Anda di halaman 1dari 19

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Profil Puskeswan


Puskeswan campurdarat beralamat di jalan raya Jalan Kanigoro,
Kecamatan Campurdarat, Kabupaten Tulungagung, Puskeswan Campurdarat
berada di bawah naungan bidang Kesehatan Dinas Pertanian dan Peternakan
Kabupaten Tulungagung. Puskeswan Campurdarat menaungi beberapa
wilayah Kecamatan di Kabupaten Tulungagung diantarannya adalah
Kecamatan Campurdarat (9 desa), Tanggunggunung (7), Bandung (18),
Besuki (10), Boyolangu (17), Pakel (19) (Pemerintah Kabupaten
Tulungagung, 2015).
Puskeswan Campurdarat menjalankan fungsinya sebagai berikut
melakukan pelayanan Kesehatan Hewan, Konsultasi Medis, Inseminasi
Buatan, Gangguan Reproduksi, Manajemen Kesehatan hewan. Staf pekerja di
Puskeswan Campurdarat terdiri dari dua orang Dokter Hewan satu sebagai
kepala Puskeswan Campurdarat sekaligus Medic Veteriner dan satu sebagai
Medic Reproduksi, dua orang sebagai Paramedic Veteriner, satu orang
sebagai Administrasi, satu orang sebagai Asisten Teknis Reproduksi, dua
orang sebagai petugas Pemeriksaan Kebuntingan, empat orang sebagai
petugas Iseminator, tiga orang sebagai Vaksinator (Puskeswan Campurdarat,
2015). Potensi ternak besar yang berada di wilayah kerja Puskeswan
Campurdarat tercantum pada tabel dibawah ini :
Tabel 5.1 Populasi ternak besar di wilayah kerja Puskeswan Campurdarat
pada tahun 2016 (Puskeswan Campurdarat, 2016) :

Sapi Kuda Kerbau


Kecamatan (ekor) (ekor) (ekor)
2016 2016 2016

Boyolangu 4.988 - -
Campurdarat 4.071 2 -
Tanggunggunung 4.213 - -
Bandung 1.787 2 11
Besuki 2.053 - 4
Pakel 2.923 - -

Jumlah 20.035 4 15

Selain potensi ternak besar, di wilayah kerja Puskeswan Campurdarat


juga terdapat sarana pendukung kegiatan peternakan yang berupa rumah
potong hewan (RPH) dan pasar hewan. Rumah potong hewan (RPH) berada
di Desa Suwaru, Kecamatan Bandung, Kabupaten Tulungagung. Pasar hewan
berada di Jalan Ki Hajar Dewantara No. 9b, Beji, Boyolangu, Kabupaten
Tulungagung (Pemerintah Kabupaten Tulungagung, 2015).

5.1 Kondisi Umum Kabupaten Tulungagung


Berikut ini kondisi umum daerah Kabupaten Tulungagung yang
ditinjau dari beberapa hal yaitu :
5.1.1 Luas dan Batas Wilayah
Pemerintah Kabupaten Tulungagung berkedudukan di Jalan
Ahmad Yani Timur Nomor 37, Kelurahan Tamanan, Kecamatan
Tulungagung, Kabupaten Tulungagung. Luas wilayah Kabupaten
Tulungagung 1.055,65 km² terbagi menjadi 19 kecamatan, 14
kelurahan, dan 257 desa atau seperti tabel berikut :
Tabel 5.2 Jumlah desa atau kelurahan menurut kecamatan tahun 2011
(Badan Pusat Statistik Kabupaten Tulungagung, 2012)

No. Kecamatan Desa Kelurahan

1. Besuki 10 -
2. Bandung 18 -
3. Pakel 19 -
4. Campurdarat 9 -
5. Tanggunggunung 7 -
6. Kalidawir 17 -
7. Pucanglaban 9 -
8. Rejotangan 16 -
9. Ngunut 18 -
10. Sumbergempol 17 -
11. Boyolangu 17 -
12. Tulungagung - 14
13. Kedungwaru 19 -
14. Ngantru 13 -
15. Karangrejo 13 -
16. Kauman 13 -
17. Gondang 20 -
18. Pagerwojo 11 -
19. Sendang 11 -

5.1.2 Letak dan Kondisi Geografis


Kabupaten Tulungagung terletak pada posisi 111º 43' sampai
dengan 112º 07' bujur timur dan 7º 51' sampai dengan 8º 18' lintang
selatan. Batas daerah, di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten
Kediri terutama dengan Kecamatan Kras. Di sebelah timur berbatasan
dengan Kabupaten Blitar. Di sebelah selatan berbatasan dengan
Samudera Indonesia dan di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten
Trenggalek. Jarak antara Ibukota Kabupaten Tulungagung (Kecamatan
Tulungagung) dengan Ibukota Provinsi Jawa Timur (Kota Surabaya)
kurang lebih 154 km ke arah Barat Daya. Sementara jarak antara
Ibukota Kecamatan ke Ibukota Kabupaten di Kabupaten Tulungagung
berkisar antara 0-36 km, dimana Kecamatan Pucanglaban merupakan
daerah yang memiliki jarak terjauh dari Ibukota Kabupaten (Badan
Pusat Statistik Kabupaten Tulungagung, 2013).
5.1.3 Topografi
Kabupaten Tulungagung terbagi menjadi tiga dataran yaitu
tinggi, sedang dan rendah. Dataran rendah merupakan daerah dengan
ketinggian dibawah 500 m dari permukaan laut, daerah ini meliputi
semua kecamatan tetapi tidak semua desa untuk Kecamatan Pagerwojo
dan Sendang hanya empat desa. Dataran sedang mempunyai ketinggian
500 m sampai dengan 700 m dari permukaan laut, daerah ini meliputi
Kecamatan Pagerwojo sebanyak 6 desa dan Kecamatan Sendang
sebanyak 5 desa, sedangkan dataran tinggi merupakan daerah dengan
ketinggian diatas 700 m dari permukaan air laut yaitu Kecamatan
Pagerwojo sebanyak 1 desa dan Kecamatan Sendang sebanyak 2 desa.
Daerah yang mempunyai wilayah terluas secara berurutan yaitu
Kecamatan Tanggunggunung, Kecamatan Kalidawir, Kecamatan
Sendang, dan Kecamatan Pagerwojo (Badan Pusat Statistik Kabupaten
Tulungagung, 2013).
5.1.4 Hari dan Curah Hujan
Hari dan curah hujan antara lain dipengaruhi oleh keadaan
iklim, keadaan topografi dan perputaran atau pertemuan arus udara.
Hari hujan di Kabupaten Tulungagung terbesar ada di bulan Januari dan
terkecil ada di bulan Agustus dan September. Sedangkan curah hujan
terbesar ada di bulan Januari dan terendah ada di bulan September
(Lampiran 4). Rata-rata curah hujan di Kabupaten Tulungagung
selama tahun 2012 adalah 140 Mm per tahun, ini berarti lebih tinggi di
banding tahun 2011 yang sebesar 137 Mm per tahun. Curah hujan dan
hari hujan tidak merata antar waktu dan antar daerah, sehingga
mengakibatkan suatu keadaan yang saling bertentangan, yaitu bisa
terjadi banjir di suatu daerah sementara di daerah lain terjadi kekeringan
pada saat yang sama. Oleh karena itu harus selalu diwaspadai bulan
dengan hari hujan banyak atau sedikit, sehingga dapat meminimalkan
kedajian bencana (Badan Pusat Statistik Kabupaten Tulungagung,
2013).
5.2 Prevalensi Kasus Scabies di Wilayah Kerja Puskeswan Campurdarat
Kabupaten Tulungagung

Scabies ( sarcptes scabiei) merupakan salah satu penyakit yang


sering terjadi pada ternak sapi potong di Kabupaten Tulungagung.
Berdasarkan data pasien yang masuk di Puskeswan Campurdarat dalam
setahun terakhir, mulai bulan Juli 2015 sampai bulan Mei 2016 dengan
total kasus Scabies mencapai 137 kasus, yang setiap bulan memiliki
jumlah kasus Scabies bervariasi, seperti tertera pada Gambar 5.1 sebagai
berikut

Kasus Scabies di Puskeswan


Campurdarat juni 2015 sampai
Mei 2016 19
14 13
12 13
11 11
8 8 8
7
5

Gambar 5.1 Grafik Jumlah Kasus scabies di Puskeswan Campurdarat.


5.4 Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Scabies di Wilayah Kerja
Puskeswan Campurdarat

Berdasarkan data lapangan yang di peroleh ketika praktek kerja lapang


faktor yang mepengaruhi kejadian scabies yaitu terutama faktor lingkungan
seperti kelembaban yang tinggi meningkatkan daya hidup Sarcoptes scabiei,
lingkungan padat populasi memberi peluang terkena Scabies, musim hujan kasus
Scabies meningkat. Berdasarkan epidemiologi, beberapa faktor pendorong
timbulnya suatu penyakit antara lain adanya agen penyakit, adanya induk semang
yang peka, serta lingkungan dan manajemen. Lingkungan dan manajemen yang
baik dengan memperhatikan sanitasi, kebersihan kandang, kebersihan tempat
minum dan kebersihan peralatan peternakan yang tercemar, maupun bekas
kandang hewan penderita penyakit scabies dan peternak yang terkena penyakit
scabies merupakan sumber penularan yang cukup potensial akan meminimalkan
kejadian scabies baik pada ternak. Berikut ini gambar kondisi kandang yang
didapat pada saat PKL :
Gambar 5.2 Sanitasi Kandang ( Hasil dari PKL )
Wawancara yang dilakukan dengan peternak pada saat PKL di Puskeswan
Campurdarat didapatkan bahwa pernyataan bahwa kandang sebelumnya pernah
terjadi kasus scabies dan sanitasi kandang, peralatan kandang yang tercemar yang
kurang bersih, dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa penyebab
penyakit scabies. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Kertayadya dkk (1994)
Introduksi ternak baru yang subklinis penyakit scabies, alat-alat peternakan yang
tercemar, maupun bekas kandang hewan penderita penyakit Scabies dan peternak
yang terkena penyakit scabies merupakan sumber penularan yang cukup potensial.
Lingkungan sekitar dan kandang peternak di wilyah kerja Puskeswan
Campurdarat belum cukup baik. Peternak diwilayah kerja Puskeswan
Campurdarat belum memiliki kandang yang layak untuk memelihara ternak sapi
mereka. Persyaratan kandang yang layak dan baik selain dilihat dari letak
bangunan kandang, diperhatikan juga dari kontruksi kandang. Menurut Sudarmo
dan Sugeng (2008) kontruksi kandang sapi potong terdiri atas arah mata angin
pada kandang, ventilasi, atap, dinding, dan lantai kandang. Seperti contoh
kandang milik Bapak Maryono dengan lantai kandang yang kurang bersih karena
masih banyak terdapat kotoran (Gambar 5.3). Kondisin kandang yang kurang
bersih dan lembab serta pencahayan juga kurang sehingga sangat memungkinkan
tungau Sarcoptes scabiei berkembang biak. (Gambar 5.4). Kondisi tersebut
beresiko terhadap kesehatan peternak dan hewan ternak. Peternak di wilayah kerja
Puskeswan Campurdarat belum menyadari tentang betapa penting kebersihan
kandang bagi ternak dan lingkungan sekitar, sehingga masih banyak kemungkinan
ternak yang baru masuk kandang dapat tertular penyakit seperti penyakit scabies .

Gambar 5.3 Kondisi Kandang Milik Bapak Surat

Gambar 5.4 kondisi Kandang, Tempat Pakan Milik Bapak Suyitno


5.5 Gejala Klinis Scabies (Sarcoptes scabiei) di Wilayah Kerja
Puskeswan Campurdarat
Gejala klinis pada sapi di wilayah kerja Puskeswan Campurdarat
Kabupaten Tulungagung yang mengalami scabies adalah sapi mengalami
penurunan nafsu makan, sapi terlihat gelisah menggarukkan badan
kekandang, dan terlihat bebrapa kropeng disekitar tubuh ( Gambar 5.5
A), sapi terlihat kurus (Gambar 5.5 B), hal tersebut sesuai dengan
pernyataan Iskandar, (2000), yang menyatakan bahwa gejala klinis
Sarcoptes scabiei yaitu hewan akan menggesek-gesekkan daerah yang
gatal ke tiang kandang atau pohon-pohon, menggaruk-garuk atau
mencakar dan menggigit kulitnya secara terus-menerus. Berikut ini
gambaran gejala klinis yang tampak pada sapi yang terinfeksi Scabies di
tempat PKL :

A B
Gambar 5.5 Gejala klinis sapi terinfeksi Scabies di tempat
PKL. A. Kropeng di tubuh , B. Sapi Kurus

5.3 kasus Scabies


5.3.1 kasus 1
Kasus yng pertama miliki bapak Imam di daerah pakel Sapi milik
bapak Imam bernama sinten dengan jenis sapi pernakan ongol. Sapi bapak Imam
memiliki berat 400 kg dan berumur 4 tahun. Keadaan sapi pada waktu diperiksa
oleh dokter hewan yang bertugas yaitu sapi dalam kondisi nafsu makan turun,
menggarukan badan kekandang, terlihat ada bebrapa kropeng disekitar tubuh, dan
luka bekas garukan di sekitar mata, punuk. Menurut keterangan pemilik sapi
sudah 1 minggu terakhir nafsu makan sapi tersebut turun sehingga berat badan
pun berkurang, selain itu sapi juga terlihat gelisah. Dari keadaan kandang, dalam
satu kandang terdapat lebih dari dua sapi, alas kandang dari beton, dan tempat
pekan terbuat dari beton, moedel kandang adalah kandang penggemukan dan
sekitar kandang lembab. Menurut Ainur dan Hertanti (2007), ukuran kandang
untuk satu ekor sapi dewasa baik jantan atau betina cukup 1,5 x 1 m per ekor.
Dari pemerikasan yang dilakukan dan ditambah keterangan dari pemilik akhirnya
dokter hewan yang bertugas mendiagnosa sapi tersebut terkena penyakit Scabies.
Keterangan anamnesa lebih lengkap dapat dilihat pada lampiran 2 tabel
pemeriksaan.
Scabies disebut juga kudis adalah penyakit kulit yang sangat mudah
menular dan bersifat zoonosis. Scabies disebabkan oleh parasit tungau yaitu
Sarcoptes scabiei. Penyakit scabies umumnya menyerang kambing, sapi,
domba,kelinci,dan anjing (Sasmita dkk, 2005).

Gambar 5.6 Keropeng Sapi Milik Bapak Imam

Penegakan diagnosa yang dilkukan dokter hewan yang bertugas di


Puskeswan Campurdarat hanya berdasarkan gejala klinis dan keterangan dari
pemilik ternak. Sedangkan untuk pemeriksaan laboratorium tidak dilakukan.
Menurut Robert dan Fawcett (2003) penyakit scabies tidak hanya dilihat dari
gejala klinis, tetapi penegakan diagnosa harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan
laboratorium dengan uji kerokan kulit. Untuk memastikan bahwa sapi tersebut
terkena peyakit scabies maka dilakukan pemeriksaan laboratorium oleh pelaksana
praktek kerja lapang dengan melakukan uji kerokan pada keropeng yang diambil
dari tubuh sapi. Uji laboratorium dilaksanakan di Laboratorium Puskeswan
Campurdarat, Kecamatan Campurdarat Kabupaten Tulungagung. Menurut
Darwanto dkk (2000), kerokan diambil dari daerah yang terdapat keropeng
dengan tujuan supaya terowongan terangkat sehingga telur ataupun larva di dalam
terowongan dapat diamati. Kerokan diambil pada bagian tubuh yang terdapat
keropeng. Keroakan yang sudah diambil dicamur dengan larutan KOH 10% dan
diamati dibawah mikroskop dengan perbesaran 10x.
Hasil yang didapat ditemukan bebrapa tungau yang bentuknya sama
dengan tungau Sarcoptes scabiei, sesuai dengan pendapat Reza (2009) yang
menyebutkan bahwa Sarcoptes scabiei memiliki permukaan tubuhnya bersisik
dan dilengkapi dengan kutikula serta banyak dijumpai garis-garis paralel yang
berjalan transversal memiliki kaki yang pendek, ketiga dan keempat tidak keluar
melawati pinggiran badan. Menurut wardana (2006) juga menyatakann bahwa
bentuk dari tungau Sarcoptes scabiei berbentuk bulat atau oval yang cembung
pada bagian dorsal dan pipih pada bagian ventral dan berwana putih krem.
Gambar 5.7 Sarcoptes scabiei Hasil Pemeriksaan mikroskop

Pengobatan scabies yang dilakukan di Puskeswan Campurdarat yaitu


dengan injek ivermectin melalui subcutan. Dengan dosis yang diberikan yaitu 1
ml per 50 kg berat badan sapi, dimana dalam 1 ml terdapat 29 mg zat aktif
ivermectin. Obat ini bekerja dengan cara mengakibatkan paralisa Nematoda dan
Artopoda dengan meningkatkan pelepasan GABA ( Gama Amino Butryc Acid)
yang bertindak sebagai neurotransmiter inhibisi dan memblokir inpils syaraf pada
syaraf perifer, sehingga menyebabkan kematian pada Sarcoptes scabiei dalam
keadaan paralisa ( Robert dan Fawcett 2003). Injeksi dilakukan setelah 14 hari
pasca inkjeksi pertama. Pengulangan ini bertujuan untuk menghilangkan sisa telur
dari tungau Sarcoptes scabiei yang menetas. Ivermectin tidak boleh diberikan
kepada hewan yang sedang bunting karena dapat menyebabkan keguguran.

Antihistamin yang diberikan mengandung diphenhidramin HCl 10 mg.


Diphenhidramin HCl berperan dalam menghambat reseptor H1 dan menekan
reaksi inflamasi yang disebabkan oleh histamin. Diphenhidramin HCl dapat
digunakan untuk mengobati alergi dan menghambat histamin yang dapat
menyebabkan vomit (mutah). Efek samping dari diphenhidramin HCl adalah
berupa sedasi, karena diphenhidramin HCl dapat menghambat histamin N-
methyltransferase dan juga dapat menghambat reseptor Central Nervus System
(CNS). Pemberian diphenhidramin HCl dapat secara intra muscular (IM) pada
sapi dengan dosis pemberian yaitu 1 mL/20 kgBB, apabila berat badan rata-rata
sapi adalah 400 kg maka volume pemberian adalah 20 mL secara IM.
Diphenhidramin HCl jangan digunakan pada kondisi dengan pasien yang
mengkonsumsi obat antikolinergik seperti glaukoma, ileus, atau cardiac
arrhythmias karena akan menyebabkan kondisi parasimpatomimetik atau akan
menstimulasi motilitas intestinal (Papich, 2011).
Vitamin B1 atau yang sering disebut tiamin merupakan kompleks molekul
organik yang mengandung satu inti tiazol dan pirimidin. Dalam badan zat ini akan
diubah menjadi tiamin pirofosfat. Vitamin B1 dapat mengobati gangguan saraf
dan sendi, mengobati inkoordinasi otot, mengobati gangguan pencernaan seperti
indigesti rumen dan konstipasi, meningkatkan nafsu makan, dan membantu proses
metabolisme energi dalam tubuh terutama energi dari karbohidrat. Pemeberian
vitamin B1 dapat dilakukan secara intra muscular (IM) dengan dosis 1 mL/100
kgBB, apabila berat badan rata-rata sapi adalah 400 kg maka volume pemberian
adalah 4 mL secara IM. Vitamin B1 tidak menimbulkan efek toksik jika diberikan
pada hewan dan apabila kelebihan maka akan cepat diekskresikan melalui urin
(Papich, 2011).

Selain pemberian ivermectin juga diberikan vitamin untuk memulihkan kesehatan


dan nafsu makan pada hewan. Vitamin yang di berikan pada sapi yaitu..... Dosis
yang diberikan untuk sapi yaitu ... per ,,,, kg berat badan. Selain vitamin diberikan
juga antihistamin (Dimedryl), fungsinya sebagai anti alergi, kegatalan dan
peradangan, dosis yang diberikan 1 ml per 20 kg berat badan. Pengobatan
tradisional peternak biasanya menggunakan belerang dan kapur barus.
Penggunaan kapur barus langsung di olesi pada tubuh ternak.

Observasi pasca pengobatan dilakukan untuk beberapa kasus tertentu. Kali


ini dilakukan observasi kepada sapi milik bapak imam. Hasil yang didapat adalah
luka yang sebelumnya berada disebagaian tubuh sapi sudah menutup, akan tetapi
masih bekas kropeng yang belum tumbuh bulu. Setelah 3 minggu pasca
pengobatan dilakukan pengerokan ulang dan pemeriksaan ulang menggunakan
mikroskop. Gambar yang dihasilkan menunjukan bahwa tidak ada lagi tungau
Sarcptes scabiei.
gambar 5.8 Hasil Pengobatan 3 Minggu

Kesimpulan yang didapatkan pada pemeriksaan kasus 1 pemeriksaan dan


diagnosa yang diberikan adalah sapi tersebut menderita penyakit scabies.
Pengobtan yang diberikan dengan injeksi ivermectin dengan dosis.... ml melalui
subcutan dan injeksi obat...... denagan dosis ....ml melaui intramuscular berhasil
karena keropeng berkurang dan gejala awal pada sapi hilang serta sapi terlihat
sehat dan nafsu makan normal kembali.

5.3.2 kasus 2

Kasus yang kedua adalah sapi milik bapak Yatno di daerah pelem sapi
milik bapak Yatno bernama minem dan berjenis sapi potong sapi ini memiliki
berat badan 400 kg dan umur 5 tahun. Keadan sapi saat diperiksa doker hewan
yang bertugas yaitu ada beberapa kropeng disekitar tubuh, sapi terlihat gelisah
dengan menggarukkan tubuh kekandangnya, sapi terlihat tidak nafsu makan.
Menurut keterangan dari bapak Yatno selaku pemilik sapi sudah 5 hari sapi
tersebut tidak nafsu makan dan terlihat sering gelisah. Dilihat dari keadaan
kandang didalam kandang terdapat 3 sapi , lantai kandang tebuat dari beton dan
telihat tidak bersih (becek). Dari pemeriksaan dan keterangan dokter hewan yang
bertugas mendiagnosa sapi tersebut terkena penyakit scabies.
Gambar 5.8 Keropeng sapi Milik bapak Yatno

Berikut adalah hasil pengamatan dari praktek kerja lapang kali ini.
Gambar 5.9 tersebut diambil dari bebrapa kerokan pada keropeng yang terletak
pada tubuh sapi. Hal ini dilakukan untuk penegakan diagnosa penyakit scabies
yang bukan hanya dilakukan dengan berdasarkan gejala klinis saja melainkan
harus dikonfirmasi dengan ujin kerokan kulit. Pelaksa praktek kerja lapang
akhirnya melakukan uji pemeriksaa laboratorium untuk penegakan diagnosa
penyakit. Kerokan diambil dari daerah yang terdapat keropeng dengan tujuan
supaya terowongan terangkat sehingga telur ataupun larva terangkat didalam
terowongan dapat diamati. Kerokan yang sudah diambil dicampur dengan KOH
dan diamati dibawah mikroskop dengan perbesaran 10x. Dari hasil yang didapat
ditemukan bebrapa tungau yang bentuknya sama dengan tungau Sarcoptes
scabiei.
Gambar 5.9 Sarcoptes scabiei Hasil pemeriksaan Mikroskopis

Pengobtan yang dilakukan pada kasus ke-2 sama dengan kasus pertama
yakni dengan inejeksi ivermectin melalui subkutan. Dalam 1 ml mengandung 20
mg ivermectin. Dosis yang diberikan yaitu 1 ml untuk 50 kg BB sapi.
Pengulangan injeksi dilakukan setelah 10-14 hari pasca injeksi. Selain pemberian
ivermectin diberikan Antihistamin dan Vitamin B1 yang bertujuan untuk
mengurangi alerigi gatal, memulihkan kesehatan dan menambah nafsu makan
pada hewan. Pemeberian vitamin B1 dapat dilakukan secara intra muscular (IM)
dengan dosis 1 mL/100 kgBB, apabila berat badan sapi.

Observasi dilakukan pada kasus ke-2, tetapi tidak melihat hasilnya


dikarenakan kasus ke- 2 didapat pada minggu terakhir PKL. Sehingga pada kasus
ke-2 belum dapat membutikan keberhasilan dari terapi yang sudah diberikan.

Pemeriksan yang dilakukan oleh dokter hewan yang bertugas dan menurut
beberapa keterangan yang di peroleh dari bapak Yatno dan bapak imam kedua
sapi tersebut memiliki gejala yang hamper sama yaitu berkurangnya nafsu makan,
berat badan menurun, sapi terlihat gelisah menggarukkan tubuhnya ke kandang
dan dan terdapat keropeng di sebagian tubuh sapi. Beberapa gejala yang terlihat
diantaranya adalah rasa gatal yag ditandai dengan menggaarukkan tubuh sapi
pada tempat pakan dan tiang kandang yang menyebabkan luka pada tubuh sapi.
Sesuai dengan pendapat Brander (2009) menyatakan bahwa gejala klinis pada
sapi yang menderita scabies diantaranya yaitu rasa gatal dan gelisah ditandai
dengan menggarukan tubuh ke benda keras, hal ini disebabkan disebabkan oleh
adanya aktifitas Sarcoptes scabiei misalnya berpindag tempat. Gejala lain yang
tampak adalah kurangnya nafsu makan yang menyebabkan berat badan sapi
mengalami penurunan, selain itu adanya kerusakan kulit seperti terbentuknya
keropeng dan rontoknya bulu.

Penyebab dari scabies adalah tungau Sarcoptes Scabiei. Tungau ini masuk
kedalam kulit. Menurut wardana (2006) Sarcoptes scabiei betina yang telah di
buahi mencari lokasi untuk membentuk terowongan dibawah permukaan kulit.
Terowongan yang ada di dalam kulit sampai keperbatasan antara stratum korneum
dan stratum granulosum. Setelah telur menetas, larva bermigrasi ke permukaan
kulit dan bersembunyi ke lapisan stratum korneum untuk membangun sarang dan
memakan folikel rambut, sehingga terjadi kerontokan bulu pada daerah infeksi.
Kerusakan kulit seperti terbentuknya keropeng dan rontoknya bulu pada daerah
infeksi. Larva berubah menjadi nimfa dalam 3-4 hari lalu menjadi tungau dewasa.
Gejala awal adalah adanya rasa gatal hal ini disebabkan oleh adanya vesikula
yang terinfeksi kuman sehingga menjadi pustula. Menurut Wardana dkk (2006),
vesikula adalah lepuh pada permukaan kulit berisikan cairan jernih, sedangkan
pustula adalah vesikula yang berisi nanah yang berwarna kuning keruh.

5.3. pencegahan scabies

Tingakat kerugian yang disbebakan oleh serangan penyakit scabies ini


sangat merugikan bagi peternak yang umumnya peternak kecil yang berada di
kabupaten tulungagung, namun hal itu dapat tekan dengan perbaikan dan
manjemen pemeliiharaan ternak antara lain.

a. Memisahkan sapi baru dan yang terkena scabies


Sapi yang baru dibeli dari luar harus dipisahkan terlebih dahulu,
samapi diketahui bebas atau tidaknya sapi dari penyakit scabies.
Pemisahan juga harus dilakukan pada sapi yang terkena scabies.
Langkah ini dilakukan untuk mencegah penjalaran peyakit.
b. Memelihara sanitasi kandang dan lingkungan
Hewan harus ditempatkan dikandang yang bersih dan cukup dengan
cahaya matahari sehingga kelembapan terjaga, karena keadaan
kandang dan lingkungan yang kotor akan mempermudah penyebaran
penyakit dan menyebabkan populasi tungau meningkat. Dan
kandang bekas scabies dianjurkan dicat dengan kapur dan
dikosongkan beberapa waktu, kemudian dapat diisi lagi dengan
ternak yang baru.
c. Pemberian pakan dan minum yang cukup serta perawatan kesehatan
.Pemberian pakan dan minum serta perawatan kesehatan bertjuaan
agar ternak memiliki daya tahan tubuh yang baik. Salah satu faktor
predisposisi penyakit scabies adalah kondisi hewan yang jelek.
Untuk mencegah timbulnya dan menyebarnya penyakit ini, harus
diusahakan agar kondisi hewan dalam keadaan baik.
d. Pengaawasan
Kontak fisik antar sapi sehat dan sapi yang terkena scabies dan
kontak dengan bebagai objek seperti peralatan kandang yang
tercemar oleh tungau dapat menyebabkan terjadinya penularan
penularan dari hewan yang terkena scabies kepada hewan yang
sehat. Untuk mencegah, harus dihindarkan penggealaman bersama-
sama dengan hewan yang menderita penyakit scabies atau pada
bekas tempat pengembalaan hewan penderita.
BAB VI

PENUTUP

6.1 KESIMPULAN

Penyakit kulit ini dapat dicegah dengan menjaga kesehatan hewan,


pemeliharaan dan sanitasi kandang yang baik. Pengobatan yang dapat dilakukan
pada penyakit scabies yaitu dengan pemberian ivermectin dengan dosis 1 ml/50
kg BB sapid an pemberian antihistamin dan vitamin B1 dapat mempercepat
penyembuhan penyakit kulit yang disebabkan oleh tungau Sarcoptes scabiei.

6.2 SARAN

Saran yang dapat penulis sampaikan adalah dengan diadakan penyuluhan


tentang pemahaman pencegahan scabies yang menyeluruh kepada peternak, agar
peternak tidak lagi mengalami kerugian akibat penyakit kulit scabies ini.

Anda mungkin juga menyukai