Anda di halaman 1dari 14

Kortisol dan Depresi: Tiga Pertanyaan untuk Ilmu Psikiatri

Latar Belakang. Kortisol memiliki peran ganda dalam Gangguan Depresi Mayor (GDM). Ritme diurnal
terganggu, ada peningkatan resistensi terhadap mekanisme umpan balik glukokortikoid, kortisol berlebih
bisa menginduksi GDM, kadar basalnya dapat lebih tinggi dan peningkatan kortisol setelah bangun pagi
lebih tinggi pada mereka yang berisiko mengalami GDM. Apakah hal ini membuka jalan untuk cara baru
meneliti GDM atau manajemen klinis yang baru?
Metode. Literatur yang relevan ditelaah.
Hasil. Kortisol berkontribusi terhadap variasi genetik yang berisiko mengalami GDM dan bagaimana
lingkungan meningkatkan risiko tersebut. Pengaruh kortikoid dimulai pada prenatal, namun berlanjut
hingga dewasa. Dampak kortisol pada setiap fase tergantung tidak hanya pada interaksinya dengan faktor
lain, seperti sifat psikologis dan variasi genetik, namun juga pada kejadian yang terjadi baik sebelum atau
sesudahnya.
Kesimpulan. Tinjauan ini menyimpulkan bahwa ini waktu yang tepat untuk mempertimbangkan peran
kortisol dalam situasi klinis. Estimasi dari kadar kortisol dan bentuk dari siklus diurnal dapat membantu
pemahaman subtype GDM dan memberikan indicator tambahan untuk terapi optimal. Pasien dengan
gangguan irama kortisol akan terbantu dengan mengembalikan fungsi irama tersebut; hal ini berbeda
dengan mereka yang memiliki kadar kotisol tinggi yang lebih membutuhkan penghambat kortisol. Kadar
tinggi kortisol berisiko terhadap munculnya depresi. Apakah sebaiknya manipulasi kortisol atau
reseptornya digunakan sebagai tindakan preventif pada mereka yang berisiko tinggi mengalami GDM,
atau apakah sebaiknya digunakan untuk menurunkan efek samping lain yang berhubungan dengan
kortisol seperti penurunan kemampuan kognitif jangka panjang?

Pendahuluan
Kortisol memiliki peranan penting dalam onset dan perjalanan penyakit Gangguan Depresi
Mayor (GDM), namun masih belum jelas bagaimana pastinya peran tersebut. Siklus diurnal kortisol
terganggu pada setidaknya setengah kasus episode depresi mayor; terdapat peningkatan resistensi
terhadap mekanisme umpan balik glukokortikoid pada aktivitas aksis hipotalamus-pituitari-adrenal;
peningkatan kortisol setelah bangun pagi lebih tinggi pada mereka yang berisiko mengalami GDM;
produksi kortisol berlebih, baik yang endogen (seperti pada Cushing syndrome) maupun eksogen
(terapeutik) bisa mengakibatkan depresi; dan bila kadar kortisol pada pagi hari tergolong tinggi menjadi
risiko depresi. Apakah kita bisa memahami temuan-temuan terpisah ini? Apakah perubahan kortisol ini
menjadi sebuah epifenomena depresi, atau apakah ia memiliki bobot dalam onset, perbaikan, dan
perjalanan sebuah episode depresi? Dalam arti lain, apakah ia penyebab atau akibat? Apakah penilaian
kortisol dilakukan dalam manajemen rutin GDM? Apakah penggunaannya untuk diagnostic atau
terapeutik?
Makna asli dari peran kortisol sejauh ini hanya jelas terlihat dalam konteks skema perkembangan
GDM. Skema ini terbatas oleh definisi GDM yang masih tidak pasti, yang akan tetap seperti itu selama
gejala saja yang digunakan untuk mendefinisikannya, dan dibatasi pula oleh keraguan akan validitas
konsep psikologis yang digunakan untuk mendeskripsikan pola risiko, kurangnya atribut fisiologis yang
khas pada GDM, serta sulitnya menggabungkan berbagai hasil pengukuran menjadi satu laporan yang
menggambarkan perjalanan menuju GDM. Skema apapun, oleh karena itu, jelas inakurat dan tidak
sempurna. Meskipun begitu, kita tetap perlu melihat sejauh mana kita bisa menambahkan kortisol ke
dalam skema tersebut. Pada tinjauan ini kami membahas pertanyaan berikut:
(1) Bisakah informasi mengenai kadar kortisol dan variannya sehari-hari membantu memahami
subtype GDM dan memberikan indicator tambahan untuk terapi?
(2) Apakah perbaikan dari ritme kortisol yang terganggu atau hambatan pada reseptor kortisol
menjadi terapi dari berbagai tipe GDM?
(3) Apakah manipulasi kortisol pada mereka yang berisiko mengalami GDM dapat dijadikan
metode preventif?
Beberapa prinsip membawahi peran kortisol dalam GDM: (i) ada beberapa faktor predisposisi
(salah satunya kortisol) GDM yang saling berinteraksi; (ii) faktor-faktor ini bisa berpengaruh terus
menerus seumur hidup; (iii) cara setiap faktor bekerja, dan pengaruhnya, dapat berubah pada tahap
kehidupan yang berbeda; (iv) respon otak terhadap agen seperti kortisol (atau faktor lingkungan lain)
dapat berubah seiring usia. Oleh karena itu terdapat serantai kemungkinan yang, secara berurutan, dapat
meningkatkan maupun menurunkan risiko GDM. Bagaimana mereka dipengaruhi oleh kortisol?

Ritme Kortisol dan GDM


Perubahan pada ritme diurnal kortisol telah diketahui terjadi pada setidaknya 50% kasus depresi.
Pada kelompok tersebut, terdapat peningkatan kadar pada malam hari yang berhubungan dengan
meningkatnya pelepasan berkala kortisol. Tidak semua setuju dengan hasil ini: pengecualian salah
satunya adalah peningkatan pada kortisol pagi hari atau tidak sama sekali. Usaha untuk menghubungkan
variasi gejala klinis GDM terhadap ritme kortisol masih belum berhasil. Gejala depresi terutama pada
anak kecil juga berhubungan dengan peningkatan aktivitas aksis HPA. Volume kelenjar adrenal dapat
meningkat. Masih belum jelas apakah ini menggambarkan tipe depresi yang berbeda atau sampel yang
berbeda. Apabila kita mau menilai perbedaan ini maka kita harus mempertimbangkan implikasi dari
perubahan ritme kortisol.
Kortisol disekresikan dalam pulsasi ultradian (kurang dari sehari namun lebih dari satu jam), dan
bervariasi pada amplitude dan frekuensi. Pulsasi yang berubah dapat terjadi pada siklus diurnal kortisol
yang sifatnya sangat prominen, dan reaksi terhadap kejadian stress. Mendefinisikan perubahan kortisol
sendiri tidak jelas. Misalnya, kortisol yang tinggi pada pagi hari akan meningkatkan rata-rata kadar
hariannya namun juga amplitude dari ritme diurnalnya (bila kadarnya tidak berubah pada penghujung
hari). Parameter manapun memiliki konsekuensi yang berbeda bagi otak. Pola manapun dapat diubah
secara selektif dengan cara lain; misalnya peningkatan kadar pagi dan malam hari dapat terjadi secara
proporsional sehingga meningkatkan rata-rata paparannya namun tidak mengubah ritme. Kenaikan kadar
pagi hari bisa disebabkan peningkatan amplitude pulsasi, frekuensi, atau keduanya. Setiap pulsasi
ultradian bisa mengaktivasi satu set gen yang koresponden, walaupun menentukan apakah perbedaan
frekuensi dari pulsasi menghasilkan aktivasi set gen yang berbeda masih belum jelas. Lalu, respon otak
juga tergantung terhadap durasi dari kortisol yang terganggu; baik dalam jam maupun hari.

Kortisol sebagai pemacu irama sirkadian


Kortisol bukan sekedar bagian dari sistem sirkadian; ia juga membantu mengaturnya. Ada
gangguan yang lebih umum terhadap sistem sirkadian pada GDM, termasuk gangguan tidur dan
perubahan siklus suhu tubuh. Bangun lebih awal serta perubahan suhu dan melatonin terjadi pada pasien
GDM; pada pasien yang mengalami perbaikan polanya mulai mendekati normal. Nucleus suprakiasmatik
hipotalamus menghasilkan irama sirkadian melalui interaksi antara beberapa gen fasik seperti per1, per2,
bmal1, cry, dan clock, yang tersinkronisasi kepada siklus cahaya 24 jam melalui sinyal dari mata.
Jaringan lain, termasuk beberapa yang dari otak (seperti hipokampus) juga mengekspresikan gen clock.
Beberapa, namun tidak semua, tersinkronisasi dengan ritme kortikoid. Misalnya, ekspresi fasik per2 di
hipokampus, bukan di nucleus suprakiasmatik, dipengaruhi oleh ritme kortikosterone pada tikus. Gen
lain, selain clock, juga merespon secara fasik terhadap kortikoid. Oleh karena itu gangguan pada ritme
kortikoid dapat mengganggu ekspresi gen pada organ target: perubahan ritme pada gen clock yang
dependen; perubahan ritme pada gen yang dipicu oleh ritme kortikoid harian; dan desinkronisasi gen yang
sifatnya kortikoid-dependen dengan yang tidak dependen yang dapat melanjutkan siklusnya sebagaimana
mestinya. Desinkronisasi dan rusaknya program sirkadian normal bisa memiliki pengaruh perilaku yang
serupa dengan GDM, serupa dengan fenomena jetlag, yang ditandai dengan rendahnya rasa sehat, mood
depresif, dan kemampuan kognitif yang terganggu.

Kortisol dan Kebangkitan


Selama 30-60 menit setelah bangun terdapat peningkatan sekresi kortisol. Respon bangkitan ini
bukan bagian dari kejadian ritmik meskipun tidur sendiri bagian dari siklus diurnal. Signifikansi dari
cortisol awakening response (CAR, atau respon kebangkitan kortisol) sering didiskusikan dan masih
belum jelas. Ini menyebabkan hubungan apapun dengan GDM sulit ditentukan. Lebih lagi, literature
mengenai CAR masih belum konsisten. Pengasuhan buruk, faktor risiko untuk GDM, berhubungan
dengan CAR yang lebih tinggi, namun hasil yang lebih rendah dilaporkan pada mereka yang berisiko
tinggi mengalami GDM atau dengan gejala depresi subklinis. Yang lain melaporkan CAR meningkat
pada mereka yang berisiko tinggi maupun yang memiliki GDM, dan berhubungan dengan GDM maternal
dan rendahnya emosi positif. Klaim mengenai CAR menyebabkan kerentanan seseorang terhadap GDM
masih terbatas sampai signifikansinya dipahami lebih baik, dan hubungannya dengan faktor genetik,
social, dan psikologis lebih dipahami.

Kortisol sebagai faktor risiko GDM


Kadar kortisol pagi hari yang berada pada rentang tinggi merupakan faktor risiko bagi GDM dan
kortisol tinggi merupakan faktor risiko GDM pada infark miokardium. Perubahan ritme kortisol juga bisa
menjadi risiko. Kami mengetahui dari sumber lain bahwa kortikoid berlebih dapat berbahaya bagi otak,
menyebabkan ia menjadi lebih berisiko terhadap agen yang tanpa kortikoid, tidak akan berbahaya.
Anggapan ini bila diterjemahkan bagi GDM: karena kita tahu kesulitan (baik pada awal kehidupan
maupun pada kejadian yang baru dialami) dapat berkontribusi terhadap GDM, maka kadar kortisol tinggi
berpotensi menyebabkan kerja psikopatologis agen tersebut pada cara yang serupa. Masalahnya ini sangat
pragmatis: sulit untuk mengukur kortisol dalam hari atau minggu setelah kejadian tertentu, dan
memprediksi apakah kemungkinan terjadinya GDM mengalami perubahan.
Kortikoid bekerja pada reseptor mineral dan glukokortikoid. Glukokortikoid reseptornya
terdistribusi di otak (terutama pada lobus frontalis dan korteks singulata) namun terbanyak di
hipokampus, amigdala, dan hipotalamus. Ekspresi mineralkortikoid lebih terpusat pada daerah limbic,
namun juga diimplikasikan pada GDM. Area mana, atau reseptor tipe mana, yang terlibat dalam risiko
dari berubahnya ritme kortisol tidak dijelaskan, namun karena mineralkortikoid sudah disaturasi oleh
kadar kortisol yang cukup tinggi, maka glukokortikoid biasanya lebih sensitive terhadap peningkatan
kadar kortisol. Kami juga tidak dapat mengikuti gen yang mengikuti reseptor tersebut karena mayoritas
memiliki elemen responsive glukokortikoid (GRE). GRE memiliki efek yang bervariasi bagi berbagai
gen, seperti modifikasi kromatin dan rekrutmen kofaktor yang mengatur kerja glukokortikoid. Komplikasi
lain adalah beberapa gen yang merespon terhadap kortikoid, seperti brain derived neurotropic growth
factor (BDNF), tidak memiliki GRE. Maka kerja pada gen tersebut sifatnya indirek. Kortikoid juga
bekerja pada reseptor yang terikat pada membrane sehingga kerjanya lebih langsung pada fungsi
neuronal. Baik glutamate maupun GABA, yang merespon terhadap kortikoid, memiliki hubungan dengan
GDM.
Paragraf diatas menjadi presumsi dari apa yang kita ketahui mengenai kadar kortisol normal,
namun kenyataannya ini juga masih jauh dari jelas. Rentang normal bisa saja menggambarkan variasi
individual kortisol itu sendiri. Kadar optimum bervariasi per individu misalnya: pasien dengan penyakit
Addison akan memerlukan kortikoid yang berbeda kadarnya dan lebih tinggi bila mereka sakit. Oleh
karena itu kita bisa asumsikan bahwa ada rentang optimum per individu untuk kortisol, baik didefinisikan
oleh nilai absolute maupun bentuk atau amplitude dari ritme kortisol harian. Hal ini bisa berbeda
tergantung individu dan situasi. Apa yang mendasarinya masih tidak diketahui, namun penyimpangan dari
kadar optimum menjadi awal dari psikopatologis yang akan kita bahas.

Kortisol sebagai gambaran interaksi gen dan lingkungan


Apa yang menentukan perbedaan individual pada kadar kortisol? Penelitian terbatas pada
kembar monozigot dan dizigot mensugestikan setidaknya 50%-60% berhubungan dengan genetik.
Identitas dari gen tersebut masih tidak diketahui pasti, meskipun varian dari transporter serotonin bisa
berkontribusi. Gen yang sama dianggap memperberat reaksi terhadap kejadian tertentu yang dapat
mengubah kortisol. Jenis kelamin adalah faktor lain: tikus betina dan wanita memiliki glukokortikoid
yang lebih tinggi dibandingkan pria atau jantan. Estrogen memiliki kerja positif terhadap kortisol dan
kadar corticosteroid binding globulin (CBG), yang dapat dibuktikan dengan kejadian ini tidak ditemukan
pada anak anak prepubertas. Penting untuk diketahui bahwa ada peningkatan GDM yang signifikan pada
perempuan post-pubertas: apakah peningkatan kortisol berpengaruh terhadap perbedaan kejadian GDM
antar jenis kelamin? Efek dari kesulitan pada awal kehidupan terhadap kadar kortisol juga bisa
dipengaruhi oleh genetik walau ini tidak dapat ditentukan.
Kesulitan yang dihadap pada awal kehidupan juga memperberat respon aksis HPA di kemudian
hari. Kortisol tambahan juga dapat memberikan risiko terhadap hasil psikopatologis, atau kortisol bisa
saja menjadi proksi untuk, atau indicator dari, respon stress berlebihan, dan tidak memberikan kontribusi
pada hasil psikologis kejadian tersebut. Bukti lebih berat pada teori yang pertama.

Umpan balik glukokortikoid dan depresi


Peningkatan resistensi aksis HPA terhadap mekanisme umpan balik deksametason
(dexamethasone suppression test/DST) terhadap kadar kortisol darah pada beberapa kasus GDM
dilaporkan 40 tahun yang lalu. Harapan tinggi bahwa ini bisa dijadikan sebagai tes laboratorium untuk
GDM masih belum terealisasi. Masih belum jelas pula efek gangguan aksis HPA dalam GDM.
Modifikasi bermacam macam, seperti mengukur respon kortisol terhadap corticotrophin releasing factor
diikuti dengan supresi oleh deksametason masih belum memperbaiki situasi ini meskipun ada bukti yang
berlawanana. Deksametason adalah murni glukokortikoid (efeknya minim pada mineralkortikoid) namun
masih ada beberapa masalah dengan DST. Ini tidak spesifik untuk GDM; misalnya restriksi makanan juga
menginduksi DST positif dan hanya beberapa kasus GDM yang sifatnya non-supresi. Ada juga klaim
bahwa DST dapat membedakan GDM menjadi beberapa tipe, namun ini belum ditegakkan dengan pasti.
Informasi fisiologis yand didapatkan dari DST masih belum jelas. Korelasinya dengan kadar basal
kortisol tidak konsisten.

Kortisol sebagai moderator respon terapi


Peningkatan kortisol pada GDM mensugestikan bahwa blockade reseptor glukokortikoid
(misalnya dengan mifepriston) dapat bermanfaat. Beberapa melaporkan resolusi gejala yang cepat, yang
lain tidak memberikan hasil yang terlalu baik. Masih sedikit yang mencoba menghubungkan respon terapi
dengan perbedaan sekresi kortisol, atau mempertimbangkan apakah penggunaan mifepristine yang time-
dependent diperlukan untuk beberapa kasus (seperti untuk mengembalikan ritme kortisol normal dan
mesensitisasi pasien terhadap antidepresan). Perlu diperhatikan bahwa mifepriston mengantagonis
reseptor progesterone. Selain itu, kasus psikosis yang diinduksi Cushing disease yang merespon dengan
mifepriston memperkuat bukti bahwa GDM yang dependen kortikoid bisa merespon terhadap terapi
penghambat reseptor glukokortikoid. Informasi lebih lanjut diperlukan; penghambat sederhana mungkin
bukan pendekatan optimal pada sebagian kasus GDM. Ada yang melaporkan perbaikan mood pada GDM
di beberapa subjek setelah pemberian kortisol atau deksametason dengan dosis yang akan meningkatkan
kortisol. Apakah hasil tersebut bisa diartikan ulang sesuai dengan ide kompleks tentang variasi kortisol
pada GDM sebelumnya? Pendekatan perilaku seperti terapi perilaku kognitif juga bisa sensitive terhadap
pola endogen kortisol atau perubahan aktivitas kortikoid.
Kortikoid yang terganggu bisa berkontribusi terhadap ketidakefektifan antidepresan. Ini
dibuktikan dengan kerja gluokortikoid pada hipokampus. Neuron granul dari girus dentat, zona input
mayor ke hipokampus dari korteks entorhinal dan lokasi neurogenesis dewasa diproyeksikan ke sel
pyramidal CA3 di hipokampus kortikal; yang lalu diteruskan melalui kolateral Shaffer ke sel pyramidal di
CA1. Bagian hipokampus yang berbeda bisa terlibat dalam gangguan neural lain seperti GDM. Karena
hipokampus mengekspresikan konsentrasi reseptor glukokortikoid dan mineralkortikoid tinggi dan sangat
sensitive terhadap glukokortikoid, penting untuk mempertimbangkan konsekuensi perubahan kortisol
terhadap strukturnya dan bagaimana hubungannya dengan GDM.
Neurogenesis sangat sensitive terhadap kortikosteron. Pemberian kortikosteron berlebih pada
tikus mengurangi laju mitosis dari sel progenitor hipokampus dan laju pertahanan sel neuron yang baru
terbentuk. Neurogenesis hipokampus terjadi juga paa manusia walaupun tidak diketahui apakah ia diatur
oleh kortisol. Obat yang bekerja dengan serotonin seperti SSRI juga meningkatkan laju mitosis sel
progenitor pada tikus. Hal ini, ditambah dengan laporan bahwa kerja SSRI terhambat bila peningkatan
neurogenesis juga terhambat, yang mendukung pendapat bahwa perubahan neurogenesis hipokampus
berhubungan terhadap onset depresi atau aksi terapeutik obat antidepresi. Sebagian subjek dengan depresi
juga tidak merespon terhadap terapi dengan antidepresan. Kami tidak tahu apakah ketidakadaan respon ini
berhubungan dengan perubahan ritme kortisol harian, atau apakah perbaikan dari ritme tersebut dapat
membantu respon farmakologisnya.
Neurogenesis bukan salah satunya cara glukokortikoid berlebih bisa mengubah hipokampus.
Stress berulang menimbulkan atrofi dari dendrite apical neuron CA1, hasil yang direplikasikan dengan
kortikosteroid berlebih pada tikus dibuktikan dengan kultur jaringan. Baik hambatan pada reseptor
glukokortikoid atau pengurangan reseptor NMDA dapat mencegah ini. Sepertinya jelas bahwa seluruh
sirkuit hipokampus sensitive sekali terhadap kortikoid. Bagaimana hal ini berhubungan dengan GDM
akan dibahas pada bagian-bagian berikut ini.

Interaksi Kortisol dengan CRF


Segala pembahasan tentang aksis HPA tidak dapat melupakan corticotrophin-releasing factor
(CRF). Seperti peptide lain, namanya merendahkan fungsinya yaitu untuk mengkoordinasi respon adaptif
terhadap stress yang meliputi tidak hanya respon endokrin namun juga autonom dan perilaku. CRF
memacu sistem HPA (berhubungan dengan faktor lain, termasuk vasopressin arginin, AVP) dan
merespon terhadap perbedaan dalam kortisol. Respon ini bisa berbeda tergantung bagian: kortikoid
mensupresi CRF hipotalamus namu meningkatkan kadarnya di amigdala. Karena amigdala berhubungan
dengan reaksi takut dan anxietas, hal ini perlu diperhatikan. CRF meningkatkan anxietas. Terdapat
laporan mengenai peningkatan kadar CRF di cairan serebrospinal (CSS) pada subjek yang mengalamii
depresi. Walaupun ada yang akan mengatakan depresi disebabkan oleh CRF, lebih mungkin bahwa CRF
berhubungan dengan komorbiditas anxietas, hal yang sering terjadi pada GDM, atau terhadap gangguan
aksis HPA seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Meskipun begitu, perhatian lebih harus diberikan mengingat kemungkinan perubahan CRF atau
reseptornya, terutama di amigdala, dapat berinteraksi dengan kortisol saat episode GDM dan penyakit lain
yang berhubungan dengan stress atau saat terjadi onset episode setelah suatu kejadian buruk yang terjadi,
dan memegang peranan dalam antara gangguan sekresi kortisol atau perkembangan situasi anxietas.
Masalah klinisnya adalah metode langsung untuk mengukur CRF (tidak seperti kortisol) tidak ada
sekarang. Varian genetik pada reseptor telah diteliti dalam konteks GDM tanpa hasil yang berart, dan
sejauh ini, usaha untuk mengembangkan obat baru untuk depresi atau gangguan anxietas berdasarkan
CRF juga masih belum berhasil.
Kortisol sebagai regulator BDNF
Terdapat banyak faktor pertumbuhan yang diketahui di kepala, namun BDNF telah dianggap
memiliki peran penting dalam GDM. Buktinya yang masih belum lengkap, datang dari beberapa sumber.
Asumsi dasarnya adalah GDM bisa disebabkan oleh plastisitas maladaptive di otak, atau antidepresan
bekerja dengan memperbarui plastisitas yang, dengan suatu cara, mengembalikan fungsi normal. Di
mana terjadinya persis atau bagaimana ia bisa menyebabkan GDM, masih belum dijelaskan, walaupun
hipokampus sepertinya lokasi yang sesuai: ia memiliki BDNF dengan konsentrasi tinggi dan reseptor
utamanya, tropomyosin-related kinase B (TrkB). BNDF berkurang kadarnya di otak korban bunuh diri,
dan obat-obatan seperti SSRI meningkatkan kadarnya di hipokampus manusia dan tikus. Telah diketahui
bahwa BDNF penting untuk kerja perilaku antidepresan pada hewan eksperimental, namun model
eksperimen sekarang untuk GDM masih tidak meyakinkan dan kurang valid. Meskipun itu, hanya terapi
kronik dengan SSRI meningkatkan ekspresi BDNF, konsisten dengan respon terapeutik. Fluoxetine juga
meningkatkan plastisitas pada bagian lain sistem saraf pusat (SSP) misalnya pada sistem visual, yang
mendukung anggapan bahwa inilah mekanisme kerjanya yang berhubungan dengan GDM. BDNF jelas
penting untuk kerja stimulasi fluoxetine pada neurogenesis hipokampus dan pada pertahanan neuron-
neuron baru.
Glukokortikoid memiliki efek kuat pada BDNF dan pada plastisitas. Kortikosteron mengurangi
ekspresi mRNA BDNF pada hipokampus tikus. Aksi stimulasi dari SSRI dihambat oleh kortikosteron
berlebih, mungkin karena inhibisi ekspresi BDNF. Kortikoid juga menurunkan aktivitas reseptor TrkB,
sehingga memperkuat dan mempersulit control fungsi BDNF.
Ada polimorfisme umum pada gen BDNF (Val66Met): sekitar 30% manusia memiliki
setidaknya satu kopi alel Met. Ini mengubah laju sekresi pro-BDNF dan BDNF. Karena kedua peptida
bekerja pada reseptor yang berbeda, ini diharapkan untuk mempengaruhi cara BDNF meregulasi fungsi
neural. Karier met memiliki hipokampus yang lebih kecil dan memori episodic yang lebih buruk. Usaha
untuk menghubungan polimorfisme ini dengan risiko GDM sejauh ini inkonssiten. Sekarang disadari
bahwa menjelaskan kontribusi satu polimorfisme gen kepada penyakit yang kompleks lebih informative
bila interaksinya dengan kejadian tertentu dan gen lain diperhitungkan. Risiko munculnya GDM setelah
kejadian buruk pada awal kehidupan lebih besar pada mereka yang memiliki varian Met dari
polimorfisme Val66Met, namun juga berhubungan dengan alel s hSERT walau belum dibuktikan pada
remaja. Mereka juga memiliki hipokampus, korteks prefrontal, dan amigdala yang lebih kecil dan lebih
banyak gejala depresif. Alel Met juga berhubungan dengan GDM setelah kejadian buruk pada kehidupan.
Kebalikannya, kekuatan kadar kortisol pagi hari untuk memprediksi GDM lebih jelas pada mereka yang
memiliki varian Val. Untuk menyesuaikan kedua laporan tersebut, yang tidak sepenuhnya berlawanan,
kami memerlukan informasi dari satu sampel besar mengenai cara varian BDNF berinteraksi dengan
kesulitan yang terjadi pada awal kehidupan, kejadian hidup yang baru saja terjadi, dan pola kortisol
diurnal, dan dengan varian lain (seperti hSERT) yang diketahui memengaruhi kadar kortisol. Meskipun
literaturnya tidak sempurna, bukti eksperimental dan klinis mengarah pada peran penting BDNF pada
GDM, sesuatu yang bisa dipengaruhi oleh kortisol walaupun kepastiannya masih belum jelas.

Kortisol sebagai moderator kerja depresogenik sistem imun


Glukokortikoid adalah pengatur utama sistem imun. Meskipun terdapat indikasi sejak lama
bahwa sistem imun berhubungan dengan GDM, area ini masih kurang diteliti. Satu alasannya adalah
ketidakyakinan dari pengukuran kadar sitokin dapat memberi informasi mengenai apa yang terjadi pada
SSP. Meskipun kadar cairan serebrospinal dapat diukur dengan mudah, ini belum tentu menggambarkan
perubahan yang terjadi secara local di otak.
Induksi situasi yang serupa dengan GDM setelah terapi dengan sitokin, seperti interferon-a,
memberikan petunjuk yang pertama. Stress meningkatkan kadar sitokin neural, termasuk interleukin (IL)-
1b dan IL-6 dan menginduksi sindrom yang dinamakan sickness behaviour yang meliputi perilaku
seperti menjauhi kegiatan social, gangguan kognitif, anhedonia, dan peningkatan aktivitas aksis HPA,
sebuah model yang lebih meyakinkan untuk GDM dibandingkan prosedur lain seperti metode
menenggelamkan tikus di air hangat atau tikus yang tergantung pada ekornya metode biasa untuk
menilai perilaku depresif. IL-1b juga mengurangi neurogenesis. Terdapat laporan berulang mengenai
peningkatan sitokin seperti Tumor necrosis factor (TNF)-a dan IL-6 di darah, serta C-reactive protein
pada GDM, walau kita perlu tahu bagaimana hal tersebut bekerja pada otak.
Glukokortikoid menurunkan ekspresi tryptophan hydroxylase type 2 (TPH2), isoform enzim ini
di otak. Ini akan menurunkan serotonin dan meningkatkan aktivitas pathway produk tryptophan
alternative (seperti asam quinolon, sebuah neurotoksin) melalui enzim indoleamine 2,3-dioksigenase.
Enzim ini distimulasi oleh sitokin dan membantu pembentukan asam quinolin. Kedua proses ini
berkontribusi terhadap GDM; dan antidepresan meningkatkan TPH2.
Terdapat sebuah paradox: bila kortikoid mengurangi sitokin pro-inflamasi jadi kadar yang lebih
tinggi seharusnya bersifat protektif terhadap GDM. Namun sitokin proinflamasi dapat mengganggu
aktivitas reseptor glukokortikoid, yang mensugestikan adanya sebuah ineraksi yang lebih kompleks.
Lebih lagi, interaksi kortisol dan sitokin sifatnya dua arah: sitokin menstimulasi aktivitas HPA tapi
kortisol mengurangi aksi pro-inflamasi sitokin. Kemungkinan keseimbangan antara keduanya bervariasi,
sehingga dalam beberapa kasus salah satu yang mendominasi.

Moderasi kortisol oleh dehidroepiandrosteron (DHEA)


DHEA dan sulfatnya (DHEAS) adalah steroid yang paling banyak ditemukan di darah.
Kadarnya meningkat cepat pada adrenarche (pada usia 8 tahun) dan memuncak pada usia 20 tahun, lalu
menurun secara progresif seiring laju yang berbeda per individu. DHEA mengatur potensi kortisol pada
jaringan sensitive kortikoid seperti timus dan limfosit; ia mencegah kerja supresif kortikosteron pada
neurogenesis di hipokampus dewasa; dan kadarnya dilaporkan lebih rendah pada GDM dan penyakit
berat lainnya. Bila rasio kortisol/DHEA meningkat, maka kadar tertentu kortisol akan memiliki potensi
yang lebih kuat. DHEA memasuki cairan serebrospinal dalam proporsi yang sama dengan kortisol, namun
DHEAS kadarnya lebih sedikit sehingga proporsi kedua bentuk tersebut di cairan serebrospinal tidak
sama dengan di dalam darah.
Kontribusi kortisol terhadap risiko GDM, gejalanya atau progresinya bisa tidak dinilai secara
akurat bila kadar DHEA sekarang tidak diperhitungkan. Karena DHEA memiliki efek yang sangat kuat
bagi sistem imun, apakah ia mengatur produksi sitokin di otak dan berlanjut pada GDM, perlu dinilai.
DHEAS tidak bisa mencegah sickness behaviour yang diinduksi oleh lipopolysaccharide (LPS), namun
tidak ada informasi lain. Kita tidak mengetahui apa-apa mengenai kemungkinan peran DHEA dalam
reaksi stress pada periode prenatal. Rasio kortisol/DHEA meningkat pada GDM yang resisten terhadap
terapi. DHEA telah dicoba sebagai terapi antidepresan dengan derajat keberhasilan yang berbeda, namun
belum diterima dalam praktis klinis. Ada kemungkinan bahwa terapi DHEA dapat ditambahkan dengan
manipulasi kortisol sebagai terapi antidepresi atau strategi preventif. Kortisol cenderung meningkat
seiring usia sementara DHEA menurun, sehingga terapi yang melibatkan DHEA sangat relevan bagi
orang yang lanjut usia. DHEA melindungi neuron hipokampus terhadap efek neurotoksik glutamate,
sehingga terapi DHEA juga dapat mengurangi risiko neurodegenerasi juga.

Kortisol dan Otak


Dapatkan kita memetakan berbagai kerja kortisol pada otak? Karena gejala GDM meliputi
komponen emosional dan kognitif, ini menandakan adanya keterlibatan bagian dari otak. Namun begitu,
bukti yang ada sekarang menunjukkan beberapa bagian otak yang terlibat dalam GDM, seperti beberapa
bagian lobus frontalis (orbital, area 25, singulata anterior), amigdala, hipokampus, dan mungkin habenula,
yang memiliki hubungan neural satu sama lain. Sangat mungkin bahwa GDM, walaupun ia kelainan
tunggal, mewakili kelainan pada hubungan ini dan manipulasi dari sebagiannya bisa mengembalikan
sebagian atau seluruh fungsi hubungan tersebut. Bisakah kita membayangkan kortisol bekerja sebagia
faktor nodus pada jaringan ini? Terdapat dua kemungkinan: peran kortisol sebagai faktor risiko GDM
sepertinya jauh dari perubahan yang merupakan bagian dari GDM, seperti yang kita lihat, dan distribusi
luas reseptor glukokortikoid dalam seluruh area tersebut, selain dari kerja seluler luas seperti pada
glutamate, tidak mendukung kesimpulan tersebut. Namun, masih mungkin bahwa kerja kortisol yang
meningkatkan risiko sifatnya dependen terhadap efek pada pathway seluler lain atau pada jaringan
berbeda yang dari terjadi pada sebuah episode GDM. Lebih lagi, perubahan individual pada sensitivitas
terhadap perubahan pada beberapa bagian otak terhadap kortikoid diatur oleh kejadian epigenetic local
yang bisa berperan serupa dengan bagaimana kortisol mengatur fungsi kognitif atau emosi tertentu.

Kortisol sebagai komponen skema depresi


Bagaimana informasi mengenai kortisol diintegrasikan menjadi pemahaman mengenai proses
yang berlanjut menjadi GDM? Skema sederhana untuk kejadian yang terjadi sesaat sebelum GDM
adalah: sebuah kejadian buruk terjadi; responnya dimoderasi oleh temperamen subjek (reaktivitas),
tingkat gejala depresif (termasuk kepercayaan diri) dan respon kognitif terhadap kejadian tersebut. Ini,
tentu, tidak selalu independen tapi tergantung dengan faktor yang mendahuluinya. Kejadian pemicu
menyebabkan sebuah proses progresif atau iterative yang diwakili oleh periode laten mendahului onset
GDM (selama beberapa minggu atau bulan). Apakah hal ini atau dimana di otak mereka terjadi masih
belum jelas. Apakah kortisol berperan pada kejadian yang terjadi sebelum atau sesudahnya?
Prosesnya terjadi prenatal. Faktor genetik berperan penting dalam menentukan risiko terhadap
GDM. Namun, meskipun pada lingkungan terlindungi di dalam uterus, kejadian prenatal bisa
memengaruhi fungsi HPA dalam cara yang bisa memengaruhi kemungkinan terjadi GDM. Anak dari
tikus hamil yang diberikan stressor menunjukkan kadar kortikosteron yang tinggi serta kadar anxietas,
rasa takut, dan respon aksis HPA yang tinggi terhadap stress. Hasil yang serupa ada pada reduksi dari
11beta-hydro- xysteroid dehydrogenase type 2 (11bHSD2), yang bekerja sebagai sawar fetal terhadap
kortikosteron maternal. Terapi deksametason prenatal meningkatkan kadar kortisol basal dan terinduksi
stress pada bayi monyet, dan mengurangi ukuran hipokampus. Kortikoid prenatal berkontribusi terhadap
sifat postnatal (misalnya anxietas) dan terhadap aktivitas HPA pada tikus, walau sesuai yang diharapkan,
ia bisa dimoderasi oleh varian genetik seperti pada yang ditemukan di transporter serotonin. Komponen
lain dari aksis HPA, seperti variasi dari CRF dan reseptornya bisa berperan dalam pembentukan otak pre-
dan postnatal. Apakah kejadian yang serupa terjadi pada manusia? Ada paralelnya, namun buktinya masih
belum sempurna. Walaupun stress maternal pada masa prenatal dapat memengaruhi perilaku emosional
dan kognitif anak nantinya, apakah kortikoid menjadi salah satu penyebabnya masih belum dibuktikan,
meskipun dari penelitian spesies lain terutama primate mengatakan iya.
Perubahan pada fungsi reseptor kortikoid sama pentingnya pada perubahan pada agonis. Penting
untuk dicatat bahwa polimorfisme eksonik (single nucleotide polymorphism/SNP) pada reseptor
glukokortikoid dan mineralkortikoid dan pada gen 11bHSD sangat jarang, sehingga kesannya gen
tersebut dikonservasi dengan ketat, berbea dengan gen lain yang berhubungan dengan GDM seperti
hSERT atau BDNF. Bisa saja perubahan pada reseptor glukokortikoid sifatnya delesi, sementara variasi
pada hSERT dan BDNF bisa saja merugikan atau menguntungkan tergantung konteksnya. Variasi pada
gen lain yang mengatur fungsi reseptor glukokortikoid seperti FKBP5 atau variasi lain pada faktor
transkripsi bisa berkontribusi terhadap risiko individu. Kita juga perlu mengingat bahwa kontribusi
reseptor mineralkortikoi dan aldosteron, agonist utamanya, terhadap GDM masih jarang diteliti meskipun
sudah ada bukti eksperimental mengenai pentingnya interaksi reseptor mineralkortikoid dan
glukokortikoid, dan bukti bahwa variasi reseptor mineralkortikoid dapat berkontribusi terhadap
emosionalitas manusia.
Asuhan yang buruk dapat mengubah gen yang berhubungan dengan glukokortikoid melalui
modifikasi epigenetic seperti metilasi. Metilasi (atau asetilasi) DNA mengubah ekspresi gen selama
waktu panjang, bahkan seumur hidup. Perbandingan antara temuan ini pada tikus dan manusia harus
dibandingkan dengan mengingat bahwa tikus sifatnya sangat immature (altricial) dibandingkan manusia.
Oleh karena itu sebagian proses postnatal yang disebutkan pada tikus dapat terjadi prenatal pada manusia
tidak ada perubahan metilasi reseptor glukokortikoid di otak korban bunuh diri; namun metilasi reseptor
glukokortikoid di darah meningkat pada bayi dengan ibu yang mengalami depresi. Mengukur pola
metilasi di darah mungkin tidak memberikan gambaran yang akurat mengenai apa yang terjadi di SSP.
Area penelitian ini masih dalam permulaannya.
Peningkatan insidensi GDM yang terjadi pada usia adolesen dan tahun tahun yang menyusul
terjadi setelah kejadian-kejadian pre- dan postnatal, keduanya dipengaruhi oleh kortisol. Kontribusi
steroid gonad kepada perbedaan insidensi GDM adolesen berdasarkan jenis kelamin memerlukan
penelitian lebih lanjut. Estrogen meningkatkan kadar kortisol total dalam darah, namun juga pada CBG.
Terdapat berbagai macam variabel psikologis yang mewakili risiko GDM. Salah satunya adalah
neurotisisme, sebuah komponen kepribadian, atau temperamen; kadar gejala depresi subklinis yang
meliputi kepercayaan diri, sebuah penilaian harga diri; dan ruminasi, cara kognitif dalam menghadapi
kesulitan. Beberapa disebut sifat dan telah ditegakkan dalam berbagai interaksi genetik dan lingkungan,
kebanyakannya dimodulasi oleh kortisol. Kejadian buruk pada hidup dapat memicu episode GDM pada
banyak kasus. Seperti yang telah kita lihat, ada poin penting yang hilang dari teka teki ini yang
mejelaskan apakah ini mengaktivasi aksis HPA dengan cara tertentu yang dapat berkontribusi terhadap
risiko terjadinya GDM. Karena kadar kortisol basal merupakan faktor risiko, dapat disimpulkan bahwa
agen awal yang menentukan kadar tersebut (misalnya asuhan buruk) bekerja sebagai adjuvant turunan
yang aktif secara proksimal untuk GDM. Oleh karena itu kortisol, dalam konfigurasi manapun, memiliki
peran yang substansial pada hampir semua titik dari trajektori kejadian yang dapat berujung ke GDM. Ini
juga berlaku terhadap interaksi antara kortisol dan genetik varian umum seperti pada transporter serotonin
dan BDNF.
Apakah kortisol berhubungan dengan perbedaan individual dalam hal psikologis? Beberapa
melaporkan tidak ada hubungan antara kortisol dan karakteristik temperamen seperti emosionalitas.
Beberapa menganggap terdapat asosiasi positif antara neurotisisme dan kadar kortisol sekarang, namun
ini sifatnya dua arah dan tidak konsisten. Terdapat hasil positif untuk karakteristik lain seperti perilaku
internalisasi. Apakah kortisol memengaruhi mood? Memberikan dosis akut kortisol tidak memberikan
efek pada mood, tapi meningkatkan mood negative dan respon positif terhadap gambar yang tidak
membuat orang tersebut nyaman hanya setelah pemberian berulang. Oleh karena itu kortisol bisa
memberikan efeknya terhadap emosi pada situasi tertentu. Namun penelitian lain menunjukkan kortisol
tidak mengurangi respon takut subjek pada situasi yang tuntutan sosialnya tinggi pada subjek yang
normal, namun mengurangi rasa takut fobia. Peningkatan sensitivitas terhadap rangsangan terjadi setelah
adanya stimuli yang netral, namun mood negative setelah dilakukannya tes stress Trier berkurang pada
peserta yang sehat; mereka yang rawan mengalami GDM bereaksi sebaliknya.
Kerja kortisol pada otak memang cepat. Banyak penelitian yang focus pada aspek memori,
bukan mood. Kortisol menurunkan memori verbal (tapi bukan yang non-verbal) tanpa efek pada fungsi
eksekutif. Pada subjek dengan GDM, deksametason meningkatkan memori deklaratif (tapi tidak control).
Terdapat ketidaksepakatan mengenai apakah kortisol membantu memori untuk stimuli yang merangsang
secara emosional atau untuk stimulus apapun tanpa memerdulikan efek emosionalnya. Walaupun terdapat
beberapa literature mengenai hubungan antara respon kortisol dan gaya ruminative, terdapat sedikit
informasi mengenai apakah induksi peningkatan kortisol dapat mempengaruhi gaya tersebut.
Penelitian jangka pendek ini memiliki nilai terbatas dalam konteks GDM karena periode paparan
terhadap kadar yang ditingkatkan biasanya prolonged pada yang mengalami GDM. Penyakit Cushing
menyediakan kesempatan untuk mempelajari efek dari kortisol berlebih terhadap proses psikologis seperti
rasa percaya diri atau gaya ruminative. Namun hampir seluruh penelitian membandingkan pasien Cushing
dengan kelompok control, dan jelas bahwa kelompok yang diuji menunjukkan gangguan afektif (depresi)
dan deficit kognitif (seperti gangguan rekognisi emosional). Menguji ulang pada pasien Cushing yang
remisi dengan harapan mereka kembali ke suasana premorbid lebih sulit mengingat perbaikannya juga
biasanya tidak sempurna dan eek dari hiperkortisolemia baisanya lama. Terapi prednisone berhubungan
dengan kerja depresif dan antidepresif selain gangguan terhadap kemampuan kognitif, namun perbedaan
farmakologisnya dengan kortisol dan keberadaan penyakit dasar membuat menyimpulkan hubungannya
dengan GDM menjadi sulit.

Tiga pertanyaan mengenai kortisol untuk bidang psikiatri


Apakah menurut ilmu yang sekarang diketahui tentang kortisol dalam GDM mensugestikan
perlunya investigasi klinis atau aplikasi klinis? Kita perlu mempertimbangkan beberapa macam interaksi
antara kortisol dan faktor risiko lain untuk GDM, dan bagaimana mereka berubah sebagai satu fenomena
dari penyakit itu sendiri. Kortisol memberikan pengaruhnya pada dua dimensi: satu yang berbasis waktu
berdasarkan fase kehidupan yang meregulasi berbagai tingkat risiko, dan satu yang jarak waktunya dekat
dengan proses yang terjadi sebelum onset dan perjalanan sebuah episode GDM. Kortisol memiliki peran
penting dalam kontribusi genetik terhadap GDM, karena ekspresi dari variasi genetik, dan bagaimana cara
lingkungan menjadi predisposisi GDM sebagai respon dari lingkungan tersebut; dalam hal ini ia
memerankan bagian pervasive untuk kedua sisi interaksi reseptor glukokortikoid-lingkungan. Namun
jelas dari tinjauan ini dan kebanyakan literature bahwa mempertimbangkan peran kortisol yang diisolasi
dari faktor lain diketahui sebagai risiko GDM atau memengaruhi perjalanan penyakitnya masih sulit
dilakukan. Tetapi kita dapat membahas tiga pertanyaan yang ditanyakan pada awal tinjauan ini:
(1) Penilaian teliti mengenai kortisol, gen, dan gejala pada GDM dapat membantu kita
membedakan kategori khas dari kelainan ini, dan membedakan subjek untuk regimen terapi
yang selektif. Kita harus mengantisipasi pengukuran kortisol yang adekuat (melalui saliva,
pada titik waktu tertentu, atau selama beberapa hari) sebagai manajemen rutin GDM.
(2) Pasien dengan gangguan ritme kortisol dapat ditolong dengan mengembalikan ritme
tersebut; mereka mungkin berbeda dengan orang yang memiliki kadar kortisol lebih tinggi
yang lebih merasakan manfaat terhadap blockade kortisol. Manipulasi selektof kortisol
berdasarkan penilaian adekuat tentang ritme kortisol seseorang harusnya berperan penting
dalam terapi (dikombinasi dengan antidepresan atau terapi perilaku). Terapi DHEA bisa
menjadi adjuvant terutama pada pasien yang lanjut usia dengan GDM
(3) Penilaian teliti mengenai kontribusi berbagai faktor risiko untuk GDM dapat
mengindikasikan besar efek kortisol berlebih pada kasus individual serta risiko untuk GDM
ke depannya. Manipulasi kortisol, reseptornya, maupun molekul yang berkaitan (untuk
mengurangi kerja kortisol pada otak) harus dipertimbangkan sebagai metode preventif untuk
mereka yang berisiko tinggi mengalami GDM di mana kortisol memegang peranan penting,
selain mencegah efek samping kortisol lain seperti penurunan kognitif jangka panjang.

Anda mungkin juga menyukai