Anda di halaman 1dari 8

I.

Judul Percobaan : Uji Fitokimia pada Ekstrak Rimpang Temulawan


dan Daun Katuk
II. Tanggal Percobaan : 8 Mei 2017
III. Tujuan Percobaan :
1. Memilih peralatan yang dibutuhkan sesuai dengan percobaan yang
dikerjakan.
2. Memilih bahan-bahan yang dibutuhkan sesuai dengan percobaan yang
dikerjakan
3. Mengidentifikasi komponen kimia tumbuhan dari sekelompok
terpenoid, steroid, fenolik (antrakuinon, tanin, dan fenol), flavonoid, dan
alkaloid.
IV. Dasar Teori
Rimpang Temulawak

Tanaman temulawak (curcuma xanthorrihiza) merupakan tanaman


asli Indonesia yang tumbuh liar di hutan-hutan jati di Jawa dan
Madura.Tumbuhan semak berumur tahunan, batang semunya terdiri dari
pelepah-pelepah daun yang menyatu, mempunyai umbi batang. Tinggi
tanaman antara 50-200 cm, bunganya berwarna putih kemerah-merahan atau
kuning bertangkai 1,5-3 cm berkelompok 3 sampai 4 buah. Tumbuhan ini
tumbuh subur pada tanah gembur, dan termasuk jenis temu-temuan yang
sering berbunga. Panen dapat dilakukan pada umur 7-12 bulan setelah
tanam atau daun telah menguning dan gugur. Sebagai bahan tanaman untuk
bibit digunakan tanaman sehat berumur 12 bulan (Rahardjo dan Rostiana,
2004)
Temulawak secara historis mempunyai kegunaan tradisional dan
sosial cukup luas dikalangan masyarakat Indonesia, banyak kalangan yang
mempromosikkan temulawak sebagai tanaman obat khas Indonesia, yang
sangat efektif untuk mengatasi gangguan lever, rematik dan lelah (Hembing,
1997) juga berkhasiat sebagai penghilang rasa sakit, anti bakteri/jamur, anti
diabetic, anti diare, anti oksidan, anti tumor, diuretic, depresi dll
(Purnomowati.S, dkk, 1977)
Kandungan kimia rimpang temulawak yang memberi arti pada
penggunaannya dibedakan atas beberapa macam yaitu kurkuminoid yang
memberi warna kuning, pati dapat dikernbangkan sebagai bahan makanan
dan minyak atsiri . Hasil analisis fitokimia menunjukkan bahwa kandungan
senyawa fenol, flavonoid, triterpennoid dan glikosida lebih dominan
daripada senyawa tanin, saponin, dan steroid . Kadar rata-rata minyak atsiri
dan pati masing-masing 3,81% dan 41,45% (Eni Hayani,2006)
Daun Katuk
Katuk merupakan tanaman yang tumbuh subur di Indonesia dan
telah diketahui mengandung senyawa aktif yang memiliki aktifitas
antioksidan dengan menangkap radikal bebas hidroksil yang diuji dengan
metode DPPH dan 2-deoxyribose.
Secara tradisional, tumbuhan katuk digunakan sebagai bahan
makanan antara lain untuk sayuran dan pewarna makanan, untuk bahan obat
bisul, demam, frambusia, diuretik, dan obat luar, sera dapat memperlancar
ASI (Air Susu Ibu). Sedangkan aktifitas fisiologis telah dilaporkan bahwa
ekstrak daun katuk memiliki aktifitas antioksidan pada tubuh manusia
karena dapat menghambat radikal bebas hidroksil.
Tanaman katuk (Sauropus androgunus (L) Merr) mempunyai
banyak manfaat dalam kehidupan sehari-hari. Hasil penelitian Kelompok
Kerja Nasional Tumbuhan Obat Indonesia menunjukkan bahwa tanaman
katuk mengandung beberapa senyawa kimia, antara lain alkaloid papaverin,
protein, lemak, vitamin, mineral, saponin, flavonid dan tanin. Beberapa
senyawa kimia yang terdapat dalam tanaman katuk diketahui berkhasiat
obat (Rukmana, 2003)
Uji Fitokimia
Uji fitokimia merupakan salah satu langkah penting dalam upaya
mengungkap potensi sumber daya tumbuhan. Hasil analisis fitokimia dapat
memberikan petunjuk tentang keberadaan komponen kimia (senyawa) jenis
golongan alkaloid, flavonoid, fenolik, steroid, triterpenoid pada suatu
tumbuhan (Tim Dosen Kimia Organik, 2017).
Metode uji fitokimia yang telah dikembangkan dapat mendeteksi
adanya golongan senyawa alkaloid, flavonoid, senyawa fenolat, tannin,
saponin, kumarin, quinon, steroid/terpenoid.
1. Alkaloid
Alkaloid adalah golongan senyawa basa bernitrogen yang
kebanyakan heterosiklik dan terdapat di tumbuhan (tetapi ini tidak
mengecualikan senyawa yang berasal dari hewan). Alkaloid dihasilkan
oleh banyak organisme, mulai dari bakteria, fungi (jamur), tumbuhan,
dan hewan. Rasa pahit atau getir yang dirasakan lidah dapat disebabkan
oleh alkaloid. Alkaloid bersifat basa yang tergantung pada pasangan
elektron pada nitrogen. Kebasaan alkaloid menyebabkan senyawa
tersebut sangat mudah mengalami dekomposisi terutama oleh panas dan
sinar dengan adanya oksigen. Dekomposisi alkaloid selama atau setelah
isolasi dapat menimbulkan berbagai persoalan jika penyimpanan dalam
waktu lama. Pembentukan garam dengan senyawa organik atau
anorganik sering mencegah dekomposisi.

2. Flavonoid
Fenolik merupakan senyawa yang banyak ditemukan pada
tumbuhan, fenolik memiliki cincin aromatik dengan satu atau lebih gugus
hidroksil (OH) dan gugus-gugus lain penyertanya. Senyawa ini diberi
nama berdasarkan senyawa induknya, fenol. Senyawa fenol kebanyakan
memiliki gugus hidroksi lebih dari satu sehingga disebut polifenol. Fenol
biasanya dikelompokkan berdasarkan jumlah atom karbon. Pada
kerangka penyusunnya kelompok terbesar senyawa fenolik adalah
flavonoid, merupakan senyawa yang secara umum dapat ditemukan pada
semua jenis tumbuhan (Harbone, 1980)
Flavonoid merupakan metabolit sekunder yang paling beragam dan
tersebar luas, namun saling berkaitan karena alur biosintesis yang sama.
Sekitar 5-10% metabolit sekunder tumbuhan adalah flavonoid, dengan
struktur kimia dan peran biologi yang sangat beragam.Senyawa ini
dibentuk dari jalur shikimate dan fenilpropanoid, dengan beberapa
alternatif biosintesis.Flavonoid banyak terdapat dalam tumbuhan hijau
(kecuali alga), khususnya tumbuhan berpembuluh. Falvonoid sering
terdapat sebagai glikosida, golongan terbesar flavonoid berciri
mempunyai cincin piran yang menghubungkan rantai tiga karbon dengan
salah satu dari cincin benzene. Efek flavonoid terhadap macam-macam
organism sangat banyak macamnya dan dapat menjelaskan mengapa
tumbuhan yang mengandung flavonoid dipakai dalam pengobatan
tradisional. Flavonoid tertentu merupakan komponen aktif tumbuhan
yang digunakan secara tradisional untuk mengobati gangguan hati.
3. Saponin

Saponin adalah segolongan senyawa glikosida yang mempunyai


struktur steroid dan mempunyai sifat-sifat khas dapat membentuk larutan
koloidal dalam air dan membui bila dikocok. Glikosida saponin bisa
berupa saponin steroid maupun saponin triterpenoid. Saponin merupakan
glikosida triterpen yang sifatnya menyerupai sabun, merupakan senyawa
aktif permukaan dan dapat menimbulkan busa jika dikocok dengan air dan
pada konsentrasi rendah dapat menyebabkan hemolisis pada sel.

Saponin merupakan senyawa berasa pahit menusuk dan


menyebabkan bersin dan sering mengakibatkan iritasi terhadap selaput
lendir. Saponin juga bersifat bisa menghancurkan butir darah merah lewat
reaksi hemolisis, bersifat racun bagi hewan berdarah dingin, dan banyak
diantaranya digunakan sebagai racun ikan. Saponin bila terhidrolisis akan
menghasilkan aglikon yang disebut sapogenin. Ini merupakan suatu
senyawa yang mudah dikristalkan lewat asetilasi sehingga dapat
dimurnikan dan dipelajari lebih lanjut. Saponin yang berpotensi keras atau
beracun seringkali disebut sebagai sapotoksin.

Berdasarkan struktur aglikonnya (sapogeninnya), saponin dapat


dibedakan menjadi 2 macam yaitu tipe steroid dan tipe triterpenoid. Kedua
senyawa ini memiliki hubungan glikosidik pada atom C-3 dan memiliki
asal usul biogenetika yang sama lewat asam mevalonat dan satuan-satuan
isoprenoid.
Glikosida saponin dibagi menjadi 2 jenis berdasarkan pada
struktur bahan kimia dari aglycone (sapogenin). Saponin pada hidrolisis
menghasilkan suatu aglycone yang dikenal sebagai “sapogenin”.

4. Steroid
Steroid atau triterpenoid adalah suatu kelompok senyawa yang
memiliki kerangka dasar siklopentanoperhidrofenantrena, dalam bentuk
empat cincin terpadu. Senyawa ini memiliki beberapa kegunaan bagi
tumbuhan yaitu sebagai pengatur pertumbuhan (misal dari kelompok
seskuiterpenoid, absin dan giberelin). Karotenoid sebagai pewarna dan
memiliki peran penting dalam membantu proses fotosintesis. Kegunaan
dalam bidang farmasi digunakan sebagai bahan baku atau simplisia
pembuatan obat (Tim Dosen Kimia Organik, 2017)
Steroid merupakan senyawa yang memiliki kerangka dasar
triterpena asiklik. Ciri umum steroid ialah sistem empat cincin yang
tergabung. Cincin A, B dan C beranggotakan enam atom karbon, dan
cincin D beranggotakan lima. Steroid adalah senyawa organik lemak sterol
tidak terhidrolisis yang dapat dihasil reaksi penurunan dari terpena atau
skualena. Steroid merupakan kelompok senyawa yang penting dengan
struktur dasar sterana jenuh dengan 17 atom karbon dan 4 cincin. Senyawa
yang termasuk turunan steroid, misalnya kolesterol, ergosterol,
progesteron, dan estrogen. Pada umunya steroid berfungsi sebagai hormon.
Steroid mempunyai struktur dasar yang terdiri dari 17 atom karbon yang
membentuk tiga cincin sikloheksana dan satu cincin siklopentana.
Perbedaan jenis steroid yang satu dengan steroid yang lain terletak pada
gugus fungsional yang diikat oleh ke-empat cincin ini dan tahap oksidasi
tiap-tiap cincin.
5. Terpenoid

Terpenoid merupakan derivat dehidrogenasi dan oksigenasi dari


senyawa terpen. Terpen merupakan suatu golongan hidrokarbon yang
banyak dihasilkan oleh tumbuhan dan sebagian kelompok hewan. Rumus
molekul terpen adalah (C5H8)n. Terpenoid disebut juga dengan
isoprenoid. Hal ini disebabkan karena kerangka karbonnya sama seperti
senyawa isopren. Secara struktur kimia terenoid merupakan penggabungan
dari unit isoprena, dapat berupa rantai terbuka atau siklik, dapat
mengandung ikatan rangkap, gugus hidroksil, karbonil atau gugus fungsi
lainnya.

Gambar Struktur Isoprena

Terpenoid merupakan komponen penyusun minyak atsiri. Minyak


atsiri berasal dari tumbuhan yang pada awalnya dikenal dari penentuan
struktur secara sederhana, yaitu dengan perbandingan atom hydrogen dan
atom karbon dari suatu senyawa terpenoid yaitu 8 : 5 dan dengan
perbandingan tersebut dapat dikatakan bahwa senyawa tersebut adalah
golongan terpenoid.

Sifat fisika dari terpenoid adalah :

a. Dalam keadaan segar merupakan cairan tidak berwarna, tetapi jika


teroksidasi warna akan berubah menjadi gelap
b. Mempunyai bau yang khas
c. Indeks bias tinggi
d. Kebanyakan optik aktif
e. Kerapatan lebih kecil dari air
f. Hidrofob ( takut air)
g. Larut dalam pelarut organik: eter dan alcohol
Sifat Kimia
a. Senyawa tidak jenuh (rantai terbuka ataupun siklik)
b. Isoprenoid kebanyakan bentuknya khiral dan terjadi dalam dua bentuk
enantiomer.
6. Tanin
Tanin merupakan zat organik yang sangat kompleks dan terdiri
dari senyawa fenolik. Tanin merupakan senyawa polyphenol dengan bobot
molekul tinggi (1000-20000) yang mengandung gugus hidroksil dan gugus
lainnya (misalnya karboksil) untuk membentuk komplek yang kuat dengan
protein dan molekul lain seperti karbohidrat, membran sel bakteri, dan
enzim pencernaan. Tanin mengandung sebagian besar gugus
hidroksifenolik. Proteksi dari serangan ternak dapat dilakukan dengan
menimbulkan rasa sepat, serangan dari bakteri dan insekta diproteksi
dengan menonaktifkan enzim-enzim protoase dari bakteri dan insekta yang
bersangkutan.
Daftar Pustaka
Harbone, J. B. 1980. Metode Fitokimia. Jakarta : UI-Press.
Hayani, Eni. 2006. ANALISIS KANDUNGAN KIMIA RIMPANG TEMULAWAK.
Bogor : Balai Penelitlan Tanarnan Rempah dan Obat.
Hembing,W. 1997. Mengenal dan Memanfaatkan Tanaman Indonesia . Makalah
Hiptri. pp .3.
Purnomowati, S dan Yoganingrum, A. 1997. Tinjauan Literatur Temulawak.
Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah. Lembaga 11111u
Pengetahuan Indonesia, Jakarta . pp 28.
Rahardjo, M dan Rostian , O. 2004. Standar Prosedur Operasional Budidaya
Temulawak.
Rukmana, R. dan Indra M.H. 2003. Katuk. Potensi dan Manfaatnya. Kanisius.
Yogyakarta.
Tim Dosen Kimia Organik. 2017. Panduan Praktikum Kimia Organik II. Surabya
: UNESA.

Anda mungkin juga menyukai