Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Sistem reproduksi merupakan sistem yang memiliki kedudukan penting
bagi seluruh organisme karena sistem semua mamahluk hidup memiliki batas
rentang tertentu untuk hidup, selanjutnya akan menghadapi ajal. Maka untuk
mempertahankan eksistensi diperlukan suatu mekanisme yaitu bereproduksi.
Diketahui berbagai macam mekanisme reproduksi berbeda yang dilakukan oleh
spesies organisme yang berbeda. Pada invertebrate dengan vasiasi spesies yang
sangat beragam dikenal reproduksi seksual dan seksual. Sedangkan pada
organisme vertebrata hanya mempunyai satu cara yaitu melalui reprosuksi sesual.
Sistem reproduksi terdiri atas organ-organ reproduksi serta sistem
hormonal yang mendukung koordinasi sistem organ. Karena pernannya yang
begitu penting bagi kehidupan maka penting kiranya mempelajari sistem
reproduksi.
B. Tujuan
1. Mengetahui faal sistem reproduksi jantan pada invertebrate
2. Mengetahui faal sistem reproduksi jantan pada vertebrata
3. Menganalisis perbedaan sistem reproduksi pada hewan invertebrate dan
vertebrata
4. Mengaitkan dengan integrasi sains dan islam.
BAB II
PEMBAHASAN

C. Pengertian dan Arti Penting Reproduksi


Reproduksi adalah mekanisme yang dilakukan suatu spesies untuk
mempertahankan eksistensi, dengan cara menghasilkan keturunan (Dahlgren dan
Kepner, 1908). Seluruh organisme memiliki periode waktu tertentu, hingga
akhirnya menemui ajal. Oleh sebab itu, pada organisme multiselular, terdapat sel
khusus yang akan terpisah dari individu induknya, dan pada kondisi mendukung,
akan tumbuh menjadi individu baru, sel inilah yang disebut sel reproduktif
(Dahlgren dan Kepner, 1908). Keberlangsungan eksistensi suatu spesies
bergantung pada kemampuan individu dan populasi untuk berepreduksi
(Hodgson, 2009).
Sel reproduktif sendiri menurut Dahlgren dan Kepner (1908) terdapat dua
macam yaitu aseksual dan seksual. Sel reproduktif aseksual umumnya disebut
spora, dengan karakteristik dapat berkembang secara langsung tanpa melibatkan
konjugasi untuk terbentuk individu baru. Reproduksi aseksual hanya terjadi pada
tumbuhan dan hewan tingkat rendah, misalnya pada sel-sel pollen Magnolia.
Sedangkan sel-sel reproduktif seksual disebut sebagai gamet. Karakteristik
gamet yaitu apabila tidak terjadi pertemuan antara dua gamet yang setara, dalam
arti berasal dari satu spesies, maka tidak akan berkembang individu baru. Gamet
berbeda dari sel lain yang digunakan dalam fragmentasi, tunas maupun bagian
tubuh lain yang dipisahkan dari induknya untuk membentuk individu baru,
melainkan dibentuk melalui serangkaian proses yang disebut maturasi. Maturasi
melibatkan dua pembelahan seldan sebuah reduksi jumlah kromosom sel menjadi
setengah dari sel induk. Pada kasus ini, setiap sel tidak akan berkembang menjadi
individu baru hanya dengan sel itu sendiri melainkan bersatu dengan sel
reproduktif lain, yang umumnya merupakan derivat dari individu lain dalam satu
spesies, melalui proses analog hingga ke proses reversal dari pembelahan sel
amitotik gabungan dua gamet berfusi menjadi satu sel , dengan jumlah krmosom
penuh, yang merepresentasi dimulainya kehidupan baru dari suatuspesies.
Penyatuan gamet disebut sebagai konjugasi. (Dahlgren dan Kepner, 1908)
Setiap spesies memiliki sel-sel reproduktif-nya masing-masing, namun secara
umum terdapat dua macam bentuk sel reproduktif yaitu jantan dan betina. sel
reproduktif betina disebut ovum, sedangkan sel reproduktif jantan disebut
spermatozoa. Umumnya sel ovum berukuran lebih besar dan memiliki material
yang berfungsi sebagai makanan untuk bentuk awal kehidupan ketika terjadi
fertilisasi, dan spermatozoa umumnya lebih kecil dan memiliki organ lokomosi
yang menyokong pergerakan untuk menempuh jarak singkat yang memisahkan
keduanya ketika hendak terjadi fertilisasi, dalam hal ini ovum bertindak pasif.
(Dahlgren dan Kepner, 1908)
Ketika terjadi penyatuan gamet, ovum dan spermatozoa membentuk satu sel
(sel tunggal), yang disebut oosperm/ zigot, yang memiliki kedudukan setara
secara kualitatif dan kuantitatif dengan sel induk organisme tersebut. Melalui
serangkaian pembelahan dan diferensiasi sel-sel somatic, maka terbentuklah
organisme baru. (Dahlgren dan Kepner, 1908)
Beberapa sel hasil pembelahan zigot tersebut tidak terdiferensiasi melainkan
terus membelah seiring waktu menjadi sel-sel yang persis homolog dengan
oosperm, sel-sel inilah yang disebut sel reproduktif atau sel germinal. Mereka
menjadi semakin kecil akibat pembelahan, namun pembelahan terjadi hampir
mendekati equal. Sel-sel tersebut akan matang ketika individu telah mencapai
tahap dewasa setelah melalui proses tumbuh dalam ukuran tubuh, serta menjadi
matang dan mendapat porsi tubuh sama seperti orang tuanya, yang suatu saat akan
menemui ajal namun sel germinalnya yang bersatu dengan sel germinal yang lain
telah membentuk individu baru. Hingga periode pertumbuhan dan pematangan
tiba, sel-sel tersebut sulit ditentukan apakah jantan atau betina, meskipun jenis
kelaminnya sebenarnya telah ditentukan. Sel-sel germinal menjadi bagian dari
massa tubuh berbagai hewan, bersama dengan jaringan ikat dan jaringan lain
membentuk gonad. (Dahlgren dan Kepner, 1908)

D. Pertumbuhan dan Perkembangan Sel-sel Reproduktif Jantan secara Umum


Pada tahap perkembangan awal sel-sel reproduktif jantan berupa sel yang
lebih besar berupa sel mesodermal atau ektodermal, yang bersama dengan sel
tetangga yang lebih mudah diidentifikasi berdasarkan posisinya dan jaringan yang
mengelilinginya dari pada struktur sel itu sendiri. Tidak seperti pada awal
perkembangan ovum, sel-sel ini tidak memiliki cadangan makanan dalam jumlah
besar di dalam selnya. Dan sel tetangga yang berada di sekitarnya kemudian
terdiferensiasi menjadi sel nutritive yang mensuplai nutrisi selama tahap akhir
perkembangan. Sel-sel ini kemudian disebut nurse cells atau sel sertoli. (Dahlgren
dan Kepner, 1908)
Sel-sel reproduktif jantan pada awalnya bertaburan di sepanjang area yang
akan menjadi wilayah gonad atau pada permukaannya. Seiring perkembangannya,
sel-sel tersebut ter-segregasi menjadi berkelompok dalam massa membulat atau
region yang memanjang yang pada mamalia disebut tubulus seminiferus. Kita
dapat menyebutnya spermatic lobules. Bersamaan dengan matangnya sperma,
lobule memiliki ductus yang menghubungkannya ke rongga tubuh atau keluar dari
tubuh menuju ke air yang berada disekelilingnya. (Dahlgren dan Kepner, 1908)
Sebagian lobules merupakan massa yang solid ketika sel-sel reproduktif
masih belum matang, hingga sperma matang dan siap untuk ditembakkan, yaitu
ketika seluruh massa dapat mengalir melalui channel sperma dengan cara
merobek dinding lobular. Lobule yang lain, dimana awalnya solid, selanjutnya
akan membentuk lumen. Ini hanya jika spermatozoa mulai matang dan lumen
terbentuk di bagian center lobule. Adanya lumen memberikan ruang bagi sel-sel
reproduktif yang kemudian membentuk barisan tunggal maupun berlapis banyak
pada dinding lobule dan kini biasa disebut reproduktif epithelium. Reproduktif
epithelium ini kemudian terus membelah, pada hewan yang telah terdiferensiasi
dengan baik, reprodukstif epithelium menjadi serangkaian kelompok sel yang
sangat penting dan pokok dalam karakter disbanding sekedar lobule. Lobule
sebenarnya merupakan fitur anatomic, umumnya berukuran kecil pada Crustacea,
dan lebih besar pada sebagian mamalia, dimana ini membentuk tubulus
seminiferus. Ini merupakan kelompok pokok dari sel-sel reproduktif jantan, yang
dapat kita sebut kolom sperma, merupakan kelompok yang lebih kecil didasarkan
pada relasinya terhadap sel sertoli, dan biasanya terdapat lebih dari satu sel sertoli.
Lumen lobule dianggap sebagai distal, sedangkan kapsul merupakan proximal.
(Dahlgren dan Kepner, 1908)
Gonad jantan berbeda secara histologis tergantung pada musim dan di cara
pematangan. Pada beberapa organisme pematangan sperma hanya terjadi sekali
seumur hidupnya, dan yang lain mengalami pematangan dengan cara yang
berbeda dan mengembangkan sel-sel testis setiap tahunnya. Pada bentuk yang
seperti ini maka tidak ditemukan kolom segregasi sperma dan diketahui bahwa
setiap lobule mematangkan seluruh spermanya dalam sekali waktu dalam satu
masaa. Lobule semacam ini bukanlah struktur permanen, namun akan segera
dihancurkan setelah peluncuran spermatozoa. (Dahlgren dan Kepner, 1908)
Pada jenis hewan yang lain sperma diproduksi untuk periode panjang atau
berlangsung terus-menerus, seperti pada manusia. Disini lobule biasanya
merupakan struktur permanen dan residuum dari sel-sel reproduktif, seperti
spermatogonia, umumnya terdapat pada basement membrane. Pada suatu periode,
spermatogonia akan yang mulai matang dan terus mengalami perkembangan akan
meninggalkan bagian basal berpindah kea rah distal menuju successive layer yang
merupakan tempat pematangan, hingga ia mencapai lumen yang artinya mereka
telah berubah menjadi sel-sel reproduktif jantan yang fungsional. (Dahlgren dan
Kepner, 1908)
Sel sertoli umumnya terdapat pada basement membrane. Sel-sel ini
membantu pertumbuhan spermatid da ikut berpindah ke arah proksimal hingga
spermatid di tembakkan. Seluruh sel dalam satu kolom sperma umumnya matang
secara bersamaan. Pada ikan pari terdapat periode produksi sperma panjang dan
seasonal yang terjadi bersamaan dengan sseri pembentukan lobule spermatic baru
dari pusat germinatif. Bersamaan dengan kematangan ini, mereka bergerak
menjauhi pusat germinal hingga ketika matang, mereka menyobek dan
menghancurkan permukaan testis, sehingga spermatozoa dapat mencapai ductus
seminal. Lobule tersebut menunjukkan susunan teratur kolom sperma. (Dahlgren
dan Kepner, 1908)
Perkembangan spermatogonium menjadi empat spermatozoa merupakan
proses sitologikal yang menarik. Dimulai pada layer basal yaitu spermatogonium,
yang sel-sel menanti datangnya musim pembiakan, dan selanjutnya melalui fase
kontraksi atau synizesismasing-masing sel mengalami pertambahan ukuran dan
menjadi spermatosit pada urutan pertama. Spermatosit ini terletak pada lapisan
kedua dari reproduktif epithelium dan dengan segera bergerak kembali bersamaan
dengan pembelahan reduksi yang pertama, yang menghasilkan dua spermatosit
tahap dua. Umumnya kemudian spermatosit ini membelah kembali memproduksi
empat spermatid tanpa merubah susunan kromosom. Sehingga masing-masing
spermatid memiliki setengah dari kromosom spermatogonium. Empat spermatid
ini yang kemudian berkembang menjadi spermatozoa. (Dahlgren dan Kepner,
1908)

Gambar 1. Spermatogenesis (Campbell, 2006)

Differensiasi temporal yang amat kentara tampak pada perubahan bentuk


spermatid yang beradaptasi untuk menyokong pergerakannya, menjadi bentuk
akhir yang disebut spermatozoon. Spermatozoon memiliki bentuk yang amat
beragam. Hal ini dapat dipahami sebagai bentuk adaptasinya terhadap tujuan
spermatozoon sendiri yaitu untuk mentrasfer nucleusnya ke sel ovum. Ada dua
macam transportasi yang yaitu, melalui gerakan amoboid yang dilakukukan dalam
sitoplasma yang tidak terdiferensiasi, yang terjadi pada spermatozoa beberapa
spesies Crustacea, cara kedua yaitu mengembangkan satu atau lebih flagella atau
proses sitoplasmik permanen yang mendukung pergerakan sel dengan berenang
bukan merangkak seperti pergerakan amoboid. Sebagian besar spermatozoa
merupakan tipe perenang dan umumnya dia dikung oleh flagellum tunggal.
(Dahlgren dan Kepner, 1908)
Pada spermatozoa pada umumnya nucleus tampak tertekan hingga
membentuk badan oval yang terletak pada bagian anterior, sehingga disebut
bagian kepala. Nucleus tersusun atas jumlah tereduksi dari jumlah kromosom
normal individu, yang akan sangat sulit teramati pada fase ini karena membentuk
struktur kromatin yang memadat. Kepala spermatozoon tidak selalu oval, pada
beberapa spesies berbentuk lebih memanjang atau membentuk tapal kuda. Bagian
terminal kepala biasanya berbentuk lancip, namun ada pula yang tumpul, bagian
ini dinamakan acrosome. (Dahlgren dan Kepner, 1908)
Massa lebih berat terletak pada bagian tengah (middle-piece), tepat di
belakang kepala, yang merupakan badan selspermatozoon dan mengandung
strukktur yang nantinya akan menjadi sentrosom. Middle-piece ini merupakan
perkembangan dari accessory nucleus, merupakan badan yang ditemukan pada
spermatid. Pada middle-piece terdapat tubuh bulat yang terletak tepat dibelakang
nucleus dan mengandung kromatik, disebut sebagai end-knob. Biasanya terdapat
struktur menyerupai cincin yang berlekatan dengan ini. Pada beberapa jenis
spermatozoon middle-piece dapat lebih besar dari kepala. (Dahlgren dan Kepner,
1908)
Gambar 2. Tipe flagellate pada spermatozoon, diagram berdasarkan bentuk asli dari beberapa
jenis spesies. A. Meles; B. Kelelawar, Vesperugo; C. Tupai, Dydelphys; D. Burung, Muscicaps; E.
Ikan, Acipenser; F. Kepiting, Porcellana; G. Lobster, Homarus; H. Crustacean, Polyphemus;
Insekta, Calathus; Salamander, Triton; K. Ular, Coluber. (Dahlgren dan Kepner, 1908)

Bagian distal di belakang end-knob pada beberapa mamalia berupa struktur


menyerupai benang yang disebut axial filament. Filament ini kontinyu dari akhir
middle-piece hingga flagellum. Flagellum disebut sebagai ekor yang tersusun atas
struktur fibrillar menyerupai otot polos. Sitoplasma melingkupinya sebagai
tudung disepanjang flagellum kecuali pada bagian akhir distal yang disebut end-
piece. (Dahlgren dan Kepner, 1908)
Tudung sitoplasma menghasilkan struktur particular yang melindungi ekor
dan memberikan resistensi terhadap fluida yang dilaluinya ketika ia berenang.
Disebut sebagai fin, berupa filament atau pita yang sangat panjang yang
melingdungi bagian tepi ekor dan membentuk susunan spiral. Dahlgren dan
Kepner, 1908)
E. Faal Sistem Reproduksi Jantan pada Hewan Invertebrata
Invertebrata mencakup seluruh hewan multiseluler yang tidak memiliki
tulang belakang maupun protista uniselular. Sebagian besar animalia merupakan
invertebrate, oleh sebab itu mereka sangat beragam yang dapat di klasifikasikan
ke dalam 30 phyla. Invertebrate dapat ditemukan baik di habitat akuatik maupun
terrestrial, dari kutub hingga wilayah tropis. Dengan rentang ukuran tubuh dari
mikroskopik, yang hidup diantara butiran pasir misalnya Nematoda, hingga yang
sangat besar misalnya Archiuthis yang dapat mencapai 16 m hidup di laut dalam.
Dengan kompleksitas tubuh yang juga bervariasi, mulai dari uniseluler,
multiseluler dengan desain tubuh sangat sederhana yang sel-selnya belum
terorganisir dalam jaringan yaitu pada Porifera, hingga organisme dengan
kompleksitas tinggi seperti arthropoda dan molluska. (Hodgson, 2009)
Keberagaman pada golongan invertebrate juga tampak pada caranya
bereproduksi. Namun secara garis besar dapat dikelompokkan ke dalam dua sifat
yaitu aseksual dan seksual.
1. Reproduksi Aseksual
Reproduksi aseksual tidak melibatkan pertemuan gamet, tidak terjadi
fertilisasi sel telur oleh sperma (Hodgson, 2009). Aseksual dapat terjadi
melalui dua metode yaitu secara vegetative maupun melalui produksi telur
tanpa pembuahan (unfertilized egg).

a. Metode Vegetatif
Spesies-spesies invertebrate akuatik, antara lain Porifera, Cnidaria,
Ectoprocta (Bryozoa) melakukan replikasi melalui pembentukan tunas
untuk membentuk individu baru yang dapat membentuk koloni. Pada
beberapa spesies individu dalam koloni saling terhubung misalnya pada
coral polyp. Sedangkan pada individu yang lain, misalnya anemon
soliter, turbellarian, Plathyhelminthes, dan beberapa echinodermata, satu
bagian tubuh dapat terpisah dari induknya dan berkembang menjadi
individu baru yang soliter. (Hodgson, 2009)
Salah satu metode vegetative yaitu yang dilakukan oleh starfish dari
Phylum Echinodermata yang dapat membelah menjadi dua dan masing-
masing bagian menumbuhkan lengan yang baru untuk membentuk dua
individu. Metode ini disebut fragmentasi. (Hodgson, 2009)

Gambar 3. A. Hydrozoa yang membentuk koloni (Fofonoff, dkk. 2003). B. Anemon yang melakukan
pembelahan membentuk dua individu baru (Campbell, dkk. 2006). C. Fromia monilis bereproduksi
dengan fragmentasi (Antokhina, dkk. 2007). D. Plathyhelminthes yang mampu melaksanakan paratomy
(Sastry, 2014).

Turbellarian cacing pipih yang hidup di air tawar dapat melakukan


reproduksi vegetative dengan melakukan pembelahan melintang atau
disebut tunas/ budding. Selama proses budding, zooid akan melakukan
diferensiasi organ-organ disepanjang tubuh induk sebelum akhirnya
melakukan pembelahan yang memisahkan tubuhnya menjadi dua bagian
dan selanjutnya menjadi dua individu baru. Reproduksi aseksual ini juga
disebut sebagai paratomy. Paratomy juga terjadi pada beberapa familia
cacing Polychaeta (Phylum Annelida). (Hodgson, 2009)
Larva Trematoda, parasit internal merupakan kelas dari Phylum
Plathyhelminthes dapat melakukan replikasi menjadi jumlah yang luar
biasa banyak melalui pembelahan ameiotik (bukan meiosis). Beberapa
jenis larva parasit lain juga melakukan pembelahan aseksual serupa.
Pembelahan aseksual menghasilkan keturunan identik secara genetic
dengan induknya. Jika tidak terjadi mutasi, maka tidak terdapat ruang
untuk terjadinya keanekaragaman genetic dalam populasi, karena
replikasi terjadi secara ameiotik sehingga tidak terjadi mixing gen.
(Hodgson, 2009)

b. Parthenogenesis
Parthenogenesis merupakan salah satu metode vegetative untuk
menghasilkan individu baru. Parthenogenesis (virgin birth) merupakan
telur tanpa dibuahi yang tumbuh menjadi individu baru. Menurut
Hodgson (2009) parthenogenesis dibedakan menjadi tiga yaitu
Arrenotoky yaitu keturunan yang dihasilkan merupakan jantan haploid,
thelytoky yaitu menghasilkan keturunan betina dan amphitoky yang
menghasilkan jantan maupun betina. Pada lebah (Ordo Hymenoptera)
sang betina yang menentukan apakah telur tersebut dibuahi atau tidak
dengan mengatur pelepasan sperma.

Gambar 4. Struktur Anatomi Reproduksi Jantan pada Insekta (Cambpell, 2006)

Sedangkan pada helytoky terdapat dua macam yaitu apomixis dan


automixis. Pada apomixes terjadi penekanan pada meiosis, sehingga
maturasi hanya terjadi pada satu sel meiotic. Keturunan memiliki sifat
identik dengan induk. Pada automixis, terjadi meiosis secara normal
sehingga terbentuk 4 haploid nuclei dari setiap gametofit. Apabila
pronuclei melebur maka terbentuklah diploidy. Thelytoky dapat terjadi
secara obligat maupun siklikal. (Hodgson, 2009)

Gambar 5. Parthenogenesis pada Hymenoptera (Ellis, dkk. 2011)

Thelytoky obligat hanya terjadi pada sebagian kecil spesies


invertebrate, dari sekian ribu spesies, misalnya pada bdelloid rotifers
(Phylum Rotifera). Hal yang menakjubkan dari bdelloid rotifers adalah
bagaimanapun meski tidak terjadi interaksi seksual, namun terjadi
genetic mixing, organisme ini mampu menyatukan fragmen DNA dari
organisme lain (misalnya bacteria, fungi, tumbuhan dan dapat pula jenis
rotifer lain) ke dalam genomnya. Ini dikenal sebagai horizontal gene
transfer dan hal ini menjadi penjelasan fundamental mengapa hewan
aseksual memiliki keberagaman yang amat tinggi, lebih dari 360 spesies.
(Hodgson, 2009)
Gambar 6. bdelloid rotifers yang bereproduksi secara thelytoky obligat (Singer, 2014)
Parthenogenesis siklikal dapat ditemukan pada sebagan kecil
kelompok diantaranya monogonont rotifers, aphids dan cladocerans
(Crustacea) yaitu Daphnia. Selagi beberapa generasi bereproduksi secara
aseksual, pada suatu tahap dalam siklus hidup, terjadi reproduksi seksual.
Pada Daphnia, reproduksi seksual dapat dipicu oleh tingginya densitas
maupun oleh tingkat stress lingkungan. (Hodgson, 2009)

Gambar 7. Daphnia (Clare, 2002)


Jenis parthenogenesis yang lain yaitu dibutuhkan partisipasi dua
jenis kelamin untuk melaksanakan reprosuksi. Beberapa spesies cacing
nematode, tungau, kumbang dan kutu, unfertilized eggs tidak dapat
dihasilkan jika sang betina tidak dikawini oleh pejantan, meskipun sang
jantan tidak memiliki kontribusi genetic terhadap keturunan. Ini disebut
sebagai gynogenesis (pada tumbuhan disebut sebagai pseudogamy-
perkawinan semu). Dan situasi yang lebih mencengangkan terjadi pada
salah satu spesies kumbang Ptinus clavipes dimana spesies tersebut tidak
memiliki jenis jantan. Untuk menghasilkan individu baru, betina spesies
ini memerlukan pejantan yang umumnya merupakan spesies berbeda
dengan hubungan kerabat yang dekat misalnya P. pusillus, namun
tentunya tidak terjadi peleburan gamet. (Hodgson, 2009)

2. Reproduksi Seksual
Sebagian besar invertebrate bereproduksi secara seksual. Bila
dibandingkan dengan reproduksi aseksual, reproduksi seksual harus dibayar
lebih mahal dengan energy yang lebih besar. Hal ini karena energy tidak
hanya digunakan dalam pembentukan gamet, namun juga untuk mencari
tempat, mencari pasangan dan melakukan perkawinan secara aman, kopulasi,
serta menyediakan sumber nutrisi (umumnya dalam bentuk lemak dan
protein) untuk perkembangan individu muda. Banyak kasus courtship dan
mating jauh dari kata harmonis dan sering kali terjadi antagonisme antara
kedua jenis kelamin, disebut sebagai sexual conflict. Selain itu, reproduksi
juga membahayakan imunitas hewan, karena membuat lebih rentan terhadap
pathogen dan parasit. Paada banyak spesies, reproduksi seksual harus dibayar
mahal dengan berkurangnya umur dan menurunnya kestabilan tubuh. Hal
inilah yang mungkin merupakan alasan mengapa reproduksi biasanya
merupakan aktivitas pertama yang dihentikan ketika hewan mengalami stress
atau terjadi kelangkaan sumber makanan. (Hodgson, 2009)
Hingga kini alasan mengapa reproduksi seksual masih dipertahankan,
ketika reproduksi aseksual dapat terjadi pada banyak spesies, masih menjadi
perdebatan. Salah satu teori menyatakan bahwa seks membawa keuntungan
bagi terbentuknya variasi melalui mixing gen. hal ini karena reproduksi
seksual melibatkan formasi haploid gamet (spermatozoa dan ovum) melalui
meiosis dengan gonad (testis pada jantan dan ovarium pada betina) dan
terjadinya fusi gamet (syngamy) untuk menghasilkan zigot yang diploid. Fusi
gamet dengan ukuran yang berbeda jauh disebut sebabai anisogamy.
(Hodgson, 2009)
Reproduksi seksual yang terjadi pada invertebrate terdiri atas
gonochorism atau dioechism dimana jenis kelamin berbeda terdapat pada
individu terpisah, dan hermaphroditism dimana genetic individu akan
memproduksi gamet jantan dan betina selama hidupnya. (Hodgson, 2009)

Gambar 8. Struktur reproduksi Coreus marginatus (Karakaya, dkk., 2012)

a. Gonochorist (dioecism)
Pada banyak spesies gonochoristic sangat sulit membedakan jantan
dan betinanya meskipun jika dilakukan diseksi dan pengujian terhadap
sistem reproduuksi. Namun adapula beberapa spesies yang menampakkan
perbedaan ukuran sangat menonjol antara jantan dan betina, disebut
dimorphism, umumnya terjadi akibat sexual selection. Umumnya jantan
secara signifikan memiliki ukuran lebih ecil (50% lebih kecil) dari
betinanya, disebut male dwarfism. Hal ini tampak pada beberapa cacing
polychaeta, cacing echiuran, copepod, bivallvia, Argonauta, dan beberapa
serangga. Beberapa spesies individu jantan nematode hidup melekat pada
betina, dan saat gonad matang ia akan menuju oviduk betina untuk
membuahi telur. (Hodgson, 2009)
Pada gonochorist umumnya memiliki rasio jantan dan betina
1:1,namun ada banyak pengecualian untuk pernyataan tersebut. Beberapa
faktor turut berpengaruh diantaranya lingkungan, genetic, dan data terbaru
melaporkan mikroorganisme (khususnya bakteri) mampu memanipulasi
jenis kelamin invertebrate, diantaranya yaitu pada isopoda amipoda,
kumbang dan beberapa insekta. Bakteri yang sering menginfeksi yaitu
Wolbachia yang hidup dalam tubuh betina dan dapat ditransmisi ke
keturunannya. Beberapa bakteri mampu menyebabkan feminism, yaitu
memicu perubahan jenis kelamin jantan menjadi betina selama masa
perkembangan. Pada bakteri yang lain menyebabkan kematian pada jantan
selama embryogenesis atau perkembangan larva, sedangkan pada beberapa
kumbang dan kutu beberapa jenis bakteri menginduksi perkembangan
parthenogenesis. (Hodgson, 2009)

b. Hermaproditsm (monoechism)
Beberapa invertebrate memproduksi ovum dan juga spermatozoid
sekaligus, baik dalam satu gonad (ovotestis) ataupun dalam ovary dan
testis yang berlainan. Dalam satu individu akan memiliki organ reproduksi
jantan dan betina. Di sisi lain terjadi perubahan seksual pada individu yang
mengawali hidupnya sebagai jantan dan menjadi betina di kemudian waktu
(protandry) atau sangat jarang sebagai betina dan kemudian berubah
menjadi jantan (protogyny). Sehingga beberapa spesies mengalami
pergantian jenis kelamin secara berkala, contohnya tiram Crassostrea
virginica yang pertama kali matang gonad sebagai jantan dan kemudian
menjadi betina, hingga setelah beberapa tahun menjadi jantan kembali.
(Hodgson, 2009)
Gambar 9. Atas Cacing tanah bersifat Hermaphrodite dengan periode kematangan gamet
tidak bersamaan maka terjadi mating dua individu. Bawah struktur anatomi sistem
reproduksi Cacing (Campbell, 2006).

Reproduksi pada mahluk hidup tentunya tidak bisa lepas dari peranan struktur
anatomi serta hormone reproduksi yang berperan menjalankan satuan fisiologis
reproduksi mahluk hidup, tak terkecuali pada invertebrate. Invertebrata memiliki
struktur yang lebih sederhana dari vertebrata. Meskipun memiliki keragaman yang
rumit, kajian mengenai hormone yang berperan dalam reproduksi hewan
invertebrate masih sangat sempit sehingga hanya diketahui beberapa hormone
yang berperan dalam reproduksi invertebrate. Berikut beberapa struktur
invertebrate dan hormone yang berpengaruh dalam reproduksinya,

Sel-sel neurosekresi terdapat pada terutama hewan rendah kecuali hewan


bersel satu. Pada Coelenterata dan annelida tidak terdapat kelenjar endokrin tapi
mekanisme neurosekresi mengatur pertumbuhan dan reproduksi. Demikian juga
pada cacing pipih dan nematoda hanya mempunyai mekanisme neurosekresi.
Hewan rendah yang mempunyai kelenjar endokrin ialah Cephalopoda, Arthropoda
dan hewan yang lebih kompleks lainya. Pada Crustacea terdapat kelenjar sinus
pada insekta ada korpus kardiakum.kedua kelenjar tersebut sama dengan
neurohipofisis (hipofisis bagaian belakang) pada vertebrat. Jadi pada dasarnya
hewan rendah maupun vertebrata terdapat suatu hub ungan antara sistem syaraf
dengan kelenjar endokrin. Hipotisis pada vertebrata disebut kelenjar
neuroendokrin. (Campbell, dkk. 2006)

Coelenterata
Pada Coelenterata selurah sistem syaraf bekerja sebagai sistem neurosekresi.
Misalnya pada ubur-ubur syaraf cincin sirkum oral dengan serabut radialnya
mempunyai sel-sel neurosekresi. Neurohormon belum diketahui strukturnya tapi
mempunyai fungsi penting misalnya untuk proses melepaskan gamet. Pada
Coelenterata (hewan berongga) misalnya Hydra, sel sarafnya menghasilkan bahan
kimia yang disebut neuropeptida. Bahan tersebut merangsang terjadinya
pertumbuhan, regenerasi, dan reproduksi. (Campbell, dkk. 2006)

Platyhelminthes
Pada cacing pipih sel-sel neurosekresi terdapat pada ganglion otak. Fungsinya
belum diketahui tapi diduga belum mempunyai peranan dalam proses regenerasi.
(Campbell, dkk. 2006)
Annelida
Sel-sel neurosekresi pada annelida terdapat pada ganglion supraoesofagus,
ganglion suboesufagus dan ganglion ventral. Neuro hormon pada cacing tanah
banyak diselidiki peran neurohormon pada annelida ialah dalam fungsi:
1. Tumbuh dan regenerasi
2. Transformasi somatik berkenaan dengan reproduksi
3. Pemotongan ganda dan perkembangan seksual
4. Menentukan ciri-ciri kelamin luar (sekunder)
5. Penyembuhan luka. (Campbell, dkk. 2006)

Mollusca
Sel neurosekresi terdapat pada gangloin otak molluska. Pada molluska terdapat
pula kelenjar endokrin seperti pada vertebrata. Kelenjar tersebut misalnya kelenjar
optik pada Octopus.

Pada sejenis siput jika tentakel dibuang hasilnya pembentukan telur pada ovotestis
dipercepat. Jika ekstrak tentakel disuntikkan merangsang produksi sperma.
Ekstrak ganglion otak merangsang produksi telur. Dari contoh diatas
menunjukkan bahwa baik otak maupun tentakel berisi sel-sel neurosekresi yang
menghasilkan hormon (neurohormon).

Neurohormon dari tentakel merangsang produksi sperma sedang dari otak


merangsang perkembangan telur. Pada octopus proses kedewasaan juga diatur
oleh sel-sel neurosekresi yang mempengaruhi pertumbuhan ovarium dan testes.
Jadi hubungan ganglion otak-kelenjar optik-gonade pada octopus sama seperti
hubungan hipotalamus-hipofisisgonade pada vertebrata. (Campbell, dkk. 2006)
Crustacea
Organ endokrin yang terdapat pada crustacea, sebagaimana halnya pada insekta,
dibagi dalam 3 katagori yaitu:
a. Sekumpulan sel-sel neuro-sekretoris yang menghasilkan neuro hormon dan
melepaskannya melalui terminal-terminal axonnya. Termasuk dalam kategori
ini adalah organ X pada tangkai mata.
b. Organ-organ neurohemal yang menyimpan, kemungkinan memodifikasi dan
melepaskan neurohormon. Termasuk katagori ini adalah kelenjar sinus (sinus
gland), organ commissurale, organ pericardiale. Organ endokrin (non neural)
yang mensekresikan hormon langsung ke dalam darah. Termasuk disini
adalah organ Y, kelenjar androgen (androgenic gland) dan ovarium (Hasyim,
1981). Selain itu terdapat pula,
1) Organ X dan Kelenjar Sinus
Organ X terletak pada tangkai mata, memiliki 2 struktur yaitu ganglionic
X organ dan sensory pore X organ. Kedua struktur ini pada beberapa
spesies terpisah tetapi ada pula yang tergabung menjadi satu kesatuan.
Pada spesies yang tidak mempunyai tangkai mata, organ X terletak pada
kaput. Kelenjar sinus terletak di pangkal tangkai mata, merupakan organ
neurohemal, tersusun terutama oleh terminal-terminal axon dan
berhubungan erat dengan pembuluh- pembuluh darah. Kelenjar sinus
dinyatakan analog dengan neurohipofisa vertebrata dan korpora kardiaka
pada insekta. Kelenjar sinus penting sebagai reservoir untuk
penimbunan/penyimpanan dan pelepasan neurohormon yang berasal dari
axon-axon organ neurosekretoris. Neurosekresi dari kompleks organ X-
kelenjar sinus menghasilkan Gonad Inhibiting Hormone (GIH). Hormon
ini memiliki aktifitas penghambatan proses vitelogenesis, penghambatan
pematangan ovarium dan penghambatan aktifitas sekresi kelenjar
androgen. Sekresi dari GIH sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan.
Ablasi (penghilangan) tangkai mata (Organ X dan kelenjar sinus) akan
menyebabkan pembesaran/ perkembangan ovarium, vitelogenesis pada
oosit akan terjadi. Kompleks organ X-kelenjar sinus juga menghasilkan
hormon penghambat molting.
2) Organ Y
Organ Y terletak pada segmen maksilaris atau antena, dalam beberapa
hal mirip dengan prothoracic yaitu kelenjar yang mengatur
molting/ecdysis pada insekta. Fungsi organ Y dipengaruhi oleh kompleks
neurosekretoris tangkai mata (kompleks organ Xsinus gland). Organ Y
merupakan penghasil Gonad Stimulating Hormone (GSH) yang
berpengaruh pada gonad. Organ Y juga menghasilkan molting hormon
(ecdyson) yang juga penting dalam diferensiasi normal dari ovarium dan
testis. Pada hewan muda apabila dilakukan ablasi organ Y, maka proses
mitosis pada ovarium dan testis akan terhambat, proses mitosis oogonia
pada ovarium terhenti, folikel tidak terbentuk dan vitelogenesis tidak
terjadi. Pada testis, mitosis spermatogonia terhenti dan testis tidak
mengandung sel-sel kecambah yang matang (depleted of mature germ
cells).
3) Kelenjar Androgen
Kelenjar ini ditemukan pada beberapa crustacea juga beberapa spesies
insekta. Biasanya terletak diluar testis sepanjang duktus deferens. Pada
betina kelenjar ini rudimenter (tak berkembang). Kelenjar maskulinisasi
ini diduga diatur oleh neurohormon yang berasal dari kompleks organ X-
kelenjar sinus. Kelenjar androgen menghasilkan hormon yang mengatur
spematogenesis dan sifat-sifat kelamin sekunder jantan. Pengaruh dari
kelenjar androgen bila dibandingkan dengan ovarium jauh lebih kuat.
Transplantasi kelenjar androgen pada hewan betina dapat menyebabkan
transformasi ovarium menjadi testis yang memproduksi spermatozoa.
(Hasyim, 1981)

Molting pada Crustacea


Pada crustacea, molting mencakup proses-proses metabolik dan morfologik.
Berlainan dengan insekta, yang tidak mengalami molting setelah stadium
dewasanya tercapai, crustacea mengalami molting/ecdysis sepanjang hidupnya.
Proses molting ini dipengaruhi oleh sekresi dari kompleks organ X-kelenjar sinus
dan organ Y. Pembentukan eksoskeleton crustacea meliputi pembentukan
scleroprotein, sintesis khitin dan deposit garam-garam kalsium. Terdapat 4
tahapan pada proses molting crustacea yaitu:
Pre Molt (Proecdysis).
Merupakan tahap persiapan untuk molting peristiwa yang terjadi adalah penipisan
cuticle secara bertahap, penimbunan zat-zat anorganik di dalam gastrolith
(hepatopancreas) guna pembentukan eksoskeleton baru, mempercepat proses-
proses regenerasi jaringan, penimbunan glikogen di jaringan hipodermis, terjadi
peningkatan kebutuhan oksigen.
Molting/ecdysis.
Peristiwa-peristiwa yang terjadi selama tahap ini adalah pecah dan terkelupasnya
kutikula yang tua (usang), peningkatan/ pembesaran ukuran tubuh karena adanya
absorbsi air segera setelah kutikula pecah. Air ini menyebabkan tersedianya
ruangan (bahkan setelah cuticle baru mengeras) bagi pertumbuhan badan. Terjadi
resorbsi kutikula.
Post Molting/ Post ecdysis.
Merupakan periode pembentukan eksoskeleton baru dengan redeposisi secara
cepat dari khitin dan garam-garam anorganik dan terjadi pertumbuhan jaringan.
Intermolt/Inter Ecdysis.
Merupakan tahap istirahat, dimana proses-proses fisiologis sehubungan dengan
proses molting tidak ada. Biasanya terjadi penimbunan bahan-bahan anorganik
pada hepatopancreas dan tempat lainnya untuk persiapan molting berikutnya.
Bahan tersebut antara lain Kalsium, Fosfat, glikogen, lipid. Terdapat crustacea
yang gagal dalam proses moltingnya. Akibatnya hewan tersebut tidak mengalami
pertumbuhan, kondisi demikian dikenal sebagai anecdysis. (Hasyim, 1981)

Insekta
Bagian dorsomedial-anterior protocerebrum (otak) atau pars intercerebralis
merupakan kumpulan sel-sel neurosekretoris. Aktifitas sel-sel tersebut
menghasilkan ecdysiotropin yang dilepaskan melalui axon-axonnya menuju
korpus kardiaka. Korpus kardiaka merupakan organ neurohemal yang menimbun
dan melepaskan ecdysiotropin ke dalam darah. Kompleks protocerebrum-korpus
kardiaka analog dengan kompleks hipotalamus-neurohipopisa pada vertebrata.
Ecdysiotropin akan mempengaruhi kelenjar ecdysialis (kelenjar prothoracalis)
untuk mensekresikan hormon ecdyson (molting hormone) yang berpengaruh pada
proses ecdysis. Selama stadium pupa, ecdyson diperlukan untuk diferensiasi
struktur dewasa dan ecdysis pupa yang terakhir. Pada insekta dewasa, kelenjar
ecdysialis mengalami degenerasi. (Hasyim, 1981)
Pada insekta juga dijumpai kelenjar non neural, jumlah sepasang, berpengaruh
atas pertumbuhan dan diferensiasi yaitu korpus allata. Fungsi korpus allata ini
diatur oleh otak. Korpus allata menghasilkan hormon neotenin (Juvenile
Hormone). Neotenin dan ecdyson berinteraksi merangsang pemasakan larva pada
setiap stadium perkembangannya. Kedua hormon ini bekerja secara sinergis untuk
menginduksi perkembangan dan diferensiasi normal. Korpus allata tidak akan
mengalami degenerasi pada waktu dewasa, akan tetapi terus berperan sebagai
kelenjar endokrin yang mempengaruhi proses-proses reproduksi serta fungsi-
fungsi lain di dalam tubuh. Antara korpus allata dan ovarium terdapat hubungan
fungsional yaitu perkembangan ovarium dipengaruhi oleh hormon gonadotropin
yang dihasilkan korpus allata. Juvenile Hormone (JH) esensial bagi vitelogenesis,
pembentukan spermatophore dan perkembangan kelamin. Pada hewan betina,
korpus allata juga menghasilkan sex atractant (pheromone) yang penting untuk
menarik pejantan dan timbulnya kelakuan reproduksi. (Hasyim, 1981)
Terdapat 3 tahap perkembangan ovarium yang dipengaruhi oleh JH yaitu:
a. JH mengontrol sintesa vitelogenin dari lemak tubuh.
b. JH merangsang perkembangan oosit previtelogenic.
c. JH membentuk rongga-rongga diantara sel-sel folikel ovarium.
Rongga tersebut merupakan jalan masuk kuning telur untuk dideposisikan
pada oosit (telur). Neurosekretoris dari korpus kardiaka hanya berperan pada akhir
stadium reproduksi yakni saat peneluran (oviposisi). Pada beberapa spesies
insekta, kerja sama antara JH dan neurosekresi dari korpus kardiaka
mempengaruhi proses vitelogenesis Pada insekta jantan misalnya pada Lampyris
noctiluca testis merupakan sumber hormon androgen yang merangsang
differensiasi maskulinisasi gonad dan juga sifat-sifat kelamin sekunder.
Transplantasi bagian apikal testis pada larva betina akan menyebabkan gonad
berdiferensiasi menjadi testis dan tanda-tanda kelamin sekunder jantan nampak.
Sebaliknya transplantasi ovarium pada larva jantan ternyata tidak mempunyai
pengaruh. Pengaruh testis akan menurun bila diperlakukan pada betina setelah
masa pupa dan tak berpengaruh sama sekali setelah dewasa tercapai. (Hasyim,
1981)

F. Faal Sistem Reproduksi Jantan pada Hewan Vertebrata


Amphibi
Amphibi melakukan fertilisasi internal, pada amphibi jantan testis berjumlah
sepasang berwarna putih kekungingan yang digantungkan oleh mesorsium.
Dibagian sebelah kaudal dijumpai korpus adiposum, terletak di bagian posterior
rongga abdomen. Saluran reproduksi di hubungkan dengan tubulus ginjal yang
menjadi duktus eferen dan membawa spermatozoa dari testis menuju duktus
mesonoferus. Di dekat kloaka, duktus mesonoferus pada beberapa spesies akan
membesar membentuk vesikula sminalis atau penyimpan sperma sementara.
Vesikula seminalis tersebut akan membesar hanya saat musim kawin saja.
Amphibi juga memiliki saluran vas eferen yang merupakan saluran halus
yang meninggalkan testis berjalan ke medial menuju ke bagian kranial ginjal.
Duktus wolf keluar dari dorsolateral ginjal, ia berjalan di sebelah lateral ginjal.
Kemudian vas eferen menyalurkan spermatozoa menuju saluran pengeluaran
kloaka.
Aves

(Baker, 1996)
Kelompok burung atau aves merupakan hewan ovipar. Dengan fertilisasi di
dalam tubuh, dengan saling menempelkan kloaka. Sistem genetalia jantan pada
aves terdiri dari sepasang testis yang berbentuk oval atau bulat, dengan bagian
permukaan yang licin. Testis pada aves terletak disebelah ventral lobus penis
bagian paling kranial. Pada musim kawin ukurannya akan membesar, testis
berfungsi sebagai organ penyimpan spermatozoa. Terdapat saluran reproduksi
tubulus mesonefrus yang membentuk duktus aferen dan epididimis, duktus eferen
sendiri terbentuk dari duktus wolf yang bergulung. Pada burung-burung kecil,
duktus eferen bagian distal yang sangat panjang membentuk duktus aferen yang
berdilatasi membentuk duktus ampula yang bermuara dikloaka sebagai duktus
ejakulatori. Duktus eferen sendiri berhubungan dengan epididimis yang kecil
dengan ureter ketika masuk kloaka. Pada ayam jatan juga memiliki sepasang tetis
yang terletak di rongga badan dekat tulang belakang, melekat pada bagian
dorsaldari rongga abdomen dan dibatasi oleh ligamentum mesorchium, berdekatan
dengan aorta dan vena cava atau dibelakang paru-paru bagian depan dari ginjal.
Meskipun dekat dengan rongga udara, temperatur testis selalu 41-430C, karena
spermatogenesis (pembuatan sperma) terjadi pada temperatur tersebut (Yuwanta,
2004).

Testis ayam berbentuk biji seperti biji buah buncis dengan warna putih cream.
Testis terbungkus oleh lapisan tipis transparan, lapisan albugin yang lunak.
Bagian dari testi terdiri dari tubulus seminifer (85%-95% dari volume testis), yang
berfungsi sebagai tempat terjadinya spermatogenesis dan jaringan intertital yang
terdiri atas sel glanduler (sel leyding) tempat diekskresikannya hormon steroid,
androgen, dan testosteron. Besarnya ukuran testis teergantung pada umur, strain,
musim, dan pakan. Pengeluaran sperma dibentu dengan saluran deferens yang
terbagi menjadi dua, yaitu bagian atas yang merupakan muara sperma dari testis,
serta bagian bawah yang merupakan perpanjangan dari saluran epididimis dan
dinamakan saluran deferens. Saluran deferens akan bermauara ke kloaka pada
daerah proktodeum yang bersebelahan dengan urodeum dan kaprodeum. Didalam
saluran deferens, sperma mengalami pemasakan dan penyimpanan sebelum
diejakulasikan. Pemasakan dan penyimpanan sperma sendiri terjadi pada 65%
bagian distal saluran deferens (Yuwanta, 2004).
Alat kopulasi pada ayam berupa papila atau penis yang mengalami
rudimenter, kecuali pada itik berbentuk spiral yang panjangnya 12-18 cm. Papila
tersebut juga memproduksi cairan transparan yang bercampur dengan sperma saat
terjadi kopulasi. Mekanisme spermatogenesis terjadi pada epitelium (tubuli)
seminiferi di bwah kontrol hormon gonadrotropin dari hipofisis (pituitaria bagian
depan). Tubuli seminiferi terdiri atas sel sertoli dan sel germinalis.
Spermatogenesis terjadi dalam tiga fase, yaitu fase spermatogonial, fase meiosis,
dan fase spermiogenesis yang membutuhkan waktu 13-14 hari, awal pembelahan
meiosis dari spermatosit I menjadi spermatosit II dengan waktu 6 hari, dilanjutkan
pembuahan meiosis II kurang lebih 12 jam, membentuk spermatid bulat dengan
waktu 2,5 hari, kemudian spermatid memanjang untuk menjalani waktu
pemasakan selama 8 hari (Yuwanta, 2004).
Reptil
Genetalia jantan pada reptil terdiri dari sepasang testis yang berbentuk oval
dengan ukuran relatif kecil, berwrna keputih-putihan danterletak di bagian dorsal
rongga abdomen. Pada hewan kadal dan ular, salah satu testisnya terletak lebih
kedepan dari pada yang lain. Sama halnya dengan amphibi dan aves, testis pada
reptil juga akan membesar saat musim kawin. Saluran pada organ reproduksi
reptil ada duktus mesonefrus yang berfungsi sebagai saluran reproduksi, dan
saluran yang menghiubungkan ke kloaka.
Mamalia
Gambar 10. Reproduksi vertebrata jantan (Baker, 1996)
1. Testicle
Memiliki peran utama dalam sistem reproduksi, yaitu memproduksi hormone
yang berkaitan dengan reproduksi. Testicle dibangun oleh tubulus seminiferus
yang merupakan saluran kecil yang menggulung dan berlekuk berfungsi
memproduksi sperma.
2. Scrotum
Merupakan kantong yang dibenuk oleh lapisan kulit yang melingkupi testicle
dan berfungsi dalam regulasi temperature testicle. Ketika suhu lingkungan
dingin maka testicle akan mengkerut mendekati tubuh, sedangkan pada
temperature panas maka akan tergantung bebas menjauhi tubuh.
3. Epididimis
Merupakan saluran dengan tiga bagian yaitu kepala, badan, dan ekor.
Pematangan sperma terjadi ketika sperma disimpan dalam epididimis, bagian
ini juga berfungsi menghubungan testicle dengan vas deferens.
4. Prostate gland
Mensekresi cairan yang kemudian bercampur sperma dan seminal fluid ketika
terjadi ejakulasi. Campuran sperma, dan fluida dari vesikel dan prostat
disebut semen.
5. Cowper’s gland
Berfungsi merilis fluida yang kemudian disekresi ke urethra untuk
membersihkan dan menetralisirnya sehingga memungkinkan sperma untuk
melaluinya dan tetap hidup. Sekresi melalui urethra ini didahului oleh semen.
6. Sigmoid Flexure
Saluran S yang dikelilingi oleh otot yang membantu pemanjangan penis
selama terjadi kopulasi.
7. Otot Retractor
Otot yang menarik penis masuk kembali ke dalam tubuh
8. Penis
Organ yang mendeposit semen ke dalam organ reproduksi wanita, biasa
digunakan pula untuk sekresi urin.
9. Sheath
Merupakan lipatan kulit yang menutupi penis ketika relaksasi. (Baker, 1996)

Hormon yang berperan dalam sistem reproduksi vertebrata memiliki unit


fungsional yang lebih kompleks. Diawali dengan GnRH yanag diprosuksi oleh
hypothalamus. Pada unggas tidak ditemukan GnRH. Karena stimulasi ini lobus
anterior pituitary mensekresikan FSH dan LH. LH juga terkadang disebut sebagai
ICSH. Hormone yang menstimulasi perkembangan organ reproduksi jantan yaitu
Androgen. Androgen testoseron diproduksi dalam testicle pada semua spesies
kecuali pada kelinci, yang memproduksi androgen yang lain.
Hormone memainkan peranan penting dalam reproduksi. Pada mamalia
GnRH menstimulasi lobus pituitary untuk mensekresi FSH dan LH yang berperan
utama dalam reprodukai. Sedangkan pada unggas pelepasan FSH dari pituitary
distimulasi oleh faktor cahaya. FSH akan menyebabkan tubulus dalam testicle
untuk memprosuksi sperma. LH menyebabkan interstitial sel dalam testicle
mensekresikan androgen. (Baker, 1996)
Androgen menyerupai testosterone, menstimulasi perkembangan,
pertumbuhan dan aktivitas organ reproduksi. Prosuksi androgen menstilmulasi
pematangan organ, yang disebut pubertas. Dimana bagian-bagian sistem
reproduksi mengalami pematangan dan level ideal hormone telah tercapai.
Testosterone dan hormone lain juga menstimulasi perkembangan seksual
sekunder yang meliputi perubahan suara, pertambahan massa otot dan agresivitas,
sedangkan pada unggas dapat ditandai pada bulu, pial dan jengger, serta prilaku
berkokok. (Baker, 1996)

G. Perbedaan Reproduksi Jantan pada Invertebrata dan Vertebrata


Berdasarkan pada keberadaan sifat jantan dan betina, terdapat dua sifat
umum padahewan yaitu sifat monocious dan dioecious. Sifat monocious atau yang
kemudian sering dikatakan kondisi hermaprodit terjadi apabila perbedaan sifat
jantan dan betina secara biologik tidak tampak jelas dan gamet jantan dan betina
dihasilkan dalam individu yang sama. Sifat monocious memberi konsekuensi
tidak ada perbedaan yang jelas terhadap fungsi reproduksi jantan dan betina
(Alberts, 1994).
Hampir semua tingkatan hewan dari tingkat rendah sampai tinggi
memilikiwakil-wakil yang bersifat monocious. Fertilisasi pada hewan-hewan ini
biasanya terjadi secara silang artinya terdapat dua individu yang saling membuahi
dan atau dibuahi. Pada kondisi fertilisasi silang demikian, proses reproduksi sama
dengan hewan dioecious. Ada juga yang mengalami fertilisasi sendiri walaupun
kejadiannya sangat jarang (Campbellet al. 2006).
Terdapat dua jenis sifat monocious yaitu synchronous hermaphrodite
(hermaprodit sinkroni) dan asynchronous hermaphrodite (hermaprodit asinkroni).
Sifat hermaprodit sinkroni ditunjukkan oleh adanya produksi spermatozoa dan
telur dari satu individu dalam waktu yang bersamaan (kematangan bersamaan)
artinya proses pematangan terjadi dalam waktu yang bersamaan. Sifat
hermaprodit asinkroni ditunjukkan oleh adanya periodisasi proses pematangan
spermatozoa dan telur dalam satu individu. Artinya dalam satu periode tertentu
gonad akan menghasilkan salah satu gamet sedang periode berikutnya peranannya
akan berubah menjadi sebaliknya (Marshall and Williamms, 1981).
Menarik untuk diketahui pada spesies Sparidae dan Serranidae, telur dan
spermatozoa dihasilkan pada area yang berbeda dari satu gonad, walaupun hal ini
tidak selalu terjadi, mereka mungkin melakukan fertilisasi sendiri. Pada ikan
Serranelussubligarius, satu individu menghasilkan spermatozoa dan telur,
melakukan fertilisasi sendiri dan menghasilkan anak yang normal demikian pula
pada Rivulus marmoratusdan Serrannus cabrilla. Selain hewan-hewan tersebut,
bekicot juga merupakan salah satu contoh hewan yang memiliki sifat hermaprodit
sinkroni (Raven and Johnson, 2005).
Terdapat dua tipe sifat hermaprodit asinkroni yaitu protogynous
hermaphrodite(protogeni) dan protandrous hermaphrodite (protandri).
Hermaprodit protandri adalah sifat yang dicirikan adanya fase perubahan fungsi
gonad dari fungsi jantan menjadi betina selama satu siklus hidup hewan. Artinya
saat hewan masih muda, jaringan gonad sebagian besar berfungsi sebagai
penghasil spermatozoa, dengan semakin meningkatnya umur, jaringan gonad yang
menghasilkan spermatozoa akan tereduksi dan tergantikan olehjaringan yang akan
menghasilkan sel telur. Jadi disini terdapat perubahan sifat, dimana saat masih
muda bersifat jantan dan sesudah berusia lebih tua bersifat betina.
Beberapaspesies ikan yang memiliki sifat ini adalah Sparus auratus, Sargus
amularis, Poeciliamormyrus dan Pagellus centrodontus (Mukayat, 1990).
Hermaprodit protogeni memiliki ciri yang berlawanan dengan
hermaproditprotandri yaitu proses diferensiasi fungsi jaringan gonad berjalan dari
fase betina ke jantan. Artinya hewan saat masih muda bersifat betina dan dengan
semakin meningkatnya umur akan beralih sifat menjadi jantan. Di Indonesia
spesies yang sudah dikenal termasuk dalam golongan hermaprodit protogeni
adalah belut sawah (Monopterus albus) dan Ikan Kerapu (Roberts and Monger,
1993).
Tabel 1. Skema seksualitas hewan multiseluler

Sumber : Raven and Johnson,


2005

Umumnya hewan vertebrata seperti ikan, kadal, katak, sapi, kerbau, tikus,
kuda danlain-lain, memiliki sifat dioecious atau dimorphy seks. Artinya perbedaan
sifat jantan dan betina secara biologi tampak jelas. Diocious memberi konsekuensi
terhadap perbedaan fungsi reproduksi jantan dan betina yang terpisah(Johnson,
1965).
Dasar penentuan perbedaan jenis kelamin adalah keberadaan kromosom
seks padasetiap hewan. Perbedaan kromosom seks akan sangat menentukan
keberadaan struktur anatomi reproduksi, fungsi reproduksi, kelakuan (behavior)
reproduksi dan fungsi hormonal dalam pengendalian reproduksi antara hewan
jantan dan betina. Pada umumnya vertebrata baik jantan maupun betina, memiliki
sepasang kromosom seks dan kromosom selebihnya dikenal sebagai kromosom
autosom. Kromosom autosom tidak memiliki hubungan dengan penentuan jenis
kelamin (Beckett and Gallagher, 1990). Pada Tabel 2. dapat dilihat jumlah
kromosom pada berbagai jenis hewan vertebrata.
Pada hewan mamalia dan beberapa spesies klas vertebrata lain, sifat jantan
adalahheterogametic dan betina homogametic. Hal itu berarti bahwa pada jantan
memiliki satu kromosom dari kromosom sex yang berbeda dari pasangan
homolognya (biasanya lebih kecil) (Solomon, 1993).

Tabel 2. jumlah kromosom pada berbagai jenis hewan vertebrata.


Sumber : Yatim, 1983

Tabel 3. Simbol genotip sex kromosom pada vertebrata

Sumber : Yatim, 1983

Reproduksi disebut juga tocogoni (tocos = orang tua dan gonos = asal).
Sedangkan pengertian reproduksi secara umum adalah suatu cara pembentukan
organisme baru oleh organisme yang sudah ada sebelumnya untuk
mempertahankan kelangsungan hidup spesies itu di muka bumi ini (Storer and
Usinger, 1961).
1. Reproduksi Pada Hewan
a. Reproduksi vegetatif atau monogoni, yaitu cara pembentukan
organisme baru oleh induknya tanpa menggunakan sel-sel kelamin atau
gamet. Disebut dengan monogami, karena organisme yang terbentuk
berasal dari satu induk saja. Jadi tidak diketahui apakah berkelamin
betina atau jantan (Johnson, 1965).
Reproduksi vegetatif terbagi dalam 5 cara :
1) Pembelahan (vation), terbaginya tubuh induk menjadi dua
bagian/dua anak dalam ukuran yang sama yang masing-masing
menjadi dua organisme baru secara utuh dan terpisah. Umumnya
terjadi pada organisme kelompok monocelluler (bersel satu) dengan
bentuk pembelahan secara amitosis, dimana dimulai dengan
pembelahan inti kemudian pembelahan sitoplasma secara langsung
tanpa melalui tahapan-tahapan. Contoh Euglena dan Amoeba.
2) Schizogoni (sporogenesis), yaitu terbentuknya beberapa organisme
dari satu organisme induk yang membelah secara langsung tanpa
diawali dengan pembelahan inti.
3) Pembentukan tunas (kuncup = gemma), dapat terjadi di luar tubuh
dan di dalam tubuh. Proses reproduksi dengan pembentukan tunas di
luar tubuh induk dapat terjadi pada hewan misalnya Hydra atau
organisme bersel satu lainnya seperti ragi dan Obelia, dimulai dengan
terbentuknyan tonjolan/benjolan pada bagian tubuh yang kemudian
menjadi tunas kecil dan terlepas tumbuh menjadi individu baru.
Sedangkan dari dalam tubuh, apabila tubuh induknya tidak lagi
melakukan kegiatan yang aktif, maka akan terjadi pembengkakan pada
bagian dalam dengan membentuk indifidu baru yang sama dengan
induknya kemudian keluar tubuh untuk menjadi individu baru. Contoh
: Porifera.
4) Pembentukan statoblas, terbentuknya di dalam bagian badan yang
disebut funiculus yang berbentuk bulat dan memanjang serta
berdinding khitin dan jika terlepas dari dinding tubuh akan
membentuk suatu koloni atau individu baru secara rangkap. Contoh
Phimatella (Bryozoa).
5) Regenerasi, dimulai dari satu induk dapat menjadi dua atau lebih
bagian tubuh, yang kemudian masing-masing bagian tubuh menjadi
individu baru secara lengkap contoh beberapa spesies Echindermata,
Anelida, Platihelminthes dan Hydra.
b. Reproduksi generatif atau amphigoni : yaitu cara pembentukan
organisme baru oleh induknya dengan melibatkan sel kelamin (gamet)
yang didahului oleh fertilisasi (Johnson, 1965). Menurut bentuk dan
besarnya sel kelamin yang bertemu saat fertilisasi maka, reproduksi
generatif dibedakan menjadi 3 bagian, yaitu :
1) Isogami, jika gamet yang bersatu baik bentuk maupun besarnya
adalah sama. Contohnya : peristiwa konjugasi pada Paramecium dan
siklus malaria pada plasmodium.
2) Anesogami, jika gamet yang bersatu bentuknya sama tetapi tidak
sama besarnya. Contoh Flagellata.
3) Oogami, jiak gamet yang bersatu tidak sama besar dan bentuknya.
Biasanya gaamet yang lebih besar adalah ovum, dan hal ini berlaku
pada hewan-hewan tingkat tinggi atau vertebrata.
Disamping itu terdapat cara lain untuk membedakan sistem
reproduksi generatif atau seksual menurut Radioputra (1983), sebagai
berikut :
a) Hermaproditisme : dimana satu indifidu mempunyai dua alat kelamin
(jantan dan betina). Contohnya : pada reproduksi cacing.
b) Parthenogenesis : yaitu proses perkembangan dari sel telur (ovum
yang tidak dibuahi, menjadi individu baru). Contoh : lebah.
Pada lebah telur yang dibuahi akan menjadi lebah betina sedang yang
tidak dibuahi akan menjadi lebah jantan. Hal ini ditentukan oleh
membuka menutupnya valvula pada proses fertilisasi. Sperma yang
diterima ditimbun dalam suatu kantong dan ditutupi oleh valvula.
Apabila sperma membuahi sel telur maka akan berkembang menjadi
lebah ratu dan pekerja (Mix, 1992).
c) Ephebogenesis : yaitu merupakan cara reproduksi kebalikan dari cara
parthenogenesis, dimana sperma tanpa bertemu dengan sel telur dapat
berkembang menjadi individu baru. Hal ini juga berlangsung pada
lebah, tetapi sampai saat ini masih merupakan dugaan (masih dalam
penelitian).
d) Metagenesis adalah cara reproduksi untuk menjadi individu baru
melalui cara generatif yang terjadi secara bergantian. Misalnya
hidrozaoa (Obelia) dari bentuk tunas menjadi bentuk medusa yang
dapat dibedakan antara jantan dan betina.
H. Integrasi Islam dengan Sains
Dalam Al-Qur-an telah di jelaskan teori mengenai sistem reproduksi.
Disebutkan pula tempat-tempat mekanisme yang tepat dan menyebutkan tahap-
tahap yang pasti dalam reproduksi, tanpa memberi bahan yang keliru sedikit pun.
Semuanya diterangkan secara sederhana dan mudah difahami oleh semua orang,
serta sangat sesuai dengan hal-hal yang ditemukan Sains pada kemudian hari.
Reproduksi pada manusia merupakan proses untuk melestarikan jenisnya dan
memperbanyak populasinya. Di dalamnya terdapat peristiwa-peristiwa yang
kompleks baik mekanik, kimiawi maupun illahiah (Campbell et al. 2006).
Adapun ayat al-qur'an yang menyebutkan mengenai fertilisai, yaitu yang
termaktub dalam Surat Al-Qiyamah (ayat 3), yang artinya "Bukankah dia dahulu
setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam rahim)" Dari ayat tersebut dapat
diterjemahkan kata bahasa Arab Nutfah dengan kata "setetes sperma”. Perlu
diterangkan bahwa "Nutfah" berasal dan akar kata yang berarti: mengalir; kata
tersebut dipakai untuk menunjukkan air yang ingin tetap dalam wadah, sesudah
wadah itu dikosongkan. Jadi kata itu menunjukkan setetes kecil, dan di sini berarti
setetes air sperma, karena dalam ayat lain diterangkan bahwa setetes itu adalah
setetes sperma. Nutfah sendiri merupakan proses pencampuran anatara setetes
mani laki-laki dan wanita yang di sebut sperma yang mengandung sel
spermatozoa yang bercampur dengan sel telur (ovum). Kata bahasa Arab Maniy
berarti Sperma. Suatu ayat lain menunjukkan bahwa setetes air itu ditaruh di
tempat yang tetap (Qarar) yang berarti alat kelamin. Tetapi yang lebih penting
ialah bahwa ide tentang setitik cair yang diperlukan untuk pembuahan, sesuai
tepat dengan Sains yang sudah diketahui sekarang.
Menurut Mix (1992), sperma dibikin oleh pengeluaran-pengeluaran
bermacam-macam yang berasal dari kelenjar-kelenjar seperti berikut : Testicule,
pengeluaran kelenjar kelamin lelaki yang mengandung spermatozoide yakni sel
panjang yang berekor dan berenang dalam cairan serolite. Kantong-kantong benih
(vesicules seminates); organ ini merupakan tempat menyimpan spermatozoide,
tempatnya dekat prostrate, organ ini juga mengeluarkan cairan tetapi cairan itu
tidak membuahi. Prostrate, mengeluarkan cairan yang memberi sifat krem serta
bau khusus kepada sperma. Kelenjar yang tertempel kepada jalan air kencing.
Kelenjar Cooper atau Mery mengeluarkan cairan yang melekat, dan kelenjar
Lettre mengeluarkan semacam lendir. Itulah unsur-unsur campuran yang tersebut
dalam Al-Qur-an. Tetapi ada lagi suatu hal yang penting. Jika Al-Qur-an berbicara
tentang cairan yang membuahi dan yang terdiri dari bermacam-macam unsur,
maka di dalamnya terkandung asal muasal terjadinya manusia adalah karena
sesuatu yang dapat dikeluarkan dari cairan tersebut. Sehingga dari penjelasan
semua itu dapat dibuktikan pada saat ini melalui banyak penelitian dan dari hasil
penelitian itu samapi sekarang ini dapat diterapkan dalam ilmu kedokteran.
Didapatkan bahwa sesungguhnya Reproduksi manusia terjadi melalui proses-
proses yang umum pembuahan (fecondation) dalam rahim. Yang menyebabkan
pembuahan adalah sperma lelaki, atau lebih tepat lagi spermatozoide, karena satu
sel benih sudah cukup satu kadar yang sangat sedikit dari sperma mengandung
spermatozoide sejumlah puluhan juta. Cairan itu dihasilkan oleh kelenjar lelaki
dan disimpan untuk sementara dalam ruangan dan saluran yang bermuara ke jalan
air kencing. Ada kelenjar tambahan yang bertebaran sepanjang saluran sperma,
dan menambah zat pelumas kepada sperma, tetapi zat itu tidak mengandung unsur
pembuahan (Oramet al. 1986)
Akan tetapi ketika melihat ayat Al-quran yang lain dimana menjelaskan
peristiwa Parthenogenesis yang terdapat dalam kisah ibu Maryam pada saat
mengandung Nabi Isa As tanpa melakukan hubungan seksual, bahkan ibu maryam
dalam keadaan masih perawan. Surat Maryam (19): 20-21, yang artinya : 20.
Maryam berkata: "Bagaimana akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang
tidak pernah seorang manusiapun menyentuhku dan Aku bukan (pula) seorang
pezina!" 21. Jibril berkata: "Demikianlah". Tuhanmu berfirman: "Hal itu adalah
mudah bagiKu; dan agar dapat kami menjadikannya suatu tanda bagi manusia dan
sebagai rahmat dari Kami; dan hal itu adalah suatu perkara yang sudah
diputuskan". Dalam peristiwa ini, proses hamilnya Maryam yang masih perawan
merupakan suatu peristiwa ghaib, namun dengan perkembangan dunia kedokteran
mengatakan bahwa peristiwa itu dikenal sebagai Parthenogenesis.
Parthenogenesis. Berasal dari bahasa Yunani yang berarti lahir dari perawan.
Proses ini melihat adanya fenomena reproduksi yang ditemukan pada serangga,
ikan, dan pada reptil, yaitu pada telor (ovum) yang tidak di buahi ternyata ada dua
kromosom, telur itu berkembang sebagaimana telur yang di buahi, dan dapat
dikatakan hal tersebut tidak mungkin terjadi pada mamalian termasuk manusia.
Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, hasil eksperimen di jepang telah
mematahkan teori tersebut. "tikus jepang" tidak berasal dari hasil kloning, dan itu
adalah tikus Parthenogenesis menurut Jean-Pierre Ozil, seorang peneliti di
National Institute of Aronomonik Research, Perancis. Parthenogenesis buatan
dilaksanakan di laboratorium buatan untuk mengaktivasi sel telur yang tidak di
buahi. Teknik tersebut dijalankan oleh Tim yang di pimpin oleh Tomohiro Kono
dari Tokyo University og Agriculture itu menciptakan bayi tikus hanya dengan
menggunakan materi genetik tikus betina, dan penelitian tersebut menunjukan
bahwa bayi tikus itu mampu bertahan hidup, tumbuh, dan berkembang menjadi
tikus dewasa yang sehat dan subur (Mukayat, 1990).
BAB III
KESIMPULAN

Sistem reproduksi jantan pada hewan terdiri atas unit fungsional derta sistem
hormone. Pada invertebrate ditemukan sistem hormone yang lebih sederhana dari
yang dimiliki vertebrata, namun pada invertebrate ditemukan variasi pada struktur
serta caranya melakukan reproduksi.
Daftar Pustaka

Alberts, B. 1994. Biologi Molekuler Sel, Edisi Kedua. PT Gramedia Pustaka


Utama, Jakarta.

Antokhina, T.I., Savinkin, O.V. dan T. A. Britajev. 2007. Astroidea of Vietnam


with some notes on their symbionts. Journal of Ecology. 406-438.

Baker, A. 1996. Animal Science (Student Reference). Instructional Materials


laboratory, University of Columbia. 1-34.

Beckett, B., and R.M. Gallagher. 1990. All About Biology. Oxford University
Press, UK-England.

Campbell, N.A., Mitchell, L.G., Reece, J.B., Taylor, M.R., and E.J. Simon. 2006.
Biology, 5th ed. Benjamin Cummings Publishing Company, Inc., Redword
City, England.

Clare, J. 2002. An Aquarist Guide, diakses melalui http://caudata.org/ pada 30-04-


2017.

Dahlgren, U. dan W. A. Kepner. 1908. Principles of Animal Hystology.


MacMillan Company, USA.

Ellis, J. D. dan A. N. Mortensen. 2011. Hymenoptera, diakses melalui


http://entnemdept.ufl.edu/ pada 30-04-2017.

Fofonoff, P. W., Ruiz, G. M., Steves, B., dan J. T. Carlton. 2003. NATIONAL
Exotic Marine and Estuarine Species Information System, diakses melalui
http://invasions.si.edu/nemesis/ pada 30-04-2017

Hodgson, N. A. 2009. Reproduction and sex in invertebrate. Journal of


Reproduction. 1-8.

Johnson, W.H. 1965. General Biology. Holt, Reinhad and Winston, Inc, USA.

Karakaya, G., Ozyurt, N., Candan, S., dan Z. Suludere. 2012. Structure of the
male reproductive system in Coreus marginatus (L.) Hemiptera: Coreidae).
Journal of Entomology. 36 (2): 193-204.

Marshall, A.J., and W.D. Williamms. 1981. Textbook of Zoology. Macmillan


Press, Australia.

Mix, M.C. 1992. Biology. Harper Collins Publishers, New York.

Mukayat, D.B. 1990. Zoologi Dasar. Erlangga, Jakarta.


Oram, Hammer, and Smoot. 1986. Biology Living Systems, 5th ed. Charles E.
Merrit Publishing Company, Columbia.

Radioputra. 1983. Zoologi. Erlangga, Jakarta.

Raven, P.H., and G.B. Johnson. 2005. Biology, 2nd ed. Times/Miror/Mosby
College Publishing, Toronto.

Roberts, M.B.V., and G. Monger. 1993. Biology: A Functional Approach.


Thomas Nelson and Sons Ltd, London.

Sastry, A. S. 2014. Esential of Medical Parasitology. Jaypee Brothers Medical


Publisers, New Delhi.

Singer, E. 2014. Ancient Survivors Could Reddefine Sex. Quanta Magazine,


diakses melalui http://www.quantamagazine.org pada 30-04-2017.

Solomon. 1993. Biology, 3rd ed. Saunders College Publishing, Fort Worth.

Storer, T., and R. Usinger. 1961. Element of Zoology, 2nd ed. McGraw Hill Book
Publishing Co., New York.

Yatim W. 1983. Genetika. Tarsito, Bandung.

Anda mungkin juga menyukai