KARSINOMA NASOFARING
Disusun oleh :
ADITIYA KURNIAWAN
NIM. SN171003
3. Etiologi
Penyebab karsinoma nasoaring (KNF) secara umum dibagi menjadi
tiga, yaitu genetik, lingkungan dan virus Ebstein Barr (Martin Dunitz,
2009)
a. Genetik
Perubahan genetik mengakibatkan proliferasi sel-sel kanker secara
tidak terkontrol. Beberapa perubahan genetik ini sebagian besar
akibat mutasi, putusnya kromosom, dan kehilangan sel-sel somatik.
Sejumlah laporan menyebutkan bahwa HLA (Human Leucocyte
antigen) berperan penting dalam kejadian KNF. Teori tersebut
didukung dengan adanya studi epidemiologik mengenai angka
kejadian dari kanker nasofaring. Kanker nasofaring banyak
ditemukan pada masyarakat keturunan Tionghoa.
b. Virus
Pada hampir semua kasus kanker nasofaring telah mengaitkan
terjadinya kanker nasofaring dengan keberadaan virus ini. Virus ini
merupakan virus DNA yang diklasifikasi sebagai anggota famili
virus Herpes yang saat ini telah diyakini sebagai agen penyebab
beberapa penyakit yaitu, mononucleosis infeksiosa, penyakit
Hodgkin, limfoma-Burkitt dan kanker nasofaring. Virus ini
seringkali dijumpai pada beberapa penyakit keganasan lainnya tetapi
juga dapat dijumpai menginfeksi orang normal tanpa menimbulkan
manifestasi penyakit. Virus tersebut masuk ke dalam tubuh dan tetap
tinggal di sana tanpa menyebabkan suatu kelainan dalam jangka
waktu yang lama. Untuk mengaktifkan virus ini dibutuhkan suatu
mediator. Jadi, adanya virus ini tanpa faktor pemicu lain tidak cukup
untuk menimbulkan proses keganasan.
c. Lingkungan
Ikan yang diasinkan kemungkinan sebagai salah satu faktor etiologi
terjadinya kanker nasofaring. Teori ini didasarkan atas insiden
kanker nasofaring yang tinggi pada nelayan tradisionil di Hongkong
yang mengkonsumsi ikan kanton yang diasinkan dalam jumlah yang
besar dan kurang mengkonsumsi vitamin, sayur, dan buah segar.
Faktor lain yang diduga berperan dalam terjadinya kanker nasofaring
adalah debu, asap rokok, uap zat kimia, asap kayu bakar, asap dupa,
serbuk kayu industri, dan obat-obatan tradisional, tetapi hubungan
yang jelas antara zat-zat tersebut dengan kanker nasofaring belum
dapat dijelaskan.
Selain itu faktor geografis, rasial, jenis kelamin, genetik, pekerjaan,
kebiasaan hidup, kebudayaan, sosial ekonomi, infeksi kuman atau
parasit juga sangat mempengaruhi kemungkinan timbulnya tumor
ini. Tetapi sudah hampir dapat dipastikan bahwa penyebab
karsinoma nasofaring adalah virus Epstein-barr, karena pada semua
pasien nasofaring didapatkan titer anti-virus EEB yang cukup tinggi
(Efiaty & Nurbaiti, 2008).
4. Manifestasi Klinis
Karsinoma nasofaring biasanya dijumpai pada dinding lateral dari
nasofaring termasuk fossa rosenmuler. Yang kemudian dapat menyebar
ke dalam ataupun keluar nasofaring ke sisi lateral lainnya dan atau
posterosuperior dari dasar tulang tengkorak atau palatum, rongga hidung
atau orofaring. Metastase khususnya ke kelenjar getah bening servikal.
Metastase jauh dapat mengenai tulang, paru-paru, mediastinum dan hati
(jarang). Gejala yang akan timbul tergantung pada daerah yang
terkena1. Sekitar separuh pasien memiliki gejala yang beragam, tetapi
sekitar 10% asimtomatik. Pembesaran dari kelenjar getah bening leher
atas yang nyeri merupakan gejala yang paling sering dijumpai. Gejala
dini karsinoma nasofaring sulit dikenali oleh karena mirip dengan
infeksi saluran nafas atas.
Gejala klinik pada stadium dini meliputi gejala hidung dan gejala
telinga. Ini terjadi karena tumor masih terbatas pada mukosa nasofaring.
Tumor tumbuh mula-mula di fossa Rosenmuller di dinding lateral
nasofaring dan dapat meluas ke dinding belakang dan atap nasofaring,
menyebabkan permukaan mukosa meninggi. Permukaan tumor
biasanya rapuh sehingga pada iritasi ringan dapat tejadi perdarahan.
Timbul keluhan pilek berulang dengan ingus yang bercampur darah.
Kadang-kadang dapat dijumpai epistaksis. Tumor juga dapat
menyumbat muara tuba eustachius, sehingga pasien mengeluhkan rasa
penuh di telinga, rasa berdenging kadang-kadang disertai dengan
gangguan pendengaran. Gejala ini umumnya unilateral, dan merupakan
gejala yang paling dini dari karsinoma nasofaring. Sehingga bila timbul
berulang-ulang dengan penyebab yang tidak diketahui perlu diwaspadai
sebagai karsinoma nasofaring.
Pada karsinoma nasofaring stadium lanjut gejala klinis lebih jelas
sehingga pada umumnya telah dirasakan oleh pasien, hal ini disebabkan
karena tumor primer telah meluas ke organ sekitar nasofaring atau
mengadakan metastasis regional ke kelenjar getah bening servikal. Pada
stadium ini gejala yang dapat timbul adalah gangguan pada syaraf otak
karena pertumbuhan ke rongga tengkorak dan pembesaran
kelenjarleher. Tumor yang meluas ke rongga tengkorak melalui foramen
laserasum dan mengenai grup anterior saraf otak yaitu syaraf otak III,
IV dan VI. Perluasan yang paling sering mengenai syaraf otak VI
(paresis abdusen) dengan keluhan berupa diplopia, bila penderita
melirik ke arah sisi yang sakit. Penekanan pada syaraf otak V memberi
keluhan berupa hipestesi (rasa tebal) pada pipi dan wajah. Gejala klinik
lanjut berupa ophtalmoplegi bila ketiga syaraf penggerak mata terkena.
Nyeri kepala hebat timbul karena peningkatan tekanan intrakrania.
Metastasis sel-sel tumor melalui kelenjar getah bening
mengakibatkantimbulnya pembesaran kelenjar getah bening bagian
samping (limfadenopati servikal). Selanjutnya sel-sel kanker dapat
mengadakan infiltrasi menembus kelenjar dan mengenai otot
dibawahnya. Kelenjar menjadi lekat pada otot dan sulit digerakkan.
Limfadenopati servikal ini merupakan gejala utama yang dikeluhkan
oleh pasien.
Gejala nasofaring yang pokok adalah :
a. Gejala Telinga
1. Oklusi Tuba Eustachius
Pada umumnya bermula pada fossa Rossenmuller. Pertumbuhan
tumor dapat menekan tuba eustachius hingga terjadi oklusi pada
muara tuba. Hal ini akan mengakibatkan gejala berupa
mendengung (Tinnitus) pada pasien. Gejala ini merupakan
tanda awal pada KNF.
2. Oklusi Tuba Eustachius dapat berkembang hingga terjadi Otitis
Media.
3. Sering kali pasien datang sudah dalam kondisi pendengaran
menurun, dan dengan tes rinne dan webber, biasanya akan
ditemukan tuli konduktif
b. Gejala Hidung
1. Epistaksis; dinding tumor biasanya dipenuhi pembuluh darah
yang dindingnya rapuh, sehingga iritasi ringan pun dapat
menyebabkan dinding pembuluh darah tersebut pecah.
2. Terjadinya penyumbatan pada hidung akibat pertumbuhan
tumor dalam nasofaring dan menutupi koana. Gejala
menyerupai rinitis kronis.
Gejala telinga dan hidung di atas bukanlah gejala khas untuk
Karsinoma Nasofaring, karena dapat ditemukan pada berbagai
kasus pada penyakit lain. Namun jika gejala terus terjadi tanpa
adanya respons yang baik pada pengobatan, maka perlu dicurigai
akan adanya penyebab lain yang ada pada penderita; salah satu di
antaranya adalah KNF.
c. Gejala Mata
Pada penderita KNF seringkali ditemukan adanya diplopia
(penglihatan ganda) akibat perkembangan tumor melalui foramen
laseratum dan menimbulkan gangguan N. IV dan N. VI. Bila terkena
chiasma opticus akan menimbulkan kebutaan.
d. Tumor sign :
Pembesaran kelenjar limfa pada leher, merupakan tanda penyebaran
atau metastase dekat secara limfogen dari karsinoma nasofaring.
e. Cranial sign :
Gejala cranial terjadi bila tumor sudah meluas ke otak dan mencapai
saraf-saraf kranialis. Gejalanya antara lain :
1. Sakit kepala yang terus menerus, rasa sakit ini merupakan
metastase secara hematogen.
2. Sensitibilitas derah pipi dan hidung berkurang.
3. Kesukaran pada waktu menelan
4. Afoni
5. Sindrom Jugular Jackson atau sindroma reptroparotidean
mengenai N. IX, N. X, N. XI, N. XII. Dengan tanda-tanda
kelumpuhan pada: lidah, palatum, faring atau laring, m.
sternocleidomastoideus, m. trapezeus
Pada penderita KNF, sering ditemukan adanya tuli konduktif
bersamaan dengan elevasi dan imobilitas dari palatum lunak serta
adanya rasa nyeri pada wajah dan bagian lateral dari leher (akibat
gangguan pada nervus trigeminal). Ketiga gejala ini jika ditemukan
bersamaan, maka disebut Trotter’s Triad.
5. Komplikasi
Metastasis ke kelenjar limfa dan jaringan sekitar merupakan suatu
komplikasi yang selalu terjadi. Pada KNF, sering kali terjadi komplikasi
ke arah nervus kranialis yang bermanifestasi dalam bentuk :
a. Petrosphenoid sindrom
Tumor tumbuh ke atas ke dasar tengkorak lewat foramen laserum
sampai sinus kavernosus menekan saraf N. III, N. IV, N.VI juga
menekan N.II. yang memberikan kelainan :
1) Neuralgia trigeminus ( N. V ) : Trigeminal neuralgia merupakan
suatu nyeri pada wajah sesisi yang ditandai dengan rasa seperti
terkena aliran listrik yang terbatas pada daerah distribusi dari
nervus trigeminus.
2) Ptosis palpebra ( N. III )
3) Ophthalmoplegia ( N. III, N. IV, N. VI )
b. Retroparidean sindrom
Tumor tumbuh ke depan kearah rongga hidung kemudian dapat
menginfiltrasi ke sekitarnya. Tumor ke samping dan belakang
menuju ke arah daerah parapharing dan retropharing dimana ada
kelenjar getah bening. Tumor ini menekan saraf N. IX, N. X, N. XI,
N. XII dengan manifestasi gejala :
1) N. IX : kesulitan menelan karena hemiparesis otot konstriktor
superior serta gangguan pengecapan pada sepertiga belakang
lidah
2) N. X : hiper / hipoanestesi mukosa palatum mole, faring dan
laring disertai gangguan respirasi dan saliva
3) N XI : kelumpuhan / atrofi oto trapezius , otot SCM serta
hemiparese palatum mole
4) N. XII : hemiparalisis dan atrofi sebelah lidah.
5) Sindrom horner : kelumpuhan N. simpaticus servicalis, berupa
penyempitan fisura palpebralis, onoftalmus dan miosis.
c. Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama getah bening atau darah,
mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang
sering adalah tulang, hati dan paru. Hal ini merupakan hasil akhir
dan prognosis yang buruk. Dalam penelitian lain ditemukan bahwa
karsinoma nasofaring dapat mengadakan metastase jauh, ke paru-
paru dan tulang, masing-masing 20 %, sedangkan ke hati 10 %, otak
4 %, ginjal 0.4 %, dan tiroid 0.4 %.
6. Patofisiologi dan Pathway
Virus Epsteinn-barr adalah virus yang berperan penting dalam
timbulnya kanker nasofaring. Virus yang hidup bebas di udara ini bisa
masuk ke dalam tubuh dan tetap tinggal di nasofaring tanpa
menimbulkan gejala, kanker nasofaring sebenarnya dipicu oleh zat
nitrosamine yang ada dalam daging ikan asin. Zat ini mampu
mengaktifkan virus Epsteinn-barr yang masuk ke dalam tubuh ikan asin,
tetapi juga terdapat dalam makanan yang diawetkan seperti daging,
sayuran dan difermentasi (asinan) serta tauco.
Infeksi EBV terjadi pada dua tempat utama yaitu sel epitel kelenjar
saliva dan sel limfosit. Virus Epstein-Barr bereplikasi dalam sel-sel
epitel dan menjadi laten dalam limfosit B. Mula-mula, glikoprotein
(gp350/220) pada kapsul EBV berikatan dengan protein CD21 (reseptor
virus) di permukaan limfosit B. Masuknya EBV ke dalam DNA limfosit
B menyebabkan limfosit B menjadi imortal. Namun, mekanisme
masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring belum dapat dijelaskan
dengan pasti. Namun demikian, terdapat dua reseptor yang diduga
berperan dalam masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring yaitu
CR2 dan PIGR (Polimeris Imunoglobin Receptor).
Sel yang terinfeksi oleh EBV dapat menimbulkan beberapa
kemungkinan yaitu :
a. Sel yang terinfeksi EBV akan mati dan virus akan bereplikasi
b. EBV yang menginfeksi sel akan mati sehingga sel menjadi normal
kembali
c. Terjadi reaksi antara sel dan virus yang mengakibatkan
transformasi/perubahan sifat sel menjadi ganas sehingga
terbentutlah sel kanker.
Gen EBV yang diekspresikan pada penderita KNF adalah gen laten
yaitu : EBERs, EBNA1, LMP1, LMP2A dan LMP2B
a. Protein EBNA1 berperan dalam mempertahankan virus pada
infeksi laten.
b. Protein transmembran LMP2A dan LMP2B menghambat sinyal
tyrosine kinase yang dipercaya dapat menghambat siklus litik
virus.
c. Protein transmembran LMP1 (gen yang paling berperan dalam
transformasi sel) menjadi perantara sinyal TNF (Tumor Necrosi
Factor) dan meningkatkan regulasi sitokin IL-10 yang
meningkatkan proliferasi sel B dan menghambat respon imun
lokal.
Pathway
7. Stadium
Terdapat beberapa cara untuk menentukan stadium kanker nasofaring.
Di Amerika dan Eropa lebih disukai penentuan stadium sesuai dengan
kriteria yang ditetapkan AJCC / UICC (American Joint Committe on
Cancer / International Union Against Cancer). Cara penentuan
stadium kanker nasofaring yang terbaru adalah menurut AJCC/UICC
edisi ke-6 tahun 2002, yaitu:
Tumor di nasofaring (T)
Tx Tumor primer tidak dapat ditentukan
To Tidak ditemukan adanya tumor primer
Tis Carcinoma in situ
T1 Tumor terbatas di nasofaring
T2 Tumor meluas ke jaringan lunak
T2a Tumor meluas sampai daerah orofaring dan/atau fossa nasalis tanpa perluasan
ke depan parafaring
T2b Dengan perluasan ke parafaring
T3 Tumor menginvasi struktur tulang dan/atau sinus paranasal
T4 Tumor meluas ke intrakranial dan/atau mengenai saraf kranial, fossa
infratemporal, hipofaring, orbita, atau ruang mastikator
Kelenjar limfe regional (N)
Nx Pembesaran KGB regional tidak dapat ditentukan
No Tidak ada pembesaran KGB regional
N1 Metastasis ke KGB unilateral, ukuran ≤ 6 cm, terletak di atas fossa
supraklavikula
N2 Metastasis ke KGB bilateral, ukuran ≤ 6 cm, terletak di atas fossa
supraklavikula
N3 Metastasis ke KGB:
N3a : Ukuran KGB > 6 cm, di atas fossa supraklavikula
N3b : Terletak pada fossa supraklavikula
Metastasis jauh (M)
Mx Adanya metastasis jauh tidak dapat ditentukan
Mo Tidak ada metastasis jauh
M1 Ada metastasis jauh
B. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Kaji identitas klien, nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan, agama,
tanggal masuk rumah sakit, diagnosa medis tentang penyakit yang
diderita serta alamat klien.
2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan Utama
Terdapatnya benjolan berupa tumor ganas daerah kepala dan leher.
b. Riwayat Kesehatan Sekarang
Klien sering mengalami pembengkakan atau benjolan pada leher
berupa tumor ganas yang terasa nyeri dan sulit untuk digerakkan.
c. Riwayat Kesehatan Dahulu
Kaji riwayat kesehatan yang dapat memperparah penyakit seperti
lingkungan yang berpengaruh seperti iritasi bahan kimia, asap
sejenis kayu tertentu. Kebiasaan memasak dengan bahan atau
bumbu masak tertentu dan kebiasaan makan makanan yang terlalu
panas serta makanan yang diawetkan ( daging dan ikan). Penyakit
yang pernah di derita klien pada masa lalu.
d. Riwayat Kesehatan Keluarga
Kaji riwayat penyakit keturunan, seperti faktor herediter atau
riwayat kanker pada keluarga misal ibu atau nenek dengan riwayat
kanker.
e. Dasar data pengkajian klien
1. Aktivitas/istirahat
Gejala : kelemahan dan atau keletihan, perubahan pada pola
istirahat dan jam kebiasaan tidur pada malam hari, adanya
faktor-faktor yang mempengaruhi tidur missal : nyeri, ansietas,
berkeringat malam.
2. Sirkulasi
Akibat metastase tumor terdapat palpitasi, nyeri dada,
penurunan tekanan
3. Integritas ego
Faktor stres, masalah tentang perubahan penampilan,
menyangkal diagnosis, perasaan tidak berdaya, kehilangan
kontrol, depresi, menarik diri, marah.
4. Eliminasi
Perubahan pola defekasi konstipasi atau diare, perubahan
eliminasi urin, perubahan bising usus, distensi abdomen.
5. Neurosensori
Gejala : gangguan pendengaran dan penghidu, adanya pusing,
sinkope.
6. Nyeri atau kenyamanan
Rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri telinga
(otalgia), rasa kaku di daerah leher karena fibrosis jaringan
akibat penyinaran. Gejala : nyeri terjadi pada bagian
nasofaring, terasa panas.
7. Pernapasan
Gejala : adanya asap pabrik atau industry
Tanda : pada pemeriksaan penunjang dapat terlihat adanya
sumbatan seperti massa.
8. Keamanan
Pemajanan pada kimia toksik, karsinogen, pemajanan matahari
lama atau berlebihan, demam, ruam kulit.
9. Makanan atau Cairan
Gejala : anoreksia, mual atau muntah, intoleransi makanan
Tanda : mulut rasa kering, perubahan berat badan,
perubahan pada kelembaban atau turgor kulit.
10. Interaksi sosial
Ketidakadekuatan atau kelemahan sistem pendukung
f. Pemeriksaan Fisik
1. Inspeksi : Wajah, mata, rongga mulut dan leher. Bagian leher
terdapat benjolan, terlihat pada benjolan warna kulit
mengkilat.
2. Palpasi : saat dipalpasi adanya massa yang besar, selain itu
terasa nyeri apabila ditekan.
3. Pemeriksaan THT
1. Otoskopi : Liang telinga, membran timpani.
2. Rinoskopia anterior, yaitu :
a. Pada tumor endofilik tak jelas kelainan di rongga
hidung, mungkin hanya banyak sekret.
b. Pada tumor eksofilik, tampak tumor di bagian
belakang rongga hidung, tertutup sekret
mukopurulen, fenomena palatum mole negatif.
3. Rinoskopia posterior, yaitu :
a. Pada tumor indofilik tak terlihat masa, mukosa
nasofaring tampak agak menonjol, tak rata dan
paskularisasi meningkat.
b. Pada tumor eksofilik tampak masa kemerahan.
4. Faringoskopi dan laringoskopi, yaitu :
a. Kadang faring menyempit karena penebalan jaringan
retrofaring; reflek muntah dapat menghilang.
5. X – foto : tengkorak lateral, dasar tengkorak, CT Scan.
3. Diagnosa Keperawatan
1) Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sekresi
berlebihan
2) Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik (pembedahan)
3) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan intake nutisi in adekuat, anoreksia, mual
muntah sekunder akibat kemoterapi radiasi
4) Gangguan sensori persepsi berhubungan dengan gangguan status
organ sekunder metastase tumor
5) Risiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan penurunan
imunologi, dan efek radiasi kemoterapi
6) Risiko infeksi berhubungan dengan tindakan infasive, imunitas
tubuh menurun
7) Kurang pengetahuan tentang penyakit dan perawatannya
berhubungan dengan misintepretasi informasi, ketidak familiernya
sumber informasi.
8) Resiko aspirasi berhubungan dengan inefektif reflek menelan
9) Defisit self care berhubungan dengan kelemahan
10) Gangguan harga diri rendah berhubungan dengan efek samping
radioterapi (kehilangan rambut) dan perubahan gaya hidup
4. Rencana Keperawatan
NO DIAGNOSA TUJUAN INTERVENSI
1 Bersihan jalan nafas Setelah dilakukan asuhan 1. Airway (Manajemen Jalan Nafas)
tidak efektif b.d keperawatan…………jam a. Bebaskan jalan nafas
b. Posisikan klien untuk
sekresi berlebihan diharapkan terjadi
memaksimalkan ventilasi
kepatenan jalan nafas pada c. Identifikasi apakah klien
status respirasi pasien membutuhkan insertion airway
d. Jika perlu, lakukan terapi fisik
dengan kriteria hasil :
(dada)
1. Tidak ada panas e. Auskultasi suara nafas, catat
2. Cemas tidak ada daerah yang terjadi penurunan
3. Obstruksi tidak ada atau tidak adanya ventilasi
4. Respirasi dalam batas f. Berikan bronkhodilator, jika perlu
normal 16-20x/mnt g. Atur pemberian O2, jika perlu
5. Pengeluaran sputum h. Atur intake cairan agar seimbang
dari jalan nafas i. Atur posisi untuk mengurangi
6. Paru bersih dyspnea
j. Monitor status pernafasan dan
oksigenasi
2. Administrasi Analgetik
a. Cek riwayat alergi
b. Cek program pemberian analgetik
(jenis, dosis, dan frekuensi)
c. Monitor TTV sebelum dan
sesudah pemberian analgetik.
d. Berikan analgetik tepat waktu
terutama saat nyeri muncul
e. Evaluasi efektifitas analgetik,
tanda dan gejala efek samping
2. Monitor Nutrisi
a. Monitor BB setiap hari jika
memungkinkan
b. Monitor respon klien terhadap
situasi yang mengharuskan klien
makan
c. Monitor lingkungan selama
makan dengan kontrol faktor bau
dan panadangan yang tidak sedap,
dll
d. Jadwalkan pengobatan dan
tindakan tidak bersamaan dengan
waktu klien makan
e. Monitor adanya mual muntah
f. Monitor adanya gangguan dalam
proses mastikasi/input makanan
misalnya perdarahan, bengkak
dsb
g. Monitor intake nutrisi dan kalori
h. Ukur TB, BB dan ketebalan kulit
trisep (pengukuran antropometri)
9 Defisit self care b/d Setelah dilakukan asuhan 1.Bantuan Perawatan Diri
kelemahan keperawatan…………jam a. Monitor kemampuan pasien
diharapkan klien mampu terhadap perawatan diri
b. Monitor kebutuhan akan personal
melakukan Perawatan diri
hygiene, berpakaian, toileting dan
Self care : Activity Daily makan
Living (ADL) dengan c. Beri bantuan sampai klien
mempunyai kemapuan untuk
criteria hasil :
merawat diri
1. Pasien dapat melakukan d. Bantu klien dalam memenuhi
aktivitas sehari-hari kebutuhannya
(makan, berpakaian, e. Anjurkan klien untuk melakukan
kebersihan, toileting, aktivitas sehari-hari sesuai
ambulasi) kemampuannya
2. Kebersihan diri pasien f. Pertahankan aktivitas perawatan
terpenuhi diri secara rutin
g. Evaluasi kemampuan klien dalam
memenuhi kebutuhan sehari-hari
h. Berikan reinforcement atas usaha
yang dilakukan dalam melakukan
perawatan diri sehari hari.