Nim : A31116037
Minggu ke-1
Penghasilan yang bersifat final, adalah Pajak Penghasilan yang tidak dapat dikredit pajak
PPh pasal 21 final dan PPh pasal 4 ayat 2 final. Pajak Penghasilan pasal 4 ayat 2 final adalah
pajak yang dipotong atas beberapa jenis penghasilan yang ketetapannya berdasarkan peraturan
pemerintah sebagaimana diatur dalam pasal 4 ayat 2 final UU PPh,yang bersifat final, seperti
bunga dan deposito lainnya, hadiah atas undian, sewa tanah dan bangunan dari transaksi
Pajak Penghasilan pasal 4 ayat 2 sangat penting peranannya dalam perusahaan. Dalam
prosedur pemotongan, penyetoran dan pelaporan ini dilakukan berdasarkan permohonan wajib
pajak (perusahaan) kepada Kantor Pelayanan Pajak yang penghasilannya dipungut dari
transaksi yang dilakukan dengan perusahaan lain, yang selanjutnya akan diproses atau ditindak
Pencatatan dalam Pajak Penghasilan pasal 4 ayat 2 sangat penting peranannya dalam
perusahaan karena dari analisis di gunakan oleh pihak intern, maupun ekstern perusahaan
untuk mengetahui jumlah peredaran atau penerimaan penghasilan bruto serta penghasilan
yang dikenakan PPh final sehingga bisa dihitung besarnya pajak yang terutang, serta dapat
menggambarkan jumlah peredaran / penerimaan bruto dari masing-masing jenis usaha atau
tempat usaha yang bersangkutan, diantaranya dari hasil penyewaan tanah kepada perusahaan
lain, transaksi penjualan saham serta penghasilan yang didapat dari jasa konstruktif
Contohnya :
Agus Hidayat menjalankan usaha bengkel reparasi motor sekaligus menjual suku
cadangnya. Agus Hidayat yang telah terdaftar sebagai Wajib Pajak sejak tahun 2009 memiliki 2
(dua) buah bengkel yang berada di wilayah yang berbeda, yakni bengkel A terdaftar di Kantor
Pelayanan Pajak (KPP) X dan bengkel B terdaftar di KPP Y. Berdasarkan pencatatannya selama
tahun 2013 masing-masing bengkel tersebut memiliki peredaran bruto sebagai berikut:
Peredaran bruto yang dijadikan dasar penentuan tarif PPh yang bersifat final adalah
jumlah peredaran bruto bengkel A dan bengkel B yakni sebesar Rp250.000.000,00 (dua ratus
lima puluh juta rupiah). Karena total peredaran, bruto selama tahun 2013 kurang dari
Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) maka atas penghasilan dari usaha
yang diterima oleh Agus Hidayat pada tahun 2014 dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final
Misalkan pada bulan Januari 2014, Agus Hidayat memperoleh peredaran bruto dari
bengkel A sebesar Rp10,000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan dari bengkel B sebesar
Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), maka paling lambat pada tanggal 17 Februari 2014
(karena tanggal 15 Februari jatuh pada hari Sabtu), Agus Hidayat wajib menyetorkan PPh yang
PPh = 1% x Rp10.000.000,00
b. Bengkel B
PPh = 1% x R15.000.000,00
Pada bulan Maret 2013 sebuah perusahaan swasta bernama PT Amira Ekspedisi melakukan
perawatan dan reparasi 5 (lima) motor milik perusahaan tersebut di bengkel A milik Agus
Hidayat. Tagihan yang dibuat kepada PT Amira Ekspedisi atas jasa perawatan dan reparasi
tersebut adalah sebesar Rp1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah). Atas tagihan tersebut
Rp30.000,00.
Namun demikian, jika Agus Hidayat telah mendapatkan Surat Keterangan Bebas dari
pemotongan dan/atau pemungutan PPh yang dikeluarkan oleh KPP X, atas pembayaran tagihan
Nim : A31116037
Minggu ke-2
PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) adalah besarnya penghasilan yang menjadi batasan
tidak kena pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, dengan kata lain apabila penghasilan netto
Wajib Pajak Orang Pribadi yang menjalankan usaha dan/atau pekerjaan bebas jumlahnya
dibawah PTKP tidak akan dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25/29 dan apabila berstatus
sebagai pegawai atau penerima penghasilan sebagai objek PPh Pasal 21, maka penghasilan
Besarnya penghasilan tidak kena pajak (PTKP) untuk Tahun Pajak 2017 dan 2016 sebagai
berikut :
Rp. 54.000.000,00 (lima puluh empat juta rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;
Rp. 4.500.000,00 (empat juta lima ratus ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang
kawin;
Rp. 54.000.000,00 (lima puluh empat juta rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang
Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan;
Rp. 4.500.000,00 (empat juta lima ratus ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota
keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat,
yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap
keluarga.
PTKP ini mulai berlaku pada masa Januari Tahun Pajak 2016 bagi Wajib Pajak Orang
Pribadi dalam menjalankan kewajiban PPh Pasal 21 dan PPh Orang Pribadi
Penerapan PTKP Dalam Perhitungan PPh Pasal 21 Dan PPh Orang Pribadi Tahun Pajak 2017
dan 2016
Penerapan ketentuan tersebut ditentukan oleh keadaan pada awal tahun pajak atau
Contoh :
PTKP Tuan Aditya Tahun 2016 adalah dengan status Kawin anak 1 (satu).
Tanggal 1 Pebruari Tahun 2017 Isteri Tuan Aditya melahirkan anak laki-laki sehingga
PTKP Tuan Aditya Tahun Pajak 2017 adalah tetap status Kawin anak 1 (satu).
Penerapan PTKP Tahun Pajak 2017 dan 2016 untuk satu tahun :
Wajib Pajak
kawin &Wanita)
Penjelasan :
Status Wanita meskipun sudah kawin tetap mempunyai PTKP tidak kawin kecuali dapat
54.000.000 + 4.500.000)
4.500.000)
4.500.000 + 4.500.000)
Penjelasan Isteri Bekerja pada lebih dari satu pemberi kerja atau usaha :
PTKP untuk isteri yang bekerja pada satu pemberi kerja tidak digabung dengan suami,
yang digabung dengan PTKP suami hanya yang bekerja pada lebih dari satu pemberi kerja
dan/atau isteri yang memiliki usaha (penghasilan digabung dengan penghasilan suami)
54.000.000+ 4.500.000)