Anda di halaman 1dari 49

LAMPIRAN PERATURAN DIREKTUR

RSUD “NGUDI WALUYO” WLINGI


NOMOR : //409.206/PER/I/2022
TANGGAL : 07 Januari 2022

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) adalah penyakit menular yang


disebabkan oleh Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2).
SARS-CoV-2 merupakan coronavirus jenis baru yang belum pernah diidentifikasi
sebelumnya pada manusia. Ada setidaknya dua jenis coronavirus yang diketahui
menyebabkan penyakit yang dapat menimbulkan gejala berat seperti Middle East
Respiratory Syndrome (MERS) dan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS).
Tanda dan gejala umum infeksi COVID-19 antara lain gejala gangguan pernapasan
akut seperti demam, batuk dan sesak napas. Masa inkubasi rata-rata 5-6 hari dengan
masa inkubasi terpanjang 14 hari. Pada kasus COVID-19 yang berat dapat
menyebabkan pneumonia, sindrom pernapasan akut, gagal ginjal, dan bahkan
kematian. Pada tanggal 31 Desember 2019, WHO China Country Office melaporkan
kasus pneumonia yang tidak diketahui etiologinya di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Cina.
Pada tanggal 7 Januari 2020, China mengidentifikasi kasus tersebut sebagai jenis baru
coronavirus. Pada tanggal 30 Januari 2020 WHO menetapkan kejadian tersebut
sebagai Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang Meresahkan Dunia (KKMMD)/Public
Health Emergency of International Concern (PHEIC) dan pada tanggal 11 Maret 2020,
WHO sudah menetapkan COVID-19 sebagai pandemi.
Intensive Care Unit adalah suatu bagian dari rumah sakit yang mandiri, dengan
staf yang khusus dan perlengkapan khusus, yang ditujukan untuk observasi, perawatan
dan terapi pasien-pasien yang menderita penyakit, cedera atau penyulit-penyulit yang
mengancam jiwa atau potensial yang mengancam jiwa dengan prognosis dubia. Saat
ini dunia sedang berjuang menghadapi pandemi COVID-19. Coronavirus Disease 2019
(COVID-19) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh Severe Acute Respiratory
Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2). SARS-CoV-2 merupakan coronavirus jenis
baru yang belum pernah diidentifikasi sebelumnya pada manusia. Pelayanan
kesehatan sebagai sektor yang paling terdampak oleh situasi pandemik ini juga harus
bersiap untuk menghadapi adaptasi kebiasaan baru.
Rumah Sakit harus mulai memikirkan langkah yang akan diambil untuk tetap
merawat pasien COVID-19 namun di saat bersamaan juga memberikan pelayanan
kepada pasien umum dengan risiko penularan seminimal mungkin, sehingga disebut
sebagai balancing act. Oleh karena itu di perlukan pedoman dalam pelayanan pasien
kritis dengan infeksi Covid-19, untuk memberikan panduan bagi petugan kesehatan
dalam melaksanakan pelayanan kesehatan dengan cepat, tepat dan aman, bagi
seluruh nakes RSUD Ngudi Waluyo Wlingi Blitar.

1|ICU Covid
B. Ruang Lingkup Pelayanan
Ruang lingkup pelayanan intensif pada pasien kritis dengan infeksi virus corona
di Ruang ICU Covid-19 di RSUD Ngudi Waluyo Wlingi

C. Batasan Operasional
Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) adalah penyakit menular yang
disebabkan oleh Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2).
SARS-CoV-2 merupakan coronavirus jenis baru yang belum pernah diidentifikasi
sebelumnya pada manusia. Ada setidaknya dua jenis coronavirus yang diketahui
menyebabkan penyakit yang dapat menimbulkan gejala berat seperti Middle East
Respiratory Syndrome (MERS) dan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS).
Tanda dan gejala umum infeksi COVID-19 antara lain gejala gangguan pernapasan
akut seperti demam, batuk dan sesak napas. Masa inkubasi rata-rata 5-6 hari
dengan masa inkubasi terpanjang 14 hari. Pada kasus COVID-19 yang berat dapat
menyebabkan pneumonia, sindrom pernapasan akut, gagal ginjal, dan bahkan
kematian.
Ruang ICU (Intensive Care Unit) Adalah unit perawatan khusus yang
dikelola untuk merawat pasien sakit berat dan kritis, cedera dengan penyulit yang
mengancam nyawa dengan melibatkan tenaga kesehatan yang profesional dan
terlatih, serta didukung dengan kelengkapan peralatan khusus, Ruang ICU Covid
merupakan ruang perawatan khusus untuk pasien dengan infeksi virus corona yang
mengalami gangguan hemodinamik, desaturasi, dengan kondisi kritis dengan
penyulit yang mengancam nyawa.

D. Tujuan
1. Tujuan Umum
a. Sebagai pedoman pelayanan pasien kritis dengan infensi virus corona pada
ruang ICU Covid-19
2. Tujuan Khusus
a. Mementukan tatalaksana pelayanan pasien ICU covid-19
b. Menentukan Alur pasien ICU covid-19
c. Menentukan Pengobatan dan pemeriksaan pasien ICU Covid-19

E. Landasan Hukum
1. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit;
2. Kepmenkes RI No. 1333/Menkes/SK/XII/2001 tentang Standar Pelayanan
Rumah Sakit
3. Kepmenkes RI No. 1277/Menkes/SK/XI/2001 tentang Susunan Organisasi dan
Tata Kerja Departeman Kesehatan
4. Kepmenkes RI No. 004/Menkes/SK/I/2003 tentang Kebijakan Dan Strategi
Desentralisasi Bidang Kesehatan
5. Kepmenkes RI No. 1457/Menkes/SK/X/2003 tentang Standar Pelayanan Minimal
Bidang Kesehatan Di Kabupaten/Kota

2|ICU Covid
6. Kepmenkes RI No. 1202/Menkes/SK/VIII/2003 tentang Indikator Indonesia Sehat
2010 Dan Pedoman Penetapan Indikator Provinsi Sehat Dan Kabupaten/Kota
7. Kepmenkes RI No. 1203/Menkes/SK/XII/2008
8. Kepmenkes RI No. 1203/Menkes/SK/II/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal
Rumah Sakit.
9. Pedoman Tatalaksana Covid-19 Edisi 2
10. Pedoman Pencegahan Dan Pengendalian Coronavirus Disesase (Covid-19)
11. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
HK.01.07/MENKES/104/2020 Tentang Penetapan Infeksi Novel Coronavirus
(Infeksi 2019-nCoV) Sebagai Penyakit Yang Dapat Menimbulkan Wabah Dan
Upaya Penanggulangannya.

3|ICU Covid
BAB II
STANDAR KETENAGAAN

Pasien sakit kritis membutuhkan pemantauan dan tunjangan hidup khusus yang
harus dilakukan oleh suatu tim, termasuk diantaranya dokter yang mempunyai dasar
pengetahuan, keterampilan teknis, komitmen waktu, dan secara fisik selalu berada di
tempat untuk melakukan perawatan titrasi dan berkelanjutan. Perawatan ini harus
berkelanjutan dan bersifat proaktif, yang menjamin pasien dikelola dengan cara aman,
manusiawi, dan efektif dengan menggunakan sumber daya yang ada, sedemikian rupa
sehingga memberikan kualitas pelayanan yang tinggi dan hasil optimal.

A. KUALIFIKASI SUMBER DAYA MANUSIA


Kualifikasi tenaga kesehatan yang bekerja di ICU harus mempunyai pengetahuan
yang memadai, mempunyai keterampilan yang sesuai dan mempunyai komitmen
tehadap waktu. Uraian kualifikasi ketenagaan berdasarkan klasifikasi pelayanan
ICU seperti terlihat pada tabel 1 di bawah :

4|ICU Covid
Tabel 1. Ketenagaan ICU
Pendidikan Sertifikasi Jumlah Kebutuhan
No Nama Jabatan Standar Ketersediaan Standar Standar Keter- Kurang
sediaan
1. Kepala instalasi KIC
dr. SpAn dr. SpAn 1 1 -
ICU/HCU/CVCU ACLS/PPGD
2. Koordinator ICU KIC
dr. SpAn dr. SpAn 1 1 -
ACLS/PPGD
3. Koordinator
dr. SpPD dr. SpPD ACLS/PPGD 1 1 -
HCU/CVCU
4. Case Manager ICU dr. Umum - ACLS/PPGD 1 1 -
5. Kepala ruang ICU Manajemen bangsal
Ners Ners Sertifikat ICU/ICCU 1 1 -
ACLS/PPGD
6. Wakil kepala ruang Manajemen bangsal
ICU/ICCU Ners / D3 Kep D3 Kep Sertifikat ICU/ICCU 1 1 -
ACLS/PPGD
7. Katim Sertifikat ICU/ICCU
Ners/ D3 Kep Ners/ D3 Kep 4 4 -
ACLS/PPGD
8. Perawat pelaksana Ners/setara Ners/setara Sertifikat ICU/ICCU
1 : 1-2 23 -
D3 Kep D3 Kep ACLS/PPGD
9. Pembantu perawat SMU/sederajat SMU Perawatan dasar 3 1 2
10. Administrasi SMU/sederajat STM 1 1 -

5|ICU Covid
B. DISTRIBUSI KETENAGAAN
Tabel 2. Distribusi Ketenagaan
No Jadwal Dinas Ketersediaan
1. Pagi
- Karu 1
- Wakaru 1
- Katim 1
- Perawat Pelaksana 6
- Pembantu Perawat 1
- Administrasi 1
2. Sore
- Katim 1
- Perawat Pelaksana 4
- Pembantu Perawat 1
3. Malam
- Katim 1
- Perawat Pelaksana 5
4. Libur
- Perawat Pelaksana 6
- Pembantu Perawat 1

C. PENGATURAN JAGA
1. Pengaturan jadwal dinas perawat, PP dan administrasi di ruang ICU/ICCU
dibuat dan dipertanggung jawabkan oleh kepala ruangan ICU/ICCU.
2. Jadwal dinas di buat untuk jangka waktu satu bulan dan disosialisasikan
karyawan ICU/ICCU.
3. Untuk tenaga perawat yang memiliki keperluan penting pada hari tertentu, maka
perawat tersebut mengajukan usulan tertulis, sedangkan usulan tersebut bisa
disesuaikan dengan kebutuhan tenaga yang ada (apabila tenaga cukup dan
tidak mengganggu pelayanan maka permintaan disetujui).
4. Setiap tugas jaga/shift harus ada penanggungjawab shift dengan syarat
perawat senior pada waktu shift tersebut yang disebut KATIM
5. Jadwal dinas dibagi tiga shift : pagi, sore, malam, libur dan cuti.
6. Apabila ada tenaga perawat jaga karena sesuatu hal sehingga tidak dapat jaga
sesuai jadwal yang telah ditetapkan, maka perawat yang bersangkutan harus
memberitahu kepala ICU 2 jam sebelum dinas pagi, 6 jam sebelum dinas sore
dan dinas malam. Sebelum memberitahu kepala ICU perawat yang
bersangkutan mencari pengganti jaga, apabila perawat yang bersangkutan tidak
mendapatkan perawat pengganti, maka perawat yang pada hari itu libur yang
menggantikan.
7. Pengajuan cuti di lakukan minimal 2 minggu sebelum masa cuti di mulai
8. Jadwal dinas di buat 1 minggu sebelum tanggal akhir pada tiap bulannya.

6|ICU Covid
BAB III
STANDART FASILITAS

A. Denah Ruang ICU Covid

02
01

01 08

03
06

06 06
05 04
14
06
10

09

07
11 08

12
16

13
15

Keterangan :
1. Zona hijau Icu Covid
2. Ruang Ganti

7|ICU Covid
3. Anteron zona hijau
4. Anteroom zona merah dan pintu masuk icu covid
5. Nurse station
6. Anteron zona kuning
7. RUANG ICU COVID UTARA
8. Ruang perawatan cadangan Icu Covid
9. Ruang antara ICU Covid Utara dan Selatan
10. Anteroom Zona Merah / pintu keluar petugas
11. Gudang alat medis
12. Spoelhoeg
13. Kamar mandi pasien Icu Covid
14. RUANG ICU COVID SELATAN
15. Kamar mandi cadangan Ruang Icu Covid
16. Ruang ICCU Reguler / Non Covid

B. Standart Fasilitas
Tata letak ruang perawatan intensif memiliki akses yang mudah ke
ruang operasi, ruang gawat darurat, dan ruang penunjang medik lainnya.
Standart ruang ICU yang memadai di tentukan oleh desain yang baik dan
pengaturan ruang yang adekuat berdasarkan klasifikasi pelayanan ICU.

Jenis Jumlah Standart Ket.


DESAIN
Area pasien : unit terbuka ICU : m² 10 m2/TT 12-16 m2/TT
unit tertutup CVCU : m² 16 m2/TT 16-20 m2/TT
Outlet oxygen 1/TT 2 /TT
Vacum Tidak ada 1 /TT
Suction central Tidak ada 1 /TT
Stop kontak 4/TT 6/TT

AREA KERJA
Lingkungan Ada Air conditioner
Suhu 22-24º C 21 - 23º C
Ruang isolasi Ada Ada

Tempat penyimpanan peralatan dan Ada Ada


barang bersih
Ruang perawat Ada Ada

8|ICU Covid
Ruang Staff dokter Ada Ada
Ruang Laboratorium Tidak ada Ada
Ruang penyimpanan alat alat bersih Ada Ada
Ruang tempat buat alat kotor Ada Ada
(spoelhock)
WC di dalam ruang rawat ICU Ada Ada
Ruang tunggu keluarga pasien Tidak Ada
PERALATAN
Ventilator 11 1 unit tiap TT 1unit
Rusak
Resusitasi manual : ambubag 2 4
juction race Ada di apotik 4
Laryngoscope / intubasi set 1 2
DC shock 1 1
Bed site monitor / pasien monitor 13 15
Syringe pump 11 15
Infus pump 8 15
Nebulizer 1 1
ECG 12 Lead 0 1
Tempat tidur 15 15
Suction manual 2 4
Troly emergency 2 3
Troly rawat luka 1 2
Matras decubitus 2 4

Pemeliharaan, Perbaikan dan Kalibrasi Peralatan


Setiap peralatan yang ada baik medis dan non medis harus dilakukan pemeliharaan,
perbaikan dan kalibrasi agar peralatan dapat tetap terpelihara dan dapat digunakan
sesuai dengan fungsinya.
1. Tujuan
Agar peralatan yang ada dapat digunakan sesuai dengan fungsi dan tujuan.
Agar nilai yang dikeluarkan dari alat medis sesuai dengan nilai yang
diinginkan.
Agar peralatan yang ada dapat tetap terpelihara dan siap digunakan.
Sebagai bahan informasi untuk perencanaan peremajaan peralatan medis
yang diperlukan.
2. Prosedur
Untuk perbaikan peralatan yang rusak ruang intensif mengisi buku permintaan
perbaikan rangkap 3 (putih, merah dan kuning) dan diantar ke bagian tehnisi
beserta alat yang rusak.
Setelah alat diperbaiki di tehnisi, alat dikembalikan ke ruang intensif.

9|ICU Covid
Bila alat tidak dapat diperbaiki oleh tehnisi internal, maka alat diperbaiki oleh
tehnisi luar ( melalui bagian pembelian ).

BAB IV
TATA LAKSANA PELAYANAN

A. Manajemen Klinis COVID-19


1. Triage: Deteksi Dini Pasien dalam Pengawasan COVID-19
Penapisan dan pemisahan pasien yang dicurigai COVID-19 harus dilakukan
pada kontak pertama pasien dengan fasyankes, di FKTP maupun di FKRTL baik
di IGD dan rawat jalan. Skrining dapat menggunakan serangkaian kegiatan
seperti pemeriksaan suhu tubuh dengan thermal gun, pertanyaan sederhana
seperti ada demam atau riwayat demam, batuk, nyeri tenggorokan, hidung
tersumbat, sesak nafas, malaise, sakit kepala, nyeri otot, riwayat kontak erat
dengan pasien konfirmasi dan atau riwayat perjalanan dalam 14 hari dari negara
atau wilayah transmisi lokal untuk mendapatkan status awal pasien ada tidaknya
gejala COVID-19. Pertimbangkan COVID-19 sebagai etiologi yang paling
memungkinkan untuk pasien yang mengalami ISPA berat dan memenuhi kriteria
definisi operasional surveilans. Infeksi COVID-19 dapat menyebabkan gejala
ISPA ringan sampai berat bahkan sampai terjadi Acute Respiratory Distress
Syndrome (ARDS), sepsis dan syok septik. Sebagian pasien yang dirawat
(15%) akan mengalami sakit berat yang memerlukan terapi oksigen dan sekitar
5% akan dirawat di ICU dan sebagian diantaranya memerlukan ventilator
mekanik. Pnemonia berat merupakan diagnosis yang paling umum untuk pasien
COVID-19 yang sakit berat.

2. Kriteria Gejala Klinis Dan Manifestasi Klinis Yang Berhubungan Dengan


Infeksi COVID-19

Kriteria Manifestasi Penjelasan


Gejala Klinis
Tanpa Gejala Tidak ada Pasien tidak menunjukkan gejala apapun.
(asimptomatik) gejala klinis
Sakit ringan Sakit Pasien dengan gejala non-spesifik seperti demam,
batuk, nyeri tenggorokan, hidung tersumbat, malaise,
ringan tanpa sakit kepala, nyeri otot. Perlu waspada pada usia lanjut
komplikasi dan imunocompromised karena gejala dan tanda tidak
khas.
Sakit Sedang Pneumonia Pasien Remaja atau Dewasa dengan tanda klinis
ringan pneumonia (demam, batuk, dyspnea, napas cepat) dan
tidak ada tanda pneumonia berat.
10 | I C U C o v i d
Anak dengan pneumonia ringan mengalami batuk atau
kesulitan bernapas + napas cepat: frekuensi napas: <2
bulan,
≥60x/menit; 2–11 bulan, ≥50x/menit; 1–5 tahun,
≥40x/menit dan tidak ada tanda pneumonia berat.
Sakit Berat Pneumonia Pasien remaja atau dewasa dengan demam atau dalam
berat / pengawasan infeksi saluran napas, ditambah satu dari:
ISPA frekuensi napas >30 x/menit, distress pernapasan berat,
berat atau saturasi oksigen (SpO2) <90% pada udara kamar.
Pasien anak dengan batuk atau kesulitan bernapas,
ditambah setidaknya satu dari berikut ini:
-
sianosis sentral atau SpO2 <90%;
-
distres pernapasan berat (seperti mendengkur,
tarikan dinding dada yang berat);
-
tanda pneumonia berat: ketidakmampuan menyusui
atau minum, letargi atau penurunan kesadaran,
atau kejang.
Tanda lain dari pneumonia yaitu: tarikan dinding dada,
takipnea :
<2 bulan, ≥60x/menit;
2–11 bulan, ≥50x/menit;
1–5 tahun, ≥40x/menit;
>5 tahun, ≥30x/menit.
Diagnosis ini berdasarkan klinis; pencitraan dada
dapat membantu penegakan diagnosis dan dapat
menyingkirkan komplikasi.

Kriteria Manifestasi Penjelasan


Gejala Klinis

Sakit Kritis Onset: baru terjadi atau perburukan dalam waktu satu
minggu.
Pencitraan dada (CT scan toraks, atau ultrasonografi
paru): opasitas bilateral, efusi pluera yang tidak dapat
dijelaskan penyebabnya, kolaps paru, kolaps lobus atau
nodul.
Penyebab edema: gagal napas yang bukan akibat
gagal jantung atau kelebihan cairan. Perlu pemeriksaan
objektif (seperti ekokardiografi) untuk menyingkirkan
bahwa penyebab edema bukan akibat hidrostatik jika
Acute tidak ditemukan faktor risiko.
Respiratory KRITERIA ARDS PADA DEWASA:
Distress •
ARDS ringan: 200 mmHg <PaO2/FiO2 ≤ 300
Syndrome mmHg (dengan PEEP atau continuous positive
11 | I C U C o v i d
(ARDS) airway pressure (CPAP) ≥5 cmH2O, atau yang
tidak diventilasi)

ARDS sedang: 100 mmHg <PaO2 / FiO2 ≤200
mmHg dengan PEEP ≥5 cmH2O, atau yang tidak
diventilasi)

ARDS berat: PaO2 / FiO2 ≤ 100 mmHg dengan
PEEP ≥5 cmH2O, atau yang tidak diventilasi)
Ketika PaO2 tidak tersedia, SpO2/FiO2 ≤315
mengindikasikan ARDS (termasuk pasien yang tidak
diventilasi)
Kriteria Gejala Manifestasi Penjelasan
Klinis
KRITERIA ARDS PADA ANAK :
Usia Eksklusi pasien dengan penyakit paru perinatal

Waktu Dalam 7 hari sejak onset penyakit

Penyebab Gagal napas yang tidak dapat dijelaskan oleh gagal


edema jantung atau kelebihan cairan (fluid overload)
Radiologis Infiltrat baru konsisten dengan penyakit paru akut

Oksigenasi Ventilasi mekanis Ventilasi mekanis invasive


non invasive
PARDS Ringan Sedang Berat
Masker full 4 ≤ OI ≤8 8 ≤ OI ≤ OI ≥ 16
face ventilasi 16
bi-level atau
CPAP ≥

POPULASI KHUSUS :

Penyakit Kriteria standar usia, waktu, penyebab edema, dan radiologis sama seperti
jantung di atas, disertai perburukan oksigenasi akut yang tidak dapat dijelaskan
sianotik oleh penyakit jantung dasar
Penyakit Kriteria standar usia, waktu, dan penyebab edema sama seperti diatas,
paru disertai
kronis gambaran radiologis konsisten dengan infiltrate baru dan perburukan
oksigenasi akut dari nilai sebelumnya, yang sesuai dengan kriteria
oksgenasi di atas
Disfungsi Kriteria standar usia, waktu, dan penyebab edema, dengan gambaran
ventrikel radiologis
kiri konsisten dengan infiltrate baru dan perburukan oksigenasi akut, yang
memenuhi kriteria di atas, namun tidak dapat dijelaskan oleh disfungsi

12 | I C U C o v i d
ventrikel kiri
Syok septik Pasien dewasa: hipotensi yang menetap meskipun sudah dilakukan
resusitasi cairan dan membutuhkan vasopresor untuk mempertahankan
mean arterial pressure (MAP) ≥65 mmHg dan kadar laktat serum> 2
mmol/L.
Pasien anak: hipotensi (TDS < persentil 5 atau >2 SD di bawah normal
usia) atau terdapat 2-3 gejala dan tanda berikut: perubahan status
mental/kesadaran; takikardia atau bradikardia (HR <90 x/menit atau >160
x/menit pada bayi dan HR <70x/menit atau >150 x/menit pada anak); waktu
pengisian kembali kapiler yang memanjang (>2 detik) atau vasodilatasi
hangat dengan bounding pulse; takipnea; mottled skin atau
ruam petekie atau purpura; peningkatan laktat; oliguria; hipertermia atau
hipotermia.`

3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai dengan
manifestasi klinis, antara lain:
a. Laboratorium: Darah lengkap/Darah rutin, LED, Gula
Darah, Ureum, Creatinin, SGOT, SGPT, Natrium,
Kalium, Chlorida, Analisa Gas Darah, Procalcitonin, PT,
APTT, Waktu perdarahan, Bilirubin Direct, Bilirubin
Indirect, Bilirubin Total, pemeriksaan laboratorium RT-
PCR, dan/atau semua jenis kultur MO (aerob) dengan
resistensi Anti HIV.
b. Radiologi: Thorax AP/PA

4. Komplikasi
a. Komplikasi akibat penggunaan ventilasi mekanik invasif (IMV) yang
lama
b. ventilator-associated pneumonia (VAP)
c. tromboemboli vena
d. catheter-related bloodstream
e. stres ulcer dan pendarahan saluran pencernaan
f. kelemahan akibat perawatan di ICU
g. komplikasi lainnya selama perawatan pasien
5. Komorbid
a. Diabetes Mellitus
1)
Diabetes Mellitus Tipe 1
2)
Diabetes Mellitus Tipe 2
3)
Glucocorticoid-associated diabetes
b. Penyakit terkait Geriatri
c. Penyakit terkait Autoimun
d. Penyakit Ginjal
e. ST Segment Elevation Myocardial Infarction (STEMI)
13 | I C U C o v i d
f. Non-ST-segment Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI)
g. Hipertensi
h. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
i. Tuberculosis
j. Penyakit kronis lain yang diperberat oleh kondisi penyakit COVID-
19
6. Definisi Status Klinis Pasien COVID-19
Definisi status klinis pasien COVID-19, dibagi menjadi 3 kriteria yaitu:
a) Pasien Suspek
b) Pasien Konfirmasi
c) Pasien Probable

7. Pemeriksaan Laboratorium RT-PCR


Jadwal Pengambilan Swab Untuk Pemeriksaan RT-PCR
Hari Pengambilan PCR Ulang

1 2 3 4 5 6 7 8 9 (sesuai
klinis)
X X X x

Keterangan :
a. Pengambilan swab di hari ke-1 dan 2 untuk penegakan diagnosis
b. Bila terjadi perbaikan klinis, maka untuk follow-up
pasien dengan gejala berat/kritis, dilakukan
pengambilan swab 1 kali yaitu pada hari ke-7 untuk
menilai kesembuhan
8. Terapi dan Penatalaksanaan Klinis Pasien COVID-19
Penatalaksanaan klinis dilakukan pada pasien COVID-19 tanpa
gejala, sakit ringan, sakit sedang, sakit berat, kondisi kritis, dan pada
kondisi tertentu. Berikut tata laksana klinis pasien terkonfirmasi
COVID-19:
a. Tatalaksana Klinis Pasien terkonfirmasi COVID-19
Tanpa Gejala, Sakit Ringan Atau Sakit Sedang
1)
Pasien terkonfirmasi tanpa gejala
Pada prinsipnya pasien terkonfirmasi COVID-19 yang
tanpa gejala tidak memerlukan rawat inap di Rumah
Sakit, tetapi pasien harus menjalani isolasi selama 10
hari sejak pengambilan spesimen diagnosis konfirmasi,
baik isolasi mandiri di rumah maupun di fasilitas publik
yang dipersiapkan pemerintah.

14 | I C U C o v i d
Isolasi ini penting untuk mengurangi tingkat penularan
yang terjadi di masyarakat. Pasien yang menjalani
isolasi harus menjalankan aturan- aturan terkait PPI dan
dilakukan monitoring secara berkala baik melalui
kunjungan rumah maupun secara telemedicine oleh
petugas FKTP. Pasien sebaiknya diberikan leaflet berisi
hal-hal yang harus diketahui dan dilaksanakan, pasien
diminta melakukan pengukuran suhu tubuh sebanyak
dua kali sehari. Setelah 10 hari pasien akan kontrol ke
FKTP terdekat.
2)
Pasien terkonfirmasi sakit ringan
Pada prinsipnya tatalaksana pasien terkonfirmasi
COVID-19 yang mengalami sakit ringan sama dengan
pasien terkonfirmasi yang tanpa gejala. pasien harus
menjalani isolasi minimal selama 10 hari sejak muncul
gejala ditambah 3 hari bebas gejala demam dan
gangguan pernafasan. Isolasi dapat dilakukan mandiri di
rumah maupun di fasilitas publik yang dipersiapkan
Pemerintah. Pasien yang sakit ringan dapat diberikan
pengobatan simptomatik misalnya pemberian anti-piretik
bila mengalami demam. Pasien harus diberikan
informasi mengenai gejala dan tanda perburukan yang
mungkin terjadi dan nomor contact person yang dapat
dia hubungi sewaktu-waktu apabila gejala tersebut
muncul. Petugas FKTP diharapkan proaktif untuk
melakukan pemantauan kondisi pasien. Setelah
melewati masa isolasi pasien akan kontrol ke FKTP
terdekat.
3)
Pasien terkonfirmasi sakit sedang dan pasien
sakit ringan dengan penyulit
Pasien terkonfirmasi COVID-19 yang mengalami sakit
sedang dan pasien yang sakit ringan tetapi memiliki
faktor penyulit atau komorbid akan menjalani perawatan
di Rumah Sakit.
Prinsip tatalaksana untuk pasien yang sakit sedang
adalah pemberian terapi simptomatis untuk gejala yang
ada dan fungsi pemantauan, dilaksanakan sampai
gejala menghilang dan pasien memenuhi kriteria untuk
dipulangkan dari Rumah Sakit.

15 | I C U C o v i d
9. Tatalaksana Pasien Terkonfirmasi COVID-19 yang Sakit Berat
a. Terapi Suportif Dini dan Pemantauan
Pemberian terapi suplementasi oksigen segera pada pasien
ISPA berat dan pasien yang mengalami distress pernapasan,
hipoksemia, atau syok.
1)
Terapi oksigen dimulai dengan pemberian 5
L/menit dengan nasal kanul dan titrasi untuk
mencapai target SpO2 ≥90% pada anak dan
orang dewasa, serta SpO2 ≥ 92% - 95% pada
pasien hamil.
2)
Pada anak dengan tanda kegawatdaruratan
(obstruksi napas atau apneu, distres
pernapasan berat, sianosis sentral, syok,
koma, atau kejang) harus diberikan terapi
oksigen selama resusitasi untuk mencapai
target SpO2 ≥ 94%;
3)
Semua pasien dengan ISPA berat dipantau
menggunakan pulse oksimetri dan sistem
oksigen harus berfungsi dengan baik, dan
semua alat-alat untuk menghantarkan oksigen
(nasal kanul, sungkup muka sederhana,
sungkup dengan kantong reservoir) harus
digunakan sekali pakai.
b. Terapkan kewaspadaan kontak saat memegang alat-alat
untuk menghantarkan oksigen (nasal kanul, sungkup
muka sederhana, sungkup dengan kantong reservoir)
yang terkontaminasi dalam pengawasan atau terbukti
COVID-19. Lakukan pemantauan ketat pasien dengan
gejala klinis yang mengalami perburukan seperti gagal
napas, sepsis dan lakukan intervensi perawatan suportif
secepat mungkin.
1)
Pasien COVID-19 yang menjalani rawat inap
memerlukan pemantauan vital sign secara rutin
dan apabila memungkinkan menggunakan sistem
kewaspadaan dini (misalnya NEWS2) untuk
memantau perburukan klinis yang dialami pasien.
2)
Pemeriksaan darah lengkap, kimia darah dan EKG
harus dilakukan pada waktu pasien masuk
perawatan untuk mengetahui dan memantau
komplikasi yang mungkin dialami oleh pasien

16 | I C U C o v i d
seperti: acute liver injury, acute kidney injury, acute
cardiac injury atau syok.
3)
Setelah melakukan tindakan resusitasi dan
stabilisasi pasien yang sedang hamil, harus
dilakukan monitoring untuk kondisi janin.
c. Pahami pasien yang memiliki komorbid untuk
menyesuaikan pengobatan dan penilaian prognosisnya.
Perlu menentukan terapi mana yang harus dilanjutkan
dan terapi mana yang harus dihentikan sementara.
Berkomunikasi secara proaktif dengan pasien dan
keluarga dengan memberikan dukungan dan informasi
prognostik.
d. Melakukan manajemen cairan secara konservatif pada
pasien dengan ISPA berat tanpa syok.
Pasien dengan ISPA berat harus hati-hati dalam
pemberian cairan intravena, karena resusitasi cairan
yang agresif dapat memperburuk oksigenasi, terutama
dalam kondisi keterbatasan ketersediaan ventilasi
mekanik.

5. 4. 3. Tatalaksana Pasien Terkonfirmasi COVID-19 Pada Kondisi Tertentu


a. Pemberian antibiotik empirik berdasarkan kemungkinan
etiologi pada kasus yang dicurigai mengalami sepsis
(termasuk dalam pengawasan COVID-19) yang
diberikan secepatnya dalam waktu 1 jam setelah
dilakukan asesmen.
Pengobatan antibiotik empirik berdasarkan semua
etiologi yang memungkinkan (pneumonia komunitas,
pneumonia nosokomial atau sepsis) berdasarkan data
epidemiologi, peta kuman penyebab, serta pedoman
pengobatan yang berlaku. Terapi empirik harus di de-
ekskalasi apabila sudah didapatkan hasil pemeriksaan
mikrobiologis dan penilaian klinis.
b. Tatalaksana pada pasien hamil, dilakukan terapi suportif
dan sesuai dengan kondisi kehamilannya.
Pelayanan persalinan dan terminasi kehamilan perlu
mempertimbangkan beberapa faktor seperti usia
kehamilan, kondisi ibu dan janin. Perlu dikonsultasikan
ke dokter kandungan, dokter anak, dokter lain sesuai
kondisi kehamilannya, dan konsultan intensive care.
c. Jangan memberikan kortikosteroid sistemik secara rutin
17 | I C U C o v i d
untuk pengobatan pneumonia karena virus atau ARDS
di luar uji klinis kecuali terdapat alasan lain.
Penggunaan jangka panjang sistemik kortikosteroid
dosis tinggi dapat menyebabkan efek samping yang
serius pada pasien dengan ISPA berat/SARI, termasuk
infeksi oportunistik, nekrosis avaskular, infeksi baru
bakteri dan replikasi virus mungkin berkepanjangan.
Oleh karena itu, kortikosteroid harus dihindari kecuali
diindikasikan untuk alasan lain.
d. Perawatan pada Pasien Terkonfirmasi COVID-19 yang
berusia lanjut
1) Perawatan pasien terkonfirmasi COVID-19 berusia
lanjut memerlukan pendekatan multidisipliner
antara dokter, perawat, petugas farmasi dan
tenaga kesehatan yang lain dalam proses
pengambilan keputusan mengingat masalah multi-
morbiditas dan penurunan fungsional tubuh.
2) Perubahan fisiologis terkait umur akan
menurunkan fungsi intrinsik pasien seperti
malnutrisi, penurunan fungsi kognitif dan gejala
depresi. Deteksi dini mengenai kemungkinan
pemberian obat yang tidak tepat harus dilakukan
untuk menghindari munculnya kejadian tidak
diharapkan dan interaksi obat untuk pasien lanjut
usia. Orang berusia lanjut memiliki resiko yang
lebih besar mengalami polifarmasi, dengan
adanya pemberian obat-obat baru terkait COVID-
19 maka diperlukan koordinasi dengan caregiver
atau keluarga selama proses
tatalaksana COVID-19 untuk menghindari
dampak negatif terhadap kesehatan pasien.
e. Perawatan pada Pasien COVID-19 anak
Terapi definitif untuk COVID-19 masih belum diketahui,
tidak ada obat yang efikasi dan keamanannya terbukti.
Beberapa terapi masih dalam evaluasi (terutama pada
dewasa), penggunaan pada kasus COVID-19 pada
anak masih dalam penelitian. Pemberian antivirus
maupun hidroksiklorokuin harus mempertimbangkan
derajat beratnya penyakit, komorbid dan persetujuan
orang tua. Perawatan isolasi pada pasien balita dan
anak yang belum mandiri dilakukan sesuai dengan
18 | I C U C o v i d
standar.

10. Tatalaksana Pasien Terkonfirmasi COVID-19 yang Sakit Kritis


a. Manajemen Gagal Napas Hipoksemi dan ARDS
1)
Mengenali gagal napas hipoksemi ketika pasien
dengan distress pernapasan mengalami
kegagalan terapi oksigen standar Pasien dapat
mengalami peningkatan kerja pernapasan atau
hipoksemi walaupun telah diberikan oksigen
melalui sungkup tutup muka dengan kantong
reservoir (10 sampai 15 L/menit, aliran minimal
yang dibutuhkan untuk mengembangkan
kantong; FiO2 antara 0,60 dan 0,95). Gagal
napas hipoksemi pada ARDS terjadi akibat
ketidaksesuaian ventilasi-
perfusi atau pirau/pintasan dan biasanya
membutuhkan ventilasi mekanik.
2)
Oksigen nasal aliran tinggi (High-Flow Nasal
Oxygen/HFNO) atau ventilasi non invasif (NIV),
hanya pada pasien gagal napas hipoksemi
tertentu, dan pasien tersebut harus dipantau
ketat untuk menilai terjadi perburukan klinis.
• Sistem HFNO dapat memberikan aliran oksigen
Sampai dengan 60 L/menit dan FiO2
sampai 1,0; sirkuit pediatrik umumnya
hanya mencapai 15 L/menit, sehingga
banyak anak membutuhkan sirkuit dewasa
untuk memberikan aliran yang cukup.
Dibandingkan dengan terapi oksigen
standar, HFNO mengurangi kebutuhan
akan tindakan intubasi. Pasien dengan
hiperkapnia (eksaserbasi penyakit paru
obstruktif, edema paru kardiogenik),
hemodinamik tidak stabil, gagal multi-
organ, atau penurunan kesadaran
seharusnya tidak menggunakan HFNO,
meskipun data terbaru menyebutkan
bahwa HFNO mungkin aman pada pasien
hiperkapnia ringan-sedang tanpa
perburukan. Pasien dengan HFNO

19 | I C U C o v i d
seharusnya dipantau oleh petugas yang
terlatih dan berpengalaman melakukan
intubasi endotrakeal karena bila pasien
mengalami perburukan mendadak atau
tidak mengalami perbaikan (dalam 1 jam)
maka dilakukan tindakan intubasi segera.
Saat ini pedoman berbasis bukti tentang
HFNO tidak ada, dan laporan tentang
HFNO pada pasien MERS masih terbatas.
• Penggunaan NIV tidak direkomendasikan
pada gagal napas hipoksemi (kecuali
edema paru kardiogenik dan gagal
napas pasca operasi) atau penyakit virus
pandemik (merujuk pada studi SARS
dan pandemi influenza). Karena hal ini
menyebabkan keterlambatan
dilakukannya intubasi, volume tidal yang
besar dan injuri parenkim paru akibat
barotrauma. Data yang ada walaupun
terbatas menunjukkan tingkat kegagalan
yang tinggi ketika pasien MERS
mendapatkan terapi oksigen dengan
NIV. Pasien hemodinamik tidak stabil,
gagal multi-organ, atau penurunan
kesadaran tidak dapat menggunakan
NIV. Pasien dengan NIV seharusnya
dipantau oleh petugas terlatih dan
berpengalaman untuk melakukan
intubasi endotrakeal karena bila pasien
mengalami perburukan mendadak atau
tidak mengalami perbaikan (dalam 1
jam) maka dilakukan tindakan intubasi
segera.
• Publikasi terbaru menunjukkan bahwa
sistem HFNO dan NIV yang
menggunakan interface yang sesuai
dengan wajah sehingga tidak ada
kebocoran akan mengurangi risiko
transmisi airborne ketika pasien
ekspirasi.
3)
Intubasi endotrakeal harus dilakukan oleh
20 | I C U C o v i d
petugas terlatih dan berpengalaman dengan
memperhatikan kewaspadaan transmisi airborne
Pasien dengan ARDS, terutama anak kecil,
obesitas atau hamil, dapat mengalami
desaturasi dengan cepat selama intubasi.
Pasien dilakukan pre- oksigenasi sebelum
intubasi dengan Fraksi Oksigen (FiO2) 100%
selama 5 menit, melalui sungkup muka dengan
kantong udara, bag-valve mask, HFNO atau NIV
dan kemudian dilanjutkan dengan intubasi.
4)
Ventilasi mekanik menggunakan volume tidal
yang rendah (4-8 ml/kg prediksi berat badan,
Predicted Body Weight/PBW) dan tekanan
inspirasi rendah (tekanan plateau <30 cmH2O).
Sangat direkomendasikan untuk pasien ARDS
dan disarankan pada pasien gagal napas karena
sepsis yang tidak memenuhi kriteria ARDS.
• Perhitungkan PBW pria = 50 + 2,3 [tinggi
badan (inci) -60], wanita = 45,5 + 2,3
[tinggi badan (inci)-60]
• Pilih mode ventilasi mekanik
• Atur ventilasi mekanik untuk mencapai tidal
volume awal = 8 ml/kg PBW
• Kurangi tidal volume awal secara bertahap
1 ml/kg dalam waktu ≤ 2 jam sampai
mencapai tidal volume = 6ml/kg PBW
• Atur laju napas untuk mencapai ventilasi
semenit (tidak lebih dari 35 kali/menit)
• Atur tidal volume dan laju napas untuk
mencapai target pH dan tekanan plateau
Hipercapnia diperbolehkan jika pH 7,30-7,45.
Protokol ventilasi mekanik harus tersedia.
Penggunaan sedasi yang dalam untuk
mengontrol usaha napas dan mencapai target
volume tidal. Prediksi peningkatan mortalitas
pada ARDS lebih akurat menggunakan tekanan
driving yang tinggi (tekanan plateau−PEEP) di
bandingkan dengan volume tidal atau tekanan
plateau yang tinggi.
5)
Pada pasien ARDS berat, lakukan ventilasi

21 | I C U C o v i d
dengan prone position > 12 jam per hari.
Menerapkan ventilasi dengan prone position
sangat dianjurkan untuk pasien dewasa dan
anak dengan ARDS berat tetapi membutuhkan
sumber daya manusia dan keahlian yang cukup.
6)
Manajemen cairan konservatif untuk pasien
ARDS tanpa hipoperfusi jaringan
Hal ini sangat direkomendasikan karena dapat
mempersingkat penggunaan ventilator.
7)
Pada pasien dengan ARDS sedang atau berat
disarankan menggunakan PEEP lebih tinggi
dibandingkan PEEP rendah Titrasi PEEP
diperlukan dengan mempertimbangkan manfaat
(mengurangi atelektrauma dan meningkatkan
rekrutmen alveolar) dan risiko (tekanan
pada akhir inspirasi yang
menyebabkan cedera parenkim paru dan
resistensi vaskuler pulmoner yang lebih tinggi).
Untuk memandu titrasi PEEP berdasarkan pada
FiO2 yang diperlukan untuk mempertahankan
SpO2. Intervensi recruitment manoueuvers (RMs)
dilakukan secara berkala dengan CPAP yang
tinggi [30-40 cm H2O], peningkatan PEEP yang
progresif dengan tekanan driving yang konstan,
tekanan driving yang tinggi
dengan mempertimbangkan manfaat dan
risiko.
8)
Pada pasien ARDS sedang-berat (td2/FiO2
<150) tidak dianjurkan secara rutin
menggunakan obat pelumpuh otot.
9)
Pada fasyankes yang memiliki Expertise in Extra
Corporal Life Support (ECLS), dapat
dipertimbangkan penggunaannya ketika
menerima rujukan pasien dengan hipoksemi
refrakter meskipun sudah mendapat lung
protective ventilation.
Saat ini belum ada pedoman yang
merekomendasikan penggunaan ECLS pada
pasien ARDS, namun ada penelitian bahwa
ECLS kemungkinan dapat mengurangi risiko

22 | I C U C o v i d
kematian.
10)
Hindari terputusnya hubungan ventilasi mekanik
dengan pasien karena dapat mengakibatkan
hilangnya PEEP dan atelektasis. Gunakan
sistem closed suction kateter dan klem
endotrakeal tube ketika terputusnya hubungan
ventilasi mekanik dan pasien (misalnya, ketika
pemindahan ke ventilasi mekanik yang portabel).

b. Manajemen Syok Septik


1)
Kenali tanda syok septik
• Pasien dewasa: hipotensi yang menetap
meskipun sudah dilakukan resusitasi cairan
dan membutuhkan vasopresor untuk
mempertahankan MAP ≥65 mmHg dan kadar
laktat serum> 2 mmol/L.
• Pasien anak: hipotensi (Tekanan Darah
Sistolik (TDS) < persentil 5 atau >2 standar
deviasi (SD) di bawah normal usia) atau
terdapat 2-3 gejala dan tanda berikut:
perubahan status mental/kesadaran;
takikardia atau bradikardia (HR <90 x/menit
atau >160 x/menit pada bayi dan HR
<70x/menit atau
>150 x/menit pada anak); waktu pengisian
kembali kapiler yang memanjang (>2 detik)
atau vasodilatasi hangat dengan bounding
pulse; takipnea; mottled skin atau ruam
petekie atau purpura; peningkatan laktat;
oliguria; hipertermia atau hipotermia.
Keterangan: Apabila tidak ada pemeriksaan
laktat, gunakan MAP dan tanda klinis
gangguan perfusi untuk deteksi syok.
Perawatan standar meliputi deteksi dini dan
tatalaksana dalam
1 jam; terapi antimikroba dan pemberian
cairan dan vasopresor untuk hipotensi.
Penggunaan kateter vena dan arteri
berdasarkan ketersediaan dan kebutuhan
pasien.

23 | I C U C o v i d
2)
Resusitasi syok septik pada dewasa: berikan cairan
kristaloid isotonik 30 ml/kg.
3)
Resusitasi syok septik pada anak-anak: pada awal
berikan bolus cepat 20 ml/kg kemudian tingkatkan
hingga 40-60 ml/kg dalam 1 jam pertama.
4)
Jangan gunakan kristaloid hipotonik, kanji, atau
gelatin untuk resusitasi.
5)
Resusitasi cairan dapat mengakibatkan kelebihan
cairan dan gagal napas. Jika tidak ada respon
terhadap pemberian cairan dan muncul tanda-
tanda kelebihan cairan (seperti distensi vena
jugularis, ronki basah halus pada auskultasi paru,
gambaran edema paru pada foto toraks, atau
hepatomegali pada anak-anak) maka kurangi atau
hentikan pemberian cairan.
• Kristaloid yang diberikan berupa salin normal
dan Ringer laktat. Penentuan kebutuhan
cairan untuk bolus tambahan (250-1000 ml
pada orang dewasa atau 10-20 ml/kg pada
anak-anak) berdasarkan respons klinis dan
target perfusi. Target perfusi meliputi MAP
>65 mmHg atau target sesuai usia pada anak-
anak, produksi urin (>0,5 ml/kg/jam pada
orang dewasa, 1 ml/kg/jam pada anak-anak),
dan menghilangnya mottled skin, perbaikan
waktu pengisian kembali kapiler, pulihnya
kesadaran, dan turunnya kadar laktat.
• Pemberian resusitasi dengan kanji lebih
meningkatkan risiko kematian dan acute
kidney injury (AKI) dibandingkan dengan
pemberian kristaloid. Cairan hipotonik kurang
efektif dalam meningkatkan volume
intravaskular dibandingkan dengan cairan
isotonik. Surviving Sepsis menyebutkan
albumin dapat digunakan untuk resusitasi
ketika pasien membutuhkan kristaloid yang
cukup banyak, tetapi rekomendasi ini belum
memiliki bukti yang cukup (low quality
evidence).
6)
Vasopresor diberikan ketika syok tetap
berlangsung meskipun sudah diberikan resusitasi
24 | I C U C o v i d
cairan yang cukup. Pada orang dewasa target awal
tekanan darah adalah MAP ≥65 mmHg dan pada
anak disesuaikan dengan usia.
Jika kateter vena sentral tidak tersedia, vasopresor
dapat diberikan melalui intravena perifer, tetapi
gunakan vena yang besar dan pantau dengan
cermat tanda-tanda ekstravasasi dan nekrosis
jaringan lokal. Jika ekstravasasi terjadi, hentikan
infus. Vasopresor juga dapat diberikan melalui
jarum intraoseus.
7)
Pertimbangkan pemberian obat inotrop (seperti
dobutamine) jika perfusi tetap buruk dan terjadi
disfungsi jantung meskipun tekanan darah sudah
mencapai target MAP dengan resusitasi cairan dan
vasopresor.
• Vasopresor (yaitu norepinefrin, epinefrin,
vasopresin, dan dopamin) paling aman
diberikan melalui kateter vena sentral
tetapi dapat pula diberikan melalui vena
perifer dan jarum intraoseus. Pantau
tekanan darah sesering mungkin dan
titrasi vasopressor hingga dosis
minimum yang diperlukan untuk
mempertahankan perfusi dan mencegah
timbulnya efek samping.
• Norepinefrin dianggap sebagai lini pertama pada
pasien
dewasa; epinefrin atau vasopresin dapat
ditambahkan untuk mencapai target MAP.
Dopamine hanya diberikan untuk pasien
bradikardia atau pasien dengan risiko
rendah terjadinya takiaritmia. Pada anak-
anak dengan cold shock (lebih
sering), epinefrin dianggap sebagai lini
pertama, sedangkan norepinefrin digunakan
pada pasien dengan warm shock (lebih
jarang).

Pasien dengan dengan status Suspek atau Probabel yang di curigai sebagai
COVID-19 dengan kriteria sakit ringan, sakit sedang, sakit berat atau kondisi
25 | I C U C o v i d
kritis ditatalaksana seperti pasien terkonfirmasi COVID-19 sampai terbukti bukan
COVID-19.
11. Pencegahan Komplikasi
Terapkan tindakan berikut untuk mencegah komplikasi pada pasien
dengan gejala berat/kritis terdapat pada tabel dibawah.

Antisipasi Dampak Tindakan

- Protokol penyapihan meliputi


penilaian harian kesiapan untuk
bernapas spontan
- Lakukan pemberian sedasi
Mengurangi lamanya hari penggunaan berkala atau kontinyu yang
ventilasi mekanik invasif (IMV) minimal, titrasi untuk mencapai
target khusus (walaupun begitu
sedasi ringan merupakan
kontraindikasi) atau dengan
interupsi harian dari pemberian
infus sedasi
Kontinyu
- Intubasi oral adalah lebih baik
daripada intubasi nasal pada
remaja dan dewasa
- Pertahankan pasien dalam posisi
semi- recumbent (naikkan posisi
Mengurangi terjadinya ventilator- kepala pasien sehingga
associated pneumonia (VAP) membentuk sudut 30- 450)
- Gunakan sistem closed
suctioning, kuras dan buang
kondensat dalam pipa secara
periodik
- Setiap pasien menggunakan
sirkuit ventilator yang baru;
pergantian sirkuit
Antisipasi Dampak Tindakan

dilakukan hanya jika kotor atau


rusak
- Ganti alat heat moisture
exchanger (HME) jika tidak

26 | I C U C o v i d
berfungsi, ketika kotor atau
setiap 5-7 hari
- Gunakan obat profilaksis (low
molecular-weight heparin, bila
tersedia atau heparin 5000 unit
subkutan dua kali sehari) pada
Mengurangi terjadinya tromboemboli pasien remaja dan dewasa bila
vena tidak ada kontraindikasi.
- Bila terdapat kontraindikasi,
gunakan perangkat profilaksis
mekanik seperti intermiten
pneumatic compression device.

Gunakan checklist sederhana pada


pemasangan kateter IV sebagai
Mengurangi terjadinya infeksi terkait pengingat untuk setiap langkah yang
catheter- related bloodstream diperlukan agar pemasangan tetap
steril dan adanya pengingat setiap
harinya untuk melepas kateter jika
tidak diperlukan
Posisi pasien miring ke kiri-kanan
Mengurangi terjadinya ulkus karena bergantian setiap dua jam
tekanan
- Berikan nutrisi enteral dini (dalam
waktu 24-48 jam pertama)
- Berikan histamin-2 receptor
Mengurangi terjadinya stres ulcer blocker atau proton-pump
dan pendarahan saluran inhibitors. Faktor risiko yang
pencernaan perlu diperhatikan untuk
terjadinya perdarahan saluran
pencernaan termasuk
pemakaian ventilasi mekanik
≥48 jam, koagulopati, terapi sulih
ginjal, penyakit hati, komorbid
ganda, dan skor
gagal organ yang tinggi
Mengurangi terjadinya kelemahan akibat
perawatan di ICU Mobilisasi dini apabila aman untuk
dilakukan.

27 | I C U C o v i d
12. Pengobatan Spesifik Anti-COVID-19
Sampai saat ini belum ada pengobatan spesifik anti-COVID-19 yang
direkomendasikan untuk pasien konfirmasi COVID-19.

13. Evaluasi Akhir Status Klinis Pasien COVID-19


Pemulangan Pasien
Pasien dapat dipulangkan dari perawatan di rumah sakit, bila memenuhi
kriteria selesai isolasi dan memenuhi kriteria klinis sebagai berikut:
a. Hasil assesmen klinis menyeluruh termasuk diantaranya
gambaran radiologis menunjukkan perbaikan,
pemeriksaan darah menunjukan perbaikan, yang
dilakukan oleh DPJP menyatakan pasien diperbolehkan
untuk pulang.
b. Tidak ada tindakan/perawatan yang dibutuhkan oleh
pasien, baik terkait sakit COVID-19 ataupun masalah
kesehatan lain yang dialami pasien.
DPJP perlu mempertimbangkan waktu kunjungan kembali pasien dalam
rangka masa pemulihan. Khusus pasien konfirmasi dengan gejala
berat/kritis yang sudah dipulangkan tetap melakukan isolasi mandiri
minimal 7 hari dalam rangka pemulihan dan kewaspadaan terhadap
munculnya gejala COVID-19, dan secara konsisten menerapkan
protokol kesehatan.
14. Pindah ke RS Rujukan
Pindah ke RS Rujukan apabila pasien memerlukan rujukan ke RS lain
dengan alasan yang terkait dengan tatalaksana COVID-19.
Pelaporan hasil akhir status pasien selesai isolasi, sembuh,
meninggal, dilaporkan ke dinas kesehatan kabupaten/kota setempat
oleh RS pertama yang merawat.

15. Meninggal
Meninggal di rumah sakit selama perawatan COVID-19 pasien
konfirmasi atau probable maka pemulasaraan jenazah diberlakukan
tatalaksana COVID-19.
a. Meninggal di luar rumah sakit/Death on Arrival (DOA)
Bila pasien memiliki riwayat kontak erat dengan orang/pasien
terkonfirmasi COVID-19 maka pemulasaraan jenazah
diberlakukan tatalaksana COVID-19.
Ketentuan mengenai terapi dan penatalaksanaan klinis pasien
COVID-19 serta evaluasi akhir di atas berlaku juga untuk pasien
dengan status kasus probable.
28 | I C U C o v i d
B. KLASIFIKASI PELAYANAN ICU DI RUMAH SAKIT
Dalam menyelenggarakan pelayanan, pelayanan ICU di rumah sakit dibagi dalam 3
(tiga) klasifikasi pelayanan yaitu:
a. Pelayanan ICU Primer (pada rumah sakit Kelas C)
b. Pelayanan ICU Sekunder (RS tipe B)
c. Pelayanan ICU Tersier (RS tipe A)
Untuk Pelayanan ICU di RSUD Ngudi Waluyo Wlingi, Menyelengarakan pelayanan
ICU Sekunder yaitu:
Pelayanan ICU sekunder memberikan standar pelayanan ICU umum yang
tinggi, yang mendukung peran rumah sakit yamg lain yang telah digariskan,
misalnya kedokteran umum, bedah, pengelolaan trauma, bedah syaraf, bedah
vaskuler dan lain-lainnya. ICU hendaknya mampu memberikan tunjangan
ventilasi mekanis yang lama, melakukan dukungan/bantuan hidup lain tetapi
tidak terlalu kompleks.
Kekhususan yang harus dimiliki :
1. Ruangan tersendiri, letaknya dekat dengan kamar bedah, ruang darurat dan
ruang perawatan lain.
2. Memiliki ketentuan/kriteria penderita yang masuk, keluar serta rujukan
3. Memiliki konsultan yang dapat dihubungi dan datang setiap saat bila
diperlukan.
4. Memiliki seorang kepala ICU, yaitu seorang dokter konsultan intensive care,
atau bila tidak tersedia dokter spesialis anastesiologi, yang bertanggung jawab
secara keseluruhan dan dokter jaga yang minimal mampu melakukan
resusitasi jantung paru (bantuan hidup dasar dan bantuan hidup lanjut).
5. Mampu menyediakan tenaga perawat dengan perbandingan pasien perawat
sama dengan 1 : 1 untuk pasien ventilator, renal replacement therapy dan 2 :
1 untuk kasus-kasus lainnya.
6. Memiliki lebih dari 50% perawat bersertifikat terlatih perawatan/terapi intensif
atau minimal berpengalaman kerja 3 (tiga) tahun di ICU sekunder
7. Mampu memberikan tunjangan ventilasi mekanis beberapa lama dan dalam
batas tertentu melakukan pemantauan invasive dan usaha-usaha penunjang
hidup.
8. Mampu melayani pemeriksaan laboratorium, radiologi, kemudahan diagnostik
dan fisioterapi selama 24 (dua puluh empat) jam.
9. Memiliki ruang isolasi atau mampu melakukan prosedur isolasi.

29 | I C U C o v i d
C. KRITERIA PASIEN MASUK DAN KELUAR RUANG ICU COVID
1. Kreteria Pasien Masuk icu covid
a. Memerlukan ventilator mekanik invasive
b. Membutuhkan lebih dari 2 jam penggunaan NIV
c. Membutuhkan lebih dari 2 jam penggunaan HFNC
d. Saturasi oksigen room air < 90 %, atau membutuhkan oksigen lebih
dari 6 Lpm, atau menjaga SpO2 > 92 % atau PaO2 > 65
e. Work of breating meningkat ( Tachypnea)
f. Pasien dengan haemodinamik tidak stabil setelah mendapatkan
resusitasi cairan
g. Pasien membutuhkan terapi vasopressor
h. Pasien dengan penurunan kesadaran
i. BGA ( Blood Gan Analisis) dengan PH < 7.3 atau PCO2 > 50 mmHg,
atau diatas base line pasien
j. Lactate > 2 mmoL
k. Pasien dengan lebih dari satu gagal organ akut
l. Pasien dengan temuan baru ECG seperti: iskemik, aritmia, heart
block

2. Kreteria pasien Keluar icu covid


a. Vital sign Stabil, tanpa topangan Inotropik atau vasopressor
b. Pasien dengan topangan inotropic rendah ( dopamin
<5mcg/mgbb/menit )
c. Baseline normal atau kondisi pasien sudah sesuaibaseline pasien
d. Pasien bisa pindah ruangan bila ada pasien lain yang lebih
membutuhkan ICU
e. Status resporasi stabil, potensi jalan nafas normal, dan work of
breathing normal
f. Setidaknya 24 jam post extubasi pada pasien terintubasi ventilator
mechanic
g. Tidak ada atau aritmia jantung terkontrol
h. Tidak membutuhkan suction yang sering pada pasien tracheostomy

D. MEKANISME PASIEN MASUK DAN KELUAR ICU/ICCU


a. Dokter Penanggung Jawab Pasien (DPJP) menginformasikan kepada
penanggung jawab pasien terkait dengan kondisi pasien untuk masuk dan keluar
dari ruang intensif.
b. Penanggung jawab pasien dianjurkan untuk ke bagian admission.
c. Perawat ruang intensif diinformasikan oleh bagian admission terkait dengan
masuk/keluarnya pasien dari ruang intensif.

30 | I C U C o v i d
d. Perawat ruangan menghubungi perawat ruang intensif terkait kondisi pasien
yang akan dirawat di ruang intensif.

D. PERSIAPAN PENERIMAAN PASIEN DARI IGD DAN RUANG RAWAT INAP


a. Ruang intensif mendapat informasi dari ruangan yang akan memindahkan pasien
yang akan dirawat di ruang intensif.
b. Perawat ruangan mengantar ke ruangan intensif dan serah terima pasien dan
perawat ruangan mengoperkan sekaligus melaporkan kondisi pasien yang akan
dirawat di ruang intensif.
c. Perawat ruang intensif menyiapkan fasilitas yang diperlukan dan menghubungi
dokter jaga ICU untuk rencana tindakan medis.

31 | I C U C o v i d
E. MONITORING PASIEN
a. Setiap pasien yang dirawat di ruang intensif dilakukan monitoring tanda-tanda
vital selama 24 jam.
b. Bila ada gambaran monitoring yang menggambarkan kelainan, perawat ruang
intensif menginformasikan kepada DPJP/dokter jaga ruangan.

F.PROSEDUR TINDAKAN MEDIS


1. Pemasangan CVC (Central Vena Catheter )
 Dokter Penanggung Jawab Pasien (DPJP) menginformasikan indikasi
pemasangan CVC kepada penanggung jawab pasien.
 Penanggung jawab pasien menandatangani inform consent pemasangan CVC.
 Perawat ruang intensif menyiapkan peralatan pemasangan CVC
2. Pemasangan Stomach Tube
 Dokter Penanggung Jawab Pasien (DPJP) menginformasikan indikasi
pemasangan stomach tube kepada penanggung jawab pasien.
 Penanggung jawab pasien menandatangani inform consent pemasangan
stomach tube.
 Perawat ruang intensif menyiapkan peralatan pemasangan stomach tube.
3. Pemasangan Endo Tracheal Tube (Intubasi)
 Dokter Penanggung Jawab Pasien (DPJP) menginformasikan indikasi
pemasangan ETT kepada penanggung jawab pasien.
 Penanggung jawab pasien menandatangani inform consent pemasangan ETT.
 Perawat ruang intensif menyiapkan peralatan pemasangan ETT
4. Extubasi
 Dokter Penanggung Jawab Pasien (DPJP) menginformasikan indikasi
pelepasan ETT kepada penanggung jawab pasien
 Perawat ruang intensif menyiapkan peralatan pelepasan ETT
5. Balance cairan
 Setiap pasien yang dirawat di ruang intensif dilakukan balans cairan sesuai
dengan lembar flow sheet pasien.
 Balans cairan dipantau setiap jam sesuai dengan instruksi DPJP.
 Kondisi pasien yang terkait dengan balans cairan dilaporkan kepada DPJP
( sesuai dengan keadaan umum pasien ).
 Instruksi yang terkait dengan balans cairan diinformasikan sewaktu serah
terima dengan shift berikutnya.
6. Rehabilitasi medis
 DPJP menginstruksikan untuk dilakukan rehabilitasi medis dan ditulis pada
rekam medis pasien.

32 | I C U C o v i d
 Penanggung jawab pasien diinformasikan oleh DPJP terkait dengan tindakan
rehabilitasi medis.
 Penanggung jawab pasien menandatangani inform consent rehabilitasi medis.
 Perawat ruang intensif menghubungi bagian rehabilitasi medis untuk
konfirmasi terkait dengan rehabilitasi medis pasien.
7. Penilaian kematian batang otak
DPJP menginformasikan kepada penanggung jawab pasien tentang kondisi
kematian batang otak.
DPJP menulis pada rekam medis pasien terkait kondisi kematian batang otak
pasien.
Perawat ruang intensif menindak lanjuti instruksi DPJP.

G. INDIKASI PENGGUNAAN DAN PENGHENTIAN VENTILATOR MEKANIK


a. DPJP menginformasikan kepada penanggung jawab pasien terkait indikasi
pengunaan dan penghentian ventiltor mekanik dan menuliskan di rekam medis
pasien.
b. Penanggung jawab pasien menandatangani inform consent penggunaan /
penghentian ventilator mekanik.
c. Perawat ruang intensif menindak lanjuti instruksi DPJP.

H. PENGGUNAAN ALAT MEDIS


1. Syringe pump
 Penanggung jawab pasien diinformasikan tentang indikasi penggunaan syringe
pump oleh PPJP ( Perawat Penanggung Jawab Pasien ).
 Perawat ruang intensif menindaklanjuti tindakan penggunaan syringe pump.
2. Infusion pump
 Penanggung jawab pasien diinformasikan tentang indikasi penggunaan infusion
pump oleh PPJP ( Perawat Penanggung Jawab Pasien ).
 Perawat ruang intensif menindaklanjuti tindakan penggunaan infusion pump.
3. Suction
 Penanggung jawab pasien diinformasikan tentang indikasi pengguaan suction
oleh PPJP ( perawat Penanggung Jawab Pasien ).
 Perawat ruang intensif menindaklanjuti tindakan penggunaan suction
4. Defibrilator
 Penanggung jawab pasien diinformasikan tentang indikasi penggunaan
defribrilator oleh DPJP.
 Perawat ruang intensif menindaklanjuti tindakan penggunaan defibrillator.

33 | I C U C o v i d
I. KONSULTASI
a. DPJP menginformasikan pada penanggung jawab pasien terkait dengan
konsultasi ke dokter spesialis lain.
b. DPJP menuliskan pada rekam medis pasien pada lembar konsultasi
c. Penanggung jawab pasien menandatangani inform consent
d. Perawat ruang intensif menghubungi dokter spesialis yang dikonsulkan
e. Penanggung jawab pasien diinformasikan tentang hasil konsultasi oleh dokter
konsultan

J.INDIKASI DAN PROSEDUR PEMERIKSAAN LABORAT DAN RADIOLOGI


a. DPJP menginformasikan indikasi pemeriksaan laborat dan radiologi kepada
penanggung jawab pasien.
b. Penanggung jawab pasien menandatangani formulir inform consent pemeriksaan
laborat dan radiologi
c. Perawat ruang intensif menginformasikan tentang pemeriksaan laboratorium dan
radiologi kepada bagian terkait
d. Perawat ruang intensif melengkapi formulir pemeriksaan laboratorium dan
radiologi dan menyerahkan kepada petugas administrasi IRNA untuk penginputan
data.
e. Pasien ditindak lanjuti sesuai dengan jenis pemeriksaan

K. PENGIRIMAN PASIEN
1. Pengiriman dari ICU ke ruang rawat inap
 Penanggung jawab pasien menginformasikan ke ruangan yang dituju,
menanyakan apa ada tempat, bila ada maka ruangan yang dituju menyiapkan
tempat.
 Perawat ruang intensif yang bertanggung jawab mengantarkan pasiennya ke
ruang rawat inap yang dituju.
 Perawat ruang intensif mengoperkan kondisi pasien dan menyerahkan
dokumen rekam medis pasiennya ke perawat ruangan
2. Pengiriman ke kamar bedah
 Perawat ruang intensif menginformasikan rencana operasi kepada perawat di
kamar bedah bila setelah operasi pindah/alih rawat ke ruang bedah.
 Perawat ruang intensif menyiapkan pasien untuk tindakan operasi
 Perawat ruang intensif mengantar pasien ke kamar operasi
3. Pengiriman rujukan
 DPJP menginformasikan kepada penanggung jawab pasien terkait
pemeriksaan yang akan dilakukan atau dirujuk ke rumah sakit lain
 Perawat ruang intensif menginformasikan jenis pemeriksaan yang akan dirujuk
kepada petugas administrasi ICU/ICCU.

34 | I C U C o v i d
 Penanggung jawab pasien mengisi formulir inform consent
 Perawat ruang intensif menghubungi sopir ambulan untuk informasi
penggunaan mobil ambulan yang akan merujuk
4. Pengiriman ke kamar jenazah
 Keluarga pasien dianjurkan untuk menyelesaikan administrasi ke loket
pembayaran
 Perawat ruang intensif menyiapkan surat keterangan kematian
 Perawat ruang intensif menghubungi petugas kamar jenazah
 Jenazah diantar ke kamar jenazah oleh perawat ruang intensif

L. REKAM MEDIS
 Rekam medis pasien yang meninggal/pulang/pindah ke rumah sakit lain
dilengkapi oleh DPJP
 Setelah dilengkapi dikirim ke bagian rekam medis disertai buku expedisi maximal
2x24 jam
M. Pencatatan Dan Pelaporan Kegiatan Pelayanan
 Kegiatan pelayanan yang diberikan pada pasien ditulis pada flow sheet yang
sudah tersedia
 Informasi pasien yang tertulis di dalam flow sheet, dirangkum oleh penanggung
jawab shift

N. Evaluasi Hasil Perawatan


 Kegiatan pelayanan pada bulan terkait dirangkum dan didokumentasikan pada
laporan bulanan ruang intensif setiap tanggal 5 bulan berjalan
 Laporan yang sudah dibuat diserahkan pada unit terkait RM, PKMRS, Kabid
keperawatan dll
 Pelaporan kegiatan pelayanan dibuat setiap bulan, semester ( 6 bulan ), dan
setiap tahun
 Informasi yang memerlukan tindak lanjut dengan bagian lain ditindak lanjuti sesuai
dengan prosedur yang berlaku

35 | I C U C o v i d
BAB V
LOGISTIK

A. Prosedur Penyediaan Alat Kesehatan Dan Obat


a. Pengertian
Prosedur penyediaan alat kesehatan dan obat adalah suatu prosedur penyediaan
alat kesehatan dan obat-obatan stok emergency yang digunakan oleh pasien di
ruang intensif dan sebagai penggantinya dibebankan kepada pasien melalui resep
yang dibuat oleh dokter atau melalui lembar FPO ( Formulir Penggunaan Obat).
b. Tujuan
 Agar alat-alat kesehatan dan obat-obatan emergency stok yang ada di ruang
intensif tetap terjaga dalam segi kualitas dan kuantitas.
 Memudahkan didalam penggunaan dan pengawasan
c. Prosedur permintaan alat kesehatan dan obat emergency
 Jenis obat emergency stok dan alat kesehatan yang akan diminta dituliskan
pada buku permintaan/pemakaian barang farmasi ( rangkap 2 ) berwarna putih
dan kuning.
 Buku yang sudah diisi dengan lengkap diserahkan ke bagian logistik farmasi.
 Bila alat kesehatan dan obat-obatan emergency yang diminta sudah tersedia
akan diserahterimakan ke ruang intensif, lembaran berwarna putih untuk bagian
logistik farmasi dan lembaran berwarna kuning untuk arsip ruang intensif.
d. Prosedur penggantian alat kesehatan dan obat emergency yang sudah digunakan
oleh pasien
 Persiapan obat emergency dan alat dilengkapi oleh bagian farmasi dengan
cara, perugas mengajukan bon sesuai kebutuhan dengan menggunakan buku
bon rangkap 2, warna putih untuk depo farmasi, kuning untuk arsip ruangan.
 Obat-obat emergency dan alat yang sudah digunakan dituliskan pada buku
pemakaian obat, setalah di rekap dibuatkan resep oleh dokter ICU/ICCU.
 Setelah resep ditulis dengan lengkap kemudian diberikan ke keluarga pasien
untuk dibelikan ke apotik.
 Setelah obat di dapat kemudian diserahkan ke perawat yang bertanggungjawab
dan memasukkan ke dalam stok yang ada sebagai kelengkapan obat
emergency dan alat-alatnya.
e. Prosedur penyediaan floor stok
1. Pengertian
Floor stok adalah alat kesehatan / bahan penunjang keperawatan medis / non
medis habis pakai yang digunakan untuk melakukan pelayanan keperawatan di
ruang intensif dan tidak dibebankan kepada pasien.
2. Prosedur

36 | I C U C o v i d
 Jenis floor stok yang akan diminta dituliskan pada buku
permintaan/pemakaian barang farmasi ( rangkap 2 ) berwarna putih dan
kuning.
 Buku yang sudah diisi dengan lengkap diserahkan ke bagian logistik farmasi.
 Bila floor stok yang diminta sudah tersedia akan diserahterimakan ke ruang
intensif, lembaran berwarna putih untuk bagian logistik farmasi dan lembaran
kuning untuk arsip ruang intensif.

B. Perencanaan Peralatan/Peremajaan
1. Pengertian
Perencanaan peralatan / peremajaan adalah suatu proses perencanaan /
pengadaan peralatan keperawatan baik medis atau non medis yang belum /
sudah dimiliki oleh unit kerja.
2. Tujuan
 Memenuhi kebutuhan peralatan keperawatan medis atau non medis di unit
kerja.
 Agar peralatan yang ada dapat digunakan sesuai dengan fungsinya
 Memenuhi standar pelayanan agar tetap dapat terjaga
3. Prosedur
 Kepala ruang intensif care membuat usulan (RKBU) dalam 1 tahun untuk
perencanaan peralatan yang baru / peremajaan yang ditujukan kepada bagian
pengadaan sesuai kebutuhan.
 Peralatan yang direncanakan untuk diminta harus disertai dengan spesifikasi
yang lengkap
 Kepala ruang membuat telaah staf yang isinya permintaan pengadaan
peralatan yang disertai dengan spesifikasi yang lengkap dan ditujukan kepada
direktur.

37 | I C U C o v i d
BAB VI
PATIENT SAFETY
(KESELAMATAN PASIEN)

A. LATAR BELAKANG
Keselamatan (safety) telah menjadi isu global termasuk juga untuk rumah sakit.
Ada lima isu penting yang terkait dengan keselamatan (safety) di rumah sakit yaitu :
keselamatan pasien (patient safety), keselamatan pekerja atau petugas kesehatan,
keselamatan bangunan dan peralatan di rumah sakit yang bias berdampak terhadap
keselamatan pasien dan petugas, keselamatan lingkungan (green productivity) yang
berdampak terhadap pencemaran lingkungan dan keselamatan ”bisnis” rumah sakit
yang terkait dengan kelangsungan hidup rumah sakit. Ke lima aspek keselamatan
tersebut sangatlah penting untuk dilaksanakan di setiap rumah sakit. Namun harus
diakui kegiatan institusi rumah sakit dapat berjalan apabila ada pasien. Karena itu
keselamatan pasien merupakan prioritas utama untuk dilaksanakan dan hal tersebut
terkait dengan isu mutu dan citra perumahsakitan.
Harus diakui, pelayanan kesehatan pada dasarnya adalah untuk menyelamatkan
pasien sesuai dengan yang diucapkan Hiprocrates kira-kira 2400 tahun yang lalu yaitu
Primum, non nocere (First, do no harm). Namun diakui dengan semakin
berkembangnya ilmu dan teknologi pelayanan kesehatan khususnya di rumah sakit
menjadi semakin kompleks dan berpotensi terjadinya Kejadian Tidak Diharapkan - KTD
(Adverse event) apabila tidak dilakukan dengan hati-hati. Di rumah sakit terdapat
ratusan macam obat, ratusan tes dan prosedur, banyak alat dengan teknologinya,
bermacam jenis tenaga profesi dan non profesi yang siap memberikan pelayanan
pasien 24 jam terus menerus. Keberagaman dan kerutinan pelayanan tersebut apabila
tidak dikelola dengan baik dapat terjadi KTD. Adapun keselamatan pasien (patient
safety) menurut aspek hukum di atur oleh undang undang kesehatan pasal 43 UU No.
44/2009, yang meliputi:
1) RS wajib menerapkan standar keselamatan pasien
2) Standar keselamatan pasien dilaksanakan melalui pelaporan insiden,
menganalisa, dan menetapkan pemecahan masalah dalam rangka menurunkan
angka kejadian yang tidak diharapkan.
3) RS melaporkan kegiatan keselamatan pasien kepada komite yang membidangi
keselamatan pasien yang ditetapkan oleh menteri
4) Pelaporan insiden keselamatan pasien dibuat secara anonym dan ditujukan
untuk mengoreksi system dalam rangka meningkatkan keselamatan pasien.

B. PENGERTIAN PATIENT SAFETY

38 | I C U C o v i d
Keselamatan pasien (patient safety) rumah sakit adalah suatu sistem dimana
rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman. Sistem tersebut meliputi asesmen
risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien,
pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya
serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko. Sistem tersebut
diharapkan dapat mencegah terjadinya cedera yan disebabkan oleh kesalahan akibat
melaksanakan suatu tindakan atau tidak melakukan tindakan yang seharusnya
dilakukan. (Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah sakit, Depkes R.I. 2006).
Keselamatan pasien (patient safety) adalah suatu sistem dimana rumah sakit
membuat asuhan pasien lebih aman, mencegah terjadinya cidera yang disebabkan oleh
kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang
seharusnya diambil. Sistem tersebut meliputi pengenalan resiko, identifikasi dan
pengelolaan hal yang berhubungan dengan resiko pasien, pelaporan dan analisis
insiden, kemampuan belajar dari insiden, tindak lanjut dan implementasi solusi untuk
meminimalkan resiko (Depkes 2008).

C. TUJUAN PATIENT SAFETY


Tujuh tujuan penanganan patient safety menurut Joint Commission International antara
lain:
a. Mengidentifikasi pasien dengan benar
b. Meningkatkan komunikasi secara efektif
c. Meningkatkan keamanan dari high-alert medications
d. Memastikan benar tempat
e. Benar prosedur dan benar pembedahan pasien
f. Mengurangi risiko infeksi dari pekerja kesehatan
g. Mengurangi risiko terjadinya kesalahan yang lebih buruk pada pasien.

D. TATA LAKSANA KESELAMATAN PATIENT


SASARAN I :
KETEPATAN IDENTIFIKASI PASIEN
Elemen Penilaian SKP.I.
1. Pasien diidentifikasi menggunakan minimal dua identitas pasien (nama, tanggal
lahir dan, register), tidak boleh menggunakan nomor kamar atau lokasi pasien
2. Pasien dipasang gelang identitas warna biru untuk laki-laki, merah muda untuk
wanita, merah untuk pasien alergi, kuning untuk pasien resiko jatuh, dan ungu
untuk pasien terminal atau DNR (Do Not Resusitation)
3. Pasien diidentifikasi sebelum pemberian obat, darah, atau produk darah.
4. Pasien diidentifikasi sebelum mengambil darah dan spesimen lain untuk
pemeriksaan klinis
5. Pasien diidentifikasi sebelum pemberian pengobatan dan tindakan / prosedur

39 | I C U C o v i d
6. Kebijakan dan prosedur mengarahkan pelaksanaan identifikasi yang konsisten
pada semua situasi dan lokasi

SASARAN II :
PENINGKATAN KOMUNIKASI YANG EFEKTIF
Elemen Penilaian SKP.II.
1. Perintah lengkap secara lisan dan yang melalui telepon atau hasil pemeriksaan
dituliskan secara lengkap oleh penerima perintah
2. Perintah lengkap lisan dan telpon atau hasil pemeriksaan dibacakan kembali
secara lengkap oleh penerima perintah.
3. Perintah atau hasil pemeriksaan dikonfirmasi oleh pemberi perintah atau yang
menyampaikan hasil pemeriksaan
4. Kebijakan dan prosedur mengarahkan pelaksanaan verifikasi keakuratan
komunikasi lisan atau melalui telepon secara konsisten.

SASARAN III :
PENINGKATAN KEAMANAN OBAT YANG PERLU DIWASPADAI (HIGH-ALERT)
Elemen Penilaian SKP.III.
1. Kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan agar memuat proses identifikasi,
menetapkan lokasi, pemberian label, dan penyimpanan elektrolit konsentrat.
2. Implementasi kebijakan dan prosedur.
3. Elektrolit konsentrat tidak boleh disimpan di unit pelayanan pasien kecuali jika
dibutuhkan secara klinis dan tindakan diambil untuk mencegah pemberian yang
kurang hati-hati di area tersebut sesuai kebijakan.
4. Elektrolit konsentrat yang disimpan di pada unit pelayanan pasien harus diberi
label yang jelas, dan disimpan pada area yang dibatasi ketat (restricted).
SASARAN IV :
KEPASTIAN TEPAT-LOKASI, TEPAT-PROSEDUR, TEPAT-PASIEN OPERASI
Elemen Penilaian SKP.IV.
1. Rumah sakit menggunakan suatu tanda yang jelas dan dapat dimengerti untuk
identifikasi lokasi operasi dan melibatkan pasien di dalam proses penandaan.
2. Rumah sakit menggunakan suatu checklist atau proses lain untuk memverifikasi
saat preoperasi tepat lokasi, tepat prosedur, dan tepat pasien dan semua
dokumen serta peralatan yang diperlukan tersedia, tepat, dan fungsional.
3. Tim operasi yang lengkap menerapkan dan mencatat prosedur “sebelum insisi /
time-out” tepat sebelum dimulainya suatu prosedur / tindakan pembedahan.
4. Kebijakan dan prosedur dikembangkan untuk mendukung keseragaman proses
untuk memastikan tepat lokasi, tepat prosedur, dan tepat pasien, termasuk
prosedur medis dan tindakan pengobatan gigi / dental yang dilaksanakan di luar
kamar operasi.

40 | I C U C o v i d
SASARAN V :
PENGURANGAN RISIKO INFEKSI TERKAIT PELAYANAN KESEHATAN
Elemen Penilaian SKP.V.
1. Rumah sakit mengadopsi atau mengadaptasi pedoman hand hygiene terbaru
yang diterbitkan dan sudah diterima secara umum (al.dari WHO Patient Safety).
2. Rumah sakit menerapkan program hand hygiene yang efektif.
3. Kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan untuk mengarahkan pengurangan
secara berkelanjutan risiko infeksi yang terkait pelayanan kesehatan

SASARAN VI :
PENGURANGAN RISIKO PASIEN JATUH
Elemen Penilaian SKP.VI.
1. Rumah sakit menerapkan proses asesmen awal risiko pasien jatuh dan
melakukan asesmen ulang bila diindikasikan terjadi perubahan kondisi atau
pengobatan dll.
2. Langkah-langkah diterapkan untuk mengurangi risiko jatuh bagi mereka yang
pada hasil asesmen dianggap berisiko jatuh
3. Langkah-langkah dimonitor hasilnya, baik keberhasilan pengurangan cedera
akibat jatuh dan dampak dari kejadian tidak diharapkan
4. Kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan untuk mengarahkan pengurangan
berkelanjutan risiko pasien cedera akibat jatuh di rumah sakit.

41 | I C U C o v i d
BAB VII
KESELAMATAN KERJA

HIV / AIDS telah menjadi ancaman global. Ancaman penyebaran HIV menjadi
lebih tinggi karena pengidap HIV tidak menampakkan gejala. Setiap hari ribuan anak
berusia kurang dari 15 tahun dan 14.000 penduduk berusia 15-49 tahun terinfeksi HIV.
Dari keseluruhan kasus baru, 25% terjadi di negara-negara berkembang yang belum
mampu menyelenggarakan kegiatan penanggulangan yang memadai.
Angka pengidap HIV di Indonesia terus meningkat, dengan peningkatan kasus
yang sangat bermakna. Ledakan kasus HIV / AIDS terjadi akibat masuknya kasus
secara langsung ke masyarakat melalui penduduk migran, sementara potensi
penularan dimasyarakat cukup tinggi ( misalnya melalui perilaku seks bebas tanpa
pelindung, pelayanan kesehatan yang belum aman karena belum ditetapkannya
kewaspadaan umum dengan baik, penggunaan bersama peralatan menembus kulit :
tato, tindik dll ).
Penyakit hepatitis B dan C, yang keduanya potensial untuk menular melalui
tindakan pada pelayanan kesehatan. Sebagai ilustrasi dikemukakan bahwa menurut
data PMI angka kesakitan hepatitis B di Indonesia pada pendonor sebesar 2,08% pada
tahun 1998 dan angka kesakitan hepatitis C di masyarakat menurut WHO adalah
2,10%. Kedua penyakit ini sering tidak dapat dikenali secara klinis karena tidak
memberikan gejala.
Dengan munculnya penyebaran penyakit tersebut diatas memperkuat keinginan
untuk mengembangkan dan menjalankan prosedur yang bisa melindungi semua pihak
dari penyebaran infeksi dikenal melalui “Kewaspadaan Umum” atau “Universal
Precaution” yaitu dimulai sejak dikenalnya infeksi nosokomial yang terus menjadi
ancaman bagi “Petugas Kesehatan”.
Tenaga kesehatan sebagai ujung tombak yang melayani dan melakukan kontak
langsung dengan pasien dalam waktu 24 jam secara terus-menerus tentunya
mempunyai resiko terpajan infeksi, oleh sebab itu tenaga kesehatan wajib menjaga
kesehatan dan keselamatan dirinya dari resiko tertular agar dapat bekerja maksimal.

Tujuan
Petugas kesehatan didalam menjalankan tugas dan kewajibannya dapat
melindungi diri sendiri, pasien dan masyarakat dari penyebaran infeksi

Petugas kesehatan didalam menjalankan tugas dan kewajibannya mempunyai


resiko tinggi terinfeksi penyakit menular di lingkungan tempat kerjanya, untuk
menghindarkan paparan tersebut, setiap petugas harus menerapkan prinsip
“Universal Precaution”

42 | I C U C o v i d
Pelaksanaan program keselamatan kerja, kebakaran dan kewaspadaan bencana
( K3 )
a. Keselamatan kerja
 Pemeriksaan kesehatan
 Pemberian imunisasi / profilaksis anti virus ( hepatitis B )
 Pengadaan sarana kewaspadaan standar
 Pencegahan penularan petugas kesehatan
 Penatalaksanaan penularan / paparan luka tusuk jarum

Strategi pencegahan resiko infeksi / kecelakaan kerja


 Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan
 Gunakan Alat Pelindung Diri ( APD ) sesuai jenis tindakan
 Baca etiket obat sebelum digunakan
 Tidak menyarungkan kembali jarum yang tekah dipakai
 Buang jarum pada kontainer yang tahan tusuk dan tahan bocor
 Jangan tinggalkan jarum sembarangan
 Buang jarum bekas pakai pada kontainer yang telah disediakan
 Jangan memberikan jarum bekas pakai kepada orang untuk dibuang
 Buang sampah sesuai tempatnya
 Jaga kebersihan lingkungan
 Jaga lantai tetap kering dan licin

Tindakan pertama pada pajanan bahan kimia atau cairan tubuh


 Pada mata : bilas dengan air mengalir selama 15 menit
 Pada kulit : bilas dengan air mengalir selama 1 menit
 Pada mulut : segera kumur-kumur selama 1 menit
 Lapor ke Komite Dalin atau panitia K3 RS

b. Kebakaran dan Kewaspadaan Bencana


Kebakaran dan kewaspadaan bencana yang mungkin bisa terjadi di ruang
intensif adalah :
 Kebakaran
 Kebocoran gas / ledakan
 Gempa bumi
Tujuan :
 Menyiapkan ruang intensif bila terjadi kebakaran dan kewaspadaan
bencana
 Setiap petugas yang ada di ruang intensif dapat bertindak dengan cepat
dan tepat bila terjadi kebakaran dan kewaspadaan bencana

43 | I C U C o v i d
 Menjamin keselamatan pasien yang sedang dirawat di ruang intensif

Program kebakaran dan kewaspadaan bencana


Diadakan pelatihan internal rumah sakit tentang :
a. Penanggulangan kebakaran
b. Evakuasi pasien ( dengan ventilator dan pasien tidak sadar )
Pelatihan dilakukan setiap tahun
Pengadaan Alat Pelindung Diri

44 | I C U C o v i d
BAB VIII
PENGENDALIAN MUTU

A. Angka ketidak lengkapan rekam medis


Status rekam medis pasien ruang intensif yang meninggal dikembalikan ke
bagian rekam medis dalam waktu 2x24 jam dan sudah terisi lengkap
B. Angka kematian spesifik
Angka kematian spesifik adalah pasien rawat ruang intensif yang meninggal
dalam waktu < dari 2x24 jam
C. Angka infeksi nosokomial ( pneumonia, infeksi saluran kemih, infeksi jarum
infus )
1. Infeksi saluran kemih
ISK dibagi menjadi 2 yaitu :
a. Simptomatis
ISK simptomatis ( < 1 tahun )
 Suhu > 38º c
 Anyang-anyangan
 Polakisuri
 Disuri
 Nyeri supra pubik
 Biakan mid stream
 Lekosit esterase / nitrit test ( + )
 Pyuria
 Biakan ( + ) 2 kali beturut-turut ( kuman sama )
ISK simptomatis ( > 1 tahun )
 Suhu > 38º c atau < 36º c
 Apneu
 Nadi < 100
 Letargia
 Muntah
 Biakan ( + ) 2 jenis kuman
 Test lekosit esterase / nitrit ( + )
 Pyuria
 Pewarnaan gram ( - ) kuman ( + ) tanpa sentrifuse
 Biakan ( + ) 2 kali berturut-turut ( kuman sama )

b. Asimptomatis

45 | I C U C o v i d
 Pernah kateterisasi < 7 hari yang lalu
 Biakan ( + ) kurang dari 2 jenis kuman
 Tidak ada gejala

Insiden ISK

Jumlah pasien baru positif ISK x 100%

Jumlah pasien dengan kateter urine selama periode tertentu

2. Pneumonia
Pneumonia Nosokomial ( HAP ) adalah infeksi saluran nafas bawah,
mengenai parenkim paru tidak di intubasi dan terjadi > 48 jam hari rawat dan
tidak dalam masa inkubasi

Ventilator Aquired Pneumonia ( VAP ) adalah pneumonia di dapat bila lebih


dari 48 jam setelah menggunakan ventilasi mekanik

KRITERIA DIAGNOSIS
a. Pada dewasa dan anak > 12 bulan
Didapatkan 1 dari
1. Bunyi pernafasan menurun, rhonki basah ditambah salah satu :
 sputum purulen / perubahan sputum
 isolasi kuman biakan darah ( + )
 isolasi kuman patogen aspirasi trakea atau sikatan bronkus /
biopsi ( + )
2. Foto thorax  infiltrat, konsolidasi, kavitasi, effusi pleura baru /
progresif ditambah salah satu :
 Sputum purulen atau perubahan sputum
 Isolasi kuman biakan darah ( + )
 Isolasi kuman patogen aspirasi trakea / sikatan bronkus / biopsi
(+)
 Antigen / isolasi / virus ( + ) dalam sekresi saluran nafas
 Titer IgM atau IgG spesifik meningkat

b. Pada anak umur ≤ 12 bulan


Didapatkan 2 dari :
Apneu, takipneu, bradikardi, wheezing ( mengi ), ronkhi basah, batuk
ditambah 1 diantara :
 Produksi sputum / sekresi saluran nafas meningkat dan purulen

46 | I C U C o v i d
 Isolasi kuman biakan darah ( + )
 Isolasi kuman biakan patogen aspirasi trakea / sikatan bronkus /
biopsi ( + )
 Antigen / isolasi virus ( + ) dalam sekresi saluran nafas
 Titer IgM atau IgG spesifik meningkat 4x

Faktor resiko HAP dan VAP


a. Faktor intrinsik / faktor penderita
 Usia
 Kelainan paru atau lambung
 Status nutrisi
b. Faktor ekstrinsik / rumah sakit
Operasi thorax dan abdomen bagian atas
c. Peralatan medis yang dipakai, terutama :
ETT / NGT, ventilasi mekanik, alat penghisap lendir
d. Faktor yang meningkatkan resiko terjadinya aspirasi
 Penurunan kesadaran
 Lama operasi dan jenis anastesi

Insiden HAP :
Jumlah Kasus HAP / bulan x 100%

Jumlah hari rawat seluruh pasien beresiko HAP / bulan

Surveilen HAP :
Semua pasien rawat inap yang memiliki faktor resiko HAP dirawat setelah
2x24 jam

Insiden VAP :

Jumlah kasus VAP / bulan x 100%

Jumlah hari pemasangan ventilator seluruh pasien

yang terpasang ventilator mekanik setelah 2x24 jam

3. Infeksi Aliran Darah Primer ( IADP )


Definisi
IADP

47 | I C U C o v i d
Ditemukan organisme dari hasil kultur darah semi / kuantitatif dengan tanda
klinis yang jelas serta tidak disertai infeksi yang lain ( tanpa ada organ atau
jaringan lain yang dicurigai sebagai sumber infeksi ) dan atau dokter yang
merawat menyatakan infeksi
Plebitis
Pada daerah lokasi tusukan infus ditemukan tanda-tanda merah, seperti
terbakar, bengkak, sakit bila ditekan, ulkus sampai eksudat purulen atau
mengeluarkan cairan bila ditekan

Kriteria klinis IADP


Secara laboratorium harus memenuhi salah satu dai kriteria berikut :
a. Kriteria 1
 Terdapat kuman yang dikenal pada salah satu atau lebih kultur
darah
 Tidak berkaitan dengan infeksi di lokasi lain
b. Kriteria 2
 Satu dari tanda / gejala sebagai berikut : demam ( 38ºc ),
menggigil, hipotensi
 Tidak berkaitan dengan infeksi di lokasi lain
 Terdapat kuman yang dikenal pada salah satu atau lebih kultur
darah pada waktu yang berbeda
c. Kriteria 3 ( usia < 1 tahun )
 Satu dari tanda / gejala sebagai berikut : demam ( 38ºc ), hipotermi
( < 37ºc ), apneu, bradikardi
 Tidak berkaitan dengan infeksi di lokasi lain
 Terdapat kuman yang dikenal pada salah satu atau lebih kultur
darah pada waktu yang berbeda

Insiden IADP
Jumlah pasien positif IADP x 100%

Jumlah hari seluruh pasien terpasang CVC

Indikator klinik dan insiden keselamatan pasien


Indikator klinik : IADP
Insiden Keselamatan Pasien :
Setiap kejadian yang tidak disengaja dan tidak diharapkan, yang dapat
mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan cedera pada pasien
 Tersumbatnya saluran nafas yang mengakibatkan bradikardi
 Kesalahan setting ventilator
48 | I C U C o v i d
 Vagal reflex pada pemasangan Endo Tracheal Tube ( ETT )

BAB VI
PENUTUP

Buku pedoman pelayanan intensif ini mempunyai peranan penting karena


bermanfaat untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan di Ruang ICU Covid-19
khususnya dan di RSUD Ngudi Waluyo Wlingi Blitar pada umumnya. Hendaknya
pedoman pelayanan intensif yang bersifat teknis dan praktis, ini dapat di mafaatkan
serta berfungsi sebagai Pedoman Pelayanan tenaga perawat di ruang intensif Covid-19
Penyusunan pedomam pelayanan intensif Covid-19 ini adalah langkah awal
suatu proses yang panjang. Sehingga memerlukan dukungan dan kerjasama dari
berbagai pihak dalam penerapan untuk mencapai tujuan.

DIREKTUR
RSUD “NGUDI WALUYO” WLINGI

dr. ENDAH WORO UTAMI, MMRS


Pembina Tingkat I
NIP.19720202 200212 2 004

49 | I C U C o v i d

Anda mungkin juga menyukai