Disolusi merupakan proses masuknya zat padat kedalam pelarut dan
menghasilkan suatu larutan (proses pelarutan) yang dikendalikan oleh afinitas antara zat padat dan pelarut (Syukri, 2002). Proses disolusi menentukan kecepatan pelepasan zat aktif dari suatu produk obat, yang sangat dipengaruhi oleh sifat fisikokimia zat aktif dan bentuk sediaan. Ketersediaan zat aktif biasanaya ditetapkan oleh kecepatan pelepasan zat aktif dari bentuk sediaannya dan kecepatan melarutnya dalam media sekelilingnya (Syarif et al, 2007). Tujuan dari uji disolusi yaitu untuk meramalkan kecepatan disolusi suatu obat dalam saluran cerna, sebagai panduan dalam pengembangan suatu produk sediaan obat, dan untuk mengawasi keseragaman suatu produk sediaan obat. Prinsip penentuan disolusi bahan aktif sediaan yaitu dengan menentukan jumlah bahan aktif terlarut pada setiap selang waktu tertentu (Raini et al, 2010). Terdapat dua jenis disolusi yaitu disolusi intrinsik dan nyata. Disolusi intrinsik adalah disolusi bahan aktif murni. Adapun laju disolusi intrinsik/Intrinsic Dissolution Rate (IDR) didefinisikan sebagai laju disolusi dari zat aktif yang murni, dimana kondisi luas permukaan, suhu, agitasi, dan media pH dan kekuatan ion dibuat konstan. Oleh karena itu, dari IDR bisa didapatkan informasi tentang kemurnian kimia dan kesetaraan obat dari sumber yang berbeda. Penentuan laju disolusi dapat menjadi penting selama pengembangan molekul baru, karena dengan melakukan uji disolusi dapat memprediksi masalah yang berpotensi untuk molekul baru tersebut (Issa dan Humberto, 2011). Laju disolusi intrinsik merupakan laju dimana suatu padatan melarut di dalam suatu pelarut dalam batasan kuantitatif. Bila suatu tablet sediaan obat lainnya dimasukkan ke dalam saluran cerna, obat tersebut mulai masuk ke dalam larutan dari bentuk padatnya. Jika obat tersebut tidak dilapisi polimer, matriks padatan juga mengalami disintegrasi menjadi granul-granul dan granul yang lain mengalami pemecahan menjadi partikel-partikel yang halus. Disintegrasi, deagregasi, dan disolusi dapat berlangsung secara serentak dengan melepasnya suatu obat dari bentuk sediaan awalnya (Voigt, 1997). Dalam hal penentuan mutu kualitas obat generik dan bermerek dapat dinilai dari respon terapetik. Umumnya, produk tablet mengalami suatu rangkaian proses, meliputi disintegrasi produk obat yang diikuti pelepasan obat, disolusi obat dalam media aqueous, dan absorpsi melewati membran sel menuju sirkulasi sistemik dan menimbulkan respon terapetik (Shargel and Isadore, 2005). Uji disolusi juga digunakan untuk uji bioavailabilitas secara in-vitro, karena hasil uji disolusi berhubungan dengan ketersediaan hayati obat dalam tubuh (Neha et al, 2012). Disolusi merupakan salah satu kontrol kualitas yang dapat digunakan untuk memprediksi bioavailabilitas, dan dalam beberapa kasus dapat dijadikan sebagai pengganti uji klinik untuk menilai bioekivalen. Hubungan kecepatan disolusi in vitro dan bioavailabilitasnya dirumuskan dalam bentuk IVIVC (in vitro – in vivo corelation) (Sulaiman, 2007). Uji disolusi digunakan untuk menentukan kesesuaian dengan persyaratan disolusi yang tertera dalam masing-masing monografi untuk sediaan tablet dan kapsul, kecuali pada etiket dinyatakan bahwa tablet harus dikunyah. Persyaratan disolusi tidak berlaku untuk kapsul gelatin lunak kecuali bila dinyatakan dalam masing-masing monografi. Bila pada etiket dinyatakan bahwa sediaan bersalut enterik, sedangkan dalam masing-masing monografi, uji disolusi atau uji waktu hancur tidak secara khusus dinyatakan untuk sediaan bersalut enterik, maka digunakan cara pengujian untuk sediaan lepas lambat seperti yang tertera pada uji pelepasan obat (Depkes RI, 1995). Perbedaan laju disolusi tablet dapat disebabkan oleh faktor berikut: 1. Sifat Fisika Kimia Obat Adanya perbedaan ukuran partikel dari zat khasiat obat akan mempengaruhi pelarutan. Zat khasiat dalam bentuk kristal lebih sukar larut daripada zat khasiat dalam bentuk amorf karena bentuk kristal lebih keras dan kaku sehingga lebih stabil. Di samping itu kelarutan obat dalam air juga mempengaruhi laju disolusi. Zat khasiat dalam bentuk garam akan lebih mudah larut dari pada dalam bentuk asamnya. 2. Faktor Formulasi Komponen dalam formulasi suatu sediaan obat dapat mempengaruhi tegangan permukaan antara medium tempat obat melarut dengan zat khasiat obat, sehingga mempengaruhi kecepatan pelarutan zat khasiat obat. Penggunaan bahan tambahan yang bersifat hidrofob seperti magnesium stearat, dapat menaikkan tegangan permukaan obat dengan medium disolusi. Beberapa bahan tambahan lain dapat membentuk kompleks dengan bahan obat. Hal ini menyebab kan jumlah obat terdisolusi menjadi lebih sedikit, sehingga berpengaruh juga terhadap obat yang diabsorpsi. 3. Faktor Alat dan Kondisi Lingkungan Adanya perbedaan alat yang digunakan dalam uji disolusi akan mempengaruhi kecepatan pelarutan obat. Kecepatan pengadukan akan mempengaruhi kecepatan pelarutan obat, semakin cepat pengadukan, semakin cepat pergerakan medium sehingga akan meningkatkan kelarutan obat. Selain itu, suhu viskositas dan komposisi medium serta pengambilan sampel juga akan mempengaruhi kecepatan pelarutan obat. Medium disolusi yang paling umum adalah air, buffer dan 0,1 N HCl. Dalam beberapa hal zat yang tidak larut dalam larutan air, maka zat organik yang dapat merubah sifat ini atau surfaktan dapat digunakan untuk meningkatkan kelarutan (Lee et al, 2008). Dari jenis alat penggunaannya dari salah satu sesuai dengan yang tertera dalam masing-masing monografi yaitu: a. Tipe Keranjang Terdiri dari sebuah wadah bertutup yang terbuat dari kaca atau bahan transparan lain yang inert, motor, batang logam yang digerakkan oleh motor, dan keranjang berbentuk silinder. Wadah tercelup sebagian di dalam suatu tangas air yang sesuai sehingga dapat mempertahankan suhu dalam wadah pada 37° ± 0,5°C selama pengujian berlangsung dan menjaga agar gerakan air dalam tangas air halus dan tetap. b. Tipe Dayung Dayung yang digunakan terdiri dari dari daun dan batang sebagai pengaduk. Batang berada pada posisi dimana sumbunya tidak lebih dari 2 mm pada setiap titik dari sumbu vertikal wadah dan berputar dengan halus tanpa goyangan yang berarti. Daun melewati diameter batang sehingga dasar daun dan batang rata. Jarak 25 mm ± 2 mm antara daun dan bagian dalam dasar wadah dipertahankan selama pengujian berlangsung. Daun dan batang logam yang merupakan satu kesatuan dapat disalut dengan suatu penyalut inert yang sesuai. Sediaan dibiarkan tenggelam ke dasar wadah sebelum dayung mulai berputar. Sepotong kecil bahan yang tidak bereaksi seperti gulungan kawat berbentuk spiral dapat digunakan untuk mencegah mengapungnya sediaan (Depkes RI, 1995). Teofilin adalah derivate xantin yang berkhasiat sebagai bronkodilator untuk pengobatan asma bronkial. Teofilin memiliki terapi sempit (10-20 µg/mL darah) dan dapat diabsorbsi dengan cepat dan sempurna, sehingga kadar puncak serum dicapai kira-kira hanya dalam 1-2 jam setelah penggunaan oral. Volume distribusinya mencapai 0,5 L/kg dan mengikuti model 2 kompartemen. Pada berat badan ideal, klirens teofilin rata-rata 0,04 L/lg/hari dengan waktu paruh pada pasien dewasa mencapai 3-9 jam. Teofilin dapat ditetapkan kadarnya dengan spektrofotometri pada panjang gelombang maksimum 271-272 nm (Gusmayandi, 2013). Aplikasi uji disolusi intrinsik adalah terkait dengan penggunaannya sebagai alat untuk karakterisasi obat dalam bentuk solid seperti penentuan parameter termodinamik yang terkait dengan transisi dari fase kristal, derajat hidrasi, pengamatan fenomena perpindahan massa dalam proses disolusi, evaluasi laju disolusi obat di berbagai media (variasi pH atau penggunaan surfaktan), dan hubungan antara laju disolusi zat aktif dan bentuk kristalnya (Issa dan Humberto, 2011). DAFTAR PUSTAKA Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia, Edisi IV. Jakarta: Depkes RI. Gusmayandi, Inding. 2013. Pengaruh Perbandingan Konsentrasi Kombinasietil Selulosa dengan Hidroksi Propil Selulosa sebagai Matriks Terhadap Pelepasan Teofilin. Farmasains, 2(2): 92-97. Issa, Michele G. dan Humberto G. Ferraz. 2011. Intrinsic Dissolution as a Tool for Evaluating Drug Solubility in Accordance with the Biopharmaceutics Classification System. Dissolution Technologies. 18 (2): 17–23. Lee, Sau L., Andre S. Raw., and Lawrence Yu. 2008. Dissolution Testing, Biopharmaceutics Applications in Drug Development. Rockville: Food and Drug Administration, Center for Drug Evaluation & Research. Neha, Preeti C., K. Atin, P. Rajan, M.R. Kumar, M. Santanu, K. Pardeep, A. Munsab, and A. Shamim. 2012. Approaches to Improve the Solubility and Bioavailability of Poorly Soluble Drugs and Different Parameter to Screen Them. Novel Science International Journal of Pharmaceutical Science, 1(4): 171-182. Raini, M., Daroham Mutiatikum, dan Pudji Lastari. 2010. Uji Disolusi dan Penetapan Kadar Tablet Loratadin Inovator dan Generik Bermerek. Media Litbang Kesehatan, 20(2). Shargel, L. and Isadore Kanfer. 2005. Generic Drug Product Development: Solid Oral Dossage Form. New York: Marcel Dekker Inc. Sulaiman, T.N.S. 2007. Teknologi dan Formulasi Sediaan Tablet, Cetakan Pertama. Yogyakarta: Mitra Communications Indonesia. Syarif, Amir., Purwantyastuti Ascobat, Ari Estuningtyas, Rianto Setiabudy, Arini Setiawati, Armen Muchtar, et al. 2007. Farmakologi dan Terapi, Edisi V. Jakarta: Gaya Baru. Syukri, Yandi. 2002. Biofarmasetika. Yogyakarta: UII Press. Voight, Rudolf. 1971. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Yogyakarta: UGM Press.