1. Imam Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Jundub bin Sufyan ia
berkata:
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah sakit sehingga tidak bangun selama dua
atau tiga malam, lalu ada seorang wanita yang datang berkata, “Wahai Muhammad,
sesungguhnya aku berharap setanmu telah meninggalkanmu, karena aku tidak melihat dia
mendekatimu sejak dua atau tiga malam.” Maka Allah ‘Azza wa Jalla ber rman, “Wadh
dhuhaa—Wallaili idzaa sajaa—Maa wadda’aka Rabbuka wamaa qalaa.” (Hadits ini diriwayatkan
pula oleh Muslim, Tirmidzi, dan ia berkata, “Hadits ini hasan shahih,” Ahmad, Thayalisi, Ibnu
Jarir, Al Humaidiy, dan Al Khathiib dalam Muwadhdhih Awhaamil J am’i wat Tafriiq juz 2 hal.
22).
2. Allah Subhaanahu wa Ta'aala bersumpah dengan waktu dhuha dan waktu malam ketika telah
bunyi untuk menerangkan perhatian Dia kepada Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam.
3. Maksudnya, ketika turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam
terhenti untuk sementara waktu, orang-orang musyrik berkata, "Tuhannya (Muhammad) telah
meninggalkannya dan benci kepadanya.” Maka turunlah ayat di atas untuk membantah perkataan
orang-orang musyrik itu, yaitu, “Tuhanmu tidak meninggalkan engkau (Muhammad) dan tidak
(pula) membencimu,” yakni Allah Subhaanahu wa Ta'aala tidaklah meninggalkan Beliau dan
membiarkannya sejak Dia mengurus dan mendidik Beliau, bahkan Dia senantiasa mengurus dan
mendidik Beliau dengan pendidikan yang sebaikbaiknya serta meninggikan Beliau sederajat
demi sederajat.
Inilah keadaan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang dahulu dan yang sekarang;
yakni keadaan yang paling sempurna; kecintaan Allah untuk Beliau dan tetap terus seperti itu
serta diangkatnya Beliau kepada kesempurnaan, dan tetap terusnya mendapatkan perhatian dari
Allah Subhaanahu wa Ta'aala. Adapun keadaan Beliau pada masa mendatang, maka
sebagaimana frman-Nya, “Dan sungguh, yang kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang
permulaan.
5. Maksudnya, bahwa akhir perjuangan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam itu akan
menjumpai kemenangan-kemenangan meskipun permulaannya penuh dengan kesulitan-
kesulitan.
6. Al Hafzh Ibnu Katsir berkata: Imam Abu ‘Amr Al Auza’i berkata (meriwayatkan) dari Isma’il
bin Ubaidullah bin Abul Muhajir Al Makhzumiy dari Ali bin Abdullah bin Abbas dari bapaknya
ia berkata:
Syaikh Muqbil berkata, “Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Jarir sebagaimana
dikatakan Al Haa zh Ibnu Katsir juz 30 hal. 232 dari dua jalan dari Al Auza’iy, dimana pada
salah satunya ada ‘Amr bin Hasyim Al Bairutiy rawi yang meriwayatkan dari Al Auza’iy, dan
dia dha’if, sedangkan pada jalan yang lain ada Rawwad bin Al Jarrah yang diperselisihkan. Saya
kira, orang yang mentsiqahkannya adalah Karena kejujurannya dan agamanya, sedangkan orang
yang mencacatkannya karena ia adalah seorang yang mukhtalith (bercampur hapalannya). Hadits
tersebut juga diriwayatkan oleh Hakim dan ia menshahihkannya juz 2 hal. 526, dan Adz
Dzahabiy mengomentarinya dengan berkata, “’Isham bin Rawwad menyendiri dengan hadits itu
dari bapaknya, sedangkan ia didhaifkan.” Thabrani juga meriwayatkan dalam Al Kabir dan Al
Awsath, Al Haitsami berkata, “Sedangkan dalam riwayat di Al Awsath disebutkan: Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Ditunjukkan kepadaku segala sesuatu yang akan
ditaklukkan untuk umatku setelahku sehingga membuatku senang.” Maka Allah menurunkan
ayat, “Dan sungguh, yang kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang permulaan.” Lalu
disebutkan sama seperti dalam hadits sebelumnya, namun di sana terdapat Mu’awiyah bin Abul
‘Abbas yang aku (Haitsami) tidak mengenalnya, sedangkan para perawi yang lain adalah tsiqah,
dan isnad dalam Al Kabir adalah hasan.”
Syaikh Muqbil juga berkata, “Abu Nu’aim juga meriwayatkan dalam Al Hilyah juz 3 hal.
212 dari Thabrani dan di sana terdapat ‘Amr bin Hasyim Al Bairutiy, selanjutnya ia berkata,
“Hadits ini gharib dari hadits Ali bin Abdullah bin ‘Abbas, dimana tidak ada yang meriwayatkan
darinya kecuali Isma’il. Dan Sufyan ats Tsauriy meriwayatkan hadits itu dari Al Auza’i dari
Ismail seperti itu.” (lihat Ash Shahihul Musnad karya Syaikh Muqbil hal. 267-268).
7. Apa yang disebutkan dalam ayat ini dan setelahnya merupakan bukti perhatian Allah
Subhaanahu wa Ta'aala kepada Beliau.
8. Allah Subhaanahu wa Ta'aala mendapati Beliau dalam keadaan yatim-piatu; Beliau ditinggal
wafat ibu dan bapaknya ketika Beliau tidak bisa mengurus diri Beliau, maka Allah Subhaanahu
wa Ta'aala melindunginya, menyerahkan kepada kakeknya Abdul Muththalib, dan setelah
kakeknya wafat Dia menyerahkan kepada pamannya Abu Thalib sampai kemudian Allah
Subhaanahu wa Ta'aala membantu Beliau dengan pertolongan-Nya kemudian dengan kaum
mukmin.
9. Yang dimaksud dengan bingung di sini ialah kebingungan untuk mendapatkan kebenaran yang
tidak bisa dicapai oleh akal; Beliau tidak tahu apa itu kitab dan apa itu iman, lalu Allah
Subhaanahu wa Ta'aala mengajarkan kepada Beliau apa yang Beliau tidak ketahui; menurunkan
wahyu kepada Beliau dan memberikan Beliau tau q kepada amal dan akhlak yang paling baik.
10. Yakni membuatmu qana’ah (puas dan menerima apa adanya). Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda:
11. Yakni jangan bergaul secara buruk terhadapnya, janganlah dadamu merasa sempit terhadapnya
dan janganlah membentaknya, bahkan muliakanlah, berikanlah kemudahan untuknya, dan
berbuatlah terhadapnya sesuatu yang engkau suka jika anakmu diperlakukan seperti itu.
12. Yakni jangan sampai keluar dari mulutmu ucapan yang mengandung penolakan terhadap
permintaannya dengan bentakan dan sikap yang buruk, bahkan berikanlah kepadanya apa yang
mudah bagimu atau tolaklah dengan cara yang baik dan ihsan.
Kata saa’il (meminta) di sini menurut Syaikh As Sa’diy, termasuk pula yang meminta
harta dan yang meminta ilmu. Oleh karena itu, pengajar diperintahkan berakhlak mulia kepada
penuntut ilmu, memuliakannya dan menaruh rasa kasihan kepadanya, karena yang demikian
dapat membantu maksudnya serta memuliakan orang yang berniat menyebarkan manfaat bagi
hamba dan dunia.
14. Yakni pujilah Allah terhadapnya dan sebutlah nikmat itu jika ada maslahatnya.
Hal itu, karena menyebut-nyebut nikmat Allah dapat membantu untuk bersyukur,
membuat hati mencintai yang memberikannya, yaitu Allah Subhaanahu wa Ta'aala, karena hati
itu dijadikan cinta kepada yang berbuat baik kepadanya.