Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

LEUKOPLAKIA

Disusun Oleh:

Afrinda Darmawan

G99161010

Pembimbing:

Vita Nirmala Ardanari, drg., Sp.Pros., Sp.KG

KEPANITERAAN KLINIK ILMU GIGI DAN MULUT

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI

SURAKARTA
2018

LEUKOPLAKIA

A. Definisi
Leukoplakia merupakan salah satu kelainan yang terjadi di mukosa
rongga mulut berupa penebalan putih yang tidak dapat digosok sampai hilang
dan sering berpotensi menjadi suatu keganasan (Kayalvizhi, 2016). WHO
mendefinisikan leukoplakia sebagai sebuah plak putih dengan risiko
peningkatan kanker mulut dipertanyakan setelah menyingkirkan penyakit atau
kelainan yang tidak meningkatkan risiko. (Brouns et al, 2013)
B. Epidemiologi
Estimasi prevalensi global leukoplakia berkisar antara 0,5% - 3,46%
dan perubahan keganasan dari leukoplakia sekitar 0,7% - 2,9% (Feller, 2012).
Leukoplakia banyak ditemukan di India dimana masyarakat banyak merokok
(Petti, 2003). Leukoplakia sering ditemukan pada laki-laki, dan prevalensi
meningkat seiring bertambahnya usia. Menurut perkiraan, leukoplakia lebih
banyak dijumpai pada laki-laki berusia di atas 40 tahun (Napier, 2008)
C. Etiopatogenesis
Penyebab yang pasti dari leukoplakia sampai sekarang belum diketahui
secara pasti. Predisposisi leukoplakia terdiri dari beberapa faktor yaitu faktor
lokal, faktor sistemik dan malnutrisi vitamin. Faktor lokal yang diperkirakan
menjadi penyebab leukoplakia meliputi trauma yang menyebabkan iritasi
kronis, misalnya akibat gigitan tepi atau akar gigi yang tajam, iritasi dari gigi
yang malposisi, kebiasaan menggigit-gigit jaringan mulut, pipi maupun lidah.
Faktor lain yang menjadi penyebab terjadinya leukoplakia adalah tembakau,
alkohol dan bakteri. Menurut Schepman et al., perokok mempunyai risiko 6
kali lebih tinggi terkena leukoplakia, meski lesi pada non-perokok mempunyai

1
kemungkinan lebih besar untuk berubah menjadi kanker. Pada waktu merokok,
terjadi iritasi pada jaringan mukosa mulut yang disebabkan oleh asap rokok,
panas ketika merokok dan zat-zat yang terkandung dalam tembakau yang ikut
terkunyah. Hal ini dibuktikan dengan insidensi leukoplakia tertinggi ditemukan
pada perokok (Brzak, 2012). Penelitian Morse et al., konsumsi alkohol sering
berkaitan dengan kanker mulut daripada displasia epitelial. Caldeira et al.,
menemukan faktor risiko leukoplakia yang berisiko tinggi untuk berubah
menjadi suatu keganasan adalah infeksi dengan Human Papilloma Virus
(HPV), dimana protein onkogenik seperti HPV-16L1 dapat meningkatkan
karsinogenesis.
Pada penderita kandidiasis kronis dapat ditemukan gambaran yang
menyerupai leukoplakia. Infeksi Candida juga berperan dalam perubahan
menjadi keganasan dan faktor risiko tertinggi perubahan menjadi kanker (Roed-
Petersen, 1972; Banoczy, 1977; Krogh, 1987). Untuk mengetahui diagnosis
pasti perlu dilakukan pemeriksaan klinis, histopatologi dan latar belakang
etiologi terjadinya lesi.
Banoczy menemukan adana penurunan signifikan pada vitamin A,
B12, C, beta carotene dan asam folat pada pasien dengan leukoplakia. Soames
dan Southam melaporkan adanya perubahan pada perkembangan leukoplakia
lebih pada area atrofi epitelial dan kondisi yang berkaitan dengan hal tersebut
meliputi defisiensi besi, vitamin dan fibrosis submukus mulut. Mutasi p53 dari
sel juga didapatkan pada penderita leukoplakia yang merokok dan minum
alkohol.
D. Patofisiologi
Pasien dengan leukoplakia idiopatik memiliki risiko tinggi berkembang
menjadi kanker. Penelitian oleh Downer, pada sejumlah pasien leukoplakia,
4%-17% lesi berubah menjadi tumor maligna dalam waktu 20 tahun.
Perubahan patologis primer yang terdapat pada leukoplakia adalah
diferensiasi abnormal dari epitel mukosa dengan ditandai peningkatan aktivitas

2
keratinisasi pada permukaan selnya yang memproduksi penampakan klinis
yang mukosa yang berwarna putih. Proses ini juga dibersamai dengan
perubahan ketebalan dari jaringan epitelial (Reibel J, 2003).
Dasar molekuler pada perubahan tersebut belum diketahui secara pasti.
Namun, beberapa data penelitian menyebutkan adanya perubahan ekspresi
onkogen/TSG, ekspresi gen keratin, perubahan siklus sel, akumulasi stres
oksidatif dan displasia epitel berperan dalam perubahan yang terjadi pada
leukoplakia (Kawanishi S & Murata M, 2006).
E. Klasifikasi
Terdapat dua tipe klinis leukoplakia yaitu homogen dan non homogen.
Pada tipe homogen berupa lesi putih yang datar dan tipis. Lesi ini dapat terlihat
sebagai retakan yang dangkal dengan permukaan yang halus atau berkerut.
Teksturnya konsisten dan biasanya asimptomatik.

Gambar 1. Homogenous Leukoplakia (Parlatescu et al., 2014)


Sementara leukoplakia non-homogen umumnya simptomatis dan
memiliki beberapa variasi sebagai berikut:
1. Proliferative verrucous leukoplakia (PVL): Hansen et al., menjelaskan
PVL memiliki tingkat transformasi ganas yang tinggi, dimana menurut
WHO, PVL adalah lesi progresif multifokal yang sering ditemukan
pada wanita. Daerah yang sering terkena adalah gingival bawah, lidah
dan mukosa bukal (Warnakulasuriya, 2007).

3
Gambar 2. Proliferative verrucous leukoplakia (Parlatescu et al., 2014)
2. Oral erythroleukoplakia (OEL): lesi non-homogen dengan warna
campuran putih dan merah. Ini didefinisikan sebagai tambalan merah
yang berapi-api yang tidak bisa dicirikan seara klinis atau patologis
sebagai penyakit definitif lainnya. OEL menunjukkan potensi
transformasi ganas yang lebih tinggi daripada leukoplakia homogen
(Warnakulasuriya, 2007)

Gambar 3. Oral erythroleukoplakia (Guilgen et al., 2014)


3. Sublingual keratosis: plak putih lembut di daeraqh sublingual dengan
permukaan keriput, tidak beraturan namun terdefinisi dengan baik garis
besar dan kadang berbentuk kupu-kupu (Scully et al., 1999)

4
Gambar 4. Sublingual keratosis (Scully dan Felix, 2005)
4. Candidal leukoplakia (CL): leukoplakia dengan gambaran lesi yang
luas, putih pekat, keras dan kasar pada permukannya (Scully et al.,
1994)

Gambar 5. Candidal leukoplakia (Parlatescu et al., 2014)


5. Oral hairy leukoplakia (OHL) atau dikenal sebagai lesi Greenspan :
ditandai dengan bercak putih bergelombang dimana terdapat rambut-
rambut yang tumbuh pada permukaan lesi dan sering terdapat pada
lidah. Sering disebabkan oleh reaktivasi dari Epstein Barr-Virus (van
der Waal et al., 1997)

5
Gambar 6. Oral hairy leukoplakia (Cade, 2017)
F. Diagnosis
Penegakan diagnosis leukoplakia masih sering mengalami kendala. Hal
ini disebabkan oleh beberapa hal seperti etiologi leukoplakia yang belum jelas
serta perkembangan yang agresif dari leukoplakia yang mula-mula hanya
sebagai hiperkeratosis ringan namun dapat menjadi karsinoma sel skuamosa
dengan angka kematian yang tinggi. Diagnosis definitif leukoplakia dari
penemuan lesi putih di area mukosa oral pada saat pemeriksaan fisik tanpa
ditemukannya etiologi seperti riwayat merokok, infeksi, riwayat keganasan
pada anamnesis atau pemeriksaan fisik. Pemeriksaan penunjang seperti biopsi
sangat direkomendasikan untuk melihat perubahan histologis yang terjadi.
Biopsi dilakukan pada area yang paling tampak perubahannya. Pada pasien
dengan leukoplakia multifokal, biopsi dapat dilakukan pada beberapa tempat
(field mapping). Pemeriksaan histopatologis ini masih merupakan baku emas
dalam penegakan diagnosis leukoplakia (Thomson PJ & Hamadah O, 2007;
Torres-Rendon A et al., 2009).
Berdasarkan konsep yang diterima oleh World Health Organization
maka batasan leukoplakia adalah lesi yang tidak ada konotasi histologinya dan
dipakai hanya sebagai deskripsi klinis (Neville dan Day, 2002). Jadi definisinya

6
adalah suatu penebalan putih yang tidak dapat digosok sampai hilang dan tidak
dapat digolongkan secara klinis atau histologi sebagai penyakit-penyakit
spesifik lainnya (contoh: seperti likhen planus, lupus eritematosus, kandidiasis,
white sponge naevus) (Neville dan Day, 2002).
Leukoplakia di diagnosis banding dengan lesi putih lain seperti likhen
planus, jamur, sifilis, leukoplakia berambut, atau karsinoma. Untuk
menyingkirkan diagnosis banding, maka pemeriksaan penunjang dapat
dilakukan. Pemeriksaan yang teliti pada seluruh rongga mulut dan nodus limfa
pada leher diperlukan untuk membuat diagnose yang akurat dari leukoplakia
mulut. Tes serological deperlukan untuk mengeksklusi sifilis sebagai factor
etiologi. Jika lesi mengandung nodul keras, atau terdapat ulserasi atau
papillomatous, atau terfixasi dengan jaringan dasarnya, maka diperlukan biopsy
untuk mengeksklusi bahwa lesi tersebut disebabkan oleh kanker. Terdapat juga
lesi lain dengan etiologi yang tidak diketahui yang mungkin akan menyulitkan
penegakan diagnosis. Psoriasis merupakan salah satunya, lesi ini memiliki
gambaran seperti renda (lacelike), mengkilat dan lebih superficial dibandingkan
dengan leukoplakia. Yang kedua adalah lichen planus, biasanya tampak sebagai
spot putih kecil hingga besar dapat juga berbentuk gelang (annular) atau
papular.

7
Gambar. Algoritma diagnosis lesi putih pada mulut (Kai dan Ajith, 2009).

G. Terapi
Leukoplakia berpotensi untuk menjadi keganasan, ketika menghadapi
dua atau tiga lesi, pilihan terapi adalah pembedahan. Pada leukoplakia multipel
atau berukuran besar, pembedahan menjadi tidak praktis karena akan
mengakibatkan deformitas yang tidak dapat diterima atau disabilitas
fungsional. Terapi dapat berupa pembedahan cryo (cryosurgery), pembedahan
laser (laser surgery) atau menggunakan bloemycin topikal. Akan tetapi, pada
30% kasus yang ditangani, leukoplakia dapat terjadi kembali dan terapi tidak
dapat menghentikan beberapa leukoplakia berubah menjadi squamous cell
carcinoma (Holmstrup et al., 2006; Bagan et al., 2003).
Leukoplakia idiopatik, leukoplakia non-homogen, leukoplakia pada
daerah risiko tinggi mulut dan leukoplakia yang menunjukkan displasia
epitelial tingkat moderat atau berat, serta leukoplakia yang mempunyai faktor
risiko berubah menjadi keganasan harus diterapi secara agresif. Perubahan

8
warna, tekstur atau ukuran dan penampakan leukoplakia harus diperhatikan
sebagai kemungkinan perubahan keganasan (Lodi dan Porter, 2008).
Menurut Longshore dan Camisa, berikut tatalaksana leukoplakia:
 Hilangkan semua faktor penyebabnya
 Tidak ada displasia atau ada displasia ringan  bedah eksisi / operasi
laser pada lesi pada ventral / lateral lidah, lantai mulut, langit-langit
lunak dan orofaring. Observasi dan tindak lanjut untuk semua lokasi
anatomi lainnya
 Adanya displasia sedang atau berat  bedah eksisi atau terapi laser
adalah perawatan pilihan
 Lesi merah (erythroplakia atau leukoerythroplakia)  bedah adalah
yang terbaik
 Proliferative verrucous leukoplakia  bedah lengkap eksisi / operasi
laser jika memungkinkan
 Evaluasi tindak lanjut untuk semua lesi (Longshore dan Camisa, 2002)

9
DAFTAR PUSTAKA

Bagan JV, Jimenez Y, Sanchis M (2003). Proliferative verrucous leukoplakia: high


incidence of gingival squamous cell carcinoma. Journal of Oral Pathology and
Medicine 32(7):379-382
Banoczy J. (1983). Oral leukoplakia and other white lesions of the oral mucosa related
to dermatological disorders. Journal of Cutaneous Pathology, 10: 238-256
Brouns ER, Baart JA, Bloemena E, Karagozoglu H, van der Waal I (2013). The
relevance of uniform reporting in oral leukoplakia: definition, certainty factor
and staging based on experience with 275 patients. Med Oral Patol Oral Cir
Bucal 18(1):e19-26
Brzak BL, Mravak-Stipetic M, Canjuga I, Baricevic M, Balicevic D, Sikora M, et al
(2012). The frequency and malignant transformation rate of oral lichen planus
and leukoplakia – A retrospective study. Coll Antropol 36: 773-7
Cade JE (2017). Hairy Leukoplakia. Diakses tanggal 25 Juli 2017 pada
http://emedicine.medscape.com/article/279269-overview
Caldeira K, Davis SJ, Peters GP. (2011). The supply chain of CO2 emission.
Proceedings of National Academy of Sciences, 108(45): 1-5
Downer MC, Petti S. (2005). Leukoplakia prevalence estimate lower than expected.
Evidence-Based Dental Practice, 6:12
Feller L, Lemmer J. (2012). Oral leukoplakia as it relates to HPV infection: A review.
International Journal of Dental Hygiene, 2: 540-561.
Guilgen NGBV, Kang S, Tommasi MHM, Vieira I, Machado MAN, Lima AAS
(2014). Oral erythroleukoplakia – a potentially malignant disorder. Polski
Przeglad Otorynolaryngologiczny 4: 20-24
Holmstrup P, Vedtofte P, Reibel J, Stoltze K (2006). Longterm treatment outcome of
oral premalignant lesions. Oral Oncology 42(5): 461-474
Kawanishi S, Murata M. (2006). Mechanism of DNA damage induced by bromate
differs from general types of oxidative stress. Toxicology, 221(2): 172-178.

10
Kayalvizhi EB, Lakshman VL, Sitra G, Yoga S, Kanmani R, Megalai N (2016). Oral
leukoplakia: A review and its update. Journal of Medicine, Radiology,
Pathology & Surgery 2(2):18-22
Krogh P, Hald B, Holmstrup P (1987) Possible mycological etiology of oral mucosal
cancer: Catalytic potential of infecting Candida albicans and other yeasts in
production of N-nitrosobenzylmethylamine. Carcinogenesis 8:1543-8
Lodi G, Porter S (2008). Management of potentially malignant disorders: evidence and
critique. Journal of Oral Pathology and Medicine 37(2): 63-69
Longshore SJ, Camisa C (2002). Detection and management of premalignant oral
leukoplakia. Dermatol Ther 15: 229-235
Morse DE, Psoter WJ, Cleveland D, Cohen D, MohitTabatai M, Kosis DL et al (2007)
Smoking and drinking in relation to oral cancer and oral epithelial dysplasia.
Cancer Causes Control 18: 919-29.
Napier SS, Speight PM (2008). Natural history of potentially malignant oral lesions
and conditions: an overview of the literature. J Oral Pathol Med 37: 1-10
Parlatescu I, Gheorghe C, Coculescu E, Tovaru S (2014). Oral Leukoplakia – an
Update. Maedica Buchar 9(1): 88-93
Petti S (2003). Pooled estimate of world leukoplakia prevalence: a systematic review.
Oral Oncology 39(8): 770-780.
Reibel J. (2003). Prognosis of oral premalignant lesions: significance of clinical,
histopathological, and molecular biological characteristics. Critical Reviews in
Oral Biology & Medicine, 14(1): 47-62
Roed-Petersen B, Gupta PC, Pindborg JJ, Singh B (1972). Association between oral
leukoplakia and sex, age, and tobacco habits. Bull World Health Organ 47:13-
9
Schepman KP, Bezemer PD, van der Meij EH, Smeele LE, van der Waal I (2001)
Tobacco usage in relation to the anatomical site of oral leukoplakia. Oral Dis 7
: 25-7

11
Scully C, Felix DH (2005). Oral medicine – Update for the dental practitioner: Oral
white patches. British Dental Journal 199: 565-572
Scully C, Porter S (1999) Orofacial disease: Update for the dental clinical team: 3.
White lesions. Dent update 26: 123-129
Scully C, el-Kabir M, Samaranayake LP (1994). Candida and oral candidosis: A
review. Crit Rev Oral Biol Med 5:125-157
Soames JV, Southam JC (1999) Oral Pathology. Oxford: Oxford University of Press.
p: 139-140
Thomson PJ, Hamadah O.(2007). Cancerisation within the oral cavity: The use of 'field
mapping biopsies' in clinical management. Oral Oncology, 43: 20-26
Torres-Rendon A, Stewart R, Craig GT, Wells M, Speight PM. (2009). DNA ploidy
analysis by image cytometry helps to identify oral epithelial dysplasias with a
high riskof malignant progression. Oral Oncology, 45: 468-473
Van der Waal, I (2009) Potentially malignant disorders of the oral and oropharyngeal
mucosa; terminology, classification and present concepts of management. Oral
Oncol 45: 317-323
Van der Waal I, Schepman KP, van der Meij EH, Smeele LE (1997) Oral leukoplakia:
A clinicopathological review. Oral Oncol 33: 291-301
Warnakulasuriya S, Johnson NW, can der Waal I. (2007). Nomenclature and
classification of potentially malignant disorders of oral mucosa. Journal of Oral
& Pathology Medicine, 36: 575-580

12
13

Anda mungkin juga menyukai