Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Negara Indonesia memiliki keanekaragaman flora (biodiversity) yang kaya
akan berbagai macam senyawa kimia (chemodiversity) yang terkandung
didalamnya. Penggunaan obat-obatan yang berasal dari tumbuhan Indonesia
cukup diminati saat ini karena tidak menimbulkan efek samping, relative
aman,mudah diperoleh dan relative murah. Setiap tumbuhan obat mempunyai
berbagai manfaat untuk pengobatan karena kandungan senyawa aktif yang
dimilikinya (Alegantina, 2010).
Salah satu tumbuhan yang digunakan sebagai tumbuhan obat-obatan
adalah tumbuhan Loa (Ficus racemosa L.).khasiat dari tumbuhan Loa sebagai obat
asma, bronchitis, batuk, diare dan kanker. (Ficus racemosa L.)atau Loa adalah
pohon besar di keluarga pohon ficus, yang memiliki berbagai aplikasi dalam
bidang obat-obatan (Ganatra, 2012).
Berdasarkan penelitian sebelumnya telah dilaporkan bahwa tumbuhan Loa
mengandung beta sitosterol, leukosianidin 3-O-β-D- glukopiranosida, lupeol
asetat, α-amirin asetat, β-sistosterol dan stigmasterol yangberhasil diisolasi dari
kulit batang, kemudian dari buahnya terdapat senyawa gluanol asetat,
taraksesterol, lupeol asetat, friedelin dan senyawa baru tetrasiklik triterpen gluanol
asetat (Anita, 2012).
Berdasarkan manfaat dan kandungan senyawa aktif yang terdapat pada
tumbuhan Loa (Ficus racemosa L.) tersebut, maka perlu dilakukan penelitian lebih
lanjut untuk mengisolasi senyawa metabolit sekunder lain mengingat masih
sedikitnya tinjauan kajian kandungan metabolit sekunder terhadap tumbuhan ini,
khususnya golongan senyawa kumarin dari fraksi etil asetat dan menguji
bioaktivitasnya. Bioaktivitas yang di uji terhadap ekstrak dan senyawa hasil
isolasi berupa uji antioksidan yang terkait dengan kegunaan dari tanaman ini
(Ficus racemosa L.) sebagai obat anti kanker.
I.2 Maksud dan Tujuan
I.2.1 Maksud
Bagaimana cara isolasi, karakterisasi dan uji aktivitas senyawa kumarin dari
ekstrak aktif etil asetat kulit batang Loa (Ficus racemosa L.) ?
I.2.2 Tujuan
Untuk mengetahui cara isolasi, karakterisasi dan uji aktivitas senyawa kumarin
dari ekstrak aktif etil asetat kulit batang Loa (Ficus racemosa L.)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Uraian Tanaman
II.1.1 Klasifikasi Tanaman

Gambar 1 pohon Loa

Kingdom : Plantae (Tumbuhan)


Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub Kelas : Dilleniidae
Ordo : Urticales
Famili : Moraceae (suku nangka-nangkaan)
Genus : Ficus
Spesies : Ficus racemosa L.
II.1.2 Deskripsi Tanaman
Loa atau Ficus racemosa(Ficus glomerata Roxb) nama binomial
adalah jenis spesies tanaman dalam keluarga Moraceae. Pohon Loa ini dikenal
sebagai Cluster Fig Tree atau Goolar (gular). Loa banyak adalah tumbuhan asli
yang banyak dijumpai di Australia, Malaisya, Asia Tenggara dan benua India. Di
Indonesia sendiri banyak sekali dijumpai di beberapa daerah hutan tropis dan
banyak juga yang hidup di rawa, sungai dan kali. karena pohon Loa ini banyak
sekali mengandung air.
Pohon Loa juga banyak dimanfaatkan sebagai tanaman rindang serta
bagi penggemar bonsai, pohon Loa banyak dijadikan sebagai bakalan bonsai loa.
Sendiri saat ini sangat populer dikalangan pecinta hoby bonsai tanah air. Bonsai
Loa bisa mencapai jutaan bahkan puluhan juta jika memiliki kriteria bonsai loa
yang baik, serta kriteria lainnya.
II.1.3 Kandungan Kimia
penelitian sebelumnya telah dilaporkan kandungan metabolit sekunder
yang terdapat pada tumbuhan Loa (Ficus racemosa L ) , diantaranya yaitu β –
Sitosterol, leukosianidin 3- O- β- D- glukopiranosida, lupeol asetat, α - amirin
asetat, β- sistosterol dan stigmasterol yang berhasil diisolasi dari kulit batang,
kemudian dari buahnya terdapat senyawa gluanol asetat, taraksesterol, lupeol
asetat, friedelin, dan senyawa baru tetrasiklik triterpen gluanol asetat (Anita dan
Stuti, 2011)
II.1.4 Khasiat Tanaman
Tumbuhan Loa (Ficus rasemosa L.) adalah pohon besar di keluarga
pohon ficus yang memiliki berbagai aplikasi dalam bidang obat-obatan sebagai
obat asma, bronchitis, batuk, diare, dan kanker (Ganatra, 2012).
II.2 Isolasi Bahan Alam
II.2.1 Penyiapan sampel
Dalam penyiapan atau pembuatan simplisia, tahapan yang perlu
diperhatikan adalah (1) bahan baku simplisia, (2) proses pembuatan simplisia, dan
(3) cara pengepakan/pengemasan dan penyimpanan simplisia.
1) Proses Pembuatan Simplisia
Setelah dilakukan pemanenan bahan baku simplisia, maka tahapan
penanganan pasca panen adalah sebagai berikut.
a. Sortasi basah.
Tahap ini perlu dilakukan karena bahan baku simplisia harus benar dan
murni, artinya berasal dari tanaman yang merupakan bahan baku simplisia
yang dimaksud, bukan dari tanaman lain. Dalam kaitannya dengan ini, perlu
dilakukan pemisahan dan pembuangan bahan organik asing atau tumbuhan
atau bagian tumbuhan lain yang terikut. Bahan baku simplisia juga harus
bersih, artinya tidak boleh tercampur dengan tanah, kerikil, atau pengotor
lainnya (misalnya serangga atau bagiannya).
b. Pencucian.
Pencucian seyogyanya jangan menggunakan air sungai, karena cemarannya
berat. Sebaiknya digunakan air dari mata air, sumur, atau air ledeng (PAM).
Setelah dicuci ditiriskan agar kelebihan air cucian mengalir. Ke dalam air
untuk mencuci dapat dilarutkan kalium permanganat seperdelapan ribu, hal
ini dilakukan untuk menekan angka kuman dan dilakukan untuk pencucian
rimpang.
c. Perajangan.
Banyak simplisia yang memerlukan perajangan agar proses pengeringan
berlangsung lebih cepat. Perajangan dapat dilakukan “manual” atau dengan
mesin perajang singkong dengan ketebalan yang sesuai. Apabila terlalu
tebal maka proses pengeringan akan terlalu lama dan kemungkinan dapat
membusuk atau berjamur. Perajangan yang terlalu tipis akan berakibat
rusaknya kandungan kimia karena oksidasi atau reduksi. Alat perajang atau
pisau yang digunakan sebaiknya bukan dan besi (misalnya “stainless steel”
eteu baja nirkarat).
d. Pengeringan.
Pengeringan merupakan proses pengawetan simplisia sehingga simplisia
tahan lama dalam penyimpanan. Selain itu pengeringan akan menghindari
teruainya kandungan kimia karena pengaruh enzim. Pengeringan yang
cukup akan mencegah pertumbuhan mikroorganisme dan kapang (jamur).
Menurut persyaratan obat tradisional pengeringan dilakukan sampai kadar
air tidak lebih dari 10%. Cara penetapan kadar air dilakukan menurut yang
tertera dalam Materia Medika Indonesia atau Farmakope Indonesia.
Pengeringan sebaiknya jangan di bawah sinar matahari langsung, melainkan
dengan almari pengering yang dilengkapi dengan kipas penyedot udara
sehingga terjadi sirkulasi yang baik. Bila terpaksa dilakukan pengeringan di
bawah sinar matahari maka perlu ditutup dengan kain hitam untuk
menghindari terurainya kandungan kimia dan debu. Agar proses
pengeringan berlangsung lebih singkat bahan harus dibuat rata dan tidak
bertumpuk. Ditekankan di sini bahwa cara pengeringan diupayakan
sedemikian rupa sehingga tidak merusak kandungan aktifnya.
e. Sortasi kering.
Simplisia yang telah kering tersebut masih sekali lagi dilakukan sortasi
untuk memisahkan kotoran, bahan organik asing, dan simplisia yang rusak
karena sebagai akibat proses sebelumnya.
f. Pengepakan dan penyimpanan.
Bahan pengepak harus sesuai dengan simplisia yang dipakai. Bahan
pengepak yang baik adalah karung goni atau karung plastik. Simplisia yang
ditempatkan dalam karung goni atau karung plastik praktis cara
penyimpanannya, yaitu dengan ditumpuk. Selain itu, cara menghandelnya
juga mudah serta cukup menjamin dan melindungi simplisia di dalamnya.
Pengepak lainnya digunakan menurut keperluannya. Pengepak yang dibuat
dari aluminium atau kaleng dan seng mudah melapuk, sehingga perlu
dilapisi dengan plastik atau malam atau yang sejenis dengan itu.
Penyimpanan harus teratur, rapi, untuk mencegah resiko tercemar atau
saling mencemari satu sama lain, serta untuk memudahkan pengambilan,
pemeriksaan, dan pemeliharaannya. Simplisia yang disimpan harus diberi
label yang mencantumkan identitas, kondisi, jumlah, mutu, dan cara
penyimpanannya. Adapun tempat atau gudang penyimpanan harus
memenuhi syarat antara lain harus bersih, tentutup, sirkulasi udara baik,
tidak lembab, penerangan cukup bila diperlukan, sinar matahari tidak boleh
leluasa masuk ke dalam gudang, konstruksi dibuat sedemikian rupa
sehingga serangga atau tikus tidak dapat Ieluasa masuk, tidak mudah
kebanjiran serta terdapat alas dari kayu yang baik (hati-hati karena balok
kayu sangat disukai rayap) atau bahan lain untuk meletakkan simplisia yang
sudah dipakai tadi. (Anonim,1992)
II.2.2 Ekstraksi
Menurut Departemen Kesehatan RI (2006), ekstraksi adalah proses
penarikan kandungan kimia yang dapat larut dari suatu serbuk simplisia,
sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut. Beberapa metode yang
banyak digunakan untuk ekstraksi bahan alam antara lain:
1. Maserasi
Maserasi merupakan metode seder-hana yang paling banyak
digunakan. Cara ini sesuai, baik untuk skala kecil maupun skala industri.
(Agoes,2007). Metode ini dilakukan dengan memasukkan serbuk tanaman dan
pelarut yang sesuai ke dalam wadah inert yang tertutup rapat pada suhu kamar.
Proses ekstraksi dihentikan ketika tercapai kesetimbangan antara konsentrasi
senyawa dalam pelarut dengan konsentrasi dalam sel tanaman. Setelah proses
ekstraksi, pelarut dipisahkan dari sampel dengan penyaringan. Kerugian utama
dari metode maserasi ini adalah memakan banyak waktu, pelarut yang
digunakan cukup banyak, dan besar kemungkinan beberapa senyawa
hilang.Selain itu, beberapa sen-yawa mungkin saja sulit diekstraksi pada suhu
kamar. Namun di sisi lain, metode maserasi dapat menghindari rusaknya
senyawa-senyawa yang bersifat termolabil.
2. Perkolasi
Ada metode perkolasi, serbuk sampel dibasahi secara perlahan dalam
sebuah perkolator (wadah silinder yang dilengkapi dengan kran pada bagian
bawahnya). Pelarut ditambahkan pada bagian atas serbuk sampel dan
dibiarkan menetes perlahan pada bagian bawah. Kelebihan dari metode ini
adalah sampel senantiasa dialiri oleh pelarut baru. Sedangkan kerugiannya
adalah jika sampel dalam perkolator tidak homogen maka pelarut akan sulit
menjangkau seluruh area. Selain itu, metode ini juga membutuhkan banyak
pelarut dan memakan banyak waktu.
3. Soxhlet
Metode ini dilakukan dengan menempatkan serbuk sampel dalam
sarung selulosa (dapat digunakan kertas saring) dalam klonsong yang
ditempatkan di atas labu dan di bawah kondensor. Pelarut yang sesuai
dimasukkan ke dalam labu dan suhu penangas diatur di bawah suhu reflux.
Keuntungan dari metode ini adalah proses ektraksi yang kontinyu, sampel
terekstraksi oleh pelarut murni hasil kondensasi sehing-ga tidak membutuhkan
banyak pelarut dan tidak memakan banyak waktu. Kerugiannya adalah
senyawa yang bersifat termolabil dapat terdegradasi karena ekstrak yang
diperoleh terusmenerus berada pada titik didih.
4. Reflux dan Destilasi Uap
Pada metode reflux, sampel dimasukkan bersama pelarut ke dalam
labu yang dihubungkan dengan kondensor. Pelarut dipanaskan hingga
mencapai titik didih.Uap terkondensasi dan kembali ke dalam labu.Destilasi
uap memiliki proses yang sama dan biasanya digunakan untuk
mengekstraksi minyak esensial (campuran berbagai senyawa menguap).
Selama pemanasan, uap terkondensasi dan destilat (terpisah sebagai 2 bagian
yang tidak saling bercampur) ditampung dalam wadah yang terhubung
dengan kondensor. Kerugian dari kedua metode ini adalah senyawa yang
bersifat termolabil dapat terdegradasi (Seidel V 2006).
II.2.3 Partisi
Partisi adalah keadaan kesetimbangan keberhasilan pemisahan sangat
tergantung pada perbedaan kelarutan senyawa tersebut dalam kedua pelarut.
Secara umum prinsip pemisahannya adalah senyawa tersebut kurang larut dalam
pelarut yang satu dan sangat larut di pelarut lainnya. Air banyak dipakai dalam
sistem ekstraksi cair-cair senyawa organik karena banyak senyawa organik yang
bersifat ion atau sangat polar yang cukup larut dalam air Pelarut lainnya adalah
pelarut organik yang tidak bercampur dengan air (yaitu bukan dari golongan
alkohol dan aseton). Dalam sistem ekstraksi ini akan dihasilkan dua fasa yaitu fasa
air (aqueos) dan fasa organik. Selain syarat kelarutan yang harus berbeda jauh
perbedaannya di kedua pelarut tersebut, juga syarat lain adalah pelarut organik
harus mempunyai titik didih jauh lebih rendah dari senyawa terekstraksi (biasanya
dibawah 100 0C), tidak mahal dan tidak bersifat racun (Khamidinal, 2009).
Berdasarkan bentuk campuran yang diekstraksi, ekstraksi dibagi menjadi
dua yaitu ekstraksi padat-cair dan ekstraksi cair-cair.
1. Ekstrasi Cair-cair
Ekstraksi cair-cair adalah suatu teknik dalam suatu larutan (biasanya
dalam air) dengan suatu pelarut kedua (biasanya organik), yang tidak dapat
saling bercampur dan menimbulkan perpindahan satu atau lebih zat terlarut
(solute) kedalam fase yang kedua. Pemisahan yang dapat dilakukan, bersifat
sederhana, cepat dan mudah (Khopkar,2010)
Prinsipnya pada perbedaan koefisien distribusi zat terlarut dalma dua
larutan yang berbeda fase dan tidak saling bercampur. Bila suatu zat terlarut
terdistribusi antara dua larutan yang saling bercampur, berlaku hukum
mengenai konsen zat terlarut dalam kedua fase pada kesetimbangan. Peristiwa
ekstraksi cair-cair atau disebut ekstraksi saja adalah pemisahan komponen
suatu campuran cair dengan mengontakkan pada cairan lain. Sehingga disebut
juga ekstraksi cair atau ekstraksi pelarut (solvent extract). Prinsip kerjanya
adalah pemisahan berdasarkan perbedaan kelarutan (yasid, 2005).
2. Ekstraksi Cair Padat
Adalah transfer difusi komponen terlarut dari padatan inert ke dalam
pelarutnya atau digunakan untuk memisahkan analit yang terdapat pada
padatan menggunakan pelarut organic. Proses ini merupakan proses yang
bersifat fisik, karena komponen terlarut kemudian dikembalikan lagi ke
keadaan semula tanpa mengalami perubahan kimiawi. Ekstraksi dari bahan
padat dapat dilakukan jika bahan yang diinginkan dapat larut dalam solven
pengekstraksi. Padatan yang akan diekstrak dilembutkan terlebih dahulu, dapat
dengan cara ditumbuk atau dapat juga di iris-iris menjadi bagian-bagian yang
tipis. Kemudian padatan yang telah halus di bungkus dengan kertas saring dan
dimasukkan kedalam alat ekstraksi soxhlet. Pelarut organik dimasukkan ke
dalam labu godog.Kemudian peralatan ekstraksi di rangkai dengan pendingin
air. Ekstraksi dilakukan dengan memanaskan pelarut organik sampai semua
analit terekstrak (Khamidinal, 2009).
II.2.4 Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi lapis tipis ialah metode pemisahan fisikokimia yang
didasarkan pada perbedaan distribusi molekul-molekul komponen diantara
dua fasa (fase gerak/eluen dan fase diam/adsorben) yang berbeda
tingkat kepolarannya. (Sastrohamidjojo, 1991).
Prinsip dari pemisahan kromatografi lapis tipis adalah adanya perbedaan
sifat fisik dan kimia dari senyawa yaitu kecendrungan dari molekul untuk
melarut dalam cairan (kelarutan), kecendrungan molekul untuk menguap dan
kecendrungan molekul untuk melekat pada permukaan (adsorpsi, penjerapan)
(Hendayana, 2006).
Identifikasi senyawa-senyawa yang terpisah pada kromatografi lapis
tipis dapat menggunakan harga Rf (Retardation factor) yang
menggambarkan jarak yang ditempuh suatu komponen terhadap jarak
keseluruhan, yaitu:.

Di dalam analisis dengan KLT, sampel dalam jumlah yang


sangat kecil ditotolkan menggunakan pipa kapiler di atas permukaan
pelat tipis fasa diam (adsorbent), kemudian pelat diletakkan dengan tegak
dalam bejana pengembang yang berisi sedikit pelarut pengembang. Oleh aksi
kapiler, pelarut mengembang naik sepanjang permukaan lapisan pelat dan
membawa komponen-komponen yang terdapat dalam sampel.
II.2.5 Kromatografi kolom
Langkah berikutnya setelah diperoleh ekstrak dalam isolasi
senyawa organik bahan alam adalah pemisahan komponen-komponen
yang terdapat dalam ekstrak tersebut. Teknik yang banyak
digunakan adalah kromatografi. Kromatografi adalah teknik pemisahan
campuran berdasarkan perbedaan kecepatan perambatan komponen
dalam medium tertentu. Pada kromatografi komponen komponennya akan
dipisahkan antara dua buah fase yaitu fase diam dan fase gerak. Fase
diam akan menahan komponen campuran sedangkan fase gerak
akan melarutkan zat komponen campuran. Komponen yang mudah tertahan
pada fase diam akan tertinggal. Sedangkan komponen yang mudah larut
dalam fase gerak akan bergerak lebih cepat.
1. Kromatografi vakum cair
Gambar 2 instrumen KVC
Kromatografi vakum cair digunakan untuk fraksinasi ekstrak total
secara cepat. Teknik ini dapat dilakukan dengan menggunakan kolom
kromatografi yang dihubungkan dengan pompa vakum, dengan isian
kolom silica gel untuk TLC ( 10-40 m). Sebagai eluen digunakan campuran
pelarut dari yang non polar secara bertahap ke yang polar. Hasil
pemisahan dari kromotografi vakum cair adalah fraksi-fraksi yang dapat
dikelompokkan menjadi kelompok senyawa non polar, semi polar, dan
polar. fraksinasi ekstrak total secara cepat. Teknik ini dapat yang dihubungkan
dengan pompa vakum, dengan eluen digunakan campuran pelarut dari yang
non polar secara bertahap ke yang polar. Hasil pemisahan dapat
dikelompokkan menjadi kelompok senyawanon polar, semi polar, dan polar.
Kromatografi vakum cair ini merupakan modifikasi dari kromatografi kolom
grafitasi.Metode ini lebih banyak digunakan untuk fraksinasi sampel dalam
jumlah besar (10-50 g). Kolom yang digunakan biasanya terbuat dari gelas
dengan lapisan berpori pada bagian bawah. Ukuran kolom bervariasi
tergantung ukurannya. Kolom disambungkan dengan penampung eluen yang
dihubungkan dengan pompa vakum. Pompa vakum akan menghisap eluen
dalam kolom, sehingga proses pemisahan berlangsung lebih cepat. Penggunaan
tekanan dimaksudkan agar laju aliran eluen meningkat sehingga meminimalkan
terjadinya proses difusi karena ukuran silika gel yang biasanya digunakan pada
lapisan kromatografi KLT sebagai fasa diam dalam kolom yang halus yaitu
200-400 mesh. Kolom yang digunakan berukuran lebih pendek daripada
ukuran kromatografi gravitasi dengan diameter yang lebih besar (5 -10 cm).
Kolom KVC dikemas kering dalam keadaan vakum agar diperoleh
kerapatan kemasan maksimum. Sampel yang akan dipisahkan biasanya sudah
diadsorbsikan ke dalam silika kasar terlebih dahulu (ukuran silika kasar 30-70
mesh) agar pemisahannya lebih teratur dan menghindari sampel langsung
menerobos ke dinding kaca tanpa melewati adsorben terlebih dahulu, yang
dapat berakibat gagalnya proses pemisahan. Pelarut yang kepolarannya rendah
dituangkan ke permukaan penyerap yang sebelumnya sudah dimasukkan
sampel. Kolom dihisap perlahan-lahan ke dalam kemasan dengan
memvakumkannya. Kolom dielusi dengan campuran pelarut yang cocok, mulai
dengan pelarut yang kepolarannya rendah lalu kepolaran ditingkatkan
perlahan-lahan.Kolom dihisap sampai kering pada setiap pengumpulan fraksi
sehingga kromatografi vakum cair disebut juga kolom fraksinasi.
2. Kromatografi Konvensional
Kolom konvensional dibuat dari material pendukung yang dilapisi fase
diam dari berbagai pembebanan yang dikemas di dalam kolom. Kolom kapiler
terdiri dari tabung kapiler panjang yang didalamnya dilapisi dengan fase diam
(fase diam dapat juga direkatkan langsung pada permukaan silika). Sebagian
besar kolom kapiler terbuat dari paduan silika yang dilapisi polimer di bagian
luarnya.Paduan silika sangat mudah pecah sedangkan lapisan polimer tersebut
bertindak sebagai pelindungnya (Seno, 1997).
Prinsip kerja kromatografi kolom adalah dengan adanya perbedaan daya
serap dari masing-masing komponen, campuran yang akan diuji, dilarutkan
dalam sedikit pelarut lalu di masukan lewat puncak kolom dan dibiarkan
mengalir kedalam zat menyerap. Senyawa yang lebih polar akan terserap lebih
kuat sehingga turun lebih lambat dari senyawa non polar terserap lebih lemah
dan turun lebih cepat. Zat yang di serap dari larutan secara sempurna oleh
bahan penyerap berupa pita sempit pada kolom. Pelarut lebih lanjut / dengan
tanpa tekanan udara masin-masing zat akan bergerak turun dengan kecepatan
khusus sehingga terjadi pemisahan dalam kolom (Seno, 1997).
Cara pembuatannya ada dua macam :

a. Cara kering yaitu silika gel dimasukkan ke dalam kolom yang telah diberi
kapas kemudian ditambahkan cairan pengelusi.
b. Cara basah yaitu silika gel terlebih dahulu disuspensikan dengan cairan
pengelusi yangakan digunakan kemudian dimasukkan ke dalam kolom
melalui dinding kolom secarakontinyu sedikit demi sedikit hingga masuk
semua, sambil kran kolom dibuka. Eluen dialirkan hingga silika gel mapat,
setelah silika gel mapat eluen dibiarkan mengalir sampai batas adsorben
kemudian kran ditutup dan sampel dimasukkan yang terlebih dahulu
dilarutkan dalam eluen sampai diperoleh kelarutan yang
spesifik.Kemudian sampel dipipet dan dimasukkan ke dalam kolom
melalui dinding kolom sedikit demi sedikit hingga masuk semua, dan kran
dibuka dan diatur tetesannya, serta cairan pengelusi ditambahkan.Tetesan
yang keluar ditampung sebagai fraksi-fraksi (Hargono, 1986):
3. Kromatografi Flash
Kromatografi flash merupakan kromatografi dengan tekanan
rendah (pada umumnya kurang dari 20 psi) yang digunakan sebagai
kekuatan bagi elusi bahan pelarut melalui suatu ruangan atau kolom yang
lebih cepat. Kualitas pemisahan sedang, tetapi dapat berlangsung cepat
(10-15 menit). Pemisahan ini tidak sesuai untuk pemisahan campuran yang
terdiri dari bermacam-macam zat, tetapi sangat baik untuk memisahkan
sedikit reaktan dari kompenen untuk dalam sintesa organik. Panjang
kolom 30-45 cm untuk jumlah pelarut 250-3000 ml. Kromatografi ini
berbeda dengan kromatografi kolom yang didasarkan pada gravitasi. Ada
dua hal yang membedakan kromatografi ini dengan kromatografi kolom
yaitu ukuran silica gel yang digunakan lebih halus dan kecepatan aliran
eluen tergantung pada ukuran silika gel dan tekanan gas yang diberikan
pada fasa diamnya. Sistem eluen yang digunakan pada kromatografi ini
dapat berupa campuran dari dua atau lebih pelarut.
Pemilihan sistem eluen yang memisahkan senyawa pada Rf 0,15 -
0,20. Banyaknya silika gel yang digunakan bervariasi antara 30-100 kali
berat sampel. Untuk pemisahan yang mudah dapat menggunakan
perbandingan 30:1 dan untuk pemisahan yang cukup rumit perbandingan
itu dapat ditingkatkan (Still et all, 1978). Silika gel yang biasa digunakan
adalah silika gel G60 ukuran 63-200 µm dan silika gel G60 ukuran 40-43
µm. pemilihan kolom disesuaikan dengan banyaknya sampel yang akan
dipisahkan. Banyaknya sampel berbanding lurus dengan luas penampang
kolom (Kristanti dkk, 2008).
II.2.6 Pemurnian
II.2.6.1 Rekristalisasi
Rekristalisasi merupakan cara yang paling efektif untuk memurnikan
zat – zat organik dalam bentuk padat. Oleh karena itu teknik ini secara rutin
digunakan untuk pemurnian senyawa hasil sintesis atau hasil isolasi dari bahan
alami, sebelum dianalisis lebih lanjut, misalnya dengan instrumebn spektoskopi
seperti UV, IR, NMR, dan MS. Sebagai metoda pemurnian padatan,
rekristalisai memiliki sejarah yang panjang seperti distilasi. Wa;aupun beberapa
metoda yang lebih rumit telah dikenalkan, rekristalisasi adalah metoda yang
paling penting untuk pemurnian sebabkemudahannya ( tidak perlu alat khusus )
dank arena keefektifannya. Ke depannya rekristalisasi akan tetap metoda
standar untuk memurnikan padatan.
Metoda ini sederhana, material padayan ini terlarut dalam pelarut yang
cocok pada suhu tinggi ( pada atau dekat titik didih pelarutnya ) untuk
mendapatkan jumlah larutan jenuh atau dekat jenuh. Ketika larutan panas
perlahan didinginkan, Kristal akan mengendap karena kelarutan padatan
biasanya menurun bila suhu diturunkan. Diharapkan bahwa pengotor tidak
akan pengkristal karena konsentrasinya dalam larutan tidak terlalu tinggi untuk
mencapai jenuh. Walaupun rekristalisasi adalah metoda yang sangat sederhana,
dalam prakteknya bukan berarti mudah dilakukan. Adapun saran – saran yang
dibutuhkan untuk melakukan metoda kristalisai adalah sebagai berikut : 1.
Kelarutan material yang akan dimurnikan harus memiliki ketergantungan yang
besar pada suhu. Misalnya, ketergantungan pada suhu NaCl hampir dapat
diabaikan.Jadi pemurnian NaCl dengan rekristalisasi tidak dapat dilakukan. 2.
Kristal tidak harus mengendap dari larutan jenuh dengan pendinginan karena
mungkin terbentuk super jenuh. Dalam kasus semacam ini penambahan Kristal
bibt, mungkin akan efektif. Bila tak ada Kristal bibit, menggaruk dinding
mungkin akan berguna. 3. Untuk mencegah reaksi kimia antara pelarut dan zat
terlarut, penggunaan pelarut non polar lebih disarankan. Namun, pelarut non
polar cenderung merupakan pelarut yang buruk untuk senyawa polar. 4.
Umumnya, pelarut dengan titik didih rendah lebih diinginkan. Namun sekali
lagi pelarut dengan titik didih lebih rendah biasanya non polar. Jadi, pemilihan
pelarut biasanya bukan masalah sederhana
II.3 Karakterisasi Senyawa
Identifikasi golongan senyawa dapat dilakukan dengan uji warna,
penentuan kelarutan, bilangan Rf dan ciri spectrum UV (Harborne, 1998).
Identifikasi yang paling penting dan digunakan secara luas ialah pengukuran
spektrum serapan dengan menggunakan spektrofotometer. Pengukuran ini tidak
merusak senyawa dan senyawa dapat dipakai lagi untuk uji-uji yang lain.
Seringkali gabungan kromatografi dan spektrofotometri memungkinkan
fraksinasi menjadi sempurna terhadap campuran alami yang sangat kecil
jumlahnya dan identifikasi setiap komponennya secara pasti.Tiga jenis
spektrum serapan telah dikenal yaitu sinar tampak, ultraviolet dan inframerah.
Kesamaan spektrum inframerah suatu senyawa murni yang tidak diketahui
dengan senyawa pembanding dapat dianggap sebagai bukti bahwa kedua
senyawa itu sama. Spektrum serapan ultraviolet-visibel tidak didasarkan pada
getaran atom dalam molekul akan tetapi pada kenyataannya elektron tertentu
yang terikat longgar dapat ditingkatkan ke arah energi yang lebih tinggi dengan
menyerap radiasi dengan panjang gelombang tertentu.
Spektra UV digunakan untuk mengetahui keberadaan ikatan rangkap
terkonjugasi pendek misalnya aromatik dan panjang misalnya
karotenoida.Spektra IR digunakan untuk mengetahui gugus fungsi dan
perkiraan jenis senyawa (Harborne, 1998).
II.3.1 Spektrofotometer UV
Daerah pengukuran spektrofoto meter UV adalah pada panjang
gelombang 200-400 nm. Spektrum UV disebut juga spektrum elektronik
karena terjadi sebagai hasil interaksi radiasi UV terhadap molekul yang
mengakibatkan molekul tersebut mengalami transisi elektronik. Apabila radiasi
elektromagnetik dikenakan pada suatu molekul atau atom maka sebagian dari
radiasi tersebut diserap oleh molekul atau atom tersebut sesuai dengan
strukturnya yang mempunyai gugus kromofor (Mulja, 1990)
II.3.2.Spektrofotometer IR
Radiasi infrared(IR) atau infrared merupakan bagian dari spektrum
elektro-magnetik antara daerah gelombang cahaya tampak dan gelombang
mikrowafe.Penggunaan terbesar terhadap kimia organik adalah pada panjang
gelombang 4000-400 cm-1.Frekuensi radiasi IR kurang dari 100 cm-
1diabsorbsi dan diubah oleh molekul organik menjadi energi rotasi
molekul.Serapan ini diukur.Radiasi IR dalam daerah panjang gelombang
10000-100 cm-1diabsorbsi dan diubah oleh sebuah molekul organik ke dalam
energi vibrasi molekul.Serapan ini juga dihitung.Tapi, spektrum vibrasi muncul
sebagai tanda lebih baik karena sebuah perubahan energi vibra tunggal diikuti
oleh sejumlah perubahan energi rotasi. Absorbsi frekuensi atau panjang
gelombang tergantung pada massa relatif atom, gaya konstan ikatan dan
geometri atom. Posisi tanda dalam spektrum IR disajikan dalam jumlah
gelombang yang memiliki satuan cm-1. Jenis ikatan yang dapat ditunjukkan
pada daerah serapan 1300-800 cm-1 (C-C, C-O, C-N), 1900-1500 cm-1 (C═O,
C═N, N═O), 2300-2000 cm-1(C≡C, C≡N), dan 3000-2200 (C- H, O-H, N-H)
(Silverstain, 1998)
III.3.3 Kromatografi gas-spektrometer massa (GC-MS)
Kromatografi gas-spektrometer massa (GC-MS) adalah metode yang
mengkombinasikan kromatografi gas dan spektrometri massa untuk
mengidentifikasi senyawa yang berbeda dalam analisis sampel. Kromatografi
gas dan spketometer masa memilki keunikan masing-masing dimana keduanya
memiliki kelebihan dan kekurangan. Dengan menggabungkan kedua teknik
tersebut diharapkan mampu meningkatkan kemampuan dalam menganalisis
sampel dengan mengambil kelebihan masing-masing teknik dan meminimalisir
kekurangannya.
Kromatografi gas dan spketometer masa dalam banyak hal memiliki
banyak kesamaan dalam tekniknya. Untuk kedua teknik tersebut, sampel yang
dibutuhkan dalam bentuk fase uap, dan keduanya juga sama-sama
membutuhkan jumlah sampel yang sedikit ( umumnya kurang dari 1 ng). Disisi
lain, kedua teknik tersebut memiliki perbedaan yang cukup besar yakni pada
kondisi operasinya. Senyawa yang terdapat pada kromatografi gas adalah
senyawa yang digunakan untuk sebagai gas pembawa dalam alat GC dengan
tekanan kurang lebih 760 torr, sedangkan spketometer massa beroperasi pada
kondisi vakum dengan kondisi tekanan 10-6 – 10-5 torr Skoog,
( Douglas,1996)
Prinsip kerja
GC-MS adalah terdiri dari dua blok bangunan utama: kromatografi gas
dan spektrometer massa . Kromatografi gas menggunakan kolom kapiler yang
tergantung pada dimensi kolom itu (panjang, diameter, ketebalan film) serta
sifat fase (misalnya 5% fenil polisiloksan). Perbedaan sifat kimia antara
molekul-molekul yang berbeda dalam suatu campuran dipisahkan dari molekul
dengan melewatkan sampel sepanjang kolom. Molekul-molekul memerlukan
jumlah waktu yang berbeda (disebut waktu retensi) untuk keluar dari
kromatografi gas, dan ini memungkinkan spektrometer massa untuk
menangkap, ionisasi, mempercepat, membelokkan, dan mendeteksi molekul
terionisasi secara terpisah. Spektrometer massa melakukan hal ini dengan
memecah masing-masing molekul menjadi terionisasi mendeteksi fragmen
menggunakan massa untuk mengisi rasio
Spektroskopi NMR merupakan tehnik analisis untuk memberikan
gambaran mengenai jenis atom, jumlah, maupun lingkungan atom
hidrogen (1H NMR) maupun karbon (13 C NMR) pada suatu komponen
senyawa (Silverstein et al., 2005; Wyk et al., 2007).
Spektroskopi NMR didasarkan pada penyerapan gelombang radio oleh
inti - inti tertentu dalam molekul organik. Spektrum 1H NMR dan 13 C NMR
sering disebut metode spektroskopi 1 dimensi
II.4 Uji Bioaktivitas (Bioassay)
II.4.1 Antioksidan
II.4.1.1Uji DPPH (1,1 – Difenil-2-Pikrilhidrazin)
Menurut Bendra (2012) DPPH merupakan radikal bebas yang stabil
pada suhu kamar dan sering digunakan untuk menilai aktivitas antioksidan
beberapa senyawa atau ekstrak bahan alam.Prinsip uji DPPH adalah
penghilang warna untuk antioksidan yang langsung menjangkau radikal
DPPH dengan pemantauan absorbansi dengan panjang gelombang 517 nm
menggunakan spektrofotometer.Radikal DPPH dengan nitrogen organik
terpusat adalah radikal bebas stabil dengan warna ungu gelap yang ketika
direduksi menjadi bentuk nonradikal oleh antioksidan menjadi warna
kuning.
Prinsip dari uji aktivitas antioksidan dengan metode DPPH yaitu
reaksi penangkapan atom hidrogen dari senyawa antioksidan oleh radikal
bebas DPPH untuk mendapatkan pasangan elektron dan mengubahnya
menjadi difenil pikril hidrazin (DPPH).
Pengujian aktivitas antioksidan dapat dilakukan dengan metode
DPPH (1,1 difenil – 2 –pikrilhidrazil).Metode DPPH memberikan informasi
tingkat kestabilan reaktivitas senyawa yang dijui dengan suatu radikal
bebas DPPH memberikan serapan kuat pada panjang gelombang 517 nm
dengan warna violet gelap. DPPH akan menangkap radikal bebas
menyebabkan elektron menjadi berpasangan sehingga warna dari DPPH akan
berubah dari warna ungu menjadi bewarna kuning kecoklatan. Perhitungan
yang digunakan dalam penentuan aktivitas penangkap radikal bebas adalah
nilai IC 50 ( Inhibition concentration 50%). Nilai tersebut menggambarkan
besarnya konsentrasi senyawa uji yang dapat menangkap radikal sebesar
50%. Semakin kecil nilai IC50 berarti aktivitas antioksidannya semakin tinggi.
nilai konsentrasi efektif merupakan bilangan yang menunjukkan
konsentrasi ekstrak (mikrogram/milimeter) yang mampu menghambat 50%
oksidasi. Perhitungan nilai konsentrasi efektif atau IC50 menggunakan
rumus sebagai berikut:

peresentasi inhibisi =

Keterangan : A = Absorban
II.4.4.2 Uji ABTS (Asam 2,2'-Azinobis(3-etilbenzatiazolin)-6-sulfonat)
Prinsip Uji ABTS adalah penghilang warna kation ABTS untuk
mengukur kapaitas antioksidan yang langsung beraksi dengan radikal
kation ABTS. ABTS adalah suatu radikal dengan pusat nitrogen yang
menpunyai warna karakteristik biru-hijau yang bila tereduksi oleh
antioksidan akan berubah menjadi nonradikal, dari berwarna menjadi tidak
berwarna. Kemampuan aktivitas antioksidan secara spektrofotometer pada
panjang gelombang 734. Hasilnya dibandingkan dengan standar yakni
senyawa trolox (Bendra, 2012)
II.4.4.3.Uji Penghambatan Radikal Superoksida
Uji ini mengukur antioksidan menggunakan molekular nitroblue
tentrazolium (NBT), dalam meredam radikal superoksida yang dihasilkan
sistem enzimatik hipoxantin-xantin oksidase (HPX- XOD).NBT memiliki
warna kunin yang oleh radikal superoksid membentuk formazan yang
berwarna biru, dan terukur pada panjang gelombang 560 nm dengan
spektrofotometer.Kemampuan ekstrak untuk penghambatan warna
hingga50% diukur dalam(Bendra, 2012)
Tabel 1 Tingkat Kekuatan antioksidan (Jun M, 2006)

Intensitas Antioksidan Nilai IC50 ((μg/mL)


Sangat kuat <50
Kuat 50-100
Sedang 100-250
Lemah 250-500
Tidak aktif >500

II.4.2 Metode Brine Shrimps Lethality Test (BSLT)


II.4.2.1 Metode Brine Shrimps Lethality Test (BSLT)
Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) pertama kali diperkenalkan
oleh Michael, dkk pada tahun 1956. Metode pengujian ini didasarkan pada
bahan senyawa aktif dari tumbuhan yang bersifat toksik dan mampu membunuh
larva A. salina Leach dan dapat digunakan sebagai uji praskrining
aktivitas antikanker.
Toksisitas menurut ilmu kimia adalah kerusakan yang ditimbulkan
oleh suatu bentuk aksi kimia mempunyai bentuk dan variasi yang luas. Asam-
asam kuat yang mengalami kontak langsung dengan organ mata, kulit, atau
saluran pencernaan dapat mengakibatkan kerusakan pada jaringan dan
bahkan kematian pada sel - sel. Uji toksisitas larva udang Artemia salina
Leach telah digunakan sejak tahun 1956 untuk berbagai pengamatan
bioaktivitas senyawa bahan alam. Uji toksisitas larva udang memang tidak
spesifik untuk anti tumor, tetapi kemampuannya untuk mendeteksi 14 dari 24
Ettphorbiaceae yang aktif terhadap uji leukemia invivo mencit mendeteksi 2
dari 6 ekstrak Euphorbiaceae yang aktif terhadap uji karsinoma nasofaring.
Hal ini memungkinkan uji toksisitas larva udang dapat digunakan sebagai uji
penapisan senyawa bioaktif tahap awal dari rangkaian uji toksisitas untuk
mendapatkan dosis yang aman bagi manusia. Beberapa kelebihan dari
bioaktivitas Brine Shrimp Test (BST) menggunakan larva udang adalah cepat
waktu ujinya, sederhana (tanpa teknik aseptik), murah (tidak perlu serum
hewan), jumlah organisme banyak, memenuhi kebutuhan validasi statistik
dengan sedikit sampel.
Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) merupakan pengujian senyawa
secara umum yang dapat mendeteksi beberapa bioaktivitas seperti, antikanker dan
antitumor dalam suatu esktrak. Salah satu organisme yang sesuai untuk
hewan uji tersebut adalah larva udang Artemia salina Leach (udang laut).
Metode brine shrimp dapat dilakukan dengan sangat mudah dan
murah sehingga telah banyak digunakan, seperti menganalisis residu
pestisida, mikotoksin, polutan pada air sungai, bahan karsinogenik dan sebagainya
Ekstrak yang bersifat toksik saat diuji dengan menggunakan
metode Brine shrimp lethality test (BSLT) dapat menyebabkan kematian 50
% larva artemia dalam waktu 24 jam pada konsentrasi LC 50 <1000 ppm
menandakan bahwa sampel memiliki potensi sebagai antikanker, antibakteri,
antijamur dan sebagainya (Mayer, 1982)

Tabel 2 Kategori Toksisitas bahan


Kategori LC50 (ppm)
Sangat toksik <30
Toksik 30-1000
Tidak Toksi >1000

II.4.3 Metode uji antimikroba


II.4.3.1 Metode Pengujian Antibakteri dan antifungi
Pada uji ini, yang akan di ukur adalah respons pertumbuhan populasi
mikroorganisme terhadap agen antimikroba. Salah satu manfaat dari uji
antimikroba adalah diperolehnya satu sistem pengobatan yang efektif dan
efisien. Penentuan setiap kepekaan kuman terhadap suatu obat adalah dengan
menentukan kadar obat terkecil yang dapat menghambat pertumbuhan kuman
in vitro. Beberapa cara pengujian antibakteri adalah sebagai berikut :
1. Metode Difusi
Pada metode ini, penentuan aktivitas didasarkan pada kemampuan difusi dari
zat antimikroba dalam lempeng agar telah di inokulasikan dengan mikroba uji.
Hasil pengamatan yang akan diperoleh berupa ada atau tidaknya zona
hambatan yang akan terbentuk sekeliling zat antimikroba pada waktu tertentu
masa inkubasi. Pada metode ini ada 3 cara yaitu :
a. Cara Cakram (Disc)
Cara ini merupakan cara yang paling sering digunakan untuk
menentukan kepekaan kuman terhadap berbagai macam obat-obatan. Pada cara
ini, digunakan suatu cakram kertas saring (paper disc) yang berfungsi sebagai
tempat menmpung zat antimikroba. Kertas saring tersebut kemudian diletakkan
pada lempeng agar yang telah diinokulasi mikroba uji, kemudian di inkubasi
pada waktu tertentu dan suhu tertentu, sesuai dengan kondisi optimum dari
mikroba uji. Pada umumnya, hasil yang didapat bisa diamati setelah inkubasi
selama 18-24 jam dengan suhu 37oC. Hasil pengamatan yang diperoleh berupa
ada atau tidaknya daerah bening yang berbentuk disekelilingi kertas cakram
yang menunjukkan zona hambat pada pertumbuhan bakteri.
Menurut greenwood (1995) efektivitas suatu zat antibakteri bisa diklarifikasi
pada tabel berikut :
Diameter zona terang Respon hambatan pertumbuhan
 20 mm Kuat
16-20 mm Sedang
10-15 mm Lemah
< 10 mm Tidak ada

Metode cakram disk atau cakram kertas ini memiliki kelebihan dan
kekurangan. Kelebihannya adalah mudah dilakukan, tidak memerlukan
perlatan khusus dan relatif murah. Sedangkan kelemahannya adalah ukuran
zona bening yang terbentuk tergantung oleh kondisi inkubasi, inokulum,
predifusi dan preinkubasi serta ketebalan medium. Apabila keempat faktor
tersebut tidak sesuai maka hasil metode cakram disk biasanya sulit untuk
diintepretasikan selain itu, metode cakram disk ini dapat diaplikasikan pada
mikroorganisme yang pertumbuhannya lambat dan mikroorganisme yang
bersifat anaeob obligat.
b. Cara Parit (ditch)
Suatu lempeng agar yang telah diinokulasikan dengan bakteri uji
dibuat sebidang parit. Parit tersebut berisi zat antimikroba, kemudian
diinkubasi pada waktu dan suhu optimum yang sesuai untuk mikroba uji. Hasil
pengamatan yang akan diperoleh berupa ada tidaknya zona hambat yang akan
terbentuk di sekitar parit.
c. Cara sumuran (hole/cup)
Pada lempeng agar yang telah diinokulasikan dengan bakteri uji dibuat
suatu lubang yang selanjutnya diisi dengan zat antimikroba uji. Kemudian
setiap lubang itu diisi dengan uji. Setelah inkubasi pada suhu dan waktu yang
sesuai dengan mikroba uji, dilakukan pengamatan dengan melihat ada atau
tidaknya zona hambatan disekeliling lubang.
2. Metode Dilusi
Pada metode ini dilakukan dengan mencampurkan zat antimikroba dan
media agar, yang kemudian diinokulasikan dengan mikroba uji. Hasil
pengamatan yang akan diperoleh berupa tumbuh atau tidaknya mikroba
didalam media. Aktivitas zat antimikroba ditentukan dengan melihat
konsentrasi hambat minimum (KHM) yang merupakan konsentrasi terkecil dari
zat antimikroba uji yang masih memberikan efek penghambatan terhadap
pertumbuhan mikroba uji. Metode ini terdiri atas dua cara, yaitu:
a. Pengenceran serial dalam tabung
Pengujian dilakukan dengan menggunakan sederetan tabung reaksi
yang diisi dengan inokolum kuman dan larutan antibakteri dalam berbagai
konsentrasi. Zat yang akan diuji aktivitas bakterinya di encerkan sesuai
serial dalam media cair kemudian diinokulasikan dengan kuman dan
diinkubasi pada waktu dan suhu yang sesuai dengan mikroba uji. Aktivitas
zat ditentukan sebagai kadar hambat minimal (KHM).
b. Penipisan Lempeng Agar
Zat antibakteri di encerkan dalam media agar dan kemudian
dituangkan kedalam cawan petri. Setelah agar membeku, diinokulasikan
kuman kemudian diinkubasi pada waktu dan suhu tertentu. Konsentrasi
terendah dari larutan zat antibakteri yang masih memberikan hambatan
terhadap pertumbuhan kuman ditetapkan sebagai konsentrasi hambat
minimal (KHM).
3. Metode difusi dan dilusi
E- test atau biasa disebut juga dengan tes epsilometer adalah metode
tes dimana huruf ‘E’ dalam nama E-test menunjukkan simbol epsilon. E-test
merupakan metode kuantitatif untuk uji antimikroba. Metode ini termasuk
gabungan antara metode dilusi dari antibakteri dan metode difusi antibakteri ke
dalam media. Metode ini dilakukan dengan menggunakan strip plastic yang
sudah mengandung agen antibakteri dengan konsentrasi terendah sampai
konsentrasi tertinggi diletakkan pada media agar yang telah ditanami
mikroorganisme. Hambatan pertumbuhan mikroorganisme bisa diamati dengan
adanya area jernih disekitar strip tersebut.
II.4.3 Bioautografi
II.4.2.2 KLT Bioautografi

Metode bioautografi merupakan metode sederhana yang digunakan untuk


menunjukkan adanya aktivitas antibakteri atau kapang. Metode ini
menggabungkan penggunaan teknik kromotografi lapis tipis dengan respon dari
mikroorganisme yang diuji berdasarkan aktivitas biologi dari suatu analit yang
dapat berupa antibakteri, antikapang, dan antiprotozoa. Bioautografi dapat
digunakan untuk mencari antibakteri atau antikapang baru, kontrol kualitas
antimikroba, dan mendeteksi golongan senyawa (Macek, 2005).
Metode bioautografi dibedakan menjadi bioautografi kontak, bioautografi
imersi atau bioautografi agar overlay, dan bioautografi langsung. Bioautografi
kontak dilakukan dengan meletakkan lempeng kromatogram hasil elusi senyawa
yang akan diuji di atas media padat yang sudah diinokulasi dengan mikroba uji.
Adanya senyawa antimikroba ditandai dengan adanya daerah jernih yang tidak
ditumbuhi mikroba. Pada bioautografi agar overlay, lempeng kromatogram
dilapisi dengan agar yang masih cair yang sudah diinokulasi dengan mikroba uji.
Setelah agar mengeras, lempeng kromatogram diinkubasi dan diwarnai dengan
tetrazolium dye. Penghambat dapat dideteksi dengan terbentuknya pita (band).
Bioautografi langsung dilakukan dengan menyemprot lempeng kromotogram
dengan mikroba uji dan diinkubasi. Zona hambat yang terbentuk divisualisasikan
dengan menyemprot lempeng kromatogram dengan tetrazolium dye (Choma I,
2005). Salah satu keuntungan metode bioautografi dibandingkan dengan metode
lain seperti difusi agar dan pengenceran adalah dapat digunakan untuk mengetahui
aktivitas biologi secara langsung dari senyawa yang komplek, terutama yang
terkait dengan kemampuan suatu senyawa untuk menghambat pertumbuhan
mikroba, selain untuk pemisahan dan identifikasi. Kelebihan lainnya, metode
bioautografi tersebut cepat, mudah untuk dilakukan, murah, hanya membutuhkan
peralatan sederhana dan interpretasi hasilnya relatif mudah dan akurat (Kavanagh,
1972).
a. Bioautografi langsung
Dimana mikroorganismenya tumbuh secara langsung di atas lempeng
Kromatografi Lapis Tipis (KLT). Prinsip kerja dari metode ini adalah suspensi
mikroorganisme uji yang peka dalam medium cair disemprotkan pada
permukaan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) yang telah dihilangkan sisa-sisa
eluen yang menempel pada lempeng kromatogram. Setelah itu dilakukan
inkubasi pada suhu dan waktu tertentu. Pengeringan kromatogram dilakukan
secara hati-hati dengan menggunakan “hair dryer” untuk menghilangkan sisa
eluen. Besarnya lempeng KLT yang sering digunakan adalah 20×20 cm dan
untuk meratakan suspensi bakteri yang telah disemprotkan dapat menggunakan
alat putar atau “roller” yang dilapisi dengan kertas kromatogram. Lempeng
KLT diinkubasi selama 1×24 jam dalam boks plastik dan dilapisi dengan
kertas, kemudian disemprot dengan 5 ml larutan cair TTC (20 mg/ml) atau INT
(5 mg/ml), INTB (5 mg/ml), serta MTT (2,5 mg/ml) dan selanjutnya diinkubasi
kembali selam 4 jam pada suhu 37oC (Djide, M.N, 2005).
b. Bioautografi kontak
Dimana senyawa antimikroba dipindahkan dari lempeng KLT ke medium
agar yang telah diinokulasikan bakteri uji yang peka secara merata dan
melakukan kontak langsung. Prinsip kerja dari metode ini didasarkan atas
difusi dari senyawa yang telah dipisahkan dengan kromatografi lapis tipis
(KLT). Lempeng kromatografi ini disemprotkan di atas permukaan medium
nutrient agar yang telah diinokulasikan dengan mikroorganisme yang sensitif
terhadap senyawa antimikroba yang dianalisa. Setelah 15-30 menit lempeng
kromatografi kemudian dipindahkan dari permukaan medium. Senyawa
antibakteri yang telah berdifusi dari kromatogram ke dalam medium agar akan
menghambat pertumbuhan bakteri setelah diinkubasi pada waktu dan tempat
temperatur yang tepat, hingga noda yang menghambat tampak pada permukaan
(Djide, M. N, 2005).
c. Bioautografi pencelupan (Bioautografi imersi)
Dimana medium agar telah diinokulasikan dengan suspensi bakteri yang
telah dituang di atas lempeng kromatografi lapis tipis (KLT). Prinsip kerja dari
metode ini adalah lempeng kromatografi yang telah dielusi diletakkan dalam
cawan petri sehingga permukaan tertutupi oleh medium agar yang berfungsi
sebagai based layer. Setelah medium agar memadat, selanjutnya dituang
medium agar yang telah diinokulasi dengan mikroorganisme yang berfungsi
sebagai seed layer dan diinkubasi pada suhu dan waktu yang sesuai (Djide,
M.N, 2005).

BAB III
METODE KERJA
III.1 Alat dan Bahan
III.1.1 Alat
Alat yang digunakan yaituseperangkat alat destilasi, alat rotary
evaporator (Heidolph Laborota 4000), oven,kolom kromatografi, neraca
analitik, chamber,pipa kapiler, plat KLT,Lampu UV (λ 254 dan 356 nm), Melting
Point (Stuart SMP10), spektrofotometerultravioletvisible(Shimadzu
PharmaSpec UV-1700), spektrofotometerinframerah (Thermo ScientificNicolet
iS10), autoklaf, inku, tabung reaksi, spiritus dan beberapa peralatan gelas yang
umum digunakan.
III.1.2 Bahan
Bahan - bahan yang digunakan adalah kulit batang Loa(Ficus racemosa
L), heksana (Merck), etil asetat(Merck), metanol (Merck), silika gel 60
F254(Merck), plat KLT DC-Alufolien Kieselgel 60 F254Merck (20x20 cm),
pereaksi Mayer, pereaksi LiebermannBurchardyaituanhidrida asetat(Merck)dan
asam sulfat pekat(Merck), magnesium (Merck),asam kloridapekat (Merck),
besi(III)klorida(Merck), natrium hidroksida (Merck), akuades(Merck), kertas
saring, aluminium voil.Bahan yang digunakan untuk uji antioksidanyaituDPPH
(1,1-difenil-2-pikrilhidrazil).
III.2 Metode Kerja
III.2.1 Uji profil fitokimia
Sampel uji yang digunakan yaitu kulit batang Loa (Ficus
racemosa L). Pengujian yang dilakukan diantaranya uji kandungan fenolik
dengan reagen besi (III) klorida, uji flavonoid dengan Sianidin test, uji
saponin, uji triterpenoid dan steroid dengan reagen Liebermann-Burchard, uji
alkaloid dengan pereaksi Meyer, dan uji kumarin dengan natrium hidroksida
(Khalaf, N. A, 2008)
III.2.2 Ekstraksi
Sebanyak 1050 gram sampelyang telah berupa serbuk halus, diekstrak
dengan metode maserasi berturut-turut dengan menggunakan pelarut heksana
danetil asetat.Maserasi (perendaman) dengan pelarut heksana dilakukan selama 3-
4hari (sambil digoncangsekali-kali) kemudian disaring dan dilakukan berulang
kali hingga maserat tidak lagi memberikan warna yang keruh.Hasil dari maserasi
kemudian digabungkan dan diuapkan pelarutnya dengan menggunakan rotary
evaporatordengan suhu 40ᵒC.
Ampas yang didapat dari maserasi pertama yaitu dari heksana, di
maserasi lagi menggunakan etil asetat selama 3-4 hari.
BanyaknyaPengulanganekstraksiyang dilakukan sama dengan banyaknya
pengekstrakan menggunakan heksana. Hasil dari maserasi kemudian digabungkan
dan diuapkan pelarutnya dengan menggunakan rotaryevaporatordengan suhu
40ᵒC.
III.2.2. Kromatografi
Pemisahan senyawa dari ekstrak kental etil asetat dilakukan dengan
kromatografi kolomvakum cairdengan fasa diam silika gel dan fasa gerak
heksanadan etil asetat.Fraksietilasetat yang akan di kromatografisebanyak 10 g
dan dicampur dengan silika gel dengan perbandingan1 : 1. Kemudian dimasukkan
secara hati – hati kedalam kolom kromatografi yang sebelumnya telah
disiapkan.Selanjutnya kolom dielusi secara Isokratik dengan perbandingan eluen
Etil asetat : n-heksana (6 : 4), yang mana perbandingan eluen ini digunakan
berdasarkan uji KLT pendahuluan dengan berbagai macam perbandingan eluen,
sehingga didapatlah perbandingan eluen yang cocok untuk dilakukan pemisahan.
Hasil elusi dari kolom ditampung kedalam vial-vial yang kemudian di KLT untuk
mengetahui pola pemisahan nodanya sehingga didapatkan 8 Fraksi (A-H).
Fraksi denganpola noda sederhana (Fraksi D) direkromatografi kolom
dengan metoda SGP (Step Gradient Polarity) menggunakan perbandingan eluen
-heksana 100% sampai dengan etil asetat 100%dan hasilnyadi KLT
kembalisehingga didapatkan lima subfraksi (D1-D5).Selanjutnya, terhadap
subfraksi D2dilakukan pemurnian dengan cara rekristalisasi hingga didapatkan
noda tunggal pada plat KLT dengan menggunakan berbagai reagen pengungkap
noda.

III.2.3 Uji Kemurnian dan Karakterisasi


Kemurnian senyawa hasil isolasi diuji dengan kromatografi lapis tipis
(KLT) yang dielusi dengan beberapa perbandingan eluen. Hasil elusi dilihat
dengan menggunakan pengungkap noda lampu UV λ 254 nm dan λ 365 nm,
ammonia dan natrium hidroksida. Selanjutnya dikarakterisasi menggunakan
spektroskopi UV dan IR.
III.2.4 Pengujian aktifitas antioksidan
Pengujian antioksidan menggunakan metoda DPPH dikembangkan
berdasarkan literature yang telah dimodifikasi (Kumar,2012) Larutan DPPH 0,05
mM dibuat dengan cara melarutkan DPPH 0,0019 gram dengan metanol hingga
volume 100 mL dalam labu ukur. Sebanyak 10mg masing-masing ekstrak
dilarutkan dengan metanol dalam labu ukur 10mL, sehingga diperoleh konsentrasi
1000 mg/L (larutan induk).
Kemudian dibuat larutan uji dari larutan induk dengan berbagai
konsentrasi sehingga diperoleh larutan ekstrak n-heksana dan etil asetat dengan
konsentrasi 10 ; 20 ; 30 ; 40 dan 50mg/L. Kemudian 10 ; 30 ; 50 ; 70 ; dan 90
mg/L untuk konsentrasi larutan uji senyawa hasil isolasi. Kemudian sebagai
pembanding asam askorbat dengan konsentrasi 0,5 ; 2 ; 3,5 ; 5 dan 6,5
mg/L.Sebagai larutan kontrol pada pengujian ini adalah 0,2mL metanol ditambah
3,8mL DPPH.Untuk masing-masing larutan uji diambil sebanyak 0,2mL
kemudian ditambahkan 3,8mL DPPH dan didiamkan selama 30 menit, campuran
dihindarkan dari cahaya. Setelah itu diukur absorbansi larutan campuran.
Pengukuran absorbansi dilakukan pada panjang gelombang 515nm.Dari nilai
absorbansi kemudian ditentukan persen inhibisi dan IC50..

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1 Hasil
IV.1.1 Profil fitokimia sampel
Pemeriksaan kandungan metabolit sekunder dari kulit batang Loa
(Ficus racemosa L) menunjukkan adanya beberapa kandungan senyawa metabolit
sekunder yaitu kumarin, triterpenoid, dan steroid.
IV.1.2 Ekstraksi
Proses ekstraksi dengan metoda maserasi diperoleh ekstrak pekat n-
heksana sebanyak 8,133 gram dan ekstrak etil asetat sebanyak 15 gram.
IV.1.3 Analisis senyawa hasil isolasi
Senyawa hasil isolasi diperoleh berupa amorf bewarna putih
kekuningan (3mg) pada subfraksi D2. Dari uji KLT didapatkan noda tunggal
berfluoresensi biru pada lampu UV panjang gelombang 365 nm dan tidak ada
noda pada UV 254 nm dengan Rf 0,42. Uji dengan pereaksi basa (natrium
hidroksida dan amonia) pada plat KLT menunjukkan bahwa terdapat peningkatan
Fluoresensi setelah penambahan pereaksi tersebut yang manandakan adanya
pembukaan cincin lakton pada struktur senyawa hasil isolasi.
Berdasarkan spektrum UV senyawa hasil isolasi (Gambar 1) diperoleh
serapan maksimum pada panjang gelombang 203,60 nm; 260 ,60 nm dan 325, 6
0 nm. Hal tersebut mendukung untuk mengindikasikan bahwa senyawa termasuk
senyawa kumarin karena terdapat transisi n → π* yang diperkirakan merupakan
transisi katan rangkap pada cincin benzene dan transisi n → π* yang diperkirakan
transisi gugus karbonil pada cincin piran.
Data spektrum inframerah (Gambar 2) menunjukkan bahwa senyawa
hasil isolasi memiliki gugus fungsi –OH pada bilangan gelombang 3408,93cm-1
hal ini didukung oleh adanya regangan C-O alkoksi pada daerah bilangan
gelombang 1257,52 cm-1dan 1166,27 cm-1. Vibrasi O-H ini mengarah keluar
bidang yang ditunjukkan pada bilangan gelombang 668,43 cm-1.
Regangan C-OC eter ditunjukkan pada bilangan gelombang 1047,39
cm-1. Pada bilangan gelombang 2921,75 cm-1diketahui adanya vibrasi C-H
streching yang didukung dengan vibrasi CH3 pada bilangan gelombang 1377,27
cm-1.pada bilangan gelombang 2850,91cm-1diketahui adanya vibrasi CH2yang
didukung dengan adanya spektrum pada bilangan gelombang 1463,96 cm-1.
VibrasiC=Okarbonil ditunjukkan pada bilangan gelombang 1719,00 cm-1. Dan
vibrasi ikatan rangkap berkonjugasi ditunjukkan pada bilangan gelombang
1654,34 cm-1yang didukung dengan adanya vibrasi cincin benzen pada bilangan
gelombang 837,29 cm-1yang merupakan ciri khas dari senyawa kumarin.

gambar 3 spektrum UV senyawa hasil isolasi


gambar 4 spektrum IR senyawa hasil isolasi

IV.1.5 Pengujian aktifitas antioksidan


Uji antioksidan dilakukan terhadap ekstrakn-heksan, etil asetat, serta
senyawa hasil isolasi dan digunakan asam askorbat sebagai standar.Hasil uji
antioksidan tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.Suatu senyawa atau ekstrak dapat
bersifat antioksidan dilihat dari nilai IC50. Semakin rendah nilai IC50suatu senyawa
maka semakin aktif senyawa tersebut sebagai antioksidan dan sebaliknya,
semakin besar nilai IC50suatu senyawa maka semakin berkurang sifat antioksidan
suatu senyawa bahkan dapat dikatakan tidak aktif sebagai antioksidan.

Tabel 3. Hasil uji antioksidan masing-masing ekstrak, senyawa hasil isolasi dan
Asam askorbat
no Sampel uji IC50 (mg/L)
1 Ekstrak n-heksan 509
2 Ekstrak etil asetat 29,651
3 Senyawa hasil isolasi 516,5
4 Asam askorbat 6,42
Menurut Jun et.al 2003, suatu senyawa bersifat sebagai antioksidan
jika nilai IC50kurangdari 500 mg/L(Febriani, K. 2012)Berdasarkan tabel diatas
dapat dilihat bahwaekstrak etil asetat memilikinilai IC50dibawah 500 mg/L, maka
dapat disimpulkan bahwa ekstrak etil asetat bersifat sebagai antioksidan, hal ini
diperkirakan banyaknya senyawa fenolik yang terdapat pada ekstrak etil
asetatdibandingkan ekstrakn-heksan, sehingga lebih banyak mendonorkan atom H
dari gugus hidroksil untuk meredam radikal bebas DPPH.Nilai IC 50ekstrak etil
asetat hampir mendekati nilai IC50asam askorbat sebagai standar.Sedangkan
ekstrak n-heksana dan senyawa hasil isolasi memiliki nilai IC50yang jauh lebih
besar yaitu > 500mg/L, jadiekstrak etil asetat lebih aktif sebagai antioksidan
dibandingkan ekstrak n-heksan dan senyawa hasil isolasi
BAB V
PENUTUP
V.1 Kesimpulan
Senyawa hasil isolasi diperoleh dari ekstrak etil asetat kulit batang Loa
(Ficus racemosaL)berupa amorf berwarna putihkekuninganyang terdekomposisi
pada suhu 1850C. Senyawa hasil isolasi berupa kumarin yang dibuktikan dengan
uji kualitatif melalui KLT dan menggunakan pereaksi basa. Hasilnya
menunjukkan spot tunggal dengan fluoresensi biru dibawah sinar UV pada
panjang gelombang 365 nm dan juga didukung oleh data spektroskopi UV dan
IR.Uji antioksidan menunjukkan bahwa ekstrak etil asetat sangat aktif sebagai
antioksidan dengan nilai IC5029,651mg/L, dan untuk senyawa hasil isolasi tidak
aktif sebagai antioksidan dengan nilai IC50516,5 mg/L.
DAFTAR PUSTAKA
Khalaf, N. A,2008, Antioxidant Activity of Some Common Plants,Faculty of
Pharmacyand Medical Sains, Jordan,32,51-55.

Kumar, H. V. K, Navyashree, S. N, Rakshitha, H. R, Chauhan, J. B. 2012,


Studieson the free radical scavenging activity of Syagrus romanzoffiana,
International journal of pharmaceutical and biomedical research, 3 (2),81-
84

Febriani, K. 2012, Uji Aktifitas Aktioksidan dan Fraksi Daun Cocculus


orbiculatus (L) DC. dengan Metode DPPH dan Identifikasi Golongan
Senyawa Kimia dari Fraksi yang Aktif, Skripsi, Jakarta,
UniversitasIndonesia

Jun M, Fu HY, Hong J, Wang X,Yang CS,Ho CT, 2006, Comparison ofantioxidant
activities of isoflavonesfrom kudzu root (Pueraria lobateohwi). J of Food
Science. 2006; 2117-22.
Asase, A . Ethnobotanical Study of Some Ghanaian Anti Malarial Plants. Journal
Ethnopharmacology. 99: 273-279. 2005

Mayer B.N., Ferrigni N.R., Putnam J.E., Jacobsen L.B., Nichols D.E
and McLaughlin JL., 1982, Brine shrimp: a convenient general
bioassay for active plant constituents.,Planta Medica. Vo

Skoog, Douglas A., West, Donald M., dan Holler, F.James. 1996. Analytical
Chemistry. Saunders College Publishing : Amerika

Anda mungkin juga menyukai