Anda di halaman 1dari 14

GAGAL JANTUNG KONGESTIF

a. Definisi

Gagal jantung didefinisikan sebagai kondisi dimana jantung tidak lagi


mampu memompakan darah ke jaringan untuk memenuhi metabolism tubuh
walaupun darah balik masih normal. Keadaan ini dapat timbul dengan atau
tanpa penyakit jantung. Gangguan fungsi jantung dapat berupa gangguan
fungsi diastolik atau sistolik, gangguan irama jantung, atau ketidak sesuaian
preload dan afterload. Keadaan ini dapat menyebabkan kematian pada pasien.

Gagal jantung Kongestif ( Congestive Heart Failure/ CHF ) merupakan


salah satu penyakit kardiovaskular dengan prevalensi yang terus meningkat. Gagal
jantung mempengaruhi lebih dari 5.2 juta pernduduk amerika, dan lebih dari 550
ribu kasus baru yang didiagnosis tiap tahunnya. Tiap tahunnya gagal jantung
bertanggung jawab terhadap hampir 1 juta hospitalisasi. Mortalitas rata – rata
rawatan yang dilaporkan pada 3 hari, 12 bulan, dan 5 tahun pada pasien yang
dirawat di rumah sakit masing –masing adalah 12%, 33%, dan 50%. Rata – rata
yang mengalami hospitalisasi kembali adalah 47% dalam 9 bulan.

b. Etiologi

Gagal jantung dapat disebabkan oleh banyak hal. Secara epidemiologi


cukup penting untung mengetahui penyebab dari gagal jantung, di negara
berkembang penyakit arteri koroner dan hipertensi merupakan penyebab
terbanyak sedangkan di negara berkembang yang menjadi penyebab terbanyak
adalah penyakit jantung katup dan penyakit jantung akibat malnutrisi.

Pada beberapa keadaan sangat sulit untuk menentukan penyebab dari


gagal jantung. Terutama pada keadaan yang terjadi bersamaan pada penderita.
Penyakit jantung koroner pada Framingham Study dikatakan sebagai penyebab
gagal jantung pada 46% laki-laki dan 27% pada wanita. Faktor risiko koroner
seperti diabetes dan merokok juga merupakan faktor yang dapat berpengaruh
pada perkembangan dari gagal jantung. Selain itu berat badan serta tingginya
rasio kolesterol total dengan kolesterol HDL juga dikatakan sebagai faktor risiko
independen perkembangan gagal jantung. Hipertensi telah dibuktikan
meningkat-kan risiko terjadinya gagal jantung pada beberapa penelitian.
Hipertensi dapat menyebabkan gagal jantung melalui beberapa mekanisme,
termasuk hipertrofi ventrikel kiri. Hipertensi ventrikel kiri dikaitkan dengan
disfungsi ventrikel kiri sistolik dan diastolik dan meningkatkan risiko
terjadinya infark miokard, serta memudahkan untuk terjadinya aritmia baik itu
aritmia atrial maupun aritmia ventrikel. Ekokardiografi yang menunjukkan
hipertrofi ventrikel kiri berhubungan kuat dengan perkembangan gagal
jantung.

Penyakit katup sering disebabkan oleh penyakit jantung rematik,


walaupun saat ini sudah mulai berkurang kejadiannya di negara maju.
Penyebab utama terjadinya gagal jantung adalah regurgitasi mitral dan
stenosis aorta. Regusitasi mitral (dan regurgitasi aorta) menyebabkan
kelebihan beban volume (peningkatan preload) sedangkan stenosis aorta
menimbulkan beban tekanan (peningkatan afterload).

Aritmia sering ditemukan pada pasien dengan gagal jantung dan


dihubungkan dengan kelainan struktural termasuk hipertofi ventrikel kiri pada
penderita hipertensi. Atrial fibrilasi dan gagal jantung seringkali timbul
bersamaan.

Alkohol dapat berefek secara langsung pada jantung, menimbulkan gagal


jantung akut maupun gagal jantung akibat aritmia (tersering atrial fibrilasi).
Konsumsi alkohol yang berlebihan dapat menyebabkan kardiomiopati dilatasi
(penyakit otot jantung alkoholik). Alkohol menyebabkan gagal jantung 2 –
3% dari kasus. Alkohol juga dapat menyebabkan gangguan nutrisi dan
defisiensi tiamin. Obat – obatan juga dapat menyebabkan gagal jantung. Obat
kemoterapi seperti doxorubicin dan obat antivirus seperti zidofudin juga dapat
menyebabkan gagal jantung akibat efek toksik langsung terhadap otot jantung.
c. Patofisiologi

Pada awal gagal jantung, akibat cardiac output yang rendah, didalam tubuh
terjadi aktivitas saraf simpatis dan system rennin angiotensin-aldosteron, serta
penglepasan arginin vasopressin yang kesemuanya merupakan mekanisme
kompensasi untuk mempertahankan tekanan darah yang adekuat. Pada disfungsi
sistolik terjadi gangguan pada ventrikel kiri yang menyebabkan terjadinya
penurunan cardiac output. Hal ini menyebabkan aktivasi mekanisme
kompensasi neurohormonal, sistem Renin – Angiotensin – Aldosteron (sistem
RAA) serta kadar vasopresin dan natriuretic peptide yang bertujuan untuk
memperbaiki lingkungan jantung sehingga aktivitas jantung dapat terjaga.

Aktivasi sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor menjaga


cardiac output dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan
kontraktilitas serta vasokonstriksi perifer (peningkatan katekolamin). Apabila
hal ini timbul berkelanjutan dapat menyeababkan gangguan pada fungsi
jantung. Aktivasi simpatis yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya
apoptosis miosit, hipertofi dan nekrosis miokard fokal.

Stimulasi sistem RAA menyebabkan penigkatan konsentrasi renin,


merupakan vasokonstriktor renal yang poten (arteriol eferen) dan sirkulasi
sistemik yang merangsang pelepasan noradrenalin dari pusat saraf simpatis,
menghambat tonus vagal dan merangsang pelepasan aldosteron. Aldosteron
akan menyebabkan retensi natrium dan air serta meningkatkan sekresi kalium.
Angiotensin II juga memiliki efek pada miosit serta berperan pada disfungsi
endotel pada gagal jantung.

Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide yang berstruktur hampir sama


yeng memiliki efek yang luas terhadap jantung, ginjal dan susunan saraf
pusat. Atrial Natriuretic Peptide (ANP) dihasilkan di atrium sebagai respon
terhadap peregangan menyebabkan natriuresis dan vasodilatsi. Pada manusia
Brain Natriuretic Peptide (BNO) juga dihasilkan di jantung, khususnya pada
ventrikel, kerjanya mirip dengan ANP. C-type natriuretic peptide terbatas
pada endotel pembuluh darah dan susunan saraf pusat, efek terhadap
natriuresis dan vasodilatasi minimal. Atrial dan brain natriuretic peptide
meningkat sebagai respon terhadap ekspansi volume dan kelebihan tekanan dan
bekerja antagonis terhadap angiotensin II pada tonus vaskuler, sekresi
ladosteron dan reabsorbsi natrium di tubulus renal. Karena peningkatan
natriuretic peptide pada gagal jantung, maka banyak penelitian yang
menunjukkan perannya sebagai marker diagnostik dan prognosis, bahkan
telah digunakan sebagai terapi pada penderita gagal jantung.

Disfungsi diastolik merupakan akibat gangguan relaksasi miokard,


dengan kekakuan dinding ventrikel dan berkurangnya compliance ventrikel
kiri menyebabkan gangguan pada pengisian ventrikel saat diastolik.
Penyebab tersering adalah penyakit jantung koroner, hipertensi dengan
hipertrofi ventrikel kiri dan kardiomiopati hipertrofik, selain penyebab lain
seperti infiltrasi pada penyakit jantung amiloid.

d. Klasifikasi

Beberapa klasifikasi telah dibuat untuk mempermudah dalam pengenalan


dan penanganan gagal jantung. Klasifikasi tersebut antara lain pembagian
berdasarkan Killip yang digunakan pada Infark Miokard Akut, klasifikasi
berdasarkan tampilan klinis yaitu klasifikasi Forrester, Stevenson dan NYHA.

1) Klasifikasi fungsional NYHA ( New York Heart Assoaciation )


Klasifikasi fungsional gagal jantung berdasakan kelugah sesak nafas
menurut New York Heart Association dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1. Klasifikasi gagal jantung menurut New York Heart Association

Kelas I Tidak terdapat batasan dalam melakukan aktivitas fisik.


Aktifitas fisik sehari-hari tidak menimbulkan kelelahan,
palpitasi, atau sesak
Kelas II Terdapat batas aktivitas ringan. Tidak terdapat keluhan saat
istirahat, namun aktivitas fisik sehari-hari menimbulkan
kelelahan, palpitasi, atau sesak nafas

Kelas III Terdapat batasan aktivitas bermakna. Tidak terdapat keluhan


saat istirahat tetapi aktifitas fisik ringan menyebabkan
kelelahan, paplpitasi atau sesak.

Kelas IV Tidak terdapat batasan aktifitas fisik tanpa keluhan, terdapat


gejala saat istirahat. Keluhan meningkat saat melakukan
aktivitas

2) Klasifikasi ACC / AHA ( American College of Cardiology / American


College Heart Association )

Tabel 2. Klasifikasi gagal jantung menurut American College of


Cardiology / American College Heart Association
Stadium A Memiliki resiko tinggi untuk berkembang menjadi gagal
jantung. Tidak terdapat gangguan fungsional jantung, tidak
terdapat tanda atau gejala

Stadium B Telah terbentuk penyakit struktur jantung yang berhubungan


dengan perkembangan gagal jantung, tidak terdapat tanda
atau gejala

Stadium C Gagal jantung yang symtomatis berhubungan dengan


penyakit struktural jantung yang mendasari

Stadium D Penyakit struktural jantung yang lanjut serta gagal jantung


yang sangat bermakna saat istirahat walaupun sudah
mendapat terapi medis maksimal

3) Klasifikasi KILLIP
Tabel 3. Klasifikasi gagal jantung menurut KILLIP
Derajat I Tanpa gagal jantung

Derajat II Gagal jantung dengan ronki basah halus di basal paru,


S3 gallop dan peningkatan tekanan vena pulmonalis

Derajat III Gagal jantung berat dengan edema paru seluruh lapangan
paru.

Derajat IV Syok kardiogenik dengan hipotensi (tekanan darah sistolik


90 mmHg) dan vasokonstriksi perifer (oliguria, sianosis
dan diaforesis)

4) Klasifikasi CSS ( Canadian Cardiovaskular Society)


Klasifikasi menurut CCS (Canadian Cardiovascular Society),
mengklasifikasikan pasien dengan gejala angina dalam beberapa kelompok
berdasarkan keparahan dari gejalanya dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel. 4 Klasifikasi CSS ( Canadian Cardiovaskular Society)

Temuan Tanda Grade


klinis

Tidak ada Aktivitas fisik biasa (seperti berjalan atau naik tangga) I
keterbatasan tidak menyebabkan angina. Angina dapat terjadi dengan
aktivitas pekerjaan berat yang cepat atau lama atau rekreasi.
biasa

Angina pektoris dapat terjadi dengan:


sedikit II
keterbatasan • berjalan atau naik tangga dengan cepat;
aktivitas
• mendaki berjalan menanjak, berjalan atau tangga
biasa
setelah makan atau di angin dingin atau di bawah stres
emosional;
• berjalan dua blok dari tingkat di kecepatan normal dan
dalam kondisi normal

menaiki tangga lebih dari biasanya dengan kecepatan


normal dan dalam kondisi normal

keterbatasan
Angina dapat terjadi setelah berjalan pada tingkat 1-2 III
aktivitas
blok atau menaiki tangga 1 dalam kondisi normal pada
fisik biasa
kecepatan normal

tidak mampu angina dapat hadir pada saat istirahat IV


melakukan
aktivitas
fisik

5) Klasifikasi Stevenson

Klasifikasi Stevenson menggunakan tampilan klinis dengan melihat


tanda kongesti dan kecukupan perfusi. Kongesti didasarkan adanya ortopnea,
distensi vena juguler, ronki basah, refluks hepato jugular, edema perifer, suara
jantung pulmonal yang berdeviasi ke kiri, atau square wave blood pressure pada
manuver valsava. Status perfusi ditetapkan berdasarkan adanya tekanan nadi
yang sempit, pulsus alternans, hipotensi simtomatik, ekstremitas dingin dan
penurunan kesadaran. Pasien yang mengalami kongesti disebut basah (wet)
yang tidak disebut kering (dry). Pasien dengan gangguan perfusi disebut
dingin (cold) dan yang tidak disebut panas (warm). Berdasarkan hal tersebut
penderita dibagi menjadi empat kelas, yaitu:

Tabel 5. Klasifikasi Gagal Jantung Kongestif menurut Stevenson

Kelas I (A) kering dan hangat (dry – warm)


Kelas II (B) basah dan hangat (wet – warm)

Kelas III (C) kering dan dingin (dry – cold)

Kelas IV (D) basah dan dingin (wet – cold)

e. Diagnosis
1) Gejala klinis

Secara klinis pada penderita gagal jantung dapat ditemukan gejala


dan tanda seperti sesak nafas saat aktivitas, edema paru, peningkatan
JVP, hepatomegali, edema tungkai Secara lebih rinci dapat dilihat di Tabel
6.

Tabel 6. Gambaran klinis Gagal Jantung Kanan dan Gagal Jantung Kiri

Gambaran klinis gagal jantung kiri Gambaran klinis gagal jantung kanan

Gejala : Gejala :

1. Penurunan kapasitas aktivitas 1. Pembengkakan pergelangan


2. Dipsnu (PND) kaki
3. Letargi atau kelelahan 2. Dipsnu (bukan PND)
4. Penurunan nafsu makan dan 3. Nyeri dada
berat badan 4. Penurunan aktivitas
Tanda : Tanda :

1. Kulit lembab 1. Denyut nadi meningkat


2. TD meningkat, rendah atau 2. Peningkatan JVP
normal 3. Edema
3. Denyut nadi (takikardi/aritmia) 4. Hepatomegali dan asites
4. Pergeseran apeks 5. Gerakan bergelombang
5. Efusi pleura parasternal
6. S3 atau S4 RV
7. Efusi pleura

Selain itu kriteria Firmingham dapat digunakan untuk diagnosis gagal


jantung kongestif. Menurut Framingham kriterianya gagal jantung
kongestif ada 2 kriteria yaitu kriteria mayor dan kriteria minor. Adapun
kriterianya adalah sebagai berikut:

1. Kriteria mayor terdiri dari:


a) Dispnea nokturnal paroksismal atau ortopnea
b) Peningkatan vena jugularis
c) Ronchi basah tidak nyaring
d) Kardiomegali
e) Edema paru akut
f) Irama derap S3
g) Peningkatan tekanan vena > 16 cm H2O

2. Kriteria minor terdiri dari:


a) Edema pergelangan kaki
b) Batuk malam hari
c) Dyspnea
d) Hepatomegali
e) Efusi pleura
f) Kapasitas vital berkurang menjadi ? maksimum
g) Takikardi (>100 x/ menit)

Diagnosis ditegakkan dari dua kriteria mayor atau satu kriteria mayor
dan dua kriteria minor harus ada di saat bersamaan.

2) Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dikerjakan untuk mendiagnosis


adanya gagal jantung antara lain foto thorax, EKG 12 lead,
ekokardiografi, pemeriksaan darah, pemeriksaan radionuklide, angiografi
dan tes fungsi paru.

Pada pemeriksaan foto dada dapat ditemukan adanya pembesaran


siluet jantung (cardio thoraxic ratio > 50%), gambaran kongesti vena
pulmonalis terutama di zona atas pada tahap awal, bila tekanan vena
pulmonal lebih dari 20 mmHg dapat timbul gambaran cairan pada fisura
horizontal dan garis Kerley B pada sudut kostofrenikus. Bila tekanan
lebih dari 25 mmHg didapatkan gambaran batwing pada lapangan paru
yang menunjukkan adanya udema paru bermakna. Dapat pula tampak
gambaran efusi pleura bilateral, tetapi bila unilateral, yang lebih banyak
terkena adalah bagian kanan.

Pada elektrokardiografi 12 lead didapatkan gambaran abnormal


pada hampir seluruh penderita dengan gagal jantung, meskipun gambaran
normal dapat dijumpai pada 10% kasus. Gambaran yang sering
didapatkan antara lain gelombang Q, abnormalitas ST – T, hipertrofi
ventrikel kiri, bundle branch block dan fibrilasi atrium. Bila gambaran
EKG dan foto dada keduanya menunjukkan gambaran yang normal,
kemungkinan gagal jantung sebagai penyebab dispneu pada pasien sangat
kecil kemungkinannya.

Ekokardiografi merupakan pemeriksaan non-invasif yang sangat


berguna pada gagal jantung. Ekokardiografi dapat menunjukkan gambaran
obyektif mengenai struktur dan fungsi jantung. Penderita yang perlu
dilakukan ekokardiografi adalah : semua pasien dengan tanda gagal
jantung, susah bernafas yang berhubungan dengan murmur, sesak yang
berhubungan dengan fibrilasi atrium, serta penderita dengan risiko disfungsi
ventrikel kiri (infark miokard anterior, hipertensi tak terkontrol, atau
aritmia). Ekokardiografi dapat mengidentifikasi gangguan fungsi sistolik,
fungsi diastolik, mengetahui adanya gangguan katup, serta mengetahui
risiko emboli.

Pemeriksaan darah perlu dikerjakan untuk menyingkirkan anemia


sebagai penyebab susah bernafas, dan untuk mengetahui adanya penyakit
dasar serta komplikasi. Pada gagal jantung yang berat akibat
berkurangnya kemampuan mengeluarkan air sehingga dapat timbul
hiponatremia dilusional, karena itu adanya hiponatremia menunjukkan
adanya gagal jantung yang berat. Pemeriksaan serum kreatinin perlu
dikerjakan selain untuk mengetahui adanya gangguan ginjal, juga
mengetahui adanya stenosis arteri renalis apabila terjadi peningkatan
serum kreatinin setelah pemberian angiotensin converting enzyme
inhibitor dan diuretik dosis tinggi. Pada gagal jantung berat dapat
terjadi proteinuria.

Hipokalemia dapat terjadi pada pemberian diuretik tanpa


suplementasi kalium dan obat potassium sparring. Hiperkalemia timbul
pada gagal jantung berat dengan penurunan fungsi ginjal, penggunaan
ACE-inhibitor serta obat potassium sparring. Pada gagal jantung
kongestif tes fungsi hati (bilirubin, AST dan LDH) gambarannya
abnormal karena kongesti hati. Pemeriksaan profil lipid, albumin serum
fungsi tiroid dianjurkan sesuai kebutuhan.

Pemeriksaan radionuklide atau multigated ventrikulografi dapat


mengetahui ejection fraction, laju pengisian sistolik, laju pengosongan
diastolik, dan abnormalitas dari pergerakan dinding.

Angiografi dikerjakan pada nyeri dada berulang akibat gagal


jantung. Angiografi ventrikel kiri dapat mengetahui gangguan fungsi yang
global maupun segmental serta mengetahui tekanan diastolik, sedangkan
kateterisasi jantung kanan untuk mengetahui tekanan sebelah kanan
(atrium kanan, ventrikel kanan dan arteri pulmonalis) serta pulmonary
artery capillary wedge pressure.

f. Terapi
1. Terapi pertama. Yang dapat dilakukan adalah mengoreksi atau
stabilisasi berbagai keabnormalan yang terjadi yang dapat menginduksi
munculnya CHF, misalkan iskemia dapat dikontrol dengan terapi medis
atau pembedahan, hipertensi harus selalu terkontrol, dan kelainan pada
katup jantung dapat ditangani dengan perbaikan pada katup tersebut.
2. Terapi non farmakologis. Dapat dilakukan dengan restriksi garam,
penurunan berat badan, diet rendah garam dan rendah kolesterol, tidak
merokok, olahraga.
3. Terapi farmakologis
I. Diuretics
II. Vasodilator Drugs
 Nitrate (isosorbide)
 Hydralazine (terutama apabila ditambah dengan regimen digoxin
dan terapi diuretic)
 Ace inhibitors (captopril, enalapril) : obat ini bekerja dengan
menghambat conversi angiotensin 1 menjadi angiotensin 2
melalui angiotensinconverting enzyme (ACE).
 ACE2 reseptor blocker (losartan) : obat ini mengeblok reseptor
A2, menyebabkan vasodilatasi dan menghambat proliferasi dari
sel otot. Obat ini biasanya digunakan pada pasien yang
intolerance terhadap ACE inhibitor, akibat efek samping yang
dapat ditimbulkan yaitu batuk.
III. Inotropic Drugs Digitalis glycosides (digoxin)
IV. Beta blockers Obat ini memiliki fungsi untuk memperbaiki fungsi
ventrikel kiri, gejala, dan functional class, serta memperpanjang
survival dari pasien CHF.beta blocker juga memiliki peranan
dalam memodifikasi cytokine (interleukin-10, tumor necrosis
alpha (TNF-alpha) dan soluble TNF reseptor (sTNF-R-1 dan R2)
pada pasien dengan kardiomiopati.

Indikasi pemakaian beta blocker:

a. Pasien yang tergolong dalam klas II dan III , klasifikasi


NYHA.
b. Hindari terapi ini pada pasien dengan NYHA klas I atau IV.
c. Sebelum menambahkan beta blocker, pastikan bahwa pasien
stabil dan dalam terapi standard gagal jantung.
d. Mulai pemakaian terapi betablocker dengan memakai dosis
rendah (carvedilol 3.125 mg PO bid; metoprolol CR/XL, 12.5
mg PO qd; bisoprolol, 1.25 mg PO qd) e. tingkatkan dosis
dengan interval waktu 2 sampai 3 minggu (carvedilol, 25-50
mg PO bid; metoprolol CR/XL, 200 mg PO qd; bisoprolol, 10
mg PO qd)

Kontraindikasi pemakaian beta blocker terapi pada CHF:

 Peningkatan berat badan


 Peningkatan dosis diuretic
 Kebutuhan untuk diuretik intravena ataupun obat inotropik
 Didapatkan keadaan yang kian memburuk dari CHF
 Bronchial asma atau emphysema
 Bradycardi
 Hipotensi
 Blok jantung derajat pertama dan ketiga
V. Aldosterone antagonis contoh spironolactone sebaiknya
dipertimbangkan pada pasien dengan gagal jantung berat dan
tidak ada kecurigaan adanya renal insufficiency atau
hiperkalemia.
VI. Antiarrhythmic Therapy
VII. Anticoagulant Therapy (untuk mengurangi resiko terjadinya
emboli pada pasien dengan atrial fibrilasi, tapi tidak diindikasikan
pada pasien yang aktif dan tidak punya riwayat emboli)
4. TERAPI INFASIF
a) Coronary Reperfusion, terutama pada akut gagal jantung berulang
dihubungkan dengan edema pulmonary.
b) Valvular Heart Disease.
c) Reduction ventriculoplasty meliputi eksisi pada bagian dari otot
ventrikel kiri yang diskinetik. Hal ini biasanya dilakukan pada gagal
jantung klas akhir.
d) Transmyocardial laser revascularization
e) Prosedur operasi perbaikan fungsi jantung
a. intra-aortic balloon pump
b. permanent implantable balloon pump
c. total artificial heart
f) Transplantasi Jantung (terapi paling efektif pada keadaan gagal
jantung berat).
Sumber:

Sitompul B, Sugeng JI. Buku Ajar Kardiologi-Gagal jantung. Jakarta: Penerbit


Gaya baru. 2002. Halaman 115-126.

Santoso A, Erwinanto, Munawar M, Suryawan R, Rifqi S, Soerianata S.


Diagnosis dan Tatalaksana Praktis Gagal Jantung Akut. 2007.

Kabo P, Sjukri K. EKG dan Penanggulangan Beberapa Penyakit Jantung untuk


Dokter Umum: Gagal jantung Kongestif. 1996. Jakarta: Balai Penerbit FK
UI:187-205.

National Clinical Guideline Centre. 2010. Chronic Heart Failure: National


Clinical Guideline for Diagnosis and Management in Primary and Secondary
Care: Partial Update. National Clinical Guideline Centre: 34–47.

Anda mungkin juga menyukai