PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Negara Indonesia memiliki keanekaragaman flora (biodiversity) yang kaya
akan berbagai macam senyawa kimia (chemodiversity) yang terkandung
didalamnya. Penggunaan obat-obatan yang berasal dari tumbuhan Indonesia
cukup diminati saat ini karena tidak menimbulkan efek samping, relative
aman,mudah diperoleh dan relative murah. Setiap tumbuhan obat mempunyai
berbagai manfaat untuk pengobatan karena kandungan senyawa aktif yang
dimilikinya (Alegantina, 2010).
Salah satu tumbuhan yang digunakan sebagai tumbuhan obat-obatan
adalah tumbuhan Loa (Ficus racemosa L.).khasiat dari tumbuhan Loa sebagai obat
asma, bronchitis, batuk, diare dan kanker. (Ficus racemosa L.)atau Loa adalah
pohon besar di keluarga pohon ficus, yang memiliki berbagai aplikasi dalam
bidang obat-obatan (Ganatra, 2012).
Berdasarkan penelitian sebelumnya telah dilaporkan bahwa tumbuhan Loa
mengandung beta sitosterol, leukosianidin 3-O-β-D- glukopiranosida, lupeol
asetat, α-amirin asetat, β-sistosterol dan stigmasterol yangberhasil diisolasi dari
kulit batang, kemudian dari buahnya terdapat senyawa gluanol asetat,
taraksesterol, lupeol asetat, friedelin dan senyawa baru tetrasiklik triterpen gluanol
asetat (Anita, 2012).
Berdasarkan manfaat dan kandungan senyawa aktif yang terdapat pada
tumbuhan Loa (Ficus racemosa L.) tersebut, maka perlu dilakukan penelitian lebih
lanjut untuk mengisolasi senyawa metabolit sekunder lain mengingat masih
sedikitnya tinjauan kajian kandungan metabolit sekunder terhadap tumbuhan ini,
khususnya golongan senyawa kumarin dari fraksi etil asetat dan menguji
bioaktivitasnya. Bioaktivitas yang di uji terhadap ekstrak dan senyawa hasil
isolasi berupa uji antioksidan yang terkait dengan kegunaan dari tanaman ini
(Ficus racemosa L.) sebagai obat anti kanker.
I.2 Maksud dan Tujuan
I.2.1 Maksud
Bagaimana cara isolasi, karakterisasi dan uji aktivitas senyawa kumarin dari
ekstrak aktif etil asetat kulit batang Loa (Ficus racemosa L.) ?
I.2.2 Tujuan
Untuk mengetahui cara isolasi, karakterisasi dan uji aktivitas senyawa kumarin
dari ekstrak aktif etil asetat kulit batang Loa (Ficus racemosa L.)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Uraian Tanaman
II.1.1 Klasifikasi Tanaman
a. Cara kering yaitu silika gel dimasukkan ke dalam kolom yang telah diberi
kapas kemudian ditambahkan cairan pengelusi.
b. Cara basah yaitu silika gel terlebih dahulu disuspensikan dengan cairan
pengelusi yangakan digunakan kemudian dimasukkan ke dalam kolom
melalui dinding kolom secarakontinyu sedikit demi sedikit hingga masuk
semua, sambil kran kolom dibuka. Eluen dialirkan hingga silika gel mapat,
setelah silika gel mapat eluen dibiarkan mengalir sampai batas adsorben
kemudian kran ditutup dan sampel dimasukkan yang terlebih dahulu
dilarutkan dalam eluen sampai diperoleh kelarutan yang
spesifik.Kemudian sampel dipipet dan dimasukkan ke dalam kolom
melalui dinding kolom sedikit demi sedikit hingga masuk semua, dan kran
dibuka dan diatur tetesannya, serta cairan pengelusi ditambahkan.Tetesan
yang keluar ditampung sebagai fraksi-fraksi (Hargono, 1986):
3. Kromatografi Flash
Kromatografi flash merupakan kromatografi dengan tekanan
rendah (pada umumnya kurang dari 20 psi) yang digunakan sebagai
kekuatan bagi elusi bahan pelarut melalui suatu ruangan atau kolom yang
lebih cepat. Kualitas pemisahan sedang, tetapi dapat berlangsung cepat
(10-15 menit). Pemisahan ini tidak sesuai untuk pemisahan campuran yang
terdiri dari bermacam-macam zat, tetapi sangat baik untuk memisahkan
sedikit reaktan dari kompenen untuk dalam sintesa organik. Panjang
kolom 30-45 cm untuk jumlah pelarut 250-3000 ml. Kromatografi ini
berbeda dengan kromatografi kolom yang didasarkan pada gravitasi. Ada
dua hal yang membedakan kromatografi ini dengan kromatografi kolom
yaitu ukuran silica gel yang digunakan lebih halus dan kecepatan aliran
eluen tergantung pada ukuran silika gel dan tekanan gas yang diberikan
pada fasa diamnya. Sistem eluen yang digunakan pada kromatografi ini
dapat berupa campuran dari dua atau lebih pelarut.
Pemilihan sistem eluen yang memisahkan senyawa pada Rf 0,15 -
0,20. Banyaknya silika gel yang digunakan bervariasi antara 30-100 kali
berat sampel. Untuk pemisahan yang mudah dapat menggunakan
perbandingan 30:1 dan untuk pemisahan yang cukup rumit perbandingan
itu dapat ditingkatkan (Still et all, 1978). Silika gel yang biasa digunakan
adalah silika gel G60 ukuran 63-200 µm dan silika gel G60 ukuran 40-43
µm. pemilihan kolom disesuaikan dengan banyaknya sampel yang akan
dipisahkan. Banyaknya sampel berbanding lurus dengan luas penampang
kolom (Kristanti dkk, 2008).
II.2.6 Pemurnian
II.2.6.1 Rekristalisasi
Rekristalisasi merupakan cara yang paling efektif untuk memurnikan
zat zat organik dalam bentuk padat. Oleh karena itu teknik ini secara rutin
digunakan untuk pemurnian senyawa hasil sintesis atau hasil isolasi dari bahan
alami, sebelum dianalisis lebih lanjut, misalnya dengan instrumebn spektoskopi
seperti UV, IR, NMR, dan MS. Sebagai metoda pemurnian padatan,
rekristalisai memiliki sejarah yang panjang seperti distilasi. Wa;aupun beberapa
metoda yang lebih rumit telah dikenalkan, rekristalisasi adalah metoda yang
paling penting untuk pemurnian sebabkemudahannya ( tidak perlu alat khusus )
dank arena keefektifannya. Ke depannya rekristalisasi akan tetap metoda
standar untuk memurnikan padatan.
Metoda ini sederhana, material padayan ini terlarut dalam pelarut yang
cocok pada suhu tinggi ( pada atau dekat titik didih pelarutnya ) untuk
mendapatkan jumlah larutan jenuh atau dekat jenuh. Ketika larutan panas
perlahan didinginkan, Kristal akan mengendap karena kelarutan padatan
biasanya menurun bila suhu diturunkan. Diharapkan bahwa pengotor tidak
akan pengkristal karena konsentrasinya dalam larutan tidak terlalu tinggi untuk
mencapai jenuh. Walaupun rekristalisasi adalah metoda yang sangat sederhana,
dalam prakteknya bukan berarti mudah dilakukan. Adapun saran saran yang
dibutuhkan untuk melakukan metoda kristalisai adalah sebagai berikut : 1.
Kelarutan material yang akan dimurnikan harus memiliki ketergantungan yang
besar pada suhu. Misalnya, ketergantungan pada suhu NaCl hampir dapat
diabaikan.Jadi pemurnian NaCl dengan rekristalisasi tidak dapat dilakukan. 2.
Kristal tidak harus mengendap dari larutan jenuh dengan pendinginan karena
mungkin terbentuk super jenuh. Dalam kasus semacam ini penambahan Kristal
bibt, mungkin akan efektif. Bila tak ada Kristal bibit, menggaruk dinding
mungkin akan berguna. 3. Untuk mencegah reaksi kimia antara pelarut dan zat
terlarut, penggunaan pelarut non polar lebih disarankan. Namun, pelarut non
polar cenderung merupakan pelarut yang buruk untuk senyawa polar. 4.
Umumnya, pelarut dengan titik didih rendah lebih diinginkan. Namun sekali
lagi pelarut dengan titik didih lebih rendah biasanya non polar. Jadi, pemilihan
pelarut biasanya bukan masalah sederhana
II.3 Karakterisasi Senyawa
Identifikasi golongan senyawa dapat dilakukan dengan uji warna,
penentuan kelarutan, bilangan Rf dan ciri spectrum UV (Harborne, 1998).
Identifikasi yang paling penting dan digunakan secara luas ialah pengukuran
spektrum serapan dengan menggunakan spektrofotometer. Pengukuran ini tidak
merusak senyawa dan senyawa dapat dipakai lagi untuk uji-uji yang lain.
Seringkali gabungan kromatografi dan spektrofotometri memungkinkan
fraksinasi menjadi sempurna terhadap campuran alami yang sangat kecil
jumlahnya dan identifikasi setiap komponennya secara pasti.Tiga jenis
spektrum serapan telah dikenal yaitu sinar tampak, ultraviolet dan inframerah.
Kesamaan spektrum inframerah suatu senyawa murni yang tidak diketahui
dengan senyawa pembanding dapat dianggap sebagai bukti bahwa kedua
senyawa itu sama. Spektrum serapan ultraviolet-visibel tidak didasarkan pada
getaran atom dalam molekul akan tetapi pada kenyataannya elektron tertentu
yang terikat longgar dapat ditingkatkan ke arah energi yang lebih tinggi dengan
menyerap radiasi dengan panjang gelombang tertentu.
Spektra UV digunakan untuk mengetahui keberadaan ikatan rangkap
terkonjugasi pendek misalnya aromatik dan panjang misalnya
karotenoida.Spektra IR digunakan untuk mengetahui gugus fungsi dan
perkiraan jenis senyawa (Harborne, 1998).
II.3.1 Spektrofotometer UV
Daerah pengukuran spektrofoto meter UV adalah pada panjang
gelombang 200-400 nm. Spektrum UV disebut juga spektrum elektronik
karena terjadi sebagai hasil interaksi radiasi UV terhadap molekul yang
mengakibatkan molekul tersebut mengalami transisi elektronik. Apabila radiasi
elektromagnetik dikenakan pada suatu molekul atau atom maka sebagian dari
radiasi tersebut diserap oleh molekul atau atom tersebut sesuai dengan
strukturnya yang mempunyai gugus kromofor (Mulja, 1990)
II.3.2.Spektrofotometer IR
Radiasi infrared(IR) atau infrared merupakan bagian dari spektrum
elektro-magnetik antara daerah gelombang cahaya tampak dan gelombang
mikrowafe.Penggunaan terbesar terhadap kimia organik adalah pada panjang
gelombang 4000-400 cm-1.Frekuensi radiasi IR kurang dari 100 cm-
1diabsorbsi dan diubah oleh molekul organik menjadi energi rotasi
molekul.Serapan ini diukur.Radiasi IR dalam daerah panjang gelombang
10000-100 cm-1diabsorbsi dan diubah oleh sebuah molekul organik ke dalam
energi vibrasi molekul.Serapan ini juga dihitung.Tapi, spektrum vibrasi muncul
sebagai tanda lebih baik karena sebuah perubahan energi vibra tunggal diikuti
oleh sejumlah perubahan energi rotasi. Absorbsi frekuensi atau panjang
gelombang tergantung pada massa relatif atom, gaya konstan ikatan dan
geometri atom. Posisi tanda dalam spektrum IR disajikan dalam jumlah
gelombang yang memiliki satuan cm-1. Jenis ikatan yang dapat ditunjukkan
pada daerah serapan 1300-800 cm-1 (C-C, C-O, C-N), 1900-1500 cm-1 (C═O,
C═N, N═O), 2300-2000 cm-1(C≡C, C≡N), dan 3000-2200 (C- H, O-H, N-H)
(Silverstain, 1998)
III.3.3 Kromatografi gas-spektrometer massa (GC-MS)
Kromatografi gas-spektrometer massa (GC-MS) adalah metode yang
mengkombinasikan kromatografi gas dan spektrometri massa untuk
mengidentifikasi senyawa yang berbeda dalam analisis sampel. Kromatografi
gas dan spketometer masa memilki keunikan masing-masing dimana keduanya
memiliki kelebihan dan kekurangan. Dengan menggabungkan kedua teknik
tersebut diharapkan mampu meningkatkan kemampuan dalam menganalisis
sampel dengan mengambil kelebihan masing-masing teknik dan meminimalisir
kekurangannya.
Kromatografi gas dan spketometer masa dalam banyak hal memiliki
banyak kesamaan dalam tekniknya. Untuk kedua teknik tersebut, sampel yang
dibutuhkan dalam bentuk fase uap, dan keduanya juga sama-sama
membutuhkan jumlah sampel yang sedikit ( umumnya kurang dari 1 ng). Disisi
lain, kedua teknik tersebut memiliki perbedaan yang cukup besar yakni pada
kondisi operasinya. Senyawa yang terdapat pada kromatografi gas adalah
senyawa yang digunakan untuk sebagai gas pembawa dalam alat GC dengan
tekanan kurang lebih 760 torr, sedangkan spketometer massa beroperasi pada
kondisi vakum dengan kondisi tekanan 10-6 10-5 torr Skoog,
( Douglas,1996)
Prinsip kerja
GC-MS adalah terdiri dari dua blok bangunan utama: kromatografi gas
dan spektrometer massa . Kromatografi gas menggunakan kolom kapiler yang
tergantung pada dimensi kolom itu (panjang, diameter, ketebalan film) serta
sifat fase (misalnya 5% fenil polisiloksan). Perbedaan sifat kimia antara
molekul-molekul yang berbeda dalam suatu campuran dipisahkan dari molekul
dengan melewatkan sampel sepanjang kolom. Molekul-molekul memerlukan
jumlah waktu yang berbeda (disebut waktu retensi) untuk keluar dari
kromatografi gas, dan ini memungkinkan spektrometer massa untuk
menangkap, ionisasi, mempercepat, membelokkan, dan mendeteksi molekul
terionisasi secara terpisah. Spektrometer massa melakukan hal ini dengan
memecah masing-masing molekul menjadi terionisasi mendeteksi fragmen
menggunakan massa untuk mengisi rasio
Spektroskopi NMR merupakan tehnik analisis untuk memberikan
gambaran mengenai jenis atom, jumlah, maupun lingkungan atom
hidrogen (1H NMR) maupun karbon (13 C NMR) pada suatu komponen
senyawa (Silverstein et al., 2005; Wyk et al., 2007).
Spektroskopi NMR didasarkan pada penyerapan gelombang radio oleh
inti - inti tertentu dalam molekul organik. Spektrum 1H NMR dan 13 C NMR
sering disebut metode spektroskopi 1 dimensi
II.4 Uji Bioaktivitas (Bioassay)
II.4.1 Antioksidan
II.4.1.1Uji DPPH (1,1 Difenil-2-Pikrilhidrazin)
Menurut Bendra (2012) DPPH merupakan radikal bebas yang stabil
pada suhu kamar dan sering digunakan untuk menilai aktivitas antioksidan
beberapa senyawa atau ekstrak bahan alam.Prinsip uji DPPH adalah
penghilang warna untuk antioksidan yang langsung menjangkau radikal
DPPH dengan pemantauan absorbansi dengan panjang gelombang 517 nm
menggunakan spektrofotometer.Radikal DPPH dengan nitrogen organik
terpusat adalah radikal bebas stabil dengan warna ungu gelap yang ketika
direduksi menjadi bentuk nonradikal oleh antioksidan menjadi warna
kuning.
Prinsip dari uji aktivitas antioksidan dengan metode DPPH yaitu
reaksi penangkapan atom hidrogen dari senyawa antioksidan oleh radikal
bebas DPPH untuk mendapatkan pasangan elektron dan mengubahnya
menjadi difenil pikril hidrazin (DPPH).
Pengujian aktivitas antioksidan dapat dilakukan dengan metode
DPPH (1,1 difenil 2 pikrilhidrazil).Metode DPPH memberikan informasi
tingkat kestabilan reaktivitas senyawa yang dijui dengan suatu radikal
bebas DPPH memberikan serapan kuat pada panjang gelombang 517 nm
dengan warna violet gelap. DPPH akan menangkap radikal bebas
menyebabkan elektron menjadi berpasangan sehingga warna dari DPPH akan
berubah dari warna ungu menjadi bewarna kuning kecoklatan. Perhitungan
yang digunakan dalam penentuan aktivitas penangkap radikal bebas adalah
nilai IC 50 ( Inhibition concentration 50%). Nilai tersebut menggambarkan
besarnya konsentrasi senyawa uji yang dapat menangkap radikal sebesar
50%. Semakin kecil nilai IC50 berarti aktivitas antioksidannya semakin tinggi.
nilai konsentrasi efektif merupakan bilangan yang menunjukkan
konsentrasi ekstrak (mikrogram/milimeter) yang mampu menghambat 50%
oksidasi. Perhitungan nilai konsentrasi efektif atau IC50 menggunakan
rumus sebagai berikut:
peresentasi inhibisi =
Keterangan : A = Absorban
II.4.4.2 Uji ABTS (Asam 2,2'-Azinobis(3-etilbenzatiazolin)-6-sulfonat)
Prinsip Uji ABTS adalah penghilang warna kation ABTS untuk
mengukur kapaitas antioksidan yang langsung beraksi dengan radikal
kation ABTS. ABTS adalah suatu radikal dengan pusat nitrogen yang
menpunyai warna karakteristik biru-hijau yang bila tereduksi oleh
antioksidan akan berubah menjadi nonradikal, dari berwarna menjadi tidak
berwarna. Kemampuan aktivitas antioksidan secara spektrofotometer pada
panjang gelombang 734. Hasilnya dibandingkan dengan standar yakni
senyawa trolox (Bendra, 2012)
II.4.4.3.Uji Penghambatan Radikal Superoksida
Uji ini mengukur antioksidan menggunakan molekular nitroblue
tentrazolium (NBT), dalam meredam radikal superoksida yang dihasilkan
sistem enzimatik hipoxantin-xantin oksidase (HPX- XOD).NBT memiliki
warna kunin yang oleh radikal superoksid membentuk formazan yang
berwarna biru, dan terukur pada panjang gelombang 560 nm dengan
spektrofotometer.Kemampuan ekstrak untuk penghambatan warna
hingga50% diukur dalam(Bendra, 2012)
Tabel 1 Tingkat Kekuatan antioksidan (Jun M, 2006)
Metode cakram disk atau cakram kertas ini memiliki kelebihan dan
kekurangan. Kelebihannya adalah mudah dilakukan, tidak memerlukan
perlatan khusus dan relatif murah. Sedangkan kelemahannya adalah ukuran
zona bening yang terbentuk tergantung oleh kondisi inkubasi, inokulum,
predifusi dan preinkubasi serta ketebalan medium. Apabila keempat faktor
tersebut tidak sesuai maka hasil metode cakram disk biasanya sulit untuk
diintepretasikan selain itu, metode cakram disk ini dapat diaplikasikan pada
mikroorganisme yang pertumbuhannya lambat dan mikroorganisme yang
bersifat anaeob obligat.
b. Cara Parit (ditch)
Suatu lempeng agar yang telah diinokulasikan dengan bakteri uji
dibuat sebidang parit. Parit tersebut berisi zat antimikroba, kemudian
diinkubasi pada waktu dan suhu optimum yang sesuai untuk mikroba uji. Hasil
pengamatan yang akan diperoleh berupa ada tidaknya zona hambat yang akan
terbentuk di sekitar parit.
c. Cara sumuran (hole/cup)
Pada lempeng agar yang telah diinokulasikan dengan bakteri uji dibuat
suatu lubang yang selanjutnya diisi dengan zat antimikroba uji. Kemudian
setiap lubang itu diisi dengan uji. Setelah inkubasi pada suhu dan waktu yang
sesuai dengan mikroba uji, dilakukan pengamatan dengan melihat ada atau
tidaknya zona hambatan disekeliling lubang.
2. Metode Dilusi
Pada metode ini dilakukan dengan mencampurkan zat antimikroba dan
media agar, yang kemudian diinokulasikan dengan mikroba uji. Hasil
pengamatan yang akan diperoleh berupa tumbuh atau tidaknya mikroba
didalam media. Aktivitas zat antimikroba ditentukan dengan melihat
konsentrasi hambat minimum (KHM) yang merupakan konsentrasi terkecil dari
zat antimikroba uji yang masih memberikan efek penghambatan terhadap
pertumbuhan mikroba uji. Metode ini terdiri atas dua cara, yaitu:
a. Pengenceran serial dalam tabung
Pengujian dilakukan dengan menggunakan sederetan tabung reaksi
yang diisi dengan inokolum kuman dan larutan antibakteri dalam berbagai
konsentrasi. Zat yang akan diuji aktivitas bakterinya di encerkan sesuai
serial dalam media cair kemudian diinokulasikan dengan kuman dan
diinkubasi pada waktu dan suhu yang sesuai dengan mikroba uji. Aktivitas
zat ditentukan sebagai kadar hambat minimal (KHM).
b. Penipisan Lempeng Agar
Zat antibakteri di encerkan dalam media agar dan kemudian
dituangkan kedalam cawan petri. Setelah agar membeku, diinokulasikan
kuman kemudian diinkubasi pada waktu dan suhu tertentu. Konsentrasi
terendah dari larutan zat antibakteri yang masih memberikan hambatan
terhadap pertumbuhan kuman ditetapkan sebagai konsentrasi hambat
minimal (KHM).
3. Metode difusi dan dilusi
E- test atau biasa disebut juga dengan tes epsilometer adalah metode
tes dimana huruf E dalam nama E-test menunjukkan simbol epsilon. E-test
merupakan metode kuantitatif untuk uji antimikroba. Metode ini termasuk
gabungan antara metode dilusi dari antibakteri dan metode difusi antibakteri ke
dalam media. Metode ini dilakukan dengan menggunakan strip plastic yang
sudah mengandung agen antibakteri dengan konsentrasi terendah sampai
konsentrasi tertinggi diletakkan pada media agar yang telah ditanami
mikroorganisme. Hambatan pertumbuhan mikroorganisme bisa diamati dengan
adanya area jernih disekitar strip tersebut.
II.4.3 Bioautografi
II.4.2.2 KLT Bioautografi
BAB III
METODE KERJA
III.1 Alat dan Bahan
III.1.1 Alat
Alat yang digunakan yaituseperangkat alat destilasi, alat rotary
evaporator (Heidolph Laborota 4000), oven,kolom kromatografi, neraca
analitik, chamber,pipa kapiler, plat KLT,Lampu UV (λ 254 dan 356 nm), Melting
Point (Stuart SMP10), spektrofotometerultravioletvisible(Shimadzu
PharmaSpec UV-1700), spektrofotometerinframerah (Thermo ScientificNicolet
iS10), autoklaf, inku, tabung reaksi, spiritus dan beberapa peralatan gelas yang
umum digunakan.
III.1.2 Bahan
Bahan - bahan yang digunakan adalah kulit batang Loa(Ficus racemosa
L), heksana (Merck), etil asetat(Merck), metanol (Merck), silika gel 60
F254(Merck), plat KLT DC-Alufolien Kieselgel 60 F254Merck (20x20 cm),
pereaksi Mayer, pereaksi LiebermannBurchardyaituanhidrida asetat(Merck)dan
asam sulfat pekat(Merck), magnesium (Merck),asam kloridapekat (Merck),
besi(III)klorida(Merck), natrium hidroksida (Merck), akuades(Merck), kertas
saring, aluminium voil.Bahan yang digunakan untuk uji antioksidanyaituDPPH
(1,1-difenil-2-pikrilhidrazil).
III.2 Metode Kerja
III.2.1 Uji profil fitokimia
Sampel uji yang digunakan yaitu kulit batang Loa (Ficus
racemosa L). Pengujian yang dilakukan diantaranya uji kandungan fenolik
dengan reagen besi (III) klorida, uji flavonoid dengan Sianidin test, uji
saponin, uji triterpenoid dan steroid dengan reagen Liebermann-Burchard, uji
alkaloid dengan pereaksi Meyer, dan uji kumarin dengan natrium hidroksida
(Khalaf, N. A, 2008)
III.2.2 Ekstraksi
Sebanyak 1050 gram sampelyang telah berupa serbuk halus, diekstrak
dengan metode maserasi berturut-turut dengan menggunakan pelarut heksana
danetil asetat.Maserasi (perendaman) dengan pelarut heksana dilakukan selama 3-
4hari (sambil digoncangsekali-kali) kemudian disaring dan dilakukan berulang
kali hingga maserat tidak lagi memberikan warna yang keruh.Hasil dari maserasi
kemudian digabungkan dan diuapkan pelarutnya dengan menggunakan rotary
evaporatordengan suhu 40ᵒC.
Ampas yang didapat dari maserasi pertama yaitu dari heksana, di
maserasi lagi menggunakan etil asetat selama 3-4 hari.
BanyaknyaPengulanganekstraksiyang dilakukan sama dengan banyaknya
pengekstrakan menggunakan heksana. Hasil dari maserasi kemudian digabungkan
dan diuapkan pelarutnya dengan menggunakan rotaryevaporatordengan suhu
40ᵒC.
III.2.2. Kromatografi
Pemisahan senyawa dari ekstrak kental etil asetat dilakukan dengan
kromatografi kolomvakum cairdengan fasa diam silika gel dan fasa gerak
heksanadan etil asetat.Fraksietilasetat yang akan di kromatografisebanyak 10 g
dan dicampur dengan silika gel dengan perbandingan1 : 1. Kemudian dimasukkan
secara hati hati kedalam kolom kromatografi yang sebelumnya telah
disiapkan.Selanjutnya kolom dielusi secara Isokratik dengan perbandingan eluen
Etil asetat : n-heksana (6 : 4), yang mana perbandingan eluen ini digunakan
berdasarkan uji KLT pendahuluan dengan berbagai macam perbandingan eluen,
sehingga didapatlah perbandingan eluen yang cocok untuk dilakukan pemisahan.
Hasil elusi dari kolom ditampung kedalam vial-vial yang kemudian di KLT untuk
mengetahui pola pemisahan nodanya sehingga didapatkan 8 Fraksi (A-H).
Fraksi denganpola noda sederhana (Fraksi D) direkromatografi kolom
dengan metoda SGP (Step Gradient Polarity) menggunakan perbandingan eluen
-heksana 100% sampai dengan etil asetat 100%dan hasilnyadi KLT
kembalisehingga didapatkan lima subfraksi (D1-D5).Selanjutnya, terhadap
subfraksi D2dilakukan pemurnian dengan cara rekristalisasi hingga didapatkan
noda tunggal pada plat KLT dengan menggunakan berbagai reagen pengungkap
noda.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1 Hasil
IV.1.1 Profil fitokimia sampel
Pemeriksaan kandungan metabolit sekunder dari kulit batang Loa
(Ficus racemosa L) menunjukkan adanya beberapa kandungan senyawa metabolit
sekunder yaitu kumarin, triterpenoid, dan steroid.
IV.1.2 Ekstraksi
Proses ekstraksi dengan metoda maserasi diperoleh ekstrak pekat n-
heksana sebanyak 8,133 gram dan ekstrak etil asetat sebanyak 15 gram.
IV.1.3 Analisis senyawa hasil isolasi
Senyawa hasil isolasi diperoleh berupa amorf bewarna putih
kekuningan (3mg) pada subfraksi D2. Dari uji KLT didapatkan noda tunggal
berfluoresensi biru pada lampu UV panjang gelombang 365 nm dan tidak ada
noda pada UV 254 nm dengan Rf 0,42. Uji dengan pereaksi basa (natrium
hidroksida dan amonia) pada plat KLT menunjukkan bahwa terdapat peningkatan
Fluoresensi setelah penambahan pereaksi tersebut yang manandakan adanya
pembukaan cincin lakton pada struktur senyawa hasil isolasi.
Berdasarkan spektrum UV senyawa hasil isolasi (Gambar 1) diperoleh
serapan maksimum pada panjang gelombang 203,60 nm; 260 ,60 nm dan 325, 6
0 nm. Hal tersebut mendukung untuk mengindikasikan bahwa senyawa termasuk
senyawa kumarin karena terdapat transisi n → π* yang diperkirakan merupakan
transisi katan rangkap pada cincin benzene dan transisi n → π* yang diperkirakan
transisi gugus karbonil pada cincin piran.
Data spektrum inframerah (Gambar 2) menunjukkan bahwa senyawa
hasil isolasi memiliki gugus fungsi –OH pada bilangan gelombang 3408,93cm-1
hal ini didukung oleh adanya regangan C-O alkoksi pada daerah bilangan
gelombang 1257,52 cm-1dan 1166,27 cm-1. Vibrasi O-H ini mengarah keluar
bidang yang ditunjukkan pada bilangan gelombang 668,43 cm-1.
Regangan C-OC eter ditunjukkan pada bilangan gelombang 1047,39
cm-1. Pada bilangan gelombang 2921,75 cm-1diketahui adanya vibrasi C-H
streching yang didukung dengan vibrasi CH3 pada bilangan gelombang 1377,27
cm-1.pada bilangan gelombang 2850,91cm-1diketahui adanya vibrasi CH2yang
didukung dengan adanya spektrum pada bilangan gelombang 1463,96 cm-1.
VibrasiC=Okarbonil ditunjukkan pada bilangan gelombang 1719,00 cm-1. Dan
vibrasi ikatan rangkap berkonjugasi ditunjukkan pada bilangan gelombang
1654,34 cm-1yang didukung dengan adanya vibrasi cincin benzen pada bilangan
gelombang 837,29 cm-1yang merupakan ciri khas dari senyawa kumarin.
Tabel 3. Hasil uji antioksidan masing-masing ekstrak, senyawa hasil isolasi dan
Asam askorbat
no Sampel uji IC50 (mg/L)
1 Ekstrak n-heksan 509
2 Ekstrak etil asetat 29,651
3 Senyawa hasil isolasi 516,5
4 Asam askorbat 6,42
Menurut Jun et.al 2003, suatu senyawa bersifat sebagai antioksidan
jika nilai IC50kurangdari 500 mg/L(Febriani, K. 2012)Berdasarkan tabel diatas
dapat dilihat bahwaekstrak etil asetat memilikinilai IC50dibawah 500 mg/L, maka
dapat disimpulkan bahwa ekstrak etil asetat bersifat sebagai antioksidan, hal ini
diperkirakan banyaknya senyawa fenolik yang terdapat pada ekstrak etil
asetatdibandingkan ekstrakn-heksan, sehingga lebih banyak mendonorkan atom H
dari gugus hidroksil untuk meredam radikal bebas DPPH.Nilai IC 50ekstrak etil
asetat hampir mendekati nilai IC50asam askorbat sebagai standar.Sedangkan
ekstrak n-heksana dan senyawa hasil isolasi memiliki nilai IC50yang jauh lebih
besar yaitu > 500mg/L, jadiekstrak etil asetat lebih aktif sebagai antioksidan
dibandingkan ekstrak n-heksan dan senyawa hasil isolasi
BAB V
PENUTUP
V.1 Kesimpulan
Senyawa hasil isolasi diperoleh dari ekstrak etil asetat kulit batang Loa
(Ficus racemosaL)berupa amorf berwarna putihkekuninganyang terdekomposisi
pada suhu 1850C. Senyawa hasil isolasi berupa kumarin yang dibuktikan dengan
uji kualitatif melalui KLT dan menggunakan pereaksi basa. Hasilnya
menunjukkan spot tunggal dengan fluoresensi biru dibawah sinar UV pada
panjang gelombang 365 nm dan juga didukung oleh data spektroskopi UV dan
IR.Uji antioksidan menunjukkan bahwa ekstrak etil asetat sangat aktif sebagai
antioksidan dengan nilai IC5029,651mg/L, dan untuk senyawa hasil isolasi tidak
aktif sebagai antioksidan dengan nilai IC50516,5 mg/L.
DAFTAR PUSTAKA
Khalaf, N. A,2008, Antioxidant Activity of Some Common Plants,Faculty of
Pharmacyand Medical Sains, Jordan,32,51-55.
Jun M, Fu HY, Hong J, Wang X,Yang CS,Ho CT, 2006, Comparison ofantioxidant
activities of isoflavonesfrom kudzu root (Pueraria lobateohwi). J of Food
Science. 2006; 2117-22.
Asase, A . Ethnobotanical Study of Some Ghanaian Anti Malarial Plants. Journal
Ethnopharmacology. 99: 273-279. 2005
Mayer B.N., Ferrigni N.R., Putnam J.E., Jacobsen L.B., Nichols D.E
and McLaughlin JL., 1982, Brine shrimp: a convenient general
bioassay for active plant constituents.,Planta Medica. Vo
Skoog, Douglas A., West, Donald M., dan Holler, F.James. 1996. Analytical
Chemistry. Saunders College Publishing : Amerika