Anda di halaman 1dari 9

BAHARI Jogja Vol.VIII No.

12/2008 Februari 2008

OIL SPILL (TUMPAHAN MINYAK) DI LAUT DAN


BEBERAPA KASUS DI INDONESIA

Benny Hartanto
Staf Pengajar Akademi Maritim Yogyakarta (AMY)

ABSTRAK

Tumpahan minyak di laut sering menyebabkan pencemaran yang


disebabkan oleh kecelakaan kapal tanker/niaga, disamping itu juga akibat
beberapa operasi kapal, perbaikan dan perawatan kapal, bunker, bongkar-muat
minyak, penggantian bilga/air ballas kapal dan bangunan lepas pantai.
Akibatnya banyak nelayan/masyarakt yang tinggal di sekitar kejadian tidak
dapat melaut untuk mencari ikan dan penghasilan mereka semakin menurun,
ironisnya lagi tidak jarang aspirasi nelayan/masyarakat yang berada disekitar
kejadian seringkali tidak terwakili dalam hal rehabilitasi dan konpensasi. Oleh
karena itu pemerintah dalam hal ini instansi terkait seperti KLH, Pariwisata,
Pendidikan dan Kebudayaan, Perindustrian dan Perdagangan, DKP, TNI AL,
Kepolisian Departemen Perhubungan, PERTAMINA dan Pemerintah Daerah
menjadi ujung tombak dalam pencegahan dan penanggulangan polusi laut
tersebut. Beberapa kasus pencemaran laut akibat tumpahan minyak harus
diperhatikan serius, sekaligus dipersiapkan upaya pencegahan dan
penanggulangannya melalui tiga faktor yaitu aspek legalitas, aspek perlengkapan
dan aspek koordinasi ditambah dengan ketersediaan anggaran dan pelatihan
SDM berkelanjutan.

I. PENDAHULUAN
Laut merupakan suatu lahan yang kaya dengan sumber daya alam
termasuk keanekaragaman sumber daya hayati yang kesemuanya dapat
dimanfaatkan untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.
Sebagaimana diketahui bahwa 70% permukaan bumi ditutup oleh
perairan/lautan dan lebih dari 90% kehidupan biomasa di planet bumi
hidup di laut (UNEP, 2004). Oleh karenanya lautan merupakan bagian
penting dari kelangsungan hidup manusia, kita dapat bayangkan jika
lautan kita tercemar/rusak sehingga sebagian dari biomasa itu tercemar.
Sementara 60% populasi manusia bumi ini tinggal di 60 km dari sebuah
pantai yang sangat bergantung pada hasil laut. Oleh karenanya semua
komponen negara bertanggungjawab dan wajib melestarikan kondisi
dan keberadaan laut sesuai wujudnya termasuk didalamnya mencegah

43
BAHARI Jogja Vol.VIII No.12/2008 Februari 2008

pencemaran. Pencemaran laut diartikan sebagai adanya kotoran atau


hasil buangan aktivitas makhluk hidup yang masuk ke daerah laut.
Sumber dari pencemaran laut ini antara lain adalah tumpahan minyak,
sisa damparan amunisi perang, buangan dan proses di kapal, buangan
industri ke laut, proses pengeboran minyak di laut, buangan sampah
dari transportasi darat melalui sungai, emisi transportasi laut dan
buangan pestisida dari pertanian. Namun sumber utama pencemaran
laut adalah berasal dari tumpahan minyak baik dari proses di kapal,
pengeboran lepas pantai maupun akibat kecelakaan kapal. Polusi dari
tumpahan minyak di laut merupakan sumber pencemaran laut yang
selalu menjadi fokus perhatian dari masyarakat luas, karena akibatnya
akan sangat cepat dirasakan oleh masyarakat sekitar pantai dan sangat
signifikan merusak makhluk hidup di sekitar pantai tersebut. Badan
Dunia Group of Expert on Scientific Aspects of Marine Pollution
(GESAMP) mencatat sekitar 6,44 juta ton per tahun masuk kandungan
hidrokarbon ke dalam perairan laut dunia (Clark R.B, 2003). Sumber
tersebut antara lain: Transportasi laut sebesar 4,63 juta ton/tahun,
instalasi pengeboran lepas pantai sebesar 0,18 juta ton/tahun dan
sumber lain termasuk industri dan pemukiman sebesar 1,38 juta
ton/tahun.

II. TUMPAHAN MINYAK DI LAUT


Sumber dari tumpahan minyak di laut beragam sumbernya, tidak
hanya berasal dari kecelakaan kapal tanker namun juga akibat beberapa
operasi kapal dan bangunan lepas pantai.

2.1 Operasi Kapal Tanker


Produksi minyak dunia diperkirakan sebanyak 3 milyar ton/tahun
dan setengahnya dikirimkan melalui laut. Setelah kapal tanker memuat
minyak kargo, kapal pun membawa air ballast (sistem kestabilan kapal
menggunakan mekanisme bongkar-muat air) yang biasanya ditempatkan
dalam tangki slop. Sampai di pelabuhan bongkar, setelah proses
bongkar selesai sisa muatan minyak dalam tangki dan juga air ballast
yang kotor disalurkan ke dalam tangki slop. Tangki muatan yang telah
kosong tadi dibersihkan dengan water jet, proses pembersihan tangki ini
ditujukan untuk menjaga agar tangki diganti dengan air ballast baru
untuk kebutuhan pada pelayaran selanjutnya. Hasil buangan dimana
bercampur antara air dan minyak ini pun dialirkan ke dalam tangki slop.

44
BAHARI Jogja Vol.VIII No.12/2008 Februari 2008

Sehingga di dalam tangki slop terdapat campuran minyak dan air.


Sebelum kapal berlayar, bagian air dalam tangki slop harus dikosongkan
dengan memompakannya ke tangki penampungan limbah di terminal
atau dipompakan ke laut dan diganti dengan air ballast yang baru. Tidak
dapat disangkal buangan air yang dipompakan ke laut masih
mengandung minyak dan ini akan berakibat pada pencemaran laut
tempat terjadi bongkar muat kapal tanker.

2.2 Docking (Perbaikan/Perawatan Kapal)


Semua kapal secara periodik harus dilakukan reparasi termasuk
pembersihan tangki dan lambung. Dalam proses docking semua sisa
bahan bakar yang ada dalam tangki harus dikosongkan untuk mencegah
terjadinya ledakan dan kebakaran. Dalam aturannya semua galangan
kapal harus dilengkapi dengan tangki penampung limbah, namun pada
kenyataannya banyak galangan kapal tidak memiliki fasilitas ini, sehingga
buangan minyak langsung dipompakan ke laut. Tercatat pada tahun
1981 kurang lebih 30.000 ton minyak terbuang ke laut akibat proses
docking ini (Clark R.B, 2003).

2.3 Terminal Bongkar Muat Tengah Laut


Proses bongkar muat tanker bukan hanya dilakukan di pelabuhan,
namun banyak juga dilakukan di tengah laut. Proses bongkar muat di
terminal laut ini banyak menimbulkan resiko kecelakaan seperti pipa
yang pecah, bocor maupun kecelakaan karena kesalahan manusia.

2.4 Bilga dan Tangki Bahan Bakar


Umumnya semua kapal memerlukan proses balas saat berlayar
normal maupun saat cuaca buruk. Karena umumnya tangki ballast kapal
digunakan untuk memuat kargo maka biasanya pihak kapal
menggunakan juga tangki bahan bakar yang kosong untuk membawa air
ballast tambahan. Saat cuaca buruk maka air balas tersebut dipompakan
ke laut sementara air tersebut sudah bercampur dengan minyak. Selain
air balas, juga dipompakan keluar adalah air bilga yang juga bercampur
dengan minyak. Bilga adalah saluran buangan air, minyak, dan pelumas
hasil proses mesin yang merupakan limbah. Aturan Internasional
mengatur bahwa buangan air bilga sebelum dipompakan ke laut harus
masuk terlebih dahulu ke dalam separator, pemisah minyak dan air,

45
BAHARI Jogja Vol.VIII No.12/2008 Februari 2008

namun pada kenyataannya banyak buangan bilga illegal yang tidak


memenuhi aturan Internasional dibuang ke laut.

2.5 Scrapping Kapal


Proses scrapping kapal (pemotongan badan kapal untuk menjadi
besi tua) ini banyak dilakukan di industri kapal di India dan Asia
Tenggara termasuk Indonesia. Akibat proses ini banyak kandungan
metal dan lainnya termasuk kandungan minyak yang terbuang ke laut.
Diperkirakan sekitar 1.500 ton/tahun minyak yang terbuang ke laut
akibat proses ini yang menyebabkan kerusakan lingkungan setempat..

2.6 Kecelakaan Tanker


Beberapa penyebab kecelakaan tanker adalah kebocoran lambung,
kandas, ledakan, kebakaran dan tabrakan. Beberapa kasus di perairan
Selat Malaka adalah karena dangkalnya perairan, dimana kapal berada
pada muatan penuh. Tercatat beberapa kasus kecelakaan besar di dunia
antara lain pada 19 Juli 1979 bocornya kapal tanker Atlantic Empress di
perairan Tobacco yang menumpahkan minyak sebesar 287.000 ton ke
laut. Tidak kalah besarnya adalah kasus terbakarnya kapal Haven pada
tahun 1991 di perairan Genoa Italia, yang menumpahkan minyak
sebesar 144.000 ton.

III. CATATAN ATAS KASUS TUMPAHAN MINYAK DI


INDONESIA
Indonesia sebagai negara kepulauan yang diapit oleh dua
benua menjadikan perairan Indonesia sebagai jalur perdagangan dan
transportasi antar Negara. Banyak kapal-kapal pengangkut minyak
maupun cargo barang yang melintasi perairan Indonesia yang
menyebabkan negara kita sangat rentan terhadap polusi laut. Ditambah
dengan posisi Indonesia sebagai penghasil minyak bumi, dimana di
beberapa perairan dan pelabuhan Indonesia dijadikan sebagai terminal
bongkar muat minyak bumi, termasuk juga bermunculannya bangunan
pengeboran lepas pantai yang dapat menambah resiko tercemarnya
perairan Indonesia. Karena itu di beberapa daerah yang terdapat
terminal bongkar muat minyak di kategorikan oleh Pemerintah sebagai
kawasan tingkat pencemaran tinggi, seperti DKI Jakarta, Jawa Barat,
Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Sumatera Selatan,
Kalimantan Timur, Lampung dan Sulawesi Selatan. Tabel 1

46
BAHARI Jogja Vol.VIII No.12/2008 Februari 2008

memperlihatkan beberapa kasus pencemaran laut akibat tumpahan


minyak di Indonesia.
Dari rentetan kejadian yang tercantum dalam Tabel 1, kita dapat
melihat bahwa kecenderungan terjadinya polusi laut akibat tumpahan
minyak semakin meningkat. Akibat kejadian ini banyak nelayan kita
yang tinggal di sekitar kejadian tidak dapat melaut untuk mencari ikan
dan penghasilan mereka semakin menurun. Pencemaran laut ini
mengakibatkan matinya ikan-ikan laut dan atau berpindahnya ikan-ikan
dari lokasi pantai. Sementara nelayan kita hanya memiliki fasilitas
penangkapan yang seadanya, kapal-kapal mereka tidak dapat
menangkap ikan lebih jauh dari pantai. Ironisnya lagi tidak jarang
aspirasi masyarakat yang berada disekitar kejadian seringkali tidak
terwakili dalam hal rehabilitasi dan konpensasi.

IV. PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN


Pemerintah dalam hal ini instansi terkait seperti KLH,
Pariwisata, Pendidikan dan Kebudayaan, Perindustrian dan
Perdagangan, DKP, TNI AL, Kepolisian Departemen Perhubungan,
PERTAMINA dan Pemerintah Daerah menjadi ujung tombak dalam
pencegahan dan penanggulangan polusi laut ini. Banyak kasus-kasus
seperti ini hanya menjadi catatan pemerintah tanpa penanggulangan
tuntas. Sebagai contoh adalah kasus pencemaran di Pulau Seribu,
dimana diketahui bahwa pencemaran ini sudah terjadi sejak tahun 2003
dan dalam kurun waktu 2003-2004 tercatat berlangsung 6 kali kejadian
(Dirjen P2SDKP, 2004).

Tabel 1. Beberapa Kasus Tumpahan Minyak di Perairan Indonesia

No Tahun Lokasi Keterangan


1 2 3 4
1 1975 Selat Malaka Kandasnya kapal tanker Showa Maru yang menumpahkan
minyak sebesar 1 juta barel minyak solar
2 Januari 1975 Selat Malaka tabrakan kapal Isugawa Maru dengan Silver Palace
3 Desember Pelabuhan Kecelakaan kapal tanker Choya Maru pada Desember
1979 Buleleng Bali menumpahkan 300 ton bensin.
4 Pebruari 1979 Pelabuhan Bocornya kapal tanker Golden Win yang mengangkut 1500
Lhokseumawe kilo liter minyak tanah
5 33848 Selat malaka Tabrakan kapal tanker Ocean Blessing dan MT Nagasaki
Spirit yang menumpahkan 13000 ton minyak
6 Januari 1993 Selat Malaka Kandasnya Kapal Tanker Maersk Navigator
7 1996 Natuna Tenggelamnya KM Batamas II yang memuat MFO

47
BAHARI Jogja Vol.VIII No.12/2008 Februari 2008

1 2 3 4
8 Oktober 1997 Selat Singapura Kapal Orapin Global bertabrakan dengan kapal tanker
Evoikos
9 1998 Tanjung Priok Kandasnya kapal Pertamina Supply No 27 yang memuat solar
10 1999-2000 Cilacap Robeknya kapal tanker MT King Fisher dengan
menumpahkan sekitar 4000 barel
11 Oktober 2000 Batam Kandasnya MT Natuna Sea dan menumpahkan 4000 ton
minyak mentah
12 2001 Tegal-Cirebon Tenggelamnya tanker Stedfast yang mengangkut 1200 ton
limbah minyak
13 2003-2005 Kepulauan Tergenangnya tumpahan minyak di perairan Kepulauan
Seribu Seribu
14 Juli 2003 Palembang Tabrakan antara tongkang PLTU-I/PLN yang mengangkut
363 kiloliter IDF dengan kapal kargo An Giang.
Menyebabkan sungai Musi di sekitar kota Palembang
tercemar
15 Juli 2004 Kepulauan Riau Kapal tanker Vista Marine tenggelam akibat cuaca buruk dan
menumpahkan limbah minyak dalam tangki slop sebanyak
200 ton
16 38231 Cilacap Tumpahan Minyak oleh MT Lucky Lady yang memuat Syria
Crude Oil sebanyak 625044 barel. Volume minyak yang
tumpah ke perairan adalah sekitar 8000 barel dan menyebar 5
km sepanjang pantai
17 Oktober 2004 Pantai Tumpahan Minyak mentah dari Pertamina UP VI Balongan,
Indramayu tumpahan ini merusak terumbu karang tempat pengasuhan
ikan-ikan milik masyarakat sekitar
18 2004 Balikpapan Tumpahan minyak dari Perusahaan Total E dan P Indonesia,
membuat nelayan sekitar tidak dapat melaut dalam beberapa
waktu
19 Agustus 2005 Teluk ambon Meledaknya kapal ikan MV Fu Yuan Fu F66 yang
menyebabkan tumpahnya minyak ke perairan
Sumber : JICA-Dephub, 2002

Namun sampai saat ini pemerintah belum mampu


mengangkat kasus ini ke pengadilan untuk menghukum pelaku apalagi
membayar ganti rugi kepada masyarakat sekitar. Ini menunjukkan
lemahnya koordinasi antar instansi pemerintah dan kepolisian dalam
menuntaskan suatu kasus. Penulis meyakini bahwa Indonesia memang
tertinggal dari negara-negara lain dalam hal pencegahan dan
penanggulangan bencana tumpahan minyak di laut ini. Penulis
contohkan Jepang, dalam hal pencegahan dan penanggulangan bencana
tumpahan minyak di laut, antara birokrasi, LSM, institusi penelitian dan
masyarakat telah terintegrasi dengan baik. Kasus kandasnya kapal tanker
milik Rusia Nakhodka (13.157 ton bermuatan 19.000 kilo liter heavy oil)
pada Januari 1997 dapat dijadikan contoh keberhasilan negara ini dalam
hal penanggulangan tumpahan minyak. Sekitar 6.240 kl tumpah di
perairan Jepang dari Propinsi Shimane sampai Niigata. Seluruh aparat

48
BAHARI Jogja Vol.VIII No.12/2008 Februari 2008

baik pemerintahan daerah dan pusat, pusat-pusat penelitian, universitas,


LSM dan masyarakat bekerja keras saling membantu dalam
penanggulangan bencana ini. Hanya dalam waktu 50 hari seluruh
tumpahan dapat diselesaikan. Diakui bahwa prosedur penanggulangan
seperti: pemberitahuan bencana, evaluasi strategi penanggulangan,
partisipasi unsur terkait termasuk masyarakat, teknis penanggulangan,
komunikasi, koordinasi dan kesungguhan untuk melindungi laut dan
keberpihakan kepada kepentingan masyarakat menjadi poin utama
dalam penanggulangan bencana ini. Untuk melakukan pencegahan dan
penanggulangan polusi laut akibat tumpahan minyak ini terdapat tiga
faktor yang dapat dijadikan landasan yaitu aspek legalitas, aspek
perlengkapan dan aspek koordinasi.

4.1 Aspek Legalitas


Suatu peraturan yang baik adalah peraturan yang tidak saja
memenuhi persyaratan formal sebagai suatu peraturan, tetapi
menimbulkan rasa keadilan dan kepatutan dan dilaksanakan/
ditegakkan dalam kenyataan (Husseyn Umar, 2003). Undang-Undang
No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup mengatur
jelas aspek-aspek pengelolaan dan sanksi bagi pelaku polusi di laut.
Namun pada kenyataan dilapangan, aparat hukum sangat sulit mencari
bukti untuk dibawa ke pengadilan. Selain peraturan tentang lingkungan
hidup juga tentang keselamatan dan pelayaran kapal diatur dalam UU
No. 21 tahun 1992 yang menyebutkan bahwa setiap kapal yang
beroperasi untuk melayani seluruh kegiatan transportasi laut harus
berada dalam kondisi laik laut. Dalam lingkup internasional, pada tahun
1954 badan maritim internasional IMO (International Maritime
Organization) menghasilkan konvensi internasional mengenai
Pencegahan Pencemaran di Laut oleh Minyak (International
Convention for the Prevention of Pollution of the Sea by Oil 1954),
konvensi ini lalu diperbaharui pada tahun 1973 yang merupakan upaya
awal dalam mengatasi dampak pencemaran di laut. Indonesia yang
masuk dalam keanggotaan organisasi ini turut pula wajib melaksanakan
aturan-aturan yang ditetapkan oleh IMO. Menjadi tugas pemerintah dan
segenap komponen masyarakat untuk menegakkan peraturan-peraturan
tersebut. Tugas pemerintah ini harus juga diimbangi dengan dua faktor
yaitu pertama adanya fasilitas yang memungkinkan untuk bergerak
dinamis, dalam hal ini mencari dan mengumpulkan data lapangan

49
BAHARI Jogja Vol.VIII No.12/2008 Februari 2008

tentang penyebab-penyebab terjadinya suatu kasus pencemaran


lingkungan akibat tumpahan minyak di laut dan kedua adalah
ketersediaan sumber daya manusia yang memadai.

4.2 Aspek Perlengkapan


Kita tahu bahwa pembersihan laut akibat tumpahan minyak
sangat sulit dilakukan, baik dalam hal waktu, kerja yang terus menerus,
maupun dalam hal segi biaya yang dibutuhkan. Tiga teknik yang
direkomendasikan untuk penanggulangan tumpahan minyak ini yaitu
penggunaan spraying chemical dispersants, pengoperasian slick-lickers,
dan floating boom (Clark R.B, 2003). Sementara langkah selanjutnya
adalah pembersihan total sisa-sisa minyak baik di permukaan laut
ataupun di daerah pantai yang tercemar adalah dengan bioremediation
seperti menyemprotkan nitrat dan phosphate ke tumpahan minyak
untuk mempercepat kerja bakteri pengurai minyak serta
menyemprotkan air/uap tekanan tinggi ke bagian tebing batu karang
yang terkena tumpahan. Berkaitan dengan perlengkapan kapal, UU No
21/92 menyebutkan pula tentang perlengkapan kapal baik dalam
operasi maupun penanggulangan kecelakaan (termasuk tumpahan
minyak). Para produsen minyak dan gas bumi pun sudah memiliki
protap (prosedur kerja) dan fasilitas penanggulangan tumpahan minyak
yang cukup memadai untuk digunakan dalam penerapan Tier 1
(penanggulangan bencana tumpahan minyak yang terjadi dalam lingkup
pelabuhan) dan Tier 2 (penanggulangan bencana tumpahan minyak
yang terjadi diluar lingkungan pelabuhan). Penerapan Tier 2 dilakukan
secara inter-connection dibawah koordinasi ADPEL (Administrasi
Pelabuhan). Hal yang tidak kalah penting dalam aspek ini juga adalah
pentingnya penguasaan prosedur dan teknik-teknik penanggulangan
tumpahan minyak oleh pelaksana lapangan.

4.2 Aspek Koordinasi


Dalam hal penanggulangan polusi tumpahan minyak di laut,
seluruh departemen/instansi terkait seperti yang disebutkan
sebelumnya, LSM, dan unsur masyarakat harus dapat berkoordinasi
untuk menanggulangi bahaya pencemaran ini. Koordinasi ini sangat
penting dilakukan agar pencemaran yang terjadi dapat selesai diatasi
sampai tuntas, dimana segenap komponen bahu membahu saling
mengisi kekurangan dan saling tukar informasi. Beberapa tahun yang

50
BAHARI Jogja Vol.VIII No.12/2008 Februari 2008

lalu Departemen Kelautan dan Perikanan memulai Gerakan Bersih


pantai dan Laut (GBPL) sejak September 2003.
Gerakan ini bertujuan untuk mendorong seluruh lapisan
masyarakat untuk mewujudkan laut yang biru dan pantai yang bersih
pada lokasi yang telah mengalami pencemaran. Dengan gerakan ini
penulis juga mengharapkan bukan hanya didukung oleh pemerintah dan
masyarakat, namun juga didukung oleh para pengusaha minyak dan gas
bumi yang beroperasi di Indonesia.

V. KESIMPULAN
Menjadi kewajiban kita semua untuk menjaga kelestarian
lingkungan laut kita, karena sebagian masyarakat kita sangat bergantung
pada laut ini. Pencemaran laut akibat tumpahan minyak kian waktu kian
menjadi kekhawatiran seluruh lapisan masyarakat atas kelanjutan laut
kita dan ketersediaan lahan untuk hidup bagi nelayan kita. Oleh
karenanya kegiatan monitoring dan kontrol menjadi sangat penting
untuk mencegah dan menanggulangi bahaya pencemaran laut dari
tumpahan minyak. Semua pihak instansi/departemen, LSM, TNI AL,
Kepolisian harus melakukan koordinasi yang terus menerus. Upaya-
upaya penanggulangan bencana tumpahan minyak di laut akan berjalan
efektif manakala memenuhi tiga aspek yang telah dijelaskan diatas
(legalitas, perlengkapan dan koordinasi) ditambah dengan ketersediaan
anggaran dan pelatihan SDM berkelanjutan.

DAFTAR PUSTAKA

Clark R.B, 2003, Marine Pollution, Oxpord University Press, New York.
Direktur Jenderal P2SDKP, 2004, Laporan Tahunan .
Husseyn Umar, 2003, Masalah Pembangunan dan Penegakan Hukum
Kelautan di Indonesia, Seminar Pemberdayaan Perhubungan Laut Dalam
Abad XXI, Jakarta.
JICA-Dephub, 2002, The Study for The Maritime Safety Development Plan in
Republic of Indonesia.
Presiden RI, 1992, Undang-Undang No. 21 Tentang Pelayaran.
Presiden RI, 1997, Undang-Undang No. 23 Tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup.
Sofyan, 2001, Desentralisai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Suatu
Peluang dan Tantangan, Makalah Falsafah Sain, PPS.

51

Anda mungkin juga menyukai