Disusun Oleh
Rahayu Oktaliani
G1A217113
Sistemi.eicosanoids*
j. Peptida menghasilan
Fosfolipid
k. Sunstansi P, angiotensin II, Melepas
l. bradykinin sitokin
Fosfolipase A2
m.
Asam arakhidonat
n.
Hiphothalamic Pituitary
o.
5 lipoksigenase COX Adrenal Axis (HPA) Axis
p.
5 HPETE PGG2 Menstimulus CRH/AVP
Leukotrien hidroperoksida Prostasiklin Anterior pituitary
PGE2 (menstimulis ACTH)
PGI2 PGF2α
Tromboksan Korteks adrenal
A2
(melepaskan kortisol)
Prostaglandin
Peningkatan jumlah
sitokin dapat
menyebabkan
Nyeri
depresi
Terdapat tiga komponen penting yang saling bekerjasama dalam pengaturan neuroendokrin
dan terkoneksi dengan sistem limbik yakni hipotalamus, hipofisis anterior, dan korteks adrenal.
Hipotalamus merupakan pusat pengaturan aksis neuroendokrin, menerima input neuron yang
mengandung neurotransmiter amin biogenik. Pada pasien dengan gangguan depresif
ditemukan adanya disregulasi neuroendokrin, hal ini terjadi akibat kelainan fungsi neuron di
dalam nucleus paraventrikular yang mengandung neurotransmitter amin biogenik.
Dalam keadaan depresi hipotalamus akan mengeluarkan neurotransmitter yang
mengganggu aksis neuroendokrin, yaitu pada kelenjar adrenal, tiroid dan pengaturan hormon
pertumbuhan bahkan hormon seksual. Keadaan yang paling khas adalah terjadi peningkatan
kadar Corticotropin Realising Hormone (CRH) yang disekresikan oleh hipotalamus. Keadaan
ini disebabkan rusaknya mekanisme umpan balik kortisol pada sistem limbikatau adanya
kelainan pada sistem monoaminogenik dan neuromodulator yang mengatur CRH. CRH akan
menstimulus sekresi Adenocorticotropic Hormone (ACTH) di hipofisis anterior, ACTH sendiri
akan mempengaruhi pelepasan kortisol di korteks adrenal. Di otak, peningkatan kadar kortisol
akan mempengaruhi peningkatan reuptake serotonin yang mengakibatkan kadar serotonin
dalam tubuh menurun, hal ini akan menginduksi terjadinya depresi.
Hasil studi studi epidemiologi pada komorbiditas nyeri dan depresi pada pelayanan
kesehatan tingkat dasar menunjukan nyeri sangat terkait dengan kecemasan dan gangguan
depresi. Gejala psikologis yang muncul pada pasien nyeri adalah energi yang rendah,
gangguan tidur, cemas berlebihan disertai keluhan lain seperi rasa bersalah, disfungsi tubuh,
dan lain-lain. Data diatas menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sangat erat antara
kejadian depresi dengan munculnya nyeri maupun kejadian nyeri yang menyebabkan depresi.
Pada penderita depresi dijumpai adanya defisit kadar serotonin dan noradrenalin di otaknya.
Serotonin (5-HT) dan norepinefrin (NE) adalah neurotransmitter yang berperan dalam proses
nyeri maupun depresi, yang mengurus mood dan depresi terletak di korteks prefrontal dan
sistem limbik, sedangkan yang mengurus pain modulating circuit terletak di amygdala,
periaquaductal gray (PAG), dorsolateral pontine tegmentum (DLPT), dan rostroventral
medulla(RVM).
Modulasi efek serotonin di otak menunjukkan efek impulsif, modulasi sexual behaviour;
appetite dan agresi. Sedang NE sistem menunjukkan modulasi waspada, sosialisasi, energi, dan
motivasi. Kalau keduanya bersamaan maka ia akan memodulasi ansietas, iritabilitas, nyeri,
mood, emosi dan fungsi kognitif. Pada penderita depresi dijumpai adanya defisit kadar
serotonin dan noradrenalin di otaknya. 5HT adalah suatu neurotransmitter penting yang
berperan dalam modulasi nyeri secara kompleks. Yaitu sebagai antinociceptive pathway
ascending maupun descending dari brain stem ke spinal cord. Efek antinoseptif dari 5 HT
dimediasi oleh beberapa macam subtipe reseptor 5 HT J, 5-HT 2, 5-HT 3 yang diikuti oleh
dengan peninggian sensitifitas nyeri. Neurotransmitter maupun neurokimiawi lain yang
berperanan pada proses nyeri kepala maupun migren adalah jenis katekolamin seperti misalnya
noradrenalin /norepinefrin & dopamin yang terutama banyak dijumpai di locus ceruleous.
Yang berperanan sebagai media proses vasokonstriksi maupun vasodilatasi dan pelepasan
asam lemak bebas yang berguna sebagai signal kepada platelet untuk melepaskan serotonin.
Norepinefrine dan serotonin berperan sangat penting dalam fungsi endogen pain-
supressing descending projection. Stress yang kronik memproduksi peninggian aktivitas
tyrosine hydroxylase, yaitu suatu enzym yang terlibat dalam biosintesa NE di LC yang
selanjutnya menurunkan transmisi serotonin. Pada suatu penelitian terhadap pasien depresi
ternyata didapati pengurangan kadar NE dan metabolitnya, dan homovanilic acid(metabolit
dari dopamin) di darah venoarteriai. Komponen Dorsal Raphe Nucleus (DRN) didalam PAG
mengirim pancaran serotonergik ke korteks serebri dan pembuluh darah, yang dapat
melancarkan neuron excitability dan vasomotor kontrol. Aktivitas metabolik yang abnormal
dari PAG dapat menyebabkan area ini menjadi lebih peka dan mudah rusak terhadap modulasi
reseptor sesudah penggunaan obat-obatan analgetikum yang terlampau sering.
Kesimpulan :
Semua sel imun dan mediator inflamasi dilepaskan ke sirkulasi darah dan menyebabkan
aktivasi aksis HPA, yang akan menyebabkan pelepasan sitokin. Peningkatan dan pelepasan
sitokin dapat menyebabkan terjadinya depresi. Selain itu depresi dapat disebabkan penurunan
tingkat serotonin (disregulasi neurotransmitter yaitu serotonin), dimana serotonin berfungsi
sebagai salah satu mediator yang menghambat nyeri sampai pada sistem saraf pusat. Sehingga
orang yang mengalami depresi lebih memiliki ambang atau perasaan nyeri yang lebih hebat
daripada orang yang tidak mengalami depresi. Mereka yang mengalami nyeri terus menerus
(nyeri kronik), yang menyebabkan pelepasan sitokin yang berlebihan diakibatkan oleh reaksi
inflamasi terhadap nyeri dapat menyebabkan terjadinya depresi, karena peningkatan sitokin
tersebut. Oleh karena itu, nyeri dapat menyebabkan depresi dan depresi dapat menyebabkan
nyeri.
DAFTAR PUSTAKA
1. The International Association for The Study of Pain. IASP Taxonomy; 2014.
2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit
dalam jilid III. Edisi ke-6. Jakarta: Interna Publishing; 2014.
3. Guyton and Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta: EGC. 2007
4. Ismail RI, Siste K. Gangguan Depresi. Dalam: Elvira SD, Hadisukanto G. Buku Ajar
Psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2010. p 209-22.
5. Buckingham JC, dkk. Stress, Stress hormones, and the immune system. England :
Wiley; 1997.
6. Maramis WF, Maramis AA. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi Kedua. Surabaya:
Airlangga University Press; 2009.