judul, kota, penerbit) baru klo jurnal ada volume dan halaman. Jangan cantumin link
mentah gitu

http://stikesayani.ac.id/publikasi/e-journal/filesx/2009/200908/200908-004.pdf.
Diakses tanggal 19/10/2017 pukul 19:55 ini jangan masuk dapus deh, formatnya kan
jelas lam, natajualkoper (nama, tahun, judul, kota, penerbit) baru klo jurnal ada volume dan
halaman. Jangan cantumin link mentah gitu

https://www.docdoc.com/id/info/condition/epilepsy duh, apalagi ini -.-

Kumar, GV (2008) Psychological Stress and Coping Strategies of the Parents of Menatally
Challenged Children. University of Mysore, Mysore Journal of the Indian Academy
of Applied Psychology. 34 (2): 227-231.

Muin, M., & Dewi N. (2015). Kualitas Hidup Orang Tua dengan Anak Developmental
Disability. Jurnal Keperawatan Komunitass, Vol 3, (37-42)

Nofitri, NFM (2009). Gambaran kualitas hidup. Jurnal Fakultas Psikologi, vol. 3 (9-18) ini
mana penerbitnya, jurnal apakah ini???

O'Connor, colin: Quality Of Life 1993. New york: Cambridge University Press ini udah
tua sekali

Oliver.P.J., Huxley.S., Priebe.W. Kaiser. (2010). Measuring the quality of life of severely
mentally ill people using the Lancashire Quality of Life Profile. Soc Psychiatry
Psychiatr Epidemiol Vol. 32, (76-83)
Primardi, A., & Hadjam, M. N. R. (2011). Optimisme, harapan, dukungan sosial keluarga,
dan kualitas hidup orang dengan epilepsi. Jurnal Ilmiah Psikologi, 3(2).

Santrock, Jhon. 2011. Perkembangan Masa: Hidup Edisi ke-13 Jilid 1.


Jakarta: Erlangga
Stikesayani.ac.id/publikasi/e-journal/filesx/2009/.../200908-004.pdf jelek sumbernya

Taylor, S. E. (2015). Health Psychology (seven edition). New York:


McGraw Hill

Anda mungkin juga menyukai