Anda di halaman 1dari 42

 

Jurnal PSDA Vol.1/1/Juli/2000  untuk dimanfaatkan. Oleh karena itu lalu


disusun Undang-undang kehutanan untuk
mengatur pengusahaan hutan di luar Jawa,
Tema Utama yang dikenal dengan UU No:5/1967. Acuan
yang tersedia bagi pengambil keputusan di
KILAS BALIK SEJARAH PERATURAN bidang kehutanan pada waktu itu tentu saja
TENTANG KEHUTANAN hanya Undang-undang Kehutanan untuk
Jawa & Madura tadi.
Oleh: Hasanu Simon
Sesuai dengan perkembangan ilmu
Kelemahan-kelemahan dalam UU No. 5 kehutanan, hutan alam jati di Jawa yang
Tahun 1967 membuat pemerhati dan rusak akibat praktek penambangan kayu,
pengamat kehutanan Indonesia khususnya oleh VOC selama dua abad, lalu
menyuarakan perlunya untuk ditinjau dibangun dengan model Jerman. Bentuk
kembali. Himbauan tersebut tidak pengelolaan hutan model Jerman itu dikenal
ditanggapi secara serius oleh Departemen dengan kebun kayu (timber management),
Kehutanan. Baru setelah terjadi perubahan dan pemerintah Hindia Belanda dengan
konstelasi politik nasional karena krisis sukses dapat membangun hutan tanaman
ekonomi dan kepemimpinan tahun 1998, jati Monokultur. Pengelolaan kebun kayu jati
maka Departemen Kehutanan dan itulah yang dituangkan di dalam Undang-
Perkebunan membentuk tim untuk undang Kehutanan Jawa & Madura tahun
menyusun undang-undang kehutanan yang 1927 tersebut. Oleh karena itu UU
baru, yang kemudian dikenal sebagai No:5/1967 mempunyai dua kelemahan,
Undang-Undang No:41/1999. yaitu hutan yang dihadapi di luar Jawa
bukan kebun kayu monokultur dan kondisi
sosial ekonomi masyarakat yang berbeda
dengan keadaan di Jawa dan Madura awal
Pendahuluan abad ke-20 ini.

Indonesia pertama kali memiliki Undang- Karena adanya dua kelemahan itu maka
Undang Kehutanan tahun 1927. Undang- sudah sejak lama para pemerhati dan
undang ini hanya berlaku untuk mengatur pengamat kehutanan Indonesia mulai awal
pengelolaan hutan di pulau Jawa dan dekade 1990-an telah menyuarakan
Madura. Undang-undang tersebut disusun perlunya ditinjau kembali UU No 5/1967.
dalam kurun waktu yang cukup lama, yaitu Himbauan tersebut tidak ditanggapi secara
rancangan (draft) pertama disusun tahun serius oleh Departemen Kehutanan.
1865, kemudian setiap lima tahun dikaji Walaupun pada mulanya dibentuk tim untuk
berdasarkan pengalaman dan persoalan mengkaji kemungkinan perubahan itu,
yang timbul dari pelaksanaan di lapangan. namun pada tahun 1997 diputuskan bahwa
perubahan tersebut dianggap belum
Pada tahun 1966, pemerintah Orde Baru mendesak. Tetapi setelah terjadi perubahan
mulai melakukan pembangunan ekonomi politik nasional karena krisis ekonomi dan
nasional. Masalah utama yang dihadapi kepemimpinan tahun 1998, maka
negara dan bangsa pada waktu itu adalah Departemen Kehutanan dan Perkebunan
rendahnya pendapatan per kapita membentuk tim untuk menyusun undang-
masyarakat, yaitu hanya US$80/tahun, undang kehutanan yang baru. Akhirnya
serta ketiadaan modal. Sementara itu lahirlah undang-undang yang baru itu,
Indonesia sebenarnya memiliki hutan alam dikenal sebagai Undang-Undang
tropika basah di luar Jawa yang sangat luas No:41/1999.
dan mempunyai potensi ekonomi tinggi

 
 

Problematika Kehutanan Indonesia asing yang menggunakan alat-alat berat


untuk membabad hutan alam di sana.
Indonesia dikaruniai dengan hutan alam
tropika yang sangat luas (144 juta hektar). Perkembangan pengusahaan hutan di
Dari luas tersebut 113 juta hektar ditetapkan Indonesia karena kebijakan baru ini sangat
sebagai kawasan hutan tetap, sedang 30 mengejutkan. Produksi kayu bulat nasional
juta hektar lainnya dicadangkan untuk yang sebelum tahun 1968 di bawah 2 juta
peruntukan lain (APHI 1998). Tetapi meter kubik, termasuk sekitar 700.000 m3
menurut data dari BPS (1996:216), luas kayu jati dari pulau Jawa, dengan cepat
hutan Indonesia adalah 130 juta hektar. berkembang menjadi di atas 10 juta meter
Dari luas itu yang ditetapkan sebagai kubik. Dampak positif pengusahaan hutan
kawasan hutan tetap 111.713.000 ha dan tersebut untuk pembangunan ekonomi
hutan produksi yang dapat dikonversi cukup nyata, tetapi ternyata dampak
19.039.000 ha. negatifnya juga tidak kecil. Di samping
masalah lingkungan, akhirnya pengusahaan
Selama berabad-abad hutan alam yang hutan oleh pemegang HPH itu juga
kaya akan sumber genetik dengan segala menimbulkan masalah sosial yang akibat
nilai produksinya itu tidak diusahakan buruknya dirasakan oleh semua fihak pada
secara profesional untuk pembangunan waktu terjadi musibah nasional kebakaran
ekonomi. Baru tahun 1968, setelah hutan tahun 1987 yang lalu. Oleh karena itu
didahului dengan UU No. 1 tahun 1967 dalam membicarakan penanggulangan
tentang Penanaman Modal Asing (PMA) kebakaran hutan di masa mendatang,
dan UU No. 6 tahun 1968 tentang telaah kritis tentang kebijakan pengelolaan
Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), hutan nasional di masa lalu sangat
pemerintah memberi kesempatan kepada diperlukan agar dapat digariskan kebijakan
pemilik modal asing maupun modal dalam baru yang berakar mendapat dukungan dari
negeri untuk melakukan penebangan kayu masyarakat sehingga hal-hal yang tidak
dari hutan alam di luar Jawa. Kepada diinginkan tidak terjadi lagi atau ditekan
pemilik modal asing maupun modal dalam sampai sekecil mungkin.
negeri itu pemerintah membari Hak
Pengusahaan Hutan (HPH) di wilayah Peraturan-Perundangan Pengelolaan
tertentu untuk jangka waktu 20 tahun. Hutan

Untuk mengatur pengusahaan hutan di luar Sebelum pemerintah mengeluarkan UU No:


Jawa oleh pemegang HPH tersebut, 5/1967 tentang Ketentuan Pokok
pemerintah mengeluarkan UU No: 5 tahun Kehutanan, pada tahun 1960 juga sudah
1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok diumumkan Undang-Undang Agraria (UU
Kehutanan. Pada awalnya fihak Direktorat No.5/1960). Undang-undang ini dikeluarkan
Jenderal Kehutanan sangsi akan minat untuk memberi kepastian pemilikan lahan
pemilik modal untuk berusaha di bidang pertanian bagi rakyat, dan sekaligus untuk
kehutanan. Pandangan ini dianggap menyatukan persepsi tentang hak milik
sebagai kekeliruan atau kebodohan, lahan yang sebelumnya didasarkan kepada
mengingat pada waktu itu sistem serupa peraturan adat yang sangat beragam di
sudah berjalan lebih dulu di Malaysia dan antara suku bangsa yang ada. Namun di
Filipina, bahkan sudah berhasil hampir lain fihak dengan Undang-undang Agraria
menguras habis sumber daya hutan di ini sebenarnya kebebasan rakyat untuk
kedua negara tetangga itu. Kerusakan memanfaatkan lahan yang sebelumnya
hutan juga sudah terjadi di Amerika Latin diatur oleh adat menjadi sangat berkurang.
maupun Afrika, juga oleh pemilik modal

 
 

Di samping dilatar-belakangi oleh UU dengan berpegang kepada PP tersebut


No.5/1960, UU No.5/1967 disusun pemegang HPH dapat melarang siapa saja
berdasarkan undang-undang di bidang yang menebang kayu atau mengambil hasil
kehutanan yang sudah ada, yang dikenal hutan non-kayu dari kawasan hutan yang
dengan Undang-undang Kehutanan tahun menjadi wilayah kerjanya. Pada hal pada
1927 untuk Jawa dan Madura. Warna waktu itu rakyat di sekitar hutan di luar Jawa
utama Undang-undang Kehutanan tahun masih menggantungkan hidupnya dari
1927 adalah monopoli pengelolaan hutan sumber daya hutan, baik sebagai tempat
oleh pemerintah (Hindia Belanda) untuk berburu, mengumpulkan hasil hutan,
memperoleh keuntungan finansial yang maupun memperoleh lahan subur untuk
sebesar-besarnya, juga bagi pemerintah. berladang. Khususnya kegiatan berladang
Untuk kepentingan pemerintah Indonesia yang selalu berpindah-pindah itu dianggap
sendiri, yang pada waktu baru melakukan sebagai kegiatan yang menganggu usaha
perombakan total sistem pemerintahan kehutanan, merusak dan memboroskan
Orde Lama yang menutup diri (Berdikari) sumber daya hutan. Oleh karena itu orang
dari hubungan dengan negara asing, situasi kehutanan memberi istilah usaha bercocok-
pada waktu dilakukan perumusan UU tanam tradisional itu dengan sistem
No.5/1967 adalah: "perladangan liar."

1. Rendahnya pendapatan per kapita Untuk mewujudkan kelestarian yang selalu


masyarakat (di bawah menjadi landasan kehutanan, setelah
US$100/kapita/tahun), sedang di penebangan selalu dilakukan permudaan
lain fihak hutang luar negeri kembali. Untuk itu diperlukan sistem yang
dianggap besar (ukuran waktu itu) memadai. Bagi areal HPH sistem
dan pemerintah tidak memiliki modal permudaan tersebut secara resmi baru
untuk melakukan pembangunan dapat diselesaikan oleh Direktorat Jenderal
ekonomi. Kehutanan tahun 1974 (Sistem TPI). Akan
2. Teori maupun pelaksanaan tetapi upaya permudaan akan sia-sia kalau
pengelolaan hutan masih bertumpu kepastian areal belum dapat dijamin karena
pada hasil kayu (timber adanya gangguan dari perladangan. Untuk
management). Forest for People mengamankan batas kawasan ini maka
merupakan tema Konggres pada tahun 1980 telah dikeluarkan
Kehutanan Dunia VIII di Jakarta peraturan baru tentang batas kawasan
tahun 1978. Dari tema itulah hutan dan peruntukkannya yang ditanda-
pengelolaan hutan yang bernuansa tangani oleh 3 Menteri (SKB Tiga Menteri).
kerakyatan kemudian lahir dan Peraturan ini dinamakan Tata Guna Hutan
berkembang. Kesepakatan (TGHK).
3. Pengalaman pengelolaan hutan di
Indonesia baru terbatas dari hutan Untuk memberi kesempatan kerja yang
jati di Jawa, sedang tenaga ahli di lebih menjamin penggunaan lahan secara
bidang kehutanan sangat sedikit efisien dengan hasil yang dapat
(jumlah sarjana Kehutanan kurang memakmurkan masyarakat, pemerintah
dari 200 orang). mencoba untuk membina sistem pertanian
menetap yang produktif. Untuk itu
Berdasarkan UU No.5/1967 pemerintah pemerintah menggulirkan Proyek
mengeluarkan PP No.21/1970 untuk Pemukiman Penduduk yang dilaksanakan
mengatur pelaksanaan HPH dan HPHH. selama Pelita II (1978-1983). Target proyek
Dalam PP No.21/1970 ini jelas sekali hak- ini adalah mengendalikan perladangan
hak rakyat untuk memperoleh manfaat sambil meningkatkan pendapatan dan
hutan tidak saja dibatasi, tetapi praktis pendidikan penduduk di sekitar hutan.
hilang sama sekali. Dalam pelaksanaan, Tetapi karena didasarkan pada asumsi

 
 

yang tidak tepat maka proyek ini kurang dari masyarakat industri perkayuan
berhasil; masyarakat peladang tetap sehingga TPI praktis tidak berjalan. Untuk
melanjutkan tradisinya melakukan menutup kekurangan itu pemerintah
perladangan berpindah sehingga merubah nama TPI menjadi TPTI (Tebang
mengancam hasil permudaan hutan alam Pilih Tanam Indonesia), yang hasilnya sama
dengan sistem TPI. saja, tidak memuaskan.

Di samping sistem permudaan dan Sementara itu industri perkayuan terus


kepastian kawasan, pemerintah juga berkembang, sedang di lain fihak usaha
mencoba menghutankan kembali kawasan pembinaan hutan belum menunjukkan
tak produktif (padang alang-alang dan tanda-tanda keberhasilannya. Untuk tetap
semak-belukar). Berdasarkan pengalaman menjamin bahan baku industri perkayuan,
proyek reboisasi tersebut, pada tahun 1984 pemerintah mengeluarkan Ijin Pemungutan
pemerintah mengeluarkan peraturan Kayu (IPK). Walaupun IPK hanya untuk
tentang proyek HTI (Hutan Tanaman kawasan hutan yang dikonversi ke
Industri). Untuk mendorong pelaksanaan peruntukan lain atau untuk membangun
yang kongkrit kemudian dikeluarkan PP HTI, tetapi paket baru ini menambah lagi
No.7/1990 tentang pembangunan HTI unsur kegiatan yang merusak hutan.
tersebut. Sayang, sampai sekarang
program HTI ini hasilnya masih belum Belum berhasilnya upaya pembangunan
memuaskan. hutan, sedang di lain fihak potensi hutan
terus merosot, menimbulkan keraguan
Sekitar sepuluh tahun setelah pelaksanaan masyarakat luas akan arah kebijakan
HPH, mulai dirasakan bahwa keamanan kehutanan nasional. Bersamaan dengan itu
hutan perlu mendapat penangan lebih opini masyarakat tentang adanya korupsi
seirus. Untuk itu lalu dikeluarkan PP dan penyelewengan dalam pengusahaan
No.28/1985 tentang pengamanan hutan. hutan semakin besar. Dalam situasi seperti
Dalam PP tersebut, sesuai dengan visi itu banyak cendekiawan dari berbagai
kehutanan konvensional, gangguan- disiplin ilmu yang tertarik dan peduli
gangguan "penebangan liar" atau terhadap kerusakan hutan dan penderitaan
"pencurian" kayu bukan oleh HPH dan masyarakat lokal. Tumbuhlah LSM
kebakaran hutan harus dicegah dengan (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang
rencana dan instrumen pengelolaan yang bergerak di bidang kehutanan dan masalah
baik. lingkungan hidup. Namun demikian
masalah sosial yang berkaitan dengan
Karena kurang berhasilnya permudaan kehutanan terus meningkat, dan barangkali
kembali kawasan hutan bekas pembalakan hal itu ikut mendorong lahirnya UU
dan program HTI, maka potensi kayu No.10/1992 tentang Rencana Tata Ruang
nasional terus merosot. Di lain fihak, Wilayah (RTRW). Dengan lahirnya undang-
dengan kebijakan stop ekspor kayu bulat undang baru ini lalu terjadi perbedaan
yang mulai efektif pada tahun 1984 industri dengan tata guna lahan yang telah diatur
perkayuan nasional mengalami sebelumnya sehingga diperlukan adanya
perkembangan amat pesat. Oleh karena itu padu-serasi.
permintaan kayu bulat untuk bahan baku
industri perkayuan tersebut juga meningkat Perlu dicatat bahwa di dalam UU No.5/1967
pesat. Siatuasi ini mendorong terjadinya sebenarnya kawasan hutan negara dibagi
praktek tebang ulang pada areal bekas menjadi hutan produksi, hutan lindung,
tebangan yang sebenarnya tidak hutan suaka dan hutan cadangan. Hutan
diperkenankan. Pelanggaran serius ini tidak cadangan adalah hutan yang
ditindak oleh pemerintah karena tekanan peruntukannya belum ditetapkan, termasuk

 
 

ada kemungkinan untuk dikonversi ke wewenang Pemerintah Daerah untuk


peruntukan lain. Tetapi yang berkembang memberi ijin pembalakan (desentralisasi)
kemudian, tidak jelas waktu dan alasannya, lalu dicabut, dan PP No.64/1957 diganti
istilah hutan cadangan semakin tidak dengan PP No.21/1970. Dengan PP baru ini
pernah didengar dan yang populer wewenang pemberian ijin pengusahaan
kemudian adalah hutan konversi (hutan hutan seluruhnya ada di pemerintah pusat.
produksi yang dikonversi). Ijin Pemda yang sudah diberikan boleh
dilanjutkan sampai waktunya habis dan
Perkembangan HPH tidak akan diperpanjang lagi.

Di muka telah dikatakan bahwa HPH mulai Untuk tetap dapat memenuhi kepentingan
diberikan oleh pemerintah kepada pemilik penduduk setempat, maka sebagai ganti
modal mulai tahun 1968. Selama Pelita I peraturan yang telah dicabut Gubernur
minat masyarakat untuk memperoleh HPH diberi wewenang mengeluarkan ijin
masih sedikit (Djandam 1998), karena pemungutan hasil hutan (IPHH) dengan
memang masih amat sedikit masyarakat luas maksimum 100 ha. Tetapi dalam
yang memiliki modal dan ilmu pengetahuan praktek pelaksanaan IPHH ini banyak
taknis (technical know-how) tentang menimbulkan masalah sehingga akhirnya
penebangan kayu di luar Jawa. Namun dicabut lagi. Dengan demikian maka
demikian adanya kebijakan baru tersebut masyarakat lokal kehilangan akses untuk
dengan cepat telah meningkatkan produksi ikut memperoleh manfaat dari hutan, lebih-
kayu bulat nasional. Kalau sebelum tahun lebih setelah dikeluarkan PP No.28/1985
1968 produksi kayu bulat dari luar Jawa tentang pengamanan hutan. Dengan PP ini
hanya berkisar 1,5 juta meter kubik per maka pemegang HPH dapat melarang
tahun, pada tahun 1972 telah menjadi 7 juta masuk areal HPH dengan alasan untuk
(Simon 1991). menjaga keamanan hutan.

Setelah usaha pembalakan menunjukkan Setelah ijin HPH hanya ditangani


keuntungan, minat masyarakat di bidang ini pemerintah pusat, perkembangan
terus meningkat. Untuk melayani minat pengusahaan hutan di luar Jawa
masyarakat ini maka ijin penebangan kayu berkembang amat pesat. Di pertengahan
tidak hanya dilayani oleh pemerintah pusat dekade 1970-an hampir kawasan hutan
saja, tetapi Pemerintah Daerah juga diberi produksi telah dikapling untuk pemegang
wewenang berdasarkan PP No.64/1957 HPH sehingga pada akhir dekade tersebut
tentang Desentralisasi di bidang kehutanan. masalah kerusakan hutan dan sepak
Berdasarkan peraturan tersebut Gubernur terjang HPH sudah mendapat sorotan
dapat memberi ijin penebangan (kap- masyarakat luas. Alumni Fakultas
perceel) maksimum 10.000 ha dan Bupati Kehutanan UGM dalam seminar reuni tahun
5.000 ha. Pemberian ijin di atas 10.000 ha 1979 mengambil tema "Hutanku Takkan
menjadi wewenang pemerintah pusat. Hilang." Dari tekanan yang disampaikan
dalam seminar tersebut kemudian
Di lain fihak, dari kalangan kehutanan mulai pemerintah menetapkan beberapa
ada pendapat bahwa pengusahaan hutan kebijakan penting, yaitu penghentian ekspor
harus berprinsip pada kelestarian hutan dan kayu bulat, pembayaran Dana Jaminan
kelestarian usaha. Ditinjau dari aspek ini Reboisasi (DJR, kemudian berubah menjadi
maka luas unit usaha pembalakan hanya DR), dan penetapan tata guna lahan
10.000 ha dianggap tidak memadai. Pada kesepakatan (TGHK).
waktu itu diyakini bahwa luas yang
memenuhi prinsip kelestarian itu adalah Adanya kebijakan baru yang dimaksudkan
40.000-50.000 ha. Oleh karena itu untuk mengendalikan penebangan hutan

 
 

tropis tersebut ternyata malah mempunyai maksimal areal untuk satu perusahaan HPH
akibat yang sebaliknya. Stop ekspor kayu adalah 100.000 ha dalam satu propinsi dan
bulat telah mendorong perkembangan 400.000 ha untuk seluruh Indonesia. Luas
industri perkayuan di tanah air, padahal yang dianggap optimal untuk pengusahaan
potensi kayu di lapangan mulai menurun HPH dan HTI non-pulp adalah 50.000 ha
karena upaya permudaan kembali belum dan 100.000 ha untuk HTI pulp (Anonim
berhasil. Pada akhir dekade 1980-an sudah 1998c).
mulai terasa bahwa industri perkayuan
nasional kekurangan bahan baku. Hal ini Dengan perkembangan baru tersebut maka
akhirnya menimbulkan konglomerasi yang sekarang masalah HPH masih belum ada
menyebabkan pengusahaan hutan hanya kepastian kebijakan yang akan
berada di beberapa pemilik modal besar. dilaksanakan pemerintah. Dari 562 HPH
Dampak negatif konglomerasi ini, terutama masih tercatat, pada tahun 1998 hanya 5
dari aspek sosial, belum terpecahkan HPH yang dinyatakan baik, sedang lainnya
sampai sekarang. masuk katagori sedang atau jelek (Anonim
1998a). Mungkin HPH yang tergolong baik
Pada tahun 1998 ini jumlah HPH di seluruh dapat melanjutkan operasinya, tetapi
Indonesia ada 652 dengan luas areal bagaimana dengan yang sedang dan jelek?
69.410.818 ha (Anonim 1998a). Dengan
demikian luas areal HPH telah melampaui Dampak Sosial
luas hutan produksi yang menurut TGHK
tahun 1995 luas seluruhnya ada 63 juta Sebelum ada pengusahaan hutan oleh
hektar, terdiri atas hutan produksi terbatas HPH, produksi kayu bulat di luar Jawa
29.568.000 ha dan hutan produksi tetap hanya sekisar 1,5 juta meter kubik per
33.400.000 ha (BPS 1996). Areal HPH tahun. Penebangan kayu dan angkutannya
seluas 69,4 juta hektar itu ternyata sebagian dikerjakan secara manual. Dalam hal ini di
besar, yaitu 26,2 juta hektar atau 38%, Sumatera dikenal ada panglong, sedang di
hanya dimiliki oleh 12 grup saja (Anonim Kalimantan istilah banjir-cap lebih populer.
1998b). Secara lebih rinci HPH dan luas Penebangan pohon dilakukan dengan
areal yang dikelola oleh 12 grup tersebut menggunakan kapak, sedang untuk
dapat dibaca dalam lampiran. pemotongan batang digunakan gergaji
tangan. Penyaradan dari tempat tebangan
Kalimantan Timur dan Riau masing-masing ke pinggir sungai besar dilakukan dengan
merupakan propinsi yang memiliki areal sistem kuda-kuda (tenaga manusia),
hutan dan jumlah HPH terbesar di pulau sementara angkutan balok ke hilir
Kalimantan dan Sumatera. Pada tahun dihanyutkan ke sungai. Pemasaran kayu
1998 jumlah HPH di Kalimantan Timur ada bulat untuk selanjutnya dijual ke
116 dengan luas areal 13.466.893 ha, perusahaan domestik atau diekspor.
sedang di Riau ada 63 HPH dengan luas Sebagian besar kayu bulat dari Sumatera
areal 5.148.761 ha (Anonim 1998a). dan Kalimantan Barat pada umumnya dijual
ke Singapura, sedang di Samarinda dan
Menghadapi kritik tentang pengelompokan Sampit ada perwakilan perusahaan Belanda
areal hutan pada beberapa pemilik modal (Bruinzyl) yang mempunyai pabrik raksasa
itu, Menteri Kehutanan dan Perkebunan pembuat pintu di Amsterdam.
mengeluarkan kebijakan untuk membatasi
luas areal HPH. Pada tanggal 21 Dengan adanya pemegang HPH jaringan
September yang lalu, pemerintah pengusahaan kayu oleh masyarakat lokal
mengumumkan konsep penataan tersebut mengalami perubahan. Pada
pengelolaan lahan skala besar. Di sektor awalnya masyarakat lokal justru
kehutanan dan perkebunan, batas memperoleh peluang pasar yang lebih

 
 

besar karena pembeli menjadi lebih banyak. kekacauan di kalangan masyarakat. Namun
Seperti telah dikatakan di muka, peluang bagi sementara anggota masyarakat hal itu
besar itu mendapat saluran yang telah memberi pelajaran dan sebagian lagi
menggembirakan dengan memanfaatkan sadar bahwa program pembangunan
PP No.64/1957 tentang desentralisasi di pemerintah telah mendorong terjadinya
bidang kehutanan. Tetapi, dengan hanya korupsi. Aspirasi masyarakat tersebut
mempertimbangkan kepentingan kehutanan mendapat jawaban dari sebagian kaum
saja, pemberian ijin penebangan kepada intelektual muda dan pakar perguruan
masyarakat lokal itu dihapus (PP tinggi. Kaum intelektual muda banyak yang
No.21/1970) sehingga masyarakat lokal mendirikan LSM yang bergerak di bidang
kehilangan akses untuk memperoleh kehutanan untuk membela kepentingan
manfaat ekonomi dari yang secara masyarakat lokal. Para pakar di perguruan
tradisional telah mereka nikmati. tinggi juga ada yang memusatkan
perhatiannya di bidang yang sama. Kedua
Dengan penghapusan hak rakyat atas kelompok masyarakat tersebut secara
penebangan kayu tersebut tidak berarti apa bersamaan telah melakukan tekanan
yang dianggap sebagai "masalah" oleh kepada pemerintah untuk melakukan
Direktorat Jenderal Kehutanan tersebut reformasi tentang pemanfaatan hutan.
selesai. Di daerah sudah terlanjur Reaksi pemerintah terhadap kekuatan
berkembang penggergajian rakyat, yang presser-groups tersebut antara lain telah
sering dinamakan wantilan. Oleh karena itu menghasilkan program HPH Bina Desa
antara masyarakat lokal dengan pemegang Hutan, Hutan Kemasyarakatan, Kawasan
HPH malah terjadi konflik, yang masing- Dengan Tujuan Istimewa (KDTI), dan
masing merasa mempunyai hak. Untuk sebagainya.
meredam konflik tersebut lalu dikeluarkan
PP No.28/1985 tentang pengamanan hutan. Program HPH Bina Desa Hutan dimulai
Tetapi dengan PP yang baru inipun tahun 1991 setelah Menteri Kehutanan
masalahnya tetap tidak selesai. Yang terjadi mengelurkan SK N0.691/Kpts-II/91. Tujuan
justru akumulasi masalah yang kemudian program ini adalah mendorong para
meledak di sana-sini dan mencapai pemegang untuk ikut meningkatkan
puncaknya setelah kemenangan reformasi. kemakmuran penduduk yang bertempat
tinggal di dalam areal HPH yang
Dengan semakin meningkatnya eksploitasi bersangkutan. Untuk menyusun program
hutan di luar Jawa, konflik antara Bina Desa Hutan pemerintah mewajibkan
masyarakat lokal dengan pemerintah dan pemegang HPH melakukan studi
pelaksana pembangunan hutan semakin diagnostik. Akan tetapi studi tersebut
melebar. Konflik kemudian tidak hanya bersifat instruktif sehingga tidak mampu
berkenaan dengan penebangan kayu saja mengartikulasi kepentingan masyarakat.
melainkan sampai pada masalah Akibatnya, program Bina Desa Hutan hanya
penguasaan lahan, yang dipicu oleh adanya dianggap sebagai "SIM" untuk memperoleh
program pembangunan HTI. Sebelumnya pengesyahan RKT yang diajukan oleh HPH.
telah dilaksanakan program reboisasi pada
kawasan hutan tak produktif yang dilakukan Menanggapi kritik-kritik berkenaan dengan
sejak tahun 1974, kemudian diperbaharui program HPH Bina Desa Hutan, pemerintah
dan diperkuat pada tahun 1984, lalu berupaya untuk memperbaikinya dengan
diformalkan menjadi program HTI dengan mengeluarkan Pembinaan Masyarakat
PP No.7/1990. Desa Hutan Terpadu (PMDHT). Program
PMDH telah lama digunakan oleh Perum
Pelaksanaan program reboisasi yang Perhutani untuk meningkatkan
kurang teratur telah menimbulkan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan,
dan oleh karena itu ingin ditiru untuk luar

 
 

Jawa, padahal masalah PMDH di Jawa Aspek positif adanya program-program


sendiri masih cukup rumit, khususnya kemsyarakatan itu adalah bahwa perhatian
ditinjau dari kacamata masyarakat. Dari pemerintah terhadap masyarakat lokal terus
PMDHT akhirnya keluar program yang lebih berkembang. Tahun 1993 dikeluarkan pula
luas dan dianggap lebih sesuai dengan SK Menteri Kehutanan No.251/Kpts-II/93
kepentingan masyarakat, yaitu program masyarakat hukum adat. Namun SK ini
Hutan Kemasyarakatan (HKm). Pedoman mengundang kontroversi karena pemegang
program ini dikemas dalam SK Menteri HPH tentu merasa terganggu karena ada
Kehutanan N0.662/Kpts-II/95. Bersamaan kawasan di dalam arealnya yang dikelola
dengan itu dikeluarkan pula konsep dengan sistem yang kontras dengan apa
Pengelolaan Hutan Produksi oleh yang dilakukan HPH. Masyarakat ada selalu
Masyarakat Tradisional (PHPMT), yang melihat hutan sebagai suatu ekosistem
melibatkan pengambil inisiatif di bidang itu, yang utuh, termasuk cara
yaitu LSM dan perguruan tinggi (PT). memanfaatkannya (prinsip forest ecosystem
Namun sampai sekarang masih banyak hal management), sedang HPH hanya melihat
yang dalam tarik-ulur antara Departemen kayu dari dalam hutan, yang ditebang tanpa
Kehutanan di satu fihak dengan LSM/PT di memikirkan dengan sungguh-sungguh
lain fihak. permudaannya (prinsip timber extraction).

Dalam situasi berkembangnya perhatian Dengan adanya program-program di atas,


Departemen Kehutanan terhadap nasib masalah konflik di antara stake holders
rakyat di sekitar hutan, masalah repong- dalam pengelolaan hutan nasional belum
damar di Lampung muncul ke permukaan. akan reda. Oleh karena itu masih perlu
Untuk menampung aspirasi masyarakat dicari program baru yang benar-benar dapat
yang memang terbukti telah lama mampu menjawab kepentingan rakyat, khususnya
mengelola hutan damar dengan bagus itu, untuk menciptakan sistem pengelolaan
Menteri Kehutanan mengeluarkan SK hutan yang adil dan demokratis.
No.47/Kpts-II/98 tentang Kawasan Dengan
Tujuan Istimewa (KDTI). Menurut Proses Pembentukan UU No:41/1999
keterangan Menteri Kehutanan sendiri,
konsep ini ditiru dari istilah Ldti (lapangan Dengan adanya pergantian Presiden dari
dengan tujuan istimewa) yang telah lama Soeharto Ke BJ Habibie bulan Mei 1998,
(tertera di dalam instruksi 1938) digunakan terbentuklah Kabinet Reformasi. Nama
di hutan jati. Tetapi antara repong damar Departemen Kehutanan dan Perkebunan
dengan Ldti terdapat perbedaan besar yang baru mulai muncul pada Kabinet
karena Ldti hanya berkenaan dengan areal Pembangunan VII yang berumur 70 hari itu
sempit yang biasanya berupa kuburan, tetap dipertahankan. Sebelumnya
sumber air, lapangan penggembalaan dan organisasi yang mengurus pengelolaan
sebagainya yang berkenaan dengan fungsi hutan di Indonesia adalah Depertemen
lindung atau kepentingan masyarakat lokal. Kehutanan, yang merupakan peningkatan
Hutan repong damar di Lampung yang status dari Direktorat Jenderal sejak tahun
ditetapkan sebagai KDTI luasnya ada 1882. Walaupun banyak ahli yang
29.000 ha. keputusan untuk menunjuk mengusulkan agar perkebunan dipisah
hutan damar di Lampung dengan status kembali dari kehutanan, namun nama
KDTI cukup menggembirakan, tetapi Departemen Kehutanan dan Perkebunan
ternyata masalah di lapangan yang dihadapi tetap bertahan sampai sekarang.
oleh masyarakat masih belum banyak
beranjak dari masalah sebelum ditetapkan Merasa mendapat amanat dari masyarakat
sebagai KDTI. untuk melakukan reformasi, maka Menteri
Kehutanan dan Perkebunan Kabinet

 
 

Reformasi segera membentuk tim penyusun lingkungan sosial ekonomi maupun


undang-undang untuk mengganti UU perkembangan ilmu pengetahuan
No:5/1967. Di samping itu, Menteri dan teknologi.
Kehutanan dan Perkebunan juga 2. Warna desentralisasi dan devolusi
membentuk Komite Reformasi untuk yang menjadi tuntutan reformasi
menyusun kebijakan baru dalam rangka serta telah menjadi kecenderungan
memperbaiki pengelolaan hutan nasional. global tentang pengelolaan sumber
Anggota Komite Reformasi terdiri atas daya alam juga belum nampak.
pejabat teras Departemen Kehutanan, staf 3. Pengakuan terhadap adanya hutan
pengajar dari Perguruan Tinggi dan anggota adat masih setengah hati, karena
LSM. Pada awalnya Komite Reformasi ada embel-embel "sepanjang masih
sangat antosias dalam menyelesaikan ada," padahal kenyataannya hutan
tugas-tugasnya, termasuk memberi adat masih banyak terdapat di
menyusun konsep undang-undang mana-mana. Dengan demikian kalau
kehutanan. disyahkan, dengan undang-undang
yang baru tersebut hutan adat masih
Walaupun demikian, sejak awal telah terjadi akan dikalahkan oleh HPH yang
perbedaan pandangan yang cukup tajam, oleh sebagian besar masyarakat
khususnya antara kelompok LSM dengan diminta untuk dihapus, atau paling
staf perguruan tinggi dengan pejabat tidak harus diperbaiki sistem
Departemen Kehutanan dan Perkebunan. pengelolaannya sehingga tidak
Bahkan akhirnya hampir seluruh anggota hanya menimbulkan konflik dengan
LSM menarik diri dari kegiatan pertemuan masyarakat lokal tetapi dapat
Komite Reformasi karena merasa memberi manfaat yang proporsional.
perbedaan tersebut sulit dipertemukan. 4. Penekanan pentingnya perencanaan
Anehnya, anggota Komite dari pejabat teras juga tidak nampak. Pelaksanaan
Departemen Kehutanan dan Perkebunan Forest for People memerlukan
sendiri jarang datang di dalam rapat. perencanaan yang comprehensive
Antiklimaks sikap sebagian besar anggota agar kelestarian ekosistem hutan
Komite terjadi tatkala konsep jiwa undang- dapat terjamin dan obsesi yang
undang yang diajukan oleh Departemen indah itu tidak hanya menjadi
Kehutanan dan Perkebunan ke DPR slogan.
berbeda jauh dengan konsep Komite
Reformasi. Oleh karena itu proses Kelemahan-kelemahan tersebut seluruhnya
pembentukan undang-undang kehutanan dielaborasi di dalam rencana Undang-
yang kemudian disyahkan oleh DPR Undang Kehutanan yang diajukan oleh
menjadi Undang-undang No:41/1999 FKKM.
sebenarnya tidak demokratis, tidak
mencerminkan amanat reformasi dan tetap Konsep Undang-undang Alternatif
berjiwa paradigma pengelolaan hutan yang
lama. Sejak sebelum reformasi terjadi, pada bulan
Oktober 1997 telah terbentuk apa yang
Pada dasarnya kelemahan rancangan dinamakan FKKM (Forum Komunikasi
Undang-Undang yang diajukan oleh Kehutanan Masyarakat). Organisasi ini
Dephutbun adalah: terbentuk dalam suatu rapat di Fakultas
Kehutanan UGM, yang dihadiri oleh
1. Tidak menyesuaikan dengan beberapa staf dari perguruan tinggi,
perkembangan ilmu kehutanan anggota LSM, pejabat Depaertemen
sendiri yang telah mencoba untuk Kehutanan, beberapa Kepala Dinas
memperhitungkan perubahan Kehutanan dan donor internasional. Tujuan

 
 

pembentukan organisasi itu adalah untuk Perkebunan yang ditugaskan untuk ikut
mengkomunikasikan hasil penelitian atau menangani penyusunan undang-undang
pendapat tentang bentuk pengelolaan hutan kehutanan yang baru dan beberapa staf
yang berbasiskan kerakyatan. Departemen Kehutanan dan Perkebunan.

Dengan sponsor dari Ford Foundation, Di dalam diskusi yang cukup serius, seluruh
pada akhir bulan Maret 1998, pada waktu peserta RM III, barangkali kecuali yang
Kabinet Pembangunan VII baru berumur berasal dari Departemen Kehutanan dan
satu minggu, FKKM menggelar Regular Perkebunan, sepakat untuk tidak
Meetting Pertama (RM I) di Makassar. menanggapi konsep undang-undang
Dalam RM I tersebut, yang dihadiri oleh kehutanan hanya secara tambal-sulam. Hal
Direktur Jenderal RRL dan SAM III itu disebabkan karena konsep undang-
Departemen Kehutanan dan Perkebunan, undang Departemen Kehutanan dan
dengan berani FKKM telah mendesak Perkebunan sebenarnya tidak jauh berbeda
kepada pemerintah untuk membagi dengan jiwa UU No:5/1967, yaitu bertumpu
pengelolaan hutan nasional kepada tiga kepada paradigma timber management.
stakeholders, yaitu BUMN (Badan Usaha Bentuk pengelolaan hutan untuk model
Milik Negara), BUMS (Badan Usaha Milik timber management merupakan model lama
Swasta) dan rakyat. Dengan semangat itu yang disusun oleh rimbawan Jerman pada
maka baru saja Kabinet Pembangunan VII abad ke-16 sampai 17 dimana keadaan
ambruk, pada tanggal 3 Juni 1998 FKKM sosial ekonomi masyarakat dan intensitas
mengadakan pertemuan di Ford Foundation penggunaan teknologi belum setinggi
Jakarta. Tindak lanjut pertemuan tersenut sekarang (Simon 1999). Baik sosial
adalah diselenggarakan Seminar Reformasi ekonomi masyarakat dan teknologi
Pengelolaan Sumber Daya Hutan Nasional mempunyai peranan besar dalam
di Yogyakarta tanggal 22-23 Juli 1998. menentukan sistem pengelolaan hutan, dan
Seminar yang dibuka oleh Menteri kedua hal itu pula yang mendorong lahirnya
Kehutanan dan Perkebunan ini cukup strategi dan paradigma baru, yaitu sistem
monumental, yaitu dengan dirumuskannya pengelolaan hutan yang berbasiskan
Visi pengelolaan sumber daya hutan kerakyatan. Oleh karena itu untuk
nasional yang sebelumnya tidak pernah menyusun undang-undang kehutanan yang
ada. Sejak itu Visi dan Misi selalu mewarnai sesuai dengan tuntutan reformasi maupun
diskusi dan rapat tentang pengelolaan selaras dengan perkembangan ilmu
hutan yang diselenggarakan oleh pengetahuan diperlukan pendekatan yang
pemerintah, swasta maupun LSM. Hasil sama sekali berbeda. Sayangnya,
seminar yang digelar oleh FKKM itu perbedaan yang cukup mendasar ini kurang
dikemas dalam bentuk prosiding yang diberi dapat difahami oleh mereka yang tidak
judul: "Jaman Baru Kehutanan Indonesia." memperhatikan pengelolaan hutan untuk
kurun waktu yang cukup lama.
Barangkali karena seminar dan kegiatan-
kegiatan yang dilakukan berikutnya, maka Prospek ke Depan
Menteri Kehutanan dan Perkebunan juga
minta kepada FKKM untuk menanggapi Mengingat Undang-undang Kehutanan
konsep undang-undang kehutanan yang yang disetujui DPR dan akan dilaksanakan
akan disusun. Permintaan Menteri oleh pemerintah masih menganut
Kehutanan dan Perkebunan itu ditanggapi paradigma lama dengan kelemahan-
positif oleh segenap anggota jaringan kelemahan seperti diterangkan di muka,
FKKM, dan di dalam RM III di Madiun bulan maka diperkirakan penerapannya tidak
April 1999 masalah itu dimasukkan ke akan efektif. Aspirasi masyarakat luas,
dalam agenda utama untuk dibahas. RM III khususnya masyarakat adat dan penduduk
juga dihadiri oleh SAM Kehutanan dan

 
 

di sekitar hutan, belum tertampung secara paradigma pengelolaan hutan yang baru
meyakinkan, dalam arti undang-undang kepada fihak pemerintah karena memang
tersebut tidak menjamin bahwa program masing-masing mempunyai sudut pandang
pengelolaan hutan yang dilakukan yang sangat berbeda.
pemerintah akan menempatkan masyarakat
adat dan penduduk lokal sebagai Mengingat kondisi seperti diterangkan itu,
stakeholder yang setara dengan pemerintah maka mau tidak mau diskusi tentang
dan pemilik modal. Hal itu nampak jelas di penyempurnaan, bahkan perubahan,
dalam beberapa Peraturan Pemerintah (PP) undang-undang kehutanan masih harus
yang telah selesai disusun, sebagai tindak dilanjutkan. Masalah yang dihadapi adalah,
lanjut dari undang-undang kehutanan yang para pengambil keputusan harus berlomba
baru, yang sama sekali belum ada yang dengan kegiatan penebangan kayu ilegal
menampakkan jiwa pengelolaan hutan serta penerapan sistem pengelolaan hutan
berbasiskan kerakyatan. yang tidak benar sehingga keduanya
mempercepat proses degradasi sumber
Tidak hanya menyangkut PP yang selama daya hutan tropika basah Indonesia yang
ini telah dikeluarkan oleh pemerintah, sangat vital peranannya dalam menjaga
rencana kebijakan yang lain pun juga masih stabilitas iklim global maupun untuk sumber
memandang sebelah mata aspirasi rakyat penghidupan bagi penduduk lokal itu.
yang menginginkan perubahan sistem
pengelolaan sumber daya hutan nasional.
Itulah sebabnya maka sampai saat ini di
seluruh Indonesia terjadi penebangan kayu Daftar Pustaka
ilegal yang benar-benar mengancam
kelestarian sumber daya hutan. hal itu Anonim, 1967, Ketentuan-
terjadi bukan karena dorongan krisis Ketentuan Pokok Tentang
ekonomi saja, melainkan juga karena masih Kehutanan, Undang-undang
ada kesenjangan (gap) yang lebar antara No:5/1967, Jakarta
keinginan masyarakat dengan pemikiran
dan program-program kegiatan pemerintah Anonim, 1998a, Evaluasi
di bidang kehutanan. Perkembangan Perusahaan
HPH sampai dengan Juli
Sebenarnya terjadinya kesenjangan seperti 1998, Direktorat
di atas bukan karena tidak ada good-will Pengusahaan Hutan,
pejabat pemerintah untuk mengikut- Direktorat Penyiapan
sertakan masyarakat di dalam pengelolaan Pengusahaan Hutan, Jakarta
sumber daya hutan. Perubahan paradigma
pengelolaan hutan dari pengusahaan kayu Anonim, 1998b,
menuju pengelolaan hutan berbasiskan Konglomerasi HPH di
kerakyatan (community forestry) baru Indonesia, Warta Ekonomi
dicanangkan pada tahun 1978 pada waktu No 12/TH.X/10 Agustus
diselenggarakan Konggres Kehutanan
1998:12
Dunia VIII di Jakarta. Akan tetapi
pendidikan kehutanan di seluruh tanah air
Anonim, 1998c, Buku
tidak segera mengisi perubahan tersebut.
Panduan Seminar Sehari
Akibatnya, sampai dengan awal dekade
Koperasi Dalam Pengelolaan
1990-an, bahkan mungkin sampai
Hutan, Jakarta 3 November
sekarang, sebagian besar rimbawan
1998
Indonesia masih berbekal kehutanan
konvensional. Hal itu menyebabkan terjadi
kesulitan di dalam mengkomunikasikan

 
 

APHI, 1998, Akses Koperasi Aditya Media, Yogyakarta, x-


Dalam Pengelolaan Hutan, 98
Seminar Sehari Koperasi
Dalam Pengelolaan Hutan, Simon, H., 1995,
Jakarta 3 November 1998, 8 Perencanaan Pembangunan
halaman Hutan, Pidato Pengukuhan
sebagai anggota Senat
Boschwezen, 1927, Undang- UGM, Yogyakarta
undang Kehutanan untuk
Jawa dan Madura, Bogor Simon, Hasanu, 1999,
Pengelolaan Hutan Bersama
BPS, 1996, Statistik Rakyat: Teori dan Aplikasi
Indonesia 1996, Biro Pusat pada Hutan Jati di Jawa,
Statistik, Jakarta, xliii-587 Bigraf Publishing,
Yogyakarta, viii-228
Djandam, JP, 1998,
Perusahaan HPH, Staveren, J. M. van, dan D.
Pengusaha Menengah/Kecil, B. W. M. Dusseldorp, 1980,
Koperasi dan Rakyat, Dalam Framework for Regional
Rangka Reformasi Lingkup Planning in Developing
Departemen Kehutanan dan Countries, International
Perkebunan, Makalah untuk Institute for Land
memenuhi permintaan Reclamation and
Sekretariat Wapres, Jakarta Improvement (ILRI),
Wageningen, The
Davis, Kenneth P., 1986, Netherlands, xv-345 Tabel 4.
Forest Management: Grup pemilik HPH besar
Regulation and Valuation, tahun 1998
McGraw-Hill Book Company,
Inc., New York-St Louis-San
Fransisco-Toronto-London-
Sydney, xi-519 • Prof.Dr.Ir. Hasanu Simon,M.Sc,
adalah Guru Besar di Fakultas
Rambo, A. Terry, dan Percy Kehutanan Universitas Gadjah Mada
E. Sajise (Eds), 1984, An dan Ketua Forum Komunikasi
Introduction to Human Kehutanan Masyarakat (FKKM).
Ecology Research on
Agricultural System in
Southeast Asia, University of
the Phillipines, Los Banos,
Laguna

Simon, H., 1993, Hutan Jati


dan Kemakmuran, Aditya
Media, Yogyakarta, xiii-224

Simon, H., 1994,


Merencanakan
Pembangunan Hutan untuk
Strategi Kehutanan Sosial,

 
 

Dinamika Proses RUU Kehutanan: penduduk lokal, (3) terjadi banyak


perubahan sosial, politik dan budaya di
(disparitas cita dan fakta) desa-desa sekitar hutan terutama sekali jika
dilihat dari aspek land tenurial sistem, dan
oleh: San Afri Awang terganggunya akses penduduk atas
sumberdaya hutan. Artinya muncul
Undang-Undang sebagai produk politik persoalan legal rights yang sangat serius
selalu menempatkan hukum hanya sebagai oleh semua stakeholders yang berkait
instrumen kekuasaan belaka. Sehingga dengan hutan alam. Sampai di sini kita
paradigma yang dibangun tidak pernah sudah dapat membuktikan bahwa semakin
menyelesaikan akar-akar persoalan secara menurunnya potensi sumberdaya hutan
substansial. baik kayu maupun non kayu, maka jika
keadaan tersebut dibiarkan terus-menerus,
Pertanyaan yang harus dijawab memasuki Indonesia pasti tidak akan mampu
milenium ke 3 ini, terutama yang ada mempertahankan hutan tropisnya – dan ini
kaitannya dengan sumberdaya alam berarti – hutanku akan hilang. Ini adalah
adalah, mungkinkah hutanku takkan hilang sebuah pandangan pesimistis, dan
dari Indonesia. Di penghujung abad 20, pandangan ini tentu bukan yang kita
pemerintah Indonesia telah membuat harapkan. Masih adakah pandangan yang
kesalahan besar dalam melaksanakan lebih optimistis, bahwa hutan kita takkan
pemanfaatan dan penggunaan sumberdaya hilang? Tergantung kepada kemauan
hutan tropisnya. Bukti dari kesalahan semua pihak, rimbawan, masyarakat,
tersebut adalah dengan semakin banyaknya politisi, partai politik, LSM, para ahli di
areal hutan alam berubah fungsi menjadi universitas-universitas, dan lain-lain.
lahan kosong, kritis dan tidak produktif,
sebagai akibat dari perlakuan dan campur Pada tanggal 14 September 1999,
tangan manusia secara tidak proporsional. anggota DPR (masa kabinet reformasi)
Pandangan politik pemerintah yang sangat berhasil mengesahkan satu Undang-
berorientasi kepada hutang luar negeri dan Undang penting yang diberi nama Undang-
eksploitasi sumberdaya alam untuk Undang tentang Kehutanan (UUK). UUK
membayar hutang-hutang luar negeri telah No. 41/ 1999 disahkan dengan maksud
menghasilkan kenikmatan pertumbuhan mengatur tentang penetapan, pengurusan,
ekonomi sesaat (pragmatisme), tetapi telah pemanfaatan, dan pengelolaan sumberdaya
mengecewakan sebagian besar masyarakat hutan, untuk sebesar-besarnya
Indonesia khususnya masyarakat yang kesejahteraan masyarakat Indonesia.
berada di sekitar hutan tersebut, bahkan Mengingat bahwa Undang-Undang adalah
lebih jauh telah menghancurkan harapan produk politik, maka wacana yang ada di
generasi mendatang. dalam UU tersebut biasanya hanya
menggambarkan persoalan-persoalan
Selama orde baru, hutan kepentingan antar stakeholders, proses
dieksploitasi secara tidak bertanggung penguasaan sumberdaya, pelaku-pelaku
jawab dengan menggunakan instrumen kebijakan, dan mekanisme kontrol.
sistem pengusahaan hutan HPH melalui PP Masalahnya sekarang adalah sampai
No. 21 tahun 1970. Dampak negatif yang seberapa jauh negara (baca: pemerintah)
dihasilkan dari sistem pengusahaan hutan turun tangan dalam pengelolaan
dalam bentuk HPH adalah antara lain : (1) sumberdaya alam tersebut kemudian
kelestarian hutan dalam arti meningkatnya menjadi sangat relevan dengan kebutuhan
produktivitas lahan hutan dan kelestarian hidup masyarakat secara luas, sampai
hasil kayu tidak tercapai, (2) muncul konflik seberapa jauh nilai-nilai sosial budaya
antara pengusaha HPH, pemerintah dengan masyarakat justru berkembang setelah
adanya aturan legalistik-formalistik dari

 
 

pemerintah, dan dapatkah politik pertimbangan pemenuhan target waktu


pemerintah (baca:good will) terhadap semata-mata.
sumberdaya alam tersebut mampu
menjamin kesejahteraan masyarakat, Di dalam proses perdebatan pasal demi
khususnya masyarakat yang bergantung pasal yang didasarka pada daftar isian dan
kepada sumberdaya hutan tersebut. masukan, baik DPR maupun pemerintah
Pertanyaan-pertanyaan kritis tersebut tidak meletakkan paradigma pengelolaan
mengelayuti pemikiran-pemikiran penulis ke SDH indonesia ke depan dalam konteks
arah jawaban yang belum bisa kapan akan "naskah akademis" yang dapat
terjawab, mengingat di sisi lain proses dipertanggungjawabkan kepada publik.
penyusunan,pembahasan dan pengesahan Kerangka pembahasan yang digunakan
UUK tersebut berlangsung dalam forum dan adalah kerangka draft RUUK versi
medium yang tingkat kedemokratisannya pemerintah yang banyak mengandung
sangat layak dipertanyakan. kelemahan dan tidak demokratis serta
transparan dalam pembuatannya.
Setelah mengikuti proses rapat komisi III Mekanisme pembahasan rancangan
DPR mulai tanggal 23-31 Agustus 1999 dan Undang-Undang yang seharusnya melalui
memperhatikan daftar informasi dan mekanisme pembahasan inter departemen
masukan yang dibuat oleh fraksi-fraksi DPR terkait justru malah menyediakan
serta perdebatan yang berlangsung "soft" peluang/celah untuk memanipulasi,
dan cenderung kompromis dalam sehingga intervensi vested interest menjadi
pembahasan substansi dan pasal-pasal hal yang bukan mustahil diragukan adanya
tentang RUUK, selanjutnya penulis menjadi (baca: black box).
gamang terhadap dinamika proses tersebut
apakah sudah kental akan nuansa Ada ketidakadilan dan transparansi dalam
demokratis. Bertitik tolak dari itu semua, proses rapat tingkat III di DPR. Indikator
penulis mencoba memaparkan kondisi riil yang digunakan adalah bahwa untuk
dinamika proses RUUK tersebut sehingga mempertahankan pendapatnya, Pemerintah
dapat terukur jarak antara harapan, dan mengundang beberapa pakar bahasa,
kenyataan yang ditawarkan oleh UU No. 41 kehutanan, dan antropologi, yang sejalan
tahun 1999 dari segi substansi dan dengan pikiran pemerintah, sementara
kualitasnya. pakar-pakar yang tidak sepakat tidak
diundang oleh pemerintah. Kekecewaan
Proses Pembahasan RUUK di DPR terhadap DPR adalah mengapa DPR tidak
membentuk tim ahli, mengundang para
Dalam pandangan fraksi-fraksi DPR pakar yang tidak sejalan dengan
(pembahasan tingkat III), terutama sekali pemerintah, untuk saling memperdebatkan
ketika memutuskan tata waktu pembahasan substansi UUK tersebut. Ternyata DPR
sampai pengesahan, ada kecenderungan tidak mempunyai keberanian untuk memulai
sekedar mengedepankan faktor target yang benar. Patut dicurigai "permainan"
waktu dengan menafikkan sisi substansi, tidak adil ini antara Pemerintah dan DPR.
materi serta kualitas RUUK . Namun Hal yang harus digarisbawahi bahwa hutan
demikian ada catatan dari fraksi PDI bahwa bukan milik DPR dan Pemerintah tetapi
waktu pengesahan bukanlah target, tetapi milik negara, sehingga anggota masyarakat
yang penting adalah kualitas UUK yang lainnya harus diajak bicara. Daftar informasi
akan dihasilkan. Banyak pihak diluar DPR dan masukan yang dibuat masih banyak
dan pemerintah setuju agar UUK tetap yang tidak membawa aspirasi rakyat.
dibahas tetapi pengesahannya tidak harus
dipaksakan oleh DPR hanya karena Setiap ada perdebatan yang nuansanya
"teknis kehutanan" pihak DPR pasti "kalah"

 
 

oleh Pemerintah. Hal ini menunjukkan pengelolaan hutan Indonesia masa yang
bahwa sebagian besar anggota DPR tidak akan datang, maka draft RUUK dan
memahami teknis kehutanan. Sehingga pembahasan substansinya oleh DPR tidak
pihak Pemerintah selalu menang dalam memiliki dasar-dasar paradigma baru
argumentasi teknis untuk kepentingan pengelolan hutan yang lebih berpihak
Pemerintah bukan untuk kepentingan kepada konsep berkeadilan, transparan dan
rakyat. Ironisnya pihak DPR tidak mencoba demokratis.
meminta masukan dan informasi yang lebih
operasional dari pakar dan praktisi Secara akademis UU No. 41 tentang
kehutanan lainnya di luar pemerintah. Ini Kehutanan belum didukung oleh konsep
adalah kesalahan fatal yang terjadi dalam yang jelas, atau minimal dukungan naskah
proses pembahasan RUUK. akademis sangat kurang. Pelacakan
terhadap dokumentasi naskah akademis
Waktu pembahasaan RUUK mulai tanggal tidak dapat diperoleh, dan inilah yang
23 Agustus – 14 September (20 hari efektif) membuat UU No. 41 menjadi tidak jauh
merupakan waktu pembahasan rancangan berbeda dengan UUPK No. 5/67. Namun
Undang-Undang di Indonesia yang paling demikian perbedaan mencolok memang
singkat. Oleh karena itu sangat kecil terletak pada beberapa aspek perhatian
kemungkinan dapat dihasilkan suatu UUK misalnya tentang peran serta masyarakat,
yang aspiratif, demokratis dan adil kalau penyelesaian konflik, pengawasan oleh
proses pembahasannya saja tergesa-gesa masyarakat, sangsi terhadap pelanggaran
dan hanya mengutamakan target waktu kerusakan hutan, pembentukan wilayah
saja. Sementara di sisi lain di depan mata pengelolaan yang memperhatikan
banyak sekali kompleksitas permasalahan keragaman wilayah, dan penyusunan
di seluruh daerah di tanah air, di mana neraca sumberdaya hutan. Hal-hal tersebut
setiap daerah tidak mendapat kesempatan tidak secara tegas dan bahkan tidak ada
untuk menyampaikan tanggapan terhadap dalam UUPK No. 5/67. Di dalam UU No. 41
RUU Kehutanan tersebut. ini pengertian pengelolaan hutan yang
lestari tidak cukup mendapat perhatian,
Substansi dan Kualitas RUUK misalnya saja apa yang sebetulnya menjadi
obyek dari kelestarian tersebut, komoditinya
Draft RUUK dan pembahasannya di DPR atau keamanan areal hutannya?
sama sekali tidak menegaskan politik
ekonomi pembangunan kehutanan pada Peluang yang terbuka dari UU ini adalah
masa depan. Penegasan bahwa unit bisnis tidak lagi hanya kayu dalam
sumberdaya hutan tidak akan dijadikan hutan produksi, tetapi terbuka peluang
sumberdaya yang harus dieksploitasi untuk untuk mengembangkan kegiatan ekonomi
mendatangkan devisa negara yang besar non-kayu di areal hutan lindung dan hutan
dan untuk membayar hutang luar negeri, konservasi. Sehingga diperlukan
belum tampak tersurat dan tersirat dalam seperangkat instrumen kebijakan yang
hasil pembahasan di tingkat Panitia Kerja. mengatur dan mengarahkan bisnis tersebut
Demikian halnya dengan kemauan politik agar tetap ramah lingkungan dan tidak
(political will) yang menegaskan bahwa merusak lingkungan fisik, lingkungan sosial
sumberdaya hutan Indonesia merupakan dan budaya. Dengan demikian diperlukan
kawasan penyangga lingkungan hidup, langkah-langkah berikutnya yang berkaitan
belum mendapat penegasasn dalam pasal- dengan penataan kelembagaan pendukung.
pasal. Namun demikian kelembagaan pendukung
ini bukan sesuatu yang sederhana sebab
Di samping itu sebagai akibat dari tidak ada hal ini berkaitan dengan kultur birokrasi dan
"naskah akademis" tentang arah politik birokrasi yang korporatism, sering
pihak pemerintah menolak berbegai

 
 

pembaharuan. Kultur baru harus dilahirkan pengelolaan hutan harus diatur oleh
dari Departemen Kehutanan dan Peraturan Pemerintah (PP), maka
Perkebunan dan seluruh jajaran ditengarai akan terjadi penyalahgunaan
birokratnya, sehingga hutan lestari kebijakan seperti yang terjadi selama ini.
mengandung pengertian hutan tersebut Kelembagaan ekonomi rakyat hanya
juga dapat menjamin kehidupan masyarakat diwakili oleh "koperasi" dipandang
di sekitar kawasan hutannya. menyesatkan dan tidak dapat diterima oleh
akal sehat. Kemauan ini hanya kemauan
Pemerintah dalam rapat-rapat di DPR selalu populis dari pemerintah. Seharusnya
mengatakan pengelolaan hutan tidak lagi kelembagaan ekonomi rakyat berkembang
hanya "timber oriented" tetapi akan sesuai dengan kelembagaan asli daerah
merubah ke konsep "Forest Ecosystem masing-masing, dan tugas pemerintah
Management (FEM)". Demikian halnya adalah melegitimasi dan memberdayakan
dengan keinginan pemerintah untuk lembaga-lembaga lokal yang diyakini oleh
melakukan pengelolan hutan dengan rakyat lebih efektif dari hanya sekedar
melibatkan masyarakat melalui koperasi sebagai bentuk badan usaha.
kelembagaan koperasi. Pada saat yang
sama pemerintah secara substantif telah Walaupun pemerintah selalu mengatakan
menolak mengakui keberadaan kepemilikan tinggalkan paradigma kayu,namun dalam
"hutan adat" sebagai hak ulayat. Hutan adat rumusan-rumusan pasal, perspektif usaha
dimasukkan sebagai hak ulayat negara, dan bisnis kayu masih sangat dominan dalam
masyarakat adat hanya memiliki hak RUUK, dan pembahasan kepada usaha-
pengelolaan saja. Secara substantif, usaha bisnis berbasis pada keseimbangan
perumusan ini bertentangan dengan ekosistem dengan usaha non-kayu, tidak
"keinginan masyarakat adat nusantara". cukup dikembangkan. Substansi satuan
DPR yang secara konstitusional sebagai kawasan produksi yang diartikan hanya
lembaga kedaulatan rakyat, ternyata sngat untuk menghasilkan produksi (ekonomi)
tidak memperjuangkan keinginan adalah petunjuk sangat tegas bahwa RUUK
masyarakat adat tersebut. Forest ini masih ingin membuka peluang sebesar-
Ecosystem Management sebagai besarnya penebangan kayu dari hutan
paradigma pembangunan kehutanan masih terus akan dilanjutkan.
Indonesia Baru, tidak tertulis dalam pasal-
pasal secara tegas. Demikian pula halnya dengan substansi
pengusahaan atau bisnis sumberdaya
Asas pengelolaan hutan yang berkeadilan, hutan, tidak cukup mendapat pembahasan
demokratis, transparan, kerakyatan, dan yang berarti dan seimbang oleh DPR.
berkelanjutan belum sepenuhnya menjiwai Pihak-pihak pelaku usaha tidak dilibatkan
pasal-pasal batang tubuh. Salah satu dalam proses pembahasan dan perumusan
indikasi adanya ketidakadilan adalah tidak RUUK.
disetujuinya "hak adat" dalam pembahasan
RUU kehutanan. Indikasi tidak demokratis Pembahasan tentang sistem silvikultur
dapat dilihat dari tidak adanya lembaga dalam pengelolaan hutan dan pembahasan
independen di Pusat maupun daerah yang tentang hutan rakyat tidak mendapat
dapat mengawasi kesewenangan perhatian yang memadai di dalam draft dan
pemerintah dalam melaksankan proses pembahasan RUUK di DPR.
pengurusan dan pengelolaan hutan. Kelestarian hutan hanya dapat dicapai
Desentralisasi dalam pengelolaan hutan melalui sistem silvikultur yang benar.
masih bersifat "setengah hati" dan ada Sejarah telah membuktikan bahwa sistem
kesan sangat kuat bahwa pusat belum rela silvikultur yang ditetapkan oleh Peraturan
melakukan desentralisasi. Dalam situasi Menteri selalu dirubah sesuai dengan selera
seperti ini apabila pengaturan desentralisasi

 
 

Menteri yang bersangkutan. Bentuk-bentuk pengelolaan dan pemanfaatan hutan dan


pengelolaan sumberdaya hutan baik hutan kehutanan tergantung dan menjadi
alam, hutan buatan, hutan adat dan hutan tanggung jawab serta itikad baik semua
rakyat harus didukung oleh sistem silvikultur unsur stakeholders terkait. Undang-Undang
yang sesuai dengan keadaan setempat. yang baik belum menjamin baik pula dalam
dataran pelaksanaannya.

Penutup
KORELASI HUKUM AKOMODATIF
DPR sebagai perwakilan kedaulatan rakyat
tidak membuka peluang untuk menciptakan TERHADAP TINGKAT AKSEPTASI
tata tertib pembahasan yang lebih MASYARAKAT
demokratis melalui perdebatan terbuka
dimana pihak non DPR dan non Pemerintah (Analisa Terhadap UU Kehutanan dari
dapat ambil bagian aktif dalam proses Perspektif Sosiologi Hukum)
pembahasan rancangan Undang-Undang
tentang Kehutanan tersebut. Juga hasil- Oleh : Nurhasan Ismail
hasil perdebatan sudah seharusnya
dikomunikasikan kepada daerah-daerah Parameter suatu Undang-Undang yang baik
untuk dimintai tanggapan sebelum adalah diukur dari aspek filosofis, sosiologis
disahkan. Ironisnya anggota DPR sebagian dan yuridis. Secara sosiologis, Undang-
besar tidak paham mengenai hutan dan Undang idealnya mempunyai kekuatan
kehutanan. Dhus karena itu kualitas UUK ini berlaku mengikat karena memang
dimungkinkan tidak lebih baik dibandingkan peraturan tersebut diterima secara sukarela
dengan UUPK No. 5/1967. oleh masyarakat (anerkennungstheorie),
bukannya karena dipaksakan berlakunya
Sementara itu di sisi lain dengan oleh penguasa ( machtstheorie)
telah diundangkannya UU No.41/1999
tentang Kehutanan dalam Lembaran .
Negara adalah suatu kenyataan yang tidak
bisa dipungkiri keberadaannya. Sebagai Hukum sebagai salah satu instrumen untuk
konsekuensi logis Undang-Undang tersebut menata kehidupan sosial di dalam
berlaku mengikat publik dalam pengertian masyarakat modern dibentuk atas dasar
sebagai peraturan (regeling). Artinya perpaduan antara dunia ide/cita-cita dengan
disinilah letak disparitas antara cita realita sosial sebagai dunia nyata. Dunia ide
(harapan) yang kita gantungkan terhadap memberikan kontribusinya terhadap
proses UUK dengan fakta (kenyataan) yang penetapan tujuan yang ingin dicapai dan
diberikan oleh UU No. 41 tentang cara serta upaya yang dipandang efektif
Kehutanan. Namun hal itu bukan berarti kita untuk mencapainya, sedangkan realita
kemudian menjadi bersikap pesimis dan sosial memberi batasan agar penetapan
skeptis, bahkan sebaliknya kita harus tetap tujuan dan cara yang diinginkan tetap
terus memperjuangkan suatu wujud berpijak pada kondisi dan nilai-nilai yang
pengelolaan hutan yang adil, lestari dan berkembang dalam masyarakat.
demokratis tanpa tergantung pada suatu
peraturan/norma yang sifatnya legalistik-
Sinergitas antara keduanya akan
formalistik an sich. Kita masih punya
menciptakan instrumen hukum yang
peluang untuk berharap bahwa pengurusan,
mampu mewujudkan kebaikan dan

 
 

perubahan yang evolusioner dalam Proses pembentukan hukum di negara


masyarakat. Sebaliknya pengabaian modern sekarang ini, termasuk Indonesia,
terhadap salah satunya akan dipersiapkan dan dirumuskan oleh instansi
mendatangkan dampak yang sebaliknya. sektoral. Karenanya substansi hukum
Kurang diperhatikannya dunia ide hanya didominasi oleh dasar dan kerangka
akan menghasilkan hukum yang tidak akan pemikiran yang dipunyai instansi sektoral
mampu mendorong masyarakat ke kondisi yang bersangkutan. Dalam batas-batas
yang lebih maju. Hukum hanya akan tertentu sumbangan pemikiran dari
menjadi instrumen pembelenggu kelompok masyarakat seperti kalangan
masyarakat dalam keadaan yang statis dan akademisi, lembaga swadaya masyarakat,
itu berarti pengingkaran terhadap prinsip dan kelompok kepentingan lainnya
dinamisitas dari kehidupan sosial manusia. diperlukan dan diakomodasi. Meskipun
Sebaliknya jika realita sosial kurang demikian tidak tertutup kemungkinan bahwa
mendapat perhatian, maka hukum yang sumbangan pemikiran itu hanya
terbentuk hanya akan menjadi instrumen ditempatkan sebagai strategi untuk
yang akan menimbulkan "cultural shock", memberikan justifikasi terhadap skenario
kesenjangan sosial, kondisi sosial yang pemikiran yang sudah dipunyai oleh instansi
eksploitatif, dan perasaan diperlakukan sektoral.
tidak adil bagi kelompok-kelompok
masyarakat karena hukum yang terbentuk Dominannya kedudukan dan peranan
tidak mencerminkan kondisi dan nilai-nilai instansi sektoral dalam proses legislasi
sosial yang dihayati mereka. mengisyaratkan bahwa penentuan pilihan
tentang tujuan yang dicita-citakan dan cara-
Untuk mencapai sinergitas antara keduanya cara untuk mewujudkannya serta
diperlukan persyaratan tertentu yaitu : (1). penetapan pilihan kondisi dan nilai sosial
Pemahaman yang mendalam dan yang akan dijadikan basis pengaturan
menyeluruh mengenai tujuan yang dicita- sangat ditentukan oleh aktor-aktor dalam
citakan dan kondisi serta nilai sosial instansi sektoral. Proses menetapkan
berkenaan dengan obyek yang akan diatur. pilihan inilah yang menjadi titik sentral dan
Lebih lanjut pemahaman itu harus diuji faktor penentu bagi berkembangnya sikap
apakah sudah mencerminkan tujuan, menerima atau menolak masyarakat
kondisi dan nilai sosial dari semua terhadap suatu peraturan perundangan.
kelompok masyarakat yang kepentingannya Apabila pilihan itu mampu mengakomodasi
terkait; (2). Keinginan untuk memadukan secara proporsional cita-cita, keinginan,
dan mengakomodasi secara proporsional kondisi dan nilai sosial dari semua
tujuan yang dicita-citakan dan kondisi serta kelompok masyarakat yang kepentingannya
nilai sosial dari semua kelompok tersebut. terkait dengan bidang yang akan diatur,
Karenanya pertanyaan penting kemudian maka masyarakat akan menerimanya dan
adalah, apakah substansi hukum itu sudah mengembangkan perilaku yang konformatif
merupakan hasil perpaduan; (3). Kemauan atau sejalan dengan aturan. Sebaliknya
untuk memahami dan memadukan itu apabila pilihan itu hanya mampu
hanya dapat dilakukan secara baik dan mengakomodasi cita-cita, keinginan, kondisi
proporsional oleh pembentuk hukum yang dan nilai sosial dari kelompok tertentu saja,
mempunyai sikap obyektif, netral, tidak maka sikap menolak akan muncul dari
berpihak kepada kepentingan kelompok mereka yang terabaikan kepentingannya.
tertentu, dan arif dalam mencermati kondisi
sosial yang ingin dibentuk di masa yang Di samping itu, proses penetapan pilihan itu
akan datang dan kondisi sosial yang ada tidak berlangsung dalam situasi dan ruang
sekarang. terisolir dari berbagai kepentingan. Di
dalamnya terjadi persaingan di antara
sejumlah aktor yang mewakili kelompok

 
 

yang berbeda. Sebagian mewakili kelompok sebelumnya, UU Kehutanan yang baru jelas
birokrasi sektoral itu sendiri, sebagian telah memberikan perhatian dan sikap yang
lainnya menempatkan dirinya sebagai aktor lebih akomodatif terhadap kepentingan
yang memperjuangkan kepentingan kelompok-kelompok masyarakat terutama
kelompok yang selama ini diuntungkan dari yang terabaikan selama ini. Hanya saja
kebijakan pembangunan, dan sebagian lagi perhatian yang diberikan lebih bersifat
menjalankan peran sebagai wakil dari kompromistis sehingga rumusan-rumusan
kelompok yang terabaikan dalam proses ketentuannya jika dicermati tampak adanya
pembangunan seperti masyarakat hukum keragu-raguan dari pembentuknya untuk
adat. mengakui secara eksplisit hak-hak
kelompok masyarakat tertentu. Keragu-
Proses persaingan inilah yang akan raguan itu dapat memberi peluang akan
menentukan penetapan pilihan cita-cita, terjadinya pelemahan terhadap hak-hak
keinginan, kondisi dan nilai sosial dan mereka dalam proses pelaksanaannya.
sekaligus arah pengembangan substansi
hukum. Jika proses itu didominasi oleh Perhatian dan sikap yang lebih akomodatif
aktor-aktor yang mewakili kepentingan dari UU No.41/1999 terhadap kelompok-
kelompok tertentu, maka pilihan substansi kelompok masyarakat yang kepentingannya
hukum itu hanya akan dirasakan terabaikan dan terpinggirkan selama ini
manfaatnya oleh kelompok tertentu dapat dicermati dari penyebutan istilah
tersebut. Tetapi apabila proses itu mampu "masyarakat setempat" dan "masyarakat
mengkompromikan cita-cita, keinginan, hukum adat" dalam rumusan pasal-pasal.
kondisi dan nilai sosial semua kelompok, Secara yurimetrik, penyebutan atau
maka hukum akan dipandang adil dan pencantuman istilah tertentu dalam
dirasakan manfaatnya oleh semuanya. ketentuan peraturan perundangan tentunya
mempunyai maksud tertentu. Paling tidak,
Dengan berbasis pada kerangka-berfikir penyebutan itu dimaksudkan memberikan
seperti di atas, sebuah pertanyaannya perhatian, akses, dan hak tertentu kepada
segera dapat diajukan, apakah Undang- kelompok masyarakat yang bersangkutan.
Undang No.41/1999 tentang Kehutanan Semakin banyak pasal-pasal dalam
sudah memperhatikan dan mengakomodasi undang-undang itu mencantumkan
keinginan, cita-cita, kondisi dan nilai sosial kelompok-kelompok tertentu semakin besar
dari semua kelompok masyarakat yang perhatian, akses, dan hak yang diberikan
kepentingannya terkait, seperti para pemilik kepada mereka. Apakah hal tersebut juga
modal, masyarakat yang berada didalam mengandung potensi ke arah pemberian
dan di luar kawasan hutan yang perlindungan dan peningkatan
menggantungkan sumber hidupnya dari kesejahteraan yang lebih baik, hal tersebut
kawasan hutan, dan lebih khusus lagi memerlukan pencermatan terhadap
masyarakat-masyarakat hukum adat yang substansi dan pelaksanaannya lebih lanjut.
tidak hanya menggantungkan sumber
hidupnya pada hutan, tetapi juga mereka Istilah "masyarakat setempat" menunjuk
yang mempunyai hubungan hukum yang pada warga masyarakat yang berada dan
lebih mendasar yaitu didasarkan pada alas bertempat tinggal di dalam dan di sekitar
atau dasar hak ulayat? lingkungan hutan, yang meliputi : (1)
kelompok masyarakat yang tidak
Dari substansi rumusan pasal, arah dan mempunyai hubungan historis dan hukum
upaya untuk mengakomodasi hal-hal dengan lingkungan hutan tetapi datang dan
tersebut sudah dilakukan. Bahkan jika menempatinya; (2). Kelompok masyarakat
dibandingkan dengan Undang-Undang yang mempunyai hubungan hukum dan
No.5/1967 yang mengatur kehutanan historis dengan lingkungan hutan yang
bersangkutan seperti masyarakat hukum

 
 

adat. Istilah "masyarakat setempat" dalam ( Pasal 60 ).


Undang-Undang No.41/1999 disebut dan
tercantum dalam 17 pasal dan 5 di 1. Kelompok pasal yang memberikan
antaranya penyebutannya tercantum dalam hak dan akses tertentu kepada
penjelasan pasal. Jumlah tersebut berbeda masyarakat setempat berkenaan
jauh jika dibandingkan dengan UU dengan :
No.5/1967 yang hanya mencantumkan
dalam 2 pasal yaitu Pasal 6 c dan Pasal 9 a. hak untuk menjalin kerjasama dalam
ayat (2) d. usaha pemanfaatan hutan dengan
pemegang ijin usaha pemanfaatan
Dari sudut substansinya, ke 17 pasal yang hutan (Pasal 2 dan Pasal 30 );
memuat istilah masyarakat setempat dapat b. hak memperoleh manfaat ekonomi
dibedakan dalam 3 kelompok yaitu : dan sosial dari penetapan luas
kawasan hutan yang harus
1. Kelompok pasal yang menghendaki dipertahankan di setiap daerah (
adanya perhatian terhadap Pasal 18 );
keberadaan masyarakat setempat c. pemberian peluang yang lebih besar
terutama mengenai kondisi sosial, untuk melakukan usaha
nilai sosial, dan kelembagaan yang pemanfaatan hutan dari pembagian
ada dalam kaitannya dengan : blok ke dalam petak-petak dari
kawasan hutan (Penjelasan Pasal
a. pelaksanaan azas keterpaduan 22 ayat 3);
dalam penyelenggaraan kehutanan d. menikmati kualitas lingkungan hidup
(Pasal 2); yang baik dari keberadaan kawasab
b. kegiatan inventarisasi hutan (Pasal hutan (Pasal 68 ayat 1);
13 ayat 2); e. mendapatkan kompensasi atas
c. pembuatan wilayah pengelolaan hilangnya pekerjaan atau sumber
hutan (Pasal 17 ayat 2); pendapatan yang diperoleh dari
d. penyusunan rencana hutan ( Pasal hutan yang disebabkan adanya
20 ayat 1); penetapan kawasan hutan (Pasal 68
e. penetapan kegiatan pengelolaan ayat 3);
hutan (Pasal 21); f. memperoleh pemberdayaan seperti
f. penyusunan tata hutan ke dalam peningkatan pengetahuan dan
blok-blok dan petak-petak (Pasal kemampuan berkenaan dengan
22); pengelolaan dan pemanfaatan hutan
g. penyelenggaraan penelitian, dari pemegang ijin usaha
pendidikan, pelatihan, dan pemanfaatan hutan yang berskala
penyuluhan kehutanan (Pasal 52 luas dan besar (Pasal 32);
ayat 2). g. mendapatkan kompensasi atas
hilangnya hak atas tanah yang
1. Kelompok pasal yang memberikan disebabkan adanya penetapan
kesempatan kepada masyarakat kawasan hutan ( Pasal 68 ayat 4);
setempat untuk berpartisipasi dalam h. mengajukan gugatan perwakilan
kegiatan tertentu yaitu : (class action) terhadap pihak yang
melakukan kerusakan hutan yang
a. kegiatan rehabilitasi hutan (Pasal 42 merugikan mereka (Pasal 71).
ayat 2);
b. pengawasan dan melaporkan jika Paparan substansi pasal-pasal tersebut
terdapat tindakan yang berpotensi merupakan bukti adanya kemajuan dalam
pada kerusakan hutan pemberian perhatian, akses berpartisipasi,

 
 

dan hak tertentu kepada masyarakat pemberdayaan kelompok masyarakat yang


setempat. Sebagian besar dari substansi selama ini terpinggirkan dalam pengelolaan
pasal-pasal tersebut tidak termuat dalam dan pemanfaatan hutan. Hal ini jelas
UU Kehutanan yang lama (UU No.5/1967) berbeda dengan orientasi dari UU
dan hanya bagian kecil yang sebelumnya No.5/1967 yang lebih menempatkan
tercantum dalam UU yang lama namun sumber daya hutan sebagai sarana
itupun disertai penambahan yang lebih pertumbuhan ekonomi dan akumulasi
terinci. Untuk memberikan perbandingan modal serta kurang atau bahkan tidak
yang lebih jelas, berikut akan dikemukakan memberikan perhatian pada kehidupan
beberapa hal yaitu : sosial-ekonomi masyarakat di dalam
maupun sekitar hutan. Orientasi demikian
Pertama, UU No.41/1999 membuka dapat dicermati dari ketentuan : (1). Pasal 6
kesempatan yang lebih besar bagi b UU No.5/1967 bahwa pemanfaatan hasil
masyarakat setempat untuk melakukan hutan dan pemasarannya diarahkan untuk
usaha pemanfaatan hutan dengan memenuhi kepentingan masyarakat pada
persyaratan tertentu seperti memperoleh ijin umumnya dan khususnya guna
usaha pemanfaatan hutan dan jika ingin memenuhi kepentingan pembangunan,
lebih terorganisir usahanya dapat diwadahi industri, dan ekspor; (2). Pasal 6 c yang
dalam koperasi. Andaikata mereka tidak menghendaki agar masyarakat setempat
mengajukan permohonan dan memiliki ijin tetap dapat mencari nafkah dari hutan yang
usaha pemanfaatan hutan sendiripun, dalam realitanya justeru selama ini
mereka berhak meminta dan menerima terabaikan.
kerjasama usaha dengan Perusahaan
Swasta atau BUMN/D yang sudah Kedua, UU No.41/1999 memberikan hak
mempunyai ijin usaha. Pasal 30 UU memperoleh kompensasi atas hilangnya
No.41/1999 dengan jelas mewajibkan akses mendapatkan lapangan kerja
kepada BUMN/D dan Swasta untuk dengan memanfaatkan hutan (Pasal 68
bekerjasama dengan koperasi masyarakat ayat 3) atau hilangnya hak atas tanah
setempat. Tujuannya agar wadah usaha (Pasal 68 ayat 4) yang disebabkan adanya
masyarakat setempat berkembang lebih penetapan kawasan hutan. Istilah
mandiri dan mampu melakukan usaha penetapan kawasan hutan dimaksudkan
sendiri sehingga nantinya mempunyai sebagai, adanya keputusan yang merubah
kedudukan dan kemampuan yang sejajar. status dan fungsi hutan seperti dari hutan
Pengenaan kewajiban untuk bekerjasama hak menjadi hutan negara, atau dari tanah
tersebut merupakan bentuk kompromi agar non-hutan menjadi kawasan hutan, atau
pemberian ijin usaha pemanfaatan hutan dari hutan produksi menjadi hutan
kepada pemilik modal besar tidak konservasi dan lindung, atau adanya
mengabaikan kepentingan masyarakat keputusan yang memberikan ijin
setempat. pemanfaatan hutan yang menyebabkan
hilangnya akses dan hak atas tanah.
Pemberian kesempatan untuk melakukan
usaha pemanfaatan hutan atau menuntut Jaminan perlindungan terhadap hak
kerjasama dengan pemilik modal besar mendapatkan pekerjaan dan pendapatan
merupakan suatu orientasi baru dalam dari hutan serta hak atas tanah di kawasan
pembangunan sektor kehutanan. hutan tidak dijumpai dalam UU No.5/1967.
Maksudnya pembangunan sektor ini melalui Bahkan selama ini, mereka yang
UU yang baru tidak hanya menempatkan mendapatkan sumber nafkah dari hutan
sumber daya hutan sebagai sarana untuk ditempatkan sebagai kelompok penjarah
meningkatkan pertumbuhan ekonomi, hutan dan bagian hutan yang secara
namun juga secara eksplisit sebagai sarana intensif digunakan sebagai tempat tinggal
pemerataan kesempatan berusaha dan dan kegiatan usaha tetap dinyatakan

 
 

sebagai kawasan hutan. Adanya ketentuan masyarakat. Artinya jika masyarakat


Pasal 68 UU No.41/1999 memberi harapan setempat mengalami kerugian akibat dari
akan adanya perubahan berupa pengakuan kejadian lain (bukan kerusakan hutan),
dan perlindungan terhadap akses mereka tidak dapat mengajukan gugatan
masyarakat setempat pada hutan. perwakilan. Sebuah contoh dapat
diilustrasikan, jika pemerintah memberikan
Bentuk kompensasi yang dapat diberikan ijin usaha pemanfaatan hutan kepada
atas hilangnya akses mendapatkan perusahaan tertentu dengan mengabaikan
pekerjaan dan pendapatan dari hutan dan merugikan hak tradisional masyarakat
berupa : mata pencaharian baru dan setempat, maka kerugian yang demikian
kesempatan untuk terlibat dalam usaha tidak dapat dijadikan dasar untuk
pemanfaatan hutan di sekitarnya. mengajukan gugatan perwakilan.
Penjelasan Pasal 68 ayat (3) UU
No.41/1999 menyatakan bahwa Pemerintah Perhatian dan sikap yang lebih akomodatif
mengupayakan kompensasi yang dari UU No.41/1999 juga ditujukan kepada
memadai antara lain seperti tersebut di masyarakat hukum adat dan hak-haknya.
atas. Sementara untuk kompensasi atas Ada 8 pasal yang berkaitan dengan
hilangnya hak atas tanah hanya dinyatakan kelompok masyarakat tradisional ini dan
dalam Pasal 68 ayat (4) harus sesuai secara substansial ketentuannya berkenaan
dengan peraturan perundangan yang dengan :
berlaku. Peraturan yang dimaksud tentunya
menunjuk pada ketentuan pengadaan tanah 1. ketentuan yang menegaskan bahwa
yang diatur dalam Keppres No.55/1993. hutan adat atau yang dalam literatur
disebut dengan hutan ulayat
Ketiga, UU No.41/1999 memberi hak bagi merupakan bagian dari hutan
kelompok masyarakat yang merasakan negara (Pasal 1 angka 6 dan Pasal
langsung dampak dari kerusakan hutan 5 ayat 2). Dengan demikian hutan
untuk mengajukan gugatan perwakilan ulayat tidak ditempatkan sebagai
(class action) terhadap pihak penyebabnya. kategori hutan tersendiri
Yang dimaksud dengan gugatan perwakilan berdampingan dengan hutan negara
adalah gugatan yang diajukan oleh dan hutan hak atau hutan rakyat.
seseorang atau lebih, dengan 2. Ketentuan yang mensyaratkan
mengatasnamakan warga masyarakat bahwa pengakuan terhadap
keseluruhan yang terkena. Gugatan keberadaan hutan ulayat tergantung
perwakilan dapat diajukan dengan syarat : pada pengukuhan keberadaan
(a). terjadinya kerusakan hutan yang masyarakat hukum adat yang
mendatangkan kerugian bagi kehidupan mempunyainya (Pasal 4 ayat 3 dan
masyarakat setempat (Pasal 71 ayat 1); (b). Pasal 5 ayat 3 dan 4). Artinya jika
kerusakan hutan terjadi karena tidak suatu masyarakat hukum adat yang
dipatuhinya ketentuan peraturan mendaku mempunyai hutan ulayat
perundangan yang berlaku (Pasal 71 ayat tidak memperoleh pengukuhan
2). keberadaannya, maka hutan ulayat
sebagai wilayah adatnya juga akan
Pengaturan gugatan perwakilan merupakan dinyatakan tidak ada.
suatu perkembangan yang positif. Hanya 3. Ketentuan bahwa dalam penetapan
saja substansi ketentuannya tampak masih unit-unit pengelolaan hutan yaitu
bersifat kompromistis karena gugatan kesatuan pengelolaan hutan terkecil
perwakilan itu hanya boleh diajukan atas harus sesuai dengan fungsi pokok
dasar terjadinya kerusakan hutan yang dan peruntukannya sehingga dapat
mendatangkan kerugian kepada dikelola lebih efisien dan lestari
seperti KPHL, KPHP, KPHK,

 
 

KPHKM, KPHA, dan KPDAS harus Meskipun UU No.41/1999 sudah lebih


mempertimbangkan dampaknya akomodatif terhadap keberadaan
terhadap kondisi sosial, ekonomi, masyarakat hukum adat, namun jika
dan kelembagaan masyarakat ketentuan-ketentuan di atas dicermati
hukum adat (Pasal 17 ayat (2)). tampak adanya sikap ambiguitas. Sikap
Artinya proses penetapannya harus ambiguitas demikian merupakan hasil
memperhatikan hubungan yang ada kompromi dari perbedaan pandangan yang
antara masyarakat dengan hutan, berkembang selama ini, berkenaan dengan
aspirasinya, serta nilai tradisional pengakuan terhadap masyarakat hukum
yang dihayati, sehingga dapat adat. Di satu pihak, instansi sektoral
dijadikan dasar pedoman dalam kehutanan, dan tentunya didukung oleh
pengelolaan dan pemanfaatan kalangan pengusaha yang bergerak di
hutan. sektor ini, berpandangan untuk tidak
4. Ketentuan berkenaan dengan memberikan pengakuan dan pengukuhan.
kriteria yang dapat dijadikan acuan Ada semacam kekhawatiran selama ini jika
oleh Pemerintah Daerah untuk pengakuan itu diberikan akan menjadi
menilai dan mengukuhkan kendala bagi upaya menempatkan sektor
keberadaan masyarakat hukum adat sebagai kontributor pertumbuhan ekonomi
( Pasal 67 ayat (2)). Ada 5 kriteria dan peningkatan devisa. Di lain pihak,
yang dapat digunakan yaitu : (a). kalangan LSM dan kaum intelektual dengan
masyarakatnya masih dalam bentuk mencermati dampak negatif pembangunan
paguyuban; (b). ada kelembagaan terhadap masyarakat hukum adat
dalam bentuk perangkat penguasa mendesakkan tuntutan agar pemerintah
adatnya; (c). ada wilayah hukum memberikan pengakuan.
adat yang jelas; (d). ada pranata dan
perangkat hukum khususnya Hasilnya adalah sebuah kompromi yang
peradilan adat yang ditaati; (e). ambivalen. Hal ini dapat dilihat dari 2 fakta
masih mengadakan pemungutan yaitu :
hasil hutan di wilayah hutan
sekitarnya untuk memenuhi 1. Pada satu sisi keberadaan
kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat hukum adat berpotensi
(Penjelasan Pasl 67 ayat (1)). untuk diakui dan dikukuhkan jika
5. Katentuan berkenaan dengan hak- kenyataannya memang masih ada
hak masyarakat hukum adat yaitu : dengan syarat memenuhi kriteria
(a). untuk memanfaatkan hutan adat yang telah ditetapkan dalam
hanya untuk memenuhi kebutuhan Penjelasan Pasal 67 ayat (1).
hidup sehari-hari mereka (Pasal 37 Namun di sisi lain, hutan ulayat
dan Pasal 67 ayat (1)a). Dengan sebagai bagian inheren dari
kata lain mereka tidak keberadaan masyarakat hukum adat
diperkenankan melakukan usaha tidak diakui dan dinyatakan sebagai
pemanfaatan hutan untuk tujuan bagian dari hutan negara.
komersiil kecuali jika mereka
memenuhi persyaratan yang Dengan kata lain, keberadaan
ditentukan untuk melakukan usaha masyarakat hukum adatnya sendiri
pemanfaatan hutan seperti yang diakui, namun hutan ulayat sebagai
diatur dalam UU ini; (b). untuk hak pokok dan inheren di dalamnya
melakukan kegiatan pengelolaan tidak diakui atau dilucuti.
hutan berdasarkan ketentuan hukum Konsekuensinya, warga masyarakat
adat (Pasal 34 dan Pasal 67 ayat (1) hukum adat tidak secara otomatis
b). dapat memanfaatkan bagian dari

 
 

hutan ulayat berdasarkan hukum kewenangan dari Pemerintah atau


adat mereka. Hal yang dapat Pemerintah Daerah; (b). jika
digunakan oleh mereka hanya mendasarkan pada ketentuan Pasal
terbatas pada hak yang sudah 67 ayat (1) b dan dinilai sebagai
ditetapkan dalam UU No.41/1999 Pasal yang memberikan
yaitu memanfaatkan hutan hanya pendelegasian, mereka dapat
untuk memenuhi kebutuhan hidup langsung menggunakan hak
mereka sehari-hari. Apabila mereka tersebut berdasarkan ketentuan
hendak memanfaatkan hutan ulayat hukum adat dengan tetap tidak
untuk tujuan komersiil, mereka harus boleh bertentangan dengan
memenuhi persyaratan yaitu : (a). ketentuan UU ini.
harus mengajukan permohonan dan
memiliki ijin usaha pemanfaatan Kedua fakta di atas menunjukkan bahwa
hutan dan tidak lagi dapat UU Kehutanan yang baru belum mampu
mendasarkan pada ketentuan mengakomodasi pandangan yang sudah
hukum adatnya; (b). dapat lama dan banyak dikemukakan yaitu
melakukan usaha pemanfaatan adanya pertentangan peraturan
hutan dalam wadah koperasi. perundangan antar sektor. Lebih tegasnya
pertentangan antara peraturan di bidang
2. Pada satu sisi, masyarakat hukum pertanahan dengan kehutanan. Peraturan di
adat diberi hak melakukan kegiatan bidang pertanahan sudah lebih maju dalam
pengelolaan hutan ( Pasal 67 ayat memberikan pengakuan terhadap
(1) b). Menurut ketentuan Pasal 21, keberadaan masyarakat hukum adat dan
kegiatan pengelolaan hutan meliputi hak-hak historisnya.
: penyusunan rencana tata hutan,
rencana pemanfaatan dan Peraturan Menteri Negara Agraria
penggunaan kawasan hutan, No.5/1999 sebagai pelaksanaan dari Pasal
rehabilitasu dan reklamasi, serta 3 dan Pasal 2 ayat (4) UUPA merupakan
perlindungan hutan dan konservasi buktinya. Peraturan Menteri ini di samping
alam. Kegiatan-kegiatan telah memberikan dasar untuk mengakui
pengelolaan hutan seperti di atas dan mengukuhkan keberadaan mereka,
merupakan kewenangan yang juga dasar bagi masyarakat hukum adat
bersifat publik dan menurut melaksanakan kewenangan pengelolaan
Penjelasan Pasal 21 dinyatakan hak ulayatnya secara otonom. Pemberian
bahwa pengelolaan hutan pada pengakuan tersebut dapat dicermati dari :
dasarnya menjadi kewenangan
Pemerintah (pusat) atau Pemerintah 1. pelaksanaan hak ulayat ( sebagian
Daerah yang pelaksanaannya dapat berupa kawasan hutan) sepanjang
didelegasikan kepada lembaga lain kenyataannya masih ada dilakukan
seperti Badan Usaha Milik Negara. oleh masyarakat hukum adat yang
bersangkutan berdasarkan
Dengan demikian, meskipun ketentuan hukum adatnya (Pasal 2);
masyarakat hukum adat diberi hak 2. warga masyarakat hukum adat
melakukan kegiatan pengelolaan dapat menguasai, memiliki, dan
hutan, namun pelaksanaannya menggunakan tanah di lingkungan
masih terdapat 2 kemungkinan yaitu hak ulayat menurut ketentuan
: (a). jika mengacu pada ketentuan hukum adatnya (Pasal 4 ayat (1) a);
Pasal 21 dan penjelasannya, 3. Apabila bagian dari tanah ulayat
mereka baru dapat melakukan diminta oleh instansi pemerintah,
kegiatan pengelolaan hutan jika badan hukum, dan perorangan yang
sudah ada pendelegasian

 
 

bukan warga masyarakat hukum Artinya ketentuan dalam Undang-


adat dengan hak atas tanah tertentu Undang yang mengandung potensi
menurut UUPA, Pemerintah baru dan harapan, di samping tentunya
akan memperoses jika sudah ada ketidaksempurnaan, dijadikan dasar
pelepasan dari masyarakat hukum dan diambil semangatnya untuk
adatnya (Pasal 4 ayat (2)); memperkukuh keberadaan
4. Untuk penggunaan bagian tanah kelompok masyarakat setempat dan
ulayat bagi usaha pertanian atau masyarakat hukum adat dan
usaha lainnya dan diminta dengan memberikan perlindungan terhadap
Hak Guna Usaha atau Hak Pakai, hak-hak mereka.
Pemerintah baru akan
memprosesnya dengan syarat : (a). Peluang ke arah penjabaran seperti
sudah ada perjanjian penyerahan di atas terbuka pada era otonomi
penggunaan tanah untuk jangka daerah yang sudah dicanangkan
waktu tertentu antara masyarakat oleh Undang-Undang No.22/1999.
hukum adat dengan pihak yang Berdasarkan UU Pemerintahan
memerlukan; (b). Pemerintah akan Daerah tersebut, pengaturan semua
memberikan hak tersebut dengan sektor pembangunan yang
jangka waktu sesuai dengan kewenangannya diserahkan kepada
perjanjian penyerahan penggunaan pemerintah daerah, termasuk
tanah tersebut; (c). apabila hak atas tentunya sektor kehutanan harus
tanahnya berakhir, tanah kembali ke dijabarkan lebih lanjut dalam
dalam kekuasaan hak ulayat Peraturan Daerah. Untuk langkah
masyarakat hukum adat yang kedepan, peranan Pemerintah
bersangkutan dan jika masih Daerah dan Peraturan Daerahnya
diperlukan harus diadakan perjanjian akan menjadi tumpuan bagi upaya
penyerahan penggunaan tanah pemberian perlindungan terhadap
baru. keberadaan dan hak masyarakat
yang terpinggirkan dalam
Ketentuan UU No.41/1999 yang sudah lebih pembangunan sektor kehutanan
akomodatif dibandingkan UU Kehutanan selama ini. Harapan ini tentunya
yang lama masih merupakan aturan das tidak berlebihan karena Pemerintah
sollen. Darinya memang terkandung Daerah lebih memahami kondisi
potensi dan harapan untuk dilakukan kelompok masyarakat di daerahnya,
perubahan yang lebih baik dalam sehingga substansi Peraturan
pemberian perlindungan terhadap Daerah yang dibuatnya sungguh-
kepentingan masyarakat setempat dan sungguh mencerminkan keinginan,
masyarakat hukum adat. Namun potensi cita-cita, kondisi dan nilai sosial
dan harapan tersebut belum dapat dijadikan yang ada.
dasar untuk memprediksi tingkat
akseptabelitas masyarakat terhadap UU Harapan yang dibebankan pada
tersebut. Semuanya masih tergantung pada Peraturan Daerah di atas akan lebih
beberapa faktor yang di antaranya adalah : terbuka untuk diwujudkan, jika
dilakukan perubahan urutan
1. Penjabarannya dalam peraturan hirarkhis peraturan perundangan
perundangan yang lebih seperti yang ditetapkan dalam Tap
operasional. Ada 2 kemungkinan MPRS No.XX/MPRS/1966,
yang dapat terjadi, yaitu : Pertama, khususnya untuk urusan yang
penjabaran itu mengarah pada kewenangannya diserahkan kepada
pengukuhan dan pemberian pemerintah daerah. Perubahan
perlindungan yang semakin kuat. urutan yang diharapkan adalah:

 
 

UUD ’45 – Tap MPR – Undang- dan Hak Pemungutan Hasil Hutan
Undang – Peraturan Daerah– sebagai aturan pelaksanaan UU
Keputusan Pemerintah Daerah. Kehutanan yang lama. PP
Andaikata ketentuan UU masih perlu No.21/1970 ini menetapkan bahwa
dijabarkan oleh Pemerintah Pusat, pelaksanaan hak masyarakat hukum
maka penjabarannya hanya dapat adat untuk memungut hasil hutan
dilakukan di tingkat Peraturan perlu : ditertibkan,
Pemerintah (PP) dengan syarat : dimusyawarahkan dengan
ada penegasan dan pembatasan pengusaha HPH, dan dibekukan
substansi yang akan diatur ( limited jika kepentingan pelaksanaan usaha
delegation of legislation) dalam PP HPH memerlukan tindak
tersebut. pembekuan.

Kemungkinan kedua, penjabaran itu 2. Kemungkinan penjabaran yang


mengarah pada penafian atau manakah yang akan menjadi pilihan,
pelemahan ketentuan UU. Penafian sangat ditentukan oleh ideologi dan
dilakukan dengan cara menerapkan orientasi politik pembangunan yang
"policy of non-enforcement" atau diterapkan yaitu pertumbuhan
kebijakan untuk tidak ekonomi, atau pemerataan
memberlakukan dan menjabarkan kesempatan berusaha, atau
lebih lanjut ketentuan tertentu dari perpaduan antara keduanya.
UU. Kebijakan demikian Pertumbuhan ekonomi berarti akan
menyebabkan ketentuan-ketentuan mengakomodasi kepentingan
tertentu dari UU tidak akan dapat pengusaha di sektor kehutanan.
diberlakukan. Membiarkan Sebaliknya pemerataan akan lebih
ketentuan UU yang memberikan berorientasi pada kepentingan
perlindungan kepada masyarakat masyarakat setempat dan
setempat dan masyarakat hukum masyarakat hukum adat. Apabila
adat tidak dijabarkan dalam PP atau mampu memadukan keduanya
Peraturan Daerah dapat menjadi seperti melalui penciptaan hubungan
dasar bagi Pemerintah untuk tidak kemitraan, maka ini pilihan yang
melaksanakan pemberian lebih baik, dengan ketentuan,
perlindungan tersebut. Jika demikian Pemerintah tetap memberikan
yang terjadi,, ketentuan UU itu dukungan kepada kedua kelompok
hanya menjadi simbol mati dari masyarakat yang lemah tersebut.
harapan yang ada. Dalam hal ini
patut direnungkan kritik seorang Daftar Pustaka
Sosiolog yaitu :"the Act in Indonesia
is very archaic in formulation but Ismail, Nurhasan 1993;
pompous in spirit and
implementation". Aspek Ekonomi-Politik
Pembentukan Hukum, Studi
Pelemahan terhadap ketentuan UU Kasus: Pembangunan Sektor
dilakukan dengan cara menyusun Perikanan, Tesis Lubis, T.
ketentuan dalam aturan Mulya
pelaksanaan yang membatasi
pelaksanaan hak-hak yang sudah 1982; Politik Hukum di Dunia
dijamin oleh UU yang bersangkutan. Ketiga, Studi Kasus
Cara inilah yang digunakan dalam Indonesia, PRISMA No.7 Juli
Peraturan Pemerintah No. 21/1970 Rahardjo, Satjipto
tentang Hak Pengusahaan Hutan

 
 

1982; Ilmu Hukum, Alumni, Prediksi Tingkat Akseptasi Rakyat


Bandung
Terhadap UU Kehutanan
• Nur Hasan Ismail, S.H.,M.Si adalah
staf pengajar program pascasarjana Oleh : Denny Indrayana
Fakultas Hukum Universitas Gadjah
Mada dan peneliti pada Lembaga "Bumi, air dan kekayaan alam yang
Kajian Hukum Tanah terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan digunakan untuk sebesar-
besarnya bagi kemakmuran rakyat"

Daftar Pustaka (Pasal 33 ayat (3) UUD 1945)

Awang, San Afri, Politik Hubungan Konstitusional Hukum dan


Korporatisme Dalam Masyarakat
Pengelolaan Sumberdaya
Hutan, Jurnal Manajemen Di dalam ilmu hukum, dikenal asas lex
Hutan edisi khusus, superiori derogat legi inferiori. Asas ini
kerjasama Fakultas mengandung suatu pengertian, bahwa
Kehutanan UGM dengan setiap peraturan yang secara hirarkis
Ford Foundation, November berada di bawah tidak boleh bertentangan
1999. dengan peraturan di atasnya. Sebuah asas
yang paralel dengan teori stufenbau yang
DEPHUTBUN, Dinamika dikembangkan oleh Hans Kelsen Dalam
Lahirnya UU Republik konteks tersebut, maka untuk
Indonesia No. 41 Tahun membicarakan suatu produk Undang-
1999 tentang Kehutanan, undang (UU) maka kita harus mengacu
DEPHUTBUN, Jakarta, kepada UUD 1945 sebagai konsitusi
1999. negara. Oleh karenanya, ketika kita
membahas UU Nomor 41 tahun 1999
UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UUK), maka pasal
tentang Kehutanan pembuka di atas adalah dasar acuannya.
Artinya hutan sebagai kekayaan alam
• Ir. San Afri Awang, MSc adalah staf Indonesia haruslah dimanfaatkan secara
pengajar Fakultas Kehutanan maksimal untuk kemakmuran rakyat.
Universitas Gadjah Mada dan
sekretaris Forum Komunikasi Oleh karena adanya filosofi hubungan
Kehutanan Masyarakat (FKKM) antara hutan dan kemakmuran rakyat itulah,
maka menjadi relevan untuk mengetahui
sejauh manakah tingkat akseptasi
masyarakat atas UUK. Sebab, dari UUK-lah
masyarakat akan melihat bagaimana cara
negara memaksimalkan potensi ekonomi
hutan untuk kemakmuran rakyatnya, atau
juga, bagaimanakah negara mengatur
pelestarian lingkungan hutan agar tidak
hanya tersedot semata-mata demi
kepentingan ekonomi sesaat dan sedikit
orang.

 
 

Beberapa Batasan 1. Antara ide masyarakat adat dan


pasal-pasal UUK
Upaya untuk mengetahui tingkat
apresiasi masyarakat terhadap UUK Salah satu ide dasar yang
bukanlah pekerjaan yang mudah. Apalagi berkembang di dalam penyusunan
UUK baru saja diundangkan dan berlaku UUK adalah masalah pengakuan
sejak tanggal 30 September 1999. Yang hukum adat dan/atau desentralisasi
berarti belum satu tahun diterapkan. pengelolaan hutan. Namun demikian
Akseptasi rakyat terhadap suatu UU dalam prakteknya ternyata pasal-
sebenarnya baru bisa diukur secara lebih pasal UUK masih gamang dan serba
obyektif melalui suatu penelitian lapangan bimbang dalam menyikapi ide
(atau paling tidak angket) kepada para tersebut. Terbukti dengan
pemerhati masalah lingkungan, dan lebih pengaturan pasal-pasal berikut :
spesifik lagi masalah kehutanan. Namun,
karena tidak didasarkan pada penelitian a. Definisi "Hutan Adat" yang masih
lapangan tersebut, maka tulisan ini hanya mengacu kepada kepada "Hutan
dimaksudkan untuk mengukur tingkat Negara" menunjukkan tingkat
akseptasi masyarakat dari proses kebimbangan yang cukup tinggi
pembuatan (legislasi) UUK itu saja. (Pasal 1). Padahal Hutan Negara
adalah hutan yang berada pada
Metode dan indikator yang dipergunakan tanah yang tidak dibebani hak atas
untuk memprediksi tingkat akseptasi tanah, artinya UUK, yang
masayarakat terhadap UUK tersebut adalah mendefinisikan bahwa Hutan Adat
sebagai berikut : Hutan Negara yang berada dalam
wilayah masyarakat hukum adat
1. Sejauh mana ide dasar yang tidak mengakui keberadaan hak
berkembang di kalangan ulayat masyarakat adat yang
masyarakat yang direpresentasikan sebenarnya justru dijamin dalam
oleh LSM dan Perguruan Tinggi Pasal 3 UUPA Nomor 5 Tahun
(baca : para Stake Holder) sewaktu 1960.
UUK itu disusun terakomodasi b. Interpretasi "kepentingan nasional"
dalam hasil akhir UUK. Tesisnya dalam Pasal 4 ayat (3) yang sangat
adalah, semakin banyak ide dan terkait dengan "hak masyarakat
gagasan yang terakomodasi dalam hukum adat" sama sekali tidak jelas
UUK, maka tingkat akseptasi rakyat kriterianya. Penjelasan UUK ---
dapatlah "dianggap" semakin baik, seperti telah sangat dapat diduga ---
begitu juga sebaliknya; hanya menyebutkan "cukup jelas"
2. Apakah ada pasal karet di dalam untuk kepentingan nasional yang
UUK tersebut. Tesisnya adalah sangat karet interprestasinya.
adanya pasal karet berpotensi c. Pasal 5 yang kelihatannya
mempertinggi tingkat resistensi merupakan pengakuan eksistensi
masyarakat terhadap UUK; masyarakat adat pada
3. Seberapa banyak aturan di dalam kenyataannya lebih merupakan
UUK tersebut mensyaratkan "deklarasi kooptasi negara terhadap
pengaturan lebih lanjut dalam aturan hutan adat". Pengaitan antara status
yang lebih rendah; hukum adat dengan keberadaan
masyarakat adat menyebabkan
Berikut ini adalah uraian lebih rinci dari kegamangan terlihat jelas di dalam
ketiga poin di atas : pasal tersebut. Kapankah suatu
masyarakat adat diakui, yang berarti
diakuinya pula hutan adat

 
 

masyarakat tersebut, tidak kepentingan umum atau nasional


mempunyai dasar pengaturan yang para pemodal kuat kemudian
tegas. Satu-satunya dasar hukum mengangkangi hutan menjadi
penentuan keberadaan hukum adat kapling-kapling kepemilikan pribadi
hanya diulas singkat dalam pasal 67 (vide pasal 4 ayat (3).
UUK. Padahal ketentuan pasal 67
ayat (2) yang mensyaratkan 2. Pendelegasian Aturan ke PP,
pengukuhan keberadaan dan Instruksi Menteri dan Peraturan
hapusnya masyarakat adat dengan Daerah
Peraturan Daerah (Perda) sangat
membuka peluang bahaya di tingkat UUK membuka potensi untuk tidak dicintai
pelaksanaan di lapangan. Pasal 115 masyarakat karena memberikan check
Undang-undang Pemerintah Daerah kosong yang lumayan besar kepada
(UU Nomor 22 Tahun 1999) Presiden (pemerintah) untuk mengatur
menyatakan bahwa "Pemerintah sebagian besar masalah kehutanan melalui
dapat membatalkan Peraturan PP dan instruksi menteri.
Daerah …… yang bertentangan
dengan kepentingan umum atau Ada 17 PP yang diwasiatkan oleh
peraturan perundangan lainnya." UUK yaitu :
Dengan demikian, dapat saja suatu
Perda yang sudah mengukuhkan 1. PP tentang kepentingan pengaturan
keberadaan suatu masyarakat adat iklim mikro, estetika, dan resapan air
dihapus oleh pemerintah pusat di kota (Pasal 9).
berdasarkan alasan kepentingan 2. PP tentang Inventarisasi Hutan
umum, yang untuk kesekian kalinya (Pasal 13).
ngaret dan tidak jelas interpretasi 3. PP tentang Penatagunaan Kawasan
dan indikatornya. Hutan (Pasal 16).
4. PP tentang Perubahan Peruntukan
Lebih jauh lagi posisi dan Fungsi Hutan (Pasal 19).
Peraturan Daerah yang 5. PP tentang Rencana Kehutanan
berdasarkan Tap MPRS (Pasal 20).
XX/MPRS/1966 tidak jelas 6. PP tentang Tata Hutan dan
letak hirarkisnya menyiratkan Penyusunan Rencana Pengelolaan
bahwa negara hanya (pasal 22).
memandang setengah belah 7. PP tentang Pembatasan Izin Usaha
mata kepada eksistensi Pemanfaatan Hutan (Pasal 31).
masyarakat dan hutan adat. 8. PP tentang Pemanfaatan dan
Penggunaan Kawasan Hutan (Pasal
1. Pasal Karet 39).
9. PP tentang Rehabilitasi Hutan
Sebagaimana jurus pendekar hukum (Pasal 42).
mabuk yang sering digunakan 10. PP tentang Reklamasi Hutan (Pasal
semasa Orde Baru, pasal karet 44).
masih muncul dalam wujudnya yang 11. PP tentang Reklamasi di luar
khusus yaitu atas nama kepentingan Kegiatan Kehutanan (Pasal 45).
umum dan kepentingan nasional 12. PP tentang Perlindungan Hutan dan
yang dalam praktek di lapangan Konservasi Alam (Pasal 48).
menjadi kepentingan yang multi 13. PP tentang Penelitian, Diklat dan
interpretatif. Dalam kenyataannya Penyuluhan (Pasal 58).
pula, akhirnya atas nama

 
 

14. PP tentang Pengawasan Kehutanan harapan-harapan reformasi kehutanan


(Pasal 65). karena jarak yang lebar antara ide awal
15. PP tentang Masyarakat Hukum Adat dengan hasil akhir pasal, pengaretan pasal,
(Pasal 67). dan terlalu banyak pendelegasian aturan.
16. PP tentang Forum Pemerhati
Kehutanan (Pasal 70). DAFTAR PUSTAKA
17. PP tentang Ganti Rugi dan Sanksi
Administratif (Pasal 80). Bambang Pamulardi, S.H.,
Hukum Kehutanan dan
Di samping itu UUK juga mensyaratkan dua Pembangunan Bidang
Instruksi Menteri yaitu Pasal 17 ayat (3) dan Kehutanan, Rajawali Pers,
Pasal 33 ayat (2), dan pengaturan Perda Jakarta, 1999.
eksistensi masyarakat adat, Pasal 67).
Boedi Harsono, Prof., Hukum
Kemajuan UUK Agraria Indonesia,
Djambatan, Jakarta, 1999.
Agar terjadi keseimbangan dalam
penilaian, kiranya perlu juga disampaikan, Satjipto Rahardjo, Prof., Dr.,
bahwa UUK sudah mengalami kemajuan S.H., Ilmu Hukum, PT. Citra
yang cukup apabila dibandingkan dengan Aditya Bakti, Bandung 1996.
UU 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Kehutanan yang terlalu Sudikno Mertokusumo, Prof.,
pendek dan singkat dalam mengatur Dr., S.H.., MENGENAL
kehutanan (hanya 22 Pasal). Di bawah ini HUKUM, Suatu Pengantar,
hanyalah contoh beberapa ide-ide dasar Liberty, Yogyakarta, 1996.
yang relatif baru dalam UUK :
Undang – undang :
1. Pengakuan istilah hukum adat dan
masyarakat hukum adat. 1. Tiga Undang-undang Dasar
2. Peran serta masyarakat dalam Republik Indonesia, Sinar Grafika,
pembangunan hutan (Pasal 68 – 1992.
70). 2. Undang-undang Otonomi Daerah
3. Gugatan Perwakilan (Pasal 71); 1999, Karya Utama, Surabaya,
Namun tetap dengan catatan bahwa 2000.
gugatannyapun masih dibatasi pada 3. Undang-undang Nomor 41 Tahun
tuntutan pengelolaan hutan yang 1999 tentang Kehutanan.
tidak sesuai dengan peraturan 4. Undang-undang Nomor 5 tahun
perundang-undangan yang berlaku. 1967 tentang Ketentuan-ketentuan
4. Penyelesaian Sengketa di luar Pokok Kehutanan.
pengadilan (Pasal 74); Membuka 5. Undang-undang Nomor 5 tahun
peluang untuk dilakukannya 1960 tentang Peraturan Dasar
Alternative Dispute Resolution. Pokok-pokok Agraria.

Kesimpulan • Denny Indrayana, S.H., L.LM adalah


staf pengajar Fakultas Hukum
Masyarakat kehutanan akan melihat Universitas Muhammadiyah
UUK sebagai suatu kemajuan apabila Yogyakarta, Praktisi Hukum serta
dibandingkan dengan UU 5/1967. Namun aktivis pada Lembaga Bina
demikian, masih banyak substansi atau Kesadaran Hukum Indonesia
esensi UUK yang belum memenuhi (LBKHI) Yogyakarta

 
 

Opini berlaku sebagai penarik kereta bagi


realisasi optimisme ke depan, terlepas dari
begitu banyaknya catatan yang harus selalu
KEHUTANAN INDONESIA PASCA
disertakan dalam pembicaraan mengenai
PEMBERLAKUAN UU No. 41 TAHUN
UU tersebut. Sebagai sebuah perwujudan
1999
amanat banyak pihak (termasuk generasi
mendatang), implementasi peraturan yang
(ANTARA KEBERLANJUTAN DAN baru itu semestinya mampu mempercepat
tumbuhnya sistem pengelolaan hutan yang
MARAKNYA KONFLIK) ideal. Selama ini - diakui atau tidak - sistem
ideal tersebut tidak pernah terbangun,
Oleh: Faisal H. Fuad bahkan proses untuk menuju ke sana
acapkali hanya tertinggal di laci-laci meja
Dengan berlakunya UU No. 41 tahun 1999, para birokrat. Sementara di sisi lain,
harapan pengelolaan hutan yang adil, masyarakat (lokal) yang telah sekian lama
lestari dan demokratis digantungkan. mampu membangun sistem ideal tersebut
Permasalahannya ternyata UUK tersebut dengan segala keterbatasannya, sangat
tidak juga beranjak dari pola pikir timber jarang memperoleh ruang gerak yang
extraction dalam pendekatannya. mampu menyediakan berkembangnya ide-
ide dan referensi yang sebenarnya sangat
Konflik SDH dan Benturan Kepentingan diperlukan dalam menjaga keberlanjutan
antar Pihak SDH Indonesia.

Persoalan yang terus menerus mendera Yang tertinggal selama ini hanyalah
keberlanjutan fungsi dan manfaat sumber tumbuhnya persepsi aparat pemerintah
daya hutan (SDH) Indonesia, oleh tentang posisi masyarakat lokal (dan pihak-
sementara pihak diasumsikan akan dapat pihak di luar pemerintah yang lain), yang
dipercepat penyelesaiaannya, manakala selalu dianggap berpotensi untuk merusak
aspek legal pengelolaan SDH mampu hutan dan mengganggu usaha pemerintah
ditegakkan oleh pihak pemegang melaksanakan agenda-agenda sustainable
wewenang (pemerintah). Asumsi semacam forest management. Pada prakteknya,
itu berangkat dari begitu banyaknya keberpihakan lebih banyak diberikan
pekerjaan rumah yang tertinggal dalam kepada para pemodal besar dan kalangan
mewujudkan pengelolaan hutan yang birokrat dalam BUMN, dengan berbagai
berkelanjutan, khususnya yang berkaitan macam cara (termasuk peruntukan dana
dengan lemahnya aspek penegakan reboisasi bagi industri elit). Kesemuanya itu
hukum. Berbagai bentuk pelanggaran yang ternyata mengakibatkan suatu keprihatinan
terjadi, secara keseluruhan telah yang amat mendalam terhadap hutan kita;
menyebabkan menurunnya kualitas dan bukan saja karena kerusakan yang telah
kuantitas SDH secara drastis. Gambaran terjadi, namun lebih jauh lagi di sana-sini
yang amat nyata tentang hal itu salah kemudian merebak fenomena konflik atau
satunya terlihat manakala hamparan hutan sengketa yang amat nyata berkaitan
asli kita yang semula menempati areal dengan pemanfaatan SDH. Konflik yang
seluas lebih kurang 142 juta ha menjadi muncul tidak jarang bermula dengan
tinggal 96 juta ha, yang berarti mengalami kekerasan, berkembang menjadi kekerasan
laju kerusakan lebih dari 1 juta ha per tahun yang lebih besar, dan berakhir dengan cara-
(Kompas, 13 Mei 2000). cara kekerasan pula. Berbagai informasi
mengenai hal ini telah banyak kita ketahui,
Diundangkannya UU 41 tahun 1999 tentang baik dari media massa yang melaporkannya
Kehutanan kemudian diharapkan dapat maupun dengan mata kepala kita sendiri-
sendiri di sekitar tempat tinggal masing-

 
 

masing. Sungguh ini merupakan fakta


sejarah kehutanan Indonesia, dan segenap Batas-batas SDH dan kelompok-
pihak dituntut untuk segera mengagas kelompok pengguna yang jelas
tersusunnya titik-titik terang bagi upaya Aturan pemanfaatan yang spesifik
penyelesaiannya. dan sesuai dengan kondisi lokal
Modifikasi kebijakan dilakukan
Tidak dapat dipungkiri bahwa konflik secara partisipatif dan dikelola
pengelolaan hutan yang terjadi, melibatkan secara lokal
berbagai kepentingan karena keberadaan Para pengguna memantau ketaatan
banyak pihak yang sama-sama terhadap aturan-aturan yang telah
memanfaatkan keberadaan hutan. dibuat
Perbedaan kepentingan terhadap SDH Terdapat mekanisme penyelesaian
bagaimanapun tidak dapat dihindari, konflik yang efisien
misalnya dalam hal property khususnya Hak-hak dan institusi lokal bersifat
selama hutan tersebut belum menjadi hutan independen
privat dengan property right yang relatif Para pengguna menetapkan dan
stabil. Faktanya, sebagian besar hutan kita menerapkan sanksi yang mengikat
berada pada kondisi dimana resource
property right tersebut belum saling 1. Pada situasi khusus, dikembangkan
dihormati, dalam arti kesepakatan- sistem pemerintahan daerah yang
kesepakatan untuk mengamankan hak secara keseluruhan overlapping
kelola yang dimiliki masing-masing pihak (bertaut) dengan sistem lokal
belum cukup terbangun secara menyeluruh. (Orstom, 1990).
Apa yang terjadi di lapangan, baik yang
berupa konflik kawasan, konflik Sementara itu dunia kehutanan akhir-akhir
pemanfaatan hasil, birokrasi pengelolaan, ini telah diwarnai pula dengan
hingga tata niaga hasilnya; mencerminkan berkembangnya paradigma community
besarnya perbenturan kepentingan based forest management (CBFM), yang
tersebut. Pada bagian lain, tergambar pula dicirikan oleh tersedianya ruang yang
adanya jurang pemisah yang amat dalam memadai bagi masyarakat (khususnya
antara kepentingan masyarakat sekitar masyarakat desa hutan) untuk bertindak
hutan, yang seharusnya menjadi prioritas selaku manager dalam pengelolaan SDH di
pertama dalam pembicaraan tentang SDH, sekitar mereka. Diyakini bahwa CBFM
dengan berbagai pihak lain yang juga merupakan alternatif sistem kehutanan baru
terlibat. yang dapat menjamin keberlanjutan SDH,
sekaligus sarana mengarahkan perubahan
Aspek Keberlanjutan Sumber Daya sosial di kalangan masyarakat. Konsepsi
Hutan tentang elemen-elemen penting dari CBFM,
secara umum terdiri dari:
Ketika KTT Bumi di Rio tahun 1992
mencuatkan isu tentang pentingnya 1. Jaminan proses partisipasi
pembangunan berkelanjutan, maka peluang 2. Kesetaraan gender
bagi terlibatnya masyarakat secara penuh 3. Mekanisme pengelolaan sengketa
dalam pengelolaan hutan semakin 4. Penguatan proses produksi ekonomi
berkembang, paralel dengan tumbuhnya level rumah tangga
wacana baru dalam pengelolaan SDH di 5. Penerapan desentralisasi
banyak negara. Secara umum, sustainable 6. Pengembangan sistem, prosedur,
forest mangement (SFM) berlandaskan dan pola-pola manajemen yang
pada prinsip berikut: adaptif (FTP, Mei 1999).

 
 

Terlihat bahwa dalam kerangka besarnya, yang beragam dan intensitas yang
terdapat overlapping dan kesesuaian yang bermacam-macam. Konflik yang terjadi
nyata antara prinsip SFM dan konsepsi dapat melibatkan dua pihak, banyak pihak,
CBFM. Kebutuhan tentang jaminan dan bahkan dapat merentang antar
partisipasi, kesetaraan, manajemen atas generasi. Adanya kompleksitas konflik SDH
dasar kesepakatan antar pihak, dan hal-hal menyebabkan praktek-praktek
lain yang secara garis besar membuka penyelesaiannya harus fleksibel dan
akses bagi terbangunnya mekanisme beragam pula.
pengelolaan berbasis masyarakat; terbukti
amat diperlukan bagi pembicaraan tentang Apa yang kemudian dituntut oleh banyak
keberlanjutan SDH. Salah satu aspek yang pihak akhir-akhir ini adalah perlunya suatu
cukup mendasar dalam mengagas Grand Design baru mengenai upaya
pengelolaan SDH berkelanjutan di masa pengelolaan SDH Indonesia masa depan
depan adalah tersedianya mekanisme yang berlandaskan keberlanjutan dan ruang
penyelesaian sengketa yang praktis, cepat, gerak yang memadai bagi masyarakat. Oleh
efisien, dan berlangsung secara terbuka. karenanya dialog-dialog antar pihak menjadi
Dengan demikian terdapat pembenaran sebuah prakondisi yang amat diperlukan
konseptual terhadap perlunya bagi upaya tersebut, sebelum secara lebih
menginisiasikan proses-proses jauh menindaklanjuti proses-proses
penyelesaian konflik secara penyelesaian konflik secara praktis.
berkesinambungan, dalam setiap skenario Kebutuhan tentang hal ini tidak dapat
pengelolaan hutan secara berkelanjutan ditawar-tawar lagi, dan dengan demikian
dan berbasis masyarakat. UU 41 sebagai inisiatif kebijakan terbaru
diharapkan akan dapat memberikan ruang-
Penyelesaian Konflik Alternatif ruang secara legal serta mempercepat
proses dimaksud.
Belajar dari kondisi faktual yang ada
sekarang, semua pihak menyadari bahwa Pada dasarnya inisiatif penyelesaian konflik
memang tidak mudah untuk segera yang berkaitan dengan pengelolaan SDH
mengimplementasikan apa yang melalui proses-proses dialog antar pihak,
disyaratkan oleh paradigma SFM dan telah memperoleh peluang dan diatur pada
CBFM itu. Pengalaman yang telah sekian pasal 74 UU 41 tahun 1999 ayat (1), yang
lama terbangun dalam kehutanan Indonesia menyebutkan bahwa:
adalah munculnya kekakuan sistem state
based yang melibatkan berbagai kebijakan Penyelesaian sengketa
yang amat top down. Aparat departemen kehutanan dapat ditempuh melalui
kehutanan yang selama ini merasa pengadilan atau di luar pengadilan
menduduki posisi sebagai pemegang berdasarkan pilihan secara sukarela
otoritas pengelolaan hutan, belum mampu para pihak yang bersengketa.
secara faktual menyediakan jembatan bagi
dialog kepentingan menuju penyelesaian Berangkat dari apa yang termaktub dalam
konflik tersebut, yang berlangsung dalam pasal tersebut, terdapat celah yang besar
suatu proses yang demokratis dan terbuka. bagi pihak-pihak yeng bersengketa untuk
Prinsip yang selama dianut oleh aparat menempuh mekanisme penyelesaian baik
memunculkan pengambilan posisi yang melalui pengadilan, maupun di luar
mengesankan bahwa kepentingan tersebut pengadilan secara sukarela-atau yang lebih
seolah-olah menjadi bagian dari birokrasi, dikenal dengan Alternative Dispute
dan semangat untuk menempatkan diri Resolution (ADR). Tanpa harus membahas
sebagai fasilitator tidak pernah diusahakan lebih jauh tentang mekanisme ADR ini,
dengan serius. Dalam konteks pengelolaan harus diakui bahwa dengan munculnya
hutan, konflik sering terjadi dalam cakupan

 
 

klausul ini dalam UU 41, keragu-raguan para pihak dan atau pendampingan
terhadap tegaknya proses adjudikasi organisasi non pemerintah untuk
melalui peradilan formal setidaknya telah membantu penyelesaian sengketa
memperoleh jawabannya. Banyak literatur kehutanan.
menyebutkan bahwa proses ADR memiliki
latar belakang historis yang signifikan di Penyelesaian konflik alternatif dalam
dalam masyarakat kita, khususnya ketika konteks pengelolaan SDH secara
praktek-praktek musyawarah untuk mufakat berkelanjutan harus mengenali lebih jauh
disepakati menjadi akar bagi aspek-aspek yang telah berkembang di
berkembangnya proses-proses sosial masyarakat; dengan penyesuaian yang
budaya. Masyarakat lokal dalam mengelola optimal terhadap kondisi, pengetahuan, dan
sumber daya alam termasuk hutan, diyakini informasi yang telah ada. Mengingat dari
memiliki pandangan budaya dan praktek- waktu ke waktu konflik SDH yang terjadi
praktek tradisional yang spesifik tentang belum juga mereda, amatlah mendesak
konflik dan cara penyelesaiannya. untuk memahami penyebab konflik yang
Masyarakat biasanya menggunakan ada, melalui pendekatan manajemen
praktek-praktek tradisional, mekanisme penyelesaian konflik yang sesuai; dengan
kelembagaan lokal, serta aturan-aturan melandasi pada perbedaan kepentingan
yang melengkapi perspektif kebudayaan yang ada. Ketimpangan yang terjadi antara
yang mereka anut. pihak masyarakat desa hutan dan pihak-
pihak lain di luarnya, sebagai contoh,
Berkenaan dengan jenis-jenis konflik yang mensyaratkan proses penggalian lebih jauh
dapat diselesaikan melalui proses resolusi terhadap kebutuhan mereka secara
alternatif ini, lebih jauh dijelaskan di dalam partisipatif. Persoalan yang kemudian
pasal 75 (2) yang berbunyi: muncul di depan mata adalah perlunya
mekanisme-mekanisme ini dapat
Penyelesaian sengketa kehutanan di terlembagakan dalam waktu yang tidak
luar pengadilan dimaksudkan untuk terlalu lama. Inisiatif ini akan sulit dilakukan
mencapai kesepakatan mengenai ketika kebijakan operasional yang
pengembalian suatu hak, besarnya dikembangkan oleh aparat pelaksana belum
ganti rugi, dan atau bentuk tindakan mampu mengadopsi berbagai participatory
tertentu yang harus dilakukan untuk tools yang sebetulnya tersedia secara luas.
memulihkan fungsi hutan.
Catatan sebagai Epilog
Dengan demikian konflik yang berkaitan
dengan benturan hak (termasuk tenurial Proses dialog secara terbuka antar
system), kehilangan akses atas sumber berbagai pihak dalam proses penyelesaian
daya hutan, kerugian akibat kerusakan konflik menuju pengelolaan hutan
sumber daya hutan, serta sistem pemulihan berkelanjutan memiliki arti yang amat
fungsi dan manfaat sumber daya hutan; penting. Dialog tersebut bertujuan untuk
secara keseluruhan dapat ditempuh proses menjamin adanya representasi para pihak
penyelesaiannya melalui mekanisme di luar secara penuh dan akurat, serta menjamin
pengadilan (ADR). Ayat (3) dari pasal 75 adanya pengakuan terhadap posisi,
menyebutkan bahwa: kepentingan-kepentingan, dan keterlibatan
mereka dalam konflik yang ada.
Dalam penyelesaian sengketa Pendekatan penyelesaian konflik alternatif
kehutanan di luar pengadilan hanya akan berkembang selama diterapkan
sebagaimana dimaksud pada ayat dalam situasi yang melibatkan banyak
(2) dapat digunakan jasa pihak pihak, terutama atas kenyataan adanya
ketiga yang ditunjuk bersama oleh berbagai kepentingan dan posisi yang

 
 

berbeda dalam pengelolaan SDH. MEMPERSOALKAN KEMUNGKINAN


Mengingat konflik yang demikian marak
akhir-akhir ini, percepatan mutlak diperlukan JUDICIAL REVIEW
dan gagasan untuk merevisi sistem
perencanaan kehutanan secara mendasar, PERATURAN PEMERINTAH BIDANG
dengan mengikutsertakan aspirasii KEHUTANAN
masyarakat di dalamnya, telah menjadi
catatan penting. Semangat untuk Oleh: Totok Dwi Diantoro
memunculkan dialektika antar pihak
sepatutnya menjadi bagian yang tidak Wacana Judicial Review selama ini – oleh
terpisahkan pada saat-saat ini, khususnya sistem kita – hanya dipahami sekedar hak
ketika klausul-kalusul pada UU 41 telah uji materiil terhadap suatu peraturan
mulai diterjemahkan dalam aturan-aturan perundang-undangan yang bertentangan
pelaksanaan (antara lain Peraturan secara hierarkis satu-sama lain (PERMA
Pemerintah). Keberpihakan terhadap No. 1 tahun 1993). Akan tetapi secara
kepentingan masyarakat selanjutnya substansial bahwa peraturan perundang-
menjadi suatu keniscayaan, mengingat undangan tersebut –secara mandiri- tidak
dalam setiap konflik yang muncul, pihak akomodatif serta jauh dari rasa adil dan
yang paling menderita adalah masyarakat demokratis belum juga tersentuh oleh hak
sekitar hutan, di samping tentu saja sumber
uji materiil.
daya hutan itu sendiri.

Rancangan Peraturan Pemerintah dalam


Yogyakarta, Mei 2000 bidang Kehutanan saat ini sedang dibahas
secara serius oleh instansi sektoral, dalam
hal ini adalah Departemen Kehutanan dan
Perkebunan. Informasi terbaru yang
Daftar Pustaka diterima oleh Litbang ARuPA, setidaknya
sudah ada delapan legal drafting
Forest, Tree and People Rancangan Peraturan Pemerintah bidang
Newsletter, No. 41/42, Mei kehutanan baru, sudah jadi dan siap
1999 diundangkan. Legal drafting RPP tersebut
antara lain meliputi :
Kompas, 13 Mei 2000
1. RPP tentang Hutan Adat
Orstom, 1990 dalam 2. RPP tentang Peranserta
Momiaga, Sandra, 1998, Masyarakat Dalam
Pembangunan Kehutanan Pembangunan Kehutanan
Berwawasan Lingkungan, 3. RPP tentang Penelitian dan
Tidak dipublikasikan Pengembangan, Pendidikan
dan Latihan, serta
Penyuluhan Kehutanan
4. RPP tentang Perlindungan
• Faisal Husnul Fuad, adalah Hutan dan Konservasi Alam
Presidium Aliansi Relawan Untuk 5. RPP tentang Tata Hutan dan
Penyelamatan Alam (ARUPA) dan Penyusunan Rencana
menjabat sebagai Kepala Hubungan Pengelolaan Hutan serta
Luar. Pemanfaatan Hutan dan
Penggunaan Kawasan Hutan

 
 

6. RPP tentang Rehabilitasi dan proses pembuatan dan penyusunan Udang-


Reklamasi Hutan Undang, kontrol publik dilembagakan dalam
7. RPP tentang Hutan Kota perwakilan di parlemen, walaupun kontrol
8. RPP tentang Perencanaan publik dalam lembaga perwalkilan tersebut
Hutan. sendiri masih debateble akseptabilitasnya.

Draf jadi Rancangan peraturan Pemerintah Beranjak dari hal itu, tidak salah jika
tersebut disusun guna memenuhi tuntutan kemudian dikembalikan pada itikad baik
pengaturan lebih lanjut, dimana telah eksekutif sebagai institusi perumus produk
didelegasikan oleh beberapa pasal (17 kebijakan tersebut. Namun tidak keliru dan
pasal) dalam UU No. 41 tahun 1999 tentang tidak berlebihan juga kiranya kalau
kehutanan, yang menentukan peraturan kemudian kemungkinan tetap ada peluang
pelaksanannya dalam Peraturan kritik dan koreksi untuk digunakan.
Pemerintah. Terlepas dari pro dan kontra
keberadaan UUK No.41 tahun 1999 yang Fenomena distorsi dalam suatu peraturan
menggantikan UU No. 5 tahun 1967 apakah pelaksanaan berupa Peraturan Pemerintah
telah demokratis, aspiratif-akomodatif adalah bukan hal baru lagi. Distorsi
mengadopsi hak-hak dan kepentingan pengaturan lebih lanjut boleh jadi
rakyat, pada kenyataannya UU tersebut merupakan usaha pemlintiran bahasa
telah diundangkan (Lembaran Negara RI terjemahan dalam Peraturan Pemerintah
tahun 1999 No.167 tanggal 30 september maupun interpretasi dalam contens/materi
1999) sehingga membawa konsekuensi peraturan pelaksanaan yang bersangkutan.
berlaku mengikat. Sering sekali (kalau tidak selalu) di dalam
Udang-Undang sudah mengatur secara
Oleh karena itu agenda selanjutnya adalah bagus dan ideal, tetapi kemudian
segera dibuatnya peraturan pelaksanaan mengalami disfungsii dalam
berupa Peraturan Pemerintah. Mengingat pelaksanaannya. Bukan saja karena tidak
bahwa proses pembuatan suatu suatu segera keluar peraturan pelaksanaanya,
Peraturan Pemerintah sepenuhnya adalah tetapi juga karena peraturan pelaksanaan
otoritas instansi sektoral yang bersangkutan tersebut malah mereduksi peran Undang-
(eksekutif), maka tidak mustahil Peraturan Undang itu sendiri. Akan tetapi di sisi lain
Pemerintah tersebut nantinya tendensius tidak tertutup kemungkinan ada juga
berpihak pada kepentingan Peraturan Pemerintah yang bagus dan
pembuatnya.Peraturan perundang- ideall yang bisa mendukung peran
undangan yang lahir dari ambisi dan berlakunya suatu Undang-Undang yang
delegasi kewenangan (untuk mengatur lebih materinya secara teknis teoritis-normatif
lanjut suatu peraturan perundangan dengan tidak baik.
peraturan yang lebih rendah) tidak jarang
merupakan pandangan dan kehendak Suatu peraturan perundang-undangan
sepihak dari pembuatnya yang idealnya harus memenuhi tiga unsur
konsistensinya dengan peraturan yang sebagai parameter guna mempunyai
menjadi dasarnya sering sekali kekuatan berlaku. Ketiga unsur tersebut:
dipersoalkan (kecenderungan untuk harus mempunyai kekuatan berlaku yuridis,
menyimpang dari peraturan yang lebih sosiologis dan filosofis sekaligus
tinggi dapat diselesaikan melaui judicial (Mertokusumo, 75: 1991).
review ). Tanpa bermaksud apiori, hal itu
mungkin sekali terjadi dikarenakan oleh Pertama, kekuatan berlaku yuridis
tidak adanya ruang dan kesempatan bagi (juristsche geltung), peraturan perundang-
kontrol publik yang cukup berarti. Berbeda undangan mempunyai kekuatan berlaku
halnya dengan proses pembuatan dan yuridis apabila persyaratan formal (meliputi
penyusunan Undanng-Undang. Dalam

 
 

proses) terbentuknya perundangan tersebut Sekilas mengenai Rancangan Peraturan


terpenuhi. Di samping itu hirarki tata urutan Pemerintah tentang Hutan Adat
peraturan perundangan tersebut juga
diperhatikan. Dalam mengkritisi rancangan Peraturan
Pemerintah tentang Hutan Adat, khususnya
Kedua, kekuatan berlaku sosiologis dari segi contents/materi draf jadi yang
(soziologische geltung), yaitu intinya adalah dibuat oleh Departement Kehutanan dan
efektivitas atau guna kaedah hukum di Perkebunan terdapat beberapa ketentuan
dalam kehidupan bersama. Yang yang patut diberi catatan dan koreksi.
dimaksudkan ialah, bahwa berlakunya atau Secara heirarkhis rancangan Peraturan
diterimanya hukum di dalam masyarakat itu, Pemerintah tentang Hutan Adat ini
terlepas dari kenyataan apakah peraturan merupakan peraturan pelaksanaan dari UU
hukum itu terbentuk menurut persyaratan No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, yatiu
formal atau tidak. Jadi berlakunya peraturan Pasal 5 dan Pasal 67 yang memang secara
perundangan merupakan kenyataan di eksplisit mendelegasikan untuk adanya
dalam masyarakat. Kekuatan berlakunya peraturan pelaksanaan berupa Peraturan
hukum di dalam masyarakat ini sendiri ada Pemerintah.
dua macam:
Dari sisi disiplin susunan legal drafting RPP
1. Menurut teori kekuatan tentang Hutan Adat ini bisa dikatakan telah
(Machtstheorie), hukum terpenuhi. Antara lain yaitu, dalam hal
mempunyai kekuatan berlaku Pembukaan, Penamaan, Isi dan Penutup
sosiologis apabila secara redaksional telah terpenuhi semua,
dipaksakan berlakunya oleh mengingat hal tersebut memang sudah
penguasa, terlepas dari baku. Bagian Isi peraturan perundangan itu
diterima ataupun tidak oleh sendiri meliputi: Ketentuan Umum, Materi
warga masyarakat. Yang Bersangkutan, Sanksi/Ketentuan
2. Menurut teori pengakuan Pidana dan Ketentuan Peralihan. Kajian
(Anerkennungstheorie), kritis contens RPP tentang Hutan Adat
hukum mempunyai kekuatan tersebut, antara lain:
berlaku sosiologis apabila
diterima dan diakui oleh 1. Bagian
warga masyarakat. Teori Pembukaan/konsideran,
yang terakhir tersebut adalah pada bagian ini meliputi;
kekuatan berlaku sosiologis ketentuan menimbang dan
yang ideal. mengingat. Pada ketentuan
menimbang yang merupakan
Ketiga,kekuatan berlaku filosofis konstatasi latar belakang
(filosofische geltung), peraturan keberadaan suatu peraturan
perundangan mempunyai kekuatan berlaku perundang-undangan, yaitu
filosofis apabila kaedah hukum tersebut rancangan Peraturan
sesuai dengan cita-cita hukum (Rechtsidee) Pemerintah tersebut terdapat
sebagai nilai positif yang tertinggi. Selain itu kalimat yang pada
adalah latar belakang/dasar pemikiran yang substansinya merupakan
memberikan alasan yang memberikan bentuk deklarasi kooptasi
pandangan hendak dibawa kemanakah negara terhadap
(:tujuan normatif) peraturan perundang- penguasaan sumber daya
undangan tersebut. Jadi idealnya ketiga hutan. Kalimat tersebut ada
unsur tersebut harus terpenuhi secara pada huruf a. yang berbunyi,"
komulatif. …merupakan kekayaan yang

 
 

dikuasakan kepada pada Pasal 2 perlu ditambah


Negara…" Kalimat ini hanya klausul yang merupakan
akan memperlihatkan bahwa tujuan utama yang berbunyi,"
pemberian pengelolaan Tujuan Pemberian dan atau
Hutan Adat kepada Pengembalian Pengelolaan
masyarakat hukum adat Hutan Adat kepada
(rechtsgemenscaap) masih Masyarakat Hukum Adat
setengah hati. Tidak adalah memberi dan
memperlihatkan itikad menjamin perlindungan
negara untuk mengakui dan sepenuhnya hak mengelola
mengembalikan hak hutan kawasan hutan adat oleh
adat yang telah dinegaraisasi Masyarakat Hutan Adat". Hal
kepada masyarakat hukum itu sangat perlu mengingat
adat. Pada ketentuan dalam Peraturan Pemerintah
mengingat, peraturan- tersebut harus jelas bahwa
peraturan yang yang lebih tujuan kebijakan ini adalah
tinggi yang mendasari pemberian hak pengelolaan
rancangan Peraturan kawasan hutan kepada
Pemerintah tersebut telah Masyarakat Hukum Adat.
terpenuhi Pasal 5 ayat (1)
2. Bagian Penamaan, tidak menyebutkan mengenai
terdapat permasalahan yang kriteria keberadaan
cukup berarti dengan judul/ masyarakat hukum adat. Hal
nama rancangan Peraturan itu sebenarnya merupakan
Pemerintah tentang Hutan pengulangan dari penjelasan
Adat. Tetapi lebih sepakat Pasal 67 ayat (1) UUK,
jika menggunakan nama seyogyanya tidak perlu lagi
Hutan Ulayat. diatur lagi dalam Peraturan
3. Bagian Isi, dalam Ketentuan Pemerintah. Tetapi langsung
Umum Pasal 1 butir (10) saja ditetapkan menurut
terdapat kalimat," Peraturan Daerah. Pasal 7
Masyarakat Hukum Adat huruf d. mengenai kewajiban
adalah masyarakat hukum masyarakat hukum adat
adat yang diakui yang diakui keberadaannya
keberadaannya dan wajib untuk," Sesuai tahapan
ditetapkan dengan Peraturan pemanfaatan Hutan Adat,
Daerah" . Agar lebih membayar pajak bumi dan
menekankan pada bangunan atas lahan hutan
pengakuan eksistensi adat" . Ada baiknya
masyarakat hukum adat pemuatan ketentuan tersebut
tersebut ada baiknya jika dihilangkan. Hal itu
dalam definisi tersebut mengingat penetapan pajak
ditambah menjadi sebagai bumi dan bangunan atas
berikut," Masyarakat Hukum lahan hutan adat logikanya
Adat adalah masyarakat tidak berdasar. Pasal 10 ayat
dalam satu kesatuan hukum (3) tertulis ," Tata Hutan dan
adat yang diakui Rencana Pengelolaan Hutan
keberadaannya dan Adat disahkan oleh Menteri".
ditetapkan dengan Peraturan Tawaran revisinya adalah
Daerah". Dalam bagian disahkan oleh pemerintah
Materi Yang Bersangkutan daerah dengan diketahui

 
 

oleh Menteri. Sehingga Polemik Judicial Review suatu Peraturan


Menteri sekedar berperan Pemerintah
sebagai pejabat yang bersifat
konsultatif saja. Ketentuan Obyek ilmu hukum adalah hukum yang
Sanksi pada Pasal 15 ayat terutama terdiri dari kumpulan peraturan-
(1) yang menyebutkan peraturan hukum yang tampaknya
,"Pelanggaran atas bercampur aduk dan sepertinya merupakan
ketentuan Pasal 7 dikenakan chaos: tidak terbilang banyaknya peraturan
sanksi sesuai dengan perundang-undangan yang dikeluarkan
ketentuan yang berlaku", hal setiap tahunnya. (Mertokusumo, 102: 1991).
ini perlu lebih dielaborasi lagi Ilmu hukum tidak melihat hukum sebagai
mengingat Pasal 7 merujuk suatu chaos atau "mass rules", tetapi
kewajiban masyarakat melihatnya sebagai suatu "stuctured whole"
hukum adat sebagai sebuah atau sistem. Hukum itu sendiri bukanlah
institusi, bukan personal. sekedar kumpulan atau penjumlahan
Bagaimana mekanisme peraturan-peraturan yang masing-masing
penjatuhan sanksi "sesuai berdiri sendiri-sendiri. Arti pentingnya suatu
dengan ketentuan yang peraturan hukum adalah karena
berlaku" terhadap kapasitas hubungannya yang sistematis dengan
sebagai sebuah institusi. peraturan-peraturan hukum lain. Hukum
Dalam Pasal 18 mengenai merupakan sistem berarti bahwa hukum itu
Ketentuan Peralihan sudah merupakan tatanan, merupakan suatu
terpenuhi, yaitu," Dengan kesatuan yang utuh yang terdiri dari bagian-
ditetapkannya Peraturan bagian atau unsur-unsur yang saling
Pemerintah ini, maka berkaitan erat satu sama lain. Dengan kata
peraturan lain yang berkaitan lain sistem hukum adalah suatu kesatuan
dengan pelaksanaan yang terdiri dari unsur-unsur yang
pengelolaan hutan adat mempunyai interaksi satu sama lain dan
disesuaikan dengan bekerja sama untuk mencapai tujuan
Peraturan Pemerintah ini" kesatuan tersebut. Kesatuan tersebut
4. Bagian Penutup, yaitu pasal diterapkan terhadap kompleks unsur-unsur
terakhir Pasal 19 sudah yuridis seperti peraturan hukum, asas
terpenuhi," Peraturan hukum dan pengertian hukum.
Pemerintah ini mulai berlaku
sejak tanggal diundangkan. Di dalam kesatuan itu tidak dikehendaki
Agar supaya setiap orang adanya konflik, pertentangan atau
dapat mengetahuinya, kontradiksi antar bagian-bagian.
memerintahkan
pengundangan Peraturan Secara teoritis kondisi idealnya memang
pemerintah ini dengan seperti apa yang telah diuraikan di atas.
penempatannya dalam Namun dalam kenyataannya konflik,
Lembaran Negara Republik pertentangan ataupun kontradiksi antara
Indonesia". satu peraturan perundang-undangan
dengan yang lain sering sekali terjadi dan
Yang juga tidak kalah penting, agenda banyak dijumpai. Bahkan materi pasal-pasal
selanjutnya adalah penjelasan rancangan dalam satu peraturan perundang-
Peraturan Pemerintah tersebut menjadi undanganpun kadang terjadi kontradiksi
lebih detail dan jelas dalam Penjelasan dan bertentangan satu sama lain. Walaupun
guna meminimalisir potensi dalam sistem hukum sendiri secara teoritis
multiinterpretasi. terdapat mekanisme-mekanisme

 
 

penyelesaian melalui asas-asas umum ke bawah) karena isinya bertentangan


sebagai jalan keluar, namun dalam dengan peraturan perundangan yang lebih
prakteknya hal tersebut sulit untuk tinggi. Sementara untuk tingkat Undang-
dioperasionalkan. Undang tidak tersentuh sama sekali
(bagaimana dengan Undang-Undang yang
Asas-asas tersebut seperti: peraturan yang tidak memihak kepada kepentingan rakyat).
lebih tinggi tingkatannya secara heirarkhis
mengalahkan berlakunya atas peraturan Sampai saat ini hak seperti itu menurut
yang lebih rendah (lex superiori derogat legi peraturan perundangan-undangan yang
inferiori), peraturan yang mengatur lebih berlaku di Indonesia dimiliki oleh Mahkamah
khusus/spesifik mengenyampingkan Agung dengan batas-batas tertentu yang
berlakunya peraturan yang mengatur menyebabkan tidak dapat dioperasionalkan
bersifat umum (lex specialis derogat legi (Mahfud, 368: 1999). Mekanisme judicial
generalis) dan peraturan yang lebih baru review belum bisa dilakukan untuk
keberadaannya mengenyampingkan menyelesaikan fenomena semacam
berlakunya peraturan terdahulu dalam hal Peraturan Pemerintah karena belum ada
mengatur materi yang sama (lex posteriori perangkat aturan yang dapat
derogat legi priori). Secara prinsip jika itu dioperasionalkan untuk itu. Peraturan
terjadi maka peraturan yang bersifat Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun
inferiori, generalis dan priori tersebut harus 1993 yang dikeluarkan untuk membuka
dinyatakan batal demi hukum (neiteg). jalan bagi adanya judicial review masih
Permasalahannya kemudian bagaimana mengandung kekacauan teoritis sehingga
mekanisme operasional penyelesaiannya tidak dapat dioperasionalkan (Mahfud, 151:
jika ternyata terjadi kontradiksi/pertentangan 1999). Persoalan-persoalan yang
materi peraturan yang satu dengan yang menghalangi dapat dilaksanakannya judicial
lain atau materi peraturan itu jauh dari rasa review itu sebagai berikut:
adil dan demokratis sehingga perlu digugat.
1. Menurut PERMA No. 1 tahun 1993,
Sebagai contoh, misalnya suatu peraturan judicial review dapat dilakukan
perundangan berupa Peraturan Pemerintah melalui gugatan (berperkara melalui
bertentangan dengan peraturan pengadilan di tingkat bawah) atau
perundangan tingkat atasnya berupa melalui permohonan ( meminta
Undang-Undang sebagai peraturan Mahkamah Agung melakukan
rujukannya. Atau suatu Peraturan penilaian)
Pemerintah materi pasal-pasalnya tidak 2. Persoalannya siapakah yang dapat
adil, tidak demokratis, tendensius terhadap melakukan/mengajukan
kepentingan-kepentingan tertentu dan tidak gugatan/permohonan tersebut?
berpihak kepada rakyat. Penyelesaiannya Perseorangan, badan hukum privat
tentu saja adalah menguji hal itu dengan ataukah badan hukum publik?
melembagakan ke dalam suatu 3. Jika jawabannya perseorangan atau
kewenangan untuk mengujinya. Kemudian badan hukum privat, apakah
institusi apa yang mempunyai kewenangan legalitasnya sehingga seseorang
untuk menguji? atau badan hukum privat menggugat
peraturan yang berlaku untuk
Hak menguji secara materiil (judicial review) umum? Siapa yang memberi
di Indonesia hanya dikenal terhadap mandat sehingga dia bertindak atas
peraturan perundang-undangan di bawah nama kepentingan umum?
Undang-Undang. Yaitu kewenangan untuk Bagaimana jika ada
menyatakan tidak sah suatu peraturan perseorangan/badan hukum privat
perundangan (tingkat Peraturan Pemerintah lain yang justru minta agar peraturan
yang dipersoalkan itu tidak dijadikan

 
 

obyek judicial review? Yang a. Mahkamah Agung dapat


manakah yang oleh Mahkamah melakukan judicial review
Agung dapat dianggap mewakili secara langsung tanpa
kepentingan umum yang terkena menunggu ada
peraturan yang dipersoalkan itu? gugatan/permohonan
4. Untuk jenis regeling (peraturan yang (terlepas dari keprhatinan
berlaku untuk umum) yang dapat kita akan keberadaan
meminta judicial review seharusnya lembaga Mahkamah Agung
hanya badan hukum publik. Tetapi sendiri yang jauh dari derajat
PERMA No. 1 Tahun 1993 tidak kredibilitas figur hakim
memberi penegasan tentang ini agungnya sekarang ini).
sehingga sehingga menimbulkan Sebab jika harus menunggu
pertanyaan mengenai lembaga ada gugatan/permohonan
hukum piblik mana yang dapat akan sulit untuk menemukan
melakukan itu. Jika lembaga hukum subyek yang dapat mewakili
publik itu dari eksekutif (seperti kepentingan umum.
kejaksaan atau yang lain), akan b. Jika judicial review dapat
menjadi janggal, sebab akan terjadi dilakukan melalui
bahwa lembaga eksekutif minta gugatan/permohonan, perlu
judicial review atas peraturan yang ditentukan suatu lembaga
dibuatnya sendiri. Tetapi jika hukum publik di luar
lembaga hukum publik yang berhak eksekutif yang dapat
minta judicial review ada di luar bertindak atas nama umum
eksekutif, pertanyaannya lembaga untuk dapat melakukan
hukum publik yang mana. gugatan/permohonan
tersebut. Perlu juga dibuka
Dari uraian yang telah dipaparkan di atas, kemungkinan badan hukum
dapat ditarik kesimpulan bahwa perangkat privat, dalam hal ini Lembaga
peraturan yang ada untuk ini (PERMA No. 1 Swadaya Masyarakat, juga
Tahun 1993) hanyalah formalitas yang diberikan hak untuk
memuat kekacauan teoritis. Oleh karena itu melakukan
peraturan-peraturan tentang judicial review gugatan/permohonan judicial
hendaknya segera direvisi agar bisa review atas nama
dioperasionalkan. Di samping itu sudah kepentingan umum dengan
saatnya wacana judicial review untuk mekanisme gugatan
dipahami sebagai koreksi kritis materiil atas perwakilan (class action).
semua produk peraturan perundang-
undangan baik karena Penutup
bertentangan/kontradiksi dengan peraturan
perundangan tingkat atasnya maupun Polemik mengenai lembaga judicial review,
karena isi/materinya sendiri yang sarat akan tanpa mengurangi arti segi legal formal,
vested-intersest tertentu sehingga jauh dari sebenarnya cukup sederhana dan tidak
rasa adil, demokratis dan tidak berpihak berbelit-belit. Kalau pada kenyataannya
kepada rakyat. memang telah diatur mekanismenya
(walaupun disfungsif), bukan berarti
Revisi/perombakan aturan mekanisme kemudian tertutup kemungkinan
judicial review bisa menggunakan alternatif masyarakat untuk melakukan fungsinya
penyelesaian sebagai berikut: sebagai kontrol publik. Terlebih era
reformasi sekarang ini ruang kontrol publik
tidak bisa dinafikkan lagi bergaining

 
 

posisinya sebagai salah satu pilar  


demokrasi.

Dengan terbitnya Peraturan Pemerintah di


bidang Kehutanan,nantinya adalah
momentum yang sangat bagus untuk
menggulirkan wacana judicial review bagi
kalangan lembaga swadaya masyarakat.
Bahkan tidak hanya terbatas pada
peraturan perundangan tingkat Peraturan
Pemerintah tetapi juga produk peraturan
Undang-Undang yang tidak hanya
mengatur dalam bidang Kehutanan tetapi
juga produk peraturan perundangan dalam
bidang lain.

Sumber Bahan

Mahfud,Moh,MD, Pergulatan
Politik dan Hukum Di
Indonesia, Gama Media,
Yoyakarta 1999

Mertokusumo,Sudikno,
Mengenal Hukum (suatu
pengantar), edisi ketiga,
Liberty, Yogyakarta 1991.

Departemen Kehutanan dan


Perkebunan, Rancangan
Peraturan Pemerintah bidang
Kehutanan, Jakarta, Mei
2000.

• Totok Dwi Diantoro, S.H. adalah Staf


Lembaga Aliansi Relawan untuk
Penyelamatan Alam (Arupa) dan
Aktivis pada Lembaga Bina
Kesadaran Hukum Indonesia
(LBKHI) Yogyakarta.  

Anda mungkin juga menyukai