Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

PERITONITIS

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik


Departemen Emergency IGD Rumah Sakit tingkat II dr. Soepraoen Malang

Oleh :
I GUSTI AYU DEBBY TIANA HANEYSTI
NIM. 170070301111076
KELOMPOK 3

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
PERITONITIS

A. DEFINISI
Peritonitis didefinisikan sebagai suatu proses inflamasi membran serosa yang
membatasi rongga abdomen dan organ-organ yang terdapat didalamnya. Peritonitis
dapat bersifat lokal maupun generalisata, bacterial ataupun kimiawi.Peradangan
peritoneum dapat disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, bahan kimia iritan, dan benda
asing (Smeltzer & Bare, 2002)
Peritonitis adalah inflamasi peritoneum yaitu lapisan membrane serosa rongga
abdomen dan meliputi visera merupakan penyulit berbahaya yang dapat terjadi dalam
bentuk akut maupun kronis. (Haryono, 2012)
Peritonitis adalah peradangan pada peritoneum (lapisan membrane serosa
rongga abdomen) dan organ di dalamnya. (Mutaqqin, 2011)

B. KLASIFIKASI
Berdasarkan sumber dan terjadinya kontaminasi mikrobial, peritonitis diklasifikasikan
menjadi: primer, sekunder, dan tersier, yakni:
1. Peritonitis Primer
Merupakan peritonitis akibat kontaminasi bakterial secara hematogen pada
cavum peritoneum dan tidak ditemukan fokus infeksi dalam abdomen. Sumber
infeksi umumnya ekstraperitonial yang menyebar secara hematogen.
Penyebabnya bersifat monomikrobial, biasanya E. Coli, Sreptococus atau
Pneumococus. Peritonitis bakterial primer dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Spesifik : misalnya Tuberculosis
b. Non spesifik : misalnya Pneumonia non tuberculosis an Tonsilitis.
Faktor resiko yang berperan pada peritonitis ini adalah adanya malnutrisi,
keganasan intraabdomen, imunosupresi dan splenektomi.
Kelompok resiko tinggi adalah pasien dengan sindrom nefrotik, gagal ginjal
kronik, lupus eritematosus sistemik, dan sirosis hepatis dengan asites. Kejadian
peritonitis primer kurang dari 5% kasus bedah.
Gambaran :
a. Biasa terjadi pada masa anak-anak dengan sindrom nefrotik atau serosis hati
b. Tidak ada sumber infeksi pada intra abdomen
c. Lebih bayak diderita perempuan daripada laki-laki
d. Kuman masuk melalui aliran darah atau alat genital
e. Rasa sakit dan lemas
f. Dehidrasi dan nyeri tekan
g. Otot abdomen tegang
h. Kembung
i. Bunyi peristaltic sulit ditemukan

2. Peritonitis Sekunder (Supurativa)


Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akut atau perforasi tractusi
gastrointestinal atau tractus urinarius. Pada umumnya organisme tunggal tidak akan
menyebabkan peritonitis yang fatal. Sinergisme dari multipel organisme dapat
memperberat terjadinya infeksi ini. Bakteri anaerob, khususnya spesies Bacteroides,
dapat memperbesar pengaruh bakteri aerob dalam menimbulkan infeksi.
Selain itu luas dan lama kontaminasi suatu bakteri juga dapat memperberat
suatu peritonitis. Kuman dapat berasal dari:
- Luka/trauma penetrasi, yang membawa kuman dari luar masuk ke dalam cavum
peritoneal.
- Perforasi organ-organ dalam perut, contohnya peritonitis yang disebabkan oleh
bahan kimia, perforasi usus sehingga feces keluar dari usus.
- Komplikasi dari proses inflamasi organ-organ intraabdominal, misalnya
appendisitis.
Peritonitis sekunder merupakan infeksi yang berasal dari intraabdomen yang
umumnya berasal dari perforasi organ berongga. Peritonitis sekunder merupakan
jenis peritonitis yang paling umum, lebih dari 90% kasus bedah.
Gambaran :
a. Kuman yang masuk banyak biasa dari GIT dan imun klien
b. Kuman campuran, aerob dan anaerob
c. Adanya sumber infeksi intraperitoneal; apendisitis, difertikulitis, salpingitis
kolesistisis, pankreastitis.
d. Dapat dari trauma yang menyebabkan rupture pada GIT atau perforasi setelah
endoskopi, biopsy
e. Dapat terjadi keganasan GIT
f. Tertelannya benda asing dan tajam
g. Sangat nyeri
h. Tidak berani bergerak saat tidur
i. Napas pendek
j. Awalnya tensi turun sedikit dan nadi lebih cepat, kemudian masuk dalam renjatan
dengan nadi kecil dan cepat
k. Hipovolemia
l. Abdomen tegang
3. Peritonitis Tersier
Merupakan peritonitis yang disebabkan oleh iritan langsung, seperti misalnya
empedu, getah lambung, getah pankreas, dan urine. Peritonitis tersier terjadi akibat
kegagalan respon inflamasi tubuh atau superinfeksi. Peritonitis tersier dapat terjadi
akibat peritonitis sekunder yang telah dilakukan intervensi pembedahan ataupun
medikamentosa. Kejadian peritonitis tersier kurang dari 1% kasus bedah.

C. ETIOLOGI
Penyebab terjadinya peritonitis adalah invasi kuman bakteri ke dalam rongga
peritoneum. Kuman yang paling sering adalah bakteri gram negatif, meliputi: E. coli
(40%), Klebsiella pneumonia (7%), Pseudomonas species, Proteus species, gram
negatif lainnya (20%), sedangkan bakteri gram positif seperti Streptococcus pneumonia
(15%), Streptococcus lainnya (15%), dan Staphylococcus (3%). Mikroorganisme
anaerob kurang dari 5%.
a. Infeksi bakteri
 Mikroorganisme berasal dari penyakit saluran gastrointestinal
 Appendicitis yang meradang dan perforasi
 Tukak peptik (lambung/duodenum)
Ditandai oleh perangsangan peritoneum yang mulai di epigastrium dan meluas
keseluruh peritonium akibat peritonitis generalisata. Perforasi lambung dan
duodenum bagian depan menyebabkan peritonitis akut. Penderita yang
mengalami perforasi ini tampak kesakitan hebat seperti ditikam di perut. Nyeri ini
timbul mendadak terutama dirasakan di daerah epigastrium karena rangsangan
peritonium oleh asam lambung, empedu dan atau enzim pankreas. Kemudian
menyebar keseluruh perut menimbulkan nyeri seluruh perut pada awal perforasi,
belum ada infeksi bakteria, kadang fase ini disebut fase peritonitis kimia, adanya
nyeri di bahu menunjukkan rangsangan peritoneum berupa mengenceran zat
asam garam yang merangsang, ini akan mengurangi keluhan untuk sementara
sampai kemudian terjadi peritonitis bakteria.
 Tukak thypoid
 Tukak disentri amuba/colitis
 Tukak pada tumor
 Salpingitis
 Diverticulitis
Kuman yang paling sering adalah bakteri Coli, Streptokokus µ dan b hemolitik,
Stapilokokus aurens, enterokokus dan yang paling berbahaya adalah Clostridium
wechii (Haryono, 2012)
b. Secara langsung dari luar
 Operasi yang tidak steril
 Terkontaminasi talcum venetum, lycopodium, sulfonamide, terjadi peritonitis yang
disertai pembentukan jaringan granulomatosa sebagai respon terhadap benda
asing, disebut juga peritonitis granulomatosa serta merupakan peritonitis lokal
 Trauma pada kecelakaan seperti rupture limpa, rupture hati
 Melalui tuba fallopius seperti cacing enterobius vermikularis. Terbentuk pula
peritonitis granulomatosa .(Haryono, 2012)
c. Secara hematogen sebagai komplikasi beberapa penyakit akut seperti radang
saluran pernapasan bagian atas, otitis media, mastoiditis, glomerulonephritis.
Penyebab utama adalah streptokokus atau pnemokokus.(Haryono, 2012)
d. Kelompok resiko tinggi adalah pasien dengan sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik,
lupus eritematosus sistemik, dan sirosis hepatis dengan asites. Pasien dengan asites
akibat penyakit hati kronik, akibat Asites akan terjadi kontaminasi hingga ke rongga
peritoneal sehingga menjadi translokasi bakteri menuju dinding perut atau pembuluh
limfe mesenterium, kadang-kadang terjadi pula penyebaran hematogen jika telah
terjadi bakteremia.
e. Malnutrisi
f. Keganasan intraabdomen
g. Imunosuppresi
h. Splenektomi
i. Penyebaran infeksi dari organ perut yang terinfeksi. Yang sering menyebabkan
peritonitis adalah perforasi lambung, usus, kandung empedu atau usus buntu.
Sebenarnya peritoneum sangat kebal terhadap infeksi. Jika pemaparan tidak
berlangsung terus-menerus, tidak akan terjadi peritonitis, dan peritoneum cenderung
mengalami penyembuhan bila diobati.
j. Penyakit radang panggul pada wanita yang masih aktif melakukan kegiatan seksual
k. Infeksi dari rahim dan saluran telur, yang mungkin disebabkan oleh beberapa jenis
kuman (termasuk yang menyebabkan gonore dan infeksi chlamidia)
l. Kelainan hati atau gagal jantung, dimana cairan bisa berkumpul di perut (asites) dan
mengalami infeksi
m. Peritonitis dapat terjadi setelah suatu pembedahan. Cedera pada kandung empedu,
ureter, kandung kemih atau usus selama pembedahan dapat memindahkan bakteri
ke dalam perut. Kebocoran juga dapat terjadi selama pembedahan untuk
menyambungkan bagian usus.
n. Dialisa peritoneal (pengobatan gagal ginjal) sering mengakibatkan peritonitis.
Penyebabnya biasanya adalah infeksi pada pipa saluran yang ditempatkan di dalam
perut.
o. Iritasi tanpa infeksi. Misalnya peradangan pankreas (pankreatitis akut) atau bubuk
bedak pada sarung tangan dokter bedah juga dapat menyebabkan peritonitis tanpa
infeksi.
D. MANIFESTASI KLINIS
1. Syok (neurogenik, hipovolemik atau septik) terjadi pada beberapa penderita
peritonitis umum
2. Demam
3. Distensi abdomen
4. Nyeri tekan abdomen dan rigiditas yang lokal, difus, atrofi umum, tergantung pada
perluasan iritasi peritonitis. Nyeri abdomen (akut abdomen) dengan nyeri yang
tumpul dan tidak terlalu jelas lokasinya (peritoneum visceral) yang makin lama makin
jelas lokasinya (peritoneum parietal).
5. Bising usus tak terdengar pada peritonitis umum dapat terjadi pada daerah yang jauh
dari lokasi peritonitisnya
6. Nausea
7. Vomiting
8. Penurunan peristaltic
9. Tanda-tanda peritonitis relative sama dengan infeksi berat yaitu demam tinggi atau
pasien yang sepsis bisa menjadi hipotermia, takikardi, dehidrasi hingga menjadi
hipotensi (Haryono, 2012).

E. PATOFISIOLOGI
(terlampir)

F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Tes laboratorium
 Leukositosis
Pada peritonitis tuberculosa cairan peritoneal mengandung banyak protein (lebih
dari 3 gram/100 ml) dan banyak limfosit, basil tuberkel diidentifikasi dengan
kultur. Biopsi peritoneum per kutan atau secara laparoskopi memperlihatkan
granuloma tuberkuloma yang khas, dan merupakan dasar diagnosa sebelum
hasil pembiakan didapat.
 Hematokrit meningkat
 Asidosis metabolic (dari hasil pemeriksaan laboratorium pada pasien peritonitis
didapatkan PH =7.31, PCO2= 40, BE= -4 )(Haryono, 2012)
b. X-ray
 Foto polos abdomen 3 posisi (anterior, posterior, lateral), didapatkan:
- Ileus merupakan penemuan yang tak khas pada peritonitis
- Usus halus dan usus besar dilatasi
- Udara bebas dalam rongga abdomen terlihat pada kasus perforasi (Haryono,
2012).
Menurut Muttaqin, 2011 pemeriksaan diagnostik pada klien yang mengalami
peritonitis terdiri atas pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan radiografik, dan USG.
a. Pemeriksaan laboratorium, meliputi hal-hal sebagai berikut:
 Sebagian besar pasien dengan infeksi intra-abdomen menunjukkan
leukositosis (>11.000 sel/µL)
 Kimia darah dapat mengungkapkan dehidrasi dan asidosis
 Pemeriksaan waktu pembekuan dan perdarahan untuk mendeteksi disfungsi
pembekuan
 Tes fungsi hati jika diindikasikan secara klinis
 Urinalisis penting untuk menyingkirkan penyakit saluran kemih (misalnya:
pielonefritis, penyakit batu ginjal), namun pasien dengan perut bagian bawah
dan infeksi panggul sering menunjukkan sel darah putih dalam air seni dan
mikrohematuria
 Kultur darah untuk mendeteksi agen infeksi septicemia
 Cairan peritoneal (yaitu paracentesis, aspirasi cairan perut dan kultur cairan
peritoneal). Pada peritonitis tuberkulosa, cairan peritoneal mengandung
banyak protein (>3 gram/100ml) dan banyak limfosit, basil tuberkel
diidentifikasi dengan kultur (Laroche, 1998)
b. Pemeriksaan radiografik
1. Foto polos abdomen
Walaupun identifikasi sangat terbatas, kondisi ileus mungkin didapatkan
usus halus dan usus besar berdilatasi. Udara bebas hadir dalam kebanyakan
kasus anterior perforasi lambung dan duodenum, tetapi jauh lebih jarang
dengan perforasi dari usus kecil dan usus besar, serta tidak biasa dengan
appendiks perforasi. Tegak film berguna untuk mengidentifikasi udara bebas
di bawah diafragma (paling sering di sebelah kanan) sebagai indikasi adanya
viskus berlubang. (Bandy, 2008)
2. CT Scan
CT Scan abdomen dan panggul tetap menjadi studi diagnostik pilihan
untuk abses peritoneal. CT Scan ditunjukkan dalam semua kasus dimana
diagnosis tidak dapat dibangun atas dasar klinis dan temuan di foto polos
abdomen. Abses peritoneal dan cairan lain dpat diambil untuk diagnosis atau
terapi di bawah bimbingan CT. (Kleinhaus, 1982)
3. MRI
MRI adalah salah suatu modalitas pencitraan muncul untuk diagnosis
dicurigai abses intra-abdomen. Abses abdomen menunjukkan penurunan
intensitas sinyal pada gambar T!-weighted. Terbatasnya ketersediaan dan
biaya tinggi, serta kebutuhan MRI yang kompatibel dengan dukungan
peralatan dan waktu pemeriksaan yang lama membatasi kegunaannya
sebagai alat diagnostik peritonitis, terutama bagi pasien yang sakit kritis.
c. USG
USG abdomen dpat membantu dalam evaluasi kuaddran kanan atas
(misalnya perihepatic abses, kolesistitis, biloma, pankreastitis, pancreas
pseudocyst), kuadran kanan bawah, dan patologi pelvis (misalnya: apendisitis,
abses tuba-ovarium, abses douglas), tetapi terkadang pemeriksaan menjadi
terbatas karena adanya nyeri, distensi perut dan gangguan gas usus. USG dapat
mendeteksi peningkatan jumlah cairan peritoneal (asites), tetapi kemampuannya
untuk mendeteksi jumlah <100ml sangat terbatas. (Peralta, 2006)

G. PENATALAKSANAAN
Fokus utama penatalaksanaan pada pasien peritonitis adalah penggantian cairan,
koloid, dan elektrolit.Management peritonitis tergantung dari diagnosis penyebabnya.
Hampir semua penyebab peritonitis memerlukan tindakan pembedahan (laparotomi
eksplorasi).Pertimbangan dilakukan pembedahan antara lain :
 Pada pemeriksaan fisik didapatkan defans muskuler yang meluas, nyeri tekan
terutama jika meluas, distensi perut, massa yang nyeri, tanda perdarahan (syok,
anemia progresif), tanda sepsis (panas tinggi, leukositosis), dan tanda iskemia
(intoksikasi, memburuknya pasien saat ditangani).
 Pada pemeriksaan radiology didapatkan pneumo peritoneum, distensi usus,
extravasasi bahan kontras, tumor, dan oklusi vena atau arteri mesenterika.
 Pemeriksaan endoskopi didapatkan perforasi saluran cerna dan perdarahan saluran
cerna yang tidak teratasi.
 Pemeriksaan laboratorium.
Pembedahan dilakukan bertujuan untuk :
 Mengeliminasi sumber infeksi.
 Mengurangi kontaminasi bakteri pada cavum peritoneal
 Pencegahan infeksi intra abdomen berkelanjutan.
Apabila pasien memerlukan tindakan pembedahan maka kita harus
mempersiapkan pasien untuk tindakan bedah a.l :
 Mempuasakan pasien untuk mengistirahatkan saluran cerna.
 Pemasangan NGT untuk dekompresi lambung.
 Pemasangan kateter untuk diagnostic maupun monitoring urin.
 Pemberian terapi cairan melalui I.V.
 Pemberian antibiotic.
Terapi bedah pada peritonitis antara lain:
 Kontrol sumber infeksi, dilakukan sesuai dengan sumber infeksi. Tipe dan luas dari
pembedahan tergantung dari proses dasar penyakit dan keparahan infeksinya.
 Pencucian rongga peritoneum: dilakukan dengan debridement, suctioning, kain
kassa, lavase, irigasi intra operatif. Pencucian dilakukan untuk menghilangkan pus,
darah, dan jaringan yang nekrosis.
 Debridemen : mengambil jaringan yang nekrosis, pus dan fibrin.
 Irigasi kontinyu pasca operasi
Terapi post operasi antara lain:
 Pemberian cairan I.V, dapat berupa air, cairan elektrolit, dan nutrisi.
 Pemberian antibiotic
 Oral-feeding, diberikan bila sudah flatus, produk NGT minimal, peristaltic usus pulih,
dan tidak ada distensi abdomen.

1. Terapi
Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang
dilakukan secara intravena, pemberian antibiotika yang sesuai, dekompresi saluran
cerna dengan penghisapan nasogastrik dan intestinal, pembuangan fokus septik
(apendiks, dsb) atau penyebab radang lainnya, bila mungkin mengalirkan nanah keluar
dan tindakan-tindakan menghilangkan nyeri.
Resusitasi hebat dengan larutan saline isotonik adalah penting. Pengembalian
volume intravaskular memperbaiki perfusi jaringan dan pengantaran oksigen, nutrisi,
dan mekanisme pertahanan. Keluaran urine tekanan vena sentral, dan tekanan darah
harus dipantau untuk menilai keadekuatan resusitasi.
a. Terapi antibiotika harus diberikan sesegera diagnosis peritonitis bakteri dibuat.
Antibiotik berspektrum luas diberikan secara empirik, dan kemudian dirubah
jenisnya setelah hasil kultur keluar. Pilihan antibiotika didasarkan pada organisme
mana yang dicurigai menjadi penyebab. Antibiotika berspektrum luas juga
merupakan tambahan drainase bedah. Harus tersedia dosis yang cukup pada saat
pembedahan, karena bakteremia akan berkembang selama operasi.
b. Pembuangan fokus septik atau penyebab radang lain dilakukan dengan operasi
laparotomi. Insisi yang dipilih adalah insisi vertikal digaris tengah yang
menghasilkan jalan masuk ke seluruh abdomen dan mudah dibuka serta ditutup.
Jika peritonitis terlokalisasi, insisi ditujukan diatas tempat inflamasi. Tehnik operasi
yang digunakan untuk mengendalikan kontaminasi tergantung pada lokasi dan sifat
patologis dari saluran gastrointestinal. Pada umumnya, kontaminasi peritoneum
yang terus menerus dapat dicegah dengan menutup, mengeksklusi, atau
mereseksi viskus yang perforasi.
c. Lavase peritoneum dilakukan pada peritonitis yang difus, yaitu dengan
menggunakan larutan kristaloid (saline). Agar tidak terjadi penyebaran infeksi
ketempat yang tidak terkontaminasi maka dapat diberikan antibiotika (misal
sefalosporin) atau antiseptik (misal povidon iodine) pada cairan irigasi. Bila
peritonitisnya terlokalisasi, sebaiknya tidak dilakukan lavase peritoneum, karena
tindakan ini akan dapat menyebabkan bakteria menyebar ketempat lain.
d. Drainase (pengaliran) pada peritonitis umum tidak dianjurkan, karena pipa drain itu
dengan segera akan terisolasi/terpisah dari cavum peritoneum, dan dapat menjadi
tempat masuk bagi kontaminan eksogen. Drainase berguna pada keadaan dimana
terjadi kontaminasi yang terus-menerus (misal fistula) dan diindikasikan untuk
peritonitis terlokalisasi yang tidak dapat direseksi.
2. Pengobatan
Biasanya yang pertama dilakukan adalah pembedahan eksplorasi darurat,
terutama bila terdapat apendisitis, ulkus peptikum yang mengalami perforasi atau
divertikulitis. Pada peradangan pankreas (pankreatitis akut) atau penyakit radang
panggul pada wanita, pembedahan darurat biasanya tidak dilakukan. Diberikan
antibiotik yang tepat, bila perlu beberapa macam antibiotik diberikan bersamaan.
Keperawatan perioperatif merupakan istilah yang digunakan untuk
menggambarkan keragaman fungsi keperawatan yang berkaitan dengan pengalaman
pembedahan pasien yang mencakup tiga fase yaitu :
a. Fase praoperatif dari peran keperawatan perioperatif dimulai ketika keputusan
untuk intervensi bedah dibuat dan berakhir ketika pasien digiring kemeja operasi.
Lingkup aktivitas keperawatan selama waktu tersebut dapat mencakup penetapan
pengkajian dasar pasien ditatanan klinik atau dirumah, menjalani wawancaran
praoperatif dan menyiapkan pasien untuk anastesi yang diberikan dan
pembedahan. Bagaimanapun, aktivitas keperawatan mungkin dibatasi hingga
melakukan pengkajian pasien praoperatif ditempat ruang operasi.
b. Fase intraoperatif dari keperawatan perioperatif dimulai ketika pasien masuk atau
dipindah kebagian atau keruang pemulihan. Pada fase ini lingkup aktivitas
keperawatan dapat meliputi: memasang infuse (IV), memberikan medikasi
intravena, melakukan pemantauan fisiologis menyeluruh sepanjang prosedur
pembedahan dan menjaga keselamatan pasien. Pada beberapa contoh, aktivitas
keperawatan terbatas hanya pada menggemgam tangan pasien selama induksi
anastesia umum, bertindak dalam peranannya sebagai perawat scub, atau
membantu dalam mengatur posisi pasien diatas meja operasi dengan
menggunakan prinsip-prinsip dasar kesejajaran tubuh.
c.Fase pascaoperatif dimulai dengan masuknya pasien keruang pemulihan dan
berakhir dengan evaluasi tindak lanjut pada tatanan kliniik atau dirumah. Lingkup
keperawatan mencakup rentang aktivitas yang luas selama periode ini. Pada fase
pascaoperatif langsung, focus terhadap mengkaji efek dari agen anastesia dan
memantau fungsi vital serta mencegah komplikasi. Aktivitas keperawatan
kemudian berfokus pada penyembuhan pasien dan melakukan penyuluhan,
perawatan tindak lanjut dan rujukan yang penting untuk penyembuhan yang
berhasil dan rehabilitasi diikuti dengan pemulangan. Setiap fase ditelaah lebih
detail lagi dalam unit ini. Kapan berkaitan dan memungkinkan, proses keperawatan
pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi dan evaluasi diuraikan.
Jadi, secara umum tujuan dari penatalaksanaan medis pada klien yang
mengalami peritonitis adalah :
 Untuk mengontrol sumber infeksi
 Untuk menghilangkan bakteri dan toksin
 Untuk menjaga fungsi sistem organ
 Untuk mengontrol proses inflamasi (Bandy, 2008)

H. KOMPLIKASI
Komplikasi dapat terjadi pada peritonitis bakterial akut sekunder, dimana komplikasi
tersebut dapat dibagi menjadi komplikasi dini dan lanjut, yaitu:
a. Komplikasi dini.
 Septikemia dan syok septic.
 Syok hipovolemik.
 Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan kegagalan
multisystem.
 Abses residual intraperitoneal.
 Portal Pyemia (misal abses hepar).
b. Komplikasi lanjut.
 Adhesi.
 Obstruksi intestinal rekuren

I. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a) Identitas
Umur, jenis kelamin, suku /bangsa, pendidikan, pekerjaan, alamat
b) Keluhan utama
Keluhan utama yang sering muncul adalah nyeri kesakitan di bagian perut
sebelah kanan dan menjalar ke pinggang.
c) Riwayat penyakit sekarang
Peritinotis dapat terjadi pada seseorang dengan peradangan iskemia, peritoneal
diawali terkontaminasi material, sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus
eritematosus, dan sirosis hepatis dengan asites.
d) Riwayat penyakit dahulu
Seseorang dengan peritonotis pernah ruptur saluran cerna, komplikasi post
operasi, operasi yang tidak steril dan akibat pembedahan, trauma pada
kecelakaan seperti ruptur limpa dan ruptur hati.
e) Riwayat penyakit keluarga
Secara patologi peritonitis tidak diturunkan, namun jika peritonitis ini disebabkan
oleh bakterial primer, seperti: Tubercolosis. Maka kemungkinan diturunkan ada.
f) Pola Fungsional
 Aktivitas/Istirahat
Gejala : Kelemahan.
Tanda : Kesulitan ambulasi
 Sirkulasi
Gejala : Takikardia, berkeringat, pucat, hipotensi (tanda syok).
Edema jaringan.
 Eliminasi
Gejala : Ketidakmampuan defekasi dan flatus, diare (kadang-kadang).
Tanda : Cegukan ; distensi abdomen, abdomen diam.
Penurunan haluaran urin, warna gelap.
Penurunan/tak ada bising usus (ileus), bunyi keras hilang timbul,
bising usus kasar (obstruksi), kekakuan abdomen, nyeri tekan.
Hiperesonan/timpani (ileus), hilang suara pekak diatas hati (udara
bebas dalam abdomen).
 Makanan/Cairan
Gejala : Anoreksia, mual/muntah, haus.
Tanda : Muntah proyektil.
Membran mukosa kering, lidah bengkak, turgor kulit buruk.
 Nyeri/Kenyamanan
Gejala : Nyeri abdomen tiba-tiba berat, umum atau lokal, menyebar ke
bahu,
terus menerus oleh gerakan.
Tanda : Distensi, kaku, nyeri tekan.
Otot tegang (abdomen), lutut fleksi, perilaku distraksi, gelisah, fokus
pada diri sendiri.
 Pernapasan
Gejala : Pernapasan dangkal, takipnea.
 Keamanan
Gejala : Riwayat inflamasi organ pelvik (salpingitis), infeksi pasca
melahirkan, abses peritoneal.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi, demam dan kerusakan jaringan.
b. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan trauma jaringan.
c. Ketidakseibangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia dan muntah.
d. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan volume cairan aktif.
e. Ketidakefektifan pola nafas b.d penurunan kedalaman pernafasan sekunder
distensi abdomen dan menghindari nyeri.
f. Kerusakan integritas kulit b.d factor mekanik (pembedahan)
g. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan.

3. Rencana Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi


Keperawatan Hasil

1 Defisit Volume Setelah dilakukan 1. Pertahankan catatan intake


Cairan tindakan keperawatan dan output yang akurat
selama 3x 24 jam 2. Monitor status hidrasi
defisit volume cairan ( kelembaban membran
teratasi dengan mukosa, nadi adekuat,
kriteria hasil: tekanan darah ortostatik ), jika
 Mempertahankan diperlukan
urine output sesuai 3. Monitor hasil lab yang sesuai
dengan usia dan BB, dengan retensi cairan (BUN ,
BJ urine normal, Hmt , osmolalitas urin,
 Tekanan darah, albumin, total protein )
nadi, suhu tubuh 4. Monitor vital sign setiap
dalam batas normal 15menit – 1 jam
 Tidak ada tanda 5. Kolaborasi pemberian cairan
tanda dehidrasi, IV
Elastisitas turgor 6. Monitor status nutrisi
kulit baik, membran 7. Berikan cairan oral
mukosa lembab, 8. Berikan penggantian
tidak ada rasa haus nasogatrik sesuai output (50 –
yang berlebihan 100cc/jam)
 Orientasi terhadap 9. Dorong keluarga untuk
waktu dan tempat membantu pasien makan
baik 10. Kolaborasi dokter jika tanda
 Jumlah dan irama cairan berlebih muncul
pernapasan dalam meburuk
batas normal 11. Atur kemungkinan tranfusi
 Elektrolit, Hb, Hmt 12. Persiapan untuk tranfusi
dalam batas normal 13. Pasang kateter jika perlu
14. Monitor intake dan urin output
 pH urin dalam batas
setiap 8 jam
normal
 Intake oral dan
intravena adekuat
2 Nyeri akut Setelah dilakukan 1. Lakukan pengkajian nyeri
tinfakan keperawatan secara komprehensif termasuk
selama 3x24 lokasi, karakteristik, durasi,
jamPasien tidak frekuensi, kualitas dan faktor
mengalami nyeri, presipitasi
dengan kriteria hasil: 2. Observasi reaksi nonverbal
 Mampu mengontrol dari ketidaknyamanan
nyeri (tahu 3. Bantu pasien dan keluarga
penyebab nyeri, untuk mencari dan
mampu menemukan dukungan
menggunakan tehnik 4. Kontrol lingkungan yang dapat
nonfarmakologi mempengaruhi nyeri seperti
untuk mengurangi suhu ruangan, pencahayaan
nyeri, mencari dan kebisingan
bantuan) 5. Kurangi faktor presipitasi nyeri
 Melaporkan bahwa 6. Kaji tipe dan sumber nyeri
nyeri berkurang untuk menentukan intervensi
dengan 7. Ajarkan tentang teknik non
menggunakan farmakologi: napas dala,
manajemen nyeri relaksasi, distraksi, kompres
 Mampu mengenali hangat/ dingin
nyeri (skala, 8. Berikan analgetik untuk
intensitas, frekuensi mengurangi nyeri:
dan tanda nyeri) 9. Tingkatkan istirahat
 Menyatakan rasa 10. Berikan informasi tentang
nyaman setelah nyeri seperti penyebab nyeri,
nyeri berkurang berapa lama nyeri akan
 Tanda vital dalam berkurang dan antisipasi
rentang normal ketidaknyamanan dari
 Tidak mengalami prosedur
gangguan tidur 11. Monitor vital sign sebelum dan
sesudah pemberian analgesik
pertama kali

3 Ketidakseimbangan Setelah dilakukan 1. Kaji adanya alergi makanan


nutrisi: kurang dari tindakan keperawatan 2. Kolaborasi dengan ahli gizi
kebutuhan tubuh selama 3x24 jam untuk menentukan jumlah
nutrisi kurang teratasi kalori dan nutrisi yang
dengan indikator: dibutuhkan pasien
 Albumin serum 3. Yakinkan diet yang dimakan
 Pre albumin serum mengandung tinggi serat untuk
 Hematokrit mencegah konstipasi
 Hemoglobin 4. Ajarkan pasien bagaimana
 Total iron binding membuat catatan makanan
capacity harian.
 Jumlah limfosit 5. Monitor adanya penurunan BB
dan gula darah
6. Monitor lingkungan selama
makan
7. Jadwalkan pengobatan dan
tindakan tidak selama jam
makan
8. Monitor turgor kulit
9. Monitor kekeringan, rambut
kusam, total protein, Hb dan
kadar Ht
10.Monitor mual dan muntah
11. Monitor pucat, kemerahan,
dan kekeringan jaringan
konjungtiva
12.Monitor intake nuntrisi
13.Informasikan pada klien dan
keluarga tentang manfaat
nutrisi
14.Kolaborasi dengan dokter
tentang kebutuhan suplemen
makanan seperti NGT/ TPN
sehingga intake cairan yang
adekuat dapat dipertahankan.
15.Atur posisi semi fowler atau
fowler tinggi selama makan
16.Kelola pemberan anti
emetik:.....
17.Anjurkan banyak minum
18.Pertahankan terapi IV line
19.Catat adanya edema,
hiperemik, hipertonik papila
lidah dan cavitas oval

4 Ketidakefektifan Setelah dilakukan 1. Posisikan pasien untuk


pola nafas tindakan keperawatan memaksimalkan ventilasi
selama 3 x 24 jam 2. Pasang mayo bila perlu
pasien menunjukkan 3. Lakukan fisioterapi dada jika
keefektifan pola nafas, perlu
dibuktikan dengan 4. Keluarkan sekret dengan batuk
kriteria hasil: atau suction
 Mendemonstrasikan 5. Auskultasi suara nafas, catat
batuk efektif dan adanya suara tambahan
suara nafas yang 6. Berikan pelembab udara Kassa
bersih, tidak ada basah NaCl Lembab
sianosis dan dyspneu 7. Atur intake untuk cairan
(mampu mengoptimalkan keseimbangan.
mengeluarkan 8. Monitor respirasi dan status O2
sputum, mampu 9. Bersihkan mulut, hidung dan
bernafas dg mudah, secret trakea
tidakada pursed lips) 10. Pertahankan jalan nafas yang
 Menunjukkan jalan paten
nafas yang paten 11. Observasi adanya tanda tanda
(klien tidak merasa hipoventilasi
tercekik, irama nafas, 12. Monitor adanya kecemasan
frekuensi pernafasan pasien terhadap oksigenasi
dalam rentang normal, 13. Monitor vital sign
tidak ada suara nafas 14. Informasikan pada pasien dan
abnormal) keluarga tentang tehnik relaksasi
 Tanda Tanda vital untuk memperbaiki pola nafas.
dalam rentang normal 15. Ajarkan bagaimana batuk efektif
(tekanan darah, nadi, 16. Monitor pola nafas
pernafasan)
5 Kerusakan Setelah dilakukan 1. Anjurkan pasien untuk
integritas kulit tindakan keperawatan menggunakan pakaian yang
selama 3x24 jam longgar
kerusakan integritas kulit 2. Hindari kerutan pada tempat
pasien teratasi dengan tidur
kriteria hasil: 3. Jaga kebersihan kulit agar tetap
 Integritas kulit yang bersih dan kering
baik bisa 4. Mobilisasi pasien (ubah posisi
dipertahankan pasien) setiap dua jam sekali
(sensasi, elastisitas, 5. Monitor kulit akan adanya
temperatur, hidrasi, kemerahan
pigmentasi) 6. Oleskan lotion atau minyak/baby
 Tidak ada luka/lesi oil pada derah yang tertekan
pada kulit 7. Monitor aktivitas dan mobilisasi
 Perfusi jaringan baik pasien
 Menunjukkan 8. Monitor status nutrisi pasien
pemahaman dalam 9. Memandikan pasien dengan
proses perbaikan kulit sabun dan air hangat
dan mencegah 10. Kaji lingkungan dan peralatan
terjadinya sedera yang menyebabkan tekanan
berulang 11. Observasi luka : lokasi, dimensi,
 Mampu melindungi kedalaman luka,
kulit dan karakteristik,warna cairan,
mempertahankan granulasi, jaringan nekrotik,
kelembaban kulit dan tanda-tanda infeksi lokal, formasi
perawatan alami traktus
 Menunjukkan 12. Ajarkan pada keluarga tentang
terjadinya proses luka dan perawatan luka
penyembuhan luka 13. Kolaburasi ahli gizi pemberian
diae TKTP, vitamin
14. Cegah kontaminasi feses dan
urin
15. Lakukan tehnik perawatan luka
dengan steril
16. Berikan posisi yang mengurangi
tekanan pada luka
DAFTAR PUSTAKA

Bandy, Steven M. 2008. Spontaneous bacterial Peritonitis. eMedicine Specialities


Emergency Medicine Infectious Diseases

Daley, Brian James. 2011. Peritonitis and Abdominal Sepsis. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/180234-overview

Haryati, Elizabeth. 2010. Artikel: Kejadian Peritonitis pada Pasien Continuous


Ambulatory Peritoneal Diatysis: Identifikasi Mikroorganisme dan Sensitifitas
Antibiotik. Denpasar: FK UNUD

Haryono, Rudi. 2012. Keperawatan Medikal Bedah: Sistem Pencernaan. Yogyakarta:


Gosyen Publishing

Jong, Wim de. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC. Jakarta

Gayatri, A.A.Ayu Yuli., dkk. 2006. Artikel: Peritonitis Bakterial Spontan pada Sirosis Hati
dan Hubungannya dengan Beberapa Faktor Resiko. Denpasar: FK UNUD

Laroche, M., G, Harding. 1998. Primary and Secondary Peritonitis. Telah diperbarui Eur J
Clin Microbiol Infect Dis.

Mansjoer, Arief. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius

Mochtar, Rustam. 1998. Synopsis Obstetr. Jilid I. Edisi 2. EGC: Jakarta

Muttaqin, Arif., Sari, Kumala. 2011. Gangguan Gastrointestinal: Aplikasi Asuhan


Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika

Peralta, Ruben. 2006. Peritonitis and Abdominal Sepsis. eMedicine Specialties General
Surgery Abdomen
Pieter, John. 2005. Usus Halus, Apendiks, Kolon dan Anorektum. In Sjamsuhidayat, R
dan Jong, Wim D (eds). Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta: EGC

Price, Silvia A. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: ECG

Smeltzer, C. Suzanne, Bare G. Brenda., 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner Suddarth. Volume 2 Edisi 8. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai