Tinjauan Pustaka Abses Hepar
Tinjauan Pustaka Abses Hepar
A. PENDAHULUAN
Abses hati adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan oleh karena
infeksi bakteri, parasit, jamur maupun nekrosis steril yang bersumber dari
sistem gastrointestinal yang ditandai dengan adanya proses supurasi dengan
pembentukan pus yang terdiri dari jaringan hati nekrotik, sel-sel inflamasi atau
sel darah didalam parenkim hati .(1)
Secara umum, abses hati terbagi 2, yaitu abses hati amebik (AHA) dan
abses hati piogenik (AHP). AHA merupakan salah satu komplikasi amebiasis
ekstraintestinal yang paling sering dijumpai di daerah tropik/subtropik,
termasuk Indonesia. AHP dikenal juga sebagai hepatic abscess, bacterial liver
abscess, bacterial abscess of the liver, bacterial hepatic abscess. AHP ini
merupakan kasus yang relatif jarang, pertama ditemukan oleh Hippocrates (400
SM) dan dipublikasikan pertama kali oleh Bright pada tahun 1936. (1)
1
peritonium terdapat jaringan ikat padat yang disebut kapsula Glisson yang meliputi
seluruh permukaan hati. Setiap lobus hati terbagi menjadi struktur-struktur yang
disebut sebagai lobulus, yang merupakan unit mikroskopis dan fungsional
organ yang terdiri atas lempeng-lempeng sel hati dimana diantaranya terdapat
sinusoid. Selain sel-sel hati, sinusoid vena dilapisi oleh sel endotel khusus dan
sel Kupffer yang merupakan makrofag yang melapisi sinusoid dan mampu
memfagositosis bakteri dan benda asing lain dalam darah sinus hepatikus. Hati
memiliki suplai darah dari saluran cerna dan limpa melalui vena porta hepatika
dan dari aorta melalui arteria hepatika. (2,3,4)
2
Pengolahan metabolik kategori nutrien utama (karbohidrat, lemak,
protein) setelah penyerapan dari saluran pencernaan
a. Metabolisme karbohidrat : menyimpan glikogen dalam jumlah besar,
konversi galaktosa dan friktosa menjadi glukosa, glukoneogenesis, serta
pembentukan banyak senyawa kimia dari produk antara metabolisme
karbohidrat.
b. Metabolisme lemak : oksidasi asam lemak untuk menyuplai energi bagi
fungsi tubuh yang lain, sintesis kolesterol,fosfolipid,dan sebagian besar
lipoprotein, serta sintesis lemak dari protein dan karbohidrat
c. Metabolisme protein : deaminasi asam amino, pembentukan ureum untuk
mengeluarkan amonia dari cairan tubuh, pembentukan protein plasma,
serta interkonversi beragam asam amino dan sintesis senyawa lain dari
asam amino.
3
beberapa faktor koagulasi lainnya. Vitamin K dibutuhkan oleh proses
metabolisme hati, untuk membentuk protrombin dan faktor VII, IX, dan X.
C. EPIDEMIOLOGI
Di negara negara yang sedang berkembang, AHA didapatkan secara
endemik dan jauh lebih sering dibandingkan AHP. AHP ini tersebar di
seluruh dunia, dan terbanyak di daerah tropis dengan kondisi hygiene
/sanitasi yang kurang. Secara epidemiologi, didapatkan 8 15 per 100.000
kasus AHP yang memerlukan perawatan di RS, dan dari beberapa
kepustakaan Barat, didapatkan prevalensi autopsi bervariasi antara 0,29
1,47% sedangkan prevalensi di RS antara 0,008 0,016%. AHP lebih sering
terjadi pada pria dibandingkan perempuan, dengan rentang usia berkisar lebih
dari 40 tahun, dengan insidensi puncak pada dekade ke 6. (1)
Abses hati piogenik sukar ditetapkan. Dahulu hanya dapat dikenal
setelah otopsi. Sekarang dengan peralatan yang lebih canggih seperti USG,
CT Scan dan MRI lebih mudah untuk membuat diagnosisnya. Prevalensi
4
otopsi berkisar antara 0,29-1,47 % sedangkan insidennya 8-15 kasus/100.000
penderita. (2)
Hampir 10 % penduduk dunia terutama negara berkembang terinfeksi
E.histolytica tetapi hanya 1/10 yang memperlihatkan gejala. Insidens
amubiasis hati di rumah sakit seperti Thailand berkisar 0,17 % sedangkan di
berbagai rumah sakit di Indonesia berkisar antara 5-15% pasien/tahun.
Penelitian di Indonesia menunjukkan perbandingan pria dan wanita berkisar
3:1 sampai 22:1, yang tersering pada dekade keempat. Penularan umumnya
melalui jalur oral-fekal dan dapat juga oral-anal-fekal. Kebanyakan yang
menderita amubiasis hati adalah pria dengan rasio 3,4-8,5 kali lebih sering
dari wanita. Usia yang sering dikenai berkisar antara 20-50 tahun terutama
dewasa muda dan lebih jarang pada anak. Infeksi E.histolytica memiliki
prevalensi yang tinggi di daerah subtropikal dan tropikal dengan kondisi yang
padat penduduk, sanitasi serta gizi yang buruk. (2,7)
D. ETIOLOGI
5
Amuba bentuk trofozoit dengan pseupoda ukuran besar (8)
6
kaku. Pembentukan kista ini dipercepat dengan berkurangnya bahan
makanan atau perubahan osmolaritas media. (2,9)
7
6. Kriptogenik tanpa faktor predisposisi yang jelas, terutama pada
orang lanjut usia. Namun insiden meningkat pada pasien dengan
diabetes atau kanker metastatik. (1,7,10,11)
E. PATOGENESIS
8
E.2 Abses Hepar Piogenik
9
F. GAMBARAN KLINIS
Gejala :
a. Demam internitten ( 38-40 oC)
b. Nyeri perut kanan atas, kadang nyeri epigastrium dan dapat menjalar
hingga bahu kanan dan daerah skapula
c. Anoreksia
d. Nausea
e. Vomitus
f. Keringat malam
g. Berat badan menurun
h. Batuk
i. Pembengkakan perut kanan atas
j. Ikterus
k. Buang air besar berdarah
l. Kadang ditemukan riwayat diare
m. Kadang terjadi cegukan (hiccup)
Kelainan fisis :
a. Ikterus
b. Temperatur naik
c. Malnutrisi
d. Hepatomegali yang nyeri spontan atau nyeri tekan atau disertai komplikasi
e. Nyeri perut kanan atas
f. Fluktuasi
10
a. Demam yang sifatnya dapat remitten, intermitten atau kontinyu yang
disertai menggigil
b. Nyeri spontan perut kanan atas ditandai dengan jalan membungkuk ke
depan dan kedua tangan diletakkan di atasnya.
c. Mual dan muntah
d. Berkeringat malam
e. Malaise dan kelelahan
f. Berat badan menurun
g. Berkurangnya nafsu makan
h. Anoreksia
Pemeriksaan fisis :
a. Hepatomegali
b. Nyeri tekan perut kanan
c. Ikterus, namun jarang terjadi
d. Kelainan paru dengan gejala batuk, sesak nafas serta nyeri pleura
e. Buang air besar berwarna seperti kapur
f. Buang air kecil berwarna gelap
g. Splenomegali pada AHP yang telah menjadi kronik
G. DIAGNOSIS
11
a. Kriteria Sherlock (1969)
1. Hepatomegali yang nyeri tekan
2. Respon baik terhadap obat amebisid
3. Leukositosis
4. Peninggian diafragma kanan dan pergerakan yang kurang.
5. Aspirasi pus
6. Pada USG didapatkan rongga dalam hati
7. Tes hemaglutinasi positif
b. Kriteria Ramachandran (1973)
Bila didapatkan 3 atau lebih dari:
1. Hepatomegali yang nyeri
2. Riwayat disentri
3. Leukositosis
4. Kelainan radiologis
5. Respons terhadap terapi amebisid
c. Kriteria Lamont Dan Pooler
Bila didapatkan 3 atau lebih dari:
1. Hepatomegali yang nyeri
2. Kelainan hematologis
3. Kelainan radiologis
4. Pus amebik
5. Tes serologi positif
6. Kelainan sidikan hati
7. Respons terhadap terapi amebisid
12
Tes serologi yang negatif menyingkirkan diagnosis AHA, meskipun
terdapat pada sedikit kasus, tes ini menjadi positif beberapa hari kemudian.
Diagnosis berdasarkan penyebab adalah dengan menemukan bakteri
penyebab pada pemeriksaan kultur hasil aspirasi, ini merupakan standar
emas untuk diagnosis. (1)
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
13
Aerobacter aerogenes atau Pseudomonas aeruginosa, sedangkan kuman
anaerib Microaerofilic sp, Streptococci sp, Bacteroides sp, atau
Fusobacterium sp. (1,2)
14
daerah avaskuler. Kadang-kadang didapatkan gas atau cairan pada
subdiafragma kanan. Pemeriksaan USG, radionuclide scanning, CT scan
dan MRI mempunyai nilai diagnosis yang tinggi. CT scan dan MRI dapat
menetapkan lokasi abses lebih akurat terutama untuk drainase perkutan
atau tindakan bedah. Gambaran CT scan : apabila mikroabses berupa lesi
hipodens kecil-kecil < 5 mm sukar dibedakan dari mikroabses jamur, rim
enhancement pada mikroabses sukar dinilai karena lesi terlalu kecil.
Apabila mikroabses > 10 mm atau membentuk kluster sehingga tampak
massa agak besar maka prakontras kluster piogenik abses tampak sebagai
masa low density berbatas suram. Pasca kontras fase arterial tampak
gambaran khas berupa masa dengan rim enhancement dimana hanya
kapsul abses yang tebal yang menyengat. Bagian tengah abses terlihat
hipodens dengan banyak septa-septa halus yang juga menyengat, sehingga
membentuk gambaran menyerupai jala. Fase porta penyengatan dinding
kapsul abses akan semakin menonjol dan sekitar dinding abses tampak
area yang hipodens sebagai reaksi edema di sekitar abses. Sebagian kecil
piogenik bersifat monokuler, tidak bersepta, dan menyerupai abses
amoebiasis. Pembentukan gas di dalam abses biasanya pada infeksi oleh
kuman Klebsiella. (1,2,)
Gambaran CT Scan dengan multifokal abses hati piogenik pada segmen IV. Abses lainnya terdapat
pada segmen VII dan VIII.(8)
15
Biasanya sangat besar, kadang-kadang multilokular. Struktur eko rendah
sampai cairan ( anekoik ) dengan adanya bercak-bercak hiperekoik
(debris) di dalamnya. Tepinya tegas, ireguler yang makin lama makin
bertambah tebal. (16)
I. PENATALAKSANAAN
1. Medikamentosa
Abses hati amoeba tanpa komplikasi lain dapat menunjukkan
penyembuhan yang besar bila diterapi hanya dengan antiamoeba.
Pengobatan yang dianjurkan adalah:
a. Metronidazole
Metronidazole merupakan derivat nitroimidazole, efektif untuk
amubiasis intestinal maupun ekstraintestinal., efek samping yang
paling sering adalah sakit kepala, mual, mulut kering, dan rasa kecap
logam. Dosis yang dianjurkan untuk kasus abses hati amoeba adalah 3
x 750 mg per hari selama 5 10 hari. Sedangkan untuk anak ialah 35-
50 mg/kgBB/hari terbagi dalam tiga dosis. Derivat nitroimidazole
lainnya yang dapat digunakan adalah tinidazole dengan dosis 3 x 800
mg perhari selama 5 hari, untuk anak diberikan 60 mg/kgBB/hari
dalam dosis tunggal selama 3-5 hari.
b. Dehydroemetine (DHE)
Merupakan derivat diloxanine furoate. Dosis yang direkomendasikan
untuk mengatasi abses liver sebesar 3 x 500 mg perhari selama 10 hari
atau 1-1,5 mg/kgBB/hari intramuskular (max. 99 mg/hari) selama 10
hari. DHE relatif lebih aman karena ekskresinya lebih cepat dan
kadarnya pada otot jantung lebih rendah. Sebaiknya tidak digunakan
pada penyakit jantung, kehamilan, ginjal, dan anak-anak
c. Chloroquin
Dosis klorokuin basa untuk dewasa dengan amubiasis ekstraintestinal
ialah 2x300 mg/hari pada hari pertama dan dilanjutkan dengan 2x150
16
mg/hari selama 2 atau 3 minggu. Dosis untuk anak ialah 10
mg/kgBB/hari dalam 2 dosis terbagi selama 3 minggu. Dosis yang
dianjurkan adalah 1 g/hari selama 2 hari dan diikuti 500 mg/hari
selama 20 hari.
2. Aspirasi
Apabila pengobatan medikamentosa dengan berbagai cara tersebut di
atas tidak berhasil (72 jam), terutama pada lesi multipel, atau pada
ancaman ruptur atau bila terapi dcngan metronidazol merupakan
kontraindikasi seperti pada kehamilan, perlu dilakukan aspirasi.
Aspirasi dilakukan dengan tuntunan USG.
3. Drainase Perkutan
Drainase perkutan indikasinya pada abses besar dengan ancaman ruptur
atau diameter abses > 7 cm, respons kemoterapi kurang, infeksi
campuran, letak abses dekat dengan permukaan kulit, tidak ada tanda
perforasi dan abses pada lobus kiri hati. Selain itu, drainase perkutan
berguna juga pada penanganan komplikasi paru, peritoneum, dan
perikardial.
4. Drainase Bedah
Pembedahan diindikasikan untuk penanganan abses yang tidak berhasil
mcmbaik dengan cara yang lebih konservatif, kemudian secara teknis
susah dicapai dengan aspirasi biasa. Selain itu, drainase bedah
diindikasikan juga untuk perdarahan yang jarang tcrjadi tetapi
mengancam jiwa penderita, disertai atau tanpa adanya ruptur abses.
Penderita dengan septikemia karena abses amuba yang mengalami
infeksi sekunder juga dicalonkan untuk tindakan bedah, khususnya bila
usaha dekompresi perkutan tidak berhasil Laparoskopi juga
dikedepankan untuk kemungkinannya dalam mengevaluasi tcrjadinya
ruptur abses amuba intraperitoneal.
Pencegahan
17
Merupakan cara efektif untuk menurunkan mortalitas akibat abses
hati piogenik yaitu dengan cara:
a. Dekompresi pada keadaan obstruksi bilier baik akibat batu
ataupun tumor dengan rute transhepatik atau dengan
melakukan endoskopi
b. Pemberian antibiotik pada sepsis intra-abdominal
Terapi definitif
Terapi ini terdiri dari antibiotik, drainase abses yang
adekuat dan menghilangkan penyakit dasar seperti sepsis yang
berasal dari saluran cerna. Pemberian antibiotika secara intravena
sampai 3 gr/hari selama 3 minggu diikuti pemberian oral selama 1-
2 bulan. Antibiotik ini yang diberikan terdiri dari:
a. Penisilin atau sefalosporin untuk coccus gram positif dan
beberapa jenis bakteri gram negatif yang sensitif. Misalnya
sefalosporin generasi ketiga seperti cefoperazone 1-2
gr/12jam/IV
b. Metronidazole, klindamisin atau kloramfenikol untuk
bakteri anaerob terutama B. fragilis. Dosis metronidazole
500 mg/6 jam/IV
c. Aminoglikosida untuk bakteri gram negatif yang resisten.
d. Ampicilin-sulbaktam atau kombinasi klindamisin-
metronidazole, aminoglikosida dan siklosporin.
Drainase abses
Pengobatan pilihan untuk keberhasilan pengobatan adalah drainase
terbuka terutama pada kasus yang gagal dengan pengobatan
konservatif. Penatalaksanaan saat ini adalah dengan menggunakan
drainase perkutaneus abses intraabdominal dengan tuntunan
abdomen ultrasound atau tomografi komputer.
Drainase bedah
Drainase bedah dilakukan pada kegagalan terapi antibiotik, aspirasi
perkutan, drainase perkutan, serta adanya penyakit intra-abdomen
yang memerlukan manajemen operasi.
18
J. KOMPLIKASI
J.1 Abses Hepar Amoeba
K. PROGNOSIS
Pada kasus AHA, sejak digunakan obat seperti dehidroemetin atau emetin,
metronidazole dan kloroquin, mortalitas menurun tajam. Mortalitas di rumah
sakit dengan fasilitas menurun tajam. Mortalitas di rumah sakit dengan
fasilitas memadai sekitar 2% dan pada fasilitas yang kurang memadai
mortalitasnya 10%. Pada kasus yang membutuhkan tindakan operasi
mortalitas sekitar 12%. Jika ada peritonitis amuba, mortalitas dapat mencapai
19
40-50%. Kematian yang tinggi ini disebabkan keadaan umum yang jelek,
malnutrisi, ikterus, dan renjatan. Sebab kematian biasanya sepsis atau sindrom
hepatorenal. Selain itu, prognosis penyakit ini juga dipengaruhi oleh virulensi
penyakit, status imunitas, usia lanjut, letak serta jumlah abses dan terdapatnya
komplikasi. Kematian terjadi pada sekitar 5% pasien dengan infeksi
ektraintestinal, serta infeksi peritonial dan perikardium. (2,13)
Prognosis abses piogenik sangat ditentukan diagnosis dini, lokasi yang
akurat dengan ultrasonografi, perbaikan dalam mikrobiologi seperti kultur
anaerob, pemberian antibiotik perioperatif dan aspirasi perkutan atau drainase
secara bedah. Faktor utama yang menentukan mortalitas antara lain umur,
jumlah abses, adanya komplikasi serta bakterimia polimikrobial dan gangguan
fungsi hati seperti ikterus atau hipoalbuminemia. Komplikasi yang berakhir
mortalitas terjadi pada keadaan sepsis abses subfrenik atau subhepatik, ruptur
abses ke rongga peritonium, ke pleura atau ke paru, kegagalan hati, hemobilia,
dan perdarahan dalam abses hati. Penyakit penyerta yang menyebabkan
mortalitas tinggi adalah DM, penyakit polikistik dan sirosis hati. Mortalitas
abses hati piogenik yang diobati dengan antibiotika yang sesuai bakterial
penyebab dan dilakukan drainase adalah 10-16 %. Prognosis buruk apabila:
terjadi umur di atas 70 tahun, abses multipel, infeksi polimikroba, adanya
hubungan dengan keganasan atau penyakit immunosupresif, terjadinya sepsis,
keterlambatan diagnosis dan pengobatan, tidak dilakukan drainase terhadap
abses, adanya ikterus, hipoalbuminemia, efusi pleural atau adanya penyakit
lain. (1,2)
20
Laboratorium : peningkatan AFP, PIVKA II, alkali
fosatase
USG : lesi lokal/ difus di hati
Kolesistitis akut Merupakan reaksi inflamasi kandung empedu akibat
infeksi bakterial akut yang disertai keluhan nyeri perut
kanan atas, nyeri tekan, dan panas badan.
Anamnesis : nyeri epigastrium atau perut kanan atas
yang dapat menjalar ke daerah scapula kanan, demam.
Pemeriksaan fisik : teraba massa kandung empedu,
nyeri tekan disertai tanda-tanda peritoitis lokal,
Murphy sign (+), ikterik biasanya menunjukkan
adanya batu di saluran empedu ekstrahepatik.
Laboratorium: leukositosis
USG : penebalan dining kandung empedu, sering
ditemukan pula sludge atau batu.
21
DAFTAR PUSTAKA
22
10. Nickloes, Todd A. Pyogenic liver abcesses. January 23th, 2009. November
1st, 2011. Available from http://emedicine.medscape.com/article/193182-
overview#showall.
11. Crawford, James M. Hati dan saluran empedu. Dalam : Kumar. Cotran.
Robbins. Robbins buku ajar patologi vol.2 edisi 7. Jakarta : EGC. 2007.
Hal 684.
12. Fauci. et all. Infectious disease. In : Harrisons principles of internal
medicine 17th edition. USA. 2008. Chapter 202.
13. Brailita, Daniel. Amebic liver abscesses. September 19th, 2008. November
1st, 2011. Available from http://emedicine.medscape.com/article/183920-
overview#showall.
14. Junita,Arini. Widita,Haris. Soemohardjo,Soewignjo. Beberapa kasus abses
hati amuba. Dalam : Jurnal penyakit dalam vol. 7 nomor 2. Mei 2006. 1
November 2011. Diunduh dari :
http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/beberapa%20kasus%20abses%20hati%2
0amuba%20(dr%20arini).pdf.
15. Kliegman. Behrman. Jenson. Stanton. The digestive system. In : Nelson
textbook of pediatric 18th edition. USA. 2007. Chapter 356.
16. Iljas, Mohammad. Ultrasonografi hati. Dalam : Rasad, Sjahriar. Radiologi
diagnostik edisi kedua. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2008. Hal 469.
17. Syarif, Amir. Elysabeth. Amubisid. Dalam : Gunawan, Sulistia Gan.
Setiabudy, Rianto. Nafrialdi. Farmakologi dan terapi edisi 5. Jakarta :
Balai Penerbit UI. 2008. Hal 551-554.
18. Rani, Aziz. Soegondo, Sidartawan. Nasir, Anna Uyainah. Wijaya, Ika
Prasetya. Nafrialdi. Mansjoer, Arif. Abses hati. Kolesistitis akut. Dalam :
Panduan pelayanan medik perhimpunan dokter spesialis penyakit dalam
Indonesia. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam. 2009. Hal 321-
324.
19. Almatsier, Sunita. Diet penyakit hati dan kandung empedu. Dalam :
Penuntun diet edisi baru. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. 2010.
Hal 120-122.
23