Anda di halaman 1dari 21

Tugas Mandiri Langkah 2

Blok Sistem Gastrointestinal


Skenario 4
“NYERI PERUT KANAN ATAS”

Nama : Resa Pantiana

NPM : 1102021203

Kelompok : B10

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
2022-2023
Sasaran Belajar

1. Memahami dan Menjelaskan Entamoeba Histolytica


1.1.Morfologi
1.2.Siklus hidup
2. Memahami dan Menjelaskan Amebiasis
2.1.Definisi dan Klasifikasi
2.2.Epidemiologi
2.3.Etiologi
2.4.Patofisiologi
2.5.Manifestasi klinis
2.6.Diagnosis dan Diagnosis Banding
2.7.Tatalaksana
2.8.Komplikasi
2.9.Pencegahan
2.10. Prognosis
Jawaban

1. Memahami dan Menjelaskan Entamoeba Histolytica


1.1.Morfologi

1. Trofozoit:
Ini adalah tahap pertumbuhan dan pemberian makan parasit
• bentuk:tidak tetap karena posisi terus berubah
• Ukuran: mulai dari 18-40 m; rata-rata menjadi 20-30 m
• Sitoplasma: sitoplasma dibagi menjadi dua bagian; ektoplasma bening bening
dan endoplasma granular. Sel darah merah yang tertelan, butiran jaringan dan
bahan makanan juga ditemukan di endoplasma
• Nukleus: Ini adalah tunggal, bentuk dan ukuran bulat mulai dari 4-6µ Nukleus
mengandung kariosom pusat dan kromatin perifer halus.
• Trophozoites aktif bergerak dengan bantuan pseudopodia.
• Trophozoites adalah parasit anaerobik, (ada di usus besar)

2. Pra kista:
Ini adalah tahap peralihan antara trofozoit dan kista
• Ukurannya lebih kecil; 10-20µ
• Itu bulat atau sedikit bulat telur dengan pseudopodium tumpul menonjol dari
pinggiran
• Tidak ada sel darah merah atau bahan makanan yang ditemukan pada
endoplasma nya.
3. Kista:
Ini adalah bentuk parasit infektif.
• Bentuk: Berbentuk bulat atau bulat atau lonjong
• Ukuran: diameter 12-15 m
• Dikelilingi oleh membran yang sangat retraksi yang disebut dinding kista.
Dinding kista tahan terhadap pencernaan oleh getah lambung di perut manusia
• Nukleus: Kista dewasa berinti empat.
• Sitoplasma: Sitoplasma menunjukkan batang kromatid dan massa glikogen
tetapi tidak ada sel darah merah atau partikel makanan.
• Kista matang keluar melalui tinja dari pasien yang terinfeksi dan tetap tanpa
perkembangan lebih lanjut di tanah selama beberapa hari.

1.2.Siklus hidup

• Dalam daur hidupnya E.hystolitica mempunyai 2 stadium: trofozoit dan kista. Bila
kista matang tertelan, kista tersebut tiba di lambung masih dalam keadaan utuh
karena dinding kista tahan terhadap asam lambung. Di rongga terminal usus halus,
dinding kista dicernakan terjadi eskistasi dan keluarlah stadium trofozoit yang
masuk ke rongga usus besar. Dari 1 kista yang mengandung 4 buah inti, akan
terbentuk 8 buah trofozoit. Stadium trofozoit berukuran 10-60 mikron (sel darah
merah 7 mikron); mempunyai inti entameba yang terdapat di endoplasma.
Ektoplasma bening homogen terdapat di tepi bagian sel, dapat dilihat dengan nyata.
Pseudopodium yang dibentuk dari ektoplasma, besar dan lebar seperti daun,
dibentuk dengan mendadak, pergerakannya cepat dan menuju suatu arah (linier).
Endoplasma berbutir halus, biasanya mengandung bakteri atau sisa makanan. Bila
ditemukan sel darah merah disebut erythrophagocytosis merupakan tanda
patognomonik infeksi E. Hystolitica.
• Stadium trofozoit dapat bersifat patogen dan menginvasi jaringan usus besar.
Dengan aliran darah, menyebar ke jaringan hati, paru, otak, kulit dan vagina. Hal
itu disebabkan sifantnya yang dapat meruska jaringan sesuai dengan nama
spesiesnya E. hystolitica (histo=jaringan, lysis=hancur). Stadium trofozoit
berkembang biak dengan cara belah pasang. Pada tinja segar, pseudopodium
terlihat dibentuk perlahan-lahan sehingga pergerakannya lambat.
• Stadium kista dibentuk dari stadium trofozoit yang berada di rongga usus besar. Di
dalam rongga usus besar, stadium trofozoit dapat berubah menjadi stadium precyst
yang berinti satu (enkistasi), kemudian membelah menjadi berinti 2, dan akhirnya
berinti 4 yang dikeluarkan bersama tinja. Ukuran kista 10-20 mikron, berbentuk
bulat atau lonjong, mempunyai dinding kista dan terdapat inti entameba. Dalam
tinja stadium ini biasanya berinti 1 atau 4, kadang-kadang terdapat yang berinti 2.
Di endoplasma terdapat benda kromatoid besar berupa lisong dan terdapat vakuol
glikogen. Benda kromatoid dan vakuol glikogen dianggap sebagai makanan
cadangan, karena itu terdapat pada kista muda.
• Pada kista matang, benda kromatoid dan vakuol glikogen biasanya tidak ada lagi.
Stadium kista tidak patogen, tetapi merupakan stadium yang infektif. Dengan
adanya dinding kista, stadium kista dapat bertahan terhadap pengaruh buruk di laur
badan manusia. Infeksi terjadi dengan menelan kista matang.
• Infeksi dapat ditetapkan dengan menemukan stadium kista dan/atau trofozoit dalam
tinja. Entamoeba hystolytica tidak selalu menyebabkan gejala (asimtomatik).
Stadium trofozoit dapat ditemukan pada tinja yang konsistensinya lembek atau cair,
sedangkan stadium kista biasanya ditemukan pada tinja padat.

2. Memahami dan Menjelaskan Amebiasis


2.1.Definisi dan Klasifikasi
Definisi
Amebiasis (disentri amoeba, enteritis ameba, kolitis arr eba) adalah penyakit infeksi
usus besar yang disebabkan oleh parasit usus Entamoeba histolytica. Penyakit ini
tersebar hampir di seluruh dunia Sebagian besar di negara berkembang yang berada di
daerah tropis. Hal ini karena faktor kepadatan penduduk, individu higiene, dan sanitasi
lingkungan hidup serta sosial ekonomi dan budaya yang menunjang.

Klasifikasi
1. Amoebiasis Intestinal
• Amoebiasis Kolon Akut
- Nyeri perut
- Diare → feses cair, berlendir atau berdarah. Frekuensi diare
dapat mencapai 10 x perhari.
- Demam dapat ditemukan pada 1/3 penderita.
- Pasien terkadang tidak nafsu makan sehingga berat badannya
dapat menurun.
- Pada stadium akut dapat ditemukan feses dengan darah, dengan
sedikit leukosit serta stadium trofozoit.
• Amoebiasis Colon Kronik
- Rasa tidak enak di perut
- Diare yang diselingi obstipasi (sembelit).
- Gejala tersebut dapat diikuti oleh reaktivasi gejala akut secara
periodik.
- Pada pemeriksaan tinja segar, stadium trofozoit E. histolytica
sulit ditemukan, karena sebagian besar parasit sudah masuk ke
jaringan usus. Karena itu dilakukan uji serologi untuk
menemukan antigen E. histolytica.
- Predileksi terutama di daerah apendiks atau sekum, jarang sekali
ditemukan di sigmoid.
2. Amoebiasis Extraintestinal (Amoebiasis yang mengalami eksaserbasi)
E. Histolytica sudah mengalami penyebaran ke organ lain akibat mengikuti
aliran darah, seluruh aliran darah sistem pencernaan bermuara di vena porta
hepatica sehingga yang sering terkena adalah hati.
- Abses hati merupakan manifestasi ekstraintestinal yang paling sering
ditemukan. Sebagian besar penderita memperlihatkan gejala dalam
waktu yang relatif singkat (2-4 minggu).
- Demam, batuk, nyeri perut kuadran kanan atas. Pada 10%-35%
penderita dapat ditemukan gangguan gastrointestinal berupa mual,
muntah, kejang otot perut, perut kembung, diare dan konstipasi.
- Abses hati lebih banyak ditemukan pada orang dewasa dibandingkan
anak-anak. Kebanyakan abses terbentuk di lobus kanan hati, biasanya
soliter. Abses berisi nanah yang berwarna coklat.
- Pada pemeriksaan tinja, E. histolytica hanya ditemukan pada sebagian
kecil penderita abses hati. Dapat ditemukan leukositosis dan
peningkatan serum alkali fosfatase pada pemeriksaan darah.
- Komplikasi abses hati dapat berupa penjalaran secara langsung ke
pleura dan atau perikardium, abses otak dan amebiasis urogenitalis.

2.2.Epidemiologi
Amebiasis terdapat di seluruh dunia atau bersifat kosmopolit terutama di daerah
yang kondisi sanitasi yang kurang baik. Parasit ini terutama ada di daerah tropis dan
daerah beriklim sedang. Secara epidemiologi didapatkan 8-15 per 100.000 kasus yang
memerlukan perawatan di RS. Laju infeksi yang tinggi terjadi di tempat-tempat
penampungan anak atau pengungsi dan di negara-negara berkembang dengan sanitasi
lingkungan yang buruk.
Prevalensi amebiasis di Amerika Serikat adalah sebesar 1-5%. Strain patogen lebih
banyak ditemukan di negara beriklim tropis dibandingkan di negara maju dengan iklim
sedang. Pada negara maju lebih sering ditemukan pasien asimptomatik, sedangkan di
negara berkembang lebih banyak ditemukan pasien asimptomatik.
Data terkait infeksi E. histolytica masih terbatas di Indoneisa. Data yang ada
menunjukkan prevalensi amebiasis di Indonesia berkisar antara 10 – 18%.Sebuah studi
di Jakarta pada tahun 2009 – 2010 menemukan bahwa 6,5% anak yang mengalami
diare berdarah memiliki trofozoit di dalam fesesnya.

2.3.Etiologi
Amebiasis terjadi bila seseorang terinfeksi Entamoeba histolytica. Terdapat beberapa
faktor terjadi infeksi Entamoeba Histolytica yaitu:

2.4.Patofisiologi
Kista dan trofozoit dikeluarkan melalui feses. 1. Kista biasanya ditemukan pada
tinja yang terbentuk, sedangkan trofozoit biasanya ditemukan pada tinja yang diare.
Infeksi Entamoeba histolytica (dan E.dispar ) terjadi melalui konsumsi kista matang 2.
dari makanan, air, atau tangan yang terkontaminasi tinja. Paparan kista menular dan
trofozoit dalam kotoran selama kontak seksual juga dapat terjadi. Excystation 3 terjadi
di usus kecil dan trofozoit 4 dilepaskan, yang bermigrasi ke usus besar. Trofozoit
mungkin tetap terbatas pada lumen usus (A: infeksi noninvasif) dengan individu yang
terus mengeluarkan kista di tinja mereka (pembawa asimtomatik). Trophozoites dapat
menyerang mukosa usus (B: penyakit usus), atau pembuluh darah, mencapai situs
ekstraintestinal seperti hati, otak, dan paru-paru (C: penyakit ekstraintestinal).
Trophozoites berkembang biak dengan pembelahan biner dan menghasilkan kista 5 ,
dan kedua tahap dilewatkan dalam tinja 1. Kista dapat bertahan hidup berhari-hari
hingga berminggu-minggu di lingkungan eksternal dan tetap menular di lingkungan
karena perlindungan yang diberikan oleh dindingnya. Trofozoit yang dikeluarkan
melalui feses dengan cepat dihancurkan begitu berada di luar tubuh, dan jika tertelan
tidak akan bertahan jika terpapar lingkungan lambung.
2.5.Manifestasi klinis
• Carrier (cyst passer)
Pasien tidak menunjukan gejala klinis sama sekali. hal ini disebabkan karena
ameba yang berada di dalam lumen usus besar tidak mengadakan invasi ke
dinding usus.
• Amebiasis Intestinal Ringan (Disentri Ameba Ringan)
timbulnya penyakit (onset penyakit) perlahan-lahan. penderita biasanya mengeluh
perutnya kembung, kadang-kadang nyeri perut ringan yang bersifat kejang. dapat
timbul diare ringan, 4-5 kali sehari dengan tinja berbau busuk. kadang-kadang
tinja bercampur darah dan lendir. sedikit nyeri tekan di daerah sigmoid. keadaan
umum pasien biasanya baik, tanpa atau disertai demam ringan. kadang-kadang
terdapat hepatomegali yang tidak atau sedikit nyeri tekan.
• Amebiasis intestinal sedang (Disentri Ameba Sedang)
keluhan pasien dan gejala klinis lebih berat dibanding disentri ringan, tetapi
pasien masih mampu melakukan aktivitas sehari-hari. tinja disertai darah dan
lendir. pasien mengeluh perut kram, demam dan lemah badan, disertai
hepatomegali yang ringan.
• Disentri Ameba Berat
keluhan dan gejala klinis lebih hebat lagi. penderita mengalami diare disertai
darah yang banyak, lebih dari 15 kali sehari. demam tinggi disertai mual dan
anemia. pada saat ini tidak dianjurkan melakukan pemeriksaan sigmoidoskopi
karena dapat mengakibatkan perforasi usus.
• Disentri Ameba Kronik
Gejala menyerupai disentri ameba ringan, serangan-serangan diare diselingi
dengan periode normal atau tanpa gejala. keadaan ini dapat berjalan berbulan-
bulan atau bertahun-tahun. pasien biasanya menunjukkan gejala neurasthenia.
serangan diare biasanya terjadi karena kelelahan, demam, atau makanan yang
sukar dicerna.

2.6.Diagnosis dan Diagnosis Banding


A. Anamnesis
o Kapan pertama kali pasien mengalami rasa nyeri di perut?
o Adakah gejala lain seperti seperti nyeri perut dan diare?
o Bagaimana dengan warna tinja nya? Apakah berwarna disertai darah?
o Pernahkah bepergian sebelumnya?
o Bagaimana riwayat penyakit sebelumnya apakah pernah pernah diare?
o Pernahkah mengkonsumsi makanan atau minuman yang tidak bersih?
o Apakah dari keluarga nya terdapat yang menderita penyakit seperti ini juga?
o Bagaimana keadaan lingkungan sekitarnya? Bersih atau kotor sumber air?
o Bagaimana pola makannya?
o Seberapa sering pasien mengalami sakit perut?
B. Pemeriksaan Fisik
o Pasien bisa disertai demam, penurunan berat badan secara drastis.
o Kadang ditemukan anoreksia.
o Pada pemeriksaan abdomen didapatkan nyeri tekan pada bagian atas kanan.
o Hepatomegali, deskripsi pemeriksaannya: nyeri tekan, ukuran (berapa cm
dari px dan ac), tepi tajam → hepatitis akut, tepi tak rata → sirosis,
hepatoma, tepi tumpul → hepatitis kronis, permukaan licin → hepatitis,
permukaan berbenjol → hepatoma, konsistensi lunak/kenyal → akut,
konsistensi keras → ganas.
C. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis penyakit amebiasis adalah dengan menemukan parasit di dalam
tinja atau jaringan. Diagnosis laboratorium dapat dibuat degan pemeriksaan
mikroskopik dengan menemukan parasit dalam biakan tinja sering dijumpai
Entamoeba histolytica bersama dengan cristal-leyden.
1. Pemeriksaan Tinja
Diagnosis amebiasis intestinal dapat dilakukan dengan teknik
pemeriksaan telur dan parasit. Prosedur ini termasuk sediaan langsung
dengan cairan garam, yang dapat melihat pergerakan organismenya; teknik
konsentrasi, yang merupakan teknik untuk menemukan telur cacing dan
larva serta kista protozoa; dan sediaan hapus dengan pulasan permanen,
yang merupakan teknik terpenting untuk diagnosis protozoa usus.
Meskipun pergerakannya dapat dilihat pada sediaan basah langsung,
bahannya harus segar dan diagnosis infeksi amebik tidak boleh ditegakkan
hanya dari pemeriksaan ini. Sedikitnya teknik konsentrasi dan sediaan
dengan pulasan pennanen harus dikerjakan untuk setiap tinja yang dikirim
ke laboratorium untuk pemeriksaan telur dan parasit.
2. Kultur/biakan
Biakan diagnostik dibuat dalam lapisan cairan yang terdapat diatas
nutrien dasar yang padat dalam keadaan anaerob sebagian. Perbenihan
difasik Dobell dan perbenihan Claveland-Collier paling sering digunakan.
3. Sigmoidoskopi dan biopsy
Pada infeksi intestinal ringan, biasanya tidak dapat dideteksi dengan
teknik ini, namun pada infeksi berat teknik ini dapat mendiagnosis dengan,
yaitu:
§ Mendeteksi adanya bintik-bintik mucus yang banyak terdapat
tropozoit
§ Menggambarkan ulkus yang ada. Biopsi spesimen harus dikirimkan
untuk pemeriksaan histopatologi dalam rangka menegakkan
diagnosis definitif. Teknik Immunofluresen secara efektif dapat
mendeteksi adanya infeksi entamoeba hystiolitica pada jaringan
biopsi.
4. Radiologi
Pemeriksaan radiologi dengan bantuan barium dapat membantu,
namun adanya barium dalam tinja daPat menyebabkan pemeriksaan telur
dan parasit sulit dilakukan. Oleh karena itu pemeriksaan telur dan parasit
harus dikerjakan sebelum dilakukan pemeriksaan dengan barium atau satu
minggu sampai 10 hari sesudahnya.
5. Serologi
Tes serologi terutama ditujukan untuk amebiasis ekstraintestinal
ketika pemeriksaan tinja sering memberikan hasil negatif. Serodiagnosis,
biasanya dengan uji IHA dianggap peka dan spesifik. Uji serologis pada
infeksi intestinal kurang dapat dipercaya kecuali bila telah terjadi invasi
jaringan. Tes lain untuk membedakan strain patogenik dan non patogenik
(Entamoeba dispar) pada bahan tinja adalah dengan ELISA, yang
menggunakan antibodi monoklonal terhadap adesin galaktosa,epitop
spesifik patogen dari E histolytica.
6. Pemeriksaan laboratorium lain
Terkadang ditemukan leukositosis (15.000- 25.000), neutrophili dan
peningkatan kecepatan sedimentasi adalah karakteristik. Dapat terjadi
anemia normositik normokromik. Tes fungsi hati biasanya bernilai kecil,
walaupun transaminase dan alkali phospatase dapat meningkat.
Pemeriksaan tinja hanya ditemukan sekitar 40% pada pasien dengan abses
amebiasis hepar
D. Pemeriksaan Fungsi Hati
1. Tes Fungsi Hati
Mengukur tingkat produk yang dihasilkan hati disebut sebagai tes
fungsi hati (liver function test/LFT). Pada LFT ada beberapa keadaan yang
umum ditemukan, antara lain adalah gangguan permeabilitas dinding sel,
kapasitas sintesis, dan fungsi ekskresi.
2. Tes Integritas Sel
§ ALT (alanin transaminase) atau SGPT (serum glutamate pyruvate
transaminase)
ALT adalah enzim yang dibuat dalam sel hati (hepatosit), jadi lebih
spesifik untuk penyakit hati dibandingkan dengan enzim lain.
Biasanya peningkatan ALT terjadi bila ada kerusakan pada selaput
sel hati. Setiap jenis peradangan hati dapat menyebabkan
peningkatan pada ALT.
§ AST (aspartat transaminase) atau SGOT (serum glutamate
oxcaloacetat transaminase)
AST adalah enzim mitokondria yang juga ditemukan dalam jantung,
ginjal dan otak. Jadi tes ini kurang spesifik penyakit hati.
§ GLDH (glutamate dehidrogenase)
GLDH bersifat unikoluker terletak dalam mitochondria. Enzim ini
peka karena itu baik untuk deteksi dini kerusakan sel hati. Cortison
dan sulfonil urea dosis terapi dapat menurunkan GLDH.
§ LDH (laktat dehidrogenase)
LDH adalah enzim yang ditemukan dalam banyak jaringan tubuh,
termasuk hati. Peningkatan tingkat dari LDH dapat menunjukkan
kerusakan hati.

E. Tes Fungsi Sintesis


o Albumin
Pada gangguan fungsi hati kadar dalam darah menurun (hipoalbuminemia).
Pemeriksaan yang dapat dipakai adalah cara
Bromcresylgreendan elektroforesa.
o Masa Protrombine (PT)
Hati merupakan tempat sintesis Vitamin K dan bahan lain untuk membantu
proses koagulasi, jika terdapat kerusakan pada hati, maka akan terdapat
masa protrombin memanjang.
o Cholinesterase (ChE)
Penurunan aktivitas ChE lebih spesifik dari pemeriksaan albumin karena
aktivitas ChE kurang dipengaruhi faktor-faktor di luar hati dibandingkan
dengan pemeriksaan kadar albumin.

F. Tes Fungsi Ekskresi


o Bilirubin
Bilirubin adalah produk utama dari penguraian sel darah merah. Bilirubin
disaring dari darah oleh hati dan dikeluarkan pada cairan empedu. Bila hati
rusak maka bilirubin serum meningkat. Sebagian dari bilirubin serum
termetabolisme, dan disebut sebagai bilirubin conjugated).Bila meningkat,
penyebab biasanya luar hati. Bila bilirubin conjugated rendah sementara
bilirubin serum tinggi, kerusakan pada hati atau pada saluran cairan empedu
dalam hati. Bilirubin mengandung bahan pewarna, bila tingkatnya sangat
tinggi, kulit dan mata dapat menjadi kuning, yang menyebabkan ikterus.
o Alkaline Phosphatase (ALP)
ALP meningkat pada berbagai jenis penyakit hati (sirosis, kanker), tetapi
juga dapat terjadi berhubungan dengan penyakit tidak terkait dengan hati.
ALP sebetulnya adalah suatu kumpulan enzim serupa, yang dibuat dalam
saluran cairan empedu dan selaput dalam hati, tetapi juga ditemukan di
banyak jaringan lain. Peningkatan ALP dapat terjadi bila saluran cairan
empedu dihambat.
o γ-Glutamil Transferase (GGT)
GGT sering meningkat pada orang yang memakai alkohol atau zat lain yang
toksi bagi hati berlebihan. Enzim ini dibuat dalam banyak jaringan selain
hati. Serupa dengan ALP, GGT dapat meningkat dalam darah pasien dengan
penyakit saluran empedu. Namun tes GGT sangat peka, dan tingkat GGT
dapat tinggi berhubungan dengan hampir semua penyakit hati, bahkan juga
orang yang sehat. GGT juga dibuat sebagai reaksi pada beberapa obat dan
zat, termasuk alkohol, jadi peningkatan GGT kadang kala (tetapi tidak
selalu) dapat menunjukkan penggunaan alkohol. Penggunaan pemanis
sintetis sebagai pengganti gula, seumpamanya dalam diet soda, dapat
meningkatkan GGT

2.7.Tatalaksana
1. Terapi suportif
Terapi ini diberikan untuk membantu daya tahan tubuh dari host. Dapat dilakukan
diet dengan:
• Diet rendah karbohidrat untuk menurunkan infeksi virus
• Diet tinggi protein untuk meningkatkan daya tahan tubuh host.

2. Terapi dengan medikamentosa


Ameba dapat ditemukan di dalam lumen usus, di dinding usus maupun di luar usus.
Hampir semua obat amebesid tidak dapat bekerja efektif di semua tempat tersebut,
terutama bila diberikan obat tunggal, sehingga perlu diberikan obat kombinasi
untuk meningkatkan hasil pengobatan. Amebiasis asimptomatik (carrier atau cyst
passer). Walaupun tanpa keluhan dan gejala klinis, pasien ini sebaiknya diobati
karena merupakan sumber infeksi utama. Obat yang digunakan adalah amebesid
luminal misalnya:
• Diloksanid furoat (Diloxanite furoate)
- Dosis 3 x 500 mg sehari, selama 10 hari, diberikan sebelum makan.
Dosis anak-anak adalah 25 mg/kgBB/hari. Saat ini obat ini
merupakan amebesid luminal pilihan, karena memiliki efektivitas
tinggi (80-85%).
- Efek samping minimal: mual dan kembung.
• Diyodohidroksikuin (Diiodohydroxyquin)
- Dosis 3 x 600 mg sehari, selama 10 hari.
- Efek samping: dermatitis generalisata, nyeri abdomen, diare dan
sakit kepala iritatif dan pruritik. Terapi Kontraindikasi untuk
penderita yang hipersensitif iodium atau setiap bahan campuran
yang mengandung 8-hidroksikuinolin.
• Yodoklorohidroksikin (Iodochlorohydroxyquin) atau kliokinol
(clioquinol)
- Dosis 3 x 250 mg sehari, selama l0 hari. cukup efektif sebagai
amebesid luminal.
- Efek samping: mual dan muntah, tapi dapat juga berat, berupa
subacute myelooptic neuropathy (SMON). Hal ini hanya terjadi bila
dosis dan jangka waktu pemberian obat melebihi aturan pakai yang
telah ditentukan.
- Kontra indikasi : penderita yang mengidap penyakit optic rc
uropathy, penderita penyakit kelenjar gondok, karena dapat
mengakibatkan pembesaran kelenjar gondok
• Karbasot(Carbarsone)
- Dosis 3 x 500 mg sehari, selama 7 hari. Dosis yang terlalu tinggi
dapat menyebabkan keracunan arsen.
- Kontra indikasi: pada penderita dengan gangguan hati.
• Bismuthglycoarsanilate
- Dosis 3 x 500 mg sehari, selama 7 hari, sudah jarang dipakai lagi
- Efek samping: diare
• Klefamid(Clefamide)
- Dosis 3 x 500 mg sehari, selama 10-13 hari
• Tetrasiklin
- Dosis 4 x 500 mg sehari, selama 5 hari.
• Paromomycin
- Dosis 3 x 500 mg sehari, selama 5 hari.
- Dianjurkan untuk menambahkan amebesid jaringan sebagai
profilaksis, misalnya:
• Klorokuin difosfat (chloroquiru diphosphate)
- Dosis 2 x 500 mg sehari, selama l-2 hari, kemudian dilanjutkan 2 x
250 mg sehari, selama 7-12 hari.
- Efek samping: mual, pusing dan nyeri kepala. Pemakaian jangka
lama dapat menyebabkan retinopati.
- Tidak dianjurkan bagi wanita hamil, karena dapat mengakibatkan
anak yang lahir akan tuli
• Metronidazole
- Dosis 35-50 mg/kgbb atauS x 500 mg sehari, selama 5 hari.l
• Tinidazol
- Dosis 50me/kgbb atau 2 g hari peroral selama 2-5 hari.t'2
• Ornidazole
- Dosis 50-60 m/kg bb atau 2 g/hari/per oral selama 3-5 hari.

Disentri ameba ringan – sedang: jika Pada pasien ditemukan ulkus di


mukosa usus besar yang dapat mencapai lapisan submukosa dan dapat
mengakibatkan gangguan peristaltik usus, dan didapatkan stadium tropozoit di
dalam lumen dan dalam dinding usus besar. Pada kondisi seperti ini obat pilihannya
adalah metronidazol dengan dosis 3 x 750 mg sehari, selama 5-10 hari. Dapat juga
diberi tinidazole dan ornidazol dengan dosis seperti tersebut diatas. Oleh karena
pasien yang telah sembuh dengan pengobatan metronidazol dapat timbul abses hati
ameba dalam waktu 3-4 bulan kemudian, maka dianjurkan untuk menambah terapi
dengan obat amebesid luminar. Obat ini akan memberantas sumber tropozoit di
dalam lumen usus. Dapat digunakan diyodohidroksikin, kliokinol, diloksanid
furoat, dan tetrasiklin dengan dosis seperti tersebut diatas.
Disentri ameba berat : Pasien tidak hanya membutuhkan obat amebesid
saja, tapi juga memerlukan infus elektrolit atau transfusi darah. Pengobatan sama
dengan kasus disentri ameba ringan-sedang ditambah dengan emetin 1 mg/kgbb
sehari (maksimum 60 mg sehari) selama 3-5 hari dan dehidroemetin 11.5 mg/kg
bb sehari (maksimum 90 mg sehari) selama 3-5 hari secara intramuskular atau
subkutan yang dalam. Selama pengobatan dengan emetin sebaiknya penderita
dirawat di rumah sakit karena pemakaian emetin dosis tinggi akan menimbulkan
efek samping yang berat berupa efek kardiotoksisitas, antara lain berupa nekrosis
otot jantung, aritmia atau penderita dapat meninggal secara mendadak, sehingga
penderita perlu diobservasi dengan teliti terutama dilakukan pemeriksaan tekanan
darah, denyut nadi dan elekirokardiogafi.
Penderita abses hati ameba dapat diberi metronidazol atau golongan nitroimidazole
lainnya dengan dosis seperti tersebut di atas. Dapat juga diberikan klorokuin
difosfat 1 g sehari,selama 1-2 hari| dilanjutkan dengan 600 mg sehari, selama 4
minggu. Masing-masing obat tersebut perlu ditambah emetin atau dihidroemetin
selama 10 hari.6,7 Bila abses hati sangat besar (lebih dari 5 cm), perlu
dipertimbangkan tindakan pungsi abses untuk. mempercepat penyembuhan. pada
amebiasis ekstraintestinal lainnya dan ameboma dapat diberikan obat-obat seperti
t.rs.bridi atas, kecuali klorokuin.

3. Terapi pembedahan
Selain dengan medikamentosa, abses hepar yang disebabkan oleh amoeba
dapat juga dilakukan tindakan aspirasi, drainase perkutan dan drainase bedah.
Aspirasi dilakukan apabila pengobatan medikamentosa dengan berbagai cara
tersebut di atas tidak berhasil (72 jam), bila terapi dengan metronidazol merupakan
kontraindikasi seperti pada kehamilan, Lesi multipel, abses piogenik, kegagalan
terapi dalam 3-5 hari dan ukuran abses 10 cm x 10 cm dan pencegahan terjadinya
ruptur abses lobus kiri ke pericardium.
Drainase perkutan dilakukan pada pasien dengan komplikasi berat seperti pada
abses hepar yang ruptur ke cavum peritoneum. Sedangkan pada drainase bedah
diindikasikan untuk penanganan abses yang tidak berhasil membaik dengan cara
yang lebih konservatif. Juga diindikasikan untuk perdarahan yang jarang terjadi
tetapi mengancam jiwa penderita, disertai atau tanpa adanya ruptur abses. Penderita
dengan septikemia karena abses amuba yang mengalami infeksi. Pada pasien yang
mengalami abses hepar dan empiema karena infeksi sekunder maka diberikan
antibiotik Ceftazidim 3 x 1 gr secara intravenous dan Metronidazol 3 x 500 mg per
oral dan dilakukan pemasangan WSD selama 10 hari

METRONIDAZOL & TINIDAZOL


Metronidazol dan tinidazol oral mudah diserap dan menembus semua
jaringan melalui proses difusi sederhana. Konsentrasi intrasel cepat mendekati
kadar ekstrasel. Konsentrasi plasma puncak tercapai dalam 1-3jam. Pengikatan
protein kedua obat rendah (10-20%) waktu-paruh obat adalah 7,5 jam untuk
metronidazol dan 12-14 jam untuk tinidazol. Metronidazol dan metabolitnya
diekskresikan terutama di urin. Klirens plasma metronidazol berkurang pada pasien
dengan gangguan fungsi hati.
Gugus nitro pada metronidazol secara kimiawi mengalami reduksi pada bakteri
anaerob dan protozoa yang sensitif. Produkproduk reduksi reaktif tampaknya
berperan menyebabkan aktivitas antimikroba. Mekanisme kerja tinidazol
diperkirakan sama.
Efek samping yang dapat timbul pada pemakaian metronidazol dan tinidazol dapat
berupa mual, nyeri kepala, mulut kering, atau rasa logam di mulut sering terjadi.
Efek samping yang jarang adalah muntah, diare, insomnia, kelemahan otot, pusing
bergoyang, thrush, ruam, disuria, urin gelap, vertigo, parestesia, dan neutropenia.
Meminum obat bersama makan dapat mengurangi iritasi pencernaan. Pankreatitis
dan toksisitas berat pada susunan saraf pusat (ataksia, ensefalopati, kejang) jarang
terjadi. Metronidazol memiliki efek mirip disulfiram sehingga dapat terjadi mual
dan muntah jika pasien minum alkohol selama pengobatan. Obat ini perlu diberikan
dengan hati-hati pada pasien dengan gangguan susunan saraf pusat. Infos intravena
jarang menyebabkan kejang atau neuropati perifer. Dosis perlu disesuaikan untuk
pasien dengan penyakit ginjal atau hati yang berat. Tinidazol memiliki profil efek
samping serupa, tetapi tam-paknya obat ini agak lebih ditoleransi dibandingkan
dengan metro-nidazol.

IODOKUINOL
Iodokuinol (diidohidroksikuin) adalah hidroksikuinolin berhalogen. Ini
adalah suatu amubisid lumen yang sering digunakan bersama metronidazol untuk
mengobati infeksi amuba. Data farmakokinetik tidak lengkap, tetapi 90% obat
tertahan di usus dan diekskresikan di feses. Sisanya masuk ke dalam sirkulasi,
memiliki waktu-paruh 11-14 jam, dan diekskresikan di urin sebagai glukuronida.
Mekanisme kerja iodokuinol terhadap trofozoit belum diketahui. Obat ini efektif
terhadap organisme di lumen usus, tetapi tidak terhadap trofozoit di dinding usus
atau jaringan ekstrausus.
Efek samping yang jarang mencakup diare yang biasanya berhenti setelah beberapa
hari anoreksia, mual, muntah, nyeri abdomen, nyeri kepala, ruam, dan pruritus.
Obat mungkin meningkat-kan iodium serum yang terikat ke protein, menyebabkan
penurunan penyerapan yang menetap berbulan-bulan. Beberapa hidrokuinolin
berhalogen dapat menimbulkan neurotoksisitas berat pada pemakaian jangka-
panjang dengan dosis yang lebih tinggi daripada yang dianjurkan. Iodokuinol tidak
diketahui menyebabkan efek-efek ini pada dosis yang dianjurkan, dan dosis ini
jarang dilewati.
Iodokuinol perlu dimakan bersama makanan untuk membatasi toksisitas
pencernaan. Obat ini perlu diberikan dengan hati-hati kepada pasien dengan
neuropati optik, penyakit ginjal atau tiroid, atau penyakit hati non-amuba. Obat ini
perlu dihentikan jika menyebabkan diare menetap atau tanda-tanda toksisitas
iodium (dermatitis, urtikaria, pruritus, demam). Iodokuinol dikontraindikasikan
pada pasien dengan intoleransi terhadap iodium.

DILOKSANID FUROAT
Diloksanid furoat adalah suatu turunan dikloroasetamid. Obat ini efektif
sebagai amubisida lumen, tetapi tidak aktif terhadap trofozoit jaringan. Di usus,
diloksanid furoat terurai menjadi diloksanid dan asam furoat sekitar 90% dari
diloksanid cepat diserap dan kemudian terkonjugasi untuk membentuk
glukuronida, yang cepat diekskresikan di urin. Diloksanid yang tidak terserap
adalah bahan antiamuba yang aktif. Mekanisme kerja diloksanid furoat belum
diketahui.
Diloksanid furoat dianggap oleh banyak orang sebagai obat pilihan untuk infeksi
lumen asimtomatik. Obat ini tidak tersedia secara komersial di AS, tetapi dapat
diperoleh dari beberapa farmasi. Obat ini digunakan dengan amubisida jaringan,
biasanya metronidazol, untuk mengobati infeksi ekstrausus dan usus yang serius.
Diloksanid furoat tidak menimbulkan efek samping serius. Flatus sering terjadi
tetapi mual dan kram abdomen jarang, sementara ruam lebih jarang lagi. Obat ini
tidak dianjurkan untuk wanita hamil.

PAROMOMISIN SULFAT
Paromomisin sulfat adalah suatu antibiotik aminoglikosida (lihat juga Bab
45) yang tidak secara bermakna diserap dari saluran cerna. Obat ini digunakan
hanya sebagai amubisid lumen dan tidak berefek terhadap infeksi amuba di luar
usus. Sejumlah kecil obat yang terserap akan diekskresikan tanpa berubah secara
perlahan, terutama oleh filtrasi glomerulus. Meskipun begitu, obat ini dapat
terakumulasi pada insufisiensi ginjal dan ikut berkontribusi terhadap toksisitas
ginjal. Paromomisin adalah suatu amubisida lumen yang efektif dan tampaknya
memiliki efikasi serupa dan mungkin kurang toksik dibandingkan obat lain dalam
sebuah penelitian baru-baru ini, obat ini lebih baik daripada diloksanid furoatdalam
membersihkan infeksi asimtomatik. Efek samping mencakup gangguan perut dan
dire yang timbul kadang-kadang. Paromomisin parenteral kini digunakail untuk
mengobati leismaniasis viseralis dan dibahas terpisah di teks berikutnya.

EMETIN & DEHIDROEMETIN


Emetin, suatu alkaloid yang berasal dari ipekak, dan dehidroemetin, suatu
analog sintetiknya, efektif terhadap trofozoit jaringan E. histolytica, tetapi karena
cukup toksik, pemakaian keduanya terbatas pada kasus-kasus tak-lazim, misalnya
terjadi amubiasis berat yang memerlukan terapi efektif dan metronidazol tidak
dapat digunakan. Dehidroemetin lebih disukai karena profil toksisitasnya yang
agak lebih baik. Obat-obat ini harus digunakan untuk periode minimal yang
diperlukan untuk mengatasi gejala berat (biasanya 3-5 hari) dan perlu diberikan
secara subkutan (lebih dianjurkan) atau intramuskulus di bawah pengawasan.
Emetin dan dehidroemetin jangan diberikan secara intravena. Efek samping, yang
umumnya ringan pada pemakaian 3-5 hari, meningkat seiring waktu dan berupa
nyeri, nyeri tekan, dan abses steril di tempat penyuntikan diare, mual, dan muntah
kelemahan dan rasa tidak nyaman di otot; serta perubahan minor gambaran
elektrokardiografik. Toksisitas serius mencakup aritmia jantung, gagal jantung, dan
hipotensi. Obat ini jangan digunakan pada pasien dengan penyakit jantung atau hati,
pada anak, atau pada kehamilan, kecuali jika diperlukan secara mutlak.
2.8.Komplikasi
Komplikasi Intestinal
1. Perdarahan Usus
Terjadi apabila ameba mengadakan invasi ke dinding usus besar dan merusak
pembuluh darah. Bila perdarahan hebat dapat berakibat fatal.
2. Perforasi Usus
Terjadi apabila abses menembus lapisan muscular dinding usus besar. Sering
mengakibatkan peritonitis yang mortalitasnya tinggi. Peritonistis juga dapat terjadi
akibat pecahnya abses hati ameba.
3. Ameboma
Terjadi akibat infeksi kronik yang mengakibatkan reaksi terbentuknya massa
jaringan granulasi. Biasanya terjadi di daerah sekum dan rectosigmoid, sukar
dibedakan dengan karsinoma usus besar. Sering mengakibatkan ileus obstruktif
atau penyempitan usus.
4. Intususepsi
Sering terjadi di diaerah sekum (caeca-colic) yang memerlukan tindakan operasi
segera.
5. Penyempitan Usus (Striktura)
Dapat terjadi pada disentri kronik, akibat terbentuknya jaringan ikat atau akibat
ameboma

Komplikasi Ekstra Intestinal


1. Amebiasis Hati
Merupakan penyulit ekstra intestinal yang paling sering terjadi. Abses dapat timbul
bebrapa minggu, bulan atau tahun sesudah infeksi ameba, kadang-kadang terjadi
tanpa diketahui menderita disentri ameba sebelumnya. Infeksi di hati terjadi akibat
embolisasi ameba dan dinding usus besar lewat vena porta, jarang lewat pembuluh
getah bening. Mula-mula terjadi “hepatitis ameba” yang merupakan stadium dini
abses hati, kemudian nekrosis fokal kecil, yang akan bergabung menjadi satu,
membentuk abses tunggal.
Pasien sering mengeluh nyeri spontan di perut kanan atas, kalu berjalan posisinya
membungkuk ke depan dengan kedua tangan diletakkan diatasnya. Hati teraba di
bawah lekung iga, nyeri tekan disertai demam tinggi yang bersifat intermiten atau
remiten. Kadang-kadang terasa nyeri tekan local di daerah antara iga ke-8, ke-9
atau ke-10, jarang terjadi icterus.
2. Amebiasis Pleuropulmonal
Dapat terjadi akibat ekspansi langsung abses hati. Kira-kira 10=20% abses hati
ameba dapat mengakibatkan penyulit ini. Dapat timbul cairan pleura, atelectasis,
pneumonia, atau abses paru. Abses paru dapat pula terjadi akibat embolisasi ameba
langsung dari dinding usus besar. Dapat terjadi hiliran (fistel) hepatobronkial,
penderita batuk-batuk dengan sputum berwarna kecoklatan yang rasanya seperti
hati.
3. Abses otak, limpa, dan organ lain
Dapat terjadi akibat embolisasi ameba langsung dan dinding usus besar maupun
abses hati walaupun sangat jarang terjadi.
4. Amebiasis Kulit
Terjadi akibat invasi ameba langsung dari dinding usus besar, dengan membentuk
hiliran (fistel). Sering terjadi di daerah perineal atau dinding perut. Dapat pula
terjadi di daerah vulvaginal akibat invasi ameba yang berasal dari anus.

2.9.Pencegahan
• Premary prevention
Dengan melakukan promosi kesehatan terkait personal hygiene ( mencuci tangan
dengan bersih sebelum makan dan setelah mencuci anus) dan kebersihan
lingkungan ( memasak air sebelum diminum, mencuci sayuran sampai bersih
sebelum dimasak, buang air besar dijamban, tidak menggunakan tinja manusia
untuk pupuk, menutup makanan dengan baik sehingga terhindar dari kontaminasi
lalat dan kecoa dan membuang sampah ditempatnya ) Mengadakan perbaikan
sanitasi lingkungan dengan melakukan gotong royong untuk Pembersihan
lingkungan
• Spesific protectionnya dengan melakukan pengadaan dan penyediaan air bersih
untuk masyarakat.
Upaya secondary prevention
a. Melakukan skrining atau pemeriksaan pada orang / keluarga penderita yang
terkena penyakit amubiasis.
b. Menegakkan diagnosa dan memberikan terapi pada penderita yang terkena
penyakit amubiasis

• Upaya pencegahan tersier


Pengobatan yang rutin pada carier penyakit amubiasis dan melarang carier untuk
bekerja sebagai juru masak atau pekerjaan yang berhubungan dengan makanan.

Pencegahan pribadi
• Tidak makan makanan mentah (sayuran, daging babi, daging sapi, dan daging
ikan), dan untuk buah dikonsumsi setelah dicuci bersih dengan air
• Minum air yang telah dimasak mendidih baru aman
• Menjaga kebersihan diri, sering gunting kuku, membiasakan cuci tangan
menjelan makan atau sesudah buang air besar
• Tidak boleh buang air kecil/besar di sembarang tempat, tidak menjadikan tinja
segar sebagai pupuk; tinja harus dikelola dengan tangki septik, agar tidak
mencemari sumber air
2.10. Prognosis
Prognosis ditentukan oleh berat ringannya penyakit, diagnosis dan pengobatan dini
yang tepat, serta kepekaan amoeba terhadap pengobatan yang diberikan.
Pada umumnya, prognosis amoebiasis adalah baik terutama yang tanpa komplikasi.
Pada abses hati amebik, kadang-kadang diperlukan pungsi untuk mengeluarkan
nanah. Demikian pula dengan amoebiasis yang disertai penyulit efusi pleura.
Prognosis yang buruk adalah abses otak amoeba (Soewondo, 2010).
Keparahan infeksi amoeba dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas
pada pasien anak-anak terutama neonatus, wanita hamil dan postpartum, pasien
pengguna kortikosteroid, pasien dengan penyakit keganasan, dan pasien malnutrisi.
Infeksi sebelumnya tidak memberikan proteksi untuk infeksi invasif berikutnya
(Dhawan, 2015). Infeksi berulang sering terjadi. Angka kematian setelah
pengobatan kurang dari 1%. Namun, abses hati amuba dapat kompleks oleh ruptur
intraperitoneal pada 5% hingga 10% kasus, yang berpotensi meningkatkan angka
kematian. Perikarditis amuba dan amoebiasis paru memiliki angka kematian yang
tinggi melebihi 20%.
DAFTAR PUSTAKA

Elizabeth A. 2013. Clinical Parasitology a Practical Approach Second Edition. Missouri: Elsevier
Saunders.

Inge Sutanto, Is Sumariah Ismid, Pudji K. Sjarifudin, Saleha Sungkar. 2008. Buku Ajar
Parasitologi Kedokteran. Edisi 4. Jakarta: Balai penerbit FKUI.

Mahmud, Rohela., Lian Lim, Yvonne Ai., Amir, Amirah. 2017. Medical Parasitology A Textbook.
Kuala Lumpur: Springer International Publishing.

Paniker J., CK Jayaram. 2018. Paniker’s Textbook Of Medical Parasitology. 8th ed. New Delhi:
Jaypee Brother Medical Publishers.

Setiati S, dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 6. Jakarta : Interna Publishing. Jilid
1.

Soewondo ES. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2001.

Anda mungkin juga menyukai