Penyusun:
Samdaniel Sutanto 112016350
Pembimbing:
dr. Titos Ahimsa, Sp.PD-KGEH
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat yang telah diberikan-Nya,
sehingga referat yang berjudul GANGGUAN KESEIMBANGAN ASAM-BASA dapat
terselesaikan oleh penulis. Referat ini dibuat dengan maksud dan tujuan untuk memenuhi salah
satu tugas kepaniteraan klinik di Departemen Ilmu Penyakit Dalam di Rumah Sakit Umum
Daerah Cengkareng Jakarta. Terima kasih penulis ucapkan kepada dr. Titos Ahimsa, Sp.PD-
KGEH, selaku pembimbing yang banyak memberikan masukan dan saran serta teman-teman
sejawat yang telah membantu dalam penyelesaian referat ini.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna, untuk itu kritik dan
saran sangat penulis harapkan demi perbaikan penulisan berikutnya. Akhir kata, semoga referat
ini dapat bermanfaat dan menambah ilmu pengetahuan bagi penulis maupun pembaca.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
2 + 2 +
2 3 + 3
Reaksi tersebut dikatalisasi oleh karbonik anhidrase (CA), suatu enzim yang terdapat di dalam
jaringan dan eritrosit, namun tidak ditemukan pada plasma. Ketika H2CO3 terdisosiasi menjadi
CO2 dan H2O (melalui proses dehidrasi), CO2 yang dihasilkan akan dieliminasi oleh paru-paru.
Dengan demikian, H2CO3 disebut sebagai asam volatil. Selain asam volatil, tubuh juga
menghasilkan asam nonvolatil (tetap) dari metabolisme sel. Asam nonvolatil ini dihasilkan dari
asam amino yang mengandung sulfur (yaitu, sistein dan metionin) dan fosfoprotein. Asam yang
dihasilkan adalah asam sulfat dan asam fosfat. Sumber lain dari asam nonvolatil endogen
termasuk glukosa, yang menghasilkan asam laktat dan piruvat; trigliserida, yang menghasilkan
asam asetat dan -hidroksibutirat; dan nukleoprotein, yang menghasilkan asam urat. Asam
hidroklorida juga terbentuk dari metabolisme asam amino kationik (yaitu, lisin, arginin, dan
histidin). Dalam kondisi tertentu, asam dihasilkan dari sumber selain makanan. Misalnya,
kelaparan menghasilkan ketoasida, yang bisa menumpuk di dalam darah. Demikian pula,
latihan berat menghasilkan asam laktat. Obat-obatan seperti kortikosteroid menyebabkan
produksi asam endogen dengan meningkatkan katabolisme protein otot.4
Basa endogen (HCO3-) dihasilkan dari asam amino anionik (glutamat dan aspartat)
dalam makanan. Juga, sitrat atau laktat yang dihasilkan selama metabolisme karbohidrat
menghasilkan HCO3-. Makanan vegetarian mengandung sejumlah besar asam amino anionik
dan sejumlah kecil protein yang mengandung sulfur dan fosfat. Oleh karena itu, makanan ini
menghasilkan lebih banyak basa daripada asam.4
Fluktuasi konsentrasi ion H+ dalam tubuh akan mempengaruhi beberapa fungsi normal
sel, yang meliputi:1
1. Perubahan eksitabilitas saraf dan otot. Pada asidosis terjadi depresi susunan saraf pusat,
sebaliknya pada alkalosis terjadi hiperekstabilitas.
2. Mempengaruhi enzim-enzim dalam tubuh.
3. Mempengaruhi konsentrasi ion K+
Bila terjadi perubahan konsentrasi ion H+ maka tubuh berusaha mempertahankan ion
H+ seperti semula dengan cara:1
[3 ]
= +
[2 3 ]
Walaupun H2CO3 tidak dapat diukur secara langsung, konsentrasinya dapat digambarkan
melalui tekanan parsial CO2 (pCO2) dan koefisien kelarutan () pada suhu dan pH yang
diketahui. Pada suhu normal 37C dan pH 7.4, pCO2 adalah 40 mmHg, adalah 0,03, dan pKa
adalah 6.1. Persamaan Henderson-Hasselbalch dapat ditulis dengan tepat sebagai berikut:4
[3 ]
= 6.1 +
0,03 2
24
= 6.1 + log
0,03 40
24
= 6,1 + log
1,2
20
= 6,1 + log = 6,1 + 1,3 = ,
1
Harus diperhatikan dari persamaan Henderson-Hasselbalch bahwa suatu cairan ditentukan oleh
pKa dan rasio HCO3- terhadap pCO2, dan bukan oleh nilai absolut keduanya. Oleh karena ginjal
meregulasi konsentrasi HCO3- dan paru-paru meregulasi pCO2, maka ginjal dan paru-paru
berperan dalam menentukan pH dari cairan ekstraselular.4
Buffer fosfat bersifat efektif dalam menjaga pH intraselular secara efisien daripada pH
ekstraselular oleh karena konsentrasinya yang lebih tinggi ditemukan di intraselular. Begitu
juga, nilai pKa dalam sistem ini adalah sebesar 6.8, di mana nilai ini hampir mendekati nilai
pH intraselular.4
Protein plasma memiliki beberapa kelompok asam amino yang dapat mengion sehingga
memiliki fungsi sebagai buffer asam maupun basa. Sebagai contoh kelompok imidazol dari
histidin dan kelompok asam amino N-terminal memiliki nilai pKa yang mendekati nilai pH
ekstraselular dan berfungsi sebagai buffer yang efektif. Di dalam darah, hemoglobin (Hb)
merupakan buffer protein yang penting oleh karena keberadaannya di eritrosit.4
HCO3- disaring secara bebas pada glomerulus. Hampir semua HCO3- ini diserap
kembali oleh segmen tubular nefron (gambar 1), dan ekskresinya dalam urin dapat diabaikan.
Tubulus proksimal memiliki kapasitas tinggi untuk reabsorpsi HCO3-. Reabsorpsi ini terjadi
karena sekresi H+ masuk ke lumen tubular melalui transporter Na/H. Transporter lain yang
disebut H-ATPase, juga ikut berperan dalam mentranspor beberapa proton ke dalam lumen. H+
akan bergabung dengan HCO3- yang disaring untuk membentuk H2CO3. Membran apikal kaya
akan anhidrase karbonat IV, yang akan memecah H2CO3 menjadi H2O dan CO2. CO2 berdifusi
ke dalam sel dimana ia terhidrasi membentuk H2CO3 dengan adanya karbonat anhidrase II.
H2CO3 mengalami dehidrasi untuk membentuk H+ dan HCO3-. H+ kemudian disekresikan ke
dalam lumen melalui transporter Na/H dan H-ATPase untuk memulai siklus kembali.4
1. NH4+ terbentuk dari glutamin dalam tubulus proksimal dan disekresikan ke dalam
lumen tubular melalui antiporter Na/H menggantikan H+ pada transporter ini.
2. NH4+ kemudian diserap kembali di lengkung Henle asenden yang tebal melalui
cotransporter Na/K/Cl dengan mengganti K+. Di medula, NH4+ dipecah menjadi NH3
dan H+. Akibatnya, NH3 terakumulasi. NH3 kemudian berdifusi ke dalam tubulus
pengumpul dimana ia bergabung dengan H+ untuk membentuk NH4+, yang
diekskresikan dalam urin.
3. Ekskresi NH4+ tidak menghasilkan HCO3-. Sebagai gantinya, HCO3- baru terbentuk dari
metabolisme glutamin dan anion organiknya (-ketoglutarat). Baik pembentukan NH4+
dan ekskresi diperlukan untuk mencegah hilangnya HCO3-. Jika semua NH4+ terbentuk
di tubulus proksimal dikembalikan ke sirkulasi umum, maka akan digunakan sintesis
urea di hati. Selama sintesis urea, ion H+ terbentuk yang akan menetralkan HCO3- yang
dihasilkan dari glutamin. Netralisasi ini akan menurunkan HCO3-, dan dengan demikian
meniadakan efek menguntungkan dari generasi NH4+.
(1) (2)
4+ + 24+ + 23
Reaksi pertama dikatalisis oleh glutaminase yang bergantung pada fosfat dan reaksi
kedua oleh glutamat dehidrogenase. Hasil bersihnya adalah pembentukan dua ion NH4+ dan
dua ion HCO3-. Ion H+ yang dihasilkan sebagai asam nonvolatil harus diekskresikan setiap hari
dalam urin untuk menjaga keseimbangan asam-basa normal. H+ ini tidak diekskresikan sebagai
ion bebas. Sebaliknya, mereka diekskresikan dalam bentuk titrasi asam dan NH4+. Hanya
sejumlah kecil H+ yang diekskresikan sebagai ion bebas. Ekskresi H+ sebagai titrasi asam dan
NH4+ dihitung sebagai net acid excretion (NAE). NAE didefinisikan sebagai jumlah titrasi
asam dan NH4+ dikurangi H+ apapun yang ditambahkan ke tubuh karena kehilangan HCO3-.
Oleh karena itu, NAE dihitung sebagai berikut:
= + 4+ 3
2
+ (/) = 24
3
Persamaan Henderson digunakan secara klinis untuk memeriksa validitas pH yang diperoleh
dari laboratorium klinis. Ingatlah perkiraan nilai H+ berikut terhadap nilai pH yang relevan
secara klinis:4
pH 7.50 = 30
pH 7.40 = 40
pH 7.30 = 50
pH 7.20 = 60
pH 7.10 = 80
pH 7.00 = 100
pH yang berkurang mengindikasikan asidemia dan pH yang tinggi menunjukkan
alkalemia. Dalam kelainan asam basa sederhana, kompensasi mengembalikan pH kembali ke
arah normal, namun jarang sampai pada tingkat normal (kecuali alkalosis pernapasan kronis
ringan). pH normal tidak selalu menandakan status asam-basa normal, namun sebenarnya bisa
menjadi petunjuk adanya gangguan campuran dengan komponen yang berlawanan arah.7
Langkah kedua adalah penilaian pCO2 dan HCO3- untuk mengidentifikasi gangguan
utama dan respons kompensasi. pH rendah dengan pCO2 tinggi dan HCO3- konsisten dengan
asidosis respiratorik. Penting untuk dicatat bahwa dalam penyimpangan gangguan asam-basa
sederhana pada pCO2 dan HCO3- berada pada arah yang sama. Pada campuran gangguan asam
basa dalam pCO2 dan HCO3- berlawanan arah.7
Langkah selanjutnya adalah memeriksa elektrolit serum dan anion gap (AG) dan untuk
menentukan apakah pemeriksaan tambahan diperlukan, misalnya. pengukuran kreatinin serum,
laktat atau glukosa plasma dan keton urin. Perhitungan rasio delta dapat membantu mendeteksi
dan mengkarakterisasi gangguan asam basa campuran. Elektrolit urin dan osmolal gap berguna
untuk menilai alkalosis metabolik dan asidosis metabolik AG normal.7
Nilai anjuran untuk AG yang dihitung adalah 3 sampai 11 mEq/L. AG dihitung dengan
menggunakan persamaan berikut:7
= + ( + 3 )
Di dalam tubuh, jumlah ion bermuatan positif (kation) dan ion bermuatan negatif
(anion) adalah sama. Namun, laboratorium klinis tidak secara rutin mengukur anion seperti
protein sulfat, piruvat, dan laktat atau serum yang bermuatan negatif. Biasanya, ada anion yang
tidak terukur dari pada kation. Hal ini menjelaskan mengapa seringkali perhitungan AG
memiliki hasil yang positif. Pada setiap pasien yang mengalami asidosis metabolik, AG harus
dihitung. Ini bisa menjadi alat yang berguna dalam menentukan penyebab asidosis dan
membantu dalam memberikan terapi.7
Karena protein yang beredar adalah komponen utama anion tak terukur dalam serum,
hipoalbuminemia menurunkan AG sebesar 2,5 mmol/L untuk setiap 10 g/L albumin dengan
kadar di bawah 40 g/L. Penyebab penting lainnya dari AG yang rendah atau bahkan negatif
adalah kesalahan laboratorium (pengukuran Na+ terlalu rendah atau Cl- dan / atau HCO3- terlalu
tinggi) dan kelebihan produksi protein kationik pada IgG mieloma atau gammopati poliklonal.
Peningkatan AG lebih umum daripada penurunan AG dan umumnya disebabkan oleh
kelebihan produksi atau penurunan ekskresi asam. Penyebab yang lebih jarang dari AG yang
meningkat adalah alkalosis metabolik, hiperfosfatemia berat dan kelebihan produksi
paraprotein anionik oleh IgA mieloma. Peningkatan yang berlebihan juga bisa terlihat akibat
hilangnya air dan CO2 dari serum melalui udara.7
Ditinjau dari latar belakang proses terjadinya gangguan asam-basa dan mekanisme
kompensasinya, gangguan asam-basa dapat dievaluasi melalui langkah-langkah sebagai
berikut:
1. Ukur elektrolit dan gas darah arteri secara simultan atau dalam beberapa menit saja.
2. Periksa validitas pH darah menggunakan persamaan Henderson.
3. Identifikasi gangguan primer (berdasarkan kriteria di Tabel 1.)
4. Hitung nilai anion gap (perbaiki kadar albumin yang rendah, jika diindikasikan)
5. Identifikasi penyebab gangguan primer
6. Menghitung kompensasi yang diharapkan (juga disebut sebagai respon sekunder)
7. Identifikasi gangguan asam-basa campuran, jika ada.
8. Menggunakan rasio AG/HCO3- dengan tepat
9. Menentukan pengobatan yang tepat
( ) 0.6 = 3
Keterangan:
Ki = kadar bikarbonat yang ingin dicapai
Ku = kadar bikarbonat terukur saat itu.
Tabel 2. Etiologi Asidosis Metabolik8
Efek alkalosis respiratorik bervariasi sesuai dengan durasi dan tingkat keparahannya,
namun terutama pada penyakit yang mendasarinya. Penurunan aliran darah serebral sebagai
konsekuensi dari penurunan tajam pCO2 dapat menyebabkan pusing, kebingungan mental, dan
kejang, bahkan dengan tidak adanya hipoksemia. Efek kardiovaskular hipokapnia akut pada
manusia sadar umumnya minimal, namun pada pasien dengan anestesi atau ventilasi mekanis,
curah jantung dan tekanan darah dapat turun karena efek anestesi depresan dan ventilasi
tekanan positif pada denyut jantung, resistensi sistemik, dan aliran balik vena. Aritmia jantung
dapat terjadi pada pasien dengan penyakit jantung sebagai akibat dari perubahan muatan
oksigen yang diturunkan oleh darah dari pergeseran kiri dalam kurva disosiasi hemoglobin-
oksigen (efek Bohr). Sindrom hiperventilasi mungkin bersifat melumpuhkan. Parestesia,
kesemutan di sekitarnya, sesak dada atau rasa sakit, pusing, ketidakmampuan untuk mengambil
napas yang cukup, dan, jarang, tetani mungkin cukup rumit untuk menggambarkan kelainan
ini.3,5 Pengobatan alkalosis respiratorik mencakup oksigen tambahan atau menghentikan obat
yang menjadi penyebab. Penggunaan garam asetat atau prekursor HCO3- lainnya harus
dihindari.3
2.4 Hiponatremia
Natrium (Na+) berperan dalam menentukan status volume air dalam tubuh.
Keseimbangan Na+ yang terjadi dalam tubuh diatur melalui dua mekanisme yang terdiri dari:9
1. Kadar Na+ yang sudah tetap pada batas tertentu (set point)
2. Keseimbangan antara Na+ yang masuk dan keluar (steady state)
Perubahan kadar Na+ dalam cairan ekstrasel akan mempengaruhi kadar hormon terkait
seperti hormon antidiuretik (ADH), sistem RAA (renin-angiotensin-aldosteron), atrial
natriuretic peptide (ANP), brain natriuretic peptide (BNP). Hormon-hormon ini akan
mempengaruhi eksresi Na+ di urin.9
Hiponatremia didefinisikan sebagai kadar Na+ plasma yang kurang dari 135 mEq/L.
Hiponatremia dapat terjadi bila: (a) jumlah asupan air melebihi kemampuan ekskresi Na+, (b)
ketidakmampuan menekan sekresi ADH, misalnya pada keadaan kehilangan cairan melalui
saluran cerna atau gagal jantung atau sirosis hati atau pada SIADH (syndrome of inappropriate
ADH-secretion).9,10 Langkah pertama dalam memahami hiponatremia adalah klarifikasi
terhadap informasi yang diberikan oleh Na+. Informasi yang dicari dalam Na+ dan osmolalitas
serum adalah apakah serumnya hipertonik, isotonik atau hipotonik. Tonisitas, atau osmolalitas
efektif, dari larutan adalah propertinya menyebabkan penyusutan atau pembengkakan sel yang
tersuspensi di dalamnya melalui kehilangan air atau keuntungan.
Berdasarkan prinsip di atas, maka hiponatremia dapat dikelompokkan menjadi
beberapa tipe, yaitu:
1. Hiponatremia Hipertonik
Hiponatremia hipertonik terjadi bila ada kelebihan zat terlarut ekstraselular,
selain garam Na+, mengalami kesulitan masuk ke dalam sel. Keuntungan dalam zat
terlarut ini menyebabkan pergeseran osmotik air intraselular ke kompartemen
ekstraselular. Cairan yang memasuki kompartemen ekstraselular, yang mengandung
sedikit Na+, akan mendilusi Na+ ekstraselular dan menyebabkan hiponatremia.10
Osmolalitas serum meningkat, di atas 295 mOsm/kg pada hiponatremia
hipertonik. Manifestasi klinis hipertonisitas dalam keadaan ini biasanya bersifat parah
pada tingkat osmolalitas serum efektif di atas 320 mOsm/kg. Hiperglikemia adalah
prototipe hiponatremia hipertonik. Mannitol, sukrosa, maltosa dan dekstran dengan
berat molekul rendah adalah zat terlarut eksogen yang dapat menyebabkan
hiponatremia hipertonik.10
2. Hiponatremia Isotonik
Hiponatremia isotonik dikaitkan dengan tidak adanya manifestasi klinis
distonisitas dan kadar osmolalitas serum normal. Hiponatremia isotonik dapat
disebabkan oleh pseudohiponatremia atau larutan irigasi nonkonduktif.10
3. Hiponatremia Hipotonik
Hiponatremia hipotonik biasanya dikaitkan dengan nilai osmolalitas serum
kurang dari 275 mOsm/kg. Namun, hiponatremia hipotonik dengan adanya konsentrasi
zat terlarut serum yang tinggi dengan distribusi air tubuh total (misalnya, urea, etil
alkohol) dapat dikaitkan dengan nilai normal atau bahkan peningkatan kadar
osmolalitas serum. Manifestasi klinis hiponatremia hipotonik, pada umumnya, berupa
peningkatan tekanan intrakranial yang disebabkan oleh pembengkakan sel otak.10
Hiponatremia hipotonik dapat disebabkan melalui berbagai kelainan seperti
pada peningkatan kadar ADH karena deplesi volume sirkulasi efektif, SIADH,
insufisiensi adrenal primer, dan sebagainya.10
2.4.1 Diagnosis Hiponatremia
Pemeriksaan diagnostik harus mencakup riwayat dan pemeriksaan fisik dengan
perhatian khusus pada riwayat jantung, kanker, paru, bedah, endokrin, gastrointestinal,
neurologis, dan ginjal. Diuretik, carbamazepine, dan inhibitor reuptake serotonin selektif dapat
menyebabkan hipovolemia; Oleh karena itu, riwayat penggunaan obat harus ditinjau ulang.
Penggunaan alkohol dan obat terlarang (terutama bir dan ekstasi) dapat menyebabkan
hiponatremia. Pada atlet harus ditanya tentang regimen pelatihan karena aktivitas daya tahan
tinggi dapat menyebabkan hiponatremia.11
Gejala hiponatremia bergantung pada tingkat keparahannya dan pada tingkat
penurunan Na+. Penurunan Na+ dalam jumlah lambat biasanya berakibat pada gejala minimal,
sedangkan penurunan cepat dapat menyebabkan gejala parah. Polidipsia, kram otot, sakit
kepala, terjatuh, kebingungan, perubahan status mental, obtundasi, koma, dan status epileptikus
dapat mengindikasikan perlunya intervensi akut. Sebagian besar pasien dengan hiponatremia
bersifat asimtomatik, dan hiponatremia ditemukan secara kebetulan. Status volume cairan
tubuh harus dinilai untuk membantu menentukan penyebabnya.11
Tes laboratorium meliputi panel metabolik lengkap dan kadar natrium dan kreatinin
urin. Osmolalitas serum dan ekskresi fraksional natrium harus dihitung. Pengukuran hormon
perangsang tiroid, asam urat urin, hormon adrenokortikotropik, kortisol plasma, dan peptida
natriuretik otak dapat dipertimbangkan pada pasien tertentu untuk menyingkirkan penyebab
lainnya. Diagnosis osmotat reset (variasi SIADH dimana sekresi ADH terjadi meskipun
osmolalitas plasma rendah) dapat dibantu dengan menggunakan ekskresi fraksinasi urat (asam
urat) pada pasien nonedematosa yang memiliki hiponatremia yang tidak merespons pengobatan
biasa.11
2.4.2 Terapi Hiponatremia
Tujuan terapi hiponatremia meliputi dua, yaitu: (1) meningkatkan konsentrasi Na+
plasma dengan membatasi asupan air dan meningkatkan kehilangan air dan (2) memperbaiki
kelainan mendasar. Hiponatremia asimtomatik ringan umumnya memiliki sedikit signifikansi
klinis dan tidak memerlukan perawatan. Penatalaksanaan hiponatremia asimtomatik yang
terkait dengan kontraksi volume ECF harus mencakup pelepasan Na+, umumnya dalam bentuk
garam isotonik. Efek langsung NaCl yang diberikan pada konsentrasi Na+ plasma adalah
sepele. Namun, pemulihan euvolemia menghilangkan stimulus hemodinamik untuk pelepasan
arginine vasopressin (AVP), yang memungkinkan kelebihan air bebas diekskresikan.
Hiponatremia yang terkait dengan keadaan edematosa cenderung mencerminkan
tingkat keparahan penyakit yang mendasarinya dan biasanya tidak bergejala. Pada kondisi ini
pasien telah meningkatkan air tubuh total yang melebihi peningkatan kandungan Na+ tubuh
total. Pengobatan harus mencakup pembatasan Na+ dan asupan air, koreksi hipokalemia, dan
promosi kehilangan air melebihi Na+. Yang terakhir ini mungkin memerlukan penggunaan
diuretik loop dengan penggantian proporsi kehilangan Na+ urin untuk mempertahankan
bersihan ekskresi air. Pembatasan air harus kurang dari output urin. Koreksi defisit K+ dapat
meningkatkan konsentrasi Na+ plasma dengan membuat pergeseran Na+ keluar dari sel saat
K+ masuk. Pembatasan air juga merupakan komponen pendekatan terapeutik terhadap
hiponatremia yang terkait dengan polidipsia primer, gagal ginjal, dan SIADH.5
Tingkat koreksi hiponatremia tergantung pada tidak adanya atau adanya disfungsi
neurologis. Pada pasien asimtomatik, konsentrasi Na+ plasma harus dinaikkan tidak lebih dari
0,5-1,0 mmol / L per jam dan kurang dari 10-12 mmol / L selama 24 jam pertama. Hiponatremia
akut atau berat (konsentrasi Na + Na <110-115 mmol / L) cenderung terjadi dengan status
mental dan / atau kejang yang berubah dan memerlukan koreksi yang lebih cepat. Hiponatremia
simtomatik berat harus diobati dengan garam hipertonik, dan konsentrasi Na+ plasma harus
dinaikkan 1-2 mmol / L per jam untuk 3-4 jam pertama atau sampai kejang mereda.5
Risiko mengoreksi hiponatremia terlalu cepat adalah terjadinya sindrom demielinasi
osmotik (ODS), yang ditandai dengan kelumpuhan flaksid, disartria, dan disfagia. Pasien
dengan hiponatremia kronis paling rentan terhadap pengembangan ODS, karena volume sel
otak mereka telah kembali mendekati normal sebagai akibat mekanisme adaptasi osmotik yang
dijelaskan di atas. Oleh karena itu, pemberian garam hipertonik pada individu-individu ini
dapat menyebabkan penyusutan osmotik sel otak secara mendadak.5
BAB III
PENUTUP
Tubuh manusia memiliki sistem pengaturan yang berfungsi untuk menjaga homeostasis
keseimbangan asam dan basa tubuh. Asam dan basa tubuh harus berada dalam keadaan yang
stabil untuk membantu proses kerja metabolisme organ-organ tubuh. Gangguan regulasi asam
dan basa ditemukan pada hampir setiap pasien yang sakit kritis. Pendekatan bertahap untuk
mengenali gangguan, menentukan secara akurat jenis dan tingkat keparahannya, secara aktif
melakukan intervensi untuk mengembalikan stabilitas kardiopulmoner dan hemodinamik, dan
bila memungkinkan, memperbaiki penyebabnya dapat menyelamatkan nyawa.
DAFTAR PUSTAKA
1. Silverthorn DU, Johnson BR, Ober WC, et al. Human physiology an integrated
approach. 5th ed. San Francisco: Pearson Education; 2010.
2. Al-Khadra E. Disorders of the acid-base status. In: Kiessling SG, editors. Pediatric
nephrology in the ICU. Berlin: Springer; 2009.
3. Ayers P, Warrington L. Diagnosis and treatment of simple acid-base disorders. Nutr
Clin Pract 2008;23(2):122-7.
4. Reddi AS. Fluid, electrolyte, and acid-base disorders clinical evaluation and
management. New York: Springer; 2014.
5. Jameson JL, Loscalzo J. Harrisons nephrology and acid-base disorders. United States:
McGraw-Hill Education; 2010.
6. Berend K, de Vries APJ, Gans ROB. Physiological approach to assessment of acid-base
disturbances. N Engl J Med 2014;371:1434-45.
7. Oosthuizen NM. Approach to acid-base disorders: a clinical chemistry perspective.
CME 2012;30(7):230-4.
8. Kraut JA, Madias NE. Metabolic acidosis: pathophysiology, diagnosis and
management. Rev Nephrol 2010;6:274-85.
9. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-6. Jilid
ke-2. Jakarta: InternaPublishing; 2014.
10. Rondon-Berrios H, Agaba EI, Tzamaloukas AH. Hyponatremia: pathophysiology,
classification, manifestations and management. Int Urol Nephrol 2014
Nov;46(11):2153-65.
11. Braun MM, Barstow CH, Pyzocha NJ. Diagnosis and management of sodium disorders:
hyponatremia and hypernatremia. Am Fam Physician 2015 Mar;91(5):299-309.