Anda di halaman 1dari 8

3.5.

Patofisiologi

Otak terdiri dari sekian biliun sel neuron yang satu dengan lainnya saling
berhubungan. Hubungan antar neuron tersebut terjalin melalui impuls listrik
dengan bahan perantarakimiawi yang dikenal sebagai neurotransmiter. Dalam
keadaan normal, lalu-lintas impuls antar neuron berlangsung dengan baik
danlancar. Apabila mekanisme yang mengatur lalu-lintas antar neuron
menjadi kacau dikarenakan breaking system pada otak terganggu maka
neuron-neuron akan bereaksisecara abnormal. Neurotransmiter yang berperan
dalam mekanisme pengaturan ini adalah:
 Glutamat, yang merupakan brain’s excitatory neurotransmitter
 GABA (Gamma Aminobutyric Acid), yang bersifat sebagai brain’s
inhibitoryneurotransmitter.

Golongan neurotransmiter lain yang bersifat eksitatorik adalah aspartat dan


asetil kolin, sedangkan yang bersifat inhibitorik lainnya adalah noradrenalin,
dopamine, serotonin (5HT)dan peptida. Neurotransmiterini hubungannya
dengan epilepsy belum jelas dan masih perlu penelitian lebih lanjut.

Epileptic seizure apapun jenisnya selalu disebabkan oleh transmisi impuls di


area otakyang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadilah apa yang
disebut sinkronisasi dari impuls. Sinkronisasi ini dapat mengenai pada
sekelompok kecil neuron ataukelompok neuron yang lebih besar atau bahkan
meliputi seluruh neuron di otak secaraserentak. Lokasi yang berbeda dari
kelompok neuron yang ikut terkena dalam prosessinkronisasi inilah yang
secara klinik menimbulkan manifestasi yang berbeda dari jenis-
jenisseranganepilepsi. Secara teoritisfaktoryang menyebabkanhal iniyaitu:

 Keadaan dimana fungsi neuron penghambat (inhibitorik) kerjanya kurang


optimal sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan,
disebabkan konsentrasi GABA yang kurang. Pada penderita epilepsi
ternyata memang mengandungkonsentrasi GABA yang rendah di otaknya
(lobus oksipitalis).Hambatan olehGABA ini dalam bentuk inhibisi
potensial post sinaptik.
 Keadaan dimana fungsi neuron eksitatorik berlebihan sehingga terjadi
pelepasan impulsepileptik yang berlebihan. Disini fungsi neuron
penghambat normal tapi sistempencetus impuls (eksitatorik) yang terlalu
kuat. Keadaan ini ditimbulkan olehmeningkatnya konsentrasi glutamat di
otak. Pada penderita epilepsi didapatkan peningkatan kadar glutamat pada
berbagai tempat di otak.
 Pada dasarnya otak yang normal itu sendiri juga mempunyai potensi untuk
mengadakan pelepasan abnormal impuls epileptik.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa untuk timbulnya kejang sebenarnya ada


tiga kejadian yang saling terkait:
 Perlu adanya “pacemaker cells” yaitu kemampuan intrinsic dari sel untuk
menimbulkan bangkitan.
 Hilangnya “postsynaptic inhibitory controle” sel neuron.
 Perlunya sinkronisasi dari “epileptic discharge” yang timbul.

Area di otak dimana ditemukan sekelompok sel neuron yang abnormal,


bermuatan listrikberlebihan dan hipersinkron dikenal sebagai fokus
epileptogenesis (fokus pembangkitserangan kejang). Fokus epileptogenesis
dari sekelompok neuron akan mempengaruhineuron sekitarnya untuk bersama
dan serentak dalam waktu sesaat menimbulkan serangan kejang.

Berbagai macam kelainan atau penyakit di otak (lesi serebral, trauma otak,
stroke,kelainan herediter dan lain-lain) sebagai fokus epileptogenesis dapat
terganggu fungsineuronnya (eksitasi berlebihan dan inhibisi yang kurang) dan
akan menimbulkan kejangbila ada rangsangan pencetus seperti hipertermia,
hipoksia, hipoglikemia, hiponatremia,stimulus sensorik dan lain-lain.

Serangan epilepsi dimulai dengan meluasnya depolarisasi impuls dari


fokusepileptogenesis, mula-mula ke neuron sekitarnya lalu ke hemisfer
sebelahnya, subkortek, thalamus, batang otak dan seterusnya. Kemudian
untuk bersama-sama dan serentak dalam waktu sesaat menimbulkan serangan
kejang. Setelah meluasnya eksitasi selesai dimulailah proses inhibisi di
korteks serebri, thalamus dan ganglia basalis yang secara intermiten
menghambat discharge epileptiknya. Pada gambaran EEG dapat terlihat
sebagai perubahan dari polyspike menjadi spike and wave yang makin lama
makin lambat dan akhirnya berhenti. Dulu dianggap berhentinya serangan
sebagai akibat terjadinya exhaustion neuron. (karena kehabisan glukosa dan
tertimbunnya asam laktat). Namun ternyata serangan epilepsi bisa terhenti
tanpa terjadinya neuronal exhaustion.

Pada keadaan tertentu (hipoglikemia otak, hipoksia otak, asidosis


metabolik)depolarisasi impuls dapat berlanjut terus sehingga menimbulkan
aktivitas serangan yang berkepanjangan disebut status epileptikus.

3.6. Manifestasi klinis

Kejang yang terjadi lebih dari 30 menit atau adanya dua bangkitan kejang atau
lebih dimana diantara bangkitan-bangkitan tersebut tidak terdapat pemulihan
kesadaran. Gejala klinis dari kejang tergantung dari jenis kejang. Pengenalan
terhadap status epileptikus penting pada awal stadium untuk mencegah
keterlambatan penanganan. Status tonik-klonik umum (Generalized Tonic-
Clonic) merupakan bentuk status epileptikus yang paling sering dijumpai,
hasil dari survei ditemukan kira-kira 44 sampai 74 persen, tetapi bentuk yang
lain dapat juga terjadi.

A. Status Epileptikus Tonik-Klonik Umum (Generalized tonic-clonic


Status Epileptikus).
Ini merupakan bentuk dari Status Epileptikus yang paling sering
dihadapi dan potensial dalam mengakibatkan kerusakan. Kejang
didahului dengan tonik-klonik umum atau kejang parsial yang cepat
berubah menjadi tonik klonik umum. Pada status tonik-klonik umum,
serangan berawal dengan serial kejang tonik-klonik umum tanpa
pemulihan kesadaran diantara serangan dan peningkatan frekuensi.
Setiap kejang berlangsung dua sampai tiga menit, dengan fase tonik
yang melibatkan otot-otot aksial dan pergerakan pernafasan yang
terputus-putus. Pasien menjadi sianosis selama fase ini, diikuti oleh
hyperpnea retensi CO2.4,5,7 Adanya takikardi dan peningkatan tekanan
darah, hyperpireksia mungkin berkembang. Hiperglikemia dan
peningkatan laktat serum terjadi yang mengakibatkan penurunan pH
serum dan asidosis respiratorik dan metabolik. Aktivitas kejang sampai
lima kali pada jam pertama pada kasus yang tidak tertangani.

B. Status Epileptikus Klonik-Tonik-Klonik (Clonic-Tonic-Clonic Status


Epileptikus)
Adakalanya status epileptikus dijumpai dengan aktivitas klonik umum
mendahului fase tonik dan diikuti oleh aktivitas klonik pada periode
kedua.

C. Status Epileptikus Tonik (Tonic Status Epileptikus)


Status epilepsi tonik terjadi pada anak-anak dan remaja dengan
kehilangan kesadaran tanpa diikuti fase klonik. Tipe ini terjai pada
ensefalopati kronik dan merupakan gambaran dari Lenox-Gestaut
Syndrome.
D. Status Epileptikus Mioklonik
Biasanya terlihat pada pasien yang mengalami enselofati. Sentakan
mioklonus adalah menyeluruh tetapi sering asimetris dan semakin
memburuknya tingkat kesadaran. Tipe dari status epileptikus tidak
biasanya pada enselofati anoksia berat dengan prognosa yang buruk,
tetapi dapat terjadi pada keadaan toksisitas, metabolik, infeksi atau
kondisi degenerative.

2.7. Diagnosis

Anamnesis
Ada tiga langkah untuk menuju diagnosis epilepsi, yaitu:
1. Langkah pertama: memastikan apakah kejadian yang bersifat paroksismal
merupakan bangkitan epilepsi. Pada sebagian besar kasus, diagnosis epilepsi
dapat ditegakkan berdasarkan informasi yang diperoleh dari anamnesis baik
auto maupunallo-anamnesis dari orang tua maupun saksi mata yang lain.
a. Gejala sebelum, selama dan paska bangkitan
Keadaan penyandang saat bangkitan: duduk/ berdiri/ bebaring/ tidur/
berkemih.
 Gejala awitan (aura, gerakan/ sensasi awal/ speech arrest).
 Pola/bentuk yang tampak selama bangkitan: gerakan tonik/klonik,
vokalisasi, otomatisme, inkontinensia, lidah tergigit, pucat
berkeringat, deviasi mata.
 Keadaan setelah kejadian: bingung, terjaga, nyeri kepala, tidur, gaduh
gelisah, Todd’s paresis.
 Faktor pencetus: alkohol, kurang tidur, hormonal.
 Jumlah pola bangkitan satu atau lebih, atau terdapat perubahan pola
bangkitan.
b. Penyakit lain yang mungkin diderita sekarang maupun riwayat penyakit
neurologik dan riwayat penyakit psikiatrik maupun penyakit sistemik yang
mungkin menjadi penyebab.
c. Usia awitan, durasi, frekuensi bangkitan, interval terpanjang antar
bangkitan.
d. Riwayat terapi epilepsi sebelumnya dan respon terhadap terapi (dosis,
kadar OAE, kombinasi terapi).
e. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga.
f. Riwayat keluarga dengan penyakit neurologik lain, penyakit psikitrik atau
sistemik.
g. Riwayat pada saat dalam kandungan, kelahiran dan perkembangan
bayi/anak.
h. Riwayat bangkitan neonatal/kejang demam.
i. Riwayat trauma kepala, infeksi SSP.

2. Langkah kedua: apabila benar terdapat bangkitan epilepsi, maka tentukan


bangkitan tersebut bangkitan yang mana (klasifikasi ILAE 1981).

3. Langkah ketiga: menentukan etiologi, sindrom epilepsi, atau penyakit


epilepsi apa yang diderita pasien dilakukan dengan memperhatikan
klasifikasi ILAE 1989.

PemeriksaanFisik
Pemeriksaan fisik umum pada dasarnya adalah mengamati adanya tanda-
tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi seperti trauma
kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, kecanduan alkohol
atau obat terlarang, kelainan pada kulit, kanker, defisit neurologik fokal.

Pemeriksaan neurologis
Hasil yang diperoleh dari pemeriksaan neurologik sangat tergantung dari
interval antara dilakukannya pemeriksaan dengan bangkitan terakhir.

1. Jika dilakukan pada beberapa menit atau jam setelah bangkitan maka akan
tampak tanda pasca iktal terutama tanda fokal seperti todds paresis
(hemiparesis setelah kejang yang terjadi sesaat), trans aphasic syndrome
(afasiasesaat) yang tidak jarang dapat menjadi petunjuk lokalisasi.
2. Jika dilakukan pada beberapa waktu setelah bangkitan terakhir berlalu,
sasaran utama adalah menentukan apakah ada tanda-tanda disfungsi
system saraf permanen (epilepsi simptomatik) dan walau pun jarang
apakah ada tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial.

Pemeriksaan Penunjang
Dapat dilakukan di layanan sekunder yaitu EEG, pemeriksaan pencitraan
otak, pemeriksaan laboratorium lengkap dan pemeriksaan kadar OAE.

2.8. DD
 Gangguan elektrolit
 Meningitis
 Ensefalitis
 Gangguan tiroid
 Tumor intraserebri

Daftar pustaka
Rilianto,B. 2015. Evaluasi dan Manajemem Status Epileptikus. Kalbemed.
42 (10): 750-754
Munir, B. 2015. Neurologi Dasar. Jakarta: Sagung Seto

Sisodiya S.M, Duncan J (2000) : Epilepsy : Epidemiology, Clinical


Assessment,Investigation and Natural History, Medicine
International,00(4);36-41.

Paul E. Marik, MD, FCCP; and Joseph Varon, MD, FCCP. The Management
of Status Epilepticus. CHEST 2004; 126:582–591

Anda mungkin juga menyukai