Anda di halaman 1dari 21

LAMPIRAN

PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT KATOLIK BUDI RAHAYU


NOMOR : 037/B/31/RSKBR/VIII/2017
TENTANG
PEMBERLAKUAN PANDUAN PELAYANAN TAHAP TERMINAL DAN DNR

BAB I
DEFINISI

Dalam Panduan Pelayanan Pasien Terminal di RSK Budi Rahayu


Blitar ini yang dimaksud dengan :
1. Pasien terminal adalah suatu kondisi pasien pada suatu
penyakit atau stadium penyakit terminal (menjelang akhir
hayat) yang secara keilmuan tidak bisa disembuhkan lagi
dengan progesifitas penyakit mengarah ke kondisi yang terus
memburuk atau kematian.
2. Pasien menjelang meninggal dan keluarganya memerlukan
pelayanan yang terfokus pada kebutuhan yang unik dari
masing-masing pasien. Sehingga penanganan pasien menjelang
akhir hayat mencakup pengkajian awal pasien sampai dengan
perawatan pasien dinyatakan meninggal atau sering disebut
dengan perawatan paliatif.
3. Perawatan paliatif adalah sistem perawatan terpadu yang
bertujuan meningkatkan kualitas hidup dengan cara
meringankan nyeri dan penderitaan lain, memberikan
dukungan spiritual dan psikososial mulai saat diagnosis
ditegakkan sampai akhir hayat dan dukungan terhadap
keluarga.
4. Do Not Rescucitate (DNR) adalah perintah yang dikeluarkan oleh
dokter setelah melakukan pengkajian, penjelasan ke pasien/
keluarga pengambil keputusan untuk pasien (surrogate) dan
telah mendapatkan persetujuan tertulis mengenai penolakan
tindakan resusitasi. DNR berarti dalam kondisi henti napas dan
henti jantung, tenaga kesehatan di Rumah Sakit Katolik Budi
Rahayu Blitar tidak akan melakukan Resusitasi Jantung Paru
(RJP).

1
5. Menahan tindakan life support (Withholding life support) atau
alat bantu hidup dasar adalah kelompok tindakan yang
meliputi :
a) Tidak memasang ventilator;
b) Tidak merubah setting ventilator (jika pasien sudah
terpasang);
c) Tidak menaikkan/ merubah dosis obat inotropik maupun
menambah jenis obat inotropik.
6. Menghentikan tindakan life support (withdrawing life support)
atau alat bantu hidup dasar adalah kelompok tindakan yang
meliputi :
a) Menghentikan ventilator;
b) Menurunkan dosis obat inotropik pada pasien/
menghentikan obat inotropik padahal fungsi kardiovaskular
pasien masih belum optimal atau menurun
c) Tidak termasuk dalam kategori ini adalah : menghentikan
tindakan resusitasi jantung paru sesuai indikasi.
7. Mati Batang Otak (MBO) adalah :
a) Suatu keadaan yang ditandai oleh menghilangnya fungsi
batang otak.
b) Diskontinuitas system neuronal saraf perifer ke kortek
(syarat mutlak untuk kesadaran).

2
BAB II
RUANG LINGKUP

Ruang lingkup dari panduan pelayanan pasien menjelang


akhir hayat adalah :
1. Tidak dilakukan resusitasi (Do No Rescucitation).
2. Menahan / menghentikan bantuan hidup
(Withdrawal/Witholding Life Support).
3. Mati batang otak.
4. Pilihan meninggal di rumah.
5. Pengkajian dan pengelolaan nyeri dan gejala-gejala lain,
dengan pendekatan preventif dan terapetik.
6. Pelayanan rohani.
7. Gejala seperti mau muntah dari kesulitan pernapasan.
8. Faktor-faktor yang meningkatkan dan membangkitkan gejala
fisik.

3
BAB III
TATA LAKSANA

A. PENGKAJIAN PASIEN TERMINAL


1. Perawat rawat inap melakukan pengkajian khusus tambahan
dengan formulir Pengkajian Pasien Terminal segera setelah
pasien dinyatakan Mati Batang Otak (MBO) dan atau Do Not
Resucitation (DNR) apabila terjadi perburukan sesuai
prosedur pelayanan pasien menjelang akhir hayat.
2. Pengkajian Pasien Terminal digunakan untuk menentukan
masalah-masalah yang terdapat pada pasien tersebut dari
berbagai segi dan untuk menentukan rencana keperawatan
yang dilakukan dapat menjaga kualitas hidup pasien sebaik
mungkin dan mengurangi penderitaan pasien menjelang
akhir hayat. Lakukan assessment problem yang berkaitan
dengan kematian ( problem psikologi, fisiologi, social, spiritual
) yang meliputi :
A. Bantuan emosional/ psikososial
1. Pada fase denial. Perawat perlu waspada terhadap
isyarat pasien denial dengan cara menanyakan tentang
kondisinya atau prognosisnya dan pasien dapat
mengekspresikan perasaan-perasaanya.
2. Pada fase marah atau anger. Biasanya pasien akan
merasa berdosa telah mengekspresikan perasaanya
yang marah. Perawat perlu membantunya agar
mengerti bahwa masih hal yang normal dalam
merespon perasaan kehilangan menjelang kematian.
Akan lebih baik bila kemarahan ditujukan kepada
perawat sebagai orang yang dapat dipercaya,
memberikan rasa aman dan akan menerima
kemarahan tersebut, serta meneruskan asuhan
sehingga membantu pasien dalam menumbuhkan rasa
aman.
3. Pada fase menawar. Pada fase ini perawat perliu
mendengarkan segala keluhannya dan mendorong

4
pasien untuk dapat bicara. Karena dapat mengurangi
rasa bersalah dan takut yang tidak masuk akal.
4. Pada fase depresi. Pada fase ini perawat selalu hadir di
dekatnya dan mendengarkan apa yng dikeluhkan oleh
pasien. Akan lebih baik jika berkomunikasi non verbal
yaitu duduk dengan tenang disampingnya dan
mengamati reaksi-reaksi non verbal dari pasien
sehingga menumbuhkan rasa aman baginya.
5. Pada fase penerimaan. Fase ini ditandai pasien dengan
perasaan tenang dan damai. Kepada keluarga dan
teman-temannya dibutuhkan pengertian bahwa pasien
telah menerima keadaannya dan perlu dilibatkan
seoptimal mungkin dalam program pengobatan dan
mampu untuk mendorong dirinya sendiri sebatasa
kemampuannya.
B. Membantu memenuhi kebutuhan fisiologis
1) Kebersihan diri
Pasaien dilibatkan untuk mampu melakukan
kebersihan diri sebatas kemampuannya dalam hal
kebersihan kulit, rambut, mulut, badan dan
sebagainya.
2) Mengotrol rasa sakit.
3) Beberapa obat untuk mengurangi rasa sakit digunakan
pada klien dengan sakit terminal, seperti morphin,
heroin dan sebagainya.
Obat ini sesuai dengan tingkat toleransi nyeri yang
dirasakan klien. Obat-obat lebih baik diberikan intra
vena dibandingkan intra muskuler atau sub cutan,
karena kondis system sirkulasi sudah menurun.
4) Membebaskan jalan nafas
Untuk klien dengan kesadaran penuh, posisi fowler
akan lebih baik dan pengeluaran sekresi lender perlu
dilakukan untuk membebaskan jalan nafas, sedangkan
pasien tidak sadar posisi yang baik adalah posisi semi
fowler dengan dipasang drainase dari mulut dan
pemberian oksigen.

5
5) Bergerak
Apabila kondisinya memungkinkan, klien dapat
dibantu untuk bergerak, seperti : turun dari tempat
tidur, ganti posisi tidur untuk mencegah decubitus dan
dilakukan secara periodic. Jika diperlukan dapat
digunakan alat untuk menyokong tubuh klien, karena
tonus otot menurun.
6) Nutrisi
Klien sering kali anoreksia, nausea karena adanya
penurunan peristaltic. Dapat diberikan antiemetik
untuk mengurangi nausea dan merangsang nafsu
makan serta pemberian makanan tinggi kalori dan
protein serta vitamin. Karena terjadi tonus otot yang
berkurang, terjadi disfaghia, perawat perlu menguji
reflek menelan klien sebelum diberikan makan, kalau
perlu diberikan makanan cair atau intra vena atau
infuse.
7) Eliminasi
Karena adanya penuruna atau kehilangan tonus otot
dapat terjadi konstipasi, inkontinen urin dan fese. Obat
laxant perlu diberikan untuk mencegah konstipasi.
Klien dengan inkontinensia dapat diberikan urinal,
pispot secara teratur atau dipasang duk yang diganti
setiap saat atau dilakukan kateterisasi. Harus dijadga
kebersihan pada sekitar peritoneum, apabila terjadi
lecet harus segera disalep.
8) Perubahan sensori
Klien dengan dying, penglihatan menjadi kabur, klien
biasanya menolak atau menhadapkan kepala kearah
lampu atau tempat yang terang. Klien masih dapat
mendengar, tetapi tidak dapat atau mampu merespon,
perawat dan keluarga harus bicara dengan jelas dan
tidak berbisik-bisik.

6
C. Membantu memenuhi kebutuhan social
Klien dengan dying akan ditempatkan di ruang isolasi, dan
untuk memenuhi kebutuhan kontak sosialnya, perawat
dapat melakukan :
1) Menanyakan siapa-siapa yang ingin didatangkan
untuk bertemu dengan klien dan didiskusikan dengan
keluarganya, misalnya : teaaman-teman dekat atau
keluarga yang lain.
2) Menggali perasaan-perasaan klien sehubungan
dengan sakitnya dan perlu diisolasi.
3) Menjaga penampilan klien pada saat-saat menerima
kunjungan teman-teman terdekatnya, yaitu dengan
menganjurkan klieana untuk membersihkan diri dan
merapikan diri.
4) Meminta saudara atau teman-temannya untuk sering
mengunjungi dan mengajak orang lain dan membawa
buku-buku bacaan bagi klien apabilaklien mampu
membacanya.
D. Membantu memenuhi kebutuhan spiritual
1) Menanyakan kepada klien tentang harapan- harapan
hidupnya dan rencana-rencan klien selanjutnya
menjelang kematian.
2) Menanyakan kepada klien untuk mendatangkan
pemuka agama dalam hal untuk memenuhi kebutuhan
spiritualnya.
3) Membantu dan mendorong klien untuk melaksanakan
kebutuhan spiritual sebatas kemampuannya.
3. Memberikan pengobatan untuk mengurangi rasa nyeri, gejal;a
primer atau sekunder sesuai permintaan pasien dan
keluarga.
4. Melakukan intervensi dalam hal keagamaan dan kebudayaan
pasien dan keluarga (pastoral care)
5. Melakukan pelayanan tahap terminal pada pasien dengan
hormat dan respek.
6. KIE keluarga mengenai kondisi pasien.
7. Peka dan tanggap terhadap harapan keluarganya.

7
8. Menghormati hak pasien dan keluarga untuk menolak
pengobatan atau tindakan medis lainnya.
9. Mengikutsertakan keluarga dalam pemberian pelayanan.
10. Menghormati keputusan dokter untuk tidak melanjutkan
pengobatan dengan persetujuan pasien atau keluarga.
11. Dokter Penanggung Jawab Pelayanan (DPJP) dan perawat
yang menangani pasien tersebut melakukan pengkajian
ulang, mengevaluasi, memperbarui rencana keperawatan
secara terus menerus, dan menuliskannya pada formulir
Catatan Terintegrasi.

B. KEHENDAK LANGSUNG DARI PASIEN (Advanced Directive)


1. Rumah Sakit Katolik Budi Rahayu Blitar menghormati
seluruh kehendak langsung dari pasien, sejauh pasien berada
dalam kondisi yang secara hukum memenuhi persyaratan
untuk mengambil keputusan atas dirinya sendiri.
2. Pernyataan pasien tidak mampu mengambil keputusan
karena tingkat kesadarannya harus berdasarkan konsultasi
dengan DPJP atau Dokter Spesialis Saraf.
3. Selain kedua hal di atas, maka pasien yang dinyatakan
mampu mengambil keputusan untuk dirinya sendiri berhak
membuat keputusan tertulis mengenai penanganan dirinya
dan Rumah Sakit Budi Rahayu Blitar akan menghormati
keputusan tersebut.

C. DO NOT RESCUCITATION ( DNR )


1. Landasan Kebijakan
Resusitasi Jantung Paru (RJP) / Cardiopulmonary
Resuscitation (CPR) yang dilakukan di rumah sakit pada
pasien-pasien terminal walau dapat mengembalikan denyut
jantung dan pernapasan spontan, namun kurang berhasil
untuk membuat pasien bertahan hingga pulang.
Survival to hospital discharge rate following CPR yang rendah
membuat upaya CPR pada kasus-kasus di bawah ini (lihat
tabel) tidak terlalu dirasakan manfaatnya baik bagi pasien
maupun keluarga. Untuk itu dokter perlu memberikan
penjelasan yang proporsional sesuai dengan prognosis pasien

8
dengan mempertimbangkan kehendak pasien maupun
keluarga sesuai dengan ketentuan persetujuan tindakan medik
yang akan diatur secara terpisah dari kebijakan ini.
Tabel Survival to hospital discharge rate following CPR
Condition with highest survival rates
Ventricular Fibrillationpost MI 26 – 46%
Drug reaction or Overdose 22 – 28%
Ventricular Arrythmia 19 – 50%
Condition with lowest survival rates
1)
Malignancy 0 – 3,5%
Neurologic disease 0 – 6,7%
Renal Failure 0 – 10%
Respiratory disease 0 – 7%
Sepsis 0 – 7%
2)
Out-of Hospital Cardiopulmonary arrest 0,6%
Keterangan :
a) Survival sebesar 0% pada keganasan dengan metastase
pada 9 studi yang dilakukan.
b) Jika tidak terjadi kembali ke sirkulasi spontan dalam
waktu 25 menit pasca henti jantung henti napas. Current
Medical Diagnosis & Treatment 2003, p : 63
2. Kewenangan Pengeluaran Perintah DNR
Kewenangan pengeluaran perintah DNR berada di Dokter
Penanggung Jawab Pelayanan (DPJP) setelah mendapat
persetujuan pasien / keluarga pengambil keputusan untuk
pasien (surrogate) atau atas permintaan pasien yang kompeten
untuk mengambil keputusan setelah pasien tersebut mendapat
penjelasan yang menyeluruh mengenai konsekuensi dari
keputusan tersebut.
3. Prosedur pengeluaran DNR
a. Ada minimal satu indikasi mengeluarkan order DNR, yaitu
sebagai berikut:
1. Terminal illness (penyakit terminal )
2. GCS ≤ 3 dengan satu atau lebih organ failure ( kerusakan
organ )
b. Indikasi DNR dibuat oleh DPJP atau dokter jaga IGD.

9
c. Indikasi tersebut dikomunikasikan kepada pasien /
keluarga pasien dan diberikan waktu tanpa batas untuk
mengambil keputusan.
d. Keputusan dari keluarga pasien untuk menulis DNR
dibuktikan dalam lembar edukasi.
4. Keterlibatan Keluarga dalam Mengeluarkan Perintah DNR
a) Perintah DNR dapat diminta oleh pasien dewasa yang
kompeten mengambil keputusan, telah mendapat
penjelasan dari dokternya, atau bagi pasien yang
dinyatakan tidak kompeten, keputusan dapat diambil oleh
keluarga terdekat, atau wali sah yang ditunjuk oleh
pengadilan.
b) Dengan pertimbangan tertentu, hal-hal dibawah ini dapat
menjadi bahan diskusi perihal DNR dengan pasien/
walinya :
1) Kasus-kasus dimana angka harapan keberhasilan
pengobatan rendah atau CPR hanya menunda proses
kematian yang alami.
2) Pasien tidak sadar secara permanen.
3) Pasien berada dalam kondisi terminal.
4) Ada kelainan atau disfungsi kronik dimana lebih
banyak kerugian dibanding keuntungan jika resusitasi
dilakukan.
5. Pengumuman DNR
Pasien yang telah dinyatakan DNR diberikan gelang ungu.
6. Pencabutan Status DNR
Status DNR dapat dicabut bila :
a) Ada anggota keluarga dengan tingkat kedekatan 1 level
yang merasa keberatan dengan status DNR tersebut,
kecuali kehendak langsung dari pasien;
b) Dokter berdasarkan perkembangan klinis pasien menilai
bahwa prognosis pasien telah berubah dan bahwa pasien
secara klinis memiliki prognosis setidaknya Quo ad vitam
dan Quo ad Functionam Dubia at Bonam.

10
D. KEBIJAKAN PASIEN MENJELANG AKHIR HAYAT
1. Kebijakan Menahan Pemasangan Alat / Tindakan
Penunjang Hidup (Witholding Life Support) :
a. Menahan life support dilakukan sesuai indikasi pada
tersebut di atas, namun di mana keluarga memilih pilihan
ini dari pada menghentikan life support;
b. Keputusan menahan pemasangan alat/ tindakan penunjang
hidup ada di tangan DPJP setelah melakukan konsultasi
dengan sedikitnya 2 dokter spesialis lain, terkait dengan
kondisi pasien, dan salah satunya harus dokter anestesi;
c. Keputusan menahan pemasangan alat / tindakan
penunjang hidup didasarkan indikasi medis yang jelas, dan
telah dikomunikasikan pada keluarga dengan hubungan 1
level (pasangan hidup, orang tua atau anak kandung) dan
pihak keluarga telah memberikan persetujuan tertulis;
d. Di mana perlu pihak dokter / rumah sakit dapat
mengundang Komite Etik dan / atau Medikolegal untuk
pengambilan keputusan ini;
e. Di mana perlu keluarga dapat meminta kehadiran
rohaniawan dalam pengambilan keputusan ini;
f. Sebelum menahan tindakan penunjang hidup dipersiapkan
obat-obat yang menjamin kenyamanan pasien dalam proses
ini, hingga pasien meninggal, termasuk di antaranya obat
sedatif dan pain killer;
g. Pertama diberikan obat-obat yang menjamin kenyamanan
pasien (sedatif dan pain killer), sesuai instruksi tertulis
dokter (bisa anestesi, DPJP atau dokter lain) dan
didokumentasikan di rekam medis.
Adapun tanda-tanda ketidaknyamanan adalah :
 Penggunaan otot bantu pernapasan;
 Respiratory rate ( pernafasan ) lebih dari 35/menit;
 Gasping, gaduh dan / atau peningkatan respiratory
effort, batuk / tercekik;
 Agitasi adalah gerakan yang tidak perlu dari kepala
lengan maupun tubuh atau mimik wajah;

11
 Peningkatan heart rate atau mean arterial pressure lebih
dari 20% diatas kondisi sebelum pencabutan /
penghentian life support sebelum sedasi.
h. Apabila dalam proses penahanan tindakan penunjang hidup
ini fungsi vital pasien menurun, maka keluarga dihubungi
untuk mendampingi, dan ditawarkan rohaniawan bilamana
dirasa perlu oleh keluarga. Doa juga dapat dilakukan pada
pasien yang ditahan life support-nya.
i. Pasien dapat dilanjutkan ke pencabutan/ penghentian life
support atau dipertahankan sampai terjadi kematian
alaminya.
j. Keluarga dapat memilih membawa pulang pasien yang
belum dinyatakan meninggal, dan pemulangan diatur
dengan ambulans yang memang telah dipersiapkan
sebelumnya.
k. Bila pasien meninggal di Rumah Sakit Katolik Budi Rahayu
Blitar, maka berlaku prosedur penanganan pasien
meninggal.

2. Kebijakan Mencabut / Menghentikan Tindakan Penunjang


Hidup (Withdrawing Life Support)
a. Keputusan mencabut / menghentikan tindakan
penunjang hidup ada di tangan keluarga setelah dlakukan
edukasi oleh DPJP dan setelah DPJP melakukan
konsultasi dengan sedikitnya 1 dokter spesialis lain terkait
dengan kondisi pasien
b. Keputusan mencabut / menghentikan tindakan
penunjang hidup didasarkan indikasi medis yang jelas dan
telah dikomunikasikan pada keluarga dengan hubungan 1
tingkat (pasangan hidup, orang tua atau anak kandung)
dan pihak keluarga telah memberikan persetujuan tertulis;
c. Di mana perlu pihak dokter / rumah sakit dapat
mengundang Komite Etik dan / atau Medikolegal untuk
pengambilan keputusan ini;
d. Di mana perlu, keluarga dapat meminta kehadiran
rohaniawan dalam pengambilan keputusan ini;

12
e. Sebelum pencabutan / penghentian tindakan penunjang
hidup, dipersiapkan obat-obat yang menjamin kenyamanan
proses penghentian ini, hingga pasien meninggal, termasuk
di antaranya obat sedatif dan pain killer;
f. Pencabutan/ penghentian tindakan penunjang hidup ini
disaksikan oleh keluarga / wali (jika diinginkan), dokter
maupun perawat Rumah Sakit Katolik Budi Rahayu Blitar
dan rohaniawan (jika diperlukan oleh keluarga/ wali
supaya dapat dilakukan doa sebelum pencabutan);
g. Pertama diberikan obat-obat yang menjamin kenyamanan
pasien (sedatif dan pain killer), sesuai instruksi tertulis
dokter (bisa anestesi, DPJP atau dokter lain) dan
didokumentasikan di rekam medik;
h. Pada saat obat tersebut diberikan ke pasien, monitor
tanda-tanda ketidaknyamanan. Bila ada tanda
ketidaknyamanan, dokter perlu memerintahkan untuk
meningkatkan pemberian obat yang memberikan
kenyamanan pasien.
Adapun tanda-tanda ketidaknyamanan adalah :
 Penggunaan otot bantu pernapasan;.
 Respiratory rate lebih dari 35/menit;
 Gasping, gaduh dan/atau peningkatan respiratory
effort, batuk/ tercekik;
 Agitasi, gerakan yang tidak perlu dari kepala lengan
maupun tubuh, atau mimik wajah;
 Peningkatan heart rate atau mean arterial pressure lebih
dari 20 % diatas kondisi sebelum pencabutan/
penghentian life support sebelum sedasi.
i. Kemudian yang melakukan tindakan mencabut alat bantu
hidup yang terpasang pada pasien adalah keluarga pasien
yang menandatangani pernyataan penghentian alat bantu
hidup dasar dengan dibimbing oleh dokter anestesi atau
perawat. Pencabutan alat bantu hidup dasar ( ETT ) pada
pasien yang pulang paksa dilakukan sesampainya di rumah.
Selama di ambulan tetap dilakukan bagging yang dilakukan
oleh perawat. Apabila di rumah pasien dirawat oleh tenaga

13
medis terdekat, maka harus dilakukan timbang terima dan
edukasi tentang perawatan pasien selama di rumah. Tenaga
medis yang akan melanjutkan perawatan pasien di rumah
harus memberikan data identitas dan surat ijin profesi yang
masih berlaku untuk melengkapi data di resum medis
pasien.

3. Kebijakan Menyatakan Mati Batang Otak (Brain Death)


a. Prosedur menyatakan mati batang otak
1) Sebelum tes refleks batang otak
Harus ada tanda-tanda fungsi batang otak telah hilang :
 Pasien koma
 Tidak ada sikap abnormal (dekortikasi atau
deserebrasi)
 Tidak ada refleks batang otak : refleks okulosefalik
 Tidak ada sentakan epileptik
 Tidak ada nafas spontan
Bila salah satu (+), batang otak : refleks otak masih
hidup, maka tidak perlu tes refleks batang otak.
2). Lima tes refleks batang otak
 Tidak ada respon terhadap cahaya
 Tidak ada refleks kornea
 Tidak ada refleks vestibule - okuler
 Tidak ada respon motor dalam distribusi saraf
kranial terhadap rangsang adekuat pada area
somatik
 Tidak ada refleks muntah (gangguan refleks) atau
refleks batuk terhadap rangsang oleh kateter isap
yang dimasukkan ke dalam trakea.
3) Tes Apnea
 Pre oksigenasi dengan 100 % O2 selama 10 menit;
 Beri 5 % CO2 dalam 95% selama 5 menit berikutnya
untuk menjamin PaCO2 awal : 53 Kpa (40 torr).
4) Pengulangan Tes

14
 Tes ulang perlu dilakukan untuk mencegah
kesalahan pengamatan dan perubahan tanda-tanda.
 Interval waktu 25 menit - 24 jam tergantung rumah
sakit dan rekomendasi yang dianut.
b. Kewenangan menyatakan mati batang otak
Yang berhak menyatakan seorang pasien mati
batang otak adalah minimal 3 (tiga) orang dokter, yaitu
DPJP Utama / Dokter Spesialis Anestesia / Dokter
Bedah Saraf / Dokter Spesialis Saraf.
c. Penanganan setelah pasien dinyatakan mati batang otak
1) Pengkomunikasian kepada keluarga merupakan
langkah awal setelah pasien dinyatakan Mati Batang
Otak (MBO). Keluarga yang diberi penjelasan adalah
keluarga terdekat dengan urutan prioritas mulai dari
suami / istri, orang tua kandung, anak kandung dan
terakhir saudara kandung.
2) Keluarga diberi penjelasan bahwa setelah pasien
dinyatakan mati batang otak, maka akan dilakukan
penghentian seluruh tindakan dengan sebelumnya
mengkomunikasikan dengan keluarga.
3) Bilamana keluarga pasien belum dapat menerima
maka pihak rumah sakit memberi waktu kepada
keluarga untuk melalui fase denial.
4) Second opinion dapat diminta oleh pihak keluarga
dalam fase denial ( fase menyangkal ) dan dalam hal
ini DPJP akan berkomunikasi dengan dokter yang
diminta oleh pihak keluarga sebagai second opinion
sesuai kebijakan Rumah Sakit Katolik Budi Rahayu
Blitar tentang second opinion.
5) Selama fase denial ( fase menyangkal ) dokter dapat
menolak melakukan tindakan medis invasif yang
tidak sesuai dengan etika kedokteran jika perlu,
namun dengan tetap mengkomunikasikan kepada
pihak keluarga.

15
4. Kebijakan Pasien Terminal Yang Memilih Meninggal Di
Rumah (Tidak di Rumah Sakit)
a) Pasien atau walinya yang sah dapat memutuskan untuk
meninggal tidak di rumah sakit karena alasan agama /
kepercayaan, budaya, adat istiadat, pertimbangan sosio-
ekonomi lain dan geografis;
b) Keputusan untuk meninggal tidak di rumah sakit
dilakukan secara tertulis dengan menanda tangani
formulir informed consent berupa PERSETUJUAN
MENGHENTIKAN PERAWATAN setelah mendapat
penjelasan yang lengkap dari DPJP / tim dokter yang
merawat mengenai prognosis dan konsekuensi keputusan
tersebut;
c) Rumah sakit menghormati keputusan pasien / walinya
yang sah tersebut.
d) Pencabutan alat bantu hidup dasar ( ETT ) pada pasien
yang pulang paksa dilakukan sesampainya di rumah.
Selama di ambulan tetap dilakukan bagging yang
dilakukan oleh perawat. Apabila di rumah pasien dirawat
oleh tenaga medis terdekat, maka harus dilakukan
timbang terima dan edukasi tentang perawatan pasien
selama di rumah. Tenaga medis yang akan melanjutkan
perawatan pasien di rumah harus memberikan data
identitas dan surat ijin profesi yang masih berlaku untuk
melengkapi data di resum medis pasien
5. Kebijakan Euthanasia
a) Rumah Sakit Katolik Budi Rahayu Blitar mengikuti
kebijakan pemerintah Republik Indonesia untuk tidak
mengijinkan dilakukannya euthanasia.
b) Pasien yang menjelang meninggal bisa mengalami gejala
lain yang berhubungan dengan proses penyakit atau
terapi kuratif atau membutuhkan bantuan dalam
menghadapinya secara psikososial, spiritual dan kultural
berhubungan dengan kematian dan sekarat.

16
c) Pasien dapat pula merasakan nyeri berkaitan dengan
terapi atau prosedur seperti nyeri pasca operasi, nyeri
saat sesi fisioterapi atau nyeri yang berhubungan dengan
penyakit kronis atau nyeri akut.

E. PENGELOLAAN NYERI (Pain Management)


Nyeri merupakan gejala yang sering ditemukan pada pasien
menjelang akhir hayat. Karena sifatnya yang menurunkan mutu
sisa hidup pasien, maka nyeri harus mendapat penanganan secara
tepat. Berbagai aspek terlibat dalam penanganan nyeri, seperti
masalah ketergantungan fisik maupun psikologis, membuat dokter
ragu dalam penanganan nyeri yang adekuat. Untuk itu disusun
kebijakan ini yang dapat dijadikan pijakan bagi dokter RSK Budi
Rahayu Blitar dalam penanganan nyeri pada pasien menjelang
akhir hayat.
Penatalaksanaan nyeri mengikuti Kebijakan Penilaian dan
Tata Laksana Nyeri tentang Manajemen Nyeri dan SPO Pengkajian
dan Penatalaksanaan Nyeri Pasien.

F. PENGELOLAAN GEJALA–GEJALA LAIN

17
Gejala Umum Fase Akhir Kehidupan
Gejala Bagaimana cara untuk memberikan kenyamanan
Penurunan kesadaran Keadaan awal yang harus diwaspadai dan segera menghubungi
(Kantuk) Dokter unutk memberi
Menjadi tidak responsif Banyak pasien masih bisa mendengar setelah mereka tidak lagi
dapat berbicara, sehingga perawat bicaralah seolah-olah pasien
dapat mendengar.
Kebingungan tentang Bicaralah dengan tenang untuk membantu mengembalikan
waktu, tempat, identitas orientasi pasien. Perlahan mengingatkan pasien tanggal, waktu, dan
orang-orang terkasih orang-orang yang bersama mereka.
Hilangnya nafsu makan, Biarkan pasien memilih apakah dan kapan harus makan atau
penurunan kebutuhan minum. Sediakan es, air, atau jus dapat menyegarkan jika pasien
pangan dan cairan masih bisa menelan. Jaga mulut pasien agar tetap lembab dengan
menggunakan pelembab bibir dengan produk seperti swab gliserin
dan lip balm.
Kehilangan kontrol Jaga agar pasien tetap bersih, kering, dan senyaman mungkin.
kandung kemih atau usus Pasien dapat menggunakan kateter atau popok.
Akral dingin Hangatkan pasien dengan menggunakan selimut tapi hindari
selimut listrik atau alas pemanas, yang dapat menyebabkan luka
bakar.
Rasa nyeri meningkat / Segera hubungi dokter yang merawat untuk memberikan instruksi
tidak berkurang dengan untuk mengurangi rasa nyeri.
pemberian terapi
sebelumnya
Napas sesak, tidak Pernapasan mungkin lebih mudah jika tubuh pasien adalah
teratur, dangkal, atau dibaringkan ke samping dan bantal diletakkan di bawah kepala dan
bising napas di belakang punggung. Sebuah humidifier kabut dingin juga dapat
membantu.

G. KEMATIAN

1. Tipe-tipe Perjalanan Menjelang Kematian


Ada 4 tipe dari perjalanan proses kematian yaitu:

a. Kematian yang pasti dengan waktu yang diketahui yaitu


adanya perubahan yang cepat dari fase akut ke kronik.

b. Kematian yang pasti dengan waktu tidak bisa diketahui


biasanya terjadi pada kondisi penyakit yang kronik.

c. Kematian yang belum pasti kemungkinan sembuh belum


pasti biasanya terjadi pada pasien dengan operasi radikal
karena adanya kanker.

d. Kemungkinan mati dan sembuh yang tidak tentu. Terjadi


pada pasien dengan sakit kronik dan telah berjalan lama.

2. Tanda-tanda Klinis Menjelang Kematian

a. Kehilangan Tonus Otot ditandai:


 Relaksasi otot muka sehingga dagu menjadi turun.

18
 Kesulitan dalam berbicara, proses menelan dan
hilangnya reflek menelan.

 Penurunan kegiatan traktus gastrointestinal, ditandai:


nausea, muntah, kembung

 Penurunan control spinkter urinari dan rectal.


Gerakan tubuh yang terbatas.

b. Kelambatan dalam Sirkulasi, ditandai:

 Kemunduran dalam sensasi.


 Cyanosis pada daerah ekstremitas.

 Kulit dingin pertama kali pada daerah kaki kemudian


tangan, telinga, hidung

c. Perubahan-perubahan dalam tanda-tanda vital


 Nadi lambat dan lemah
 Tekanan darah turun
 Pernafasan cepat, cepat dangkal dan tidak teratur.

d. Gangguan Sensori
 Penglihatan kabur.
 Gangguan penciuman dan perabaan

3. Tanda-tanda Klinis Saat Meninggal


a) Pupil mata melebar.
b) Tidak mampu untuk bergerak.
c) Kehilangan reflek.
d) Nadi cepat dan kecil.
e) Pernafasan chyene-stoke dan ngorok.
f) Tekanan darah sangat rendah
g) Mata dapat tertutup atau agak terbuka

4. Tanda-tanda Meninggal Secara Klinis.

Secara tradisional, tanda-tanda klinis kematian dapat


dilihat melalui perubahan-perubahan nadi, respirasi dan
tekanan darah.

19
Pada tahun 1968, World Medical Assembly, menetapkan
beberapa petunjuk tentang indikasi kematian yaitu:

a. Tidak ada respon terhadap rangsangan dari luar secara


total.
b. Tidak adanya gerak dari otot, khususnya pernafasan

c. Tidak ada reflek.

d. Gambaran mendatar pada EKG

H. PERAWATAN SETELAH KEMATIAN

1. Menangani tubuh klien secepat mungkin untuk


mencegah kerusakan jaringan atau perubahan bentuk
tubuh (setelah kematian tubuh akan mengalami
perubahan fisik )

2. Beri kesempatan keluarga untuk melihat tubuh pasien

3. Luangkan waktu bersama keluarga untuk melihat tubuh


klien

4. Siapkan kondisi ruangan sebelum keluarga melihat


jenazah klien

5. Perawat menyiapkan tubuh klien dengan membuatnya


tampak sealamiah dan senyaman mungkin

I. PELAYANAN ROHANI
Dalam proses pelayanan menjelang akhir hayat ini, perlu
dilibatkan keluarga untuk pendampingan, dan ditawarkan
rohaniawan bilamana dirasa perlu oleh keluarga. Doa juga
dapat dilakukan pada pasien tersebut.
Pelayanan Rohani diatur tersendiri dalam Panduan Pelayanan
Rohani beserta prosedurmya.

20
BAB IV
DOKUMENTASI

Semua penatalaksanaan pasien menjelang akhir hayat


didokumentasikan dalam rekam medis, berupa :
1. Formulir Pengkajian Awal Pasien Menjelang Akhir Hayat
2. Formulir Catatan Terintegrasi
3. Formulir Pemberian Informasi & Persetujuan Tindakan Medis
4. Formulir Pengkajian Edukasi Pasien dan Catatan Edukasi
Pasien
5. Daftar Nama Pembimbing Spiritual

21

Anda mungkin juga menyukai