BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
1|ICU Covid
B. Ruang Lingkup Pelayanan
Ruang lingkup pelayanan intensif pada pasien kritis dengan infeksi virus corona
di Ruang ICU Covid-19 di RSUD Ngudi Waluyo Wlingi
C. Batasan Operasional
Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) adalah penyakit menular yang
disebabkan oleh Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2).
SARS-CoV-2 merupakan coronavirus jenis baru yang belum pernah diidentifikasi
sebelumnya pada manusia. Ada setidaknya dua jenis coronavirus yang diketahui
menyebabkan penyakit yang dapat menimbulkan gejala berat seperti Middle East
Respiratory Syndrome (MERS) dan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS).
Tanda dan gejala umum infeksi COVID-19 antara lain gejala gangguan pernapasan
akut seperti demam, batuk dan sesak napas. Masa inkubasi rata-rata 5-6 hari
dengan masa inkubasi terpanjang 14 hari. Pada kasus COVID-19 yang berat dapat
menyebabkan pneumonia, sindrom pernapasan akut, gagal ginjal, dan bahkan
kematian.
Ruang ICU (Intensive Care Unit) Adalah unit perawatan khusus yang
dikelola untuk merawat pasien sakit berat dan kritis, cedera dengan penyulit yang
mengancam nyawa dengan melibatkan tenaga kesehatan yang profesional dan
terlatih, serta didukung dengan kelengkapan peralatan khusus, Ruang ICU Covid
merupakan ruang perawatan khusus untuk pasien dengan infeksi virus corona yang
mengalami gangguan hemodinamik, desaturasi, dengan kondisi kritis dengan
penyulit yang mengancam nyawa.
D. Tujuan
1. Tujuan Umum
a. Sebagai pedoman pelayanan pasien kritis dengan infensi virus corona pada
ruang ICU Covid-19
2. Tujuan Khusus
a. Mementukan tatalaksana pelayanan pasien ICU covid-19
b. Menentukan Alur pasien ICU covid-19
c. Menentukan Pengobatan dan pemeriksaan pasien ICU Covid-19
E. Landasan Hukum
1. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit;
2. Kepmenkes RI No. 1333/Menkes/SK/XII/2001 tentang Standar Pelayanan
Rumah Sakit
3. Kepmenkes RI No. 1277/Menkes/SK/XI/2001 tentang Susunan Organisasi dan
Tata Kerja Departeman Kesehatan
4. Kepmenkes RI No. 004/Menkes/SK/I/2003 tentang Kebijakan Dan Strategi
Desentralisasi Bidang Kesehatan
5. Kepmenkes RI No. 1457/Menkes/SK/X/2003 tentang Standar Pelayanan Minimal
Bidang Kesehatan Di Kabupaten/Kota
2|ICU Covid
6. Kepmenkes RI No. 1202/Menkes/SK/VIII/2003 tentang Indikator Indonesia Sehat
2010 Dan Pedoman Penetapan Indikator Provinsi Sehat Dan Kabupaten/Kota
7. Kepmenkes RI No. 1203/Menkes/SK/XII/2008
8. Kepmenkes RI No. 1203/Menkes/SK/II/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal
Rumah Sakit.
9. Pedoman Tatalaksana Covid-19 Edisi 2
10. Pedoman Pencegahan Dan Pengendalian Coronavirus Disesase (Covid-19)
11. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
HK.01.07/MENKES/104/2020 Tentang Penetapan Infeksi Novel Coronavirus
(Infeksi 2019-nCoV) Sebagai Penyakit Yang Dapat Menimbulkan Wabah Dan
Upaya Penanggulangannya.
3|ICU Covid
BAB II
STANDAR KETENAGAAN
Pasien sakit kritis membutuhkan pemantauan dan tunjangan hidup khusus yang
harus dilakukan oleh suatu tim, termasuk diantaranya dokter yang mempunyai dasar
pengetahuan, keterampilan teknis, komitmen waktu, dan secara fisik selalu berada di
tempat untuk melakukan perawatan titrasi dan berkelanjutan. Perawatan ini harus
berkelanjutan dan bersifat proaktif, yang menjamin pasien dikelola dengan cara aman,
manusiawi, dan efektif dengan menggunakan sumber daya yang ada, sedemikian rupa
sehingga memberikan kualitas pelayanan yang tinggi dan hasil optimal.
4|ICU Covid
Tabel 1. Ketenagaan ICU
Pendidikan Sertifikasi Jumlah Kebutuhan
No Nama Jabatan Standar Ketersediaan Standar Standar Keter- Kurang
sediaan
1. Kepala instalasi KIC
dr. SpAn dr. SpAn 1 1 -
ICU/HCU/CVCU ACLS/PPGD
2. Koordinator ICU KIC
dr. SpAn dr. SpAn 1 1 -
ACLS/PPGD
3. Koordinator
dr. SpPD dr. SpPD ACLS/PPGD 1 1 -
HCU/CVCU
4. Case Manager ICU dr. Umum - ACLS/PPGD 1 1 -
5. Kepala ruang ICU Manajemen bangsal
Ners Ners Sertifikat ICU/ICCU 1 1 -
ACLS/PPGD
6. Wakil kepala ruang Manajemen bangsal
ICU/ICCU Ners / D3 Kep D3 Kep Sertifikat ICU/ICCU 1 1 -
ACLS/PPGD
7. Katim Sertifikat ICU/ICCU
Ners/ D3 Kep Ners/ D3 Kep 4 4 -
ACLS/PPGD
8. Perawat pelaksana Ners/setara Ners/setara Sertifikat ICU/ICCU
1 : 1-2 23 -
D3 Kep D3 Kep ACLS/PPGD
9. Pembantu perawat SMU/sederajat SMU Perawatan dasar 3 1 2
10. Administrasi SMU/sederajat STM 1 1 -
5|ICU Covid
B. DISTRIBUSI KETENAGAAN
Tabel 2. Distribusi Ketenagaan
No Jadwal Dinas Ketersediaan
1. Pagi
- Karu 1
- Wakaru 1
- Katim 1
- Perawat Pelaksana 6
- Pembantu Perawat 1
- Administrasi 1
2. Sore
- Katim 1
- Perawat Pelaksana 4
- Pembantu Perawat 1
3. Malam
- Katim 1
- Perawat Pelaksana 5
4. Libur
- Perawat Pelaksana 6
- Pembantu Perawat 1
C. PENGATURAN JAGA
1. Pengaturan jadwal dinas perawat, PP dan administrasi di ruang ICU/ICCU
dibuat dan dipertanggung jawabkan oleh kepala ruangan ICU/ICCU.
2. Jadwal dinas di buat untuk jangka waktu satu bulan dan disosialisasikan
karyawan ICU/ICCU.
3. Untuk tenaga perawat yang memiliki keperluan penting pada hari tertentu, maka
perawat tersebut mengajukan usulan tertulis, sedangkan usulan tersebut bisa
disesuaikan dengan kebutuhan tenaga yang ada (apabila tenaga cukup dan
tidak mengganggu pelayanan maka permintaan disetujui).
4. Setiap tugas jaga/shift harus ada penanggungjawab shift dengan syarat
perawat senior pada waktu shift tersebut yang disebut KATIM
5. Jadwal dinas dibagi tiga shift : pagi, sore, malam, libur dan cuti.
6. Apabila ada tenaga perawat jaga karena sesuatu hal sehingga tidak dapat jaga
sesuai jadwal yang telah ditetapkan, maka perawat yang bersangkutan harus
memberitahu kepala ICU 2 jam sebelum dinas pagi, 6 jam sebelum dinas sore
dan dinas malam. Sebelum memberitahu kepala ICU perawat yang
bersangkutan mencari pengganti jaga, apabila perawat yang bersangkutan tidak
mendapatkan perawat pengganti, maka perawat yang pada hari itu libur yang
menggantikan.
7. Pengajuan cuti di lakukan minimal 2 minggu sebelum masa cuti di mulai
8. Jadwal dinas di buat 1 minggu sebelum tanggal akhir pada tiap bulannya.
6|ICU Covid
BAB III
STANDART FASILITAS
02
01
01 08
03
06
06 06
05 04
14
06
10
09
07
11 08
12
16
13
15
Keterangan :
1. Zona hijau Icu Covid
2. Ruang Ganti
7|ICU Covid
3. Anteron zona hijau
4. Anteroom zona merah dan pintu masuk icu covid
5. Nurse station
6. Anteron zona kuning
7. RUANG ICU COVID UTARA
8. Ruang perawatan cadangan Icu Covid
9. Ruang antara ICU Covid Utara dan Selatan
10. Anteroom Zona Merah / pintu keluar petugas
11. Gudang alat medis
12. Spoelhoeg
13. Kamar mandi pasien Icu Covid
14. RUANG ICU COVID SELATAN
15. Kamar mandi cadangan Ruang Icu Covid
16. Ruang ICCU Reguler / Non Covid
B. Standart Fasilitas
Tata letak ruang perawatan intensif memiliki akses yang mudah ke
ruang operasi, ruang gawat darurat, dan ruang penunjang medik lainnya.
Standart ruang ICU yang memadai di tentukan oleh desain yang baik dan
pengaturan ruang yang adekuat berdasarkan klasifikasi pelayanan ICU.
AREA KERJA
Lingkungan Ada Air conditioner
Suhu 22-24º C 21 - 23º C
Ruang isolasi Ada Ada
8|ICU Covid
Ruang Staff dokter Ada Ada
Ruang Laboratorium Tidak ada Ada
Ruang penyimpanan alat alat bersih Ada Ada
Ruang tempat buat alat kotor Ada Ada
(spoelhock)
WC di dalam ruang rawat ICU Ada Ada
Ruang tunggu keluarga pasien Tidak Ada
PERALATAN
Ventilator 11 1 unit tiap TT 1unit
Rusak
Resusitasi manual : ambubag 2 4
juction race Ada di apotik 4
Laryngoscope / intubasi set 1 2
DC shock 1 1
Bed site monitor / pasien monitor 13 15
Syringe pump 11 15
Infus pump 8 15
Nebulizer 1 1
ECG 12 Lead 0 1
Tempat tidur 15 15
Suction manual 2 4
Troly emergency 2 3
Troly rawat luka 1 2
Matras decubitus 2 4
9|ICU Covid
Bila alat tidak dapat diperbaiki oleh tehnisi internal, maka alat diperbaiki oleh
tehnisi luar ( melalui bagian pembelian ).
BAB IV
TATA LAKSANA PELAYANAN
Sakit Kritis Onset: baru terjadi atau perburukan dalam waktu satu
minggu.
Pencitraan dada (CT scan toraks, atau ultrasonografi
paru): opasitas bilateral, efusi pluera yang tidak dapat
dijelaskan penyebabnya, kolaps paru, kolaps lobus atau
nodul.
Penyebab edema: gagal napas yang bukan akibat
gagal jantung atau kelebihan cairan. Perlu pemeriksaan
objektif (seperti ekokardiografi) untuk menyingkirkan
bahwa penyebab edema bukan akibat hidrostatik jika
Acute tidak ditemukan faktor risiko.
Respiratory KRITERIA ARDS PADA DEWASA:
Distress •
ARDS ringan: 200 mmHg <PaO2/FiO2 ≤ 300
Syndrome mmHg (dengan PEEP atau continuous positive
11 | I C U C o v i d
(ARDS) airway pressure (CPAP) ≥5 cmH2O, atau yang
tidak diventilasi)
•
ARDS sedang: 100 mmHg <PaO2 / FiO2 ≤200
mmHg dengan PEEP ≥5 cmH2O, atau yang tidak
diventilasi)
•
ARDS berat: PaO2 / FiO2 ≤ 100 mmHg dengan
PEEP ≥5 cmH2O, atau yang tidak diventilasi)
Ketika PaO2 tidak tersedia, SpO2/FiO2 ≤315
mengindikasikan ARDS (termasuk pasien yang tidak
diventilasi)
Kriteria Gejala Manifestasi Penjelasan
Klinis
KRITERIA ARDS PADA ANAK :
Usia Eksklusi pasien dengan penyakit paru perinatal
POPULASI KHUSUS :
Penyakit Kriteria standar usia, waktu, penyebab edema, dan radiologis sama seperti
jantung di atas, disertai perburukan oksigenasi akut yang tidak dapat dijelaskan
sianotik oleh penyakit jantung dasar
Penyakit Kriteria standar usia, waktu, dan penyebab edema sama seperti diatas,
paru disertai
kronis gambaran radiologis konsisten dengan infiltrate baru dan perburukan
oksigenasi akut dari nilai sebelumnya, yang sesuai dengan kriteria
oksgenasi di atas
Disfungsi Kriteria standar usia, waktu, dan penyebab edema, dengan gambaran
ventrikel radiologis
kiri konsisten dengan infiltrate baru dan perburukan oksigenasi akut, yang
memenuhi kriteria di atas, namun tidak dapat dijelaskan oleh disfungsi
12 | I C U C o v i d
ventrikel kiri
Syok septik Pasien dewasa: hipotensi yang menetap meskipun sudah dilakukan
resusitasi cairan dan membutuhkan vasopresor untuk mempertahankan
mean arterial pressure (MAP) ≥65 mmHg dan kadar laktat serum> 2
mmol/L.
Pasien anak: hipotensi (TDS < persentil 5 atau >2 SD di bawah normal
usia) atau terdapat 2-3 gejala dan tanda berikut: perubahan status
mental/kesadaran; takikardia atau bradikardia (HR <90 x/menit atau >160
x/menit pada bayi dan HR <70x/menit atau >150 x/menit pada anak); waktu
pengisian kembali kapiler yang memanjang (>2 detik) atau vasodilatasi
hangat dengan bounding pulse; takipnea; mottled skin atau
ruam petekie atau purpura; peningkatan laktat; oliguria; hipertermia atau
hipotermia.`
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai dengan
manifestasi klinis, antara lain:
a. Laboratorium: Darah lengkap/Darah rutin, LED, Gula
Darah, Ureum, Creatinin, SGOT, SGPT, Natrium,
Kalium, Chlorida, Analisa Gas Darah, Procalcitonin, PT,
APTT, Waktu perdarahan, Bilirubin Direct, Bilirubin
Indirect, Bilirubin Total, pemeriksaan laboratorium RT-
PCR, dan/atau semua jenis kultur MO (aerob) dengan
resistensi Anti HIV.
b. Radiologi: Thorax AP/PA
4. Komplikasi
a. Komplikasi akibat penggunaan ventilasi mekanik invasif (IMV) yang
lama
b. ventilator-associated pneumonia (VAP)
c. tromboemboli vena
d. catheter-related bloodstream
e. stres ulcer dan pendarahan saluran pencernaan
f. kelemahan akibat perawatan di ICU
g. komplikasi lainnya selama perawatan pasien
5. Komorbid
a. Diabetes Mellitus
1)
Diabetes Mellitus Tipe 1
2)
Diabetes Mellitus Tipe 2
3)
Glucocorticoid-associated diabetes
b. Penyakit terkait Geriatri
c. Penyakit terkait Autoimun
d. Penyakit Ginjal
e. ST Segment Elevation Myocardial Infarction (STEMI)
13 | I C U C o v i d
f. Non-ST-segment Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI)
g. Hipertensi
h. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
i. Tuberculosis
j. Penyakit kronis lain yang diperberat oleh kondisi penyakit COVID-
19
6. Definisi Status Klinis Pasien COVID-19
Definisi status klinis pasien COVID-19, dibagi menjadi 3 kriteria yaitu:
a) Pasien Suspek
b) Pasien Konfirmasi
c) Pasien Probable
1 2 3 4 5 6 7 8 9 (sesuai
klinis)
X X X x
Keterangan :
a. Pengambilan swab di hari ke-1 dan 2 untuk penegakan diagnosis
b. Bila terjadi perbaikan klinis, maka untuk follow-up
pasien dengan gejala berat/kritis, dilakukan
pengambilan swab 1 kali yaitu pada hari ke-7 untuk
menilai kesembuhan
8. Terapi dan Penatalaksanaan Klinis Pasien COVID-19
Penatalaksanaan klinis dilakukan pada pasien COVID-19 tanpa
gejala, sakit ringan, sakit sedang, sakit berat, kondisi kritis, dan pada
kondisi tertentu. Berikut tata laksana klinis pasien terkonfirmasi
COVID-19:
a. Tatalaksana Klinis Pasien terkonfirmasi COVID-19
Tanpa Gejala, Sakit Ringan Atau Sakit Sedang
1)
Pasien terkonfirmasi tanpa gejala
Pada prinsipnya pasien terkonfirmasi COVID-19 yang
tanpa gejala tidak memerlukan rawat inap di Rumah
Sakit, tetapi pasien harus menjalani isolasi selama 10
hari sejak pengambilan spesimen diagnosis konfirmasi,
baik isolasi mandiri di rumah maupun di fasilitas publik
yang dipersiapkan pemerintah.
14 | I C U C o v i d
Isolasi ini penting untuk mengurangi tingkat penularan
yang terjadi di masyarakat. Pasien yang menjalani
isolasi harus menjalankan aturan- aturan terkait PPI dan
dilakukan monitoring secara berkala baik melalui
kunjungan rumah maupun secara telemedicine oleh
petugas FKTP. Pasien sebaiknya diberikan leaflet berisi
hal-hal yang harus diketahui dan dilaksanakan, pasien
diminta melakukan pengukuran suhu tubuh sebanyak
dua kali sehari. Setelah 10 hari pasien akan kontrol ke
FKTP terdekat.
2)
Pasien terkonfirmasi sakit ringan
Pada prinsipnya tatalaksana pasien terkonfirmasi
COVID-19 yang mengalami sakit ringan sama dengan
pasien terkonfirmasi yang tanpa gejala. pasien harus
menjalani isolasi minimal selama 10 hari sejak muncul
gejala ditambah 3 hari bebas gejala demam dan
gangguan pernafasan. Isolasi dapat dilakukan mandiri di
rumah maupun di fasilitas publik yang dipersiapkan
Pemerintah. Pasien yang sakit ringan dapat diberikan
pengobatan simptomatik misalnya pemberian anti-piretik
bila mengalami demam. Pasien harus diberikan
informasi mengenai gejala dan tanda perburukan yang
mungkin terjadi dan nomor contact person yang dapat
dia hubungi sewaktu-waktu apabila gejala tersebut
muncul. Petugas FKTP diharapkan proaktif untuk
melakukan pemantauan kondisi pasien. Setelah
melewati masa isolasi pasien akan kontrol ke FKTP
terdekat.
3)
Pasien terkonfirmasi sakit sedang dan pasien
sakit ringan dengan penyulit
Pasien terkonfirmasi COVID-19 yang mengalami sakit
sedang dan pasien yang sakit ringan tetapi memiliki
faktor penyulit atau komorbid akan menjalani perawatan
di Rumah Sakit.
Prinsip tatalaksana untuk pasien yang sakit sedang
adalah pemberian terapi simptomatis untuk gejala yang
ada dan fungsi pemantauan, dilaksanakan sampai
gejala menghilang dan pasien memenuhi kriteria untuk
dipulangkan dari Rumah Sakit.
15 | I C U C o v i d
9. Tatalaksana Pasien Terkonfirmasi COVID-19 yang Sakit Berat
a. Terapi Suportif Dini dan Pemantauan
Pemberian terapi suplementasi oksigen segera pada pasien
ISPA berat dan pasien yang mengalami distress pernapasan,
hipoksemia, atau syok.
1)
Terapi oksigen dimulai dengan pemberian 5
L/menit dengan nasal kanul dan titrasi untuk
mencapai target SpO2 ≥90% pada anak dan
orang dewasa, serta SpO2 ≥ 92% - 95% pada
pasien hamil.
2)
Pada anak dengan tanda kegawatdaruratan
(obstruksi napas atau apneu, distres
pernapasan berat, sianosis sentral, syok,
koma, atau kejang) harus diberikan terapi
oksigen selama resusitasi untuk mencapai
target SpO2 ≥ 94%;
3)
Semua pasien dengan ISPA berat dipantau
menggunakan pulse oksimetri dan sistem
oksigen harus berfungsi dengan baik, dan
semua alat-alat untuk menghantarkan oksigen
(nasal kanul, sungkup muka sederhana,
sungkup dengan kantong reservoir) harus
digunakan sekali pakai.
b. Terapkan kewaspadaan kontak saat memegang alat-alat
untuk menghantarkan oksigen (nasal kanul, sungkup
muka sederhana, sungkup dengan kantong reservoir)
yang terkontaminasi dalam pengawasan atau terbukti
COVID-19. Lakukan pemantauan ketat pasien dengan
gejala klinis yang mengalami perburukan seperti gagal
napas, sepsis dan lakukan intervensi perawatan suportif
secepat mungkin.
1)
Pasien COVID-19 yang menjalani rawat inap
memerlukan pemantauan vital sign secara rutin
dan apabila memungkinkan menggunakan sistem
kewaspadaan dini (misalnya NEWS2) untuk
memantau perburukan klinis yang dialami pasien.
2)
Pemeriksaan darah lengkap, kimia darah dan EKG
harus dilakukan pada waktu pasien masuk
perawatan untuk mengetahui dan memantau
komplikasi yang mungkin dialami oleh pasien
16 | I C U C o v i d
seperti: acute liver injury, acute kidney injury, acute
cardiac injury atau syok.
3)
Setelah melakukan tindakan resusitasi dan
stabilisasi pasien yang sedang hamil, harus
dilakukan monitoring untuk kondisi janin.
c. Pahami pasien yang memiliki komorbid untuk
menyesuaikan pengobatan dan penilaian prognosisnya.
Perlu menentukan terapi mana yang harus dilanjutkan
dan terapi mana yang harus dihentikan sementara.
Berkomunikasi secara proaktif dengan pasien dan
keluarga dengan memberikan dukungan dan informasi
prognostik.
d. Melakukan manajemen cairan secara konservatif pada
pasien dengan ISPA berat tanpa syok.
Pasien dengan ISPA berat harus hati-hati dalam
pemberian cairan intravena, karena resusitasi cairan
yang agresif dapat memperburuk oksigenasi, terutama
dalam kondisi keterbatasan ketersediaan ventilasi
mekanik.
19 | I C U C o v i d
seharusnya dipantau oleh petugas yang
terlatih dan berpengalaman melakukan
intubasi endotrakeal karena bila pasien
mengalami perburukan mendadak atau
tidak mengalami perbaikan (dalam 1 jam)
maka dilakukan tindakan intubasi segera.
Saat ini pedoman berbasis bukti tentang
HFNO tidak ada, dan laporan tentang
HFNO pada pasien MERS masih terbatas.
• Penggunaan NIV tidak direkomendasikan
pada gagal napas hipoksemi (kecuali
edema paru kardiogenik dan gagal
napas pasca operasi) atau penyakit virus
pandemik (merujuk pada studi SARS
dan pandemi influenza). Karena hal ini
menyebabkan keterlambatan
dilakukannya intubasi, volume tidal yang
besar dan injuri parenkim paru akibat
barotrauma. Data yang ada walaupun
terbatas menunjukkan tingkat kegagalan
yang tinggi ketika pasien MERS
mendapatkan terapi oksigen dengan
NIV. Pasien hemodinamik tidak stabil,
gagal multi-organ, atau penurunan
kesadaran tidak dapat menggunakan
NIV. Pasien dengan NIV seharusnya
dipantau oleh petugas terlatih dan
berpengalaman untuk melakukan
intubasi endotrakeal karena bila pasien
mengalami perburukan mendadak atau
tidak mengalami perbaikan (dalam 1
jam) maka dilakukan tindakan intubasi
segera.
• Publikasi terbaru menunjukkan bahwa
sistem HFNO dan NIV yang
menggunakan interface yang sesuai
dengan wajah sehingga tidak ada
kebocoran akan mengurangi risiko
transmisi airborne ketika pasien
ekspirasi.
3)
Intubasi endotrakeal harus dilakukan oleh
20 | I C U C o v i d
petugas terlatih dan berpengalaman dengan
memperhatikan kewaspadaan transmisi airborne
Pasien dengan ARDS, terutama anak kecil,
obesitas atau hamil, dapat mengalami
desaturasi dengan cepat selama intubasi.
Pasien dilakukan pre- oksigenasi sebelum
intubasi dengan Fraksi Oksigen (FiO2) 100%
selama 5 menit, melalui sungkup muka dengan
kantong udara, bag-valve mask, HFNO atau NIV
dan kemudian dilanjutkan dengan intubasi.
4)
Ventilasi mekanik menggunakan volume tidal
yang rendah (4-8 ml/kg prediksi berat badan,
Predicted Body Weight/PBW) dan tekanan
inspirasi rendah (tekanan plateau <30 cmH2O).
Sangat direkomendasikan untuk pasien ARDS
dan disarankan pada pasien gagal napas karena
sepsis yang tidak memenuhi kriteria ARDS.
• Perhitungkan PBW pria = 50 + 2,3 [tinggi
badan (inci) -60], wanita = 45,5 + 2,3
[tinggi badan (inci)-60]
• Pilih mode ventilasi mekanik
• Atur ventilasi mekanik untuk mencapai tidal
volume awal = 8 ml/kg PBW
• Kurangi tidal volume awal secara bertahap
1 ml/kg dalam waktu ≤ 2 jam sampai
mencapai tidal volume = 6ml/kg PBW
• Atur laju napas untuk mencapai ventilasi
semenit (tidak lebih dari 35 kali/menit)
• Atur tidal volume dan laju napas untuk
mencapai target pH dan tekanan plateau
Hipercapnia diperbolehkan jika pH 7,30-7,45.
Protokol ventilasi mekanik harus tersedia.
Penggunaan sedasi yang dalam untuk
mengontrol usaha napas dan mencapai target
volume tidal. Prediksi peningkatan mortalitas
pada ARDS lebih akurat menggunakan tekanan
driving yang tinggi (tekanan plateau−PEEP) di
bandingkan dengan volume tidal atau tekanan
plateau yang tinggi.
5)
Pada pasien ARDS berat, lakukan ventilasi
21 | I C U C o v i d
dengan prone position > 12 jam per hari.
Menerapkan ventilasi dengan prone position
sangat dianjurkan untuk pasien dewasa dan
anak dengan ARDS berat tetapi membutuhkan
sumber daya manusia dan keahlian yang cukup.
6)
Manajemen cairan konservatif untuk pasien
ARDS tanpa hipoperfusi jaringan
Hal ini sangat direkomendasikan karena dapat
mempersingkat penggunaan ventilator.
7)
Pada pasien dengan ARDS sedang atau berat
disarankan menggunakan PEEP lebih tinggi
dibandingkan PEEP rendah Titrasi PEEP
diperlukan dengan mempertimbangkan manfaat
(mengurangi atelektrauma dan meningkatkan
rekrutmen alveolar) dan risiko (tekanan
pada akhir inspirasi yang
menyebabkan cedera parenkim paru dan
resistensi vaskuler pulmoner yang lebih tinggi).
Untuk memandu titrasi PEEP berdasarkan pada
FiO2 yang diperlukan untuk mempertahankan
SpO2. Intervensi recruitment manoueuvers (RMs)
dilakukan secara berkala dengan CPAP yang
tinggi [30-40 cm H2O], peningkatan PEEP yang
progresif dengan tekanan driving yang konstan,
tekanan driving yang tinggi
dengan mempertimbangkan manfaat dan
risiko.
8)
Pada pasien ARDS sedang-berat (td2/FiO2
<150) tidak dianjurkan secara rutin
menggunakan obat pelumpuh otot.
9)
Pada fasyankes yang memiliki Expertise in Extra
Corporal Life Support (ECLS), dapat
dipertimbangkan penggunaannya ketika
menerima rujukan pasien dengan hipoksemi
refrakter meskipun sudah mendapat lung
protective ventilation.
Saat ini belum ada pedoman yang
merekomendasikan penggunaan ECLS pada
pasien ARDS, namun ada penelitian bahwa
ECLS kemungkinan dapat mengurangi risiko
22 | I C U C o v i d
kematian.
10)
Hindari terputusnya hubungan ventilasi mekanik
dengan pasien karena dapat mengakibatkan
hilangnya PEEP dan atelektasis. Gunakan
sistem closed suction kateter dan klem
endotrakeal tube ketika terputusnya hubungan
ventilasi mekanik dan pasien (misalnya, ketika
pemindahan ke ventilasi mekanik yang portabel).
23 | I C U C o v i d
2)
Resusitasi syok septik pada dewasa: berikan cairan
kristaloid isotonik 30 ml/kg.
3)
Resusitasi syok septik pada anak-anak: pada awal
berikan bolus cepat 20 ml/kg kemudian tingkatkan
hingga 40-60 ml/kg dalam 1 jam pertama.
4)
Jangan gunakan kristaloid hipotonik, kanji, atau
gelatin untuk resusitasi.
5)
Resusitasi cairan dapat mengakibatkan kelebihan
cairan dan gagal napas. Jika tidak ada respon
terhadap pemberian cairan dan muncul tanda-
tanda kelebihan cairan (seperti distensi vena
jugularis, ronki basah halus pada auskultasi paru,
gambaran edema paru pada foto toraks, atau
hepatomegali pada anak-anak) maka kurangi atau
hentikan pemberian cairan.
• Kristaloid yang diberikan berupa salin normal
dan Ringer laktat. Penentuan kebutuhan
cairan untuk bolus tambahan (250-1000 ml
pada orang dewasa atau 10-20 ml/kg pada
anak-anak) berdasarkan respons klinis dan
target perfusi. Target perfusi meliputi MAP
>65 mmHg atau target sesuai usia pada anak-
anak, produksi urin (>0,5 ml/kg/jam pada
orang dewasa, 1 ml/kg/jam pada anak-anak),
dan menghilangnya mottled skin, perbaikan
waktu pengisian kembali kapiler, pulihnya
kesadaran, dan turunnya kadar laktat.
• Pemberian resusitasi dengan kanji lebih
meningkatkan risiko kematian dan acute
kidney injury (AKI) dibandingkan dengan
pemberian kristaloid. Cairan hipotonik kurang
efektif dalam meningkatkan volume
intravaskular dibandingkan dengan cairan
isotonik. Surviving Sepsis menyebutkan
albumin dapat digunakan untuk resusitasi
ketika pasien membutuhkan kristaloid yang
cukup banyak, tetapi rekomendasi ini belum
memiliki bukti yang cukup (low quality
evidence).
6)
Vasopresor diberikan ketika syok tetap
berlangsung meskipun sudah diberikan resusitasi
24 | I C U C o v i d
cairan yang cukup. Pada orang dewasa target awal
tekanan darah adalah MAP ≥65 mmHg dan pada
anak disesuaikan dengan usia.
Jika kateter vena sentral tidak tersedia, vasopresor
dapat diberikan melalui intravena perifer, tetapi
gunakan vena yang besar dan pantau dengan
cermat tanda-tanda ekstravasasi dan nekrosis
jaringan lokal. Jika ekstravasasi terjadi, hentikan
infus. Vasopresor juga dapat diberikan melalui
jarum intraoseus.
7)
Pertimbangkan pemberian obat inotrop (seperti
dobutamine) jika perfusi tetap buruk dan terjadi
disfungsi jantung meskipun tekanan darah sudah
mencapai target MAP dengan resusitasi cairan dan
vasopresor.
• Vasopresor (yaitu norepinefrin, epinefrin,
vasopresin, dan dopamin) paling aman
diberikan melalui kateter vena sentral
tetapi dapat pula diberikan melalui vena
perifer dan jarum intraoseus. Pantau
tekanan darah sesering mungkin dan
titrasi vasopressor hingga dosis
minimum yang diperlukan untuk
mempertahankan perfusi dan mencegah
timbulnya efek samping.
• Norepinefrin dianggap sebagai lini pertama pada
pasien
dewasa; epinefrin atau vasopresin dapat
ditambahkan untuk mencapai target MAP.
Dopamine hanya diberikan untuk pasien
bradikardia atau pasien dengan risiko
rendah terjadinya takiaritmia. Pada anak-
anak dengan cold shock (lebih
sering), epinefrin dianggap sebagai lini
pertama, sedangkan norepinefrin digunakan
pada pasien dengan warm shock (lebih
jarang).
Pasien dengan dengan status Suspek atau Probabel yang di curigai sebagai
COVID-19 dengan kriteria sakit ringan, sakit sedang, sakit berat atau kondisi
25 | I C U C o v i d
kritis ditatalaksana seperti pasien terkonfirmasi COVID-19 sampai terbukti bukan
COVID-19.
11. Pencegahan Komplikasi
Terapkan tindakan berikut untuk mencegah komplikasi pada pasien
dengan gejala berat/kritis terdapat pada tabel dibawah.
26 | I C U C o v i d
berfungsi, ketika kotor atau
setiap 5-7 hari
- Gunakan obat profilaksis (low
molecular-weight heparin, bila
tersedia atau heparin 5000 unit
subkutan dua kali sehari) pada
Mengurangi terjadinya tromboemboli pasien remaja dan dewasa bila
vena tidak ada kontraindikasi.
- Bila terdapat kontraindikasi,
gunakan perangkat profilaksis
mekanik seperti intermiten
pneumatic compression device.
27 | I C U C o v i d
12. Pengobatan Spesifik Anti-COVID-19
Sampai saat ini belum ada pengobatan spesifik anti-COVID-19 yang
direkomendasikan untuk pasien konfirmasi COVID-19.
15. Meninggal
Meninggal di rumah sakit selama perawatan COVID-19 pasien
konfirmasi atau probable maka pemulasaraan jenazah diberlakukan
tatalaksana COVID-19.
a. Meninggal di luar rumah sakit/Death on Arrival (DOA)
Bila pasien memiliki riwayat kontak erat dengan orang/pasien
terkonfirmasi COVID-19 maka pemulasaraan jenazah
diberlakukan tatalaksana COVID-19.
Ketentuan mengenai terapi dan penatalaksanaan klinis pasien
COVID-19 serta evaluasi akhir di atas berlaku juga untuk pasien
dengan status kasus probable.
28 | I C U C o v i d
B. KLASIFIKASI PELAYANAN ICU DI RUMAH SAKIT
Dalam menyelenggarakan pelayanan, pelayanan ICU di rumah sakit dibagi dalam 3
(tiga) klasifikasi pelayanan yaitu:
a. Pelayanan ICU Primer (pada rumah sakit Kelas C)
b. Pelayanan ICU Sekunder (RS tipe B)
c. Pelayanan ICU Tersier (RS tipe A)
Untuk Pelayanan ICU di RSUD Ngudi Waluyo Wlingi, Menyelengarakan pelayanan
ICU Sekunder yaitu:
Pelayanan ICU sekunder memberikan standar pelayanan ICU umum yang
tinggi, yang mendukung peran rumah sakit yamg lain yang telah digariskan,
misalnya kedokteran umum, bedah, pengelolaan trauma, bedah syaraf, bedah
vaskuler dan lain-lainnya. ICU hendaknya mampu memberikan tunjangan
ventilasi mekanis yang lama, melakukan dukungan/bantuan hidup lain tetapi
tidak terlalu kompleks.
Kekhususan yang harus dimiliki :
1. Ruangan tersendiri, letaknya dekat dengan kamar bedah, ruang darurat dan
ruang perawatan lain.
2. Memiliki ketentuan/kriteria penderita yang masuk, keluar serta rujukan
3. Memiliki konsultan yang dapat dihubungi dan datang setiap saat bila
diperlukan.
4. Memiliki seorang kepala ICU, yaitu seorang dokter konsultan intensive care,
atau bila tidak tersedia dokter spesialis anastesiologi, yang bertanggung jawab
secara keseluruhan dan dokter jaga yang minimal mampu melakukan
resusitasi jantung paru (bantuan hidup dasar dan bantuan hidup lanjut).
5. Mampu menyediakan tenaga perawat dengan perbandingan pasien perawat
sama dengan 1 : 1 untuk pasien ventilator, renal replacement therapy dan 2 :
1 untuk kasus-kasus lainnya.
6. Memiliki lebih dari 50% perawat bersertifikat terlatih perawatan/terapi intensif
atau minimal berpengalaman kerja 3 (tiga) tahun di ICU sekunder
7. Mampu memberikan tunjangan ventilasi mekanis beberapa lama dan dalam
batas tertentu melakukan pemantauan invasive dan usaha-usaha penunjang
hidup.
8. Mampu melayani pemeriksaan laboratorium, radiologi, kemudahan diagnostik
dan fisioterapi selama 24 (dua puluh empat) jam.
9. Memiliki ruang isolasi atau mampu melakukan prosedur isolasi.
29 | I C U C o v i d
C. KRITERIA PASIEN MASUK DAN KELUAR RUANG ICU COVID
1. Kreteria Pasien Masuk icu covid
a. Memerlukan ventilator mekanik invasive
b. Membutuhkan lebih dari 2 jam penggunaan NIV
c. Membutuhkan lebih dari 2 jam penggunaan HFNC
d. Saturasi oksigen room air < 90 %, atau membutuhkan oksigen lebih
dari 6 Lpm, atau menjaga SpO2 > 92 % atau PaO2 > 65
e. Work of breating meningkat ( Tachypnea)
f. Pasien dengan haemodinamik tidak stabil setelah mendapatkan
resusitasi cairan
g. Pasien membutuhkan terapi vasopressor
h. Pasien dengan penurunan kesadaran
i. BGA ( Blood Gan Analisis) dengan PH < 7.3 atau PCO2 > 50 mmHg,
atau diatas base line pasien
j. Lactate > 2 mmoL
k. Pasien dengan lebih dari satu gagal organ akut
l. Pasien dengan temuan baru ECG seperti: iskemik, aritmia, heart
block
30 | I C U C o v i d
d. Perawat ruangan menghubungi perawat ruang intensif terkait kondisi pasien
yang akan dirawat di ruang intensif.
31 | I C U C o v i d
E. MONITORING PASIEN
a. Setiap pasien yang dirawat di ruang intensif dilakukan monitoring tanda-tanda
vital selama 24 jam.
b. Bila ada gambaran monitoring yang menggambarkan kelainan, perawat ruang
intensif menginformasikan kepada DPJP/dokter jaga ruangan.
32 | I C U C o v i d
Penanggung jawab pasien diinformasikan oleh DPJP terkait dengan tindakan
rehabilitasi medis.
Penanggung jawab pasien menandatangani inform consent rehabilitasi medis.
Perawat ruang intensif menghubungi bagian rehabilitasi medis untuk
konfirmasi terkait dengan rehabilitasi medis pasien.
7. Penilaian kematian batang otak
DPJP menginformasikan kepada penanggung jawab pasien tentang kondisi
kematian batang otak.
DPJP menulis pada rekam medis pasien terkait kondisi kematian batang otak
pasien.
Perawat ruang intensif menindak lanjuti instruksi DPJP.
33 | I C U C o v i d
I. KONSULTASI
a. DPJP menginformasikan pada penanggung jawab pasien terkait dengan
konsultasi ke dokter spesialis lain.
b. DPJP menuliskan pada rekam medis pasien pada lembar konsultasi
c. Penanggung jawab pasien menandatangani inform consent
d. Perawat ruang intensif menghubungi dokter spesialis yang dikonsulkan
e. Penanggung jawab pasien diinformasikan tentang hasil konsultasi oleh dokter
konsultan
K. PENGIRIMAN PASIEN
1. Pengiriman dari ICU ke ruang rawat inap
Penanggung jawab pasien menginformasikan ke ruangan yang dituju,
menanyakan apa ada tempat, bila ada maka ruangan yang dituju menyiapkan
tempat.
Perawat ruang intensif yang bertanggung jawab mengantarkan pasiennya ke
ruang rawat inap yang dituju.
Perawat ruang intensif mengoperkan kondisi pasien dan menyerahkan
dokumen rekam medis pasiennya ke perawat ruangan
2. Pengiriman ke kamar bedah
Perawat ruang intensif menginformasikan rencana operasi kepada perawat di
kamar bedah bila setelah operasi pindah/alih rawat ke ruang bedah.
Perawat ruang intensif menyiapkan pasien untuk tindakan operasi
Perawat ruang intensif mengantar pasien ke kamar operasi
3. Pengiriman rujukan
DPJP menginformasikan kepada penanggung jawab pasien terkait
pemeriksaan yang akan dilakukan atau dirujuk ke rumah sakit lain
Perawat ruang intensif menginformasikan jenis pemeriksaan yang akan dirujuk
kepada petugas administrasi ICU/ICCU.
34 | I C U C o v i d
Penanggung jawab pasien mengisi formulir inform consent
Perawat ruang intensif menghubungi sopir ambulan untuk informasi
penggunaan mobil ambulan yang akan merujuk
4. Pengiriman ke kamar jenazah
Keluarga pasien dianjurkan untuk menyelesaikan administrasi ke loket
pembayaran
Perawat ruang intensif menyiapkan surat keterangan kematian
Perawat ruang intensif menghubungi petugas kamar jenazah
Jenazah diantar ke kamar jenazah oleh perawat ruang intensif
L. REKAM MEDIS
Rekam medis pasien yang meninggal/pulang/pindah ke rumah sakit lain
dilengkapi oleh DPJP
Setelah dilengkapi dikirim ke bagian rekam medis disertai buku expedisi maximal
2x24 jam
M. Pencatatan Dan Pelaporan Kegiatan Pelayanan
Kegiatan pelayanan yang diberikan pada pasien ditulis pada flow sheet yang
sudah tersedia
Informasi pasien yang tertulis di dalam flow sheet, dirangkum oleh penanggung
jawab shift
35 | I C U C o v i d
BAB V
LOGISTIK
36 | I C U C o v i d
Jenis floor stok yang akan diminta dituliskan pada buku
permintaan/pemakaian barang farmasi ( rangkap 2 ) berwarna putih dan
kuning.
Buku yang sudah diisi dengan lengkap diserahkan ke bagian logistik farmasi.
Bila floor stok yang diminta sudah tersedia akan diserahterimakan ke ruang
intensif, lembaran berwarna putih untuk bagian logistik farmasi dan lembaran
kuning untuk arsip ruang intensif.
B. Perencanaan Peralatan/Peremajaan
1. Pengertian
Perencanaan peralatan / peremajaan adalah suatu proses perencanaan /
pengadaan peralatan keperawatan baik medis atau non medis yang belum /
sudah dimiliki oleh unit kerja.
2. Tujuan
Memenuhi kebutuhan peralatan keperawatan medis atau non medis di unit
kerja.
Agar peralatan yang ada dapat digunakan sesuai dengan fungsinya
Memenuhi standar pelayanan agar tetap dapat terjaga
3. Prosedur
Kepala ruang intensif care membuat usulan (RKBU) dalam 1 tahun untuk
perencanaan peralatan yang baru / peremajaan yang ditujukan kepada bagian
pengadaan sesuai kebutuhan.
Peralatan yang direncanakan untuk diminta harus disertai dengan spesifikasi
yang lengkap
Kepala ruang membuat telaah staf yang isinya permintaan pengadaan
peralatan yang disertai dengan spesifikasi yang lengkap dan ditujukan kepada
direktur.
37 | I C U C o v i d
BAB VI
PATIENT SAFETY
(KESELAMATAN PASIEN)
A. LATAR BELAKANG
Keselamatan (safety) telah menjadi isu global termasuk juga untuk rumah sakit.
Ada lima isu penting yang terkait dengan keselamatan (safety) di rumah sakit yaitu :
keselamatan pasien (patient safety), keselamatan pekerja atau petugas kesehatan,
keselamatan bangunan dan peralatan di rumah sakit yang bias berdampak terhadap
keselamatan pasien dan petugas, keselamatan lingkungan (green productivity) yang
berdampak terhadap pencemaran lingkungan dan keselamatan ”bisnis” rumah sakit
yang terkait dengan kelangsungan hidup rumah sakit. Ke lima aspek keselamatan
tersebut sangatlah penting untuk dilaksanakan di setiap rumah sakit. Namun harus
diakui kegiatan institusi rumah sakit dapat berjalan apabila ada pasien. Karena itu
keselamatan pasien merupakan prioritas utama untuk dilaksanakan dan hal tersebut
terkait dengan isu mutu dan citra perumahsakitan.
Harus diakui, pelayanan kesehatan pada dasarnya adalah untuk menyelamatkan
pasien sesuai dengan yang diucapkan Hiprocrates kira-kira 2400 tahun yang lalu yaitu
Primum, non nocere (First, do no harm). Namun diakui dengan semakin
berkembangnya ilmu dan teknologi pelayanan kesehatan khususnya di rumah sakit
menjadi semakin kompleks dan berpotensi terjadinya Kejadian Tidak Diharapkan - KTD
(Adverse event) apabila tidak dilakukan dengan hati-hati. Di rumah sakit terdapat
ratusan macam obat, ratusan tes dan prosedur, banyak alat dengan teknologinya,
bermacam jenis tenaga profesi dan non profesi yang siap memberikan pelayanan
pasien 24 jam terus menerus. Keberagaman dan kerutinan pelayanan tersebut apabila
tidak dikelola dengan baik dapat terjadi KTD. Adapun keselamatan pasien (patient
safety) menurut aspek hukum di atur oleh undang undang kesehatan pasal 43 UU No.
44/2009, yang meliputi:
1) RS wajib menerapkan standar keselamatan pasien
2) Standar keselamatan pasien dilaksanakan melalui pelaporan insiden,
menganalisa, dan menetapkan pemecahan masalah dalam rangka menurunkan
angka kejadian yang tidak diharapkan.
3) RS melaporkan kegiatan keselamatan pasien kepada komite yang membidangi
keselamatan pasien yang ditetapkan oleh menteri
4) Pelaporan insiden keselamatan pasien dibuat secara anonym dan ditujukan
untuk mengoreksi system dalam rangka meningkatkan keselamatan pasien.
38 | I C U C o v i d
Keselamatan pasien (patient safety) rumah sakit adalah suatu sistem dimana
rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman. Sistem tersebut meliputi asesmen
risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien,
pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya
serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko. Sistem tersebut
diharapkan dapat mencegah terjadinya cedera yan disebabkan oleh kesalahan akibat
melaksanakan suatu tindakan atau tidak melakukan tindakan yang seharusnya
dilakukan. (Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah sakit, Depkes R.I. 2006).
Keselamatan pasien (patient safety) adalah suatu sistem dimana rumah sakit
membuat asuhan pasien lebih aman, mencegah terjadinya cidera yang disebabkan oleh
kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang
seharusnya diambil. Sistem tersebut meliputi pengenalan resiko, identifikasi dan
pengelolaan hal yang berhubungan dengan resiko pasien, pelaporan dan analisis
insiden, kemampuan belajar dari insiden, tindak lanjut dan implementasi solusi untuk
meminimalkan resiko (Depkes 2008).
39 | I C U C o v i d
6. Kebijakan dan prosedur mengarahkan pelaksanaan identifikasi yang konsisten
pada semua situasi dan lokasi
SASARAN II :
PENINGKATAN KOMUNIKASI YANG EFEKTIF
Elemen Penilaian SKP.II.
1. Perintah lengkap secara lisan dan yang melalui telepon atau hasil pemeriksaan
dituliskan secara lengkap oleh penerima perintah
2. Perintah lengkap lisan dan telpon atau hasil pemeriksaan dibacakan kembali
secara lengkap oleh penerima perintah.
3. Perintah atau hasil pemeriksaan dikonfirmasi oleh pemberi perintah atau yang
menyampaikan hasil pemeriksaan
4. Kebijakan dan prosedur mengarahkan pelaksanaan verifikasi keakuratan
komunikasi lisan atau melalui telepon secara konsisten.
SASARAN III :
PENINGKATAN KEAMANAN OBAT YANG PERLU DIWASPADAI (HIGH-ALERT)
Elemen Penilaian SKP.III.
1. Kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan agar memuat proses identifikasi,
menetapkan lokasi, pemberian label, dan penyimpanan elektrolit konsentrat.
2. Implementasi kebijakan dan prosedur.
3. Elektrolit konsentrat tidak boleh disimpan di unit pelayanan pasien kecuali jika
dibutuhkan secara klinis dan tindakan diambil untuk mencegah pemberian yang
kurang hati-hati di area tersebut sesuai kebijakan.
4. Elektrolit konsentrat yang disimpan di pada unit pelayanan pasien harus diberi
label yang jelas, dan disimpan pada area yang dibatasi ketat (restricted).
SASARAN IV :
KEPASTIAN TEPAT-LOKASI, TEPAT-PROSEDUR, TEPAT-PASIEN OPERASI
Elemen Penilaian SKP.IV.
1. Rumah sakit menggunakan suatu tanda yang jelas dan dapat dimengerti untuk
identifikasi lokasi operasi dan melibatkan pasien di dalam proses penandaan.
2. Rumah sakit menggunakan suatu checklist atau proses lain untuk memverifikasi
saat preoperasi tepat lokasi, tepat prosedur, dan tepat pasien dan semua
dokumen serta peralatan yang diperlukan tersedia, tepat, dan fungsional.
3. Tim operasi yang lengkap menerapkan dan mencatat prosedur “sebelum insisi /
time-out” tepat sebelum dimulainya suatu prosedur / tindakan pembedahan.
4. Kebijakan dan prosedur dikembangkan untuk mendukung keseragaman proses
untuk memastikan tepat lokasi, tepat prosedur, dan tepat pasien, termasuk
prosedur medis dan tindakan pengobatan gigi / dental yang dilaksanakan di luar
kamar operasi.
40 | I C U C o v i d
SASARAN V :
PENGURANGAN RISIKO INFEKSI TERKAIT PELAYANAN KESEHATAN
Elemen Penilaian SKP.V.
1. Rumah sakit mengadopsi atau mengadaptasi pedoman hand hygiene terbaru
yang diterbitkan dan sudah diterima secara umum (al.dari WHO Patient Safety).
2. Rumah sakit menerapkan program hand hygiene yang efektif.
3. Kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan untuk mengarahkan pengurangan
secara berkelanjutan risiko infeksi yang terkait pelayanan kesehatan
SASARAN VI :
PENGURANGAN RISIKO PASIEN JATUH
Elemen Penilaian SKP.VI.
1. Rumah sakit menerapkan proses asesmen awal risiko pasien jatuh dan
melakukan asesmen ulang bila diindikasikan terjadi perubahan kondisi atau
pengobatan dll.
2. Langkah-langkah diterapkan untuk mengurangi risiko jatuh bagi mereka yang
pada hasil asesmen dianggap berisiko jatuh
3. Langkah-langkah dimonitor hasilnya, baik keberhasilan pengurangan cedera
akibat jatuh dan dampak dari kejadian tidak diharapkan
4. Kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan untuk mengarahkan pengurangan
berkelanjutan risiko pasien cedera akibat jatuh di rumah sakit.
41 | I C U C o v i d
BAB VII
KESELAMATAN KERJA
HIV / AIDS telah menjadi ancaman global. Ancaman penyebaran HIV menjadi
lebih tinggi karena pengidap HIV tidak menampakkan gejala. Setiap hari ribuan anak
berusia kurang dari 15 tahun dan 14.000 penduduk berusia 15-49 tahun terinfeksi HIV.
Dari keseluruhan kasus baru, 25% terjadi di negara-negara berkembang yang belum
mampu menyelenggarakan kegiatan penanggulangan yang memadai.
Angka pengidap HIV di Indonesia terus meningkat, dengan peningkatan kasus
yang sangat bermakna. Ledakan kasus HIV / AIDS terjadi akibat masuknya kasus
secara langsung ke masyarakat melalui penduduk migran, sementara potensi
penularan dimasyarakat cukup tinggi ( misalnya melalui perilaku seks bebas tanpa
pelindung, pelayanan kesehatan yang belum aman karena belum ditetapkannya
kewaspadaan umum dengan baik, penggunaan bersama peralatan menembus kulit :
tato, tindik dll ).
Penyakit hepatitis B dan C, yang keduanya potensial untuk menular melalui
tindakan pada pelayanan kesehatan. Sebagai ilustrasi dikemukakan bahwa menurut
data PMI angka kesakitan hepatitis B di Indonesia pada pendonor sebesar 2,08% pada
tahun 1998 dan angka kesakitan hepatitis C di masyarakat menurut WHO adalah
2,10%. Kedua penyakit ini sering tidak dapat dikenali secara klinis karena tidak
memberikan gejala.
Dengan munculnya penyebaran penyakit tersebut diatas memperkuat keinginan
untuk mengembangkan dan menjalankan prosedur yang bisa melindungi semua pihak
dari penyebaran infeksi dikenal melalui “Kewaspadaan Umum” atau “Universal
Precaution” yaitu dimulai sejak dikenalnya infeksi nosokomial yang terus menjadi
ancaman bagi “Petugas Kesehatan”.
Tenaga kesehatan sebagai ujung tombak yang melayani dan melakukan kontak
langsung dengan pasien dalam waktu 24 jam secara terus-menerus tentunya
mempunyai resiko terpajan infeksi, oleh sebab itu tenaga kesehatan wajib menjaga
kesehatan dan keselamatan dirinya dari resiko tertular agar dapat bekerja maksimal.
Tujuan
Petugas kesehatan didalam menjalankan tugas dan kewajibannya dapat
melindungi diri sendiri, pasien dan masyarakat dari penyebaran infeksi
42 | I C U C o v i d
Pelaksanaan program keselamatan kerja, kebakaran dan kewaspadaan bencana
( K3 )
a. Keselamatan kerja
Pemeriksaan kesehatan
Pemberian imunisasi / profilaksis anti virus ( hepatitis B )
Pengadaan sarana kewaspadaan standar
Pencegahan penularan petugas kesehatan
Penatalaksanaan penularan / paparan luka tusuk jarum
43 | I C U C o v i d
Menjamin keselamatan pasien yang sedang dirawat di ruang intensif
44 | I C U C o v i d
BAB VIII
PENGENDALIAN MUTU
b. Asimptomatis
45 | I C U C o v i d
Pernah kateterisasi < 7 hari yang lalu
Biakan ( + ) kurang dari 2 jenis kuman
Tidak ada gejala
Insiden ISK
2. Pneumonia
Pneumonia Nosokomial ( HAP ) adalah infeksi saluran nafas bawah,
mengenai parenkim paru tidak di intubasi dan terjadi > 48 jam hari rawat dan
tidak dalam masa inkubasi
KRITERIA DIAGNOSIS
a. Pada dewasa dan anak > 12 bulan
Didapatkan 1 dari
1. Bunyi pernafasan menurun, rhonki basah ditambah salah satu :
sputum purulen / perubahan sputum
isolasi kuman biakan darah ( + )
isolasi kuman patogen aspirasi trakea atau sikatan bronkus /
biopsi ( + )
2. Foto thorax infiltrat, konsolidasi, kavitasi, effusi pleura baru /
progresif ditambah salah satu :
Sputum purulen atau perubahan sputum
Isolasi kuman biakan darah ( + )
Isolasi kuman patogen aspirasi trakea / sikatan bronkus / biopsi
(+)
Antigen / isolasi / virus ( + ) dalam sekresi saluran nafas
Titer IgM atau IgG spesifik meningkat
46 | I C U C o v i d
Isolasi kuman biakan darah ( + )
Isolasi kuman biakan patogen aspirasi trakea / sikatan bronkus /
biopsi ( + )
Antigen / isolasi virus ( + ) dalam sekresi saluran nafas
Titer IgM atau IgG spesifik meningkat 4x
Insiden HAP :
Jumlah Kasus HAP / bulan x 100%
Surveilen HAP :
Semua pasien rawat inap yang memiliki faktor resiko HAP dirawat setelah
2x24 jam
Insiden VAP :
47 | I C U C o v i d
Ditemukan organisme dari hasil kultur darah semi / kuantitatif dengan tanda
klinis yang jelas serta tidak disertai infeksi yang lain ( tanpa ada organ atau
jaringan lain yang dicurigai sebagai sumber infeksi ) dan atau dokter yang
merawat menyatakan infeksi
Plebitis
Pada daerah lokasi tusukan infus ditemukan tanda-tanda merah, seperti
terbakar, bengkak, sakit bila ditekan, ulkus sampai eksudat purulen atau
mengeluarkan cairan bila ditekan
Insiden IADP
Jumlah pasien positif IADP x 100%
BAB VI
PENUTUP
DIREKTUR
RSUD “NGUDI WALUYO” WLINGI
49 | I C U C o v i d