Anda di halaman 1dari 3

RUPTUR UTERI

PATOFISIOLOGI
Saat his korpus uteri berkontraksi dan mengalami retraksi. Dengan demikian,dinding
korpus uteri atau segmen atas rahim menjadi lebih tebal dan volume korpusuteri menjadi
lebih kecil. Akibatnya tubuh janin yang menempati korpus uteriterdorong ke dalam segmen
bawah rahim. Segmen bawah rahim menjadi lebih lebardan karenanya dindingnya menjadi
lebih tipis karena tertarik keatas oleh kontraksisegmen atas rahim yang kuat, berulang dan
sering sehingga lingkaran retraksi yangmembatasi kedua segmen semakin bertambah tinggi.
Apabila bagian terbawah janin tidak dapat turun oleh karena suatu sebab(misalnya :
panggul sempit atau kepala besar) maka volume korpus yang bertambahmengecil pada waktu
ada his harus diimbangi perluasan segmen bawa rahim ke atas.Dengan demikian lingkaran
retraksi fisiologis semakin meninggi kearah pusatmelewati batas fisiologis menjadi patologis
yang disebut lingkaran bandl (ring vanbandl). Ini terjadi karena, rahim tertarik terus menerus
kearah proksimal tetapitertahan dibagian distalnya oleh serviks yang dipegang ditempatnya
oleh ligamentum–ligamentum pada sisi belakang (ligamentum sakrouterina),
pada sisi kanan dan kiri(ligamentum cardinal) dan pada sisi dasar kandung kemih
(ligamentumvesikouterina).Jika his berlangsung terus menerus kuat, tetapi bagian terbawah
janin tidak kunjung turun lebih ke bawah, maka lingkaran retraksi semakin lama semakin
tinggidan segmen bawah rahim semakin tertarik ke atas dan dindingnya menjadi sangattipis.
Ini menandakan telah terjadirupture uteri iminens dan rahim terancam robek.Pada saat
dinding segmen bawah rahim robek spontan dan his berikutnya dating,terjadilah perdarahan
yang banyak (rupture uteri spontanea).
Ruptur uteri pada bekas seksio sesarea lebih sering terjadi terutama padaparut pada
bekas seksio sesarea klasik dibandingkan pada parut bekas seksio sesareaprofunda. Hal ini
disebabkan oleh karena luka pada segmen bawah uterus yangtenang pada saat nifas memiliki
kemampuan sembuh lebih cepat sehingga parut lebihkuat. Ruptur uteri pada bekas seksio
klasik juga lebih sering terjadi pada kehamilantua sebelum persalinan dimulai sedangkan
pada bekas seksio profunda lebih seringterjadi saat persalinan. Rupture uteri biasanya terjadi
lambat laun pada jaringan–jaringan di sekitar luka yang menipis kemudian terpisah sama
sekali. Disini biasanyaperitoneum tidak ikut serta, sehingga terjadi rupture uteri inkompleta.
Pada peristiwaini perdarahan banyak berkumpul di ligamentum latum dan sebagian lainnya
keluar.
Mekanisme Terjadinya Ruptur Uteri
Pada umumnya uterus dibagi atas dua bagian besar: Korpus uteri dan servik uteri. Batas
keduanya disebut ismus uteri (2-3 cm) pada rahim yang tidak hamil. Bila kehamilan sudah
kira-kira ± 20 minggu, dimana ukuran janin sudah lebih besar dari ukuran kavum uteri, maka
mulailah terbentuk SBR ismus ini.
Batas antara korpus yang kontraktil dan SBR yang pasif disebut lingkaran dariBandl.
Lingkaran Bandl ini dianggap fisiologik bila terdapat pada 2-3 jari diatas simfisis, bila
meninggi maka kita harus waspada terhadap kemungkinan adanya ruptur uteri mengancam.
Ruptur uteri terutama disebabkan oleh peregangan yang luar biasa dari uterus. Sedangkan
kalau uterus telah cacat, mudah dimengerti karena adanya lokus minoris resistens
Rumus mekanisme terjadinya ruptur uteri:
R=H+O
Dimana: R = Ruptur
H = His Kuat (tenaga)
O = Obstruksi (halangan)
Pada waktu in-partu, korpus uteri mengadakan kontraksi sedang SBR tetap pasif dan cervix
menjadi lunak (effacement dan pembukaan). Bila oleh sesuatu sebab partus tidak dapat maju
(obstruksi), sedang korpus uteri berkontraksi terus dengan hebatnya (his kuat), maka SBR
yang pasif ini akan tertarik ke atas menjadi bertambah regang dan tipis. Lingkaran Bandl ikut
meninggi, sehingga suatu waktu terjadilah robekan pada SBR tadi. Dalam hal terjadinya
ruptur uteri jangan dilupakan peranan dari anchoring apparatus untuk memfiksir uterus yaitu
ligamentum rotunda, ligamentum latum, ligamentum sacrouterina dan jaringan parametra.

HEMORAGI POSPARTUM

Patofisiologi Perdarahan Postpartum

Perdarahan berasal dari tempat plasenta, bila tonus uterus tidak ada, kontraksi uterus
lemah, maka anteri-arteri spiral yang seharusnya tertutup akibat kontraksi uterus tetap
terbuka. Darah akan terus mengalir melalui bekas melekatnya plasenta ke cavum uteri dan
seterusnya keluar pervaginam (El-Refaey, 2003).
Setelah kelahiran anak, otot-otot rahim terus berkontraksi dan plasenta mulai
memisahkan diri dari dinding rahim selama jangka waktu tersebut. Jumlah darah yang hilang
tergantung pada berapa cepat hal ini terjadi. Biasanya, persalinan kala III berlangsung selama
5-15 menit. Bila lewat dari 30 menit, maka persalinan kala III dianggap lama (DepKes RI,
2004). Perdarahan postpartum bisa terjadi karena kontraksi uterus kurang kuat untuk
melepaskan plasenta atau karena plasenta melekat terlalu erat pada dinding uterus (Hakimi,
2003).

PATOFISIOLOGI PERDARAHAN POSTPARTUM


Selama masa kehamilan banyak sekali sinus-sinus darah terbentuk di bawah plasenta.
Setelah persalinan otot uterus berkontraksi, gerakannya menutup pembuluh darah, dan
mencegah kehilangan banyak darah. Bila terdapat jaringan dalam uterus atau bila otonya
terlampau teregang, uterus tidak dapat berkontraksi dengan sempurna dan mengakibatkan
hemoragie atau perdarahan. Oleh karena itu, plasenta tertahan, inversi uterus, dan tumor
dapat menyebabkan perdarahan postpartum serius.
Ketika terdapat laserasi (robekan) servik atau vagina yang merupakan tempat darah
mengalir, tidak ada kontraksi uterus yang dapat menghentikan hemoragie atau perdarahan.
Setelah persalinan dokter menginpeksi jalan lahir dengan ketat untuk mengetahui adanya
laserasi. Bila didapati hal tersebut, maka keadaan diperbaiki dengan cepat. Kadang-kadang
pembuluh darah yang masih terbuka tidak terlihat dan masih mengakibatan hemoragi
lanjutan.

Anda mungkin juga menyukai