Disusun Oleh:
Pembimbing:
dr. Rahayu S, Sp. A
Penulis
i
DAFTAR ISI
COVER
LAMPIRAN ................................................................................................................ 46
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Asma merupakan penyakit inflamasi kronis saluran napas yang ditandai dengan
mengi episodik, batuk, dan sesak di dada akibat penyumbatan saluran napas. Dalam 30
tahun terakhir prevalensi asma terus meningkat terutama di negara maju. Peningkatan
terjadi juga di negara-negara Asia Pasifik seperti Indonesia. Studi di Asia Pasifik
baru-baru ini menunjukkan bahwa tingkat tidak masuk kerja akibat asma jauh lebih
tinggi dibandingkan dengan di Amerika Serikat dan Eropa. Hampir separuh dari
seluruh pasien asma pernah dirawat di rumah sakit dan melakukan kunjungan ke
bagian gawat darurat setiap tahunnya. Hal tersebut disebabkan manajemen dan
pengobatan asma yang masih jauh dari pedoman yang direkomendasikan Global
1,2
Initiative for Asthma (GINA).
1
Children) tahun 1995 melaporkan prevalensi asma sebesar 2,1%, sedangkan pada
tahun 2003 meningkat menjadi 5,2%. Hasil survey asma pada anak sekolah di
beberapa kota di Indonesia (Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang,
Yogyakarta, Malang dan Denpasar) menunjukkan prevalensi asma pada anak SD (6
sampai 12 tahun) berkisar antara 3,7-6,4%, sedangkan pada anak SMP di Jakarta Pusat
sebesar 5,8%. Berdasarkan gambaran tersebut, terlihat bahwa asma telah menjadi
3
masalah kesehatan masyarakat yang perlu mendapat perhatian serius.
Pengetahuan tentang patologi, patofisiologi dan imunologi asma berkembang
sangat pesat, khususnya untuk asma pada orang dewasa. Pada anak kecil dan bayi,
mekanisme dasar perkembangan penyakit ini masih belum diketahui pasti. Bayi dan
balita yang mengalami mengi saat terkena infeksi saluran nafas akut, banyak yang
tidak berkembang menjadi asma saat dewasanya.4
Akibat ketidak jelasan tadi, definisi asma pada anak sulit untuk dirumuskan,
sehingga untuk menyusun diagnosis dan tatalaksana yang baku juga mengalami
kesulitan. Akibat berikutnya adalah adanya under / overdiagnosis maupun under /
overtreatment. Untuk mengatasi hal itu perlu adanya alur diagnosis dan
tatalaksana asma yang disepakati bersama. Secara internasional untuk saat ini
panduan penanganan asma yang banyak diikuti adalah Global Initiative for
Asthma (GINA). Untuk anak-anak, GINA tidak dapat sepenuhnya diterapkan, di
Indonesia digunakan Konsensus Nasional Asma Anak (KNAA) tahun 2000. 4
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Definisi
3
dengan pengobatan. Inflamasi ini juga berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan
napas terhadap berbagai rangsangan.6
Batasan di atas memang sangat lengkap, namun dalam penerapan klinis
untuk anak tidak praktis. Agaknya karena itu para perumus Konsensus
Internasional dalam pernyataan ketiganya tetap menggunakan definisi lama
yaitu: Mengi berulang dan atau batuk persisten dalam keadaan asma adalah yang
paling mungkin, sedangkan sebab lain yang lebih jarang telah disingkirkan.
Konsensus Nasional juga menggunakan batasan yang praktis ini dalam batasan
operasionalnya. Sehubungan dengan kesulitan mendiagnosis asma pada anak
kecil, dengan bertambahnya umur, khususnya di atas umur 3 tahun, diagnosis
asma menjadi lebih definitif. Bahkan untuk anak di atas umur 6 tahun definisi
GINA dapat digunakan.7
4
2.2 Klasifikasi Asma
Sebenarnya derajat berat asma adalah suatu kontinum, yang berarti bahwa
derajat berat asma persisten dapat berkurang atau bertambah. Derajat gejala
eksaserbasi atau serangan asma dapat bervariasi yang tidak tergantung dari
derajat sebelumnya.
1. Klasifikasi Menurut Etiologi
Banyak usaha telah dilakukan untuk membagi asma menurut etiologi,
terutama dengan bahan lingkungan yang mensensititasi. Namun hal itu sulit
dilakukan antara lain oleh karena bahan tersebut sering tidak diketahui.
2. Klasifikasi Menurut Derajat Berat Asma
Klasifikasi asma menurut derajat berat berguna untuk menentukan obat
yang diperlukan pada awal penanganan asma. Menurut derajat besar asma
diklasifikasikan sebagai intermiten, persisten ringan, persisten sedang dan
persisten berat.
3. Klasifikasi Menurut Kontrol Asma
Kontrol asma dapat didefinisikan menurut berbagai cara. Pada umumnya,
istilah kontrol menunjukkan penyakit yang tercegah atau bahkan sembuh. Namun
pada asma, hal itu tidak realistis; maksud kontrol adalah kontrol manifestasi
penyakit. Kontrol yang lengkap biasanya diperoleh dengan pengobatan. Tujuan
pengobatan adalah memperoleh dan mempertahankan kontrol untuk waktu lama
dengan pemberian obat yang aman, dan tanpa efek samping.
4. Klasifikasi Asma Berdasarkan Gejala
Asma dapat diklasifikasikan pada saat tanpa serangan dan pada saat
serangan. Tidak ada satu pemeriksaan tunggal yang dapat menentukan berat-
ringannya suatu penyakit, pemeriksaan gejala-gejala dan uji faal paru berguna
untuk mengklasifikasi penyakit menurut berat ringannya. Klasifikasi itu sangat
penting untuk penatalaksanaan asma. Berat ringan asma ditentukan oleh berbagai
faktor seperti gambaran klinis sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala
malam hari, pemberian obat inhalasi ß-2 agonis, dan uji faal paru) serta obat-obat
5
yang digunakan untuk mengontrol asma (jenis obat, kombinasi obat dan
frekuensi pemakaian obat). Asma dapat diklasifikasikan menjadi intermiten,
persisten ringan, persisten sedang, dan persisten berat (Tabel 1).
Selain klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi serangan dan obat
yang digunakan sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan berat ringannya
serangan. Global Initiative for Asthma (GINA) melakukan pembagian derajat
serangan asma berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan
pemeriksaan laboratorium. Derajat serangan menentukan terapi yang akan
diterapkan. Klasifikasi tersebut adalah asma serangan ringan, asma serangan
sedang, dan asma serangan berat. Dalam hal ini perlu adanya pembedaan antara
asma kronik dengan serangan asma akut. Dalam melakukan penilaian berat
ringannya serangan asma, tidak harus lengkap untuk setiap pasien.
Penggolongannya harus diartikan sebagai prediksi dalam menangani pasien asma
yang datang ke fasilitas kesehatan dengan keterbatasan yang ada.1,2
6
Tabel 1. Klasifikasi Derajat Asma Berdasarkan Gejala pada Orang
Dewasa
Derajat Asma Gejala Gejala Malam Faal Paru
7
menerus prediksi APE
Sering kambuh ≤60% nilai
Aktivitas fisik terbaik
terbatas -Variabiliti APE
>30%
8
aktivitas terganggu terganggu
6. Pemeriksaan Normal Mungkin Tidak pernah
fisis di luar terganggu normal
ruangan
7. Obat pengendali Tidak perlu Perlu, non Perlu, steroid
(anti inflamasi) steroid
8. Faal paru di luar PEF / FEVI PEF / FEVI 60- PEF / FEVI
serangan >80% 80% >60%
Variabilitas 20-
30%
9. Faal paru pada Variabilitas Variabilitas Variabilitas
saat ada gejala / >15% >30% >50%
serangan
9
c. Jenis kelamin
Pria merupakan risiko untuk asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun,
prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak
perempuan. Tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang
sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak.
d. Ras/etnik
e. Obesitas
Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI), merupakan faktor risiko
asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi saluran
napas dan meningkatkan kemungkinan terjadinya asma. Meskipun
mekanismenya belum jelas, penurunan berat badan penderita obesitas
dengan asma, dapat memperbaiki gejala fungsi paru, morbiditas dan status
kesehatan.
2. Faktor lingkungan
a. Alergen dalam rumah (tungau debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan
kulit binatang seperti anjing, kucing, dan lain-lain).
b. Alergen luar rumah (serbuk sari, dan spora jamur).
3. Faktor lain
a. Alergen makanan
Contoh: susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah, coklat, kiwi,
jeruk, bahan penyedap pengawet, dan pewarna makanan.
b. Alergen obat-obatan tertentu
Contoh: penisilin, sefalosporin, golongan beta laktam lainnya, eritrosin,
tetrasiklin, analgesik, antipiretik, dan lain lain.
c. Bahan yang mengiritasi
Contoh: parfum, household spray, dan lain-lain.
d. Ekspresi emosi berlebih
Stres/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga
dapat memperberat serangan asma yang sudah ada. Di samping gejala asma
10
yang timbul harus segera diobati, penderita asma yang mengalami
stres/gangguan emosi perlu diberi nasihat untuk menyelesaikan masalah
pribadinya. Karena jika stresnya belum diatasi, maka gejala asmanya lebih
sulit diobati.
e. Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif
Asap rokok berhubungan dengan penurunan fungsi paru. Pajanan asap
rokok, sebelum dan sesudah kelahiran berhubungan dengan efek berbahaya
yang dapat diukur seperti meningkatkan risiko terjadinya gejala serupa asma
pada usia dini.
f. Polusi udara dari luar dan dalam ruangan
g. Exercise-induced asthma
Pada penderita yang kambuh asmanya ketika melakukan aktivitas/olahraga
tertentu. Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika
melakukan aktivitas jasmani atau olahraga yang berat. Lari cepat paling
mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktivitas
biasanya terjadi segera setelah selesai aktivitas
tersebut.
h. Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi
asma. Atmosfer yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya
serangan asma. Serangan kadang-kadang berhubungan dengan musim,
seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga (serbuk sari
beterbangan).
i. Status ekonomi
11
2.4 Patofisiologi
Kejadian utama pada serangan asma akut adalah obstruksi jalan napas secara
luas yang merupakan kombinasi dari spasme otot polos bronkus, edem mukosa
karena inflamasi saluran napas, dan sumbatan mukus. Sumbatan yang terjadi
tidak seragam/merata di seluruh paru. Atelektasis segmental atau subsegmental
dapat terjadi. Sumbatan jalan napas menyebabkan peningkatan tahanan jalan
napas, terperangkapnya udara, dan distensi paru berlebihan (hiperinflasi).
Perubahan tahanan jalan napas yang tidak merata di seluruh jaringan bronkus,
menyebabkan tidak padu padannya ventilasi dengan perfusi (ventilation-perfusion
mismatch).
Hiperinflasi paru menyebabkan penurunan compliance paru, sehingga terjadi
peningkatan kerja napas. Peningkatan tekanan intrapulmonal yang diperlukan
untuk ekspirasi melalui saluran napas yang menyempit, dapat makin
mempersempit atau menyebabkan penutupan dini saluran napas, sehingga
meningkatkan risiko terjadinya pneumotoraks. Peningkatan tekanan intratorakal
mungkin mempengaruhi arus balik vena dan mengurangi curah jantung yang
bermanifestasi sebagai pulsus paradoksus.
Ventilasi perfusi yang tidak padu padan, hipoventilasi alveolar, dan
peningkatan kerja napas menyebabkan perubahan dalam gas darah. Pada awal
serangan, untuk meng-kompensasi hipoksia terjadi hiperventilasi sehingga kadar
PaCO2 akan turun dan dijumpai alkalosis respiratorik. Selanjutnya pada obstruksi
jalan napas yang berat, akan terjadi kelelahan otot napas dan hipoventilasi
alveolar yang berakibat terjadinya hiperkapnia dan asidosis respiratorik. Karena
itu jika dijumpai kadar PaCO2 yang cenderung naik walau nilainya masih dalam
rentang normal, harus diwaspadai sebagai tanda kelelahan dan ancaman gagal
napas.
Selain itu dapat terjadi pula asidosis metabolik akibat hipoksia jaringan dan
produksi laktat oleh otot napas. Hipoksia dan asidosis dapat menyebabkan
vasokonstriksi pulmonal, namun jarang terjadi komplikasi cor pulmonale.
12
Hipoksia dan vasokonstriksi dapat merusak sel alveoli sehingga produksi
surfaktan berkurang atau tidak ada, dan meningkatkan risiko terjadinya
atelektasis. Bagan berikut ini dapat menjelaskan patofisiologi asma.7
13
Gambar 1. Patofisiologi Asma
14
Batuk mungkin merupakan satu-satunya gejala asma, terutama dalam kasus
asma nokturnal. Biasanya batuk tidak produktif dan non paroxysmal. Anak-anak
dengan asma nokturnal cenderung batuk setelah tengah malam dan pada jam-jam
awal pagi. Gejala non spesifik lainnya pada bayi atau anak-anak adalah riwayat
bronkhitis berulang, bronchiolitis atau pneumonia; batuk terus menerus dengan
pilek dan croup berulang. Sebagian besar anak-anak dengan bronkhitis kronis atau
berulang memiliki asma. Asma juga merupakan diagnosis yang mendasari yang
paling umum pada anak-anak dengan pnemonia berulang.13
2.6 Diagnosis1,2
Diagnosis asma yang tepat sangatlah penting, sehingga penyakit ini dapat
ditangani dengan baik, mengi (wheezing) berulang dan/atau batuk kronik berulang
merupakan titik awal untuk menegakkan diagnosis. Asma pada anak-anak
umumnya hanya menunjukkan batuk dan saat diperiksa tidak ditemukan mengi
maupun sesak. Diagnosis asma didasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan
pemeriksaan penunjang. Diagnosis klinis asma sering ditegakkan oleh gejala
berupa sesak episodik, mengi, batuk dan dada sakit/sempit. Pengukuran fungsi
paru digunakan untuk menilai berat keterbatasan arus udara dan reversibilitas
yang dapat membantu diagnosis. Mengukur status alergi dapat membantu
identifikasi faktor risiko. Pada penderita dengan gejala konsisten tetapi fungsi
paru normal, pengukuran respons dapat membantu diagnosis. Asma
diklasifikasikan menurut derajat berat, namun hal itu dapat berubah dengan
waktu. Untuk membantu penanganan klinis, dianjurkan klasifikasi asma menurut
ambang kontrol. Untuk dapat mendiagnosis asma, diperlukan pengkajian kondisi
klinis serta pemeriksaan penunjang.
15
Anamnesis
Ada beberapa hal yang harus diketahui dari pasien asma antara lain:
riwayat hidung ingusan atau mampat (rhinitis alergi), mata gatal, merah,
dan berair (konjungtivitis alergi), dan eksem atopi, batuk yang sering
kambuh (kronik) disertai mengi, flu berulang, sakit akibat perubahan
musim atau pergantian cuaca, adanya hambatan beraktivitas karena
masalah pernapasan (saat berolahraga), sering terbangun pada malam
hari, riwayat keluarga (riwayat asma, rinitis atau alergi lainnya dalam
keluarga), memelihara binatang di dalam rumah, banyak kecoa, terdapat
bagian yang lembab di dalam rumah. Untuk mengetahui adanya tungau
debu rumah, tanyakan apakah menggunakan karpet berbulu, sofa kain
bludru, kasur kapuk, banyak barang di kamar tidur. Apakah sesak dengan
bau-bauan seperti parfum, spray pembunuh serangga, apakah pasien
merokok, orang lain yang merokok di rumah atau lingkungan kerja, obat
yang digunakan pasien, apakah ada beta blocker, aspirin atau steroid.
Gejala-gejala kunci untuk menegakkan diagnosis asma dirangkum dalam
Tabel 2.
Pemeriksaan Klinis
Untuk menegakkan diagnosis asma, harus dilakukan anamnesis
secara rinci, menentukan adanya episode gejala dan obstruksi saluran
napas. Pada pemeriksaan fisis pasien asma, sering ditemukan perubahan
cara bernapas, dan terjadi perubahan bentuk anatomi toraks. Pada
inspeksi dapat ditemukan; napas cepat, kesulitan bernapas, menggunakan
otot napas tambahan di leher, perut dan dada. Pada auskultasi dapat
ditemukan; mengi, ekspirasi memanjang.
16
Tabel 2. Gejala-Gejala Kunci Diagnosis Asma1
17
Gambar 2. Alur Diagnosis Asma Anak
18
sensitif dibanding FEV. untuk diagnosis obstruksi saluran napas, PFM mengukur
terutama saluran napas besar, PFM dibuat untuk pemantauan dan bukan alat
diagnostik, APE dapat digunakan dalam diagnosis untuk penderita yang tidak
dapat melakukan pemeriksaan FEV1.
3. X-ray dada/thorax. Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak
disebabkan asma
4. Pemeriksaan IgE. Uji tusuk kulit (skin prick test) untuk menunjukkan adanya
antibodi IgE spesifik pada kulit. Uji tersebut untuk menyokong anamnesis dan
mencari faktor pencetus. Uji alergen yang positif tidak selalu merupakan penyebab
asma. Pemeriksaan darah IgE Atopi dilakukan dengan cara radioallergosorbent
test (RAST) bila hasil uji tusuk kulit tidak dapat dilakukan (pada dermographism).
5. Petanda inflamasi. Derajat berat asma dan pengobatannya dalam klinik
sebenarnya tidak berdasarkan atas penilaian obyektif inflamasi saluran napas.
Gejala klinis dan spirometri bukan merupakan petanda ideal inflamasi. Penilaian
semi-kuantitatif inflamasi saluran napas dapat dilakukan melalui biopsi paru,
pemeriksaan sel eosinofil dalam sputum, dan kadar oksida nitrit udara yang
dikeluarkan dengan napas. Analisis sputum yang diinduksi menunjukkan
hubungan antara jumlah eosinofil dan Eosinophyl Cationic Protein (ECP) dengan
inflamasi dan derajat berat asma. Biopsi endobronkial dan transbronkial dapat
menunjukkan gambaran inflamasi, tetapi jarang atau sulit dilakukan di luar riset.
6. Uji Hipereaktivitas Bronkus/HRB. Pada penderita yang menunjukkan FEV1
>90%, HRB dapat dibuktikan dengan berbagai tes provokasi. Provokasi bronkial
dengan menggunakan nebulasi droplet ekstrak alergen spesifik dapat menimbulkan
obstruksi saluran napas pada penderita yang sensitif. Respons sejenis dengan dosis
yang lebih besar, terjadi pada subyek alergi tanpa asma. Di samping itu, ukuran
alergen dalam alam yang terpajan pada subyek alergi biasanya berupa partikel
dengan berbagai ukuran dari 2 um sampai 20 um, tidak dalam bentuk nebulasi. Tes
provokasi sebenarnya kurang memberikan informasi klinis dibanding dengan tes
19
kulit. Tes provokasi nonspesifik untuk mengetahui HRB dapat dilakukan dengan
latihan jasmani, inhalasi udara dingin atau kering, histamin, dan metakolin.
2.8 Penatalaksanaan6,7
Tujuan tata laksana asma anak secara umum adalah untuk menjamin tercapainya
potensi tumbuh kembang anak secara optimal. Secara lebih rinci tujuan yang
ingin dicapai adalah:
• Pasien dapat menjalani aktivitas normal seorang anak, termasuk bermain dan
berolahraga.
• Sesedikit mungkin angka absensi sekolah.
• Gejala tidak timbul siang ataupun malam hari.
• Uji fungsi paru normal, tidak ada variasi diurnal yang mencolok pada PEF.
• Kebutuhan obat seminimal mungkin, kurang dari sekali dalam dua tiga hari,
dan tidak ada serangan.
• Efek samping obat dapat dicegah agar tidak atau sesedikit mungkin timbul,
terutama yang mempengaruhi tumbuh kembang anak. Apabila tujuan tersebut
belum tercapai maka perlu dilakukan reevaluasi terhadap tata laksananya.
Untuk tata laksana asma Konsensus Internasional III, masih menggunakan alur
yang sama (Gambar 3). Secara umum Konsensus Nasional juga masih
menggunakan alur seperti terlihat pada bagan 2. Secara umum Konsensus
Nasional juga masih menggunakan alur tersebut dengan beberapa perubahan
dan penambahan. Dalam alur tersebut terlihat bahwa jika tata laksana dalam
suatu derajat penyakit asma sudah adekuat namun responsnya tetap tidak baik
dalam 6-8 minggu, maka derajatnya berpindah ke yang lebih berat. Sebaliknya
jika asmanya terkendali dalam 6-8 minggu, maka derajatnya beralih ke yang
lebih ringan.
Asma episodik jarang (asma ringan)
Asma episodik jarang cukup diobati dengan bronkodilator beta-agonis
hirupan kerja pendek bila perlu saja, yaitu jika ada gejala/serangan.
20
Anjuran ini tidak mudah dilakukan berhubung obat tersebut mahaldan
tidak selalu tersedia di semua daerah. Di samping itu pemakaian obat
hirupan (metered dose inhaler) memerlukan pelatihan yang benar (untuk
anak besar), dan membutuhkan alat bantu (untuk anak kecil/bayi)
yang juga tidak selalu ada dan mahal harganya. Bila obat hirupan tidak
ada/tidak dapat digunakan maka beta-agonis diberikan peroral.
Sebenarnya kecenderungan saat ini teofilin makin kurang perannya
dalam tata laksana asma karena batas keamanannya sempit. Namun
mengingat di Indonesia obat betaagonis oral tidak selalu ada maka dapat
digunakan teofilin dengan memperhatikan kemungkinan timbulnya efek
samping. Di samping itu penggunaan beta-agonis oral tunggal dengan
dosis besar seringkali menimbulkan efek samping berupa palpitasi. Hal
ini dapat dikurangi dengan mengurangi dosisnya serta dikombinasi
dengan teofilin.
Konsensus Internasional III dan juga Konsensus Nasional seperti terlihat
dalam klasifikasi asmanya tidak mengajurkan pem-berian anti-inflamasi
untuk asma ringan. Di lain pihak, untuk asma intermiten (derajat 1 dari
4) GINA menganjurkan penggunaan kromoglikat sebelum aktivitas fisis
atau pajanan dengan alergen. Bahkan untuk asma persisten ringan
(derajat 2 dari 4) GINA sudah menganjurkan pemberian obat pengendali
(controller) berupa anti-inflamasi yaitu steroid hirupan dosis rendah,
atau kromoglikat hirupan. Sebagai catatan, GINA menggunakan istilah
obat pengendali (controller) untuk istilah profilaksis yang digunakan
oleh Konsensus Internasional. Obat pengendali diberikan tiap hari, ada
atau tidak ada serangan / gejala. Sedangkan obat yang diberikan saat
serangan disebut obat pereda (reliever).
Konig menemukan bukti bahwa dengan mengikuti panduan tata laksana
yang lazim, yaitu hanya memberikan bronkodilator tanpa anti-inflamasi
pada asma ringan, ternyata dalam jangka panjang (+8 tahun) pada
21
kelompok tersebut paling sedikit yang mengalami perbaikan derajat
asma. Di lain pihak, asma sedang yang mendapat kromoglikat, dan asma
berat yang mendapat steroid hirupan, menunjukkan perbaikan
derajat asma yang lebih besar. Perbaikan yang dimaksud adalah
menurunnya derajat asma, misalnya dari berat ke sedang atau ringan,
bahkan sampai asmanya asimtomatik.
22
Gambar 3. Alur Penatalaksanaan Jangka Panjang Asma Anak
23
dievaluasi hasilnya. Jika asma sudah terkendali, pemberian kromoglikat
dapat dikurangi menjadi 2-3 kali perhari. Sampai sekarang, obat ini
tetap paling aman untuk pengendalian asma anak, dan efek sampingnya
ringan, yaitu sesekali menyebabkan batuk. Nedokromil merupakan obat
satu golongan dengan kromoglikat yang lebih poten dan tidak
menyebabkan batuk. Di luar negeri obat ini sudah diijinkan
pemakaiannya untuk anak >2 tahun. Namun untuk di Indonesia saat ini
ijin yang ada untuk anak>12 tahun. Untuk asma persisten ringan (derajat
2 dari 4) GINA menganjurkan pemberian steroid hirupan (utama) atau
kromoglikat hirupan (alternatif ) sebagai obat pengendali. Sedangkan
untuk asma persisten sedang (derajat 3 dari 4) GINA merekomendasikan
steroid hirupan tanpa memberi tempat untuk kromoglikat. Menurut
hemat kami, seyogyanya untuk obat pengendali tetap dimulai dengan
kromoglikatdahulu. Jika tidak berhasil baru diganti dengan steroid
hirupan. Mengenai obat antihistamin baru non-sedatif (misalnya
ketotifen), penggunaannya dapat dipertimbangkan pada anak balita
dan/atau asma tipe rinitis.
Asma persisten (asma berat)
Jika setelah 6-8 minggu kromoglikat gagal mengendalikan gejala, dan
beta-agonis hirupan tetap diperlukan >3x tiap minggu maka berarti
asmanya termasuk berat. Sebagai obat pengendali pilihan berikutnya
adalah obat steroid hirupan. Cara pemberian steroid hirupan apakah dari
dosis tinggi ke rendah selama gejala masih terkendali, atau sebaliknya
dari dosis rendah ke tinggi hingga gejala dapat dikendalikan, tergantung
pada kasusnya. Dalam keadaan tertentu, khususnya pada anak dengan
penyakit berat, dianjurkan untuk menggunakan dosis tinggi dahulu,
disertai steroid oral jangka pendek (3-5 hari). Selanjutnya dosis steroid
hirupan diturunkan sampai optimal. Steroid hirupan biasanya efektif
24
dengan dosis rendah. Dalam penggunaan beklometason atau budesonid
dengan dosis 200 mg/hari, belum pernah dilaporkan adanya efek
samping jangka panjang. Dosis yang masih dianggap aman adalah 400
mg/hari. Di atas itu dilaporkan adanya pengaruh sistemik minimal,
sedangkan dengan dosis 800 mg/hari agaknya mulai berpengaruh
terhadap poros hipotalamus-hipofisisadrenal sehingga dapat berdampak
terhadap pertumbuhan. Efek sistemik steroid hirupan dapat dikurangi
dengan penggunaan alat bantu berupa perenggang (spacer) yang akan
meningkatkan deposisi obat di paru dan mengurangi deposisi di daerah
orofaringeal sehingga mengurangi absorbsi sistemik. Setelah dengan
pemberian steroid hirupan dicapai fungsi paru yang optimal atau klinis
perbaikan yang mantap selama 1-2 bulan, maka dosis steroid dapat
dikurangi bertahap sehingga dicapai dosis terkecil yang masih bisa
mengendalikan asmanya. Sementara itu penggunaan beta-agonis sebagai
obat pereda tetap diteruskan.
Asma sangat berat
Bila dengan terapi di atas selama 6-8 minggu asmanya tetap belum
terkendali maka pasien dianggap menderita Asma sangat berat (bagian
dari Asma persisten). Penggunaan beta-agonis (kerja pendek) hirupan
>3x sehari secara teratur dan terus menerus diduga mempunyai peran
dalam peningkatan morbiditas dan mortalitas asma. Oleh karena itu obat
dan cara peng-gunaannya tersebut sebaiknya dihindari. Tetapi jika
dengan steroid hirupan dosis sedang (400- 600 mg/hari) asmanya belum
terkendali, maka perlu dipertimbangkan tambahan pemberian beta-
agonis kerja panjang, atau beta-agonis lepas terkendali, atau teofilin
lepas lambat. Dahulu beta-agonis dan teofilin hanya dikenal sebagai
bronkodilator saja. Namun akhir-akhir ini diduga mereka juga
mempunyai efek anti-inflamasi. Jika dengan penambahan obat tersebut
25
asmanya tetap belum terkendali, obat tersebut diteruskan dan dosis
steroid hirupan dinaikkan, bahkan mungkin perlu diberikan steroid oral.
Langkah ini diambil hanya bila bahaya dari asmanya lebih besar
daripada bahaya efek samping obat.
Untuk steroid oral sebagai dosis awal dapat diberikan 1-2
mg/kgBB/hari. Dosis kemudian diturunkan sampai dosis terkecil yang
diberikan selang hari pada pagi hari.
Obat Bronkodilator:
1. Adrenergik
2. Antikolinergik
3. Xanthin
1. Adrenergika
26
menjadi cyclic-adenosin monophosphat (cAMP) dengan pembebasan energi
yang digunakan untuk proses-proses dalam sel. Meningkatnya kadar cAMP di
dalam sel menghasilkan beberapa efek bronchodilatasi dan penghambatan
pelepasan mediator oleh mast cells.
Penggunaannya semula sebagai monoterapi kontinu, yang ternyata secara
berangsur meningkatkan HRB dan akhirnya memperburuk fungsi paru, karena
tidak menanggulangi peradangan dan peningkatan kepekaan bagi alergen pada
pasien alergis. Oleh karena itu, sejak beberapa tahun hanya digunakan untuk
melawan serangan atau sebagai pemeliharaan dalam kombinasi dengan obat
pencegah, seperti kortikosteroid dan kromoglikat.
Kehamilan dan laktasi. Salbutamol dan terbutalin dapat digunakan oleh
wanita hamil, begitu pula fenoterol dan heksoprenalin setelah minggu ke-16.
salbutamol. Terbutalin, dan salmeterol mencapai air susu ibu. Dari obat lainnya
belum terdapat cukup data untuk menilai keamanannya; pada binatang
percobaan, salmoterol ternyata merugikan janin
Zat adrenergik ini dengan efek alfa + beta adalah bronchodilator terkuat dengan
kerja cepat tetapi singkat dan digunakan untuk serangan asma yang hebat.
Sering kali senyawa ini dikombinasi dengan tranquillizer peroral guna melawan
rasa takut dan cemas yang menyertai serangan. Secara oral, adrenalin tidak
aktif.
Efek samping berupa efek sentral (gelisah, tremor, nyeri kepala) dan terhadap
jantung palpitasi, aritmia), terutama pada dosis lebih tinggi. Timbul pula
hyperglikemia, karena efek antidiabetika oral diperlemah.
27
Dosis pada serangan asma i.v. 0,3 ml dari larutan 1 : 1.000 yang dapat diulang
dua kali setiap 20 meter (tartrat) (3,4).
Derivat – adrenalin ini memiliki efek sentral lebih kuat dengan efek
bronchodilatasi lebih ringan dan bertahan lebih lama (4 jam). Efedrin dapat
diberikan secara oral maka banyak digunakan sebagai obat asma (bebas
berbatas tanpa resep) dalam berbagai sediaan populer, walaupun efek
sampingnya dapat membahayakan.
Efek samping, pada orang yang peka, efedrin dalam dosis rendah sudah dapat
menimbulkan kesulitan tidur, tremor, gelisah dan gangguan berkemih. Pada
overdose, timbul efek berbahaya terhadap SSP dan jantung (palpitasi) (3,4).
28
v Orsiprenalin (Metaproterenol, Alupent, Silomat comp)
Adalah isomer isoprenalin dengan resorpsi lebih baik, yang efeknya dimulai
lebih lambat (oral sesudah 15-20 menit tetapi bertahan lebih lama, sampai 4
jam. Mulai kerjanya melalui inhalasi atau injeksi adalah setelah 10 menit.
Dosis 4 dd 20 mg (sulfat), i.m. atau s.c. 0,5 mg yang dapat diulang setelah ½
jam, inhalasi 3 – 4 dd 2 semprotan (3,4).
Efek samping jarang terjadi dan biasanya berupa nyeri kepala, pusing-pusing,
mual, dan tremor tangan. Pada overdose dapat terjadi stimulasi reseptor b-1
dengan efek kardiovaskuler: tachycardia, palpitasi, aritmia, dan hipotensi. Oleh
karena itu sangat penting untuk memberikan instruksi yang cermat agar jangan
mengulang inhalasi dalam waktu yang terlalu singkat, karena dapat terjadi
tachyfylaxis (efek obat menurun dengan pesat pada penggunaan yang terlalu
sering).
29
Dosis 3-4 dd 2-4 mg (sulfat) inhalasi 3-4 dd 2 semprotan dari 100 mcg, pada
serangan akut 2 puff yang dapat diulang sesudah 15 menit. Pada serangan hebat
i.m. atau s.c. 250-500 mcg, yang dapat diulang sesudah 4 jam (3,4).
Derivat metil dari orsiprenalin (1970) ini juga berkhasiat b2 selektif. Secara
oral, mulai kerjanya sesudah 1-2 jam, sedangkan lama kerjnya ca 6 jam. Lebih
sering mengakibatkan tachycardia.
Dosis 2-3 dd 2,5-5 mg (sulfat) inhalasi 3-4 dd 1-2 semprotan dari 250 mcg,
maksimum 16 puff sehari, s.c. 250 mcg, maksimum 4 kali sehari
v Fenoterol (berotec)
Adalah derivat terbutalin dengan daya kerja dan penggunaan yang sama.
Efeknya lebih kuat dan bertahan ca 6 jam, lebih lama daripada salbutamol (ca 4
jam).
2. Antikolinergika
Di dalam sel-sel otot polos terdapat keseimbangan antara sistem adrenergis dan
sistem kolinergis. Bila karena sesuatu sebab reseptor b2 dari sistem adrenergis
terhambat, maka sistem kolinergis akan berkuasa dengan akibat
bronchokonstriksi. Antikolimengika memblok reseptor muskarin dari saraf-
saraf kolinergis di otot polos bronchi, hingga aktivitas saraf adrenergis menjadi
dominan dengan efek bronchodilatasi.
30
Penggunaan terutama untuk terapi pemeliharaan HRB, tetapi juga berguna
untuk meniadakan serangan asma akut (melalui inhalasi dengan efek pesat).
Efek samping yang tidak dikehendaki adalah sifatnya yang mengentalkan dahak
dan tachycardia, yang tidak jarang mengganggu terapi. Yang terkenal pula
adalah efek atropin, seperti mulut kering, obstipasi, sukar berkemih, dan
penglihatan buram akibat gangguan akomodasi. Penggunaanya sebagai inhalasi
meringankan efek samping ini
Ipratropium : Atrovent
31
Efek sampingnya jarang terjadi dan biasanya berupa mulut kering, mual, nyeri
kepala, dan pusing.
Tablet sustanined release (Euphyllin retard 125-250 mg) adalah efketif untuk
memperoleh kadar darah yang konstan, khususnya pada waktu tidur dan dengan
demikian mencegah serangan tengah malam dan morning dip (3,4).
Teofilin aman bagi wanita hamil. Karena dapat mencapai air susu ibu,
sebaiknya ibu menyusui bayinya sebelum menelan obat ini (3,4).
32
v Teofilin : 1,3 dimryilkdsnyin, Quibron-T/SR Theobron.
Alkaloida ini (1908) terdapat bersama kofein (trimetilksantin) pada daun teh
(Yuntheos = Allah, phykllon = daun) dan memiliki sejumlah khasiat antara lain
berdaya spasmolitis terhadap otot polos, khususnya otot bronchi, menstimulasi
jantung (efek inotrop positif) dan mendilatasinya. Teofilin juga menstimulasi
SSP dan pernafasan, serta bekerja diuretis lemah dan singat. Kofein juga
memiliki semua khasiat ini meski lebih lemah, kecuali efek stimulasi sentralnya
yang lebih kuat. Kini, obat ini banyak digunakan sebagai obat prevensi dan
terapi serangan asma.
33
sebagai sediaan ‘sutanined release’ yang memberikan resorpsi konstan dan
kadar dalam darah yang lebih teratur.
Efek sampingnya yang terpenting berupa mual dan muntah, baik pada
penggunaan oral maupun rektal atau parenteral. Pada overdose terjadi efek
sentral (gelisah, sukar tidur, tremor, dan konvulsi) serta gangguan pernafasan,
juga efek kardiovaskuler, seperti tachycardia, aritmia, dan hipotensi. Anak kecil
sangat peka terhadap efek samping teofilin.
Adalah garam yang dalam darah membebaskan teofilin kembali. Garam ini
bersifat basa dan sangat merangsang selaput lendir, sehingga secara oral sering
mengakibatkan gangguan lambung (mual, muntah), juga pada penggunaan
dalam suppositoria dan injeksi intramuskuler (nyeri). Pada serangan asma, obat
ini digunakan sebagai injeksi i.v.
34
Tabel 3. Obat asma yang beredar di Indonesia
35
Tabel 4. Takaran obat, cairan dan waktu nebulisasi
36
2.8 Prognosis7
Beberapa studi kohort menemukan bahwa banyak bayi dengan mengi tidak berlanjut
menjadi asma pada masa anak dan remajanya. Proporsi kelompok tersebut berkisar
antara 45 hingga 85%, tergantung besarnya sampel studi, tipe studi kohort, dan
lamanya pemantauan. Peningkatan IgE serum dan uji kulit yang positif khususnya
terhadap tungau debu rumah pada bayi, dapat memperkirakan mengi persisten pada
masa anak. Adanya dermatitis atopik merupakan prediktor terjadinya asma berat.
37
BAB III
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. Z.N.F
Umur : 7 tahun 1 bulan
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Laboy Jaya
Tanggal masuk : 21 Desember 2016
Nomor MR : 139629
4 hari SMRS pasien mengeluh batuk (+), berdahak (+) dahak berwarna putih,
batuk sering pada malam hari.
Nyeri dada (-)
Pilek (-)
Sesak nafas (-)
Mual (-) Muntah(-)
Demam (-)
IV. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU :
- Riwayat menderita keluhan yang sama disangkal
- Riwayat alergi makanan tidak ada
38
- Anggota keluarga lain dan tetangga pasien tidak ada yang mengeluhkan
kondisi yang sama.
39
Gambar 4. Grafik indeks masa tubuh pada anak perempuan usia 2-20 tahun
40
IX. STATUS GENERALISATA
a. Kepala
- Kepala : Normocephal
- Mata : Cekung (-/-), Sklera ikterik (-/-), Konjungtiva anemis (-/-)
- Hidung : Sekret (-), perdarahan (-)
- Telinga : serumen (-), tanda-tanda radang (-)
- Mulut : Mukosa bibir kering (-), sianosis (-)
- Leher : Trakea medial, pembesaran KGB (-)
b. Thoraks
Inspeksi : Gerakan pernafasan simetris kanan = kiri, retraksi dinding
dada (+), ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Vocal fremitus simetris kanan dan kiri, ictus cordis teraba
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru. Redup pada batas jantung normal.
Auskultasi : Pulmo SN: Bronkovesikular, Rhonki (-/-), wheezing (+/+).
Cor Bunyi jantung I & II regular, murmur (-), gallop (-)
c. Abdomen
Inspeksi : Bentuk normal, simetris, ascites (-)
Auskultasi : Bising usus (+)
Perkusi : Tympani
Palpasi : Nyeri tekan-lepas (-), hepar teraba, konsistensi kenyal dan
tepinya rata, lien tidak teraba.
e. Ekstremitas
- Superior : Akral hangat (+), sianosis (-), ptechie (-), edema (-), CRT<2”
- Inferior : Akral hangat (+), sianosis (-), ptechie (-), edema (-), CRT<2”
41
X. PEMERIKSAAN PENUNJANG :
- Pemeriksaan Laboratorium:
Darah Lengkap
- Hemoglobin : 13,8 gr%
- Leukosit : 9.800/mm3
- Hematokrit : 38,5 %
- Trombosit : 455.000/mm.3
- Hitung Jenis Leukosit : - Eosinofil : 15
- Basofil :0
- Netrofil Stab :2
- Netrofil Segmen : 38
- Limfosit : 32
- Monosit :3
XIII. PENATALAKSANAAN
- Ambroxol 3x2 cth
- Aminofilin mg 10, CTM 1/3, Prednisone ½ (Pulv) 3x1
42
BAB IV
ANALISA KASUS
Seorang anak 7 tahun dengan diagnosis asma bronkial dan gizi baik.
Diagnosis asma bronkial ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik
yang dilakukan. Berdasarkan teori, manifestasi klinis dari asma berupa sesak
episodik, mengi(wheezing) dan batuk. Pada pasien ditemukan batuk berdahak,
dahak berwarna putih dan batuk semakin meningkat pada malam hari. Hal ini terjadi
kemungkinan akibat suhu pada saat malam yang lebih dingin yang mengakibatkan
batuk semakin hebat.
Pada inspeksi thoraks, ditemukan adanya retraksi, hal ini kemungkinan akibat
usaha nafas yang dilakukan pasien. Pada auskultasi ditemukan wheezing (+/+).
Gejala-gejala yang dialami pasien tersebut sesuai dengan teori yang ada. Sehingga
pada kasus ini ditegakkan diagnosis Asma Bronkial berdasarkan teori, gejala dan
pemeriksaan fisik pada pasien. Pada pasien diberikan ambroxol untuk
mengencerkan dahak dan diberikan aminopilin sebagai bronkodilator,
Chlorfeniramin (CTM) untuk meredakan alergi, Prednisone untuk anti inflamasi.
Berdasarkan teori pemeriksaan penunjang x ray pada thoraks dilakukan untuk
menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan oleh asma. Dan pada pemeriksaan
darah lengkap dilakukan untuk melihat eusinofil pasien apakah normal atau
meningkat. Hasil pemeriksaan xray pasien dalam batas normal dan pada
pemeriksaan darah lengkap pasien, eusinofil pasien tinggi yang berarti sedang ada
proses alergi pada tubuh pasien. Sehingga dapat disimpulkan pada pasien ini sedang
terjadi proses alergi yang mengakibatkan asma bronkial.
Pada kasus ini anak juga di diagnosis dengan gizi baik melalui CDC. Status
gizi baik yaitu keadaan dimana asupan zat gizi sesuai penggunaan untuk aktivitas
tubuh. Hal ini diwujudkan dengan adanya keselarasan antara tinggi badan terhadap
umur, berat badan terhadap umur dan tinggi badan terhadap berat badan. Tingkat
kesehatan gizi yang baik ialah kesehatan gizi optimum.
43
BAB V
KESIMPULAN
44
DAFTAR PUSTAKA
1. Global strategy for asthma management and prevention. 2007. National Institute
of Health
2. Bernstein JA. 2003. Asthma in handbook of allergic disorders. Philadelphia :
Lipincott Williams & Wilkins, USA, 73-102
3. Baratawidjaja KG, Soebaryo RW, Kartasasmita CB, Suprihati, Sundaru H,
Siregar SP. 2006. Allergy and asthma, The scenario in Indonesia. In: Shaikh WA.
editor. Principles and practice of tropical allergy and asthma. Mumbai: Vicas
Medical Publishers. 707-36
4. Unit Kerja Koordinasi Pulmonologi IDAI. 2000. Konsensus Nasional Asma Anak
5. Holgate ST. 2006. The bronchial epithelial origins of asthma in immunological
mechanism in asthma
6. Lenfant C, Khaltaev N. Global Initiative for Asthma. NHLBI/WHO Workshop
Report 1995
7. Warner JO, Naspitz CK, Cropp GJA. Third International Pediatric Consensus
Statement on the Management of Childhood Asthma. Pediatry Pulmonal 1998;
25:1-17.
8. Kementrian Kesehatan RI. (2013). Riset Kesehatan Dasar. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, Jakarta: Indonesia. Dapat diakses di :
http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas%2020
13.pdf
9. Augusto A. Asthma and obesity: Common early-life influences in the inception
of disease JACI.2008 Mei; 121.(5):1075.
10. Brisbon N, Plumb J, Brawer R, Paxman D, The asthma and obesity epidemics:
The role played by the built environment-a public health perspective.
JACI.2005;115 (5):1024-8.
11. Devereux G, Seaton A, Diet as a risk factor for atopy and asthma.JACI.2005.115
(6):1109-17.
12. Bateman ED, Jithoo A. Asthma and allergy - a global perspective in Allergy.
European Journal of Allergy and Clinical Immunology.2007;62 (3).213-5.
13. Morris, MJ. 2016. Asthma. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/296301
45
LAMPIRAN
46
47