PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
ialah dinding lateral rongga rongga hidung, dinding superiornya ialah dasar orbita
dan dinding inferiornya ialah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinusm
maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus
semiunaris melalui infundibulum.
Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila
adalah 1). Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu
premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C), dan
gigi molar M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus,
sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis, 2). Sinusitis
maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita, 3). Ostium sinus maksila terletak
lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drenase hanya tergantung dari gerak silia,
dan juga drenase harus melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah
bagian dari sinus ethmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi
pada daerah ini dapat menghalangi drenase sinus maksila dan selanjutnya
menyebabkan sinusitis.
3
2.2.3 Sinus Ethmoid
Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti pyramid dengan dasarnya
di bagian posterior. Ukuran dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm, dan
lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior.
Sinus etmoid berongga-rongga terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang
tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di
antara konka media dan dinding medial orbita. Berdasarkan letaknya sinus etmoid
dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus
etmoid posterior bermuara di meatus superior.
Dibagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit yang
disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang
terbesar disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan
yang disebut infundibulum, terdapat muara ostium sinus maksila. Pembengkakan
atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan
pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila.
Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan
lamina kribosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan
membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid
posterior berbatasan dengan sinus sfenoid.
4
2.2.5 Kompleks Ostio-Meatal
Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus medius, ada
muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior.
Daerah ini rumit dan sempit dan dinamakan kompleks ostio-meatal (KOM) terdiri
dari infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus unsinatus resesus
frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium
sinus maksila.
2.3. Sinusitis
5
Rinorhinosinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan, dengan
dampak signifikan pada kualitas hidup dan pengeluaran biaya kesehatan, dan
dampak ekonomi pada mereka yang produktivitas kerjanya menurun. Diperkirakan
setiap tahun 6 miliar dolar dihabiskan di Amerika Serikat untuk pengobatan
rinorhinosinusitis. Pada tahun 2007 di Amerika Serikat, dilaporkan bahwa angka
kejadian rinorhinosinusitis mencapai 26 juta individu. Di Indonesia sendiri, data
dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus berada
pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817
penderita rawat jalan di rumah sakit. Rinorhinosinusitis lebih sering ditemukan
pada musim dingin atau cuaca yang sejuk ketimbang hangat.
6
Contohnya rinitis akut, rinitis alergi, polip, diaviasi septum dan lain-lain.
Alergi juga merupakan predisposisi infeksi sinus karena terjadi edema
mukosa dan hipersekresi. Mukosa sinus yang membengkak menyebabkan
infeksi lebih lanjut, yang selanjutnya menghancurkan epitel permukaan, dan
siklus seterusnya berulang.
2. Dentogenik/odontogenik
Penyebab oleh karena adanya kelainan gigi. Sering menyebabkan
rhinosinusitis adalah infeksi pada gigi geraham atas (premolar dan molar).
Bakteri penyebab adalah Streptococcus pneumoniae, Hemophilus influenza,
Streptococcus viridans, Staphylococcus aureus, Branchamella catarhalis
dan lain-lain.
Penyebab yang yang cukup sering terjadinya rhinosinusitis adalah
disebabkan oleh adanya kerusakan pada gigi
Rhinosinusitis Dentogen
Merupakan penyebab paling sering terjadinya rhinosinusitis kronik.
Dasar sinus maksila adala prosessus alveolaris tempat akar gigi, bahkan
kadang-kadang tulang tanpa pembatas. Infeksi gigi rahang atas seperti
infeksi gigi apikal akar gigi, atau inflamasi jaringan periondontal mudah
menyebar secara langsung ke sinus, atau melalui pembuluh darah dan limfe.
Harus dicurigai adanya rhinosinusitis dentogen pada rhinosinusitis maksila
kronik yang mengenai satu sisi dengan ingus yang purulen dan napas berbau
busuk. Untuk mengobati rhinosinusitisnya, gigi yang terinfeksi harus
dicabut dan dirawat, pemberian antibiotik yang mencakup bakteria anaerob.
Seringkali juga diperlukan irigasi sinus maksila.
Rhinosinusitis Jamur
Rhinosinusitis jamur adalah infeksi jamur pada sinus paranasal,
suatu keadaan yang jarang ditemukan. Angka kejadian meningkat dengan
meningkatnya pemakaian antibiotik, kortikosteroid, obat-obat
imunosupresan dan radioterapi. Kondisi yang merupakan faktor
predisposisi terjadinya rhinosinusitis jamur antara lain diabetes mellitus,
neutopenia, penyakit AIDS dan perawatan yang lama di rumah sakit. Jenis
7
jamur yang sering menyebabkan infeksi sinus paranasal ialah spesis
Aspergillus dan Candida.
2.6. Patogenesis
8
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan
kelancaran klirens dari mukosiliar didalam komplek osteo meatal (KOM).
Disamping itu mukus juga mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang
berfungsi sebagai pertahanan terhadap kuman yang masuk bersama udara
pernafasan.
Bila terinfeksi organ yang membentuk KOM mengalami oedem, sehingga
mukosa yang berhadapan akan saling bertemu. Hal ini menyebabkan silia tidak
dapat bergerak dan juga menyebabkan tersumbatnya ostium. Hal ini menimbulkan
tekanan negatif didalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi atau
penghambatan drainase sinus. Efek awal yang ditimbulkan adalah keluarnya cairan
serous yang dianggap sebagai rhinosinusitis non bakterial yang dapat sembuh tanpa
pengobatan. Bila tidak sembuh maka sekret yang tertumpuk dalam sinus ini akan
menjadi media yang poten untuk tumbuh dan multiplikasi bakteri, dan sekret akan
berubah menjadi purulen yang disebut rhinosinusitis akut bakterialis yang
membutuhkan terapi antibiotik. Jika terapi inadekuat maka keadaan ini bisa
berlanjut, akan terjadi hipoksia dan bakteri anaerob akan semakin berkembang.
Keadaan ini menyebabkan perubahan kronik dari mukosa yaitu hipertrofi, polipoid
atau pembentukan polip dan kista.
9
Gejala lain adalah sakit kepala, hiposmia/anosmia, halitosis, post-nasal drip
yang dapat menyebabkan batuk dan sesak pada anak.
Keluhan rhinosinusitis kronik tidak khas sehingga sulit didiagnosis.
Kadang-kadang hanya 1 atau 2 dari gejala-gejala di bawah ini:
a. Sakit kepala kronik
b. Post-nasal drip
c. Batuk kronik
d. Ganguan tenggorok
e. Ganguan telinga akibat sumbatan di muara tuba Eustachius
f. Ganguan ke paru seperti bronkitis (sino-bronkitis), brokietakasis, serangan
asma yang meningkat dan sulit diobati.
Pada anak, mukopus yang tertelan dapat menyebakan gastroenteritis.
2.8. Diagnosis
Diagonsis rhinosinusitis ditegakkan berdasarkan oleh:
1. Anamnesis
Gejala lokal: ingus purulent, hidung tersumbat, nyeri atau rasa tekan
pada waah, nyeri kepala, dan hiposmia/anosmia.
Gejala sistemik: malaise, demam, dan lemas. Gejala lain karena iritasi
faring, laring, atau trakea, dapat ditemukan nyeri tenggorok dan batuk.
Tanda-tanda alergi: allergic shiner (bayangan gelap di bawah mata
karena stasis vena sekunder), allergic salute (menggosok-gosok
hidung karena gatal), dan allergic crease (garis melintang di sepertiga
bawah dorsum nasi) dan facies adenoid.
Durasi penyakit <12 minggu (akut), <10 hari (common cold),
memburuk setelah 5 hari atau persisten > 10 hari (rhinosinusitis non
viral), > 12 minggu (kronis)
Nilai Visual Analogue Scale /VAS (berkisar dari 0-10) nilai VAS 0-3
menandakan keluhan ringan, VAS 4-7 menunjukkan keluhan sedang,
dan VAS 8-10 menunjukkan keluhan berat.
10
2. Pemeriksaan Fisik
Apabila suhu >38 C, maka perlu dicurigai infeksi bakteri.
Inspeksi dan palpasi luar hidung dan sinus: bengkak (dahi, kelopak
mata atas dan bawah), nyeri sinus.
- Sinus maksila: nyeri pipi
- Sinus etmoid: nyeri diantara atau di belakang bola mata
- Sinus frontal: nyeri di dahi atau seluruh kepala.
- Sinus sfenoid: nyeri di vertex, oksipital, belakang kepala, dan
mastoid.
Rinoskipo anterior: konka edema, mukosa hiperemis, dan terdapat
pus purulent.
- Pus pada meatus medius: mengenai sinus maksila, etmoid
anterior, dan frontal.
- Pus pada meatus superior: mengenai etmoid posterior dan
sfenoid.
Rinoskopi posterior: post nasal drip, infeksi gigi.
3. Pemeriksaan Penunjang
Transuluminasi
Laboratorium: CRP (C-Reactive Protein: meningkat pada infeksi
bakteri), LED tanda inflamasi
Pencitraan radiologis:
- Foto polos posisi Waters: menilai air fluid level pada rhinosinusitis
akut.
- CT-scan: sering digunakan pada rhinosinusitis kronis, terutama
untuk menilai adanya kelaianan anatomi polip.
11
tengkorak, nyeri leher kronis, penyakit gigi dan gangguan temporomandibular juga
harus dipertimbangkan. Sakit kepala mungkin disebabkan dari kontak septum
hidung dengan salah satu konka, disebut sakit kepala rhinologic (rhinologic
headache). Kontak tersebut bisa dikurangkan dengan pengobatan vasomotor atau
rinitis alergi, dapat memperbaiki sakit kepala pada beberapa pasien. Pasien yang
mempunyai sinus sejati mungkin memiliki rhinitis alergi atau oklusi sinus karena
neoplasma. Neoplasma yang sering adalah karsinoma epitel nasofaring yang
biasanya berasal dari sel skuamosa. Kejadian ini lebih banyak di negara
Mediterania dan Timur Jauh. Faktor genetik dan lingkungan juga mungkin
memainkan peranan. DNA virus Epstein-Barr telah dideteksi pada tumor dan
kondisi premaligna, dan beberapa kelompok antigen limfosit manusia (HLA) juga
telah diidentifikasi.
2.10. Penatalaksanaan
2.10.1 Rhinosinusitis Akut
a. Kuman penyebab rhinosinusitis akut yang tersering adalah Streptococcus
pneumoniae dan Haemophilus influenzae11. Diberikan terapi
medikamentosa berupa antibiotik empirik (2x24 jam). Antibiotik yang
diberikan lini I yakni golongan penisilin atau cotrimoxazol dan terapi
tambahan yakni obat dekongestan oral + topikal, mukolitik untuk
memperlancar drenase dan analgetik untuk menghilangkan rasa nyeri. Pada
pasien atopi, diberikan antihistamin atau kortikosteroid topikal. Jika ada
perbaikan maka pemberian antibiotik diteruskan sampai mencukupi 10-14
hari. Jika tidak ada perbaikan maka diberikan terapi antibiotik lini II selama
7 hari yakni amoksisilin klavulanat/ampisilin sulbaktam, cephalosporin
generasi II, makrolid dan terapi tambahan. Jika ada perbaikan antibiotic
diteruskan sampai mencukupi 10-14 hari.
b. Jika tidak ada perbaikan maka dilakukan rontgen-polos atau CT Scan dan
atau naso-endoskopi.Bila dari pemeriksaan tersebut ditemukan kelainan
maka dilakukan terapi rhinosinusitis kronik. Tidak ada kelainan maka
12
dilakukan evaluasi diagnosis yakni evaluasi komprehensif alergi dan kultur
dari fungsi sinus.
c. Terapi pembedahan pada rhinosinusitis akut jarang diperlukan, kecuali bila
telah terjadi komplikasi ke orbita atau intrakranial, atau bila ada nyeri yang
hebat karena ada sekret tertahan oleh sumbatan.
13
2.11. Komplikasi
2.11.1 Komplikasi orbita
Rhinosinusitis ethmoidalis merupakan penyebab komplikasi pada orbita
yang tersering. Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi ethmoidalis
akut, namun sinus frontalis dan sinus maksilaris juga terletak di dekat orbita dan
dapat menimbulkan infeksi isi orbita.
Terdapat lima tahapan :
1. Peradangan atau reaksi edema yang ringan. Terjadi pada isi orbita akibat
infeksi sinus ethmoidalis didekatnya. Keadaan ini terutama ditemukan pada
anak, karena lamina papirasea yang memisahkan orbita dan sinus
ethmoidalis sering kali merekah pada kelompok umur ini.
2. Selulitis orbita, edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif
menginvasi isi orbita namun pus belum terbentuk.
3. Abses subperiosteal, pus terkumpul diantara periorbita dan dinding tulang
orbita menyebabkan proptosis dan kemosis.
4. Abses orbita, pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi
orbita. Tahap ini disertai dengan gejala sisa neuritis optik dan kebutaan
unilateral yang lebih serius. Keterbatasan gerak otot ekstraokular mata yang
tersering dan kemosis konjungtiva merupakan tanda khas abses orbita, juga
proptosis yang makin bertambah.
5. Trombosis sinus kavernosus, merupakan akibat penyebaran bakteri melalui
saluran vena kedalam sinus kavernosus, kemudian terbentuk suatu
tromboflebitis septik.
Secara patognomonik, trombosis sinus kavernosus terdiri dari :
a) Oftalmoplegia.
b) Kemosis konjungtiva.
c) Gangguan penglihatan yang berat.
d) Kelemahan pasien.
e) Tanda-tanda meningitis oleh karena letak sinus kavernosus yang berdekatan
dengan saraf kranial II, III, IV dan VI, serta berdekatan juga dengan otak.
14
2.11.2 Mukokel
Mukokel adalah suatu kista yang mengandung mukus yang timbul dalam
sinus, kista ini paling sering ditemukan pada sinus maksilaris, sering disebut
sebagai kista retensi mukus dan biasanya tidak berbahaya.
Dalam sinus frontalis, ethmoidalis dan sphenoidalis, kista ini dapat
membesar dan melalui atrofi tekanan mengikis struktur sekitarnya. Kista ini dapat
bermanifestasi sebagai pembengkakan pada dahi atau fenestra nasalis dan dapat
menggeser mata ke lateral. Dalam sinus sphenoidalis, kista dapat menimbulkan
diplopia dan gangguan penglihatan dengan menekan saraf didekatnya.
Piokel adalah mukokel terinfeksi, gejala piokel hampir sama dengan
mukokel meskipun lebih akut dan lebih berat.
Prinsip terapi adalah eksplorasi sinus secara bedah untuk mengangkat
semua mukosa yang terinfeksi dan memastikan drainase yang baik atau obliterasi
sinus.
15
2.11.4 Osteomielitis dan abses subperiosteal
Penyebab tersering osteomielitis dan abses subperiosteal pada tulang frontalis
adalah infeksi sinus frontalis. Nyeri tekan dahi setempat sangat berat. Gejala
sistemik berupa malaise, demam dan menggigil
2.12. Prognosis
Rhinosinusitis tidak menyebabkan kematian yang signifikan dengan
sendirinya. Namun, rhinosinusitis yang berkomplikasi dapat menyebabkan
morbiditas dan dalam kasus yang jarang dapat menyebabkan kematian. Sekitar 40
% kasus rhinosinusitis akut membaik secara spontan tanpa antibiotik. Perbaikan
spontan pada rhinosinusitis virus adalah 98 %. Pasien dengan rhinosinusitis akut,
jika diobati dengan antibiotik yang tepat, biasanya menunjukkan perbaikan yang
cepat. Tingkat kekambuhan setelah pengobatan yang sukses adalah kurang dari 5
%. Jika tidak adanya respon dalam waktu 48 jam atau memburuknya gejala, pasien
dievaluasi kembali. Rinorhinosinusitis yang tidak diobati atau diobati dengan tidak
adekuat dapat menyebabkan komplikasi seperti meningitis, tromboflebitis sinus
cavernous, selulitis orbita atau abses, dan abses otak.
Pada pasien dengan rhinitis alergi , pengobatan agresif gejala hidung dan
tanda-tanda edema mukosa yang dapat menyebabkan obstruksi saluran keluar
sinus, dapat mengurangkan rhinosinusitis sekunder. Jika kelenjar gondok secara
kronis terinfeksi, pengangkatan mereka dapat menghilangkan nidus infeksi dan
dapat mengurangi infeksi sinus.
2.13. Kompetensi Dokter Umum
Sebagai dokter umum Sinusitis memiliki tingkat kompetensi 3A. Bukan
Gawat darurat.
Tingkat Kemampuan 3: mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan awal, dan
merujuk
3A. Bukan gawat darurat
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi
pendahuluan pada keadaan yang bukan gawat darurat. Lulusan dokter mampu
16
menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya.
Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.
BAB III
PENUTUP
17
sinus paranasal. Penyebab utamanya ialah common cold yang merupakan infeksi
virus, yang selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi bakteri.
Gejala klinis pada rhinosinusitis adalah nyeri kepala, sumbatan hidung,
drainase post-nasal, halitosis. Diagnosis rhinosinusitis didapatkan melalui hasil
anamnesis dan pemeriksaan fisik hidung yang dilakukan. Pada anamnesis,
tergambar jelas mengenai faktor pencertus dan perjalanan penyakit pasien. Dari
anamnesis diketahui bahwa ia sering mengalami pilek yang sudah berlangsung
sejak 2 tahun dan hidung keluar ingus yang berwarna bening dan encer, nyeri kepala
yang terasa dari frontal ke pangkal hidung kanan, sedangkan pada pemeriksaan fisik
dengan rinoskopi anterior tanda khas adalah mukosa tampak edema dan pucat.
Untuk terapi diberikan medikamentosa berupa antibiotik empirik (3x24
jam). Jika tidak ada perbaikan maka dilakukan rontgen-polos atau CT Scan dan atau
naso-endoskopi. Bila dari pemeriksaan tersebut ditemukan kelainan maka
dilakukan terapi rhinosinusitis kronik. Tidak ada kelainan maka dilakukan evaluasi
diagnosis yakni evaluasi komprehensif alergi dan kultur dari fungsi sinus.
18