Anda di halaman 1dari 15

BENCANA SWABAKAR PADA

TAMBANG BATUBARA

1.1 Penyebab Bencana


Secara umum kebakaran dapat terjadi bila dipenuhi tiga unsur pemicu
kebakaran itu, yakni adanya api, oksigen dan bahan bakar (triangle fire).
Swabakar atau Spontaneous combustion atau disebut juga self combustion
adalah salah satu fenomena yang terjadi pada batubara pada waktu batubara
tersebut disimpan atau di storage / stockpile dalam jangka waktu
tertentu.Untuk mengetahui lebih jelas penyebab dari terjadinya swabakar pada
tambang batubara, maka kita terlebih dahulu harus mengetahui tentang
batubara secara detail.

Gambar 1.1 Hubungan Antara Oksigen, Panas dan Bahan Mudah


Terbakar

Batubara terbentuk dari tumbuhan purba yang berubah bentuk akibat


proses fisika dan kimia yang berlangsung selama jutaan tahun. Karena berasal
dari material organik yaitu selulosa, sudah tentu batubara tergolong mineral
organik pula. Reaksi pembentukan batubara adalah sebagai berikut :
5(C6H10O5) ---> C20H22O4 + 3CH4 + 8H2O + 6CO2 + CO
C20H22O4 adalah batubara, dapat berjenis lignit, sub-bituminus, bituminus,
atau antrasit, tergantung dari tingkat pembatubaraan yang dialami.
Konsentrasi unsur C akan semakin tinggi seiring dengan tingkat
pembatubaraan yang semakin berlanjut. Sedangkan gas-gas yang terbentuk
yaitu metan, karbon dioksida serta karbon monoksida, dan gas-gas lain yang
menyertainya akan masuk dan terperangkap di celah-celah batuan yang ada di
sekitar lapisan batubara.
Batubara merupakan bahan bakar organik dan apabila bersinggungan
langsung dengan udara dalam keadaan temperatur tinggi (misalnya musim
kemarau yang berkepanjangan) akan terbakar sendiri. Maka pada tambang
batubara perlu dilakukannya penanganan batubara secara khusus karena
batubara sendiri dapat menyebabkan bencana jika dalam penanganannya
tidak benar. Penanganan batubara memerlukan pengamanan, karena ada
beberapa masalah dalam penanganan batubara salah satunya adalah swabakar.
Bencana swabakar pada tambang batubara umumnya terjadi pada
area stockpile karena pada area ini merupakan tempat penimbunan
batubara. Swabakar yang terjadi pada area stockpile merupakan hal yang
sering terjadi dan perlu mendapatkan perhatian khususnya pada timbunan
batubara dalam jumlah besar. . Keadaan swabakar ini akan dipercepat oleh
beberapa hal, yaitu:
a. Rekasi eksothermal (uap dan oksigen diudara), hal ini yang paling
sering terjadi
b. Bacteria
c. Aksi katalis dari benda-benda anorganik

Sedangkan kemungkinan terjadinya terbakar sendiri terutama antara lain :


a. Karbonasi yang rendah ( low carbonization )
b. Kadar belerangnya tinggi (>2%). Ambang batas kadar belerang
baiknya hanya sebesar 1,2% saja.
Tentu dalam proses terjadinya swabakar pada batubara di stockpile
dapat terjadi setelah mengalami beberapa proses yang bertahap yaitu
sebagai berikut :
1) Tahap pertama : mula-mula batubara akan menyerap oksigen dari
udara secara perlahan-lahan dan kemudian temperatur batubara akan
naik
2) Tahap kedua : sebagai akibat temperatur naik kecepatan batubara
menyerap oksigen dari udara bertambah dan temperatur kemudian
akan mencapai 100-1400C
3) Tahap ketiga : setelah mencapai temperatur 1400C, uap dan CO2 akan
terbentuk
4) Tahap keempat : sampai temperatur 2300C, isolasi CO2 akan berlanjut
5) Tahap kelima : bila temperatur telah berada diatas 3500C, ini berarti
batubara telah mencapai titik sulutnya dan akan cepat terbakar

1.2 Akibat Atau Dampak Dari Bencana


Tentu saja bencana dari swabakar yang umumnya terjadi pada area
stockpile ini dapat menimbulkan akibat atau dampak baik secara langsung
maupun tidak langsung. Adapun dampak yang ditimbulkan secara langsung
adalah :
1. Terganggunya siklus produktivitas penambangan.
2. Dapat menimbulkan kerugian bagi perusahaan.
3. Dapat menimbulkan korban.

Lalu, dampak yang ditimbulkan secara tidak langsung adalah asap dari
terjadinya pembakaran batubara tersebut tertiup oleh angin dan menuju
pemukiman masyarakat, dimana asap tersebut dapat menimbulkan sesak
nafas, pusing dan dllnya. Tentu saja hal itu sangat merugikan kesehatan
masyarakat yang berada disekitar area tambang batubara

1.3 Peran Penanganan Tim Mine Rescue


Adapun peran yang dilakukan Tim Mine Rescue bila terjadinya bencana
swabakar ini pada tambang adalah sebagai berikut :
A. Mencari Penyebab Terjadinya Swabakar
Pada tahap ini Tim Mine Rescue bertugas untuk mencari dari penyebab
terjadinya swabakar pada area stockpile. Adapun penyebab umum dari
terjadinya swabakar pada area stockpile adalah :

1. Lamanya Penimbunan
Semakin lama batubara tertimbun akan semakin banyak panas yang
tersimpan di dalam timbunan, karena volume udara yang terkandung
dalam timbunan semakin besar, sehingga kecepatan oksidasi menjadi
semakin tinggi. Maka, tim mine rescue berhak untuk mengintruksikan
melakukan penyiraman berkala terhadap timbunan batubara yang
bertujuan untuk mengurangi suhu pada timbunan tersebut dan juga
Tim Mine Rescue berhak menganjurkan melakukan manajemen FIFO
(First In First Out) untuk mecegah terjadinya lamanya penimbunan.
2. Metode Penimbunan
Dalam timbunan batubara perlu mendapatkan pemadatan. Dengan
adanya pemadatan ini akan dapat menghambat proses terjadinya
swabakar batubara, karena ruang antar butir diantara material batubara
berkurang. Maka bila pada timbunan batubara tersebut kurang
terpadatkan yang menyebabkan mudahnya terjadi oksidasi batubara
terhadap udara sehingga terjadinya swabaka. Tim Mine Rescue berhak
untuk mengintruksikan dilakukannya pemadatan agar tidak terjadinya
swabakar dan adapun alat yang digunakan untuk pemadatan adalah
track dozer atau excavator.
3. Kondisi Penimbunan
Pengaruh kondisi penimbunan terhadap proses swabakar batubara,
yaitu :
a. Tinggi timbunan
Tinggi timbunan yang terlalu tinggi akan menyebabkan semakin
banyak panas yang terserap, hal ini dikarenakan sisi miring yang
terbentuk akan semakin panjang, sehingga daerah yang tak
terpadatkan akan semakin luas dan akan mengakibatkan permukaan
yang teroksidasi semakin besar. Untuk batubara bituminuous yang
ditimbun lebih dari 30 hari sebaiknya tinggi timbunan maksimum 6
meter. Sedangkan untuk timbunan batubara lignite lebih dari 14
hari tinggi timbunan maksimum 4 meter. Maka, Tim Mine Rescu
wajib melakukan pengecekan terhadap tinggi penimbunan dengan
jenis batubara pada tambang tersebut, bilamana tinggi timbunan
melebihi batas yang dianjurkan sesuai dengan jenis batubaranya,
maka Tim Mine Rescue berhak untuk mengintruksikan mengurangi
ketinggian dari timbunan tersebut.
b. Sudut Timbunan
Sudut yang dibentuk dari suatu tumpukan pada timbunan
(stockpile) batubara sebaiknya lebih kecil dari angle of repose
timbunan batubara. Pada umumnya material berukuran kasar
memiliki angle of repose lebih besar dibandingkan material
berukuran halus. Kemiringan timbunan batubara yang cukup ideal
yaitu 35. Maka disini Tim Mine Rescue wajib melakukan evaluasi
atau pengecekan terhadap sudut yang dibentuk dari timbunan,
apabila tidak sesuai dengan ketentuan maka Tim Mine Rescue
berhak mengintruksikan untuk melakukan perubahan sudut sesuai
dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
c. Ukuran Butir
Pada dasarnya semakin besar luas permukaan yang berhubungan
langsung dengan udara luar, semakin cepat proses pembakaran
dengan sendirinya berlangsung. Ukuran butir batubara juga
mempengaruhi kecepatan dari proses oksidasi. Semakin seragam
besar ukuran butir dalam suatu timbunan batubara, semakin besar
pula porositas yang dihasilkan dan akibatnya semakin besar
permeabilitas udara luar untuk dapat beredar di dalam timbunan
batubara. Maka Tim Mine Rescue wajib melakukan evaluasi atau
pengecekan ukuran butir didalam timbunan dan apabila timbunan
memiliki ukuran butir yang seragam maka Tim Mine Rescue
berhak untuk menganjurkan melakukan pencampuran ukuran butir
dalam kegiatan penimbunan.
4. Pengaruh Angin
Swabakar terjadi karena adanya proses oksidasi yaitu kontak antara
udara dan panas, angin salah satunya yang menjadi faktor pemicu
timbulnya hal tersebut. Angin membawa udara di dalam
pergerakannya, jadi apabila arah angin tersebut menghadap
berhadapan dengan tumpukan stockpile, ini akan memicu cepat
timbulnya potensi swabakar. Maka Tim Mine Rescue wajib untuk
melakukan evaluasi atau pengecekan kembali terhadap letak posisi
desain stockpile terhadap arah mata angin dan jika letak posisi dari
desain stockpile tersebut menghadap berhadapan dengan arah angin
maka Tim Mine Rescue berhak untuk menganjurkan dilakukannya
perubahan letak posisi desain dari stockpile itu sendiri.
5. Saluran Air (drainase) Yang Kurang Optimal
Saluran air berfungsi untuk mengalirkan air yang berasal dari area
stockpile baik dari air bawaan batubara, air tanah serapan, maupun air
hujan. Air yang melewati tumpukan batubara akan melarutkan
batubara halus dari tumpukan batubara, sehingga partikel batubara
yang halus tersebut akan terbawa oleh aliran air. Maka Tim Mine
Rescue wajib untuk melaksanakan evaluasi atau pengecekan kembali
terhadap fungsi dari saluran air tersebut dan jika saluran air di
stockpile tersebut tidak memenuhi standar ketentuan, maka air-air
tersebut akan terjebak dalam tumpukan tersebut yang mengakibatkan
terjadinya perbedaan humiditas dalam tumpukan batubara tersebut
yang dalam jangka panjang akan memicu terjadinya self heating atau
menjadi akselerator pada saat batubara bagian atas mengalami
kenaikan temperatur yang dapat mempengaruhi timbulnya potensi
swabakar. Bila kurang optimalnya saluran air (drainase) ini berfungsi
sehingga sebagai penyebab dari terjadinya swabakar, maka Tim Mine
Rescue berhak untuk melakukan pembenahan pada saluran air ini agar
dapat berfungsi secara optimal.
B. Menyelamatkan Korban
Bila dari kejadian bencana ini menimbulkan korban, Tim Mine Rescue
berkewajiban untuk menolong korban dan mengevakuasi korban dari
tempat bencana ke tempat yang aman. Dan, memberikan pertolongan
terhadap korban sembari melakukan pengecekan terhadap luka yang
diderita korban. Bila korban mengalami luka ringan dan bisa diobati dan
dirawat pada lokasi tambang maka Tim Mine Rescue wajib untuk merawat
korban hingga sembuh. Dan, jika luka yang diderita korban merupakan
luka serius/berat maka Tim Mine Rescue berhak membawa korban ke
Rumah Sakit terdekat untuk menjamin keselamatan dan kesehatan korban.
C. Mencegah Meluasnya Bencana
1. Penanganan Swabakar Dengan Kompaksi Alat Mekanis
Penanganan swabakar dengan cara kompaksi ini dapat dilakukan oleh
alat alat mekanis yang sering dijumpai pada proses penambangan
biasanya yaitu berupa bulldozer ataupun Power Crawler seperti
backhoe. Adapun proses kerja dari penanganan swabakar dengan cara
kompaksi alat mekanis ini terdiri dari beberapa tahapan, yaitu :

a. Pembongkaran timbunan
Pembongkaran dilakukan pada batubara yang terbakar, adapun
kegiatan pembongkaran ini bertujuan untuk menurunkan suhu dan
setelah suhu batubara normal kembali, batubara dipisahkan dari
tumpukan sebelumnya. Dengan menggunakan alat mekanis
dilakukan penggalian terhadap batubara yang telah mengalami
swabakar (spontaneous combustion).

b. Pemisahan
Pemisahan dilakukan dengan memindahkan atau mengalokasikan
batubara yang telah terjadi swabakar dengan batubara yang belum
terbakar. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya
swabakar yang lebih besar lagi pada tumpukan batubara yang lain.
Selain itu, dilakukan juga pembuangan abu yang terdapat pada
temporary stockpile akibat dari terbakarnya batubara tersebut.

c. Pemadatan
Setelah batubara yang telah terbakar di stockpile dilakukan
evakuasi dan dibuang, batubara yang belum terbakar pada
temporary stockpile tersebut dilakukan pemadatan (compaction).
Setelah dilakukan proses pendinginan pada batubara hasil swabakar
yang telah dipadatkan, batubara dapat langsung didistribusi ataupun
dikembalikan kembali pada tempat awalnya dengan dilakukan
kembali proses kompaksi lanjutan.

2. Penanganan Swabakar Dengan Injeksi Larutan Kimia


Penanganan swabakar dengan injeksi larutan kimia haruslah
memperhatikan aspek aspek terkait di dalamnya, termasuk aspek
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Dimana penggunaan bahan
kimia ini juga haruslah memenuhi standar baku mutu yang telah
ditetapkan oleh Departemen Kementerian Lingkungan Hidup serta
Departemen Kementerian Kesehatan. Produk yang digunakan dalam
pengaplikasian metode injeksi larutan kimia ini adalah Fire Tide ( Fire
Suppression ). Fire tide memiliki tingkat PH sebesar 6 8, dengan
tingkat fammable yaitu tidak terbakar. Produk ini diaplikasikan
dengan cara menyemprotkan larutan Fire Tide dengan menggunakan
pipa dan nozzle sprayer pada area dan kedalaman stockpile yang
hendak dipadamkan. Dilusi pemakaian fire tide yang disarankan
adalah 1:50-60 liter air. Proses aplikasi penyemprotan ini dapat
dilakukaan beberapa kali sesuai dengan hasil yang diharapkan
terutama pada titik api dan asap.
Adapun mekanisme kerja dalam proses pemadaman api akibat
swabakar dari fire tide adalah sebagai berikut :
a. O2 Blocker ( micro structure stable lamella) aktif yang
terkandung dalam fire tide mampu memblock /memperangkap
oksigen sehingga mematikan api dalam stockpile.
b. Radical scavenger ( aktif ) yang terkandung di dalam fire tide
mampu menangkap dan mematikan radikal - radikal yang terbentuk
akibat adanya api sehingga menghentikan proses penjalaran api ke
material disekelilingnya.
c. O2 displacement yaitu fire tide akan bereaksi dengan air
menghasilkan inert gas dengan berat molekul yang lebih besar dari
oksigen sehingga akan mendorong oksigen keluar dari sistem.
d. Deeper penetration and quick spreading, dalam proses kerjanya
fire tide ini menghasilkan penetrasi yang lebih dalam sehingga
penyebaran reaksi hasil injeksinya dari luar ke dalam tumpukan
batubara akan lebih cepat bereaksi.
D. Langkah Pemulihan
Setelah dilakukannya pencarian penyebab dari bencana dan juga
dilakukannya kegiatan pencegahan meluasnya, maka tugas selanjutnya
bagi Tim Mine Rescue adalah melakukan langkah pemulihan pasca
bencana swabakar tersebut. Adapun langkah-langkah pemulihannya
adalah sebagai berikut :
1. Menggunakan gas inert (gas N2). Gas ini cukup mahal harganya, selain
itu juga cepat menguap sehingga dengan cepat dapat menurukan suhu
pada tumbukan batubara bila terjadi peningkatan secara signifikan
pada timbunan batubara
2. Tempatkan tabung gas N2 ini didalam tempat penyimpanan batubara
agar dapat memadamkan api secara cepat bila adanya kebakaran
batubara.
3. Dilakukan pembersihan secara periodik untuk menghindari
pembentukan endapan debu batubara yang dapat menyebabkan
terjadinya proses oksidasi batubara dengan udara sehingga terjadinya
swabakar
4. Menghilangkan kemungkinan sumber tercapainya titik sulut batubara
(ignition point) didalam instalasi.
5. Perhatikan, dicari dan temukan sumber kebakaran sedini mungkin.
6. Dalam hal timbunan batubara ditutupi dengan plastik, usahakan agar
konsentrasi O2 kurang dari 12%. Pada timbunan terbuka, penggunaan
siraman air dengan menggunakan sprinkler system yang otomatis akan
sangat membantu dalam usaha mencegah kebakaran batubara.
Caranya : control operator panel (CPO) di pipa ditaruh didalam
timbunan batubara kemudian disetel pada temperatur tertentu. Apabila
temperatur timbunan batubara meningkat dan melebihi temperatur
yang disetel di COP, maka sprinkler otomatis akan bekerja sendiri
menyirami timbunan batubara tersebut.
E. Saran Koreksi Agar Bencana Sejenis Tidak Terulang
Pada tahap ini Tim Mine Rescue memberikan saran dari hasil evaluasi
terhadap penyebab bencana agar tidak terulang kembali. Adapun saran
koreksi yang diberikan agar bencana sejenis tidak terulang adalah sebagai
berikut :

1. Mengurangi Ketinggian Stockpile


Tujuan untuk mengurangi ketinggian stockpile adalah untuk
mengurangi impact dari angin yang menerpa stockpile. Semakin besar
luas permukaan yang diterpa angin semakin besar tingkat oksidasi
yang terjadi, yang berarti pula semakin besar kemungkinannya untuk
terjadinya swabakar atau pembakaran spontan. Mengurangi ketinggian
stockpile dapat dilakukan dengan menyetok batubara melebar, atau
luasan penumpukan diperbesar.
Apabila luasan areal stockpile tidak mencukupi, maka pemadatan
harus dilakukan. Pemadatan stockpile dapat dilakukan layer by layer
atau single compaction. Pemadatan layer by layer dapat dilakukan
terhadap batubara yang relatif keras atau tidak rapuh . Karena apabila
dilakukan terhadap batubara yang rapuh, maka proses pemadatan akan
menghasilkan debu yang cukup signifikan. Untuk batubara yang
mudah hancur, maka pemadatan yang dapat dilakukan adalah
pemadatan dengan metode single compaction.
2. Mengurangi Sudut Slope Tumpukan
Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi impact angin yang menerpa
tumpukan batubara. Dengan melandaikan bagian permukaan yang
menghadap ke arah angin, berarti juga mengurangi penetrasi angin
atau oksigen masuk ke dalam tumpukan. Karena dengan sudut
aerodinamis angin yang menerpa pada tumpukan batubara seolah-olah
dibelokkan ke atas sehingga tidak terjadi turbulensi angin di sekitar
tumpukan batubara. Hal ini akan mengurangi tingkat oksidasi yang
terjadi terhadap batubara.
3. Memadatkan Permukaan yang Menghadap ke Arah Angin
Untuk menyimpan batubara yang relatif lama, baik batubara golongan
rendah maupun batubara golongan tinggi, sebaiknya setiap slope
tumpukan dipadatkan, khususnya yang menghadap ke arah angin.
Seperti yang telah dijelaskan terdahulu, bahwa pemadatan permukaan
berarti mengurangi penetrasi oksigen kedalam tumpukan batubara
yang juga akan mengurangi tingkat oksidasi batubara dalam tumpukan
tersebut. Dengan pemadatan setiap slope tumpukan berarti
mengurangi tingkat resiko terjadinya pembakaran spontan di stockpile.
Dengan melakukan pemadatan setiap lereng tumpukan berarti
mengurangi resiko terjadinya gejala swabakar, karena swabakar dari
suatu jenis batubara di tempat timbunan atau penyimpanan umumnya
disebabkan oleh dua faktor yaitu udara dan panas, maka pencegahan
terjadinya swabakar hanya dapat dilakukan apabila salah satu dari
kedua faktor ini dihilangkan atau ditiadakan melalui tindakan
pemadatan dalam memperkecil terjadinya kontak antara partikel
batubara dengan oksigen dari udara.
Hal ini perlu dilakukan, terutama untuk penimbunan atau
penyimpanan jangka panjang (reserve storage or long term
consolidated stockpile untuk jangka waktu penimbunan lebih dari 3
bulan) untuk mencegah terjadinya penurunan kualitas batubara
disamping untuk mengurangi bahaya swabakar yang menyebabkan
kebakaran. Pemadatan timbunan batubara harus dilakukan secara
sistematis yaitu dilakukan secara lapis demi lapis dimana setiap lapis
yang disebarkan merata dan langsung dipadatakan dengan alat berat
4. Menambahkan Additive Pada Saat Pembongkaran
Untuk lebih mengurangi resiko terjadinya pembakaran spontan di
stockpile, penambahan additive pada saat setiap batubara dibongkar
dan ditumpuk stockpile, dilakukan penambahan atau spraying
menggunakan bahan additive yang mengandung surfactan dan
chemical yang akan bertindak sebagai anti oksidan. Dengan demikian
batubara akan terlindung dari oksidasi atau paling tidak mengurangi
tingkat oksidasi yang terjadi pada batubara di stockpile. Additive dapat
dibagi menjadi dua jenis yaitu :

a. Wetting type
Wetting type biasanya mengandung surfactan yang berfungsi untuk
menurunkan tegangan permukaan antara batubara dan air, sehingga
air dapat membasahi partikel batubara dan mencegah debu
berterbangan ke udara. Additive jenis ini biasanya juga ditambah
zat polimer sebagai pengikat partikel halus menjadi partikel yang
lebih besar sehingga density nya juga menjadi lebih besar. Zat ini
berfungsi pada saat air yang membasahi batubara sudah mengering
dengan penguapan. Jadi zat ini mencegah disintegrasi kembali
partikel yang halus pada saat partikel tersebut mengering.

b. Coating type
Jenis ini biasanya mengandung polimer yang berfungsi sebagai
pelindung. Additive jenis ini pada saat disemprotkan ke permukaan
batubara adalah cair, namun beberapa saat setelah berada di
permukaan batubara polimer ini mengering dan membentuk lapisan
pelindung yang menyeruai plastik. Lapisan polimer ini berfungsi
untuk mengikat partikel halus menjadi partikel yang lebih besar,
juga berfungsi sebagai oxygen shield atau menahan kontak antara
oksigen dan batubara sehingga oksidasi dapat dicegah. Additive
jenis ini juga sering digunakan pada stockpile dimana
penyemprotan dilakukan pada saat tumpukan batubara telah
mengalami proses trimming.
Hal ini juga dimaksudkan untuk mencegah longsoran tumpukan dan
juga berfungsi sebagai pelindung slope yang diterpa angin dan
mengurangi penetrasi oksigen kedalam tumpukan batubara. Pada saat
pengunaan additive ini yang perlu diperhatikan adalah sistem
sprayingnya. Karena efektifitas additve ini juga tergantung baik
buruknya sistem penyemprotannya. Intinya adalah additive tersebut
harus mengenai semua partikel batubara, terlebih lagi mengenai
partikel batubara yang halus.

5. Memonitor Temperatur Stockpile Secara Reguler


Monitoring temperatur batubara di stockpile secara reguler
dimaksudkan agar setiap temperatur batubara di stockpile cepat
terdeteksi agar dapat dilakukan preventif action untuk mencegah
terjadinya pembakaran spontan. Setiap batubara akan mengalami
oksidasi segera setelah terekspose di udara. Yang membedakan
batubara yang satu dengan yang lain adalah tingkat oksidasinya.
Semakin tinggi rank batubara, semakin rendah tingkat oksidasinya,
karena internal surface areanya lebih kecil dibandingkan dengan
batubara peringkat rendah. Oksidasi batubara ini bersifat eksotermik
atau menghasilkan panas. Pada saat oksidasi terjadi di permukaan
yang terekspose ke udara, panas yang ditimbulkan segera dihilangkan
dengan konveksi ke udara sehingga temperatur batubara tersebut tidak
naik dan stabil.
Yang perlu diperhatikan adalah penyemprotan batubara yang panas
dalam tumpukan tidak akan mencegah tumpukan tersebut untuk terus
naik temperaturnya, bahkan penyemprotan batubara panas dengan air
bahkan dapat mengakselerasi oksidasi yang terjadi. Jadi
penanggulangan batubara di dalam tumpukan hanya dengan
pembongkaran tumpukan tersebut untuk menurunkan temperaturnya.
Setelah temperaturnya turun baru bisa dilakukan penyemprotan baik
dengan air maunpun additive untuk mencegah terjadinya kembali self
heating. Dengan demikian resiko terjadinya pembakaran spontan
dapat dikurangi dengan memonitor temperatur secara reguler.

6. Melakukan Management FIFO ( First In First Out)


Management FIFO atau First in First out di setiap stockpile baik di
perusahaan tambang batubara maupun di end user harus diusahakan
terlaksana. Karena hal ini juga akan mencegah resiko terjadinya
pembakaran spontan di stockpile. Hal ini dikarenakan semakin lama
batubara terkspose di udara semakin besar kemungkinan batubara
tersebut mengalami oksidasi yang berarti pula semakin besar
kemungkinan terjadinya self heating sampai terjadinya pembakaran
spontan. Biasanya management FIFO ini terkendala dengan masalah
kualitas. Ada kalanya batubara yang sudah ditumpuk pertama kali
distockpile tidak dapat dimuat atau dibunkerkan karena alasan kualitas
yang tidak masuk. Namun demikian setiap kesempatan management
FIFO ini tetap harus prioritas dilakukan pada saat tidak ada alasan
kualitas. Karena diantara ketujuh langkah pencegahan seperti tersebut
diatas, management FIFO adalah yang paling murah.

7. Pembuatan Wind Shield atau Penangkal Angin


Angin yang bertiup ke dan dari stockpile dapat mengakibatkan
kerusakan pada batubara dan berakibat buruk bagi lingkungan. Angin
yang bertiup ke arah tumpukan batubara akan mempercepat terjadinya
oksidasi batubara yang berlanjut pada terjadinya self heating atau
pemanasan pada tumpukan batubara tersebut. Apabila hal ini tidak
dapat dikendalikan, maka akan berakhir dengan terjadinya
pembakaran spontan atau spontaneous combustion. Tentunya hal ini
akan merugikan, baik akibat hilangnya kuantitas batubara maupun
biaya untuk merelokasi batubara yang terbakar. Selain itu angin yang
bertiup dari arah stockpile ke luar akan membawa fine coal atau
batubara dengan ukuran partikel halus sehingga mengakibatkan debu
di ujdara dan dapat berpengaruh ke lingkungan. Masalah debu ini
akan semakin besar pengaruhnya apabila lokasi stockpile berada dekat
dengan pemukiman penduduk. Untuk mencegah kedua hal tersebut di
atas perlu dibuatkan semacam green belt di sekitar stockpile atau
paling tidak di daerah dimana biasanya angin berhembus atau
prevalling wind. Green belt tersebut biasanya dapat dibuat dengan
membuat jaring pepohonan di sekitar stockpile, sehingga pada saat
angin berhembus ke arah stockpile dapat dipecahkan atau dihalangi
oleh pepohonan tersebut. Selain itu juga debu batubara yang berasal
dari stockpile juga dapat dicegah atau dihalangi oleh pepohonan
tersebut. Untuk lokasi stockpile yang berada di sekitar bukit, maka
dinding bukit tersebut dapat berfungsi sebagai wind sield. Di beberapa
daerah di luar negeri, stockpile ada yang dibuat dengan memotong
bukit, sehingga seolah olah stockpile tersebut berada di dalam tanah
dan terlindung dari angin.

Anda mungkin juga menyukai