Oleh:
David Christian Ronaldtho (102012210)
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Terusan Arjuna No.6 Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Telp. 021-56942061
Email : drdavidchristian@gmail.com
Pendahuluan
Lemas adalah suatu gejala atau sensasi kurangnya tenaga. Lemas dapat
mempengaruhi perkerjaan, kehidupan keluarga, dan hubungan sosial. Lemas adalah suatu
gejala yang disebabkan oleh suatu sebab, bukan sebuah penyakit tersendiri. Lemas akut (< 6
bulan) dan kronik (> 6 bulan) dapat berkaitan dengan banyak penyebab. Lemas akut
umumnya memiliki penyebab yang lebih jelas dan hilang dengan sendirinya. Lemas dapat
dirasakan pasien sebagai rasa kurang berenergi atau tidak sanggup melakukan pekerjaan
sehari hari. Pada lemas sekunder akibat penyakit saraf atau gangguan medis, ditemukan
gejala lain selain lemas yang lebih menonjol. Lemas yang dirasakan lebih dari 6 bulan
(kronik) umumnya disertai gejala lain di samping lemas, antara lain gangguan ingatan atau
konsentrasi, nyeri menelan, pembesaran kelenjar getah bening leher atau ketiak, nyeri otot,
nyeri sendi, nyeri kepala, tidur yang tidak nyenyak, dan rasa tidak enak badan setelah
beraktivitas. Dalam kasus kali ini saya sebagai penulis akan membahas hal apa saja yang
mungkin menyebabkan keadaan lemas ini yang berhubungan dengan scenario dan blok
hematologi ini.
Skenario
Tn B 60 tahun datang ke poliklinik RS UKRIDA dengan keluhan utama lemas sejak 2
bulan SMRS.
Pembahasan
Anamnesis
Anamnesis detail sangat penting pada kasus keganasan karena gejala tidak jelas dan
menyerupai penyakit-penyakit lain. Oleh karena itu, anamnesis lebih ke arah mengeliminasi
diagnosis-diagnosis banding yang mungkin muncul untuk mendapatkan diagnosis kerja atau
diagnosis pastinya. Manifestasi klinis leukemia myelogenous kronis (CML) membahayakan.
Penyakit ini sering ditemukan secara kebetulan dalam fase kronis, ketika didapatkan hitung
leukosit meningkat pada pemeriksaan darah rutin atau adanya splenomegali pada
pemeriksaan fisik umum. Gejala non spesifik meliputi kelelahan dan penurunan berat badan
dapat terjadi lama setelah timbulnya penyakit. Kehilangan energi dan penurunan toleransi
latihan dapat terjadi selama fase kronis setelah beberapa bulan. Pasien sering memiliki gejala
yang berkaitan dengan pembesaran limpa, hati, atau keduanya. Limpa besar dapat
mengganggu pada lambung dan menyebabkan cepat kenyang sehingga asupan makanan
berkurang. Nyeri perut kuadran kiri atas bahkan menjalar ke bahu kiri digambarkan sebagai
nyeri dengan kualitas "mencengkeram" mungkin terjadi akibat infark limpa. Limpa yang
membesar juga dapat dikaitkan dengan keadaan hipermetabolik, demam, penurunan berat
badan, dan kelelahan kronis. Hati yang membesar dapat menyebabkan penurunan berat badan
pasien. Beberapa pasien dengan CML memiliki demam ringan dan berkeringat berlebihan
terkait dengan hipermetabolisme. Pada beberapa pasien yang ada dalam fase akselerasi, atau
fase akut dari penyakit (melewatkan fase kronis), perdarahan, petechiae, ekimosis dan
mungkin merupakan gejala menonjol. Dalam situasi ini, demam biasanya berhubungan
dengan infeksi. Nyeri tulang dan demam, serta peningkatan fibrosis sumsum tulang,
merupakan pertanda dari fase blast.
Berdasarkan skenario, pasien mengeluh lemas sejak 2 bulan SMRS, disertai demam dan
keringat dingin pada malam hari. Pertanyaan yang penting untuk diajukan :
Pemeriksaan
Pemeriksaan Fisik
- Mata
Pada pasien ditemukan konjungtiva anemia dan sklera non-ikterik
- Leher
Leher pasien normal tidak ada perbesaran kelenjar tiroid dan kelenjar getah bening,
tidak ada benjolan dan tanda-tanda radang
- PF thorax (inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi)
Dalam batas-batas normal
- PF abdomen
Pada pasien ditemukan splenomegali schuffner 3, hepar dan organ lain dalam batas-
batas normal.
- Inspeksi ekstremitas
Tidak ditemukan adanya tanda-tanda udem. Dalam batas-batas normal
Splenomegali adalah penemuan fisik yang paling umum pada pasien dengan
leukemia myelogenous kronis (CML). Dalam lebih dari 50% pasien dengan CML,
limpa berukuran lebih dari 5 cm di bawah batas kosta kiri pada saat penemuan.
Ukuran limpa berkorelasi dengan hitungan granulosit darah perifer, dengan limpa
terbesar yang diamati pada pasien dengan jumlah leukosit yang tinggi. Sebuah limpa
sangat besar biasanya pertanda transformasi menjadi bentuk krisis blast akut dari
penyakit. Hepatomegali juga terjadi, meskipun kurang umum daripada splenomegali.
Hepatomegali biasanya bagian dari hematopoiesis extramedular terjadi di limpa.
Temuan fisik leukositosis dan hiperviskositas dapat terjadi pada beberapa pasien,
dengan ketinggian luar biasa, lebih dari 300.000-600.000 sel/uL. Setelah funduskopi,
retina dapat menunjukkan papiledema, obstruksi vena, dan perdarahan namun juga
tidak terlalu umum dan spesifik untuk CML. Krisis blast ditandai oleh peningkatan
dalam sumsum tulang atau ledakan jumlah darah perifer atau oleh perkembangan
leukemia infiltrat jaringan lunak atau kulit. Gejala khas adalah karena
trombositopenia, anemia, basophilia, limpa cepat memperbesar, dan kegagalan obat
yang biasa untuk mengontrol leukositosis dan splenomegali.
Pemeriksaan Penunjang
- Pemeriksaan NER (Nilai Eritrosit Rerata), terdiri dari : Volume Eritrosit Rata-rata
(VER), Hemoglobin Eritrosit Rata-rata (HER). Dam Konsentrasi Hemoglobin
Eritrosit Rata-rata (KHER)1
o Volume Eritrosit Rata-rata (VER) atau Mean Corpuscular Volume (MCV)
adalah perbandingan antara hematokrit dan jumlah eritrosit.
VER = (% hematokrit / jumlah eritrosit) x 10 (fL)
MCV menentukan bentuk eritrosit. Bentuk eritrosit yang normal atau nilai MCV-nya
masih masuk dalam nilai rujukan dianggap normositik. Bentuk eritrosit yang
mengecil disebut mikrositik sedangkan membesar atau di atas 92 fL disebut
makrositik.
Nilai rujukan = 27 31 pg
Bila nilai MCH di bawah 27 pg maka dianggap hipokrom.
Nilai rujukan = 32 37 %
- Urinalisis
Pada pasien CML sering didapati adanya hiperurisemia.
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang, pasien bisa saja
didiagnosis kerja dalam beberapa keadaan penyakit hematologi sebagai berikut:
Splenomegali atau perbesaran limpa dapat menyebabkan nyeri pada perut kuadran
kiri atas bahkan menjalar ke bahu kiri yang menandakan infark limpa atau bahkan infeksi
dan peradangan pada limpa yaitu perisplenitis. Gejala lain yang mungkin timbul yaitu
vasopressin-responsive diabetes insipidus dan acne urticata akibat hiperhistanemia.3
1. Fase kronik stabil atau fase awal. Pada fase ini penderita CML kebanyakan
asimptomatik hingga menimbulkan gejala ringan seperti demam hilang-timbul,
tidak enak badan, nyeri di abdomen, begah, dll. Jumlah sel blast darah perifer
kurang dari 10% pada darah dan sumsum tulang.
2. Fase terakselerasi. Pada fase ini jumlah sel blasts 10-19% dari jumlah leukosit
pada sel sumsum tulang; trombositopenia persisten (< 100 109/L) tidak terkait
dengan terapi atau trombositosis persisten (>1000 109/L) tidak responsive
terhadap terapi; peningkatan jumlah leukosit dan ukuran limpa tidak responsive
terhadap terapi; bukti sitogenetik adanya clonal evolution selain kromosom Ph;
disertai peningkatan splenomegali atau jumlah leukosit tidak merespon terhadap
terapi.
3. Fase krisis blast. Pada krisis blast, jumlah sel blast perifer 20% dari leukosit
darah tepi atau sel sumsum tulang nucleated; proliferasi blast ekstrameduler; dan
fokus atau kluster besar blast pada biopsi sumsum tulang. Keadaan ini menyerupai
leukemia akut. Terdapat perkembangan kloroma (inti padat dari leukemia di luar
sumsum tulang)
Reaksi Leukemoid
Reaksi leukemia merupakan respons leukosit secara berlebihan mengakibatkan
dilepaskannya leukosit baik yang muda maupun yang matang ke dalam darah tepi
dalam darah tepi dalam jumlah berlebihan. Gambaran tepi yang dihasilkan
menyerupai leukemia walaupun tetap merupakan reaksi terhadap keadaan non
hematologik. Reaksi ini dapat dijumpai pada keadaan infeksi berat,
nekrosis/kerusakan jaringan, perdarahan/hemolisis. Reaksi ini bersifat sementara bila
penyebabnya diobati maka reaksi ini pun akan hilang. Sel yang paling reaktif adalah
granulosit. Reaksi leukemia limfositik dapat terjadi pada tuberkulosis, pertusis, dan
mononukleus infeksiosa sehingga sering pada anak-anak namun dapat hilang dengan
sendirinya.
Walaupun perjalanan penyakit ini cukup lambat dan tidak seprogresif penyakit
kanker, Myelofibrosis sering digolongkan sebagai pre-kanker, tepatnya pre-leukemia,
karena penderita Myelofibrosis memiliki resiko yang cukup tinggi untuk terkena
Acute Myeloid Leukemia (AML) dan sekitar 20% dari penderita Myelofibrosis
biasanya mengalami Chronic Myeloid Leukemia (CML) ini di tahap akhir
penyakitnya yang berlangsung menahun. Sampai saat ini, penyebab Myelofibrosis
tidak pernah diketahui, oleh karenanya penyakit ini dinamai sebagai Chronic
Idiopathic Myelofibrosis (Idiopathic = tidak diketahui penyebabnya).
Tingginya monosit namun rendahnya sel blast ini merupakan ciri khas
daripada Leukemia Myelomonositik Kronik. Rendahnya sel blast ini menyebabkan
CMML dimasukkan ke kategori penyakit sindrom myelodisplastik, namun tingginya
monosit juga membuat CMM: dikategorikan sebagai penyakit myeloproliferatif.
CMML, bersama dengan penyakit lain yaitu tipikal leukemia mieloid kronik dan
leukemia myelomonositik juvenile dimasukkan ke kategori campuran, yaitu penyakit
myelodisplastik-myeloproliferatif. Penyakit yang tersering adalah CMML, sementara
yang lain lebih jarang.
Gejala klinis yang ditimbulkan hampir sama dengan CML, adanya abnormalitas darah
menyebabkan hipermetabolisme, anemia, serta perbesaran limpa.
Gejala Klinis
Penyakit leukemia pada umumnya dapat menimbulkan keluhan umum dan keluhan
penyerta atau sekunder dari penyakit tersebut seperti berikut4:
Anemia atau kurang darah di klasifikasi kan menjadi beberapa jenis sesuai dengan
penyebabnya dan juga mekanisme terjadinya anemia itu sendiri. Mengetahui macam-
macam anemia yang diderita seseorang akan mempermudah dalam hal pengobatan
anemianya.
Seperti telah di bahas sebelumnya, anemia adalah kurangnya sel sel darah merah
(eritrosit) dan/atau hemoglobin yang mengakibatkan sel sel tubuh kekurangan oksigen
sehingga mengganggu fungsi normal sistem tubuh. Klafisikasi Anemia yang
mengelompokkan berbagai macam anemia, secara garis besar didasarkan pada penyebab
dan mekanisme terjadinya anemia, yaitu : Tubuh kehilangan terlalu banyak darah (seperti
karena trauma, atau menderita penyakit tertentu ). Tubuh memiliki masalah dalam
memproduksi sel darah merah. Sel darah merah memecah atau mati lebih cepat sementera
belum terbentuk sel sel darah merah yang baru sebagai penggantinya. Masalah-masalah
diatas dapat terjadi secara tunggal namun bisa juga kombinasi tergantung jenis anemia
nya. Berdasarkan klasifikasi diatas, macam-macam anemia (jenis anemia) yang paling
seringditemui,yaitu :
Anemia defisiensi besi ini merupakan jenis anemia yang paling banyak. Kekurangan
zat besi akan menimbulkan anemia jenis ini, karena zat besi diperlukan untuk
membuat hemoglobin. Pada anemia defisiensi besi sel darah merah ukurannya lebih
kecil dari normal (mikrositer) dan warnanya lebih pucat (hipokrom) sehingga disebut
juga anemia hipokrom mikrositer. Kadar zat besi dalam tubuh bisa rendah karena
kehilangan darah dan asupan zat besi yang kurang. Pada wanita, sel darah merah dan
besi hilang ketika pendarahan menstruasi yang berlebihan dan ketika melahirkan.
Anemia pada kehamilan juga merupakan jenis anemia defisiensi besi ini, terutama
apabila ibu hamil kurang asupan zat besi. Untuk mencegah dan mengobati anemia
defisiensi besi, maka jangan lewatkan menu harian dengan makanan yang kaya zat
besi, seperti daging, daging unggas, ikan, telur, produk susu, atau makanan yang
diperkaya zat besi dan jika diperlukan diberi tambahan suplemen zat besi (atas
petunjuk dokter).
Vitamin B12 diperlukan untuk membentuk sel darah merah dan menjaga
kenormalan fungsi saraf. Sehingga apabila seseorang mengalami anemia
pernisiosa ini biasanya disertai dengan gangguan saraf, seperti sering kesemutan,
rasa baal atau kebas pada tangan dan kaki, gangguan daya ingat, dan gangguan
penglihatan. Tubuh bisa kekurangan vitamin B12 karena gangguan absorbsi
(autoimun dan gangguan usus) dan/atau karena kurangnya asupan makanan yang
mengandung vitamin B12. Untuk mencegah dan mengobati anemia pernisiosa ini,
jangan lewatkan makanan yang kaya Vitamin B12 yaitu terdapat pada makanan
produk hewani. Bila diperlukan suplemen vitamin B (atas petunjukdokter).
5. Anemia Aplastik
Terjadi ketika tubuh berhenti atau tidak cukup membuat sel darah baru. Pada
anemia aplastik ini tidak hanya kekurangan sel darah merah, tetapi juga sel darah
putih, dan trombosit. Rendahnya tingkat sel darah merah menyebabkan anemia.
Dengan rendahnya tingkat sel darah putih, tubuh kurang mampu melawan infeksi.
Dengan terlalu sedikitnya trombosit, darah tidak bisa membeku secara normal.
Beberapa penyebab anemia aplastik, yaitu: Pengobatan kanker (radiasi atau
kemoterapi) Paparan bahan kimia beracun (seperti yang digunakan dalam
beberapa insektisida, cat, dan pembersih rumah tangga) Beberapa obat (contoh
nya obat rheumatoid arthritis) Penyakit autoimun (seperti penyakit lupus) Infeksi
virus Penyakit keluarga yang diturunkan seperti pada anemia Fanconi
Disebut anemia sel sabit karena memang Sel-sel darah merah berbentuk seperti
sabit yaitu memiliki tepi yang runcing dan tengahnya melengkung seperti huruf C.
Sel-sel darah merah yang berbentuk sabit ini lebih rapuh sehingga berumur lebih
pendek dibanding normal (usia normal sel darah merah = 120 hari), sedangkan
kecepatan produksi sel darah merah tidak dapat mengimbanginya maka terjadilah
anemia. Sel-sel darah berbentuk sabit ini dapat berbahaya karena bisa terjebak
dalam pembuluh darah kecil, sehingga menghalangi aliran darah ke organ-organ
tubuh.
8. Talasemia (Thalasemia)
Mutasi gen globin ini dapat menimbulkan dua perubahan rantai globin, yakni :
A. Perubahan struktur rangkaian asam amino rantai globin tertentu, disebut
hemoglobinopati struktural atau
B. Perubahan kecepatan sintesis atau kemampuan produksi rantai globin tertentu
disebut thalasemia
Hemoglobinopati yang ditemukan secara klinis, baik pada anak-anak atau dewasa,
disebabkan oleh mutasi gen globin atau . Sedangkan, mutasi berat gen globin , ,
dapat menyebabkan kematian pada awal gestasi.
Hemoglobinopati struktural, salah satu asam amino yang lazim pada rantai globin
digantikan oleh asam amino lainnya. Sehingga menyebabkan produksi rantai globin
tidak efektif yang mengakibatkan anemia. Beberapa kelainan yang termasuk
hemoglobinopati struktural adakah sindroma sickle-cell, hemoglobin dengan afinitas
oksigen yang berubah, dan hemoglobin tidak stabil.
Gejala klinisnya adalah anemia berat tipe mikrositik dengan limpa dan hepar yang
membesar. Pada anak yang lebih besar biasanya disertai dengan keadaan gizi yang
jelek dan mukanya memperlihatkan fasies Mongoloid. Pada pemeriksaan penunjang,
didapatkan anemia berat dengan Hb dapat 3 sampai 9 g/dl sehingga terus menerus
memerlukan transfusi darah, jumlah retikulosit dalam darah meningkat. Pada hapusan
darah tepi akan didapatkan gambaran anisositosis, hipokromi, poikilositosis, sel target
(fragmentosit dan banyak sel normoblas). Kadar besi dalam serum meningkat dan
TIBC menjadi rendah.3 Terapi dari thalasemia adalah diet rendah besi dengan gizi
seimbang transplantasi sumsum tulang, transfusi PRC 10-15 mL/kgBB setiap 4 minggu
untuk mempertahankan kadar Hb> 10 mg/dL, terapi kelasi besi diberikan jika ferritin >
1000 ng/mL dan saturasi transferrin >50% atau sudah 10-20 kali transfusi, terapi
kombinasi desferioksamin dan deferipron diberikan pada keadaan feritin > 3000
ng/mKL yang bertahan selama 3 bulan serta kardiomiopati akibat kelebihan besi.
Terapi splenektomi dilakukan jika terdapat hipersplenisme atau jarak pemberian
transfusi semakin pendek, terapi supportif lain seperti pemberian asam folat 2x1
mg/hari, vitamin E 2x200 IU/hari, vitamin C 2-3 mg/kg/hari ( maksimal 200 mg/hari).
- Demam, malaise, tidak enak badan, pegal-pegal, mudah lemas, letih, lesu
- Keringat berlebih, terutama pada malam hari, intoleransi terhadap panas, penurunan
berat badan drastis
- Tidak nafsu makan, cepat begah dan kenyang karena lambung tertekan limpa
- Mungkin didapati adanya priapisme pada pria, tinitus, dan hipotiroid dan
hipoparatiroid karena tiroksikosis
- Nyeri pada perut kuadran kiri atas
- Kesadaran pasien dapat menjadi stupor
- Splenomegali hampir selalu ada dan seringkali bersifat masif. Pada beberapa pasien,
pembesaran limpa disertai dengan rasa tidak nyaman, nyeri, atau gangguan
pencernaan
- Gambaran anemia meliputi pucat, dispnea, dan takikardi
- Memar, epistaksis, menorrhagia, atau perdarahan dari tempat tempat lain akibat
fungsi abnormal trombosit
- Gout atau gangguan ginjal yang disebabkan oleh hiperurukemia akibat pemecahan
yang berlebihan
Penatalaksanaan
1. Remisi hematologi (jumlah sel darah lengkap [CBC] normal dan pemeriksaan
fisik normal [yaitu, tidak ada organomegali])
2. Remisi sitogenetika remisi (kembali normal dengan sel kromosom Ph-positif 0%
3. Remisi molekular (hasil polymerase chain reaction negatif [PCR] untuk mutasi
BCR/ABL mRNA), yang merupakan upaya untuk penyembuhan dan
memperpanjang hidup pasien
CML memiliki 3 fase klinis: fase kronis awal, selama proses penyakit mudah
dikontrol, kemudian fase transisi dan tidak stabil (fase akselerasi), dan, akhirnya, tentu
saja lebih agresif (blast krisis), yang biasanya berakibat fatal. Dalam semua 3 fase, terapi
suportif dengan transfusi sel darah merah atau platelet dapat digunakan untuk
meringankan gejala dan meningkatkan kualitas hidup. Di negara-negara Barat, 90%
pasien dengan CML didiagnosis dalam tahap kronis. Jumlah sel darah putih pasien
(WBC) biasanya dikontrol dengan obat-obatan (remisi hematologi). Tujuan utama dari
pengobatan selama fase ini adalah untuk mengendalikan gejala dan komplikasi akibat
anemia, trombositopenia, leukositosis, dan splenomegali. Pengobatan standar pilihan
sekarang mesylate imatinib (Gleevec), yang merupakan molekul kecil inhibitor spesifik
BCR / ABL dalam semua tahap CML.
- Busulfan
Busulfan (Myleran) merupakan agen alkilasi yang secara tradisional telah
digunakan untuk menjaga jumlah WBC di bawah 15.000 sel / uL. Namun, efek
myelosupresi dapat terjadi jauh di kemudian hari dan bertahan lama, yang membuat
mempertahankan angka dalam batas normal lebih sulit. Penggunaan jangka panjang
dapat menyebabkan fibrosis paru, hiperpigmentasi, dan penekanan sumsum
berkepanjangan yang berlangsung berbulan-bulan.
- Leukapheresis
Leukapheresis menggunakan pemisah sel dapat menurunkan jumlah WBC
dengan cepat dan aman pada pasien dengan jumlah WBC lebih dari 300.000 sel / uL,
dan dapat mengurangi gejala akut leukostasis, hiperviskositas, dan infiltrasi jaringan.
Leukapheresis biasanya mengurangi jumlah WBC hanya sementara. Dengan
demikian, sering dikombinasikan dengan kemoterapi Cytoreductive untuk efek lebih
lama.
- Transplantasi
Sumsum tulang alogenik transplantasi (BMT) atau transplantasi sel induk saat ini
satu-satunya obat yang telah terbukti untuk CML. Idealnya, harus dilakukan dalam
tahap kronis dari penyakit daripada pada fase transformasi atau krisis blast. Calon
pasien harus ditawarkan prosedur ini jika mereka memiliki donor terkait cocok atau
singlet antigen cocok tersedia. Secara umum, pasien yang lebih muda umum lebih
baik daripada pasien yang lebih tua. BMT harus dipertimbangkan dini pada pasien
muda (<55 y) yang memiliki donor saudara kandung yang cocok. Semua saudara
harus bertipe untuk antigen leukosit manusia (HLA)-A, HLA-B, dan HLA-DR. Jika
tidak cocok, jenis HLA dapat dimasukkan ke dalam register sumsum tulang untuk
donor yang tidak sepenuhnya cocok.
Kebanyakan pasien dengan penyakit sisa minimal (MRD) setelah transplantasi
membutuhkan terapi pemeliharaan interferon. Untuk meminimalisir efek MRD atau
Minimal Residual Disease, maka perlu dilakukan pemantauan jangka panjang.
1. Pada 3 bulan: respon hematologi lengkap (normal hitung darah lengkap dan tidak
ada bukti penyakit extramedullary)
2. Pada 6 bulan: kecil sitogenetika respon (36% sampai 65% sel PH1 +)
3. Pada 12 bulan: utama sitogenetika respon (0% sampai 35% PH1 +)
4. Pada usia 18 bulan: lengkap sitogenetika respon (0% PH1 +) Kebanyakan pasien
dengan respon sitogenetika lengkap terus memiliki temuan RT-PCR positif,
menunjukkan kehadiran MRD.
Penghentian obat pada pasien ini biasanya diikuti oleh kambuh, menunjukkan
bahwa imatinib gagal untuk membasmi sel-sel induk leukemia pada pasien ini.
Awal intensifikasi dengan penggunaan dosis tinggi dari imatinib (800 mg / hari)
atau imatinib dalam kombinasi dengan sitarabin atau interferon alfa dapat
menyebabkan tingginya tingkat RT-PCR negatif, tapi ini perlu dikonfirmasi dalam
studi lebih lanjut.
Komplikasi
Kesimpulan
Jadi dari hasil keseluruhannya suatu penyakit itu tidaklah bisa disimpulkan hanya dari
anamnesis saja dan memberikan kesan seolah-olah kita mengarahkan pasien, akan
tetapi juga diperlukan pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang guna
mendapatkan diagnosa dari suatu penyakit yang sebenarnya dan menyingkirkan
diagnosa banding yang lain dan agar pasien segera bisa mendapatkan pengobatan dari
penyakitnya yang baik dan benar secara pasti.
Daftar Pustaka