Patofisiologi
Otak terdiri dari sekian biliun sel neuron yang satu dengan lainnya saling
berhubungan. Hubungan antar neuron tersebut terjalin melalui impuls listrik
dengan bahan perantarakimiawi yang dikenal sebagai neurotransmiter. Dalam
keadaan normal, lalu-lintas impuls antar neuron berlangsung dengan baik
danlancar. Apabila mekanisme yang mengatur lalu-lintas antar neuron
menjadi kacau dikarenakan breaking system pada otak terganggu maka
neuron-neuron akan bereaksisecara abnormal. Neurotransmiter yang berperan
dalam mekanisme pengaturan ini adalah:
Glutamat, yang merupakan brain’s excitatory neurotransmitter
GABA (Gamma Aminobutyric Acid), yang bersifat sebagai brain’s
inhibitoryneurotransmitter.
Berbagai macam kelainan atau penyakit di otak (lesi serebral, trauma otak,
stroke,kelainan herediter dan lain-lain) sebagai fokus epileptogenesis dapat
terganggu fungsineuronnya (eksitasi berlebihan dan inhibisi yang kurang) dan
akan menimbulkan kejangbila ada rangsangan pencetus seperti hipertermia,
hipoksia, hipoglikemia, hiponatremia,stimulus sensorik dan lain-lain.
Kejang yang terjadi lebih dari 30 menit atau adanya dua bangkitan kejang atau
lebih dimana diantara bangkitan-bangkitan tersebut tidak terdapat pemulihan
kesadaran. Gejala klinis dari kejang tergantung dari jenis kejang. Pengenalan
terhadap status epileptikus penting pada awal stadium untuk mencegah
keterlambatan penanganan. Status tonik-klonik umum (Generalized Tonic-
Clonic) merupakan bentuk status epileptikus yang paling sering dijumpai,
hasil dari survei ditemukan kira-kira 44 sampai 74 persen, tetapi bentuk yang
lain dapat juga terjadi.
2.7. Diagnosis
Anamnesis
Ada tiga langkah untuk menuju diagnosis epilepsi, yaitu:
1. Langkah pertama: memastikan apakah kejadian yang bersifat paroksismal
merupakan bangkitan epilepsi. Pada sebagian besar kasus, diagnosis epilepsi
dapat ditegakkan berdasarkan informasi yang diperoleh dari anamnesis baik
auto maupunallo-anamnesis dari orang tua maupun saksi mata yang lain.
a. Gejala sebelum, selama dan paska bangkitan
Keadaan penyandang saat bangkitan: duduk/ berdiri/ bebaring/ tidur/
berkemih.
Gejala awitan (aura, gerakan/ sensasi awal/ speech arrest).
Pola/bentuk yang tampak selama bangkitan: gerakan tonik/klonik,
vokalisasi, otomatisme, inkontinensia, lidah tergigit, pucat
berkeringat, deviasi mata.
Keadaan setelah kejadian: bingung, terjaga, nyeri kepala, tidur, gaduh
gelisah, Todd’s paresis.
Faktor pencetus: alkohol, kurang tidur, hormonal.
Jumlah pola bangkitan satu atau lebih, atau terdapat perubahan pola
bangkitan.
b. Penyakit lain yang mungkin diderita sekarang maupun riwayat penyakit
neurologik dan riwayat penyakit psikiatrik maupun penyakit sistemik yang
mungkin menjadi penyebab.
c. Usia awitan, durasi, frekuensi bangkitan, interval terpanjang antar
bangkitan.
d. Riwayat terapi epilepsi sebelumnya dan respon terhadap terapi (dosis,
kadar OAE, kombinasi terapi).
e. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga.
f. Riwayat keluarga dengan penyakit neurologik lain, penyakit psikitrik atau
sistemik.
g. Riwayat pada saat dalam kandungan, kelahiran dan perkembangan
bayi/anak.
h. Riwayat bangkitan neonatal/kejang demam.
i. Riwayat trauma kepala, infeksi SSP.
PemeriksaanFisik
Pemeriksaan fisik umum pada dasarnya adalah mengamati adanya tanda-
tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi seperti trauma
kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, kecanduan alkohol
atau obat terlarang, kelainan pada kulit, kanker, defisit neurologik fokal.
Pemeriksaan neurologis
Hasil yang diperoleh dari pemeriksaan neurologik sangat tergantung dari
interval antara dilakukannya pemeriksaan dengan bangkitan terakhir.
1. Jika dilakukan pada beberapa menit atau jam setelah bangkitan maka akan
tampak tanda pasca iktal terutama tanda fokal seperti todds paresis
(hemiparesis setelah kejang yang terjadi sesaat), trans aphasic syndrome
(afasiasesaat) yang tidak jarang dapat menjadi petunjuk lokalisasi.
2. Jika dilakukan pada beberapa waktu setelah bangkitan terakhir berlalu,
sasaran utama adalah menentukan apakah ada tanda-tanda disfungsi
system saraf permanen (epilepsi simptomatik) dan walau pun jarang
apakah ada tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial.
Pemeriksaan Penunjang
Dapat dilakukan di layanan sekunder yaitu EEG, pemeriksaan pencitraan
otak, pemeriksaan laboratorium lengkap dan pemeriksaan kadar OAE.
2.8. DD
Gangguan elektrolit
Meningitis
Ensefalitis
Gangguan tiroid
Tumor intraserebri
Daftar pustaka
Rilianto,B. 2015. Evaluasi dan Manajemem Status Epileptikus. Kalbemed.
42 (10): 750-754
Munir, B. 2015. Neurologi Dasar. Jakarta: Sagung Seto
Paul E. Marik, MD, FCCP; and Joseph Varon, MD, FCCP. The Management
of Status Epilepticus. CHEST 2004; 126:582–591