LAYOUT TAMBANG
Tabel 5.1.
Volume dan Luas Disposal
Disposal
Volume Luasan
(BCM) (Hektar)
31,457,540.00 69.98
V-1
5.1.2. Geometri Disposal
Design geometri disposal ditentukan berdasarkan pembagian kelompok yang telah
dibagikan, berikut ketentuan pembuatan disposal dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 5.2.
Geometri Disposal
Geometri Disposal
Ketinggian Lereng Tunggal 12 m
Kemiringan Lereng Tunggal 32O
Lebar Jenjang Tunggal 7m
V-2
c. Cara Paritan
Dibandingkan dengan metode penirisan lainnya, cara ini adalah cara yang paling
murah. Beberapa lubang paritan dibuat pada lokasi penambangan guna menampung
aliaran air limpasan (run off), sehingga tidak mengganggu pekerjaan penambangan.
Beberapa macam bentuk saluran penirisan dapat dibuat guna melakukan pekerjaan
penirisan, tetapi sederhana dan umum digunakan adalah saluran dengan bentuk trapesium,
dengan kemiringan sisinya 450.
5.3. ROM dan Stockpile
Cara yang paling sederhana untuk menyimpan batubara adalah dengan
menimbun/menumpuk batubara setelah diangkut langsung dari tambang maupun yang
telah diolah terlebih dahulu.
Stockpile adalah tempat penyimpanan/penumpukan hasil tambang batubara.
Stockpile berfungsi sebagai penyangga antara pengiriman dan proses, sebagai persediaan
strategis terhadap gangguan yang bersifat jangka pendek atau jangka panjang. Stockpile
juga berfungsi sebagai proses homogenisasi dan atau pencampuran batubara untuk
menyiapkan kualitas yang dipersyaratkan (Muchjidin, 2006 : 96)
Proses penyimpanan (stockpile), dapat dilakukan di daerah, sebagai berikut :
1. Dekat tambang
2. Dekat pelabuhan
3. Ditempat pengguna batubara
Untuk proses penyiapan diharapkan jangka waktunya tidak lama, karena akan
berakibat pada penurunan kualitas batubara. Proses penurunan kualitas biasanya lebih
dipengaruhi oleh proses oksidasi dan alam.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam manajemen stockpile, diantaranya :
1. Monitoring kuantitas (Inventory) dan pergerakan batubara di stockpile, meliputi
pendataan batubara yang masuk dan pendataan batubara yang keluar di stockpile,
termasuk pendataan batubara yang tersisa.
2. Menghindari batubara yang terlalu lama di stockpile, dapat dilakukan dengan penerapan
aturan FIFO (first in first out) dimana batubara yang terdahulu masuk harus dikeluarkan
terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi resiko degradasi kualitas dan
pemanasan batubara.
3. Mengusahakan pergerakan batubara sekecil mungkin di stockpile, termasuk diantaranya
mengatur posisi stock dekat dengan reclaimer/hopper. Monitoring efektivitas
penggunaan unit bulldozer di stockpile dengan maksud mengurangi degradasi batubara.
4. Monitoring kualitas batubara yang masuk dan keluar dari stockpile termasuk diantaranya
kontrol temperatur untuk mengantipasi pemanasan dan swabakar.
5. Pengawasan yang ketat terhadap kontaminasi, meliputi pemantauan (housekeeping)
dan inspeksi langsung adanya pengotor yang terdapat di stockpile (quality control).
Karena swabakar batubara di tempat timbunan atau penyimpanan umumnya
disebabkan oleh dua faktor yaitu udara dan panas, maka pencegahan terjadinya swabakar
hanya dapat dilakukan apabila salah satu dari kedua faktor ini dihilangkan atau ditiadakan.
Hal ini perlu dilakukan, terutama untuk penimbunan atau penyimpanan jangka panjang
(lebih dari 3 bulan), bertujuan mencegah terjadinya penurunan kualitas batubara disamping
untuk mengurangi bahaya swabakar yang menyebabkan kebakaran. Pemadatan timbunan
batubara harus dilakukan secara sistematis yaitu dilakukan secara lapis demi lapis dimana
setiap lapis yang disebarkan merata setebal sekitar 0,5 sampai 1,0 m dan langsung
dipadatakan dengan wheel loader dibanding dengan bulldozer yang umumnya memakai
penggerak crawler (track), untuk mencegah kehancuran partikel batubara lebih lanjut.
Permukaan datar dan kemiringan di sisi samping timbunan batubara harus dikompakan.
Perataan permukaan seharusnya dilaksanakan untuk mempermudah pengeringan air dan
penyemprotan air. Permukaan kemiringan bagian sisi timbunan batubara sebaiknya dilapisi
V-3
dengan bahan yang tidak mudah terbakar untuk mencegah masuknya aliran udara ke
dalam timbunan batubara tersebut. Dalam hal ini, terutama untuk tempat timbunan
batubara yang dikompakan berjangka panjang, sudut sisi miring sampai ke puncak
timbunan harus kurang dari sudut alami yang terbentuk oleh batubara yang ditimbunkan
(angle of repose) sekitar 40o. Biasanya sudut ini dibuat selandai mungkin sekitar 15o dan
30o dari bidang datar tanah supaya alat pengompakan bisa bekerja aman. Tinggi
maksimum timbunan yang dianjurkan adalah kira-kira 2-4 m untuk tempat timbunan
batubara baik yang berasal dari tambang (ROM-coal) maupun yang bersih dari unit
pencucian (clean or saleable coal), diterapkan untuk timbunan yang tidak dikompakan dan
waktu penimbunan berjangka pendek (live storage). Sedangkan untuk sistem penimbunan
batubara yang dikompakkan (reserve storage), tinggi timbunan batubaranya bisa mencapai
kira-kira 12-16 m, terutama untuk penimbunan batubara bersih (Maksum, 2014).
Tabel 5.3.
Angle of Repose
Angle Of Repose For Rock
V-4
5.5. Pengelolaan Air Asam Tambang (AAT)
Pada kegiatan pertambangan, air asam tambang jika terbentuk maka akan sulit
untuk menghentikan proses pembentukan AAT tersebut. Oleh karena itu, metode
pengelolaan AAT yang terbaik adalah mengupayakan agar proses oksidasi mineral sulfide
tidak terjadi dengan cara menghindarkan kontak antara mineral sulfide dengan oksigen dan
air.
Secara urutan hierarki pengolahan air asam tambang terdiri atas upaya di bawah
ini, sebagai berikut :
1. Pencegahan pencemaran melalui pengelolaan pada setiap sumber pencemar potensial
di wilayah pertambangan.
2. Minimalisasi dampak potensial terhadap lingkungan melalui upaya-upaya mitigasi.
3. Mendaur ulang dan menggunakan kembali air tambang.
4. Pengolahan air tambang untuk pnggunaan air dan pemenuhan baku mutu pada saat
dialirkan ke badan air alami.
Urutan upaya-upaya tersebut di atas didasarkan pada risiko, baik risiko teknis,
ekonomis dan lingkungan untuk jangka pendek dan jangka panjang. Dalam pengelolaan
AAT perlu ditetapkan terlebih dahulu tujuan strategis dari pengelolaan AAT tersebut karena
hal ini penting untuk menentukan metode pengendalian AAT yang diperlukan. Untuk itu
perlu dipertimbangkan hal-hal berikut ini:
1. Risiko terhadap lingkungan hidup dan kesehatan manusia maupun penerima (reseptor)
lainnya.
2. Kriteria baku mutu air limbah dari kegiatan pertambangan.
3. Biaya kapital, operasi, dan perawatan dari berbagai alternatif metode.
4. Kemudahan dan keandalan logistik untuk operasional dan perawatan jangka panjang.
5. Tahap atau waktu dimana sistem pengelolaan diperlukan untuk bekerja secara optimal
dan bentuk kegagalan yang mungkin terjadi.
Material sumber pembentuk AAT pada suatu wilayah pertambangan antara lain:
1. Batuan penutup pada tambang terbuka atau batuan samping/limbah (waste rock) pada
tambang bawah tanah.
2. Tailing dan sisa pencucian batubara.
3. Sisa batuan pada proses heap leach.
4. Batuan sisa penambangan atau longsoran dan batuan dinding pada lubang bekas
tambang terbuka.
5. Batuan yang terdedah atau tersingkap pada bukaan tambang bawah tanah (drift, cross
cut, lombong/stope, dll).
6. Hancuran batuan pada zona ambrukan di permukaan pada metode penambangan
bawah tanah dengan ambrukan (caving method).
Pendekatan utama dalam pencegahan pembentukan AAT adalah menerapkan
metode yang dapat meminimalkan ketersediaan dari reaktan yang terlibat dalam reaksi
oksidasi mineral sulfida dan/atau memaksimalkan ketersediaan reaktan penetral asam.
Metode tersebut adalah sebagai berikut :
1. Meminimalkan pasokan oksigen yang berasal dari proses difusi atau adveksi.
2. Meminimalkan infiltrasi air dan lindian (air berfungsi sebagai reaktan maupun media
transpor).
3. Meminimalkan, memindahkan atau mengisolasi mineral sulfide.
4. Mengendalikan pH air.
5. Memaksimalkan ketersediaan mineral penetral asam dan alkalinitas air pori.
6. Mengendalikan proses bakteri dan biogeokimia.
Metode pelapisan atau penudungan merupakan metode yang paling sering
digunakan untuk mencegah atau mengendalikan pembentukkan AAT. Secara konseptual
metode ini bertujuan untuk menghambat kontak antara reaktan-reaktan pembentuk AAT
sehingga reaksi oksidasi tidak berlangsung. Metode ynag digunakan adalah menghalangi
V-5
aliran oksigen dan/atau air ke material PAF. Material pendukung utama yang sering
digunakan adalah lapisan batuan atau tanah, air dan material pelapis buatan. Metode ini
dibedakan menjadi dua, yaitu penudungan kering (dry cover) dan penudungan dengan air
(water cover).
Metode lain yang digunakan dalam pencegahan atau pengendalian pembentukkan
AAT adalah metode dengan panambahan bahan, yaitu:
1. Pavipasi
Pavipasi adalah pengolahan permukaan batuan yang reaktif sehingga membentuk
lapisan pelindung dan secara kimiawi inert untuk membatasi pelepasan produk pelindian
atau oksidasi. Metode ini masih dalam tahap pengembangan dan belum diimplementasikan
pada skala operasi. Berbagai metode pavipasi antara lain:
a. Kalium permanganat
b. Pelapisan fosfat
c. Metode lainnya
2. Material alkalin
Penambahan material alkalin akan dapat mengendalikan pembentukkan AAT
dengan syarat pencampuran yang relatif sempurna dapat dicapai. Efektivitas dari sistem ini
tergantung pada lintasan air di dalam sistem, derajat pencampuran, dan konta antara
batuan PAF serta material alkalin. Material alkalin yang umum digunakan sebagai
pencampur adalah CaCO3, CaO atau Ca(OH)2.Selain itu dapat juga digunakan material lain
yang bersifat alkalin, seperti abu hasil pembakaran batubara, debu kiln (kiln dust) pada
pabrik semen, slag dari peleburan baja.
Dalam proses pembentukkan AAT selain berfungsi sebagai salah satu reaktan
dalam reaksi pembentukkan air juga berfungsi sebagai transpor polutan ke badan air
penerima, yang dapat berupa sumber air permukaan alami atau air tanah. Pemanfaatan air
untuk mencegah terbentuknya AAT didasarkan pada pemahaman bahwa oksigen terlarut
di dalam air sangat tidak reaktif dibandingkan dengan oksigen di dalam fasa gas di udara.
Dalam hal ini air merupakan lapisan penudung untuk menghindarkan kontak antara oksigen
di udara dengan material PAF. Metode pencegahan melalui pengelolaan air antara lain
dalam bentuk pengendalian atau pengalihan aliran air, penenggelaman (flooding), atau
penyumbatan (seal). Penenggelaman (flooding) adalah metode yang umum dilakukan pada
tambang bawah tanah dan lubang pit penambangan pda masa pasca tambang. Hal yang
perlu diperhatikan pada penerapan metode ini adalah keberadaan batuan yang telah
teroksidasi sebelumnya karena produk oksidasi dapat kembali.
Tujuan pengolahan AAT yang terutama adalah untuk memenuhi baku mutu
lingkungan sesuai dengan peraturan prundang-undangan yang berlaku, mengolah air
tambang sehingga memiliki kualitas yang sesuai dengan pemanfaatannya kembali di
lingkungan, serta melindungi kesehatan manusia jika terdapat kemungkinan pemanfaatan
air penyaliran untuk memenuhi kebutuhan air masyarakat setempat.
Tujuan dari pengolahan AAT bergantung pada permasalahan atau tantangan yang
dihadapi oleh pelaku usaha pertambangan dan hal ini biasanya bersifat site spesific. Berikut
ini berbagai tujuan dari pengolahan AAT:
1. Memanfaatkan kembali air tambang untuk keperluan pengolahan bijih atau batubara,
transpor material dan penggunaan operasional lainnya seperti penyiraman debu, irigasi
pada daerah reklamasi atau pndinginan tambang bawah tanah dalam hal inni
pengolahan AAT bertujuan untuk memperbaiki kualitas iar tambang sehingga memenuhi
persyaratan untuk pemanfaatannya kembali.
2. Melindungi kesehatan manusia pada kndisi dimana terdapat kemungkinan kontak antara
manusia dengan AAT baik secara langsung maupun tidak langsung.
3. Perlindungan lingkungan khususnya dampak terhadapa air permukaan dan air tanah.
AAT dapat menjadi media pembawa berbagai pencemar atau kontaminan ke
lingkungan.
V-6
4. Kemungkinan mengekstrak unsur yang mempunyai nilai jual dari AAT, contohnya
pengolahan AAT di tambang tembaga-emas untuk menghasilkan logam tembaga.
5. Memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang kualitas efluen (baku mutu) atau beban pencemar.
6. Air tambang sebagai bagian dari sumberdaya air yang penting bagi manusia. Semakin
banyak kasus dimana air tambang yang telah diolah dialirkan untuk memnuhi kebutuhan
masyarakat sekitar akan air bersih.
7. Pengolahan air tambang merupakan suatu komponen penting dari pengelolaan air
tambang untuk mendukung operasi sepanjang umur tambang dan menjamin kondisi
pascatambang yang berkelanjutan.
Teknologi pengolahan AAT telah banyak dikembangkan serta diterpakan di
pertambangan di berbagai negara dan secara garis besar dapat dibedakan dalm tiga
kategori berdasaran tujuan yang ingin dicapai (GARD Guide, 2009), yaitu:
1. Untuk netralisasi
a. Penetralan dengan kapur atau batugamping
b. Penetralan dengan bahan alkali berbasiskan natrium
c. Ammonia
d. Reduksi sulfat secara biologi
e. Lahan basah, saluran anoksik
f. Teknologi lain
2. Untuk penghilangan atau pengurangan logam
a. Presipitasi hidroksida
b. Presipitasi karbonat
c. Presipitasi sulfida
d. Lahan basah, kolam oksidasi
e. Teknologi lain
3. Untuk target polutan tertentu
a. Penghilangan sianida (oksidasi kimiawi, oksidasi biologi, kompleks)
b. Nuklida radioaktif (presipitasi, pertukaran ion)
c. Penghilangan arsen (oksidasi/reduksi, presipitasi, adsorpsi)
d. Penghilangan molibdenum (adsorpsi besi)
e. Teknologi lain
V-7
Gambar 5.1.
Layout Pertambangan
V-8
V-9