Anda di halaman 1dari 39

Bagian 4.

Masyarakat vs Intervensi Kebijakan PSDH

4.1. Reboisasi Plus HTI : Model pengelolaan hutan yang meyesatkan.


(Belajar dari Kasus Lainea)

4.1.1. Riwayat Proyek

Pertama kali usaha ‘pembalakan’ hutan oleh pemerintah di Kecamatan Lainea


dilakukan melalui proyek reboisasi. Idealnya pelaksanaan proyek ini adalah untuk
meghijaukan kembali kawasan hutan yang telah kosong akibat suatu kegiatan
pengelolaan maupun faktor lain. Atau dalam rangka mengoptimalisasi kembali fungsi
kawasan hutan yang telah mengalami deforestasi1 baik karena aktifitas masyarakat
maupun oleh sebab musabab alamiah.
Pelaksanaan proyek ini diawali dengan dikeluarkannya Undang-Undang
No.5 Tahun 1967 tentang Kehutanan sebagai pengganti peraturan dibidang kehutanan
sebelumnya.2 Secara praktis proyek Reboisasi pertama kali diimplementasikan di
Kabupaten Kendari pada tahun 1969, yakni 2 tahun setelah undang-undang dibidang
kehutanan tersebut dikeluarkan. Proyek ini dilaksanakan secara swakelola oleh Dinas
Kehutanan Tk.I Sulawesi Tenggara sebagai penanggung jawab utama dengan Dinas
Kehutanan Tk II Kabupaten Kendari beserta segala perangkat di bawahnya sebagai
pelaksana lapangannya.

1
Mengenai pengertian deforestasi, menurut Soemarwoto (1991: 95), hingga saat ini, diantara berbagai
pihak belum ada kesepakatan tentang batasan apa yang dimaksud dengan deforestasi (deforestation) itu.
Beberapa pihak ada yang mengunakan konsep ini untuk setiap ganguan pada hutan, sehingga pembalakan
dengan sistem tebang pilih pun misalnya, juga termasuk dalam konsep deforestasi itu. Demikian pun
dengan penebangan habis sementara, seperti yang dilakukan oleh masyarakat-masyarakat yang
mengembangkan tehnik pertanian perladangan berpindah. Sedangkan Food and Agriculture Organization
(FAO) suatu badan dunia yang mengurusi masalah pangan dan kegiatan pertanian dunia, menggunakan
istilah deforestasi ini secara terbatas, yairtu apabila hutan itu berubah menjadi tata guna laan yang lain atau
hutan itu rusak berat, sehingga dilantai hutan tumbuh rumput yang luas. R.Yando Zakaria, 1994.
2
Peraturan dimaksud adalah perundang-undangan zaman kolonial staatblad 1911 Nomor 110 yang
kemudian diubah dengan staablad 1940 Nomor 430 yang memuat Surat Keputusan Gubernur Jenderal
Hindia Belanda tentang penguasaan benda-benda yang tidak bergerak, gedung-gedung, dan lain-lain
bangunan milik negara. Mirna Safitri, 1995.

77
Di Kabupaten Kendari sebagaimana telah disebutkan di atas, pertama kali proyek
ini diluncurkan pada tahun 1969 hingga berturut-turut pada tahun-tahun berikutnya
dengan komoditi utama tanaman jati. Sehingga itulah masyarakat di kampung-kampung
menyebutnya sebagai ta’u dati yang berarti berladang sambil menanam jati.
Pusat pengembangan proyek Reboisasi tanaman jati adalah di wilayah Kabupaten
Kendari Selatan, khususnya di Kecamatan Lainea dan Kecamatan Kolono. Alasannya
adalah bahwa kawasan hutan di wilayah ini termasuk dalam kategori tanah berkapur
sama dengan Pulau Muna sehingga sangat cocok untuk dijadikan sebagai pusat
pengembangan tanaman jati.
Pada tahun 1969/1970 proyek Reboisasi di Kecamatan Lainea dilaksanakan di
kawasan hutan Towulamea yakni suatu kawasan hutan yang sebenarnya ditumbuhi oleh
hutan rimba dataran rendah dengan tingkat kerapatan yang cukup tinggi. 3 Pembukaan
kawasan hutan di Towulamea untuk proyek Reboisasi berturut-turut dilaksanakan pada
tahun 1970/1971, 1971/1972, 1972/1973.
Pada tahun 1974/1975 Pelaksanaan proyek Reboisasi dipindahkan di Desa
Pamandati meliputi kawasan hutan Windo, Desa Watume’eto meliputi kawasan hutan
A’Oreo, dan Kelurahan Punggaluku di kawasan hutan Pu’u Wewu; Pada tahun
1975/1976 dilaksanakan di Desa Pamandati kawasan hutan Monggaria, Desa
Lalonggombu meliputi kawasan hutan Tondoahu dan Windo-windonu atau dikenal juga
dengan sebutan Osu Ndokolono; Pada tahun 1976/1977 di Desa Pamandati yakni dalam
kawasan hutan Dou-doule, tahun 1977/1978 di Windo dan Monggaria, tahun 1978/1979
di Kaindi dan Windo, tahun 1979/1980 di Landai, tahun 1980/1981 di Kaindi, dan tahun
1981/1982 di Kaindi yakni di Gunung Rumbalaka dan Tiroandahi.
Setelah penanaman tahun 1981/1982 di Gunung Rumbalaka dan Tiroandahi,
maka pelaksanaan proyek Reboisasi di Kecamatan Lainea praktis berakhir. Hal ini
berkaitan dengan kebijakan Gubernur Propinsi Sulawesi Tenggara (Edy Sabara) yang
saat itu menyatakan menutup atau tidak mengizinkan lagi proyek reboisasi untuk
dilanjutkan di Sulawesi Tenggara. Kebijakan ini pertama kali disampaikannya pada saat
meresmikan penggunaan Bendungan Laeya di Kelurahan Ambalodange pada tahun 1981.
Beberapa alasan yaang dikemukakan Gubernur pada saat itu adalah bahwa proyek
Reboisasi dalam kenyataannya hanya akan menyusahkan masyarakat yang bermukim di
sekitar kawasan hutan. Yang tadinya masyarakat dapat mengambil kayu bakar di

3
Hal ini sama pada semua kawasan hutan yang dijadikan sebagai areal proyek reboisasi dan HTI di
Kecamatan Lainea. Karena itu pula proyek ini lebih tepatnya disebut sebagai ‘usaha pembalakan hutan’ —
sebagaimana diuraikan pada pembukaan pebahasan ini.

78
belakang rumah mereka atau mengambil kayu untuk ramuan rumah, maka dengan adanya
proyek ini masyarakat tidak akan seenaknya lagi untuk masuk kawasan hutan. Pendek
kata proyek ini dengan sendirinya membatasi akses masyarakat terhadap sumber daya
hutan. Dan ini terbukti seperti dialami oleh masyarakat sekarang ini.

4.1.2. Dari Reboisasi Ke HTI

Pada pertengahan tahun 1980-an pemerintah mengeluarkan sebuah kebijakan baru


dibidang pengelolan sumber daya hutan yang kemudian dikenal dengan sebutan Hutan
Tanaman Industri (HTI). Proyek ini diluncurkan dalam rangka mengejar rencana
ambisius pemerintah untuk membangun kawasan hutan yang luas untuk hutan tanaman
industri yang tumbuh cepat. Proyek ini dipercepat dengan dikeluarkannya Peraturan
Pemerintah Nomor 7 tahun 1990 tentang HTI pada sekitar tahun 1990. Pada awalnya
pemerintah menetapkan proyek HTI sebagai rencana untuk menyediakan pasokan
tambahan kayu yang berasal dari hutan-hutan alam, melakukan reabilitasi lahan yang
terdegradasi, dan mempromosikan konservasi alam.4
Sejalan dengan kebijakan tersebut di atas, di Kecamatan Lainea untuk pertama
kalinya proyek Hutan Tanaman Industri (HTI) dikembangkan di kawasan hutan
Towulamea pada tahun 1988/1999. kemudian pada tahun 1989/1990 di kawasan hutan
Pu’upi, tahun 1991/1992 kembali ke Towulamea bersamaan dengan kawasan hutan
Anggaliwa di Desa Lalonggombu, tahun 1992/1993 di kawasan hutan Watupute,
1993/1994 di kawasan hutan Palotoho—keduanya dalam wilayah Desa Pamandati juga
bersamaan dengan Anggaliwa pada tahun yang sama.
Semenjak digulirkannya proyek Reboisasi hingga berganti nama menjadi HTI,
paling tidak berdasarkan data yang ada—hingga sekarang ini telah 21 kali dilaksanakan
di Kecamatan Lainea yang berarti telah 21 tahun dijadikan sebagai bagian dari proyek
pengelolaan hutan oleh pemerintah dengan total areal yang dikelola lebih kurang 3500
Ha.5
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1990 tentang HTI, maka
pengelolaan proyek HTI diserahkan kepada para pengusaha dengan berbagai subsidi dari
pemerintah, termasuk pinjaman dengan ketentuan yang lunak dari “Dana Reboisasi” yang
dikumpulkan dari para pemegang HPH. Salah satu kebijakan pemerintah dalam hal ini
4
Potret Keadaan Hutan Indonesia, Forest Watch Indonesia – Global Forest Watch, 2001
5
Secara nasional, di Sultra dikembangkan HTI gergajian dengan kawasan yang dialokasikan seluas 72.845
Ha, kawasan HTI yang ditanami 5.942 Ha, Persen alokasi kawasan yang ditanami 8,2%, jumlah perusahan
2 buah.

79
disebutkan bahwa perusahan swasta yang membangun HTI berhak untuk mendapatkan
bantuan modal dari pemerintah sampai sejumlah 14% dan pinjaman tanpa bunga sampai
32,5%, yang sumbernya berasal dari dana reboisasi. Perusahan negara dibidang
kehutanan berhak untuk mendapatkan bantuan dana partisipasi sebesar 35% dari
pemerintah dan dapat mengakses kepada pinjaman tanpa bunga sampai sebesar 32,5%.6
Dalam kenyataannya, di Kabupaten Kendari, khususnya pengelolaan HTI di
Kecamatan Lainea (termasuk pula reboisasi), dilakukan sendiri oleh Dinas Kehutanan
Propinsi Sulawesi Tenggara. Indikasi yang paling jelas seperti dituturkan oleh
masyarakat setempat bahwa yang mengelola proyek ini dilapangan dan yang menjadi
pemimpin dari proyek ini sebagaimana yang disaksikan oleh masyarakat adalah aparat
kehutanan setempat. Apakah mereka itu dalam kapsitas sebagai aparat dinas kehutanan
atau merupakan bagian dari Perhutanda—adalah tidak jelas dan tidak pernah dijelaskan
kepada masyarakat.

Tabel 1. Perkembangan Pelaksanaan Proyek Reboisasi – HTI di Kecamatan


Lainea

Lokasi
No. Tahun
Desa Kawasan Hutan Luas (Ha)
1 1969-1970 Molinese Towulamea -
2 1970-1971 Towulamea -
3 1971-1972 Towulamea -
4 1972-1973 Towulamea -
5 1974-1975 Pamandati Windo 200
Watume’eto A’oreo -
Punggaluku Pu’u wewu -
6 1975/1976 Lalonggombu: Tondoahu, Windo-windonu 350
(osu ndokolono)
Pamandati Monggaria -
7 1976/1977 Pamandati Dou-doule 300
Monggaria -
8 1977/1978 Windo 280
9 1978/1979 Windo, Kaindi 300
10 1979/1980 Lainea Landa’i 150
11 1980/1981 Pamandati Kaindi 60
12 1981/1982 Rumbalaka, Tiroandahi 150
13 1988/1989 Lainea Towulamea 200
14 1989/1990 Kapu boru 260
15 1990/1991 Towulamea 350
16 1991/1992 Towulamea 250
17 1992/1993 Pamandati Watupute 150

6
Potret Keadaan Hutan Indonesia, Forest Watch Indonesia – Global Forest Watch, 2001.

80
18 1993/1994 Palotoho 120
19 1996/1997 Dangge-dangge 150*
20 1999/2000 Kaindi 100*
21 2000/2001 Kaindi 10*
Total 3120

Sumber : Data olahan hasil penelitian, 2002

Keterangan : * Lahan bekas reboisasi yang kemudian diproyekan ulang.


* Sel-sel yang kosong menunjukkan belum teridentifikasinya data dimaksud
karena itu tidak bernilai nol. Total luas yang tertera diatas hanya berdasarkan
data yang diketahui.

4.1.3. Masyarakat Sebagai Buruh

Dalam proses pelaksanaannya, Proyek Reboisasi maupun HTI menjadikan


masyarakat sebagai buruh upahan. Masyarakat dipekerjakan atau terpaksa bekerja dalam
proyek tersebut bukan sebagai suatu pilihan yang menarik. Tetapi semata-mata sebagai
suatu strategi agar dapat tetap bekerja sebagai peladang. Hal ini dapat dimaklumi
mengingat pranata utama masyarakat di Kecamatan Lainea dalam bidang mata
pencaharian adalah berladang berpindah sebagai suatu model pengelolaan dan
pemanfaatan sumber daya hutan. Dalam konteks ini pihak proyek dalam hal ini Dinas
Kehutanan memanfaatkan momentum ini untuk merekrut tenaga kerja murah—dalam hal
mana masyarakat seolah-olah berada dipihak yang diuntungkan: dapat tetap mengolah
hutan untuk perladangannya sebagaimana yang telah turun temurun dilakukannya plus
mendapatkan imbalan—suatu hal yang tidak pernah mereka dapatkan sebelumnya.
Bidang pekerjaan yang dikerjakan oleh masyarakat dalam konteks proyek adalah
membersihkan pepohonan besar maupun kecil—dalam hal mana pula--hal ini sangat
relevan dengan model perladangan yang dilakukan oleh masyarakat, khususnya
masyarakat Tolaki yakni monda’u.7 Selanjutnya membuat anjir yang terdiri dari potongan
kayu sepanjang lebih kurang 1 (satu) meter kemudian diruncing atau dilansingkan.
Setelah itu, maka pekerjaan berikutnya adalah memasang anjir dengan menggunakan tali
nilon yang dibentangkan sebagai patokan dalam memasang anjir agar mengikuti garis
lurus. Anjir dipasang dengan jarak 3 x 1 meter. Pekerjaan selanjutnya adalah menanam
bibit jati yang telah disediakan sebelumnya oleh pihak proyek. Enam bulan kemudian
disusul dengan penyulaman untuk menggantikan bibit yang tidak tumbuh. Setelah proses
penanaman dan penyulaman selesai, maka tahapan selanjutnya adalah pembersihan
rerumputan dan berbagai gulma lainnya yang mengganggu tanaman jati. Waktu yang
7
Seperti telah diuraikan pada bab sebelumnya.

81
dihabiskan untuk 1 (satu) musim proyek ini adalah 6 (enam) bulan—sesuai dengan umur
padi lokal yang ditanam oleh peladang. Dari keseluruhan pekerjaan yang dilakukan oleh
masyarakat dalam konteks proyek di atas, dihargai dengan total Rp.8.000,- dengan
2 (dua) tahapan pembayaran, yakni pembayaran pertama setelah menanam jati, dan
pembayaran kedua setelah panen. Namun, dalam banyak kasus pembayaran tahap kedua
bakan yang pertama sekalipun terkadang tidak dibayarkan kepada para peladang. Dengan
asumsi bahwa masyarakat telah cukup beruntung diberikan keleluasaan untuk mengolah
hutan dan mendapatkan hasil panen yang melimpah.
Pada tahun-tahun berikutnya, yakni ketika proyek Reboisasi telah berganti
menjadi HTI maka harga tenaga masyarakat menjadi lebih tinggi. Pada tahun 1988/1989
setiap masyarakat memperoleh Rp.125.000,- untuk biaya pembersihan setiap hektarnya;
Rp.17.000,- untuk pemasangan anjir; Rp.17.000,- untuk penanaman; Rp.17.000,- untuk
penyulaman. Jadi total yang diterima masyarakat dalam per hektarnya adalah
Rp. 176.000,-. Uang ini diterima pertahapan pekerjaan yang telah diselesaikan. Namun,
dalam banyak kasus, seperti yang terjadi pada proyek tahun-tahun sebelumnya,
masyarakat terkadang tidak mendapatkan uangnya secara penuh. Bahkan tidak
dibayarkan sama sekali—tentu dengan alasan yang sama seperti di atas.
Setelah berakhirnya tahapan ini, maka pekerjaan selanjutnya adalah pembersihan
tahap kedua, yakni ketika tanaman jati telah menginjak usia 6 tahun. Pekerjaannya
dilakukan dengan sistim harian dengan upah sebesar Rp.15.000,- / hari tidak ditanggung
makan. Selanjutnya penjarangan dilakukan ketika tanaman jati telah memasuki usia
15-20 tahun. Pekerjaannya juga dilakukan dengan sistim harian dengan biaya upah yang
sama seperti di atas. Penjarangan tahap kedua dilakukan pada saat tanaman jati
memasuki usia 30 tahun yakni usia dimana tanaman jati sudah cukup produktif untuk
diolah. Seperti sebelumnya pekerjaannya dilakukan dengan sistim harian, yakni
Rp.15.000,- / hari tidak ditanggung makan.
Dari uraian panjang lebar di atas, sangat nampak bahwa apa yang diperoleh
masyarakat, tidak lebih--dari hanya sekedar--gaji upahan sebagai buruh kasar dalam
proyek tersebut. Sementara hak yang semestinya diperolehnya sebagai pemilik sah atas
kawasan dan sumber daya alam—sebagai orang yang bermukim di dalam dan di sekitar
kawasan dan mengelola sumber daya alam secara turun temurun, sama sekali diabaikan.
Uraian yang cukup detail di atas, kiranya dapat menjadi justifikasi atas kebenaran
argumentasi ini. Dan dengan fakta ini, sekali lagi tetbukti bahwa betapa rakyat—terlebih

82
penduduk lokal yang memiliki ‘klaim historis’8 atas sumber daya alam menjadi korban
dan dikorbankan oleh klaim hak menguasai negara—sebagaimana yang menjadi logika
pembangunan di Indonesia, termasuk dalam bidang kehutanan.

4.1.4. Reboisasi dan HTI Sebagai Proyek Sarat KKN

Diakui atau tidak bahwa kebijakan pemerintah tentang Reboisasi pada dekade
1969-1970-an serta dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1990 tentang
HTI adalah sarat dengan KKN. Fakta menunjukkan bahwa terutupnya manajemen proyek
reboisasi serta dengan berbagai privilase dari pemerintah terhadap para pengusaha HTI
tidak bisa dipandang sebelah mata. Carut marut seputar kebijakan proyek Reboisasi dan
HTI di tingkat nasional, juga berdampak terhadap pengelolaan proyek Reboisasi dan HTI
di daerah.
Berdasarkan studi yang dilakukan terdapat berbagai bobrok yang ditemukan
seputar pengelolan proyek ini :
a. Menyangkut penetapan lokasi. Sesuai dengan peraturan pemerintah, mestinya
proyek ini dilaksanakan pada kawasan hutan yang tandus atau mengalami tingkkat
degradasi yang cukup tinggi. Sehingga kemampuan untuk pulih (renewal) secara
alamiah tidak dimungkinkan lagi. Tetapi dalam kenyataannya proyek ini dilaksanakan
pada kawasan hutan alam yang masih perawan atau bekas-bekas areal perladangan
masyarakat yang sebenarnya telah menghutan kembali. Jika saja kejadian seperti ini
hanya sekali saja, mungkin dapat dianggap sebagai kekhilafan namun ini terjadi
berulang kali. Bahkan semenjak proyek ini mulai dilaksanakan hingga sekarang.
Karena itu hal ini mestilah sesuatu yang disengaja. Akibatnya, bukan saja negara
yang dirugikan miliaran rupiah tetapi juga lingkungan hidup berupa sumber daya
hutan yang tidak ternilai harganya. Sebagai contoh misalnya proyek HTI yang
dilaksanakan pada kawasan hutan Palotoho dan Watupute Desa Pamandati pada tahun
1992/1993 dan 1993/1994. kedua kawasan hutan ini merupakan kawasan hutan alam
yang tidak pernah diolah sama sekali, termasuk dijadikan sebagai areal perladangan

8
Klaim historis atau yang dalam bahasa Inggrisnya disebut dengan istilah Historical Claim adalah suatu
klaim hak atas kawasan dan sumber daya alam oleh penduduk asli. Dalam hal ini yang dimaksu dengan
penduduk asli adalah orang atau kelompok masyarakat yang pertama-tama mendiami suatu kawasan
dengan mengelola sumber daya alam yang ada di sekitarnya. Karena itu penelusuran sejarah diarahkan
pada sejarah pemukiman dan persebarannya serta sejarah pengelolaannya atas sumber daya alam sebagai
alat pembuktian—apakah mereka benar-benar penduduk asli atau bukan. Untuk lebih jelasnya baca Iwan
Tjitrajaya,dkk, 1999.

83
oleh orang-orang dahulu. Rata-rata diameter kayunya kisaran 30 – 150 Cm. Tetapi
kenapa lokasi ini yang dijadikan sebagai areal proyek HTI?
b. Menyangkut penetapan harga, berapa rupiah tenaga masyarakat mesti dihargai
dalam setiap hektarnya, tidak pernah disampaikan kepada masyarakat. Penetapan
harga dilakukan secara sepihak oleh pengelola proyek. Belum cukup sampai di situ,
seperti telah diuraikan sebelumnya, dalam kenyataannya seringkali tenaga masyarakat
tidak dihargai. Hingga hari ini, belum satu orang pun masyrakat yang mengetahui
apakah misalnya harga yang pernah diberlakukan pada musim tanam tahun
1974/1975—ketika era Reboisasi-- sebesar Rp.8.000,-/Ha adalah harga yang sesuai
ketetapan pemerintah atau sekedar akal-akalan saja. Manajemen proyek ini begitu
tertutup sehingga masyarakat tidak punya akses sama sekali untuk mengetahui
mengenai seluk beluk proyek ini, termasuk itu pula untuk mengetahui hak-haknya.
Dalam kenyataannya masyarakat memang tidak punya daya berhadapan dengan
pengelola proyek ini. Begitu pula ketika era HTI tahun 1991/1992 misalnya, harga
yang diberikan kepada masyarakat untuk setiap hektarnya adalah Rp.125.000,-.
Secara logik berdasarkan UMR maupun UMP di Sulawesi Tenggara pada saat itu
sangat tidak layak. Tetapi dalam kasus ini lagi-lagi masyarakat tidak punya saluran
dan lebih-lebih hak untuk mengakses informasi mengenai harga yang sebenarnya.
c. Menyangkut pengukuran luasan kawasan yang diolah setiap masyarakat.
Sebahagian masyarakat merasa bahwa areal yang dibukanya cukup luas. Tetapi dalam
kenyataannya ketika diukur oleh pihak pengelola proyek tidak signifikan. Masyarakat
seringkali mempertanyakan proses pengukuranya, tetapi harapan masyarakat untuk
dilakukan pengukuran ulang secara sebenarnya tidak dikabulkan. Sebaliknya adapula
sebahagian masyarakat yang sebenarnya memiliki luas lahan yang tidak seberapa,
tetapi hasil pengukuran menyatakan bahwa lahan yang diolahnya cukup luas. Kasus-
kasus seperti ini acapkali terjadi jika sipemilik lahan tersebut adalah keluarga
pengelola proyek atau mandor atau lahan pengelola proyek dan mandor itu sendiri.
d. Menyangkut pekerjaan membersihkan rerumputan atau gulma yang
mengganggu tanaman jati. Pekerjaannya dilakukan perkawasan atau 25 ha. Pelaksana
pekerjaannya umumnya adalah keluarga pengelola proyek. Si pelaksana inilah yang
kemudian mempekerjakan orang-orang dikampung dengan sistim upah. Dalam
kenyataanya pekerjaan yang dilakukan tidak seperempatnya tetapi sudah dinyatakan
selesai sementara pembayarannya untuk luasan keseluruhan. Banyaknya lahan-lahan

84
bekas reboisasi yang kemudian menjadi belantara atau menjadi padang alang-alang
kemudian diproyekkan ulang dapat ditelusuri dari sini.
e. Menyangkut tenaga kerja. Perekrutan tenaga kerja sebagai mandor dalam proyek
ini oleh pengelola proyek dari Dinas Kehutanan dilakukan secara suka-suka. Dalam
kenyataannya tenaga mandor yang direkrut seringkali seluruhnya adalah keluarga
pengelola proyek. Bahkan dalam banyak kasus, tenaga mandor yang tertera namanya
tidak ada orangnya alias hanya nama saja atau juga masih bayi. Fakta seperti ini
terus-menerus terjadi pada setiap musim tanam.

4.1.5 Berbagai Dampak Proyek

Dampak Ekologis
Proyek Reboisasi maupun HTI dalam kenyataannya tidak dilaksanakan
pada lahan-lahan kosong atau kawasan hutan yang telah mengalami deforestasi
sebagaimana seharusnya. Tetapi dilaksanakan pada kawasan hutan alam yang
masih perawan atau bekas-bekas areal perladangan masyarakat beberapa puluh
tahun yang lalu yang telah menghutan kembali. Di Kecamatan Lainea tidak lebih
1 % lahan kosong yang menjadi areal proyek Reboisasi atau HTI selebihnya
adalah hutan rimba atau kawasan bekas perladangan masyarakat yang telah pulih
secara alamiah.9 Dan dari total luas kawasan hutan yang dijadikan sebagai areal
Reboisasi dan HTI sekitar 40% tidak sempurna pertumbuhannya, baik karena
pengaruh alamiah maupun oleh sebab-sebab lainnya seperti kebakaran hutan. Ini
artinya ada lebih kurang 1200 Ha kawasan hutan alam yang menjadi gundul atau
padang ilalang. Secara keseluruhan akibat pembukaan areal Reboisasi dan HTI,
kawasan hutan alam yang hilang adalah lebih kurang 3500 Ha berubah menjadi
hutan jati. Perubahan vegetasi dalam kawasan hutan ini dengan sendirinya pula
turut merubah fungsi hutan.
Jati (Tectona Grandis Sp) merupakan salah satu tumbuhan yang paling
rakus menangkap air tanah dibandingkan dengan tanaman-tanaman kehutanan

9
Reboisasi mengandung makna penghijauan. Artinya proyek ini dilakukan dalam ranngka menghijaukan
kembali kawasan hutan yang telah mengalami deforestasi berat. Lebih tegas lagi Peraturan pemerintah
tahun 1990 jelas menyatakan bahwa HTI hanya diberikan untuk kawasan hutan permanen non produktif
dan tidak akan diberikan pada kawasan yang sudah berada di bawah sebuah HPH. Namun dalam
prakteknya konsesi HTI sering dibangun dilahan hutan yang masih produktif. Menurut perhitungan yang
dibuat berdasarkan studi kelayakan perusahan HTI pada bulan juni 1998, 22 perusahan lahan yang dikelola
sebagai HTI adalah lahan yang sebelum pembangunan HTI merupakan hutan alam produktif (Kartodiharjo
dan Supriono, 2000 dalam FWI dan GFW, 2001).

85
lainnya. Karena itu dalam setiap lahan atau kawasan hutan yang ditanami jati
secara massal--secara gradual akan mengalami kekeringan dan permukaan
tanahnya menjadi berpasir. Pemandangan seperti ini nampak sekali terlihat dalam
kawasan hutan di Kecamatan Lainea yang menjadi areal proyek Reboisasi dan
HTI.
Di Kecamatan Lainea paling tidak terdapat beberapa sungai besar maupun
kecil yang sumber airnya berasal dari kawasan hutan jati tersebut. Di antaranya
adalah Sungai Laea, Sungai Bulusa, Sungai Tanggulaba, Sungai Tondoahu,
Sungai Windo-windonu, Sungai Watume’eto, Sungai Windo, Sungai Mongaria,
Sungai Manumohewu, Sungai Kaindi, dan Sungai Landai. Sungai-sungai ini
berfungsi sebagai sumber air bersih bagi penduduk di Kecamatan Lainea
disamping sebagai sumber air untuk persawahan. Dari beberapa sungai tersebut di
atas, yang berfungsi sebagai sumber air pengairan adalah Sungai Laea yang
merupakan sumber air Bendungan Laea yang mengairi persawahan 1800 Ha
tersebar pada beberapa desa di antaranya Kelurahan Ambalodange, Kelurahan
Punggaluku, Desa Rambu-rambu; Sungai Windo mengairi Bendungan Pamandati
yang mengairi 230 Ha areal persawahan tersebar di Desa Pamandati dan Desa
Panganjaya; dan Sungai Landai sebagai sumber air bagi Bendungan Lainea
dengan luas areal persawahan 50 Ha.
Dampak ekologis yakni berupa berkurangnya fungsi hutan sebagai penata
air tanah (hidro-orologis) sangat terasa pada Sungai Windo. Dahulu sungai ini
memiliki debet air yang cukup tinggi baik pada musim hujan maupun musim
kemarau. Tetapi sekarang ini seiring dengan pembukaan areal Reboisasi dan HTI
di kiri kanan hulu sungai ini—mengakibatkan berkurangnya debet airnya dan
apabila musim kemarau tiba sungai ini mengalami kekeringan. Akibatnya
kemampuan sungai ini untuk mengairi persawahan menjadi berkurang dan dalam
kenyataannya masyarakat terpaksa hanya membuka areal persawahannya selama
satu kali musim tanam saja, yakni pada saat musim penghujan.
Keadaan yang sama terjadi pada Sungai Manumohewu. Dahulu sungai ini
sangat tinggi debet airnya baik pada musim hujan maupun musim kemarau.
Sekarang ini, apabila musim kemarau tiba sungai ini nampak seperti sungai mati
(batang sungai) sedangkan bila musim penghujan tiba mengakibatkan terjadinya
banjir sebagai akibat masyarakat menjadikannya sebagai tong sampah. Dan
setelah banjir berlalu, debet airnya kembali mengecil. Kondisi seperti di atas, juga

86
terjadi pada sungai Tondoahu sebagai salah satu sungai yang di kiri kanan
hulunya ditumbuhi tanaman jati.
Di masa datang, jika tanaman jati semakin membesar dan proyek HTI
semakin dikembangkan pada hutan-hutan alam—tidak menutup kemungkian
dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi sungai-sungai tersebut tinggal berupa
batang sungai. Dan ini berarti masyarakat di sekitar kawasan hutan tersebut akan
kehilangan sumber air bersih dan sawah-sawah akan mengalami kekeringan.

Dampak Sosial Budaya Bagi Masyarakat Lokal


Salah satu kelompok masyarakat yang paling merasa kehilangan akibat
proyek ini adalah orang Tolaki sebagai suatu penduduk asli yang bermukim di
dalam dan di sekitar kawasan hutan tersebut dan mengembangkan suatu pola mata
pencaharian berladang seperti telah dibahas pada bab sebelumnya dan meramu
atau mengumpulkan hasil hutan.
Secara praktis, dengan digulirkannya proyek Reboisasi dan HTI sebagai
pengejawantahan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Kehutanan,
orang Tolaki tidak dapat lagi mengembangkan kebudayaannya berupa mata
pencaharian dengan sistem berladang yang disebut monda’u dan mengumpulkan
hasil hutan berupa merotan dan mengumpulkan pandan hutan untuk anyam-
anyaman tradisional. Melakukan perladangan berarti menjadi perambah hutan dan
itu bertentangan dengan kebijakan pemerintah tentang pengelolaan hutan. Begitu
pula memungut hasil hutan tanpa izin dari pemerintah. Karena itu satu-satunya
pilihan masyarakat agar tetap melanjutkan mata pencaharian monda’u-nya adalah
dengan masuk bekerja dalam proyek ini—seperti telah diuraikan sebelumnya.
Tetapi apabila proyek tidak ada, maka terpaksa masyarakat menghentikan
aktifitas perladangannya. Terhentinya aktifitas perladangan pada masyarakat
Tolaki berarti pula putus dan hilangnya berbagai ritual dan pengetahuan
tradisional (local knowledge)10 orang Tolaki yang berkaitan dengan pranata
monda’u.
Secara detail perubahan-perubahan sosial budaya tersebut dapat
diidentifikasi sebagai berikut :

10
Local Knowledge sering pula disebut sebagai tradisional knowledge atau ecological wisdom dalam
konteks pengelolaan sumber daya alam. Pada dasarnya kearifan lingkungan sebagaimaana orang sering
menyebutnya adalah pengetahuan kebudayaan yang dimiliki oleh suatu masyarakat tertentu yang
mencakup sejumlah kebudayaan yang berkenaan dengan model-model pemanfaatan dan pengelolaan
sumber daya alam secara lestari. R.Yando Zakaria, 1994. Periksa juga Tim J Babcock,1999.

87
1. Perubahan pada morfologi sosial. Morfologi sosial orang Tolaki adalah
berladang pada bulan Januari hingga Juni yang diawali dengan pembukaan
hutan selama tiga bulan sebelumnya yakni pada bulan Agustus hingga bulan
Desember. Antara masa panen, kaum perempuan orang Tolaki mebersihkan
gulma dan rerumputan yang menganggu tanaman padi disamping
menjaganya dari berbagai gangguan binatang maupun burung-burung serta
membuat berbagai macam anyam-anyaman. Sedangkan laki-lakinya
mencari pekerjaan sampingan hingga musim panen tiba. Biasanya mereka
mengumpulkan rotan untuk menambah pemasukan keluarga dan bekerja
sebagai buruh di kampung maupun di kota. Setelah masa panen selesai
orang Tolaki melakukan berbagai ritual atau syukuran atas hasil panen.
Selanjutnya tibalah musim kawin-mawin bagi orang Tolaki. Apabila musim
kawin-mawin orang Tolaki telah usai, maka pembukaan areal perladangan
selanjutnya dimulai lagi. Sehingga itulah dengan morfologi sosial seperti ini
orang Tolaki identik dengan masyarakat yang mengembangkan
kehidupannya sebagai peladang atau dalam terminologi moderen disebut
dengan masyarakat agraris yaitu masyarakat yang menggantungkan
hidupnya dengan cara bercocok tanam. Dengan adanya proyek Reboisasi
dan HTI atau pelarangan kegiatan perladangan secara liar, maka secara
praktis morfologi sosial tersebut di atas menjadi berantakan.
2. Acara ritual rumorodo. Rumorodo merupakan salah satu item dalam
kebudayaan orang Tolaki yang mengandung nilai ritual sangat tinggi yang
dilakukan sebagai perwujudan rasa terima kasih orang Tolaki kepada yang
kuasa atas nikmat yang diberikannya melalui keberhasilan dalam panen padi
ladang. Upacara rumorodo dilakukan apabila seorang peladang
menghasilkan jumlah penen padi yang sangat melimpah (mondaweako)—
seperti telah diuraikan pada bab sebelumnya. Selain fungsi religius di atas,
rumorodo juga memiliki fungsi sosial yakni untuk membangkitkan atau
menghidupkan kembali semangat dalam jiwa orang Tolaki sebagai
masyarakat peladang atau seperti yang disebut oleh Durkheim sebagai
sentimen kemasyarakatan.11 Melalui rumorodo, orang Tolaki kembali
merasa sebagai satu rumpun keluarga besar yang hidup berdampingan
secara damai atas kuasa Tuhan. Dengan hilang atau tidak efektifnya

11
Untuk lebih jelasnya mengenai hal ini lihat Doyle Paul Jhonson, 1985.

88
pelaksanaan monda’u akibat terbatasnya luasan kawasan hutan yang
tersedia, maka dengan sendirinya item kebudayaan ini tidak lagi
menemukan momen dan ruang expresinya.
3. Sistem pengetahuan dan konsep-konsep traditional orang Tolaki yang
ramah lingkungan. Sistem pengetahuan tradisional orang Tolaki
(traditional knowledge) sangat banyak terdapat dalam pranata monda’u.
Baik itu berupa mitologi-mitologi, legenda, atau pun dongeng yang
berkaitan dengan aktifitas perladangan. Pengetahuan mengenai waktu baik
dan buruk untuk memulai pekerjaan berladang, menanam, panen, dan lain-
lain. Juga yang paling penting adalah penetahuan orang Tolaki tentang
sistem pertanian heterokultur. Yaitu suatu sistem pertanian yang sebenarnya
sangat cocok dengan sistem pertanian moderen yang disebut tumpang sari,
yakni menanam berbagai jenis tanaman dalam satu lahan yang sama. Orang
Tolaki mengenal berbagai jenis tetumbuhan yang dapat dibudidayakan dan
71 jenis padi lokal yang ditanam (lihat bab 3).

Dengan hilangnya pranata monda’u, maka secara praktis pula berbagai


kearifan tradisional tersebut di atas secara lambat tapi pasti hilang dari kepala
orang Tolaki, termasuk yang sangat vital adalah hilangnya benih-benih padi lokal
tersebut akibat tidak pernah lagi dibudidayakan.
Hingga sekarang ini, di Kecamatan Lainea praktek budaya monda’u
hampir praktis tidak diketemukan lagi. Sehingga itu pula morpologi sosial seperti
diceritakan di atas sudah mengalami pergeseran. Sebagai akibatnya rumorodo
sebagai suatu item kebudayaan orang Tolaki yang sangat berkaitan erat dengan
pranata monda’u hilang sama sekali. Sejalan dengan proses ini, konsep-konsep
dan pengetahuan tradisional orang Tolaki juga hilang dengan sendirinya.
Kenyataan ini sangat nampak dengan semakin minimnya orang Tolaki di
Kecamatan Lainea yang mengetahui konsep dan pengetahuan tradisional
tersebut.12
Selanjutnya, masyarakat di Kecamatan Lainea sudah sangat jarang yang
menyimpan bibit-bibit padi lokal. Kalaupun masih ada jumlahnya sangat minim
sekali dan tidak dalam keseluruhan jenisnya. Masyarakat membudidayakan padi
lokal kecuali di ladang-ladang yang luasnya relatif tidak memadai.
12
Sangat debateble, tetapi paling tidak proses ini juga turut memberikan sumbangsih yang tidak kecil bagi
hilangnya praktek budaya ini, disamping sebab-musabab lainnya.

89
Dampak Sosial Ekonomi
Sumber daya hutan merupakan basis ekonomi yang utama (liebenstraum)
bagi masyarakat Tolaki sebagai suatu kelompok suku bangsa yang
mengembangkan sistem mata pencaharian berladang dan mengumpulkan hasil
hutan. Karena itu memisahkan orang Tolaki dari sumber daya hutan disamping
berarti sebagai pemutusan rantai kultural juga adalah sama dengan “membunuh”
orang tolaki secara perlahan. Dalam konteks ini, makna sumber daya hutan bagi
orang Tolaki adalah sama pentingnya dengan makna sumber daya laut bagi
masyarakat nelayan.
Begitu pula bagi masyarakat di Kecamatan Lainea yang mayoritas
penduduknya adalah orang Tolaki yang telah mengembangkan sistem mata
pencaharian berladang secara turun temurun sebagai pranata ekonomi yang
utama. Dengan demikian, makna hutan sebagai areal perladangan mengandung
nilai ekonomi yang sangat tinggi bagi penduduk.
Semenjak dahulu, sebelum proyek Reboisasi dan HTI dilaksanakan di
Kecamatan Lainea—kawasan hutan di daerah itu merupakan areal pengelolaan
dan pemanfaatan masyarakat, baik berladang maupun mengumpulkan hasil hutan,
terutama sekali merotan. Karena itu dengan dilaksanakannya proyek Reboisasi
dan HTI dalam kawasan hutan tersebut serta merta menjadikan masyarakat
kehilangan ruang hidupnya. Secara praktis kehidupan berladang dan
mengumpulkan hasil hutan terhenti dengan sendirinya. Kalaupun masih ada satu
dua orang masyarakat yang melakukannya jumlahnya sangat tidak signifikan.
Secara matematis, menghitung jumlah kerugian yang diderita oleh
masyarakat dengan masuknya proyek Rebioisasi dan HTI dalam areal
pemanfaatan masyarakat, tidak dapat ditaksir. Namun secara kualitatif, paling
tidak--ditemukan fakta-fakta sebagai berikut :
1. Hilangnya areal perladangan masyarakat. Seperti telah diuraikan di atas,
bahwa kawasan hutan yang dijadikan sebagai areal proyek Reboisasi dan
HTI merupakan kawasan hutan yang menjadi areal pemanfaatan
masyarakat. Karena itu, dengan dilaksanakannya proyek Reboisasi dan HTI
dalam kawasan hutan tersebut, praktis telah menghilangkan kesempatan
masyarakat untuk berladang. Lebih lanjut pula beberapa kuntungan ekonomi

90
yang mestinya diperoleh masyarakat melalui kegiatan perladangan tersebut
juga pupus.
2. Salah satu keuntungan ekonomi yang paling utama adalah padi. Jika setiap
peladang minimal membuka areal perladangan 2 Ha sebagaimana biasanya,
berarti akan menghasilkan padi sebanyak 1 ulu yaitu 1100 ikat besar. Dalam
satu ikat besar padi tersebut dapat menghasilkan lebih kurang 8 Kg beras.
Dengan demikian dihasilkan jumlah beras 1100 x 8 Kg = 8.800 Kg beras
atau 8,8 ton. Bila setiap kilo gram beras dinilai dengan Rp.2500,-, maka
totalnya adalah 8.800 x Rp.2.500,- = Rp. 22.000.000,-. Dengan demikian
berarti kerugian setiap peladang dalam setiap tahunnya adalah
Rp.22.000.000,-. Mungkin angka ini terlalu pantastis, tetapi paling tidak
dapat menjadi petunjuk yang realistis atas kerugian nominal yang dialami
oleh para peladang dalam setiap tahunnya.
Komoditi lain pula adalah jagung. Menanam jagung merupakan
kebiasaan setiap peladang. Dalam satu lahan perladangan rata-rata peladang
menanam 20 liter bibit jagung, hingga dengan demikian akan menghasilkan
1 – 2 ton biji jagung dalam setiap tahunnya. Jika dalam setiap kilogram
jagung dinilai Rp.700,- berarti total kerugian setiap peladang dalam
setahunnya adalah 1500 kg x Rp.700,- = Rp. 1.050.000,-. Tanaman-tanaman
lainnya adalah sayur mayur yang sangat beragam jenisnya yang juga selalu
ditanam oleh setiap peladang baik untuk keperluan sendiri maupun untuk
dijual ke pasar.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya
aktifitas perladangan masyarakat merupakan sumber protein yang utama
bagi penduduk di Kecamatan Lainea. Sehingga dengan terhentinya aktifitas
ini, maka masyarakat mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan
tersebut.
Pada kenyataannya, sekarang ini--khususnya penduduk yang
dahulunya sangat menggantungkan hidupnya dari kegiatan perladangan,
untuk memenuhi kebutuhan proteinnya mengharapkan semata-mata pasokan
dari luar daerah. Ini berarti masyarakat mesti mengeluarkan biaya lagi untuk
memperolehnya-- sesuatu yang tidak pernah atau jarang terjadi sebelumnya.
3. Hilangnya lapangan pekerjaan. Bagi penduduk kampung lainnya, kegiatan
perladangan merupakan lapangan pelerjaan baru untuk menambah

91
penghasilan ekonomi keluarga. Jenis-jenis pekerjaan yang dapat dilakukan
adalah menjadi buruh harian seperti membersihkan gulma atau rerumputan
yang mengganggu tanaman padi. Pada dekade 70-an setiap pekerja harian
diberikan upah Rp 500,-/hari kerja. Pekerjaan lainnya adalah menjadi buruh
panen. Apabila musim panen tiba setiap peladang memanggil orang-orang
kampung untuk ikut membantu memotong padi dengan sistim bagi hasil
4 ikat padi yang dipotong diambil 1 ikat oleh sipemotong. Dalam satu hari
apabila pemotongan padi dilakukan secara tekun, maka setiap orang dapat
menghasilkan 24 ikat padi yang berarti 6 ikat bersih diperolehnya.
4. Hilangnya kesempatan untuk memiliki tanah perkebunan seperti di daerah
lainnya. Dengan pemasangan tapal batas kehutanan yang berbatasan
langsung dengan areal perkebunan masyarakat, maka tidak memungkinkan
lagi bagi masyarakat untuk mengembangkan areal perkebunannya. Ini
berarti kesempatan untuk melakukan perluasan tanah perkebunannya
tertutup. Di luar kebun masyarakat telah ditumbuhi hutan jati yang ditanam
melalui proyek Reboisasi maupun HTI. Sementara akses masyarakat
terhadap tanaman jati tersebut juga tidak ada sama sekali. Keadaan ini lebih
diperparah lagi dengan masuknya transmigrasi tahun 1970 di Kecamatan
Lainea yang menghabiskan tanah-tanah adat masyarakat lokal yang berada
di dataran rendah. Akhirnnya kehidupan masyarakat lokal semakin terjepit.
Di daerah lain dimana tidak terdapat proyek Reboisasi dan HTI plus
transmigrasi kesempatan masyarakat untuk mengembangkan areal
perkebunannya masih terbuka luas. Sebut misalnya di Kolaka Utara dan di
Kecamatan Sawa dan Lasolo Kabupaten Kendari.
5. Hilangnya akses masyarakat atas hasil hutan utamanya kayu dan rotan.
Penduduk di Kecamatan Lainea memanfatkan hasil hutan berupa kayu untuk
keperluan ramuan rumah maupun untuk membuat perahu batang. Selain itu
kebiasaan masyarakat lainnya adalah memungut rotan dalam berbagai jenis
baik untuk keperluan sendiri maupun untuk dijual ke pasar. Dengan
masuknya proyek Reboisasi dan HTI kesempatan masyarakat untuk
mengambil kayu maupun rotan praktis hilang. Hal ini disebabkan karena
kawasan hutan yang dulunya dijadikan sebagai areal pengambilan kayu dan
rotan sekarang telah berubah menjadi hutan jati. Sementara itu masyarakat
tidak diperkenankan untuk mengabil pohon jati untuk keperluan apa pun

92
walaupun itu pohon jati yang sudah roboh. Beberapa kasus ditemukan
masyarakat yang mangambil kayu jati terpaksa harus berhadapan dengan
aparat berwajib seperti akan diulas panjang lebar pada bagian berikut tulisan
ini.

4.1.6. Kemelut Hutan Jati

Mencari Kambing Hitam


Berita tentang berbagai peristiwa: pencurian kayu jati, penangkapan dan
penahanan masyarakat, tangkap menangkap dikalangan aparat kepolisian dan
kehutanan, saling tuduh antara Pemkab dan Pemprop soal kewenangan
pengelolaan kayu jati, perlawanan sekelompok masyarakat ‘perambah’, lelang
kayu jati sitaan--hampir setiap hari selalu menghiasi lembaran koran-koran lokal
di daerah ini. Bahkan belum lama ini Yayasan Cinta Alam (Yascita)
manjadikannya sebagai berita utama dan liputan khusus yang merupakan hasil
investigasi mendalamnya pada tabloid mereka.13
Kawasan hutan di Kecamatan Lainea yang dahulunya tenang tenteram
memberikan manfaat besar bagi masyarakat yang bermukim di sekitarnya, kini
berubah menjadi ladang pembantaian (the killing fields) para perambah, sarang
KKN, arena tarik menarik kekuatan bagi yang punya kuasa, dan berbagai
kongkalingkong lainnya dari para pembesar di daerah ini. Proyek Reboisasi dan
HTI yang telah menelan miliaran rupiah uang negara yang diharapkan dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, justru melahirkan konflik. Siapa yang
salah atau mesti disalahkan?
Mungkin kurang arif jika masyarakat, terlebih masyarakat lokal yang
mengambil kayu jati dari areal proyek Reboisasi dan HTI diberi predikat pencuri
atau maling. Tetapi dalam kenyataannya justru itulah predikat yang diberikan
kepada mereka oleh aparat Dinas Kehutanan dan pemerintah di daerah ini.
Menuduh mereka sebagai pencuri, menangkapi dan menahannnya tidak pernah
akan menyelaikan persoalan. Karenanya penyelesaian persoalan ini mesti dilihat
secara mendasar. Persoalan kenapa masyarakat mengambil kayu jati tidak cukup
dilihat secara sepintas saja tetapi mesti dilihat dalam konteks situasi sosial yang

13
Tabloid Swara Alam Juli 2002 Edisi 001 Tahun 001

93
terjadi sebelum dan pasca pelaksanaan proyek ini dan berbagai proyek
pembangunan lainnya.
Seperti telah diuraikan pada bagian terdahulu di atas, bahwa masuknya
proyek ini secara langsung membatasi akses masyarakat terhadap kawasan hutan
yang sebenarnya telah menjadi areal pemanfaatannya. Sementara di sisi lain lahan
bukan hutan telah disesaki oleh warga transmigran yang didatangkan pada tahun
1970-an. Dalam situasi keterbatasan lahan seperti ini dan semakin keringnya
lahan pertanian yang tersisa akibat penanaman jati secara massal, mendorong
masyarakat untuk menempuh jalan pintas: ‘merambah’ hutan jati. Dari
perspektif inilah mestinya penomena masuknya masyarakat mengolah jati dalam
areal Reboisasi dan HTI mesti dilihat.
Keputusan merambah hutan jati ternyata menimbulkan masalah baru bagi
masyarakat. Masalah ekonomi sedikit teratasi tetapi kemudian masyarakat
diperhadapkan dengan masalah hukum: mereka telah melakukan praktek illegal
logging. Karena itulah kemudian masyarakat ditangkapi dan ditahan. Sedangkan
kayu jati yang berhasil disita diamankan oleh aparat kehutanan untuk selanjutnya
dilelang kepada para pihak. Alhasil yang terjadi adalah bukannya masyarakat
semakin jera untuk ‘mencuri’ jati tetapi aktifitas masyarakat kian menjadi-jadi,
hutan jati semakin habis, lelang semakin lancar—dan pada akhirnya negara dan
lingkungan hidup semakin dirugikan.
Hal yang menarik untuk ditelaah dibalik berbagai peristiwa di atas adalah
nampaknya aksi pencurian yang dilakukan oleh masyarakat, sengaja atau ‘seolah-
olah’ dibiarkan. Kelihatannya aparat pemerintah tidak pernah secara konsisten
dan sistemik melakukan upaya pengamanan dan pengawasan hutan jati. Justru
banyak di antara aparat Pemda, Dinas Kehutanan, aparat Kepolisian yang terlibat
sebagai dalang pencurian kayu jati di Kecamatan Lainea. Mungkin saja ini adalah
sebuah skenario dari yang kuasa untuk menghabiskan hutan jati di Kecamatan
Lainea sembari merugikan negara dan lingkungan hidup. Modus operandinya
adalah membiarkan masyarakat mencuri jati dengan beberapa orang dalang dan
jika ketangkap berkelit sedang mengamankan atau hanya pembeli lalu balik
menangkap masyarakat, pura-pura serius melakukan pengamanan sembari
melakukan penyitaan bila kayunya telah dimuat, dan pada akhirnya dilakukanlah
lelang akal-akalan dengan standar harga yang sangat rendah dan yang peserta plus

94
pemenangnya adalah orang-orangnya. Inilah yang terjadi seputar pengelolaan
ilegal hutan jati di Kecamatan Lainea.
Dalam perkembangannya, dikalangan aparat antara Dinas Kehutanan dan
Pemda Kabupaten Kendari seolah-olah terlibat dalam konflik laten atas
pengelolaan hutan jati di Kecamatan Lainea. Hal ini sebagaimana yang nampak
terjadi dengan tumpang tindihnya kebijakan pengamanan di lapangan antara
Bupati dan Dinas Kehutanan. Pihak Pemkab menugaskan polisi pamong praja
untuk melakukan penangkapan dan penyitaan kayu jati yang dimuat secara illegal.
Hasil sitaan kemudian di bawah ke rumah jabatan bupati dan dinyatakan sebagai
barang sitaan. Sementara pihak Dinas Kehutanan menugaskan para polisi
hutannya untuk tugas yang sama yakni menangkap dan menyita kayu jati yang
dimuat secara ilegal untuk kemudian dilelang. Tidak ketinggalan pula dalam
permainan ini aparat kepolisian ikut-ikutan dengan melakukan penangkapan dan
penyitaan kayu jati illegal—bahkan termasuk manangkapi dan menahan polisi
kehutanan yang menangkap basah seorang polisi yang sedang mengangkut kayu
curian. Karena itu pula dikalangan aparat sendiri saling tuding mencari kambing
hitam. Siapa yang salah?

4.2. HPH PT. Intisixta : Potret Arogansi Bisnis Kehutanan

Seolah sudah menjadi hukum alam, dimanapun, nasib penduduk lokal yang
berada pada atau di sekitar areal proyek ‘pembangunan’, seperti diantaranya konsesi
HPH, cenderung selalu terpinggirkan. 14 Setidaknya, demikianlah pemandangan umum
yang terjadi pada masyarakat sekitar hutan di Kecamatan Asera ; sebuah daerah dengan
asset sumberdaya hutan paling luas di Sulawesi Tenggara, yang saat ini menjadi pusat
kegiatan bisnis kehutanan PT. Intisixta. Kehadiran perusahan ini telah membawa dampak
yang luar biasa bagi masyarakat setempat, utamanya bagi masyarakat lokal yang
memiliki tingkat ketergantungan yang sangat terhadap sumberdaya hutan dan lingkungan
hidup.15
14
Kenyataan ini merupakan salah satu alasan lahirnya Konvensi ILO 169 Tahun 1989 tentang pengakuan
dan perhargaan hak-hak penduduk asli di dunia. Dalam hal mana dikatakan bahwa setiap proyek
pembangunan nasional maupun multi nasional yang dilakukan dalam suatu negara harus senantiasa
menghargai dan melindungi hak-hak penduduk asli atas sumber daya alam (Sarlan adijaya,2001).
15
PT. Intisixta merupakan satu-satunya perusahaan HPH di Kabupaten Kendari. Sebelum dilakukan
beberapa kali perubahan, perusahan ini pertama kali didirikan pada tanggal 25 Oktober 1973 dengan akte
notaris Soeleman Ardjasasmita,SH (berkantor pusat di Jakarta dan kantor cabang di Kendari-Sulawesi
Tenggara). Komposisi saham perusahaan adalah : Prof.Dr.Ir.Toyib Hadiwidjaya (20%), Handa

95
Hingga tahun 2002 ini, PT. Intisixta telah melakukan eksploitasi kayu di
belantara Asera selama 20 tahun, terhitung sejak tahun 1992 dengan dua kali masa kerja
lima tahunan, dan yang terakhir kalinya telah diperpanjang sejak tanggal 1 April 1998
s/d 31 Maret 2003. Aktifitas perusahaan ini telah memunculkan berbagai dampak negatif
bagi masyarakat lokal, meskipun terdapat sedikit dampak positif bagi pemerintah daerah
Kendari dalam bentuk pasokan penerimaan PAD dengan proporsi jumlah yang lebih
besar dibanding sumber penerimaan PAD lainnya pada sektor kehutanan di Kabupaten
Kendari.
Dilihat dari aspek sosial ekonomi, kehadiran PT. Intisixta di belantara Asera telah
secara signifikan membatasi akses dan ruang ekspresi masyarakat lokal dalam
memanfaatkan hasil hutan kayu dan non kayu pada areal hutan produksi dan hutan
lindung yang termasuk dalam wilayah konsesi HPH. Program Bina Desa Hutan (PMDH)
yang menjadi kewajiban reguler bagi setiap perusahaan HPH, dilaksanakan oleh PT.
Intisixta dengan ‘setengah hati’, seluruhnya bersifat karikatif, dan lebih berkesan sebagai
insentif untuk memberikan ‘hiburan belas kasih yang tersisa’. Bahkan yang lebih buruk
dari fakta ini adalah bahwa pelaksanaan program PMDH, seringkali dilaporkan secara
fiktif oleh PT. Intisixta. Indikasi mengenai terjadinya pelanggaran dalam hal
pelaksanaan program tersebut, dapat dilihat pada hasil kompilasi data yang dihimpun
oleh tim investigasi LSM Yascita16 , seperti berikut ini :
1. Pada kegiatan peningkatan pendapatan yang berorientasi pada penumbuhan
ekonomi masyarakat pedesaan yang berwawasan lingkungan, indikasi penyimpangan
diantaranya adalah :
 Perusahaaan melaporkan telah memberikan bantuan sebesar Rp. 2.500.000 untuk
budidaya tanaman pangan (dengan tidak menyebutkan nama desa sasaran).
Setelah dilakukan pengecekan dilapangan, laporan tersebut ternyata tidak benar
(palsu). Pengecekan dilaksanakan di Desa Mopute dan Laronaha, serta desa-desa
lain yang berada di sekitar areal konsesi.

Tjandinegara (10%), Jens Chandra (10%) dan PT.Kalimalang (60%). Susunan Direksinya adalah : Direkur
Utama : Hashim S.Djoyohadikusumo, Direktur : Ir. Badai Sakti Daniel, Philippus Sudarto, Bambang
Sutrisno, Soemantri K. Tojib, BBA, dan Komisaris Utama Prof.Dr.Ir. Toyib Hadiwidjaya. Berdasarkan SK.
No.1035/Kpts-II/1992 tanggal 2 Nopember 1992, areal kerja HPH PT.Intisixta mencakup kawasan hutan
seluas 296.000 Ha. Kawasan konsesi ini termasuk dalam kelompok hutan Sungai Lasolo dan Sungai
Lalindu di Sulawesi Tenggara. Areal HPH PT. Intisixta termasuk dalam wilayah Kecamatan Asera,
Kabupaten Kendari. Dalam konteks administrasi wilayah kehutanan, areal konsesi HPH tersebut tercakup
dalam bagian kesatuan pemangkuan hutan (BKPH) Laiwoi Utara, kesatuan pemangkuan hutan (KPH)
Kendari.
16
Berbagai pelanggaran yang diuraikan pada bagian ini peristiwanya terjadi pada kisaran tahun 1998 –
2001.

96
 Laporan tentang bantuan olah raga Rp. 100.000, bea siswa Rp. 900.000, honor
guru Rp. 4.800.000, industri rumah tangga Rp. 2.500.000, dan bantuan pemasaran
hasil pertanian/peternakan/perikanan sebesar Rp.2.500.000, seluruhnya tidak
benar adanya. Pengecekan dilakukan di desa Desa Mopute dan Laronaha, serta
desa-desa lain di sekitarnya.
2. Menyangkut kegiatan penyediaan sarana dan pra sarana sosial ekonomi, PT. Intisixta
melaporkan tentang pembuatan jembatan dengan anggaran Rp. 1.000.000, Balai
kantor desa Rp. 30.000.000, pengadaan perpustakaan desa Rp. 1.000.000, poliklinik
desa Rp. 3.000.000, lapangan olah raga Rp. 200.000, dan anggaran untuk
pembangunan mesjid sebesar Rp.2.000.000. Setelah diadakan pengecekan di desa
Desa Mopute dan Laronaha, ternyata laporan tersebut tidak benar. Fakta ini
mengindikasikan bahwa PT. Intisixta tidak serius dalam melaksanakan program
PMDH yang telah disepakati dalam Rencana Karya Tahunan (RKT).
Selain beberapa fakta di atas, dampak sosial ekonomi lainnya yang nampak
terlihat pada masyarakat asera adalah bahwa sejak kehadiran PT. Intisixta di wilayah ini,
pola-pola penggunaan lahan dan pemanfaatan kawasan hutan yang telah pernah
dipraktekkan oleh masyarakat setempat, terutama seperti tradisi mondau, nyaris
seluruhnya tidak lagi merujuk pada konsepsi/kearifan lokal. Pola-pola hubungan antara
masyarakat dengan sumberdaya hutan serta dengan pihak perusahaan, pun secara legal di
atur dengan mekanisme : majikan – buruh, atau masyarakat sebagai kelompok sasaran tak
berdaya (disabled groups) versus perusahaan sebagai sebagai penerima manfaat utama
(beneficiaries) dari rezim PSDH.
Akibatnya, masyarakat terdesak untuk menjalankan praktek-praktek ‘perbanditan
sosial’ sebagai pilihan model PSDH bagi sebuah potret rezim PSDH yang timpang akibat
penerapan kebijakan PSDH yang tidak berpihak pada komunitas lokal, seperti yang
terlihat dalam implementasi HPH PT. Intisixta. Praktek-praktek ‘illegal’ tersebut
dijalankan oleh masyarakat dengan cara membangun sindikasi bisnis gelap dengan para
pengusaha liar serta oknum-oknum aparat keamanan dan birokrat Pemkab untuk
melakukan penebangan liar dan penyeludupan kayu. Bagi masyarakat setempat, oknum-
oknum aparat keamanan dan pemkab yang terlibat dalam sindikasi gelap demikian, sering
dipandang sebagai dewa penolong. Kondisi seperti inilah yang kemudiaan dimanfaatkan
sebagai alat justifikasi bagi petugas kehutanan dan kepolisian untuk menerapkan aksi-
aksi refresif dengan memposisikan masyarakat sebagai penyerobot kawasan konsesi,
perambah liar, pelaku illegal logging, ataupun sebagai penyeludup kayu.

97
Selain beberapa kilasan dampak sosial ekonomi di atas, kehadiran PT. Intisixta
juga diindikasikan sebagai telah memunculkan berbagai dampak ekologis yang bersifat
negatif bagi masyarakat sekitar hutan. Hal ini diakibatkan oleh adanya beberapa indikasi
pelanggaran ‘aturan main’ (terutama PP Nomor 6/1999) yang dipraktekkan oleh PT.
Intisixta, seperti disajikan berikut ini17 :
1. PT. Intisixta tidak mentaati/melaksanakan segala ketentuan yang berlaku di bidang
pengusahaan hutan. Berkaitan dengan hal ini, telah ditemukan beberapa indikasi
pelanggaran dilapangan, khususnya menyangkut Petunjuk Teknis Tebang Pilih
Tanam Indonesia (TPTI). Indikasinya adalah sebagai berikut :
 Disepanjang jalan koridor tidak dibuat drainase, sehingga sering terjadi kerusakan
pada permukaan tanah terutama pada musim penghujan, hal ini terdapat pada
koordinat 030 06’ 26.7” LS; 1220 03’ 29.1” BT. (melanggar Keputusan Direktur
Jenderal Pengusahaan Hutan No. 151/Kpts/IV-BPHH/1993 tentang petunjuk
teknis TPTI pada Hutan Alam Daratan, Bab Petujuk Teknis Pembukaan Wilayah
Hutan).

 Banyaknya pohon inti yang rusak, ini disebabkan karena arah penebangan yang
salah. Fakta ini dapat ditemui pada koordinat 030 04’ 54.9” LS ; 1220 01’ 06.2”
BT , 030 04’ 18.6” LS ; 1220 01’ 07.55” BT dan 030 05’ 54.5” LS ; 1210 59’ 35.5”
BT. (Hal ini melanggar keputusan Dirjen Pengusahaan Hutan No. 151/Kpts/IV-
BPHH/1993 tentang Petunjuk Teknis TPTI pada Hutan Alam Daratan, Bab
Petunjuk Teknis Penebangan).

 Ditemukan sungai yang melewati beberapa bagian jalan koridor tanpa dilengkapi
sarana jembatan, sehingga menyebabkan terjadinya perembesan air dari sungai ke
jalan koridor yang mengakibatkan rusaknya permukaan jalan (tergenang air) di
lokasi sekitar sungai tersebut. Lokasi terletak pada koordinat 030 05’ 50.2” LS ;
1210 59’ 55.7” BT. (melanggar Keputusan Dir.Jend. Pengusahaan Hutan No.
151/Kpts/IV-BPHH/1993 tentang Petunjuk Teknis TPTI pada Hutan Alam
Daratan, Bab Pembukaan Wilayah Hutan).

 Jembatan yang menutupi aliran sungai, pihak perusahaan membuat jembatan asal
jadi sehingga jembatan tersebut menutupi aliran sungai yang menyebabkan
terjadinya penyumbatan aliran sungai (koordinat 030 05’ 45.8” LS ; 1220 00’
15.7” BT) .

 Ditemukan adanya penebangan di dekat sumber air (pinggir sungai) dimana sisa-
sisa penebangan menyebabkan penyumbatan aliran sungai dan beberapa anakan
sungai . Lokasi temuan pada koordinat 030 05’ 45.8” LS ; 1220 00’ 15.7” BT dan
koordinat 030 05’ 50.2” LS ; 1210 59’ 55.7” BT. (melanggar Keputusan Dir.Jend.
Pengusahaan Hutan No. 151/Kpts/IV-BPHH/1993 tentang petujuk teknis TPTI
pada Hutan Alam Daratan, Bab Petunjuk Teknis Penebangan ).

 Ditemukan adanya penebangan diluar blok tebang yang direncanakan. Hal ini
ditandai dengan adanya tegakan tinggal baru bekas penebangan yang terdapat
pada lokasi diluar blok tebang RKT 1999/2000 dengan koordinat 030 03’ 54.1”
17
Paparan data/informasi berikut ini, diperoleh dari Pusat Data dan Informasi Yayasan Cinta Alam
(YASCITA), Kendari, 2002

98
LS ; 1220 01’ 07.2” BT. (melanggar keputusan Dir.Jend. Pengusahaan Hutan
No. 151/Kpts/IV-BPHH/1993 tentang Petunjuk Teknis TPTI pada Hutan Alam
Daratan, Bab Petunjuk Teknis Penebangan).
 Sepanjang jalan HPH poros Logpond Molore – blok tebangan 1998/1999, pada
areal berhutan sekitar kilometer (km) 20 sampai km 24 dan km 45 (koordinat
sekitar 030 07’ 42.4 LS ; 1220 05’ 13.3” BT), terdapat jalan-jalan sarad, serta
ditemukan adanya tunggak-tunggak ex penebangan di luar areal blok penebangan
atau di luar areal penebangan matahari. Kondisi tegakan pada areal penebangan
tersebut terlihat jarang dan cukup rusak. Apapun alasannya, hal ini tidak perlu
terjadi, karena bertentangan dengan kaidah-kaidah sistem silvikultur yang
diterapkan, yaitu sistem TPTI dengan cutting cycle 35 tahun.

2. Dalam RKT 1999/2000 disebutkan adanya carry over (penebangan kembali di blok
RKT 1998/1999). Seharusnya, selain melaksanakan carry over 1999/2000, pihak
perusahaan juga harus melakukan operasi penebangan di blok RKT 1999/2000.
Tetapi hingga kini, pihak perusahaan belum pernah mengadakan penebangan di areal
blok tebangan 1999/2000. Hal ini menunjukkan rendahnya kinerja perusahaan dalam
melaksanakan operasinya.

3. Terdapat areal bekas pembibitan seluas + 1 Ha pada areal tidak berhutan yang terletak
pada sekitar koordinat 030 21’ 43.3” LS ; 1220 02’ 40.8” BT. Kondisi areal tidak
terpelihara dan masih terdapat + 50.000 bibit pohon yang telah kadaluarsa yang
terdiri dari jenis pohon setempat dan pohon kehidupan. Yang sangat disayangkan
dalam hal ini adalah bahwa bahwa disatu pihak, masih terdapat areal PWH yang
membutuhkan penanaman kembali, sementara di lain pihak, bibit pohon telah cukup
tersedia, namun tidak ditanam. Kondisi ini memberikan kesan bahwa dalam
melakukan kegiatan pembibitan, kegiatan PT. Intisixta hanya bersifat formalitas
belaka guna memenuhi persyaratan formal yang dibutuhkan.

4. Sesuai ketentuan yang berlaku, pada setiap blok dan petak tebangan, harus
mempunyai batas-batas yang jelas, yang di tandai dengan adanya alur batas dan
tanda-tanda pada tegakan-tegakan yang ada disepanjang alur batas guna memudahkan
kontrol, baik oleh regu penebangan sendiri, maupun dalam pelaksanaan
pengawasan/pemantauan/pengendalian oleh pihak-pihak terkait. Dari hasil
pengecekan di lapangan, hal demikian tidak dijumpai, sehingga batas-batas antara
satu blok/petak tebangan dengan blok/petak tebangan lainnya, sulit dibedakan.

5. Sepanjang jalan menuju ke blok tebangan 1998/1999, yakni sekitar koordinat 03 0 05’
41.6” LS ; 1220 02’ 51.2” BT, terdapat pengolah-pengolah rotan liar yang dikoordinir
secara illegal oleh pihak-pihak/oknum tertentu. Camp-camp pengolahan dan
tumpukan rotan terlihat jelas di tepi jalan HPH tanpa adanya usaha dari pihak HPH
untuk melakukan pencegahan dan penghentian kegiatan. Selain itu, juga diperoleh
indikasi bahwa pengangkutan rotan tersebut sering mendapat dukungan fasilitas truk
loging milik PT. Intisixta. Pengangkutan rotan illegal tersebut sampai ke logpond
Molore, untuk seterusnya diangkut oleh kapal-kapal pemuat rotan. Hal ini
membuktikan bahwa PT. Intisixta tidak mampu menjaga areal konsesinya dari
kegiatan tidak bertanggung-jawab yang dilakukan oleh oknum-oknum ‘orang dalam’.

6. Guna memenuhi target produksi ekonomis tahunan, maka pada setiap tahun kerja,
pemegang HPH diberikan jatah produksi kayu yang secara tersurat termuat dalam
dokumen RKT. Sesuai data yang diperoleh dari PT. Intisixta, maka sejak

99
beroperasinya tahun 1993/1994 hingga tahun 1999/2000, dari sebesar 564.527 m 3
rencana produksi kayu bulat yang direkomendasikan, hanya sebesar 215.998 m3 yang
dapat direlisasikan, atau hanya sebesar 38.26 %. Rendahnya realisasi angka produksi
yang dicapai, memberikan indikasi bahwa kinerja perusahaan ini relatif sangat
rendah, dan karenanya menggambarkan kinerja staff yang kurang profesional. Hal ini
berdampak pada rendahnya nilai setoran PSDH/IHH dan Dana Reboisasi kepada
Pemerintah.

7. Sesuai ketentuan yang berlaku, pemegang HPH diwajibkan membayar provisi sumber
daya hutan (PSDH)/iuran hasil hutan (IHH) serta Dana Reboisasi (DR) yang dihitung
dari hasil produksi kayu berdasarkan berdasarkan Laporan Hasil Produksi (LHP).
Berdasarkan data pembayaran PSDH/IHH dan DR dari tahun 1993/1994 sampai
dengan tahun 1999/2000 yang diperoleh dari oleh PT. Intisixta, tercatat bahwa dari
target sebesar Rp. 4.177.822.755 yang harus dibayar, perusahaan tersebut baru
menyelesaikan kewajibannya sebesar Rp. 3.379.305.696, atau sebesar 80.89 % dari
nilai yang ditargetkan. Dengan demikian, perusahaan ini menunggak sebesar Rp.
798.517.059. Tunggakan ini terhitung untuk jangka waktu pembayaran pada tahun
1999/2000. Demikian pula dengan pembayaran DR, dari kewajiban yang harus
dibayar sebesar 1.724.750,956 dan $ 2.621.537,27 pada tahun 1993/1994 s/d
1999/2000, perusahaan ini beru dapat merealisasikan kewajibannya sebesar Rp.
1.322.307.600 dan $ 2.403.230,83 (terjadi tunggakan sebesar Rp. 402.443.356 pada
tahun 1999/2000).

8. Dokumen AMDAL kegiatan PT. Intisixta terdiri dari : dokumen Kerangka Acuan
(KA), Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL), Rencana Pengelolaan Lingkungan
(RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL). Dari keempat dokumen
tersebut, yang relevan dengan evaluasi kegiatan HPH saat ini adalah dokumen RKL
dan RPL, yang dalam diktum ini, pembahasan dikhususkan pada pelaksanaan RKL.
Temuan di lapangan mengindikasikan bahwa kewajiban-kewajiban pengelolaan
lingkungan yang seharusnya dilakukan oleh PT. Intisixta, sesuai dokumen Rencana
Pengelolaan Lingkungan yang ada, ternyata tidak dilaksanakan, terutama berkaitan
dengan pengelolaan Kawasan Lindung dan Kawasan lainnya, seperti :

 Penataan batas dan pengelolaan kawasan buffer zona hutan lindung seluas
10.607,5 Ha.
 Penataan batas dan pengelolaan daerah Pengungsian satwa/kantung Satwa
seluas 100 Ha per blok RKL.
 Penataan dan pengeloaan kawasan tegakan benih seluas 100 Ha per blok
RKL.
 Penataan dan pengelolaan petak ukur penelitian riap seluas 100 Ha per
blok RKL.
 Penataan dan pengelolaan kawasan pelestarian plasma nutfah seluas 100
Ha per blok RKL.
 Melakukan kegiatan pengelolaan lingkungan pada kawasan yang
diperkirakan akan terjadi dampak lingkungan pada biota perairan, antara lain
melakukan pengendalian laju erosi. Dalam hubungan ini disebutkan bahwa
hampai tahun 2000, pelaksanaan kegiatan PT. Intisixta telah sampai pada tahap
blok RKL II. Seharusnya kawasan-kawasan tersebut masing-masing telah
memiliki 2 unit pengelolaan, yaitu satu unit berada pada areal blok RKL I dan

100
satu unit lainnya berada pada blok RKL II. Tetapi dalam kenyataannya, ploting
dan pengelolaanya di lapangan, belum terlihat. Hal ini dapat dijumpai pada pada
seluruh dokumen RKT yang tidak merencanakan penataan batas dan pengelolaan
dari kawasan-kawasan tersebut. Demikian pula halnya dengan kegiatan
pengendalian laju erosi, dimana hingga saat ini, pihak perusahaan belum
melakukan upaya-upaya dimaksud. Bahkan sebaliknya, membiarkan terjadinya
laju erosi, sebagaimana yang dapat dijumlah di areal logpond Molore, base camp
peralatan dan base camp penebangan. Kegiatan-kegiatan land clearing total pada
areal-areal ini, tidak diimbangi dengan kegiatan preventif untuk mencegah
terjadinya erosi di perairan.

Sisi lain dari beberapa fakta di atas adalah bahwa dimensi penegakan hukum (low
enforcement) dalam konteks PSDH di Kabupaten Kendari, sangat memprihatinkan. Bila
saja penegakan hukum PSDH di daerah ini betul-betul ditegakan, maka sangat mustahil
fakta-fakta pelanggaran di atas dapat secara beruntun terjadi.
Idealnya, kegiatan eksploitasi hutan oleh PT. Intisixta berada di bawah
pengawasan dan pengendalian instansi terkait di daerah, terutama oleh Dinas Kehutanan
Kabupaten Kendari dan Propinsi Sultra, mulai dari tahapan perencanaan, pelaksanaan
sampai dengan evaluasi dan pelaporan. Dengan demikian setiap pelanggaran yang terjadi
atau sengaja dilakukan oleh pihak perusahan, dapat dengan mudah terdeteksi. Tetapi
kenyataannya, mekanisme demikian sama sekali tidak berjalan. Sebaliknya, segelintir
oknum aparat instansi teknis di daerah, bahkan disinyalir ikut memback-up beberapa
pelanggaran yang dilakukan oleh PT. Intisixta.

4.3. Kawasan Konservasi dan Fakta Peminggiran Masyarakat Adat

Pada dekade sebelum tahun 1970 pengelolaan kawasan konservasi belum


menjadikan manusia sebagai salah satu faktor penting yang diperhitungkan. Manusia
masih dianggap sebagai suatu species asing dan oleh karenanya mesti disingkirkan atau
dikeluarkan dari dalam kawasan konservasi. Terlebih lagi untuk melakukan aktifitas
pengelolaan maupun pemanfaatan sumber daya dalam kawasan konservasi.18
Paradigma pengelolaan kawasan konservasi serta merta berubah sejak setelah
IUCN salah satu badan dunia dibidang lingkungan hidup mengeluarkan salah satu
keputusan penting mengenai pentingnya menghargai hak-hak penduduk asli dimanapun
di dunia dalam setiap pelaksanaan proyek pembangunan nasional maupun internasional.
Paradigma ini kembali dipertegas oleh ILO --- organisasi dunia yang bergerak dibidang

18
Iwan Tjitrajaya, dkk, 1999.

101
perburuhan meneluarkan satu konvensi tentang perlindungan dan pengakuan hak-hak
penduduk asli (indegenous people).19
Sayangnya perubahan trend pengelolaan kawasan konservasi dunia hanya terasa
sampai pada tingkat nasional. Sedangkan yang paling bersentuhan langsung dengan
kehidupan dan pengidupan masyarakat di tingkat lokal masih belum tersentuh. Hal ini
sangat paradoks sekali dalam suatu nation dengan tatanan pemerintahan yang sama
terdapat dualisme kebijakan. Di Kabupeten Kendari terdapat beberapa contoh kasus
pengelolaan kawasan konservasi yang menegasikan eksistensi penduduk asli atas
kawasan hutan baik secara langsung maupun tidak langsung. Akibatnya berbagai dampak
baik sosial budaya, ekonomi, dan ekologi terjadi seiring dengan penetapan kawasan
konservasi.

4.3.1. Peminggiran Masyarakat Di Taman Nasional RawaAopa Watumohai,


Potret ‘Petani Tanpa Lahan’ Di Kampung Tua Lanowulu20

Wacana seputar TNRAW telah lama mengemuka dalam dinamika pembangunan


kehutanan di Kabupaten Kendari, terutama setelah beberapa NGO lokal, antara lain
Walhi Sultra, Yayasan Cinta Alam (Yascita) dan Yayasan Hijau Sejahtera (YHS), banyak
terlibat dalam kegiatan kampanye dan aksi-aksi advokasi masyarakat adat di kawaan
TNRAW. Dalam konteks ini, masalah utamanya terletak pada fakta pengabaian
(penegasian) atau peminggiran (marginalisasi) hak-hak penduduk asli atas kawasan dan
sumber daya hutan yang diklaim secara sepihak oleh pemerintah sebagai kawasan taman
nasional.
Salah satu kelompok masyarakat yang menjadi korban peminggiran sistematis
dari kebijakan penetapan kawasan TNRAW adalah komunitas etnik Tolaki yang
bermukim di kampung tua Lanowulu.21 Secara historis, hamparan tanah pada kampung
tua ini tergolong sebagai tanah hak ulayat masyarakat adat Lanowulu yang di “claim”
oleh Pemerintah sebagai kawasan konservasi sejak tahun 1976 (dari suaka margasatwa,

19
Ibid
20
Sebagian cuplikan dari tulisan berikut ini disadur dari artikel ‘Kampung Tua Di Tanah Terlarang’ yang
ditulis oleh Yusran Taridala dan dipublikasikan lewat harian Kendari Pos
21
Selama ini, masyarakat adat Lanowulu kurang muncul di permukaan, karena gerakan advokasi
masyarakat adat di daerah ini cenderung lebih terfokus pada kasus peminggiran orang Moronene di
kampung Laea-Hukaea. Padahal, kasus yang menimpa orang Moronene tidak lebih menyedihkan
dibandung kasus yang menimpa orang Tolaki di Lanowulu. Sayang sekali, Yayasan Hijau Sejahtera (YHS)
yang pernah melakukan investigasi mendalam terhadap masyarakat adat Lanowulu, belum sempat
melakukan langkah-langkah advokasi secara sistematis, sebagaimana yang dilaksanakan oleh Suluh
Indonesia di HukaEya LaeYa. Hingga saat ini, nasib orang Lanowulu yang terpinggirkan, masih
terkatung-katung.

102
taman buru, hingga menjadi taman nasional). Klaim sepihak ini telah melahirkan konflik
tenurial yang berkepanjangan, dan telah menimbulkan beragam dampak destruktif, baik
terhadap masyarakat adat Lanowulu itu sendiri, maupun terhadap ekosistem TNRAW
secara umum.
Berbagai pihak terkait telah terlibat dalam upaya penyelesaian konflik tenurial
tersebut. Namun hingga saat ini, upaya ke arah penyelesaian konflik, belum
menghasilkan output yang signifikan. Riak-riak konflik terbuka antara pihak masyarakat
dan pihak pemerintah, masih terus berlangsung hingga saat ini, dan cenderung
menempatkan masyarakat sebagai pihak yang selalu dimarginalkan.
Marginalisasi masyarakat adat Lanowulu telah melahirkan fenomena “petani
tanpa lahan” di sekitar TNRAW. Fenomena ini sesungguhnya telah menggugah banyak
pihak untuk turun tangan dan melibatkan diri dalam upaya penanggulangannya. Sayang
sekali, kekuatan pola penguasaan tanah yang berasas domein-verklaaring,22 masih begitu
kuat.

A. Riwayat Lama Kampung Tua Lanowulu

Kampung tua Lanowulu sejak tahun 1920 telah dihuni oleh sekelompok
masyarakat adat (etnik) Tolaki yang waktu itu berada dibawah pemerintahan onder-
district Lanowulu dalam wilayah swapraja Laiwoi (Laiwoi sendiri berstatus sebagai
onder afdeling dari ‘Afdeling Buton Laiwoi’ yang beribukota di kota Kendari, saat ini
ibukota Propinsi Sulawesi Tenggara). Sebelum adanya sistem pemerintahan swapraja,
masyarakat adat Lanowulu berada di dalam anak wilayah Daerah Istimewa Ando’olo
yang merupakan salah satu wilayah dari Kerajaan Konawe yang berpusat di Unaaha (saat
ini ibukota Kabupaten Kendari). Adapun wilayah desa administratif yang melingkupi
kawasan perkampungan tua Lanowulu adalah Desa Roraya, Kecamatan Tinanggea,
Kabupaten Kendari.
Sebelum masuknya pasukan DI/TII Pimpinan Kahar Muzakkar di wilayah
Kasupute, Buopinang dan daratan kendari bagian Selatan pada sekitar tahun 1963,
sebanyak 270 KK atau sekitar 500 jiwa masyarakat adat Lanowulu telah hidup sebagai
komunitas asli yang menguasai dan mengelola lahan seluas 6000 ha. Setelah masuknya

22
Konsepsi ini menytakan bahwa seluruh kawasan dan sumber daya alam adalah milik negara. Hal ini
berangkat dari konsep German School yang menganggap bahwa kawasan hutan dan sumber daya alam
adalah kosong serta tidak ada keterhubungannya dengan masyarakat sekitar. Dalam konsepsi ini aparat
kepolisian dan dinas kehutanan diadakan untuk menutup dan menjaga kawasan hutan dari ‘perambahan’
oleh orang atau masyarakat. Untuk lebih jelasnya perika Satyawan Sunito,1996.

103
pasukan tersebut, masyarakat adat Lanowulu terpaksa mengungsi ke desa-desa tetangga
di wilayah Kecamatan Tinanggea, Ando’olo dan Palangga Kabupaten Kendari, serta
sebagian lainnya ke Kecamatan Tirawuta Kabupaten Kolaka.
Semenjak tahun 1980-an hingga saat ini, masyarakat adat Lanowulu masih
menjadi populasi pendatang di desa-desa sekitarnya, dan tidak dapat kembali menguasai
lahan-lahannya di bekas kampung tua Lanowulu karena telah ditetapkan secara sepihak
oleh Pemerintah sebagai kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW).

Eksistensi dan Peran Kelembagaan Terkait

Sebagaimana disebutkan di atas, bekas kampung tua Lanowulu saat ini telah
menjadi bagian dari kawasan Taman Nasional Rawa A’Opa Watumohai (TNRAW).
Pada status seperti ini, bekas kampung tua Lanowulu telah berada dibawah pengawasan
dan management pemerintah, khususnya Unit Pengelola Teknis (UPT) Taman Nasional
dan dan Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Sulawesi Tenggara.
Hingga saat ini, pihak UPT dan BKSDA Sultra masih merupakan institusi
pengelola utama yang, untuk dan atas nama Pemerintah, menetapkan kebijakan-
kebijakan pengelolaan dan pengawasan TNRAW. Kebijakan-kebijakan kedua lembaga
tersebut juga memperoleh dukungan kuat dari Pemerintah Propinsi Sultra, DPRD
Propinsi Sultra, Pemerintah Kabupaten Kendari, Kejaksaan Tinggi, Korem 143 Haluoleo
dan Kepolisian Daerah

B. Sejarah Konflik

Kronologi Kejadian
Pada sekitar tahun 1970-an, masyarakat Lanowulu masih berpencar dan dikenal
sebagai warga masyarakat yang berdiam di desa Roraya (sekitar 10 km ke arah timur
kampung tua Lanowulu). Pada sekitar tahun 1975, seseorang pengusaha dari PT.
Berdikari Group bernama H. Alala (yang 7 tahun kemudian menjadi Gubernur Sultra),
mengantar seorang tamu penting ke kawasan savana di sekitar kampung tua Lanowulu.
Tamu penting yang ternyata adalah Riza Pahlevi, diktator iran saat itu, datang sebagai
seorang turis yang hendak berburu rusa.
Tak lama setelah mantan diktator Iran itu kembali ke Iran, H. Edy Sabhara yang
saat itu menjadi Gubernur Sultra, dikhabarkan mengusulkan kepada Menteri Kehutanan
untuk menetapkan status kawasan di sekitar savana Lanowulu sebagai kawasan taman

104
buru. Atas usulan ini, maka pada tahun 1976, melalui SK Menteri Kehutanan Nomor
649/Kpts/Um/1976, pemerintah menetapkan kawasan tersebut sebagai lokasi taman buru
dengan luas 8,756 ha. Kawasan seluas ini tepat berada di atas kawasan kampung tua
Lanowulu.
Proses penetapan status taman buru tersebut ternyata dilakukan dengan tanpa
melibatkan masyarakat serta aparat pemerintah desa dan kecamatan setempat. Karena
merasa keberatan dengan keputusan tersebut, maka pada tanggal 2 Juni 1978, atas
sepengetahuan Kepala Wilayah Kecamatan Tinanggea, saudara Arifuddin Djohansjah,
BA, Kepala Desa Roraya Kecamatan Tinanggea Kabupaten Kendari, yang saat itu
merupakan induk wilayah administratif kampung tua Lanowulu, mengeluarkan daftar
nama-nama pemilik tanah pekarangan, perladangan, waworaha (kavling tanah untuk
pemukiman), serta tanaman tumbuh di kawasan pencadangan pengawetan dan
perlindungan alam Gunung Watumohai, Desa Roraya, Kecamatan Tinanggea. Daftar
nama-nama tersebut diserahkan kepada pihak Sub Balai Pengawetan dan Perlindungan
Alam Kendari sebagai bahan review.
Menyusul penerbitan daftar nama-nama pemilik tanah tersebut, maka pada
tanggal 16 Desember 1980, Kepala Desa Roraya Kecamatan Tinanggea, Kabupaten
Kendari, yang saat itu masih menjadi induk wilayah administrative kampung tua
Lanowulu, mengirim surat kepada Kepala Kantor Sub Balai Perlindungan dan
Pengaweetan Alam Kendari, dengan tembusan Kepala wilayah Kecamatan Tinanggea,
Dan Ramil 1417-05 Tinanggea dan Dan Sek 1851-05 Tinanggea (Surat tersebut
ditandatangani oleh Kepala Desa Roraya dan Camat Tinanggea). Surat tersebut antara
lain berisi penolakan pemerintah dan masyarakat Desa Roraya (dalam hal ini masyarakat
adat Lanowulu) terhadap pelaksanaan pemasangan patok batas areal PPA Gunung
Watumohai yang mengkavling lahan perkampungan milik masyarakat seluas 1,200 ha.
Ternyata, kiriman daftar nama-nama pemilik tanah dan surat kepala Desa Roraya
di atas, tidak memperoleh respon sewajarnya dari pemerintah. Bahkan, pada tahun 1985,
kawasan taman buru ini kemudian ditingkatkan statusnya menjadi suaka margasatwa
berdasarkan SK Menteri Kehutanan 189/Kpts-II/1985 dengan total luas kawasan 55,560
ha.
Penetapan status suaka margasatwa tersebut ternyata hanya merupakan sasaran
antara untuk sebuah rencana penetapan kawasan taman nasional dalam radius kawasan
yang lebih luas. Hal ini terbukti dari ditemukannya surat rekomendasi Gubernur Sultra
Nomor 522.51/1983 tertanggal 5 Mei 1983 yang ditujukan kepada Menteri Kehutanan

105
c.q. Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam. Ini berarti bahwa dua
tahun sebelum SK penetapan kawasan suaka wargasatwa diterbitkan, rencana penetapan
kawasan taman nasional, telah berjalan.
Pada sekitar tahun 1989, sekitar 105 kepala keluarga dari masyarakat adat
Lanowulu mulai memasuki kawasan suaka margasatwa dan membangun pondok-pondok
sederhana di atas lahan-lahan bekas waworaha (bekas areal perkampungan tua
Lanowulu). Sekitar dua bulan setelah itu, pihak Kanwil Kehutanan dan Pemda Propinsi
Sultra melakukan pendekatan persuasif untuk mengeluarkan mereka dari kawasan suaka
margasatwa itu. Namun, karena terjadi penolakan, pihak Pemda propinsi akhirnya
menggunakan aparat Polhut dan Polsek untuk melakukan pengusiran secara paksa.
Karena disingkirkan dari kawasan tersebut, masyarakat Lanowulu kembali mengungsi ke
desa-desa sekitarnya, terutama di Desa Roraya, Ngapaaha, Tinanggea dan lain-lain.
Pada tahun 1990, kawasan suaka margasatwa resmi ditingkatkan statusnya
menjadi kawasan taman nasional berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor 756/Kpts-
II/1990 dengan total luas kawasan 105,194 Ha. Sekitar dua tahun setelah penetapan
kawasan tersebut, pemerintah Kabupaten Kendari memekarkan Desa Roraya ke dalam
dua desa terpisah, yakni Desa Roraya seperti semula dan desa baru bernama Lanowulu
Baru. Upaya Pemda ini ternyata hanya semacam strategi pemerintah untuk melupakan
masyarakat adat Lanowulu dari keinginan untuk kembali ke kampung tua milik
leluhurnya. Namun demikian, karena merasa tak punya lahan, masyarakat Lanowulu
kembali memasuki kawasan Taman Nasional Rawa A O’pa Watumohai (TNRAW) pada
tahun 1996 dan membangun beberapa pondok sederhana, serta membuka lahan-lahan
sempit untuk perladangan. Saya sekali, pada tahun 1997, Pemda Sultra menurunkan tim
operasi sapu jagad untuk mengusir secara paksa warga Lanowulu yang memasuki
kawasan TNRAW tersebut.
Karena merasa tidak ada solusi yang dapat ditawarkan oleh Pemda, maka pada
tahun 1999, untuk ketiga kalinya, warga Lanowulu kembali memasuki kawasan TNRAW
dan membangun sekitar 45 pondok sederhana. Pada saat ini, Pemda Sultra kembali
menurunkan tim gabungan yang terdiri dari DPRD Sultra, Kanwil Kehutanan, aparat
Kepolisian, Kejaksaan dan Pemda Kendari. Tim gabungan ini melakukan pengusiran
secara paksi dengan cara membakar dan menggergaji pondok-pondok sederhana milik
masyarakat Lanowulu. Sejak saat itu, warga masyarakat Lanowulu kembali mengungsi
ke desa-desa di sekitarnya. Gambaran demikian terus berlangsung hingga saat ini.

106
Tahapan Konflik

Konflik Tahap I, 1976 – 1979

Konflik pada tahap ini masih bersifat laten dimana masyarakat adat Lanowulu
mulai mempertanyakan status kawasan suaka margasatwa seluas 8,756 ha di areal
savanna yang mengintari areal perkampungan tua Lanowulu sejak tahun 1976 s.d. 1980.
Belum ada ketegangan fisik selama kurun waktu ini, namun beberapa tokoh masyarakat
adat setempat mulai menunjukkan kekhawatiran terhadap adanya upaya-upaya
penyingkiran populasi Masyarakat yang dipandang mengganggu eksistensi satwa
endemic dan langka yang dilindungi pada kawasan taman buru dan suaka margasatwa
tersebut.

Konflik Tahap II, 1980 – 1990


Konflik pada tahap ini mulai meningkat pada tingkat emergen pada saat
pemerintah hendak meningkatkan status kawasan suaka wargasatwa menjadi kawasan
taman nasional dengan perluasan areal hingga mencakup kawasan seluas 55,560 ha di
sekitar pegunungan Watumohai. Konflik pada tahapan ini ditandai oleh adanya protes
masyarakat terhadap penetapan rencana tata batas yang dilakukan secara sepihak oleh
pihak Sub Balai Perlindungan dan Pengawetan Alam Kendari tanpa melibatkan
masyarakat setempat.
Protes tersebut antara lain tercermin dari surat kepala desa Roraya (waktu itu
menjadi induk desa administrative kampung tua Lanowulu) bernomor 176/KDR/1980,
tanggal 16 Desember 1980 perihal pelaksanaan patok batas areal PPA gunung
Watumohai yang ditujukan kepada kepala Sub Balai Perlindungan dan Pengawetan Alam
Kendari.

Konflik Tahap III, 1990 – sekarang


Sejak terbitnya Surat Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor 156/II/90 tanggal
17 Desember 1990 penetapan status kawasan taman nasional rawa aopa watumohai
(TNRAW) konflik tenurial pada kawasan kampung tua Lanowulu telah mencuat menjadi
konflik terbuka antara pihak masyarakat adat Lanowulu dan pihak Pemerintah (yang
didukung oleh seluruh aparat pemerintah vertical maupun otonom, aparat keamanan dan
lembaga peradilan).

107
Konflik terbuka tersebut ditandai oleh aksi-aksi perlawanan masyarakat adat
Lanowulu terhadap tindakan referesif yang telah dilakukan oleh pemerintah selama ini,
seperti melakukan pengusiran dan pembersihan.

C. Pengelolaan Konflik dan Proses Penyelesaian


Sejak tahun 1991 hingga tahun 2000, masyarakat adat Lanowulu telah melakukan
negosiasi dengan berbagai pihak untuk memperoleh kemungkinan reclaiming lahan-lahan
mereka yang telah masuk dalam kawasan TNRAW. Pihak-pihak yang menjadi sasaran
negosiasi tersebut antara lain adalah Pemerintah Daerah Kabupaten Kendari dan
Kecamatan Tinaggea, DPRD Kendari, Lembaga Adat Sarano Tolaki dan beberapa LSM
Lokal. Negosiasi dengan pihak-pihak di atas dilakukan oleh beberapa warga masyarakat
Lanowulu dengan proses tatap muka, diskusi dan melalui pertemuan-pertemuan informal
lainnya.
Setelah sekian lama melakukan negosiasi dengan hasil yang nihil, masyarakat
adat Lanowulu juga pernah mengajukan surat pengaduan resmi kepada pihak-pihak
terkait, yang antara lain ditujukan kepada :
a. DPRD Sultra, Gubernur Sultra, Kakanwil Dephutbun Sultra, Kajati Sultra, Danrem
143 HO, Kepala BKSDA Sultra, dan lain-lain. Surat ini diantar langsung oleh saudra
Andrias ke Jakarta.
b. Pada tanggal 7 Agustus 1999, Kuasa adat masyarakat Lanowulu a.n. Andrias dan H.
Subair melayangkan Pada tanggal 5 Mei 1996, beberapa tokoh masyarakat adat
Lanowulu mengirim surat pengaduan kepada DPRD Kendari yang ditembuskan
kepada Bupati, Gubernur, DPRD Sultra dan Kanwil Kehutanan Sultra. Surat ini berisi
pengaduan permohonan pengembalian tanaman tumbuh masyarakat Lanowulu di
dalam kawasan TNRAW seluas 6,000 ha.
c. Pada tanggal 9 September 1997, atas sepengetahuan kepala desa Lanowulu (baru),
salah seorang tokoh dan selanjutnya disebut sebagai kuasa adat masyarakat
Lanowulu, bernama Andrias (lelaki berusia 54 tahun), mengirim surat kepada Menteri
Kehutanan perihal permohonan untuk mendapatkan kembali tanaman tumbuh
masyarakat desa Lanowulu seluas 6,000 ha, dengan tembusan surat disampaikan
kepada Presiden/Wakil Presiden RI, Ketua DPR/MPR, Ketua Komnas HAM, Ketua
surat kepada Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Trisula Cabang Kendari untuk
meminta campur tangan lembaga tersebut dalam mengajukan gugatan kepada
lembaga-lembaga resmi.

108
d. Pada bulan Agustus hingga September 2001, beberapa warga Masyarakat Lanowulu
secara tentatif sering mendatangi Kantor Yayasan Hijau Sejahtera dan Hamas Sultra
untuk membantu persiapan administrasi pengajuan gugatan perwakilan (class action)
Selain melalui negosiasi dan pengajuan surat pengaduan resmi di atas, upaya
untuk membebaskan diri dari kungkungan taman nasional juga dilakukan oleh
masyarakat Lanowulu lewat demonstrasi. Pada tanggal 5 Agustus 2000, sekitar 40 warga
masyarakat adat Lanowulu, dibawah Pimpinan saudara Andrias, melakukan demonstrasi
ke DPRD Kabupaten Kendari untuk menuntut pengambilan tanah-tanah mereka yang
diklaim secara sepihak oleh Pemerintah.
Sejalan dengan upaya penyelesaian masalah yang ditempuh oleh masyarakat
Lanowulu, berbagai pihak lain juga telah melakukan upaya yang sama, di antaranya
adalah DPRD Propinsi Sultra dan Kebupaten Kendari. Sejak tahun 1990 hingga saat ini,
baik pihak DPRD Sultra maupun DPRD Kabupaten Kendari sekurang-kurangnya telah
melakukan 4 kali kunjungan kerja ke Desa Lanowulu baru untuk bertatap muka dengan
warga masyarakat adat Lanowulu yang mengungsi di desa tersebut. Dari sekian banyak
proses tatap muka tersebut, belum satupun kesepakatan-kesepakatan signifikan yang
dicapai untuk menengahi kepentingan masyarakat dan pemerintah.
Pihak lainnya adalah Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Trisula Cabang
Kendari. Pada tanggal 1 September 1999, Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum
Trisula Cabang Kendari, melalui Drs.H. Muslimin Su’ud, SH yang bertindak sebagai
penerima kuasa masyarakat adat Lanowulu, mengajukan surat kepada Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Kendari Nomor 0217.LKBH.TS.XI.99, perihal
pengaduan dan tuntutan pengembalian tanah-tanah hak adat milik masyarakat Desa
Lanowulu, Tombekuku, Iwoindoro dan Epe’esi (mencakup Kecamatan Tinanaggea dan
Lambuya). Surat pengaduan tersebut ditembuskan kepada Presiden, Ketua MPR, Ketua
DPR, Dirjen PHPA, Gubernur Sultra, DPRD Sultra, dll.
Hingga hari ini masalah yang dihadapi masyarakat Lanowulu bukannya semakin
menemukan ruang penyelesaiannya. Tetapi justru semakin kabur dan tidak jelas arahnya.
Bahkan dalam berbagai forum dan dialog resmi maupun tidak resmi, termasuk di forum-
forum pemerintahan, kasus Lanowulu nyaris tidak pernah dimunculkan.

109
4.3.2. Masyarakat Di Tengah Buaian Janji dan Perebutan Kepentingan ; Belajar
dari Kasus Pulau Bawulu

Pulau Bawulu merupakan salah satu pulau kecil di teluk Lasolo dengan hamparan
daratan seluas 2.875 Ha. Berdasarkan kebijakan pemerintah, kawasan hutan yang
menghampar luas di pulau tersebut ditetapkan sebagai hutan lindung, dan termasuk ke
dalam Kawasan Taman Wisata Alam Laut Teluk Lasolo.
Wacana krusial di pulau Bawulu pertama kali mencuat setelah adanya rencana
ekploitasi pertambangan nikel oleh PT. Aneka Tambang Tbk yang berlokasi di pulau ini
dan pada beberapa desa di sekitarnya. Rencana ini muncul justru di saat status kawasan
hutan sebagai Taman Wisata Alam Laut di Pulau Bawulu, berdasarkan UU No. 23/1997
tentang Lingkungan Hidup, sangat mengharamkan kegiatan pertambangan terbuka.
Menghadapi kemusykilan seperti ini, pihak PT. Antam kemudian gencar melakukan
loby-loby tertutup dengan pihak Pemprov Sultra, DPRD, hingga ke Pemerintah Pusat,
guna merubah status kawasan pulau Bawulu menjadi hutan produksi yang
memungkinkan dilakukannya aktifitas penambangan. Upaya PT. Antam hingga hari ini
belum diketahui hasilnya.
Pulau Bawulu sesungguhnya tidak memiliki penghuni tetap, dan juga tidak
dikelola dan dimanfaatkan secara langsung oleh masyarakat, baik sebagai areal
perladangan, maupun sebagai lokasi pengambilan kayu, rotan atau hasil hutan lainnya.
Meski demikian, wilayah sekitar pulau ini merupakan areal tangkapan nelayan Teluk
Lasolo yang sangat produktif. Sehingga, bila kegiatan pertambangan nikel di Pulau
Bawulu dan sekitarnya jadi dilaksanakan, maka secara otomatis, para nelayan setempat
akan kehilangan areal tangkapannya. Komunitas nelayan dimaksud diantaranya berasal
dari Kelurahan Tinobu, Desa Molawe, Bandaeha, Mowundo, Mandiodo, Tapunggaya,
dan Boenaga.
Kehidupan sebagai nelayan di sekitar teluk Lasolo telah berlangsung secara turun
temurun, dan telah menjadi mata pencaharian yang paling dijiwai oleh masyarakat
setempat. Mereka menyebut dirinya sendiri sebagai komunitas amphibi, artinya siang di
kebun dan malam di laut. Walaupun demikian, sebagian besar dari para nelayan tersebut,
lebih banyak dijumpai bertempat tinggal di laut (yakni selama musim turo).
Menurut informasi dari masyarakat nelayan setempat, serta berdasarkan hasil
observasi lapangan, Teluk Lasolo merupakan area tangkapan nelayan di Kecamatan
Lasolo dan desa-desa sekitarnya. Di kawasan teluk tersebut, terdapat cukup banyak biota
laut, khususnya ikan dan udang yang merupakan objek tangkapan utama nelayan. Dengan

110
menggunakan teknologi tradisional yang relatif sederhana, para nelayan setempat dapat
memperoleh hasil tangkapan yang cukup melimpah. Dari pengakuan masyarakat
diperoleh keterangan bahwa dalam waktu semalam, nelayan yang mengusahakan bagang
penangkap ikan, dapat menghasilkan 75 hingga 100 keranjang ikan segar. Pada bulan
April hingga Agustus setiap tahunnya, di wilayah teluk Lasolo dikenal sebagai musim
penangkapan udang, dimana masyarakat dapat memperoleh tangkapan udang dalam
jumlah yang sama dengan tangkapan ikan. Lokasi tangkapan yang paling utama adalah
daerah di sekitar Pulau Meong, muara Sungai Lasolo, dan daerah Teluk Dalam. Lokasi
tangkapan yang cukup produktif ini sangat berdekatan dengan areal konsesi PT. Kendari
Mutiara dan pulau Bawulu yang merupakan kawasan inti pertambangan yang
direncanakan.
Pada tahun 1998, di kawasan teluk Lasolo, pernah terjadi konflik keras antara
pihak nelayan setempat dengan pihak PT. Kendari Mutiara dan TNI AL. Konflik tersebut
dilatar-belakangi oleh proses claim sepihak kawasan laut yang dilakukan oleh PT.
Kendari Mutiara pada beberapa lokasi tangkapan produktif, serta adanya perlakukan
sewenang-wenang yang dilakukan oleh TNI AL, yang oleh PT. Kendari Mutiara diangkat
sebagai satpam yang selalu mengawasi lintasan nelayan penangkap ikan di sekitar daerah
pembiakan mutiara. Konflik tersebut berdampak pada peristiwa pembakaran dan
pengrusakan base-camp PT. Kendari Mutiara, serta pemukulan anggota TNI AL dan
karyawan perusahaan. Seorang WNA Jepang yang menjadi karyawan inti perusahaan,
melarikan diri ke hutan.
Peristiwa konflik di atas telah berupaya dimediasi oleh Bupati Kendari (Drs.H.
Razak Porosi) melalui proses dialog antara masyarakat nelayan dengan pihak perusahaan.
Pada saat itu, Bupati Kendari mengeluarkan statement bahwa PT. Kendari Mutiara
membayar pajak yang cukup tinggi kepada Pemda. Jika masyarakat bersedia untuk
membayar pajak seperti perusahaan itu, maka sekarang juga, kita usir PT. Kendari
Mutiara dari Kendari. Dalam bahasa daerah Tolaki, sang Bupati juga mengatakan :
“molua iki o tahi i lakoto mbebaga suere ano imina’u i taipa”. Artinya, masih ada laut
yang terhampar luas untuk membangun bagang, seperti di Taipa.
Sayang sekali, dari proses dialog yang difasilitasi oleh Bupati Kendari di atas,
masyarakat tidak memperoleh sedikit pun output yang berarti. Sementara itu, janji PT.
Kendari Mutiara yang pernah dilontarkan ketika hendak memulai operasinya di kawasan
ini, yakni akan memberdayakan masyarakat setempat, hingga tahun ke-16 ini, tak
satupun yang dapat direalisir. Akibatnya, saat ini, volume tangkapan nelayan di Teluk

111
Lasolo, maksimal hanya mampu mencapai 20 keranjang per hari, itu pun sangat jarang
terjadi.
Belajar dari peristiwa di atas, masyarakat nelayan di sekitar Pulau Bawulu saat ini
mulai merasa ditantang untuk mewaspadai setiap janji-janji muluk yang selalu diberikan
oleh perusahaan pendatang. Perasaan demikian juga tergambar ketika PT. Antam Tbk
yang berencana akan melakukan eksplorasi nikel di pulau Bawulu, mulai melontarkan
beberapa janji-janji muluk untuk : (1) meningkatkan kesejahteraan masyarakat, (2)
membangun fasilitas rumah sakit, (3) mempekerjakan masyarakat sebagai buruh, dan (4)
tidak akan melakukan kegiatan lain kecuali akan melakukan penggalian nikel di pulau
Bawulu.
Tentu saja, janji-janji di atas umumnya ditanggapi secara dingin oleh masyarakat.
Meskipun demikian, berbeda dengan beragam kejadian sejenis di masa orde baru, adanya
rencana eksplorasi nikel di Pulau Bawulu oleh PT. Antam Tbk selama 2 tahun terakhir
ini, telah mulai menampakkan secercah sinar perubahan paradigma pengelolaan
sumberdaya alam, baik di kalangan perusahaan itu sendiri, maupun di kalangan pejabat
pemerintah. Sinar perubahan dimaksud, meskipun secara substansial masih dalam bentuk
janji, antara lain terlihat dari proporsi pertimbangan ekologis dan pemberdayaan
masyarakat lokal yang, setidaknya, senantiasa ‘disisipkan’ pada setiap event dialog
stakeholder.
Sekilas harapan di atas antara lain dapat disimak pada event ‘konsultasi publik’
guna mempertemukan kepentingan dan pandangan para pihak terkait yang pernah
digagas oleh beberapa LSM lokal yang tergabung dalam Koalisi Ornop untuk isu-isu
pertambangan Sultra23. Dalam kegiatan yang berlangsung di Kendari pada tanggal 14
November 2001, koalisi Ornop berhasil memfasilitasi proses dialog antar para pihak
terkait, dengan cuplikan rekaman hasil proses dialog seperti berikut ini.
Pihak Bapedalda Sultra memandang bahwa dalam konteks rencana
pengembangan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di Sultra, Kendari Utara (Lasolo,
Asera dan sekitarnya), termasuk ke dalam salah satu kawasan pusat pertumbuhan, dengan
wilayah Tinobu sebagai sentralnya. Menyangkut pengelolaan SDA, aspek keselamatan
lingkungan hidup harus tetap menjadi rohnya. Aktifitas pembangunan tetap harus dapat
dilaksanakan untuk kesejahteraan masyarakat dan kemajuan daerah. Dalam proses
pengalihan fungsi kawasan hutan di pulau Bawulu, diharapkan agar dilakukan secara

23
Koalisi Ornop ini digagas pembentukannya oleh 6 LSM lokal. Pelaksanaan event konsultasi publik
tersebut, memperoleh dukungan da dari Forestry Multistakeholder Program, Departement for International
Development, Jakarta.

112
transparan dengan senantiasa memperhatikan aspek sosial dan ekonomi masyarakat di
sekitarnya. Masyarakat harus dilibatkan dalam proses alih fungsi tersebut, termasuk
kelak dalam penyusunan dokumen Amdal.
Pihak Dinas Pertambangan Sultra berpandangan bahwa kegiatan eksploitasi
pertambangan harus ditilik dari aspek lingkungan dan keadilan masyarakat. Hal ini
merupakan amanah dari pertemuan PBB di Stockholm, bahwa kegiatan pertambangan
harus memperhatikan aspek lingkungan. Visi dan misinya adalah membina konsep
pertambangan dan energi yang berbasis lingkungan. Konsep tekonologi pertambangan
yang berwawasan lingkungan mencakup komponen lingkungan yang sangat luas. Dengan
demikian, maka perencanaan kegiatan pertambangan harus memiliki konsep yang jelas
tentang kualitas air, kebisingan, arkeologi, reklamasi, restorasi dan lain sebagainya.
Konsep ini sudah dijalankan oleh Pemerintah Indonesia. Selain itu, harus ada point
konsultasi masyarakat yang harus dilaksanakan oleh pemerintah guna mengakses
informasi yang jelas dari semua stakeholder.
Pihak Dinas Pertambangan Sultra juga menyatakan bahwa Pemprov Sultra
sesunggunya telah memberikan penekanan kepada pengusaha mengenai perlunya
pemahaman mendalam tentang community development, sehingga tidak menimbulkan
miss-interpretasi dari semupa pihak.
Pihak Dishut Sultra memaparkan riwayat Pulau Bawulu yang ditetapkan sebagai
taman wisata alam laut setelah adanya surat rekomendasi dari Bupati Kendari yang
mengusulkan agar pulau tersebut ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung, namun
kemudian disusul dengan proposal perubahan status kawasan dari hutan lindung menjadi
areal tambang.
Dalam konteks rencana eksploitasi tambang di Pulau Bawulu, Dishut Sultra
menyatakan bahwa rencana tersebut harus diikuti dengan rencana reklamasi dan restorasi
hutan. Dalam hal ini, Dishut Sultra telah mengirim surat ke Jakarta agar proses
eksploitasi nikel, tidak menimbulkan dampak kerusakan lingkungan, dan juga agar
kegiatan tersebut dapat melibatkan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat
setempat. Karena itu, dalam pandangan Dishut Sultra, rencana eksplorasi tambang di
Pulau Bawulu, harus terlebih dahulu didasarkan pada analisis mendalam tentang
AMDAL-nya.
Pihak PT. Aneka Tambang Tbk Unit Pomalaa yang sebelumnya memaparkan
komponen proyek yang saat ini ditangani, seperti SBU emas atau logam mulia di Jakarta
dan SBU di Cilacap, menjelaskan bahwa PT. Antam Pomalaa, selain mencari potensi

113
tambang nikel, juga memiliki koperasi dan cost center. Kantor pusat PT. Antam di
Jakarta merupakan holding, direksi hanya membangun konsep planning pertambangan.
Berkaitan dengan rencana eksplorasi nikel di Bawulu, PT. Aneka Tambang Tbk
bermaksud menggenjot PAD bagi kepentingan pembangunan daerah Sultra, serta
berusaha memberdayakan potensi SDA di daerah ini. Terhadap kegiatan seperti ini,
sesuai kewajian yang termaktub dalam dokumen ISO, setiap 6 (enam) bulan, PT. Antam
diaudit secara intensif. Karena itu, PT. Antam Tbk merupakan satu-satunya perusahaan
tambang yang mendapatkan ISO 14001, disamping ISO 9002 tentang standar kualitas
mutu.
Pihak PT. Antam Tbk juga menyatakan bahwa pengelolaan lingkungan
memerlukan waktu dan komitmen yang kuat dari atas sampai bawah, serta proses dan
konsep yang jelas. Untuk unit Pomalaa, PT. Antam telah memiliki dokumen AMDAL
yang disampaikan kepada Pemda. PT. Antam telah melakukan pemberdayaan
masyarakat dan pengusaha lokal di Pomalaa, sepanjang pengusaha lokal tersebut mampu
secara teknis melaksanakannya.
Lebih lanjut PT. Antam Tbk memaparkan bahwa pihaknya selama ini telah
berhasil menjalin kerjasama dengan pengusaha lokal. Selain itu, pertumbuhan ekonomi
masyarakat di Pomalaa sangat tinggi setelah mengadakan kerjasama dengan pihak
perusahaan. Dan kelak, setelah rencana eksplorasi tambang di Pulau Bawulu dapat
direalisasikan, pihak perusahaan juga akan memberikan bantuan serta bertindak sebagai
pengawas moblitas angkutan laut di Teluk Lasolo.
Pihak PT. Aneka Tbk menjelaskan pula bahwa salah satu rencana kegiatan yang
akan dilakukan dalam rangka pengalihan fungsi hutan di Pulau Bawulu adalah pemberian
bantuan penanaman jatih putih kepada masyarakat yang bekerjasama dengan mahasiswa
Universitas Haluoleo.
Dari cuplikan rekaman hasil dialog multipihak di atas terlihat bahwa para pihak
terkait (PT. Antam Tbk, Dinas Pertambangan, Bappedalda dan Dinas Kehutanan Sultra)
telah menunjukkan perhatian yang cukup intens pada aspek-aspek yang berkaitan dengan
eksistensi masyarakat setempat, serta terhadap aspek keseimbangan ekologis.

114
115

Anda mungkin juga menyukai