Anda di halaman 1dari 26

4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pemeriksaan Crossmatching (Uji Cocok Serasi)


A. Definisi
Menurut definisi, crossmatching atau yang biasa dikenal sebagai tes
kompatibilitas merupakan sebuah pemeriksaan darah yang dilkukan untuk
menetapkan kompatibilitas dari donor dan penerima darah. Pemeriksaan ini
merupakan uji deteksi antibodi terbaik yang tersedia untuk menghindari
reaksi transfusi mematikan sehingga dilakukan sebelum melakukan transfusi
darah dan apabila terjadi reaksi transfusi darah.
Sedangkan menurut Dra. Lisawati dari Universitas Andalas, Sumatra
Barat, mengatakan bahwa pemeriksaan crossmatching (uji cocok serasi)
adalah pemeriksaan kecocokan darah antara darah pasien dengan darah
penyumbang darah yang sesuai golongan ABO dan Rhesusnya, darah yang
diberikan pada penderita adalah darah yang cocok serasi (compatible) .
Reaksi silang adalah suatu jenis pemeriksaan yang dilakukan sebelum
pelaksanaan transfusi darah. Tujuannya adalah untuk melihat apakah darah
dari pendonor cocok dengan penerima (resipien) sehingga dapat mencegah
terjadinya reaksi transfusi hemolitik. Selain itu juga untuk konfirmasi
golongan darah.

B. Tujuan dan Manfaat


Berdasarkan tujuan pemeriksaan, reaksi yang ditimbulkan dari
pemeriksan ini bertujuan untuk mencari tahu apakah darah donor yang akan
ditransfusikan itu nantinya akan dilawan oleh serum pasien didalam tubuhnya
atau adakah plasma donor yang turut ditransfusikan akan melawan sel pasien
didalam tubuhnya sehingga akan memperberat keadaan anemia serta untuk
mengetahui kemungkinan adanya reaksi hemolytic transfusi yang dapat
membahayakan pasien.

4
5

C. Kategori Cross Match


1. Cross Match Rutin
Teknik cross matching rutin dilakukan melalui teknik sentrifugasi (3000
rpm selama 15 detik) serta inkubasi dalam incubator pada suhu 37 oC
selama 15 menit. Eritosit dicuci dengan saline 3-4 kali untuk membuang
sisa – sisa globulin yang bebas. Kemudian dilakukan penambahan 2 tetes
Coomb’s serum dan sentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 15
detik, lalu dibaca reaksinya secara mikroskopis dimana bila terjadi
aglutinasi menunjukkan incompatible (tidak cocok) sedangkan tidak
terjadi aglutinasi menunjukkan compatible (cocok).
2. Cross Match Emergency
Dalam cross match emergency disiapkan 4 buah tabung reaksi, dimana
tabung 2 dan 4 disentrifuge 1000 rpm selama 1 menit sedangkan tabung 1
dan 3 diinkubasi 37 oC selama 15 menit. Reaksi hemolisa dan aglutinasi
pada tabung 2 dan 4 dibaca secara makroskopis dan mikroskopis, dimana
bila terlihat adanya hemolisis dan atau aglutinasi menunjukkan darah
donor tidak cocok (incompatible), sedangkan bila tidak ada hemolisis dan
atau aglutinasi menunjukkan darah donor cocok (incompatible). Untuk
tabung 1 dan 3 setelah diinkubasi, lalu disentrifuge 1000 rpm selama 1
menit. Bila hasilnya negative, dicuci selnya 3 – 4 kali dengan saline.
Sedimen sel pada masing-masing tabung ditambahakan 2 tetes Coomb’s
serum dan dikocok-kocok. Kemudian diputar kembali 1000 rpm selama 1
menit dan dibaca reaksinya secara makroskopis dan mikroskopis. Jika
hasil Coomb’s test positive segera hubungi RS memberitahukan darah
yang tadi jangan dipakai. Jadi dalam Cross Matching Emergency, darah
sudah boleh dikirimkan ke RS kalau dalam fase 1 (medium saline)
negative terhadap hemolisa maupun aglutinasi. Penyelesaian sampai fase
3 dari tabung 1 dan 3 harus dilanjutkan.
3. Cross Match Persiapan Operasi
Teknik dalam metode ini kedua tabung diinkubasi pada suhu 37 oC
selama 60 menit lalu dibaca reaksinya terhadap hemolisa dan aglutinasi,
6

bila hasilnya negative diteruskan. Sedimen sel dalam masing-masing


tabung dicuci 3-4 kali dengan saline, kemudian ditambahykan 2 tetes
Coomb’s serum dan disentrifuge 3000 rpm selama 15 detik. Bila terjadi
aglutinasi menunjukkan incompatible (tidak cocok) sedangkan tidak
terjadi aglutinasi menunjukkan compatible (cocok). Cross match
persiapan operasi ini dilakukan bila ada permintaandarah yang diajukan
2-3 hari sebelum operasi dijalankan.
Untuk melaksanakan masing-masing Cross Match tersebut, langkah
pertama adalah memeriksa golongan darah ABO dari pasien dan darah donor
yang akan di transfusikan, memeriksa faktor rhesus dari pasien dan darah
donor yang akan di transfusikan, mempersiapkan suspensi sel pasien maupun
donornya, dan kemudian kita melaksanakan Cross Match sesuai dengan
tuntunannya (Febriyanti, 2011).

D. Cara Pemeriksaan
Terdapat dua cara pemeriksaan, yang pertama adalah dengan
mencampur eritrosit pendonor (aglutinogen donor) dengan serum resipien
(aglutinin resipien), atau biasa disebut dengan crossmatch mayor. Sedangkan
yang kedua dengan mencampur eritrosit resipien (aglutinogen resipien)
dengan serum donor (aglutinin donor), atau biasa disebut dengan crossmatch
minor.
1. Macam cara pemeriksaan dari reaksi silang :
a. Reaksi silang mayor (Mayor crossmatch) : eritrosit donor + serum
resipien
Memeriksa ada tidaknya aglutinin resipien yang mungkin dapat
merusak eritrosit donor yang masuk pada saat pelaksanaan transfusi
Mayor Crossmatch merupakan tindakan terakhir untuk melindungi
keselamatan penerima darah dan sebaiknya dilakukan demikian
sehingga Complete Antibodies maupun incomplete Antibodies dapat
ditemukan dengan cara tabung saja.
7

b. Reaksi silang minor : serum donor + eritrosit resipien


Memeriksa ada tidaknya aglutinin donor yang mungkin dapat
merusak eritrosit resipien. Reaksi ini dianggap kurang penting
dibanding reaksi silang mayor, karena agglutinin donor akan sangat
diencerkan oleh plasma di dalam sirkulasi darah resipien.
2. Tahapan Reaksi Silang :
a. Reaksi silang salin
Tes ini untuk menilai kecocokan antibody alami dengan antigen
eritrosit antara donor dan resipien, sehingga reaksi transfusi hemolitik
yang fatal bisa dihindari. Tes ini juga dapat menilai golongan darah.

b. Reaksi silang albumin


Tes ini untuk mendeteksi antibody anti-Rh dan meningkatkan
sensitivitas tes antiglobulin dengan menggunakan media albumin
bovine.
8

c. Reaksi silang antiglobulin


Untuk mendeteksi IgG yang dapatmenimbulkan masalah
dalam transfusi yang tidak dapat terdeteksi pada kedua tes
sebelumnya. Terutama dikerjakan pada resipien yang pernah
menerima transfusi darah atau wanita yang pernah hamil.
d. Fase dalam Cross Match
Untuk menentukan zat antibodi yang bebas dalam serum
resipien yang menyebabkan tidak tercampurnya darah dari donatur,
dilakukan 3 fase pada suhu kamar; inkubasi pada temperatur 37°C
anti globulin fase (Coombs test).
Fase I :
1) Test fase I Cross Match yaitu fase suhu kamar
Pada fase ini antibody complete yang akan mengaglutinasikan
sel dalam saline medium atau bovine albumin yang kebanyakan
kelas Ig M bisa terdeteksi misalnya : tidak cocok golongan ABO ;
adanya allo antibody : M, N, Lea, I, IH, E ; serta adanya auto cold
antibody.
Keempat tabung di atas dikocok-kocok, biarkan pada suhu
kamar selama 15 menit atau langsung putar 1000 rpm selama 1
menit, amati reaksi terhadap haemolisis dan aglutinasi. Bila
reaksinya negatif, maka diteruskan ke fase 2.
Fase 2 :
2) Tes fase II Cross Match yaitu fase inkubasi 37o C
Pada fese ini bila mediumnya bovine albumin, beberapa
antibody dalam sistem Rhesus bisa terdeteksi aglutinasi,(misalnya
anti D, anti E, anti c) anti Lea dan anti Leb. Bila mediumnya saline
bisa terdeteksi aglutinasi anti E, anti Lea. Antibody yang bersifat
incomplete, dan antibodi yang belum terdeteksi aglutinasi atau
hemolisisnya pada fase II ini bisa bereaksi coated (sensitized) :
anti D, E, c, K, Fya,Fyb, Jka, S, Lea, Leb. Jadi penting sekali
9

peranan fase inkubasi 37 oC ini, dimana setidak-tidaknya memberi


kesempatan kepada antibody untuk mengcoatedkan sel.
Keempat tabung diinkubasi pada temperatur 37°C.
a) Untuk tabung I dan III (albumin medium) boleh 15 menit.
b) Untuk tabung II dan IV (saline medium) hams 1 jam.
Dalam hal ini kita dapat memilih a atau b. Setelah masa
inkubasi masing-masing tabung cukup, baca reaksinya secara
makroskopis tanpa diputar, kemudian baca aglutinasinya secara
mikroskopis. Bila hasilnya negatif, teruskan ke fase 3.
Fase 3 :
3) Tes fase III Cross Match yaitu fase anti globulin
Pada fase ini setalah melaluo fase II, akan terdeteksi aglutinasi
incompelete antibodi yang tadi di fase II sudah mengcoated sel.
Dari keempat tabung, cuci selnya 3-4 kali dengan saline. Pada
pencucian terakhir supernatan dibuang, biarkan sel tersuspensi
lagi oleh sisa-sisa saline. Kemudian tabung I dan III atau II dan IV
tambah masing-masing dengan 1 tetes Coombs serum. Lalu aduk.
Kemudian putar dengan kecepatan 1000 rpm selama 1 menit dan
amati adanya reaksi aglutinasi secara makroskopis dan
mikroskopis.
Pemeriksaan crossmatch dapat dilakukan saat transfusi darah
diantisipasi, yaitu dalam keadaan:
1) Pendarahan parah yang terjadi, misalnya karena trauma utama,
atau perdarahan internal dari usus atau perut
2) Pendarahan berat dapat terjadi, misalnya ketika operasi besar
direncanakan
3) Anemia berat (hemoglobin rendah atau jumlah darah) hadir
Grup darah saja, tanpa crossmatch, dapat dilakukan:
1) Secara rutin pada kehamilan
10

2) Untuk mengkonfirmasi status Rhesus pada wanita hamil, ketika


ada risiko sensitisasi rhesus - misalnya berikut cedera pada perut,
atau perdarahan vagina karena terancam keguguran.
3) Melakukan crossmatch sebelum transfusi darah memiliki
keuntungan sebagai berikut:
4) Mendeteksi utama ABO kesalahan (mis. crossmatching donor A
atau B dengan penerima O)
5) Mendeteksi penerima antibodi terhadap antigen pada kebanyakan
merah sel donor (jika antibodi berada dalam titer yang cukup
tinggi untuk bereaksi)

E. Persiapan Pasien
1. Jelaskan kepada pasien bahwa tes ini memastikan bahwa darah dia
menerima pertandingan sendiri untuk mencegah reaksi transfusi.
2. Memberitahukan bahwa ia tidak perlu berpuasa sebelum ujian.
3. Katakan padanya bahwa ujian memerlukan sampel darah dan siapa yang
akan melakukan venipuncture dan kapan.
4. Yakinkan kepadanya bahwa meskipun ia mungkin mengalami
ketidaknyamanan transient dari tusukan jarum dan tourniquet,
mengumpulkan sampel hanya memakan waktu beberapa menit.
5. Periksa sejarah pasien untuk administrasi terbaru dari darah, dekstran,
atau media kontras IV.

F. Interpretasi Hasil
1. Normal
Tidak adanya aglutinasi menunjukkan kompatibilitas antara donor dan
penerima darah, yang berarti bahwa transfusi darah donor dapat
dilanjutkan. Catatan bahwa ini tidak menjamin transfusi yang aman.
2. Abnormal
a. Sebuah crossmatch positif menunjukkan ketidakcocokan antara darah
donor dan penerima darah, yang berarti bahwa darah donor tidak bisa
11

ditransfusikan ke penerima. Tanda dari crossmatch positif aglutinasi,


atau menggumpal, ketika sel darah merah donor dan serum penerima
benar dicampur dan diinkubasi. Aglutinasi menunjukkan reaksi
antigen-antibodi yang tidak diinginkan. darah donor harus dipotong
dan crossmatch terus untuk menentukan penyebab ketidaksesuaian
dan mengidentifikasi antibodi.
b. Bila kedua pemeriksaan crossmatch mayor dan minor tidak
mengakibatkan aglutinasi eritrosit, maka dapat diartikan bahwa darah
pendonor sesuai dengan darah resipien sehingga transfusi darah dapat
dan boleh dilakukan.
c. Bila hasil pemeriksaan crossmatch mayor menghasilkan aglutinasi,
tanpa memperhatikan hasil crossmatch minor, diartikan bahwa darah
donor tidak sesuai dengan darah resipien sehingga prose transfusi
darah tidak dapat dilakukan.
d. Bila hasil pemeriksaan crossmatch mayor tidak mengakibatkan
aglutinasi, sedangkan dengan crossmatch minor terjadi proses
aglutinasi, maka proses crossmatch minor harus diulangi dengan
menggunakan serum donor yang diencerkan. Bila pemeriksaan
terakhir tidak menghasilkan proses aglutinasi, maka transfusi darah
masih dapat dilakukan dengan menggunakan darah pendonor tersebut,
hal ini disesuaikan dengan keadaan pada waktu tramsfusi dilakukan,
yaitu serum darah pendonor akan mengalami pengaan dalam aliran
darah resipien. Bila pemeriksaan dengan serum donor yang
diencerkan menghasilkan aglutinasi, maka darah donor itu tidak dapat
digunakan untuk transfusi.

G. Cara kerja Cross Match


1. Cara kerja Cross Match dengan Diamed Gel Tes
a. Buat suspensi sel pasien dan donor. 0,8-1% :
1) Masukkan 0,5 ml Dilluent 2 dengan Dispenser kedalam tabung
2) Ambil 5 ul (mikroliter) PRC atau 10 ul WB,masukkan tabung
12

3) Campur dan homogenkan suspensi 0,8 – 1%


b. Ambil Liss / Coombs Card, tandai dengan identitas Os / Donor, buka
penutup alumunium. Dengan bantuan mikropipet, masukkan :
1) MAYOR : 50 ul Suspensi Sel Donor + 25 ul Serum Os
2) MINOR : 50 ul Suspensi Sel Os + 25 ul Serum Donor
3) A.C : 50 ul Suspensi Sel Os + 25 ul Serum Os
c. Masukkan kartu ke Inkubator : Inkubasi 37º C, 15 menit ( tekan
tombol timer 1 / 2 / 3 )
d. Pindahkan kartu ke Centrifuge : Tekan tombol Start ( Centrifuge
selama 10 menit )
e. Baca Reaksi secara makroskopis

2. Cara Kerja Direct Coombs Tes


a. Buat Suspensi Os 0,8 – 1% ( cara sama seperti diatas )
b. Ambil Liss / Coombs Card, tandai dengan identitas Os.
c. Masukkan 50 ul Suspensi Sel Os.
d. Putar di Centrifuge ( tekan tombol Start )
e. Baca Reaksi
3. Cara Pooling Untuk Inter Cross Donor ( Auto Pool)
a. Maksimum pooling untuk 3 kantong darah
13

Cara Pooling :
1) Potong selang pada kantong donor yang akan di Pooling.
2) Teteskan pada 2 tabung kosong masing-masing sel darah merah
donor yang akan di-pool dan serum/plasma donor yang akan di-
pool dengan jumlah yang sama .
3) Homogenkan sel darah merah pada tabung yang berisi pooling sel
darah merah donor, buat suspensi 1% dengan Diluent 2 dengan
cara seperti di atas
4) Lakukan Cross Match seperti biasa :
INTER CROSS : 50 ul pool Suspensi Sel Donor + 25 ul pool
serum Donor

H. Intepretasi Hasil Cross Match


No Mayor Minor AC Interpretasi
1. - - - Darah pasien kompatibel dengan darah
donor.
Darah boleh dipergunakan.
2. + - -  Periksa sekali lagi golongan darah Os,
apakah sudah sama dengan donor, apabila
golongan darah sudah sama :
 Terdapat Irregular Antibody pada Serum
Os
 Ganti darah donor, lakukan crossmatch
lagi sampai didapat hasil cross negatif pada
mayor dan minor.
Apabila tidak ditemukan hasil crossmatch
yang kompatibel meskipun darah donor
telah diganti maka harus dilakukan
screening dan Identifikasi Antibody pada
Serum Os.
14

3. - + - Terdapat Irregular Anti Body pada Serum /


Plasma Donor.
Ganti darah donor, dengan darah yang
lain, lakukan crossmatch lagi
4. - + +  Lakukan Direct Coombs Test pada OS
 Apabila DCT = positif, hasil positif pada
crossmatch Minor dan AC berasal dari
autoantibody
 Apabila derajat positif pada Minor sama
atau lebih kecil dibandingkan derajat positif
pada AC / DCT, darah boleh dikeluarkan /
digunakan.
Apabila derajat positif pada Minor lebih
besar dibandingkan derajad positif pada AC
/ DCT, darah tidak boleh dikeluarkan. Ganti
darah donor, lakukan crossmatch lagi
sampai ditemukan positif pada Minor sama
atau lebih kecil dibanding AC / DCT
5. + + +  Periksa ulang golongan darah Os maupun
donor, baik dengan cell grouping maupun
back typing, pastikan tidak ada kesalahan
gol. Darah
 Lakukan DCT pada Os, apabila positif,
bandingkan derajat positif DCT dg Minor,
apabila derajat positif Minor sama atau lebih
rendah dari DCT, maka positif pada Minor
dapat diabaikan, artinya positif tersebut
berasal dari autoantibody.
 Sedangkan positif pada Mayor, disebabkan
adanya Irregular Anti Body pada Serum Os,
15

ganti dengan darah donor baru sampai


ditemukan hasil Mayor negatif

I. Reaksi Silang dalam Tabung


1. Prinsip :
Sel donor dicampur dengan serum penerima (Mayor Crossmatch) dan sel
penerima dicampur dengan serum donor dalam bovine albumin 20% akan
terjadi aglutinasi atau gumpalan dan hemolisis bila golongan darah tidak
cocok.
2. Tujuan :
untuk menentukan cocok tidaknya darah donor dengan darah penerima
untuk persiapan transfusi darah.
3. Alat dan Reagensia :
a. Tabung reaksi 5. Bovine albumin 20%
b. Pipet tetes 6. Mikroskop
c. Sentrifuge 7. NaCl 0,9 %
d. Tabung sentrifuge 8. Serum Coombs
e. Bahan Pemeriksaan : Serum dan Eryhtrosit 5 %
4. Teknik Kerja :
a. Pembuatan suspensi Eryhtrosit 5 %
1) Kedalam tabung 12 x 75 mm diisi dengan larutan NaCl 0,9 %
sebanyak 5 ml.
2) Tambahkan 5 tetes darah EDTA dan campur.
3) Putar pada sentrifuge pada 1500 rpm selama 5 menit.
4) Cairan dibuang dan pada endapan ditambahkan larutan NaCl 0,9
% sebanyak 5 ml. Campur dan putar lagi, ulangi langkah tadi
sebanyak 3 kali.
5) Terakhir pada penambahan NaCl 0,9 % yang ke-4 kalinya
sebanyak 5 ml merupakan suspensi eryhtrosit 5 %.
16

b. Pemeriksaan reaksi silang fase I


1) Sediakan dua buah tabung reaksi kecil dalam rak, yang sebelah
kiri untuk mayor test dan sebelah kanan untuk minor test.
2) Tabung kiri diisi dengan 2 tetes serum penerima dan 2 tetes
suspensi erythrosit donor 5 % dalam larutan NaCl 0,9 % dan 2
tetes bovine albumin 20%.
3) Tabung kanan diisi dengan 2 tetes serum donor dan 2 tetes
suspensi erythrosit penerima 5 % dalam larutan NaCl 0,9 % 2
tetes bovine albumin 20%.
4) Masing-masing tabung dicampur dan diputar disentrifuge pada
1000 rpm selama 1 menit.
5) Goyangkan hati-hati dan periksa adanya aglutinasi dan hemolisis.
6) Bila hasil Mayor dan minor negatif, pemeriksaan dilanjutkan ke
fase II
7) Bila hasil Mayor dan minor positif, pemeriksaan tidak dilanjutkan
(tidak cocok)
c. Crossmatch Fase II
1) Tabung tadi diinkubasi pada suhu 370C selama 15 menit
2) Putar selama 1 menit pada 1000 rpm disentrifuge.
3) Baca adanya aglutinasi dan hemolisis dengan menggoyang
perlahan-lahan sama dengan fase I, bila negatif dilanjutkan ke fase
III
d. Crossmatch Fase III
1) sel darah merah dicuci dengan NaCl 0,9% 3-4 kali
2) Tambahkan 2 tetes serum Coombs pada kedua tabung mayor dan
Minor test.
3) Putar pada sentrifuge 1000 rpm selama 1 menit.
4) Baca adanya aglutinasi dan hemolisis dengan menggoyang
perlahan-lahan sama dengan fase I secara makroskopis.
17

e. INTERPRESTASI :
1) Bila aglutinasi dan hemolisis negatif (-) maka darah dapat
ditransfusikan
2) Bila aglutinasi dan hemolisis positif (+) maka darah tidak dapat
ditransfusikan (tidak cocok)

2.2 Komplikasi Transfusi Darah dan Pengobatannya


Transfusi darah masif jarang dilakukan, lebih-lebih sebab permintaan darah
hampir selalu tersendat-sendat. Kalau terjadi perdarahan banyak dan persediaan
darah kurang, yang diberikan ialah cairan pengganti darah.
Kadang-kadang transfusi darah masif dapat dilakukan sebab persediaan darah
cukup dan kadang-kadang donor juga cukup banyak. Seandainya persediaan
darah cukup, maka pemberian suatu transfusi masif bukan tanpa risiko untuk
terjadinya macam-macam komplikasi, sehingga diperlakukan alat tambahan
untuk memudahkan kita memantau selama pemberian transfusi masif tersebut.
Alat tambahan tersebut antara lain ialah EKG, analisis gas darah, dan CVP.
Selain risiko, penyediaan alat-alat dan pemeriksaan analisis gas darah yang
berulang merupakan beban biaya tambahan bagi penderita.
Pada umumnya komplikasi transfusi ini dibagi menjadi : Reaksi imunologi,
Reaksi non imunologi dan Komplikasi yang berhubungan dengan transfusi darah
masif.
A. Reaksi Imunologi
1. Reaksi Transfusi Hemolitik
Reaksi transfusi hemolitik merupakan reaksi yang jarang terjadi tetapi
serius dan terdapat pada satu diantara dua puluh ribu penderita yang
mendapat transfusi.
a. Lisis sel darah donor oleh antibodi resipien.
Hal ini bisa terjadi dengan cara :
1) Reaksi transfusi hemolitik segera
2) Reaksi transfusi hemolitik lambat.
b. Lisis sel resipien oleh antibodi darah transfusi secara masif.
18

Reaksi ini sering terjadi akibat kesalahan manusia sebagai


pelaksana, misalnya salah memasang label atau membaca label pada
botol darah. Tanda-tanda reaksi hemolitik lain ialah menggigil, panas,
kemerahan pada muka, bendungan vena leher , nyeri kepala, nyeri
dada, mual, muntah, nafas cepat dan dangkal, takhikardi, hipotensi,
hemoglobinuri, oliguri, perdarahan yang tidak bisa diterangkan
asalnya, dan ikterus. Pada penderita yang teranestesi hal ini sukar
untuk dideteksi dan memerlukan perhatian khusus dari ahli anestesi,
ahli bedah dan lain-lain. Tanda-tanda yang dapat dikenal ialah
takhikardi, hemoglobinuri, hipotensi, perdarahan yang tiba-tiba
meningkat, selanjutnya terjadi ikterus dan oliguri. Diagnosis dapat
ditegakkan dengan adanya hemoglobinemi dan hemoglobinuri. Urine
menjadi coklat kehitaman sampai hitam dan mungkin berisi
hemoglobin dan butir darah merah. Terapi reaksi transfusi hemolitik :
pemberian cairan intravena dan diuretika. Cairan digunakan untuk
mempertahankan jumlah urine yang keluar. Diuretika yang digunakan
ialah :
1) Manitol 25 %, sebanyak 25 gr diberikan secara intravena
kemudian diikuti pemberian 40 mEq Natrium bikarbonat.
2) Furosemid
Bila terjadi hipotensi penderita dapat diberi larutan Ringer laktat,
albumin dan darah yang cocok. Bila volume darah sudah
mencapai normal penderita dapat diberi vasopressor. Selain itu
penderita perlu diberi oksigen. Bila terjadi anuria yang menetap
perlu tindakan dialisis.
c. Cara menghindari reaksi transfusi adalah dengan melakukan
pemeriksaan :
1) Tes darah, untuk melihat cocok tidaknya darah donor dan resipien.
2) Memilih tips dan saringan yang tepat.
3) Pada transfusi darurat :
19

Banyak situasi terjadi dimana kebutuhan darah sangat mendesak


sebelum dilakukan pemeriksaan cocok tidaknya darah secara
lengkap. Dalam situasi demikian tidak perlu dilakukan
pemeriksaan secara lengkap, dan jalan singkat untuk melakukan
tes bisa dikerjakan sebagai berikut :
a) Type-Specific, Partially Crossmatched Blood
Bila kita menggunakan darah “un-crossmatched”, maka paling
sedikit harus diperoleh tipe ABO-Rh dan sebagian
“crossmatched”.
b) Tipe-Specific, Uncrossmatched Blood.
Untuk penggunaan tipe darah yang tepat maka tipe ABO-Rh
harus sudah ditentukan selama penderita dalam perjalanan ke
rumah sakit.
c) O Rh-Negatif (Universal donor) Uncrossmatched Blood
Golongan darah O kekurangan antigen A dan B, akibatnya
tidak dapat dihemolisis baik oleh anti A ataupun anti B yang
ada pada resipien. Oleh sebab itu golongan darah O kita sebut
sebagai donor universal dan dapat digunakan pada situasi yang
gawat bila tidak memungkinkan untuk melakukan
penggolongan darah atau “crossmatched”. Tetapi
bagaimanapun juga pemberian darah golongan inipun bukan
tanpa resiko.
2. Reaksi Transfusi Non Hemilitik
a. Reaksi transfusi “febrile”
Menggigil, panas, nyeri kepala, nyeri otot, mual, batuk yang tidak
produktif.
b. Reaksi alergi
1) “Anaphylactoid” : Keadaan ini terjadi bila terdapat protein asing
pada darah transfusi.
2) Urtikaria, paling sering terjadi dan penderita merasa gatal-gatal.
Biasanya muka penderita sembab.
20

Terapi yang perlu diberikan ialah antihistamin, dan transfusi harus


disetop.
Alergi yang berat jarang terjadi dan ini kita sebut reaksi anafilaksis,
dengan tanda-tanda sebagai berikut : sesak nafas, hipotensi, edema
larings, nyeri dada, dan shok. Reaksi anafilaksis ini disebabkan karena
transfusi IgA kepada penderita yang kekurangan IgA dan telah
terbentuk anti IgA. Tipe reaksi ini tidak termasuk tipe kerusakan sel
darah merah, kejadiannya sangat cepat dan biasanya terjadi sesudah
mendapat transfusi darah atau plasma hanya beberapa ml. Penderita
yang menunjukkan tanda-tanda reaksi anafilaksis bila perlu mendapat
darah, harus diberi sel darah merah yang telah dibersihkan dari semua
sisa donor IgA, atau dengan darah yang sedikit mengandung protein
IgA.

B. Reakasi Non Imunologi


1. Reaksi transfusi “Pseudohemolytic”
Termasuk disini ialah lisis terhadap sel darah merah tanpa reaksi antigen-
antibodi. Hemolisis ini dapat terjadi akibat obat, macam-macam keadaan
penyakit, trauma mekanik, penggunaan cairan dextrosa hipotonis, panas
yang berlebihan dan kontaminasi bakteri.
2. Reaksi yang disebabkan oleh volume yang berlebihan.
3. Reaksi karena darah transfusi terkontaminasi
4. Virus hepatitis.
Risiko terkena hepatitis sesudah transfusi merupakan keadaan klinik yang
penting. Tes untuk HBV (Hepatitis B Virus), penyaringan untuk Non-A
dan Non-B juga bisa mengurangi risiko terkena transmisi penyakit
tersebut (5,8,9).
5. Lain-lain penyakit yang terlibat pada terapi transfusi misalnya malaria,
sifilis, virus CMG dan virus Epstein-Barr parasit serta bakteri.
6. AIDS.
21

C. Komplikasi Yang Berhubungan Dengan Transfusi Darah Masif


1. “Dilutional Coagulopathy”
Darah simpan yang diberikan secara masif sering kekurangan faktor V
dan VIII (1,2,8). Mutu atau derajat faktor V pada darah simpan sampai 21
hari sekitar 30% atau lebih, sedangkan derajat yang dibutuhkan untuk
hemostasis antara 15-50%. Derajat faktor VIII pada darah simpan 21 hari
berkisar antara 15-50%.
Jadi terdapat sedikit dasar kebenarannya untuk menyamakan
penggunaan FFP pada transfusi masif. Kenyataannya darah simpan
kurang dari 10 hari masih bisa memberikan faktor koagulasi yang cukup
pada penderita. Kecenderungan terjadinya perdarahan biasanya sesudah
penderita mendapat transfusi banyak dan cepat dengan menggunakan
campuran ACD. Ini terjadi bila kita memberikan darah 20-30 unit, dan
untuk penderita debil dan anak kecil lebih berkurang lagi.
Manifestasi kliniknya yaitu terdapatnya “oozing” pada daerah operasi,
perdarahan pada gusi, “petechiae” dan “echymosis”. Untuk mengatasi ini
biasanya penderita mendapat darah ACD lagi. Selama pemberian darah
masif tetap dengan bahan-bahan yang kekurangan faktor-faktor pembeku,
maka selama itu pula perdarahan akan timbul, dan demikian selanjutnya
hingga merupakan lingkaran setan. Etiologi kecenderungan perdarahan
ini kemungkinan adalah terjadinya “dilutional thrombocytopenia”,
kekurangan faktor-faktor labil, dan DIC.
Tujuan terapi disini ialah untuk mempertahankan faktor-faktor V dan
VIII mendekati 30%, sebab 20% faktor V dan 30% faktor VIII diperlukan
untuk hemostasis penderita yang dioperasi. Untuk mempertahankan
faktor V dan VIII pada derajat 30% maka kepada penderita diberikan 2-3
unit FFP (Fresh Frozen Plasma) untuk tiap 10 unit “packed cells” dan
transfusi “plasma protein fracyion”. Setiap pemberian 5 unit darah perlu
diperiksa jumlah platelet. Trombositopenia.
22

2. Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)


DIC sukar diidentifikasi pada penderita yang mendapat transfusi
masif. DIC merupakan kombinasi antara perdarahan dan trombosis, suatu
hal dua kejadian yang bertentangan. Untuk membantu keadaan yang
bertentangan ini, kecenderungan perdarahan diterapi dengan
antikoagulan, yaitu heparin. Pada jaringan hipoksia yang asidotik dengan
bendungan aliran darah, baik langsung ataupun lewat pelepasan beberapa
toksin akan terjadi pelepasan tromboplastin jaringan. Picu ini akan
mempengaruhi proses koagulasi, menghasilkan faktor I, II, VII, VIII dan
platelet.
Seandainya trombus dan fibrin mengendap pada mikrosirkulasi organ-
organ vital, maka akan terganggu aliran darahnya. Sesudah terjadi
aktivasi sistem koagulasi yang tidak normal maka trombus dan fibrin
akan mengendap pada mikrosirkulasi. Untuk mengatasi keadaan
hiperkoagulasi, maka sistem fibrinolitik diaktifkan sehingga melarutkan
fibrin yang berlebihan. Keadaan ini disebut fibrinolisis sekunder.
Fibrinolisis primer dapat juga terjadi pada waktu transfusi masif dengan
tujuan untuk mengaktifkan sistem fibrinolitik tanpa terjadi DIC. Pada
fibrinolisis primer sejumlah besar plasmin atau aktivator fibrinolitik
dilepaskan, yang menyebabkan larutnya penjendalan dan fibrin.
Diagnosis didasarkan atas analisis laboratorium terhadap faktor
koagulasi, platelet, dan hasil fibrinolisis.
a. Tujuan utama terapi ialah untuk :
1) Menghilangkan penyebabnya
2) Mempertahankan volume normal
3) Mengganti faktor-faktor pembekuan yang cukup, dengan
demikian penderita dapat melanjutkan proses koagulasi.
4) Jangan memberikan terapi berlebih karena akan menyebabkan
pembekuan yang meluas.
b. Terapi adalah berupa :
1) Fresh Frozen Plasma dan platelet concentrate
23

2) Heparin : Penggunaannya pada DIC masih kontroversial tetapi


dapat mencegah terjadinya mikrotrombi.
3) EACA : Penggunaannya sangat jarang, terutama pada fibrinolisis
primer.
3. Intoksikasi Sitrat (komplikasi yang jarang terjadi)
Sitrat mengikat kalsium dengan akibat terjadinya hipokalsemi, dan
hipokalsemi ini jarang terjadi. Pemberian kalsium sebaiknya dibatasi
sampai didapatkan bukti adanya depresi miokard dan pada EKG terdapat
tanda-tanda hipokalsemi, yaitu terjadinya pemanjangan interval QT.
Konsentrasi ionisasi kalsium serum akan tetap normal bilamana
kecepatan infus tidak lebih dari 30 ml/kg BB/jam. Hipokalsemi dapat
terjadi pada penderita dengan penyakit hati berat atau syok, karena
kemampuan memetabolisme natrium sitrat berkurang .
4. Keadaan Asam Basa
Bila larutan ACD diberikan pada darah, maka pH-nya akan menurun
sampai 7.0, hal ini disebabkan terutama karena keasaman larutan ACD.
pH darah akan terus turun sampai kira-kira 6.5 sesudah sampai 21 hari
disimpan, karena adanya glikolisis yang terus menerus dan pembentukan
asam laktat dan peruvat oleh metabolisme sel. Lagi pula karena botol atau
kantong plastik darah tidak memungkinkan terjadinya mekanisme
pelepasan CO2, maka PaCO akan naik dari 150 sampai 210 torr.
Howland dan Schweizer menganjurkan untuk tiap 5 unit darah ACD
yang ditransfusikan perlu diberikan 44.6 mEq natrium bikarbonat.
Keasaman darah ACD hanya mempengaruhi penderita yang dalam
keadaan syok atau penderita dengan respirasi tidak normal, atau adanya
kompensasi dari ginjal. Miler berkesimpulan bahwa pemberian natrium
bikarbonat secara empirik tidak perlu dan bukan merupakan indikasi,
sehingga tidak logis bila pemberian natrium bikarbonat digunakan
sebagai profilaksi untuk penderita yang tidak dapat kita perkirakan
keasamannya. Tiap pemberian natrium bikarbonat harus didasarkan atas
24

hasil analisis gas darah dan ini bisa dikerjakan setiap pemberian darah 5
unit.
Asidosis terjadi sebagai akibat hipoksia sel darah merah selama
penyimpanan. Sesudah transfusi ion hidrogen dikembalikan ke sel darah
merah atau sebagai buffer oleh plasma resipien.
5. Hiperkalemi
Darah dari bank darah berisi ion K antara 17-24 mEq/L pada
penyimpanan 21-33 hari (1). Hiperkalemia merupakan problem yang
jarang terjadi. Pada darah simpan akan terjadi pengurangan isi kalium
pada eritrosit dan kenaikkan dalam plasma.
6. Hipotermi
Transfusi masif yang menggunakan darah dingin dapat meningkatkan
pelepasan energi untuk menaikkan temperatur tubuh, menaikkan
pemakaian O2, afinitas hemoglobin dan O2, kebocoran ion K dari sel
darah merah dan kerusakan metabolisme sitrat.
Umumnya telah diketahui bahwa pemberian beberapa unit darah
dingin akan menurunkan temperatur resipien. Dengan cara memanaskan
darah dari bank darah sesuai dengan panas tubuh sebelum diberikan pada
penderita, maka secara bermakna akan mengurangi angka kejadian aritmi
dan “cardiac arrest” selama transfusi masif. Walaupun Bayan menekan
bahwa pemanasan darah hanya untuk transfusi masif, banyak yang
percaya bahwa “whole blood” yang diberikan beberapa unit juga perlu
dipanaskan bila diberikan selama operasi.
Suatu penurunan temperatur pada esofagus sebanyak 0.5 –1 C dapat
mengakibatkan penderita menggigil sesudah operasi, sehingga
menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen dan “cardiac out put”.
Pemberian darah hangat sesuai dengan panas tubuh juga dapat
menghindari menurunnya kecepatan metabolisme sitrat sehingga dapat
mengurangi intoksikasi sitrat.
Transfusi dengan darah dingin sebanyak 5 unit dalam waktu 30 menit
akan dapat menurunkan temperatur 4 C. pada 33 C, hipotermi dapat
25

menyebabkan asidosis metabolik dan depressi “cardiac out put”.


Perubahan posisi tubuh atau respirasi dapat menyebabkan “cardiac
arrest”. Darah harus dihangatkan terlebih dahulu sebelum diberikan pada
penderita dengan kecepatan tinggi dan dalam jumlah besar.
7. Post Transfusion Hepatitis (PTH)
Penemuan yang penting yaitu adanya Australian Antigen (HAA) dan
hubungannya yang positif dengan hepatitis serum merupakan harapan
baru untuk mengurangi PTH. Kebanyakan darah yang diberikan adalah
darah yang dibeli dari setiap orang sehingga penularan hepatitis bisa saja
terjadi.
Semua Palang Merah perlu mengetes dan meniadakan donor
positifnya HAA. Virus cytomegalo dapat menular lewat transfusi darah
dan merupakan salah satu bagian yang bertanggung jawab untuk
terjadinya PTH. Bila bukti-bukti tampak meyakinkan, dimana dapat
dideteksi bahwa darah mengandung virus tersebut, maka transfusi dengan
darah tersebut harus dihindari. Cara lain untuk mengatasi PTH ialah
dengan memberikan modifikasi gamma globulin intravena sebelum
pemberian darah.
Pada transfusi sel darah merah diperlukan kecocokan antara donor dan
resipien. Kita menggunakan tipe dan saringan infus tertentu, sebab makin
meningkatnya jumlah operasi elektif yang biasanya tidak menggunakan
darah.
Pada operasi-operasi elektif darah hanya digunakan pada keadaan
tertentu saja. Ini memberikan beberapa keuntungan, ialah :
a. Mengurangi jumalh sel darah setiap harinya.
b. Mengurangi petugas Bank Darah.
c. Ongkos yang dibebankan pada penderita menjadi lebih rendah.
Monitoring penderita dengan transfusi masif diperlukan :
a. EKG untuk mengetahui perusahaan kalsium dalam darah.
b. CVP dan kateter urine untuk mengetahui keluarnya urine setiap jam.
26

c. Analisis gas darah untuk mengetahui PaO2, PaCO2, pH. Ketiga hal
tersebut perlu dipantau setiap pemberian 5 unit darah, untuk
menentukan secara tepat berapa natrium biakrbonat yang harus
diberikan.
D. Keterbatasan
1. Tidak akan mendeteksi kesalahan dalam identifikasi pasien (kecuali jika
rekor sebelumnya ada)
2. Tidak akan mendeteksi ABO campur-baur jika golongan darah yang
kompatibel (bisa crossmatch grup A donor darah untuk penerima AB)
3. Tidak akan mendeteksi kesalahan Rh (bisa crossmatch Rh + donor darah
dengan Rh negatif penerima dengan tidak ada reaksi jika pasien tidak
memiliki anti-D)
4. Tidak akan mendeteksi semua penerima antibodi terhadap antigen donor
(antibodi mungkin terlalu lemah untuk mendeteksi, tapi masih
menyebabkan reaksi transfusi seperti antibodi Kidd)
5. Tidak akan mencegah alloimmunization penerima (hanya ABO dan Rh
antigen cocok - pasien berpotensi dapat membuat antibodi terhadap
semua antigen lainnya) Inilah sebabnya mengapa banyak antibodi
ditemukan ditemukan di-ditransfusi pasien multi.
E. Kewaspadaan
1. Kurang sensitifnya metode pemeriksaan yang digunakan
2. Human error factor
3. Adanya reaksi transfusi yang tertunda ( delayed transfusion reaction)
4. Menangani sampel lembut untuk mencegah hemolisis, yang dapat
menyembuyikan hemolisis sel darah merah donor.
5. Sampel dengan label nama pasien, rumah sakit atau darah nomor bank,
tanggal, dan inisial phlebotomist itu.
6. Tunjukkan pada laboratorium slip jumlah dan jenis komponen darah yang
diperlukan.
7. Kirim sampel ke laboratorium segera.
27

8. Jika lebih dari 72 jam berlalu sejak transfusi sebelumnya, darah donor
sebelumnya crossmatched harus recrossmatched dengan sampel serum
penerima baru untuk mendeteksi ketidaksesuaian yang baru diperoleh
sebelum transfusi.
9. Jika pasien dijadwalkan untuk operasi dan telah menerima darah selama 3
bulan terakhir, darahnya perlu crossmatched lagi jika operasi nya
dijadwal ulang untuk mendeteksi ketidaksesuaian baru saja diakuisisi.
28

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Crossmatch merupakan sebuah pemeriksaan darah yang dilakukan untuk
menetapkan kompatibilitas dari donor dan penerima darah.
Pemeriksaan ini merupakan uji deteksi antibodi terbaik yang tersedia
untuk menghindari reaksi transfusi mematikan sehingga dilakukan sebelum
melakukan transfusi darah dan apabila terjadi reaksi transfusi darah.
Terdapat dua cara pemeriksaan, yang pertama adalah dengan
mencampur eritrosit pendonor (aglutinogen donor) dengan serum resipien
(aglutinin resipien), atau biasa disebut dengan crossmatch mayor. Sedangkan
yang kedua dengan mencampur eritrosit resipien (aglutinogen resipien)
dengan serum donor (aglutinin donor), atau biasa disebut dengan crossmatch
minor.
Untuk fase dalam cross matching terdiri atas : Test fase I Cross Match
yaitu fase suhu kamar, Tes fase II Cross Match yaitu fase inkubasi 37o C, Tes
fase III Cross Match yaitu fase anti globulin.
Transfusi darah masif jarang dilakukan, lebih-lebih sebab permintaan
darah hampir selalu tersendat-sendat. Kalau terjadi perdarahan banyak dan
persediaan darah kurang, yang diberikan ialah cairan pengganti darah.
Kadang-kadang transfusi darah masif dapat dilakukan sebab
persediaan darah cukup dan kadang-kadang donor juga cukup banyak.
Seandainya persediaan darah cukup, maka pemberian suatu transfusi masif
bukan tanpa risiko untuk terjadinya macam-macam komplikasi, Pada
umumnya komplikasi transfusi ini dibagi menjadi : Reaksi imunologi, Reaksi
non imunologi dan Komplikasi yang berhubungan dengan transfusi darah
masif.
B. Saran
Adapun kritik dan saran akan kami terima demi kemajuan dari
makalah ini sebagai salah satu acuan untuk proses belajar mengajar baik
dikampus maupun dilapangan.

28
29

DAFTAR PUSTAKA

Fatma Vriastuti. 2009. Pemeriksaan Crossmatching (uji cocok serasi)di Unit


Transfusi Darah cabang PMI Kota Surakarta.
http://drdjebrut.wordpress.com/2010/08/31/reaksi-silang-crossmatch-reaction/
(Diakses 26 juli 2017 jam 19.20 wib)

http://mardianafebriyanti.blogspot.com/2011/12/transfusi.html (Diakses 26 juli 2017


jam 19.20 wib)

https://nuruljumpol.wordpress.com/2015/03/05/Pemeriksaan- golongan-darah-abo-
rhesus/ (diakses tanggal 25 Juli 2017 jam 18.30 wib)

www.kalbe.co.id/.../07MasalahTransfusiDarah9.html (Diakses 26 juli 2017 jam


19.00 wib)

Anda mungkin juga menyukai