Anda di halaman 1dari 20

REFERAT

SINDROM OVARIUM POLIKISTIK


(POLYCYSTIC OVARY SYNDROME)

Pembimbing :
dr. Edy Priyanto, Sp.OG, M.Kes

Disusun Oleh :
Mada Oktav Cakradwipa G1A212123
Fuad azizi G1A212124
Ary suhendra G1A212125

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PENDIDIKAN PROFESI KEDOKTERAN
SMF KEBIDANAN DAN KANDUNGAN
RSUD PROF. DR MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO

2013

1
LEMBAR PENGESAHAN

SINDROM OVARIUM POLIKISTIK


(POLYCYSTIC OVARY SYNDROME)

Oleh :

Mada Oktav Cakradwipa G1A212123


Fuad azizi G1A212124
Ary suhendra G1A212125

Presentasi kasus ini telah dipresentasikan dan disahkan sebagai salah satu
prasyarat mengikuti ujian kepaniteraan Klinik di Bagian Kebidanan dan
Kandungan RS Margono Soekardjo Purwokerto.

Purwokerto, November 2013

Mengetahui,
Pembimbing

dr. Edy Priyanto, Sp.OG, M.Kes

2
BAB I

PENDAHULUAN

Sindrom ovarium polikistik atau PCOS (Polycystic ovarian syndrome)

ditemukan sekitar 4-6% dari semua wanita usia subur (Norwitz et al., 2006)

dengan keadaan hiperandrogen, hirsutisme (William et al., 2006), amenore

(DeCherney et al., 2007) dan obesitas (Wood et al., 2003). Adanya hubungan

antara amenore dengan polikistik ovarian dan obesitas pertama kali dijelaskan

tahun 1935 oleh Stein dan Leventhal, yang kemudian dalam beberapa dekade

dikenal sebagai sindrom Stein-leventhal (Lord et al., 2003). Saat ini gangguan

tersebut dikenal sebagai PCOS dengan karakteristik utama amenore atau

oligomenore dengan adanya bukti klinik atau laboratorium

hiperandrogenemia, dan mungkin berhubungan signifikan dengan wanita yang

mengalami obesitas dan hiperinsulinemia (William el al., 2007).


Penyebab PCOS saat ini masih belum jelas (Norwitz et al., 2006), dan

dianggap multifaktorial (William el al., 2007). Beberapa penelitian mencoba

menghubungkan kejadian PCOS dengan peran genetik, namun hubungannya

masih belum jelas (Wood et al., 2003). Penelitian di Amerika mengenai

kejadian hirsutisme (yang merupakan klinis PCOS) menyebutkan bahwa

ditemukan sekitar 70% pada pasien PCOS, berbeda halnya dengan di Negara

Jepang kondisi ini hanya ditemukan sekitar 10-20% dari seluruh pasien PCOS

(William et al., 2007). Penelitian tersebut mencoba menjelaskan peran genetik

melalui aktifitas 5-reduktase yang mengakibatkan perbedaan kejadian PCOS

pada wanita usia subur (Wood et al., 2003).

3
Menurut William et al. (2007) PCOS berhubungan dengan adanya

resistensi insulin yang juga berkaitan dengan obesitas. Hal serupa dikuatkan

oleh Wood et al. (2003) yang menyatakan bahwa sekitar lebih dari 50% pasien

PCOS bersamaan dengan obesitas. Menurut William et al. (2007) resistensi

insulin mungkin merupakan penyebab utama hiperglikemia dan diabetes

mellitus tipe 2. Sekitar sepertiga pasien PCOS dengan obesitas ditemukan

mengalami toleransi glukosa yang terganggu, dan sebanyak 7,5-10%

mengalami diabetes mellitus tipe 2. Angka tersebut juga ditemukan sedikit

meningkat pada wanita non obes yang mengalami PCOS (10% dengan

toleransi glukosa terganggu, dan 1,5% dengan diabetes) dan jika dibandingkan

dengan populasi umum di Amerika (7,8% dengan toleransi glukosa terganggu,

dan 1% dengan diabetes) [William et al., 2007].


Secara klasik, karakteristik yang ditemukan sepanjang hidup pada

wanita dengan PCOS adalah berupa menses abnormal mulai dari pubertas

dengan akne dan hirsutisme semasa remaja. Hal ini mungkin terjadi hingga

dewasa, yang bersamaan dengan obesitas dan mengalami hiperinsulinemia.

Lemak tubuh biasanya mengalami deposit secara sentral atau obesitas android.

Adanya peningkatan rasio waist to hip (pinggang ke pinggul) berhubungan

dengan resistensi insulin, yang mengindikasikan peningkatan resiko Diabetes

Mellitus dan penyakit kardiovaskular. Resistensi insulin akan mengakibatkan

hiperinsulinemia dan banyak ditemukan pada wanita dengan PCOS (William

et al., 2007).
Lipoprotein abnormal juga umum ditemukan pada penderita PCOS,

yang meliputi peningkatan kolesterol total, trigliserid, dan LDL (low densitiy

4
lipoprotein); serta HDL (high density lipoprotein) dan apoprotein A I

dengan kadar yang rendah. Hal ini sesuai dengan laporan tentang perubahan

karakteristik lipid yang banyak ditemukan adalah penurunan kadar HDL.

Penemuan lain mengungkapkan bahwa pada wanita dengan PCOS juga terjadi

gangguan fibrinolisis yang tampak sebagai peningkatan kadar inhibitor

activator plasminogen di sirkulasi, dan mengalami peningkatan insidensi

hipertensi sekitar 40% pada saat perimenopause, prevalensi yang lebih besar

untuk kejadian aterosklerotik dan penyakit kardiovaskular, dan diestimasikan

beresiko 7 kali lipat untuk mengalami infark miokard (William et al., 2007).

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. DEFINISI
Polycystic Ovarian Syndrome (PCOS) adalah suatu kelainan heterogen

berupa anovulasi kronik dan hiperandrogenik yang tidak dapat dijelaskan

penyebabnya, di mana semua penyebab sekunder (neoplasma yang mensekresi

androgen) telah disingkirkan (William et al., 2007). PCOS bukanlah suatu

penyakit namun merupakan suatu kumpulan gejala (POGI, 2006) dengan

karakteristik berupa adanya anovulasi persisten dan manifestasi klinis berupa

kista multipel pada ovarium, amenore sekunder atau oligomenore dan

infertilitas (Norwitzt et al., 2006).

B. ETIOLOGI
Etiologi PCOS masih belum diketahui, dan tidak ada gen atau

substansi lingkungan spesifik yang terbukti mengakibatkan terjadinya PCOS

(Norwitz et al., 2006), meskipun beberapa penelitian mencoba

menghubungkan kejadian PCOS dengan pengaruh genetik melalui aktifitas

5-reduktase (William et al., 2007). Menurut POGI (2006) penyebab

terbanyak PCOS adalah akibat adanya gangguan hormonal. Gangguan

hormonal berupa resistensi insulin, adanya deposit lemak sentral (obesitas)

dan Diabetes Mellitus tipe 2 sering dianggap berhubungan dengan kejadian

PCOS pada wanita usia subur (William et al., 2007).

C. PATOLOGI
Secara makroskopis, ovarium pada wanita dengan PCOS berukuran 2

hingga 5 kali lipat dari ukuran normal (Wood et al., 2003). Pada potongan

6
melintang permukaan ovarium tampak adanya penebalan korteks dan

ditemukan kista yang multipel yang secara tipikal dengan diameter kurang

dari 1 cm (DeCherney et al., 2007). Sedangkan secara mikroskopis, korteks

superficial ovarium mengalami fibrotik dan hiposelluler, dan mungkin

mengandung pembuluh darah prominent (William et al., 2007). Selain itu

tampak folikel atretik yang lebih kecil, dimana dijumpai peningkatan jumlah

folikel dengan luteinisasi teka interna, dan mungkin juga ditemukan luteinisasi

pada sel stroma (DeCherney et al., 2007).

Gambar 1. Gambaran patologi polikistik ovarium sindrom (sumber:


DeCherney et al., 2007)

D. PATOFISIOLOGI
Sindrom ovarium polikistik (PCOS) merupakan tahap akhir dari suatu

siklus perusak akibat peristiwa-peristiwa endokrinologis yang dapat diawali

dari banyak titik yang berbeda. Masih belum jelas apakah patologi primernya

berada di ovarium atau pada hipotalamus, tetapi kerusakan yang mendasar

tampaknya adalah karena pengiriman sinyal yang tidak seharusnya ke

hipotalamus dan hipofisis. Kadar LH yang meningkat (tanda khas PCOS)

disebabkan oleh peningkatan produksi estrogen perifer (umpan balik negatif)

dan peningkatan sekresi inhibin. Sedangkan kadar FSH yang tertekan

7
diakibatkan oleh peningkatan produksi estrogen perifer (umpan balik positif)

dan peningkatan sekresi GnRH (Norwitz et a.l, 2006).


PCOS ditandai oleh keadaan menetap dari LH yang meningkat

secara kronik dan kadar FSH yang tertekan secara kronik, meskipun terdapat

peningkatan dan penurunan yang bersifat siklik yang terlihat dalam siklus

menstruasi normal. LH yang meningkat menstimulasi stroma ovarium dan sel-

sel teka untuk meningkatkan produksi androgen. Androgen dikonversi di

perifer melalui aromatisasi menjadi estrogen yang memperparah anovulasi

kronik. Sedangkan akibat dari FSH yang tertekan, pertumbuhan folikel baru

terus-menerus distimulasi tetapi tidak sampai titik pematangan dan ovulasi

penuh (korpus luteum dan korpus albikan jarang terdeteksi). Androgen yang

meningkat berperan terhadap pencegahan perkembangan folikel normal dan

induksi atresia premature (Norwitz et al., 2006).


Penambahan jaringan adiposa pada pasien yang mengalami obesitas

turut berperan terhadap aromatisasi ekstraglandular androgen menjadi

estrogen. Sedangkan testosterone dalam sirkulasi meningkat (menyebabkan

hirsutisme) karena kadar globulin pengikat hormone seks (sex hormone-

binding globulin, SHBG) menurun pada PCOS. Ovarium merupakan lokasi

utama overproduksi androgen pada PCOS sedangkan kelenjar adrenal hanya

memiliki peran kecil (Norwitz et al., 2006).

8
Gangguan fungsi
neuroendokrin
pada sistem saraf Hipotalamo-hipofisis Obesitas
pusat
GnRH
sekresi LH LH
Hiperinsulinemia
sekresi FSH
estrogen

inhibin FSH
aromatisasi Stimulasi stroma
peripheral Anovulasi kronik dan polikistik ovarium dan teka
(ekstraglandular)
androgen maturasi folikel
estrogen

Hiperandrogenisme
androstenedion
Obesitas
sekresi
Glandula androgen
adrenal adrenal

Gambar 2. Patofisiologi PCOS (Norwitz et al., 2006).

E. DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Anamnesis harus difokuskan pada pola menstruasi, kehamilan

sebelumnya (jika ada), obat-obatan yang sedang dikonsumsi, konsumsi

merokok, konsumsi alkohol, pola makan, dan riwayat anggota keluarga

dengan diabetes atau penyakit kardiovaskular (Norwitz et al.,2006).

Ketidakteraturan menstruasi (80%) terjadi segera setelah menarke,

termasuk amenore sekunder dan atau oligomenore.


Pada 75% penderita PCOS mengalami infertilitas akibat anovulasi

kronik, dan beberapa ditemukan memiliki gejala sisa pada jangka panjang.

Gejala sisa pada penderita PCOS dapat berupa penyakit kardiovaskular

dan dislipidemia; intoleransi glukosa atau diabetes mellitus yang tidak

9
tergantung insulin (DM tipe 2); hiperplasia endometrium atau

adenokarsinoma akibat pajanan estrogen kronik pada uterus (Norwitz et

al., 2006).
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pada penderita PCOS harus ditujukan pada

tanda-tanda hirsutisme (William et al., 2007) yaitu kebotakan, jerawat

(akne), klitoromegali (pembesaran klitoris), distribusi rambut pada tubuh

(muka, di atas bibir, dada, linea alba) [POGI, 2006], pengecilan payudara,

dan tanda-tanda resistensi insulin (obesitas, distribusi lemak sentripetal,

akantosis nigrikans). Sedangkan pada pemeriksaan bimanual dapat juga

ditemukan ovarium yang membesar (Norwitz et al., 2006).

Gambar 3. Jenggot pada dagu perempuan PCOS (William et al., 2007)

Hirsutisme (70%) adalah suatu keadaan dimana ditemukan pola

pertumbuhan rambut pria (diatas bibir, dagu, dada, punggung) pada

seorang wanita. Sedangkan akantosis nigrikans adalah penanda

dermatologis akibat resistensi insulin dan hiperinsulinemia yang ditandai

dengan perubahan warna kulit menjadi abu-abu kecoklatan, halus, kadang-

kadang seperti veruka pada leher, selangkangan dan aksila. Oleh sebab itu,

efek-efek ekstrem dari anovulasi kronik hiperandrogenik dari PCOS

10
disebut sebagai Sindrom HAIR-AN (hiperandrogenisme, resistensi

insulin, dan akantosis nigrikans) [Norwitz et al., 2006].


3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium seperti testosterone (T) atau

dehidroepiandrosteron sulfat (DHEAS) bermanfaat untuk menunjukkan

hiperandrogenisme ovarium. Tumor yang mensekresi androgen pada

ovarium atau kelenjar adrenal juga selalu disertai dengan kadar androgen

dalam sirkulasi yang meningkat, tetapi tidak terdapat kadar absolut yang

bersifat patognomonik untuk suatu tumor atau kadar minimum yang dapat

menyingkirkan kemungkinan adanya tumor (Norwitz et al., 2006). Kadar

T yang tinggi selalu berasal dari ovarium (> 1,5 ng/ml), sedangkan kadar

DHEAS yang tinggi selalu berasal dari suprarenal (> 5-7ng/ml) [POGI,

2006].
Indikasi pemeriksaan T maupun DHEAS dapat di lihat dari ringan

beratnya pertumbuhan rambut. Bila pertumbuhan rambut yang terlihat

hanya sedikit saja (ringan), maka kemungkinan besar penyebab tingginya

androgen serum adalah akibat gangguan pada ovarium yaitu berupa

anovulasi kronik, sedangkan bila terlihat pertumbuhan rambut yang

mencolok, maka peningkatan androgen kemungkinan besar berasal dari

kelenjar supra renal yang dapat berupa hiperplasia, atau tumor (POGI,

2006).
USG dan atau laparoskopi merupakan alat utama untuk diagnosis

PCOS. Dengan USG, hampir 95 % diagnosis dapat dibuat. Pada USG

terlihat gambaran seperti roda pedati, atau folikel-folikel kecil berdiameter

11
7-10 mm. Baik dengan USG, maupun dengan laparoskopi, ke dua, atau

salah satu ovarium pasti tampak membesar (POGI, 2006).


Wanita dengan PCOS menunjukkan kadar FSH, PRL (prolaktin),

dan E (estrogen) normal, sedangkan LH sedikit meningkat (rasio

LH/FSH>3). LH yang tinggi ini akan meningkatkan sintesis T di ovarium,

dan membuat stroma ovarium menebal (hipertikosis). Kadar T yang tinggi

juga mengakibatkan folikel mengalami atresia (POGI, 2006).


4. Penegakkan diagnosis
Menurut William et al. (2007), diagnosis PCOS ditegakkan

berdasarkan adanya kritera mayor dan kriteria minor. Kriteria mayor

meliputi: anovulasi kronik, hiperandrogenemia, tanda-tanda klinis dari

hiperandrogenisme, dan tidak ada penyebab lain (etiologi lain telah

disingkirkan). Sedangkan kriteria minor meliputi: resistensi insulin, onset

saat permenarke pada hirsutisme dan obesitas, adanya peningkatan rasio

LH dan FSH, dan anovulasi intermiten yang berhubungan dengan

hiperandrogenemia (testosterone bebas, DHEAS) [William et al., 2007].


Diagnosis PCOS ditegakkan apabila ditemukan dua kriteria mayor

yaitu anovulasi dan hiperandrogenisme baik secara klinis ataupun

laboratorium. Dimana keadaan ini tidak ditemukan pada penyakit lain

yang juga berhubungan dengan hiperandrogenisme (seperti gangguan

adrenal, neoplasma ovarium, dan sindrom cushing) atau anovulasi

(gangguan hipo atau hipergonadotropik, hiperprolaktinemia, dan penyakit

tiroid). Jika tidak ditemukan dua kriteria mayor atau klinis kurang

mendukung, maka diagnosis dapat ditegakkan dengan adanya kriteria

minor yaitu rasio LH dan FSH yang meningkat, adanya resistensi insulin,

12
oligo-ovulasi, onset perimenarke pada hirsutisme dan obesitas, serta

adanya bukti PCOS pada pemeriksaan USG (William et al., 2007).

F. DIAGNOSIS BANDING
1. Sindroma cushing
Korteks adrenal memproduksi tiga kelas hormon tiroid yaitu

glukokortikoid, mineralokortikoid, dan steroid seks (androgen dan

prekursor estrogen) [Ganong, 2003]. Pada keadaan tertentu dapat terjadi

hiperfungsi kelenjar adrenal yang secara klinis terjadi peningkatan pada

hormon-hormon tersebut. Peningkatan glukortikod disertai dengan

intoleransi glukosa akan mengakibatkan peningkatan glukoneogenesis dan

antagonis aksi insulin. Sedangkan overproduksi pekursor steroid seks

mengakibatkan wanita penderita sindroma cushing mengalami

hiperandrogenisme (hirsutisme, akne, oligomenore atau amenore, dan

berkurangnya rambut SCALP atau mengalami kebotakan) [William et al.,

2007].
2. Hyperplasia adrenal congenital
Hyperplasia adrenal congenital merupakan suatu penyakit yang

diturunkan secara resesif autosomal dengan klinis hiperandrogenisme pada

saat pubertas. Wanita dengan hyperplasia adrenal congenital dapat

mengalami virilisasi dan maskulinisasi pada usia 3-7 tahun. Pada 39%

wanita dengan hyperplasia adrenal congenital mengalami gangguan

menstruasi, dengan hirsurtisme tanpa oligomenore, serta sebanyak 22%

mengalami peningkatan androgen sirkulasi tanpa manifestasi klinis

(William et al., 2007).


3. Androgenproducing Ovarian Neoplasms

13
Kejadian neoplasma ovarii yang memperoduksi androgen,

misalnya pada tumor sel granulosa lebih banyak ditemukan pada wanita

postmenopause dibandingkan dengan premenopause. Penyakit ini

berhubungan dengan fungsi pembentukan estrogen dini sehingga biasanya

ditemukan dengan pubertas prekoks. Total abdominal hysterectomy (TAH)

dan bilateral salpingooophorectomy (BSO) merupakan terapi pilihan

untuk penyakit ini. Salah satu tumor penghasil androgenik lainnya adalah

tumor stromal sklerosing, yang biasanya ditemukan pada wanita usia

kurang dari 30 tahun. Manifestasi klinis pada penyakit ini tampak sebagai

hiperandrogenisme atau estrogen berlebih, dan virilisasi atau maskulinisasi

(William et al., 2007).

G. TATALAKSANA
Penatalaksanaan pada PCOS diarahkan pada interupsi siklus

anovulatorik kronik hiperandrogenik yang terus berlanjut (Jakubowicz et al.,

2002). Penurunan berat badan dapat mengurangi sekresi androgen pada wanita

obes yang mengalami hirsutisme dengan cara menurunkan aromatisasi

estrogen perifer dan menurunkan hiperinsulinemia (Norwitz et al., 2006).


1. Terapi medikamentosa
a. Kontrasepsi oral merupakan pilihan utama tata laksana PCOS jangka

panjang dengan cara menurunkan sekresi LH dan FSH serta produksi

androgen pada ovarium, meningkatkan produksi SHBG di hati,

menurunkan kadar DHEA, dan mencegah neoplasia endometrium.

Siproteron asetat (standar inggris), spironolakton, atau eflornitin

topikal dapat membantu pasien yang mengalami hirsutisme berlebihan.

14
b. Progestin terlihat dapat menekan LH dan FSH hipofisis serta androgen

yang ada dalam sirkulasi, tetapi perdarahan di luar menstruasi sering

terjadi.
c. Agen yang mesensitisasi insulin (metformin) menurunkan kadar

androgen dalam sirkulasi, memperbaiki kecepatan ovulasi, dan

memperbaiki tolerasi glukosa. Meskipun demikian, obat tersebut saat

ini belum disetujui untuk digunakan dalam PCOS (Ibanez et al., 2004).
d. Klomifen sitrat secara umum telah menjadi pengobatan lini pertama

untuk wanita yang menginginkan kehamilan.


2. Terapi bedah
a. Ovarian drilling, yaitu tindakan pembedahan dengan menggunakan

laser atau diatermi. Tindakan ini memiliki beberapa keuntungan

dibandingkan dengan terapi medikamentosa untuk infertilitas, namun

tidak terlihat memiliki manfaat jangka panjang dalam memperbaiki

kelainan metabolik.
b. Pengangkatan rambut secara mekanik [vaporasi laser, elektrolisis

(elektrocauter), krim depilatori] seringkali merupakan lini pertama

terapi hirsutisme.
Menurut POGI (2006) pengobatan PCOS harus disesuaikan dengan

keinginan dan kemampuan suami istri untuk memiliki anak atau tidak. Jika

keluarga yang masih menginginkan anak diberikan pemicu ovulasi, seperti

klomifen sitrat, atau gonadotropin yang mengandung FSH/LH atau LH saja.

Klomifen sitrat meningkatkan aromatisasi T menjadi estradiol (E2), dan E2 ini

menekan sekresi LH. Gonadotropin dapat mengembalikan keseimbangan

FSH/LH. Hati-hati terjadi hiperstimulasi ovarium. Bila belum juga berhasil

mendapatkan anak, maka diberikan pil kontrasepsi, atau Gn-RH analog

15
(agonis/antagonis) sampai nisbah LH/FSH 1, dan baru kemudian diberikan

induksi ovulasi. Dewasa ini tindakan pembedahan reseksi baji tidak dilakukan

lagi. Dengan berkembangnya laparoskopi, dapat dilakukan drilling pada

ovarium. Tujuannya untuk mengeluarkan cairan folikel yang banyak

mengandung T. Jumlah lubang lebih kurang 10 buah (POGI, 2006).


Pada wanita yang sudah tidak menginginkan anak, maka dapat di

berikan pil kontrasepsi yang mengandung estrogen-progesteron sintetik. Pil

kontrasepsi menekan fungsi ovarium, sehingga produksi testosterone

menurun. Selain itu, pil kontrasepsi menekan sekresi LH, sehingga sintesis

testosteron pun berhenti. Estrogen sintetik memicu sintesis SHBG di hati, dan

SHBG ini akan mengikat lebih banyak lagi testosteron dalam darah (POGI,

2006).
Pada wanita dengan hirsutismus yang tidak ingin memiliki anak lebih

efektif dengan pemberian anti androgen, seperti siprosteronasetat (SPA). SPA

menghambat kerja androgen langsung pada target organ. SPA yang termasuk

jenis progesteron alamiah, juga memiliki sifat glukokortikoid, sehingga dapat

menghambat ACTH, dan dengan sindirinya pula menekan produksi androgen

di suprarenal. Bila belum tersedia sediaan SPA, maka dapat di gunakan pil

kontrasepsi yang mengandung SPA. Prognosis pengobatan dengan SPA sangat

tergantung dari 1) Wanita dengan kadar T yang tinggi, memiliki respon yang

baik; 2) Bila hirsutismus sudah berlangsung lama, prognosis jelek; 3) Wanita

muda keberhasilannya lebih baik; 4) Rambut/bulu di daerah dada dan perut

memiliki respon baik; 5) SPA diberikan 1-2 tahun. Bila ternyata hirsustismus

tetap juga tidak hilang, maka perlu di pikirkan adanya kelainan kongenital

16
adrenal. Dianjurkan untuk pemeriksaan hormon 17 alfa hidroksiprogesteron.

Kadar yang tinggi, menunjukkan adanya defisiensi enzim 21 hidroksilase.

Dewasa ini mulai di gunakan Gn-RH Analog (agonis atau antagonis) untuk

menekan fungsi ovarium (POGI, 2006).

H. KOMPLIKASI

Komplikasi utama yang dikhawatirkan pada penderita PCOS adalah

terjadinya infertilitas (Bulun et al., 2011). Infertilitas merupakan suatu

keadaan dimana pasangan suami istri tidak mampu menghasilkan keturunan

meskipun telah melakukan hubungan seksual yang teratur (2-3 kali seminggu)

dan tidak menggunakan kontrasepsi (Norwitz et al., 2006). Dengan adanya

kelainan metabolik pada penderita PCOS yang berupa resistensi insulin akibat

obesitas dapat mengakibatkan terjadinya DM tipe 2, serta penyakit

kardiovaskular seperti penyakit jantung koroner atau aterosklerosis (POGI,

2006), infark miokard (William et al., 2007), dan infertilitas (Bulun et al.,

2011).

I. PROGNOSIS
PCOS meningkatkan resiko penyakit kardiovaskular dan

cerebrovaskular dengan adanya hiperandrogenisme dan peningkatan

apolipoprotein. Sebanyak 4% pasien dengan PCOS memiliki resiko resistensi

insulin sehingga meningkatkan resiko diabetes mellitus tipe 2 dengan

konsekuensi komplikasi kardiovaskular. Penderita PCOS juga beresiko

mengalami hiperplasia dan karsinoma endometrium (Hardiman et al., 2003).

17
18
BAB III

KESIMPULAN

1. PCOS merupakan kumpulan gejala, bukan merupakan suatu penyakit.

Diagnosis PCOS ditegakkan berdasarkan dengan minimal dua kriteria

mayor yang meliputi: anovulasi kronik, hiperandrogenemia, tanda-tanda

klinis dari hiperandrogenisme, dan tidak ada penyebab lain (etiologi lain

telah disingkirkan). Atau 1 kriteria mayor ditambah kriteria minor yang

meliputi: resistensi insulin, onset saat permenarke pada hirsutisme dan

obesitas, adanya peningkatan rasio LH dan FSH, dan anovulasi intermiten

yang berhubungan dengan hiperandrogenemia (testosterone bebas,

DHEAS).
2. Etiologi PCOS masih belum jelas, namun diduga berhubungan dengan

resistensi insulin, obesitas dan DM tipe 2.


3. Penanganan PCOS meliputi terapi medikamentosa dan penanganan bedah.

Terapi medikamentosa meliputi kontrasepsi oral, Progestin, Agen yang

mesensitisasi insulin (metformin) dan Klomifen sitrat. Sedangkan

penanganan bedah meliputi ovarian drilling dengan menggunakan laser

atau diatermi, serta dengan pengangkatan rambut secara mekanik [vaporasi

laser, elektrolisis (elektrocauter), krim depilatori].


4. Penderita PCOS beresiko mengalami gangguan kardiovaskular

(aterosklerotik), infertilitas dan gangguan metabolic (DM tipe 2).

19
DAFTAR PUSTAKA

POGI. 2006. Standar pelayanan medik obstetrik dan ginekologi: sindroma


ovarium polikistik. Perkumpulan obstetric dan ginekologi Indonesia,
Jakarta.

Norwitz, Errol., Schorge, John. 2006. Obstetric dan Ginekologi At Glance Edisi
kedua. Erlangga medical series (EMS), Jakarta

William, Lippincott., Wilkins. 2007. Berek & Novak's Gynecology, 14th Edition.
California, Johns Hopkins University School of Medicine.

Wood, JR., Nelson, VL., Ho, C. 2003. The molecular phenotype of polycystic
ovary syndrome (PCOS) theca cells and new candidate PCOS genes
defined by microarray analysis. J Biol Chem;278:2638026390.

Ibanez, L., De Zegher, F. 2004. Flutamidemetformin plus an oral contraceptive


(OC) for young women with polycystic ovary syndrome: switch from
third to fourthgeneration OC reduces body adiposity. Hum
Reprod;19:17251727.

Ibanez, L., Valls, C., Cabre, S. 2004. Flutamidemetformin plus ethinylestradiol


drospirenone for lipolysis and antiatherogenesis in young women with
ovarian hyperandrogenism: the key role of early, lowdose flutamide. J
Clin Endocrinol Metab;89:47164720.

Lord, JM., Flight, IH., Norman, RJ. 2003. Metformin in polycystic ovary
syndrome: systematic review and metaanalysis. BMJ;327:951953.

Jakubowicz DJ, Iuorno MJ, Jakubowicz S. 2002. Effects of metformin on early


pregnancy loss in the polycystic ovary syndrome. J Clin Endocrinol
Metab;87:524529.

Ganong, William F. 2003. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC.

Hardiman, P., Pillay, OC., Atiomo, W. 2003. Polycystic ovary syndrome and
endometrial carcinoma. Lancet. 361 (9371):1810-2.

Bulun, SE., Adashi,EY. 2011. The physiology and pathology of the female
reproductive axis. Saunders Elseviers, Philadelpia.

DeCherney, Alan H., Nathan, Lauren., Goodwin, T. Murphy., Laufer, Neri. 2007.
Current Diagnosis & Treatment Obstetrics & Gynecology, Tenth Edition.
The McGraw-Hill Companies, United States of America

20

Anda mungkin juga menyukai