Anda di halaman 1dari 13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lemak dan Minyak

Lemak dan minyak merupakan salah satu kelompok yang termasuk dalam

golongan lipid yaitu senyawa organik yang terdapat di alam serta tidak larut

dalam air, tetapi larut dalam pelarut organik nonpolar misalnya kloroform

(CHCl3), benzena, hidrokarbon dan lainnya. Lemak dan minyak dapat larut dalam

pelarut nonpolar karena lemak dan minyak mempunyai polaritas yang sama

dengan pelarut tersebut (Ketaren, 1986).

2.2 Minyak Goreng

Minyak goreng adalah minyak yang berasal dari lemak tumbuhan atau

hewan yang dimurnikan dan berbentuk cair dalam suhu kamar, dan biasanya

digunakan untuk menggoreng makanan. Minyak goreng dari tumbuhan biasanya

dihasilkan dari tanaman seperti kelapa, biji-bijian, kacang-kacangan, jagung,

kedelai, dan kanola. Minyak goreng umumnya berasal dari minyak kelapa sawit.

Minyak kelapa dapat digunakan untuk menggoreng karena struktur minyaknya

yang memiliki ikatan rangkap sehingga minyaknya termasuk lemak tak jenuh
yang sifatnya stabil. Selain itu pada minyak kelapa terdapat asam lemak esensial

yang tidak dapat disintesis oleh tubuh. Asam lemak tersebut adalah asam palmitat,

stearat, oleat, dan linoleat (Naomi dkk, 2013).

2.3 Minyak Goreng Bekas (Jelantah)

Minyak jelantah adalah minyak goreng bekas yang sudah digunakan untuk

menggoreng, sehingga terjadi degradasi mutu minyak tersebut. Biasanya ditandai

dengan perubahan warna dan komposisi dari minyak tersebut. Apabila di

konsumsi dalam jangka panjang akan berbahaya bagi kesehatan tubuh karena

dalam minyak jelantah banyak mengandung zat-zat karsinogenik serta asam

lemak jenuh yang dapat memicu penyakit kanker atau jantung. Oleh karenanya

minyak jelantah menjadi limbah rumah tangga yang tidak bermanfaat jika tidak

diolah kembali (Arfika, 2013).

Bahan dasar minyak goreng bisa bermacam-macam seperti kelapa, sawit,

kedelai, jagung dan lain-lain, meski beragam secara kimia isi kandungannya

sebetulnya tak jauh beda, yakni terdiri dari beraneka asam lemak jenuh dan asam

lemak tidak jenuh. Dalam jumlah kecil kemungkinan terdapat juga lesitin,

cephalin, fosfatida lain, sterol, asam lemak bebas, lilin, pigmen larut lemak, dan

hidrokarbon, termasuk karbohidrat dan protein. Hal yang kemungkinan berbeda


adalah komposisinya. Minyak jelantah biasanya mengandung asam lemak jenuh

stearat sedangkan asam lemak tak jenuhnya biasanya palmitat dan linolenat.

Semua minyak sama sehatnya untuk orang yang tidak sensitif terhadap asam

lemak darah. Alasannya pada suhu penggorengan 200oC rantai kimia minyak

akan terurai (Syamsidar, 2013).

Tabel 2.1 Komposisi Beberapa Asam Lemak dalam Tiga Minyak Nabati
Asam Lemak Jumlah Minyak Minyak Minyak
Atom C Sawit (%) Inti (%) Kelapa (%)
Asam Lemak Jenuh:
Oktanoat 8 - 2-4 8
Dekanoat 10 - 3-7 7
Laurat 12 1 41-55 48
Miristat 14 1-2 14-19 17
Palmitat 16 32-47 6-10 9
Stearat 18 4-10 1-4 2
Asam Lemak Tidak Jenuh :
Oleat 18 38-50 10-20 6
Linoleat 18 5-14 1-5 3
Linolenat 18 1 1-5 -

2.4 Pemurnian Minyak Jelantah

Pemurnian merupakan tahap pertama dari proses pemanfaatan minyak

goreng bekas, baik untuk dikonsumsi kembali maupun untuk digunakan sebagai

bahan baku produk. Tujuan utama dari pemurnian minyak goreng ini adalah

menghilangkan rasa serta bau yang tidak enak, warna yang kurang menarik dan
memperpanjang daya simpan sebelum digunakan kembali. Pemurnian minyak

goreng ini meliputi 3 tahap proses yaitu, penghilangan bumbu (despicing),

netralisasi, dan pemucatan (bleaching).

1. Penghilangan Bumbu (despicing)

Penghilangan bumbu merupakan proses pengendapan dan

pemisahan kotoran akibat bumbu dan kotoran dari bahan pangan yang

bertujuan menghilangkan partikel halus tersuspensi atau berbentuk koloid

seperti protein, karbohidrat, garam, gula dan bumbu rempah-rempah yang

terkandung dalam minyak jelantah tanpa mengurangi jumlah asam lemak

bebas dalam minyak.

2. Netralisasi

Netralisasi adalah proses untuk mengurangi kadar asam lemak

bebas dari minyak. Proses ini menghilangkan bahan penyebab warna

gelap, sehingga minyak lebih jernih

3. Pemucatan (Bleaching)

Pemucatan adalah usaha untuk menghilangkan zat warna alami

dan zat warna lain yang merupakan degradasi zat alamiah, pengaruh

logam dan warna akibat oksidasi (Hidayat, 2005).


2.5 Macam-macam Kerusakan Minyak

1. Penyerapan Bau

Lemak mudah menyerap bau. Jika bahan pembungkus dapat menyerap

lemak, maka lemak yang terserap mengalami oksidasi oleh udara sehingga

terjadi kerusakan dan menimbulkan bau.

2. Hidrolisis

Lemak akan mengalami reaksi hidrolisis oleh adanya air membentuk

gliserol dan asam lemak. Reaksi hidrolisis menjadi lebih cepat karena

adanya basa, asam, dan enzim-enzim. Hidrolisis oleh enzim lipase

mengakibatkan lemak terurai, sehingga kadar asam lemak bebas menjadi

lebih dari 10% dan ini harus dimurnikan dan dideodorisasi untuk

menghasilkan minyak yang lebih baik.

3. Oksidasi dan Ketengikan

Munculnya aroma dan ketengikan dalam minyak merupakan kerusakan

yang diakibatkan karena proses otooksidasi radikal asam lemak tidak

jenuh. Otooksidasi diawali dengan adanya penyebab terjadinya, seperti

cahaya, panas, peroksida, lemak atau hidroperoksida, logam berat dan

enzim lipoksidase.
4. Polimerisasi

Terbentuknya polimer pada saat digunakan untuk menggoreng, melalui

polimerisasi adisi dari asam lemak tidak jenuh, sehingga terbentuk bahan

yang menyerupai gum yang mengendap di penggorengan (Yustinah dan

Rosdianah, 2014).

2.6 Standar Mutu Minyak

Standar mutu minyak goreng telah dirumuskan dan ditetapkan oleh Badan

Standarisasi Nasional (BSN) yaitu SNI 01-3741-2013 & AOAC Internasional

menetapkan bahwa standar mutu minyak goreng seperti pada tabel berikut ini:

Table 2.2 Standar Mutu Minyak Goreng


No Kriteria Satuan Persyaratan
1 Bau dan rasa Normal
2 Warna Normal
3 Kadar air % b/b Max 0,15
4 Bilangan asam mg KOH /g Max 0,6
5 Bilangan peroksida Meq O2/ Kg Max 10
6 Cemaran Logam mg/Kg
Timbal (Pb) Max 0,1
Kadmium (Cd) Max 0,2
(Chairunisa, 2013).
Table 2.3 AOAC Bilangan Iod Minyak
No Bilangan Iod Berat sampel (g) Akurasi (mg)
1 3 10,58 – 8,46 0,5
2 10 3,17 – 2,54 0,2
3 20 1,59 – 1,27 0,2
4 40 0,79 – 0,63 0,2
5 80 0,40 – 0,32 0,2
6 120 0,26 – 0,21 0,2
7 160 0,20 – 0,16 0,2
8 200 0,16 – 0,13 0,2
(Chairunisa, 2013).

2.7 Ampas Sagu (Metroxylon sagu)

Tanaman sagu (Metroxylon sagu) (Gambar 1) merupakan tanaman yang

tersebar di Indonesia, dan termasuk tumbuhan monokotil dari keluarga Palmae,

marga Metroxylon, dengan ordo Spadiciflorae. Sagu memiliki kandungan pati

yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis Metroxylon lainnya, sehingga sagu

banyak dimanfaatkan dalam berbagai industri pertanian. Saat ini, pemanfaatan

sagu hanya terfokus pada pati yang terkandung di dalamnya


Gambar 2.1 Tanaman sagu (Metroxylon sagu)

Perkembangan industri pengolahan pati menyebabkan peningkatan hasil

sampingan berupa limbah sagu yang berupa kulit batang dan limbah sagu. Limbah

ikutan pengolahan sagu berupa kulit batang sekitar 17-25% dari serat batang

sedangkan ampas sagu 75-83%. Namun, limbah tersebut belum dimanfaatkan

secara optimal (Denitasari, 2011).

Limbah sagu merupakan limbah lignoselulosa yang kaya akan selulosa

dan pati, sehingga dapat dimanfaatkan secara optimal sebagai sumber karbon.

Limbah sagu berupa ampas mengandung 65,7% pati dan sisanya berupa serat

kasar, protein kasar, lemak, dan abu. Berdasarkan presentase tersebut ampas

mengandung residu lignin sebesar 21%, sedangkan kandungan selulosanya

sebesar 20% dan sisanya merupakan zat ekstraktif dan abu. Selain itu, kulit batang

sagu mengandung selulosa (57%) dan lignin yang lebih banyak (38%) dari pada

ampas sagu (Kiat, 2006).

Limbah pemrosesan pohon sagu, khususnya ampas sagu sampai saat ini

belum dimanfaatkan secara optimal dan hanya sebagian kecil digunakan sebagai

pakan ternak. Padahal, potensinya cukup besar, utamanya di Irian Jaya, Sulawesi

dan Sumatera. Indonesia adalah negara yang memiliki areal tanaman sagu
(Metroxylon sp.) terbesar di dunia hingga 1.2 juta hektar. Di Indonesia luas areal

tanaman sagu mencapai 1,128 juta ha atau 51,3% dari 2,201 juta hektar areal sagu

dunia (Deptan, 2009).

2.8 Adsorbsi

Secara umum adsorpsi adalah proses pemisahan komponen tertentu dari

satu fasa fluida (larutan) ke permukaan zat padat yang menyerap (adsroben).

Pemisahan terjadi karena perbedaan bobot molekul atau porositas, menyebabkan

sebagian molekul terikat lebih kuat pada permukaan dari pada molekul lainnya

(Yustinah, 2011).

Adsorpsi adalah suatu proses penyerapan suatu gas atau cairan pada

permukaan padatan atau fasa padat antar muka. Proses ini melibatkan fasa padat

(adsorben) dan fasa cair (pelarut) yang mengandung zat terlarut yang akan diserap

(adsorban/ zat warna/ logam berat). Adsorben adalah padatan dimana di

permukaannya terjadi pengumpulan senyawa yang dilarutkan. Kemampuan

adsorben menyerap suatu senyawa sangat dipengaruhi oleh:

1. Jenis adsorben

Adsorben yang berbentuk amorf, daya serapnya lebih besar dari pada

adsorben yang berbentuk kristal. Adsorben yang nonpolar lebih mudah


menyerap zat-zat nonpolar, sedangkan adsorben polar lebih mudah pula

menyerap zat-zat bersifat polar.

2. Jenis adsorbat

Molekul yang mudah terion umumnya lebih mudah terserap dibandingkan

dengan molekul yang sulit terion.

3. Struktur adsorben

Molekul yang berpori mempunyai daya serap yang tinggi dibandingkan

dengan molekul yang tidak berpori.

4. Luas permukaan

Semakin luas permukaan adsorben banyak zat yang terserap pada

permukaannya. Luas permukaan adsorben ditentukan oleh semakin

kecilnya ukuran partikel, juga ditentukan oleh jumlah pori dari adsorben

yang bersangkutan

5. Suhu adsorben

Pemanasan atau pengaktifan adsorben akan meningkatkan daya serap

adsorben terhadap adsorbat (Ahalya dkk dalam Nadira, 2015).

2.9 Macam-macam Adsorpsi


Adsorpsi yang terjadi pada permukaan zat padat disebabkan oleh adanya

gaya tarik atom atau molekul pada permukaan zat padat. Energi potensial

permukaan dari molekul turun dengan mendekatnya molekul ke permukaan.

Molekul teradsorpsi dapat dianggap membentuk fasa dua dimensi dan biasanya

terkonsentrasi pada permukaan atau antar muka. Adsorpsi dibagi menjadi 2 yaitu

adsorbsi fisika dan adsorbsi kimia.

1. Adsorpsi fisika

Adsorpsi fisika terjadi karena adanya gaya mempunyai jarak jauh tapi

lemah dan energi yang dilepaskan jika partikel teradsorpsi secara fisik

mempunyai orde besaran yang sama dengan entalpi kondensasi. Adsorpsi

ini bersifat reversible, berlangsung pada temperatur rendah, dan tidak

perlu aktivasi. Penerapannya antara lain pada penentuan luas permukaan,

analisis kromatografi, pemurnian gas dan pertukaran ion.

2. Adorpsi Kimia

Pada adsorpsi kimia, proses adsorpsi terjadi dengan adanya pembentukan

ikatan kimia dengan sifat yang spesifik karena tergantung pada jenis

adsorben dan adsorbatnya. Adsorpsi kimia bersifat irreversibel,

berlangsung pada temperatur tinggi, dan tergantung pada energi aktivasi.


Penerapannya antara lain pada proses korosi dan katalisis heterogen

(Nufida dkk, 2014).

2.10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Adsorpsi

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi proses adsorpsi yaitu :

1. Proses pengadukan

Kecepatan adsorpsi selain dipengaruhi oleh film diffusion dan pore

diffusion juga dipengaruhi oleh pengadukan. Jika proses pengadukan relatif

kecil maka adsorbant sukar menembus lapisan film antara permukaan

adsorben dan film diffusion yang merupakan faktor pembatas yang

memperkecil kecepatan penyerapan. Dan jika pengadukan sesuai maka akan

menaikkan film diffusion sampai titik pore diffusion yang merupakan faktor

pembatas dalam sistem batch dilakukan pengadukan yang tinggi.

2. Karakteristik Adsorbant

Adsorpsi dipengaruhi oleh dua sifat permukaan yaitu energi

permukaan dan gaya tarik permukaan. Oleh karena itu sifat fisik yaitu ukuran

partikel dan luas permukaan merupakan sifat yang terpenting dari bahan yang

akan digunakan sebagai adsorben.

3. Kelarutan adsorbant
Proses adsorpsi terjadi pada molekul-molekul yang ada dalam larutan

harus dapat berpisah dari cairannya dan dapat berikatan dengan permukaan

adsorben. Sifat unsur yang terlarut mempunyai gaya tarik-menarik terhadap

cairannya yang lebih kuat bila dibandingkan dengan unsur yang sukar larut.

Dengan demikian, unsur yang terlarut akan lebih sulit terserap pada adsorben

bila dibandingkan dengan unsur yang tidak larut (Asip dkk, 2008).

2.11 Paramete Uji Minyak

Anda mungkin juga menyukai