Anda di halaman 1dari 7

Pada pilar sosial, Indonesia menargetkan untuk menurunkan tingkat kemiskinan 7-8%;

meningkatkan akses air minum dan sanitasi 100%; menurunkan angka kematian bayi 24 per
1.000 kelahiran, dan angka kematian ibu 306 per 100 ribu kelahiran; meningkatkan fasilitas
kesehatan 85% dan jangkauan asuransi kesehatan 100%; dan meningkatkan Angka Partisipasi
Kasar SD 114,09%, SMP 106,94%, dan SMA 91,63%.

Pada pilar ekonomi, Indonesia menargetkan untuk meningkat PDB per kapita Rp 72.2 juta;
mengurangi tingkat pengangguran terbuka 4-5%; menciptakan 10 juta lapangan kerja;
menurunkan Indeks Gini 0,36; meningkatkan tenaga kerja formal 51%; rasio elektrifikasi 96,6%;
dan energi terbarukan campuran 10-16%.

Pada pilar lingkungan, Indonesia menargetkan untuk mendorong produksi dan konsumsi sektor-
sektor prioritas secara berkelanjutan; mengurangi emisi CO2 hingga 26%; memulihkan ekosistem
yang terdegradasi, meliputi 100 ribu ha kawasan konservasi; dan pengelolaan sampah hingga
150 juta ton.

Pada pilar pembangunan yang inklusif dan target perangkat implementasi, Indonesia
meningkatkan partisipasi dalam Kerjasama Selatan-Selatan dan Triangular di berbagai sektor
dengan banyak negara. Untuk memastikan pembangunan yang inklusif, Indonesia melakukan
pembangunan partisipatif, meningkatkan akses masyarakat terhadap keadilan, dan memberikan
sistem kartu (Kartu Indonesia) untuk berbagai program kemiskinan dan sosial demi menjamin
akses layanan dasar bagi masyarakat miskin.
Tujuan 1 - Tanpa kemiskinan
Pengentasan segala bentuk kemiskinan di semua tempat.[6][7]
Tujuan 2 - Tanpa kelaparan
Mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan perbaikan nutrisi, serta
menggalakkan pertanian yang berkelanjutan.[8]
Tujuan 3 - Kehidupan sehat dan sejahtera
Menggalakkan hidup sehat dan mendukung kesejahteraan untuk semua usia.[9]
Tujuan 4 - Pendidikan berkualitas
Memastikan pendidikan berkualitas yang layak dan inklusif serta mendorong kesempatan
belajar seumur hidup bagi semua orang [10]
Tujuan 5 - Kesetaraan gender
Mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan.[11]
Tujuan 6 - Air bersih dan sanitasi layak
Menjamin akses atas air dan sanitasi untuk semua.[12]
Tujuan 7 - Energi bersih dan terjangkau
Memastikan akses pada energi yang terjangkau, bisa diandalkan, berkelanjutan dan
modern untuk semua. [13]
Tujuan 8 - Pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi
Mempromosikan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dan inklusif, lapangan pekerjaan
dan pekerjaan yang layak untuk semua. [14]
Tujuan 9 - Industri, inovasi dan infrastruktur
Membangun infrastruktur kuat, mempromosikan industrialisasi berkelanjutan dan
mendorong inovasi. [15]
Tujuan 10 - Berkurangnya kesenjangan
Mengurangi kesenjangan di dalam dan di antara negara-negara. [16]
Tujuan 11 - Kota dan komunitas berkelanjutan
Membuat perkotaan menjadi inklusif, aman, kuat, dan berkelanjutan. [17]
Tujuan 12 - Konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab
Memastikan pola konsumsi dan produksi yang berkelanjutan [18]
Tujuan 13 - Penanganan perubahan iklim
Mengambil langkah penting untuk melawan perubahan iklim dan dampaknya. [19]
Tujuan 14 - Ekosistem laut
Pelindungan dan penggunaan samudera, laut dan sumber daya kelautan secara
berkelanjutan [20]
Tujuan 15 - Ekosistem daratan
Mengelola hutan secara berkelanjutan, melawan perubahan lahan menjadi gurun,
menghentikan dan merehabilitasi kerusakan lahan, menghentikan kepunahan
keanekaragaman hayati. [21]
Tujuan 16 - Perdamaian, keadilan dan kelembagaan yang tangguh
Mendorong masyarakat adil, damai, dan inklusif [22]
Tujuan 17 - Kemitraan untuk mencapai tujuan
Menghidupkan kembali kemitraan global demi pembangunan berkelanjutan
INDONESIA :

ANGKA kematian ibu (AKI) masih tinggi. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan
(Kemenkes), pada 2015 tercatat ada 305 ibu meninggal per 100 ribu orang

Kab. Sragen :

AKI :
2011 :18
2012 : 19
2013 : 16
2014 : 13
2015 : 15
2016 : 16

AKB :
2011 : 137
2012 : 146
2013 : 132
2014 : 117
2015 : 129
2016 : 94

SDGs terdiri dari 17 Tujuan dan 169 target dalam rangka membangun dari upaya MDGs yang berakhir
akhir tahun 2015. Pelaksanaan dari Millenium Development Goals (MDGs) telah berakhir pada tahun
2015 dilanjutkan ke Sustainable Development Goals (SDGs) hingga tahun 2030 yang lebih menekankan
kepada 5P yaitu: People, Planet, Peace, Prosperity, dan Partnership.
TARGET SDGS
Target yang telah ditentukan oleh SDGs mengenai kematian ibu adalah penurunan AKI sampai
tinggal 70 per 100 ribu kelahiran hidup.
MENJAMIN KEHIDUPAN YANG SEHAT DAN
MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN SELURUH PENDUDUK SEMUA
USIA

Sasaran Global

3.1 Pada tahun 2030, mengurangi rasio angka kematian ibu hingga kurang dari 70 per 100.000
kelahiran hidup
3.2 Pada tahun 2030, mengakhiri kematian bayi baru lahir dan balita yang dapat dicegah,
dengan seluruh negara berusaha menurunkan Angka Kematian Neonatal setidaknya hingga
12 per 1.000 KH (Kelahiran Hidup) dan Angka Kematian Balita 25 per 1.000
3.3 Pada tahun 2030, mengakhiri epidemi AIDS, tuberkulosis, malaria, dan penyakit tropis
yang terabaikan, dan memerangi hepatitis, penyakit bersumber air, serta penyakit menular
lainnya
3.4 Pada tahun 2030, mengurangi hingga sepertiga angka kematian dini akibat penyakit tidak
menular, melalui pencegahan dan pengobatan, serta meningkatkan kesehatan mental dan
kesejahteraan
3.5 Memperkuat pencegahan dan pengobatan penyalahgunaan zat, termasuk penyalahgunaan
narkotika dan penggunaan alkohol yang membahayakan
3.6 Pada tahun 2020, mengurangi hingga setengah jumlah kematian global dan cedera dari
kecelakaan lalu lintas
3.7 Pada tahun 2030, menjamin akses universal terhadap layanan kesehatan seksual dan
reproduksi, termasuk keluarga berencana, informasi dan pendidikan, dan integrasi
kesehatan reproduksi ke dalam strategi dan program nasional
3.8 Mencapai cakupan kesehatan universal, termasuk perlindungan risiko keuangan, akses
terhadap pelayanan kesehatan dasar yang baik, dan akses terhadap obat- obatan dan vaksin
dasar yang aman, efektif, berkualitas, dan terjangkau bagi semua orang
berfokus pada kegagalan memenuhi target penurunan kematian ibu. Sebagaimana kita
tahu bahwa sampai dengan berakhirnya MGDs, Indonesia termasuk negara yang gagal di
dalam menurunkan angka tersebut. Bahkan lebih dari dua dekade upaya dan kerja keras,
AKI nyatanya masih cukup tinggi, mencapai 359 per 100 ribu kelahiran hidup. Berbeda
dengan banyak negara lain kematian ibu yang sangat masif itu, justu terjadi dalam dekade
dimana Indonesia telah masuk ke dalam kelompok negara cukup makmur dan sama sekali
tidak ada perang sipil yang terjadi. Tertinggalnya Indonesia dalam pencapaian AKI ini juga
menunjukkan keanehan karena berbanding terbalik dengan posisi negara lain termasuk di
sesama kawasan ASEAN. Di kawasan ini, Indonesia tetaplah yang tertinggi, meski AKI yang
digunakan telah dimoderasi perhitungannya sekalipun oleh Kementrian Kesehatan
sehingga menjadi hanya 267 per 100 ribu kelahiran hidup.

Dalam program penurunan kematian ibu, pemerintah bukannya tidak melakukan apa-apa.
Pemerintah telah bekerja dengan melaksanakan banyak strategi. Diantaranya dengan
mengirimkan bidan ke seluruh penjuru pedesaan, meningkatkan jangkauan masyarakat
terhadap pelayanan kesehatan dengan meningkatkan fasilitas kesehatan, bahkan juga
menyediakan dana untuk persalinan. Tetapi semuanya tidak cukup efektif untuk
menghasilkan perubahahan yang signifikan.

Persolannya ada pada kacamata kuda yang selama ini dipakai oleh pemerintah. Para
perumus kebijakan di Jakarta, di kantor Kementrian Kesehatan, masih belum melepaskan
kacamata kuda yang dipakai bertahun-tahun di dalam mengelola persoalan kesehatan
masyarakat.

Faktanya, ada begitu banyak masalah yang berhubungan dengan AKI ini tetapi tidak
pernah mau diungkapkan ke permukaan oleh Kementrian Kesehatan. Salah satunya, bidan
yang dikirimkan ke pedesaan tersebut, ternyata banyak tidak berdomisili di tempat yang
telah ditentukan. Mereka justru menjadi bidan pulang-pergi. Mereka malah bertempat
tinggal di rumah keluarganya atau ditempat yang jauh dari desa yang seharusnya mereka
layani. Bahkan beberapa diantaranya hanya tinggal terima gaji saja, tanpa ada tindakan
tegas dari pihak yang berotoritas atas hal itu. Akibatnya, pantauan terhadap kondisi ibu
hamil amat rendah. Maka ibu hamil tetap memilih bersalin ke dukun, atau bahkan tidak
perduli dengan kehamilannya. Pemerintah memilih menutup mata atas kenyataan
tersebut.

Soal lain adalah pada penolong persalinan. Tidak semua bidan yang ditempatkan di
pedesaan bekerja dengan baik. Mereka bersaing dengan dukun beranak, yang lebih disukai
oleh masyarakat. Padahal para dukun beranak tersebut, umumnya tidak terlatih. Banyak
dukun bersalin melakukan praktik-praktik pertolongan persalinan yang membahayakan
nyawa ibu bersalin. Maka tak heran, ketika kasus gawat darurat terjadi, ibu hamil
terlambat mendapatkan pertolongan. Fakta ini dibiarkan saja oleh pemerintah sebab
dukun sudah tidak lagi diakui sebagai penolong persalinan.

Selama 15 tahun ini, pemerintah juga hanya lurus pandangannya pada penanganan medis
semata. Para penanggung-jawab program kesehatan, khususnya kematian ibu lupa bahwa
kematian ibu bukan hanya semata disebabkan oleh ketiadaan tenaga persalinan terlatih
atau peralatannya. Kematian ibu hanya akhir dari proses yang sesungguhnya telah jauh-
jauh dialami oleh ibu hamil. Menurut dr Mahmoud Fathalla, salah seorang pakar yang lama
menggeluti bidang ini, perempuan hamil mengalami sosial injustice.

Perempuan, umumnya di Indonesia tidak memiliki pilihan-pilihan yang lebih baik dalam
menjalani kehamilannya. Mereka rentan terhadap tekanan fisik dan psikologis yang sangat
besar ketika hamil. Perempuan hamil, menurut Fathalla, mengalami perjalanan panjang
penuh dengan kelelahan, beban berat, tuntutan melahirkan, tekanan ekonomi,
pengekangan, dan seterusnya yang dirangkum Fathalla dalam sebuah tulisan berjudul: the
long road to maternal death. Ya, memang, status perempuan yang begitu rendah
menyebabkan ibu hamil berjalan dalam lorong kematian yang sebenarnya bisa dihindari.

Perempuan hamil (dan seluruh perempuan) di Indonesia, berada dalam lingkungan yang
mengabaikan arti pentingnya bahaya-bahaya dalam kehamilan. Sampai sekarang, masih
ada kasus kematian ibu terjadi karena keluarga terlambat mengambil keputusan, sebagai
manifestasi dari lebih dipercayanya dukun tadi. Belum lagi ditambah berbagai mitos
tentang kehamilan plus persepsi buruk terhadap layanan tenaga kesehatan.

Selain itu, masih banyak juga suku di Indonesia yang menganggap bahwa perempuan
adalah milik laki-laki. Maka tidak heran jika perempuan bisa berkali-kali hamil dalam
waktu yang terlalu dekat, sehingga meningkatkan risiko kematiannya. Demi didapatkannya
anak laki-laki, banyak perempuan berakhir hidupnya ketika bersalin. Perempuan hamil di
Indonesia banyak yang mengalami anemia, kondisi yang mempercepat kematian ketika
terjadi perdarahan dalam proses persalinan. Hal ini dikarenakan mereka harus bekerja
banting tulang menafkahi keluarganya sementara konsumsi makanan kepada ibu hamil
selalu yang paling kurang bergizi dibandingkan dengan anggota keluarga lainnya. Beban
bekerja selama hamil tidak juga berkurang, karena perempuan masih dianggap aset
keluarga dan mampu melakukan pekerjaan terberat sekalipun. Pemerintah tahu soal ini,
tetapi mengabaikan hal tersebut.

Pemerintah juga menutup mata soal data. Di lapangan, banyak laporan-laporan bidan
terhadap pendataan ibu hamil penuh dengan manipulasi. Saya menemukan hal ini ketika
mencoba menelusuri laporan ANC (ante natal care). Ternyata data yang dilaporkan oleh
bidan mengenai cakupan pelayanan ANC justru amat tinggi dibandingkan dengan survei
yang dilakukan oleh Riskesdas sendiri. Ini berarti laporan tersebut sering direkayasa hanya
untuk mencapai target tertentu dari Kementrian Kesehatan. Dalam penelusuran yang
pernah saya lakukan, banyak ibu hamil justru tidak pernah tercatat karena lokasi geografis
yang sulit, dan bidan yang sebenarnya tidak berada di lapangan. Mentalitas Asal Bapak
Senang (ABS) telah mengabaikan esensi dari pentingnya data tersebut.

Sungguh amat miris juga melihat moralitas para tenaga kesehatan. Di depan mata kepala
saya sendiri, saya melihat seorang bidan mewawancarai dukun bersalin, mencatat riwayat
persalinan yang telah dilakukan oleh dukun tersebut, padahal tanpa kehadiran bidan
tersebut, lalu melaporkannya sebagai laporan atas namanya sendiri. Laporan seperti inilah
yang diterima dengan berpuas hati oleh para petinggi di Kementrian Kesehatan seolah
semuanya berjalan sesuai dengan rencana.
Bagaimana program pencegahan kematian ibu? Pemerintah juga tak serius menanganinya.
Sebagian besar kasus kematian ibu yang terjadi di pedesaan hampir tidak pernah dilakukan
yang namanya audit maternal. Padahal audit itu mirip seperti rekonstruksi kecelakaan oleh
KNKT. Tujuannya adalah menemukan titik-titik krusial yang menjadi penyebab untuk
tujuan tidak berulangnya kecelakaan di masa mendatang. Tetapi, apa lacur, meski sering
dikatakan bahwa peristiwa kematian ibu bagaikan sebuah pesawat jumbo jet dengan
penumpang seluruhnya ibu hamil yang kemudian jatuh, peristiwa tragis ini tidak pernah
diinvestigasi serius, sehingga pesawat jumbo jet lain dengan penumpang yang lagi-lagi
sama, kemudian jatuh lagi, dan jatuh lagi terus menerus.

Evaluasi
Inilah yang harus diperbaiki jika kita ingin memperoleh hasil yang maksimal dalam SDGs
dalam 1,5 dekade ke depan. Target yang telah ditentukan oleh SDGs mengenai kematian
ibu adalah penurunan AKI sampai tinggal 70 per 100 ribu kelahiran hidup. Mungkinkah
Indonesia mencapai target tersebut?

Dalam sebuah ceramah di Amsterdam awal tahun ini, Amartya K Sen menyatakan bahwa
penyebab kematian ibu adalah karena policy pemerintah tidak memihak kepada kalangan
yang paling membutuhkan. Program yang disusun juga tidak menyentuh kebutuhan paling
mendasar dari target sasarannya. Benarlah demikian. Ibu hamil dan perempuan pada
umumnya, justru sering tidak mendapatkan manfaat dari program yang sebenarnya
ditujukan kepada mereka. Maka dengan cara berpikir Amartya K Sen, ada tuntutan kepada
pemerintah untuk melepaskan kacamata kudanya, berpikir dan bekerja lebih strategis.

Penanganan kematian ibu harus dibarengi dengan peningkatan derajat perempuan. Posisi
perempuan yang lebih baik, akan sangat membantu meningkatkan aksesibilitas mereka
terhadap pelayanan kesehatan dan fasilitasnya. Pemerintah juga harus memastikan semua
tenaga kesehatan yang terlibat di dalam penurunan AKI benar-benar bekerja, bekerja dan
bekerja melakukan perubahan. Revolusi mental diperlukan dalam mempercepat
penurunan AKI ini. Khususnya para pejabat di Kementrian Kesehatan yang umumnya tidak
tahu persoalan di lapangan, harus melepaskan kacamata kuda kalau tidak ingin target AKI
dalam SDGs pun berlalu sia-sia sebagaimana MDGs.

Anda mungkin juga menyukai