Skizofrenia
2.2.1. Definisi dan Epidemiologi
Skizofrenia berasal dari dua kata, yaitu skizo yang berarti pecah dan
frenia yang berarti kepribadian. Skizofrenia adalah suatu gangguan
psikotik yang ditandai oleh penyimpangan pada persepsi, afek (tidak
wajar/tumpul), dan perilaku seseorang. Kesadaran yang jernih dan
kemampuan intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun
kemunduran kognitif tertentu dapat berkembang kemudian (Sadock,
2010 dan Maslim, 2013).
2.2.2. Etiologi
Etiologi skizofrenia belum pasti. Berdasarkan penelitian, terdapat
beberapa pendekatan dalam menganalisis penyebab skizofrenia, antara
lain:
a. Faktor genetik
Hal ini dibuktikan berdasarkan penelitian terhadap keluarga dengan
riwayat skizofrenia terurama anak-anak kembar satu telur. Angka
kesakitan bagi saudara tiri ialah 0,9 - 1,8%; saudara kandung 7 –
15%; anak dengan salah satu orangtua yang menderita skizofrenia 7
– 16%; kedua orangtua menderita skizofrenia 40 – 68%; kembar dua
telur (heterozigot) 2 -15%; kembar satu telur (monozigot) 61 – 86%.
Skizofrenia melibatkan lebih dari satu gen, sebuah fenomena yang
disebut quantitative trait loci. Skizofrenia yang paling sering terlihat
mungkin disebabkan oleh beberapa gen yang berlokasi di tempat-
tempat yang berbeda di seluruh kromosom. Hal ini menjelaskan alas
an adanya gradasi tingkat keparahan pada orang-orang yang
mengalami gangguan ini (dari ringan sampai berat) dan mengapa
risiko untuk mengalami skizofrenia semakin tinggi dengan semakin
banyaknya jumlah anggota keluarga yang memiliki penyakit ini
(Durand & Barlow, 2007).
b. Faktor biokimia
Peneliti terdahulu membuat hipotesis bahwa skizofrenia berasal dari
ketidakseimbangan kimiawi otak yang disebut neurotransmitter,
yang memungkinkan neuron-neuron berkomunikasi satu sama lain,
yaitu aktivitas neurotransmitter dopamine yang berlebihan di bagian-
bagian tertentu otak atau dikarenakan sensitivitas abnormal terhadap
dopamin. Hipotesis ini dibuat berdasarkan tiga penemuan utama:
1. Efektivitas obat neuroleptik (misalnya fenotiazin) pada
skizofrenia yang memblok reseptor dopamine pasca sinaps (tipe
D2).
2. Terjadinya psikosis akibat amfetamin yang melepaskan dopamine
sentral dan memperburuk skizofrenia.
3. Peningkatan jumlah reseptor D2 di nucleus kaudatus, nucleus
akumben, dan putamen pada skizofrenia. (Amir, 2013).
c. Faktor biologi
Kondisi fisik seperti neoplasma serebral, khususnya di daerah
okipitalis dan temporalis yang menyebabkan halusinasi. Pemutusan
sensorik, seperti pada tunanetra dan tunarungu juga dapat
menyebabkan pengalaman halusinasi dan waham (Sadock, 2010).
Gangguan lain yang banyak dijumpai yaitu pelebaran ventrikel tiga
dan lateral yang stabil yang kadang sudah terlihat sebelum awitan
penyakit; atropi bilateral lobus temporal medial dan lebih spesifik
girus parahipokampus, hipokampus, dan amigdala; disorientasi
spasial sel pyramid hipokampus; dan penurunan volume korteks
prefrontqal dorsolateral. Dalam beberapa penelitian dituliskan bahwa
semua perubahan ini statis dan telah dibawa sejak lahir (tidak ada
gliosis), dan pada beberapa kasus progresif (Amir, 2013).
2.2.4. Diagnosis
Dalam mendiagnosis skizofrenia berdasarkan ringkasan PPDGJ III dan
DSM-5 harus ada sedikitnya satu gejala berikut yang amat jelas (dan
biasanya dua gejala atau lebih bila gejala-gejala berikut kurang tajam
atau kurang jelas) (Maslim, 2013):
a. - Thought echo, yaitu isi pikiran diri sendiri yang berulang atau
bergema dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan,
walaupun isinya sama, namun kualitasnya berbeda; atau
- Thought insertion or withdrawal, yaitu isi pikiran asing dari luar
masuk ke dalam pikirannya atau isi pikirannya diambil keluar
oleh sesuatu dari luar dirinya; dan
- Thought broadcasting, yaitu isi pikirannya tersiar ke luar
sehingga orang lain mengetahuinya
b. Waham, yaitu suatu kepercayaan palsu yang menetap yang tak
sesuai dengan fakta dan mungkin aneh, dan tetap dipertahankan
meskipun telah diperlihatkan bukti-bukti yang jelas untuk
mengoreksinya.
- Delusion of control, yaitu wahm tentang dirinya dikendalikan
oleh suatu kekuatan tertentu dari luar; atau
- Delusion of influence, waham tentang dirinya dipengaruhi oleh
suatu kekuatan tertentu dari luar; atau
- Delusion of passivity, yaitu waham tentang dirinya tidak berdaya
dan pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar
- Delusional perception, yaitu pengalaman inderawi yang tak
wajar, sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau
mujizat.
c. Halusinasi auditorik:
- Suara halusinasi yang berkomentar secara terus-menerus
terhadap perilaku pasien, atau
- Mendiskusikan perihal pasien sendiri
- Suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.
d. Waham lain, misalnya mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi
dengan makhluk asing dengan dunia lain.
Atau paling sedikit dua gejala berikut yang harus selalu ada secara jelas:
e. Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja, apabila
disertai waham tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun
disertai ide-ide berlebihan yang menetap, apabila terjadi dapat
setiap hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus-
menerus
f. Arus pikiran terputus atau mengalami sisipan, berakibat
inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan, atau neologisme
g. Perilaku katatonik, seperti gaduh delisah, posturing, fleksibilitas
cerea, negativism, mutisme, dan stupor
h. Gejala negative, seperti sangat apatis, bicara jarang,respons
emosional menumpul atau tidak wajar, penarikan diri dan
menurunnya kinerja social; tetapi harus jelas bahwa semua hal
tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika
b. Terapi somatik
Antipsikotik (neuroleptic) dibagi dalam dua kelompok berdasarkan
mekanisme kerjanya, yaitu dopamine reseptor antagonist (APG-I) dan
serotonin-dopamine antagonist (APG-II). Obat APG-I berguna terutama
untuk mengontrol gejala positif sedangkan untuk gejala negative hampir
tidak bermanfaat. Obat APG-II bermanfaat baik untuk gejala positif
maupun negative. Standar emasnya adalah APG-II yang efektif dan efek
samping lebih ringan dan dapat digunakan secara aman tanpa
pemantauan jumlah sel darah putih setiap minggu (Amir, 2013).
Pemeriksaan Awal
Antipsikotik cukup aman jika diberikan selama periode waktu yang
cukup singkat. Dalam situasi gawat darurat, klinisi dapat memberikan
obat dengan pengecualian clozapine, tanpa melakukan pemeriksaan
fisik atau labroratorium. Pada pemeriksaan biasa, klinisi harus
mendapatkan hitung darah lengkap dengan indeks sel darah putih, tes
fungsi hati, dan EKG khususnya wanita lebih dari 40 tahun dan laki-laki
lebih dari 30 tahun. Kontraindikasi yaitu riwayat respons alergi yang
serius, kemungkinan pasien telah mengingesti zat yang berinteraksi
dengan antipsikotik yang dapat mendepresi system saraf pusat (alcohol,
opioid, opiate, barbiturate, bezodiazepin, skopolamin), risiko tinggi
kejang, glaucoma sudut tertutup (Sadoch, 2010).