Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Minyak goreng merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat

Indonesia dalam rangka pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Minyak goreng yang

kita konsumsi sehari-hari juga sangat erat kaitannya dengan kesehatan kita.

Minyak goreng berfungsi sebagai media penghantar panas, penambah rasa gurih,

serta memperbaiki cita rasa makanan dan menambah nilai gizi dan kalori dalam

bahan pangan. Minyak goreng juga berfungsi sebagai sumber dan pelarut dan

vitamin – vitamin A, D, E, dan K. Minyak terdapat pada hampir semua bahan

pangan dengan kandungan yang berbeda-beda.

Minyak dapat bersumber dari tanaman, misalnya minyak zaitun, minyak

jagung, minyak kelapa, minyak kelapa sawit, dan minyak biji bunga

matahari.Minyak juga dapat bersumber dari hewan, misalnya ikan sarden, ikan

paus dan lain-lain.(Ketaren, 1986:12). Minyak goreng memiliki harga yang relatif

mahal, akibatnya minyak goreng digunakan berkali-kali untuk menggoreng,

terutama dilakukan oleh penjual makanan gorengan. Secara ilmiah minyak goreng

yang telah digunakan berkali-kali, lebih-lebih dengan pemanasan tinggi sangatlah

tidak sehat, karena minyak tersebut asam lemaknya lepas dari trigliserida sehingga

jika asam lemak bebas mengandung ikatan rangkap mudah sekali teroksidasi

menjadi aldehid maupun keton yang menyebabkan bau tengik (Ketaren,1986:64).

Penggunaan minyak goreng secara kontinyu dan berulang-ulang pada suhu

tinggi (160-180 °C) disertai adanya kontak dengan udara dan air pada proses
penggorengan akan mengakibatkan terjadinya reaksi degradasi (hidrolisis,

polimerasi dan oksidasi) yang komplek dalam minyak dan menghasilkan berbagai

senyawa hasil reaksi. Minyak goreng juga mengalami perubahan warna dari

kuning menjadi warna kehitaman. Reaksi degradasi ini menurunkan kualitas

minyak dan akhirnya minyak tidak dapat dipakai lagi dan harus dibuang (Maskan

dan Bagci, 2003:2).

Minyak goreng yang telah digunakan, akan mengalami beberapa reaksi

yang menurunkan mutunya. Pada suhu pemanasan sampai terbentuk akrolein.

Akrolein adalah sejenis aldehida yang dapat menimbulkan rasa gatal pada

tenggorokan yang membuat batuk. Minyak yang telah digunakan untuk

menggoreng akan mengalami peruraian molekul-molekul, sehingga titik asapnya

turun. Minyak jelantah juga mudah mengalami reaksi oksidasi sehingga jika

disimpan cepat berbau tengik. Minyak jelantah disukai jamur aflatoksin sebagai

tempat berkembang biak. Jamur ini menghasilkan racun aflatoksin yang

menyebabkan berbagai penyakit, terutama hati/liver. Bila ditinjau dari komposisi

kimianya, minyak jelantah mengandung senyawa-senyawa yang bersifat

karsinogenik-penyebab kanker. Jadi, jelas bahwa pemakaian minyak jelantah

dapat merusak kesehatan manusia, akibat selanjutnya dapat mengurangi

kecerdasan generasi berikutnya.

Walaupun menimbulkan dampak yang negatif, penggunaan jelantah, atau

minyak goreng yang telah digunakan lebih dari sekali untuk menggoreng (minyak

goreng bekas), adalah hal yang biasa di masyarakat. Sebagian orang berpendapat

makanan yang dicampur jelantah lebih sedap. Sebagian lagi karena lemahnya
ekonomi, apalagi masa-masa krisis seperti sekarang ini. Terlalu sering

mengkonsumsi minyak jelantah dapat meningkatkan potensi kanker didalam

tubuh. Menurut para ahli kesehatan, minyak goreng hanya boleh digunakan dua

sampai empat kali untuk menggoreng.

Alternatif pengolahan minyak goreng bekas adalah melalui proses

pemucatan menggunakan adsorben. Pemucatan minyak goreng bekas

menggunakan adsorben merupakan cara yang sederhana dan efisien (Maskan,

2003). Mualifa (2009) telah melakukan penelitian menggunakan arang aktif dari

ampas tebu untuk menjernihkan minyak goreng bekas menunjukkan bahwa arang

aktif yang dihasilkan kurang efektif untuk menurunkan kadar asam lemak bebas.

Penelitian selanjutnya juga diakukan oleh Rukmini (2007) dimana ia

menggunakan arang aktif sekam yang dapat terbukti meningkatkan kualitas

minyak dan memperkecil terjadinya kongesti sel liver maupun ginjal serta

mencegah akumulasi tetes-tetes lemak, baik dalam liver, jantung maupun arteri.

Kapur tohor, atau dikenal pula dengan nama kimia kalsium oksida (CaO),

adalah hasil pembakaran kapur mentah (kalsium karbonat atau CaCO3) pada suhu

kurang lebih 90 derajat Celcius.

Berdasarkan beberapa penelitian terdahulu, peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian yang sama, namun menggunakan jenis adsorben yang berbeda yakni

CaO (Kapur tohor)


Kapur tohor, atau dikenal pula dengan nama kimia kalsium oksida (CaO),

adalah hasil pembakaran kapur mentah (kalsium karbonat atau CaCO3) pada suhu

kurang lebih 90 derajat Celcius. Al

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana kualitas bau rasa dan warna setelah penggunaan CaO sebagai

adsorben?

2. Berapa kadar bilangan asam dan bilangan peroksida yang terkandung dalam

minyak goreng bekas pakai ?

3. Seberapa besar pengaruh CaO dalam menurunkan bilangan peroksida dan

bilangan asam dalam usaha pemucatan minyak jelantah ?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui kualitas bau rasa dan warna setelah penggunaan CaO

sebagai adsorben

2. Untuk mengetahui kadar bilangan asam dan bilangan peroksida yang

terkandung dalam minyak goreng bekas pakai

3. Untuk mengetahui pengaruh CaO dalam menurunkan bilangan peroksida

dan bilangan asam dalam usaha pemucatan minyak jelantah

1.4 Manfaat Penelitian

1. Sebagai bahan pengetahuan penggunaan minyak jelantah yang

diperbolehkan sesuai standar mutu

2. Dapat dijadikan acuan untuk penelitian lanjutan tentang pembuatan sabun

atau pembuatan biodiesel


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Minyak Goreng

Minyak goreng adalah minyak yang telah mengalami proses pemurnian

yang meliputi degumming, netralisasi, pemucatan dan deodorisasi. Secara umum

komponen utama yang sangat menetukan mutu minyak adalah asam lemaknya,

karena asam lemak menentukan sifat kimia maupun stabilitas minyak.

Lemak dan minyak merupakan suatu trigliserida yang terbentuk dari

kondensasi satu molekul gliserol dengan tiga molekul asam lemak. Lemak dan

minyak sebagai bahan pangan dibagi menjadi dua, yaitu lemak yang siap

dikonsumsi tanpa dimasak misalnya mentega, dan lemak yang dimasak bersama-

sama bahan pangan atau dijadikan sebagai medium penghantar panas dalam

memasak bahan pangan misalnya minyak goreng (Ketaren, 1986).

Dalam proses menggoreng minyak berfungsi sebagai penghantar panas

sehingga proses pemanasan menjadi lebih efisien dibandingkan proses

pemanggangan dan perebusan. Proses penggorengan akan meningkatkan cita rasa,

kandungan gizi dan daya awet serta menambah nilai kalori bahan pangan

(Winarno, 1997).

Pada pasaran dunia ditawarkan dua macam minyak goreng yaitu minyak

goring yang berasal dari tumbuhan (minyak nabati) dan minyak goreng yang

berasal dari hewan yang terkenal tallow (minyak atau lemak berasal dari sapi) dan

lard (minyak atau lemak berasal dari babi). Minyak goreng nabati contohnya
minyak kelapa sawit, minyak kelapa, minyak jagung, minyak kedelai, minyak

zaitun, dll yang berasal dari tumbuhan. Umumnya di Indonesia minyak yang

digunakan adalah minyak goring nabati, khususnya minyak kelapa sawit.

2.2 Kualitas Minyak Goreng

Tabel 1. Tabel SNI 01-3741-2002 tentang Standar Mutu Minyak Goreng

KRITERIA UJI SATUAN SYARAT

Keadaan bau, rasa, warna - Normal

Asam Lemak bebas %b/b Maks 0.30

Bilangan Peroksida Meq/gr Maks 2

Bilangan Iod 45-46

Adapun standar mutu minyak goreng di Indonesia diatur dalam SNI 01-

3741-2002 menurut (Wijana, dkk., 2005). Standar mutu minyak goreng telah

dirumuskan dan ditetapkan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) yaitu SNI 01-

3741-2002, SNI ini merupakan revisi dari SNI 013741-1995, menetapkan bahwa

standar mutu minyak goreng seperti pada Tabel diatas.

Mutu minyak goreng ditentukan oleh titik asapnya, yaitu suhu pemanasan

minyak sampai terbentuk akreolein yang tidak diinginkan dan dapat menimbulkan

rasa gatal pada tenggorokan hidrasi gliserol akanmembentuk aldehida tidak jenuh

atau akrelein tersebut. Makin tinggi titik asap, makin baik mutu minyak goreng

itu. Titik asap suatu minyak goreng tergantung dari kadar gliserol bebas. Lemak
yang telah digunakan untuk menggoreng titik asapnya akan turun, karena telah

terjadi hidrolisis molekul lemak. Oleh karena itu untuk menekan terjadinya

hidrolisis, pemanasan lemak atau minyak sebaiknya dilakukan pada suhu yang

tidak terlalu tinggi dari seharusnya (Winarno, 2004).

2.3 Minyak Goreng Bekas

Minyak goreng bekas atau sering disebut jelantah adalah sebutan untuk

minyak goreng yang telah berulang kali digunakan. Selain penampakannya yang

tidak menarik, coklat kehitaman, bau tengik, jelantah sangat berpotensi yang besar

dalam membahayakan kesehatan tubuh. Terlalu sering mengkonsumsi minyak

jelantah dapat menyebabkan potensi kanker meningkat. Minyak goreng bukan

hanya sebagai media transfer panas ke makanan, tetapi juga sebagai makanan.

Selama penggorengan sebagian minyak akan teradsorbsi dan masuk ke bagian

luar bahan yang digoreng dan mengisi ruang kosong yang semula diisi oleh air.

Hasil penggorengan biasanya mengandung 5-40 % minyak. Jika menggunakan

minyak goreng bekas dalam menggoreng makanan, maka makanan yang

dihasilkan akan membahayakan tubuh manusia, karena mengkonsumsi minyak

yang rusak dapat menyebabkan berbagai penyakit seperti kanker, pengendapan

lemak dalam pembuluh darah (artherosclerosis) dan penurunan nilai cerna lemak.

Kerusakan minyak akan mempengaruhi mutu dan nilai gizi bahan pangan

yang digoreng. Minyak yang rusak akibat proses oksidasi dan polimerisasi akan

menghasilkan bahan dengan rupa yang kurang menarik dan cita rasa yang tidak

enak, serta kerusakan sebagian vitamin dan asam lemak esensial yang terdapat

dalam minyak. Oksidasi minyak akan menghasilkan senyawa aldehid, keton,


hidrokarbon, alkohol, lakton serta senyawa aromatis yang mempunyai bau tengik

dan rasa getir.

Pembentukan senyawa polimer selama proses menggoreng terjadi karena

reaksi polimerisasi adisi dari asam lemak tidak jenuh. Hal ini terbukti dengan

terbentuknya bahan menyerupai gum yang mengendap di dasar tempat

penggorengan (Ketaren, 1986).

2.4 CaO

Kapur (CaO) berbentuk padat yang berwarna putih, bersifat alkali dan

sedikit pahit. Kapur bereaksi hebat dengan berbagai asam, dan bereaksi dengan

banyak logam dengan adanya air. Karena kekuatan sifat basanya, kapur banyak

digunakan sebagai flokulan pada air, pengolahan limbah, serta pengolahan tanah

asam (Soeharto, 2011).

Batu kapur tohor merupakan material berwarna putih berbentuk amorfos

dengan rumus kimia CaO dan mempunyai ttik cair 2570oC dan titik didih 2850oC.

Batu kapur tohor berbentuk bongkahan berwarna putih dan mempunyai umur

simpan yang relative pendek yaitu sekitar 60 hari. Selama penyimpanan CaO akan
berubah sedikit demi sedikit menjadi Ca(OH)2 karena bereaksi dengan uap air

yang ada diudara (Chang dan Tikkanen, 1998).

Batu kapur tohor (CaO) terbentuk jika batu kapur (CaCO3) dipanaskan

pada suhu diatas 650oC. Batu kapur (CaCO3) adalah batuan sedimen yang dapat

dibentuk oleh rombakan batu kapur yang lebih tua (Shadily, 1980). Reaksi

pembentukan CaO adalah reaksi endoterm dan bersifat reversible. Jika CO2 yang

terbentuk disingkirkan, maka CaO yang terbentuk akan semakin banyak

(Mackenzie dan Sharp, 1970).

Reaksi kimia yang terjadi pada pembakaran kapur sebagai berikut :

CaCO3→ CaO + CO2

Dengan :

CaCO3= Batu kapur

CaO = Kapur tohor

CO2= Karbon dioksida

Batu kapur tohor CaO merupakan batu kapur yang bersifat reaktif dengan

air dan akan membentuk Ca(OH)2 yang berbentuk bubuk. Reaksi CaO dengan air

membentuk (CaOH)2 merupakan reaksi eksoterm yang akan melepakan kalor dan

akan menghasilkan bahan yang berbentuk bubuk putih (Chang dan Tikkanen,

1998).

Pemanfaatan batu kapur tohor dalam skala besar adalah pembangunan

gedung dan untuk pertanian. Sekarang pemanfaatan batu kapur tohor semakin

berkembang khususnya diindustri kimia. Batu kapur tohor digunakan untuk

pembuatan natrium karbonat, soda kaustik, peleburan baja, kalsium karbida,


pembuatan gelas, pulp, kertas dan pengolahan gula. Batu kapur tohor juga dapat

digunakan untuk penanganan air dan penanganan limbah untuk pemulihan dan

pemurnian (Mackensie dan Sharp, 1970).

2.5 Adsorpsi

Adsorpsi merupakan peristiwa terakumulasinya partikel pada permukaan.

Partikel yang terakumulasi dan diserap oleh permukaan disebut adsorbat material

tempat terjadinya adsorpsi disebut adsorben atau substrat (Atkins, 1999)

Proses adsorpsi terdiri atas dua tipe, yaitu adsorpsi kimia dan fisika.

Adsorpsi kimia adalah tipe adsorpsi dengan cara suatu molekul menempel ke

permukaan melalui pembentukan suatu ikatan kimia. Ciri-ciri adsorpsi kimia

adalah terjadi pada suhu yang tinggi, jenis interaksinya kuat, berikatan kovalen

antara permukaan adsorben dengan adsorbat, entalpi tingginya (ΔH 400 kJ/mol),

adsorpsi terjadi hanya pada suatu lapisan atas (monolayer), dan energi aktivasinya

tinggi (Hasanah, 2006).

Adsorpsi fisika adalah tipe adsorpsi dengan cara adsorbat menempel pada

permukaan melalui interaksi intermolekuler yang lemah. Ciri-ciri adsorpsi fisika

adalah terjadi pada suhu yang rendah, jenis interaksinya adalah interaksi

intermolekuler (gaya Van Der Waals), entalpinya rendah (ΔH <20 kJ/mol),

adsorpsi dapat terjadi dalam banyak lapisan (multilayer), dan energi aktivasinya

rendah (Hasabah, 2006).

Adsorpsi fisika terutama disebabkan oleh gaya Van Der Waals dan gaya

elektrostatik antara molekul yang teradsorpsi dengan atom yang menyusun

permukaan adsorben. Gaya Van Der Waals tersebut timbul sebagai akibat
interaksi dipol-dipol, yang mana pada jarak antar molekul tertentu terjadi

kesetimbangan antara gaya tolak dan gaya tarik. Dalam fase cair dan fase padat

terdapat gaya tarik Van Der Waals yang relatif lebih besar dibandingkan dengan

gaya tarik dalam fase gas. Gaya Van Der Waals terdiri dari interaksi dipol-dipol,

interaksi dipol permanen-dipol induksi, dan interaksi dispersi (dipol sementara-

dipol induksi) (Suzuki, 1990)

Faktor-faktor yang mempengaruhi proses adsorpsi antara lain sifat fisik

dan kimia adsorben seperti luas permukaan, ukuran partikel, dan komposisi kimia.

Semakin kecil ukuran partikel, maka semakin besar luas permukaan padatan

persatuan volume tertentu, sehingga akan semakin banyak zat yang diadsorpsi.

Faktor lainnya adalah sifat fisik dan kimia adsorbat, seperti ukuran molekul dan

komposisi kimia, serta konsentrasi adsorbat dalam fase cairan (Atkins, 1999).
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengembangan jurusan

Pendidikan kimia Universitas Halu Oleo Kendari, tahun 2017.

3.2 Alat dan Bahan

3.2.1 Alat

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah saringan, timbangan

analitik, oven, alat-alat gelas kimia (gelas ukur, pipet tetes, labu ukur, gelas piala,

Erlenmeyer),alat-alat titrasi, mortar, stopwatch, ayakan,kertas wathman

3.2.2 Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah minyak jelantah,

Minyak goreng baru, KOH, Na2S2O3, CaO, indicator PP, alcohol 95%, larutan KI,

KI jenuh, NaOH, H2SO4, asam asetat glacial, kloroform.

3.3 Prosedur Penelitian

3.3.1 Persiapan Sampel

Sampel minyak goreng bekas 2, 4, dan 6 kali penggorengan diambil dari

pedagang gorengan di sekitaran kampus baru UHO.


3.3.2 Pembuatan reagen dan larutan standar

a. Standarisasi larutan Na2S2O3

Ditimbang 278 mg kalium bromat (KBrO3, Mr = 167), dimasukkan ke

dalam beaker glass dan dilarutkan dengan aquades secukupnya, pindahkan ke

dalam labu takar 100 mL kemudian diencerkan dengan aquades hingga batas.

Pindahkan 100 mL larutan tersebut ke dalam erlenmeyer 250 mL kemudian

tambahkan 0,5 gram KI dan 2 mL HCl 4 N. Dibuat tiga kali ulangan. Larutan

segera dititrasi dengan larutan Na2S2O3 0,2 N yang sudah dipersiapkan hingga

warna berubah menjadi kuning pucat. Encerkan dengan 50 mL aquades kemudian

tambahkan 2 mL indikator amilum dan meneruskan titrasi hingga warna biru

hilang.

N larutan Na2S2O3 = mKBrO3 x 1000

27,8 x VNa2S2O3

Ket:

m KBrO3 = massa KBrO3 yang digunakan (gram)

V Na2S2O3 = volume Na2S2O3 yang dibutuhkan untuk titrasi (mL)

27,8 = Mr ekivalen KBrO3

1000 = faktor konversi liter menjadi mililiter

b. Standarisasi Larutan KOH

Ditimbang 0,1 gram asam oksalat (C2H2O4.2H2O, Mr = 126) dimasukkan

ke dalam beaker glass dan dilarutkan dengan aquades secukupnya, pindahkan ke

dalam labu takar 25 mL kemudian diencerkan dengan aquades hingga tanda.

Dibuat tiga kali ulangan. Pindahkan larutan ke dalam erlenmeyer 250 mL dan
tambahkan 2-3 tetes indikator phenolptalin, selanjutnya dititrasi dengan KOH

0,1N yang akan distandarisasi hingga warnanya menjadi merah jambu.

N larutan KOH = m C2H2O4.2H2O x 1000

63 x V KOH

Ket :

m C2H2O4.2H2O = massa C2H2O4.2H2O yang digunakan (gram)

V KOH = volume KOH yang dibutuhkan untuk titrasi (mL)

63 = Mr ekivalen C2H2O4.2H2O

1000 = faktor konversi liter menjadi milliliter

3.3.3 Pemurnian Minyak Goreng Bekas

a. Proses Penghilangan Bumbu (Despicing)

Dilakukan sentrifuse pada semua minyak goreng bekas yang telah

disiapkan, kemudian dilakukan pengambilan minyak yang bebas dari kotoran

padatan dengan disaring menggunakan kertas saring.

b. Proses Pemucatan

Dipanaskan 50 mL minyak goreng bekas dalam beaker glass hingga suhu

70oC kemudian tambahkan 1 gram CaO dengan ukuran 100 mesh sambil diaduk

selama 30 menit dengan kecepatan 500 rpm. Selanjutnya campuran disaring

dengan kertas saring untuk memisahkan kotoran.

3.3.4 Uji kualitas

Untuk penentuan kualitas ini parameter yang diukur meliputi bilangan

asam dan bilangan peroksida.


a. Penentuan bilangan asam (Metode Asidi-Alkalimetri)

Minyak sebanyak 10 g ditambah 50 ml alkohol 95% kemudian dipanaskan

selama 10 menit dalam penangas air sambil diaduk dan direfluks. Alkohol

berfungsi untuk melarutkan asam lemak. Setelah didinginkan kemudian dititrasi

dengan KOH 0,1 N menggunakan indikator pp sampai tepat warna merah jambu.

Bilagan asam = ml KOH x N KOH x BM KOH


Bobot contoh (gram)

Kadar asam (%) = 263 x N KOH x ml KOH %


10 x bobot contoh

Keterangan:

ml KOH = jumlah ml KOH untuk titrasi

N KOH = Normalitas larutan KOH

BM KOH = Bobot Molekul KOH (56,1)

Bobot Contoh = Bobot Sampel (gram)

263 = Bobot molekul asam lemak minyak kelapa sawit


b. Penetuan bilangan peroksida (Metode Iodometri)

Minyak sebanyak 5 g ditambahkan 30 ml campuran pelarut terdiri dari

60% asam asetat glasial dan 40% kloroform. Setelah minyak larut, ditambahkan

0,5 ml larutan KI jenuh sambil dikocok, setelah dua menit sejak penambahan KI,

tambahkan 30 ml air sehingga akan terjadi pelepasan iod (I2). Iod yang bebas

dititrasi dengan natrium tiosulfat menggunakan indicator amilum sampai warna

biru hilang.

Bilangan peroksida = (ts – tb ) x N.Na2S2O3 x 1000

Bobot sampel (gram)

Keterangan:

ts = Jumlah ml larutan Na2S2O3 untuk titrasi contoh

tb = Jumlah ml larutan Na2S2O3 untuk titrasi blangko

N.Na2S2O3 = Normalitas Na2S2O3


PEMUCATAN MINYAK GORENG BEKAS PAKAI (MINYAK

JELANTAH) DENGAN ABSORBEN CaO

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh gelar

SarjanaKependidikan Pada Jurusan Pendidikan Kimia

OLEH :

SITTI MARYAM

A1C4 14 071

JURUSAN PENDIDIKAN KIMIA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2017

Anda mungkin juga menyukai