Perbedaan mendasar model pendampingan paska ditetapkannya UU Desa adalah ada tuntutan
terhadap para Pendamping Desa untuk mampu melakukan transformasi sosial dengan mengubah
secara mendasar pendekatan “kontrol dan mobilisasi” pemerintah terhadap desa” menjadi pendekatan
“pemberdayaan masyarakat desa”. Masyarakat desa dan pemerintah desa sebagai satu kesatuan self
governing community diberdayakan untuk mampu hadir sebagai komunitas mandiri. Dengan
demikian, desa-desa didorong menjadi subyek penggerak pembangunan Indonesia dari pinggiran,
sehingga mampu merealisasikan salah satu agenda strategis prioritas Pemerintahan Jokowi-JK
yaitu
Tugas pokok Pendamping Desa yang utama adalah mengawal implementasi UU Desa dengan
memperkuat proses pelaksanaan pemberdayaan masyarakat desa.
Pendampingan Desa yang secara khusus dibiayai oleh Pemerintah pada tahun anggaran 2015 dan
ditempatkan di wilayah kabupaten/kota adalah pendamping Desa dan pendamping Teknis.
Pendamping Desa berkedudukan di kecamatan dan dapat ditempatkan di ibukota kecamatan, desa
dan/atau antar desa. Pendamping Desa dapat berkualifikasi sarjana dan berkualifikasi lulusan sekolah
menengah atas (SMA) atau yang sederajat. Pendamping Desa berkualifikasi lulusan SMA disebut
dengan istilah Pendamping Lokal Desa (PL Desa) seluruhnya berkompetensi pemberdayaan
masyarakat.
Pendamping Desa berkualifikasi sarjana yang selanjutnya disebut dengan istilah Pendamping Desa
dibagi menjadi dua jenis kompetensi pendampingan yaitu kompentensi pemberdayaan masyarakat
desa dan kompetensi teknik sipil. Selanjutnya, Pendamping Desa berkualifikasi sarjana disebut
dengan istilah Pendamping Desa.
Rincian tugas, kerangka kerja dan output pendamping desa dan pendamping teknis adalah sebagai
berikut:
Kewenangan desa dikelola dalam tata pemerintahan desa yang demokratis dengan bertumpu pada
empat komponen utama yaitu: musyawarah desa, pemerintah desa, Badan Permusyawaratan Rakyat
(BPD) dan masyarakat desa. Pemerintahan desa merupakan “bejana kuasa rakyat”, sehingga
kewenangan desa sejatinya menjadi kewenangan rakyat yang ditopang oleh adanya kebersamaan,
kekeluargaan, dan kegotongroyongan dalam bingkai pengarusutamaan perdamaian dan keadilan
sosial.
Hal penting yang harus dicermati dalam Tata Kelola Desa yang Demokratis adalah disebutkannya
dalam Pasal 54 UU Desa bahwa Musyawarah Desa merupakan forum permusyawaratan yang diikuti
oleh Badan Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat Desa untuk
memusyawarahkan dan menyepakati hal yang bersifat strategis dalam penyelenggaraan
Pemerintahan Desa.
Hal yang bersifat strategis yang dimusyawarahkan di dalam musyawarah desa meliputi: penataan
Desa; perencanaan Desa; kerja sama Desa; rencana investasi yang masuk ke Desa; pembentukan
BUM Desa; penambahan dan pelepasan Aset Desa; dan kejadian luar biasa. Musyawarah Desa ini
diselenggarakan oleh Badan Permusyawaratan Desa dan diikuti oleh Pemerintah Desa dan unsur
masyarakat yaitu antara lain: tokoh adat; tokoh agama; tokoh masyarakat; tokoh pendidikan;
perwakilan kelompok tani; kelompok nelayan; kelompok perajin; kelompok perempuan; dan
kelompok masyarakat miskin.
Dalam rangka mewujudkan desa sebagai self governing community, fokus kerja Pendampingan Desa
diarahkan pada proses kaderisasi masyarakat desa. Pemberdayaan Masyarakat Desa adalah sebuah
bagian dari proses transformasi sosial yang digerakkan oleh kader-kader desa yaitu warga desa yang
dengan kebebasannya memilih untuk secara sukarela terlibat menjadi penggerak pembangunan dan
pemberdayaan masyarakat di desanya. Kader desa adalah orang kunci yang mengorganisir dan
memimpin rakyat desa bergerak menuju pencapaian cita-cita. Kader Desa hadir sebagai pemimpin
Desa, para penggerak pembangunan Desa, tokoh-tokoh masyarakat, pengelola organisasi
kemasyarakatan yang ada di desa, kader-kader perempuan, maupun para pemuda yang yang akan
menjadi generasi penerus di desanya. Pendamping Desa memfasilitasi d an mendampingi warga desa
untuk bersama-sama merekrut, melatih dan membentuk kader-kader desa.