Anda di halaman 1dari 17

APENDISITIS

DEFINISI
 Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan biasanya ditandai dengan
nyeri di perut bagian kanan bawah. (Anderson, 2002)
 Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan penyebab
abdomen akut yang paling sering. (Mansjoer, 2000)
 Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis atau peradangan pada usus
buntu dan merupakan penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat (Smeltzer,
2001)

KLASIFIKASI
Klasifikasi apendisitis berdasarkan klinipatologisnya menurut Selvia (2010), yaitu:
1. Appendicitis Akut (<2 minggu)
a. Appendicitis Akut Sederhana (Cataral Appendicitis)
Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mukosa disebabkan obstruksi.
Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen appendiks dan terjadi peningkatan tekanan
dalam lumen yang mengganggu aliran limfe, mukosa appendiks jadi menebal,
edema, dan kemerahan. Gejala diawali dengan rasa nyeri di daerah umbilikus, mual,
muntah, anoreksia, malaise, dan demam ringan. Pada appendicitis kataral terjadi
leukositosis dan appendiks terlihat normal, hiperemia, edema, dan tidak ada eksudat
serosa
b. Appendicitis Akut Purulenta (Supurative Appendicitis)
Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema menyebabkan
terbendungnya aliran vena pada dinding appendiks dan menimbulkan trombosis.
Keadaan ini memperberat iskemia dan edema pada apendiks. Mikroorganisme yang
ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding appendiks menimbulkan infeksi serosa
sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin. Pada appendiks
dan mesoappendiks terjadi edema, hiperemia, dan di dalam lumen terdapat eksudat
fibrinopurulen.
Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik
Mc Burney, defans muskuler, dan nyeri pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan defans
muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan tanda-tanda peritonitis
umum

c. Appendicitis Akut Gangrenosa


Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai terganggu
sehingga terjadi infrak dan ganggren. Selain didapatkan tanda-tanda supuratif,
appendiks mengalami gangren pada bagian tertentu. Dinding appendiks berwarna
ungu, hijau keabuan atau merah kehitaman. Pada appendicitis akut gangrenosa
terdapat mikroperforasi dan kenaikan cairan peritoneal yang purulen.
2. Appendicitis Infiltrat
Appendicitis infiltrat adalah proses radang appendiks yang penyebarannya dapat dibatasi
oleh omentum, usus halus, sekum, kolon dan peritoneum sehingga membentuk
gumpalan massa flegmon yang melekat erat satu dengan yang lainnya
3. Appendicitis Abses
Appendicitis abses terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah (pus), biasanya di
fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrocaecal, subcaecal, dan pelvic
4. Appendicitis Perforasi
Appendicitis perforasi adalah pecahnya appendiks yang sudah ganggren yang
menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis umum. Pada
dinding appendiks tampak daerah perforasi dikelilingi oleh jaringan nekrotik
5. Appendicitis Kronis (>2 minggu)
Appendicitis kronis merupakan lanjutan appendicitis akut supuratif sebagai proses radang
yang persisten akibat infeksi mikroorganisme dengan virulensi rendah, khususnya
obstruksi parsial terhadap lumen. Diagnosa appendicitis kronis baru dapat ditegakkan jika
ada riwayat serangan nyeri berulang di perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang
kronik appendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Secara histologis, dinding
appendiks menebal, sub mukosa dan muskularis propia mengalami fibrosis. Terdapat
infiltrasi sel radang limfosit dan eosinofil pada sub mukosa, muskularis propia, dan
serosa. Pembuluh darah serosa tampak dilatasi.

Berdasarkan hasil USG, Kojima et al dalam Ishikawa (2003) mengklasifikasikan


apendisitis menjadi:
Tipe Pathological Dx Struktur Dinding Lap. submukosa
Apendik
Tipe I Catarral Jelas Tidak ada hipertropi
Tipe II Plegmenous Kabur / tak jelas Hipertropi
Tipe III Gangrenous Kacau Tak jelas, sebagian
hilang

ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO


Obstruksi lumen merupakan penyebab utama apendisitis. Obstruksi ini disebabkan
oleh pengerasan tinja (fekalit), edema mukosa dapat disertai dengan infeksi virus atau
bakteri (Berhman, dkk,. 2000). Obstruksi lumen dapat juga disebabkan karena hyperplasia
kelenjar limfe submukosa (Mellisa, 2011).
Sedangkan menurut Sjamsuhidajat (2005), apendisitis akut merupakan merupakan
infeksi bakteria. Berbagai berperan sebagai faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks
merupakan faktor yang diajukan sebagai faktor pencetus disamping hiperplasia jaringan
limfe, fekalit, tumor apendiks dan cacing askaris dapat pula menyebabkan sumbatan.
Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks
karena parasit seperti E.histolytica. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan
makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis.
Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal yang berakibat timbulnya sumbatan
fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini
mempermudah timbulnya apendisitis akut.

MANIFESTASI KLINIS
Menurut Amin Huda Nurarif (2013), timbulnya gejala bergantung pada letak apendiks
ketika meradang.
 Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, yaitu di belakang sekum (terlindung oleh
sekum), tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada tanda
rangsangan peritoneal. Resa nyeri lebih ke arah perut kanan atau nyeri timbul pada saat
melakukan gerakan seperti berjalan, bernafas dalam, batuk dan mengedan. Nyeri ini
timbul karena adanya kontraksi m.psoas mayor yang menegang dari dorsal
 Bila apendiks terletak di rongga pelvis. Bila apendiks terletak di dekat atau menempel
pada rektum, akan timbul gejala dan rangsangan sigmoid atau rektum, sehingga
peristaltik meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang
(diare)
 Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada kandung kemih, dapat terjadi
peningkatan frekuensi kemih, karena rangsangan dindingnya.
Menurut Baughman (2000), tanda dan gejala klinis yang sering terjadi pada pasien
dengan apendisitis, yaitu:
 Nyeri kuadran bawah biasanya disertai dengan demam derajat rendah, mual dan sering
kali muntah
 Pada titik McBurney (terletak dipertengahan diantara umbilicus spina anterior dari ilium)
nyeri tekan setempat karena tekanandan sedikit kaku dari bagian bawah otot rektus
kanan
 Nyeri alih mungkin saja ada; letak apendiks mengakibatkan sejumlah nyeri tekan,
spasme otot, dan konstipasi atau diare kambuhan
 Jika terjadi rupture apendiks, maka nyeri akan menjadi lebih menyebar; terjadi distensi
abdomen ileus pariletik dan kondisi memburuk.
Selain itu, juga terdapat tanda dan gejala klinis apendisitis berikut ini.
Perangsangan Langsung : nyeri tekan dan nyeri lepas RLQ terutama titik
McBurney
Perangsangan tidak langsung :
 Rovsing sign (nyeri perut RLQ jika ditekan)
 Blumberg sign (nyeri perut RLQ bila dilakukan pelepasan titik McBurney)
Tanda khas :
 Psoas sign (nyeri ketika ekstensi max untuk meregangkan otot psoas)
 Obturator Sign (De Jong W. Dkk. 2011 & Hummes D.J dkk 2007)

PATOFISIOLOGI
Terlampir.

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Penderita akan mengeluhkan nyeri atau sakit perut. Ini terjadi karena hiperperistaltik
untuk mengatasi obstruksi dan terjadi pada seluruh saluran cerna, sehingga nyeri viseral
dirasakan pada seluruh perut. Muntah atau rangsangan viseral akibat aktivasi n. vagus.
Obstipasi karena penderita takut untuk mengejan. Panas akibat infeksi akut jika timbul
komplikasi. Gejala lain adalah demam yang tidak terlalu tinggi, antara 37,5 - 38,5 ⁰C. Tetapi
jika suhu lebih tinggi, diduga sudah terjadi perforasi (Departemen Bedah UGM, 2010).
Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi
Penderita berjalan membungkuk memegangi perutnya yang sakit, kembung bila terjadi
perforasi dan penonjolan perut bagian kanan bawah terlihat pada apendisitis abses
b. Auskultasi
Akan terdapat peristaltic normal
c. Palpasi
Terlihat abdomen datar atau sedikit kembung. Palpasi dilakukan dengan ringan dan hati-
hati dengan sedikit tekanan. Status lokalis abdomen kuadran kanan bawah:
 Nyeri tekan (+) Mc Burney
 Nyeri lepas (+) karena rangsangan peritoneum. Rebound tenderness adalah nyeri
yang hebat diabdomen kanan bawah saat tekanan secara tiba-tiba
 Defens muscular (+) karena rangsanan m. Rektus abdominalis
 Rovsing sign (+)
 Psoas sign (+) karena adanya rangsangan muskulus psoas pleh peradangan yang
terjadi pada apendiks
 Obturator sign (+) menunjukkan peradangan apendiks terletak pada daerah
hipogastrium
d. Perkusi
Adanya nyeri ketok.
Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
 Pemeriksaan darah lengkap
Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara
10.000-18.000/mm3 (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%
 C-reactive protein (CRP)
Pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat. CRP adalah salah satu
komponen protein fase akut yang akan meningkat 4-6 jam setelah terjadinya proses
inflamasi, dapat dilihat melalui proses elektroforesis serum protein. Angka sensitivitas
dan spesifisitas CRP yaitu 80% dan 90%.
b. Radiologi
 Pemeriksaan ultrasonografi (USG)
Pada pemeriksaan USG ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi
inflamasi pada appendiks. Tingkat akurasi USG 90-94% dengan angka sensitivitas
dan spesifisitas yaitu 85% dan 92%.
 Computed Tomography Scanning (CT-scan)
Pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang dengan fekalith dan
perluasan dari appendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran sekum.
CT-Scan mempunyai tingkat akurasi 94-100% dengan sensitivitas dan spesifisitas
yang tinggi yaitu 90-100% dan 96-97%
 Foto polos perut untuk melihat apendikolit yang mengalami kalsifikasi, usus halus
yang distensi atau obstruksi, dan efek massa jaringan lunak. (Pierce dan Neil, 2006)
c. Analisa urin
Bertujuan untuk mendiagnosa batu ureter dan kemungkinan infeksi saluran kemih
sebagai akibat dari nyeri perut bawah
d. Pemeriksaan barium enema
Untuk menentukan lokasi sekum. Pemeriksaan Barium enema dan Colonoscopy
merupakan pemeriksaan awal untuk kemungkinan karsinoma colon
e. Hypersensitivity test
Tekanan perut dengan benda tajam atau dengan cubitan besar pada lipatan kulit dengan
menggunakan jempol dan jari telunjuk. Setelah itu lepaskan dengan tiba-tiba. Lakukan
prosedur ini berkali-kali pada beberapa lapang dinding abdomen.
Hasil: normalnya klien tidak merasa nyeri perut dan sensai yang berlebihan. Nyeri dan
sensasi berlebihan dirasakan pada area kiri R.L.Q sebagai tanda positif hypersensitivity
test. Kulit sebagai indikator eppendicitis → peritonitis.
f. Test for Cholecytitis
Untuk mengkaji nyeri dan tenderness R.U.Q sebagai tanda kolisititis. Tekan dengan
menggunakan jari area batas bawah hepar pada garis tengah rusuk kanan dan minta
klien menarik nafas dalam.
Hasil: normalnya tidak ada peningkatan nyeri. Peningkatan nyeri yang tajam mungkin
disebabkan karena tarikan nafas dalam klien sebagai tanda positif Murphy’s Sign sebagai
tanda appendicitis.
Menurut Brunicardi et. al. (2010), penentuan diagnosa apendisitis juga dapat
dilakukan dengan menggunakan skor Alvarado.
The Modified Alvarado Score Skor
Gejala Perpindahan nyeri dari ulu hati ke perut kanan 1
bawah
Mual-mual 1
Anoreksia 1
Tanda Nyeri di perut kanan bawah 2
Nyeri lepas 1
Demam > 37,50 C 1
Pemeriksaan Lab Leukositosis 2
Hitung jenis leukosit shift to the left 1
Jumlah 10

Menurut Grace dan Borley (2007), diagnosa banding apendisitis:


1. Limfadenitis mesenterika pada anak-anak
2. Penyakit pelvis pada wanita (misalnya, penyakit inflamasi pelvis, ISK, kehamilan ektopik,
ruptur kista corpus luteum)
3. Laparoskopi biasanya dapat digunakan pula sebagai diagnosa banding untuk
menyingkirkan kelainan ovarium sebelum dilakukan apendiktomi pada wanita muda.

PENATALAKSANAAN MEDIS
Ishikawa (2003) menyebutkan beberapa penatalaksanaan apendisitis, yaitu:
 Medical terapi
Apendisitis tipe catarral : mendapatkan penanganan konservatif
hospitalisasi (bed rest), antinyeri, mual
cairan IV (D5 ½ NS KCl 20 mEq/L)
 Surgical terapi
Apendisitis tipe plegmenous : penatalaksanaan berupa operasi
prosedur pembedahan dapat berupa laparoscopy
appendectomy atau conventional open
appendectomy
Keuntungan laparoscopy appenctomy
- Minimal invasive, scaring, wound infection, nyeri post-op
- Recovery tonus otot lebih cepat
- Kosmetik outcome lebih baik

Whalen et al (2014) menambahkan:


 Laparoscopy appendectomy
Akan dibuat 1-3 insisi kecil pada abdomen. Insisi tersebut akan disisipi oleh laparoscope
(seperti telescope untuk membantu melihat bagian dalam abdomen karena dilengkapi
penerangan dan kamera), port CO2. Instrumen pembedahan dimasukan melalui insisi
untuk membuang apendik, area tersebut dicuci dengan cairan steril kemudian disemprot
CO2, area pembedahan dijahit/dilem
 Open appendectomy
Akan dibuat insisi 2-4 inchi sepanjang regio abdomen kanan bawah – apendik dibuang –
drainase/cuci dengan cairan steril – pasang selang drainase – jahit luka dan tutup
dengan gle like bandage.
Sedangkan, penatalaksanaan untuk pasca operasi apendisitis menurut Mansjoer dkk
(2000), yaitu:
1. Observasi Tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya perdarahan di dalam, syok,
hipertermia atau gangguan pernafasan
2. Angkat sonde lambung bila pasien telah sadar sehingga aspirasi cairan lambung dapat
dicegah
3. Baringkan pasien dalam posisi semi fowler
4. Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan, selam pasien
dipuasakan
5. Bila tindakan operasi lebih besar, misalnya pada perforata, puasa dilanjutkan sampai
fungsi usus kembali normal
6. Berikan minum mulai 15 ml/jam selama 4 – 5 jam lalu naikkan menjadi 30 ml/jam.
Keesokan harinya berikan makanan saring dan hari berikutnya diberikan makanan lunak
7. Satu hari pasca operasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak di tempat tidur selama 2x30
menit
8. Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk di luar kamar.
9. Hari ke-7 jahitan dapat diangkat dan pasien diperbolehkan pulang.

KOMPLIKASI
Komplikasi utama apendisitis adalah perforasi apendiks yang dapat berkembang
menjadi peritonitis atau abses. Insidens perforasi adalah 10-32%. Insidens lebih tinggi pada
anak kecil dan lansia. Perforasi secara umum terjadi 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala
mencakup demam dengan suhu 37,7 C ata lebih tinggi, penampilan toksik, dan nyeri atau
nyeri tekan abdomen yang kontinyu (Smeltzer C. Suzzane, 2002).
Selain itu, terdapat komplikasi akibat tindakan operatif. Kebanyakan komplikasi yang
mengikuti apendisektomi adalah komplikasi prosedur intraabdomen dan ditemukan di
tempat-tempat yang sesuai, seperti: infeksi luka, abses residual, sumbatan usus akut, ileus
paralitik, fistula tinja eksternal, fistula tinja internal dan perdarahan dari mesentrium apendiks
(Baiiley, 1992).
Selain itu, juga akan terjadi Ruptur apendiks yaitu ruptur akan menyebabkan
penyebaran ke abdomen (peritonitis). Kemungkinan mengancam nyawa, hal ini
membutuhkan operasi segera untuk mengambil apendiks dan membersihkan rongga
abdomen. Abses yang akan terbentuk di abdomen akan dikeluarkan dengan operasi
drainase abses dan setelah bersih baru diberikan antibiotik (Mayo Clinic, 2015).
Sedangkan menurut Grace A.P dkk (2006) dan De Jong W dkk (2011), komplikasi
dari apendisitis yaitu:
 Perforasi
 Infeksi luka
 Abses intraabdomen
 Akinomikosis abdomen (jarang)
 Piernia porta

PENCEGAHAN
a. Pencegahan primer
Bertujuan untuk menghilangkan faktor resiko terhadap kejadian peritonitis. Salah satu
upaya pencegahan adalah mengkonsumsi serat untuk membantu mempercepat
pengeluaran sisa makanan sehingga tidak terjadi konstipasi yang mengakibatkan
penekanan pada dinding kolon
b. Pencegahan sekunder
Meliputi diagnose dini dan pengobatan yang tepat untuk mencegah timbulnya komplikasi
c. Pencegahan tersier
Mencegah terjadinya komplikasi yang lebih berat seperti komplikasi intraabdomen. Pasca
apendiktomin diperlukan perawatan intensif dan pemberian antibiotic dengan lama terapi
disesuaikan dengan besar infeksi intraabdomen.
Selain itu, minum air putih minimal 8 gelas sehari dan tidak menunda buang air besar
juga akan membantu kelancaran pergerakan saluran pencernaan secara keseluruhan
(Conetique, 2007).

Apendiktomi Laparoskopi
Pengangkatan usus buntu ini dilakukan untuk usus buntu akut. Apendiktomi
laparoskopi merupakan alternatif yang baik untuk pasien dengan usus buntu akut,
khususnya wanita muda pada usia subur, karena prosedur laparoskopi memiliki keunggulan
diagnosa untuk diagnosa yang belum pasti. Keunggulan lainnya termasuk hasil kosmetik
lebih baik, nyeri berkurang dan pemulihan lebih cepat.
Laparoskopi disebut juga dengan operasi minimal invasif, dimana kegiatan
operasional di perut dilakukan melalui sayatan kecil (biasanya 0,5-1,5 cm) sehingga tidak
merusak jaringan perut dan tidak perlu menyayat terlalu panjang.

Gambar di atas adalah Instrument Laparaskopi, yaitu alat yang akan dimasukan
melalui dinding perut dengan sayatan 0,5-1,5 cm. Ujung dari Instrument Laparaskopi
tersebut dilengkapi dengan optik untuk menyalurkan gambar yang ada dalam perut ke
monitor/televisi dan ujungnya juga berfungsi untuk memotong usus buntu dan menghentikan
perdarahan (Kauterisasi).
Pada apendiktomi laparoskopi, 3 bukaan kecil untuk memasukkan kamera miniature
dan peralatan bedah dibuat melintang bagian bawah perut untuk mengangkat usus buntu.
Ini dibandingkan dengan 4 hingga 6 cm sayatan yang dibutuhkan untuk apendiktomi
terbuka.

Dibandingkan dengan prosedur tindakan bedah terbuka, laparoskopi apendiktomi dapat


mengurangi rasa sakit, sebab sayatan lebih kecil dan pendarahan sedikit dan waktu
pemulihan lebih cepat.
Menurut Noor, et. al. (2011), jenis-jenis insisi yang digunakan untuk operasi
apendektomi, antara lain sebagai berikut.
1. Insisi grid iron (Mc Burney incision)
Insisi Gridiron pada titik McBurney. Garis insisi
parallel dengan otot oblikus eksternal, melewati
titik McBurney yaitu 1/3 lateral garis yang
menghubungkan spina liaka anterior superior
kanan dan umbilikus.

2. Lanz Transverse incision


Insisi dilakukan pada 2 cm di bawah pusat, insisi
transversal pada garis miklavikula-midinguinal.
Mempunyai keuntungan kosmetik yang lebih
baik dari pada insisi grid iron.

3. Rutherford Morisson’s incision (insisi


suprainguinal)
Merupakan insisi perluasan dari insisi McBurney.
Dilakukan jika apendiks terletak di parasekal
atau retrosekal dan terfiksir.

4. Low Midline incision


Dilakukan jika apendisitis sudah terjadi perforasi
dan terjadi peritonitis umum.
5. Insisi paramedian kanan bawah
Insisi vertikal paralel dengan midline, 2,5 cm di
bawah umbilikus sampai di atas pubis.

TINDAKAN LAPAROSKOPI

Posisi pasien
Laparaskopi dilakukan pada meja operasi yang dapat diatur ketinggiannya dan posisi pasien
dapat menjadi trendelenberg. Disamping itu pasien diletakkan dengan posisi litotomi rendah.

Ukuran insisi

Insisi kulit untuk tempat masuk trokar harus tepat ukurannya. Besarnya insisi dapat dinilai
dengan bagian belakang pisau standar ( lebarnya sekitar 1 cm ) atau secara langsung
dengan memasukkan jari telunjuk operator kedalam lubang insisi.

Tindakan
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Anamnesa
Dapatkan riwayat kesehatan dengan cermat khususnya mengenai:
a. Keluhan utama klien akan mendapatkan nyeri di sekitar epigastrium menjalar ke
perut kanan bawah. Timbul keluhan Nyeri perut kanan bawah mungkin beberapa
jam kemudian setelah nyeri di pusat atau di epigastrium dirasakan dalam
beberapa waktu lalu.Sifat keluhan nyeri dirasakan terus-menerus, dapat hilang
atau timbul nyeri dalam waktu yang lama. Keluhan yang menyertai biasanya
klien mengeluh rasa mual dan muntah, panas.
b. Riwayat kesehatan masa lalu biasanya berhubungan dengan masalah.
Kesehatan mklien sekarang ditanyakan kepada orang tua.
c. Diet, kebiasaan makan makanan rendah serat.
d. Kebiasaan eliminasi.
(Riyadi, 2010)

2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik keadaan umum klien tampak sakit ringan/sedang/berat.
a. Sirkulasi: takikardia.
b. Respirasi: takipnea, pernapasan dangkal.
c. Aktivitas/istirahat: malaise.
d. Eliminasi: konstipasi pada awitan awal, diare kadang-kadang.
e. Distensi abdomen, nyeri tekan/nyeri lepas, kekakuan, penurunan atau tidak ada
bising usus.
f. Nyeri/kenyamanan, nyeri abdomen sekitar epigastrium dan umbilicus, yang
meningkat berat dan terlokalisasi pada titik Mc. Burney, meningkat karena
berjalan, bersin, batuk, atau napas dalam. Nyeri pada kuadran kanan bawah
karena posisi ekstensi kaki kanan/posisi duduk tegak.
g. Demam lebih dari 38 C.
h. Data psikologis klien nampak gelisah.
i. Ada perubahan denyut nadi dan pernapasan.
j. Pada pemeriksaan rektal toucher akan teraba benjolan dan penderita merasa
nyeri pada daerah prolitotomi.
k. Berat badan sebagai indicator untuk menentukan pemberian obat.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Tanda-tanda peritonitis kuadran kanan bawah. Gambaran perselubungan
mungkin terlihat “ileal atau caecal ileus” (gambaran garis permukaan cairan
udara di sekum atau ileum).
b. Laju endap darah (LED) meningkat pada keadaan apendisitis infiltrat.
c. Urine rutin penting untuk melihat apa ada infeksi pada ginjal.
d. Peningkatan leukosit, neutrofilia, tanpa eosinofil.
e. Pada enema barium apendiks tidak terisi.
f. Ultrasound: fekalit nonkalsifikasi, apendiks nonperforasi, abses apendiks.
B. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul adalah:
Diagnosa Pre Operatif
1. Ansietas
2. Gangguan rasa nyaman b.d gejala terkait penyakit
Diagnosa Intra Operatif
1. Resiko perdarahan
Diagnosa Post Operatif
1. Nyeri
2. Resiko Infeksi
C. Perencanaan Keperawatan
Pre Operatif
Diagnosa Tujuan INTERVENSI
Keperawatan
Ansietas Setelah dilakukan tindakan a. Gali penyebab kecemasan
keperawatan selama di ruang b. Berikan kesempatan pasien untuk
Pre, diharapkan cemas teratasi, mengungkapkan perasaannya
dengan indikator: c. Berikan informasi tentang penyakit
Indikator Awal tujuan yang diderita klien
Kesiapan Belum Siap d. Berikan prosedur tindakan yang
siap operasi akan dilakukan
Wajah Gelisah tenang e. Motivasi klien
Gangguan Setelah dilakukan tindakan a. Tempatkan pasien pada posisi
rasa nyaman keperawatan selama di ruang semifowler
b.d gejala Pre, diharapkan kenyamanan b. Membantu pasien untuk bergerak
terkait penyakit dapat meningkat dengan c. Monitor status respirasi
indikator: d. Motivasi klien untuk relaksasi
- Relaksasi otot (4)
- Posisi yang nyaman (5)
- Kepatenan jalan nafas (4)

Intra Operatif
Diagnosa Tujuan INTERVENSI
Keperawatan
Resiko Setelah dilakukan perawatan operasi a. Kaji TTV
Perdarahan diruang Operasi masalah Resti b. Pantau status cairan input
perdarahan dapat teratasi. Dengan dan output
kriteria: c. Kolaborasi berikan obat anti
• Tidak terdapat perdarahan hebat perdarahan (jika di perlukan)

Post Operatif
Diagnosa Tujuan INTERVENSI
Keperawatan
Resiko infeksi Setelah dilakukan tindakan Infection Control (Kontrol
b.d penurunan keperawatan diharapkan infeksi infeksi)
pertahanan terkontrol          Bersihkan lingkungan setelah
primer NOC : dipakai pasien lain
: Infection control          Gunakan sabun antimikrobia
  Risk control untuk cuci tangan
Kriteria Hasil :          Cuci tangan setiap sebelum
  Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi dan sesudah tindakan
          Gunakan baju, sarung tangan
sebagai alat pelindung
         Pertahankan lingkungan
aseptik selama tindakan
         Ganti letak IV perifer dan line
central dan dressing sesuai
dengan petunjuk umum
         Gunakan kateter intermiten
untuk menurunkan infeksi
kandung kencing
         Berikan terapi antibiotik bila
perlu
Infection Protection (proteksi
terhadap infeksi)
         Monitor tanda dan gejala
infeksi sistemik dan lokal
         Partahankan teknik aspesis
pada pasien yang beresiko
Nyeri akut b.d Setelah dilakukan tindakan Pain Management
agen injuri fisik keperawatan diharapkan nyeri pasien   Lakukan pengkajian nyeri
berkurang secara komprehensif
NOC : termasuk lokasi, karakteristik,
  Pain control, durasi, frekuensi, kualitas dan
  Comfort level faktor presipitasi
Kriteria Hasil :   Observasi reaksi nonverbal
  Mampu mengontrol nyeri (tahu dari ketidaknyamanan
penyebab nyeri, mampu menggunakan   Kurangi faktor presipitasi nyeri
tehnik nonfarmakologi untuk   Pilih dan lakukan penanganan
mengurangi nyeri, mencari bantuan) nyeri (farmakologi, non
  Melaporkan bahwa nyeri berkurang farmakologi dan inter
dengan menggunakan manajemen personal)
nyeri   Kaji tipe dan sumber nyeri
  Mampu mengenali nyeri (skala, untuk menentukan intervensi
intensitas, frekuensi dan tanda nyeri   Ajarkan tentang teknik non
  Tanda vital dalam rentang normal farmakologi
  Berikan analgetik untuk
mengurangi nyeri
DAFTAR PUSTAKA

Baughman, D.C. 2000. Keperawatan Medikal Bedah: buku saku untuk brunner dan
suddarth. Jakarta: EGC
Brenda, Suzanea. 2005. Buku ajar keperawatan medikal bedah. Jakarta: EGC
Brunicardi, FC et. al. 2010. Shwartz’s Principles of Surgery, 9th Edition. USA:
McGraw Hill Companies.
De jong W, dkk. 2011. Buku ajar ilmu bedah 3th edition. Jakarta: EGC
Departemen Bedah UGM. 2010. Apendik. Online,
(http://www.bedahugm.net/tag/appendix). Diakses pada 11 juli 2018
Eylin. 2009. Karakteristik pasien dan diagnosis histologi pada kasus apendisitis
berdasarkan data registrasi di departemen patologi anatomi FKUI RSU Pusat
Nasional Cipto Mangunkusumo. Jakarta: UI
Grace, Pierce. A., Neil R. Borley. 2007. At a Glance, Edisi 3. Hlm. 106-107 Jakarta:
Erlangga
Humes DJ,dkk. 2007. Clinical Review : Acute Apendisitis. BMJ
Ishikawa, Hiroshi. 2003. Diagnosis and Treatment of Acute Appendicitis.Journal of
the Japan Medical Association. Vol 46. No 5, 217-221
Mansjoer, Arif. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapitus
Mayoclinic. 2015. Appendicitis. Online, (http://www.mayoclinic.org/diseases-
conditions/appendicitis/basics/definition/con-20023582). Diakses pada tanggal
11 juli 2018
Noor, Budhi Arifin, et. al. 2011. Penatalaksanaan Apendisitis. Online
(http://generalsurgery-fkui.blogspot.com/2011/05/penatalaksanaan-
apendisitis.html). Diakses tanggal 11 juli 2018
Nurarif, Amin Huda. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis dan Nanda NIC-NOC. Yogyakarta: MediAction Publishing
Selvia, B. 2010. Apendisitis. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Online, (http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19162/4/Chapter
%20II.pdf) Diakses pada Selasa, 10 Maret 2015
Selvia, Bella. 2010. Skripsi: Karakteristik Penderita Apendisitis Rawat Inap di RS
Tembakau Deli PTP Nusantara II Medan Tahun 2005-2009

Anda mungkin juga menyukai