Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Minyak goreng merupakan salah satu kebutuhan pokok yang digunakan

sebagai pengolah bahan-bahan makanan. Minyak goreng berfungsi sebagai

penghantar panas, serta penambah rasa gurih, dan menambah nilai kalori bahan

pangan yang digoreng. Oleh karena itu perkembangan produksi minyak goreng di

indonesia sangatlah cepat. Terbukti pada tahun 2005 produksi minyak goreng di

indonesia meningkat hingga 11,6% (6,43 juta ton) sedangkan konsumsi

masyarakat di tahun yang sama mencapai 16,5 kg per kapita.

Seringkali ditemukan bahwa masyarakat menggunakan minyak goreng

secara berungkali sampai warna minyak goreng menjadi coklat bahkan hitam.

Minyak goreng yang sudah berubah warna tersebut biasanya ditambahkan

kembali dengan minyak baru, hal ini dilakukan masyarakat sebagai upaya

penghematan dalam pemakaian minyak goreng. Minyak goreng yang telah

digunakan berulang kali biasa disebut minyak goreng bekas atau minyak jelantah.
Penggunaan minyak goreng yang berulang-ulang pada suhu tinggi

(160 °C - 180 °C) dan disertai dengan kontak air atau udara pada saat proses

penggorengan akan menyebabkan degradasi kompleks dalam minyak yang

menghasilkan berbagai senyawa hasil reaksi, diantaranya senyawa polimer, asam

lemak bebas, bilangan peroksida, dan pengotor lain yang tersuspensi di dalam

minyak goreng tersebut. Seperti yang telah ditetapkan SNI 2013, kadar asam

lemak bebas (ALB) pada minyak goreng yang baik untuk digunakan adalah tidak

melebihi 0,3% dan standar untuk angka peroksida adalah tidak melebihi 10 meq

O2/kg. Apabila melebihi dari standar tersebut minyak dikatakan rusak. Hal ini

yang menyebabkan penurunan kualitas dari minyak goreng sehingga minyak

goreng tidak dapat digunakan kembali dan harus dibuang karena akan berakibat

buruk dan membahayakan bagi kesehatan manusia.

Asam lemak bebas dan senyawa peroksida yang dihasilkan dari kerusakan

minyak atau lemak akibat proses oksidasi dan hidrolisis tersebut dapat

mengakibatkan keracunan dalam tubuh dan berbagai macam penyakit misalnya

diare, pengendapan lemak di dalam pembuluh darah, kanker, dan menurunkan

nilai cerna lemak (Ketaren, 2008). Metode sederhana, ekonomis dan mudah untuk

memperbaiki mutu minyak goreng bekas adalah dengan adsorpsi.


Proses adsorpsi akan berjalan baik tergantung pada jenis adsorben yang

digunakan. Kriteria yang dibutuhkan untuk pemilihan adsorben, diantaranya

mempunyai daya serap besar, luas permukaan besar, tidak larut dalam zat cair

yang akan diadsorpsi, tidak beracun, mudah didapat, serta murah.

Pada umumnya adsorben alami banyak dipilih karena lebih ekonomis dan

lebih efektif, misalnya beberapa produk samping pertanian yang berpotensi

sebagai adsorben, yaitu tongkol jagung, gabah padi, gabah kedelai, biji kapas,

jerami, ampas tebu, ampas sagu serta kulit kacang tanah.

Pada penelitian ini digunakan ampas sagu sebagai adsorben. Menurut

Sutarno dkk (2009), ampas sagu merupakan limbah dari empulur sagu yang telah

diambil patinya. Kandungan pati sagu sebesar 18,5% dan sisanya 81,5%

merupakan ampas sagu yang memiliki kandungan selulosa sebesar 20%, lignin

21% serat kasar sekitar 10.11%, abu 0.01%, dan air 12.3% yang dapat mengalami

pirolisis atau aktivitas menjadi karbon aktif. Hasil Penelitian Kurniawan (2011)

menunjukkan bahwa Limbah padat sagu terbukti memiliki prospek untuk

digunakan sebagai adsorben ALB pada minyak goreng bekas. Kadar ALB

menurun walaupun belum memenuhi syarat mutu yang ditetapkan. Perlakuan

terbaik adalah dengan mengolahnya menjadi arang aktif yang terbukti telah
memenuhi syarat mutu arang aktif yang ditetapkan. Kondisi terbaik adalah

dengan bobot 0.5 g pada waktu 60 menit.

Pada suatu proses adsorpsi dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah

satunya lama waktu adsorpsi dan pH. Berdasarkan hasil penelitian Hajar 2016,

mengenai pemurnian minyak jelantah dengan proses adsorpsi menggunakan

ampas tebu sebagai adsorben. Pemurnian ini dilakukan dengan menambahkan

ampas tebu sebanyak 5–7% berat minyak ke dalam minyak jelantah dengan

variasi waktu perendaman 24, 48 dan 72 jam dengan hasil penurunan kadar asam

lemak bebas yaitu menjadi 0.19%, 0.17% dan 0.15%. Dengan demikian, dapat

disimpulkan bahwa semakin lama waktu perendaman yang dilakukan maka kadar

ALB akan semakin rendah. Hal ini dikarenakan semakin lama waktu perendaman

maka daya adsorpsi ampas tebu semakin meningkat. Adsorpsi kandungan asam

lemak bebas oleh ampas tebu terhadap minyak jelantah dengan lama perendaman

selama 72 jam bekerja dengan lebih baik. (Hajar, 2016).

Berdasarkan apa yang telah dipaparkan, penelitian tertarik untuk mengkaji

prospek limbah padat sagu sebagai adsorben dalam penjernihan minyak goreng

bekas dengan variasi waktu adsorpsi dan pH.


1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengaruh penggunaan variasi waktu perendaman adsorben

terhadap kualitas minyak yang dihasilkan?

2. Bagaimana mutu minyak yang dihasilkan, terhadap uji parameter kualitas

minyak yang telah ditetapkan?

1.3 Tujuan

Tujuan penelitian ini yaitu:

1. Untuk mengetahui waktu perendaman optimum dalam proses adsorpsi minyak

goreng bekas

2. Untuk mengetahui mutu minyak yang dihasilkan, sesuai parameter kualitas

minyak yang telah ditetapkan.

1.4 Manfaat

Manfaat dari penelitian ini yakni mendapatkan pengalaman langsung

mengenai cara penjernihan minyak goreng bekas, menambah pengetahuan dalam

pemanfaatan arang aktif dari ampas sagu pada tingakat kejernihan minyak goreng

bekas sesuai dengan standar mutu minyak goreng di Indonesia yang telah

ditetapkan oleh Standar Nasional Indonesia 01-3741-2013 serta memberikan


informasi kepada masyarakat bahwa alam menyediakan berbagai macam tanaman

yang dapat dimanfaatkan, salah satunya adalah ampas sagu yang dapat dijadikan

sebagai media dalam proses penjernihan minyak goreng bekas.

Anda mungkin juga menyukai