Anda di halaman 1dari 25

REFERAT

GANGGUAN KESEIMBANGAN ASAM-BASA

Penyusun:
Samdaniel Sutanto 112016350

Pembimbing:
dr. Titos Ahimsa, Sp.PD-KGEH

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CENGKARENG
11 SEPTEMBER 18 NOVEMBER 2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat yang telah diberikan-Nya,
sehingga referat yang berjudul GANGGUAN KESEIMBANGAN ASAM-BASA dapat
terselesaikan oleh penulis. Referat ini dibuat dengan maksud dan tujuan untuk memenuhi salah
satu tugas kepaniteraan klinik di Departemen Ilmu Penyakit Dalam di Rumah Sakit Umum
Daerah Cengkareng Jakarta. Terima kasih penulis ucapkan kepada dr. Titos Ahimsa, Sp.PD-
KGEH, selaku pembimbing yang banyak memberikan masukan dan saran serta teman-teman
sejawat yang telah membantu dalam penyelesaian referat ini.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna, untuk itu kritik dan
saran sangat penulis harapkan demi perbaikan penulisan berikutnya. Akhir kata, semoga referat
ini dapat bermanfaat dan menambah ilmu pengetahuan bagi penulis maupun pembaca.

Jakarta, 19 Oktober 2017

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Keseimbangan asam-basa, disebut juga sebagai homeostasis pH, merupakan salah satu
dari berbagai fungsi tubuh yang bersifat esensial. pH dari suatu larutan merupakan suatu
pengukuran terhadap konsentrasi ion hidrogen (H+) yang terdapat dalam suatu larutan.
Konsentrasi H+ di dalam tubuh relatif rendah pada umumnya sehingga diukur dengan
mengunakan skala logaritmik pH dengan rentang 0 14, di mana skala pH 7.0 adalah netral.1
Nilai pH normal plasma adalah berkisar antara 7.35 7.45. Bergantung pada derajat deviasi
pH di luar dari rentang normal, beberapa respon homeostasis tubuh akan diaktifkan sebagai
usaha untuk mengembalikan kondisi asam-basa ke rentang normal. Pada tahap awal, reaksi-
reaksi oleh sistem penyangga (buffer) kimia akan berusaha untuk menetralisir perubahan pH,
diikuti dengan pengaturan ventilasi udara oleh paru dan, akhirnya, pengaturan ekskresi asam
melalui ginjal.2
pH normal dari darah arteri harus dipertahankan dalam rentang normal untuk menjaga
stabilitas fungsi organ-organ tubuh secara optimal. Nilai pH darah arteri yang kurang dari 7.35
disebut sebagai asidemia, sedangkan nilai pH darah arteri yang lebih dari 7.45 disebut sebagai
alkalemia. Gangguan yang terjadi pada pH < 7.35 disebut sebagai asidosis, sedangkan
gangguan yang terjadi pada pH > 7.45 disebut sebagai alkalosis.3 Penegakkan diagnosis yang
cepat dan akurat terhadap gangguan asam-basa dapat menyelamatkan nyawa, namun
penegakkan diagnosis yang tepat dapat menjadi tantangan tersendiri. Dalam makalah ini, akan
dibahas mengenai keseimbangan asam-basa tubuh, gangguan asam-basa tubuh, diagnosis dan
penatalaksanaan dari gangguan asam-basa tubuh.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Fisiologi Asam dan Basa


Asam adalah suatu senyawa yang paling sedikit memiliki satu ion H+ dan dapat menjadi
donor ion H+ ketika berada dalam bentuk larutan, sedangkan basa merupakan suatu senyawa
yang bertindak sebagai akseptor ion H+. Asam kuat dengan cepat terdisosiasi dan melepaskan
sejumlah besar H+, seperti asam hidroklorida (HCl), sedangkan asam lemah, seperti asam
karbonat (H2CO3), melepaskan H+ dengan sedikit kekuatan. Demikian pula, hidroksida (OH-)
adalah basa kuat, sedangkan bikarbonat (HCO3-), fosfat, dan protein adalah basa lemah.
Sebagian besar asam dan basa di ruang ekstraselular lemah, tapi ini merupakan buffer utama
tubuh.2
Keseimbangan asam-basa terkait dengan pengaturan konsentrasi ion H+ bebas dalam
cairan tubuh. pH rata-rata adalah sekitar 7.4, pH darah arteri 7.45, dan darah vena 7.35. Jika
pH <7.35 dikatakan asidosis, dan jika pH darah > 7.45 dikatakan alkalosis. Ion H+ terutama
diperoleh dari aktivitas metabolik tubuh. Dalam kondisi fisiologis, makanan merupakan
kontributor utama produksi asam dan basa endogen. Oksidasi karbohidrat, lemak, dan asam
amino yang berasal dari makanan menghasilkan CO2. Sekitar 15.000 mmol CO2 dihasilkan
oleh metabolisme sel setiap hari. CO2 ini dikombinasikan dengan air dalam darah untuk
membentuk asam karbonat (H2CO3) dengan reaksi sebagai berikut:


2 + 2 +
2 3 + 3

Reaksi tersebut dikatalisasi oleh karbonik anhidrase (CA), suatu enzim yang terdapat di dalam
jaringan dan eritrosit, namun tidak ditemukan pada plasma. Ketika H2CO3 terdisosiasi menjadi
CO2 dan H2O (melalui proses dehidrasi), CO2 yang dihasilkan akan dieliminasi oleh paru-paru.
Dengan demikian, H2CO3 disebut sebagai asam volatil. Selain asam volatil, tubuh juga
menghasilkan asam nonvolatil (tetap) dari metabolisme sel. Asam nonvolatil ini dihasilkan dari
asam amino yang mengandung sulfur (yaitu, sistein dan metionin) dan fosfoprotein. Asam yang
dihasilkan adalah asam sulfat dan asam fosfat. Sumber lain dari asam nonvolatil endogen
termasuk glukosa, yang menghasilkan asam laktat dan piruvat; trigliserida, yang menghasilkan
asam asetat dan -hidroksibutirat; dan nukleoprotein, yang menghasilkan asam urat. Asam
hidroklorida juga terbentuk dari metabolisme asam amino kationik (yaitu, lisin, arginin, dan
histidin). Dalam kondisi tertentu, asam dihasilkan dari sumber selain makanan. Misalnya,
kelaparan menghasilkan ketoasida, yang bisa menumpuk di dalam darah. Demikian pula,
latihan berat menghasilkan asam laktat. Obat-obatan seperti kortikosteroid menyebabkan
produksi asam endogen dengan meningkatkan katabolisme protein otot.4
Basa endogen (HCO3-) dihasilkan dari asam amino anionik (glutamat dan aspartat)
dalam makanan. Juga, sitrat atau laktat yang dihasilkan selama metabolisme karbohidrat
menghasilkan HCO3-. Makanan vegetarian mengandung sejumlah besar asam amino anionik
dan sejumlah kecil protein yang mengandung sulfur dan fosfat. Oleh karena itu, makanan ini
menghasilkan lebih banyak basa daripada asam.4
Fluktuasi konsentrasi ion H+ dalam tubuh akan mempengaruhi beberapa fungsi normal
sel, yang meliputi:1

1. Perubahan eksitabilitas saraf dan otot. Pada asidosis terjadi depresi susunan saraf pusat,
sebaliknya pada alkalosis terjadi hiperekstabilitas.
2. Mempengaruhi enzim-enzim dalam tubuh.
3. Mempengaruhi konsentrasi ion K+

Bila terjadi perubahan konsentrasi ion H+ maka tubuh berusaha mempertahankan ion
H+ seperti semula dengan cara:1

1. Mengaktifkan sistem buffer


2. Mekanisme pengontrolan pH (kompensasi) oleh sistem pernapasan (paru).
3. Mekanisme pengontrolan pH (kompensasi) oleh sistem ginjal.

2.2 Mekanisme Kompensasi


Respon fisiologis dalam mengatur kadar H+ dalam tubuh dilakukan melalui tiga macam
mekanisme: (1) sistem buffer, (2) sistem respirasi, dan (3) sistem ginjal dalam mengatur kadar
H+ dan HCO3-. Buffer adalah garis pertahanan pertama, selalu hadir dan menunggu untuk
mencegah perubahan yang besar dalam pH. Ventilasi, garis pertahanan kedua, adalah respons
cepat dan terkontrol secara refleks yang dapat menangani 75% gangguan pH. Garis pertahanan
terakhir terletak pada ginjal. Mekanisme ini bekerja lebih lambat daripada buffer atau paru-
paru tetapi sangat efektif untuk mengatasi gangguan pH yang tersisa dalam kondisi normal.
Ketiga mekanisme ini membantu tubuh menyeimbangkan asam dengan efektif sehingga pH
tubuh normal hanya sedikit berubah.1
2.2.1 Kompensasi oleh Sistem Buffer
Buffer darah yang paling penting adalah bikarbonat / karbon dioksida (HCO3-/CO2).
Sistem buffer lainnya adalah disodium fosfat / monosodium fosfat (Na2HPO4/NaH2PO4), dan
protein plasma. Selain itu, eritrosit mengandung sistem hemoglobin (Hb) yang penting, Hb
reduksi (HHb) dan oksihemoglobin (HbO2). Tulang juga berpartisipasi dalam sistem buffer.
Sistem HCO3-/CO2 memberikan garis pertahanan pertama dalam melindungi pH. Perannya
sebagai buffer dapat digambarkan dengan memasukkan sistem ini ke dalam persamaan
Henderson-Hasselbalch sebagai berikut:4

[3 ]
= +
[2 3 ]

Walaupun H2CO3 tidak dapat diukur secara langsung, konsentrasinya dapat digambarkan
melalui tekanan parsial CO2 (pCO2) dan koefisien kelarutan () pada suhu dan pH yang
diketahui. Pada suhu normal 37C dan pH 7.4, pCO2 adalah 40 mmHg, adalah 0,03, dan pKa
adalah 6.1. Persamaan Henderson-Hasselbalch dapat ditulis dengan tepat sebagai berikut:4

[3 ]
= 6.1 +
0,03 2

Nilai normal HCO3- dalam plasma adalah 24 mEq/L, sehingga:4

24
= 6.1 + log
0,03 40
24
= 6,1 + log
1,2
20
= 6,1 + log = 6,1 + 1,3 = ,
1

Harus diperhatikan dari persamaan Henderson-Hasselbalch bahwa suatu cairan ditentukan oleh
pKa dan rasio HCO3- terhadap pCO2, dan bukan oleh nilai absolut keduanya. Oleh karena ginjal
meregulasi konsentrasi HCO3- dan paru-paru meregulasi pCO2, maka ginjal dan paru-paru
berperan dalam menentukan pH dari cairan ekstraselular.4
Buffer fosfat bersifat efektif dalam menjaga pH intraselular secara efisien daripada pH
ekstraselular oleh karena konsentrasinya yang lebih tinggi ditemukan di intraselular. Begitu
juga, nilai pKa dalam sistem ini adalah sebesar 6.8, di mana nilai ini hampir mendekati nilai
pH intraselular.4
Protein plasma memiliki beberapa kelompok asam amino yang dapat mengion sehingga
memiliki fungsi sebagai buffer asam maupun basa. Sebagai contoh kelompok imidazol dari
histidin dan kelompok asam amino N-terminal memiliki nilai pKa yang mendekati nilai pH
ekstraselular dan berfungsi sebagai buffer yang efektif. Di dalam darah, hemoglobin (Hb)
merupakan buffer protein yang penting oleh karena keberadaannya di eritrosit.4

2.2.2 Kompensasi oleh Paru-paru


Fungsi dasar dari paru-paru dalam homeostasis asam-basa adalah untuk meregulasi
tekanan parsial arteri dari CO2 (pCO2). Tekanan ini dapat kita jumpai pada hasil laboratorium
sebagai pCO2, dengan nilai normal berkisar antara 35 45 mmHg. Eliminasi CO2 secara
langsung berhubungan dengan kecepatan dan kedalaman sirkulasi udara yang masuk dan
keluar dari paru-paru. Individu normal memiliki frekuensi pernapasan berkisar antara 14-18
kali per menit, dan jumlah udara yang dihirup setiap kali bernapas disebut sebagai volume tidal.
Kemoreseptor yang terletak di arteri dan medula dapat meningkatkan atau menurunkan
ventilasi sebagai respon untuk merubah pH tubuh, pO2, dan pCO2. Hipoventilasi biasanya
berhubungan dengan peningkatan pCO2, sedangkan rendahnya pCO2 biasanya terlihat pada
hiperventilasi. Oksigenasi darah merupakan fungsi utama dari paru-paru. Oksigen (O2) di
dalam darah arteri dapat dijumpai dalam bentuk pO2 (gas oksigen), oksigen terlarut, dan Oksi-
Hb (oksigen yang berikatan dengan hemoglobin).3

2.2.3 Kompensasi oleh Ginjal


Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, sekitar 1 mmol/kgBB/hari asam nonvolatil
dihasilkan melalui metabolisme makanan. Jika asam ini tidak dieliminasi, asam-asam ini akan
menumpuk di dalam tubuh dan kadar HCO3- dalam plasma akan berkurang sehingga dapat
menyebabkan asidosis metabolik. Pada individu yang sehat, asidosis metabolik tidak terjadi
oleh karena ginjal mengekskresikan kelebihan asam dan mempertahankan kadar HCO3- plasma
sekitar 24 mEq/L. Pemeliharaan kadar HCO3- tubuh dicapai oleh ginjal melalui tiga
mekanisme, yaitu:3,4
1. Reabsorpsi HCO3- tersaring dalam tubulus proksimal yang dikatalisis oleh enzim
karbonik anhidrase.
2. Pembentukan HCO3- yang baru melalui ekskresi asam titrasi
3. Pembentukan HCO3- yang baru melalui pembentukan NH4+.

HCO3- disaring secara bebas pada glomerulus. Hampir semua HCO3- ini diserap
kembali oleh segmen tubular nefron (gambar 1), dan ekskresinya dalam urin dapat diabaikan.
Tubulus proksimal memiliki kapasitas tinggi untuk reabsorpsi HCO3-. Reabsorpsi ini terjadi
karena sekresi H+ masuk ke lumen tubular melalui transporter Na/H. Transporter lain yang
disebut H-ATPase, juga ikut berperan dalam mentranspor beberapa proton ke dalam lumen. H+
akan bergabung dengan HCO3- yang disaring untuk membentuk H2CO3. Membran apikal kaya
akan anhidrase karbonat IV, yang akan memecah H2CO3 menjadi H2O dan CO2. CO2 berdifusi
ke dalam sel dimana ia terhidrasi membentuk H2CO3 dengan adanya karbonat anhidrase II.
H2CO3 mengalami dehidrasi untuk membentuk H+ dan HCO3-. H+ kemudian disekresikan ke
dalam lumen melalui transporter Na/H dan H-ATPase untuk memulai siklus kembali.4

Gambar 1. Proses Pengaturan Asam dan Basa pada Ginjal1

Keluarnya HCO3- melintasi membran basolateral terjadi melalui simporter Na/HCO3-,


dimana 2-3 ion HCO3- diangkut untuk setiap ion Na+. Mekanisme lain terjadi melalui antiporter
Cl-/HCO3-, di mana satu HCO3- dipertukarkan untuk satu Cl-. Baik gradien energi dan
elektrokimia untuk sekresi H+ dan pengeluaran HCO3- diatur oleh pompa Na/K-ATPase yang
terletak di membran basolateral. Sejumlah faktor mempengaruhi reabsorpsi HCO3- baik pada
tubulus proksimal maupun segmen distal nefron. Aldosteron berperan penting dalam
reabsorpsi HCO3- dan sekresi H+ oleh sel-sel interkalar (Tipe A). Hal ini juga merangsang
reabsorpsi Na+ oleh sel utama. Sebagai hasil dari reabsorpsi Na+ ini, lumen menjadi negatif
secara elektrik, yang mendorong sekresi H+. Aldosteron tampaknya memiliki sedikit efek pada
reabsorpsi HCO3- di tubulus proksimal.4 Obat-obatan, seperti asetazolamid, yang menghambat
enzim karbonik anhidrase dapat menyebabkan asidosis metabolik dengan menyebabkan
hilangnya bikarbonat dalam urin.3
Setiap kali sebuah H+ disekresikan ke dalam tubulus, ia akan bergabung dengan HCO3-
yang tersaring atau dengan dua buffer urin penting, yaitu HPO42- dan NH3, masing-masing
membentuk H2PO4- dan NH4+. Untuk setiap H+ yang digabungkan dengan HPO42-, satu HCO3-
baru terbentuk dan diserap kembali. Prosesnya berbeda bila NH3 diubah menjadi NH4+. Dalam
konversi ini, HCO3- dihasilkan dari metabolisme glutamin. Sekitar 40% H+ diekskresikan
sebagai fosfat dan sisanya 60% sebagai amonium. Kontribusi fosfat terhadap ekskresi asam
urin disebut keasaman titrasi, yang didefinisikan sebagai jumlah kesetaraan ion hidroksil yang
diperlukan untuk menitrasi satuan volume urin asam sampai pH darah (yaitu pH 7.4). Jadi,
jumlah ion hidroksil yang digunakan dalam titrasi sama dengan jumlah ion H+ yang disangga
dalam lumen tubular. Fosfat tersaring (HPO42-) digabungkan dengan H+ yang disekresikan
dalam lumen melalui H-ATPase untuk membentuk H2PO4-. Ion H+ terbentuk di dalam sel
karena dehidrasi H2CO3 oleh aksi katalitik karbonat anhidrase II. Perhatikan bahwa satu ion
HCO3- terbentuk untuk setiap H+ yang disekresikan.4

Penanganan NH4+ oleh ginjal dirangkum sebagai berikut:4

1. NH4+ terbentuk dari glutamin dalam tubulus proksimal dan disekresikan ke dalam
lumen tubular melalui antiporter Na/H menggantikan H+ pada transporter ini.
2. NH4+ kemudian diserap kembali di lengkung Henle asenden yang tebal melalui
cotransporter Na/K/Cl dengan mengganti K+. Di medula, NH4+ dipecah menjadi NH3
dan H+. Akibatnya, NH3 terakumulasi. NH3 kemudian berdifusi ke dalam tubulus
pengumpul dimana ia bergabung dengan H+ untuk membentuk NH4+, yang
diekskresikan dalam urin.
3. Ekskresi NH4+ tidak menghasilkan HCO3-. Sebagai gantinya, HCO3- baru terbentuk dari
metabolisme glutamin dan anion organiknya (-ketoglutarat). Baik pembentukan NH4+
dan ekskresi diperlukan untuk mencegah hilangnya HCO3-. Jika semua NH4+ terbentuk
di tubulus proksimal dikembalikan ke sirkulasi umum, maka akan digunakan sintesis
urea di hati. Selama sintesis urea, ion H+ terbentuk yang akan menetralkan HCO3- yang
dihasilkan dari glutamin. Netralisasi ini akan menurunkan HCO3-, dan dengan demikian
meniadakan efek menguntungkan dari generasi NH4+.

Pembentukan HCO3- dari glutamin terjadi melalui reaksi berikut ini:

(1) (2)
4+ + 24+ + 23

Reaksi pertama dikatalisis oleh glutaminase yang bergantung pada fosfat dan reaksi
kedua oleh glutamat dehidrogenase. Hasil bersihnya adalah pembentukan dua ion NH4+ dan
dua ion HCO3-. Ion H+ yang dihasilkan sebagai asam nonvolatil harus diekskresikan setiap hari
dalam urin untuk menjaga keseimbangan asam-basa normal. H+ ini tidak diekskresikan sebagai
ion bebas. Sebaliknya, mereka diekskresikan dalam bentuk titrasi asam dan NH4+. Hanya
sejumlah kecil H+ yang diekskresikan sebagai ion bebas. Ekskresi H+ sebagai titrasi asam dan
NH4+ dihitung sebagai net acid excretion (NAE). NAE didefinisikan sebagai jumlah titrasi
asam dan NH4+ dikurangi H+ apapun yang ditambahkan ke tubuh karena kehilangan HCO3-.
Oleh karena itu, NAE dihitung sebagai berikut:

= + 4+ 3

Asidosis metabolik meningkatkan NAE karena ekskresi TA dan NH4+ meningkat.


Dengan demikian, NAE mencerminkan jumlah ekskresi H+ dalam bentuk buffer urin.

2.3 Gangguan Keseimbangan Asam-Basa


Gangguan klinis yang paling umum terjadi pada pengaturan asam-basa tubuh adalah
gangguan asam-basa sederhana, yang meliputi asidosis metabolik atau alkalosis atau asidosis
respiratorik atau alkalosis. Karena kompensasi seringkali tidak lengkap, pH tubuh menjadi
tidak normal dalam gangguan sederhana. Situasi klinis yang lebih rumit dapat menyebabkan
gangguan asam basa campuran. Gangguan pernapasan primer (perubahan primer pada pCO2)
akan memicu respons kompensasi metabolik (perubahan sekunder pada HCO3-), dan gangguan
metabolik primer menimbulkan respons kompensasi respiratorik yang dapat diprediksi.
Sebagai contoh, pada kasus asidosis metabolik karena peningkatan asam endogen (misalnya
ketoasidosis) menurunkan cairan ekstraselular HCO3- dan menurunkan pH ekstraselular. Hal
ini merangsang kemoreseptor medula untuk meningkatkan ventilasi dan mengembalikan rasio
HCO3- terhadap pCO2, dan dengan demikian nilai pH akan menuju ke arah nilai normal,
meskipun nilai tersebut tidak tergolong normal.5
Langkah pertama dalam penilaian gangguan asam basa adalah evaluasi klinis yang
cermat. Berbagai tanda dan gejala sering memberikan petunjuk mengenai gangguan asam basa,
termasuk tanda vital pasien (yang mungkin mengindikasikan syok atau sepsis), keadaan
neurologis (sadar dan tidak sadar), tanda-tanda infeksi (misalnya demam), status paru (laju
pernafasan dan ada tidaknya pernapasan Kussmaul, sianosis, dan jari tabuh), dan gejala
gastrointestinal (muntah dan diare). Kondisi medis tertentu seperti kehamilan, diabetes,
penyakit jantung, paru-paru, hati, dan ginjal mungkin juga mengisyaratkan penyebabnya.
Dokter harus menentukan apakah pasien telah menggunakan obat yang mempengaruhi
keseimbangan asam-basa (misalnya, obat pencahar, diuretik, topiramat, atau metformin) dan
harus mempertimbangkan tanda-tanda keracunan yang mungkin terkait dengan gangguan
asam-basa (misalnya, bau napas aseton sebagai tanda ketoasidosis diabetik atau intoksikasi
alkohol isopropil, dan gangguan penglihatan sebagai gejala keracunan metanol).6
Selanjutnya, dilakukan penilaian profil gas darah arteri. Langkah pertama dalam
penilaian profil gas darah arteri adalah penilaian terhadap pH. Dalam praktik klinis, persamaan
Henderson-Hasselbalch adalah cara yang agak rumit untuk menghitung pH dengan
menggunakan logaritma. Informasi yang sama dapat diperoleh dengan menggunakan
persamaan Henderson, yang menghubungkan H+ menjadi pH. Persamaan ini, yang menghitung
H+, dinyatakan sebagai:4

2
+ (/) = 24
3

Persamaan Henderson digunakan secara klinis untuk memeriksa validitas pH yang diperoleh
dari laboratorium klinis. Ingatlah perkiraan nilai H+ berikut terhadap nilai pH yang relevan
secara klinis:4
pH 7.50 = 30
pH 7.40 = 40
pH 7.30 = 50
pH 7.20 = 60
pH 7.10 = 80
pH 7.00 = 100
pH yang berkurang mengindikasikan asidemia dan pH yang tinggi menunjukkan
alkalemia. Dalam kelainan asam basa sederhana, kompensasi mengembalikan pH kembali ke
arah normal, namun jarang sampai pada tingkat normal (kecuali alkalosis pernapasan kronis
ringan). pH normal tidak selalu menandakan status asam-basa normal, namun sebenarnya bisa
menjadi petunjuk adanya gangguan campuran dengan komponen yang berlawanan arah.7
Langkah kedua adalah penilaian pCO2 dan HCO3- untuk mengidentifikasi gangguan
utama dan respons kompensasi. pH rendah dengan pCO2 tinggi dan HCO3- konsisten dengan
asidosis respiratorik. Penting untuk dicatat bahwa dalam penyimpangan gangguan asam-basa
sederhana pada pCO2 dan HCO3- berada pada arah yang sama. Pada campuran gangguan asam
basa dalam pCO2 dan HCO3- berlawanan arah.7
Langkah selanjutnya adalah memeriksa elektrolit serum dan anion gap (AG) dan untuk
menentukan apakah pemeriksaan tambahan diperlukan, misalnya. pengukuran kreatinin serum,
laktat atau glukosa plasma dan keton urin. Perhitungan rasio delta dapat membantu mendeteksi
dan mengkarakterisasi gangguan asam basa campuran. Elektrolit urin dan osmolal gap berguna
untuk menilai alkalosis metabolik dan asidosis metabolik AG normal.7
Nilai anjuran untuk AG yang dihitung adalah 3 sampai 11 mEq/L. AG dihitung dengan
menggunakan persamaan berikut:7

= + ( + 3 )

Di dalam tubuh, jumlah ion bermuatan positif (kation) dan ion bermuatan negatif
(anion) adalah sama. Namun, laboratorium klinis tidak secara rutin mengukur anion seperti
protein sulfat, piruvat, dan laktat atau serum yang bermuatan negatif. Biasanya, ada anion yang
tidak terukur dari pada kation. Hal ini menjelaskan mengapa seringkali perhitungan AG
memiliki hasil yang positif. Pada setiap pasien yang mengalami asidosis metabolik, AG harus
dihitung. Ini bisa menjadi alat yang berguna dalam menentukan penyebab asidosis dan
membantu dalam memberikan terapi.7
Karena protein yang beredar adalah komponen utama anion tak terukur dalam serum,
hipoalbuminemia menurunkan AG sebesar 2,5 mmol/L untuk setiap 10 g/L albumin dengan
kadar di bawah 40 g/L. Penyebab penting lainnya dari AG yang rendah atau bahkan negatif
adalah kesalahan laboratorium (pengukuran Na+ terlalu rendah atau Cl- dan / atau HCO3- terlalu
tinggi) dan kelebihan produksi protein kationik pada IgG mieloma atau gammopati poliklonal.
Peningkatan AG lebih umum daripada penurunan AG dan umumnya disebabkan oleh
kelebihan produksi atau penurunan ekskresi asam. Penyebab yang lebih jarang dari AG yang
meningkat adalah alkalosis metabolik, hiperfosfatemia berat dan kelebihan produksi
paraprotein anionik oleh IgA mieloma. Peningkatan yang berlebihan juga bisa terlihat akibat
hilangnya air dan CO2 dari serum melalui udara.7
Ditinjau dari latar belakang proses terjadinya gangguan asam-basa dan mekanisme
kompensasinya, gangguan asam-basa dapat dievaluasi melalui langkah-langkah sebagai
berikut:
1. Ukur elektrolit dan gas darah arteri secara simultan atau dalam beberapa menit saja.
2. Periksa validitas pH darah menggunakan persamaan Henderson.
3. Identifikasi gangguan primer (berdasarkan kriteria di Tabel 1.)
4. Hitung nilai anion gap (perbaiki kadar albumin yang rendah, jika diindikasikan)
5. Identifikasi penyebab gangguan primer
6. Menghitung kompensasi yang diharapkan (juga disebut sebagai respon sekunder)
7. Identifikasi gangguan asam-basa campuran, jika ada.
8. Menggunakan rasio AG/HCO3- dengan tepat
9. Menentukan pengobatan yang tepat

Tabel 1. Gangguan Asam-Basa Primer dan Respon Sekundernya4

2.3.1 Asidosis Metabolik


Asidosis metabolik dapat terjadi akibat adanya peningkatan produksi asam endogen
(misalnya, laktat dan ketoasida), kehilangan bikarbonat (misalnya pada diare), atau akibat
akumulasi asam-asam endogen (misalnya pada gagal ginjal). Penyebab-penyebab asidosis
metabolik tercantum pada tabel 2. Asidosis metabolik memiliki efek mendalam pada sistem
pernapasan, jantung, dan saraf. Penurunan pH darah disertai dengan peningkatan karakteristik
ventilasi, terutama volume tidal (respirasi Kussmaul). Kontraktilitas jantung intrinsik mungkin
terdepresi, namun fungsi inotropik bisa normal oleh karena pelepasan katekolamin.
Vasodilatasi perifer dan venokonstriksi sentral dapat terjadi. Penurunan penyesuaian vaskular
sentral dan pulmonal menjadi predisposisi edema paru dengan kelebihan volume yang sedikit
pun. Fungsi sistem saraf pusat tertekan, dengan gejala sakit kepala, lesu, pingsan, dan, dalam
beberapa kasus, bahkan koma. Intoleransi glukosa juga bisa terjadi.5 Ada dua kategori utama
asidosis metabolik secara klinis, yaitu asidosis metabolik dengan AG yang tinggi dan asidosis
metabolik dengan AG yang normal.5

2.3.1.1 Asidosis Metabolik dengan AG Tinggi8


Baik cedera ginjal akut maupun CKD dapat menyebabkan asidosis metabolik,
gangguan yang terakhir menjadi penyebab asidosis metabolik yang paling umum.
Ketoasidosis diabetik dan asidosis laktat adalah penyebab paling umum asidosis
metabolik akut: bersama-sama, keduanya mencapai kira-kira 85% kasus pada asidosis
metabolik yang berat (pH darah <7.1).
Ketoasidosis alkohol adalah penyebab asidosis metabolik akut yang jarang
terjadi dan paling sering diamati setelah banyak minum. Asidosis laktat adalah kelainan
langka yang biasanya ditemukan pada individu dengan sindroma usus pendek. Adanya
tanda dan gejala neurologis, seperti ataksia dan ucapan yang tidak jelas, dapat menjadi
tanda sugestif dari asidosis laktik. Intoksikasi salisilat paling sering terjadi pada
individu yang mencoba bunuh diri atau pada pasien usia tua yang menjalani pengobatan
gangguan rematik. Dengan tidak adanya riwayat konsumsi salisilat, adanya alkalosis
respiratorik merupakan petunjuk penting untuk diagnosis intoksikasi salisilat. Alkohol-
alkohol toksik, termasuk metanol, etilen glikol, dietilen glikol, dan propilen glikol,
merupakan penyebab asidosis metabolik yang jarang terjadi.

2.3.1.2 Asidosis Metabolik dengan AG Normal


Asidosis metabolik dengan AG normal (asidosis hiperkloremik) disebabkan
oleh kehilangan bikarbonat melalui sistem ginjal dan gastrointestinal atau melalui
bertambahnya asam hidroklorida pada darah, sebagai akibat bila pemberian amonium
klorida atau garam klorida dari asam amino pada hiperalimentasi dimetabolisme
menjadi HCl oleh hati.7
Pada kondisi yang pertama, hilangnya bikarbonat dalam urin atau tinja bersama
natrium menghasilkan kontraksi volume, merangsang penyerapan NaCl di tubulus
ginjal proksimal. Kehilangan natrium bikarbonat diganti dengan natrium klorida,
menyebabkan asidosis hiperkloremik dengan anion gap yang tidak berubah. Asidosis
metabolik dengan AG normal dapat diklasifikasikan berdasarkan nilai serum K+
dimana serum K+ normal atau meningkat dan yang rendah.7
Asidosis hiperkloremik hiperkalemik dapat disebabkan oleh pemberian zat yang
dimetabolisme menjadi HCl (misalnya, larutan nutrisi parenteral total yang
mengandung asam amino kationik). Namun, hal ini lebih sering disebabkan oleh
kelainan yang ditandai dengan gangguan ekskresi asam dan kalium oleh tubulus ginjal
seperti CKD, insufisiensi adrenal, hipoaldosteronisme hiporeninemik, resistensi tubular
terhadap aldosteron, pseudohiperaldosteronisme tipe 1, dan pseudohipoaldosteronisme
tipe 2.8
Asidosis hiperkloremik hipokalemik paling sering disebabkan oleh diare. Meski
bisa terjadi dengan penyakit usus kecil atau besar, gangguan asam basa dan elektrolit
seringkali terjadi berat pada diare usus kecil. Dengan penurunan volume yang berat
yang terjadi pada diare, anion gap serum dapat meningkat akibat hiperfosfatemia yang
menyertainya, peningkatan konsentrasi albumin serum, dan akumulasi laktat. Meski
jauh lebih jarang, fistula pankreas atau usus kecil juga bisa menghasilkan asidosis
metabolik hiperkloremik.8

Pengobatan asidosis metabolik tergantung kepada penyebabnya. Sebagai contoh,


diabetes dikendalikan dengan insulin atau keracunan diatasi dengan membuang bahan racun
tersebut dari dalam darah. Kadang-kadang perlu dilakukan dialisa untuk mengobati overdosis
atau keracunan yang berat. Asidosis metabolik juga bisa diobati secara langsung. Bila terjadi
asidosis ringan, yang diperlukan hanya cairan intravena dan pengobatan terhadap
penyebabnya. Bila terjadi asidosis berat, diberikan bikarbonat mungkin secara intravena; tetapi
bikarbonat hanya memberikan kesembuhan sementara dan dapat membahayakan.

Koreksi asidosis metabolik dapat dilakukan dengan rumus, yaitu:

( ) 0.6 = 3

Keterangan:
Ki = kadar bikarbonat yang ingin dicapai
Ku = kadar bikarbonat terukur saat itu.
Tabel 2. Etiologi Asidosis Metabolik8

2.3.2 Alkalosis Metabolik


Seorang pasien dengan alkalosis metabolik hadir dengan pH tinggi dan serum atau
kadar HCO3- yang dihitung tinggi. Beberapa kompensasi pernapasan melalui hipoventilasi bisa
terjadi, tapi hal ini relatif kecil.3 Alkalosis metabolik terjadi sebagai akibat dari keuntungan
bersih HCO3- atau hilangnya asam nonvolatil (biasanya HCl melalui muntah) dari cairan
ekstraselular. Beberapa penyebab alkalosis metabolik tercantum pada tabel 3. Karena tidak
biasa alkali ditambahkan ke tubuh, kelainan ini melibatkan tahap generatif, di mana kehilangan
asam biasanya menyebabkan alkalosis, dan tahap perawatan, di mana ginjal gagal
mengompensasi dengan membuang HCO3-.5
Alkalosis metabolik responsif garam lebih sering terjadi daripada alkalosis yang
mengandung garam. Penggunaan nutrisi parenteral dengan garam asetat yang berlebihan bisa
menjadi sumber alkalosis metabolik pada beberapa pasien. Dampak buruk dari alkalemia berat
meliputi penyempitan arteriol, penurunan aliran darah koroner, hipokalemia, tetani, kejang,
dan delirium. Pengobatan alkalosis metabolik dapat mencakup penggantian volume, koreksi
defisit kalium dan magnesium, dan penghambatan karbonik anhidrase dengan asetazolamid.
Spironolakton dapat digunakan dalam pengobatan kelebihan mineralokortikoid primer. Pada
kasus yang berat, pemberian HCl encer (0,1 N) juga efektif namun dapat menyebabkan
hemolisis, dan harus diberikan secara sentral dan perlahan. Hemodialisis terhadap dialisat
rendah HCO3- dan tinggi Cl- dapat efektif bila fungsi ginjal terganggu.3,5

Tabel 3. Etiologi Alkalosis Metabolik3

2.3.3 Asidosis Respiratorik


Hipoventilasi adalah istilah yang paling erat kaitannya dengan asidosis respiratorik.
Seorang pasien yang mengalami asidosis pernapasan akan memiliki pH rendah pada gas darah
arteri bersama dengan pCO2 yang tinggi.3 Beberapa etiologi asidosis respiratorik dapat dilihat
pada Tabel 4.
Gambaran klinis bervariasi sesuai dengan tingkat keparahan dan durasi asidosis
respiratorik, penyakit yang mendasari, dan apakah ada hipoksemia yang menyertainya.
Kenaikan pCO2 yang cepat dapat menyebabkan ansietas, dispnea, kebingungan, psikosis, dan
halusinasi dan bisa berlanjut menjadi koma. Tingkat disfungsi yang lebih rendah pada
hiperkapnia kronis meliputi gangguan tidur, kehilangan ingatan, mengantuk siang hari,
perubahan kepribadian, penurunan koordinasi, dan gangguan motorik seperti tremor, sentakan
mioklonik, dan asteriksis. Sakit kepala dan tanda lain yang mirip dengan peningkatan tekanan
intrakranial, seperti papiledema, refleks abnormal, dan kelemahan otot fokal, disebabkan
vasokonstriksi sekunder akibat hilangnya efek vasodilator CO2. Depresi pusat pernafasan oleh
berbagai macam obat, luka, atau penyakit dapat menyebabkan asidosis respiratorik. Hal ini
dapat terjadi akut dengan anestesi umum, obat penenang, dan trauma kepala atau kronis dengan
obat penenang, alkohol, tumor intrakranial, dan gangguan tidur, termasuk sindrom
hipoglikemia alveolar dan obesitas.3,5
Penatalaksanaan asidosis respiratorik bergantung pada tingkat keparahan dan onsetnya.
Asidosis pernapasan akut dapat mengancam nyawa, dan tindakan untuk memperbaiki
penyebabnya harus dilakukan bersamaan dengan restorasi ventilasi alveolar yang memadai.
Pengobatan asidosis respiratorik mungkin termasuk pemberian antidot seperti flumazenil dan
nalokson jika disebabkan oleh pemberian benzodiazepin atau narkotika. Perawatan lainnya
termasuk bronkodilator inhalasi, steroid, antibiotik, dan dukungan ventilator. Terapi alkali
harus dihindari pada pasien ini untuk mencegah overalkalinisasi. Hindari pemberian makan
secara berlebihan kepada pasien ini, karena dapat memperburuk asidosis.3,5

Tabel 4. Etiologi Asidosis Respiratorik3


2.2.4 Alkalosis Respiratorik
Nilai rendah pCO2 dan pH yang tinggi terlihat pada pasien dengan alkalosis
respiratorik. Penyebab umum alkalosis respiratorik (Tabel 5) termasuk hipoksia akibat
penyakit paru parenkim, pneumonia, asma bronkial, dll; obat-obatan (yaitu, salisilat, nikotin,
xanthine) dan ventilasi mekanik; Gangguan sistem saraf pusat seperti meningitis, ensefalitis,
trauma kepala, dan ansietas.3

Tabel 5. Etiologi Alkalosis Respiratorik3

Efek alkalosis respiratorik bervariasi sesuai dengan durasi dan tingkat keparahannya,
namun terutama pada penyakit yang mendasarinya. Penurunan aliran darah serebral sebagai
konsekuensi dari penurunan tajam pCO2 dapat menyebabkan pusing, kebingungan mental, dan
kejang, bahkan dengan tidak adanya hipoksemia. Efek kardiovaskular hipokapnia akut pada
manusia sadar umumnya minimal, namun pada pasien dengan anestesi atau ventilasi mekanis,
curah jantung dan tekanan darah dapat turun karena efek anestesi depresan dan ventilasi
tekanan positif pada denyut jantung, resistensi sistemik, dan aliran balik vena. Aritmia jantung
dapat terjadi pada pasien dengan penyakit jantung sebagai akibat dari perubahan muatan
oksigen yang diturunkan oleh darah dari pergeseran kiri dalam kurva disosiasi hemoglobin-
oksigen (efek Bohr). Sindrom hiperventilasi mungkin bersifat melumpuhkan. Parestesia,
kesemutan di sekitarnya, sesak dada atau rasa sakit, pusing, ketidakmampuan untuk mengambil
napas yang cukup, dan, jarang, tetani mungkin cukup rumit untuk menggambarkan kelainan
ini.3,5 Pengobatan alkalosis respiratorik mencakup oksigen tambahan atau menghentikan obat
yang menjadi penyebab. Penggunaan garam asetat atau prekursor HCO3- lainnya harus
dihindari.3

2.4 Hiponatremia
Natrium (Na+) berperan dalam menentukan status volume air dalam tubuh.
Keseimbangan Na+ yang terjadi dalam tubuh diatur melalui dua mekanisme yang terdiri dari:9

1. Kadar Na+ yang sudah tetap pada batas tertentu (set point)
2. Keseimbangan antara Na+ yang masuk dan keluar (steady state)

Perubahan kadar Na+ dalam cairan ekstrasel akan mempengaruhi kadar hormon terkait
seperti hormon antidiuretik (ADH), sistem RAA (renin-angiotensin-aldosteron), atrial
natriuretic peptide (ANP), brain natriuretic peptide (BNP). Hormon-hormon ini akan
mempengaruhi eksresi Na+ di urin.9
Hiponatremia didefinisikan sebagai kadar Na+ plasma yang kurang dari 135 mEq/L.
Hiponatremia dapat terjadi bila: (a) jumlah asupan air melebihi kemampuan ekskresi Na+, (b)
ketidakmampuan menekan sekresi ADH, misalnya pada keadaan kehilangan cairan melalui
saluran cerna atau gagal jantung atau sirosis hati atau pada SIADH (syndrome of inappropriate
ADH-secretion).9,10 Langkah pertama dalam memahami hiponatremia adalah klarifikasi
terhadap informasi yang diberikan oleh Na+. Informasi yang dicari dalam Na+ dan osmolalitas
serum adalah apakah serumnya hipertonik, isotonik atau hipotonik. Tonisitas, atau osmolalitas
efektif, dari larutan adalah propertinya menyebabkan penyusutan atau pembengkakan sel yang
tersuspensi di dalamnya melalui kehilangan air atau keuntungan.
Berdasarkan prinsip di atas, maka hiponatremia dapat dikelompokkan menjadi
beberapa tipe, yaitu:
1. Hiponatremia Hipertonik
Hiponatremia hipertonik terjadi bila ada kelebihan zat terlarut ekstraselular,
selain garam Na+, mengalami kesulitan masuk ke dalam sel. Keuntungan dalam zat
terlarut ini menyebabkan pergeseran osmotik air intraselular ke kompartemen
ekstraselular. Cairan yang memasuki kompartemen ekstraselular, yang mengandung
sedikit Na+, akan mendilusi Na+ ekstraselular dan menyebabkan hiponatremia.10
Osmolalitas serum meningkat, di atas 295 mOsm/kg pada hiponatremia
hipertonik. Manifestasi klinis hipertonisitas dalam keadaan ini biasanya bersifat parah
pada tingkat osmolalitas serum efektif di atas 320 mOsm/kg. Hiperglikemia adalah
prototipe hiponatremia hipertonik. Mannitol, sukrosa, maltosa dan dekstran dengan
berat molekul rendah adalah zat terlarut eksogen yang dapat menyebabkan
hiponatremia hipertonik.10
2. Hiponatremia Isotonik
Hiponatremia isotonik dikaitkan dengan tidak adanya manifestasi klinis
distonisitas dan kadar osmolalitas serum normal. Hiponatremia isotonik dapat
disebabkan oleh pseudohiponatremia atau larutan irigasi nonkonduktif.10
3. Hiponatremia Hipotonik
Hiponatremia hipotonik biasanya dikaitkan dengan nilai osmolalitas serum
kurang dari 275 mOsm/kg. Namun, hiponatremia hipotonik dengan adanya konsentrasi
zat terlarut serum yang tinggi dengan distribusi air tubuh total (misalnya, urea, etil
alkohol) dapat dikaitkan dengan nilai normal atau bahkan peningkatan kadar
osmolalitas serum. Manifestasi klinis hiponatremia hipotonik, pada umumnya, berupa
peningkatan tekanan intrakranial yang disebabkan oleh pembengkakan sel otak.10
Hiponatremia hipotonik dapat disebabkan melalui berbagai kelainan seperti
pada peningkatan kadar ADH karena deplesi volume sirkulasi efektif, SIADH,
insufisiensi adrenal primer, dan sebagainya.10
2.4.1 Diagnosis Hiponatremia
Pemeriksaan diagnostik harus mencakup riwayat dan pemeriksaan fisik dengan
perhatian khusus pada riwayat jantung, kanker, paru, bedah, endokrin, gastrointestinal,
neurologis, dan ginjal. Diuretik, carbamazepine, dan inhibitor reuptake serotonin selektif dapat
menyebabkan hipovolemia; Oleh karena itu, riwayat penggunaan obat harus ditinjau ulang.
Penggunaan alkohol dan obat terlarang (terutama bir dan ekstasi) dapat menyebabkan
hiponatremia. Pada atlet harus ditanya tentang regimen pelatihan karena aktivitas daya tahan
tinggi dapat menyebabkan hiponatremia.11
Gejala hiponatremia bergantung pada tingkat keparahannya dan pada tingkat
penurunan Na+. Penurunan Na+ dalam jumlah lambat biasanya berakibat pada gejala minimal,
sedangkan penurunan cepat dapat menyebabkan gejala parah. Polidipsia, kram otot, sakit
kepala, terjatuh, kebingungan, perubahan status mental, obtundasi, koma, dan status epileptikus
dapat mengindikasikan perlunya intervensi akut. Sebagian besar pasien dengan hiponatremia
bersifat asimtomatik, dan hiponatremia ditemukan secara kebetulan. Status volume cairan
tubuh harus dinilai untuk membantu menentukan penyebabnya.11
Tes laboratorium meliputi panel metabolik lengkap dan kadar natrium dan kreatinin
urin. Osmolalitas serum dan ekskresi fraksional natrium harus dihitung. Pengukuran hormon
perangsang tiroid, asam urat urin, hormon adrenokortikotropik, kortisol plasma, dan peptida
natriuretik otak dapat dipertimbangkan pada pasien tertentu untuk menyingkirkan penyebab
lainnya. Diagnosis osmotat reset (variasi SIADH dimana sekresi ADH terjadi meskipun
osmolalitas plasma rendah) dapat dibantu dengan menggunakan ekskresi fraksinasi urat (asam
urat) pada pasien nonedematosa yang memiliki hiponatremia yang tidak merespons pengobatan
biasa.11
2.4.2 Terapi Hiponatremia
Tujuan terapi hiponatremia meliputi dua, yaitu: (1) meningkatkan konsentrasi Na+
plasma dengan membatasi asupan air dan meningkatkan kehilangan air dan (2) memperbaiki
kelainan mendasar. Hiponatremia asimtomatik ringan umumnya memiliki sedikit signifikansi
klinis dan tidak memerlukan perawatan. Penatalaksanaan hiponatremia asimtomatik yang
terkait dengan kontraksi volume ECF harus mencakup pelepasan Na+, umumnya dalam bentuk
garam isotonik. Efek langsung NaCl yang diberikan pada konsentrasi Na+ plasma adalah
sepele. Namun, pemulihan euvolemia menghilangkan stimulus hemodinamik untuk pelepasan
arginine vasopressin (AVP), yang memungkinkan kelebihan air bebas diekskresikan.
Hiponatremia yang terkait dengan keadaan edematosa cenderung mencerminkan
tingkat keparahan penyakit yang mendasarinya dan biasanya tidak bergejala. Pada kondisi ini
pasien telah meningkatkan air tubuh total yang melebihi peningkatan kandungan Na+ tubuh
total. Pengobatan harus mencakup pembatasan Na+ dan asupan air, koreksi hipokalemia, dan
promosi kehilangan air melebihi Na+. Yang terakhir ini mungkin memerlukan penggunaan
diuretik loop dengan penggantian proporsi kehilangan Na+ urin untuk mempertahankan
bersihan ekskresi air. Pembatasan air harus kurang dari output urin. Koreksi defisit K+ dapat
meningkatkan konsentrasi Na+ plasma dengan membuat pergeseran Na+ keluar dari sel saat
K+ masuk. Pembatasan air juga merupakan komponen pendekatan terapeutik terhadap
hiponatremia yang terkait dengan polidipsia primer, gagal ginjal, dan SIADH.5
Tingkat koreksi hiponatremia tergantung pada tidak adanya atau adanya disfungsi
neurologis. Pada pasien asimtomatik, konsentrasi Na+ plasma harus dinaikkan tidak lebih dari
0,5-1,0 mmol / L per jam dan kurang dari 10-12 mmol / L selama 24 jam pertama. Hiponatremia
akut atau berat (konsentrasi Na + Na <110-115 mmol / L) cenderung terjadi dengan status
mental dan / atau kejang yang berubah dan memerlukan koreksi yang lebih cepat. Hiponatremia
simtomatik berat harus diobati dengan garam hipertonik, dan konsentrasi Na+ plasma harus
dinaikkan 1-2 mmol / L per jam untuk 3-4 jam pertama atau sampai kejang mereda.5
Risiko mengoreksi hiponatremia terlalu cepat adalah terjadinya sindrom demielinasi
osmotik (ODS), yang ditandai dengan kelumpuhan flaksid, disartria, dan disfagia. Pasien
dengan hiponatremia kronis paling rentan terhadap pengembangan ODS, karena volume sel
otak mereka telah kembali mendekati normal sebagai akibat mekanisme adaptasi osmotik yang
dijelaskan di atas. Oleh karena itu, pemberian garam hipertonik pada individu-individu ini
dapat menyebabkan penyusutan osmotik sel otak secara mendadak.5
BAB III
PENUTUP

Tubuh manusia memiliki sistem pengaturan yang berfungsi untuk menjaga homeostasis
keseimbangan asam dan basa tubuh. Asam dan basa tubuh harus berada dalam keadaan yang
stabil untuk membantu proses kerja metabolisme organ-organ tubuh. Gangguan regulasi asam
dan basa ditemukan pada hampir setiap pasien yang sakit kritis. Pendekatan bertahap untuk
mengenali gangguan, menentukan secara akurat jenis dan tingkat keparahannya, secara aktif
melakukan intervensi untuk mengembalikan stabilitas kardiopulmoner dan hemodinamik, dan
bila memungkinkan, memperbaiki penyebabnya dapat menyelamatkan nyawa.
DAFTAR PUSTAKA

1. Silverthorn DU, Johnson BR, Ober WC, et al. Human physiology an integrated
approach. 5th ed. San Francisco: Pearson Education; 2010.
2. Al-Khadra E. Disorders of the acid-base status. In: Kiessling SG, editors. Pediatric
nephrology in the ICU. Berlin: Springer; 2009.
3. Ayers P, Warrington L. Diagnosis and treatment of simple acid-base disorders. Nutr
Clin Pract 2008;23(2):122-7.
4. Reddi AS. Fluid, electrolyte, and acid-base disorders clinical evaluation and
management. New York: Springer; 2014.
5. Jameson JL, Loscalzo J. Harrisons nephrology and acid-base disorders. United States:
McGraw-Hill Education; 2010.
6. Berend K, de Vries APJ, Gans ROB. Physiological approach to assessment of acid-base
disturbances. N Engl J Med 2014;371:1434-45.
7. Oosthuizen NM. Approach to acid-base disorders: a clinical chemistry perspective.
CME 2012;30(7):230-4.
8. Kraut JA, Madias NE. Metabolic acidosis: pathophysiology, diagnosis and
management. Rev Nephrol 2010;6:274-85.
9. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-6. Jilid
ke-2. Jakarta: InternaPublishing; 2014.
10. Rondon-Berrios H, Agaba EI, Tzamaloukas AH. Hyponatremia: pathophysiology,
classification, manifestations and management. Int Urol Nephrol 2014
Nov;46(11):2153-65.
11. Braun MM, Barstow CH, Pyzocha NJ. Diagnosis and management of sodium disorders:
hyponatremia and hypernatremia. Am Fam Physician 2015 Mar;91(5):299-309.

Anda mungkin juga menyukai