Kilas Balik Sejarah Peraturan Tentang Kehutanan (Simon 2000, Awang 2000, Ismail 2000)
Kilas Balik Sejarah Peraturan Tentang Kehutanan (Simon 2000, Awang 2000, Ismail 2000)
Indonesia pertama kali memiliki Undang- Karena adanya dua kelemahan itu maka
Undang Kehutanan tahun 1927. Undang- sudah sejak lama para pemerhati dan
undang ini hanya berlaku untuk mengatur pengamat kehutanan Indonesia mulai awal
pengelolaan hutan di pulau Jawa dan dekade 1990-an telah menyuarakan
Madura. Undang-undang tersebut disusun perlunya ditinjau kembali UU No 5/1967.
dalam kurun waktu yang cukup lama, yaitu Himbauan tersebut tidak ditanggapi secara
rancangan (draft) pertama disusun tahun serius oleh Departemen Kehutanan.
1865, kemudian setiap lima tahun dikaji Walaupun pada mulanya dibentuk tim untuk
berdasarkan pengalaman dan persoalan mengkaji kemungkinan perubahan itu,
yang timbul dari pelaksanaan di lapangan. namun pada tahun 1997 diputuskan bahwa
perubahan tersebut dianggap belum
Pada tahun 1966, pemerintah Orde Baru mendesak. Tetapi setelah terjadi perubahan
mulai melakukan pembangunan ekonomi politik nasional karena krisis ekonomi dan
nasional. Masalah utama yang dihadapi kepemimpinan tahun 1998, maka
negara dan bangsa pada waktu itu adalah Departemen Kehutanan dan Perkebunan
rendahnya pendapatan per kapita membentuk tim untuk menyusun undang-
masyarakat, yaitu hanya US$80/tahun, undang kehutanan yang baru. Akhirnya
serta ketiadaan modal. Sementara itu lahirlah undang-undang yang baru itu,
Indonesia sebenarnya memiliki hutan alam dikenal sebagai Undang-Undang
tropika basah di luar Jawa yang sangat luas No:41/1999.
dan mempunyai potensi ekonomi tinggi
yang tidak tepat maka proyek ini kurang dari masyarakat industri perkayuan
berhasil; masyarakat peladang tetap sehingga TPI praktis tidak berjalan. Untuk
melanjutkan tradisinya melakukan menutup kekurangan itu pemerintah
perladangan berpindah sehingga merubah nama TPI menjadi TPTI (Tebang
mengancam hasil permudaan hutan alam Pilih Tanam Indonesia), yang hasilnya sama
dengan sistem TPI. saja, tidak memuaskan.
Di muka telah dikatakan bahwa HPH mulai Untuk tetap dapat memenuhi kepentingan
diberikan oleh pemerintah kepada pemilik penduduk setempat, maka sebagai ganti
modal mulai tahun 1968. Selama Pelita I peraturan yang telah dicabut Gubernur
minat masyarakat untuk memperoleh HPH diberi wewenang mengeluarkan ijin
masih sedikit (Djandam 1998), karena pemungutan hasil hutan (IPHH) dengan
memang masih amat sedikit masyarakat luas maksimum 100 ha. Tetapi dalam
yang memiliki modal dan ilmu pengetahuan praktek pelaksanaan IPHH ini banyak
taknis (technical know-how) tentang menimbulkan masalah sehingga akhirnya
penebangan kayu di luar Jawa. Namun dicabut lagi. Dengan demikian maka
demikian adanya kebijakan baru tersebut masyarakat lokal kehilangan akses untuk
dengan cepat telah meningkatkan produksi ikut memperoleh manfaat dari hutan, lebih-
kayu bulat nasional. Kalau sebelum tahun lebih setelah dikeluarkan PP No.28/1985
1968 produksi kayu bulat dari luar Jawa tentang pengamanan hutan. Dengan PP ini
hanya berkisar 1,5 juta meter kubik per maka pemegang HPH dapat melarang
tahun, pada tahun 1972 telah menjadi 7 juta masuk areal HPH dengan alasan untuk
(Simon 1991). menjaga keamanan hutan.
tropis tersebut ternyata malah mempunyai maksimal areal untuk satu perusahaan HPH
akibat yang sebaliknya. Stop ekspor kayu adalah 100.000 ha dalam satu propinsi dan
bulat telah mendorong perkembangan 400.000 ha untuk seluruh Indonesia. Luas
industri perkayuan di tanah air, padahal yang dianggap optimal untuk pengusahaan
potensi kayu di lapangan mulai menurun HPH dan HTI non-pulp adalah 50.000 ha
karena upaya permudaan kembali belum dan 100.000 ha untuk HTI pulp (Anonim
berhasil. Pada akhir dekade 1980-an sudah 1998c).
mulai terasa bahwa industri perkayuan
nasional kekurangan bahan baku. Hal ini Dengan perkembangan baru tersebut maka
akhirnya menimbulkan konglomerasi yang sekarang masalah HPH masih belum ada
menyebabkan pengusahaan hutan hanya kepastian kebijakan yang akan
berada di beberapa pemilik modal besar. dilaksanakan pemerintah. Dari 562 HPH
Dampak negatif konglomerasi ini, terutama masih tercatat, pada tahun 1998 hanya 5
dari aspek sosial, belum terpecahkan HPH yang dinyatakan baik, sedang lainnya
sampai sekarang. masuk katagori sedang atau jelek (Anonim
1998a). Mungkin HPH yang tergolong baik
Pada tahun 1998 ini jumlah HPH di seluruh dapat melanjutkan operasinya, tetapi
Indonesia ada 652 dengan luas areal bagaimana dengan yang sedang dan jelek?
69.410.818 ha (Anonim 1998a). Dengan
demikian luas areal HPH telah melampaui Dampak Sosial
luas hutan produksi yang menurut TGHK
tahun 1995 luas seluruhnya ada 63 juta Sebelum ada pengusahaan hutan oleh
hektar, terdiri atas hutan produksi terbatas HPH, produksi kayu bulat di luar Jawa
29.568.000 ha dan hutan produksi tetap hanya sekisar 1,5 juta meter kubik per
33.400.000 ha (BPS 1996). Areal HPH tahun. Penebangan kayu dan angkutannya
seluas 69,4 juta hektar itu ternyata sebagian dikerjakan secara manual. Dalam hal ini di
besar, yaitu 26,2 juta hektar atau 38%, Sumatera dikenal ada panglong, sedang di
hanya dimiliki oleh 12 grup saja (Anonim Kalimantan istilah banjir-cap lebih populer.
1998b). Secara lebih rinci HPH dan luas Penebangan pohon dilakukan dengan
areal yang dikelola oleh 12 grup tersebut menggunakan kapak, sedang untuk
dapat dibaca dalam lampiran. pemotongan batang digunakan gergaji
tangan. Penyaradan dari tempat tebangan
Kalimantan Timur dan Riau masing-masing ke pinggir sungai besar dilakukan dengan
merupakan propinsi yang memiliki areal sistem kuda-kuda (tenaga manusia),
hutan dan jumlah HPH terbesar di pulau sementara angkutan balok ke hilir
Kalimantan dan Sumatera. Pada tahun dihanyutkan ke sungai. Pemasaran kayu
1998 jumlah HPH di Kalimantan Timur ada bulat untuk selanjutnya dijual ke
116 dengan luas areal 13.466.893 ha, perusahaan domestik atau diekspor.
sedang di Riau ada 63 HPH dengan luas Sebagian besar kayu bulat dari Sumatera
areal 5.148.761 ha (Anonim 1998a). dan Kalimantan Barat pada umumnya dijual
ke Singapura, sedang di Samarinda dan
Menghadapi kritik tentang pengelompokan Sampit ada perwakilan perusahaan Belanda
areal hutan pada beberapa pemilik modal (Bruinzyl) yang mempunyai pabrik raksasa
itu, Menteri Kehutanan dan Perkebunan pembuat pintu di Amsterdam.
mengeluarkan kebijakan untuk membatasi
luas areal HPH. Pada tanggal 21 Dengan adanya pemegang HPH jaringan
September yang lalu, pemerintah pengusahaan kayu oleh masyarakat lokal
mengumumkan konsep penataan tersebut mengalami perubahan. Pada
pengelolaan lahan skala besar. Di sektor awalnya masyarakat lokal justru
kehutanan dan perkebunan, batas memperoleh peluang pasar yang lebih
besar karena pembeli menjadi lebih banyak. kekacauan di kalangan masyarakat. Namun
Seperti telah dikatakan di muka, peluang bagi sementara anggota masyarakat hal itu
besar itu mendapat saluran yang telah memberi pelajaran dan sebagian lagi
menggembirakan dengan memanfaatkan sadar bahwa program pembangunan
PP No.64/1957 tentang desentralisasi di pemerintah telah mendorong terjadinya
bidang kehutanan. Tetapi, dengan hanya korupsi. Aspirasi masyarakat tersebut
mempertimbangkan kepentingan kehutanan mendapat jawaban dari sebagian kaum
saja, pemberian ijin penebangan kepada intelektual muda dan pakar perguruan
masyarakat lokal itu dihapus (PP tinggi. Kaum intelektual muda banyak yang
No.21/1970) sehingga masyarakat lokal mendirikan LSM yang bergerak di bidang
kehilangan akses untuk memperoleh kehutanan untuk membela kepentingan
manfaat ekonomi dari yang secara masyarakat lokal. Para pakar di perguruan
tradisional telah mereka nikmati. tinggi juga ada yang memusatkan
perhatiannya di bidang yang sama. Kedua
Dengan penghapusan hak rakyat atas kelompok masyarakat tersebut secara
penebangan kayu tersebut tidak berarti apa bersamaan telah melakukan tekanan
yang dianggap sebagai "masalah" oleh kepada pemerintah untuk melakukan
Direktorat Jenderal Kehutanan tersebut reformasi tentang pemanfaatan hutan.
selesai. Di daerah sudah terlanjur Reaksi pemerintah terhadap kekuatan
berkembang penggergajian rakyat, yang presser-groups tersebut antara lain telah
sering dinamakan wantilan. Oleh karena itu menghasilkan program HPH Bina Desa
antara masyarakat lokal dengan pemegang Hutan, Hutan Kemasyarakatan, Kawasan
HPH malah terjadi konflik, yang masing- Dengan Tujuan Istimewa (KDTI), dan
masing merasa mempunyai hak. Untuk sebagainya.
meredam konflik tersebut lalu dikeluarkan
PP No.28/1985 tentang pengamanan hutan. Program HPH Bina Desa Hutan dimulai
Tetapi dengan PP yang baru inipun tahun 1991 setelah Menteri Kehutanan
masalahnya tetap tidak selesai. Yang terjadi mengelurkan SK N0.691/Kpts-II/91. Tujuan
justru akumulasi masalah yang kemudian program ini adalah mendorong para
meledak di sana-sini dan mencapai pemegang untuk ikut meningkatkan
puncaknya setelah kemenangan reformasi. kemakmuran penduduk yang bertempat
tinggal di dalam areal HPH yang
Dengan semakin meningkatnya eksploitasi bersangkutan. Untuk menyusun program
hutan di luar Jawa, konflik antara Bina Desa Hutan pemerintah mewajibkan
masyarakat lokal dengan pemerintah dan pemegang HPH melakukan studi
pelaksana pembangunan hutan semakin diagnostik. Akan tetapi studi tersebut
melebar. Konflik kemudian tidak hanya bersifat instruktif sehingga tidak mampu
berkenaan dengan penebangan kayu saja mengartikulasi kepentingan masyarakat.
melainkan sampai pada masalah Akibatnya, program Bina Desa Hutan hanya
penguasaan lahan, yang dipicu oleh adanya dianggap sebagai "SIM" untuk memperoleh
program pembangunan HTI. Sebelumnya pengesyahan RKT yang diajukan oleh HPH.
telah dilaksanakan program reboisasi pada
kawasan hutan tak produktif yang dilakukan Menanggapi kritik-kritik berkenaan dengan
sejak tahun 1974, kemudian diperbaharui program HPH Bina Desa Hutan, pemerintah
dan diperkuat pada tahun 1984, lalu berupaya untuk memperbaikinya dengan
diformalkan menjadi program HTI dengan mengeluarkan Pembinaan Masyarakat
PP No.7/1990. Desa Hutan Terpadu (PMDHT). Program
PMDH telah lama digunakan oleh Perum
Pelaksanaan program reboisasi yang Perhutani untuk meningkatkan
kurang teratur telah menimbulkan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan,
dan oleh karena itu ingin ditiru untuk luar
pembentukan organisasi itu adalah untuk Perkebunan yang ditugaskan untuk ikut
mengkomunikasikan hasil penelitian atau menangani penyusunan undang-undang
pendapat tentang bentuk pengelolaan hutan kehutanan yang baru dan beberapa staf
yang berbasiskan kerakyatan. Departemen Kehutanan dan Perkebunan.
Dengan sponsor dari Ford Foundation, Di dalam diskusi yang cukup serius, seluruh
pada akhir bulan Maret 1998, pada waktu peserta RM III, barangkali kecuali yang
Kabinet Pembangunan VII baru berumur berasal dari Departemen Kehutanan dan
satu minggu, FKKM menggelar Regular Perkebunan, sepakat untuk tidak
Meetting Pertama (RM I) di Makassar. menanggapi konsep undang-undang
Dalam RM I tersebut, yang dihadiri oleh kehutanan hanya secara tambal-sulam. Hal
Direktur Jenderal RRL dan SAM III itu disebabkan karena konsep undang-
Departemen Kehutanan dan Perkebunan, undang Departemen Kehutanan dan
dengan berani FKKM telah mendesak Perkebunan sebenarnya tidak jauh berbeda
kepada pemerintah untuk membagi dengan jiwa UU No:5/1967, yaitu bertumpu
pengelolaan hutan nasional kepada tiga kepada paradigma timber management.
stakeholders, yaitu BUMN (Badan Usaha Bentuk pengelolaan hutan untuk model
Milik Negara), BUMS (Badan Usaha Milik timber management merupakan model lama
Swasta) dan rakyat. Dengan semangat itu yang disusun oleh rimbawan Jerman pada
maka baru saja Kabinet Pembangunan VII abad ke-16 sampai 17 dimana keadaan
ambruk, pada tanggal 3 Juni 1998 FKKM sosial ekonomi masyarakat dan intensitas
mengadakan pertemuan di Ford Foundation penggunaan teknologi belum setinggi
Jakarta. Tindak lanjut pertemuan tersenut sekarang (Simon 1999). Baik sosial
adalah diselenggarakan Seminar Reformasi ekonomi masyarakat dan teknologi
Pengelolaan Sumber Daya Hutan Nasional mempunyai peranan besar dalam
di Yogyakarta tanggal 22-23 Juli 1998. menentukan sistem pengelolaan hutan, dan
Seminar yang dibuka oleh Menteri kedua hal itu pula yang mendorong lahirnya
Kehutanan dan Perkebunan ini cukup strategi dan paradigma baru, yaitu sistem
monumental, yaitu dengan dirumuskannya pengelolaan hutan yang berbasiskan
Visi pengelolaan sumber daya hutan kerakyatan. Oleh karena itu untuk
nasional yang sebelumnya tidak pernah menyusun undang-undang kehutanan yang
ada. Sejak itu Visi dan Misi selalu mewarnai sesuai dengan tuntutan reformasi maupun
diskusi dan rapat tentang pengelolaan selaras dengan perkembangan ilmu
hutan yang diselenggarakan oleh pengetahuan diperlukan pendekatan yang
pemerintah, swasta maupun LSM. Hasil sama sekali berbeda. Sayangnya,
seminar yang digelar oleh FKKM itu perbedaan yang cukup mendasar ini kurang
dikemas dalam bentuk prosiding yang diberi dapat difahami oleh mereka yang tidak
judul: "Jaman Baru Kehutanan Indonesia." memperhatikan pengelolaan hutan untuk
kurun waktu yang cukup lama.
Barangkali karena seminar dan kegiatan-
kegiatan yang dilakukan berikutnya, maka Prospek ke Depan
Menteri Kehutanan dan Perkebunan juga
minta kepada FKKM untuk menanggapi Mengingat Undang-undang Kehutanan
konsep undang-undang kehutanan yang yang disetujui DPR dan akan dilaksanakan
akan disusun. Permintaan Menteri oleh pemerintah masih menganut
Kehutanan dan Perkebunan itu ditanggapi paradigma lama dengan kelemahan-
positif oleh segenap anggota jaringan kelemahan seperti diterangkan di muka,
FKKM, dan di dalam RM III di Madiun bulan maka diperkirakan penerapannya tidak
April 1999 masalah itu dimasukkan ke akan efektif. Aspirasi masyarakat luas,
dalam agenda utama untuk dibahas. RM III khususnya masyarakat adat dan penduduk
juga dihadiri oleh SAM Kehutanan dan
di sekitar hutan, belum tertampung secara paradigma pengelolaan hutan yang baru
meyakinkan, dalam arti undang-undang kepada fihak pemerintah karena memang
tersebut tidak menjamin bahwa program masing-masing mempunyai sudut pandang
pengelolaan hutan yang dilakukan yang sangat berbeda.
pemerintah akan menempatkan masyarakat
adat dan penduduk lokal sebagai Mengingat kondisi seperti diterangkan itu,
stakeholder yang setara dengan pemerintah maka mau tidak mau diskusi tentang
dan pemilik modal. Hal itu nampak jelas di penyempurnaan, bahkan perubahan,
dalam beberapa Peraturan Pemerintah (PP) undang-undang kehutanan masih harus
yang telah selesai disusun, sebagai tindak dilanjutkan. Masalah yang dihadapi adalah,
lanjut dari undang-undang kehutanan yang para pengambil keputusan harus berlomba
baru, yang sama sekali belum ada yang dengan kegiatan penebangan kayu ilegal
menampakkan jiwa pengelolaan hutan serta penerapan sistem pengelolaan hutan
berbasiskan kerakyatan. yang tidak benar sehingga keduanya
mempercepat proses degradasi sumber
Tidak hanya menyangkut PP yang selama daya hutan tropika basah Indonesia yang
ini telah dikeluarkan oleh pemerintah, sangat vital peranannya dalam menjaga
rencana kebijakan yang lain pun juga masih stabilitas iklim global maupun untuk sumber
memandang sebelah mata aspirasi rakyat penghidupan bagi penduduk lokal itu.
yang menginginkan perubahan sistem
pengelolaan sumber daya hutan nasional.
Itulah sebabnya maka sampai saat ini di
seluruh Indonesia terjadi penebangan kayu Daftar Pustaka
ilegal yang benar-benar mengancam
kelestarian sumber daya hutan. hal itu Anonim, 1967, Ketentuan-
terjadi bukan karena dorongan krisis Ketentuan Pokok Tentang
ekonomi saja, melainkan juga karena masih Kehutanan, Undang-undang
ada kesenjangan (gap) yang lebar antara No:5/1967, Jakarta
keinginan masyarakat dengan pemikiran
dan program-program kegiatan pemerintah Anonim, 1998a, Evaluasi
di bidang kehutanan. Perkembangan Perusahaan
HPH sampai dengan Juli
Sebenarnya terjadinya kesenjangan seperti 1998, Direktorat
di atas bukan karena tidak ada good-will Pengusahaan Hutan,
pejabat pemerintah untuk mengikut- Direktorat Penyiapan
sertakan masyarakat di dalam pengelolaan Pengusahaan Hutan, Jakarta
sumber daya hutan. Perubahan paradigma
pengelolaan hutan dari pengusahaan kayu Anonim, 1998b,
menuju pengelolaan hutan berbasiskan Konglomerasi HPH di
kerakyatan (community forestry) baru Indonesia, Warta Ekonomi
dicanangkan pada tahun 1978 pada waktu No 12/TH.X/10 Agustus
diselenggarakan Konggres Kehutanan
1998:12
Dunia VIII di Jakarta. Akan tetapi
pendidikan kehutanan di seluruh tanah air
Anonim, 1998c, Buku
tidak segera mengisi perubahan tersebut.
Panduan Seminar Sehari
Akibatnya, sampai dengan awal dekade
Koperasi Dalam Pengelolaan
1990-an, bahkan mungkin sampai
Hutan, Jakarta 3 November
sekarang, sebagian besar rimbawan
1998
Indonesia masih berbekal kehutanan
konvensional. Hal itu menyebabkan terjadi
kesulitan di dalam mengkomunikasikan
oleh Pemerintah. Hal ini menunjukkan pengelolaan hutan Indonesia masa yang
bahwa sebagian besar anggota DPR tidak akan datang, maka draft RUUK dan
memahami teknis kehutanan. Sehingga pembahasan substansinya oleh DPR tidak
pihak Pemerintah selalu menang dalam memiliki dasar-dasar paradigma baru
argumentasi teknis untuk kepentingan pengelolan hutan yang lebih berpihak
Pemerintah bukan untuk kepentingan kepada konsep berkeadilan, transparan dan
rakyat. Ironisnya pihak DPR tidak mencoba demokratis.
meminta masukan dan informasi yang lebih
operasional dari pakar dan praktisi Secara akademis UU No. 41 tentang
kehutanan lainnya di luar pemerintah. Ini Kehutanan belum didukung oleh konsep
adalah kesalahan fatal yang terjadi dalam yang jelas, atau minimal dukungan naskah
proses pembahasan RUUK. akademis sangat kurang. Pelacakan
terhadap dokumentasi naskah akademis
Waktu pembahasaan RUUK mulai tanggal tidak dapat diperoleh, dan inilah yang
23 Agustus – 14 September (20 hari efektif) membuat UU No. 41 menjadi tidak jauh
merupakan waktu pembahasan rancangan berbeda dengan UUPK No. 5/67. Namun
Undang-Undang di Indonesia yang paling demikian perbedaan mencolok memang
singkat. Oleh karena itu sangat kecil terletak pada beberapa aspek perhatian
kemungkinan dapat dihasilkan suatu UUK misalnya tentang peran serta masyarakat,
yang aspiratif, demokratis dan adil kalau penyelesaian konflik, pengawasan oleh
proses pembahasannya saja tergesa-gesa masyarakat, sangsi terhadap pelanggaran
dan hanya mengutamakan target waktu kerusakan hutan, pembentukan wilayah
saja. Sementara di sisi lain di depan mata pengelolaan yang memperhatikan
banyak sekali kompleksitas permasalahan keragaman wilayah, dan penyusunan
di seluruh daerah di tanah air, di mana neraca sumberdaya hutan. Hal-hal tersebut
setiap daerah tidak mendapat kesempatan tidak secara tegas dan bahkan tidak ada
untuk menyampaikan tanggapan terhadap dalam UUPK No. 5/67. Di dalam UU No. 41
RUU Kehutanan tersebut. ini pengertian pengelolaan hutan yang
lestari tidak cukup mendapat perhatian,
Substansi dan Kualitas RUUK misalnya saja apa yang sebetulnya menjadi
obyek dari kelestarian tersebut, komoditinya
Draft RUUK dan pembahasannya di DPR atau keamanan areal hutannya?
sama sekali tidak menegaskan politik
ekonomi pembangunan kehutanan pada Peluang yang terbuka dari UU ini adalah
masa depan. Penegasan bahwa unit bisnis tidak lagi hanya kayu dalam
sumberdaya hutan tidak akan dijadikan hutan produksi, tetapi terbuka peluang
sumberdaya yang harus dieksploitasi untuk untuk mengembangkan kegiatan ekonomi
mendatangkan devisa negara yang besar non-kayu di areal hutan lindung dan hutan
dan untuk membayar hutang luar negeri, konservasi. Sehingga diperlukan
belum tampak tersurat dan tersirat dalam seperangkat instrumen kebijakan yang
hasil pembahasan di tingkat Panitia Kerja. mengatur dan mengarahkan bisnis tersebut
Demikian halnya dengan kemauan politik agar tetap ramah lingkungan dan tidak
(political will) yang menegaskan bahwa merusak lingkungan fisik, lingkungan sosial
sumberdaya hutan Indonesia merupakan dan budaya. Dengan demikian diperlukan
kawasan penyangga lingkungan hidup, langkah-langkah berikutnya yang berkaitan
belum mendapat penegasasn dalam pasal- dengan penataan kelembagaan pendukung.
pasal. Namun demikian kelembagaan pendukung
ini bukan sesuatu yang sederhana sebab
Di samping itu sebagai akibat dari tidak ada hal ini berkaitan dengan kultur birokrasi dan
"naskah akademis" tentang arah politik birokrasi yang korporatism, sering
pihak pemerintah menolak berbegai
pembaharuan. Kultur baru harus dilahirkan pengelolaan hutan harus diatur oleh
dari Departemen Kehutanan dan Peraturan Pemerintah (PP), maka
Perkebunan dan seluruh jajaran ditengarai akan terjadi penyalahgunaan
birokratnya, sehingga hutan lestari kebijakan seperti yang terjadi selama ini.
mengandung pengertian hutan tersebut Kelembagaan ekonomi rakyat hanya
juga dapat menjamin kehidupan masyarakat diwakili oleh "koperasi" dipandang
di sekitar kawasan hutannya. menyesatkan dan tidak dapat diterima oleh
akal sehat. Kemauan ini hanya kemauan
Pemerintah dalam rapat-rapat di DPR selalu populis dari pemerintah. Seharusnya
mengatakan pengelolaan hutan tidak lagi kelembagaan ekonomi rakyat berkembang
hanya "timber oriented" tetapi akan sesuai dengan kelembagaan asli daerah
merubah ke konsep "Forest Ecosystem masing-masing, dan tugas pemerintah
Management (FEM)". Demikian halnya adalah melegitimasi dan memberdayakan
dengan keinginan pemerintah untuk lembaga-lembaga lokal yang diyakini oleh
melakukan pengelolan hutan dengan rakyat lebih efektif dari hanya sekedar
melibatkan masyarakat melalui koperasi sebagai bentuk badan usaha.
kelembagaan koperasi. Pada saat yang
sama pemerintah secara substantif telah Walaupun pemerintah selalu mengatakan
menolak mengakui keberadaan kepemilikan tinggalkan paradigma kayu,namun dalam
"hutan adat" sebagai hak ulayat. Hutan adat rumusan-rumusan pasal, perspektif usaha
dimasukkan sebagai hak ulayat negara, dan bisnis kayu masih sangat dominan dalam
masyarakat adat hanya memiliki hak RUUK, dan pembahasan kepada usaha-
pengelolaan saja. Secara substantif, usaha bisnis berbasis pada keseimbangan
perumusan ini bertentangan dengan ekosistem dengan usaha non-kayu, tidak
"keinginan masyarakat adat nusantara". cukup dikembangkan. Substansi satuan
DPR yang secara konstitusional sebagai kawasan produksi yang diartikan hanya
lembaga kedaulatan rakyat, ternyata sngat untuk menghasilkan produksi (ekonomi)
tidak memperjuangkan keinginan adalah petunjuk sangat tegas bahwa RUUK
masyarakat adat tersebut. Forest ini masih ingin membuka peluang sebesar-
Ecosystem Management sebagai besarnya penebangan kayu dari hutan
paradigma pembangunan kehutanan masih terus akan dilanjutkan.
Indonesia Baru, tidak tertulis dalam pasal-
pasal secara tegas. Demikian pula halnya dengan substansi
pengusahaan atau bisnis sumberdaya
Asas pengelolaan hutan yang berkeadilan, hutan, tidak cukup mendapat pembahasan
demokratis, transparan, kerakyatan, dan yang berarti dan seimbang oleh DPR.
berkelanjutan belum sepenuhnya menjiwai Pihak-pihak pelaku usaha tidak dilibatkan
pasal-pasal batang tubuh. Salah satu dalam proses pembahasan dan perumusan
indikasi adanya ketidakadilan adalah tidak RUUK.
disetujuinya "hak adat" dalam pembahasan
RUU kehutanan. Indikasi tidak demokratis Pembahasan tentang sistem silvikultur
dapat dilihat dari tidak adanya lembaga dalam pengelolaan hutan dan pembahasan
independen di Pusat maupun daerah yang tentang hutan rakyat tidak mendapat
dapat mengawasi kesewenangan perhatian yang memadai di dalam draft dan
pemerintah dalam melaksankan proses pembahasan RUUK di DPR.
pengurusan dan pengelolaan hutan. Kelestarian hutan hanya dapat dicapai
Desentralisasi dalam pengelolaan hutan melalui sistem silvikultur yang benar.
masih bersifat "setengah hati" dan ada Sejarah telah membuktikan bahwa sistem
kesan sangat kuat bahwa pusat belum rela silvikultur yang ditetapkan oleh Peraturan
melakukan desentralisasi. Dalam situasi Menteri selalu dirubah sesuai dengan selera
seperti ini apabila pengaturan desentralisasi
Penutup
KORELASI HUKUM AKOMODATIF
DPR sebagai perwakilan kedaulatan rakyat
tidak membuka peluang untuk menciptakan TERHADAP TINGKAT AKSEPTASI
tata tertib pembahasan yang lebih MASYARAKAT
demokratis melalui perdebatan terbuka
dimana pihak non DPR dan non Pemerintah (Analisa Terhadap UU Kehutanan dari
dapat ambil bagian aktif dalam proses Perspektif Sosiologi Hukum)
pembahasan rancangan Undang-Undang
tentang Kehutanan tersebut. Juga hasil- Oleh : Nurhasan Ismail
hasil perdebatan sudah seharusnya
dikomunikasikan kepada daerah-daerah Parameter suatu Undang-Undang yang baik
untuk dimintai tanggapan sebelum adalah diukur dari aspek filosofis, sosiologis
disahkan. Ironisnya anggota DPR sebagian dan yuridis. Secara sosiologis, Undang-
besar tidak paham mengenai hutan dan Undang idealnya mempunyai kekuatan
kehutanan. Dhus karena itu kualitas UUK ini berlaku mengikat karena memang
dimungkinkan tidak lebih baik dibandingkan peraturan tersebut diterima secara sukarela
dengan UUPK No. 5/1967. oleh masyarakat (anerkennungstheorie),
bukannya karena dipaksakan berlakunya
Sementara itu di sisi lain dengan oleh penguasa ( machtstheorie)
telah diundangkannya UU No.41/1999
tentang Kehutanan dalam Lembaran .
Negara adalah suatu kenyataan yang tidak
bisa dipungkiri keberadaannya. Sebagai Hukum sebagai salah satu instrumen untuk
konsekuensi logis Undang-Undang tersebut menata kehidupan sosial di dalam
berlaku mengikat publik dalam pengertian masyarakat modern dibentuk atas dasar
sebagai peraturan (regeling). Artinya perpaduan antara dunia ide/cita-cita dengan
disinilah letak disparitas antara cita realita sosial sebagai dunia nyata. Dunia ide
(harapan) yang kita gantungkan terhadap memberikan kontribusinya terhadap
proses UUK dengan fakta (kenyataan) yang penetapan tujuan yang ingin dicapai dan
diberikan oleh UU No. 41 tentang cara serta upaya yang dipandang efektif
Kehutanan. Namun hal itu bukan berarti kita untuk mencapainya, sedangkan realita
kemudian menjadi bersikap pesimis dan sosial memberi batasan agar penetapan
skeptis, bahkan sebaliknya kita harus tetap tujuan dan cara yang diinginkan tetap
terus memperjuangkan suatu wujud berpijak pada kondisi dan nilai-nilai yang
pengelolaan hutan yang adil, lestari dan berkembang dalam masyarakat.
demokratis tanpa tergantung pada suatu
peraturan/norma yang sifatnya legalistik-
Sinergitas antara keduanya akan
formalistik an sich. Kita masih punya
menciptakan instrumen hukum yang
peluang untuk berharap bahwa pengurusan,
mampu mewujudkan kebaikan dan
yang berbeda. Sebagian mewakili kelompok sebelumnya, UU Kehutanan yang baru jelas
birokrasi sektoral itu sendiri, sebagian telah memberikan perhatian dan sikap yang
lainnya menempatkan dirinya sebagai aktor lebih akomodatif terhadap kepentingan
yang memperjuangkan kepentingan kelompok-kelompok masyarakat terutama
kelompok yang selama ini diuntungkan dari yang terabaikan selama ini. Hanya saja
kebijakan pembangunan, dan sebagian lagi perhatian yang diberikan lebih bersifat
menjalankan peran sebagai wakil dari kompromistis sehingga rumusan-rumusan
kelompok yang terabaikan dalam proses ketentuannya jika dicermati tampak adanya
pembangunan seperti masyarakat hukum keragu-raguan dari pembentuknya untuk
adat. mengakui secara eksplisit hak-hak
kelompok masyarakat tertentu. Keragu-
Proses persaingan inilah yang akan raguan itu dapat memberi peluang akan
menentukan penetapan pilihan cita-cita, terjadinya pelemahan terhadap hak-hak
keinginan, kondisi dan nilai sosial dan mereka dalam proses pelaksanaannya.
sekaligus arah pengembangan substansi
hukum. Jika proses itu didominasi oleh Perhatian dan sikap yang lebih akomodatif
aktor-aktor yang mewakili kepentingan dari UU No.41/1999 terhadap kelompok-
kelompok tertentu, maka pilihan substansi kelompok masyarakat yang kepentingannya
hukum itu hanya akan dirasakan terabaikan dan terpinggirkan selama ini
manfaatnya oleh kelompok tertentu dapat dicermati dari penyebutan istilah
tersebut. Tetapi apabila proses itu mampu "masyarakat setempat" dan "masyarakat
mengkompromikan cita-cita, keinginan, hukum adat" dalam rumusan pasal-pasal.
kondisi dan nilai sosial semua kelompok, Secara yurimetrik, penyebutan atau
maka hukum akan dipandang adil dan pencantuman istilah tertentu dalam
dirasakan manfaatnya oleh semuanya. ketentuan peraturan perundangan tentunya
mempunyai maksud tertentu. Paling tidak,
Dengan berbasis pada kerangka-berfikir penyebutan itu dimaksudkan memberikan
seperti di atas, sebuah pertanyaannya perhatian, akses, dan hak tertentu kepada
segera dapat diajukan, apakah Undang- kelompok masyarakat yang bersangkutan.
Undang No.41/1999 tentang Kehutanan Semakin banyak pasal-pasal dalam
sudah memperhatikan dan mengakomodasi undang-undang itu mencantumkan
keinginan, cita-cita, kondisi dan nilai sosial kelompok-kelompok tertentu semakin besar
dari semua kelompok masyarakat yang perhatian, akses, dan hak yang diberikan
kepentingannya terkait, seperti para pemilik kepada mereka. Apakah hal tersebut juga
modal, masyarakat yang berada didalam mengandung potensi ke arah pemberian
dan di luar kawasan hutan yang perlindungan dan peningkatan
menggantungkan sumber hidupnya dari kesejahteraan yang lebih baik, hal tersebut
kawasan hutan, dan lebih khusus lagi memerlukan pencermatan terhadap
masyarakat-masyarakat hukum adat yang substansi dan pelaksanaannya lebih lanjut.
tidak hanya menggantungkan sumber
hidupnya pada hutan, tetapi juga mereka Istilah "masyarakat setempat" menunjuk
yang mempunyai hubungan hukum yang pada warga masyarakat yang berada dan
lebih mendasar yaitu didasarkan pada alas bertempat tinggal di dalam dan di sekitar
atau dasar hak ulayat? lingkungan hutan, yang meliputi : (1)
kelompok masyarakat yang tidak
Dari substansi rumusan pasal, arah dan mempunyai hubungan historis dan hukum
upaya untuk mengakomodasi hal-hal dengan lingkungan hutan tetapi datang dan
tersebut sudah dilakukan. Bahkan jika menempatinya; (2). Kelompok masyarakat
dibandingkan dengan Undang-Undang yang mempunyai hubungan hukum dan
No.5/1967 yang mengatur kehutanan historis dengan lingkungan hutan yang
bersangkutan seperti masyarakat hukum
UUD ’45 – Tap MPR – Undang- dan Hak Pemungutan Hasil Hutan
Undang – Peraturan Daerah– sebagai aturan pelaksanaan UU
Keputusan Pemerintah Daerah. Kehutanan yang lama. PP
Andaikata ketentuan UU masih perlu No.21/1970 ini menetapkan bahwa
dijabarkan oleh Pemerintah Pusat, pelaksanaan hak masyarakat hukum
maka penjabarannya hanya dapat adat untuk memungut hasil hutan
dilakukan di tingkat Peraturan perlu : ditertibkan,
Pemerintah (PP) dengan syarat : dimusyawarahkan dengan
ada penegasan dan pembatasan pengusaha HPH, dan dibekukan
substansi yang akan diatur ( limited jika kepentingan pelaksanaan usaha
delegation of legislation) dalam PP HPH memerlukan tindak
tersebut. pembekuan.
Persoalan yang terus menerus mendera Yang tertinggal selama ini hanyalah
keberlanjutan fungsi dan manfaat sumber tumbuhnya persepsi aparat pemerintah
daya hutan (SDH) Indonesia, oleh tentang posisi masyarakat lokal (dan pihak-
sementara pihak diasumsikan akan dapat pihak di luar pemerintah yang lain), yang
dipercepat penyelesaiaannya, manakala selalu dianggap berpotensi untuk merusak
aspek legal pengelolaan SDH mampu hutan dan mengganggu usaha pemerintah
ditegakkan oleh pihak pemegang melaksanakan agenda-agenda sustainable
wewenang (pemerintah). Asumsi semacam forest management. Pada prakteknya,
itu berangkat dari begitu banyaknya keberpihakan lebih banyak diberikan
pekerjaan rumah yang tertinggal dalam kepada para pemodal besar dan kalangan
mewujudkan pengelolaan hutan yang birokrat dalam BUMN, dengan berbagai
berkelanjutan, khususnya yang berkaitan macam cara (termasuk peruntukan dana
dengan lemahnya aspek penegakan reboisasi bagi industri elit). Kesemuanya itu
hukum. Berbagai bentuk pelanggaran yang ternyata mengakibatkan suatu keprihatinan
terjadi, secara keseluruhan telah yang amat mendalam terhadap hutan kita;
menyebabkan menurunnya kualitas dan bukan saja karena kerusakan yang telah
kuantitas SDH secara drastis. Gambaran terjadi, namun lebih jauh lagi di sana-sini
yang amat nyata tentang hal itu salah kemudian merebak fenomena konflik atau
satunya terlihat manakala hamparan hutan sengketa yang amat nyata berkaitan
asli kita yang semula menempati areal dengan pemanfaatan SDH. Konflik yang
seluas lebih kurang 142 juta ha menjadi muncul tidak jarang bermula dengan
tinggal 96 juta ha, yang berarti mengalami kekerasan, berkembang menjadi kekerasan
laju kerusakan lebih dari 1 juta ha per tahun yang lebih besar, dan berakhir dengan cara-
(Kompas, 13 Mei 2000). cara kekerasan pula. Berbagai informasi
mengenai hal ini telah banyak kita ketahui,
Diundangkannya UU 41 tahun 1999 tentang baik dari media massa yang melaporkannya
Kehutanan kemudian diharapkan dapat maupun dengan mata kepala kita sendiri-
sendiri di sekitar tempat tinggal masing-
Terlihat bahwa dalam kerangka besarnya, yang beragam dan intensitas yang
terdapat overlapping dan kesesuaian yang bermacam-macam. Konflik yang terjadi
nyata antara prinsip SFM dan konsepsi dapat melibatkan dua pihak, banyak pihak,
CBFM. Kebutuhan tentang jaminan dan bahkan dapat merentang antar
partisipasi, kesetaraan, manajemen atas generasi. Adanya kompleksitas konflik SDH
dasar kesepakatan antar pihak, dan hal-hal menyebabkan praktek-praktek
lain yang secara garis besar membuka penyelesaiannya harus fleksibel dan
akses bagi terbangunnya mekanisme beragam pula.
pengelolaan berbasis masyarakat; terbukti
amat diperlukan bagi pembicaraan tentang Apa yang kemudian dituntut oleh banyak
keberlanjutan SDH. Salah satu aspek yang pihak akhir-akhir ini adalah perlunya suatu
cukup mendasar dalam mengagas Grand Design baru mengenai upaya
pengelolaan SDH berkelanjutan di masa pengelolaan SDH Indonesia masa depan
depan adalah tersedianya mekanisme yang berlandaskan keberlanjutan dan ruang
penyelesaian sengketa yang praktis, cepat, gerak yang memadai bagi masyarakat. Oleh
efisien, dan berlangsung secara terbuka. karenanya dialog-dialog antar pihak menjadi
Dengan demikian terdapat pembenaran sebuah prakondisi yang amat diperlukan
konseptual terhadap perlunya bagi upaya tersebut, sebelum secara lebih
menginisiasikan proses-proses jauh menindaklanjuti proses-proses
penyelesaian konflik secara penyelesaian konflik secara praktis.
berkesinambungan, dalam setiap skenario Kebutuhan tentang hal ini tidak dapat
pengelolaan hutan secara berkelanjutan ditawar-tawar lagi, dan dengan demikian
dan berbasis masyarakat. UU 41 sebagai inisiatif kebijakan terbaru
diharapkan akan dapat memberikan ruang-
Penyelesaian Konflik Alternatif ruang secara legal serta mempercepat
proses dimaksud.
Belajar dari kondisi faktual yang ada
sekarang, semua pihak menyadari bahwa Pada dasarnya inisiatif penyelesaian konflik
memang tidak mudah untuk segera yang berkaitan dengan pengelolaan SDH
mengimplementasikan apa yang melalui proses-proses dialog antar pihak,
disyaratkan oleh paradigma SFM dan telah memperoleh peluang dan diatur pada
CBFM itu. Pengalaman yang telah sekian pasal 74 UU 41 tahun 1999 ayat (1), yang
lama terbangun dalam kehutanan Indonesia menyebutkan bahwa:
adalah munculnya kekakuan sistem state
based yang melibatkan berbagai kebijakan Penyelesaian sengketa
yang amat top down. Aparat departemen kehutanan dapat ditempuh melalui
kehutanan yang selama ini merasa pengadilan atau di luar pengadilan
menduduki posisi sebagai pemegang berdasarkan pilihan secara sukarela
otoritas pengelolaan hutan, belum mampu para pihak yang bersengketa.
secara faktual menyediakan jembatan bagi
dialog kepentingan menuju penyelesaian Berangkat dari apa yang termaktub dalam
konflik tersebut, yang berlangsung dalam pasal tersebut, terdapat celah yang besar
suatu proses yang demokratis dan terbuka. bagi pihak-pihak yeng bersengketa untuk
Prinsip yang selama dianut oleh aparat menempuh mekanisme penyelesaian baik
memunculkan pengambilan posisi yang melalui pengadilan, maupun di luar
mengesankan bahwa kepentingan tersebut pengadilan secara sukarela-atau yang lebih
seolah-olah menjadi bagian dari birokrasi, dikenal dengan Alternative Dispute
dan semangat untuk menempatkan diri Resolution (ADR). Tanpa harus membahas
sebagai fasilitator tidak pernah diusahakan lebih jauh tentang mekanisme ADR ini,
dengan serius. Dalam konteks pengelolaan harus diakui bahwa dengan munculnya
hutan, konflik sering terjadi dalam cakupan
klausul ini dalam UU 41, keragu-raguan para pihak dan atau pendampingan
terhadap tegaknya proses adjudikasi organisasi non pemerintah untuk
melalui peradilan formal setidaknya telah membantu penyelesaian sengketa
memperoleh jawabannya. Banyak literatur kehutanan.
menyebutkan bahwa proses ADR memiliki
latar belakang historis yang signifikan di Penyelesaian konflik alternatif dalam
dalam masyarakat kita, khususnya ketika konteks pengelolaan SDH secara
praktek-praktek musyawarah untuk mufakat berkelanjutan harus mengenali lebih jauh
disepakati menjadi akar bagi aspek-aspek yang telah berkembang di
berkembangnya proses-proses sosial masyarakat; dengan penyesuaian yang
budaya. Masyarakat lokal dalam mengelola optimal terhadap kondisi, pengetahuan, dan
sumber daya alam termasuk hutan, diyakini informasi yang telah ada. Mengingat dari
memiliki pandangan budaya dan praktek- waktu ke waktu konflik SDH yang terjadi
praktek tradisional yang spesifik tentang belum juga mereda, amatlah mendesak
konflik dan cara penyelesaiannya. untuk memahami penyebab konflik yang
Masyarakat biasanya menggunakan ada, melalui pendekatan manajemen
praktek-praktek tradisional, mekanisme penyelesaian konflik yang sesuai; dengan
kelembagaan lokal, serta aturan-aturan melandasi pada perbedaan kepentingan
yang melengkapi perspektif kebudayaan yang ada. Ketimpangan yang terjadi antara
yang mereka anut. pihak masyarakat desa hutan dan pihak-
pihak lain di luarnya, sebagai contoh,
Berkenaan dengan jenis-jenis konflik yang mensyaratkan proses penggalian lebih jauh
dapat diselesaikan melalui proses resolusi terhadap kebutuhan mereka secara
alternatif ini, lebih jauh dijelaskan di dalam partisipatif. Persoalan yang kemudian
pasal 75 (2) yang berbunyi: muncul di depan mata adalah perlunya
mekanisme-mekanisme ini dapat
Penyelesaian sengketa kehutanan di terlembagakan dalam waktu yang tidak
luar pengadilan dimaksudkan untuk terlalu lama. Inisiatif ini akan sulit dilakukan
mencapai kesepakatan mengenai ketika kebijakan operasional yang
pengembalian suatu hak, besarnya dikembangkan oleh aparat pelaksana belum
ganti rugi, dan atau bentuk tindakan mampu mengadopsi berbagai participatory
tertentu yang harus dilakukan untuk tools yang sebetulnya tersedia secara luas.
memulihkan fungsi hutan.
Catatan sebagai Epilog
Dengan demikian konflik yang berkaitan
dengan benturan hak (termasuk tenurial Proses dialog secara terbuka antar
system), kehilangan akses atas sumber berbagai pihak dalam proses penyelesaian
daya hutan, kerugian akibat kerusakan konflik menuju pengelolaan hutan
sumber daya hutan, serta sistem pemulihan berkelanjutan memiliki arti yang amat
fungsi dan manfaat sumber daya hutan; penting. Dialog tersebut bertujuan untuk
secara keseluruhan dapat ditempuh proses menjamin adanya representasi para pihak
penyelesaiannya melalui mekanisme di luar secara penuh dan akurat, serta menjamin
pengadilan (ADR). Ayat (3) dari pasal 75 adanya pengakuan terhadap posisi,
menyebutkan bahwa: kepentingan-kepentingan, dan keterlibatan
mereka dalam konflik yang ada.
Dalam penyelesaian sengketa Pendekatan penyelesaian konflik alternatif
kehutanan di luar pengadilan hanya akan berkembang selama diterapkan
sebagaimana dimaksud pada ayat dalam situasi yang melibatkan banyak
(2) dapat digunakan jasa pihak pihak, terutama atas kenyataan adanya
ketiga yang ditunjuk bersama oleh berbagai kepentingan dan posisi yang
Draf jadi Rancangan peraturan Pemerintah Beranjak dari hal itu, tidak salah jika
tersebut disusun guna memenuhi tuntutan kemudian dikembalikan pada itikad baik
pengaturan lebih lanjut, dimana telah eksekutif sebagai institusi perumus produk
didelegasikan oleh beberapa pasal (17 kebijakan tersebut. Namun tidak keliru dan
pasal) dalam UU No. 41 tahun 1999 tentang tidak berlebihan juga kiranya kalau
kehutanan, yang menentukan peraturan kemudian kemungkinan tetap ada peluang
pelaksanannya dalam Peraturan kritik dan koreksi untuk digunakan.
Pemerintah. Terlepas dari pro dan kontra
keberadaan UUK No.41 tahun 1999 yang Fenomena distorsi dalam suatu peraturan
menggantikan UU No. 5 tahun 1967 apakah pelaksanaan berupa Peraturan Pemerintah
telah demokratis, aspiratif-akomodatif adalah bukan hal baru lagi. Distorsi
mengadopsi hak-hak dan kepentingan pengaturan lebih lanjut boleh jadi
rakyat, pada kenyataannya UU tersebut merupakan usaha pemlintiran bahasa
telah diundangkan (Lembaran Negara RI terjemahan dalam Peraturan Pemerintah
tahun 1999 No.167 tanggal 30 september maupun interpretasi dalam contens/materi
1999) sehingga membawa konsekuensi peraturan pelaksanaan yang bersangkutan.
berlaku mengikat. Sering sekali (kalau tidak selalu) di dalam
Udang-Undang sudah mengatur secara
Oleh karena itu agenda selanjutnya adalah bagus dan ideal, tetapi kemudian
segera dibuatnya peraturan pelaksanaan mengalami disfungsii dalam
berupa Peraturan Pemerintah. Mengingat pelaksanaannya. Bukan saja karena tidak
bahwa proses pembuatan suatu suatu segera keluar peraturan pelaksanaanya,
Peraturan Pemerintah sepenuhnya adalah tetapi juga karena peraturan pelaksanaan
otoritas instansi sektoral yang bersangkutan tersebut malah mereduksi peran Undang-
(eksekutif), maka tidak mustahil Peraturan Undang itu sendiri. Akan tetapi di sisi lain
Pemerintah tersebut nantinya tendensius tidak tertutup kemungkinan ada juga
berpihak pada kepentingan Peraturan Pemerintah yang bagus dan
pembuatnya.Peraturan perundang- ideall yang bisa mendukung peran
undangan yang lahir dari ambisi dan berlakunya suatu Undang-Undang yang
delegasi kewenangan (untuk mengatur lebih materinya secara teknis teoritis-normatif
lanjut suatu peraturan perundangan dengan tidak baik.
peraturan yang lebih rendah) tidak jarang
merupakan pandangan dan kehendak Suatu peraturan perundang-undangan
sepihak dari pembuatnya yang idealnya harus memenuhi tiga unsur
konsistensinya dengan peraturan yang sebagai parameter guna mempunyai
menjadi dasarnya sering sekali kekuatan berlaku. Ketiga unsur tersebut:
dipersoalkan (kecenderungan untuk harus mempunyai kekuatan berlaku yuridis,
menyimpang dari peraturan yang lebih sosiologis dan filosofis sekaligus
tinggi dapat diselesaikan melaui judicial (Mertokusumo, 75: 1991).
review ). Tanpa bermaksud apiori, hal itu
mungkin sekali terjadi dikarenakan oleh Pertama, kekuatan berlaku yuridis
tidak adanya ruang dan kesempatan bagi (juristsche geltung), peraturan perundang-
kontrol publik yang cukup berarti. Berbeda undangan mempunyai kekuatan berlaku
halnya dengan proses pembuatan dan yuridis apabila persyaratan formal (meliputi
penyusunan Undanng-Undang. Dalam
Sumber Bahan
Mahfud,Moh,MD, Pergulatan
Politik dan Hukum Di
Indonesia, Gama Media,
Yoyakarta 1999
Mertokusumo,Sudikno,
Mengenal Hukum (suatu
pengantar), edisi ketiga,
Liberty, Yogyakarta 1991.