Anda di halaman 1dari 17

PENGATURAN HUKUM DAERAH KEPULAUAN

Johanis Leatemia*

Abstract Abstrak

Archipelagic regions (province, regencies Daerah kepulauan (provinsi dan kabu-


and municipalities) characterised by paten/kota) merupakan daerah yang
territorial sea consisting of archipelagos. karakteristiknya terdiri dari lautan yang luas
The archipelagic region plays important dengan pulau-pulau kecil yang membentuk
roles in the process of recognition of gugusan pulau. Daerah kepulauan menjadi
Indonesia as an archipelagic state. However, faktor dominan dalam pengakuan Indonesia
no proper regulation is currently in force. sebagai negara kepulauan. Akan tetapi belum
mendapat pengaturan dalam peraturan
perundang-undangan nasional.

Kata Kunci: negara kepulauan, pengaturan hukum, daerah kepulauan.

.A. Pendahuluan merugikan Indonesia sebagai suatu Negara


Laut pada dasarnya mempunyai banyak Kesatuan dengan karakteristik kepulauan
fungsi, baik sebagai sumber makanan bagi karena, di dalam wilayah Indonesia
umat manusia, jalan raya perdagangan, terdapat kantong-kantong laut bebas akibat
sarana penaklukan, tempat pertempuran, cara pengukuran lebar laut teritorial yang
tempat bersenang-senang dan rekreasi menyebabkan pulau-pulau mempunyai laut
maupun alat pemersatu bangsa. Fungsi wilayah sendiri-sendiri.
laut sebagai alat pemersatu bangsa maupun Pengukuran lebar laut seperti dike-
sumber kekayaan alam, telah menjadi mukakan di atas, menyebabkan, (1) dari
perhatian Pemerintah dan masyarakat segi keamanan, bentuk laut yang demikian
Indonesia sejak masa penjajahan, terutama akan menimbulkan banyak kesulitan dalam
setelah Pemerintah Belanda memberlakukan melakukan pengawasan; (2) dari segi
Territorialle Zee en Marrittimme Kringen pelayaran, adanya kantong-kantong laut
Ordonantie (TZMKO) sebagaimana diatur lepas dengan rezim kebebasannya dapat
dalam Staatblaad 1939 No. 442. Di dalam membahayakan keutuhan wilayah nasional,
Pasal 1 ayat (1) TZMKO tersebut dinyatakan karena kapal-kapal dari semua negara dapat
bahwa “lebar laut wilayah Indonesia adalah melakukan pelayaran maupun perang; (3)
3 mil laut, di-ukur dari garis air rendah dari dari segi ekonomi, sistem perairan yang
pulau-pulau yang termasuk dalam daerah lama sangat merugikan Indonesia, karena
Indonesia”.1 Ketentuan ordonansi ini sangat negara-negara asing dengan kemajuan teknik

*
Dosen Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Pattimura, Ambon
(e-mail: nateldatimisela@yahoo.com).
1
Boer Mauna, 2003, Hukum Internasional, Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global,
Alumni, Bandung, hlm. 338.
630 MIMBAR HUKUM Volume 23, Nomor 3, Oktober 2011, Halaman 431 - 645

penangkapan ikan dapat menghabiskan jamin selama dan sekedar tidak bertentangan
sumber-sumber ikan di laut sekitar pantai; dengan kedaulatan dan keselamatan Negara
(4) dari segi politik, ketentuan hukum laut Indonesia; dan (3) Penentuan batas laut
yang lama sangat membahayakan keutuhan teritorial yang lebarnya 12 mil yang diukur
wilayah dan kesatuan nasional Indonesia, dari garis-garis yang menghubungkan titik-
karena bangsa Indonesia merasa diri titik yang terluar pada pulau-pulau Negara
terpisah-pisah satu sama lain.2 Republik Indonesia akan ditentukan dengan
Perubahan fundamental ketentuan hu- undang-undang.
kum laut Indonesia sebagai suatu negara Di dalam Deklarasi Djuanda, Pemerin-
kepulauan terasa perlu dilakukan, dilatar- tah Indonesia menegaskan “Prinsip Negara
belakangi oleh perkembangan hukum Kepulauan” (Archipelagic State Principle),
laut internasional yang ditandai dengan, yang memandang wilayah laut dan darat
(1) Proklamasi Presiden Truman tahun sebagai suatu kesatuan yang utuh sesuai
1945 tentang “Continental Shelf”; (2) filosofi “Tanah-Air”. Konsepsi Negara
Proklamasi Presiden Truman tahun 1945 Kepulauan (Archipelagic State) didasarkan
tentang Perikanan; (3) Sengketa perikanan pada konsepsi “archipelago” yang berarti
antara Inggris dan Norwegia (Keputusan laut di mana banyak terdapat pulau-
Mahkamah Internasional tahun 1951); dan pulau. Dalam “archipelago” tersebut rasio
(4) Klaim-klaim 200 mil oleh Chile, Ecuador laut atau air adalah lebih besar daripada
dan Peru.3 daratan (pulau), tetapi keduanya dianggap
Atas dasar perkembangan dalam ma- sebagai suatu kesatuan. Dengan demikian,
syarakat internasional, maka pada tanggal pengertian yang paling penting dalam
13 Desember 1957, Pemerintah Republik konsepsi archipelago adalah kesatuan antara
Indonesia telah mengeluarkan Deklarasi laut dan darat (serta udara di atasnya), di
Djuanda mengenai Perairan Indonesia, yang mana rasio wilayah laut lebih besar dari
isinya menegaskan, (1) segala perairan di rasio wilayah darat.4 Dengan Prinsip Negara
sekitar, di antara dan yang menghubungkan Kepulauan, Pemerintah Indonesia memasuki
pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang pelaksanaan Konferensi Hukum Laut
termasuk daratan Republik Indonesia Internasional III yang melahirkan United
dengan tidak memandang luas atau lebarnya Nations Convention on The Law of The
adalah bagian-bagian yang wajar dari pada Sea (UNCLOS) 1982. Negara Kepulauan
wilayah daratan negara Republik Indonesia menurut UNCLOS adalah suatu Negara
dan dengan demikian merupakan bagian yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih
dari perairan nasional yang berada di kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau
bawah kedaulatan mutlak Negara Republik lain (Pasal 46 ayat (1) Konvensi Hukum
Indonesia; (2) Lalu lintas damai di perairan Laut 1982). Wujud suatu Negara Kepulauan
pedalaman ini bagi kapal-kapal asing ter- ditentukan berdasarkan penentuan garis

2
Ibid., hlm. 339-340.
3
Mochtar Kusumaatmadja, 1986, Hukum Laut Internasional, Binacipta, Bandung, hlm. 81-108.
4
Hasyim Djalal, 1979, Perjuangan Indonesia di Bidang Hukum Laut, Binacipta, Bandung, hlm. 70.
Leatemia, Pengaturan Hukum Daerah Kepulauan 631

pangkal lurus kepulauan (archipelagic baseline) untuk mengukur lebar laut


straight baseline) sebagaimana ditegaskan teritorial, bagi negara-negara kontinental
dalam Pasal 47 ayat (1) Konvensi Hukum dengan karakteristik teluk yang lebar atau
Laut 1982 bahwa: terdapat pulau-pulau di depan pantainya
An archipelagic State may draw straight dipergunakan garis pangkal lurus (straight
archipelagic baselines joining the outer baseline) untuk mengukur lebar laut
most points of the outermost island and teritorialnya, sedangkan bagi negara-negara
drying reefs of the archipelago provided
dengan karakteristik kepulauan dapat
that within such baselines are included
the main islands and an area in which dipergunakan garis pangkal lurus kepulauan
the ratio of the area of the water to area (archipelagic straight baseline) untuk
of the land, including atolls, is between mengukur lebar laut teritorialnya.
1 to 1 and 9 to 1. Pasal 25A Undang-Undang Dasar
Penarikan garis pangkal lurus kepulauan Negara Republik Indonesia Tahun 1945
di atas dilakukan bagi Negara dengan menegaskan bahwa “Negara Kesatuan
karakteristik kepulauan. Menurut Etty R. Republik Indonesia adalah sebuah Negara
Agoes,5 ketentuan di atas tidak menjadikan kepulauan yang berciri nusantara dengan
penarikan garis pangkal lurus kepulauan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya
sebagai suatu kewajiban, melainkan hanya ditetapkan dengan undang-undang”. Adanya
sebagai suatu pilihan. Negara kepulauan pasal ini menurut Jimly Asshiddiqie6
mempunyai kebebasan untuk menetapkan menampakkan tiga hal, pertama, menegas-
cara penarikan garis pangkal lain sepanjang kan bahwa Negara Indonesia memiliki
tidak bertentangan dengan Konvensi 1982. wilayah hukumnya sendiri sebagai sebuah
Garis pangkal lain dalam konteks ini, pada Negara merdeka dan berdaulat. Kedua, pasal
dasarnya diberlakukan pada Negara yang ini juga menegaskan bahwa wilayah hukum
tidak memiliki karakteristik kepulauan Negara Indonesia itu, batas-batas dan hak-
yaitu penarikan garis pangkal biasa (normal hak yang terdapat di dalamnya diatur dengan
baseline) atau garis pangkal lurus (straight undang-undang. Artinya, pemerintah dan
baseline) sebagaimana dimaksud pada Pasal siapapun juga tidak berhak menambah
5 dan Pasal 7 ayat (1) Konvensi Hukum Laut atau mengurangi wilayah Negara itu tanpa
1982. persetujuan rakyat yang dituangkan dalam
Konvensi Hukum Laut 1982 menerap- undang-undang. Ketiga, penetapan batas-
kan “prinsip pembedaan” dalam menentu- batas wilayah beserta hak-haknya itu dalam
kan lebar laut teritorial suatu negara. Bagi undang-undang juga tidak boleh dipahami
negara dengan karakteristik kontinental bersifat sepihak tanpa mengindahkan norma-
dipergunakan garis pangkal biasa (normal norma yang berlaku di dunia internasional.


5
Etty R. Agoes, “Praktik Negara-negara atas Konsepsi Negara Kepulauan”, Jurnal Hukum Internasional,
Vol. 1n, No. 3, April 2004, Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
hlm. 181.
6
Jimly Asshiddiqie, 2002, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, Pusat Studi Hukum
Hukum Tata Negara, Jakarta, hlm. 47.
632 MIMBAR HUKUM Volume 23, Nomor 3, Oktober 2011, Halaman 431 - 645

Sebagai suatu negara kesatuan dengan bahwa hubungan antara pemerintah pusat
karakteristik kepulauan, Indonesia meng- dan daerah bersifat hierarkis dan vertikal.
anut asas desentralisasi, sehingga kepada Hal ini berbeda dengan negara federal
daerah diberikan kesempatan dan kekuasaan maupun konfederasi.
untuk mengatur dan mengurus rumah Dari bentuk-bentuk utama pemencaran
tangganya sendiri (otonomi daerah) yang penyelenggaraan Negara dan pemerintahan,
dinamakan dengan daerah otonom. Dalam akan dijumpai paling tidak tiga bentuk
hal ini, Pemerintah Pusat mempunyai hubungan antara pusat dan daerah menurut
wewenang untuk menyerahkan sebagian dasar, (1) dekonsentrasi teritorial; (2)
kekuasaannya kepada daerah berdasarkan otonomi teritorial; dan (3) federal.10 Bagi
hak otonomi, tetapi pada tahap terakhir, suatu negara kesatuan dengan karakteristik
kekuasaan tertinggi tetap di tangan kepulauan, maka idealnya hubungan pusat
pemerintah pusat. Jadi kedaulatannya, baik dan daerah dilakukan menurut otonomi
kedaulatan ke dalam maupun kedaulatan ke territorial, karena dapat dilakukan melalui:
luar, sepenuhnya terletak pada pemerintah (1) undang undang menetapkan secara tegas
pusat.7 berbagai fungsi pemerintahan (administrasi
Dalam negara kesatuan, bagian- negara) sebagai urusan rumah tangga
bagian negara lazim disebut dengan daerah daerah; (2) Pemerintahan Pusat dari waktu
(gebiedsdeel) dimaksudkan lingkungan ke waktu menyerahkan berbagai urusan baru
yang dijelmakan dengan membagi suatu kepada satuan otonomi; (3) pusat mengakui
kesatuan lingkungan yang disebut wilayah urusan-urusan pemerintahan tertentu yang
(gebied). Dengan kata lain, istilah daerah “diciptakan” atau yang kemudian diatur
bermakna bagian atau unsur dari suatu satuan otonomi baik karena tidak diatur dan
lingkungan yang lebih besar sebagai suatu diurus pusat maupun atas dasar semacam
kesatuan.8 Hal ini sesuai dengan Pasal 18 concurrent power; (4) membiarkan suatu
ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan bahwa urusan yang secara tradisional atau sejak
“Negara Kesatuan Republik Indonesia di- semula dikenali sebagai fungsi pemerintahan
bagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah yang diatur dan diurus satuan otonomi.11
provinsi itu dibagi atas kabupaten/kota, yang Undang-undang Nomor 32 Tahun
tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu 2004 merumuskan desentralisasi sebagai
mempunyai pemerintahan daerah yang diatur penyerahan wewenang pemerintahan oleh
dengan undang-undang”. Menurut Jimly pemerintah kepada daerah otonom untuk
Asshiddiqie,9 penggunaan istilah “dibagi mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
atas” ini dimaksudkan untuk menegaskan dalam sistem Negara Kesatuan Republik

7
Ni’matul Huda, 2009, Hukum Pemerintahan Daerah, Nusa Media, Bandung, hlm. 31.
8
Ibid., hlm. 29.
9
Op.cit., hlm. 21.
10
Bagir Manan, 2005, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum UII, Yogya-
karta, hlm. 32-36.
11
Ibid., hlm. 35.
Leatemia, Pengaturan Hukum Daerah Kepulauan 633

Indonesia (Pasal 1 angka 7 UU No. 32 Tahun baik pemerintah maupun rakyatnya. Tindak
2004). Asas desentralisasi diimplementasi- lanjut dari penerimaan Konvensi Hukum
kan dalam bentuk otonomi daerah yang di- Laut Tahun 1982 sebagai hukum nasional
artikan sebagai hak untuk mengurus rumah Indonesia diwujudkan melalui penetapan
tangga sendiri.12 UU No. 32 Tahun 2004 UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan
menegaskan pengertian otonomi daerah Indonesia, di mana ketiga prinsip penarikan
sebagai hak, wewenang, dan kewajiban garis pangkal dalam Konvensi Hukum Laut
daerah otonom untuk mengatur dan 1982 secara mutatis mutandis mendapat
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan pengaturan dalam undang-undang ini.
kepentingan masyarakat setempat sesuai Pasal 5 ayat (1) UU No. 6 Tahun 1996
dengan peraturan perundang-undangan menegaskan bahwa “Garis pangkal ke-
(Pasal 1 angka 5 UU No. 32 Tahun 2004). pulauan Indonesia ditarik dengan meng-
Penyelenggaraan otonomi daerah di- gunakan garis lurus kepulauan”. Dalam hal
lakukan bersamaan dengan penyelenggara- garis pangkal lurus kepulauan sebagaimana
an otonomi desa atau yang disebut dengan dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat
nama lain adalah kesatuan masyarakat digunakan, maka digunakan garis pangkal
hukum yang memiliki batas-batas wilayah biasa atau garis pangkal lurus. Dalam hal ini,
yang berwenang untuk mengatur dan berpatokan pada pendapat Etty R. Agoes,
mengurus kepentingan masyarakat se- maka pilihan utama terletak pada penarikan
tempat, berdasarkan asal-usul dan adat archipelagic straight baseline yang memiliki
istiadat setempat yang diakui dan di- kedudukan utama dibandingkan dengan
hormati dalam sistem Pemerintahan Negara normal baseline dan straight baseline yang
Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 1 memiliki kedudukan pengganti bagi suatu
angka 12 UU No. 32 Tahun 2004). Landasan negara kepulauan.
pemikiran dalam pengaturan mengenai Prinsip Negara Kepulauan sebagai-
desa adalah keanekaragaman, partisipasi, mana tertuang dalam UNCLOS yang di-
otonomi asli, demokratisasi dan pember- pelopori oleh Indonesia melalui Deklarasi
dayaan masyarakat (Penjelasan Umum UU Djuanda 1957 belum diadopsi secara
No. 32 Tahun 2004). benar, sebagaimana terbukti dari berbagai
Konvensi Hukum Laut 1982 telah di- regulasi yang telah dikeluarkan, belum
ratifikasi oleh Indonesia dengan dikeluar- mengakomodir prinsip Negara Kepulauan.
kannya UU No. 17 Tahun 1985 tentang Hal ini dapat terlihat menonjol pada UU
Pengesahan United Nations Convention on No. 32 Tahun 2004, terutama terkait dengan
the Law of the Sea 1982. Dengan ditetapkan- pengaturan kewenangan daerah untuk
nya UU No. 17 Tahun 1985, maka UNCLOS mengelola sumberdaya di wilayah laut.
telah menjadi hukum nasional Indonesia, Pasal 18 ayat (4) UU No. 32 Tahun
dan mengikat seluruh bangsa Indonesia, 2004 menegaskan, “Kewenangan untuk

12
Achmad Yani, 2002, Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, hlm. 8.
634 MIMBAR HUKUM Volume 23, Nomor 3, Oktober 2011, Halaman 431 - 645

mengelola sumberdaya di wilayah laut diperlukan untuk mewujudkan ketertiban,


paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur menjamin kepastian dan perlindungan
dari garis pantai ke arah laut lepas dan atau hukum.13
ke arah perairan kepulauan untuk provinsi Pentingnya prinsip negara kepulauan
dan sepertiga dari wilayah kewenangan diadopsi dan dijabarkan menjadi prinsip
provinsi untuk kabupaten/kota”. Hal ini Daerah Kepulauan telah mendapat per-
menampakkan bahwa UU No. 32 Tahun hatian dari Daerah-daerah Provinsi yang
2004 menerapkan prinsip penarikan garis berkarakteristik kepulauan. Pada tanggal 10
pangkal biasa (normal baseline), sehingga Agustus 2005, tujuh Gubernur dan Ketua
mengabaikan prinsip garis pangkal lurus Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
(straight baseline) dan prinsip garis pangkal dari Provinsi Kepulauan bertemu di Ambon,
lurus kepulauan (archipelagic straight dan menghasilkan Deklarasi Ambon
baseline). Penerapan prinsip penarikan dengan latar belakang pemikiran bahwa,
garis pangkal biasa (normal baseline) (1) penegasan kesatuan daratan dan lautan
dalam pasal 18 UU No. 32 Tahun 2004, (tanah air) adalah falsafah serta pandangan
justru menimbulkan ketidakadilan dalam bangsa Indonesia mengenai laut sebagai
rangka penyelenggaraan otonomi daerah penghubung yang melahirkan prinsip
di Indonesia, mengingat adanya perbedaan Negara Kepulauan (Archipelagic State
karakteristik daerah. Principles); (2) konsepsi Negara Kepulau-
Prinsip Negara Kepulauan mestinya an dalam Konvensi Hukum Laut 1982,
diadopsi secara mutatis mutandis untuk diperjuangkan oleh Pemerintah dan
dirumuskan pada pengaturan wilayah ke- masyarakat Indonesia, telah menjadikan
wenangan daerah otonom dalam pengelola- wilayah Provinsi Kepulauan sebagai tolok
an sumberdaya alam di laut berdasarkan ukur adanya pengakuan prinsip Negara
UU No. 17 Tahun 1985. Hal ini akan kepulauan; (3) pengakuan prinsip Negara
menampakkan adanya harmonisasi antara Kepulauan hendaknya diimplementasikan
hukum inter-nasional dan hukum nasional menjadi prinsip daerah (provinsi kepulauan);
Indonesia melalui adopsi Prinsip Negara (4) sumber daya alam di laut pada Provinsi
Kepulauan menjadi Prinsip Daerah (Pro- Kepulauan mampu memberikan kontribusi
vinsi, Kabupaten/Kota) Kepulauan bagi yang sangat besar bagi pembangunan
daerah dengan karakteristik kepulauan masyarakat Indonesia, tetapi tidak men-
karena karakteristik wilayah di mana luas dapat imbalan yang proporsional bagi
wilayah laut yang lebih besar dari luas pembangunan daerah yang mensejahterakan
wilayah darat. Dalam konteks ini, kebutuhan masyarakat.14
akan peraturan perundang-undangan yang Atas dasar pemikiran di atas, maka
harmonis dan terintegrasi menjadi sangat Deklarasi Ambon dengan tegas menegaskan

13
Kusnu Goeniadhie, 2006, Harmonisasi Hukum dalam Perspektif Perundang-undangan, JP Books, Surabaya,
hlm. 3.
14
Badan Kerjasama Provinsi Kepulauan, 2009, Draft Akademik Rancangan Undang-undang Daerah Kepulauan,
Ambon, hlm. 50.
Leatemia, Pengaturan Hukum Daerah Kepulauan 635

“memintakan Pemerintah Indonesia untuk dalam undang-undang yang mencerminkan


mewujudkan pengakuan yuridis terhadap disharmoni antara hukum internasional dan
Provinsi Kepulauan melalui berbagai hukum nasional; (2) pertentangan antara
regulasi yang dibutuhkan untuk memper- hukum nasional dengan hukum adat yang
cepat proses pembangunan daerah, demi berlaku mengenai pengaturan wilayah laut;
terwujudnya kesejahteraan rakyat.15 (3) pluralisme dalam pengaturan, penerapan
Upaya hukum yang dilakukan dalam dan penegakan hukum di wilayah laut; (4)
rangka pengakuan yuridis Daerah (Provin- perbedaan kepentingan dan perbedaan
si) Kepulauan, tidak dimaksudkan untuk penafsiran dari para pemangku kepentingan
menuntut otonomi khusus melainkan ada- di wilayah laut; (5) kesenjangan antara
nya suatu pengakuan dan perlakuan khusus pemahaman hukum dan pemahaman
bagi daerah-daerah (provinsi) yang memiliki teknis mengenai pengaturan kewenangan
karakteristik kepulauan. Dalam hal ini, ada daerah di wilayah laut; (6) kendala hukum
hal yang harus berbeda perlakuan pada yang dihadapi dalam penerapan peraturan
daerah-daerah yang wilayahnya lebih luas perundang-undangan yang terdiri atas
dari daratan, seperti kabupaten/kota dan mekanisme pengaturan, administrasi peng-
provinsi kepulauan. aturan, antisipasi terhadap perubahan dan
Pengaturan hukum daerah kepulauan, penegakan hukum; (7) hambatan hukum
berkaitan dengan tiga permasalahan pokok, terkait dengan tumpang tindih kewenangan
(1) Harmonisasi Hukum; (2) Pembaharuan dan benturan kepentingan.
Hukum dan (3) Karakteristik Hukum. Disharmoni hukum dalam konteks ke-
wenangan pemerintahan daerah di wilayah
B. Harmonisasi Hukum laut, mengharuskan adanya harmonisasi
Harmonisasi hukum dikembangkan hukum. Rudolf Stammler mengemukakan
dalam ilmu hukum untuk menunjukkan suatu konsep fungsi hukum bahwa tujuan
bahwa dalam dunia hukum, baik peraturan dan fungsi hukum adalah harmonisasi
perundang-undangan maupun kebijakan berbagai maksud, tujuan dan kepentingan
pemerintah dan hubungan diantara kedua- antara individu dengan individu dan antara
nya terdapat keanekaragaman yang dapat individu dengan masyarakat.16 Dalam
mengakibatkan disharmoni. Kemajemukan konteks ini, prinsip-prinsip hukum yang adil
sistem hukum di Indonesia juga sangat mencakup harmonisasi antara maksud dan
potensial menimbulkan disharmoni hukum. tujuan dari kepentingan perorangan serta
Dalam konteks pengaturan hukum terhadap maksud dan tujuan dari kepentingan umum.
daerah kepulauan, maka potensi terjadinya Maksud dan tujuan serta kepentingan terdiri
disharmoni hukum dapat dilihat pada atas dua unsur yaitu, saling menghormati
faktor-faktor, (1) perbedaan pengaturan dan partisipasi.17

15
Ibid., hlm. 51.
16
Kusnu Goesniadhie, Op.cit., hlm. 62.
17
Theo Huijbers, 1995, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 150.
636 MIMBAR HUKUM Volume 23, Nomor 3, Oktober 2011, Halaman 431 - 645

Langkah harmonisasi hukum dalam perintah dari pasal-pasal dalam UUD 1945
pengaturan daerah kepulauan yang di- belum dijabarkan secara konkrit dalam
lakukan melalui, (1) identifikasi letak atau UU No. 32 Tahun 2004 tersebut. Makna
posisi disharmoni hukum di dalam peratur- pengaturan dalam pasal-pasal UUD 1945,
an perundang-undangan; (2) identifikasi belum dianalisis secara komprehensif,
penyebab terjadinya disharmoni hukum; untuk melahirkan pemahaman utuh me-
(3) melakukan penemuan hukum dengan nyeluruh dan komprehensif dalam kerangka
metode penafsiran dan metode konstruksi pengaturan terhadap kewenangan daerah
hukum untuk mengubah keadaan hukum otonom di wilayah laut.
yang disharmoni menjadi harmoni; (4) Pasal 25A UUD 1945 menegaskan
melakukan penalaran hukum agar hasil bahwa “Negara Kesatuan Republik Indo-
penafsiran dan konstruksi hukum tersebut nesia adalah sebuah Negara Kepulauan
masuk akal dan memenuhi unsur logika; dan yang berciri Nusantara dengan wilayah
(5) penyusunan argumentasi yang rasional yang batas-batas dan hak-haknya ditetap-
untuk mendukung dan menjelaskan hasil kan dengan undang undang”. Pendekatan
penafsiran hukum, konstruksi hukum dan pengaturan pemerintahan daerah terkait
penalaran hukum.18 dengan kewenangan daerah di wilayah
Harmonisasi hukum dalam pengatur- laut berdasarkan karakteristik kepulauan
an daerah kepulauan secara substansial yang berciri “nusantara” (pulau-pulau di
dilakukan berbasis UUD 1945. Hal ini antara lautan yang luas) akan mewujudkan
penting, karena UUD 1945 sebagai hukum kesejahteraan masyarakat secara substansial.
dasar dalam kehidupan berbangsa dan Hal ini penting mengingat karakteristik
bernegara memuat aturan-aturan dasar dan permasalahan yang dihadapi oleh
yang dapat dipergunakan dalam pengaturan pemerintahan daerah kepulauan, seperti,
hukum daerah kepulauan. Dalam kerangka (a) luas wilayah laut yang lebih besar dari
pengaturan hukum daerah kepulauan, perlu wilayah daratan; (2) penduduk yang relatif
diperhatikan dan diharmonisasikan pasal- sedikit dan penyebarannya tidak merata;
pasal yang menjadi dasar penyusunan (3) komunitas-komunitas yang tersegregasi
peraturan perundang-undangan dengan dalam permukiman menurut teritorial suatu
rumusan kaidah/norma dalam peraturan pulau; (4) keragaman sumber daya alam; (5)
perundang-undangan yang berlaku sebagai tingkat isolasi geografis cenderung tinggi
hukum positif. dengan keunikan habitat (endemis) dan
Di dalam Pasal 18 ayat (4) UU No. keanekaragamaan biotik (keanekaragaman
32 Tahun 2004 terkait dengan pengatur- hayati); (6) aktivitas, jenis, dan derajat
an kewenangan daerah di wilayah laut, dinamika ekonomi umumnya terbatas dan
tampak adanya disharmoni dengan pasal- berskala kecil, serta belum didukung oleh
pasal dalam UUD 1945. Dalam hal ini jaringan distribusi dan pemasaran secara

Jason Patlis dkk (Penyunting), 2005, Menuju Harmonisasi Sistem Hukum sebagai Pilar Pengelolaan Pesisir
18

Indonesia, Jakarta, hlm. xxi.


Leatemia, Pengaturan Hukum Daerah Kepulauan 637

memadai; (7) sumber daya lingkungan kecil, UUD 1945 tidak mendapat perhatian dalam
rentan terhadap perubahan (entrophy), dan kebijakan regulasi, maka dapat saja terjadi
rawan bencana alam, misalnya gelombang pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)
di permukaan laut; (8) terdapat potensi yang telah mendapatkan pengaturan secara
keanekaragaman hayati darat dan perairan memadai dalam UUD 1945. Pasal-pasal
sekitar pulau-pulau (kecil); (9) hampir semua dalam UUD 1945 yang mengatur hak asasi
Provinsi Kepulauan berada pada wilayah/ manusia yang terkait dengan pengaturan
kawasan Perbatasan Negara, yang memiliki hukum daerah kepulauan adalah Pasal
pulau kecil terluar.19 28C ayat (1) (hak mengembangkan diri
Pengaturan hukum terhadap daerah dalam bidang pendidikan), Pasal 28C ayat
kepulauan hendaknya dilakukan dalam (2) (hak memperjuangkan kepentingan
konteks Pasal 18 ayat (1) yang menegaskan kolektif), Pasal 28H ayat (1) (hak hidup
“Negara Kesatuan Republik Indonesia di- sejahtera lahir dan batin), Pasal 28H ayat (2)
bagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah (hak mendapat kemudahan dan perlakuan
provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, khusus), Pasal 28I ayat (2) (hak bebas dari
yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota perlakuan yang bersifat diskriminatif), Pasal
itu mempunyai pemerintahan daerah yang 28I ayat (3) (hak atas identitas budaya dan
diatur dengan undang-undang”. Pasal 18A hak masyarakat tradisional).
ayat (1) UUD 1945, “Hubungan wewenang Harmonisasi hukum dalam pengatur-
antara pemerintah pusat dan pemerintahan an daerah kepulauan hendaknya dilakukan
daerah provinsi, kabupaten dan kota, atau sesuai prinsip Negara Kepulauan dalam
antara provinsi dan kabupaten dan kota Konvensi Hukum Laut 1982. Konvensi
diatur dengan undang-undang dengan mem- Hukum Laut Tahun 1982 telah mendapat
perhatikan kekhususan dan keragaman pengakuan sebagai a Constitution of the
daerah”. Pasal 18B ayat (1) UUD 1945, Oceans, di mana setiap Negara dapat
“Negara mengakui dan menghormati satuan- menetapkan berbagai macam zona maritim
satuan pemerintahan daerah yang bersifat seperti perairan pedalaman, laut teritorial,
khusus atau bersifat istimewa yang diatur zona tambahan, zona ekonomi eksklusif dan
dengan undang-undang” dan Pasal 18B landas kontinen,20 yang harus diukur mulai
ayat (2) yang mengatur mengenai kesatuan dari garis-garis pangkal.
masyarakat hukum adat. Ketentuan mengenai penarikan garis
Pengaturan hukum daerah kepulauan pangkal biasa (normal baseline) tertuang
belum terlihat dalam rumusan UU No. 32 dalam Pasal 5 Konvensi Hukum Laut 1982
Tahun 2004, sehingga memperlihatkan berwujud garis air rendah sepanjang pantai
adanya disharmoni antara undang-undang sebagaimana terlihat pada peta skala besar
ini dengan UUD 1945. Apabila disharmoni yang diakui resmi oleh negara pantai ter-
antara UU No. 32 Tahun 2004 dengan sebut. Rumusan dalam ketentuan Pasal

19
BKS Provinsi Kepulauan, Op.cit., hlm. 61.
20
Etty R. Agoes, Op.cit., hlm. 442.
638 MIMBAR HUKUM Volume 23, Nomor 3, Oktober 2011, Halaman 431 - 645

5 Konvensi Hukum Laut 1982 ini, sama internasional yang mendapat pengaturan
dengan rumusan dalam Pasal 3 Konvensi dalam Konvensi Hukum Laut 1982. Dalam
Jenewa 1959 tentang Laut Teritorial dan Konvensi Hukum Laut 1982 konsepsi
Zona Tambahan (Convention on the ini telah dituangkan ke dalam beberapa
Territorial Sea and the Contiguous Zone). asas yang dinamakan asas-asas Negara
Ketentuan mengenai garis pangkal Kepulauan (archipelagic state principles)
lurus (straight baseline) ditegaskan dalam sebagaimana tercantum pada Bab IV yang
Pasal 7 Konvensi Hukum Laut 1982, yang terdiri dari sembilan pasal (Pasal 46-54),
hampir bersamaan dengan Pasal 4 Konvensi yang berisi antara lain ketentuan tentang
Jenewa 1958 tentang Laut Teritorial dan Negara Kepulauan, garis pangkal lurus
Zona Tambahan. Dalam Pasal 7 ayat (1) kepulauan serta status hukum dari perairan
Konvensi Hukum Laut 1982, di mana kepulauan.
terdapat 2 (dua) syarat geografis yang Menurut Hasyim Djalal,21 “archi-
memungkinkan dapat dipergunakannya pelago” sebagai suatu konsepsi geografis
penarikan garis pangkal yaitu (1) di tempat- menjadi dasar bagi konsepsi archipelagic
tempat di mana garis pantainya banyak state yang terdiri dari satu atau beberapa
berliku tajam atau menjorok jauh ke dalam archipelago, sedangkan tidak setiap
atau lautnya masuk jauh ke dalam; dan (2) archipelago menjadi archipelagic state
apabila terdapat deretan pulau sepanjang atau tidak harus diperlakukan sebagai
pantai atau yang letaknya tidak jauh dari archipelagic state. Oleh karena itu, terdapat
pantai. Pada Pasal 7 ayat (2) Konvensi tiga jenis archipelago yaitu, (1) Coastal
Hukum Laut 1982, ditambahkan kondisi Archipelago, yang terletak di sepanjang
geografis ketiga yang memungkinkan pantai dan yang pada umumnya berdekatan
dilakukannya penarikan garis pangkal lurus dengan pantai. Hal ini pada dasarnya telah
yaitu apabila ada suatu delta atau kondisi diselesaikan oleh Konferensi Jenewa 1958
alam lainnya garis pantai sangat tidak tetap, tentang laut wilayah yang memungkinkan
maka titik-titik yang tepat dapat dipilih pada negara pantai menarik garis-garis dasar
garis air rendah yang paling jauh menjorok dari archipelago yang terletak berdekatan
ke laut untuk melakukan penarikan garis di sepanjang pantai tersebut; (2) Mid-
pangkal lurus. ocean Archipelago yang terletak di tengah
Ketentuan mengenai penarikan garis laut yang jauh dari pantai suatu negara.
pangkal lurus kepulauan (archipelagic Pada dasarnya konsepsi Hukum Inter-
straight baseline) merupakan bagian peng- nasional mengenai archipelago berasal
aturan mengenai konsepsi Negara Ke- dari archipelago-archipelago semacam
pulauan dalam Konvensi Hukum Laut 1982. ini yang pada umumnya merupakan suatu
Konsepsi Negara Kepulauan merupakan gugusan pulau-pulau yang kompak dan yang
suatu konsepsi baru dalam hukum jarak antara pulau-pulaunya tidak begitu

BKS Provinsi Kepulauan, Op.cit., hlm. 70.


21

22
Ibid., hlm. 70-71.
Leatemia, Pengaturan Hukum Daerah Kepulauan 639

besar; (3) Archipelagic State yaitu suatu arah hukum tertulis, meskipun tidak dapat
gugusan pulau-pulau atau beberapa gugusan dihindari bahwa hukum tidak tertulis tetap
pulau-pulau yang menjadi suatu negara hidup dan berkembang pada sebagian besar
merdeka22. kesatuan masyarakat hukum adat.23
Ketentuan Pasal 46 Konvensi Hukum Di dalam hukum adat yang berlaku
Laut 1982 apabila dikaitkan dengan realitas pada kesatuan masyarakat hukum adat
karakteristik Negara Kepulauan Indonesia, di Maluku, penentuan batas wilayah laut
memperlihatkan bahwa di dalam Negara dilakukan secara berbeda dan berdasarkan
Kepulauan Indonesia terdapat daerah-daerah karakteristik wilayah dari kesatuan
provinsi dengan karakteristik, (1) Coastal masyarakat hukum adat tersebut. Dalam hal
archipelago yaitu daerah-daerah provinsi ini, masing-masing kesatuan masyarakat
yang mempunyai pulau-pulau di sepanjang hukum adat menetapkan luas wilayah
pantai utama; misalnya Provinsi Daerah petuanannya berdasarkan karakteristik
Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Sumatera tersebut, yang dapat terlihat dalam beberapa
Utara, Provinsi Sumatera Barat, Provinsi pola.
Riau, Provinsi Aceh, Provinsi Papua, Pertama, batas petuanan kesatuan
Provinsi Papua Barat dan lain-lain; (2) Mid masyarakat hukum adat di laut ditentukan
ocean archipelago yaitu daerah-daerah oleh pola umum yang dianut masyarakat,
provinsi yang mempunyai pulau-pulau di di mana suatu wilayah petuanan berakhir
tengah laut sebagai bagian dari wilayah sampai batas air putih dan air hitam, di
daerah tersebut; misalnya Provinsi Jawa mana dasar laut tidak kelihatan dan disebut
Timur, Provinsi Sulawesi Selatan, Provinsi tohor atau tubir. Kedua, pola penentuan
Sulawesi Tenggara dan lain-lain; dan (3) batas petuanan berdasarkan air pasang surut
Archipelagic Province atau Daerah Provinsi sampai air yang berwarna hitam. Ketiga,
Kepulauan yaitu daerah-daerah yang pola penentuan batas petuanan laut kesatuan
mempunyai pulau-pulau yang membentuk masyarakat hukum adat yang didasarkan
gugusan pulau; seperti Provinsi Kepulauan pada prinsip sejauh mata memandang atau
Riau, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, didasarkan pada batas pandangan mata dari
Provinsi Nusa Tenggara Barat, Provinsi daratan atau pantai.
Nusa Tenggara Timur, Provinsi Sulawesi Pola pengaturan hukum wilayah
Utara, Provinsi Maluku Utara dan Provinsi petuanan laut kesatuan masyarakat hukum
Maluku. adat yang simetris dengan pola pengaturan
Indonesia mengalami masa transisi da- hukum laut nasional dan internasional,
lam pengaturan hukum yang meliputi aneka pada dasarnya dapat dipergunakan dalam
macam bidang kehidupan, baik sosial budaya, pengaturan hukum terhadap daerah
ekonomi, politik maupun hukum. Dalam kepulauan berdasarkan konsepsi Negara
bidang hukum, sudah terjadi perubahan Kepulauan sebagaimana terdapat pada
arah dari tatanan hukum tidak tertulis ke Konvensi Hukum Laut 1982. Hal ini pen-

Soerjono Soekamto, 1981, Hukum Adat Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 374.
23
640 MIMBAR HUKUM Volume 23, Nomor 3, Oktober 2011, Halaman 431 - 645

ting karena, ketiga pola pengaturan dalam Menurut Gunther Teubner,24 hukum
hukum adat yang simetris dengan hukum modern memperlihatkan dominasi
nasional dan hukum internasional, secara negara sebagai pengatur di satu sisi dan
prinsipil didasarkan pada prinsip kesatuan meningkatkan kesejahteraan rakyat di sisi
wilayah daratan dan lautan yang merupakan yang lain, menyebabkan lahirnya konsep
prinsip dasar konsepsi Negara Kepulauan negara kesejahteraan (welfare state) dan
baik pada Deklarasi Djuanda 1957 maupun negara pengatur (regulatory state). Salah
Konvensi Hukum Laut 1982. Adanya satu persoalan yang dialami oleh hukum
pola pengaturan yang simetris ini apabila modern dewasa ini adalah adanya “krisis”
diimplementasikan dalam rumusan-rumus- rasionalitas formal. Oleh karena itu, perlu di-
an norma pengaturan hukum terhadap lakukan rematerialisasi hukum. Timbulnya
daerah kepulauan, akan memungkinkan rematerialisasi hukum karena adanya krisis
penerimaan yang memadai dari masyarakat, rasionalitas formal pada hukum modern.
sehingga memungkinkan tumbuhnya Krisis rasionalitas hukum formal
kesadaran untuk menghormati, mematuhi dalam pengaturan daerah kepulauan,
dan melaksanakan bentuk pengaturan itu terjadi karena secara nasional, ketentuan
secara berkualitas dan berlaku efektif. hukum dalam regulasi nasional belum
sepenuhnya mengadopsi secara mutatis
C. Pembaharuan Hukum mutandis prinsip Negara Kepulauan, baik
Pada dasarnya, pembaharuan hukum dalam Konvensi Hukum Laut 1982 maupun
dalam kaitan dengan pengaturan daerah Pasal 25 UUD 1945. Dalam konteks ini,
kepulauan dilakukan untuk menjawab kebijakan Pemerintah Indonesia masih tetap
kompleksitas masyarakat kepulauan yang berorientasi pada daerah-daerah dengan
menjadi objek dalam pengaturan hukum karakteristik kontinental (karakteristik
tersebut. Masyarakat pada daerah-daerah terestrial dan terestrial akuatik). Akibatnya,
kepulauan memiliki kompleksitas sosial daerah-daerah yang memiliki karakteristik
yang didasarkan pada pulau-pulau kecil akuatik terestrial (kepulauan) dengan
yang terpisah jauh oleh lautan yang luas, wilayah laut yang luas, kurang diperhitung-
sehingga menimbulkan segregasi berdasar- kan karena masyarakatnya berada dalam
kan Negeri (baca: Desa) dan Pulau yang suatu tatanan yang segregatif.
menjadi identitas diri. Kompleksitas sosial Konteks masyarakat kepulauan di
masyarakat kepulauan memperlihatkan atas, penting diletakkan dalam kaitan
adanya dinamika interaksi yang menimbul- dengan pendapat Niklas Luhmann yang
kan ketidakteraturan dalam masyarakat, mengidentifikasi tiga prinsip organisasi
karena hukum yang berlaku menimbulkan yang mendominasi masyarakat yaitu
ketidakteraturan itu. segmentasi, stratifikasi dan perbedaan

24
Gunther Teubner, “Substantive and Reflexive Element in Modern Law”, Law and Society Review, Vol. 17,
No. 2, 1983, hlm. 265.
25
Ibid., hlm. 263.
Leatemia, Pengaturan Hukum Daerah Kepulauan 641

fungsi. Ketiga prinsip tersebut menghasil- tujuan hukum. Ketiga komponen sistem
kan konfigurasi khusus mengenai hukum hukum (struktur hukum, substansi hukum
yang mengarah pada arahan yang lebih dan kultur atau budaya hukum) menjadi
spesifik dalam evolusi hukum.25 Oleh satu teori sistem hukum (legal system).
karena itu menurut Luhmann, krisis hukum Akan tetapi, menurut Achmad Ali,28 perlu
hendaknya dikembangkan dalam transisi ditambahkan lagi dua unsur sistem hukum
dari pembagian tingkatan ke perbedaan yaitu, (1) Profesionalisme, yang merupa-
fungsional masyarakat, yang menuntut kan unsur kemampuan dan keterampilan
transisi yang paralel dari peraturan per- secara personal dari sosok-sosok penegak
undang-undangan yang dihasilkan dalam hukum; dan (2) Kepemimpinan, juga me-
pemerintahan. Menurut Luhmann, yang rupakan sunsur kemampuan dan keterampil-
diperlukan adalah abstraksi yang lebih an secara personal dari sosok-sosok penegak
tinggi dari pemikiran fungsionalisasi dan hukum, utamanya kalangan petinggi
refleksi dari sistem peraturan perundang- hukum.
undangan.26 Dalam hal ini, konsep pemikir- Masyarakat pada daerah-daerah (pro-
an Luhmann dikembangkan atas dasar tiga vinsi) kepulauan hanya menghendaki ada-
asumsi dasar yaitu dinamis, mekanis dan nya pengakuan dari Pemerintah Republik
menunjuk pada sistem evolusi. Konsep Indonesia terhadap adopsi penerapan
Luhmann merupakan suatu perpaduan yang prinsip negara kepulauan dalam Konvensi
kompleks antara sistem dan lingkungan. Hukum Laut 1982 dalam penentuan
Rematerialisasi hukum nasional wilayah kewenangan daerah otonom di
dalam menjawab tantangan pembangunan laut, sehingga terjadi perbedaan perlakuan
untuk mengatasi kompleksitas masyarakat berdasarkan karakteristik wilayah. Pada
kepulauan, hendaknya diikuti dengan sisi lain, masyarakat pada daerah-daerah
penataan hukum daerah yang rasional provinsi kepulauan tetap menghormati dan
substantif dalam suatu formulasi hukum menghargai hak-hak atas penggunaan laut
formal yang rasional. sebagaimana telah diatur dalam Konvensi
Rematerialisasi hukum nasional Hukum Laut 1982 maupun hukum nasional
maupun daerah pada dasarnya dilakukan Indonesia yang berkaitan dengan prinsip
berdasarkan pembaharuan hakikat hukum. Wawasan Nusantara. Dalam hal ini, hak
Hakikat hukum menurut Achmad Ali,27 nelayan tradisional dari daerah-daerah yang
merupakan hubungan timbal-balik dari bukan provinsi kepulauan tetap dihormati
tiga komponen sistem hukum (struktur dan dilindungi, begitu juga hak-hak yang
hukum, substansi hukum, dan kultur atau diberikan dalam hukum internasional.
budaya hukum) dengan fungsi hukum dan Oleh karena itu, pembaharuan hukum

26
Ibid., hlm. 264.
27
Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence) Termasuk
Interpretasi Undang Undang (Legis Prudence) (Vol 1, Pemahaman Awal), Prenada Media Group, Jakarta,
hlm. 207.
28
Ibid., hlm. 204.
642 MIMBAR HUKUM Volume 23, Nomor 3, Oktober 2011, Halaman 431 - 645

dalam konteks pengaturan hukum terhadap undangan yang berbasis hukum responsif.
kewenangan daerah otonom di wilayah laut, Karakteristik hukum peraturan perundang-
hendaknya dilakukan terhadap komponen- undangan yang menonjol adalah berlaku
komponen sistem hukum tersebut. sebagai hukum positif Indonesia. Hukum
Pembaharuan hukum dalam realitas positif merupakan aturan hukum yang
dunia globalisasi memperlihatkan adanya ketentuan-ketentuannya berlaku di suatu
pluralisme hukum. Oleh karena itu saat, waktu dan tempat tertentu, ditaati oleh
pengaturan hukum hendaknya diletakkan manusia dalam pergaulan hidup selama
dalam konteks teori hukum yang menjawab timbulnya ketentuan itu berdasarkan
realitas dunia globalisasi yaitu triangular kesadaran hukum masyarakat, di samping
concept of legal pluralism (konsep cara yang digunakan oleh pergaulan hidup
segitiga pluralisme hukum) sebagaimana itu untuk mencapai keadilan31. Hukum
dikemukanan oleh Werner Menski.29 Werner positif merupakan terjemahan dari ius
Menski menolak konsep anti pluralist constitutum, yang dibedakan dengan hukum
alias konsep unification vision alias vision yang direncanakan atau ius constituendum,
of globalised uniformisation, made by di mana konsepsi pemikiran mengenai
American led initiatives, yang pada dasar- suatu aturan hukum yang dapat berlaku
nya berupaya menyeragamkan visi inter- sebagai hukum positif.
nasional dunia global di bawah satu visi Pengaturan hukum terhadap daerah
ala Amerika, mengenai isu-isu krusial kepulauan dengan mengadopsi prinsip
menyangkut hukum, keadilan dan hak Negara Kepulauan dalam Konvensi
asasi manusia.30 Di Indonesia, sudah lama Hukum Laut 1982 merupakan suatu ius
menjadi sasaran dan berhasil ditularkan visi constituendum yang diharapkan menjadi ius
universalitas ini, baik dalam bidang HAM constitutum melalui peraturan perundang-
dengan mengabaikan sisi partikularisasi undangan nasional.
HAM yang sebenarnya merupakan sesuatu Untuk menjadi ius constitutum,
yang sangat plural, maupun dalam kebijak- pengaturan hukum terhadap kewenangan
an pembangunan dan pembiayaan pem- daerah otonom di wilayah laut harus me-
bangunan yang mengabaikan karakteristik menuhi wujud nyata peraturan perundang-
wilayah daerah (provinsi maupun kabupaten/ undangan sebagai hukum positif. Dalam
kota). konteks ini, hukum positif Indonesia
berwujud peraturan perundang-undangan
D. Karakteristik Hukum yang: (a) dibuat oleh lembaga-lembaga yang
Pengaturan hukum terhadap daerah berwenang sesuai dengan ketentuan hukum,
kepulauan hendaknya dilakukan dalam tata cara, dan prosedur yang berlaku; (b)
konteks karakteristik peraturan perundang- bersifat mengatur dan memaksa; (c) dapat

29
Ibid., hlm. 184.
30
Ibid., hlm. 514.
31
Abdul Djamali, 1984, Pengantar Hukum Indonesia, Rajawali, Jakarta, hlm. 7-8.
Leatemia, Pengaturan Hukum Daerah Kepulauan 643

dipaksakan berlakunya oleh aparat penegak dan kondisi-kondisi kepatuhan terhadap


hukum; dan (d) memiliki sanksi hukum. hukum.33 Variabel-variabel hukum yang
Hukum positif Indonesia juga mencakup menjadi fokus pembahasan hukum res-
hukum adat yang berlaku bagi berbagai ponsif dari Nonet dan Selznick, apabila
masyarakat adat di Indonesia. Sebagai diletakkan dalam konteks pengaturan
hukum positif Indonesia, maka hukum kewenangan daerah otonom di wilayah
adat merupakan hukum yang, (a) dibuat laut terkait dengan adopsi dan penerapan
oleh masyarakat hukum adat; (b) bersifat prinsip Negara Kepulauan, memperlihatkan
mengatur dan memaksa; (c) berlakunya adanya sinergitas. Dalam hal ini, hukum
dapat dipaksakan oleh lembaga-lembaga positif yang berlaku selama ini belum
adat yang berwenang; dan (d) memiliki memperlihatkan variabel-variabel sebagai-
sanksi hukum.32 Dalam hal ini, hukum adat, mana dianalisis Nonet dan Selznick.
apabila menjadi hukum positif yang berlaku Sebagai contoh dapat dikemukakan variabel
secara menyeluruh, maka nilai-nilai hukum tujuan hukum sebagaimana dalam hukum
adat tersebut dapat menjadi norma hukum yang berlaku belum diletakkan dalam
dalam peraturan perundang-undangan kerangka menyejahterakan masyarakat
nasional. yang berada pada daerah-daerah kepulauan
Untuk mengatasi kritik atas dasar (akuatik terestrial), karena adanya perlaku-
realitas krisis otoritas hukum, maka Philippe an yang sama dengan daerah kontinental
Nonet dan Philip Selznick (1978) mengaju- (terestrial).
kan model hukum responsif. Model hukum Tatanan hukum responsif menekankan
responsif menempatkan hukum sebagai pada, (1) keadilan substantif sebagai dasar
sarana respons terhadap ketentuan-ke- legitimasi hukum; (2) peraturan merupakan
tentuan sosial dan aspirasi publik. Sesuai sub-ordinasi dari prinsip dan kebijakan; (3)
dengan sifatnya yang terbuka, maka pertimbangan hukum harus berorientasi
model hukum responsif mengedepankan pada tujuan dan akibat bagi kemaslahatan
akomodasi untuk menerima perubahan- masyarakat; (4) penggunaan diskresi sangat
perubahan sosial demi tercapainya keadilan dianjurkan dalam pengambilan keputusan
dan emansipasi publik. Dalam konteks ini hukum dengan tetap berorientasi pada
Nonet dan Selznick memberi perhatian tujuan; (5) memupuk sistem kewajiban
pada variabel-variabel yang berkaitan sebagai ganti sistem paksaan; (6) moralitas
dengan hukum, seperti peranan paksaan kerjasama sebagai prinsip moral dalam
dalam hukum, hubungan antara hukum menjalankan hukum; (7) kekuasaan di-
dengan politik, negara, tatanan moral, dayagunakan untuk mendukung vitalitas
tempat diskresi, peranan tujuan dalam hukum dalam melayani masyarakat; (8)
keputusan hukum, partisipasi, legitimasi penolakan terhadap hukum harus dilihat

32
Ibid., hlm. 136-137.
33
Bernard Tanya, 2007, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, CV Kita, Surabaya,
hlm. 238-239.
644 MIMBAR HUKUM Volume 23, Nomor 3, Oktober 2011, Halaman 431 - 645

sebagai gugatan terhadap legitimasi hukum; nilai hukum adatnya yang positif; (c) belum
dan (9) akses partisipasi publik dibuka lebar terlihat karakteristik hukum responsif
dalam rangka integrasi advokasi hukum dan berbasis nilai-nilai hukum adat masyarakat
sosial.34 kepulauan.
Sehubungan dengan kesimpulan di
E. Penutup atas, maka pengaturan hukum terhadap
Substansi pengaturan hukum terhadap daerah kepulauan hendaknya mengadopsi
daerah kepulauan, apabila dikaji dari prinsip Negara Kepulauan dan mem-
perspektif prinsip Negara Kepulauan, belum perhatikan nilai-nilai hukum adat yang
menampakkan sinkronisasi harmonisasi berlaku dalam masyarakat kepulauan.
hukum, pembaharuan hukum dan karak- Untuk itu Pemerintahan Daerah Kepulauan,
teristik hukumnya. Belum sinkronnya hendaknya membuat model penataan ruang
substansi pengaturan hukum disebabkan, laut, pesisir dan pulau-pulau kecil berbasis
(a) hukum positif Indonesia belum meng- nilai-nilai hukum adat yang disesuaikan
adopsi prinsip pembedaan dalam Konvensi dengan kepentingan ekonomi, sosial, budaya
Hukum Laut 1982; (b) belum adanya pem- dan politik, sehingga dapat menjadi model
baharuan hukum yang menjawab komplek- pengembangan dan pengaturan wilayah
sitas masyarakat kepulauan dengan nilai- laut.

DAFTAR PUSTAKA
Agoes, Etty R., “Praktik Negara-negara atas Undang-undang Daerah Kepulauan,
Konsepsi Negara Kepulauan”, Jurnal Ambon.
Hukum Internasional, Vol. 1n No. Djalal, Hasyim, 1979, Perjuangan Indonesia
3, April 2004, Lembaga Pengkajian di Bidang Hukum Laut, Binacipta,
Hukum Internasional Fakultas Hukum Bandung.
Universitas Indonesia. Djamali, Abdul, 1984, Pengantar Hukum
Ali, Achmad, 2009, Menguak Teori Hukum Indonesia, Rajawali, Jakarta.
(Legal Theory) dan Teori Peradilan Goeniadhie, Kusnu, 2006, Harmonisasi
(Judicial Prudence) Termasuk Inter- Hukum dalam Perspektif Perundang-
pretasi Undang Undang (Legis undangan, JP Books, Surabaya.
Prudence) (Vol 1, Pemahaman Awal), Huda, Ni’matul, 2009, Hukum Pemerintahan
Prenada Media Group, Jakarta. Daerah, Nusa Media, Bandung.
Asshiddiqie, Jimly, 2002, Konsolidasi Huijbers, Theo, 1995, Filsafat Hukum
Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan dalam Lintasan Sejarah, Kanisius,
Keempat, Pusat Studi Hukum Hukum Yogyakarta.
Tata Negara, Jakarta. Kusumaatmadja, Mochtar, 1986, Hukum
Badan Kerjasama Provinsi Kepulauan, Laut Internasional, Binacipta, Ban-
2009, Draft Akademik Rancangan dung.

Ibid., hlm. 241.


34
Leatemia, Pengaturan Hukum Daerah Kepulauan 645

Manan, Bagir, 2005, Menyongsong Fajar Soekamto, Soerjono, 1981, Hukum Adat Indo-
Otonomi Daerah, Pusat Studi Hu- nesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
kum Fakultas Hukum UII, Yogya- Tanya, Bernard, 2007, Teori Hukum, Strategi
karta. Tertib Manusia Lintas Ruang dan
Mauna, Boer, 2003, Hukum Internasional, Generasi, CV Kita, Surabaya.
Pengertian, Peranan dan Fungsi Teubner, Gunther, “Substantive and Reflexive
dalam Era Dinamika Global, Alumni, Element in Modern Law”, Law and
Bandung. Society Review, Vol. 17, No. 2, 1983.
Patlis, Jason, dkk (Penyunting), 2005, Yani, Achmad, 2002, Hubungan Keuangan
Menuju Harmonisasi Sistem Hukum antara Pemerintah Pusat dan Peme-
sebagai Pilar Pengelolaan Pesisir rintah Daerah, Raja Grafindo Persada,
Indonesia, Jakarta. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai