Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Blakang Masalah

Masalah judi adalah masalah yang menyangkut kehidupan masyarakat (walau tidak
seluruhnya), dan jika tidak ditangani dengan serius akan dapat menimbulan berbagai
masalah spiritual, sosial, keamanan baik untuk pribadi pelaku maupun berdampak kepada
lingkungan sosial yang lebih luas.

Di Bali judian dalam bentuk sabungan ayam, sejak jaman Bali Kuno (abad ke 8 Masehi)
telah dikenal. Penjelasan tersebut dapat dijumpai dalam prasasto Sukawana A.I, berangka
tahun 804 Śaka (882 M), pada prasasti itu dikenal dengan istilah “blindarah”. Pada
prasastri Abang A berangka tahun 933 Śaka (1011 M) disebutkan tiga “sehet”
(makantang tlung prahatan) dan tidak perlu minta ijin kepada pemerintah. Selanjutnya
pada prasasti Batuan tahun 944 Śaka (1022 M) disebutkan bila mengadu ayam di tempat
suci, tiga sehet tidak dikenakan pajak (I B.Purwita, 1978: 9). Namun kini di lingkungan
masyarakat Bali telah terjadi pergeseran dari ritual yang bersifat sakral, berubah
menjadi judi dengan dalih “tabuh rah”.

2. Rumusan Masalah
1) Apa itu pengertian tajen?
2) Apa keterkaitan tajen dengan agama?
3) Adakah sumber sastra yang berhubungan dengan tajen?
4) Bagaimana realitas tajen pada saat ini?
5) Bagaimanakah solusi mengatasi masalah tajen pada era globalisasi

3. Manfaat Penulisan
1) Untuk penulis:
Dapat menambah pengetahuan tentang seluk-beluk tajen dalam tradisi yadnya.
2) Untuk pembaca:
Dapat menambah wawasan pembaca tentang keberadaan tajen di masyarakat
hindu.

4. Tujuan Penulisan:
1) Untuk mengetahui pengertian tajen
2) Untuk mengetahui keterkaitan tajen dengan agama

1
3) Untuk mengetahui sumber sastra yang berhubungan dengan tajen
4) Untuk mengetahui realitas tajen pada saat ini
5) Untuk mengetahui solusi untuk mengatasi masalah tajen pada era globalisasi

BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN TAJEN

Tajen adalah suatu permainan adu ayam atau sabung ayam dengan mengikatkan taji
pada kaki ayam itu serta mengadunya, sebagai salah satu bentuk hiburan yang disertai
taruhan uang.Taruhan uang itu sendiri adalah judi atau dyuta, sedang menyebabkan
matinya ayam/mahluk utnuk kesenangan semata-mata didalam ajaran Agama
2
Hindu dinamai Himsa Karma yang tidak baik dilakukan oleh setiap orang yang
berusaha untuk mengamalkan Dharma.

Tabuh Rah atau tabuh getih adalah taburan darah binatang utnuk persembahan
dalam upacara Agama (Panca Yadnya) sebagaimana yang telah ditetapkan
dalam Tattwa-Tattwa tentang mpulutuk bebanten (sesaji) dan beberapa Prasasti Bali
Kuno. Tentang Tabuh Rah ini sesungguhnya rakyat telah memaklumi dan
melaksanakan sebagaimana mestinya, akan tetapi kadangkala pengertian Tabuh Rah
disamakan saja dengan pengertian Tajen, sehingga lama-kelamaan sukar dibedakan
mana yang Tabuh Rah dan mana yang disebut Tajen.
Sabung ayam atau tajen nyaris tak dapat dilepaskan dari kehidupan orang Bali-Hindu.
Adanya larangan tajen kerena sering dikaitkan dengan judi sejak tahun 1981, dimana
acara tajen tak lagi dilakukan secara terbuka di wantilan yaitu bangunan tradisonal
yang umum yang terdapat di desa. Acara tajen kemudian dilakukan secara sembunyi-
sembunyi oleh warga Bali. Namun Belakangan, sejak era reformasi acara tajen
dilakukan untuk penggalangan dana.

Acara tajen di Bali sudah dikenal sejak zaman majapahit, konon tajen sangat dekat
dengan tradisi tabuh rah.Sehingga tajen dianggap sebuah proyeksi profan dari salah
satu upacara yadnya di Bali yang bernama tabuh rah. Tabuh rah merupakan sebuah
upacara suci yang dilangsungkan sebagai kelengkapan saat upacara macaru atau
bhuta yadnya. Upacara tabuh rah biasanya dilakukan dalam bentuk adu ayam, sampai
salah satu ayam meneteskan darah ke tanah.

Darah yang menetes ketanah dinggap sebagai yadnya yang dipersembahkan kepada
bhuta, lalu pada akhirnya binatang yang dijadikan yadnya tersebut dipercaya akan
mengalami proses peningkatan jiwa pada reinkarnasi selanjutnya menjadi binatang
lain dengan derajad lebih tinggi atau manusia.

B. KETERKAITAN TAJEN DENGAN AGAMA

Banyak sekali persepsi masyarakat Bali-Hindu yang memandang bahwa tajen


merupakan, budaya yang tidak bisa dipisahkan dengan tatanan kehidupan masyarakat
Bali, dan ada juga yang memberikan pandangan tajen merupakan persayaratan dari
yadnya. Memang tidak bisa dipungkiri dari sudut pandang berbagai kalangan
masyarakat Bali mengenai tajen antara budaya dan yadnya (agama) merupakan satu
kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainya. Bila kita amati apabila ada
upacar-upacara yadya disuatu daerah atau banjar-banjar di Bali, tajen tak lepas dari
kegiatan tersebut, karena tajen merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dari
sebuah upacara, meskipun terkadang orientasinya bukan hanya sekedar upacara
3
namun dijadikan sebagai wadah hiburan oleh masyarakat Bali dan identik dengan
sebuah taruhan sebagi bumbu-bumbu untuk lebih menarik.

Secara logika sebenarnya tabuh rah tidak sama dengan tajen. Tabuh rah adalah
bagian dari upacara agama khususnya dalam upacara pacaruan (bhuta yadya). Setelah
berabad-abad dimana seiring perubahan pola pikir manusia dan budaya tabuh rah
mengalami pergeseran makna dan tujuannya menjadi tajen.

Sedangkan tajen yang kita kenal di msyarakat sekarang ini adalah tajen yang
bernuansa judi dan menjadi sebuah taruhan dengan menggunakn materi atau uang,
sehingga tajen yang sekarang dilakukan masyarakat Bali merupakan perjudian murni
bukan yadnya. Namun, tajen memiliki satu-kesatuan sudut pandang dari masyarakat
bahwa aktivitas tersebut masih merupakan bagian dari yadnya dan budaya yang ada
sejak terdahulu.

C. SASTRA YANG BERHUBUNGAN DENGAN TAJEN

tertera dalam Manawa Dharmasastra V.45, yaitu “Yo’himsakaani bhuutani hina.


Tyaatmasukheashayaa, sa jiwamsca mritascaiva na, Kvacitsukhamedhate” artinya:
“Ia yang menyiksa mahluk hidup yang tidak berbahaya dengan maksud untuk
mendapatkan kepuasan nafsu untuk diri sendiri, orang itu tidak akan pernah
merasakan kebahagiaan . Ia selalu berada dalam keadaan tidak hidup dan tidak pula
mati.”

Selain itu masih dalam kitab suci Manawa Dharmasastra Buku IX (Atha Nawano
Dyayah) sloka 221 sampai 228 dengan jelas menyebutkan adanya larangan
mengenai judi. Sloka 223 membedakan antara perjudian dengan pertaruhan.
Bila objeknya benda-benda tak berjiwa disebut perjudian. Misalnya uang, mobil,
tanah dan rumah. Sedangkan bila objeknya mahluk hidup disebut pertaruhan.
Misalnya, binatang peliharaan,manusia, bahkan istri sendiri.

Seperti yang dilakukan oleh panca pandawa dalam epos Bharata Yudha ketika Dewi
Drupadi yang dijadikan objek pertaruhan melawan Korawa.

D. REALITAS TAJEN PADA SAAT INI

Dari jaman dulu tajen sulit dipisahkan dari masyarakat Bali, karena selalu dikaitkan
dengan upacara agama. Tajen merupakan bagian dari acara ritual keagamaan tabuh
rah atau perang sata dalam masyarakat Hindu di Bali. Yang mana tabuh rah ini
mempersyaratkan adanya darah yang menetes sebagai symbol/syarat menyucikan
umat manusia dari keserakahan terhadap nilai-nilai materialistis dan duniawi. Tabuh
rah juga bermakna sebagai upacara ritual Bhuta Yadnya yang mana darah yang
menetes ke bumi disimbolkan sebagai permohonan umat manusia kepada Ida Sang
Hyang Widhi Wasa agar terhindar dari marabahaya.
4
Tetapi, pada era globalisasi ini bagi sebagian besar orang tajen telah dijadikan sebagai
media mengadu nasib untuk mengadu keberuntungan. Tetapi banyak juga yang
menjadikan tajen sebagai sarana hiburan khususnya bagi kalangan yang berduit
karena mereka ke tajen hanya untuk mencari kesenangan saja dan sama sekali bukan
untuk mencari kemenangan dalam bentuk uang. Jika dilihat saat ini tajen tidak lagi
sesuai dengan realitas jaman dulu yang menganggap tajen sebagai sebuah ritual
dalam upacara agama yang disebut dengan tabuh rah. Namun sekarang tajen lebih
identik dengan judi yang menyebabkan berbagai pergeseran moral dalam masyarakat.

Pergeseran moral yang dimaksud dalam masyarakat ini seperti, banyak masyarakat
yang jatuh miskin sampai-sampai ada yang menjual tanahnya untuk bias bermain
tajen. Kejahatan seperti perkelahian, kerusuhan, KDRT pun sering terjadi akibat
adanya tajen. Seperti, yang terjadi di masyarakat Bali saat ini, banyak para ibu rumah
tangga yang mengalami kekerasan oleh sang suami. Ini disebabkan karena sang suami
yang sering ke tajen mengalami kekalahan dan akhirnya dilampiaskan di rumah
terutama kepada sang istri. Pelampiasan ini dapat berupa tekana psikologis,
pemukulan dan sebagainya. Bahkan kekerasan dalam rumah tangga ini sampai
merembet ke keluarga sang istri yang tidak terima oleh perlakuan sang suami.
Akhirnya pertengkaran antar dua pihak keluarga pun bias terjadi.

Fakta lainnya, tajen menyebabkan beberapa anggota masyarakat menjual tanahnya.


Namun apa daya, uang hasil penjulan yang seharusnya dapat lebih bermanfaatmalah
dihabiskan di arena tajen. Akhirnya uang yang diharapkan bisa membuat si bebotoh
9orng yang bermain tajen) menjadi kaya tersebut malah sebaliknya, membuat ia
mengalami kemiskinan. Masalah seperti ini, mungkin terjadi karena hobi seseorang
terhadap bermain tajen yang terlalu berlebihan atau keren aberhutang yang cukup
besar kepada salah satu temannya saat bermain tajen.

Tajen juga menyebakan perkelahian atau kerusuhan antar dua kelompok banjar
bahkan desa. Ini bisa terjadi, karena masyarakat yang bermain tajen dalam satu arena
tersebut bukan cuma dri satu banjar atau desa saja bahkan dari lain banjar atau desa.
Hal-hal seperti ini harus segera disadari oleh masyarakat maupun pemerintah.
Masyarakat perlu mengingat kembali bahwa sebenarnya tajen/judi itu tidak baik bagi
siapapun yang melakukannya. Karena agama manapun tidak ada yang mengajari judi
tersebut. Pemerintah pun harus segera mengantisipasi atau membuat peraturan untuk
melarang adanya tajen yang sudah kelewatan batas ini. Dengan begitu, pergeseran
moral masyarakat yang disebabkan oleh adanya tajen tersebut bisa diminimalisir dan
tidak akan ada lagi.

E. SOLUSI UNTUK MENGATASI MASALAH TAJEN PADA ERA


GLOBALISASI

Pemerintah Bali harus mulai memikirkan cara memanfaatkan budaya yang satu ini dengan
baik agar terhindar dari pengaruh negatif. Tajen memiliki nilai positif dan hal-hal yang harus

5
digali dan dioptimalkan oleh pemerintah seperti mengubah tajen yang kerap diwarnai dengan
judi dijadikan tajen atraksi yang bernilai budaya, sportivitas Bali, dan permainan khas Bali
yang akan menarik perhatian dan memajukan pariwisata Bali.

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian itu dapat kami simpulan, bahwa tajen merupakan bias dari
konsep tabuh rah. Sebagai suatu game yang mengandung spikulasi dan harapan
untung rugi, tajen hendaknya dikembalikan kepada konsepsi dasar, yaitu tabuh
rah – sebuah sarana persembahan kepada Tuhan dalam rangka memelihara
hubungan harmonis dengan tuhan, alam, dan manusia. Artinya, saat ini telah
terjadi pergeseran makna sabungan ayam pada masyarakat Bali, dari memenuhi
fungsi ritual, sosial, emosional ke arah fungsi spekualisi dan judi.

Maraknya tajen tidak harus diikuti dengan usaha melegalkan permainan itu,
melainkan memberi pembobotan yang padat dan berisi kepada setiap orang Bali
(umat) yang memiliki banyak waktu luang. Pembobotan kepada setiap umat,
diharapkan tidak akan mengalihkan perhatian terhadap hal semacam itu, tetapi

6
juga akan memberikan proses pencerahan, untuk selanjutnya digunakan bekal
masuk dalam setting global yang sebentar lagi menghadang di hadapan kita.
Upaya perlawanan dengan hukum positif rupanya juga bukan jalan keluar yang
memuaskan karena basis budaya berdasarkan berpikir pola dua mengendapkan
persaingan, pertikaian, dan konflik adalah kodrati. Di dalamnya diperlukan upaya
bersama semua pihak dan terus-menerus karena upaya menekan tajen pada tataran
pelarangan akhirnya, mendapat reaksi yang sepadan. Dengan kenyataan ini patut
dipertimbangkan sebuah penelusuran terhadap akar budaya masyarakat
sebagaimana tampak dalam ritual-ritual keagamaan. Dengan demikian orang Bali
yang berbudaya dan berciri Hindu tetap survive dalam pertarungan global.

B. SARAN

Setelah membuat makalah ini diharapkan masyarakat Hindu di Bali agar


memahami peran tajen sebagai rangkaian upacara yadnya dan tidak di salah
gunakan ke arah yang berbau perjudian.

Anda mungkin juga menyukai