Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

Rhinosinusitis merupakan inflamasi mukosa pada hidung dan sinus


paranasalis. Rhinosinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam
praktek dokter sehari-hari, bahkan dianggap sebagai salah satu penyebab gangguan
tersering di seluruh dunia. Rhinosinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa
sinus paranasal. Penyebab utamanya ialah common cold yang merupakan infeksi
virus, yang selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi bakteri.
Di Indonesia, prevalensi rinorhinosinusitis termasuk tinggi. Hal ini dapat
diketahui berdasarkan data DEPKES RI tahun 2003 yang menyebutkan bahwa
penyakit tersebut berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama.
Secara umum rhinosinusitis sering dikaitkan dengan gejala-gejala seperti
nyeri kepala, sumbatan hidung, drainase post-nasal, halitosis. Namun, demikian
penyakit sinus menimbulkan kumpulan gejala yang agak karakteristik yang hanya
bervariasi sesuai beratnya penyakit dan lokasinya sehingga perlu diketahui cara
diagnosis dan penatalaksanaannya yang tepat, oleh karena itu pada laporan kasus
ini membahas rhinosinusitis.
Mencermati segala kondisi yang dapat disebabkan oleh rhinosinusitis, karena
itu penulis merasa perlu untuk mengangkat topik rhinosinusitis dalam referat ini.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sinus Paranasal


Sinus paranasal adalah rongga berisi udara yang berbatasan langsung dengan
rongga hidung. Bagian lateralnya merupakan sinus maksila (antrum), dan sel-sel
dari sinus etmoid, sebelah kranialnya adalah sinus frontal, dan sebelah dorsal adalah
sinus sphenoid. Sinus sphenoid terletak tepat di depan klivus dan atap nasofaring.
Sinus paranasal dilapisi dengan epitel berambut-getar. Lendir yang dibentuk di
dalam sinus dialirkan ke dalam meatus nasalis. Aliran dimulai dari sinus frontal,
sinus etmoid anterior, dan sinus maksila kemudian ke meatus-meatus. Aliran yang
menuju kedalam meatus inferior hanya masuk ductus nasolakrimalis. Sedangkan
klinis, bagian yang terpenting ialah bagian depan-tengah meatus medius yang
sempit yang disebut kompleks ostiomeatal. Daerah ini penting karena hampir
seluruh lubang saluran dari sinus paranasal terdapat disana.
Secara embriologi, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga
hidung, dan perkembangannya dimulai dari fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus
sfenoid dan sinus frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat lahir,
sedangkan sinus frontal berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang
berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus dimulai pada usia 8 – 10 tahun
dan berasal dari bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus ini mencapai
besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun.

2.2. Bagian-bagian Sinus Paranasal.


2.2.1 Sinus Maksila
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar dan memiliki
bentuk seperti pyramid. Saat lahir sinus maksilaris bervolume 6-8 ml, sinus
kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal,
yaitu 15 ml saat dewasa.
Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila (fosa kanina),
dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila, dinding medialnya

2
ialah dinding lateral rongga rongga hidung, dinding superiornya ialah dasar orbita
dan dinding inferiornya ialah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinusm
maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus
semiunaris melalui infundibulum.
Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila
adalah 1). Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu
premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C), dan
gigi molar M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus,
sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis, 2). Sinusitis
maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita, 3). Ostium sinus maksila terletak
lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drenase hanya tergantung dari gerak silia,
dan juga drenase harus melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah
bagian dari sinus ethmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi
pada daerah ini dapat menghalangi drenase sinus maksila dan selanjutnya
menyebabkan sinusitis.

2.2.2 Sinus Frontal


Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke
empat fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum
etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan
akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun.
Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar dari
pada yang lainnya dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Ukuran sinus
frontal adalah 2,8 cm tingginya, lebarnya 2,4 cm, dan kedalamnya 2 cm. sinus
frontalis biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk. Sinus frontal
dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fossa serebri anterior
sehingga infeksi pada sinus frontal dapat mudah menjalar ke daerah ini.
Sinus frontal berdrenase melalui ostiumnya yang terletak di resesus
frontal yang berhubungan dengan infundibulum etmoid.

3
2.2.3 Sinus Ethmoid
Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti pyramid dengan dasarnya
di bagian posterior. Ukuran dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm, dan
lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior.
Sinus etmoid berongga-rongga terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang
tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di
antara konka media dan dinding medial orbita. Berdasarkan letaknya sinus etmoid
dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus
etmoid posterior bermuara di meatus superior.
Dibagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit yang
disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang
terbesar disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan
yang disebut infundibulum, terdapat muara ostium sinus maksila. Pembengkakan
atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan
pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila.
Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan
lamina kribosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan
membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid
posterior berbatasan dengan sinus sfenoid.

2.2.4 Sinus Sfenoid


Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior.
Sinus sfenoid dibagi dua oleh dua sekat yang disebut septum intersfenoid.
Ukurannya adalah 2 cm, tinggi dalamnya 2,3 cm, dan lebarnya 1,7 cm. Volumenya
bervariasi dari 5 sampai 7,5 ml. Saat sinus berkembang, pembuluh darah dan nervus
di bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus
dan tampak sebagai indentasi pada dinding sinus sfenoid.
Batas-batasnya ialah, sebelah superior terdapat fossa serebri media dan
kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan
dengan sinus kavernosus dan a. karotis interna (sering tampak sebagai indentasi)
dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons.

4
2.2.5 Kompleks Ostio-Meatal
Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus medius, ada
muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior.
Daerah ini rumit dan sempit dan dinamakan kompleks ostio-meatal (KOM) terdiri
dari infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus unsinatus resesus
frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium
sinus maksila.

2.2.6 Sistem Mukosiliar


Seperti pada mukosa hidung, di dalam sinus juga terdapat mukosa bersilia
dan palut lender diatasnya. Di dalam sinus silia bergerak secara teratur untuk
mengalirkan lendir menuju ostium alamiahnya mengikuti jalur-jalur yang sudah
tertentu polanya.
Pada dinding lateral hidung terdapat 2 aliran transport mukosiliar dari
sinus. Lendir yang berasal dari kelompok sinus anterior yang bergabung di
infundibulum etmoid dialirkan ke nasofaring di depan muara tuba Eustachius.
Lendir yang berasal dari kelompok sinus posterior bergabung di resesus
spenoidalis, dialirkan ke nasofaring di postero-superior muara tuba. Ini sebabnya
pada sinusitis didapati secret pasca-nasal (post nasal drip), tetapi belum tentu ada
secret di rongga hidung.

2.2.7 Fungsi Sinus Paranasal


Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara
lain: 1). Sebagai pengatur kondisi udara, 2). Sebagai penahan suhu, 3). Membantu
keseimbangan kepala, 4). Membantu resonasi suara, 5). Peredam perubahan
tekanan udara dan, 6). Membantu produksi mucus untuk membersihkan rongga
hidung.

2.3. Sinusitis

5
Rinorhinosinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan, dengan
dampak signifikan pada kualitas hidup dan pengeluaran biaya kesehatan, dan
dampak ekonomi pada mereka yang produktivitas kerjanya menurun. Diperkirakan
setiap tahun 6 miliar dolar dihabiskan di Amerika Serikat untuk pengobatan
rinorhinosinusitis. Pada tahun 2007 di Amerika Serikat, dilaporkan bahwa angka
kejadian rinorhinosinusitis mencapai 26 juta individu. Di Indonesia sendiri, data
dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus berada
pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817
penderita rawat jalan di rumah sakit. Rinorhinosinusitis lebih sering ditemukan
pada musim dingin atau cuaca yang sejuk ketimbang hangat.

2.4. Etiologi Rhinosinusitis


Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus,
bermacam rinitis terutama rinitis alergi, rinitis hormonal pada wanita hamil, polip
hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan
kompleks osti-meatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik,
diskenesia silia seperti pada sindrom Kartgener, dan di luar negeri adalah penyakit
fibrosis kistik. Faktor predisposisi yang paling lazim adalah poliposis nasal yang
timbul pada rinitis alergika; polip dapat memenuhi rongga hidung dan menyumbat
sinus.
Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan faktor penting penyebab
rhinosinusitis sehingga perlu dilakukan adenoidektomi untuk menghilangkan
sumbatan dan menyembuhkan rinorhinosinusitisnya. Hipertrofi adenoid dapat
didiagnosis dengan foto polos leher posisi lateral.
Faktor lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan berpolusi, udara dingin dan
kering serta kebiasaan merokok. Keadaaan ini lama-lama menyebabkan perubahan
mukosa dan merusak silia.
Penyebab rhinosinusitis dibagi menjadi:
1. Rhinogenik
Penyebab kelainan atau masalah di hidung. Segala sesuatu yang
menyebabkan sumbatan pada hidung dapat menyebabkan rhinosinusitis.

6
Contohnya rinitis akut, rinitis alergi, polip, diaviasi septum dan lain-lain.
Alergi juga merupakan predisposisi infeksi sinus karena terjadi edema
mukosa dan hipersekresi. Mukosa sinus yang membengkak menyebabkan
infeksi lebih lanjut, yang selanjutnya menghancurkan epitel permukaan, dan
siklus seterusnya berulang.
2. Dentogenik/odontogenik
Penyebab oleh karena adanya kelainan gigi. Sering menyebabkan
rhinosinusitis adalah infeksi pada gigi geraham atas (premolar dan molar).
Bakteri penyebab adalah Streptococcus pneumoniae, Hemophilus influenza,
Streptococcus viridans, Staphylococcus aureus, Branchamella catarhalis
dan lain-lain.
Penyebab yang yang cukup sering terjadinya rhinosinusitis adalah
disebabkan oleh adanya kerusakan pada gigi
 Rhinosinusitis Dentogen
Merupakan penyebab paling sering terjadinya rhinosinusitis kronik.
Dasar sinus maksila adala prosessus alveolaris tempat akar gigi, bahkan
kadang-kadang tulang tanpa pembatas. Infeksi gigi rahang atas seperti
infeksi gigi apikal akar gigi, atau inflamasi jaringan periondontal mudah
menyebar secara langsung ke sinus, atau melalui pembuluh darah dan limfe.
Harus dicurigai adanya rhinosinusitis dentogen pada rhinosinusitis maksila
kronik yang mengenai satu sisi dengan ingus yang purulen dan napas berbau
busuk. Untuk mengobati rhinosinusitisnya, gigi yang terinfeksi harus
dicabut dan dirawat, pemberian antibiotik yang mencakup bakteria anaerob.
Seringkali juga diperlukan irigasi sinus maksila.
 Rhinosinusitis Jamur
Rhinosinusitis jamur adalah infeksi jamur pada sinus paranasal,
suatu keadaan yang jarang ditemukan. Angka kejadian meningkat dengan
meningkatnya pemakaian antibiotik, kortikosteroid, obat-obat
imunosupresan dan radioterapi. Kondisi yang merupakan faktor
predisposisi terjadinya rhinosinusitis jamur antara lain diabetes mellitus,
neutopenia, penyakit AIDS dan perawatan yang lama di rumah sakit. Jenis

7
jamur yang sering menyebabkan infeksi sinus paranasal ialah spesis
Aspergillus dan Candida.

2.5. Klasifikasi Rhinosinusitis


Rhinosinusitis secara klinis dapat dibedakan menjadi tipe akut dan kronis.
2.5.1 Rhinosinusitis Akut
Disebut rhinosinusitis akut apabila memenuhi kriteria berikut:
 Gejala berlangsung kurang dari 12 minggu
 Episode akut berlangsung < 4 kali/tahun
 Reversibilitas mukosa: normal kembali setelah tatalaksana medik adekuat.
Gejala:
 Mayor: sekret purulent, post-nasal drip purulent, dan batuk
 Minor: sakit kepala, nyeri wajah, edema peri orbita, nyeri telinga, halitosis,
nyeri gigi, nyeri tenggorok, peningkatan wheezing dan demam.
Diagnosis: 2 gejala mayor atau 1 gejala minor dan ≥ 2 gejala minor.
2.5.2 Rhinosinusitis Kronis
Disebut rhinosinusitis kronis apabila memenuhi kriteria berikut:
 Gejala berlangsung lebih dari 12 minggu
 Episode akut berlangsung 4 kali/tahun
 Reversibilitas mukosa: abnormal menetap kembali setelah tatalaksana
medik adekuat.
Gejala:
 Mayor: nyeri wajah/rasa tertekan, obstruksi nasal/kongesti nasal, sekret
purulent, hiposmia/anosmia, dan batuk bukan karena asma.
 Minor: nyeri kepala, demam, halitosis, nyeri gigi, batuk, gejala otologik.
Diagnosis: > 2 gejala mayor, 1 gejala mayor dan 2 gejala minor (nyeri wajah
saja tanpa gejala mayor lain tidak dianggap gejala mayor). Jika hanya
ditemukan 1 gejala mayor atau ≥ 2 gejala minor maka dianggap sugestif.

2.6. Patogenesis

8
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan
kelancaran klirens dari mukosiliar didalam komplek osteo meatal (KOM).
Disamping itu mukus juga mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang
berfungsi sebagai pertahanan terhadap kuman yang masuk bersama udara
pernafasan.
Bila terinfeksi organ yang membentuk KOM mengalami oedem, sehingga
mukosa yang berhadapan akan saling bertemu. Hal ini menyebabkan silia tidak
dapat bergerak dan juga menyebabkan tersumbatnya ostium. Hal ini menimbulkan
tekanan negatif didalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi atau
penghambatan drainase sinus. Efek awal yang ditimbulkan adalah keluarnya cairan
serous yang dianggap sebagai rhinosinusitis non bakterial yang dapat sembuh tanpa
pengobatan. Bila tidak sembuh maka sekret yang tertumpuk dalam sinus ini akan
menjadi media yang poten untuk tumbuh dan multiplikasi bakteri, dan sekret akan
berubah menjadi purulen yang disebut rhinosinusitis akut bakterialis yang
membutuhkan terapi antibiotik. Jika terapi inadekuat maka keadaan ini bisa
berlanjut, akan terjadi hipoksia dan bakteri anaerob akan semakin berkembang.
Keadaan ini menyebabkan perubahan kronik dari mukosa yaitu hipertrofi, polipoid
atau pembentukan polip dan kista.

2.7. Manifestasi Klinis


Keluhan utama rinorhinosinusitis akut ialah hidung tersumbat disertai
dengan nyeri/rasa tekanan pada muka dan ingus purulen, yang seringkali turun ke
tenggorok (post nasal drip). Dapat disertai dengan gejala sistemik seperti demam
dan lesu.
Keluhan nyeri atau rasa tekanan di daerah sinus yang terkena merupakan
ciri khas rhinosinusitis akut, serta kadang-kadang nyeri juga terasa di tempat lain
(referred pain) . nyeri pipi menandakan rhinosinusitis maksila, nyeri di antara atau
di belakang kedua bola mata menandakan rhinosinusitis etmoida, nyeri di dahi atau
kepala menandakan rhinosinusitis frontal. Pada rhinosinusitis maksila kadang-
kadang terdapat nyeri alih ke gigi dan telinga.

9
Gejala lain adalah sakit kepala, hiposmia/anosmia, halitosis, post-nasal drip
yang dapat menyebabkan batuk dan sesak pada anak.
Keluhan rhinosinusitis kronik tidak khas sehingga sulit didiagnosis.
Kadang-kadang hanya 1 atau 2 dari gejala-gejala di bawah ini:
a. Sakit kepala kronik
b. Post-nasal drip
c. Batuk kronik
d. Ganguan tenggorok
e. Ganguan telinga akibat sumbatan di muara tuba Eustachius
f. Ganguan ke paru seperti bronkitis (sino-bronkitis), brokietakasis, serangan
asma yang meningkat dan sulit diobati.
Pada anak, mukopus yang tertelan dapat menyebakan gastroenteritis.

2.8. Diagnosis
Diagonsis rhinosinusitis ditegakkan berdasarkan oleh:
1. Anamnesis
 Gejala lokal: ingus purulent, hidung tersumbat, nyeri atau rasa tekan
pada waah, nyeri kepala, dan hiposmia/anosmia.
 Gejala sistemik: malaise, demam, dan lemas. Gejala lain karena iritasi
faring, laring, atau trakea, dapat ditemukan nyeri tenggorok dan batuk.
 Tanda-tanda alergi: allergic shiner (bayangan gelap di bawah mata
karena stasis vena sekunder), allergic salute (menggosok-gosok
hidung karena gatal), dan allergic crease (garis melintang di sepertiga
bawah dorsum nasi) dan facies adenoid.
 Durasi penyakit <12 minggu (akut), <10 hari (common cold),
memburuk setelah 5 hari atau persisten > 10 hari (rhinosinusitis non
viral), > 12 minggu (kronis)
 Nilai Visual Analogue Scale /VAS (berkisar dari 0-10) nilai VAS 0-3
menandakan keluhan ringan, VAS 4-7 menunjukkan keluhan sedang,
dan VAS 8-10 menunjukkan keluhan berat.

10
2. Pemeriksaan Fisik
 Apabila suhu >38 C, maka perlu dicurigai infeksi bakteri.
 Inspeksi dan palpasi luar hidung dan sinus: bengkak (dahi, kelopak
mata atas dan bawah), nyeri sinus.
- Sinus maksila: nyeri pipi
- Sinus etmoid: nyeri diantara atau di belakang bola mata
- Sinus frontal: nyeri di dahi atau seluruh kepala.
- Sinus sfenoid: nyeri di vertex, oksipital, belakang kepala, dan
mastoid.
 Rinoskipo anterior: konka edema, mukosa hiperemis, dan terdapat
pus purulent.
- Pus pada meatus medius: mengenai sinus maksila, etmoid
anterior, dan frontal.
- Pus pada meatus superior: mengenai etmoid posterior dan
sfenoid.
 Rinoskopi posterior: post nasal drip, infeksi gigi.
3. Pemeriksaan Penunjang
 Transuluminasi
 Laboratorium: CRP (C-Reactive Protein: meningkat pada infeksi
bakteri), LED tanda inflamasi
 Pencitraan radiologis:
- Foto polos posisi Waters: menilai air fluid level pada rhinosinusitis
akut.
- CT-scan: sering digunakan pada rhinosinusitis kronis, terutama
untuk menilai adanya kelaianan anatomi polip.

2.9. Diagnosis Banding


Banyak kondisi yang mempunyai keluhan nyeri wajah atau sakit kepala
yang harus dipertimbangkan. Sindrom sakit kepala bisa termasuk tension headache,
migrain, cluster headache atau arteritis temporal. Pada keluhan sakit mata harus
dipertimbangkan glaukoma, kesalahan refraksi dan strabismus. Neuralgia

11
tengkorak, nyeri leher kronis, penyakit gigi dan gangguan temporomandibular juga
harus dipertimbangkan. Sakit kepala mungkin disebabkan dari kontak septum
hidung dengan salah satu konka, disebut sakit kepala rhinologic (rhinologic
headache). Kontak tersebut bisa dikurangkan dengan pengobatan vasomotor atau
rinitis alergi, dapat memperbaiki sakit kepala pada beberapa pasien. Pasien yang
mempunyai sinus sejati mungkin memiliki rhinitis alergi atau oklusi sinus karena
neoplasma. Neoplasma yang sering adalah karsinoma epitel nasofaring yang
biasanya berasal dari sel skuamosa. Kejadian ini lebih banyak di negara
Mediterania dan Timur Jauh. Faktor genetik dan lingkungan juga mungkin
memainkan peranan. DNA virus Epstein-Barr telah dideteksi pada tumor dan
kondisi premaligna, dan beberapa kelompok antigen limfosit manusia (HLA) juga
telah diidentifikasi.

2.10. Penatalaksanaan
2.10.1 Rhinosinusitis Akut
a. Kuman penyebab rhinosinusitis akut yang tersering adalah Streptococcus
pneumoniae dan Haemophilus influenzae11. Diberikan terapi
medikamentosa berupa antibiotik empirik (2x24 jam). Antibiotik yang
diberikan lini I yakni golongan penisilin atau cotrimoxazol dan terapi
tambahan yakni obat dekongestan oral + topikal, mukolitik untuk
memperlancar drenase dan analgetik untuk menghilangkan rasa nyeri. Pada
pasien atopi, diberikan antihistamin atau kortikosteroid topikal. Jika ada
perbaikan maka pemberian antibiotik diteruskan sampai mencukupi 10-14
hari. Jika tidak ada perbaikan maka diberikan terapi antibiotik lini II selama
7 hari yakni amoksisilin klavulanat/ampisilin sulbaktam, cephalosporin
generasi II, makrolid dan terapi tambahan. Jika ada perbaikan antibiotic
diteruskan sampai mencukupi 10-14 hari.
b. Jika tidak ada perbaikan maka dilakukan rontgen-polos atau CT Scan dan
atau naso-endoskopi.Bila dari pemeriksaan tersebut ditemukan kelainan
maka dilakukan terapi rhinosinusitis kronik. Tidak ada kelainan maka

12
dilakukan evaluasi diagnosis yakni evaluasi komprehensif alergi dan kultur
dari fungsi sinus.
c. Terapi pembedahan pada rhinosinusitis akut jarang diperlukan, kecuali bila
telah terjadi komplikasi ke orbita atau intrakranial, atau bila ada nyeri yang
hebat karena ada sekret tertahan oleh sumbatan.

2.10.2 Rhinosinusitis Kronis


a. Jika ditemukan faktor predisposisinya, maka dilakukan tata laksana yang
sesuai dan diberi terapi tambahan. Jika ada perbaikan maka pemberian
antibiotik mencukupi 10-14 hari.
b. Jika faktor predisposisi tidak ditemukan maka terapi sesuai pada episode
akut lini II + terapi tambahan. Sambil menunggu ada atau tidaknya
perbaikan, diberikan antibiotik alternative 7 hari atau buat kultur. Jika ada
perbaikan teruskan antibiotik mencukupi 10-14 hari, jika tidak ada
perbaikan evaluasi kembali dengan pemeriksaan naso-endoskopi, sinuskopi
(jika irigasi 5 x tidak membaik). Jika ada obstruksi kompleks osteomeatal
maka dilakukan tindakan bedah yaitu BSEF atau bedah konvensional. Jika
tidak ada obstruksi maka evaluasi diagnosis.
c. Diatermi gelombang pendek di daerah sinus yang sakit.
d. Pada rhinosinusitis maksila dilakukan pungsi dan irigasi sinus, sedang
rhinosinusitis ethmoid, frontal atau sphenoid dilakukan tindakan pencucian
Proetz.
e. Pembedahan
Radikal
− Sinus maksila dengan operasi Cadhwell-luc.
− Sinus ethmoid dengan ethmoidektomi.
− Sinus frontal dan sphenoid dengan operasi Killian.
Non Radikal
− Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF). Prinsipnya dengan
membuka dan membersihkan daerah kompleks ostiomeatal.

13
2.11. Komplikasi
2.11.1 Komplikasi orbita
Rhinosinusitis ethmoidalis merupakan penyebab komplikasi pada orbita
yang tersering. Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi ethmoidalis
akut, namun sinus frontalis dan sinus maksilaris juga terletak di dekat orbita dan
dapat menimbulkan infeksi isi orbita.
Terdapat lima tahapan :
1. Peradangan atau reaksi edema yang ringan. Terjadi pada isi orbita akibat
infeksi sinus ethmoidalis didekatnya. Keadaan ini terutama ditemukan pada
anak, karena lamina papirasea yang memisahkan orbita dan sinus
ethmoidalis sering kali merekah pada kelompok umur ini.
2. Selulitis orbita, edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif
menginvasi isi orbita namun pus belum terbentuk.
3. Abses subperiosteal, pus terkumpul diantara periorbita dan dinding tulang
orbita menyebabkan proptosis dan kemosis.
4. Abses orbita, pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi
orbita. Tahap ini disertai dengan gejala sisa neuritis optik dan kebutaan
unilateral yang lebih serius. Keterbatasan gerak otot ekstraokular mata yang
tersering dan kemosis konjungtiva merupakan tanda khas abses orbita, juga
proptosis yang makin bertambah.
5. Trombosis sinus kavernosus, merupakan akibat penyebaran bakteri melalui
saluran vena kedalam sinus kavernosus, kemudian terbentuk suatu
tromboflebitis septik.
Secara patognomonik, trombosis sinus kavernosus terdiri dari :
a) Oftalmoplegia.
b) Kemosis konjungtiva.
c) Gangguan penglihatan yang berat.
d) Kelemahan pasien.
e) Tanda-tanda meningitis oleh karena letak sinus kavernosus yang berdekatan
dengan saraf kranial II, III, IV dan VI, serta berdekatan juga dengan otak.

14
2.11.2 Mukokel
Mukokel adalah suatu kista yang mengandung mukus yang timbul dalam
sinus, kista ini paling sering ditemukan pada sinus maksilaris, sering disebut
sebagai kista retensi mukus dan biasanya tidak berbahaya.
Dalam sinus frontalis, ethmoidalis dan sphenoidalis, kista ini dapat
membesar dan melalui atrofi tekanan mengikis struktur sekitarnya. Kista ini dapat
bermanifestasi sebagai pembengkakan pada dahi atau fenestra nasalis dan dapat
menggeser mata ke lateral. Dalam sinus sphenoidalis, kista dapat menimbulkan
diplopia dan gangguan penglihatan dengan menekan saraf didekatnya.
Piokel adalah mukokel terinfeksi, gejala piokel hampir sama dengan
mukokel meskipun lebih akut dan lebih berat.
Prinsip terapi adalah eksplorasi sinus secara bedah untuk mengangkat
semua mukosa yang terinfeksi dan memastikan drainase yang baik atau obliterasi
sinus.

2.11.3 Komplikasi Intra Kranial


1) Meningitis akut, salah satu komplikasi rhinosinusitis yang terberat adalah
meningitis akut, infeksi dari sinus paranasalis dapat menyebar sepanjang
saluran vena atau langsung dari sinus yang berdekatan, seperti lewat dinding
posterior sinus frontalis atau melalui lamina kribriformis di dekat sistem sel
udara ethmoidalis.
2) Abses dura, adalah kumpulan pus diantara dura dan tabula interna kranium,
sering kali mengikuti rhinosinusitis frontalis. Proses ini timbul lambat, sehingga
pasien hanya mengeluh nyeri kepala dan sebelum pus yang terkumpul mampu
menimbulkan tekanan intra kranial.
3) Abses subdural adalah kumpulan pus diantara duramater dan arachnoid atau
permukaan otak. Gejala yang timbul sama dengan abses dura.
4) Abses otak, setelah sistem vena, dapat mukoperiosteum sinus terinfeksi, maka
dapat terjadi perluasan metastatik secara hematogen ke dalam otak. Terapi
komplikasi intra kranial ini adalah antibiotik yang intensif, drainase secara
bedah pada ruangan yang mengalami abses dan pencegahan penyebaran infeksi.

15
2.11.4 Osteomielitis dan abses subperiosteal
Penyebab tersering osteomielitis dan abses subperiosteal pada tulang frontalis
adalah infeksi sinus frontalis. Nyeri tekan dahi setempat sangat berat. Gejala
sistemik berupa malaise, demam dan menggigil

2.12. Prognosis
Rhinosinusitis tidak menyebabkan kematian yang signifikan dengan
sendirinya. Namun, rhinosinusitis yang berkomplikasi dapat menyebabkan
morbiditas dan dalam kasus yang jarang dapat menyebabkan kematian. Sekitar 40
% kasus rhinosinusitis akut membaik secara spontan tanpa antibiotik. Perbaikan
spontan pada rhinosinusitis virus adalah 98 %. Pasien dengan rhinosinusitis akut,
jika diobati dengan antibiotik yang tepat, biasanya menunjukkan perbaikan yang
cepat. Tingkat kekambuhan setelah pengobatan yang sukses adalah kurang dari 5
%. Jika tidak adanya respon dalam waktu 48 jam atau memburuknya gejala, pasien
dievaluasi kembali. Rinorhinosinusitis yang tidak diobati atau diobati dengan tidak
adekuat dapat menyebabkan komplikasi seperti meningitis, tromboflebitis sinus
cavernous, selulitis orbita atau abses, dan abses otak.
Pada pasien dengan rhinitis alergi , pengobatan agresif gejala hidung dan
tanda-tanda edema mukosa yang dapat menyebabkan obstruksi saluran keluar
sinus, dapat mengurangkan rhinosinusitis sekunder. Jika kelenjar gondok secara
kronis terinfeksi, pengangkatan mereka dapat menghilangkan nidus infeksi dan
dapat mengurangi infeksi sinus.
2.13. Kompetensi Dokter Umum
Sebagai dokter umum Sinusitis memiliki tingkat kompetensi 3A. Bukan
Gawat darurat.
Tingkat Kemampuan 3: mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan awal, dan
merujuk
3A. Bukan gawat darurat
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi
pendahuluan pada keadaan yang bukan gawat darurat. Lulusan dokter mampu

16
menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya.
Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.

BAB III
PENUTUP

Rhinosinusitis merupakan inflamasi mukosa pada hidung dan sinus


paranasalis. Rhinosinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam
praktek dokter sehari-hari, bahkan dianggap sebagai salah satu penyebab gangguan
tersering di seluruh dunia. Rhinosinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa

17
sinus paranasal. Penyebab utamanya ialah common cold yang merupakan infeksi
virus, yang selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi bakteri.
Gejala klinis pada rhinosinusitis adalah nyeri kepala, sumbatan hidung,
drainase post-nasal, halitosis. Diagnosis rhinosinusitis didapatkan melalui hasil
anamnesis dan pemeriksaan fisik hidung yang dilakukan. Pada anamnesis,
tergambar jelas mengenai faktor pencertus dan perjalanan penyakit pasien. Dari
anamnesis diketahui bahwa ia sering mengalami pilek yang sudah berlangsung
sejak 2 tahun dan hidung keluar ingus yang berwarna bening dan encer, nyeri kepala
yang terasa dari frontal ke pangkal hidung kanan, sedangkan pada pemeriksaan fisik
dengan rinoskopi anterior tanda khas adalah mukosa tampak edema dan pucat.
Untuk terapi diberikan medikamentosa berupa antibiotik empirik (3x24
jam). Jika tidak ada perbaikan maka dilakukan rontgen-polos atau CT Scan dan atau
naso-endoskopi. Bila dari pemeriksaan tersebut ditemukan kelainan maka
dilakukan terapi rhinosinusitis kronik. Tidak ada kelainan maka dilakukan evaluasi
diagnosis yakni evaluasi komprehensif alergi dan kultur dari fungsi sinus.

18

Anda mungkin juga menyukai