Anda di halaman 1dari 525

Simposium Nasional RAPI XVTahun 2016 FT UMS

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaykum wa rahmatullahi wa barakaatuhu


Alhamdulillaah wa sholatu was salaamu ‘alaa Rasulillaah wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa man
wallahu.
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas berkat dan rahmatNya kami dapat
menyelenggarakan acara Simposium Nasional Rekayasa Aplikasi Perancangan dan Industri
(RAPI) yang ke XV tahun 2016 ini pada 7 Desember 2016. Simposium Nasional RAPI adalah
acara tahunan yang diselenggarakan oleh Fakultas Teknik Universitas Muhmmadiyah
Surakarta. Telah diselenggarakan untuk yang kelima belas kalinya, sejak penyelenggaraan
pertama tahun 2002.
Atas nama panitia pelaksana RAPI XV 2016, kami mengucapkan selamat datang kepada para
peserta di lokasi acara yakni Hotel Alila Surakarta, pilihan lokasi yang diharapkan tidak
hanya mendukung kesuksesan acara tetapi juga menyediakan sambutan hangat di tengah
kebudayaan jawa dan pemandangan khas kota Surakarta. Kami juga mengucapkan terima
kasih kepada para pemakalah yang telah berkontribusi dan mendukung acara simposium ini.
Tercatat sejumlah 74 makalah telah diseleksi untuk dipresentasikan dari sekitar 92 peserta
yang mengirim abstrak.
Latar belakang pengambilan tema simposium bahwa aktivitas manusia yang kurang peduli
terhadap lingkungan merupakan penyebab utama perubahan iklim global. Peningkatan gas
rumah kaca di atmosfer telah menyebabkan kenaikan temperatur global yang dipicu oleh
pembakaran bahan bakar fosil untuk transportasi dan industri. Kondisi ini menyebabkan
perubahan cuaca yang ekstrem, banjir, dan kekeringan di berbagai belahan dunia yang sangat
mebahayakan keberlangsungan hidup manusia. Oleh karena itu usaha-usaha untuk
mengurangi pemanasan global dan mencegah perubahan iklim sangat diperlukan.
Pengembangan teknologi yang ramah lingkungan yang bertujuan mengurangi limbah untuk
mencegah polusi lingkungan menjadi sebuah prioritas untuk mencapai lingkungan yang
sustainable.
Berdasar uraian di atas, tema yang dipilih untuk simposium kali ini adalah “Proses, Bahan,
dan Energi Ramah Lingkungan: Sebuah Solusi berkelanjutan untuk Menghadapi Perubahan
Iklim”. Teknologi ramah lingkungan harus mencakup semua aspek kehidupan termasuk:
bangunan, sistem transportasi, proses industri, sistem informasi, dan pengelolaan air.
Simposium ini menyediakan forum untuk mengakomodasi inisiatif dan riset dalam mendesain
lingkungan yang sustainable melalui penerapan proses, bahan, dan energy yang ramah
lingkungan untuk mencegah perubahan iklim.
Sebagai ketua panitia, saya menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada seluruh Panitia Pengarah, dan Panitia Pelaksana yang telah berusaha
maksimal dan bekerja sama dengan baik hingga terlaksananya acara ini. Terakhir kami mohon
maaf apabila terdapat kekurangan dan keterbatasan sebelum maupun sesudah acara ini

ii
Simposium Nasional RAPI XVTahun 2016 FT UMS

berlangsung, dan kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi perbaikan dan
peningkatan pelaksanaan acara ini berikutnya.
Selamat datang di Surakarta, dan Simposium RAPI XV ini. Kami semua berharap bahwa
semua peserta dapat menikmati dan belajar banyak serta mendapatkan pengalaman yang
sangat berharga dalam forum ini.
Wassalamu ‘alaykum wa rahmatullahi wa barakaatuhu

Surakarta, 30 November 2016

Tri Widayatno, ST, MSc, PhD


Ketua Panitia

iii
Simposium Nasional RAPI XVTahun 2016 FT UMS

SAMBUTAN DEKAN FAKULTAS TEKNIK


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

Bismillahir rohmanir rahim


Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Segala puja dan puji kita panjatkan ke hadirat Allah subhanahu wa ta’ala. Salam dan shalawat
semoga terlimpah kepada Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam.
Alhamdulillah, dengan ijin Allah akhirnya Simposium Nasional Rekayasa Aplikasi
Perencanaan dan Industri ke-15 (RAPI XV) dapat diselenggarakan oleh Fakultas Teknik
Universitas Muhammadiyah Surakarta (FT-UMS). Buku Program, Abstrak, dan prosiding
dapat terwujud dan tersaji di hadapan para pembaca. Simposium RAPI tahun 2016 ini adalah
penyelenggaraan yang ke-15 setelah pertama kalinya sukses dilaksanakan pada tahun 2002.
Pada kesempatan ini kami bermaksud menyampaikan rasa terima kasih kepada seluruh sivitas
akademika dan jajaran pimpinan program studi, yang telah mendukung dan memfasilitasi
segala keperluan kegiatan sehingga simposium dapat terlaksana dengan baik. Ucapan terima
kasih juga kami sampaikan kepada seluruh panitia pelaksana RAPI XV yang telah bekerja
keras sehingga dengan ijin Allah sukses mengantarkan seluruh agenda simposium dapat
terlaksana dengan sebaik-baiknya. Diatas itu semua, rasa terima kasih juga kami sampaikan
kepada Bapak Rektor dan jajaran Wakil Rektor yang dengan dedikasi tinggi memberikan ijin,
restu, pelayanan, dan fasilitas baik sebelum, selama, dan setelah pelaksanaan simposium.
Simposium ini dilaksanakan dengan maksud antara lain untuk memberikan wadah kepada
para akademisi, praktisi, dan masyarakat pemerhati perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Dalam simposium ini sangat diharapkan berbagai inovasi dan kreativitas hasil
penelitian dapat didiskusikan dan selanjutnya dapat ditindaklanjuti melalui amal usaha
Muhammadiyah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan ummat.
Demikian beberapa hal yang perlu kami sampaikan, dan kita memohon kepada Allah semoga
agenda simposium nasional RAPI ke-15 ini sukses, dan dapat berkelanjutan dari tahun ke
tahun agar rahmat dan barokah Allah dapat senantiasa terlimpah kepada kita semua,
khususnya para penggagas, partisipan, dan pelanjut simposium yang saya muliakan. Berbagai
kekurangan dalam pelaksanaan simposium ini tentunya masih sangat banyak, untuk itu saran
dan masukan yang konstruktif kami tunggu.

Surakarta, 2 Desember 2016


Dekan FT-UMS
Ttd
Ir. Sri Sunarjono, MT., PhD.

iv
Simposium Nasional RAPI XVTahun 2016 FT UMS

SAMBUTAN REKTOR
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

Assalamu’alaykum wa rahmatullahi wa barakaatuhu,


Alhamdulillahirrabbil alamin washolatu wassalamu ala asyrofil anbiyaai wal mursalin, wa
‘alaa aalihi wa shohbihi ajma’iin amma ba’du.
Pertama dan utama, segala puji kita panjatkan kehadirat Allah SWT, atas berkat dan rahmat-
Nya kita mempunyai kesempatan untuk berkumpul dan menghadiri Simposium Nasional
Rekayasa Aplikasi Perancangan dan Industri XV (RAPI XV) pada 7 Desember 2016 di Hotel
Alila, Surakarta.
Sebagai Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta, Saya menyampaikan ucapan selamat
datang kepada semua peserta. Sebuah kehormatan Universitas kami pada tahun 2016 ini
dapat menyelenggarakan Simposium Nasional RAPI yang kelima belas bersamaan dengan
Konferensi Internasional ICETIA yang ketiga. Kali ini tema yang diambil adalah: “Proses,
Bahan, dan Energi Ramah Lingkungan: Sebuah Solusi berkelanjutan untuk Menghadapi
Perubahan Iklim” Saya sepenuhnya mendukung gagasan dan tujuan penyelenggaraan
symposium dan konferensi ini serta mengapresiasi tema yang dipilih oleh panitia sebagai
upaya memberikan kontribusi positif dalam mengatasi perubahan iklim global.
Saya meyakini bahwa simposium dan konferensi ini akan memberikan kontribusi yang sangat
berharga dan membantu untuk pengembangan teknologi ramah lingkungan dan memberikan
dasar yang sangat berguna untuk penerapan di industri untuk lebih sustainable. Ide-ide
inovatif dan capaian-capaian riset dari makalah-makalah yang dipresentasikan diharapkan
memberi sumbangan yang signifikan pada pengembangan proses, bahan, dan energi ramah
lingkungan untuk mengurangi dampak aktivitas manusia terhadap pemanasan global dan
sebagai upaya secara bersama-sama mencegah perubahan iklim global.
Saya berharap Simposium Nasional RAPI XV dan Konferensi internasional ICETIA 2016
menjadi mata rantai usaha-usaha pembangunan yang berkelanjutan secara nasional maupun
global dalam rangka mengatasi dampak perubahan iklim.
Semoga semua peserta menikmati Simposium dan seminar ini dan mengambil manfaat yang
banyak darinya.

Wassalamu ‘alaykum wa rahmatullahi wa barakaatuhu

Prof. Bambang Setiaji


Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta

v
Simposium Nasional RAPI XVTahun 2016 FT UMS

PANITIA SIMPOSIUM NASIONAL


REKAYASA APLIKASI PERANCANGAN DAN INDUSTRI (RAPI) XV

Penanggung Jawab Sri Sunarjono, PhD

Panitia Pengarah Herry Purnama, PhD


Dr. Dhani Mutiari
Achmad Kholid Al Ghofari, MT
Tri Widodo Besar Riyadi, PhD
Mochamad Solikin, PhD
Umar, MT
Suryaning Setyowati, MT
Rois Fatoni, PhD
Hafidh Munawir, MEng
Ir. HM. Satya Joewana
Soepartono, ST. MM
Ir. Harsono Wuryanto, MSc
Dr. Ir. Kartono Wibowo, MM. MT
Ir. AY. Hari Susilo

Ketua Tri Widayatno, PhD

Wakil Ketua Hari Prasetyo, PhD

Sekretaris dan Publikasi Eni Budiyati, MEng


Agus Supardi, MT
Hartini, ST
Ismokoweni, SE

Bendahara Taurista Perdana Syawitri, ST


M. BachtiarSuryoPutro, SE

Reviewer Denny Vitasari, PhD


Wisnu Setiawan, PhD
Eko Setyawan, PhD
Joko Sedyono, PhD
Fajar Suryawan, PhD
Nurul Hidayati, PhD

Seksi Acara, Perlengkapan, Dekorasi dan Nur Hidayati, PhD


Dokumentasi Agus Dwi Anggono, PhD

Seksi Sponsorship Ika Setyaningsih, MT

vi
Simposium Nasional RAPI XVTahun 2016 FT UMS

DAFTAR ISI
Halaman Judul........................................................................................................................... i
Kata Pengantar .........................................................................................................................ii
Sambutan Dekan Fakultas Teknik ........................................................................................ iv
Sambutan Rektor UMS............................................................................................................ v
Panitia Penyelenggara............................................................................................................. vi
Daftar Isi..................................................................................................................................vii

A. PROSES INDUSTRI BERKELANJUTAN

A38 - IMPLEMENTASI PROSES ADSORBSI DALAM MENINGKATKAN KUALITAS


MINYAK CENGKEH BAGI KLASTER MINYAK ATSIRI KAB. BATANG ...................... 1
Widayat, Hadiyanto dan Hantoro Satriadi

A76 - RECOVERY LOGAM PERAK DARI LIMBAH CAIR BEKAS PENCUCIAN FOTO
RONTGEN: KARAKTERISASI ELEKTROKIMIA ................................................................ 8
Tri Widayatno, Linggar T. Gupita, Senja Imaswati, dan Pahlawani Novitasari

A86 - PENGUJIAN KARAKTERISTIK PERPINDAHAN PANAS DAN FAKTOR


GESEKAN PADA PENUKAR KALOR PIPA KONSENTRIK DENGAN TRAPEZOIDAL-
CUT TWISTED TAPE INSERT.............................................................................................. 15
Endra Dwi Purnomo, Indri Yaningsih, Agung Tri Wijayanta

A87 - PENGARUH PITCH LOUVERED STRIP INSERT TERHADAP PENINGKATAN


PERPINDAHAN PANAS PADA PENUKAR KALOR PIPA KONSENTRIK ..................... 23
Martina Anantyastuti Susanti, Indri Yaningsih, Agung Tri Wijayanta

A89 - MENINGKATKAN EFISIENSI PROSES ELEKTROPLATING PERAK


DEKORATIF MENUJU UMKM YANG RAMAH LINGKUNGAN .................................... 31
Tri Widayatno, Hamid

A90 – PEMANFAATAN LIMBAH AMPAS PATI AREN MENJADI BIOETANOL


SECARA ENZIMATIS METODE KONVENSIONAL DAN SSF (Simultaneous of
saccarification and fermentation) ............................................................................................. 37
Dewi Astuti Herawati, Evelyta Kusumawardhani, Nony Puspawati

A91 - REVERSE ENGINEERING OUTER REAR BUMPER MOBIL ESEMKA


RAJAWALI R2 ........................................................................................................................ 46
Sanurya Putri Purbaningrum, Agus Dwi Anggono, Supriyono

B. OPTIMISASI SISTEM INDUSTRI


B16 - PERENCANAAN PRODUKSI AGREGAT PADA FAMILY PRODUK INTERIOR
MINIBUSGUNA MENGOPTIMALKAN PERSEDIAAN DAN BIAYA PRODUKSI ........ 51

vii
Simposium Nasional RAPI XVTahun 2016 FT UMS

Imam Sodikin, Lutfiyah Hasinah

B39 - RANCANG BANGUN ALAT PENGILING DALAM PROSES PRODUKSI


KERUPUK LEGENDAR DI UKM SINAR KOTA SEMARANG .........................................58
Meny Suzery, Widayat, Hadiyanto dan Hantoro Satriadi

B48 - ALAT PENCETAK ADONAN KUE KERING DENGAN SISTEM PNEUMATIC


PADA UKM PRODUSEN KUE ..............................................................................................65
Fauzani Ulul Rohman, Muhammad Sanusi, Gamma Kartika

B49 - KINERJA SISTEM KONTROL BERBASIS MIKROKONTROLER UNTUK


PEMANTAUAN SEJUMLAH PARAMETER FISIS PADA ANALOGI SMART GREEN
HOUSE......................................................................................................................................70
Arief Goeritno, Bayu Arief Prakoso, Bayu Adhi Prakosa

B53 - BEBAN KERJA FISIK KARYAWAN INDUSTRI BATIK TRADISIONAL .............77


Jazuli, Tita Talitha, Ratih Setyaningrum, Peni Widyastuti

B55 - PERFORMANSI ALTERNATOF FASE-TUNGGAL DENGAN ROTOR MAGNET


PERMANEN FLUKSI RADIAL..............................................................................................83
Arief Goeritno, Alfian Hidayat, Marjuki

B63 - PERANCANGAN DAN PEMBUATAN GRIPPER SEBAGAI KOMPONEN ROBOT


6-AXIS PADA PROSES OTOMATISASI PRODUCT HANDLING MESIN PLASTIK
INJEKSI ....................................................................................................................................96
Muhammad Hidayat, Muhammad Agus Syahroni, Syahril Ardi

B73 - PERAMALAN KEBUTUHAN SOLAR UNTUK KRP KIJANG INNOVA PADA


DIVISI SCM PT XYZ ............................................................................................................104
Etika Muslimah, Muhammad Luthfi Saqqo

B78 - USULAN PERBAIKAN SISTEM PERSEDIAAN BAHAN BAKU PADA ZUPPA


ICE CREAM DENGAN MEMPERTIMBANGKAN KNOWN PRICE INCREASES............111
Halton Novanta , Y.M. Kinley Aritonang

B79 - USULAN PERBAIKAN SISTEM ANGKUTAN KOTA BOGOR UNTUK


MENGURANGI KEMACETAN ...........................................................................................118
Robby Hartono, Bagus Made Arthaya, Alfian

B88 - AUDIT ENERGI DENGAN PENDEKATAN METODE AHP (ANALYTICAL


HIERARCHY PROCESS) UNTUK PENGHEMATAN ENERGI LISTRIK (Studi Kasus:PT.
ABC) .......................................................................................................................................126
Ratnanto Fitriadi, Yanuarti Werdaningsih

C. DESAIN DAN MANAJEMEN PRODUK


C7 - EVALUASI KUALITAS PRODUK PUSH UP DETECTOR DENGAN
MENGGUNAKAN PENDEKATAN ERGONOMI ..............................................................135
Ch Desi Kusmindari, Yanti Pasmawati, Ari Muzakir

viii
Simposium Nasional RAPI XVTahun 2016 FT UMS

C9 - EVALUASI IKLIM KESELAMATAN KERJA DENGAN MENGGUNAKAN


METODE NOSACQ-50 DI PT. PRIMARINDO ASIA INFRASTRUKTUR, TBK. ........... 143
Paulus Sukapto, Harjoto Djojosubroto, Bonita

C18 - PENGARUH DESAIN KATUP UDARA PADA KARAKTERISTIK


PENCAMPURAN UDARA MOTOR BENSIN................................................................... 150
IGA Uttariyani, Budi Rochmanto dan Hari Setiapraja

C32 - RANCANG BANGUN KARDUS PACKAGING LAPTOP MULTI FUNGSI


DENGAN MENGGUNAKAN DATA ANTROPOMETRI (RABU ANTER KAPACK
LATIF) ................................................................................................................................... 156
Mohamad Danny Haryanto, Muhammad Luthfi Saqqo

C35 - PENERAPAN METODE QUALITY FUNCTION DEPLOYMENT (QFD) PADA


PENGEMBANGAN PRODUK LOCKER............................................................................. 162
M Kumroni Makmuri, Amiluddin Zahri

C37 - DESAIN LINGKUNGAN FISIK BAGI OPERATOR BAGIAN PEMERIKSAAN.. 170


Yanti Pasmawati, Christofora Desi Kusmindari, Paulus Sukapto, Johanna Renny Octavia

C43 - TANGKI (FUEL TANK) BAHAN BAKAR GAS UNTUK SEPEDA MOTOR:
SEBUAH STUDI NUMERIK................................................................................................ 178
Agung Premomo, Eko Arif Syaefudin , Febriyanto, Wardoyo, Riza Wirawan

C67 - INKUBATOR BAGI KEWIRAUSAHAAN DI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH


SURAKARTA........................................................................................................................ 183
Suranto, Muhtadi, Totok Budi Santosa

C77 - USULAN INOVASI BERDASARKAN KELOMPOK PRODUK PADAFOOD


PROCESSOR .......................................................................................................................... 190
Jefvie Lois, Catharina Badra Nawangpalupi, Romy Loice

C85 - RANCANG BANGUN MEJA KERJA PENGRAJIN PERAK DENGAN


PENDEKATAN ERGONOMI DAN KAIZEN UNTUK MENINGKATKAN
PRODUKTIVITAS ................................................................................................................ 198
Endang Widuri Asih, Sunarsih, Yuliana Rahmawati

D. PEMBANGUNAN LINGKUNGAN BERKELANJUTAN


D3 - PENGELOLAAN BANGUNAN YANG RAMAH LINGKUNGAN (GREEN
CONSTRUCTION)DALAM KONTEKS TEKNIK SIPIL .................................................... 205
Maksum Tanubrata, Ika Gunawan

D46 - KAMPINA: KAMPUNG PRODUKTIF RAMAH ANAK SEBAGAI KOMPONEN


PEMBENTUK KETAHANAN KOTA (RESILIENT CITY) Studi kasus: Desa Walen, Simo,
Boyolali .................................................................................................................................. 211
Arlis Hardiyanto, Muhammad Sanusi, Redhita Ria Permatasari

ix
Simposium Nasional RAPI XVTahun 2016 FT UMS

D50 - PENANGANAN PREVENTIF TERHADAP ANCAMAN TANAH LONGSOR DI


PERMUKIMAN BUKIT SELILI – SAMARINDA...............................................................219
Zakiah Hidayati , Mafazah Noviana

E. INFRASTRUKTUR BERKELANJUTAN
E6 - VIRTUAL EMISSION IN HIGH SPEED RAIL PROJECT..........................................227
Robby Yussac Tallar , Harry Wiguna

E34 - KELAYAKAN TARIF BATIK SOLO TRANS (BST) DITINJAU DARI ABILITY TO
PAY (ATP) DAN WILLINGNESS TO PAY (WTP) ............................................................233
Gotot Slamet Mulyono, Nurul Hidayati dan Maharannisa Widi Lestari

F. MANAJEMEN AIR DAN SUMBER DAYA AIR


F10 - EFISIENSI PELUNAKAN AIR SADAH MENGGUNAKAN BENTONIT
TERAKTIVASI DENGAN METODE PERTUKARAN ION...............................................240
Eka Sulistyaningsih

G. MANAJEMEN DAN REKAYASA BANGUNAN


G33 - DISAIN PANJANG LAS PADA SAMBUNGAN LAS GESER EKSENTRIS
DENGAN METODE BAGI-DUA (BISECTION).................................................................246
Kamaludin

G52 - INVESTMENT ANALYSIS OF STANDART INNS BECOME THREE STARS ..256


Anik Ratnaningsih, Fery Susanto

G72 - ADAPTASI IKLIM PADA HUNIAN RUMAH TINGGAL YANG MENGHADAP


MATAHARI ...........................................................................................................................265
Vippy Dharmawan , Nanik Rachmaniyah

G80 - IDENTIFIKASI LINGKUP KERJA KONSULTAN MANAJEMEN KONSTRUKSI


PADA DOKUMEN KONTRAK UNTUK MENGURANGI RISIKO KETERLAMBATAN
PADA PROYEK KONSTRUKSI BANGUNAN GEDUNG BERTINGKAT TINGGI DI DKI
JAKARTA ..............................................................................................................................271
Lusiana Idawati, Manlian Ronald A. Simanjuntak, Paulus Kurniawan

G81 – IDENTIFIKASI FAKTOR-FAKTOR UTAMA PENYEBAB KETERLAMBATAN


PELAKSANAAN KONSTRUKSI PROYEK BUDGET HOTEL DI JAKARTA.................279
Lusiana Idawati, Manlian Ronald A. Simanjuntak, Fahmi

G83 - LASEM HERITAGE CENTER SEBAGAI UPAYA PELESTARIAN KAWASAN


HERITAGE DI LASEM.........................................................................................................285
Esnan Pramono dan Dhani Mutiari

x
Simposium Nasional RAPI XVTahun 2016 FT UMS

H. PRESERVASI DAN KONSERVASI


H41 - KONSERVASI SPASIAL DAN PSIKOLOGI PADA PERMUKIMAN MIGRAN
MADURA KELURAHAN KOTA LAMA - MALANG....................................................... 294
Damayanti Asikin, Antariksa dan Lisa Dwi Wulandari

H51 - NILAI-NILAI TRADISI DAN BUDAYA KERATON SEBAGAI ELEMEN


PEMBENTUK STRUKTUR RUANG PERMUKIMAN BALUWARTI SURAKARTA
YANG DIBANGUN PADA MASA PAKU BUWANA III (1749-1788M) ......................... 302
Tri Hartanto,Tony Atyanto Dharoko dan Yoyok Wahyu Subroto

H64 - KONSEP COURTYARD PADA PERMUKIMAN MULTI-ETNIS HISTORIS DI


KOTA LAMA GRESIK SEBAGAI KONSEP KEARIFAN LOKAL BERDASARKAN
PERSPEKTIF POST-KOLONIAL ........................................................................................ 310
Dian Ariestadi, Antariksa, Lisa D. Wulandari dan Surjono

I. REKAYASA MATERIAL
I14 - ANALISA SIFAT MEKANIS PISTON BEKAS HASIL PROSES TEMPA............... 318
Kurniawan Joko Nugroho, Ahmad Haryono

I24 - PEMANFAATAN LIMBAH BULU AYAM SEBAGAI MATERIAL PEMBUAT


PANEL AKUSTIK................................................................................................................. 323
Ansarullah, Ramli Rahim, Asniawaty

I29 - PENGARUH CRYOGENIC TREATMENT TERHADAP KARAKTERISTIK


KEAUSAN MDI (MARTEMPER DUCTILE IRON) ............................................................. 328
Agus Suprapto, Agus Iswantoko, Ike Widyastuti

I30 - PENGARUH KETEBALAN CORE MELINTANG PADA REKAYASA DAN


MANUFAKTUR BAHAN KOMPOSIT HYBRID SANDWICH TERHADAP
PENINGKATAN KEKUATAN BENDING ......................................................................... 335
Agus Hariyanto

I31 - TINJAUAN VARIASI DIAMETER BUTIRAN TERHADAP KUAT GESER TANAH


LEMPUNG KAPUR (STUDI KASUS TANAH TANON, SRAGEN)................................. 341
Qunik Wiqoyah, Anto Budi L, Lintang Bayu P

I54 - FATIGUE ENDURANCE AND HARDNESS CHARACTERIZATION OF DLC


(DIAMOND-LIKE CARBON) COATING ON HQ 805 SUBSTRAT ................................. 349
Viktor Malau, Priyo Tri Iswanto, Winda Sanni Slat dan Didy Suharlan

I56 - PENGARUH PENGGUNAAN PASIR PANTAI YANG DIBERI PERLAKUAN DAN


SUBSTITUSI CANGKANG BUAH SAWIT TERHADAP KUAT TEKAN MORTAR .... 357
Donny F. Manalu, Indra Gunawan dan Joko Eko Susilo

I84 - MORFOLOGI SERAT PELEPAH TANAMAN SALAK HASIL PROSES


BIOPULPING MENGGUNAKAN KULTUR PHANEROCHAETE CHRYSOSPORIUM
DAN TRAMETES VERSICOLOR .......................................................................................... 365
Triastuti Rahayu, Aminah Asngad, Suparti

xi
Simposium Nasional RAPI XVTahun 2016 FT UMS

J. TEKNOLOGI INFORMASI RAMAH LINGKUNGAN


J12 - KLASIFIKASI GLAUCOMA MENGGUNAKAN CUP-TO-DISC RATIO DAN
NEURAL NETWORK ...........................................................................................................370
Ri Munarto, Endi Permata, Indra Ginanjar A.T

J44 - EVALUASI KUALITAS LAYANAN E-GOVERNMENT PEMERINTAH KOTA


YOGYAKARTA DENGAN METODE E-GOVQUAL MODIFIKASI................................379
Prita Haryani

J47 - KINERJA SISTEM KONTROL BERBASIS MIKROKONTROLER UNTUK


TAMPILAN PANTAUAN KONDISI INSTALASI KELISTRIKAN PADA OTOBIS ..387
Arief Goeritno, Bayu Adhi Prakosa, Irvan Mustofa

J61 - PENGEMBANGAN JARINGAN BISNIS SOSIAL BERBASIS KOMUNITAS


PELAKU USAHA BERBAHAN BAKU UBI KAYU ..........................................................394
Eko Budi Cahyono, Adi Sutanto, Ahmad Juanda, Wahyudi

J62 - SISTEM PENYIARAN RADIO BERBASIS INTERNET DAN MANAJEMEN


REQUEST LAGU (STUDI KASUS RADIO “RAPMA FM” UMS )....................................394
Heru Supriyono, Nisa Dwi Septiyanti

J65 - PROTOTYPE ALAT IoT (INTERNET OF THINGS) UNTUK PENGENDALI DAN


PEMANTAU KENDARAAN SECARA REALTIME ...........................................................401
Erma Susanti, Joko Triyono

J66 - PEMBUATAN RUANG PAMER 3 MUSEUM SANGIRAN MENGGUNAKAN


TEKNOLOGI VIRTUAL REALITY BERBASIS ANDROID .............................................408
Fendi Aji Purnomo, Eko Harry Pratisto dan Roni Abdul Yasir

J69 - KONSEP MEMBANGUN APLIKASI MULTIPLATFORM DENGAN


OPTIMALISASI PENGGUNAAN VIEW, FUNCTION DAN TRIGGER PADA RDBMS
POSTGRESQL .......................................................................................................................414
Joko Triyono

J70 - PENDETEKSI BEBAN ASIMETRI MENGGUNAKAN APLIKASI ANDROID ..422


Julianus Gesuri Daud, Benny A.P. Loegimin, Janviver Luase

J82 - PENGEMBANGAN MEDIA PEMBELAJARAN BERBASIS TEKNOLOGI SESUAI


DENGAN GAYA BELAJAR PESERTA DIDIK ..................................................................429
Hernawan Sulistyanto, Sujalwo

J92 - PEMANFAATAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) UNTUK PEMETAAN


WISATA ALAM DAN BUDAYA SEBAGAI USAHA PERKEMBANGAN KABUPATEN
SUKOHARJO.........................................................................................................................436
Bambang Partono, MS Khabibur Rahman

xii
Simposium Nasional RAPI XVTahun 2016 FT UMS

K. ENERGI RAMAH LINGKUNGAN


K1 - MODEL PEMBANGKITAN LISTRIK HIBRID PV-GENSET BERBASIS
KOMUNAL DI PULAU KARIMUNJAWA ......................................................................... 442
Gunawan, Suryani Alifah, Moh. Arif Raziqy

K13 - EMISI SMOKE DAN KEAUSAN LOGAM PADA PELUMAS KENDARAAN


TRUK BERBAHAN BAKAR BIODIESEL DUA PULUH PERSEN.................................. 450
Ihwan Haryono, I.G.A. Uttariyani, Siti Yubaidah

K15 - RANCANG BANGUN TUNGKU PEMANAS UNTUK PANDE BESI YANG


RAMAH LINGKUNGAN GUNA MENINGKATKAN KAPASITAS PRODUKSI ALAT
PERTANIAN ......................................................................................................................... 458
Imam Sodikin, Joko Waluyo, Yuli Pratiwi

K20 - ANALISIS KENYAMANAN TERMAL SISWA DI DALAM RUANG KELAS


(STUDI KASUS SD INPRES TAMALANREA IV MAKASSAR) ..................................... 466
Sahabuddin Latif, Ramli Rahim, Baharuddin Hamzah

K22 - INTENSITAS PENCAHAYAAN ALAMI RUANG KELAS SEKOLAH DASAR DI


KOTA MAKASSAR.............................................................................................................. 474
Irnawaty Idrus, Baharuddin Hamzah, Rosady Mulyadi

K23 - PENGARUH LUASAN BUKAAN TERHADAP KENYAMANAN TERMAL


RUANG KELAS SISWA PADA BANGUNAN SD NEGERI SUDIRMAN 1 KOTA
MAKASSAR .......................................................................................................................... 480
Muhammad Tayeb, Ramli Rahim , Baharuddin

K36 - BIOGAS ENCENG GONDOK DAN FESSES SAPI SEBAGAI ENERGI


ALTERNATIVE .................................................................................................................... 486
Renilaili, Yanti Pasmawati

K68 - PENGEMBANGAN SEL SURYA DARI BAHAN MURAH DAN RAMAH


LINGKUNGAN MENGGUNAKAN METODE SPRAY DAN ELEKTROPLATING....... 493
Mamat Rokhmat, Sutisna, Edy Wibowo, Khairurrijal, dan Mikrajuddin Abdullah

K69 - PENGEMBANGAN SEL SURYA DARI BAHAN MURAH DAN RAMAH


LINGKUNGAN MENGGUNAKAN METODE SPRAY DAN ELEKTROPLATING....... 493
Mamat Rokhmat, Sutisna, Edy Wibowo, Khairurrijal, dan Mikrajuddin Abdullah

C19 - PERANCANGAN PRODUK PISPOT DUA BAGIAN DENGAN PENDEKATAN


QUALITY FUNCTION DEPLOYMENT (QFD) DAN ANALISIS SWOT ........................ 497
Hery Murnawan, Wiwin Widiasih, Sherly Tandriana

I93 - PERILAKU KUAT TEKAN DAN KUAT LENTUR DINDING PANEL BATU BATA
MERAH DENGAN PERKUATAN TULANGAN BAMBU................................................ 504
Muhammad Ujianto, Ifandi Baskoro

xiii
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

IMPLEMENTASI PROSES ADSORBSI DALAM MENINGKATKAN


KUALITAS MINYAK CENGKEH
BAGI KLASTER MINYAK ATSIRI KAB. BATANG

Widayat1, Hadiyanto2, dan Hantoro Satriadi3


1,2,3
Departemen Teknik Kimia Fakultas Teknik Undip
Jl. Prof. Soedarto SH Semarang
1,2
Laboratorium Biomassa and Renewable Energy (BIORE) UPT. Laboratorium Terpadu Universitas Diponegoro
Jl. Prof. Soedarto SH Semarang
Email: yayat_99@yahoo.com

Abstrak

Minyak cengkeh merupakan salah satu produk dari minyak atsiri yang dihasilkan oleh Kluster
Minyak Atsiri di Kabupaten Batang. Permasalahan yang dihadapi saat ini adalah kadar eugenol yang
rendah serta warna yang belum bisa memenuhi standar SII/EOA maupun SNI.salah satu wilayah
yang banyak menjadi anggota Klaster Minyak Atsiri adalah Kec. Bandar. Pemilik UKM Penyulingan
Minyak Cengkeh di wilayah ini adalah Drs Harjito, dan Syaiful mubarok. Untuk mengatasi
Permasalahan yang dijumpai pada UKM-UKM tersebut dilakuan kegiatan Ipteks bagi Masyarakat
dalam bentuk Peningkatan kualitas minyak cengkeh dengan proses adsorbsi, dimana akan dirancang
alat adsorpsi dengan sistem pengaduk. Alat yang dibuat akan dimplementasikan disalah satu UKM
dan selanjutnya dipercontohkan bagi UKM-UKM yang lain. Hasil kegiatan ditunjukkan adanya
perubahan kualitas produk dari parameter warna, densitas dan kadar eugenol total dari belum
memenuhi standar SNI menjadi memenuhi standar SNI. Konsentrasi eugenol menjadi sekitar 80%.
Adanya pengering dapat mengatasi proses pengeringan bahan baku pada saat musim penghujan.
Pelatihan analisis dapat memberikan pemahaman dalam menjaga kualitas produk.

Kata kunci: minyak cengkeh; klaster minyak atsiri; adsorpsi; tangki berpengaduk

Pendahuluan
Kabupaten Batang Jawa Tengah, merupakan salah satunya penghasil minyak cengkeh /eugenol di Indonesia.
Di Kabupaten Batang bahkan telah berdiri suatu kluster industri tentang minyak atsiri. Kluster ini telah ditetapkan
oleh Keputusan Kepala Bappeda Kabupaten Batang Nomor : 050/164/2010 tertanggal 05 Mei 2010 Tentang
Pembentukan Kelompok Kerja Klaster Forum Pengembangan Ekonomi Kerakyatan dan Peningkatan Sumberdaya
(FORPEKDA) Kabupaten Batang (Profil Kluster Minyak Atsiri Kab. Batang, 2011). Jumlah penyuling minyak
sekitar 30 buah, dengan produk saat ini adalah minyak daun cengkeh, minyak batang cengkeh dan minyak nilam.
Adapun nilai komoditinya seperti disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Data produksi minyak daun cengkeh Kab. Batang
TAHUN HASIL PRODUKSI Kg JUMLAH OMZET Rp.

2000 85.000 5.142.500.000


2001 86.000 5.246.000.000
2002 89.000 5.340.000.000
2003 104.000 6.760.000.000
2004 110.000 8.250.000.000
2005 140.000 10.500.000.000
2006 145.000 11.310.000.000
2007 150.000 11.850.000.000
2008 170.000 13.940.000.000
2009 198.000 16.830.000.000
2010 210.000 34.650.000.000
2011 250.000 46.250.000.000

Minyak cengkeh berupa cairan berwarna kuning pucat sesaat setelah disuling dan mudah berubah warna
menjadi coklat atau ungu bila terkena logam besi sehingga minyak ini lebih baik dikemas dalam botol kaca, drum

1
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

aluminium atau drum timah putih. Minyak Daun cengkeh diperoleh dengan cara Destilasi Uap dari Daun Pohon
Cengkeh yang telah gugur. Spesifikasi mutu minyak cengkeh menurut SNI 1991 dapat dilihat pada Tabel 2 sebagai
berikut.
Tabel 2. Standar mutu minyak cengkeh menurut SNI 1991
Minyak Daun Cengkeh Karakteristik
Berat Jenis pada 15oC 1,03 - 1,06
Putaran Optik (ad) - 1o 35
Indeks Refraksi pd 20oC (nd20) 1,52 - 1,54
Kadar eugenol (%) 78 - 93 %
Minyak pelikan Negatif
Minyak lemak Negatif
Kelarutan dalam Alkohol 70% Larut dalam dua volume

Minyak daun cengkeh dapat dihasilkan dengan cara penyulingan dari daun tanaman cengkeh yang telah
luruh. Umumnya penyulingan minyak daun cengkeh di Indonesia merupakan industri tradisional yang dikelola
petani cengkeh. Para petani lebih suka menjual bunga cengkeh langsung ke pedagang daripada melakukan
penyulingan bunga cengkeh. Kabupaten Batang Propinsi Jawa Tengah merupakan salah satu Kluster Minyak Atsiri,
dimana produk usaha meliputi; minyak cengkeh dan minyak nilam. Adapun keanggotaan Kluster ini tersebar di 7
Kecamatan Wilayah Bagian Selatan/Dataran Tinggi yaitu: Kec. Wonotunggal, Bandar, Blado, Reban, Pecalungan,
Bawang dan Tersono. Diskripsi keanggotaan dari Kluster ini disajikan dalam tabel 3.
Tabel 3. Diskripsi anggota kluster minyak atsiri Kabupaten Batang
Jumlah Penyuling/Pabrik : 33 Unit Penyulingan (Daftar Terlampir)
Jumlah Tenaga Kerja yang terlibat dalam : Sekitar 7.000 orang
kegiatan Minyak Atsiri dari Hulu sampai Hilir
Jumlah Produksi Klaster Rata-rata Per bulan : Clo = 20.833 kg Nilam = 1.250kg
Cbo = 3.400 kg
Jumlah Produksi Klaster Per Tahun : Clo = 250.000 kg Nilam = 15.000kg
Cbo = 40.000 kg
Harga Produk Terendah : Clo Rp. 22.000/kg th 1985
Cbo Rp. 30.000/kg th 1987
Nilam Rp. 260.000/kg th 2011
Harga Produk Tertinggi : Clo Rp. 185.000/kg th 2011
Cbo Rp. 195.000/kg th 2011
Nilam Rp. 1.000.000/kg th 1999
KETERANGAN :Clo : Minyak Daun Cengkeh; Cbo : Minyak Gagang/Tangkai Cengkeh

Minyak cengkeh komponen penyusun adalah eugenol, kariofilena,dan impuritas yang lain. Kandungan
eugenol di dalam minyak cengkeh sekitar 80-90%. Kandungan kariofilena di dalam minyak cengkeh sekitar 15-
20%. Proses penyulingan cengkeh yang yang dilakukan oleh anggota koperasi tersebut masih menggunakan
peralatan penyulingan konvensional. Peralatan ini hanya terbuat dari besi, sehingga akan mempengaruhi produk
yang dihasilkan. Selain itu, kapasitas produksi yang terlalu besar menyebabkan pengontrolan kondisi operasi sulit
untuk dilakukan. Seperti contoh, dengan kondisi tekanan hampir 2 – 3 atmosferik menyebabkan suhu operasi
semakin tinggi. Hal ini akan menyebabkan bau ’sangit’ (terbakar), tentunya akan mempengaruhi performa Minyak
Cengkeh itu sendiri. Penyediaan bahan baku umumnya berkadar air tidak seragam, karena proses pengeringan
berlangsung dengan bantuan panas sinar matahari dalam kurun waktu kurang lebih 2-3 hari. Pada umumnya bahan
baku layak untuk diproses berdasarkan intuisi belaka, tanpa prosedur analisa kadar air terlebih dahulu. Padahal
kadar air dalam bahan akan mempengaruhi waktu penyulingan dan kualitas produk Minyak Cengkeh yang
dihasilkan dengan tolok ukur kandungan kadar eugenol) (Widayat dkk., 2012).
Harga minyak daun cengkeh sangat fluktuatif dengan cepat. Permasalahan yang dihadapi oleh industri /UKM
adalah spesifikasi produk seperti warna minyak cengkah coklat kehitaman, kadar eugenol masih dibawah standar
SNI. Beberapa peneliti telah pemurnian minyak cengkeh yaitu dengan Bleaching earth dimana kadar eugenol
79,66% dapat ditingkatkan menjadi 82,22% (Silviana dkk., 2006). Penggunaan asam sitrat juga telah dilakukan
untuk meningkatkan kualitas dari minyak cengkeh (Marwati dkk., 2005; Silviana, 2007) dengan Na2EDTA
/kompleksometri (Ma’mun, 2008), Widayat dkk., (2012) juga melakukan kegiatan rancang bangun untuk alat
adsorpsi. Widayat dkk., (2014) telah melakukan peningkatan juga terhadap minyak cengkeh dengan proses adsoprsi
distilasi. Dengan proses ini bahkan bisa menghasilkan eugenol dengan konsentrasi yang cukup tinggi minimum
90%. Semua peneliti mengungkapkan bahwa asam sitrat maupun Na2EDTA mampu memperbaiki kualitas minyak
cengkeh khususnya dari pewarnaan. Namun dari kadar eugenol masih bisa memenuhi standar SNI (BSN, 2004),
namun jika yang daicu adalah standar EOA (1975) persyaratan kadar minyak eugenol belum terpenuhi. Proses yang
yang bisa memenuhi standar SNI diantaranya proses adsorpsi dengan asam sitrat (Widayat dkk., 2012; Silviana
dkk., 2006 dan Widayat dkk., 2014).

2
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas Minyak Cengkeh. Pada kegiatan ini akan difokuskan
pada kedua hal tersebut, dimana kualitas minyak cengkeh ditingkatkan dengan proses adsorbsi pada tangki
berpengaduk.

Metode Penelitian
Kegiatan pengabdian masyarakat IbM merupakan kegiatan penelitian terapan, dimana aktiftas sebagian besar
merupakan aktifitas di lapangan atau penelitian tindakan. Kegiatan dikelompokan menjadi rancang bangun peralatan
dan workshop atau pelatihan. Kegiatan rancang bangun peralatan yang dilakukan adalah rancang bangun alat
pengolahan minyak cengkeh. Adapun workshop yang dilakukan tentang peningkatan proses penyulingan minyak
atsiri.
Teknik Penyulingan Minyak Target Pemecahan Masalah Alternatif Teknologi yang
Cengkeh Diterapkan

• Harga masih tergantung • Harga yang stabil Evaluasi proses


pengepul • Kondisi operasi terjaga dan perbaikan
• Kondisi operasi tidak • Rendemen terjaga proses
terjaga /tinggi
• Pendingin bertambah • Kualitas minyak cengkeh
panas /produk Uji skala
laboratorium

• Pengaturan kondisi
• Rendemen rendah operasi
• Produk tidak murni • Sistem peningkatan
• Harga rendah kualitas produk
• Keuntungan rendah • Teknologi tepat guna Pelatihan dan
• Sistem pemasaran yang implementasi di
baru UKM tentang
proses pemurian
minyak cengkeh

Diperlukan proses yang


• Nilai jual rendah tepat demikian sistem
• Barang menjadi sulit laku pemasaran yang tidak
• Pemasaran tergantung bergantung broker
pada broker atau Investasi Alat di
pengepul Kelompok
• Perbaikan proses untuk sasaran
• Kesulitan menentukan
pasar peningkatan kualitas
produk
• Biaya proses menjadi
rendah
• Pemasaran yang baru System pemurnian
minyak cengkeh

Kualitas dan Kapasitas


Perlu Pemecahan produk dapat ditingkatkan
Masalah

Gambar 1. Skema metode penelitian

Alat dan Bahan


Bahan yang digunakan dalam kegiatan ini adalah lembaran besi ss, motor pengerak, besi pejal, plat besi,
motor diesel, paku, mur baut, asam sitrat, minyak cengkeh dan daun cenkeh. Minyak cengkeh dan asam sitrat

3
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

digunakan untuk proses peningkatan minyak cengkeh dan daun cengkeh digunakan untuk proses uji coba proses
pengeringan.
Peralatan yang digunakan adalah alat untuk pemotongan, peralatan pengelasan dan peralatan gelas dan
timbangan. Alat pemotongan dan pengelasan menggunakan bengkel yang ada di Kec. Reban dan Kec. Bandar Kab
Batang. Untuk mempelancar mengadakan kerjasama dengan bengkel di STM dan Bengkel terekat dari Kec. Reban.

Metode Pelaksanaan
Metode pelaksanaan yang digunakan untuk mendukung realisasi program IbM adalah didasarkan pada
analisis situasi kelompok sasaran (masalah, potensi dan peluang), evaluasi proses pada UKM-UKM yaitu perbaikan
proses dan kualitas produk, evaluasi pemasaran, pembuatan media pemasaran/website, pelatihan/demontrasi dan
plotting, pelaporan akhir serta monitoring dan evaluasi. Secara skematis model pendekatan dijelaskan pada gambar
1. Metode pendekatan di atas dilakukan melalui lima (5) tahapan yaitu :
1. Analisis dan evaluasi pada kelompok sasaran. Kegiatan ini sebagian telah dilakukan, namun untuk memperoleh
data-data yang detail akan dilakukan evaluasi terhadap proses penyilangan Minyak Cengkeh di Bapak Drs.
Harjito (Kec. Bandar) dan Bapak Syaiful Mubarok (Kec. Reban) dan sistem pemasaran. Evaluasi dilakukan
dengan melakukan tanya jawab dan pengamatan terhadap proses pemasaran dan penyulingan Minyak
Cengkeh. Data-data yang dikumpulkan meliputi tekanan, temperatur dan rendemen minyak, serta sistem
pendinginan pada produk uap, sistem penyiapan bahan baku dan kualitas produk minyak daun cengkeh dan
batang cengkeh.
2. Perancangan alat pada skala laboratorium untuk melakukan percobaan, sehingga diperoleh kondisi yang
optimum. Pada tahap simulasi ini akan dilakukan pengaturan atau penelitian pada beberapa kondsi operasi
khususnya tekanan operasi.
3. Perbaikan proses, kegiatan ini dilakukan setelah data yang diperoleh pada skala laboratorium. Data-data
operasi selanjutnya diterapkan pada proses peningkatan kualitas Minyak Cengkeh.
4. Demonstrasi dan Ploting
5. Monitoring dan evaluasi kegiatan

Hasil dan Pembahasan


Minyak atsiri sendiri umumnya dihasilkan dari proses penyulingan. Adapun penyulingan dapat dilakukan
dengan penyulingan air, penyulingan dengan air dan kukus dan penyulingan dengan kukus (Guenther, 1948).
Adapun proses yang dilakukan oleh UKM sebagian besar adalah penyulingan dengan air-kukus. Dalam proses ini,
tumpukan bahan baku diletakkan diatas air dengan dilandasi oleh saringan. Dalam proses penyulingan, variabel
proses yang berpengaruh pada proses perbaikan pengambilan minyak nilam adalah perubahan tekanan, waktu
pengambilan, kadar air bahan, rasio daun dan batang, serta kerapatan unggun (Guenther, 1948, Silviana dkk (2005).

Gambar 2. Alat tangki berpengaduk (tampak depan)

4
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Gambar 3. Alat pengaduk tampak atas

1. Kegiatan Rancang bangun Tangki Berpengaduk


Kegiatan pertama adalah melakukan rancang bangun, dimana alat pertama adalah alat pengaduk yang dapat
digunakan untuk peningkatan kalitas minyak atsiri jenis minyak cengkeh. Alat yang dirancang adalah tangki
berpengaduk yang dilengkapi oleh motor. Proses adsorpsi dilangsungkan dalam tangki berpengaduk. Tangki ini
dilengkapi dengan pemanas, motor dan pengaduk. Sebagai bahan adsorbent digunakan asam sitrat. Alat ini
bertujuan untuk menghasilkan produk Minyak Cengkeh dengan kadar eugenol minimal 80%. Peralatan secara
lengkap disajikan dalam Gambar 2-3.

2. Kegiatan Fabrikasi Alat dan Pelatihan


Proses perbaikan minyak cengkeh dilakukan dengan proses curah, dimana kapasitas setiap prosesnya sekitar
50-100 kg. Peralatan yang dirancang pada Gambar 4. terdiri dari tangki yang dilengkapi dengan isolasi, pengaduk
dan pemanas. Pengadukan terdiri dari impellar dengan sistem sirip dengan jumlah 4 buah, yang terletak pada bagian
dasar dengan jarak dari bawah sekitar 5 cm. Pengaduk digerakan oleh motor dengan kapasitas sekitar 1,5 PK,
dimana sistem pergerakan dengan pully sehingga tangkai pengaduk dengan motor tidak terhubung secara langsung.
Sistem pemanasan dengan menggunakan kompor gas, yang dilengkapi dengan pengukur temperatur sehingga
kondisi operasi dapat dijaga. Produk setelah operasi dikeluarkan dari bawah, dengan cara membuka kran yang ada
bagian bawah. Operasi dilangsungkan selama 30-60 menit pada temperatur 40-50oC. Adapun produk tangki
berpengaduk seperti disajikan dalam Gambar dibawah ini.

a. Tangki b. motor dan rotor


Gambar 4. Tangki berpengaduk yang dilengkapi dengan motor pengerak

Minyak cengkeh dari Kluster minyak atsiri telah dilakukan sampling dan analisis dengan kromatografi oleh
Cahyono dkk, 2012. Hasil analisis seperti disajikan dalam Tabel 4. Hasil analisis dibandingkan dengan standar SNI
seperti disajikan dalam Tabel 5. Hasil analisis menunjukkan bahwa minyak cengkeh belum memenuhi standar dari
sisi kadar eugenol dan warna. Dengan kondisi seperti Tabel 4 bahwa produk minyak cengkeh ada yang belum
memenuhi standar SNI dari parameter warna dan eugenol totalnya. Dengan demikian dibutuhkan suatu tambahan
proses yang mampu memperbaiki kualitas minyak cengkeh. Berdasarkan penelitian Cahyono dkk (2012) maka
dipilih proses adsorpsi dengan menggunakan asam sitrat sebagai agen khelating.

5
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Tabel 4. Hasil analisis bahan baku (Widayat dkk, 2012)


Parameter Hasil analisis Standar SNI 06-2387-2006
Keadaan: warna dan bau Hitam Kuning-cokla tua
Bau khas cengkih Bau khas cengkih
Bobot jenis (densitas) 20o/20oC 1,030 1,025 – 1,049
Indeks bias (nD20) 1,530 1,528 – 1,535
Kelarutan dalam etanol 1:2 jernih 1:2 jernih
Kadar eugenol total 70 % Min 78 %
Kadar caryophilene 20% Maksimum 17 %

Uji coba dilakukan dalam bentuk alat skala laboratorium, mengingat peralatan yang dirancang mempunyai
kapasistas yang besar. Kapasitas alat adalah 100 L. Hasil uji coba menunjukkan bahwa penambahan asam sitrat
pada konsentrasi asam sitrat 0,6 dan 10% mempunyai kemampuan untuk memperbaiki kualitas minyak cengkeh dari
sisi warna minyak. Gambar 5. menunjukkan bahwa penambahan asam sitrat konsentrasi 10% lebih cerah warnannya
dibandingkan dengan penambahan asam sitrat konsentrasi 0,6%. Hal ini dikarenakan bahwa besi yang terikat dalam
eugenol dapat diikat oleh asam sitrat lebih banyak. Namun sisa asam sitrat tentunya tidak diinginkan dalam minyak
cengkeh. Penambahan asam sitrat 0,6% juga telah memenuhi standar SNI.

Gambar 5. Produk hasil proses pemurnian minyak cengkeh

Produk yang telah dilakukan ujicoba selanjutnya dilakukan analisis GCMS. Hasil analisis disajikan dalam
Gambar 6. Hasil analisis GCMS menunjukkan senyawasenyawa kimia yang terkandung di dalam minyak cengkeh
seperti asam dekanoat (waktu retensi (RT) 4,701), eugenol (3-allyl -6-methoxyphenol) dengan RT 4,998, trans-
caryophyllene (RT6,509), Bicyclo undecene 10.10 dimethyl 2,6 bis (methylene) pada RT 6,692 dan alpha
Humulene (1,58). Adanya asam dekanoat dan Bycycle undecene 10.10 dimethyl 2,6 bis (methylene) kemungkanan
karena tempat menampung sampel atau alat untuk ujicoba kurang bersih. Keberadaan impuritas ini meskipun kecil
namun senyawa ini sangat jarang berada di dalam minyak cengkeh. Hasil analisis menunjukkan adanya peningkatan
kadar eugenol. Bahan baku minyak cengkeh sebelumnya adalah 75%. Hasil analisis diperoleh kadar 88,41% (Tabel
15). Kadar dalam standar SNI adalah minimal 78%, adapun Kadar eugenol sudah memenuhi standar SNI.
Dengan demikian keberadaan alat tangki berpengaduk yang dilengkapi dengan pemanas dapat membantu
dalam mempertahankan kualitas minyak cengkeh.
Tabel 5. Hasil analisis GCMS produk minyak cengkeh

6
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Gambar 6. Hasil analisis GCMS dari minyak cengkeh hasil uji coba

Kesimpulan
Kegiatan IbM berhubungan dengan peningkatan kualitas minyak cengkeh telah dilaksankan dan diperoleh
adanya peralatan seperti tangki berpengaduk. Dalam pelaksanaannya kegiatan ini berkolaborasi dengan kegiatan
KKN PPM, dimana ujicoba dilaksanakan oleh mahasiswa peserta KKN PPM. Kegiatan IbM ini memberikan
dampak yang positif seperti kualitas produk menjadi terjaga dengan adanya mini laboratorium, khususnya untuk
eugenol total dan kualitas produk terjaga memenuhi standar SNI yaitu mnimum 78% dengan adanya alat adsorbsi
dalam bentuk tangki berpengaduk dengan agen pengkhelat yaitu asam sitrat.

Daftar Pustaka
BADAN STANDARISASI NASIONAL, 2006, Standar Nasional Indonesia Minyak Cengkeh.
BIRO PUSAT STATISTIK, 2004. Ekspor Minyak Atsiri Indonesia
EOA (ESSENTIAL OIL ASSOCIATION) OF USA. 1975. EOA Spesifications and Standards. New York. p.35-37.
Guenther, E., (1987), Minyak Atsir”, Jilid I, penerjemah: S. Ketaren, hal. 19-20, 99-274. Penerbit Universitas
Indonesia. Jakarta.
MASADA, Y. 1985. Analysis of Essential Oils by Gas Chromatography and Mass Spectrometry. John Willey &
Sons. Inc. London. 270p
Ma’mun (2008) Pemurnian Minyak Nilam Dan Minyak Daun Cengkeh Secara Kompleksometri, Jurnal LITTRI, Vo.
4 No. 1 Hal 36-42
Marwati T, Rusli M.S., Noor E. dan Mulyono E, (2005), Peningkatan Mutu Minyak Daun Cengkeh Melalui Proses
Pemurnian, Jurnal Pasca Panen (2) Hal 45-52
Profil Kluster Minyak Atsiri Kabupaten Batang Propinsi Jawa Tengah, 2011
Silviana, Revi O.A., dan Errysa P, (2006), Peningkatan Mutu Minyak Daun Cengkeh Rakyat melalui Proses
Adsorbsi dengan Bleaching Earth, Prosiding Seminar UPN “Kejuangan”. Yogyakarta.
Silviana, (2007), Proses Pengkelatan Minyak Cengkeh dengan Asam Sitrat, Jurnal Metana, Program Diploma
Fakultas Teknik Universitas Diponegoro Semarang
Widayat, Cahyono B, Hadiyanto dan Ngadiwiyana, (2012), Rancang bangun dan Uji Alat Proses Peningkatan
Minyak Cengkeh Pada Klaster Minyak Atsiri kabupaten Batang, JURNAL ILMU LINGKUNGAN Vol.10
(2) Oktober 2012 Hal. 64-69 ISSN. 1829-8907
Widayat, Cahyono B, Hadiyanto dan Ngadiwiyana, (2014), Improvement of Clove Oil Quality by Using
Adsorption-distillation Process, Research Journal of Applied Sciences, Engineering and Technology, Vol
17 (18) May 2014 pp. 3867-3871.

7
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

RECOVERY LOGAM PERAK DARI LIMBAH CAIR


BEKAS PENCUCIAN FOTO RONTGEN: KARAKTERISASI
ELEKTROKIMIA

Tri Widayatno1*, Linggar T. Gupita2, Senja Imaswati3, dan Pahlawani Novitasari4


1,2,3,4
Program Studi Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Surakarta
Jl. A. Yani Tromol Pos 1 Pabelan Kartasura 57102 Telp 0271 717417
*
Email: tri.widayatno@ums.ac.id

Abstrak

Pembuatan negatif film Rontgen di laboratorium instalasi Rontgen adalah Salah satu kegiatan rumah
sakit yang menghasilkan limbah cair. Limbah ini mengandung berbagai senyawa kimia dengan
kandungan utama adalah logam Ag (dalam bentuk kation Ag+) yang dikategorikan sebagai limbah B3
(Bahan Berbahaya dan Beracun). Metode pengolahan yang efektif dan efisien diperlukan untuk
mengolah limbah tersebut sehingga dapat mengurangi dan mencegah pencemaran lingkungan yang
berbahaya bagi kesehatan manusia. Metode elektrokimia dipilih dan digunakan untuk pengolahan
limbah cair tersebut karena memiliki banyak keunggulan. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan
kondisi operasi elektroplating limbah foto rontgen (densitas arus dan potensial/voltase) dengan
menggunakan eksperimen polarisasi. Kurva Polarisasi yang didapatkan dari percobaan menunjukkan
bahwa potensial/voltase untuk elektrodeposisi perak dari limbah cair foto rontgen berada pada
interval -1,8 – 2,5 V. Densitas arus elektroplating perak dari limbah untuk elektroda grafit-tembaga
berada pada kisaran -5 sampai -22 mA/cm2, sedangkan untuk elektroda grafit-grafit pada interval -3
mA/cm2 sampai dengan -8 mA/cm2. Penggunaan elektroda grafit – tembaga menghasilkan densitas
arus yang lebih besar dibanding elektroda grafit-grafit. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan
elektroda grafit-tembaga lebih efektif dibanding elektroda grafit-grafit.

Kata kunci: Limbah Rontgen; recovery perak; elektroplating; elektrodeposisi

Pendahuluan
Salah satu kegiatan rumah sakit yang menghasilkan limbah cair adalah pembuatan negatif film Rontgen di
laboratorium instalasi Rontgen. Proses pembuatan negatif foto rontgen melibatkan berbagai senyawa kimia yang
digunakan sebagai penerima sinar, pencucian, katalis, pengawet, penahan, pengeras, dan pembilas (Gambar 1).

Radiographic film(AgX)
Limbah yang
Sinar- dihasilkan
X
Exposed film (AgX + Ag+)

Larutan Used
developer
Developer
Developed
Air film (AgX + Air pencucian
Larutan Ag0)
Used fixer (Ag+)
Fixer

Fixed film
Air Air pencucian (Ag+)
(Ag0)

Processed
film (Ag0)

Gambar 1. Diagram proses dan limbah yang dihasilkan setiap proses pencucian film radiografi
(Madhavan, dkk., 2015)

8
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Perak digunakan dalam film foto karena sifat fotosensitifnya (Arslan, Ucurum, Vapur, & Bayat, 2011).Pada
setiap tahunnya, dari sektor fotografi mengalokasikan sekitar 45% dari perak untuk aplikasi radiografi, yang umunya
langsung dibuang setelah digunakan (Ramirez, Reyes, & Veloz, 2011).Oleh karena itu limbahnya pun mengandung
berbagai senyawa kimia dengan kandungan utama adalah logam Ag (dalam bentuk kation Ag+).Berdasarkan
kandungan tersebut limbah ini dikategorikan sebagai limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun). Urutan toksisitas
untuk logam Ag (Perak) adalah sebagai berikut: Hg2+> Cd2+> Ag+> Ni2+> Pb2+> As3+> Cr2+> Sn2+> Zn2+,
(Darmono, 2001). Menurut Peraturan Pemerintah RI No. 85 Tahun 1999 tentang baku mutu TCLP (Toxicity
Characteristic Leaching Procedure) batas kadar maksimum perak yang diperbolehkan adalah 5,0 mg/L.Pada
umumnya, limbah cair bekas pencucian foto Rontgen mengandung konsentrasi perak (Ag) berkisar antara 2500,00
mg/L sampai dengan 6200,50 mg/L. Limbah yang mengandung logam Ag tersebut kemungkinan besar langsung
dibuang ke lingkungan tanpa dilakukan pengolahan terlebih dahulu yang dapat mencemari lingkungan dan
mengganggu kesehatan manusia. Oleh karena itu, metode pengolahan yang efektif dan efisien sangat dibutuhkan
untuk mengolah limbah cair bekas pencucian foto Rontgen tersebut sehingga dapat mengurangi dan mencegah
pencemaran lingkungan yang berbahaya bagi kesehatan manusia.
Berbagai metode telah digunakan untuk mengolah limbah tersebut dan juga untuk mendapatkan kembali Ag
dari limbah fotografi dimana kebanyakan efektif pada batas konsentrasi Ag tertentu.Sebagai contoh, perak dalam
bentuk kompleks anionik tiosulfat [Ag(S2O3)2]3- dapat dipisahkan dari larutannya dengan cara elektrolisis,
pergantian logam (metalic replacement), pengendapan, penukar ion, membran cair emulsi (ELM), dan adsorpsi
dengan kitin (Songkroah, Nakbanpote, & Thiravetyan, 2003). Metode pemulihan perak dari limbah film foto
rontgen dapat diklasifikasikan sebagai (Chem, 2003): (a) membakar film langsung, (b) oksidasi dari logam
perak, dan (c) pengupasan lapisan gelatin perak. Kebutuhan perak dunia dipasok oleh daur ulang (25%)dan
terutamadiperoleh dari limbah fotografi (75%). Untuk alasan ini, metode dan teknologi yang digunakan tidak hanya
sekedar untuk pengolahan limbah tetapijuga untuk memulihkan perak dari limbah rontgen yang efisien sehingga
dapat mengurangi biaya dan waktu (Modi, Shukla, Pandya, & Parmar, 2012). Chem (2003) juga menyebutkan
bahwa, untuk meminimalisir pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh limbah rontgen tersebut, kandungan
perak (Ag) dapat diambil kembali dari limbah bekas pencucian foto rontgen karena perak tersebut mempunyai nilai
yang ekonomis
Salah satu metodedalam pengolahan limbah ini dan dapat untuk memperoleh kembali logam perak dari
limbah cair pencucian film studio dan film x-ray yaitu metode Sn Flake. Penelitian menggunakan metode ini telah
dilakukan oleh Kuswati et al., (2003).Sn Flake dikategorikan sebagai metode yang tradisional karena menggunakan
koi yaitu penggorengan dari tanah liat serta pembakarannya menggunakan tungku dengan kompor blower (Kuswati,
dkk, 2003).Sn Flake adalah pereaksi bentuk lempengan padat yang warnanya kuning agak putih mengandung sulfur
yang berfungsi mengendapkan perak yang terdapat didalam limbah sehingga menjadi endapan hitam. Lalu endapan
tersebut dibakar sampai melarut dengan potongan seng dan dijernihkan menggunakan tawas dan boraks.Hasil dari
kedua macam sampel limbah yang diteliti dengan menggunakan metode Sn Flake didapatkan perak hasil recovery
sekitar 60 gram untuk setiap 20 liter limbah. Sedangkan didalam filtrat hasil recovery terdapat sisa perak yang masih
cukup tinggi antara 1,59 mg/l sampai dengan 22,90 mg/l. Selain itu penelitian yang menggunakan metode Sn Flake
ini juga menimbulkan limbah sekunder seperti sisa-sisa pembakaran dalam koi dan sisa-sisa Zn yang akan
menimbulkan problem baru setelah pengolahan limbah tersebut. Maka dari itu disarankan untuk melanjutkan
penelitian ini dengan metode yang lebih efektif dan efisien yang salah satunya adalah metode elektrokimia.Dengan
metode yang lebih efektif dan efisien tersebut diharapkan tidak menimbulkan limbah sekunder dan lebih ramah
lingkungan (Kuswati, dkk, 2003).
Metode elektrokimia juga pernah dipakai dalam pengolahan limbah ini dengan menggunakan teknik
elektroplating atau elektrodeposisi Penelitian menggunakan metode elektrodeposisi pernah dilakukan sebelumnya
oleh Sufian dan Sarto (2009).Metode elektrokimia dipilih dan digunakan untuk pengolahan limbah cair tersebut
dengan alasan (1) tidak menimbulkan efek samping limbah sekunder, (2) Perak yang terambil relatif murni, dapat
dipisahkan dan dimanfaatkan kembali, (3) mudah pengoperasiannya, (4) berbiaya relatif murah, dan (5) beresiko
rendah.Penelitian dilakukan dengan variasi pasangan elektroda (stainless steel-besi, aluminium-stainless steel, dan
stainless steel-stainless steel) dan tegangan (3V, 6V, 9V, dan 12 Volt).Akan tetapi, penelitian tersebut belum secara
sistematis dengan memanfaatkan teori fundamental elektrokimia. Padahal kondisi optimum proses elektrodeposisi
dapat ditentukan jika karakteristik elektrokimia dari larutan limbah tersebut telah dipahami dengan benar
berdasarkan prinsip-prinsip dasar elektrokimia.
Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk karakterisasi elektrokimia limbah cair bekas pencucian foto
Rontgen menggunakan percobaan polarisasi.Hasil percobaan polarisasi yang berupa kurva polarisasi dapat
digunakan untuk menentukan kondisi operasi yang optimum (densitas arus dan potensial/voltase)elektroplating
limbah foto rontgen.

9
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Teori
Limbah cair bekas pencucian foto Rontgen dikategorikan sebagai limbah B3. Berdasarkan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995, yang dimaksud dengan limbah B3 adalah setiap limbah
yang mengandung bahan berbahaya dan/ atau beracun yang karena sifat dan/ atau konsentrasinya dan/ atau
jumlahnya, baik secara langsung dapat merusak / mencemarkan lingkungan hidup dan/ atau membahayakan
kesehatan manusia (Prayitno & Sukosrono, 2006).
Perbedaan limbah yang mengandung Logam berat tersebut terletak dari pengaruh yang dihasilkan bila logam
berat tersebut berikatan atau masuk ke dalam tubuh makhluk hidup. Berdasarkan karakteristiknya, logam berat
mempunyai sifat-sifat (Prayitno & Sukosrono, 2006): beracun, tidak dapat dihancurkan oleh organisme hidup, dan
dapat terakumulasi dalam tubuh organisme termasuk tubuh manusia baik secara langsung maupun tidak langsung.
Pencemaran oleh limbah yang mengandung logam berat akan menggangu kesehatan lingkungan dan kualitas
hidup manusia disamping itu juga dapat merubah sistem kerja biologis. Air limbah yang mengandung logam berat
baik dalam bentuk ion maupun senyawa, dapat bersifat toksik yang mempengaruhi lingkungan dan kesehatan
makhluk hidup (Prayitno & Sukosrono, 2006).
Tingkat bahaya dari unsur-unsur kimia mempunyai 4 tingkatan, adalah (Prayitno & Sukosrono, 2006):
(1) Unsur-unsur berdaya pencemar sangat tinggi meliputi: Ag, Cd, Hg, Sb, Cn, Fe, Ar, Zn, (2) Unsur-unsur berdaya
pencemar sangat tinggi, yaitu: Ba, Ca, Bi, Mn, P, Ti, U, (3) Unsur-unsur berdaya pencemar menengah: Al, As, Cl,
Co, F, B, Li, Na, N, dan (4) Unsur-unsur berdaya pencemar rendah, seperti Ga, La, I, Si, Nd, Sr, Ta, Zr. Terlihat
bahwa limbah cair yang mengandung logam Ag mempunyai daya pencemar yang sangat tinggi.
Perak dari limbah jika masuk kedalam tubuh akan terakumulasi di berbagai organ dan menimbulkan
pigmentasi kelabu, disebut Argyria. Pigmentasi tersebut bersifat permanen karena tubuh tidak dapat
mengekskresikannya.Dalam bentuk debu, senyawa Ag dapat menimbulkan iritasi kulit, dan menghitamkan kulit.
Bila terikat nitrat, Ag akan menjadi sangat korosif (Said, 2010).
Limbah pemrosesan Film Sinar-X dalam Radiografi menjadi salah satu sumber yang sangat baik untuk
recovery perak.Sekitar 2 milyar radiografi per tahun di seluruh dunia berasal dari rontgen dada, mammograms dan
CT scan.94-98% dari sinar-X diambil dipakai dalam bidang medis yang memproduksi film kimia dan skrap
fotografi sebagai penghasil limbahnya.Film radiografi yang digunakan dalam bidang medis adalah lembaran
poliester yang dilapisi di kedua sisinya dengan bahan radioaktif yang peka cahaya.Pengembangan 1 kg film sinar-X
menghasilkan limbah yang mengandung 14-17 g perak (Masebinu & Muzenda, 2014). Sedangkan dari sumber lain
menyatakan bahwa langkah pengembangan film menghasilkan limbah fotografi yang dihasilkan dari penggunaan
larutan fixer dan air bilasan yang mengandung 1000-10000 mg Ag/l, masing-masing dalam bentuk kompleks perak
tiosulfat (Arslan dkk, 2011). Limbah film sinar-X mengandung 1,5-2% (w/w) perak hitam metalik yang dapat
digunakan kembali. Sekitar 18-20% dari kebutuhan perak dunia dipasok dari daur ulang limbah (Parpalliwar, et al.,
2015).
Metode elektroplating adalah termasuk proses elektrokimia yang umumnya dilakukan dalam bejana sel
elektrolisa dan berisi cairan elektrolit (Buyang & Asmaningrum, 2015). Elektrokimia adalah salah satu metode yang
mengandung unsur reaksi kimia dan aliran listrik.Reaksi tersebut adalah reaksi yang melibatkan pelepasan dan
penerimaan elektron atau reaksi redoks.Reaksi oksidasi yaitu reaksi yang disertai pelepasan elektron dan reaksi
reduksi yaitu reaksi yang disertai penerimaan elektron.Sel elektrokimia yaitu alat yang terdiri dari sepasang
elektroda yang dicelupkan kedalam suatu larutan dan dihubungkan ke konduktor logam pada rangkaian luar, seperti
yang ditunjukkan Gambar 2 (Ahmad, 2011, Widayatno dkk, 2015).

Catu Daya V Electroda referensi


listrik -
e E

Anoda Katoda

e-
Mn+

M0
Elektrolit

Gambar 2. Rangkaian dasar sistem elektropating (Widayatno dkk, 2015)


Reaksi pelapisan logam pada permukaan katoda dapat berlangsung karena potensial elektroda bergeser dari
kondisi setimbangnya.Besar perbedaan potensial ini disebutoverpotential (η).Jika listrik dari rangkaian luar dengan
potensial tertentu di aplikasikan ke elektroda kerja (katoda), aliranarus listrik dari katoda ke anodaakan terjadi. Hal
ini memicu terjadinya reaksi reduksi ion-ion logam (Mn+) menjadi padatan logam yang melapisi permukaan

10
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

katoda.Reaksi reduksi ion logam (Mn+) yang terjadi adalah sebagai berikut (Persamaan (1): (Paunovicdan
Schlesinger, 1998)
+ → (1)

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi proses elektroplating yaitu (Marwati, Padmaningrum, &
Marfuatun, 2009):
a. Suhu: Suhu sangat penting untuk menyeleksi tepat tidaknya jalan reaksi dan melindungi pelapisan.
Keseimbangan suhu ditentukan oleh beberapa faktor misalnya jarak anoda dan katoda serta arus yang
digunakan.
b. Kerapatan arus: kerapatan arus yang baik adalah arus yang tinggi pada saat arus yang diperlukan masuk.
Berapapun nilai kerapatan arus akan mempengaruhi proses dan waktu untuk ketebalan lapisan tertentu.
Menurut Hukum Faraday, jumlah arus listrik yang mengalir dari muatan (+) ke muatan (-) berbanding
lurus dengan massa yang terbentuk atau tereduksi, Persamaan(2): (Basuki, W, & Sudibyo, 2009)

= (2)

Dengan: M = Massa yang terbentuk, e = Berat ekuivalen zat, In= Kuat arus (Ampere), t= Lama waktu
elektrolisis (detik), dan 96500 merupakan tetapan Faraday.
c. Voltase: Setiap logam mempunyai harga voltase tertentu untuk terjadinya reduksi di katoda. Besarnya
voltase yang diberikan akan berpengaruh pula pada arus yang mengalir ke dalam larutan.
d. Konsentrasi ion: Konsentrasi merupakan faktor yang mempengaruhi struktur depositnya. Naiknya
konsentrasi logam akan meningkatkan aktivitas anion yang membantu mobilitas ion.
e. Waktu: Waktu merupakan faktor yang mempengaruhi banyaknya logam yang mengendap di katoda.
Secara umum semakin banyak waktu yang digunakan untuk proses berlangsungnya electroplating,
makaakan semakin tebal lapisan pada katoda.
Hukum Faraday sangat erat kaitannya dengan efisiensi arus yang terjadi pada proses pelapisan secara
elektroplating. Efisiensi arus merupakan perbandingan berat endapan secara teoritis dan dinyatakan dalam persen
(%) (Basmal, 2012).
Hubungan antara voltase dalam elektrolit dan kuat arus listrik yang mengalir menurut Hukum Ohm
ditunjukkan Persamaan (3) (Topayung, 2011):
I= (3)
Dengan: I= Kuat arus listrik (Ampere), V= Voltase (Volt), dan R= Tahanan listrik (Ohm). Besarnya listrik yang
mengalir dinyatakan dengan Coulomb adalah (Persamaan 4): (Topayung, 2011)
Q = I .t (4)
Michael Faraday pada tahun 1833 menetapkan hubungan antara kelistrikan dan ilmu kimia pada semua reaksi
elektrokimia. Bunyi Hukum Faraday tersebut adalah (Topayung, 2011):
Hukum Faraday I: “Massa zat yang terjadi akibat reaksi kimia pada elektroda berbanding lurus dengan
jumlah muatan listrik yang mengalir pada larutan elektrolit selama elektrolisis”. Seperti terlihat pada Persamaan (5).
.
m= (5)
Dengan: m = massa (gram), F= Bilangan Faraday, I = Kuat arus listrik (Ampere), t= Waktu (detik), BA= Berat
molekul unsur, dan n= Jumlah mol elektron yang terlibat dalam reaksi.
Hukum Faraday II:“Massa berbagai zat yang terjadi selama elektrolisis, berbanding lurus dengan berat
ekivalennya”.
Termodinamika reaksi elektrokimia menunjukkan bahwa proses elektrodeposisi logam dipengaruhi oleh pH,
potensial elektroda, dan kesetimbangan. Diagram Pourbaix menunjukkan Efek dari pH dan potensial elektroda
standar pada kesetimbangan. Diagram tersebut dapat digunakan untuk menentukan range pH elektrolit yang tepat
agar reaksi elektrodeposisi logam dapat tercapai (Pourbaix, 1974).
Kinetika reaksi elektroplating dinyatakan sebagai hubungan antara overpotential elektroda (η) dan rapat arus
(j).Persamaan yang umum dipakai adalah Persamaan Botler-Volmer (6)(Bard dan Faulkner, 2001).

= − (6)

Dengan j = rapat arus (mA/cm2), j0= exchange current density, α = koefisien transfer muatan.
Persamaan Butler-Volmer (6) menunjukkan bahwa rapat arus dipengaruhi oleh beberapa parameter yaitu
overpotential, koefisiencharge transfer, suhu, danexchange current density. Terkhusus, rapat arusakan naik jika
overpotentialnaik, hal ini menandakan kecepatan reaksi elektrodeposisi juga meningkat(Bard dan Faulkner,

11
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

2001).Pada kondisi saat overpotensial sangat besar, Persamaan Tafel (7) bisa digunakan untuk
menyederhanakanPersamaan Butler-Volmer (Bard dan Faulkner, 2001).
. .
= − (7)

Parameter dan variabel pada persamaan Tafel bisa dihitung dan ditentukan berdasarkan grafik di Gambar 3 berikut:

Gambar 3. Plot Tafel untuk kurva overpotensial – rapat arus anodis dan katodis pada reaksi О + e - → R
denganα = 0.5, T = 298 K, and j0 = 10-6 A/cm2(Bard dan Faulkner, 2001).

Kinetika (kecepatan) reaksi reduksi dalam proses elektroplating ditunjukkan oleh rapat arus (j).Potensial dan
rapat arus yang optimum untuk elektroplating perak dapat ditentukan jika kurva hubungan overpotensial dan rapat
arus diketahui.Eksperimen polarisasi dapat dilakukan untuk mendapatkan kurva hubungan overpotensial dan rapat
arus.

Metode Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah
Surakarta.Untuk keperluan penelitian ini, limbah cairan bekas pencucian foto rontgenyang digunakan berasal dari
salah satu rumah sakit di Surakarta.Bahan-bahan kimia yang digunakan untuk pretreatment dan analisis, semisal
HNO3 dan KCNSadalah grade analitik (PA) didapatkan dari supplier (MERCK atau SIGMA). Sel elektrokimia yang
dipakai berupa gelas beaker dilengkapi pasangan elektroda berupa grafit-tembaga atau grafit grafit.Lempengan
tembaga 4cm x 1cm dipakai sebagai katoda, dan anoda berupa grafit dengan ukuran panjang 5,7 cm dan diameter
1,2 cm. Variasi dilakukan pada penggunaan anoda – katoda nya, yaitu berupa grafit – lempengan tembaga dan grafit
– grafit. Arus listrik DC disediakan oleh catu daya Sanfix SP3050 dibantu dengan Multimeter Fluke 17B+ untuk
memonitor arus yang mengalir.
Setelah semua bahan disiapkan, langkah berikutnya adalah menentukan kadar logam Ag dalam larutan bekas
pencucian foto rontgen dengan titrasi dan diverifikasi dengan spektrofotometer dan conductivity meter. Kadar yang
dihasilkan dinyatakan sebagai konsentrasi awal sebelum pengolahan dengan metode elektrokimia.Penelitian
dilanjutkan dengan melakukan percobaan polarisasi kondisi tunak (steady state) untuk larutan limbah
diatas.Polarisasidilakukanuntuk mengetahui hubungan voltase dan densitas aruspada variasi pasangan
elektroda.Kurva polarisasi juga dapat digunakan untuk menentukan apakah metode elektrokimia dapat digunakan
untuk mengambil kembali perak dari larutan limbah atau tidak.Potensial sel dan rapat arus untuk proses recovery
perak menggunakan elektroplating juga bisa ditentukan berdasar pada kurva polarisasi tersebut.
Percobaan polarisasi untukKarakterisasi elektrokimia limbah dilakukan dengan mengatur voltase dari 0-3
volt dengan dimulai dari 0,1 V kemudian dinaikkan dengan selang 0,1 V sampai pada voltase 3 V. Arus listrik yang
mengalir melalui sistem pada masing-masing voltase tersebut dicatat. Data yang terkumpul kemudian diplot sebagai
grafik/kurva polarisasi.

Hasil dan Pembahasan


Konsentrasi larutan sampel limbah bekas pencucian foto rontgen sebelum diberi perlakuan elektroplating
adalah sebesar 10,068 g/l. Sangat jauh lebih besar (2000 kali lipat) dibandingkan dengan kadar maksimum yang
diperbolehkan untuk dibuang ke lingkungan sebesar 5 mg/l. Oleh karena itupengolahan limbah ini sudah menjadi
suatu keharusan.

12
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Kurva polarisasi yang menunjukkan karaktertik limbah cair bekas pencucian foto Rontgen hasil dari
percobaan disajikan pada Gambar 4

0
-5
-10
Densitas Arus(mA/cm2)

-15
-20
-25
-30
-35
-40
-3,2 -2,8 -2,4 -2 -1,6 -1,2 -0,8 -0,4 0
Potensial Sel/V
Graphite (C)- Tembaga (Cu) Graphite (C)- Graphite (C)

Gambar 4. Kurva Polarisasi Limbah Cair Kegiatan foto rontgen yang menunjukkan karakteristik elektrokimia
Secara umum terlihat pada Gambar 4, arus listrik pada katoda mengalir sejak pada voltase/potensial sel yang
rendah, akan tetapi pada potensial sel antara 0 dan-1,8 V tidak terlihat adanya hasil plating perak pada katoda.
Reaksi reduksi perak dari limbah kegiatan foto Rontgen kemungkinan besar terjadi pada potensial antara -1,8 V dan
-2.5 V ditandai dengan kenaikan rapat arus yang signifikan.Hal ini menunjukkan bahwa limbah kegiatan foto
Rontgen dapat diolah dengan metode elektrokimia.
Densitas arus elektroplating perak dari limbah untuk elektroda grafit-tembaga berada pada kisaran -5
sampai -22 mA/cm2, sedangkan untuk elektroda grafit-grafit pada interval -3 mA/cm2 sampai dengan -8 mA/cm2.
Penggunaan elektroda grafit – tembaga menghasilkan densitas arus yang lebih besar dibanding elektroda grafit-
grafit.Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan elektroda grafit-tembaga lebih efektif dibanding elektroda grafit-
grafit.Oleh karena itu, untuk penelitian lanjutan recovery dengan proses elektroplating limbah cair bekas pencucian
foto rontgen akan dipergunakan anoda grafit dan katoda lempengan tembaga pada rentang voltase antara -1,8 dan -
2,5 volt dengan variasi waktu proses.

Kesimpulan
Dari hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: elektrokimia dapat digunakan sebagai
metoderecovery logam perak (Ag) dari limbah kegiatan foto Rontgen. Grafit dan tembaga dapat digunakan sebagai
anoda dan katoda dalam proses tersebut. Potensial/voltase untuk reaksi reduksi logam perak adalah pada rentang
voltase antara -1,8 volt dan -2,2 volt.Densitas arus elektroplating perak dari limbah tersebut pada elektroda grafit-
tembaga berada pada kisaran -5 sampai -22 mA/cm2, sedangkan untuk elektroda grafit-grafit pada interval -3
mA/cm2 sampai dengan -8 mA/cm2.

Daftar Pustaka
Ahmad, M. A. (2011). Analisa Pengaruh Besar Tegangan Listrik Terhadap Ketebalan Pelapisan Chrom Pada Pelat
Baja dengan Proses Elektroplating
Arslan, V., Ucurum, M., Vapur, H., & Bayat, O. (2011).Recovery of Silver from Waste Radiographic Films by
Chemical Leaching. Asian Journal of Chemistry, 23 (1), 67-70.
Bard, A. J. and Faulkner, L. R., (2001) Electrochemical Methods: Fundamentals and Applications, 2nd edition, 22 –
43, John Wiley and Sons, Inc.
Basmal.(2012). Pengaruh Suhu Larutan Elektrolit dan Waktu Pelapisan Tembaga pada Plat Baja Lunak terhadap
Nilai Ketebalan.Politeknosains , 11 (1), 87-98.
Basuki, K. T., W, M. A., & Sudibyo.(2009). Pengaruh pH dan Tegangan pada Pembuatan Serbuk Itrium dari
Konsentrat Itrium Hasil Proses Pasir Senotim dengan Elektrolisis. Seminar Nasional V , 543-547.
Buyang, Y., & Asmaningrum, H. P. (2015).Pengaruh Voltase dan Waktu Terhadap Pengendapan Logam Mangan
dan Seng pada Lempeng Tembaga Menggunakan Metode Electroplating. Magistra, 2 (2), 226-236.
Chem, T. J. (2003). A Novel Silver Recovery Method from Waste Photographic Films with NaOH Stripping G ¨, 27,
127–133.
Darmono, 2001.Lingkungan Hidup dan Pencemaran (Hubungan dengan Toksikologi Senyawa Logam). Jakarta:
Universitas Indonesia Press

13
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Kuswati, H., Handoyo, D., & Kohar, I. (2003).Perolehan Kembali Logam Perak dari Limbah Cair Pencucian Film
Studio Dibanding Film X-ray dengan Menggunakan Metode Sn Flake. Unitas, 11 (2), 46-56.
Madhavan, A., S, S., & Balasubramani, S. (2015).Radiographic Waste Management. World Journal of
Pharmaceutical Research, 4 (9), 2050-2058.
Marwati, S., Padmaningrum, R. T., & Marfuatun. (2009). Pemanfaatan Ion Logam Berat Tembaga (II), Timbal (II),
dan Seng (II) dalam Limbah Cair Industri Electroplating untuk Pelapisan Logam Besi. Jurnal Penelitian
Saintek, 14 (1), 17-40.
Masebinu, S. O., & Muzenda, E. (2014).Review of Silver Recovery Techniques from Radiographic Effluent and X-
ray Film Waste. Proceedings of the World Congress on Engineering and Computer Science , 2, 22-24.
Modi, A., Shukla, K., Pandya, J., & Parmar, K. (2012). Extraction of Silver From Photographic Waste, 2(11), 599–
606.
Parpalliwar, J. P., Patil, P. S., Patil, I. D., & Deshannavar, U. B. (2015).Extraction of Silver from Wste X-ray Films
Using Protease Enzyme. International Journal of Advanced Biotechnology and Research , 6(2) : 220-226.
Paunovic, M. and Schlesinger, M., (1998) Fundamentals of Electrochemical Fabrication, John Wiley & Sons, Inc.
New York.
Pourbaix, M., (1974), Atlas of Electrochemical Equilibria in Aqueous Solution, 2nd English Edition, Houston Tech.
National Association of Corrosion Engineering, p. 331-341.
Prayitno,& Sukosrono. (2006). Sistem Reduktor Elektromagnetik untuk Penurunan Kadar Ag dalam Limbah Cair.
Prosiding PPI-PDIPTN , 95-102.
Ramirez, P. A., Reyes, V. E., & Veloz, M. A. (2011).Silver Recovery from Radiographic Films Using an
Electrochemical Reactor. Int.J. Electrochem, 6, 6151-6164.
Said, N. I. (2010).Metoda Penghilangan Logam Berat (As, Cd, Cr, Ag, Cu, Pb, Ni, dan Zn) di dalam Air Limbah
Industri. 6(2): 136-148.
Songkroah, C., Nakbanpote, C., & Thiravetyan, P. (2003).Recovery of Silver-Thiosulphate Complexes with Chittin.
Process Biochemistry Journal, 39, 1553-1559.
Sufian dan Sarto, 2009, Pengolahan limbah cair rontgen dengan metodeelektrodeposisi, Tesis
S2MagisterSistem Teknik UGM, Yogyakarta
Topayung, D. (2011). Pengaruh Arus Listrik dan Waktu Proses Terhadap Ketebalan dan Massa Lapisan yang
Terbentuk pada Proses Electroplating Pelat Baja. Jurnal Ilmiah Sains, 11 (1), 97-101.
Widayatno, T., Hamid, Swasemba, I. A., dan Ghufran, M. K., (2015).Karakterisasi Elektrokimia Larutan Elektrolit
Rendah Sianida Untuk Elektroplating Perak Dekoratif Ramah Lingkungan Ramah Lingkungan, Prosiding
Simposium Nasional RAPI XIV 2015 (c), 207–212.

14
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

PENGUJIAN KARAKTERISTIK PERPINDAHAN PANAS DAN FAKTOR


GESEKAN PADA PENUKAR KALOR PIPA KONSENTRIK DENGAN
TRAPEZOIDAL-CUT TWISTED TAPE INSERT

Endra Dwi Purnomo1*, Indri Yaningsih2, Agung Tri Wijayanta3


1
Program Sarjana Teknik Mesin, FakultasTeknik, Universitas Sebelas Maret
Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta tlp. 0271632163
2,3
Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Sebelas Maret
Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta tlp. 0271632163
*Email: endra@student.uns.ac.id

Abstrak

Penelitian dilakukan untuk menguji karakteristik perpindahan panas dan faktor gesekan pada
penukar kalor pipa konsentrik dengan trapezoidal cut twisted tape insert. Seksi uji adalah penukar
kalor pipa konsentrik satu laluan dengan pipa dalam dan pipa luar terbuat dari aluminium. Dimensi
pipa dalam; diameter luar 15,84 mm dan diameter dalam 14,34 mm Dimensi pipa luar; diameter
luar 25,40 mm dan diameter dalam 23,40 mm, dan. Panjang penukar kalor 2.110 mm dan jarak
pengukuran beda tekanan di pipa dalam 2.240 mm. Aliran pada pipa dalam dan annulus adalah
berlawanan arah. Fluida kerja di pipa dalam adalah air panas yang temperatur masukannya
dipertahankan pada ±60 oC, sedangkan di annulus adalah air dingin pada temperatur kamar.
Trapezoidal cut twisted tape insert dengan twist ratio (H/d) 2,7 ; 4,5 ; 6,5 terbuat dari bahan
aluminium strip dengan tebal 0,76 mm dan lebar 12,61 mm yang dipuntir sehingga membentuk
pilinan dengan panjang pitch berturut-turut 35,00 mm ; 56,81 mm ; dan 81,90 mm. Trapezoidal cut
twisted tape insert dipasang di pipa dalam dari penukar kalor pipa konsentrik. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa penambahan trapezoidal cut twisted tape insert di pipa dalam meningkatkan
bilangan Nusselt rata-rata berturut-turut 86,4 % dan 64,2 % dan 45,7 % dari pipa dalam tanpa
sisipan (plain tube). Penambahan trapezoidal cut twisted tape insert di pipa dalam meningkatkan
faktor gesekan rata-rata berturut-turut 2,72 ; 2,30 dan 1,78 kali dari plain tube. Nilai unjuk kerja
termal rata-rata pipa dalam dengan penambahan trapezoidal cut twisted tape insert berturut-turut
adalah 1,33 ; 1,19 dan 1,11. Hal ini menunjukkan bahwa trapezoidal cut twisted tape insert sebagai
turbulator mempunyai peforma peningkatan perpindahan panas yang baik pada pipa penukar kalor
pipa konsentrik pada daya pemompaan yang sama.

Kata kunci: bilangan Nusselt; faktor gesekan; trapezoidal cut twisted tape insert; unjuk kerja
termal

Pendahuluan
Teknik peningkatan perpindahan panas (heat transfer enhancement) banyak digunakan di berbagai bidang
seperti pada heat recovery process, otomotif, sistem refrigerasi, dan proses produksi (Bergles, A.E., 1999). Unjuk
kerja sebuah penukar kalor dapat ditingkatkan secara substansial oleh sejumlah teknik peningkatan perpindahan
panas. Tujuan umum teknik peningkatan perpindahan panas pada penukar kalor adalah untuk mengurangi ukuran
penukar kalor, meningkatkan kapasitas penukar kalor yang ada, mengurangi daya pemompaan (pumping power) dan
mengurangi biaya operasi penukar kalor.
Sheikholeslami, M., et al., 2015, melakukan penelitian tentang peningkatan perpindahan panas dalam
penukar kalor dengan teknik pasif. Teknik pasif dilakukan dengan menyisipkan alat ke dalam ruang dimana fluida
tersebut mengalir tanpa penggunaan daya eksternal. Dibandingkan dengan teknik aktif, teknik pasif tidak
membutuhkan biaya yang lebih tinggi. Teknik pasif dipakai untuk menciptakan aliran sekunder atau unsteady flow
(aliran takberaturan), sehingga teknik ini lebih fokus untuk mempercepat transisi aliran dari laminar ke turbulen.
Semakin besar penurunan tekanan maka semakin besar daya pemompaan yang diperlukan, dimana hal ini
dihubungkan dengan gesekan fluida (fluid friction) dan kontribusi penurunan tekanan lain sepanjang lintasan aliran
fluida. Adanya penurunan tekanan berarti terdapat kehilangan energi akibat gesekan antara fluida dengan permukaan
saluran. Penurunan tekanan fluida mempunyai hubungan langsung dengan perpindahan kalor dalam penukar kalor,
operasi, ukuran, dan faktor – faktor lain, termasuk pertimbangan ekonomi. Oleh sebab itu peningkatan koefisien

15
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

perpindahan kalor konveksi dengan meningkatkan turbulensi aliran dalam pipa harus dikaitkan dengan nilai
penurunan tekanan yang dihasilkan akibat peningkatan turbulensi aliran fluida tersebut.
Salah satu jenis insert yang banyak digunakan untuk meningkatkan perpindahan panas dalam sebuah penukar
kalor adalah sisipan pita terpilin (twisted tape insert). Pipa dengan twisted tape insert telah digunakan secara luas
sebagai alat untuk memutar aliran (swirl flow) secara kontinu untuk meningkatkan laju perpindahan panas pada
sebuah penukar kalor dan banyak diterapkan dalam bidang keteknikan. Twisted tape insert dalam sebuah pipa
merupakan teknik pasif yang mudah untuk meningkatkan perpindahan panas konveksi yang dihasilkan dengan
memutar aliran fluida dalam sebuah penukar kalor. Twisted tape insert sering digunakan dalam penukar kalor karena
harganya murah, perawatannya mudah dan ringkas. Dari sebuah penelitian Wang, L. and Sunden, B., 2002
mengenai perbandingan kinerja panas antara penambahan twisted tape insert dibanding dengan kumparan kawat (
wire coil), twisted tape insert lebih efektif dibanding dengan wire coil apabila pressure drop tidak menjadi
pertimbangan akhir, karena sisi lain dari pemberian insert dapat menaikkan pressure drop.
Modifikasi potongan kecil twist tape pada sisipan, sebagai contoh broken atau spiky tape, tipe bergerigi, delta
winglet tape dan plain tube dapat meningkatkan perpindahan panas seperti yang telah diteliti oleh (Chang, S.W., et
al., 2007; Chang, S.W., et al., 2009; Eiamsa-Ard, S., et al., 2010a; Eiamsa-ard, S., et al., 2010b). Penelitian Kumar,
C.N. and Murugesan, P. (2012) menunjukkan bahwa untuk modifikasi geometri twisted tape, kecepatan perpindahan
panas menjadi lebih tinggi dengan faktor gesekan untuk aliran laminar dan turbulen yang layak.
Salah satu bentuk modifikasi geometri adalah dengan memberikan potongan pada sisi – sisi twisted tape.
Penelitian ini akan menguji pengaruh ratio twisted tapes terhadap peningkatan perpindahan panas dari pipa penukar
kalor pipa konsentrik dengan penambahan trapezoidal-cut dengan dimensi yang tetap pada sisi - sisi twisted tape
insert. Trapezoidal-cut merupakan modifikasi typical twisted tape insert dengan potongan berbentuk persegi
panjang pada sisi – sisinya. Potongan dilakukan secara bergantian dan berurutan untuk disisipkan pada pipa penukar
kalor. Diharapkan dengan penambahan sisipan trapezoidal-cut twisted tape insert dan variasi twist ratio dapat
meningkatkan koefisien perpindahan panas konveksi pipa dalam dengan nilai penurunan tekanan yang masih dapat
diterima.

Bahan dan Metode Penelitian


Penukar kalor yang digunakan merupakan pipa konsentrik satu laluan (one pass concentric tube heat
exchanger) dengan penampang pipa dalam dan pipa luar adalah lingkaran. Penukar kalor diorientasikan mendatar.
Pipa dalam dan pipa luar penukar kalor adalah aluminium dengan pipa dalam berdiameter luar (do) 15,8 mm,
diameter dalam (di) 14,3 mm, panjang 2.527 (Li) mm dan pipa luar berdiameter luar (Do) 25,4 mm, diameter dalam
(Di) 23,4 mm, panjang (Lo) 1.940 mm. Ukuran celah annulus adalah 3,8 mm. Arah aliran fluida kerja mendatar
berlawanan arah (counter flow) dengan fluida kerja air. Skema alat penelitian dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 1. Skema alat pengujian penukar kalor pipa konsentrik

Peralatan penelitian terdiri dari 3 sistem, yaitu sistem pengukuran, sistem lintasan aliran air panas di pipa
dalam, dan sistem lintasan aliran air dingin di annulus. Air di tangki air panas dipanaskan menggunakan pemanas air
elektrik dengan daya total 4.000 Watt. Temperatur air panas di tangki air panas diseting dengan thermocontroller
sehingga temperatur air panas masuk ke pipa dalam dari penukar kalor pipa konsentrik dijaga konstan sebesar 60oC.

16
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Sirkulasi air panas merupakan sirkulasi tertutup dimana air di dalam tangki air panas dipompa oleh pompa air panas,
mengalir melewati seksi uji (pipa dalam) dan kembali ke tangki air panas.
Semua twisted tape insert yang digunakan dalam penelitian ini terbuat dari bahan aluminium strip dengan
tebal (δ) = 0,7 mm dan lebar (d) = 12,6 mm yang dipuntir sedemikian rupa sehingga berbentuk sebuah pilinan yang
mempunyai panjang pitch (H) = 35 mm; 56,81 mm; 81,9 mm dan dimensi potongan trapezoidal dengan lebar
potongan bawah (Wb) 3 mm, lebar potongan atas (Wt) 5 mm dan kedalaman pemotongan (dt) 4 mm. Trapezoidal-cut
twisted tape insert divariasi nilai twist tape ratio (H/d) sebesar 2,7; 4,5; dan 6,5 dengan ukuran cutting yang konstan,
dimana H adalah panjang ulir twist tape, d adalah lebar tape (tape width). Pada penelitian pengaruh twist tape ratio
(H/d) dilakukan pada de/b yang konstan. Trapezoidal-cut twisted tape insert variasi twist tape ratio (H/d) digunakan
dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar 2.

Gambar 2. Trapezoidal-cut twisted tape insert (TTT)

Data eksperimen yang diperoleh digunakan untuk menghitung bilangan Nusselt, faktor gesekan dan faktor unjuk
kerja termal pada bilangan Reynolds (Re) yang berbeda dalam daerah aliran turbulen. Langkah perhitungan sebagai
berikut.

Laju perpindahan panas di pipa dalam dapat dinyatakan sebagai:


.
Q h = m .C p , h .(Th ,i − Th ,o ) = UiAi∆TLMTD (1)
Perpindahan panas ke air dingin di sisi annulus dapat dihitung dengan:
.
Qc = m .C p ,c .(Tc ,o − Tc ,i ) = ho . Ao .(T w,o − Tb ,c ) (2)
dimana
i =10

Tc ,i + Tc ,o
∑T
i =1
wo,i
Tb ,c = dan T w,o = (3)
2 10
Persentase kehilangan panas (% Qloss) dapat dihitung dengan:

% Qloss= x 100% (4)

Koefisien perpindahan panas menyeluruh (overall)


Qh
Ui = (5)
Ai ∆TLMTD
(6)
Koefisien perpindahan panas konveksi rata-rata di sisi pipa dalam dapat dihitung sebagai berikut:
sebagai berikut:

17
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

1
hi = (7)
 1 d i . ln (d o d i ) d 
 − − i 
U i 2k p d o .ho 
Bilangan Nusselt rata-rata di pipa dalam dapat dihitung dengan:
h i .d i
Nu i = (8)
k fi
Faktor gesekan (friction factor) di pipa dalam dapat dihitung dengan:
∆P
f = (9)
 Lt  .V 2 
  
 
 d i  2 
Bilangan Reynolds aliran air panas di pipa dalam dapat dihitung dengan:
 .V .d i
Re = (10)

dimana sifat-sifat air panas di pipa dalam (, kfi dan ) dievaluasi pada temperatur air panas bulk rata-rata (Tb,h)
Unjuk kerja termal penukar kalor dengan penambahan sisipan (insert) dapat dihitung sebagai berikut:
Daya pemompaan konstan antara pipa dalam dengan TTT dan tanpa sisipan (plain tube) dihubungkan sebagai
berikut:

. .
(V .∆P ) p = (V .∆P ) s (11)
Hubungan antara faktor gesekan dengan bilangan Reynolds untuk plain tube dan pipa dalam dengan penambahan
TTT dapat dinyatakan sebagai berikut:
( f . Re3 ) p = ( f . Re3 ) s (12)
Faktor unjuk kerja termal pada daya pemompaan yang konstan adalah perbandingan koefisien perpindahan panas
konveksi rata-rata dari pipa dalam dengan penambahan sisipan dengan plain tube dimana dapat ditulis sebagai
berikut:

hs
= (13)
hp
pp
Faktor unjuk kerja termal dengan menggunakan kombinasi persamaan (11 – (12) dapat ditulis sebagai berikut:
 = ( Nu s Nu p ) ( f s / f p ) 1 3 (14)
Karakteristik perpindahan panas, faktor gesekan dan unjuk kerja termal dapat dinyatakan berturut-turut dengan
grafik hubungan antara Nu dengan Re, f dengan Re dan η dengan Re.

Hasil dan Pembahasan


Validasi hasil eksperimen
Validasi dilakukukan dengan membandingkan data eksperimental dengan korelasi empirik. Sebagai
pembanding digunakan korelasi empirik Petukhov dan Gnielinski. Validasi pada plain tube penting dilakukan untuk
menghasilkan hasil analisis yang baik. Sehingga akurasi, presisi dan repeatibilitas data eksperimen tidak
menyimpang jauh dari standard korelasi.
Validasi karakteristik perpindahan panas plain tube ditunjukkan pada grafik hubungan bilangan Nusselt rata-
rata di pipa dalam (Nui) dengan bilangan Reynolds (Re) dengan korelasi-korelasi empirik tersebut dapat dilihat pada
gambar 3.
Pada gambar 3 ditunjukkan penyimpangan rata-rata nilai Nui plain tube terhadap korelasi Petukhov sebesar
3,56 %. Penyimpangan rata-rata Nui plain tube dengan korelasi Gnielinski sebesar 3,4%. Penyimpangan rata-rata
nilai Nui plain tube terhadap korelasi Gnielinski kurang dari 10% (Bergman, T.L., et al., 2011). Sehingga nilai Nui
plain tube adalah valid.

18
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Gambar 3. Validasi bilangan Nusselt untuk plain tube

Karakteristik faktor gesekan untuk plain tube pada penelitian kali ini divalidasi dengan korelasi empirik
Blasius. Dari gambar 4 dapat dilihat hubungan faktor gesekan pipa dalam (f) dengan bilangan Reynolds (Re) dari
hasil korelasi empirik.

Gambar 4. Validasi faktor gesekan untuk plain tube..

Didapatkan penyimpangan rata-rata faktor gesekan plain tube dengan korelasi Blasius perbandingan antara
(fplaintube - fblasius) / fblasius sebesar 1,05 %, Pada gambar 4.2. Penyimpangan rata-rata faktor gesekan plain tube terhadap
korelasi Blasius kecil yaitu kurang dari 10%, oleh karena itu nilai faktor gesekan plain tube dinyatakan valid.
Persamaan empiris bilangan Nusselt dan faktor gesekan plain tube sebagai berikut:
Nu = 0,027. Re0,8 Pr 0,3 (15)
f = 0,478. Re−0, 294 (16)
Penyimpangan korelasi bilangan Nusselt adalah 0,20% - 3,92% dan untuk penyimpangan korelasi faktor
gesekan sebesar 0,12% - 2,79%, sehingga diperoleh penyimpangan rata-rata pada Nusselt 1,35% dan faktor gesekan
1,05%.

Pengaruh TTT terhadap karakteristik perpindahan panas


Pengaruh twist ratio TTT ((H/d) 2,7; 4,5; dan 6,5 terhadap karakteristik perpindahan panas dapat dilihat pada
gambar 5. Penambahan TTT menghasilkan koefisien perpindahan panas lebih tinggi dibandingkan plain tube seperti
ditunjukkan pada gambar 5. Semakin kecil twist ratio, bilangan Nusselt semakin meningkat. Sisipan dengan nilai
Nu tetinggi pada varisi twist ratio 2,7 dan paling rendah 6,5. Hal ini disebabkan karena dengan semakin kecil nilai
twist ratio, maka kerapatan twist dan lintasan semakin panjang sehingga aliran tersebut menghasilkan intensitas
turbulensi yang lebih tinggi.

19
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Gambar 5. Hubungan Nu, dengan Re.

Sisipan trapezoidal cut di pipa dalam dapat meningkatkan nilai Nui jika dibandingkan dengan plain tube.
Dispersi aliran akibat sisi trapezoidal cut mampu menghasilkan gerakan secara acak di pipa dalam merata sepanjang
seksi uji tersebut. Selain itu, pengaruh potongan trapezoidal memberikan kontak permukaan yang besar antara fluida
dan dinding yang menghasilkan peningkatan perpindahan panas (Prasad, P.D., et al., 2015).
Pada kisaran 5300 < Re < 17.500, Kenaikan bilangan nusselt terhadap bilangan Reynolds pada sisipan
trapezoidal cut twisted tape variasi twist ratio H/d = 2,7; 4,5; dan 6,5 beturut-turut sebesar 86,4 %, 64,2 % dan 45,7
% dibandingkan dengan plain tube.

Pengaruh TTT terhadap karakteristik faktor gesekan


Pengaruh twist ratio TTT (H/d) 2,7; 4,5; dan 6,5 terhadap karakteristik factor gesekan dapat dilihat pada
gambar 6. Menunjukan bahwa nilai faktor gesekan (f) pipa dalam berkurang seiring kenaikan bilangan Reynolds
(Re). Faktor gesekan pipa dalam dengan TTT pada variasi twist ratio 2,7 lebih besar dibanding 4,5; dan 6,5. Pada
pipa dalam dengan penambahan sisipan twisted tape, nilai faktor gesekan bertambah dengan semakin kecilnya twist
ratio, hal ini serupa dengan penelitian (Salam, B., et al., 2013). Faktor gesekan dengan penambahan sisipan twisted
tape menunjukkan penurunan bilangan Nusselt rata-rata dan faktor gesekan meningkat dengan penurunan twist
ratio.
Nilai faktor gesekan pada kisaran 5300 < Re < 17.500 di pipa dalam dengan variasi twist ratio H/d = 2,7;
lebih besar dibandingkan 4,5; dan 6,5 dan plain tube. TTT rendah mempunyai nilai faktor gesekan yang paling
tinggi. Hal ini disebabkan karena penambahan gangguan dapat meningkatkan kontak tangensial antara aliran
sekunder dan permukaan dinding pipa (Liu, S. and Sakr, M., 2013). Nilai kenaikan faktor gesekan berturut-turut
untuk H/d = 2,7; 4,5; dan 6,5 sebesar 2,72, ; 2,30 dan 1,78 kali terhadap plain tube.

Gambar 6. Grafik hubungan penurunan tekanan dengan bilangan Reynolds

20
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Pengaruh TTT terhadap karakteristik unjuk kerja termal


Pengaruh twist ratio TTT (H/d) 2,7; 4,5; dan 6,5 terhadap unjuk kerja termal dilihat pada gambar gambar 7.
Pada gambar 7 dapat dilihat bahwa unjuk kerja termal dengan TTT pada variasi twist ratio 2,7 meningkat pada
bilangan Reynolds yang rendah kemudian turun pada Reynolds yang tinggi. Hal ini membuktikan bahwa pada daya
pemompaan yang rendah efek dari penambahan sisipan sudah dapat meningkatkan unjuk kerja termal pada daya
pemompaan yang sama.. Nilai faktor unjuk kerja termal dengan TTT (H/d) 2,7; 4,5; dan 6,5 berturut-turut kisaran
1,24-1,46 ; 1,13-1,28 dan 1,05-1,21. Ini menunjukkan bahwa pada daya pemompaan yang sama, nilai koefisien
perpindahan panas konveksi rata-rata dari pipa dalam dengan penambahan sisipan TTT dengan variasi (H/d) 2,7;
4,5; dan 6,5 lebih besar dari nilai koefisien perpindahan panas konveksi rata-rata dari plain tube.

Gambar 7. Hubungan η dengan Re


Kesimpulan
Pada bilangan Reynolds 5300 < Re < 17.500, bilangan Nusselt dan faktor gesekan penukar kalor pipa
konsentrik dengan penambahan sisipan TTT variasi (H/d) 2,7; 4,5; dan 6,5 secara konsisten lebih besar
dibandingkan dengan plain tube. Nilai bilangan Nusselt, faktor gesekan dan faktor unjuk kerja termal semakin tinggi
dengan kenaikan nilai H/d. Bilangan Nusselt rata-rata pipa dalam dengan penambahan TTT dengan variasi H/d) 2,7;
4,5; dan 6,5 berturut-turut meningkat sebesar 86,4 %, 64,2 % dan 45,7 %dibandingkan dengan tanpa sisipan.
Penambahan sisipan TTT dengan variasi (H/d) 2,7; 4,5; dan 6,5 di pipa dalam menghasilkan faktor gesekan rata-rata
berturut-turut sebesar 2,72, 2,30 dan 1,78 kali faktor gesekan plain tube. Unjuk kerja termal rata-rata dengan
penambahan TTT variasi (H/d) 2,7; 4,5; dan 6,5 di pipa dalam berturut-turut dalam kisaran 1,24-1,46 ; 1,13-1,28 dan
1,05-1,21.

Daftar Notasi
Ac = luas penampang saluran (m2)
Ai = luas permukaan dalam pipa dalam (m2)
Ao = uas permukaan luar pipa dalam (m2)
di = diameter dalam pipa dalam (m)
do = diameter luar pipa dalam (m)
D = diameter dalam pipa (m)
Dh = diameter hidrolik (m)
f = faktor gesekan
fp = faktor gesekan plain tube
hi = koefisien perpindahan panas konveksi rata-rata di pipa dalam (W/m2.oC)
ho = koefisien perpindahan panas konveksi rata-rata di annulus (W/m2.oC)
hp = koefisien perpindahan panas konveksi rata-rata di plain tube (W/m2.oC)
hs = koefisien perpindahan panas konveksi rata-rata di pipa dalam dengan sisipan (W/m2.oC)
H = pitch
kfi = konduktivitas termal rata-rata air panas di pipa dalam (W/m.oC)
kp = konduktivitas termal material pipa dalam (W/m.oC)
L = panjang pipa (m)
ṁc = laju aliran massa air dingin di annulus (kg/s)
ṁh = laju aliran massa air panas di pipa dalam (kg/s)

21
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Nui = bilangan Nusselt rata-rata di pipa dalam


Nup = bilangan Nusselt rata-rata di plain tube
Nus = bilangan Nusselt rata-rata di pipa dalam dengan sisipan
Pr = bilangan Prandtl
Qaktual = laju perpindahan panas aktual dari penukar kalor (W)
Qc = laju perpindahan panas ke annulus (W)
Qh = laju perpindahan panas di pipa dalam (W)
Qloss = kehilangan panas konveksi di pipa dalam (W)
Qmaksimum= laju perpindahan panas maksimum yang mungkin dari penukar kalor (W)
Ui = koefisien perpindahan panas menyeluruhberdasarkan permukaan dalam pipa dalam (W/m2.oC)
Wpompa = daya pemompaan (W)
Wb = lebar potongan bawah (mm)
Wt = lebar potongan atas (mm)
ρ = densitas air panas di pipa dalam (kg/m3)
η = unjuk kerja termal
ΔP = penurunan tekanan (Pa)
ΔTLMTD = beda temperatur rata-rata logaritmik (oC)
δ = tebal aluminium strip (mm)

Daftar Pustaka
Bergles, A.E., 1999, Advanced Enhancement for Heat Exchangers, pp. 23-35.
Chang, S.W., Jan, Y.J., and Liou, J.S., 2007, Turbulent Heat Transfer and Pressure Drop in Tube Fitted with
Serrated Twisted Tape, International Journal of Thermal Sciences, Vol. 46 (5), pp. 506-518.
Chang, S.W., Lees, A.W., and Chang, H.-T., 2009, Influence of Spiky Twisted Tape Insert on Thermal Fluid
Performances of Tubular Air–Water Bubbly Flow, International Journal of Thermal Sciences, Vol. 48 (12),
pp. 2341-2354.
Eiamsa-Ard, S., Thianpong, C., and Eiamsa-Ard, P., 2010a, Turbulent Heat Transfer Enhancement by Counter/Co-
Swirling Flow in a Tube Fitted with Twin Twisted Tapes, Experimental Thermal and Fluid Science, Vol. 34
(1), pp. 53-62.
Eiamsa-ard, S., Wongcharee, K., Eiamsa-ard, P., and Thianpong, C., 2010b, Heat Transfer Enhancement in a Tube
Using Delta-Winglet Twisted Tape Inserts, Applied Thermal Engineering, Vol. 30 (4), pp. 310-318.
Liu, S., and Sakr, M., 2013, A Comprehensive Review on Passive Heat Transfer Enhancements in Pipe Exchangers,
Renewable and sustainable energy reviews, Vol. 19 pp. 64-81.
Prasad, P.D., Gupta, A., and Deepak, K., 2015, Investigation of Trapezoidal-Cut Twisted Tape Insert in a Double
Pipe U-Tube Heat Exchanger Using Al 2 O 3/Water Nanofluid, Procedia Materials Science, Vol. 10 pp. 50-
63.
Salam, B., Biswas, S., Saha, S., and Bhuiya, M.M.K., 2013, Heat Transfer Enhancement in a Tube Using
Trapezoidal-Cut Twisted Tape Insert, Procedia Engineering, Vol. 56 pp. 96-103.
Sheikholeslami, M., Gorji-Bandpy, M., and Ganji, D.D., 2015, Review of Heat Transfer Enhancement Methods:
Focus on Passive Methods Using Swirl Flow Devices, Renewable and Sustainable Energy Reviews, Vol.
49 pp. 444-469.
Wang, L., and Sunden, B., 2002, Performance Comparison of Some Tube Inserts, International Communications in
Heat and Mass Transfer, Vol. 29 (1), pp. 45-56.

22
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

PENGARUH PITCH LOUVERED STRIP INSERT TERHADAP


PENINGKATAN PERPINDAHAN PANAS PADA PENUKAR KALOR PIPA
KONSENTRIK

Martina Anantyastuti Susanti1*, Indri Yaningsih2, Agung Tri Wijayanta3


1
Program Sarjana, Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Sebelas Maret
Jl. Ir. Sutami No. 36 A Surakarta 57126 Telp/Fax 0271 632163
2,3
Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Sebelas Maret
Jl. Ir. Sutami No. 36 A Surakarta 57126 Telp/Fax 0271 632163
*Email: tyamartina@gmail.com

Abstrak

Penelitian ini dilakukan untuk menguji karakteristik perpindahan panas dan faktor gesekan pada
penukar kalor pipa konsentrik dengan penambahan louvered stip insert (LSI). LSI dipasang di pipa
dalam dari penukar kalor pipa konsentrik. Parameter pengujian dalam penelitian ini adalah variasi
pitch (S) dari LSI yaitu 40, 50, dan 60 mm. Seksi uji berupa penukar kalor pipa konsentrik satu laluan
dengan orientasi mendatar. Pipa dalam dan pipa luar terbuat dari alumunium. Aliran pada pipa
dalam dan annulus berlawanan arah. Fluida kerja di pipa dalam adalah air panas dimana
temperatur masukannya dipertahankan pada 60˚C, sedangkan fluida kerja di annulus adalah air
dingin dengan temperatur masukannya ±27˚C . Dalam penelitian ini pengujian dilakukan dengan
penambahan LSI dan tanpa louvered strip insert (plain tube) pada pipa dalam. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa penukar kalor pipa konsentrik dengan penambahan LSI dengan S = 40, 50 dan
60 mm di pipa dalam menghasilkan bilangan Nusselt , faktor gesekan dan rasio koefisien
perpindahan panas yang lebih besar daripada plain tube. Penambahan LSI menghasilkan
peningkatan perpindahan panas yang lebih baik dibandingkan plain tube. Pada bilangan Reynolds
yang sama, penambahan LSI dengan S = 40, 50 dan 60 mm di pipa dalam meningkatkan bilangan
Nusselt berturut-turut dalam kisaran 62,9% - 70,0%; 42,5% - 51,3%; dan 23,1% - 31,4%
dibandingkan dengan plain tube. Sedangkan penambahan LSI dengan S = 40, 50 dan 60 mm di pipa
dalam menghasilkan faktor gesekan berturut-turut 1,86 – 2,44; 1,04 – 1,62; dan 0,58 – 0,84 kali lebih
besar dibandingkan faktor gesekan plain tube. Penambahan LSI, S = 40, 50 dan 60 mm di pipa dalam
menghasilkan rasio koefisien perpindahan panas berturut-turut dalam kisaran 1,07 - 1,08; 1,06 - 1,07
dan 0,97 - 1,04.

Kata kunci: bilangan Nusselt; bilangan Reynolds; faktor gesekan; louvered strip insert; pitch

Pendahuluan
Krisis energi dunia sudah semakin viral dewasa ini, untuk itu perlu adanya pengkajian mengenai energi untuk
memanfaakan energi secara efektif. Salah satu proses energi pada industri adalah proses peningkatan perpindahan
panas. Peningkatan perpindahan panas adalah suatu proses yang dilakukan untuk memperbaiki unjuk kerja sistem
dengan cara meningkatkan koefisien perpindahan panas. Teknologi peningkatan perpindahan panas hampir selalu
meningkatkan penurunan tekanan, sehingga mempengaruhi biaya pemompaan yang lebih tinggi. Oleh karena itu
metode peningkatan perpindahan panas (heat transfer enhancement) yang digunakan dalam penukar kalor harus
optimal antara keuntungan dari kenaikan koefisien perpindahan panas dan biaya pemompaan yang lebih tinggi
karena meningkatnya kerugian gesekan. Metode heat transfer enhancement merupakan suatu metode perlakuan
untuk memodifikasi permukaan perpindahan panas untuk memperbesar koefisian perpindahan panas yang terjadi
antara permukaan dan fluida. Salah satu metode perlakuan perkembangan teknologi yang dilakukan untuk
meningkatkan unjuk kerja penukar kalor adalah teknologi sisipan (inserts). Mekanisme umum dari peningkatan
perpindahan panas dengan menggunakan sisipan pipa adalah turbulator dapat meningkatkan aliran berputar (swirl
flow).
Peningkatkan perpindahan panas menggunakan louvered strip insert telah dikembangkan dan diteliti secara
eksperimental dan numerik. Louvered strip insert diharapkan akan menimbulkan percampuran fluida yang cepat,
turbulensi yang tinggi dan pembentukan vorteks longitudinal (Eiamsa-ard, S., 2008). Pada penelitian ini, akan
menguji pengaruh jarak antar louvered strip berurutan (pitch) terhadap peningkatan perpindahan panas dari penukar

23
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

kalor pipa konsentrik dengan louvered strip insert susunan backward. Diharapkan dengan penambahan sisipan
louvered strip insert dengan variasi pitch dan dengan susunan backward dapat meningkatkan koefisien perpindahan
panas konveksi pipa dalam dengan kenaikan penurunan tekanan yang masih dapat diterima.

Metode Penelitian
Seksi uji merupakan penukar kalor penukar kalor pipa konsentrik satu laluan (one pass concentric tube heat
exchanger) dengan penampang pipa dalam dan pipa luar adalah lingkaran. Penukar kalor diorientasikan mendatar.
Bahan pipa penukar kalor, pipa dalam dan pipa luar terbuat dari aluminium. Dimensi penukar kalor pipa dalam
mempunyai diameter luar (do) 15,8 mm dan diameter dalam (di) 14,3 mm. Pipa luar memiliki diameter luar (Do)
25,4 mm dan diameter dalam (Di) 23,4 mm. Panjang pipa dalam untuk perpindahan panas (L) adalah 2.500 m.
Penelitian ini menggunakan peralatan yang terdiri dari 3 sistem, yaitu sistem lintasan aliran air panas di pipa dalam,
sistem lintasan aliran air dingin di annulus, dan sistem pengukuran. Skema alat penelitian dapat dilihat seperti pada
Gambar 1.

Gambar 1. Skema alat pengujian penukar kalor pipa konsentrik dengan louvered strip insert.

Sistem lintasan air panas merupakan closed loop system, dimana air panas yang telah melewati seksi uji akan
di sirkulasikan kembali. Air panas masuk pipa dalam dijaga konstan sebesar 60oC dengan menggunakan
thermocontroller. Untuk memanaskan air di tangki pemanas digunakan pemanas (heater) dengan daya total 4.000
Watt. Pompa air panas mengalirkan air panas dari tangki air panas ke pipa dalam dan kembali lagi ke tangki air
panas. Katup bypass digunakan untuk mengatur variasi debit air panas masuk pipa dalam, sedangkan untuk
membaca debit air panas dapat menggunakan rotameter.
Sistem lintasan aliran air dingin di annulus merupakan open loop system dimana air dingin setelah melewati
seksi uji akan langsung dibuang. Aliran air dingin menggunakan metode gravitasi (aliran air dingin berasal dari
tangki air dingin yang terletak diatas) dengan ketinggian permukaan air dingin di tangki air dingin dijaga konstan
menggunakan pipa pelimpah. Temperatur air dingin adalah temperatur lingkungan, dengan debit yang mengalir ke
annulus adalah satu nilai konstan.
Sistem pengukuran terdiri dari pengukuran temperatur, pengukuran laju aliran air panas dan air dingin, serta
pengukuran penurunan tekanan. Termokopel tipe K digunakan untuk mengukur temperatur air panas masuk pipa
dalam, air panas keluar pipa dalam, air dingin masuk annulus, air dingin keluar annulus, dan temperatur dinding luar
pipa. Pengukuran temperatur dinding luar pipa dalam berjumlah 10 titik yang diukur secara selang-seling.
Pembacaan termokopel menggunakan thermocouple reader. Pengukuran laju air panas menggunakan rotameter.
Pengukuran penurunan tekanan di pipa dalam menggunakan manometer pipa U dengan fluida manometer adalah air.
Sisipan yang digunakan pada penelitian ini adalah Louvered strip. Louvered strip insert adalah turbulator
berbentuk seperti daun datar terbuat dari pita logam tipis yang dipasang pada sebuah kawat. Pada penelitian ini

24
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

louvered strip terbuat dari plat baja lunak (mild steel) dengan ketebalan 1 mm, dan berbentuk elips dengan dimensi
sumbu pendek dan sumbu panjang berturut-turut 6 mm dan 10 mm. Louvered strip dipasang di kawat baja ringan
yang berdiameter 2 mm dengan cara dilas menggunakan las kuningan. Sudut kemiringan (slant angle = α) louvered
strip = 25o. Jarak antar louvered strip (pitch = S) di kawat baja divariasi sebesar 40, 50 dan 60mm. Pemasangan
louvered strip insert di pipa dalam dengan susunan backward terhadap arah aliran fluida. Skema pemasangan
louvered strip insert dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Skema pemasangan louvered strip insert susunan backward di pipa dalam.

Perpindahan panas antara fluida panas dan fluida dingin digunakan sebagai dasar perhitungan perpindahan
panas konveksi dari fluida panas di pipa dalam. Bilangan Nusselt, laju perpindahan panas dan parameter lain yang
berhubungan dengan perpindahan panas pada pernukar kalor ini dapat dihitung berdasarkan persamaan – persamaan
berikut ini:
a. Laju perpindahan panas di pipa dalam dapat dinyatakan sebagai:
.
Q h = m .C p , h .(Th ,i − Th ,o ) = Ui Ai ∆TLMTD (1)
b. Laju perpindahan panas ke air dingin di sisi annulus dapat dihitung dengan:
.
Q c = m .C p ,c .(Tc ,o − Tc ,i ) = ho . Ao .(T w ,o − Tb ,c ) (2)
dimana
i =10

Tc ,i + Tc ,o ∑T w ,i
Tb ,c = dan T w,o = i =1
(3)
2 10
c. Persentase kehilangan panas (%Qloss) dapat dihitung dengan:

Qh − Qc
% Q loss = x 100% (4)
Qh
d. Koefisien perpindahan panas menyeluruh (overall) berdasarkan luas permukaan dalam pipa dalam dapat dihitung
dengan:
Qh
Ui = (5)
Ai ∆TLMTD
dimana untuk penukar kalor dengan arah aliran fluida berlawanan arah (counter flow) nilai TLMTD dirumuskan
dengan:
∆T2 − ∆T1 ∆T1 − ∆T2
TLMTD = = (6)
ln (∆T2 ∆T1 ) ln (∆T1 ∆T2 )
dimana
T1 = (Th.i – Tc,o) dan T2 = (Th.o – Tc,i).
e. Koefisien perpindahan panas konveksi rata-rata di sisi annulus dapat dihitung dengan:
Qc
ho =
(
Ao T w,o − Tb ,c ) (7)

f. Koefisien perpindahan panas konveksi rata-rata di sisi pipa dalam dapat dihitung sebagai berikut:

25
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

1
= Rtotal
U i Ai
1 1 ln (d o d i ) 1
= + + (8)
U i . A1 hi . Ai 2k p L ho . Ao
dimana
Ai = π.di. L
Ao = π.do. L
Sehingga koefisien perpindahan panas konveksi rata-rata di sisi pipa dalam adalah sebagai berikut:
1
hi = (9)
 1 d i . ln (d o d i ) di 
 − − 
U i 2k p d o .ho 
g. Bilangan Nusselt rata-rata di pipa dalam dapat dihitung dengan:
hi .d i
Nu i = (10)
k fi

h. Penurunan tekanan (pressure drop) di pipa dalam dapat dihitung dengan:


P = ρm . g . ∆h (11)
i. Daya pemompaan (pumping power) dapat dihitung dengan:

Wpompa = V . P (12)
j. Faktor gesekan (friction factor) di pipa dalam dapat dihitung dengan:
∆P
f = (13)
 Lt   .V 2 
  
 
 d i  2 
k. Bilangan Reynolds aliran air panas di pipa dalam dapat dihitung dengan:
 .V .d i
Re = (14)

dimana sifat-sifat air panas di pipa dalam (, kfi dan ) dievaluasi pada temperatur air panas bulk rata-rata (Tb,h).
l. Rasio peningkatan perpindahan panas penukar kalor dengan penambahan sisipan (insert) dapat dihitung sebagai
berikut:
 Rasio peningkatan perpindahan panas pada daya pemompaan yang konstan adalah perbandingan koefisien
perpindahan panas konveksi rata-rata dari pipa dalam dengan penambahan sisipan dengan plain tube
dimana dapat ditulis sebagai berikut:
hs
Rasio peningkatan perpindahan panas =  = (15)
hp
pp
Faktor unjuk kerja termal dapat ditulis sebagai berikut:
 = ( Nu s Nu p ) ( f s / f p )1 3 (16)
Karakteristik perpindahan panas, faktor gesekan dan unjuk kerja termal dapat dinyatakan berturut-turut dengan
grafik hubungan antara Nu dengan Re, f dengan Re dan η dengan Re.
m. Validasi karakteristik perpindahan panas pipa dalam tanpa sisipan (plain tube) dengan menggunakan persamaan
Dittus Boelter dan Gnielinski:
 Persamaan Dittus Boelter:
Nu = 0,0265 Re4/5 Pr0,3 (17)

 Persamaan Gnielinski:
( f / 8) . (Re− 1000) . Pr
Nu = (18)
1 + 12,7 . ( f / 8)1/ 2 . (Pr 2 / 3 − 1)

26
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Persamaan Gnielinski (2.25) berlaku untuk daerah berkembang penuh (fully developed) dan berlaku untuk
nilai 0,5 ≤ Pr ≤ 2000 dan 103 < Re < 5 x 106. Pada persamaan dan (2.25) nilai faktor gesekan (f) dinyatakan
sebagai berikut:
f = (0,790 ln Re – 1,64)-2 (19)
n. Validasi karakteristik faktor gesekan pipa dalam tanpa sisipan (plain tube) dengan menggunakan persamaan
Blasius:
 Persamaan Blasius:
f = 0,3164.Re-0,25 (20)
Persamaan Blasius berlaku untuk nilai 4 x103 < Re < 105.

Hasil dan Pembahasan


Validasi Plain Tube
Pada pengujian ini korelasi empirik Gnielinski dan Dittus-Boelter digunakan sebagai validasi karakteristik
perpindahan panas plain tube. Karakteristik perpindahan panas plain tube dapat dilihat dari hubungan bilangan
Reynolds (Re) dengan bilangan Nusselt rata-rata di pipa dalam (Nui). Grafik validasi karakteristik perpindahan
panas plain tube dengan korelasi-korelasi empirik dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Grafik hubungan Re dan Nu

Diketahui bahwa penyimpangan rata-rata Nui plain tube dengan korelasi Gnielinski adalah 7,3%.
Penyimpangan rata-rata nilai Nui plain tube terhadap Gnielinski kurang dari 10%, sehingga nilai Nui plain tube
adalah valid. Untuk penyimpangan rata-rata Nui plain tube terhadap korelasi Dittus-Boelter cukup besar yaitu
18,18%, akan tetapi korelasi Dittus-Boelter mempunyai kesalahan yang besar yaitu + 25% dari nilai aktual, sehingga
Nui plain tube adalah valid (Incropera, 2011).
Korelasi empirik Blasius digunakan pada validasi karakteristik faktor gesekan untuk pengujian plain tube.
Karakteristik faktor gesekan plain tube dapat dilihat dari hubungan Reynolds (Re) dengan faktor gesekan pipa
dalam (f). Grafik validasi karakteristik faktor gesekan plain tube dengan korelasi empirik tersebut dapat dilihat pada
Gambar 4.

Gambar 4. Grafik hubungan Re dan f

Diketahui bahwa penyimpangan rata-rata faktor gesekan plain tube dengan korelasi Blasius sebesar 2,31%.
Penyimpangan rata-rata faktor gesekan plain tube terhadap korelasi Blasius kecil yaitu kurang dari +8%, oleh karena
itu nilai faktor gesekan plain tube adalah valid (Cengel, 2006).

27
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Pada pengujian ini dibuat korelasi-korelasi data eksperimen untuk bilangan Nusselt dan faktor gesekan plain
tube dengan analisis regresi non linier didapatkan sebagai berikut:
Nui = 0,007 Re0,949 Pr0,3 (21)
f = 0,590 Re-0,318 (22)
Grafik untuk persamaan (21) dan (22) berturut-turut dapat dilihat pada Gambar 4 dan 5. Rata-rata
penyimpangan korelasi bilangan Nusselt adalah 0%-4,7%, sedangkan untuk korelasi faktor gesekan sebesar 0%-
3,3%. Dengan rata-rata penyimpangan korelasi bilangan Nusselt dan faktor gesekan berturut-turut adalah +1% dan
+1,1%.

Karakteristik Perpindahan Panas


Karakteristik perpindahan panas dengan penambahan louvered strip insert susunan backward dengan variasi
nilai pitch = 40, 50 dan 60mm dapat ditunjukan dengan hubungan bilangan Reynolds (Re) dengan bilangan Nusselt
rata- rata (Nui). Karakteristik perpindahan panas penukar kalor dengan penambahan louvered strip insert tersebut
dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Grafik hubungan bilangan Re dan Nu

Gambar 5 menunjukan bahwa bilangan Nusselt rata-rata (Nui) meningkat dengan kenaikan bilangan
Reynolds untuk plain tube maupun pipa dalam dengan penambahan louverd strip insert dengan susunan backward.
Bilangan Nusselt juga meningkat dengan semakin kecil pitch, hal ini sesuai dengan penelitian dari Fan (2012). Hal
ini disebabkan karena dengan semakin kecil nilai pitch, maka kerapatan daun (louvered) pada sisipan semakin besar
atau semakin banyak, sehingga semakin memecah pola streamline dari fluida yang mengalir. Aliran diantara
elemen-elemen daun akan menghasilkan intensitas turbulensi yang lebih tinggi karena terjadi percampuran fluida
yang cepat terutama pada pitch yang semakin kecil (Mohammed, 2013). Pada gambar 5 didapatkan bahwa pada
kisaran 5.300 < Re < 17.500, nilai Nui pipa dalam dengan penambahan louvered strip insert menggunakan susunan
backward dengan nilai pitch 40, 50 dan 60 mm berturut-turut meningkat dibandingkan dengan plain tube dalam
kisaran 62,9% - 70,0%; 42.5% - 51,3%; dan 23,1% - 31,4%.

Karakteristik Faktor Gesekan


Faktor gesekan pada penukar kalor dengan penambahan louvered strip insert susunan backward dengan
variasi nilai pitch = 40, 50 dan 60mm di pipa dalam dapat ditunjukan dengan hubungan bilangan Reynolds (Re)
dengan faktor gesekan (f). Karakteristik faktor gesekan penukar kalor dengan penambahan louvered strip insert
tersebut dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Grafik hubungan Re dan f

28
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Diketahui bahwa dengan kenaikan bilangan Reynolds, nilai faktor gesekan di pipa dalam dari penukar kalor
pipa konsentrik semakin menurun. Pada gambar 7 dapat dilihat bahwa nilai faktor gesekan (f) pipa dalam semakin
berkurang seiring dengan kenaikan bilangan Reynolds. Nilai faktor gesekan pipa dalam dengan penambahan sisipan
louvered strip insert menggunakan susunan backward dengan variasi pitch 40, 50 dan 60mm lebih besar
dibandingkan dengan plain tube.
Pada pipa dalam dengan penambahan sisipan louvered strip insert menggunakan susunan backward dengan
variasi pitch (40, 50 dan 60mm), nilai faktor gesekan berkurang seiring dengan kenaikan nilai pitch, hal ini serupa
dengan penelitian Fan (2012). Hal ini disebabkan dengan semakin tinggi bilangan Reynolds, maka kecepatan aliran
air di pipa dalam akan semakin tinggi, dimana nilai faktor gesekan berbanding terbalik dengan nilai kuadrat dari
kecepatan aliran air di pipa dalam. Pada kisaran 5.300 < Re < 17.500 nilai faktor gesekan rata-rata di pipa dalam
dengan penambahan sisipan louvered strip insert menggunakan susunan backward dengan variasi pitch = 40, 50 dan
60mm berturut-turut meningkat dalam kisaran 1,86 – 2,44; 1,04 – 1,62; dan 0,58 – 0,85 kali lebih besar jika
dibandingkan faktor gesekan pada plain tube.

Karakteristik Unjuk Kerja Termal


Pengaruh nilai pitch 40, 50 dan 60mm dari louvered strip insert menggunakan susunan backward terhadap
karakteristik unjuk kerja thermal penukar kalor pipa konsentrik dapat dilihat pada gambar 8.

Gambar 8. Grafik hubungan rasio peningkatan perpindahan panas dengan bilangan Reynolds

Pada gambar 8, dapat dilihat karakteristik rasio koefisien perpindahan panas untuk pipa dalam dengan
penambahan louvered strip insert bahwa pada 2.500 < Re < 15.000 rasio koefisien perpindahan panas dari penukar
kalor dengan penambahan sisipan louvered strip insert meningkat dengan kenaikan bilangan Reynolds. Hal ini
sesuai dengan penelitian Fan (2012). Penambahan louvered strip insert akan meningkatkan rasio koefisien
perpindahan panas dari penukar kalor, semakin besar nilai pitch pada louvered strip insert akan menyebabkan
semakin kecil peningkatan laju perpindahan panas dan semakin kecil pula faktor gesekan yang terjadi. Nilai rasio
koefisien perpindahan panas rata-rata penukar kalor dengan penambahan sisipan louvered strip insert dengan variasi
pitch S = 40, 50, dan 60mm berturut-turut dalam kisaran 1,05 - 1,09; 1,06 - 1,07 dan 1,00- 1,03. Hal ini berarti
bahwa pada daya pemompaan yang sama, nilai koefisien perpindahan panas konveksi rata-rata dari pipa dalam
dengan penambahan louvered strip insert lebih besar dari nilai koefisien perpindahan panas konveksi rata-rata pada
plain tube.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengujian, dengan penambahan louvered strip insert dengan variasi pitch S = 40, 50,
dan 60mm susunan backward di pipa dalam, dapat diambil kesimpulan bahwa pengujian dengan menambahkan
louvered strip insert pada pipa dalam dapat meningkatkan perpindahan panas dibandingkan dengan plain tube.
Peningkatan perpindahan panas membuat faktor gesekan pada pipa dalam ikut meningkat. Karakteristik perpindahan
panas, faktor gesekan, dan rasio peningkatan perpindahan panas penukar kalor dengan penambahan louvered strip
insert meningkat seiring dengan penurunan nilai pitch. Pada kisaran 5500 < Re < 17.500, nilai Nui pipa dalam
berturut-turut meningkat sebesar 62,9% - 70,0%; 42.5% - 51,3%; dan 23,1% - 31,4%, nilai faktor gesekan pipa
dalam berturut-turut meningkat sebesar 1,86 – 2,44; 1,04 – 1,62; dan 0,58 – 0,85 kali lebih besar dibandingkan
dengan plain tube, dan rasio peningkatan perpindahan panas penukar kalor1,05 - 1,09; 1,06 - 1,07 dan 1,00- 1,03.

Daftar Notasi
Ac = luas penampang saluran (m2)
Ai = luas permukaan dalam pipa dalam (m2)
Ao = uas permukaan luar pipa dalam (m2)

29
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

di = diameter dalam pipa dalam (m)


do = diameter luar pipa dalam (m)
Di = diameter dalam pipa luar (m)
Do = diameter luar pipa luar (m)
D = diameter dalam pipa (m)
Dh = diameter hidrolik (m)
f = faktor gesekan
fp = faktor gesekan plain tube
hi = koefisien perpindahan panas konveksi rata-rata di pipa dalam (W/m2.oC)
ho = koefisien perpindahan panas konveksi rata-rata di annulus (W/m2.oC)
hp = koefisien perpindahan panas konveksi rata-rata di plain tube (W/m2.oC)
hs = koefisien perpindahan panas konveksi rata-rata di pipa dalam dengan sisipan (W/m2.oC)
kfi = konduktivitas termal rata-rata air panas di pipa dalam (W/m.oC)
kp = konduktivitas termal material pipa dalam (W/m.oC)
L = panjang pipa (m)
ṁc = laju aliran massa air dingin di annulus (kg/s)
ṁh = laju aliran massa air panas di pipa dalam (kg/s)
Nui = bilangan Nusselt rata-rata di pipa dalam
Nup = bilangan Nusselt rata-rata di plaintube
Nus = bilangan Nusselt rata-rata di pipa dalam dengan sisipan
Pr = bilangan Prandtl
S = pitch
Qaktual = laju perpindahan panas aktual dari penukar kalor (W)
Qc = laju perpindahan panas ke annulus (W)
Qh = laju perpindahan panas di pipa dalam (W)
Qloss = kehilangan panas konveksi di pipa dalam (W)
Qmaksimum= laju perpindahan panas maksimum yang mungkin dari penukar kalor (W)
Ui = koefisien perpindahan panas menyeluruhberdasarkan permukaan dalam pipa dalam (W/m2.oC)
Wpompa = daya pemompaan (W)
ρ = densitas air panas di pipa dalam (kg/m3)
η = unjuk kerja termal
ΔP = penurunan tekanan (Pa)
ΔTLMTD = beda temperatur rata-rata logaritmik (oC)
α = slant angle (o)

Daftar Pustaka
Cengel, Y.A., 2003, Heat Transfer: A Practical Approach, 2nd edition, McGraw–Hill, New York
Cengel, Y.A., Cimbala, J.M., 2006, Fluid Mechanics: Fundamental and Applications, 1st edition, McGraw–Hill,
New York
Dewan, A., Mahanta, P., SumithraRaju, K., Suresh Kumar, P., 2004, Review of passiveheat transfer augmentation
techniques, Proceedings of the Institution of Mechanical Engineers Part A: Journal of Power and Energy,
Vol. 218, pp. 509–527.
Eiamsa-ard, S., Pethkool, S., Thianpong, C., Promvonge, P., 2008, Turbulent flow heat transfer and pressure loss in
a double pipe heat exchanger with louvered strip inserts, International Communications in Heat and Mass
Transfer, Vol. 35, pp. 120–129
Fan, A.W., Deng, J.J., Nakayama, A., Liu, W., 2012, Parametric study on turbulent heat transfer and flow
characteristicsin a circular tube fitted with louvered strip inserts, International Journal of Heat and Mass
Transfer, Vol. 55, pp. 5205–5213
Incropera, F.P., DeWitt, D.P., 2011,Fundamentals of Heat and Mass Transfer, 7th Ed, John Willey and Sons, New
York
Mohammed, H.A., Hasan, H.A., Wahid, M.A., 2013, Heat transfer enhancement of nanofluids in a double pipe heat
exchanger withlouvered strip inserts, International Communications in Heat and Mass Transfer, Vol. 40,
pp. 36–46
Pethkool, S., Eiamsa-ard, S., Ridluan, A., and Promvonge, P., 2006, Effect of louvered strips on heat transfer in a
concentric pipe heat exchanger, The 2nd Joint International Conference on “Sustainable Energy and
Environment (SEE 2006)”, 21-23 November 2006, Bangkok, Thailand
Raut, K.R., Farkade H.S., 2014, Convective heat transfer enhancements in tube using louvered strip insert,
International Journal of Technical Research and Applications, Vol. 2, pp. 01-04

30
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

MENINGKATKAN EFISIENSI PROSES ELEKTROPLATING PERAK


DEKORATIF MENUJU UMKM YANG RAMAH LINGKUNGAN

Tri Widayatno1 dan Hamid2


1,2
Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Surakarta
Jl. A. Yani Tromol Pos 1 Pabelan Kartasura 57102 Telp 0271 717417
Email: tri.widayatno@ums.ac.id

Abstrak

Teknologi penyepuhan perak dekoratif konvensional yang digunakan dalam industri kecil dan
menengah (UMKM) terindikasi masih kurang ramah lingkungan dan tidak sustainable. Beberapa
permasalahan yang dihadapi UMKM yaitu: (a) efisiensi proses rendah, (b) kualitas produk rendah,
(c) frekuensi penggantian elektrolit tinggi, (d) limbah cair banyak, dan (e) kurang ekonomis. Tulisan
ini merupakan analisis dan evaluasi terhadap proses penyepuhan perak yang dilakukan oleh
pengrajin UMKM. Tujuan penulisan untuk memberikan solusi terhadap permasalahan terutama
dalam meningkatkan efisiensi proses dan kualitas produk. Hasil evaluasi dan analisis dibandingkan
dengan teori fundamental elektrokimia hasil kajian pustaka yang meliputi buku teks dan artikel
jurnal.Teori fundamental elektrokimia dan prinsip-prinsip dasarnya dapat diaplikasikan untuk
mencapai proses penyepuhan perak yang efisien serta ramah lingkungan. Hasil kajian dan
pengamatan menunjukkan bahwa masih banyak praktik penyepuhan perak yang belum mengikuti
prinsip dasar elektrokimia yang menyebabkan proses kurang efisien dan ekonomis. Pengelolaan
limbah yang kurang baik dan penggunaan sianida menjadi penyebab proses tidak ramah lingkungan.
Sebagai kesimpulan dan saran, berdasar prinsip dasar elektrokimia, efisiensi proses penyepuhan
perak dapat ditingkatkan dengan memperbaiki geometri reaktor/sel diantaranya luas anoda dibuat
lebih besar dari luas katoda, jarak benda kerja dengan anoda diupayakan tetap dan seragam. Adapun
proses yang ramah lingkungan bisa diupayakan dengan mengurangi konsentrasi sianida dan atau
bahkan menghilangkan penggunaan sianida

Kata kunci: penyepuhan; perak; elektroplating; elektrodeposisi; perak dekoratif

Pendahuluan
Perkembangan yang sangat pesat pada industri pelapisan logam baik yang bertujuan untuk dekoratif maupun
peningkatan ketahanan terhadap korosi terjadi di Indonesia (Ade Mawadah, 2008).Tujuan dari penggunaan logam-
logam pelapis seperti perak, nikel, dan krom adalah untuk meningkatkan kualitas permukaan dan ketahanan
terhadap korosi.Hal itu diperlukan karena logam – logam yang digunakan dalam industri dan rumah tangga (besi,
tembaga, kuningan) pada umumnya memiliki sifat mudah teroksidasi oleh udara luar (Ade Mawadah, 2008;Edi
Istiyono, 2008).Pelapisan kerajinan dari tembaga dengan logam perak untuk perhiasan imitasi merupakan salah satu
industri pelapisan logam yang cukup populer.Di berbagai wilayah di Indonesia terdapat UMKM-UMKM yang
menjalankan industri pelapisan perak ini dan tersebar di sentra-sentra industri kerajinan perhiasan imitasi.
Kecamatan Kota gede, Yogyakarta adalah salah satu daerah yang memiliki sentra industri kerajinan
perhiasan perak.Tidak kurang dari 30 industri kecil pelapisan perak ada di wilayah ini.Koperasi Perajin Perak dan
Perunggu Yogyakarta (KP3Y) wadah dari 24 diantara UMKM tersebut.UMKM di Kotagede tersebut tergolong
industri kecil masih menggunakan teknologi sederhana dan konvensional yang didapat secara turun temurun.
Teknologi yang digunakan oleh UMKM dalam proses pelapisan perak dekoratif/kerajinan adalah metode
penyepuhan atau elektroplating (Edi Istiyono, 2008).
Teknologi sederhana dan konvensional yang dipakai oleh UMKM tersebut berimplikasi pada berbagai
persoalan (Edi Istiyono, 2008)Beberapa permasalahan yang timbul adalah sebagai berikut: (a) proses tidak efisien
(Lies Susilaning Sri, Hastuti, 2012), (b) Kualitas produk yang rendah(Edi Istiyono, 2008), (c) Penggantian larutan
elektrolit setiap 2 minggu (Edi Istiyono, 2008), (d) menimbulkan limbah dalam jumlah banyak(Lies Susilaning Sri,
Hastuti, 2012), dan (e) kurang ekonomis (Edi Istiyono, 2008;Lies Susilaning Sri, Hastuti, 2012).
Merujuk kepada berbagai permasalahan di atas,evaluasi dan analisis terhadap proses elektroplating yang
dilakukan oleh Pengrajin UMKM sangat krusial untuk dilakukan. Analisis dan evaluasi proses dilakukan dengan
pengamatan langsung terhadap aktivitas penyepuhan perak olehPengrajin UMKM. Hasil pengamatan selanjutnya

31
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

dibandingkan dengan teori fundamental dan prinsip-prinsip kajian pustaka yang relevan.Penelitian ini diharapkan
dapat memberikan alternatif pemecahan masalah-masalah tersebut didasarkan pada teori dasar dan prinsip-prinsip
fundamental elektrokimia. Dengan harapan proses elektroplating/penyepuhan perak yang dilakukan oleh pengrajin
UMKM nantinya bisa lebih efisien dan ramah lingkungan.

Teori
Elektroplating: Proses elektroplating/elektrodeposisi atau juga dikenal dengan penyepuhan adalah terjadinya
reaksi reduksi ion logam terlarut (Ag+) di dalam elektrolit di permukaan elektroda (benda kerja/katoda) sehingga
logam tersebut mengendap di permukaannya. Sistem elektroplating terdiri dari catu daya, larutan elektrolit, katoda,
anoda, dan jika diperlukan ada tambahan elektroda referensi.Supaya reaksi berjalan, elektroda dihubungkan ke catu
daya (power supply) kemudian dimasukkan ke dalam elektrolit di dalam reaktor/sel elektrokimia (Gambar 2).
Elektroda referensi digunakan untuk mengukur potensial elektroda(Paunovic, M. and Schlesinger, M., 1998).

Catu Daya listrik V Electroda referensi


e- E

Anoda Katoda

e-
Mn+

M0
Elektrolit

Gambar 1 Rangkaian standar sistem elektropating (Widayatno, Tri dkk, 2015)

Reaksi reduksi pada permukaan katoda dapat berlangsung karena pergeseran potensial elektroda dari kondisi
setimbangnya disebabkan karena dorongan potensial listrik (potential driving force) dari catu daya.Perbedaan
potensial ini disebut overpotential (η). Pada saat elektroda disambungkan ke catu daya, arus listrik akan mengalir
dari katoda ke anoda. Kemudian, reaksi reduksi akan terjadi pada ion-ion logam misalnya Ln+ menjadi logam padat
yang mengendap pada permukaan katoda. Reaksi reduksi ion logam menjadi padatan logam adalah: (Paunovic, M.
and Schlesinger, M., 1998):

+ → (1)

Mekanisme proses elektrodeposisi atau elektroplating disajikan dalam Gambar 2 (Walsh, F. C. and Herron, M. E.,
1991).

Katoda Antar muka Elektrolit

Oxdn+ transfer massa


Oxdn+ Badan larutan
adsorpsi

Oxdn+(permukaan)

e-
TransferElectron

Red (permukaan)

Nukleasidanpertumb
uhan

Red (permukaan)

Gambar 2 Mekanisme proses elektroplating

32
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Berdasar Gambar 2, proses elektroplating sangat dipengaruhi oleh (1) geometri sel elektrokimia, (2) pH dan
konduktivitas larutan elektrolit dan konduktivitas elektroda, (3) kinetika reaksi elektrokimia di permukaan elektroda,
dan (4) transfer masa ion-ion yang bereaksi(Widayatno, Tri, 2016). Sehingga supaya proses electroplating dapat
berjalan dengan baik, keempat faktor tersebut harus diperhitungkan dan dicari yang paling optimum.
Kinetika Reaksi Elektrokimia: Overpotensial (η) sebagai gaya pendorong (driving force) untuk
keberlangsungan reaksi reduksi dapat dihitung dengan persamaan berikut (Bard, A. J. and Faulkner, L. R., 2001):
= − (3)
Dengan E adalah potensial elektroda aktual.
Persamaan Botler-Volmer menyatakan pengaruh overpotensial (η) terhadap rapat arus (j) dalam proses
elektroplating (Bard, A. J. and Faulkner, L. R., 2001).

= − (4)

Dengan j0= exchange current density, j = densitas arus (mA/cm2), α = koefisien transfer.
Jika overpotensial sangat besar, persamaan Botler-Volmer bisa sederhanakan menjadi Tafel Plot (5) (Bard,
A. J. and Faulkner, L. R., 2001).

= − (5)

ln =− (6)

= ln − ln (7)
. .
= log − log (8)

Persamaan Tafel bisa dinyatakan dengan grafik di Gambar 3 untuk menentukan parameter-parameter
elektrokimia yang berpengaruh sebagai berikut:

Gambar 3 Tafel Plotuntuk kurva overpotensial – rapat arus pada anoda dan katodauntuk reaksi О + e - → R jika α = 0.5,T = 298
K, and j0 = 10-6 A/cm2(Bard, A. J. and Faulkner, L. R., 2001).

Kinetika kecepatan reaksi reduksi dalam proses elektroplating ditunjukkan oleh parameter rapat arus (j).
Kondisi operasi yang optimum untuk elektroplating perak yang berupa potensial dan rapat arus dapat ditentukan jika
hubungan overpotensial dan rapat arus diketahui melalui kurva polarisasi.

Termodinamika Reaksi Elektrokimia: Reaksi elektroplating berdasar prinsip termodinamika dipengaruhi


oleh potensial standar (E0) yang berhubungan dengan pH dalam kesetimbangan termodinamika.Potensial standar
adalah potensial sebuah reaksi yang terjadi di elektroda yang ditentukan pada keadaan standar dan pada kondisi
setimbang.Sebagai acuan pengukuran potensial standar digunakan elektroda hidrogen standar [9].
Potensial elektroda pada kondisi yang tidak standar dapat ditentukan sebagai potensial setimbang (Ee)
menggunakan persamaan Nernst’s (2)(Bard, A. J. and Faulkner, L. R., 2001)

33
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

= + (2)
0
Dengan Ee = potensial setimbang, E = potensial standar elektroda, R = konstanta gas umum, T= suhu sistem
(K), n = jumlah elektron yang ditransfer, F = Konstanta Faraday, aOxd = aktivitas pereaksi ion logam, aRed = aktivitas
produk (logam).
Diagram Pourbaix menunjukkan efek pH dan potensial elektroda standar terhadap termodinamika
kesetimbangan reaksi. Range pH elektrolit yang sesuai dapat ditentukan dengan menggunakan diagram tersebut
untuk mencapai reaksi elektrodeposisi logam yang didinginkan(Pourbaix, M., 1974).
Elektroplating Perak: Elektrodeposisi perak dekoratif pada umumnya dilakukan untuk mendapatkan lapisan
perak yang tampak gemerlap (bright) dan menarik pada perhiasan imitasi. Pada umumnya, komposisi elektrolit yang
digunakan secara komersial masih berbasis sianida seperti disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi larutan elektrolit dan kondisi operasi untuk electroplating perak dekoratif
(Schlesinger, M. and Paunovic, M., 2010; Chicago Metal Finishers Institute, 2002)
Konsentrasi
No Komponen
(g/l)
1 Ag (logam) 20 – 45
2 AgCN 31 – 55
3 KCN (total) 50 – 80
4 KCN (bebas) 35 – 50
5 K2 CO3 15 – 90
6 Densitas Arus (A/dm2) 0,5 – 1,5/1,5 - 3
7 Voltase (V) 4–6
8 Temperatur (oC) 20 - 28
9 Anoda Perak murni

Kualitas lapisan perak hasil elektroplating terlihat dari morfologi dan ketebalan lapisan yang seragam.Hal ini
sangat dipengaruhi oleh distribusi rapat arus listrik(Widayatno, 2016). Ketebalan lapisan perak tidak akan seragam
jika densitas arus tidak terdistribusi dengan baik. Oleh karena itu, desain sebuah system elektroplating sangat
penting supaya rapat arus dapat terdistribusi dengan baik sehingga ketebalan yang seragam dapat
dicapai(Widayatno, 2016). Hal ini juga menjanjikan proses yang berbiaya murah dan sangat efisien. Salah satu
faktor penting untuk mencapai distribusi arus yang seragam adalah geometri sel elektroplating, yang juga termasuk
penempatan dan jarak antara anoda dan katoda (Widayatno, 2016; Widayatno and Roy, 2014 ).

Metodologi Penelitian
Penelitian yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi proses elektroplating perak dekoratif menuju UMKM
yang ramah lingkunganini dilakukan dalam beberapa tahap.
1. Penelitian in situ dilakukan langsung di tempat pengrajin menggunakan alat dan proses penyepuhan perak
yang digunakan oleh pengrajin tradisional saat ini. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data tentang kondisi
operasi elektroplating seperti voltase dan arus listrik yang digunakan.Reaktor atau sel elektrokimia yang digunakan
juga diamati, termasuk bentuk geometri, luas elektroda, jarak elektroda, dan posisi atau penempatan elektroda yang
dapat menghasilkan produk yang diinginkan.Observasi juga dilakukan terhadap komposisi dan konsentrasi larutan
elektrolit yang digunakan serta seberapa sering penambahan dan penggantian elektrolitnya.
2.Tahap berikutnya adalah mengkaji teori dasar dan fundamental elektrokimia. Kajian ini dilakukan melalui
buku-buku teks standar di bidang elektrokimia. Tujuan dari tahap ini adalah mengumpulkan data dan informasi
berkaitan dengan prinsip-prinsip dan konsep dasar proses elektroplating yang efisien dan yang dapat digunakan
untuk menyelesaikan persoalan yang ditemui pada tahap 1.Informasi yang dibutuhkan diantaranya komposisi dan
konsentrasi larutan elektrolit, komposisi dan konsentrasi elektrolit, kondisi operasi voltase dan arus listrik yang
digunakan.
3.Kajian berikutnya dilakukan terhadap artikel-artikel jurnal nasional dan internasional yang menyajikan
hasil penelitian proses penyepuhan perak. Tahap ini bertujuan untuk menggali informasi dan rekomendasi dari para
peneliti berdasarkan hasil temuan mereka.Informasi dan rekomendasi dapat berupa komposisi dan konsentrasi
elektrolit, kondisi operasi yang optimum, geometri reaktor yang efektif dan efisien.
4.Kesimpulan dan saran bisa ditarik dari hasil kajian dari tahap 1-3, sehingga proses penyepuhan perak pada
industri kecil dapat ditingkatkan.

Hasil dan Pembahasan


Hasil penelitian di tempat pengrajin menunjukkan bahwa proses penyepuhan yang dilakukan oleh pengrajin
tradisional dan konvensional hanya bisa dijalankan dalam larutan elektrolit yang tidak diketahui secara pasti
konsentrasinya dan dengan arus dan tegangan listrik yang tidak terkontrol dengan baik. Parameter yang digunakan

34
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

untuk menentukan proses berjalan dengan baik hanya perasaan saja. Sehingga secara kebetulan produk yang
dihasilkan bisa baik tetapi terkadang hasilnya tidak sesuai harapan. Jika tidak sesuai harapan, proses electroplating
harus dimulai dari awal. Penentuan kondisi operasi proses hanya didasarkan pertimbangan asal produk dapat
diperoleh. Pertimbangan dalam memilih kondisi operasi tidak memperhitungkan prinsip-prinsip dasar elektrokimia
yang efisien dan optimum.
Reaktor/sel elektrokimia tempat dilakukannya proses elektroplating juga masih sederhana. Reaktor belum
didesain secara baik dengan mempertimbangkan geometri yang optimum. Padahal geometri reaktor sangat
menentukan kualitas hasil sepuhan dan efisiensi proses.
Disamping itu, proses elektroplating konvensional yang dipakai pengrajin UMKM saat ini masih
menggunakan larutan elektrolit berbasis sianida. Kandungan sianida didalam elektrolit jika terbuang ke lingkungan
akan sangat berbahaya. Hal ini disebabkan oleh sianida yang merupakan bahan sangat beracun jika mencemari
lingkungan dan akan membahayakan kehidupan manusia .
Hasil penelitian in situ dan pengamatan terhadap proses penyepuhan yang dilakukan oleh pengrajin saat ini
disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil pengamatan proses penyepuhan perak oleh UMKM saat ini
Hasil/
No Parameter
keterangan
1 Voltase 30 V (dibuat tetap)
2 Arus listrik Tidak diketahui/tidak dimonitor
3 Geometri Sederhana (Gambar 1)
4 Luas elektroda katoda lebih besar dari Anoda
5 Jarak Elektroda Berubah-ubah, digerakkan operator
6 Posisi elektroda Berubah-ubah, digerakkan operator
7 Jenis elektroda Anoda: stainless steel, Katoda: benda kerja (tembaga)
Komposisi Larutan Awal pembuatan sesuai standar, setelahnya tidak
8
diketahui, dengan kandungan sianida tinggi
Awal pembuatan sesuai standar, setelahnya tidak
9 Konsentrasi
diketahui dengan kandungan sianida tinggi
10 Penggantian/penambahan larutan Berdasar perasaan operator
11 Metode Potensiostatis

Tabel 2 menunjukkan bahwa proses elektroplating perak oleh UMKM dilakukan dengan carapotentiostatic.
Proses dijalankan dengan menggunakan voltase tertentu (30 V) dan dijaga tetap. Sedangkan arus listrik yang
dialirkan tidak dikontrol dan tidak pula dimonitor. Reaktor dibuat dari peralatan sederhana seperti boks plastik atau
ember. Seperti terlihat pada Gambar 4

Gambar 4.Reaktor/Sel elektrokimia penyepuhan perak oleh UMKM


Gambar 4 menunjukkan bahwa reaktor yang digunakan cukup sederhana.Hal ini berimplikasi pada
penempatan dan jarak elektroda yang berubah ubah.Adapun elektroda yang digunakan adalah stainless steel sebagai
anoda dan benda kerja (tembaga) sebagai katoda. Luas permukaan benda kerja biasanya lebih besar dari luas
permukaan anoda yang dipakai.Adapun proses elektroplating perak dekoratif yang direkomendasikan berdasar
kajian literatur dapat diringkas dalam Tabel 3.
Dengan membandingkan Tabel 2 dan 3, proses elektroplating yang dilakukan oleh UMKM saat ini masih
memiliki banyak ruang untuk perbaikan. Proses tradisional konvensional sedikit demi sedikit harus ditingkatkan dan
disesuaikan dengan prinsip-prinsip fundamental proses elektrokimia adalah geometri sel, ukuran anoda, proses

35
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

galvanostatis, jarak elektroda, posisi elektroda, komposisi dan konsentrasi elektrolit. Dengan begitu proses akan
lebih efisien untuk menggapai UMKM perak dekoratif lebih ramah lingkungan.

Tabel 3.Proses penyepuhan perak hasil penelusuran literatur


Hasil/
No Parameter
keterangan
1 Voltase 4 – 6V
2 Arus listrik/densitas arus listrik 0,5 – 1,5 atau 1,5 – 3 A/dm2
3 Geometri Mempertimbangkan distribusi arus yang merata
4 Luas elektroda Luas permukaan anoda harus lebih besar dari katoda
5 Jarak Elektroda Relatif tetap
6 Posisi elektroda Relatif tetap
7 Jenis elektroda Anoda: perak murni, Katoda: benda kerja (tembaga berlapis nikel)
8 Komposisi Larutan Sesuai standar dan senantiasa dimonitor
9 Konsentrasi sesuai standar, dan dimonitor
10 Penggantian/penambahan larutan Berdasar perhitungan yang cermat
11 Metode Galvanostatis

Kesimpulan
Efisiensi Proses elektroplating perak dekoratif bisa ditingkatkan dengan melalui evaluasi dan analisis
menyeluruh terhadap praktik yang dilakukan oleh para pengrajin. Hal-hal yang harusdisesuaikan dengan prinsip-
prinsip fundamental proses elektrokimia adalah geometri sel, ukuran anoda, proses galvanostatis, jarak elektroda,
posisi elektroda, komposisi dan konsentrasi elektrolit.

Daftar Pustaka
Ade Mawadah, (2008), Desain Sistem Elektrodeposisi untuk Sumber Radioaktif, Skripsi, Program Studi Fisika,
Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. diakses online di
http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/15695/2/ADE%20MAWADAH-FST.pdf
Bard, A. J. and Faulkner, L. R., (2001) Electrochemical Methods: Fundamentals and Applications, 2nd edition, 22 –
43, John Wiley and Sons, Inc.
Chicago Metal Finishers Institute, 2002, Non-Cyanide Silver As a Substitute For Cyanide Processes, WMRC
Reports, The Illinois Waste Management and Research Center
Edi Istiyono, R Yosi Aprian Sari, dan Banu Setyo Adi, 2008, Pengelolaan Limbah Industri Penyepuhan Logam
Perak, Inoteks, Volume 12 No. 2. Diakses online (27/04/2014) dengan alamat website:
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/132048515/6_Inoteks_Elektroplating.pdf
Lies Susilaning Sri, Hastuti (2012) Kajian Penerapan Produksi Bersih Di Ukm Pelapisan Emas/ Perak Untuk
Perhiasan Imitasi. In: Seminar Nasional Teknik Kimia Soebardjo Brotohardjono IX "Pengelolaan Sumber
Daya Alam Ramah Lingkungan Berbasis Efisiensi Energi, 21 Juni 2012, Surabaya. Diakses online
(27/04/2014) di http://eprints.upnjatim.ac.id/4147/1/C3.pdf
Paunovic, M. and Schlesinger, M., (1998) Fundamentals of Electrochemical Fabrication, John Wiley & Sons, Inc.
New York.
Pourbaix, M., (1974), Atlas of Electrochemical Equilibria in Aqueous Solution, 2nd English Edition, Houston Tech.
National Association of Corrosion Engineering, p. 331-341.
Schlesinger, M. and Paunovic, M., (2010), Modern Electroplating, 5th Edition, p. 131-138, Electrochemical Society
Series, John Wiley and Sons, Inc. New York
Walsh, F. C. and Herron, M. E., (1991), Electrocrystallization and electrochemical control of crystal growth:
fundamental considerations and electrodeposition of metals, J. Phys. D: Appl. Phys. 24 217
Widayatno, Tri, (2016), Modelling and Simulation of Current Distribution of Nickel Electrodeposition from Low
Electrolyte Concentration at A Narrow Interelectrode Gap, ARPN JEAS Vol. 11 No. 8 Pp. 5183
Widayatno, T. and S. Roy, (2011), Electrodeposition of Nickel Pattern without Photolithography of Substrates,
Proceeding of GPE2011 - 3rd International Congress on Green Process Engineering, Kuala Lumpur,
Malaysia.
Widayatno, T. and Sudipta Roy, (2014), Nickel Electrodeposition using Enface, Journal of Applied
Electrochemistry, DOI 10.1007/s10800-014-0686-y. Diakses online (27/04/2014) di
http://link.springer.com/article/10.1007%2Fs10800-014-0686-y#page-1

36
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

PEMANFAATAN LIMBAH AMPAS PATI AREN MENJADI BIOETANOL


SECARA ENZIMATIS METODE KONVENSIONAL DAN SSF
(Simultaneous of saccarification and fermentation)

Dewi Astuti Herawati1, Evelyta Kusumawardhani2, Nony Puspawati3


1,2
Program Studi S1 Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Setia Budi
3
Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Setia Budi
Jl. Let Jend Sutoyo , Mojosongo , Surakarta Telp 0271(852518)
Email: dewitkusb@yahoo.com (email penulis utama)

Abstrak

Telah dilakukan Penelitian dalam menentukan perbandingan penambahan enzim selulase dari
A.niger dan Trichoderma sp yang optimum dan waktu optimum hidrolisis selulosa ampas pati aren
menjadi glukosa, fermentasi glukosa menjadi bioethanol dengan metode konvensional dan metode
SSF (Simultaneous of saccarification and fermentation).Metode konvensional dilakukan dengan
menghidrolisis selulosa menjadi glukosa, dilanjutkan fermentasi glukosa menjadi bioetanol. Metode
SSF berlangsungnya reaksi hidrolisis dan fermentasi secara simultan. Sampel sebanyak 5 gram
ditambahkan larutan buffer acetat pH 5 serta campuran enzim selulase dari A. Niger dan
Trichoderma sp dengan perbandingan (0:1), (1:0), (1:1), (1:2), dan (2:1) v/v untuk memperoleh
glukosa. Selanjutnya ditambahkan ragi kering untuk memproduksi bioetanol. Berdasarkan hasil
penelitian, perbandingan penambahan enzim selulase dari A.niger dan Trichoderma sp optimum pada
hidrolisis selulosa menjadi glukosa adalah 1:2 (V/V) dan waktu optimum 3 hari menghasilkan
glukosa 7,6914. Metode SSF membutuhkan waktu fermentasi 3 hari dengan kadar bioethanol
4,3139%. Metode konvensional membutuhkan waktu lebih lama . Metode paling baik adalah dengan
menggunakan metode SSF dengan lama fermentasi 3 hari.

Kata Kunci : ampas pati aren; glukosa; bioethanol

Pendahuluan
Bioetanol dapat diproduksi dari bahan baku yang mengandung selulosa. Limbah ampas pati aren diketahui
banyak mengandung serat kasar. Serat kasar tersebut tersusun atas senyawa lignoselulosa (senyawa kompleks lignin,
selulosa, dan hemiselulosa).Produksi bioetanol dimulai dari delignifikasi, hidrolisis, dan fermentasi. Delignifikasi
bertujuan untuk menghilangkan lignin. Hidrolisis bertujuan untuk menghasilkan gula dari degradasi selulosa.
Fermentasi mengubah gula menjadi bioethanol. Delignifikasi dilakukan dengan metode fisika-kimia, dipanaskan
pada suhu 121oC selama 30 menit dengan asam sulfat 2,5% (Permatasari dkk., 2013). Berdasarkan penelitian
sebelumnya, suhu 121oC merupakan suhu optimum untuk delignifikasi (Singh & Bishnoi, 2012). Penggunaan asam
dengan konsentrasi rendah karena lignin lebih mudah terurai oleh asam dan mencegah selulosa ikut terdegradasi
dalam proses delignifikasi.
Hidrolisis enzimatis memerlukan enzim selulase hasil mikrobia seperti fungi (jamur), bakteri, dan protozoa.
Hidrolisis secara enzimatik dapat dilakukan pada suhu kamar, meskipun yield yang diperoleh cukup tinggi, tetapi
harga enzim selulase komersial mahal. Enzim selulase komersial pada umumnya dihasilkan oleh jamur Aspergillus
dan Trichoderma (Wang, 2008).
Trichoderma sp dan A. Niger secara kultur tunggal sering digunakan dalam pengolahan pakan karena
kemampuannya dalam degradasi selulosa maupun pati menjadi protein. Trichoderma sp menghasilkan enzim
selulolitik yaitu endoglukanase dan eksoglukanase yang berperan untuk menghidrolisis selulosa. A.niger tidak hanya
menghasilkan enzim selulolitik, tetapi juga enzim amilolitik seperti amylase dan glukoamilase (Ratana phadit, et al.,
2010). A. Niger juga menghasilkan enzim ß-glukosidase yang kuat dimana enzim ini berperan untuk mempercepat
konversi selobiosa manjadi glukosa (Juhasz, et al., 2003). Pengubahan glukosa menjadi bioetanol dapat dilakukan
dengan cara fermentasi menggunakan ragi kering di dalamnya terdapat S. cereviseae. Penggunaan S. cerevisiae
dalam produksi bioetanol secara fermentasi telah banyak dikembangkan di beberapa negara, seperti Brasil, Afrika
Selatan, dan Amerika Serikat. Hal ini disebabkan karena S. cerevisiae dapat memproduksi bioetanol dalam jumlah
besar dan mempunyai toleransi terhadap bioetanol yang tinggi.

37
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Pembuatan bioetanol yang sering digunakan adalah metode konvensional. Metode konvensional adalah proses
hidrolisis dan fermentasi terjadi secara terpisah. Metode SSF (Simultaneous of saccarification and fermentation)
yaitu gabungan dari dua reaksi hidrolisis dan fermentasi berlangsung secara simultan.
Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan perbandingan penambahan enzim selulase dari A.niger dan
Trichoderma sp yang optimum dalam hidrolisis selulosa menjadi glukosa. Menentukan waktu optimum yang
dibutuhkan dalam hidrolisis selulosa menjadi glukosa. Menentukankan metode yang paling baik dalam pembuatan
bioetanol.

Limbah Ampas Pati Aren


Industri tepung aren di Desa Daleman, Kecamatan Tulung, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah terdapat 137
pengrajin dengan hasil produksi berupa pati aren (onggok) rata-rata 200 ton /tahun. Pengolahan pati aren
menghasilkan beberapa komponen :
Tabel 1 Komponen hasil pengolahan aren
Limbah Ampas Pati
Komposisi (%)
Aren
Air 7,87
Lignin 14,21
Selulosa 60,61
Hemiselulosa 15,74
Glukosa Reduksi 0,5689
Lain-lain 1,00

Sumber : (Purnavita & Sriyana, 2013)


Selulosa dan hemiselulosa terikat dengan lignin membentuk kompleks lignoselulosa. Selulosa dan
hemiselulosa dapat dikonversi menjadi bioetanol, tetapi lignin tidak dapat dikonversi menjadi bioetanol
(Toharisman, 2008). Perlakuan pendahuluan (pretreatment) perlu dilakukan untuk membuka ikatan rantai polimer
atau selulosa dan hemiselulosa yang biasa disebut dengan proses lignifikasi.

Produksi Bioetanol
Bioetanol (C2H5OH) adalah cairan biokimia hasil fermentasi glukosa dari sumber karbohidrat menggunakan
bantuan mikroorganisme. Produksi bioetanol pada umumnya menggunakan metode fermentasi dan distilasi. Bahan
baku pembuatan bioetanol adalah nira berglukosa (sukrosa): nira tebu, nira nipah, nira sorgum manis, nira kelapa,
nira aren, nira siwalan, sari buah mete; bahan berpati: tepung-tepung sorgum biji, sagu, singkong, ubi jalar,
ganyong, garut, umbi dahlia; bahan berselulosa (lignoselulosa): kayu, jerami, batang pisang, bagas dan lain-lain.
Beberapa metode dalam memproduksi bioethanol, diantaranya adalah metode konvensional dan metode SSF.
Metode konvensional dilakukan dengan cara menghidrolisis sellulosa menjadi glukosa menggunakan enzim selulase
dihasilkan oleh jamur A.niger dan Trichoderma sp, kemudian menfermentasikan glukosa dengan menambahkan ragi
kering yang mengandung Saccharomyces cereviseae menjadi bioethanol. Metode SSF (Simultaneous of
saccarification and fermentation) adalah gabungan dari reaksi hidrolisis dan fermentasi yang dilakukan secara
simultan menggunakan campuran beberapa enzim (Ferreira, et al., 2010).

Peranan Jamur dan ragi


Keberadaan jamur yang dapat mendegradasi selulosa menjadi glukosa merupakan potensi yang sangat besar
dalam menyediakan substrat glukosa untuk menghasilkan bioetanol dari bahan baku serat . Trichoderma sp. dan A.
Niger adalah jamur yang menghasilkan enzim ekstrasel yang mengandung selulase, sehingga diharapkan di masa
depan dapat digunakan dalam penyediaan glukosa untuk bahan baku produksi bioetanol.
Enzim selulase diperoleh dari campuran enzim endoglukanase, eksoglukanase dan β-glukosidase. Enzim
selulase dapat diproduksi oleh jamur, bakteri, tumbuhan, dan ruminansia. Salah satu mikroorganisme utama yang
dapat memproduksi enzim selulase adalah jamur. Jamur berfilamen seperti Trichoderma dan Aspergillus adalah
penghasil enzim selulase dan crude enzyme secara komersial (Haq, et al., 2005).
Trichoderma sp. menghasilkan endoglukanase dan eksoglukanase sampai 80% tetapi β-glukosidasenya lebih
rendah sehingga produk utama hidrolisisnya bukan glukosa melainkan selobiosa (Ahmed dan Vermette, 2008;
Martins,et al., 2008) yang merupakan inhibitor kuat terhadap endoglukanase dan eksoglukanase. Suhu optimum
untuk tumbuhnya Trichoderma berbeda-beda setiap spesiesnya. kisarannya sekitar 7 °C – 41 °C. Trichoderma
bertumbuh cepat pada suhu 25-30 °C, namun pada suhu 35 °C tidak dapat tumbuh. Perbedaan suhu memengaruhi

38
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

produksi beberapa enzim seperti karboksimetilselulase dan xilanase. Kemampuan merespon kondisi pH dan
kandungan CO2 juga bervariasi. Pada umumnya apabila kandungan CO2 meningkat maka kondisi pH untuk
pertumbuhan akan bergeser menjadi semakin basa. Di udara, pH optimum bagi Trichoderma berkisar antara 3-7.
Faktor lain yang mempengaruhi pertumbuhan Trichoderma adalah kelembaban, sedangkan kandungan garam tidak
terlalu berpengaruh pada pertumbuhannya. Penambahan HCO3- dapat menghambat mekanisme kerja Trichoderma
(Samuels GJ, 2010), (Danielson RM, 2002).
A. Niger berwarna dasar putih atau kuning dengan lapisan konidiospora tebal berwarna coklat gelap sampai
hitam (Madigan MT, 2006). A. Niger tumbuh optimum pada suhu 35-37 °C, suhu minimum 6-8 °C, dan suhu
maksimum 45-47 °C. Pertumbuhan A Niger memerlukan oksigen yang cukup (aerobik). A. Niger menghasilkan β-
glukosidase tinggi akan tetapi endo-β-1, 4-glukanase dan ekso-β-1,4 glukanasenya rendah (Juhasz, et al., 2003).
Sehingga diperlukan adanya penambahan β-glukosidase dari luar untuk mempercepat konversi selobiosa menjadi
glukosa dengan cara mengkombinasikan enzim selulase dari Trichoderma sp. dan A. Niger.
Saccharomyces cereviseae adalah yeast khusus yang biasa dikenal sebagai ragi roti umumnya digunakan
untuk fermentasi glukosa menjadi bioetanol. Menurut teori 100 g glukosa akan menghasilkan 51,4 g bioetanol dan
48,8 g C, tetapi dalam praktek tidak dapat 100% karena sebagian glukosa juga digunakan untuk pertumbuhan
mikroorganisme (Badger, 2002).

Metodologi Penelitian
Alat dan Bahan
Alat penelitian meliputi : autoclave,alat penggilingan, ayakan 40 mesh, centrifuge, hotplate, neraca analitik,
oven, peralatan gelas, thermometer spektrofotometer UV-Vis genesis, dan kromatografi gas. Bahan yang diperlukan
adalah : limbah ampas pati aren, A. Niger, Trichoderma sp, H2SO4, PDA, larutan nutrisi (urea, (NH4)2SO4, KH2PO4,
MgSO4.7H2O,CaCl.H2O), Tween 0,1 %, Reagen nelson A dan B, glukosa p.a, heksan, dan etanol p.a

Cara Pengambilan Sampel


Pengambilan sampel dilakukan dengan mencampurkan ampas pati aren yang dihasilkan pada produksi pati
aren selama satu minggu, kemudian dicuci, dikeringkan dan digiling secara bersamaan.

Prosedur Penelitian
Prosedur yang dilakukan adalah :
a. Metode Konvensional
1. Persiapan bahan baku. Mencuci limbah padat yang telah diperoleh, menjemurnya hingga kering,
selanjutnya digiling dan diayak dengan ayakan 40 mesh. Proses delignifikasi. Menimbang bahan baku yang
sudah siap pakai sebanyak 25 g dimasukkan dalam erlenmeyer 500 mL ditambahkan 400 mL asam sulfat
2,5%. Memanaskan pada suhu 121oC selama 30 menit. Dinetralkan sampai pH 5 kemudian dikeringkan.
2. Membuat larutan nutrisi untuk A.niger dan Trichoderma sp. yang digunakan pada tahap produksi enzim
selulase. Melarutkan urea (3 g/L), (NH4)2SO4 (10 g/L), KH2PO4(3 g/L), MgSO4.7H2O (0,5 g/L),
CaCl.H2O(0,5 g/L) dengan 1 liter akuades (Singhania, et al., 2006). Mengukur pH awal dan diatur hingga
pH 5 untuk A.niger (Harfinda, 2011) maupun Trichoderma sp. (Sukardati, dkk., 2010).
3. Memproduksi enzim selulase dari A.niger dan Trichoderma sp. Menimbang 10 gram sampel yang telah
melalui tahap delignifikasi, dimasukan ke dalam Erlenmeyer 500 mL dan menambahkan 100 mL larutan
nutrisi kemudian ditutup. Mensterilisasi campuran dengan autoclave pada suhu 121oC selama 15 menit
kemudian didinginkan. Masing-masing bibit A.niger dan Trichoderma sp. diinokulasikan pada media.
Trichoderma sp. dan A.niger diinkubasi selama 14 hari pada suhu ruang.
4. Menuangkan 100 mL larutan 0,1% tween 80 ke dalam limbah padat pati aren yang sudah difermentasi dan
diaduk pada 100 rpm selama 120 menit pada suhu ruang. Larutan kemudian disentrifugasi pada 3000 rpm
selama 10 menit. Supernatan yang diperoleh digunakan sebagai ekstrak enzim kasar (Szendefy, et al.,
2006).
5. Uji aktivitas enzim metode fenol-sulfat Sebanyak 1 mL buffer Na-sitrat 0,05 M pH 4,8 dan satu strip kertas
saring whatman no 1 ukuran 1x6 cm dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Larutan dipanaskan pada suhu
50oC selama beberapa saat. Masing-masing ekstrak enzim kasar dari A.niger dan T.sp dimasukkan ke
dalam tabung reaksi sebanyak 0,5 mL, larutan dipanaskan pada suhu 50oC selama 1 jam, kemudian diambil
kertas saring dari tabung reaksi (Adney & Baker, 1996). Selanjutnya ditambahkan 0,5 mL larutan fenol 5%
dan 2,5 m; H2SO4 pekat kemudian dihomogenkan. Larutan dilakukan pengenceran dengan penambahan
buffer Na-sitrat. Diukur absorbansi pada panjang gelombang 495 nm (Dubois, et al., 1956). Aktivitas enzim
selulase dihitung dengan persamaan (Kamila, 2003).
Aktivitas enzim selulase (U/mL) =
Keterangan:G = glukosa yang dihasilkan, Fp = Faktor pengenceran, t = waktu inkubasi.

39
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

konsentrasi glukosa yang didapat diplot pada persamaan kurva kalibrasi.


6. Proses Hidrolisis. Enzim selulase dari A.niger dan Trichoderma sp. dicampur berdasarkan variasi 0:1, 1:2,
1:1, 2:1,1:0 berdasarkan U/mL aktivitas enzim, dimasukkan ke dalam erlenmeyer berisi 5 g sampel yang
telah melalui tahap delignifikasi dan ditambahkan buffer hingga volumenya 150 mL, kemudian diaduk.
Setelah itu dianalisis kadar glukosa setiap 24 jam sampai kadar glukosanya mulai turun (Anwar, et al.,
2011).
7. Produksi Bioetanol. Pada waktu produksi glukosa dengan kadar tertinggi ke dalam erlenmeyer yang
digunakan pada proses hidrolisis ditambahkan ragi roti sebagai fermentornya. Ragi roti ditetapkan
konsentrasinya sebesar 0,8% (w/v) (Kusmiati & Arifin, 2010).
b. Metode SSF (Simultaneous of saccarification and fermentation)
1. Menimbang 5 gram sampel yang telah didelignifikasi dimasukan ke dalam erlenmayer 500 mL,
ditambahkan larutan nutrisi steril sebanyak 150 mL. Menginokulasikan A. Niger, Trichoderma sp., dan
ragi roti secara bersamaan dengan proses aseptis. Ragi roti ditetapkan konsentrasinya sebesar 0,8% (w/v)
(Kusmiati & Arifin, 2010).
2. Menganalisis kadar glukosa cara spektrofotometri metode Nelson-Somogyi (AOAC,1990) dan bioetanol
yang diperoleh dengan kromatografi gas.
Hasil dan Pembahasan
Pretreatment dan Delignifikasi
Proses pretreatment dilakukan untuk mengkondisikan bahan-bahan lignosellulosa baik dari segi struktur dan
ukuran. Proses perlakuan awal dilakukan karena beberapa faktor seperti kandungan lignin, ukuran partikel serta
kemampuan hidrolisis dari selulosa dan hemiselulosa. Proses pretreatment meliputi: perlakuan secara fisik, fisik-
kimiawi, kimiawi dan enzimatik (Mosier et al., 2005; Sun and Cheng, 2002).
Delignifikasi pada penelitian ini menggunakan metode semikimiawi, yaitu dengan menggunakan delignifikator
kimia dan di autoclave pada suhu tinggi secara fisik. Bagian limbah yang diambil adalah campuran serat dan ampas.
Limbah padat dicuci, dijemur, dan digiling untuk mengoptimalkan penghancuran lignin. Proses ini juga termasuk
salah satu cara delignifikasi, yaitu secara fisika.
Sampel yang telah menjadi serbuk, didelignifikasi dengan H2SO4 serta dipanaskan pada autoclave dengan suhu
121oC. Berdasarkan penelitian sebelumnya, suhu 121oC merupakan suhu optimum untuk delignifikasi (Singh &
Bishnoi, 2012), jika suhu lebih rendah lignin belum terurai dan masih melindungi selulosa sehingga selulosa masih
sulit untuk diakses. Sementara pada suhu yang terlalu tinggi menyebabkan kemungkinan selulosa terdegradasi lebih
banyak karena pada suhu ini lignin telah habis terlarut sehingga delignifikator yang tersisa akan mendegradasi
selulosa (Permatasari, dkk., 2013). Berdasarkan penelitian Oktaveni (2008) pada proses pemasakan dengan waktu
yang sebentar (kurang dari 30 menit), delignifikator hanya dapat mendegradasi lignin diantara sel – sel kayu
sementara lignin yang berada pada dinding sel kayu baru terlarut setelah waktu pemasakan ditingkatkan.

Produksi Enzim Selulase


Produktivitas enzim didefinisikan sebagai aktifitas enzim per mL per hari. Enzim selulase merupakan enzim
ekstraseluler yang diproduksi di luar sel mikroorganisme selulolitik. Interaksi antara substrat selulosa (S) dan enzim
selulase (E) akan membentuk kompleks enzim substrat (ES) dan menghasilkan glukosa (P).
Enzim selulase diekstraksi menggunakan 100 mL larutan tween 80 0,1% (Szendefy, dkk., 2006). Tween 80
(polioksi etilen sorbitan mono-oleat) merupakan surfaktan non ionik. Sifatnya sebagai surfaktan dapat menurunkan
tegangan permukaan antara air dan spora karena spora dari A.niger dan Trichoderma sp tidak larut dalam air
(Jayashree & Vasudevan, 2009). Tween 80 dapat meningkatkan permeabilitas dinding sel atau kemampuan keluar
masuknya air dan larutan melalui dinding sel sehingga proses keluarnya enzim dari dinding sel menjadi lebih
mudah. Selain itu penggunaan tween 80 tidak mempengaruhi pH dari ekstrak enzim kasar karena bersifat non ionik.
Satu unit aktivitas enzim setara dengan satu mikromol glukosa yang dihasilkan pada proses hidrolisis tiap
menit. Aktivitas enzim yang dihasilkan dari Trichoderma sp sebesar 1,4293 U/mL dan A.niger sebesar 0,9268
U/mL.

Produksi Glukosa
Enzim selulolitik yang bekerja secara sinergis menghasilkan glukosa melalui proses hidrolisis. Sistem enzim
selulolitik terdiri dari tiga kelompok utama yaitu endoglukanase, eksoglukanase, dan β-glukosidase (Howard, et al.,
2003). Kerja sinergis dari kompleks enzim selulase dapat dilihat pada Gambar 1.
Enzim selulolitik merupakan enzim yang terdiri dari endo-β-1,4-glukanase dan ekso-1,4-glukanase dan β-
glukosidase. Enzim endoglukanase menghidrolisis secara acak pada bagian amorf serat selulosa sehingga
menghasilkan oligosakarida dengan panjang berbeda-beda dan terbentuknya unjung rantai baru selulosa (Howard, et
al., 2003).

40
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Gambar 1 Skema hidrolisis enzimatik selulosa


Ekso-1,4-glukanase memotong ujung rantai selulosa menghasilkan molekul selobiosa, sedangkan β-
glukosidase memotong molekul selobiosa menjadi dua molekul glukosa (Lynd, et al., 2002).
Pengukuran kadar glukosa dilakukan dengan memplotkan absorbansi yang terdeteksi pada spektrometer
dengan kurva standar yang telah dibuat sebelumnya. Kurva standar yang dibuat menunjukkan hubungan antara
kadar glukosa dengan absorbansi yang dihasilkan. Kurva standard yang diperoleh kemudian dicari persamaannya,
persamaan inilah yang akan digunakan untuk menghitung kadar glukosa sampel.

Metode Kovensional
Kadar glukosa yang diperoleh selama hidrolisis metode konvensional tersaji pada Tabel 2.
Tabel 2 Kadar glukosa yang dihasilkan metode Konvensional (mg/ml)

Tabel 2 memperlihatkan adanya keterkaitan produksi glukosa dengan aktifitas enzim. Hari ke-1 dan hari ke-2
menujukkan adanya peningkatan, artinya pada hari ke 1 dan ke 2 kadar substrat untuk diubah menjadi glukosa masih
tinggi. Hari ke-2 dan hari ke-3 produksi glukosa cenderung konstan meski mengalami kenaikan, hal ini menujukkan
adanya kesetimbangan antara kadar substrat yang tersedia dengan kadar glukosa yang dihasilkan. Kadar glukosa
tertinggi dihasilkan pada campuran enzim selulase A. niger dan Trichoderma sp dengan perbandingan 1:2 pada hari
ke-3. Ekstrak enzim kasar A.niger dan Trichoderma sp dengan perbandingan enzim (1:2) sesuai dengan literatur,
hidrolisis secara enzimatis menggunakan campuran enzim dari A.niger dan Trichoderma sp dan pada substrat jerami
padi juga menghasilkan konsentrasi glukosa paling tinggi pada campuran 1:2 (Anwar, dkk., 2011). Peningkatan
konsentrasi glukosa yang dihasilkan pada waktu hidrolisis 3 hari menunjukkan bahwa terjadi interaksi antara enzim
selulase dengan substrat yang tinggi. Interaksi antara enzim selulase dengan substrat selulosa akan membentuk
kompleks enzim-substrat yang menghasilkan glukosa sebagai produk. Enzim memiliki interaksi dengan substrat
yang semakin lama menyebabkan reaksi berjalan lebih maksimal sehingga konsentrasi glukosa yang dihasilkan
menjadi lebih tinggi. Penurunan glukosa pada tabel diatas ditujukkan pada hidrolisis hari ke-4. Penurunan ini
disebabkan oleh adanya akumulasi produk yang telah terbentuk sebelumnya dan menyebabkan penghambatan bagi
enzim selulase. Inhibitor enzim selulase berupa produk dari hidrolisis selulosa yaitu glukosa dan selobiosa.
Selobiosa menghambat enzim eksoglukanase sedangkan glukosa menghambat enzim β-glukosidase (Ambriyanto,
2010).

41
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Metode SSF
Kadar glukosa yang diperoleh selama hidrolisis metode SSF tertera pada Tabel 3 dibawah ini.
Tabel 3 Kadar glukosa yang dihasilkan metode SSF(mg/ml)

Peningkatan kadar glukosa terlihat pada (1:0), (1:1), (2:1) hari ke-2, karena selulosa belum seluruhnya
terdegradasi menjadi glukosa oleh enzim selulase, sehingga bersamaan dengan proses fermentasi terjadi pula proses
hidrolisis dari sisa selulosa yang belum terdegradasi.Penurunan kadar glukosa terjadi selama proses fermentasi pada
metode SSF. Penurunan jumlah glukosa pereduksi disebabkan oleh konversi glukosa pereduksi tersebut menjadi
bioetanol oleh khamir S. cereviciae.

Produksi Bioetanol
Glukosa hasil hidrolisis terlebih dahulu menjadi piruvat melalui 10 tahapan glikolisis. Piruvat dengan bantuan
enzim pyruvat dekarboksilase melepaskan karbondioksida (CO2) menghasilkan asetaldehid. Asetaldehid dengan
alkohol dehidrogesinase diubah menjadi etanol. Mekanisme reaksi ditunjukan gambar.

Gambar 2 Produksi bioetanol


pH awal yang digunakan yaitu 5 dan pada suhu ruang. Diharapkan dengan kondisi fermentasi ini kadar
bioetanol yang diperoleh tinggi. Hal ini karena keadaan lingkungan optimal untuk fermentasi oleh S. cereviseae
adalah pada suhu 25-30OC dengan pH 4-5.
Pengamatan pada hasil fermentasi adalah sampel memilki aroma seperti tape dan sedikit gelembung udara
pada sampel. Aroma tape ditimbulkan oleh senyawa hasil fermentasi, sedangkan gelembung udara merupakan hasil
samping berupa karbondioksida. Cairan hasil fermentasi yang didapatkan dipipet guna memisahkan larutan hasil
fermentasi dari sampel. Hasil larutan fermentasi kemudian diekstrak menggunakan n-heksan untuk memisahkan
bioetanol dan airnya. Bioetanol yang sudah diekstrak diukur kadarnya dengan menggunakan alat kromatografi gas.
Pengukuran kadar bioetanol dilakukan dengan memplotkan luas area puncak yang terdeteksi dikomputer
dengan kurva standar yang telah dibuat sebelumnya. Kurva standar yang dibuat menunjukan hubungan antara kadar
bioetanol dengan luas area yang dihasilkan. Kurva standard yang diperoleh kemudian dicari persamaannya,
persamaan inilah yang akan digunakan untuk menghitung kadar bioetanol sampel.

Metode Konvensional
Kadar bioetanol yang diperoleh selama fermentasi metode konvensional tersaji pada tabel 4 dibawah ini.
Secara umum kadar bioetanol tertinggi dihasilkan pada hari-1, sedangkan penurunan pada hari ke-3 sampai
ke-4, dan mengalami peningkatan kembali pada hari ke-5. . Produksi bioetanol yang tinggi pada hari pertama
disebabkan karena kadar glukosa yang tersedia masih tinggi, sehingga etanol yang dihasilkan juga tinggi.

42
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Tabel 4 Kadar bioetanol yang dihasilkan metode Konvensional (%)

Tabel 4 menunjukan peningkatan produksi bioetanol pada hari ke-5. Peningkatan pada tahap ini disebabkan
terjadinya fermentasi glukosa dalam 2 tahapan proses. Tahap awal terjadi oksidasi atom hidrogen sehingga terjadi
penurunan aktivitas ragi. Tahap kedua terjadi proses reduksi kembali dari pada atom hidrogen yang telah dilepaskan,
hal ini mengakibatkan terjadi peningkatan aktivitas ragi sehingga bioetanol yang dihasilkan mengalami peningkatan
(Yuanita, dkk., 2010). Proses ini akan terhenti jika kadar bioetanol sudah meningkat sampai tidak dapat ditolerir lagi
oleh mikroba (Rudy, dkk., 2013). Berkurangnya kadar bioetanol disebabkan telah dikonversi menjadi senyawa lain
misalnya ester (Sari, dkk., 2008). Produksi bietanol perbandingan (0:1), (1:0) justru baru mengalami peningkatan
pada hari ke 2 hal ini kemungkinan terjadi karena glukosa belum semuanya diubah menjadi etanol (Kusmiyati &
Arifin, 2010).
Produksi bioetanol yang fluktuatif seperti yang ditunjukan pada Tabel 4 dapat terjadi karena pembentukan
senyawa ester yang merupakan reaksi reversibel. Senyawa ester terbentuk melalui reaksi yang terjadi antara asam
karboksilat dan alkohol, proses ini disebut esterifikasi fischer (Hart, et al., 2003). Reaksi fermentasi selain
membentuk bioetanol juga membentuk asam asetat. Asam asetat merupakan asam karboksilat yang dapat bereaksi
dengan alkohol membetuk senyawa ester. Mekanisme reaksinya adalah sebagai berikut :
CH3COOH + C2H5OH ↔ CH3COOC2H5 + H2O
Asam asetat bioetanol Ester air
Kadar bioetanol yang turun menunjukkan adanya reaksi pembentukan senyawa ester, peningkatan kadar
etanol menujukkan terjadinya reaksi esterifikasi bergeser ke kanan.

Metode SSF
Kadar bioetanol yang diperoleh selama fermentasi metode SSF tersaji pada tabel 5 dibawah ini.
Tabel 5 memperlihatkan bahwa fermentasi pada hari ke-1 belum menunjukan adanya produksi etanol, hal ini
disebabkan karena S. cerevisiae mengalami masa adaptasi dengan lingkungan dan belum ada pertumbuhan,
sehingga S. cerevisiae belum merombak glukosa menjadi bioetanol. Fermentasi pada hari ke-2 sampai ke-4
menujukan adanya produksi bioethanol sangat pesat, keadaan ini membuktikan S. cerevisiae mengalami fase
tumbuh cepat. Di dalam fase ini terjadi pemecahan glukosa secara besar‐besaran. Hasil pemecahan gula oleh S.
cerevisiae dalam keadaan anaerob menghasilkan bioetanol. Kemungkinan dihasilkan bioetanol paling tinggi pada
fase ini.
Produksi bioetanol pada hari ke-4 sampai ke-5 tidak terlalu pesat, artinya S. cerevisiae sedang menagalami
fase stationer, hal ini menunjukkan jumlah S. cerevisiae yang hidup sebanding dengan jumlah yang mati. Hari ke-6
sampai ke-7 mengalami penurunan, hal ini disebabkan karena nutrisi yang tersedia tidak sebanding dengan
banyaknya S. cerevisiae, sehingga S. cerevisiae menggunakan substrat yang tersedia digunakan untuk bertahan
hidup dari pada merombaknya menjadi bioetanol. Selain itu, dikarenakan ketersediaan nutrisi maupun substrat
semakin berkurang bahkan telah habis, sehingga terjadi aktivitas S. cerevisiae merubah bioetanol menjadi asam-
asam organik seperti asam asetat menggunakan enzim alkoholase. Penurunan kadar bioetanol yang terbentuk terjadi
akibat perombakan bioetanol menjadi asam asetat. Azizah (2012) menjelaskan bahwa produk dari proses fermentasi
selain bioetanol, ada produk samping yaitu karbondioksida. Selain bioetanol yang diperoleh dari hasil fermentasi
ada juga asam asetat, fuel oil dan asetaldehida. Kadar etanol pada perbandingan enzim (1:1) di hari ke-7 justru
mengalami peningkatan. Peningkatan kadar etanol yang terjadi menujukkan reaksi esterifikasi bergeser ke kanan.
Lamanya waktu fermentasi juga berpengaruh pada produksi bioetanol. Waktu yang digunakan yaitu 1 sampai
7 hari hal ini didasarkan bahwa kerja optimum dari S. cerevisiae. Apabila waktu fermentasi yang digunakan terlalu
cepat S. cerevisiae masih dalam tahap pertumbuhan dan apabila terlalu lama akan mati maka bioetanol yang
dihasilkan tidak maksimal. S. cerevisiae memiliki empat fase, yaitu fase adaptasi, fase ekponensial, fase stasioner
dan fase kematian hal inilah yang menjadi acuan pemilihan rentang waktu tersebut. Sama halnya dalam penelitian
Hasanah Hafidatul (2012) kadar bioetanol yang diperoleh terus meningkat dari waktu fermentasi 1-7 hari, dan
setelah itu kadar bioetanol menurun.

43
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Kadar bioetanol yang dihasilkan pada penelitian ini masih sangat kecil. Kadar bioethanol metode
konvensional tertinggi (1:2) hari pertama sebesar 5,75%, dan kemudian mengalami fluktuasi dalam perolehan
bioetanol.
Tabel 5 Kadar bioetanol yang dihasilkan metode SSF (%)

Metode SSF baru memprodusi etanol setah hari kedua sebesar 0,3259 % terus meningkat dengan kadar
tertinggi pada hari ke-5 sebesar 4,3139 %.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
Perbandingan penambahan enzim selulase dari A.niger dan Trichoderma sp yang optimum dalam hidrolisis selulosa
menjadi glukosa adalah 1:2 (V/V) glukosa yang diperoleh sebesar 7,6914%. Waktu optimum yang dibutuhkan
dalam hidrolisis selulosa menjadi glukosa adalah 3 hari. Produksi bioethanol paling baik adalah dengan
menggunakan metode SSF dengan kadar sebesar 4,3139%.

Ucapan Terimakasih
Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta Wilayah VI Jawa Tengah Kementrian Pendidikan Tinggi yang telah
mendanai penelitian ini melalui Hibah Bersaing DIKTI Tahun 2015.
.
Daftar Pustaka
Adney, B. dan Baker, J. 1996. Measurement of Cellulose Activities. National Renewable Energy Laboratory,
report.nf NREL/TP-501-42628.
Ahamed, A. P. Vermette (2008), “Culture-based Strategies to EnhanceCellulase Enzyme Production from
Trichoderma reesei RUT-C30 inBioreactor Culture Conditions”, Biochemical Engineering Journal 40, 399–
407.
Albers, E. Larsson, C. Liden, G, dan Niklasson, C. 1996. Influence of the Nitrogen Source on Saccharomyces
cerevisiae Anaerobic Growth and Product Formation. App. Environ. Micobiol.
Ambriyanto, K. S. 2010. Isolasi dan karakterisasi Bakteri Aerob Pendegradasi Selulosa dari Serasah Daun Rumput
Gajah (Pennisetum purpureum schumm). Tesis Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh November.
Anwar, N., Arief, W., dan Sugeng, W. 2011. Optimasi Produksi Enzim Selulase untuk Hidrolisis. Jurnal Bioproses
Komoditas Tropis.
Azizah, N. 2012. Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap Kadar Alkohol, pH, Dan Produksi Gas Pada Proses
Fermentasi Bioetanol Dari Whey Dengan Subtitusi Kulit Nanas. Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan, 72-77.
Badger, P., C. 2002. Ethanol from cellulose. In J. J, & W. A, Trends in new crops and new uses (pp. 17–21).
Alexandria, VA: ASHS Press.
Danielson R. M, D., C. 2002. Non nutritional factors affecting the growth of Trichoderma in culture. Soil Biol
Chem, 495-504.
Dubois, M. Gilles, K. A. Hamilton, J. K., Rebers, P., A. dan Smith, F. 1956. Colorimetric Method for Determination
of Sugars and Related Substances.
Ferreira, V. Faber, M., D. Mesquita, S., S. dan Junior, N., P. 2010. Simultaneous Saccharification And Fermentasi
Process Of Different Cellusosic Substrat Using a Recombinant Scaccaromyces Cerivisiae Harbouring T -
Glukosidase Gene. Elektronic Journal Of bioteechnology.
Haq, I., U. Javed, M., M. Khan, T., S. dan Siddiq, Z. 2005. Cotton Saccharifying Activity of Cellulases Produced by
Co-culture of Aspergillus niger and Trichoderma viride. Res. J. Agric & Biol. Sci, 241-145.
Harfinda, E.M., 2011, Pengaruh Kadar Air, pH, dan Waktu Fermentasi Tehadap Produksi Enzim Selulase oleh
Aspergillus niger Pada Ampas Sagu, Universitas Tanjungpura, Pontianak, (Skripsi).
Hart, H. Craine, L., E. dan Hart, D., J. 2003. Kimia Organik Edisi 11. Jakarta: Erlangga.

44
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Hasanah, H. 2012. Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap Kadar Alkohol Tape Singkong. Alchemy, 69-79.
Howard, R., L. E, A. J, E., V. dan S, H. 2003. Lignocellulose Biotechnology: Issues of Bioconversion and Enzyme
Production. Afr. J. Biotechnol, , 602-619.
Jayashree, R. dan Vasudevan, N. 2009. Effect Of Tween 80 and Moisture Regimes on Endosulfan Degradation by
Pseudomonas Aeruginosa. Applied Ecology and Environmental Research, 35-44.
Juhasz, T. Kozma, K. Szengyel., Z. & Reczey, K. 2003. Production of β-Glucosidase in Mixed Culture of
Aspergillus niger BKMF 1305 and Trichoderma reesei RUT C30. Food Technol, J. Biotechno,. 41 (1), 49-53.
Kamila, L. 2003. Pencirian Selulolitik Isolat Khamir Rhodotorula sp. Dari Tanah Taman Nasional Gunung
Halimu.Skripsi. Bogor: Jurusan Kimia, Institut Pertanian Bogor.
Kusmiyati, Arifin, A. N. 2010. Konversi Umbi Iles-Iles Menjadi Bioetanol Dengan Metode Konvensional dan SSF
(Sakarifikasi dan Fermentasi Secara Serentak). RAPI IX (pp. K-116 - K-123). Surakarta: Universitas
Muhammadiah Surakarta.
Lynd, L., R. P, J., W. W , H., V.& I, S., P. 2002. Microbial Cellulose Utilization: Fundamentals and Biotechnology.
Microbiol. Mol. Biol, 506-577.
Madigan M. T, M., J. 2006. Brock Biology of Microorganisms 11th ed. New Jersey : Pearson Education.
Martins, L., D. 2008. Comparison of Penicillium echinulatum and Trichoderma reesei Cellulases in Relation to
Their Activity Against Various Cellulosic Substrates. Bioresource Technology.
Mosier, Nathan, et al., 2005, Features of promising technologies for pretreatment of lignocellulosic biomas,
Bioresource Technology 96 , pp. 673–686.
Official of the Assosiation of Chemistry inc (AOAC)., 1990 Arlington. Virginia USA.
Permatasari, H., R. Gulo, F. dan Lesmini, B. 2013. Pengaruh Konsentrasi H2SO4 Dan Naoh Terhadap Delignifikasi
Serbuk Bambu (Gigantochloa Apus). Jurnal Kimia Terapan, 132.
Purnavita, S.& Sriyana, H., Y. 2013. Produksi Bioetanol Dari Limbah Ampas Pati Aren Secara Enzimatik Dengan
Menggunakan Mikrobia Selulotik Ekstrak Rayap. Jurnal Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian. 8(2):54-60.
Ratanaphadit, K. Kaewjan, K. dan Plakan, S. J. 2010. Poteintial of Glycoamylase and Cellulase Production Using
Mixed Culture of Aspergillus niger TISTR 3254 and Tricoderma reesei TISTR 3081.
Rudy, S. Harisman, J. dan Arif, M. 2013. Analisa Pengaruh Lama Fermentasi dan Temperatur Distilasi terhadap
Sifat Fisik (Spesific Gravity dan Nilai Kalor) Bioetanol Berbahan Baku Nanas (Ananas Comosus). Dinamika
Teknik Mesin. 3(2). ISSN: 2008-088.
Samuels, G. J, et. all. 2010. Trichoderma Online, Systematic Mycology and Microbiology Laboratory.
Sari, I., M. Noverita, dan Yuliwarni. 2008. Pemanfaatan Jerami Padi dan Alang- Alang Dalam Fermentasi Etanol
Menggunkan Kapang Trichoderma viride dan Khamir Saccharomyces cerevisiae. Vis Vitalis, 5(2), 55-62.
Singhania, R., R. Sukumaran, R., K. Pillai, A. Prema, P. Szakacs, G. dan Pandey, A. 2006. Solid State Fermentation
of Lignocellulosic Substrat for Cellulase Production by Trichoderma reesei NRRL 11460. Indian J.
Biotechnol, 5: 332-336.
Singh A, Bishnoi NR,.,2012 “Optimization of enzymatic hydrolysis of pretreated rice straw and ethanol
production”Appl Microbiol Biothechnol.
Sukardati, S. Kholisoh, D., S. Prasetyo, H. Santoso, P., W. dan Mursini, P., W. 2010. Produksi Gula Reduksi dari
Sabut Kelapa Menggunakan Jamur Trichoderma reesei. Yogyakarta: Teknik Kimia, UPN Yogyakarta.
Sun, Y., and Cheng .,J., 2002, “ Hydrolysis of lignocellulosic materials for ethanol production”, a review paper
Bioresources Technology, 83, 1-11
Szendefy, J., Szakacs , G., & Christopher, L. (2006). Potential of solid-state Fermentation Enzymes of Aspergillus
in Biobleaching of Paper Pulp. Enzymes and Microbial Technology , 1354-1360.
Toharisman, A. 2008. Sekali lagi: Etanol dari Tebu Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI).
http://www.sugarresearch.org/wp-content/uploads/2008/12/bietanol-agroobs.pdf
Wang, N., S. 2008. Experiment No. 4 Cellulose Degradation. Departement of Chemical & Biomolecular
Engineering. Maryland: University of Maryland.
Yuanita, M. Ismayanda, H. Sofyana, dan Ningsih, Y., A. 2010. Pembuatan Bioetanol dari Jagung (Zea Mays
Saccarata Strut) dengan Proses Fermentasi. Chemical Engineering Science and Applications (CHESA) (pp.
530-537). Banda Aceh: Chemical Engineering Departement Faculty Syiah Kuala University.

45
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

REVERSE ENGINEERING OUTER REAR BUMPER MOBIL ESEMKA


RAJAWALI R2

Sanurya Putri Purbaningrum1, Agus Dwi Anggono2, Supriyono3


1,2,3
Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Surakarta
Jl. A. Yani Tromol Pos 1 Pabelan Kartasura 57102 Telp 0271 717417
Email: sanuryaputri@gmail.com

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan engineering drawing dari outer rear bumper mobil
Esemka Rajawali R2 serta melakukan simulasi injection molding untuk mengurangi adanya cacat
produk pada pembuatan rear bumper. Pembuatan engineering drawing dilakukan dengan metode
reverse engineering. Metode ini diawali dengan proses scanning data yang dilakukan dengan
menggunakan alat bantu CMM manual. Data yang didapat dari proses scannning kemudian diolah
dengan menggunakan software solidworks sehingga menjadi gambar 3D outer rear bumper. Setelah
gambar 3D selesai, dilakukan validasi data dengan membandingkan gambar 3D dari hasil scanning
dengan gambar 3D dari gambar sket 2D. Proses simulasi dilakukan dengan software solidworks
dengan memasukkan parameter input polimer poliproylene generic dan lokasi injector. Lokasi
injector yang berada ditengah memungkinkan arah aliran yang menyebar. Hasil menunjukkan bahwa
proses reverse engineering dapat digunakan untuk memperoleh engineering drawing outer rear
bumper mobil Esemka Rajawali R2. Sedangkan hasil simulasi menunjukkan bahwa temperatur
produk pada akhir injeksi hampir merata. Temperatur pada akhir injeksi berkisar antara 206,33oC -
208,21oC. Perbedaan temperatur yang tidak terlalu jauh menyebabkan cooling time yang rendah
serta waktu produksi yang singkat. Penyebaran temperatur yang hampir merata pada akhir injeksi
juga dapat meminimalisasi terjadinya cacat pada waktu injection molding.

Kata kunci: injection molding; rear bumper; reverse enggineeering,

Pendahuluan
Mobil Esemka merupakan salah satu mobil nasional yang sedang dikembangkan di Indonesia. Salah satu
prototipe mobil Esemka yang sudah diluncurkan dan siap diproduksi massal adalah Esemka Rajawali II. Dalam
proses produksinya, mobil Esemka Rajawali terus menerus mengalami penyempurnaan. Akan tetapi, pengembangan
mobil Esemka Rajawali mengalami kesulitan karena belum adanya dokumentasi data-data penting mobil seperti
engineering drawing. Dengan adanya masalah tersebut, maka diperlukan metode reverse engineering untuk
mendapatkan engineering drawing dari mobil Esemka.
Reverse engineering merupakan proses duplikasi bagian yang sudah ada, subassembly produk tanpa bantuan
gambar, dokumentasi atau pemodelan komputer. Reverse engineering juga didefinisikan sebagai proses memperoleh
model CAD geometris dari titik 3D yang diakuisisi oleh scanning / digitalisasi produk yang ada. Proses reverse
engineering pada umumnya meliputi tahap pengumpulan data, tahap pengolahandata, tahap pembuatan model dan
tahap manufaktur produk.
Rear bumper adalah salah satu bagian mobil yang berfungsi untuk melindungi penumpang dari tabrakan
belakang. Rear bumper terbuat dari polimer yang diproses menggunakan metode injection molding. Untuk
meminimalisasi adanya cacat produk pada proses injection molding, diperlukan simulasi terlebih dahulu.Pada
penelitian ini dikembangkan metode reverse engineeering untuk memperoleh engineering drawing outer rear
bumper mobil Esemka Rajawali II serta dilakukan simulasi pembuatan rear bumper dengan metode injection
molding untuk meminimalisasi cacat produk.

Metode Penelitian
Ada dua proses yang dilakukan dalam penelitian ini, yaitu proses reverse engineeringrear bumper dan proses
simulasi pembuatan rear bumper dengan metode injection molding. Proses reverse engineering meliputi tahap
scanning, tahap pengolahan titik dan tahap validasi hasil. Setelah proses reverse engineering selesai dilanjutkan
dengan proses simulasi pembuatan rear bumper dengan software solidwork.

46
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

1. Tahap scanning Data


Proses scanning data bertujuan untuk mendapatkan data rear bumper mobil Esemka Rajawali II. Proses ini
dimulai dengan pemisahan bagian rear bumper agar mempermudah scanning data. Setelah rear bumper terpisah dari
mobil, kemudian dilakukan pengambilan titik koordinat (scanning data) pada permukaan rear bumper. Alat yang
digunakan pada proses ini dinamakan CMM manual. Desain CMM manual dapat dilihat ada gambar dibawah ini.

Gambar 1. Desain CMM manual

2. Proses Pengolahan Titik


Proses pengolahan titik dilakukan dengan software Solidwork Premium 2014. Data yang didapat pada
proses scanning berupa titik-titik koordinat. Titik-titk tersebut kemudian dimasukkan ke software solidwork.
Langkah berikutnya adalah menyatukan titik yang satu dengan titik lainnya dengan menggunakan kurva sehingga
terbentuklah sebuah kurva outer dari rear bumper. Setelah kurva terbentuk, maka permukaan dapat dibuat dengan
metode surface.

Gambar 2. Proses pengolahan titik

3. Tahap validasi hasil


Validasi hasil dimulai dengan pembuatan gambar outer rear bumper dari gambar sket 2D. Gambar sket
diconvert menjadi gambar 3D. Kemudian gambar rear bumper dari gambar sket 2D dibandingkan ukurannya dengan
gambar rear bumper dari hasil pengolahan titik.

4. Simulasi Injection Molding


Simulasi injection molding dilakukan dengan software Solidwork Premium 2014 dengan menu Solidwork
Plastic. Parameter input yang dimasukkan daat dilihat ada tabel di bawah ini.

47
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Tabel 1. Parameter Input

Material Poliproylene (Generic)


Fill time 10 s
Melt Temperatur 230oC
Injection Pressure Limit 100 Mpa
Injector Location (894,5870, 595,6667, 186,4930)
Pointer Diameter 26 mm

Hasil dan Pembahasan


Engineering drawing outer rear bumper mobil Esemka Rajawali II diperoleh dari pengolahan titik-titik
koordinat yang sebelumnya didaat ada proses scanning data. Engineering drawing dalam bentuk 3D outer rear
bumper dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

Gambar 3. Engineering drawing outer rear bumper

Sedangkan gambar 2D beserta ukurannya dapat dilihat ada gambar dibawah ini.

Gambar 4. Dimensi outer rear bumper

Validasi data dilakukan dengan membandingkan data gambar 3D rear bumper hasil pengolahan titik dengan gambar
3D rear bumper hasil dari gambar sket 3D. Perbandingan ukuran antara gambar kedua gambar tersebut daat dilihat
pada gambar di bawah ini.

48
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Gambar 5. Perbandingan dimensi outer rear bumper

Dari gambar di atas didapat bahwa pada komponen rear bumper selisih ukuran panjang keseluruhan dari data
koordinat dengan sket yaitu 5,99 mm (1273,53-1267,56), sedangkan selisih lebar keseluruhan yaitu 7,05 mm
(321,06-318,89).
Perbedaan dimensi gambar CAD outer rear bumper dapat disebabkan adanya kesalahan pada masing-masing
tahap reverse engineering. Penyebab perbedaan dimensi tersebut, antara lain:
1. Tahap Scanning Data
Tingkat kepresisian alat ukur CMM manual masih sangat rendah, yaitu sebesar 1 mm. Sedangkan alat ukur
CMM yang biasa digunakan untuk penelitian memiliki tingkat ketelitian 0,01-0,02 mm.
Human error atau kesalahan pengukuran. CMM manual menggunakan sensor manual yaitu mata manusia,
sedangkan manusia sendiri tidak selalu berada pada kondisi yang fit. Lamanya waktu pengukuran membuat
kondisi si pengukur menjadi bosan dan kurang efektif sehingga memungkinkan terjadinya kesalahan dalam
pengukuran.
2. Tahap pengolahan titik
Kesalahan yang sering dilakukan pada tahap ini adalah kesalahan dalam penghalusan kurva. Data yang kurang
tepat membuat si pengolah data harus melakukan interpolasi data dan pengurangan jumlah point agar kurva
yang dihasilkan menjadi halus, bisa digabungkan dan bisa diolah dengan tool surface.
3. Tahap validasi hasil
Pada tahap ini, kesalahan berada pada waktu pembuatan gambar CAD dari gambar sket 3D. Pembuatan kurva
yang sesuai dengan garis sket 2D sulit dilakukan. Dibutuhkan ketelitian yang esktra agar kurva benar-benar
sesuai dengan garis sket. Selain itu, penggabungan antar surface sehingga membentuk suatu kesatuan outer
body mobil Esemka Rajawali II juga bukan merupakan hal yang mudah sehingga memungkinkan terjadinya
kesalahan.

Secara keseluruhan gambar CAD outer rear bumper dari hasil scan data koordinat lebih akurat dibandingkan
dengan gambar CAD dari gambar sket 2D. Hal tersebut dikarenakan gambar dari hasil scan menggunakan
pengukuran langsung diberbagai titik koordinatnya, sedangkan gambar dari hasil sket 2D hanya menggunakan
pendekatan software.
Dari simulasi yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa waktu yang diperlukan untuk pengisian resin
hingga memenuhi cetakan adalah 9,95 detik. Sedangkan temperatur produk setelah injeksi hampir sama pada
seluruh bagian rear bumper. Temperatur pada akhir injeksi berkisar antara206,33oC -208,21oC. Penyebaran
temeratur yang merata serta waktu injeksi yang relatif singkat disebabkan oleh letak injektor yang berada di tengah
part sehingga besar cairan yang mengalir kebagian kiri dan kanan hampir sama. Perbedaan temperatur yang tidak
terlalu jauh menyebabkan waktu pendingginan berkurang sehingga waktu produksi lebih cepat.Penyebaran
temperatur yang hampir merata juga mengurangi cacat pada produk. Cacat produk yang ditimbulkan akibat
penyebaran temperatur yang tidak merata, yaitu warpage atau terjadinya lentingan pada produk.

49
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Gambar 6. Temperatur produk ada akhir injeksi


Tekanan pada akhir injeksi berkisar antara 0-0,20 Mpa. Tekanan tersebut cukup rendah dengan batas
tekanan maksimum injektor sebesar 100 Mpa. Tekanan yang rendah memberikan beberaa keuntungan, diantaranya
tidak merusak mold dan biaya listrik lebih rendah.

Kesimpulan
Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan, maka kesimpulan yang didapatkan adalah sebagai berikut :
1. Engineering drawing outer rear bumper mobil Esemka Rajawali II didapatkan dengan cara scanning data
koordinat dan pengolahan titik koordinat dengan software solidwork.
2. Pada komponen outer rear bumper selisih ukuran panjang keseluruhan dari data koordinat dengan sket yaitu
5,99 mm (1273,53-1267,56), sedangkan selisih lebar keseluruhan yaitu 7,05 mm (321,06-318,89).
3. Hasil simulasi menunjukkan bahwa tekanan maksimum rear bumper setelah injeksi berkisar antara 0-0,20 Mpa,
sedangkan temperatur pada akhir injeksi berkisar antara 206,33oC -208,21oC.
4. Perbedaan terperatur yang rendah pada akhir injeksi dapat mengurangi terjadinya cacat warpage pada produk.

Daftar Pustaka
Adiananda, A., dan Batan, I. M . L, (2015), “Pengembangan Bumper Depan Mobil Pick Up Multiguna Pedesaan”
Jurnal Teknik ITS, Vol.4
Hussain, M., el al., (2008), “Reverse Engineering: Point Cloud Generation with CMM for art Modeling and Error
Analysis” ARN Journal of Engineering and Alied Sciences, Vol. 3
Kaswadi, A., dan Yoewono, S., (2015),”Simulasi dan Studi Ekserimental Proses Injeksi Plastik Berpendingin
Konvensional” Proceding Seminar Tahunan Teknik Mesin XIV
Nugroho,H.(2011),“Pembuatan 3D Pesawat Terbang Menggunakan TeknikNURBS Modeling Pada Software 3D
Studio Max”, Tugas Akhir S1, Teknik Informatika, STMIK Amikom Yogyakarta, Yogyakarta
Riska,M.M.(2012), “Reverse Engineering Pada Design Outer Vender MobilMini Truck Esemka,Tugas Akhir S1,
Teknik Mesin, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta
Singh, N., (2012), “Reverse Engoneering- A General Review” Nirajan et al International Journal of Advanced
Engineering Research and Studies
Sunarno.(2013),“Reverse Engineering Outer Body Mobil City Car”, Tugas Akhir S1, Teknik Mesin, Universitas
Muhammadiyah Surakarta, Surakarta
Xia, Z.., (2014), “Aplication of Reverse Engineering based on Computer in Product Design” International Journal
of Multimedia and Ubiquitous Engineering, Vol.9, pp 343-354

50
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

PERENCANAAN PRODUKSI AGREGAT


PADA FAMILY PRODUK INTERIOR MINIBUS
GUNA MENGOPTIMALKAN PERSEDIAAN DAN BIAYA PRODUKSI

Imam Sodikin1 , Lutfiyah Hasinah2


1,2
Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknologi Industri, IST AKPRIND Yogyakarta
Jln. Kalisahak No. 28 Kompleks Balapan Yogyakarta 55222
Email: dikiam12@yahoo.com

Abstrak

PT Mekar Armada Jaya merupakan perusahaan yang bergerak di bidang pembuatan bodi kendaraan
karoseri bus, minibus, dan box. Salah satu permintaan produk dari konsumen adalah minibús.
Pemesanan minibus yang terus meningkat menyebabkan permintaan terhadap interior jok juga
meningkat. Permintaan jok yang meningkat tidak didukung dengan ketersediaan bahan baku yang
memadai. Data produksi tahun 2015 menunjukkan bahwa 58,90% produk minibus mengalami
keterlambatan dalam proses produksinya. Penyebab terjadinya keterlambatan karena jok yang
dibutuhkan kurang, yang disebabkan oleh kekurangan bahan baku. Bahan baku untuk pembuatan jok
ada yang dibuat sendiri dan dipesan dari supplier. Bahan baku yang dibuat sendiri setiap hari selalu
tersedia dan untuk bahan baku yang dipesan memerlukan lead time antara 14 hari - 45 hari. Lead
time pemesanan bahan baku yang lama sering menyebabkan produk jok mengalami penundaan
produksi dan mengakibatkan biaya produksi meningkat. Proses produksi yang tertunda
mengakibatkan perusahaan harus menyeimbangkan waktu produksi melalui kerja lembur dan part
time atau kerja borongan. Pada penelitian ini dilakukan analisis perencanaan produksi menggunakan
metode Hybrid Strategy dengan melakukan overtime dan subkontrak, serta Material Requirement
Planning untuk menentukan besarnya kebutuhan bahan baku. Hasil yang diperoleh adalah total
produksi 10 periode ke depan sebanyak 662 unit dengan biaya produksi total sebesar Rp.
415.727.776,- sehingga perusahaan dapat menghemat biaya produksi sebesar 21%. 181 unit produk
dikerjakan oleh pekerja sub kontrak. Proses pengendalian bahan baku menggunakan metode EOQ
menghasilkan total biaya persediaan yaitu Rp. 310.714.741,-, artinya perusahaan dapat
meminimalisasi biaya persediaan sebesar 25%. Persediaan bahan baku dengan EPQ dapat
menghemat biaya sebesar Rp. 90.800.692,- atau 36%.

Kata kunci: agregat planning; EOQ; EPQ; MRP; persediaan

Pendahuluan
PT Mekar Armada Jaya adalah perusahaan yang bergerak di bidang pembuatan bodi kendaraan atau disebut
karoseri yang aktivitas produksinya dilakukan sesuai pesanan. Produksi kendaraan yang dihasilkan antara lain: mini
bus, small bus, bus besar, bus medium, box, dumb truk loadbag, car carrier dan lain-lain. Pada tahun 2015 data
produksi menunjukkan bahwa 58,90% produk minibus mengalami keterlambatan dalam produksi, salah satu
penyebab yaitu interior jok yang belum ada. Pemesanan produk minibus yang terus meningkat dengan berbagai
jenis menyebabkan permintaan terhadap interior jok juga meningkat. Permintaan yang meningkat akan produk jok
tidak didukung ketersediaan bahan baku yang memadai saat diproduksi. Bahan baku untuk pembuatan jok ada yang
dibuat sendiri dan dipesan dari supplier. Bahan baku yang dibuat sendiri setiap hari selalu tersedia dan untuk bahan
baku yang dipesan memerlukan lead time antara 14 hari - 45 hari. Lead time pemesanan bahan baku yang lama
tersebut sering menyebabkan produk jok mengalami penundaan produksi, sehingga menyebabkan penumpukan
produk jok dan mengakibatkan meningkatnya biaya produksi. Proses produksi yang tertunda mengakibatkan
perusahaan harus menyeimbangkan waktu produksi melalui kerja lembur dan part time atau kerja borongan. Kajian
ini menekankan pada upaya perencanaan produksi dan pengendalian ketersediaaan bahan baku. Menurut Nasution,
A.H (1999), perencanaan produksi dilakukan dengan tujuan menentukan arah awal dari tindakan-tindakan yang
harus dilakukan di masa mendatang, apa yang harus dilakukan, berapa banyak melakukan, dan kapan harus
melakukan.
Sesuai dengan permasalahan di PT Mekar Armada Jaya tentang terjadinya fluktuasi permintaan serta
kurangnya ketersediaan bahan baku. perencanaan produksi agregat dapat menjadi solusi karena dapat menyesuaikan

51
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

kemampuan produksi dalam menghadapi permintaan konsumen yang tidak pasti dengan mengoptimalkan
penggunaan tenaga kerja dan peralatan produksi yang tersedia, sehingga total biaya produksi dapat ditekan
seminimal mingkin. Menurut Herjanto, E. (1996), perencanaan agregat merupakan jantung dari perencanaan jangka
menengah yang bertujuan untuk mengembangkan rencana produksi secara menyeluruh yang fleksibel dan optimal.
Perencanaan produksi agregat memiliki tiga strategi, yaitu Chase Strategy menyesuaikan tingkat produksi terhadap
fluktuasi permintaan dengan mengubah-ubah jumlah tenaga kerja melalui hiring dan firing, Level Strategy
menggunakan jumlah tenaga kerja serta inventory dan backorder, sedangkan Hybrid Strategy menggunakan
overtime/undertime atau merekrut tenaga kerja subcontract/part time (Reid dan Sanders, 2007).
Kekurangan bahan baku yang terjadi di perusahaan juga akan menganggu proses produksi tersebut, karena
bahan baku merupakan penunjang berlangsungnya kegiatan produksi. Menurut Render dan Heizer (2005), Material
Requirement Planning (MRP) adalah sebuah teknik permintaan terkait yang menggunakan daftar kebutuhan bahan,
persediaan, penerimaan yang diperkirakan, dan jadwal produksi induk untuk menentukan kebutuhan material.
Dalam melakukan perencanaan bahan baku terlebih dahulu melihat data permintaan produk guna menentukan
apakah bersifat dinamis atau statis dengan uji Peterson Silver (Sipper, D dan R, L Buffin, 1997). Adapun rumus
yang digunakan adalah sebagai berikut:

V= (1)

Keterangan:
V : Koefisien variansi (Peterson silver)
Dt : Permintaan aktual periode t
Jika V 0.25 uniform (seragam) statis
V 0.25 lumpy (fluktuatif/tidak seragam) dinamis

Adapun lot size yang statis yaitu sebagai berikut:


1. Economic Production Quantity (EPQ) adalah suatu model persediaan dimana barang diproduksi
sendiri oleh perusahaan. (Render dan Heizer, 2010)

EPQ = (2)

Keterangan:
EPQ : Economic Production Quantity
D : Permintaan per periode
P : Produksi per periode
S : Biaya setup
C : Biaya simpan per unit

2. Economic Order Quantity (EOQ): Pendekatan menggunakan konsep minimasi ongkos simpan dan
ongkos pesan.

EOQ (3)

Keterangan:
EOQ : Jumlah satuan per pesanan
S : Biaya pesan per pesanan
H : Biaya simpan/unit/hari

Bahan dan Metode Penelitian


Kajian ini merupakan pengembangan dari penelitian yang dilakukan oleh Itsna, A. O. dkk (2014) mengenai
perencanaan produksi agregat yang dilakukan dengan membandingkan Chase Strategy, Level Strategy, dan Hybrid
Strategy. Hasil perbandingan antara ketiga strategi dalam perencanaan agregat tersebut yaitu metode Hybrid
Strategy menghasilkan biaya produksi paling minimal. Sedangkan Hildaria, K. W. M. dkk (2014), menjelaskan
perbandingan penentuan persediaan menggunakan lot dinamis yaitu Silver Meal, Wagner Within dan cara yang
digunakan perusahaan. Analisis penentuan lot tersebut dilakukan berdasarkan karakteristik data permintaan produk

52
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

yang ada di perusahaan. Hasil penentuan kebutuhan bahan baku berdasarkan perbandingan metode-metode tersebut
menghasilkan metode Wagner Within sebagai metode yang dapat meminimasi biaya. Pada penelitian ini, metode
yang digunakan adalah Agregat Planning dan Material Requirement Planning.
Data yang dikumpulkan pada divisi jok antara lain: permintaan produk, jumlah hari kerja dan jam kerja,
biaya-biaya produksi, komponen jok, struktur produk jok, persediaan material dan rencana penerimaan jok, dan
status persediaan bahan baku. Pengolahan data dan perhitungannya meliputi: perhitungan ramalan permintaan,
memformulasikan perencanaan agregat dengan metode transportasi, penentuan jadwal induk produksi, daftar
komponen Bill Of Material, dan perencanaan kebutuhan bahan baku dengan MRP dengan melihat karakteristik data
permintaan.

Hasil dan Pembahasan


Agregasi Produk
Agregasi produk merupakan proses penyeragaman end item ke dalam satuan agregat. Proses penyesuaian ini
dilakukan dengan cara mengalikan jumlah permintaan produk setiap item dengan waktu proses masing-masing jenis
jok, kemudian hasil tersebut dijumlahkan antara jok PM dan jok SLF.

Tabel 1. Hasil perhitungan permintaan agregat


Periode Bulan Jenis Jok Family
Jok
PM SLF
1 Maret 2015 14480 3744 18224
2 April 2015 10860 4576 15436
3 Mei 2015 9593 5824 15417
4 Juni 2015 11765 7280 19045
5 Juli 2015 13575 4992 18567
6 Agustus 2015 11584 3744 15328
7 September 2015 13937 2496 16433
8 Oktober 2015 9955 4160 14115
9 November 2015 10860 4160 15020
10 Desember 2015 6878 6864 13742
11 Januari 2016 10317 3328 13645
12 Februari 2016 12489 3744 16233
Total 136293 54912 191205
Persentase 71 % 29 % 100%

Gambar 1. Pola permintaan jok

Pola data permintaan pada gambar 1 menunjukkan adanya fluktuasi permintaan, sehingga membentuk model
pola permintaan antara musiman dan siklus. Pola siklis permintaan dipengaruhi oleh fluktuasi jangka panjang, yang
menurut Nasution, A., H. (2003) bahwa waktu jangka panjang yaitu tiga tahun atau lebih dan tidak bisa digunakan
dalam peramalan jangka pendek. Pola data tersebut termasuk pola data musiman dengan metode peramalan yaitu
Single Exponential Smoothing, Double Exponential Smoothing dan Winter (Markidakis, 1995). Perhitungan
peramalan menggunakan alat bantu WinQSB versi 3, dengan tujuan menentukan metode peramalan terbaik dengan
melihat MAD terkecil. Adapun hasil peramalan permintaan produk jok dari Maret 2016 sampai Februari 2017
dengan metode Double Exponential Smoothing dan MAD 1586 dapat dilihat pada tabel 2.

53
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Tabel 2. Hasil peramalan produk jok untuk 12 periode


No. Bulan Jumlah
1. Maret 2016 18224
2. April 2016 16440
3. Mei 2016 15714
4. Juni 2016 17817
5. Juli 2016 18381
6. Agustus 2016 16450
7. September 2016 16362
8. Oktober 2016 14920
9. November 2016 14926
10. Desember 2016 14169
11. Januari 2017 13803
12. Februari 2017 15344

Perencanaan produksi Agregat dengan Hibryd Startegy


Perencanaan produksi yang akan dibuat yaitu dalam 10 bulan dari Maret - Desember 2016 dengan
menggunakan stategi hibrid. Strategi tersebut dilakukan untuk menyesuaikan keadaan perusahaan yang selalu
melakukan jam kerja lembur dan kerja part time (borongan), kemudian dari strategi hibrid digunakan untuk
mempermudah dalam mengalokasikan kapasitas-kapasitas produksi baik jam kerja normal, lembur atau part time
menggunakan metode transportasi north west corner. Hasil perhitungan jumlah waktu produksi serta biaya produksi
dalam periode perencanaan produksi agregat dapat dilihat pada tabel 3 dan 4 berikut ini.

Tabel 3. Rekapitulasi rencana produksi agregat


Jumlah Produksi Jumlah Produksi Jumlah Produksi
Total Produksi
Periode Regular time Over time Part time
(Menit) (Unit) (Menit) (Unit) (Menit) (Unit) (Menit) (Unit)
Maret 10088 52 3298 17 4838 25 18224 94
April 10088 52 2910 15 3442 18 16440 85
Mei 9700 50 3104 16 2910 15 15714 81
Juni 10670 55 3298 17 3849 20 17817 92
Juli 6790 35 2134 11 9457 49 18381 95
Agustus 10670 55 3104 16 2676 14 16450 85
September 10080 52 2910 15 3364 17 16362 84
Oktober 10080 52 3104 16 1728 9 14920 77
November 10670 55 3298 17 958 5 14926 77
Desember 9700 50 2716 14 1753 9 14169 73

Tabel 4. Total biaya produksi agregat


Periode Biaya Produksi Biaya Produksi Total Biaya Produksi
Regular time Over time per periode
Maret Rp. 32.391.840 Rp. 10.959.968 Rp. 43.351.808
April Rp. 32.391.840 Rp. 9.670.560 Rp. 42.062.400
Mei Rp. 31.146.000 Rp. 10.315.264 Rp. 41.461.264
Juni Rp. 34.260.600 Rp. 10.959.968 Rp. 45.220.568
Juli Rp. 21.802.200 Rp. 7.091.744 Rp. 28.893.944
Agustus Rp. 34.260.600 Rp. 10.315.264 Rp. 44.575.864
September Rp. 32.391.840 Rp. 9.670.560 Rp. 42.062.400
Oktober Rp. 32.391.840 Rp. 10.315.264 Rp. 42.707.104
November Rp. 34.260.600 Rp. 10.959.968 Rp. 45.219.968
Desember Rp. 31.146.000 Rp. 9.025.856 Rp. 40.171.856
Total Rp. 316.443.360 Rp. 99.284.416 Rp. 415.727.776

54
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Jadwal Induk Produksi (JIP)


Disagregasi adalah proses pemisahan rencana produksi agregat menjadi kebutuhan yang akan diproduksi per
tiap item produk. Hasil dari disagregasi dinamakan Jadwal Induk Produksi (JIP). Adapun metode yang akan
digunakan untuk disagregasi ini adalah metode persentase.

Tabel 5. Rencana produksi untuk setiap jenis jok


Rencana produksi
Periode (Unit)
Jok PM Jok SLF
Maret 2016 71 25
Apri 2016 64 23
Mei 2016 62 22
Juni 2016 70 25
Juli 2016 72 26
Agustus 2016 64 23
September 2016 64 23
Oktober 2016 58 21
November 2016 58 21
Desember 2016 55 20
Januari 2017 54 19
Februari 2017 60 21

Perencanaan Kebutuhan Material (Material Requirement Planning)


Hasil dari uji Peterson Silver ternyata untuk jok PM dan Jok SLF dengan nilai koefisien variansi masing-
masing adalah 0,032 dan 0,089, berarti menggunakan karakteristik data statis yaitu Economic Order Quantity, dan
Economic Production Quantity. sehingga Economic Order Quantity digunakan untuk bahan baku yang dibeli dan
Economic Production Quantity untuk bahan baku yang dibuat sendiri.
Perhitungan kebutuhan bahan baku jok PM dengan EOQ menunjukkan beberapa bahan baku yang dalam
perencanaan ini dilakukan pemesana setiap periode (10 kali pemesanan). Bahan baku tersebut yaitu Ring C/Tembg
Mc6, Kawat Baja 2 Mm, dan Plastik Mika Soft 0, sedangkan untuk bahan baku yang lain frekuensi pemesanan
antara 1 - 5 kali. Adapun rekapitulasi dari perhitungannya dapat dilihat pada tabel 6.

Tabel 6. Rekapitulasi kebutuhan bahan baku jok PM


No. Bahan Baku EOQ Frekuensi Total Biaya
Pemesanan Minimum
Lem
1. Insol 116 Plus 39 Kg 4x Rp. 2.921.031
Lem
2. Patex Prima D 36 Kg 4x Rp. 2.959.242
Busa
3. Sintetis 20x100 4x0.8 Cm 74 Sht 2x Rp. 8.958.584
Busa
4. Sintetis 200x100x 2 Cm 45 Sht 2x Rp. 4.993.775
5. Ring C/Tembg Mc6 11793 Pcs 10 x Rp. 7.190.790
6. Eser Ø4 Mmx12 M 601 M 5x Rp. 19.609.390
7. Kawat Tali Dm. 1,25 Mm 122 M 4x Rp. 3.482.416
8. Kawat Baja 2 Mm 148 M 10 x Rp. 47.886.683
9. Plastik Mika Soft 0 108 M 10 x Rp. 1.677.937
10. Isolasi Panfix 1/2"X 72 98 Rol 1x Rp. 1.306.486
11. Pipa Stkm 11ah Ø26,6x2mmx6m 347 BA 2x Rp. 55.083.542
12. Pipa Stkm 11ah Ø21,1mmx2mmx6m 119 BA 1x Rp. 12.293.496
13. Eser Ø5,6 Mmx12 M 143 M 2x Rp. 2.561.775
14. Ring Veer Wl 8 Putih 890 Pc 3x Rp. 5.986.428
15. Nut-Bolt M 8 X45 X1,25 869 Pc 3x Rp. 3.137.927
16. Imitasi Vnl Door 960/Iptc140kshtml 524 M 2x Rp. 34.439.213
17. Imitasi Vinil Dr960/Iptc130ks 375 M 1x Rp. 10.048.259
18. Benang Nylon Abu Kcl No30 121 Pc 2x Rp. 2.316.854
19. Kain Tricord + Busa 0,8 Cm 128 M 8x Rp. 1.348.093
20. Oscar/ Imitasi Ds 208 M 2x Rp. 14.379.982
TOTAL Rp. 245.719.830

55
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Bahan baku yang dibuat oleh perusahaan, penentuan kebutuhannya dilakukan dengan perhitungan Economic
Production Quantity (EPQ). Adapun rekapitulasi dari perhitungan tersebut dapat dilihat pada tabel 7. Hasil produksi
optimal bahan baku jok PM dan SLF dapat dilihat pada tabel 8 dan 9.

Tabel 7. Rekapitulasi kebutuhan bahan baku jok SLF


No. Bahan Baku EOQ Frekuensi Total Biaya
Pemesanan Minimum
1. Lem Insol 116 Plus 12,5 Kg / Can 23 Kg 2x Rp. 1.119.921
2. Lem Patex Prima D Netto 14 Kg 22 Kg 2x Rp. 1.138.095
3. Busa Sintetis 200 X 100 X 0.8 Cm 45 Sht 1x Rp. 3.252.575
4. Cop Dek ttp Plastik Lepasan Cream 335 Sht - Rp. 6.310.493
5. Kawat Baja 2 Mm 40 M/Kg 75 M 6x Rp. 13.362.878
6. Refill Staples-Big 1010J 89 Pc - Rp. 633.348
7. Bolt JF 6x30x1,0 White (+) 548 Pc 3x Rp. 2.506.067
8. Triplek 4’x8’x9MM 38 Sht - Rp. 4.459.386
9. Nut-Tancap (Tee Nut) 6MMx11,0 474 Pc 3x Rp. 6.095.256
10. Reclening Seat Bulat LH (P 222) 109 Pc 2x Rp. 7.142.700
11. Reclening Seat Bulat RH (P 222) 108 Pc 3x Rp. 8.309.623
12. Pipa Stkm 11ah Ø21,1mmx2mmx6m 149 BA 1x Rp. 19.173.467
13. Pipa Stkm 11ah Ø26,6x2mmx6m 174 BA 1x Rp. 14.088.350
14. Pipa STKM 11ah 20x40x1,8x6M 66 BA 1x Rp. 3.030.693
15. Ring Veer Wl 10 Putih 754 Pc 3x Rp. 4.431.470
16. Nut-Bolt M 10x20x1,25 Kuning F7 736 Pc 3x Rp. 2.389.864
17. Oscar Mb Tech 9008 Golden Beige 207 M 4x Rp. 5.054.047
18. Kain Tricord + Busa 0,8 Cm 75 M 5x Rp. 661.230
19. Benang Nylon Abu Kcl No 30 46 Pc 1x Rp. 388.408
20. Benang Polyes Beige 20-3 No.354 39 Rol - Rp. 1.083.248
21. SpunBond Type40 T0,18MM.2,2M 49 M 1x Rp. 1.644.665
TOTAL Rp. 103.245.434

Tabel 8. Hasil produksi optimal bahan baku jok PM


No. Bahan Baku EPQ Total Biaya Persediaan
1. Rangka Jok Prona Pm 758 set Rp. 11.269.662
2. Cover Jok Prona Pm 515 set Rp. 6.144.042
3. Sandaran Prona Pm 1616 pc Rp. 9.011.986
4. Dudukan Prona Double 758 pc Rp. 6.148.227
5. Dudukan Mur Sabuk Pengaman 2984 pc Rp. 8.940.196
7/16
6. Bracket Lantai Jok KIA 3469 pc Rp. 6.970.355
7. Bracket Dudukan Jok S1 1518 pc Rp. 5.737.608
8. Siku Jok 1530 pc Rp. 3.864.380
9. Peer Jok 1048 M Rp. 11.708.316
10. Plat sandaran 1,1mmx6mmx38m 430 pc Rp. 9.824.396
Total Rp. 79.619.168

Tabel 9. Hasil produksi optimal bahan baku jok SLF


No. Bahan Baku EPQ Total Biaya Minimum
1. Rangka jok slf double 322 set Rp. 5.566.004
2. Cover jok SLf 322 set Rp. 2.232.586
3. Sandaran Bus malam NA II 455 pc Rp. 6.067.163
4. Dudukan Bus malam 252 pc Rp. 3.684.213
5. Cover sandaran jok blk ergo one 407 pc Rp. 4.714.994
6. Cover recleaning ergo one Rh 270 pc Rp. 2.559.222
7. Cover recleaning ergo one lh 270 pc Rp. 2.559.222
8. Tapping screw TSAT ced htm 1856 pc Rp. 3.291.778
9. Tapping screw TSAT 2830 pc Rp. 6.263.439

56
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

10. Bracket reklening 11 cm 455 pc Rp. 3.628.401


11. Kaki jok ekamira prona 599 pc Rp. 2.710.119
12. Bush 13x20 (Assental) 599 pc Rp. 2.168.095
13. Bush 12,7x30 322 pc Rp. 1.335.476
14. As Geret II 112,7 x 68,5 252 pc Rp. 1.125.523
15. Kupingan Jok 847 pc Rp. 3.548.524
16. Plat sandaran 1,1mmx6cmx38cm 1856 pc Rp. 9.016.644
17. Plat sandaran bus extra kernet 599 pc Rp. 3.387.648
genesia
18. Dudukan mur sabuk pengaman 511 pc Rp. 8.836.761
7/16
19. Ring plat Wp 1037 pc Rp. 5.264.576
8mmx18mmx1,0mm
Total Rp. 80.321.051

Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan:
1. Total produksi selama 10 periode ke depan yaitu 662 unit (regular time dan over time) dengan total biaya
produksi sebesar Rp. 415.727.776.-. Biaya produksi yang dikeluarkan perusahaan sebesar Rp. 532.591.913,-,
sehingga dapat dihemat 21% atau Rp. 116.864.137.-.
2. Total biaya persediaan dengan metode EOQ sebesar Rp. 348.965.264,-, lebih kecil dari biaya yang dikeluarkan
perusahaan yaitu sebesar Rp. 567.575.436,-, sehingga biaya bahan baku dapat dihemat Rp. 218.610.172,- atau
38,5 %. Total biaya persediaan dengan metode EPQ untuk jok PM dan SLF sebesar Rp. 159.940.219,-,
sedangkan biaya produksi yang dikeluarkan perusahaan yaitu sebesar Rp. 250.740.911,-, sehingga dapat dihemat
36% atau Rp. 90.800.692,-.

Daftar Pustaka
Herjanto, E., (1996), "Manajemen Produksi dan Operasi", Grasindo, Jakarta.
Hildaria, K. W. M., dkk, (2014), “Perencanaan Persediaan Bahan Baku dan Bahan Bakar dengan Dynamic Lot
Sizing”, Jurnal Teknik Industri, Universitas Brawijaya.
Itsna, A. O., dkk, (2014), “Perencanaan Produksi Agregat Produk Tembakau Rajang P01 dan P02”, Jurnal Teknik
Industri, Universitas Brawijaya.
Markidakis, (1995), “Metode dan Aplikasi Peramalan”, Erlangga, Jakarta.
Nasution, A. H., (1999), “Perencanaan dan Pengendalian Produksi”, cetakan pertama, penerbit PT. Candimas
Metropole, Jakarta.
Nasution, A. H., (2003), “Perencanaan dan Pengendalian Produksi”, Edisi Pertama, Guna Widya, Surabaya.
Reid, R. D., dan Sanders, N. R., (2007), “Operations Management”, 3rd Edition, New York: John Wiley & Sons.
Render, B., dan Heizer, J., (2005), “Manajemen Operasi”, Edisi Ketujuh, Buku 2, Salemba Empat, Jakarta.
Render, B., dan Heizer, J., (2010), “Manajemen Operasi”, Edisi Kesembilan, Buku 2, Salemba Empat, Jakarta.
Sipper, D., dan R. L. Buffin, (1997), “Production: Planning, Control and Integration”, Mc Graw Hill, Singapore,
Pp 256-257.

57
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

RANCANG BANGUN ALAT PENGILING DALAM PROSES PRODUKSI


KERUPUK LEGENDAR DI UKM SINAR KOTA SEMARANG

Meny Suzery1, Widayat2, Hadiyanto3 dan Hantoro Satriadi4


1
Departemen Kimia Fakultas Sains dan Matematika Universitas Diponegoro
2,3,4
Departemen Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Diponegoro
Jl. Prof. Soedarto SH Semarang
E-mail:meiny_suzery@undip.ac.id

Abstrak

Kerupuk legendar/karak adalah kerupuk yang berbahan baku beras. Umumnya bahan baku beras
adalah beras dengan kualitas paling rendah karena hal ini berkaitan dengan pertimbangan harga
yang murah. Selain dipengaruhi oleh bahan baku, kandungan gizi juga dipengaruhi oleh proses
produksi. Proses produksi meliputi tahap pencucian, pemasakan, penghalusan dan pengeringan.
Tahap yang memungkinkan penghilangan kandungan gizi adalah pada tahap pencucian dan
pemasakan. Untuk meningkatkan kandungan gizi, dilakukan penambahan bahan pembantu dengan
harga murah seperti kacang-kacangan, ikan laut dan lain-lain. Bahan pembantu untuk pembuatan
kerupuk legendar/karak adalah garam “bleng” atau “cetitet”, yang berbentuk padatan atau cairan
dan berwarna kuning. UD Sinar (Bapak Hanis) dan UD Dua Bawang merupakan UKM yang
memproduksi dan memperdagangkan kerupuk nasi ini. Kedua UKM ini berdomisili di Kota Semarang
dimana pangsa pasar disekitar Semarang, Kendal dan Demak. Permasalahan yang dihadapai adalah
dalam proses pengirisannya yang masih manual dan pengeringan. Dengan adanya alat penggiling
mekanik dan pengiris dapat meningkatkan kualitas dan produktifitas dari karak gendar. Alat yang
dibuat berkapasitas sekitar 5 kg /jam, sehingga dapat meningkatkan kapasitasnya. Alat pengiling
berbentuk silinder dua buah dan digerakkan oleh motor. Lembaram-lembaran kerupuk tinggal dicetak
atau diris berbentuk sesuai yang diharapkan dan dikeringkan.

Kata kunci : kerupuk karak; penggiling mekanik; peningkatan produktifitas

Pendahuluan
Kerupuk legendar/karak adalah kerupuk yang berbahan baku beras. Jenis kerupuk yang lain adalah kerupuk
terung (Bandung) dimana kerupuk ini berbahan baku tepung terigu. Dengan bahan baku dari beras, maka nilai gizi
pada produk karak tergantung pada bahan baku dan prosesnya. Umumnya bahan baku beras adalah beras dengan
kualitas paling rendah karena hal ini berkaitan dengan pertimbangan harga yang murah. Selain dipengaruhi oleh
bahan baku, kandungan gizi juga dipengaruhi oleh proses produksi (http://www.ristek.go.id, 2002; Buchori dkk,
2009). Proses produksi karak meliputi tahap pencucian, pemasakan, penghalusan dan pengeringan. Tahap yang
memungkinkan penghilangan kandungan gizi adalah pada tahap pencucian dan pemasakan. Untuk meningkatkan
kandungan gizi, dilakukan penambahan bahan pembantu dengan harga murah seperti kacang-kacangan, ikan laut
dan lain-lain. Bahan pembantu untuk pembuatan kerupuk legendar/karak adalah garam “bleng” atau “cetitet”, yang
berbentuk padatan atau cairan dan berwarna kuning. Di Jawa Timur kerupuk jenis ini diberi nama kerupuk puli
(Widayat dkk, 2008; Buchori dkk, 2009; Anonim, 2012).
Masyarakat di Indonesia umumnya memanfaatkan sisa makanan yang tidak termakan untuk membuat
kerupuk legendar, sehingga sangat jarang pengrajin kerupuk jenis ini. Di Kota Semarang, keberadaan pengrajin
krupuk legendar/karak tidak dapat diabaikan sebagai suatu unit usaha kecil komersial. Jumlah pengrajin kerupuk
legendar di Kota Semarang belum banyak seperti di kota-kota lain seperti Klaten dan Surakarta. Permasalahan yang
umum ditemukan bagi pengrajin kerupuk gendar adalah masih mengandung borak. Hal ini disebabkan oleh bahan
pembantu yang digunakan yaitu bleng yang merupakan garam yang masih mengandung boraks (Widayat dkk, 2008;
Buchori dkk, 2009). Hasil analisis yang dilakukan oleh Zulaikhah (2011) terhadap kerupuk yang beredar di pasar
tradisional di Kab. Malang, dimana sekitar 40% kerupuk mengandung borak. Konsentrasi borak beragam, dimana
terkecil sebesar 3.720 ppm dan paling besar 16.368 ppm. Hal ini membutuhkan penanganan tersendiri.
Permasalahan yang lain adalah penggunaan pewarna yang dilarang pada makanan seperti Rhodamin B. Mawaddah
(2015) juga telah melakukan analisis dimana sekita 53% kerupuk mie yang beredar di Pasar Kab Tegal mengandung
pewarna Rhodamin B. Rhodamin B merupakan pewarna sintetis berbentuk serbuk kristal, berwarna hijau atau ungu

58
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

kemerahan, tidak berbau, dan dalam larutan akan berwarna merah terang berpendar/berfluorosensi. Rhodamin B
merupakan zat warna golongan xanthenes dyes yang digunakan pada industri tekstil dan kertas, sebagai pewarna
kain, kosmetika, produk pembersih mulut dan sabun. Pewarna ini tergolong pewarna yang berbahaya bagi kesehatan
Permen Kesehatan RI No. 239 Tahun 1985.
UD. Sinar dan UD. Dua Bawang merupakan UKM kerupuk karak yang ada di Kota Semarang. UD SINAR
yang dipimpin oleh Bapak Hanis N yang berlokasi di Kelurahan Pedurungan Kidul, Kecamatan Pedurungan,
Semarang. UD SINAR ini menempati areal seluas 100 m2 dengan tempat produksi seluas 20 m2. Pada kondisi
normal, UD SINAR memproduksi karak sebanyak 5.000 buah/hari. Produksi sebesar ini membutuhkan bahan baku
beras sebanyak 75 kg. UD SINAR memproduksi 2 jenis karak. Sebanyak 3000 buah karak dijual dengan harga Rp.
60,00/buah dan sebanyak 2000 buah karak dijual dengan harga Rp. 120,00/buah. Demikian juga UD. Dua Bawang
omzet dan kondisi UKM lebih besar dibanding dengan UD Sinar, bahkan letak dari kedua UD yang tidak jauh
berbeda. UD. Dua Bawang terletak di Kec Pedurungan Desa Blancir Kota Semarang dimiliki oleh Ibu Bontjit
Kusumawati.
Kendala yang dihadapi oleh UKM krupuk legendar/karak UD. SINAR dan UD. DUA BAWANG adalah
pada proses pembuatan krupuk yang masih manual terutama pada proses penghancuran/ pelumatan,
pencetakan, dan pengeringan. Proses penghancuran/pelumatan bahan baku telah dapat diselesaikan dengan adanya
penggiling mekanik (Buchori dkk, 2009) dimana proses dapat dilangsungkan lebih cepat serta higienis lebih
terjaga, kelembutan hasil pelumatan lebih homogen. Kendala lainnya adalah pada proses pengeringan yang masih
menggunakan tenaga matahari. Kelemahan utama proses pengeringan menggunakan tenaga matahari adalah waktu
pengeringan lama (5-6 jam), memerlukan tempat luas dan biaya operasional untuk tenaga kerja besar (Djaeni
dkk 2003). Proses pengeringan dengan tenaga matahari juga tidak higienis karena ditempatkan pada tempat terbuka
yang menyebabkan krupuk akan tercemar virus-virus, bakteri, jamur maupun debu. Sampai saat ini kedua UKM/UD
hanya mampu memenuhi kebutuhan pasar sekitar 75 kg/hari, padahal permintaan pasar sampai 120 kg/hari
(Wawancara dengan Pemilik).
Untuk memperbaiki kandungan gizi akan dilakukan penambahan bahan pembantu yaitu kacang-kacangan
seperti kacang tolo, kacang tanah dan kedelai serta ikan laut. Dengan demikian kandungan gizi dapat
ditingkatkan dan diversifiasi produk juga diperoleh (Widayat dkk, 2008). Fuad (2013) telah melakukan usaha
untuk memperbaiki citra kerupuk gendar dengan melakukan redesign dalam kemasan, dimana prespektif konsumen
dapat dipengaruhi oleh penampilan kemasan. Untuk perbaikan sistem pengirisan atau pemotongan produk,
diperlukan mekanisasi peralatan proses. Hal ini akan meningkatkan produktivitas dan kapasitas karak. Sehingga
keberlanjutan produksi karak dapat kontinyu, serta kualitas karak dapat ditingkatkan. Peralatan proses yang
dimaksud adalah rancang bangun alat penggiling. Alat pelumat/penggiling bahan baku kerupuk karak dirancang
agar kuantitas dan kualitas produk meningkat, kelembutan bahan baku dapat lebih seragam, ketebalan karak yang
dihasilkan seragam, serta higienitas karak tetap terjaga.
Penelitian ini bertujuan untuk merancang bangun alat penggiling yang mampu menghasilkan lembaran-
lembaran yang siap cetak dengan ketebalan yang seragam.

Metode Penelitian
Metode pelaksanaan yang digunakan pada program ini dapat dijelaskan seperti Gambar 1, dimana setelah
dilakukan evaluasi terhadap UKM, dilanjutkan dengan pemecahan masalah. Evaluasi dan pemecahan masalah
dilakukan setelah wawancara dengan pemilik.Untuk mencapai tujuan dari kegiatan yang telah ditetapkan di atas
maka kegiatan ini dilakukan kegiatan Rancang bangun Alat Penggiling
Kegiatan tahap ini bertujuan untuk merancang alat penggiling krupuk nasi/legendar agar kuantitas dan
kualitas produk yang dihasilkan meningkat dan diperoleh keseragaman dalam ukuran, higienitas produk terjaga serta
kualitas karak yang dihasilkan menjadi lebih baik. Gambaran teknologi alat penggiling seperti disajikan dalam
Gambar 2 dan penjelasann secara terperinci adalah sebagai berikut;
Alat Penggiling adonan karak yang dirancang terdiri dari lima bagian utama yaitu:
1. Unit Penggiling
Unit penggiling berbentuk silinder dengan dimensi diameter luar 15 cm, yang mempunyai panjang 40 cm dan
berjumlah dua buah. Unit ini akan menggiling adonan sehingga membentuk lembaran kerupuk karak. Untuk
menggiling digerakkan oleh motor. Penggiling terjadi karena proses penekanan karena aliran akibat pergerakan
silinder atas dan bawah, dimana bergerak secara berlawanan. Produk akan bergerak keluar diantara sela-sela
silinder, dimana ketebalan dapat diatur dengan mengatur As dari silinder atas
2. Meja
Meja digunakan untuk menempatkan mesin penggiling berbentuk silinder, tempat penampung produk adonan
/cetakan dan motor pengerak. Meja mempunyai ukuan 80 x 800 x 100 cm3. Meja terbuat dari besi untuk
bagian kaki dan besi ss untuk tatakan. Meja yang dirancang seperti disajikan di dalam Gambar 2.

59
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Evaluasi dan Analisis di UD. DUA Target Pemecahan Masalah Alternatif Teknologi yang
BAWANG dan UD.SINAR Semarang Diterapkan

Teknik
penghancuran/pelumatan Perancangan
dan Proses Produksi Mengurangi Alat Penggiling
 Menggantungkan pada ketergantungan kepada
manusia
kerupuk/karak
manusia (tenaga kerja)
 Penggunaan tenaga
manusia dalam proses
pelumatan bahan baku
 Pengeringan dengan Pembuatan Alat
matahari
Memenuhi omset pasaran,
Penggiling
 Produk yang dihasilkan
dan meningkatkan kualitas
tidak seragam dan higienis
produk
 Kapasitas tidak dapat
ditingkatkan
 Sulit memenuhi omzet
yang bertambah Investasi dan Uji
 Kualitas masih rendah Alat di UKM
Produktifitas meningkat
dan pendapatan
bertambah

Kualitas dan
Kuantitas
Waktu lebih cepat dan Produk
 Waktu pelumatan dan keseragaman produk dan Meningkat
penghancuran lama kualitas terjaga
 Keseragaman hasil
gilingan tidak terjamin
 Higienitas tidak terjamin  Perlu perancangan alat
 Kapasitas produksi pelumat/penggiling Uji produksi di
terbatas  Biaya perancangan alat UKM
 Kualitas produk masih penggiling yang lebih
rendah murah
 Perlu pelatihan

Pembelian alat penggiling Pelatihan dan


Kualitas dan Kapasitas
kerupuk nasi/karak Demonstrasi
produk dapat
Harga alat mahal ditingkatkan Plotting Alat

Perlu Pemecahan
Masalah

Gambar 1. Skema alur pelaksanaan kegiatan IbM

60
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Gambar 2. Alat pengiling dengan tatakan meja

3. Motor Pengerak
Motor yang akan digunakan untuk mengerakan poros silinder. Motor mengerakkan poros silinder dan
kecepatannya digunakan dikurangi dengan rotor. Silinder akan bergerak secara berlawanan antara atas dan
bawah. Perputaran silinder ini yang menyebabkan terjadinya proses penggiingan adonan ke arah keluaran.
Kecepatan putar motor adalah sekitar 50 rpm, dan membutuhkan daya sekitar 300 watt/220 volt.
4. Penampung
Adonan yang telah digiling menjadi lembaran-lembaran karak akan ditampung oleh meja ss. Lembaran-
lembaran selanjutnya bisa dipotong dan dicetak sesuai keinginan.

Hasil dan Pembahasan


Pelaksanaan survey, dilakukan dengan mengunjungi UKM dan dialog dengan pemilik. Kedua UKM
beralamat berdekatan di Pedurungan Kidul, sehingga memudahkan didalam pelaksanaan kegiatan. Hasil analisis
menunjukkan bahwa permasalahan pada UKM adalah Proses pembentukan kerupuk gendar /karak (pemotongan)
masih manual. Gambar 3.a. merupakan alat yang digunakan untuk mengiling dan membentuk karak, dimana adonan
nasi dipress dengan manual /dengan menekan dengan tekanan manual /tangan. Kapasitas setiap operasi juga sangat
minim yaitu 2 buah kerupuk setiap menekan /mengepres alat. Padahal UKM yang lain sudah menggunakan sistem
yang lebih baik, yaitu dengan menggunakan penggiling (Gambar 3.b.). Namun alat ini masih belum memiliki nilai
higinitas. Untuk itu diperlukan sentuhan teknologi yang memperhatikan higinitas.

a. Manual b. mesin
Gambar 3. Alat penggiling /pengepres secara manual

61
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Gambar 4. Proses pembuatan kerangka

Teknologi yang akan dirancang merupakan modifikasi dari mesin penggiling yang dimiliki oleh UD. Dua
Bawang. Mesin ini juga berbeda dengan hasil rancang bangun dari peralatan pengiris oleh Djaeni dkk (2003)
maupun Widayat dkk (2008). Djaeni dkk (2003) menggunakan kawat sebagai alat pemotong sedangkan Widayat
dkk (2008) menggunakan pisau untuk memotong kerupuk. Modifikasi dilakukan diantara dengan penggunaan bahan
ss sehingga higinitas lebih terjaga. Proses pembentukan digunakan silinder dari besi ss, dimana berfungsi untuk
membuat pipih adonan dari kerupuk. Adonan akan digiling oleh pertemuan dua silinder yang bergerak secara
berlawanan arah. Lembaran dengan ketebalan tertentu akan dihasilkan dari mesin penggiling. Kelebihan yang lain
adalah ketebalan dapat diatur dengan mengatur jarak antara dua silinder. Tahap perancangan yang dilakukan terlebih
dahulu membuat kerangka untuk meja dengan menggunakan meja siku (Gambar 4). Besi siku yang digunakan
berukuran 2 x 3 cm. Ketinggian kerangka menyesuaikan dengan proses penggilingan, dimana berkisar 80 cm.
Dengan ketinggian tersebut maka operator akan lebih mudah menjangkai dan mengendalikan mesin. Kerangka
berfungsi untuk meletakkan bahan adonan dan juga produk hasil penggilingan. Kerangka ditutup dengan lembaran
besi sehingga nanti tinggal dilapisi besi ss. Meja ini juga berfungsi untuk menaruh silinder penggiling dan motor
pengerak. Silinder diletakkan tepat tengah dengan meja umpan dan meja produk berkisar 80 cm. Meja selanjutnya
difinishing dengan pendempulan dan pengecatan.
Mesin pengiling yang terdiri dari silinder dua buah dengan panjang 40 cm dan diameter 10 cm. Silinder
berbahan baku pipa ss sehingga berongga namun ditutup dan dilengkapi dengan poros. Poros terbuat dari besi pejal
yang selanjutnya diletakkan dalam bearing bagian kanan –kiri. Bearing diletakkan didalam meja, dimana bagian
bawah dibuar tetap dengan silinder setengah tertutup meja. Bearing yang bagian atas atas bisa digerakkan dan dapat
dikuatkan sehingga tidak bergerak (Gambar 5.a). Sistem ini dapat mengatur ketebalan dari produk dari proses
penggilingan. Bearing bagian atas dihubungkan dengan tuas berulir yang dihubungkan dengan baut untuk
mengerakkan naik dan turun besi silinder bagian atas. Tuas As bagian salah satu (sebelah kiri Gambar 5.b)
dihubungkan dengan gear dengan diameter yang sama 5 cm. Gear ini dihubungakan dengan gear lain, stator beserta
motor. Sistem koneksi menggunakan rantai. Stator berfungsi untuk menggunakan kecepatan putar dari motor hingga
1/40 kali serta mensingkronkan kecepatan dari putaran mesin. Untuk memperoleh kecepatan putaran yang
diinginkan sekitar sistem koneksi rantai dihubungkan dari gear diameter 20 menjadi diameter 10 cm.

a. Bearing b. Sistem pergerakan gear


Gambar 5. Alat penggiling adonan

62
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Kelebihan produk dari mesin penggiling ini adalah keseragaman ketebalan jika dibandingkan dengan
peralatan selanjutnya. Peralatan sebelumnya sangat bergantung dari operator /teknisi, dimana pada saat kelelahan
maka akan dihasilkan kerupuk yang lebih tebal. Kecepatan pembentukan lembaran-lembaran adonan yang siap
potong maupun cetak. Dengan demikian kegiatan perancangan alat penggiling adonan kerupuk gendar ini
bermanfaat sangat besar bagi UKM. Permasalahan lain dari UKM Sinar adalah belum memiliki PIRT, dimana
merupakan salah satu syarat untuk bisa dipasarkan dan diakui oleh masyarakat. Gambat 6. merupakan produk karak
dari UKM 1# yang belum memiliki PIRT. Kegiatan selanjutnya adalah pengurusan PIRT. Produk karak ini
sebenarnya mempunyai prospek yang sangat baik. Bahkan produk ini bisa diekspor khususnya ke Malaysia.

a. Merk b. Produk karak


Gambar 6. Produk dari UKM 1#

Dengan adanya Kegiatan rancang bangun ini, manfaat yang diperoleh adalah peningkatan kapasitas
produksi. Kapasitas produksi krupuk karak legendar akan meningkat per harinya, mengingat tuntutan pasar pada
saat ini yang cenderung bertambah. Analisis ekonomi dilakukan dengan asumsi setiap tahun diambil jam kerja 300
hari dan setiap 1 kg beras akan dihasilkan erupuk gendar 100 biji. Kapasitas total pada saat ini adalah 300 x 25 =
7.500 kg /tahun bahan baku beras atau 750.000 buah kerupuk karak/tahun. Kapasitas produksi karak rata-rata
adalah 2.500 buah/hari. Dengan adanya alat pelumat/penggiling ini kuantitas produksi dapat bertambah sampai dua
kali, sehingga dapat memenuhi permintaan pasar. Dengan demikian kapasitas produksi karak sepanjang tahun
setelah ada alat pelumat/penggiling ini adalah sebanyak 1.500.000 buah karak/tahun = 5.000 buah/hari sehingga
dapat dikatakan kapasitas produksi karak meningkat dari 25 kg/hari menjadi 50 kg/hari. Sehingga omset UKM
perharinya akan meningkat dari Rp. 250.000,- menjadi Rp. 500.000,-. Dalam waktu satu tahun, dengan adanya unit
penggiling maka terjadi kenaikan omset sebesar Rp 150.000.000,- per tahun. Secara terinci analisis perhitungan
nilai ekonomi seperti disajikan pada Tabel 1. berikut ini: Dengan investasi peralatan berkisar Rp.10.000.000,- maka
akan dapat balik modal dalam waktu. Jika setiap kerupuk mengambil untuk Rp. 10,- maka akan memperoleh
peningkatan keuntungan sebesar 15.000.000 per tahun. Dengan demikian peralatan dapat balik model dengan waktu
kurang dari 1 tahun.
Tabel 1. Analisis finasial dengan adanya mesin penggiling
Uraian Sebelum ada Alat Hasil Yang diharapkan sesudah ada
Penggiling alat penggiling
Kapasitas produksi rata-rata 25 kg 50 kg
per hari
Jumlah krupuk yang 2.500 biji 5.000 biji
dihasilkan
Omset per hari* Rp 250.000,- Rp 500.000,-
Kapasitas tahunan 7.500 kg (7,5 ton) 15.000 kg (15 ton)
Omset tahunan Rp 75.000.000,- Rp 150.000.000,-
*) : Harga krupuk Rp 100,-

Kesimpulan
Mesin penggiling berhasil dirancang bangun dan dimanufkatur, dimana peralatan terdiri dari dua buah
silinder yang bergarak secara berlawanan arah. Untuk menggerakan silinder digunakan tuas yang dilengkapi dengan
bearing dan gear. Gear dihubungkan oleh rantai yang digerakan oleh motor yang telah disingkronan oleh stator
sehingga diperoleh kecepatan sekitar 10-20 rpm. Hasil analisis ekonomi menunjukkan bahwa mesin penggiling akan
memberikan prospek yang sangat baik bagi UKM dengan waktu balik model kurang dari 1 tahun.

Acknowledgment
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Direktorat Riset dan Pengabdian Kepada Masyarakat Direktorat
Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi sesuai dengan

63
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Surat Perjanjian Penugasan Pelaksanaan Program Pengabdian kepada Masyarakat Nomor:


008/SP2H/PPM/DIT.LITABMAS/II/2016 melalui Program Ipteks bagi Masyarakat (IbM).

Daftar Pustaka
Anonim (2002). Teknologi Pembuatan Krupuk. Informasi Ekonomi dan Teknologi
Buchori L.,Widayat, dan M Djaeni (2009), Rancang Bangun Alat Penggiling pada Produksi Kerupuk
Legendar/Karak Sebagai Usaha Untuk Meningkatkan Kapasitas dan Kualitas Produk, Laporan Pengabdian
kepada Masyarakat Program Vucer LPPM Undip Semarang
Djaeni, M, F S Budi, dan. A. Prasetyaningrum (2003), “Mekanisasi Proses Pembuatan Kerupuk Terung di Kota
Semarang“ Laporan Aplikasi Teknologi Universitas Diponegoro kerjasama dengan BAPPEDA Kota
Semarang
http://www.ristek.go.id (Teknologi Pembuatan Krupuk, 2002)
Mawaddah, I. (2015), Analisis Keamanan Pangan Pada Produk Kerupuk Mie Di Kabupaten Tegal, Laporan Skripsi
Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 239/MenKes/Per/V/85 mengenai Zat Warna Tertentu yang Dinyatakan
Sebagai Bahan Berbahaya.
Widayat, L. Buchori dan M. Djaeni (2008), Rancang Bangun Alat Pengrajang Karak Dan Uji Proses Produksi,
Laporan Pengabdian kepada Masyarakat Program Vucer LPPM Undip Semarang
Zulaikhah (2011), Analisa Kandungan Boraks Pada Kerupuk Di Pasar Tradisional Kabupaten Malang Tahun 2011,
Jurnal Healthy Science Vol 2 No. 2 Akademi Analis Kesehatan Malang

64
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

ALAT PENCETAK ADONAN KUE KERING DENGAN SISTEM


PNEUMATIC PADA UKM PRODUSEN KUE

Fauzani Ulul Rohman1, Muhammad Sanusi2, Gamma Kartika3


1,2,3
Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Surakarta
Jl. A. Yani Tromol Pos 1 Pabelan Kartasura 57102 Telp 0271 717417
Email: Fauzaniulul@gmail.com

Abstrak

Di era moderen saat ini khususnya dalam industri kreatif, bisnis kuliner pun ikut terpengaruhi.
Persaingan yang tidak hanya mengandalkan cita rasa tapi juga menyuguhkan tampilan yang menarik
dan unik tapi tentunya tidak meninggalkan ciri khas dari kuliner daerah tersebut. Oleh karena itu
UKM–UKM ikut terpengaruhi untuk bersaing dibidang kuliner khususnya makanan khas daerah,
Salah satunya makanan kue kering yang memiliki keunikan rasa tersendiri. Namun masih banyak
kendala yang dihadapi produsen tersebut, salah satunya yaitu permintaan pasar yang besar dan
keterbatasan kemampuan untuk mengikuti target permintaan konsumen. Namun pada industri kelas
menengah kebawah masih didapati proses produksi yang menggunakan alat-alat sederhana yang
kurang membantu untuk mencapai target konsumen dan mempengaruhi produsen sulit berinovasi
untuk berkembang dan bersaing dibidangnya. Tujuan dari pembuatan alat ini adalah untuk
membantu produsen dalam persaingan pasar terutama dalam jumlah dan kulaitas produksi. Dalam
pembuatanya menggunakan prinsip pneumatik, yang mana sistem kerja pneumatik lebih banyak
keuntunganya dibanding sistem yang lain baik dari cara kerja dan efisiensinya. Sehingga alat ini
dapat memicu produsen mempermudah untuk menjangkau jumlah produksi dengan waktu yang
singkat,memiliki banyak varian bentuk yang bisa dikembangkan dan efektif, yang pastinya menjadi
kemampuan untuk memperkuat daya saing dengan usaha yang sama dibidangnya.

Kata kunci: Alat produksi; alat cetak kue kering; kue kering; produksi masal

Pendahuluan
Latar belakang masalah
Indonesia adalah negara yang memiliki banyak macam kuliner yang mendunia dari berbagai daerah. Saat ini
saja Indonesia sudah banyak yang mengakui bahwa kuliner indonesia memiliki cita rasa yang mampu diterima oleh
lidah masyarakat luar atau mancanegara, namun kuliner khas ini sendiri juga banyak yang tidak diketahui oleh
masyarakat Indonesia, karena semakin sedikitnya produksi yang dibuat dan minimnya SDM yang mampu
membuatnya. Dengan terkaitnya proses produksi yang masih rumahan dengan skala kecil semakin membuat kuliner
tersebut susah dikenal dan berkembang.
Di era moderen saat ini khususnya dalam industri kreatif, bisnis kuliner pun ikut terpengaruhi. Persaingan
yang tidak hanya mengandalkan cita rasa tapi juga menyuguhkan tampilan yang menarik dan unik tapi tentunya
tidak meninggalkan ciri khas dari kuliner daerah tersebut.
Oleh karena itu UKM–UKM ikut terpengaruhi untuk bersaing dibidang kuliner khususnya makanan khas
daerah,Salah satunya makanan kue kering yang memiliki keunikan rasa tersendiri. Namun masih banyak kendala
yang dihadapi produsen tersebut, salahsatunya yaitu permintaan pasar yang besar dan keterbatasan kemampuan
untuk mengikuti target permintaan konsumen.
Namun pada industri kelas menengah kebawah masih didapati proses produksi yang menggunakan alat-alat
sederhana yang kurang membantu untuk mencapai target konsumen dan mempengaruhi produsen sulit berinovasi
untuk berkembang dan bersaing dibidangnya.
Maka dari itu diperlukan alat yang dapat memicu produsenmempermudah untuk menjangkau jumlah
produksi dengan waktu yang singkat,memiliki banyak varian bentuk yang bisa dikembangkan dan efektif, yang
pastinya menjadi kemampuan untuk memperkuat daya saing dengan usaha yang sama dibidangnya.

Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang akan dibahas didalam penulisan ini adalah sebagai berikut :
1. Kurangnya jumlah produksi yang dicapai oleh produsen yang sesuai permintaan pasar.

65
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

2. Kurangnya kemampuan daya saing untuk mengembangkan produk agar lebih dikenal masyarakat.
3. Minimnya kreatifitas produsen untuk menarik peminat konsumen.

Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut :
1. Membantu produsen mencapai target sesuai permintaan pasar.
2. Memicu produsen untuk lebih mengembangkan produknya untuk lebih dikenal masyarakat.
3. Mempermudah produsen untuk lebih kreatif menarik peminat konsumen.

Manfaat Penulisan
Adapun manfaat yang ingin dicapai dari penulisan ini adalah :
1. Bagi masyarakat sasaran
Dapat termotivasi untuk mengembangkan usahanya lebih luas dan berani bersaing dengan jenis usaha yang
lebih maju.
2. Bagi Pelaksana
Dapat membantu UKM menengah kebawah dengan keterbatasannya dapat bersaing dengan UKM lain dan
dapat mengimplimentasikan ilmu yang sudah didapat ke masyarakat sebenarnya.
3. Bagi pemerintah
Dapat membantu mengurangi penganguran didaerahnya untuk berusaha lebih kreatif dan lebih produktif

Tinjauan Pustaka
Pengertian Teknik Otomasi
Berawal dari keinginan manusia untuk memperoleh sesuatu yang banyak dengan tenaga yang sedikit atau
mengerjakan pekerjaan yang berat denganmenggunakan tenaga yang ringan. Maka secara bertahap manusia
berinovasimemanfaatkan sumber daya alam untuk mendapatkan kemudahan-kemudahan dan manfaat-manfaat
tersebut.Hingga kini manusia mengembangkan inovasi untuk menggunakanalat-alat atau pesawat-pesawat yang
dapat bekerja secara otomatis, sebagaicontoh: pintu bus yang dapat membuka dan menutup secara otomatis,
karenapintu bus dikontrol secara otomatis oleh suatu sistem kontrol otomatis.Otomatisasi suatu alat atau mesin
diperoleh dari suatu masukan (input )kemudian melalui suatu proses didapat suatu keluaran (output ) yang
berbedayang lebih baik dan lebih menguntungkan.Otomatisasi adalah suatu pengubahan input menjadi output yang
lebihbaik. Proses pengubahan input menjadi output ini menggunakan teknik kontrol, sehingga untuk mendapatkan
sistem kontrol yang otomatis makadigunakan sistem kontrol yang otomatis juga.
Definisi Kontrol menurut Deutche Institut für Normung (DIN) 19226 :
“Kontrol berarti proses dalam suatu sistem yang di dalamnya terdapatbeberapa input variabel mempengaruhi
variable output yang lain sebagaiakibat hukum-hukum yang mengenai sistem. Pengontrolandikarakteristikkan
dengan sekuensi rangkaian terbuka dari gerakan-gerakanmelalui elemen pemindah tunggal atau rangkaian kontrol”
(Sugihartono,1992 : 4).
Definisi Kontrol Otomatis menurut DIN 19226 :
“Kontrol otomatis adalah suatu proses dimana satu variabel yang akandikontrol (variabel yang dikontrol),
adalah diukur secara terus-menerus dandibandingkan dengan variabel yang lain, variabel perintah, proses
yangdipengaruhi menurut hasil perbandingan ini dengan memodifikasi untuk menyesuaikan variabel perintah.
Sekuensi gerakan yang dihasilkan dari initerjadi dalam suatu rangkaian tertutup, rangkaian kontrol. Tujuan
kontrolrangkaian untuk menyesuaikan harga variabel yang dikontrol terhadap hargayang ditentukan oleh variabel
perintah sekalipun ekualisasi tidak dicapaiberlaku dalam keadaan ini (Sugihartono, 1992 : 4).

Pengertian pneumatic
Pneumatik berasal dari bahasa Yunani yang berarti udara atau angin. Semua sistem yang menggunakan
tenaga yang disimpan dalam bentuk udara yang dimampatkan untuk menghasilkan suatu kerja disebut pneumatik.
Dalam penerapannya, sistem pneumatik digunakan sebagai sistem otomatis.
Dalam suatu rangkaian pneumatik, udara diluar dihisap ke dalam kompresor dan mengalami kompresi,
sehingga memiliki bentuk energi yang kemudian diubah menjadi gerak mekanik ( gerak piston ).
Berdasarkan fluida yang digunakan tenaga fluida dibagi menjadi pneumatik yang menggunakan udara serta
hidrolik yang menggunakan cairan. Dasar dari akuator tenaga fluida adalah bahwa fluida mempunyai tekanan yang
sama kesegala arah. Pada dasarnya sistem pneumatik dan hidrolik tidaklah jauh berbeda. Pembeda utama keduanya
adalah sifat fluida kerja yang digunakan. Cairan adalah fluida yang tidak dapat ditekan (incompresible fluid)
sedangkan udara adalah fluida yang dapat terkompresi (compresible fluid).
Pada umumnya pneumatik menggunakan aliran udara yang terjadi karena perbedaan tekanan udara pada
suatu tempat ketempat lainnya. Untuk keperluan industri, aliran udara diperoleh dengan memampatkan udara

66
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

atmosfer samapai tekanan tertentu dengan kompresor pada suatu tabung dan menyalurkannya kembali keudara
bebas.

Komponen – komponen pneumatik


1. Sistem pembangkitan udara terkompresi yang mencakup kompresor, cooler, dryer, tanki penyimpanan unit
pengolahan uadara berupa filter, regulator tekanan, dan lubrifier (pemercik oli) yang lebih dikenal sebagai
air service unit.
2. Katup sebagai pengatur arah, tekanan, dan aliran fluida.
3. Akuator yang mengkonversikan energi fluida menjadi energi mekanik.
4. Sistem perpipaan.
5. Sensor dan transduser.
6. Sistem kendali dan dispal cara kerja sistem pneumatic

Gambar 1. Komponen Pneumatik

Cara Kerja Pneumatik


Cara kerja Pneumatik sama saja dengan hidrolik yang membedakannya hanyalah tenaga penggeraknya. Jika
pneumatik menggunakan udara sebagai tenaga penggeraknya, dan sedangkan hidrolik menggunakan cairan oli
sebagai tenaga penggeraknya, Udara disedot oleh kompresor dan disimpan pada reservoir air ( tabung udara) hingga
mencapai tekanan kira-kira sekitar 6 – 9 bar. Kenapa harus 6 – 9 bar, Karena bila tekanan hanya dibawah 6 bar akan
menurunkan daya mekanik dari cylinder kerja pneumatik dan sedangkan bila bertekanan diatas 9 bar akan
berbahaya pada sistem perpipaan atau kompresor. Selanjutnya udara bertekanan itu disalurkan ke sirkuit dari
pneumatik dengan pertama kali harus melewati air dryer (pengering udara) untuk menghilangkan kandungan air
pada udara. Dan dilanjutkan menuju ke katup udara (shut up valve), regulator, selenoid valve dan menuju ke
cylinder kerja. gerakan air cylinder ini tergantung dari selenoid. Bila selenoid valve menyalurkan udara bertekanan
menuju ke inlet dari air cylinder maka piston akan bergerak maju sedangkan bila selenoid valve menyalurkan udara
bertekanan menuju ke outlet dari air cylinder maka piston akan bergerak mundur. Jadi dari selenoid valve inilah
penggunaan aplikasi pneumatik bisa juga di kombinasikan dengan elektrik, seperti PLC ataupun rangkaian kontrol
listrik lainnya Sehingga mempermudah dalam pengaplikasiannya. Dalam sistem kontrol pneumatik, aktuator berupa
batang piston mendapat tekanan udara dari katup masuk, yang kemudian memberikan gaya kepadanya. Gaya inilah
yang menggerakkan piston pneumatik, baik maju atau mundur.

Alat Pencetak Tradisional


Industri – industri pembuat kue kering menengah masih menggunakan alat pencetak manual dengan cara
press pada adonan kue. Hasil yang didapat sekali proses masih dibilang sedikit dan membutuhkan tenaga sehingga
efisiensi alat manual sendiri masih kurang.

67
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Gambar 2. Alat pencetak adonan kue tradisional

Bahan dan Metode Penelitian


Sebuah alat yang mempunyai beberapa bagian yaitu plat cetakan yang ukuranya 1 m X 0.5 m dengan tinggi
125 cm dan total berat mesin pencetak roti kering ini 6 kg, dengan menggunakan bahan dasar besi dan alumunium,
pada mesin pencetak roti ini menggunakan sistem pneumatik, maka dari itu mesin pencetak roti kering ini
menggunakan mesin kompresor dengan penggerak putaran sekitar 1500 rpm dan mempunyai tekanan maksimal 14
bar beserta tangki penyimpan udara sebesar 700 liter. Mesin pencetak ini memiliki 30 - 50 buah cetakan yang dapat
diganti sesuai kebutuhan penggunaan.
Mesin ini bekerja dengan cara tekanan udara yang dihasilkan dari kompresor disalurkan untuk menekan atau
menggerakan plat cetakan yang sudah terpasang pada box tempat adonan berada. Plat cetakan bisa diganti dengan
berbagai macam bentuk sesuai dengan kebutuhan. Adonan pertama-tama yang sudah kalis lalu dipipihkan dengan
ketebalan yang sesuai keinginan, sehingga adonan siap untuk di cetak dengan pilihan bentuk cetakan yang beragam.

Hasil dan Pembahasan

Gambar 3. Desain alat pencetak adonan kue

Mesin diatas memungkinkan untuk mencetak adonan kue dengan berbagai bentuk dengan jumlah yang
lebih banyak dibanding alat pencetak adonan kue tradisional karena cetakanya bisa diganti sesuai kemauan. Alat ini

68
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

tentu saja bekerja lebih cepat dan aman untuk digunakan karena dari segi pemilihan sistem pneumatik lebih aman
dibanding dengan sistem yang lain misalnya hidrolik atau yang lainya. Penggunaanya pun cukup mudah karena
hanya tinggal menekan tombol press dan kembali jadi pekerja tidak perlu keterampilan khusus untuk
menggunakanya.

Kesimpulan
Sistem pencetak adonan kue dengan pneumatik ini adalah sistem yang digunakan untuk mengendalikan
pencetak adonan kue dengan menggunakan jenis fluida udara mampat. Sistem ini merupakan alternatif pemecah
masalah untuk mengatasi kekurangan-kekurangan yang ada pada sistem pencetak adonan kue yang sekarang di
industri menengah kebawah.
Dengan dibuatnya sistem pencetak adonan kue dengan pneumatik ini akan diperoleh beberapa keuntungan
antara lain :
1. Alat pencetak adonan kue dengan konstruksi yang sederhana karena komponen-komponen yang
dibutuhkan sedikit dan murah.
2. Alat pencetak yang mudah dioperasikan karena hanya dengan memasukan loyang yang berisi adonan kue
kemudian menekan tombol press sampai akhirnya adonan sudah terbentuk sesuai cetakan dan menekan
tombol kembali untuk mengembalikan keadaan pencetak seperti semula.
3. Mudah dalam hal perawatan dan pemeliharaan sistem pencetak karena konstruksi pneumatik sederhana.
4. Jumlah adonan kue yang dicetak bias lebih banyak dan cepat dalam sekali waktu dibanding dengan alat
cetak yang lama.
5. Memenuhi persyaratan keamanan dan keselamatan pekerja karena tidak ada resiko kecelakaan yang besar.

Daftar Pustaka
http://id.wikipedia.org/wiki/Prinsip-Kerja-Pneumatik
http://anggara.blogspot.com/mesin-pencetak-kue
http://cicicake.blogspot.com/produksi-kue-kering
http://shofianriyaldi21.blogspot.co.id/2015/10/definisi-sistem-pneumatik.html

69
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

KINERJA SISTEM KONTROL BERBASIS MIKROKONTROLER


UNTUK PEMANTAUAN SEJUMLAH PARAMETER FISIS
PADA ANALOGI SMART GREEN HOUSE

Arief Goeritno1, Bayu Arief Prakoso2, Bayu Adhi Prakosa3


1
Dosen Tetap , Kepala Laboratorium Instrumentasi dan Otomasi
Jurusan/Program Studi Teknik Elektro, Fakultas Teknik, Universitas Ibn Khaldun Bogor
Jl. K.H. Sholeh Iskandar km.2 Kedung Badak, Tanah Sareal, Kota Bogor 16132
2
PT Matra Kreasi Mandiri
Jl. Tarumanegara no. 30 Blok A2, Cimanggu Permai, Tanah Sareal, Kota Bogor
3
Dosen Tetap Jurusan/Program Studi Teknik Informatika, Fakultas Teknik,
Universitas Ibn Khaldun Bogor
E-mail: arief.goeritno@ft.uika-bogor.ac.id

Abstrak

Telah dilakukan pengukuran kinerja sistem kontrol berbasis mikrokontroler untuk parameter fisis
terukur meliputi suhu dan kelembaban (kandungan uap air) pada udara ruangan, kelembaban tanah,
dan intensitas cahaya. Hasil pengukuran nilai suhu ruangan pada nilai berkisar 150 0C yang diubah
dalam bentuk data digital 8 bit atau sebesar 256 skala. Nilai suhu ruangan terukur pada kisaran 26-
36 0C. Pengukuran kandungan uap air pada udara ruangan ditampilkan pada Liquid Crystal Display
(LCD) dengan kisaran 54-74%, tetapi tampilan nilai maksimal dapat sampai 90%. Pengukuran
terhadap parameter kelembaban tanah untuk kelembaban tanah kondisi normal sebesar 60% dengan
nilai tegangan keluaran sebesar 3 volt dc atau dalam data digital 8 bit berupa nilai ditampilkan pada
LCD sebesar 85%. Pendeteksian nilai intensitas cahaya berupa cahaya yang masuk ke dalam
ruangan analogi smart green house melalui pemanfaatan nilai resistans sensor keberadaan cahaya,
dimana diproses oleh mikrokontroler apabila terdapat perubahan. Sensor intensitas cahaya tidak
memperoleh cahaya, maka nilai keluaran sensor sebesar 5 volt dc dalam data digital 8 bit, setara
dengan 256 skala. Untuk kondisi dimana sensor intensitas cahaya tidak memperoleh cahaya,
pengontrol kirim sinyal keluaran maksimal, agar lampu menghasilkan cahaya maksimal.

Kata-kata Kunci: Analogi smart green house, parameter fisis, mikrokontroler.

Pendahuluan
Prototipe sistem pengontrolan berbasis mikrokontroler ATmega32 untuk analogi smart green house
(Prakoso, 2016), telah dibuat melalui perancangan rangkaian elektronika (Tooley, 2006) dan pembuatan
motherboard (Mathivanan, 2006; Bates, 2011). Pembuatan motherboard dengan dua sisi atau double layer
dilakukan dengan bantuan program aplikasi Easily Applicable Graphycal Layout Editor atau EAGLE (Clarke, 2008;
CadSoft Computer, 2010; Aono, 2011). Motherboard dua sisi terpabrikasi berdimensi 18 cm (panjang), 10,5 cm
(lebar), dan ketebalan 2 mm (Prakoso, 2016). Tampilan motherboard sistem utama, seperti ditunjukkan pada
Gambar 1.

70
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

top layer buttom layer

Gambar 1. Tampilan motherboard sistem utama


Keberadaan motherboard (Mathivanan, 2006; Bates, 2011) sistem utama tersebut didasarkan kepada
konsepsi perancangan sistem pengontrolan (Prakoso, 2016). Diagram skematis sistem pengontrolan berbasis
mikrokontroler ATmega32, seperti ditunjukkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Diagram skematis sistem pengontrolan berbasis mikrokontroler ATmega32


Sistem pengontrolan digunakan untuk pengamatan dan pengukuran terhadap sejumlah parameter fisis sebagai
masukan (input) dan sejumlah keluaran (output) untuk penggerak actuator. Sejumlah parameter fisis minimal untuk
sebuah green house, meliputi suhu ruangan, humiditas, dan kelembaban tanah (Chaudhary, 2011).Hasil pemantauan
dan pengukuran parameter fisis ditampilkan pada Liquid Crystal Display (LCD) tipe 4x20 ((Boylestad, 2013).
Pemrograman terhadap mikrokontroler ATmega32 (Mazidi, 2011), digunakan bahasa pemrograman BasCom
(The MCS Electronics Team, 2008). Algoritma pada pemrograman mikrokontroler (Prakoso, 2016), meliputi: (i)
konfigurasi pin, (ii) deklarasi variabel (peubah), (iii) deklarasi konstanta (tetapan), (iv) inisialisasi, (v) program
utama,(vi) ambil dan kirim data, (vii) tampilan pada LCD, berupa: menu (line-1), waktu (line-2), suhu (line-3), dan
kelembaban (line-4), dan (viii) hasil keluaran: aktivasi blower fan, pump, valve, dan lampu. Untuk penentuan tingkat
kepercayaan terhadap hasil pembuatan algoritma dan penulisan sintaks pada pemrograman mikrokontroler,
dilakukan uji verifikasi melalui simulasi rangkaian (Tooley, 2006) berbantuan program aplikasi Proteus
(Proteus2010, 1998). Tahapan pada uji verifikasi meliputi pembuatan rangkaian elektronika sistem pengontrolan
pada Proteus dan kompilasi sintaks heksadesimal ke dalam Proteus. Uji verifikasi berupa pemberian kondisi untuk
asumsi perubahan suhu, kelembaban (kandungan uap air) udara ruangan, kelembaban tanah, dan intensitas cahaya.
Tampilan pada uji verifikasi berbasis program aplikasi Proteus, seperti ditunjukkan pada Gambar 3.

71
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Gambar 3. Tampilan pada uji verifikasi berbasis program aplikasi Proteus

Berdasarkan latar belakang tersebut, dilakukan pengukuran kinerja sistem kontrol berbasis mikrokontroler
ATmega32 untuk pemantauan terhadap perubahan sejumlah parameter fisis pada analogi smart green house yang
meliputi: (a) pengukuran suhu dan kelelmbaban (kandungan uap air) pada udara ruangan, (b) pengukuran
kelembaban dalam tanah, dan (c) pendeteksian keberadaan cahaya. Suhu ruangan ditekankan kepada suhu pada
ruangan analogi smart green house dengan satuan derajat Celsius (0C). Kelembaban udara (kandungan uap air)
dalam ruangan ditekankan kepada jumlah uap air yang terkandung pada udara dalam ruangan analogi smart green
house dengan satuan persen (%). Kelembaban tanah ditekankan kepada kandungan air di dalam tanah pada pot yang
terdapat pada pada analogi smart green house dengan satuan persen (%). Keberadaan cahaya ditekankan kepada
kondisi langit, dimana sensor untuk pendeteksian intensitas cahaya berfungsi untuk deteksi cahaya yang kurang
maksimal dalam ruangan analogi smart green house, dibantu dengan cahaya dari lampu.

Bahan-alat dan Metode Penelitian


Bahan-alat Penelitian
Bahan penelitian terdiri atas sistem kontrol berbasis mikrokontroler ATmega32 dan analogi smart green
house, berupa kotak persegi berukuran 35 cm (lebar), 50 cm (panjang), dan 30 cm (tinggi). Kotak persegi tersebut
sebagai miniatur green house (rumah kaca) untuk penyimpanan catu daya, minimum sistem, sensor-tranduser, pot,
penggerak aktuator, aktuator, dan LCD 4x20. Sistem kontrol berbasis mikrokontroler ATmega32 dan analogi smart
green house, seperti ditunjukkan pada Gambar 4.

Gambar 4. Sistem kontrol berbasis mikrokontroler Atmega32 dan analogi smart green house
Alat ukur untuk pengukur nilai suhu yang digunakan dengan merk IRTek.

72
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Metode Penelitian
Langkah-langkah untuk pengukuran kinerja sistem kontrol berbasis mikrokontroler Armega32 untuk
pemantauan sejumlah parameter fisis pada analogi smart green house, meliputi: a) pengukuran suhu dan
kelembaban udara pada ruangan, b) pengukuran kelembaban tanah, dan c) pendeteksian keberadaan cahaya.
Diagram alir metode penelitian, seperti ditunjukkan pada Gambar 5.

mulai

Kinerja Sistem Kontrol Berbasis


Mikrokontroler ATmega32

Pemantauan Sejumlah Parameter Fisis


pada Analogi Smart Green House

(a) pengukuran suhu ruangan;


(b) pengukuran kelembaban udara ruangan;
(c) pengukuran kelembaban tanah, dan
(d) pendeteksian keberadaan cahaya.

Pengukuran Suhu dan Pengukuran Pendeteksian


Kelembaban Udara Kelembaban Tanah Keberadaan Cahaya
Ruangan

Sudah Terdapat tidak


Sudah diproses? belum Cahaya?
diproses? belum
ya ya
ya Perintah
Nilai Penyalaan Lampu
Nilai Kelembaban Tanah
Suhu dan Kelembaban
Udara Ruangan
Lampu
Menyala? belum
ya

selesai

Gambar 5. Diagram alir metode penelitian

Hasil dan Bahasan


Pemantauan dan pengukuran terhadap perubahan sejumlah parameter fisis pada analogi smart green house
melalui 4 (empat) buah sensor, yaitu sensor suhu, kelembaban udara dalam ruangan (humiditas), kandungan air
dalam tanah (kelembaban tanah, soil moisture), dan intensitas cahaya. mengalami perubahan, apabila nilai suhu
udara, kelembaban udara dalam ruangan, dan kelembaban tanah tinggi disertai kenaikan nilai intensitas cahaya.
Pengukuran suhu udara, kelembaban udara, dan kelembaban tanah dilakukan dengan kondisi sebenarnya, sehingga
sensor mendeteksi perubahan suhu udara, kelembaban udara, dan kelembaban tanah yang kemudian memberikan
informasi nilai suhu udara, kelembaban udara, kelembaban tanah, dan intensitas cahaya sudah mencapai pada nilai
tertentu (dalam °C) untuk suhu, untuk kelembaban udara (dalam %), untuk kelembaban tanah (dalam %), dan untuk
intensitas cahaya (dalam data digital 512). Pembacaan hasil pengukuran, ditampilkan melalui LCD 20x4.

Nilai suhu (temperature) dan kelembaban (humidity) udara (kandungan uap air) dalam ruangan
Hasil pengukuran dengan kondisi normal ditunjukkan, bahwa nilai suhu sesuai kemampuan sensor, yaitu
untuk suhu maksimal dengan nilai ±1500C yang diubah dalam bentuk data digital 8 bit setara dengan 256 skala.

73
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Pengukuran kinerja sistem untuk pantauan suhu dan kelembaban dalam ruangan, seperti ditunjukkan pada Gambar
6.

Gambar 6. Pengukuran kinerja sistem untuk pantauan suhu dan kelembaban dalam ruangan
Nilai kelembaban udara ruangan analogi smart green house yang ditampilkan pada LCD dengan kisaran nilai
54-74%, sedangkan nilai maksimal yang mampu diproses oleh mikrokontroler dan ditampilkan pada LCD sebesar
90%. Nilai kelembaban udara dalam ruangan dipengaruhi nilai suhu udara ruangan. Untuk nilai suhu yang terdapat
dalam ruangan, dimana kenaikan nilai suhu berbarengan dengan penurunan nilai kelembaban udara. Pengontrolan
suhu dinaikan oleh pemanas yang dengan tiupan angin yang dihasilkan dari kipas.
Nilai kelembaban tanah (soil moisture)
Tampilan hasil pengukuran nilai kelembaban tanah pada masing-masing pot dalam ruangan, seperti
ditunjukkan pada Gambar 8.

Gambar 7. Tampilan hasil pengukuran nilai kelembaban tanah pada masing-masing pot dalam ruangan

Tampilan hasil pengukuran nilai kelembaban tanah pada 8 (delapan) pot yang terisi tanah, berkisar 50%
sampai 84%. Nilai kelembaban tanah normal sebesar 60% dengan nilai tegangan keluaran sebesar 3 volt dc dalam 8
bit bilangan biner. Hasil dari pengukuran sensor kelembaban tanah tersebut dipengaruhi kadar air dalam tanah, maka
dalam penelitian ini digunakan contoh tanah kering yang sudah dipanaskan dengan kadar air 0% dengan berat tanah
40 gram dan air 60 gram.

Keberadaan cahaya
Nilai intensitas cahaya terukur oleh sensor digunakan sebagai pengatur cahaya yang masuk ke dalam ruangan
smart green house dengan pemanfaatan nilai resistans sensor cahaya, sehingga dapat diperoses setiap perubahan.
Untuk kondisi dimana sensor tidak mendeteksi keberadaan cahaya, maka nilai keluaran sensor sebesar 5 volt dc

74
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

diubah menjadi data digital bernilai 256 skala, sehingga mikrokontroler mengirimkan sinyal ke aktuator untuk
lampu sebesar 256 skala atau keluaran maksimal yang berarti lampu mengeluarkan cahaya maksimal. Tampilan
hasil pengukuran kinerja sistem untuk pantauan keberadaan cahaya, seperti ditunjukkan pada Gambar 9.

a) Kondisi langit cerah

b) Kondisi langit gelap, sehingga ruangan pada analogi smart green house dibantu dengan pencahayaan dari
lampu
Gambar 8. Tampilan hasil pengukuran kinerja sistem untuk pantauan keberadaan cahaya
Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan bahasan, maka dapat ditarik kesimpulan sesuai tujuan penelitian. Pengukuran terhadap
kinerja sistem ditunjukkan, bahwa parameter fisis terukur meliputi suhu dan kandungan uap air (kelembaban) pada
udara ruangan, kelembaban tanah, dan intensitas cahaya mampu diukur oleh sensor sesuai kesesuaian parameter fisis
tersebut. Kemampuan sistem untuk pengukuran nilai suhu ruangan berkisar 150 0C yang diubah dalam bentuk data
digital 8 bit atau sebesar 256 skala. Nilai suhu ruangan terukur pada kisaran 26-36 0C. Pengukuran kandungan uap
air pada udara ruangan ditampilkan pada LCD dengan kisaran 54-74%, tetapi tampilan nilai maksimal dapat sampai
90%. Pengukuran terhadap parameter kelembaban tanah untuk kelembaban tanah kondisi normal sebesar 60%
dengan nilai tegangan keluaran sebesar 3 volt dc atau dalam data digital 8 bit berupa nilai ditampilkan pada LCD
sebesar 85%. Pendeteksian nilai intensitas cahaya berupa cahaya yang masuk ke dalam ruangan analogi smart green

75
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

house melalui pemanfaatan nilai resistans sensor keberadaan cahaya, dimana diproses oleh mikrokontroler apabila
terdapat perubahan. Sensor intensitas cahaya tidak memperoleh cahaya, maka nilai keluaran sensor sebesar 5 volt
dc yang diubah menjadi data digital 256 skala. Untuk kondisi tersebut, pengontrol kirim sinyal ke lampu sebesar
256 atau keluaran maksimal, dimana lampu menghasilkan cahaya maksimal.

Daftar Pustaka
Aono, Kenji, (2011), “Application Note: PCB Design with EAGLE”, ECE480 Design Team 5, Department of
Electrical & Computer Engineering, Michigan State University, pp. 1-33.
Bates, Martin, (2011), “PIC Microcontrollers: An Introduction to Microelectronics”, Elsevier Ltd., pp. 17-24.
Boylestad, Robert L., Louis Nashelsky, (2013), “Electronic Devices and Circuit Theory”, Pearson Education, Inc.,
pp.831-833.
Chaudhary, D.D. , S.P. Nayse , L.M. Waghmare, (2011) “Application of Wireless Sensor Networks for Greenhouse
Parameter Control in Precision Agriculture” in International Journal of Wireless & Mobile Networks
(IJWMN), Vol. 3 (1), pp. 140-149.
Clarke, Tom, (2008), “The EAGLE Schematic & PCB Layout Editor - A Guide”, Course Material, Department of
Electrical & Electronic Engineering, Imperial Collage London, pp. 1-17.
CadSoft Computer, (2010), “Eagle Easily Applicable Graphical Layout Editor Manual Version 5”, CadSoft
Computer Inc., pp. 37-80
Mazidi, Muhammad Ali, Sarmad Naimi, Sepehr Naimi, (2011), “The AVR Microcontroller and Embedded Systems:
Using Assembly and C”, Prentice Hall, pp. 40-43.
Mathivanan, N., (2006), “Microprocessor, PC Hardware, and Interfacing”, Prentice-Hall of India, pp. 212-240
Prakoso, Bayu Arief, Arief Goeritno, Bayu Adhi Prakosa, (2016), “Prototipe Sistem Pengontrolan Berbasis
Mikrokontroler Atmega32 Untuk Analogi Smart Green House”, Prosiding SNTI FTI-Usakti V-2016, hal.
338-345.
Proteus2000, (1998), “Proteus 2000 Operations Manual”, E-MU Systems, Inc., pp. 131-164.
The MCS Electronics Team, (2008), “BASCOM-AVR User Manual Introduction”, MCS Electronics, pp. 222-252.
Tooley, Mike, (2006), Electronic Circuits: Fundamentals and Applications, Elsevier Ltd., pp. 303-309.

76
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

BEBAN KERJA FISIK KARYAWAN INDUSTRI BATIK TRADISIONAL

Jazuli*1, Tita Talitha2, Ratih Setyaningrum3, Peni Widyastuti4


1, 2, 3
Dosen Teknik Industri Universitas Dian Nuswantoro Semarang
4
Alumni Teknik Industri Universitas Dian Nuswantoro Semarang
E-mail: jazuli@dsn.dinus.ac.id, titatalitha@gmail.com, ratihha@gmail.com

Abstrak

Makalah ini akan membahas tentang analisis beban kerja fisik yang dialami oleh karyawan industri
batik dengan teknik produksi tulis atau cap. Aktifitas kerja karyawan industri batik tradisional dengan
beban kerja fisik yang berulang-ulang dan pengaruh dalam kondisi lingkungan kerja yang cukup
ekstrim akan menyebabkan penurunan konsentrasi dan kelelahan kerja fisik. Metode penelitian
menggunakan identifikasi dengan kuisioner Nordic Body Map (NBM) pada operator pencantingan,
pengecapan, pelorotan. Analisis kemudian dilakukan dengan metode Rapid Upper Limb Assessment
(RULA). Hasil yang didapat dari NBM pada operator pencantingan 96% pada bagian lengan kiri
atas, paha kanan dan lutut kanan, sedangkan pada stasiun pengecapan 100% keluhan hampir pada
seluruh bagian tubuh, dan pada stasiun pelorotan 100% keluhan pada bagian pergelangan tangan
kanan, kedua kaki dan pergelangannya. Hasil analisis RULA didapatkan hasil skor 7 dan action level
4 yang menunjukkan kondisi berbahaya untuk segera dilakukan perbaikan.

Kata kunci: Industri Batik, Beban Kerja Fisik, NBM, RULA

Pendahuluan
Manusia dalam suatu sistem bekerja dan berinteraksi dalam suatu lingkungan, dan dalam perspektif ergonomi
keterkaitan dan interaksi antara manusia dan lingkungannya dikenal dengan istilah Environmental Ergonomics atau
ergonomi lingkungan. Wignjosoebroto (2008) menjelaskan bahwa manusia sebagai makhluk sempurna tetap tidak
luput dari kekurangan, dalam arti segala kemampuannya masih dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor
tersebut dapat berasal dari diri sendiri (internal), dapat juga dari pengaruh luar (eksternal). Pada prinsipnya
ergonomi lingkungan mencakup kondisi sosial, kondisi psikologis, budaya dan organisasi dari lingkungan (Rodahl,
1989). Kesemuanya ini akan membahas bagaimana reaksi manusia terhadap kondisi lingkungan kerja yang akan
memberikan respon psikologis dan respon fisiologis sehingga dalam perancangan produk yang sering digunakan di
lingkungan kerja yang ekstrim, dapat memperhitungkan faktor lingkungannya, dan dalam kehidupan bahwa antara
lingkungan fisik dan manusia saling mempengaruhi. Kata lelah (fatigue) menunjukkan keadaan tubuh fisik dan
mental yang berbeda, semuanya berakibat kepada penurunan daya kerja dan berkurangnya ketahanan tubuh untuk
bekerja (Suma’mur, 2009). Kelelahan adalah suatu mekanisme perlindungan tubuh agar tubuh terhindar dari
kerusakan lebih lanjut sehingga terjadi pemulihan setelah istirahat. Kelelahan diatur secara sentral oleh otak. Pada
susunan syaraf pusat terdapat sistem aktivasi (bersifat simpatis) dan inhibisi (bersifat parasimpatis). Istilah kelelahan
menunjukkan kondisi yang berbedabeda dari setiap individu, tetapi semuanya bermuara kepada kehilangan efisiensi
dan penurunan kapasitas kerja serta ketahanan tubuh. Kelelahan kerja adalah kelelahan yang terjadi pada manusia
oleh karena kerja yang dilakukan. Berat ringannya beban kerja yang diterima oleh seseorang tenaga kerja dapat
digunakan untuk menentukan berapa lama seorang tenaga kerja dapat melakukan aktivitas pekerjaannya sesuai
dengan kemampuan atau kapasitas kerja yang bersangkutan. Dimana semakin berat beban kerja, maka akan semakin
pendek waktu kerja seseorang untuk bekerja tanpa kelelahan dan gangguan fisiologis yang berarti atau sebaliknya
(Tarwaka, 2004)
menyatakan bahwa kerja dengan sikap paksa dapat menimbulkan gangguan pada sistem otot rangka
(Kroemer, 2001). Pengaruh sikap atau postur kerja terhadap keluhan pada otot rangka 40% pekerja di industri
elektronik automobil mengalami gangguan pada sistim otot rangka(Santoso, 2004). Pengukurannya juga dengan
menggunakan metode Nordic Body Map. Rapid Upper Limb Assessment (RULA) merupakan suatu metode
penelitian untuk menginvestigasi gangguan pada anggota badan bagian atas. Metode ini dirancang oleh Mc
Atamney dan Corlett (1993) yang menyediakan sebuah perhitungan tingkatan beban muskuluskeletal di dalam
sebuah pekerjaan yang memiliki resiko pada bagian tubuh dari perut hingga leher atau anggota badan bagian atas.
Pada Industri Kecil Menengah (IKM), yang banyak mengandalkan tenaga kerja manusia, tinjauan aspek
ergonomi menjadi sangat penting. Namun pada kondisi saat ini tinjauan aspek ergonomi seringkali diabaikan

77
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

sehingga performa kerja yang dilakukan tidak optimal dan dapat mengganggu kenyamanan kerja yang berujung
pada timbulnya penyakit dan keluhan kesehatan sehingga dapat menyebabkan kerugian bagi IKM itu sendiri seperti
terhambatnya proses produksi, kesalahan proses produksi akibat human error, tambahan biaya kompensasi bagi
pekerja yang sakit, dan kerugian bagi perusahaan akibat munculnya kecelakaan kerja. Sebagai ciri khas bangsa
Indonesia, batik menjadi salah satu industri yang mendominasi IKM di Indonesia. Hampir terdapat di seluruh kota
yang ada di Indonesia pada umumnya dan di Jawa Tengah pada khususnya. Banyak yang mengatakan batik hanya
ada di Kota Pekalongan, tetapi untuk saat ini industri batik sudah menyebar di seluruh kota yang ada di Propinsi
Jawa Tengah. Salah satu kota di Provinsi Jawa Tengah yang memiliki industri batik adalah Kota Pekalongan.
Kampung Batik Semarang memproduksi jenis batik tulis dan batik cap yang bertemakan Semarangan.
Aktifitas pekerja di kampung batik Semarang yang berada dalam lingkungan dengan pengaruh lingkungan kerja
yang cukup ektrem dalam suhu yang cukup panas menyebabkan tingkat kelelahan kerja yang cukup tinggi
disamping itu pembebanan otot yang statis yang berulang-ulang juga dimungkinkan menjadi penyebab tingkat
kelelahan fisik diatas rata-rata. Dari kondisi tersebut ingin diketahui bagian tubuh/otot yang sering menerima beban
tidak wajar dan mengakibatkan keluhan pekerja.

Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kampung Batik Semarang. Lokasi ini dipilih karena untuk mengetahui kondisi
lingkungan yang sebenarnya yang dirasakan pekerja. Kampung Batik Semarang yang terletak di Kota Semarang
memproduksi batik tulis dan cap dengan berbagai motif yang berbeda dengan tema Semarangan. Pada kegiatan
penelitin yang akan dilakukan nanti mengikuti alur proses seperti berikut:
I. Persiapan
Pada tahap persiapan ini aktifitas yang dilakukan adalah mempersiapkan instrument pengukur atau alat
ukur penelitian, seperti tensi meter, timbangan badan, alat ukur kecepatan reaksi, kamera dan Nordic Body
Map form (NBM form)
II. Penentuan Sampel Data
Populasi target dalam penelitian ini adalah pekerja di IKM Kampung Batik Semarang, sedangkan
populasi terjangkau adalah 5 IKM batik. Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik sampel acak
terstratifikasi (stratified random sampling), yakni mengambil sampel secara acak proporsional dari masing-
masing kelompok yang ada di masing-masing IKM batik. Dari hasil penelitian sebanyak 30 responden
diperoleh bahwa rata-rata usia responden berada pada usia termuda adalah 14 tahun dan usia tertua adalah 58
tahun. Jika ditinjau distribusi usia responden dari tiap-tiap kelompok umur diperoleh bahwa usia responden
dalam penelitian ini terbanyak pada usia 14 tahun yaitu 3 orang. Kelamin Responden. Dari hasil penelitian
sebanyak 30 responden diperoleh data karyawan laki-laki berjumlah 7 orang dan jumlah pekerja perempuan
berjumlah 23 orang. Jika dilihat dari jenis kelamin respoden ternyata yang mendominasi yaitu karyawan
perempuan.
III. Pengambilan Data
Teknik pengambilan data yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Metode kuesioner diberikan kepada pekeerja untuk mengisi NBM form untuk mendapatkan data
keluhan fisiologi pekerja
b. Pengukuran langsung menggunakan alat ukur untuk mendapatkan beberapa data yaitu berat badan,
tinggi badan, dan kecepatan respon fisik pekerja
c. Wawancara digunakan untuk membantu responden yang tidak bisa secara langsung mengisikan
kuesioner yang diberikan karena tingkat pemahaman dan pendidikan yang kurang
IV. Analisis Data
1. Menghitung energi ekspenditur
Untuk melakukan uji ekspenditur digunakan rumus sebagai beriku:
Y = 0,80411 – 0,0229038 X + 4,71738 10-4 X2 …………………………(3)
2. Konsumsi Energi
Konsumsi energi merupakan faktor utama dan tolak ukur yang dipakai sebagai penentu nesar/ringannya
kerja fisik yang dilakukan. Konsumsu energi dapat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:
KE = Et – Ei ………………………………………………(4)
Et: Energi Kerja
Ei: Energi Istirahat
3. Uji F
Untuk menguji hubungan antara perubahan denyut jantung dengan konsumsi energi, disini digunakan
sampel KE1 sebagai variabel depenen, dan Dn0 dan Dn1 sebagai variabel independennya.
4. Analisa Regresi Persamaan Kosumsi Energi
Untuk menghitung persamaan regresi dari Konsumsi Energi, disini digunakan juga sampel KE1 sebagai
variabel dependen, dan Dn0 dan Dn1 sebagai variabel independennya.

78
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

5. Nordic Body Map


Kuesioner Nordic Body Map seperti ditunjukkan pada Tabel 3 dibagi ke responden, dengan tipe pekerjaan
yang berbeda-beda, yaitu desain, canting, pengecapan, pewarnaan, dan pelorotan. Kuesioner Nordic Body Map
ini dibagi menjadi 2 bagian yaitu sebelum bekerja dan sesudah bekerja, bertujuan untuk mengetahui keluhan
bagian tubuh mana yang sering merasakan sakit sebelum dan sesudah bekerja.
6. Rapid Upper Limb Assessment (RULA)
Sebelum melakukan analisa rula identifikasi awal dari video, dan dari video di identifikasi satu per satu
dari proses produksi.. Bekerja dengan Posisi berdiri terus menerus sangat mungkin akan terjadi penumpukan
darah dan berbagai cairan tubuh pada kaki, hal ini akan bertambah bila berbagai bentuk dan ukuran tubuh yang
tidak sesuai. Dari hasil perhitungan RULA dibagian di setiap proses, perhitungan skor RULA ini dianalisis
menggunakan Software RULA base Microsoft Excel.

Hasil dan Pembahasan


Analisa Fisiologi Kerja (kelelahan)
Analisa fisiologi kerja digunakan untuk menunjukkan kelelahan pekerja batik yang sedang melakukan proses
produksi. Data fisiologi kerja diambil dengan empat tahap,yaitu sebelum melakukan pekerjaan (Dn0), setelah
melakukan proses produksi saat mau istrirahat (DN1), setelah istirahat dan akan melakukan proses produksi lagi
(DN3), dan setelah melakukan pekerjaan total (DN4). Data fisiologi dapat dilihat pada lampiran 5. Uji yang
dilakukan yaitu menggunakan regresi. Tetapi sebelum melakukan uji regresi peneliti melakukan uji untuk
mengetahui konsumsi energi pekerja.

1. Energi ekspenditur
Untuk melakukan uji ekspenditur digunakan rumus sebagai berikut:
Y = 0,80411 – 0,0229038 X + 4,71738 10-4 X2
Sehingga hasil dari penelitian fisiologi pekerja di batik Semarangan,sebagai berikut:

Tabel 1. Energi Ekspenditur


Responden Y0 Y1 Y2 Y3 Responden Y0 Y1 Y2 Y3
(kkal) (kkal) (kkal) (kkal) (kkal) (kkal) (kkal) (kkal)
1 2,739823 2,887637 3,265558 3,952837 16 2,692439 3,043942 2,645998 3,097931
2 2,512336 3,043942 2,645998 4,832793 17 3,689709 3,754075 2,990897 3,32332
3 3,689709 3,32332 3,626285 2,990897 18 3,441676 3,819386 3,563805 4,375833
4 2,887637 3,265558 3,097931 4,020977 19 4,302975 5,494908 5,581918 5,239539
5 3,754075 3,626285 2,692439 2,938795 20 3,563805 3,502269 3,819386 3,563805
6 3,441676 3,441676 3,265558 4,832793 21 2,469669 2,555946 2,739823 2,512336
7 2,938795 3,885639 3,819386 3,952837 22 3,043942 2,990897 3,32332 3,382026
8 2,887637 2,837422 2,162297 2,128121 23 2,788151 3,208739 2,938795 2,990897
9 4,992661 2,512336 3,885639 4,020977 24 3,563805 3,563805 4,160089 3,563805
10 2,645998 2,692439 3,265558 2,692439 25 2,347328 3,097931 3,441676 3,626285
11 4,449634 3,097931 3,208739 4,600067 26 4,160089 3,819386 4,090061 4,23106
12 5,323719 3,563805 3,563805 3,819386 27 4,020977 2,990897 4,375833 3,819386
13 3,689709 3,689709 4,020977 4,23106 28 3,441676 3,265558 4,302975 3,626285
14 3,32332 3,885639 4,302975 3,208739 29 3,265558 3,152863 3,208739 3,502269
15 3,208739 4,449634 3,754075 3,689709 30 2,512336 2,197416 2,645998 2,308435

2. Konsumsi Energi
Konsumsi energi merupakan faktor utama dan tolak ukur yang dipakai sebagai penentu nesar/ringannya kerja
fisik yang dilakukan. Konsumsu energi dapat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:

79
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Tabel 2. Konsumsi Energi


Responden KE1 (kkal) KE2 (kkal) KE3 (kkal) Responden KE1 (kkal) KE2 (kkal) KE3 (kkal)
1 0,15 0,3779208 0,6872786 16 0,35 -0,397945 0,4519333
2 0,53 -0,397945 2,1867956 17 0,06 -0,763178 0,3324233
3 -0,37 0,3029647 -0,635388 18 0,38 -0,25558 0,8120272
4 0,38 -0,167627 0,9230461 19 1,19 0,08701 -0,3423792
5 -0,13 -0,933846 0,2463567 20 -0,06 0,3171167 -0,2555803
6 0,00 -0,176118 1,5672354 21 0,09 0,1838769 -0,2274874
7 0,95 -0,066254 0,1334509 22 -0,05 0,3324233 0,058706

8 -0,05 -0,675126 -0,0341759 23 0,42 -0,269943 0,0521017


9 -2,48 1,3733036 0,1353379 24 0,00 0,5962836 -0,5962836
10 0,05 0,5731192 -0,5731192 25 0,75 0,3437449 0,1846092
11 -1,35 0,1108078 1,3913285 26 -0,34 0,2706757 0,1409987
12 -1,76 0 0,2555803 27 -1,03 1,3849353 -0,5564469
13 0,00 0,3312687 0,2100828 28 -0,18 1,0374166 -0,6766894
14 0,56 0,4173352 -1,0942357 29 -0,11 0,0558756 0,29353
15 1,24 -0,695559 -0,0643668 30 -0,31 0,4485817 -0,3375628

5. Uji F
Hipotesa:
Ho: Konsumsi energi tidak dipengaruhi secara signifikan oleh kenaikan denyut jantung
Ha: Konsumsi energi dipengaruhi secara signifikan oleh kenaikan denyut jantung
Keputusan:
F hitung > F tabel maka Ho ditolak
Untuk menguji hubungan antara perubahan denyut jantung dengan konsumsi energi, disini digunakan sampel
KE1 sebagai variabel dependen, dan Dn0 dan Dn1 sebagai variabel independennya. Berikut ini hasil output dari uji f
terhadap variabel denyut jantung dan konsumsi energi.

Tabel 3. Uji f Fisiologi


ANOVAb
Sum of Squares Df Mean F Sig.
Model Square
1 Regression 17.282 2 8.641 377.704 .000a
Residual .618 27 .023
Total 17.900 29

Dari uji f di atas, didapat bahwa nilai signifikansi dari f hitung yaitu 0.000 < 0.05. Berarti dalam hal ini,
menerima Ha dan menolak Ho. Dengan kata lain konsumsi energi dipengaruhi secara signifikan oleh kenaikan
denyut jantung.

6. Analisa Regresi Persamaan Kosumsi Energi


Untuk menghitung persamaan regresi dari Konsumsi Energi, disini digunakan juga sampel KE1 sebagai
variabel dependen, dan Dn0 dan Dn1 sebagai variabel independennya. Untuk hasil perhitungan persamaan regresinya
adalah sebagai berikut:
Tabel 4. Analisa persamaan Konsumsi Energi
Coefficientsa
Unstandardized standardized
Coefficients Coefficients
Model B Std.Error Beta T Sig.
1 (Constant) .119 .260 .456 .652
Dn0 -.026 .003 -.964 -24.796 .000
Dn1 .061 .003 .803 20.645 .000

80
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

a. Dependent Variable:Kel
Dari tabel regresi tersebut, dapat diperoleh suatu persamaan regresi untuk menghitung besarnya Konsumsi
Energi, yaitu:
KE = 0.119 - 0.062 Dn0 + 0.061 Dn1
Dari rumus di atas dapat dijabarkan bahwa setiap kenaikan denyut jantung maka besarnya konsumsi energi
akan bertambah sebesar 0.061 kali. Untuk mengetahui kekuatan hubungan persamaan di atas, dilakukan juga
perhitungan R2 sebagai berikut:
Tabel 5. Model Summary
Model Summary
Model R R Square Adjusted R Std. Error of
Square The Estimate
1 .983a .965 .963 .15125
a. Predictors: (Constant), Dn1, Dn
Penelitian dengan responden sejumlah 30 orang nilai Rsquare adalah 0,349, dari hasil perhitungan di
dapatkan hasil perhitungan R2, didapat bahwa nilai adjusted R square sebesar 0.965, artinya persamaan regresi di
atas hubungannya sangatlah kuat yaitu sebesar 96,5%.
Berdasarkan hasil data denyut nadi pekerja dari hasil tersebut beban kerja berdasarkan denyut nadi, termasuk
dalam kategori sedang dan ringan. Kategori sedang berkisar 75-100 dan sedang 100-125. Berdasarkan hasil
Fisiologi didapatkan hasil konsumsi energi dipengaruhi oleh kenaikan denyut nadi, dan besarnya konsumsi energi
setiap kenaikan denyut nadi bertambah 0,061. Semakin besar kenaikan denyut nadi semakin besar pula konsumsi
energinya. Semakin besar denyut nadinya, repetitiv ketika mencanting semakin lambat karena konsentrasi pekerja
juga berkurang. Maka perlu waktu recovery selama 15 menit mulai pada jam 10.00 WIB.

Nordic Body Map


Kuesioner Nordic Body Map dibagi ke responden sebanyak 30 orang, dengan tipe pekerjaan yang berbeda-
beda, yaitu desain, canting, pengecapan, pewarnaan, dan pelorotan. Kuesioner Nordic Body Map ini dibagi menjadi
2 bagian yaitu sebelum bekerja dan sesudah bekerja, bertujuan untuk mengetahui keluhan bagian tubuh mana yang
sering merasakan sakit sebelum dan sesudah bekerja. Data hasil kuesioner Map dapat dilihat pada lampiran 6.
Berikut ini adalah hasil output dari kuesioner Nordic Body Map dari masing-masing departemen, yaitu dapat dilihat
pada lampiran 10.
Dari departemen canting yang terdiri dari 23 responden bagian tubuh yang sering dirasakan yaitu pada paha
bagian kanan, sakit lengan kiri atas, sakit lutut kanan yaitu sebesar 96%. Hal ini dikarenakan kondisi dalam
melakukan pekerjaan mencanting posisi saat bekerja kaki digunakan untuk tumpuan saat membatik dan lengan kiri
atas merasa sakit karena tangan kiri untuk menyangga kain yang sedang di canting.
Dari departemen Desain terdiri dari 3 orang pekerja desain, bagian tubuh yang sering dirasakan rata-rata
hampir seluruh anggota tubuh, terutama rasa sakit pada leher atas, rasa sakit bahu kanan dan kiri, nyeri pinggang,
rasa sakit pada pergelangan tangan kanan, dan siku kanan. Hasil output yang didapat yaitu 100%. Hal ini
dikarenakan karena saat melakukan desain diperlukan ketelitian sekali, karena ketika proses desain dilakukan degan
membuat gambar dengan pensil diatas kertas, lalu dipertebal dengan bolpoin ketika akan di implementasikan ke
kain.
Dari departemen pengecapan terdiri dari 2 responden, dari hasil kuesioner Nordic Body Map bagian tubuh
yang sering di rasakan sakit rata-rata hampir seluruh anggota tubuh, seperti rasa sakit pada leher atas, nyeri
pinggang, rasa sakit bahu kanan dan kiri, rasa sakit di lengan kanan atas dan pergelangan tangan kanan kanan dan
kiri. Hasil output yang didapat 100%. Hal ini dikarenakan pengecapan menggunakan cap tembaga yang cukup berat.
Dan posisi saat melakukan pekerjaan pengecapan posisi tubuh terlalu membungkuk karena, dilihat dari lebar dan
panjang meja dan kain. Dan pengecapan sendiri juga membutuhkan ketelitan sekali karena kalau desain terbalik
hasil yang didapat juga tidak bagus.
Dari departemen pewarnaan berjumlah 1 responden, hasil output kuesioner nordic body map pada
departemen ini sebagian besar merasakan keluhan sakit pada anggota tubuh. Misalnya kaku pada leher, nyeri
punggung, nyeri pinggul, rasa sakit pergelangan tangan kanan dan kiri, rasa sakit kaki kiri dan kaki kanan yaitu
sebesar 100%. Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa saat melakukan proses pewarnaan dilakukan dengan cara
jongkok dan berdiri, saat jongkok dilakukan pencampuran warna dan berdiri saat pewarnaan.
Pada departemen pelorotan berjumlah 1 orang, dan didapatkan hasil anggota tubuh yang sering merasakan
sakit tangan kanan, pergelangan kaki kiri dan kanan, rasa sakit pada kaki kiri dan kanan yaitu sebesar 100%. Hal ini
dikarenakan saat melakukan pelorotan posisi tubuh berdiri dengan diatas tungku yang panas, dan melakukan
pelorotan dengan menggunakan kayu, proses pelorotan bertujuan untuk menghilangkan malam.

81
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Rapid Upper Limb Assessment (RULA)


Sebelum melakukan analisa rula identifikasi awal dari video, dan dari video di identifikasi satu per satu dari
proses produksi. Dapat dilihat pada lampiran 8-12. Bekerja dengan Posisi berdiri terus menerus sangat mungkin
akan terjadi penumpukan darah dan berbagai cairan tubuh pada kaki, hal ini akan bertambah bila berbagai bentuk
dan ukuran tubuh yang tidak sesuai. Dari hasil perhitungan RULA dibagian di setiap proses, dapat dilihat pada tabel
4.19 Nilai Rula Setiap Proses. Perhitungan RULA dapat dilihat di Lampiran 14 sampai 18 .
Tabel 6. Nilai Rula Setiap Proses
Departemen Nilai RULA
Desain 7
Canting 6
Cap 7
Pelorot 7
Warna 7
Dari hasil perhitungan RULA didapatkan hasil nilai pada desain 7, canting 6, cap 7, pelorot 7, warna7. Dari
nilai diatas nilai 7 sangat berbahaya dan segera ditangani. Nilai 6 menyelidiki lebih lanjut dan mengubah segera.
Postur kerja pada proses Pengecapan sekarang kurang ergonomis, terlihat dari bagian-bagian tubuh yang
mendapatkan skor tertinggi yaitu trunk yang mendapatkan skor 4, neck yang mendapat skor 3, dan wrist yang
mendapatkan skor 3, sehingga operator rentan mengalami cidera. Berdasarkan metode RULA postur kerja sekarang
berada pada action level 4 menunjukkan bahwa penyelidikan dan perubahan dibutuhkan segera. Untuk proses ini
kita dapat menggunakan cara sebagai berikut:
Postur kerja pada proses Pelorotan sekarang kurang ergonomis, terlihat dari bagian-bagian tubuh yang
mendapatkan skor tertinggi yaitu trunk yang mendapatkan skor 4, dan neck yang mendapat skor 3, sehingga operator
rentan mengalami cidera. Berdasarkan metode RULA postur kerja sekarang berada pada action level 4
menunjukkan bahwa penyelidikan dan perubahan dibutuhkan segera. Untuk proses ini kita dapat menggunakan cara
sebagai berikut:
1. Kompor atau tungku yang digunakan sebaiknya dibuat lebih tinggi lagi, agar jarak antara posisi tubuh dengan
tungku tidak terlalu rendah
2. Ketika proses pengambilan kain sebelum diambil sebaiknya memakai gawangan yang lebih tinggian, sehingga
antara gawangan canting dan gawangan peletakan kain yang akan di lorot beda ukurannya.
3. Pada saat pencucian kain batik setelah di lorot sebaiknya menggunakan kursi agar posisi tubuh tidak terlalu
membungkuk dan mengurangi cidera pinggul.

Kesimpulan
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa hasil data denyut nadi pekerja dari hasil tersebut beban kerja
berdasarkan denyut nadi, termasuk dalam kategori sedang dan ringan antara 75bpm-125bpm. Berdasarkan hasil
Fisiologi didapatkan hasil konsumsi energi dipengaruhi oleh kenaikan denyut nadi, dan besarnya konsumsi energi
setiap kenaikan denyut nadi bertambah 0,061. Semakin besar kenaikan denyut nadi semakin besar pula konsumsi
energinya. Semakin besar denyut nadinya, repetitiv ketika mencanting semakin lambat karena konsentrasi pekerja
juga berkurang. Berdasarkan hasil kuesioner Nordic Body Map keluhan yang dirasakan pekerja sebagian besar pada
leher, punggung, tangan, bahu. Dari kuesioner Nordic Body Map di implementasikan pada Rapid Upper Limb
Assessment dan didapatkan hasil skor akhir yaitu 7 dan action level 4 yang artinya sangat berbahaya dan perlu
dilakukan perbaikan segera.

Acknowladgment
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Kementrian
Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi atas biaya Penelitian Dosen Pemula tahun anggaran 2016

Daftar Pustaka
Kroemer, K., Henrike, K., Katrin K-E., 2001., Ergonomics: How to Design for Ease and Efficienc. 2nd ed . Prentice
Hall of International Series.New Jersey
Mc Atamney, L., Corlett, E.N., 1993., RULA: A Survey Methodefor The Investigationof Work-Relatedupper-Limb
Disorder., Applied Ergonomics Journal., Vol. 24 (2)., pp 91-99
Rodahl, K., 1989. The Physiology of Work. London: Taylor and Francis Ltd
Santoso, G., 2004. Ergonomi Manusia, Peralatan dan Lngkungan,Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta
Suma’mur, 1996. Higene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. Jakarta: PT. Toko Gunung Agung.
Tarwaka, Solichul HA.Bakri, Lilik S., 2004., ERGONOMI untuk Kesehatan, Keselamatan Kerja dan Produktivitas.
Surakarta : Universitas Islam Batik
Wignjosoebroto S., 2008, Ergonomi, Studi Gerak Dan Waktu.-- Ed.1, Guna Widya, Jakarta

82
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

PERFORMANSI ALTERNATOF FASE-TUNGGAL


DENGAN ROTOR MAGNET PERMANEN FLUKSI RADIAL

Arief Goeritno1, Alfian Hidayat2, Marjuki3


1
Dosen Tetap Jurusan/Program Studi Teknik Fakultas Teknik Universitas Ibn Khaldun Bogor
Jl. K.H. Sholeh Iskandar km.2 Kedung Badak, Tanah Sareal, Kota Bogor 16132, Telepon: 0251-8356884
2
PT Melcoinda
Jl. Desa Sentul no. 77 RT001/RW05, Sentul, Babakan Madang, Kabupaten Bogor 16811 Telepon: 021-8762510
3
SMK Negeri 2 Kota Bogor
Jl. Pangeran Sogiri no. 404, Tanah Baru, Bogor Utara, Kota Bogor 16154 Telepon: 0251-8659385/8652085
Email: arief.goeritno@ft.uika-bogor.ac.id

Abstrak

Telah dilakukan pengukuran performansi terhadap alternator fase-tunggal dengan rotor magnet
permanen fluksi radial, melalui kondisi tanpa beban dan berbeban. Tegangan keluaran alternator
hasil perhitungan diperoleh nilai sebesar 170,4 volt pada frekuensi 50 hertz, sedangkan tegangan
keluaran alternator hasil pengukuran diperoleh sebesar 170,7 volt dengan frekuensi 50 hertz.
Berdasarkan kedua nilai tersebut, terdapat persentase perbedaan tegangan keluaran alternator
sebesar 0,176%. Performansi alternator berbeban tanpa pengontrolan putaran poros alternator,
diperoleh jatuh (drop) tegangan pada tegangan keluaran sebesar 70,4 volt, sehingga nilai tegangan
terukur 73 volt saat dibebani dengan beban terbesar 10,5 watt. Nilai torsi berubah tidak linear, saat
kenaikan nilai beban dan terdapat penurunan putaran poros yang bervariasi pada nilai 0 sampai
0,0031 N.m. Persentase regulasi tegangan saat tanpa beban dan beban penuh (10,5 watt) diperoleh
57,23%. Pengukuran performansi alternator berbeban dengan pengontrolan kecepatan putaran poros
alternator dilakukan melalui penetapan nilai kecepatan putar rotor sebesar 500 rpm. Terdapat
peningkatan arus sesuai perubahan pemberian beban secara bertahap. Nilai torsi mengalami
perubahan yang linear, karena kenaikan nilai beban dan terdapat penurunan putaran poros, yakni
pada nilai kisaran 0,0014 N.m. Persentase regulasi tegangan saat tanpa beban dan beban penuh
(10,5 watt) diperoleh sebesar 14,18%.

Kata-kata Kunci: alternator fase-tunggal; performansi tanpa beban dan berbeban; rotor magnet
permanen fluks radial

Pendahuluan
Hasil pembentukan struktur belitan stator dan pabrikasi terhadap rotor dengan magnet permanen fluksi radial
telah diperoleh (Goeritno, 2016), yaitu (1) struktur belitan stator berbentuk 6 (enam) grup kumparan terhubung seri,
masing-masing grup tersusun atas 3 (tiga) kumparan yang menempati 6 (enam) alur untuk dengan bentuk tipe jerat
(lap winding) satu lapis; (2) Struktur rotor terdiri atas inti dan poros rotor, inti rotor berbentuk silinder berongga
dimensi 60 mm (tebal), 30 mm (diameter dalam), dan 85 mm (diameter luar), dilengkapi rumah magnet untuk
peletakan magnet permanen dan poros rotor berbentuk silinder sepanjang 210 mm; (3) Nilai daya elektris teoritis
alternator 81,281 VA dihitung dari tegangan keluaran dan arus maksimum, sedangkan daya mekanis teoritis dari
penggerak mula 350 watt, dihitung nilai kecepatan sudut putar poros dan torsi mekanis (Goeritno, 2016).
Alternator fase-tunggal (single-fase alternator), adalah sebuah generator listrik arus bolak-balik yang
menghasilkan tegangan fase-tunggal. Alternator fase-tunggal dapat digunakan untuk pasokan listrik ke sistem tenaga
listrik fase tunggal. Kenyataan saat ini, alternator fase-tiga menjadi pilihan untuk pemberian daya di sistem fase-
tiga, dimana salah satu fasenya digunakan untuk catu daya ke beban fase-tunggal (Navy Electricity and Electronics
Training Series, 1998). Untuk kasus-kasus tertentu, alternator fase-tunggal dengan kapasitas lebih besar, digunakan
dalam aplikasi khusus, seperti tenaga traksi fase-tunggal untuk sistem elektrifikasi kereta api (Official Assessment
E.ON Kraftwerke GmbH, 2012). Untuk menghasilkan tegangan keluaran, maka rotor diputar pada kecepatan
konstan agar sesuai dengan frekuensi yang diinginkan (Chalko, 2005).
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dilakukan pengukuran performansi terhadap alternator fase-
tunggal dengan rotor magnet permanen fluks radial, melalui kondisi alternator tanpa beban dan alternator dibebani.
Pengukuran performansi alternator tanpa beban berupa pengukuran tegangan keluaran alternator berdasarkan

83
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

kecepatan putaran penggerak mula. Pengukuran performansi alternator berbeban dilakukan melalui pengamatan
terhadap kecepatan putaran poros alternator, tegangan terminal, dan arus yang dihasilkan alternator.

Bahan-alat dan Metode Penelitian


Bahan-alat Penelitian
Bahan-bahan penelitian utama berupa alternator fse-tunggal magnet permanen fluks radial, motor induksi
fase-tiga, dan inverter fase-tiga tipe tegangan masukan fase-tunggal 220 volt. Bentuk fisik bahan penelitian utama,
seperti ditunjukkan pada Gambar 1.

Alternator fase-tunggal Inverter fase-tiga tipe


Motor induksi fase-tiga tegangan masukan fase-
tunggal 220 volt
Gambar 1 Bentuk fisik bahan-bahan penelitian utama

Alternator fase-tunggal magnet permanen fluks radial dengan belitan stator berbentuk 6 (enam) grup
kumparan terhubung seri, masing-masing grup tersusun atas 3 (tiga) kumparan yang menempati 6 (enam) alur
dengan bentuk kumparan tipe jerat (lap winding) satu lapis dan struktur rotor terdiri atas inti dan poros rotor, inti
rotor berbentuk silinder berongga dimensi 60 mm (tebal), 30 mm (diameter dalam), dan 85 mm (diameter luar).
Motor induksi fase-tiga yang digunakan, adalah merk Bologna Electric Motors. Spesifikasi motor tersebut sesuai
papan nama (name plate), yaitu: belitan 3 fase, berdaya 0,5 HP/0,37 kW, berkutub empat, dan kecepatan putaran
sebesar 1340 rpm, dan frekuensi 50 hertz. Belitan motor induksi dihubung bintang/delta dengan tegangan 220/380
volt, arus 1,93/1,12 ampere. Motor induksi mempunyai indeks proteksi 55, yaitu tahan terhadap debu dan pancaran
air. Untuk ketahanan temperatur belitan motor, jenis kawat belitan berada pada kelas F, yaitu pada temperatur
maksimum 155 °C atau 311 °F. Berat fisik motor induksi sebesar 6,3 kg. Inverter fase-tiga dengan tegangan
masukan 220 volt, dioperasikan melalui prinsip pengubahan tegangan 220 volt fase-tunggal menjadi tegangan 380
volt fase-tiga. Berfungsi untuk pengontrolan kecepatan motor induksi fase-tiga dengan pengontrolan frekuensi.
Alat-alat penelitian, meliputi multimeter dan tachometer. Multimeter digunakan untuk pengukuran nilai
tegangan keluaran dan arus alternator. Tachometer digunakan untuk pengukuran kecepatan putaran poros alternator
atau motor.Bentuk fisik multimeter dan tachometer, seperti ditunjukkan pada Gambar 2.

Penampang depan Penampang depan tachometer


multimeter
Gambar 2 Bentuk fisik multimeter dan tachometer

Metode Penelitian
Metode penelitian dilakukan untuk perolehan tujuan penelitian, berupa pengukuran performansi alternator
tanpa beban dan pengukuran performansi alternator berbeban.

84
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Pengukuran Performansi Alternator Tanpa Beban


Pengukuran performansi alternator tanpa beban berupa pengukuran tegangan keluaran alternator berdasarkan
kecepatan putaran penggerak mula yang dilakukan melalui 1) koneksi poros penggerak mula ke poros rotor
alternator, 2) pengukuran nilai kecepartan putaran poros alternator, tegangan terminal alternator, dan frekuensi
alternator, dan 3) persentase perbandingan tegangan keluaran antara hasil perhitungan dan pengukuran.

Koneksi penggerak mula ke poros rotor alternator


Tahapan ini berupa koneksi penggerak mula ke poros rotor. Koneksi penggerak mula ke rotor melalui kopel,
yaitu poros motor induksi fase-tiga dikopel dengan poros rotor alternator, sehingga posisi penggerak mula sejajar
dengan alternator. Koneksi penggerak mula ke poros rotor alternator, seperti ditunjukkan pada Gambar 3.

Gambar 3 Koneksi penggerak mula ke poros rotor alternator

Pengukuran kecepatan putaran poros, tegangan terminal, dan frekuensi alternator


Diagram skematis pengukuran performansi alternator fase-tunggal tanpa beban, seperti ditunjukkan pada
Gambar 4.

Gambar 4 Diagram skematis pengukuran performansi alternator fase-tunggal tanpa beban

Pengukuran nilai putaran poros, tegangan terminal, dan frekuensi alternator


Tahapan ini berupa pengukuran performansi alternator tanpa beban, sehingga hanya dilakukan pengukuran
tegangan keluaran alternator berdasarkan kecepatan putaran penggerak mula, agar dapat dilakukan penghitungan
daya alternator hasil pengukuran.

Persentase perbandingan tegangan keluaran antara hasil perhitungan dan pengukuran


Perhitungan persentase selisih antara tegangan keluaran hasil perhitungan dan pengukuran. Persentase
perbedaan tegangan keluaran hasil perhitungan menggunakan persamaan dan hasil pengukuran dapat dihitung
(Chalko, 2005) dengan persamaan (1).
.....(1).

Pengukuran Performansi Alternator Berbeban


Pengukuran performansi alternator berbeban dilakukan melalui pengamatan terhadap kecepatan putaran
poros alternator, tegangan terminal, dan arus yang dihasilkan alternator. Diagram skematis pengukuran performansi
alternator fase-tunggal berbeban, seperti ditunjukkan pada Gambar 5.

85
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Gambar 5 Diagram skematis pengukuran performansi alternator fase-tunggal berbeban

Pengukuran performansi alternator berbeban, yaitu: 1) performansi alternator berbeban tanpa pengontrolan
kecepatan putaran poros alternator dan 2) performansi alternator berbeban dengan pengontrolan kecepatan putaran
poros alternator. Diagram skematis pemberian beban secara bertahap dan variasi bentuk beban, seperti ditunjukkan
pada Gambar 6.

86
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Gambar 6 Diagram skematis pemberian beban secara bertahap dan variasi bentuk beban

Performansi alternator berbeban tanpa pengontrolan kecepatan putaran poros alternator


Pengukuran performansi alternator berbeban tanpa pengontrolan kecepatan putaran poros alternator,
dilakukan dengan pemberian beban yang bervariasi secara bertahap agar dapat diketahui perubahan daya terhadap
tegangan dan arus. Persentase regulasi tegangan saat tanpa beban dan dibebani penuh (Chalko, 2005) dihitung
dengan persamaan (2).
…..(2).

Daya elektris (Chalko, 2005) dihitung dengan persamaan (3).


.....(3).
Torsi elektris (Chalko, 2005) dihitung dengan persamaan (4).
.....(4).

Pengukuran performansi alternator berbeban dengan pengontrolan kecepatan putaran poros alternator
Pengukuran performansi alternator berbeban dengan pengontrolan frekuensi dilakukan dengan pemberian
beban yang bervariasi secara bertahap, agar dapat diketahui perubahan daya dan arus. Persentase regulasi tegangan
saat tanpa beban dan dibebani penuh (Chalko, 2005) dihitung dengan persamaan (2). Daya elektris (Meier, 2006)
dihitung dengan persamaan (3). Torsi elektris (Chalko, 2005) dihitung dengan persamaan (4).

87
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Hasil dan Bahasan


Performansi Alternator Tanpa Beban
Pengukuran performansi alternator tanpa beban dilakukan melalui pengamatan terhadap putaran poros,
tegangan terminal, dan frekuensi alternator. Hasil pengukuran performansi alternator fase-tunggal tanpa beban,
berupa perolehan nilai tegangan terminal dan frekuensi alternator berdasarkan kecepatan putaran poros alternator
yang divariasi. Nilai tegangan terminal dan frekuensi alternator berdasarkan kecepatan putaran poros alternator yang
divariasi, seperti ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1 Nilai tegangan terminal dan frekuensi alternator berdasarkan kecepatan putaran poros alternator yang
divariasi
Kecepatan Putaran Tegangan Frekuensi
Poros (rpm) Terminal (volt) (hertz)
100 34,4 11
200 69,8 20
302 104,2 30
401 139,2 40
502 170,7 50
601 204,4 60
702 239,8 70
802 275,2 80
904 310,2 90
1000 342,7 100
1103 378,3 110
1203 420,4 120
1302 457,3 130

Berdasarkan Tabel 1 ditunjukkan, bahwa kecepatan putaran poros rotor sebagai penentu nilai tegangan
keluaran dan frekuensi alternator, semakin besar kecepatan putaran rotor alternator, semakin besar pula nilai
tegangan keluaran dan frekuensi alternator yang dihasilkan.
Berdasarkan Tabel 1, dibuat: 1) nilai konversi hasil perhitungan untuk perubahan parameter kecepatan
putaran poros rotor (rpm) ke frekuensi (hertz) alternator, 2) hubungan perubahan tegangan terminal alternator
sebagai fungsi perubahan kecepatan putaran poros rotor, 3) hubungan perubahan frekuensi sebagai fungsi perubahan
kecepatan putaran poros rotor, 4) hubungan antara tegangan terminal dan frekuensi alternator, dan 5) persentase
perbedaan nilai tegangan keluaran alternator antara penghitungan dan pengukuran.

Nilai pembagi hasil perhitungan untuk perubahan parameter kecepatan putaran poros rotor ke frekuensi
Nilai pembagi hasil perhitungan untuk perubahan parameter kecepatan putaran poros rotor ke frekuensi
alternator, seperti ditunjukkan pada Tabel 2.
Tabel 2 Nilai pembagi hasil perhitungan untuk perubahan parameter kecepatan putaran poros rotor ke frekuensi
alternator
Kecepatan Putaran (rpm) Frekuensi (hertz) Nilai Pembagi
100 11 9,09
200 20 10,00
302 30 10,07
401 40 10,03
502 50 10,04
601 60 10,02
702 70 10,03
802 80 10,03
904 90 10,04
1000 100 10,00
1103 110 10,03
1203 120 10,03
1302 130 10,02
Rata-rata 9,95

88
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Berdasarkan Tabel 2 ditunjukkan, bahwa nilai pembagi hasil perhitungan untuk perubahan parameter kecepatan
putaran poros rotor ke frekuensi pada nilai rata-rata sebesar 9,95.

Hubungan perubahan tegangan terminal alternator sebagai fungsi perubahan putaran poros rotor
Kurva hubungan perubahan tegangan terminal alternator sebagai fungsi perubahan kecepatan putaran poros
rotor, seperti ditunjukkan pada Gambar 7.

Gambar 7 Kurva hubungan perubahan tegangan terminal alternator sebagai fungsi perubahan kecepatan putaran
poros rotor

Berdasarkan Gambar 7 ditunjukkan, bahwa hubungan antara perubahan tegangan dan kecepatan putaran
poros rotor berbanding lurus, diperoleh bentuk kurva linier, yaitu setiap kenaikan kecepatan putaran poros rotor
sebesar 100 rpm diperoleh peningkatan nilai tegangan berkisar 35,25 volt.

Hubungan perubahan frekuensi sebagai fungsi perubahan kecepatan putaran poros rotor
Kurva hubungan perubahan frekuensi sebagai fungsi perubahan kecepatan putaran poros rotor, seperti
ditunjukkan pada Gambar 8.

Gambar 8 Kurva hubungan perubahan frekuensi sebagai fungsi perubahan kecepatan putaran poros rotor

Berdasarkan Gambar 8 ditunjukkan, bahwa hubungan antara perubahan frekuensi dan kecepatan putaran
poros rotor berbanding lurus, diperoleh bentuk kurva linear, yaitu setiap kenaikan kecepatan putaran poros rotor
sebesar 100 rpm terjadi peningkatan frekuensi berkisar 9,95 hertz.

Hubungan antara tegangan terminal dan frekuensi alternator


Kurva hubungan antara tegangan terminal dan frekuensi alternator, seperti ditunjukkan pada Gambar 9.

Gambar 9 Kurva hubungan antara tegangan terminal dan frekuensi alternator

89
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Berdasarkan Gambar 9 ditunjukkan, bahwa hubungan antara perubahan tegangan dan frekuensi alternator
berbanding lurus, diperoleh bentuk kurva linear, yaitu setiap kenaikan frekuensi sebesar 10 hertz, terjadi
peningkatan tegangan sebesar 35,25 volt.

Persentase perbedaan tegangan keluaran alternator antara hasil pengukuran dan penghitungan
Tegangan keluaran alternator melalui pengukuran diperoleh sebesar 170,7 volt pada frekuensi 50 hertz,
sedangkan untuk perolehan tegangan keluaran alternator secara teoritis digunakan hasil perhitungan sebesar 170,4
volt. Persentase perbandingan tegangan keluaran alternator antara perhitungan dan pengukuran dihitung dengan
persamaan (1), diperoleh sebesar 0,176%.
.
Performansi Alternator Berbeban
Performansi alternator berbeban tanpa pengontrolan putaran poros alternator
Alternator dibebani dengan variasi pembebanan, yaitu 1,5 watt sampai 10,5 watt. Perlakuan berupa tanpa
pengontrolan kecepatan putaran poros alternator. Perubahan nilai arus, tegangan, dan torsi akibat pemberian beban
pada alternator, seperti ditunjukkan pada Tabel 3.
Tabel 3 Perubahan nilai arus tegangan dan torsi akibat pemberian beban pada alternator
Putaran Awal Pemberian Beban Kecepatan Putaran Arus Tegangan Torsi
(rpm) (watt) Poros Rotor (rpm) (ampere) (volt) (N.m)
Tidak
500 1,5 478 158 0
Terdeteksi
500 3 449 0,02 146 0,0011
500 4,5 416 0,05 132,5 0,0025
500 6 378 0,07 117 0,0029
500 7,5 334 0,08 101,5 0,0031
500 9 294 0,09 87 0,0030
500 10,5 255 0,09 73 0,0025

Berdasarkan Tabel 3 ditunjukkan, bahwa semakin besar pemberian beban, semakin terjadi penurunan nilai
kecepatan putaran poros rotor dan tegangan, tetapi terjadi kenaikan nilai arus sampai pemberian beban sebesar 10,5
watt, sedangkan nilai torsi terjadi perubahan yang bervariasi. Hal itu disebabkan oleh ketiadaan pengontrolan
kecepatan putaran poros alternator, karena kecepatan putaran poros alternator sangat ditentukan oleh kecepatan
putaran poros penggerak mula.
Kurva hubungan perubahan kecepatan putaran poros alternator sebagai fungsi perubahan pemberian beban,
seperti ditunjukkan pada Gambar 10.

Gambar 10 Kurva hubungan perubahan kecepatan putaran poros alternator sebagai fungsi perubahan pemberian
beban

Berdasarkan Gambar 10 ditunjukkan, bahwa hubungan antara perubahan kecepatan putaran poros alternator
dan pemberian beban berbanding terbalik, diperoleh bentuk kurva linear, yaitu setiap kenaikan pemberian beban
sebesar 1,5 watt, terjadi penurunan kecepatan putaran poros berkisar 37,17 rpm.
Kurva perubahan arus sebagai fungsi perubahan pemberian beban, seperti ditunjukkan pada Gambar 11.

90
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Gambar 11 Kurva hubungan perubahan arus sebagai fungsi perubahan pemberian beban

Berdasarkan Gambar 11 ditunjukkan, bahwa hubungan antara perubahan arus dan pemberian beban diperoleh
bentuk kurva tidak linear, yaitu setiap kenaikan pemberian beban sebesar 1,5 watt, tidak terjadi peningkatan arus
berkisar 0,015 ampere, tetapi bervariasi pada nilai 0 sampai 0,03 ampere.
Kurva perubahan tegangan sebagai fungsi perubahan pemberian beban, seperti ditunjukkan pada Gambar 12.

Gambar 12 Kurva hubungan perubahan tegangan sebagai fungsi perubahan pemberian beban

Berdasarkan Gambar 12 ditunjukkan, bahwa hubungan antara perubahan tegangan keluaran dan pemberian
beban berbanding terbalik, diperoleh bentuk kurva linear, yaitu setiap kenaikan pemberian beban sebesar 1,5 watt,
terjadi penurunan tegangan pada kisaran 14,17 volt.
Kurva perubahan tegangan karena perubahan kecepatan putaran poros alternator, seperti ditunjukkan pada
Gambar 13.

Gambar 13 Kurva perubahan tegangan karena perubahan kecepatan putaran poros alternator

Berdasarkan Gambar 13 ditunjukkan, bahwa hubungan antara perubahan tegangan dan kecepatan putaran
poros alternator berbanding lurus, diperoleh bentuk kurva linear, yaitu penurunan nilai kecepatan putaran poros pada
kisaran 37,17 rpm, terjadi penurunan nilai tegangan pada kisaran 14,17 volt.
Kurva hubungan perubahan tegangan karena perubahan arus, seperti ditunjukkan pada Gambar 14.

91
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Gambar 14 Kurva perubahan tegangan sebagai fungsi perubahan arus

Berdasarkan Gambar 14 ditunjukkan, bahwa hubungan antara perubahan tegangan dan arus berbanding
terbalik, diperoleh bentuk kurva linear, yaitu kenaikan nilai arus pada kisaran 0,015 ampere, terjadi penurunan
tegangan pada kisaran 14,17 volt.
Kurva hubungan perubahan torsi karena perubahan kecepatan putaran, seperti ditunjukkan pada Gambar 15.

Gambar 15 Kurva perubahan torsi sebagai fungsi perubahan kecepatan putaran

Berdasarkan Gambar 15 ditunjukkan, bahwa hubungan antara perubahan torsi dan kecepatan putaran
diperoleh bentuk kurva tidak linear, yaitu setiap penurunan putaran sebesar 35 rpm, tidak terjadi peningkatan torsi
berkisar 0,0004 N.m, tetapi bervariasi pada nilai 0 sampai 0,0031 N.m.
Persentase regulasi tegangan antara tanpa beban dan dibebani sampai 10,5 watt, digunakan persamaan (2).
Untuk kondisi regulasi tegangan tanpa pengontrolan kecepatan putaran poros alternator, diperoleh persentase
regulasi tegangan sebesar 57,23%.

Performansi alternator berbeban dengan pengontrolan kecepatan putaran poros alternator


Alternator dibebani dalam variasi pembebanan, yaitu 1,5 watt sampai 10,5 watt. Perlakuan berupa
pengontrolan kecepatan putaran poros alternator pada 500 rpm. Perubahan arus, tegangan dan torsi akibat pemberian
beban pada kecepatan putaran poros alternator kondisi konstan, seperti ditunjukkan pada Tabel 4.

Tabel 4 Perubahan nilai arus tegangan dan torsi akibat pemberian beban pada kecepatan putaran poros alternator
kondisi konstan
Putaran Pemberian Beban Arus Tegangan Torsi
Konstan (rpm) (watt) (ampere) (volt) (N.m)
500 1,5 0,00 167,5 0
500 3 0,03 163 0,00187
500 4,5 0,06 159,5 0,00365
500 6 0,09 156,5 0,00538
500 7,5 0,12 153 0,00701
500 9 0,15 149,5 0,00828
500 10,5 0,18 146,5 0,00979

92
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Berdasarkan Tabel 4 dtunjukkan, bahwa kenaikan pemberian beban, berakibat kepada peningkatan nilai arus
yang diserap beban, penurunan nilai tegangan keluaran pada alternator kondisi konstan, dan terjadi peningkatan nilai
torsi.
Kurva perubahan nilai arus akibat perubahan pemberian beban pada kecepatan putaran poros alternator
kondisi konstan, seperti ditunjukkan pada Gambar 16.

Gambar 16 Kurva perubahan nilai arus akibat perubahan pemberian beban pada kecepatan putaran poros alternator
kondisi konstan

Berdasarkan Gambar 16 ditunjukkan, bahwa terjadi kenaikan nilai arus yang diserap beban akibat kenaikan
pemberian beban, dengan perolehan bentuk kurva linear, yaitu setiap perubahan pemberian beban sebesar 1,5 watt,
terjadi peningkatan nilai arus sebesar 0,03 ampere.
Kurva perubahan nilai tegangan akibat perubahan pemberian beban pada kecepatan putaran poros alternator
kondisi konstan, seperti ditunjukkan pada Gambar 17.

Gambar 17 Kurva perubahan nilai tegangan akibat perubahan pemberian beban pada kecepatan putaran poros
alternator kondisi konstan

Berdasarkan Gambar 17 ditunjukkan, bahwa terjadi penurunan nilai tegangan yang terjadi pada beban akibat
kenaikan pemberian beban, diperoleh bentuk kurva linear, yaitu setiap perubahan pemberian beban sebesar 1,5 watt,
terjadi penurunan nilai tegangan sebesar 3,5 volt.
Kurva perubahan tegangan akibat perubahan arus pada kecepatan putaran poros alternator kondisi konstan,
seperti ditunjukkan pada Gambar 18.

93
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Gambar 18 Kurva perubahan tegangan akibat perubahan arus pada kecepatan putaran poros alternator kondisi
konstan

Berdasarkan Gambar 18 ditunjukkan, bahwa hubungan antara perubahan nilai arus dan tegangan berbanding
terbalik dan diperoleh bentuk kurva linear, yaitu setiap kenaikan nilai arus sebesar 0,03 ampere terdapat penurunan
nilai tegangan sebesar 3,5 volt.
Kurva hubungan perubahan torsi terhadap kecepatan putaran konstan, seperti ditunjukkan pada Gambar 19.

Gambar 19 Kurva perubahan torsi terhadap kecepatan putaran konstan

Berdasarkan Gambar 19 ditunjukkan, bahwa hubungan antara perubahan torsi dan kecepatan putaran
diperoleh bentuk kurva linear, yaitu pada setiap putaran konstan 500 rpm, terjadi peningkatan torsi berkisar 0,0014
N.m.
Persentase regulasi tegangan antara tanpa beban dan dibebani sampai 10,5 watt, digunakan persamaan (2).
Untuk kondisi regulasi tegangan dengan pengontrolan kecepatan putaran poros alternator, diperoleh persentase
regulasi tegangan sebesar:
14,18%.

Kesimpulan dan Saran


Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan bahasan, maka ditarik kesimpulan sesuai tujuan penelitian.
1 ) Pengukuran performansi alternator tanpa beban berupa perubahan tegangan mulai 34,4 volt (pada putaran 100
rpm dan frekuensi 11 hertz) sampai tegangan 457,3 volt (pada putaran 1302 rpm dan frekuensi 130 hertz).
Tegangan keluaran alternator hasil pengukuran diperoleh sebesar 170,7 volt dengan frekuensi 50 hertz,
sedangkan tegangan keluaran alternator hasil perhitungan diperoleh nilai sebesar 170,4 volt pada frekuensi 50
hertz, sehingga terdapat persentase perbedaan tegangan keluaran alternator sebesar 0,176%.
2 ) Performansi alternator berbeban tanpa pengontrolan putaran poros alternator, diperoleh jatuh (drop) tegangan
pada tegangan keluaran setiap pemberian tahapan beban (berupa lampu pijar). Saat dibebani 1,5 watt terjadi
jatuh tegangan 28,4 volt (turun dari 170,7 volt sampai 158 volt), sampai dibebani 10,5 watt terjadi jatuh
tegangan sebesar 70,4 volt, sehingga nilai tegangan terukur 73 volt. Nilai torsi mengalami perubahan yang tidak
linear, dimana pemberian beban yang bertambah dan terdapat penurunan putaran poros yang bervariasi pada
nilai 0 sampai 0,0031 N.m. Persentase regulasi tegangan saat tanpa beban dan beban penuh (10,5 watt)
diperoleh 57,23%. Pengukuran performansi alternator berbeban dengan pengontrolan kecepatan putaran poros
alternator dilakukan melalui penetapan nilai kecepatan putar rotor sebesar 500 rpm. Terdapat peningkatan arus

94
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

sesuai perubahan pemberian beban secara bertahap. Nilai torsi mengalami perubahan yang linear disebabkan,
karena pemberian beban yang bertambah dan terdapat penurunan putaran poros, yakni pada nilai kisaran 0,0014
N.m. Persentase regulasi tegangan saat tanpa beban dan beban penuh (10,5 watt) diperoleh 14,18%.

Saran
Sejumlah saran untuk melengkapi kesimpulan, yaitu perlu perhitungan lebih lanjut berkaitan dengan
ketebalan dan massa magnet permanen dan pemilihan bahan untuk poros rotor. Ketebalan dan massa magnet
permanen berperan besar dalam pembangkitan tegangan listrik, sedangkan massa rotor keseluruhan berperan besar
dalam pengurangan daya mekanis yang dibutuhkan dari penggerak mula.

Daftar Pustaka
Chalko, Tom, (2005), “Optimizing a Permanent Magnet Alternator for Micro-hydro Application”, Scientific E
Research, Mt Best, Australia, pp. 1-6.
Federal Aviation Administration, (2008), “Basic Electricity Chapter 10” in Aviation Maintenance Technician
Handbook—General (FAA-H-8083-30), Federal Aviation Administration, pp. (10) 130-161.
Goeritno, Arief, Marjuki, Alfian Hidayat, (2016), “Struktur Belitan Stator dan Rotor Bermagnet Permanen Fluks
Radial Untuk Alternator Fase-Tunggal”, Prosiding Semnastek 2016, Fakultas Teknik, Universitas
Muhammadiyah Jakarta (UMJ), hlm. (TE-003) 1-9.
Meier, Alexandra von, (2006), “Electric Power Systems: A Conceptual Introduction, Wiley-IEEE Press, pp. 96-97.
Navy Electricity and Electronics Training Series, (1998), "Module 5—Introduction to Generators and Motors
(NAVEDTRA 14177)", Naval Education and Training Professional Development and Technology Center,
pp. 3-7, 3-8, and 3-15.
Official Assessment E.ON Kraftwerke GmbH, (2012), "Hydropower Sustainability Assessment Tool",
Walchenseekraftwerk, Germany, pp. 2.

95
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

PERANCANGAN DAN PEMBUATAN GRIPPER SEBAGAI KOMPONEN


ROBOT 6-AXIS PADA PROSES OTOMATISASI PRODUCT HANDLING
MESIN PLASTIK INJEKSI

Muhammad Hidayat1, Muhammad Agus Syahroni2, Syahril Ardi3


1,2,3
Program Studi Teknik Produksi & Proses Manufaktur, Politeknik Manufaktur Astra
Jl. Gaya Motor Raya No.8, Sunter II, Jakarta 14330, Jakarta
Email: m.hidayat@polman.astra.ac.id; syahril.ardi@polman.astra.ac.id

Abstrak

Otomatisasi product handling di mesin plastik injeksi merupakan salah satu project yang ada di
sebuah perusahaan manufaktur. Dalam project ini ditambahkan robot ABB 6-axis di setiap mesin
plastik injeksi. Masing-masing robot membutuhkan gripper untuk mengambil produk. Komponen
gripper bisa berupa vacuum dan atau cylinder pneumatic. Dimensi dan komponen gripper tergantung
dari dimensi dan permukaan produk, sehingga setiap satu jenis produk memerlukan satu unit gripper.
Di perusahaan manufaktur ini belum semua produk terdapat gripper untuk mendukung proses
otomatisasi. Salah satunya adalah Panel Assembly Instrument. Gripper Panel Assembly Instrument
terdiri dari tiga komponen utama yaitu base gripper yang terbuat dari plat alumunium, rangka
gripper yang terbuat dari alumunium profile dan yang ketiga vacuum pad dan cylinder pneumatic
yang berfungsi untuk menahan benda kerja. Dengan adanya gripper ini operator tidak perlu masuk ke
dalam area mesin, sehingga mencegah terjadinya kecelakaan kerja. Selain itu proses otomatisasi
product handling pada proses produksi Panel Assemby Instrument mampu meningkatkan
produktifitas sebesar 20 %.

Kata kunci: Gripper; Robot 6-axis; Product Handling; Mesin Plastik Injeksi

Pendahuluan
Penelitian ini dilakukan pada perusahaan manufaktur otomotif, khususnya dalam pembuatan kompenen
eksterior dan interior kendaraan roda empat yang berbahan plastik. Di perusahaan ini terdapat tiga proses produksi
utama meliputi proses plastik injeksi, proses assembly (perakitan), dan proses painting (pengecatan). Semakin
tingginya tuntutan kualitas dan kuantitas produk yang dihasilkan, mengharuskan setiap proses produksi berjalan
dengan stabil dan tingkat kesalahan yang kecil. Dari masalah tersebut maka dibuat proses otomatisasi pada
pengambilan produk dari mold (cetakan). Dengan adanya proses otomatisasi ini diharapkan proses produksi dapat
berjalan dengan stabil dan mencegah terjadinya resiko kecelakaan kerja.
Di perusahaan ini sedang berjalan pembuatan proses otomatisasi product handling dengan menggunakan
robot 6-axis. Pada masing-masing mesin plastik injeksi dipasang robot ABB dengan ukuran sesuai dengan mesin
plastik injeksi. Akan tetapi gripper dari masing-masing produk belum semuanya tersedia di antaranya Panel Assy
Instrument. Sehingga perlu pembuatan gripper untuk produk Panel Assembly Instrument. Penelitian ini meliputi:
perancangan dan pembuatan gripper sesuai dengan produk yang ditangani; koneksi gripper dengan robot ABB; dan
pembuatan program robot ABB untuk melakukan proses pengambilan produk dari mold.

Metodologi
Pengenalan Produk
Penelitian ini dilakukan di perusahaan manufaktur yang bergerak di bidang otomotif. Salah satu produk
perusahaan tersebut adalah adalah Panel Assembly Instrument. Panel Assembly Instrument merupakan salah satu
komponen otomotif pada dash board sebuah truck. Bentuk dan dimensi dari Panel Assebly Instrument dapat dilihat
pada Gambar 1.

96
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Gambar 1. Panel Assy Instrument

Material dari Panel Assembly Instrument adalah plastik PP LA 880 T. Produk ini mempunyai berat bruto per
pcs nya 890 gram.

Proses Produksi Panel Assembly Instrument


Panel Assembly Instrument, proses produksinya dari raw material dilakukan di line plastik injeksi. Gambar 2
memperlihatkan flow Process produksi Panel Assembly Instrument.

Gambar 2. Flow Process Produksi Panel Assembly Instrument

Proses produksi dimulai dari RAW material (biji plastik) yang diperikasa terlebih dahulu oleh operator
Production Planning Inventory Control (PPIC). Kemudian material dimasukkan ke hoper mesin plastik injeksi untuk
dilakukan proses pencetakan produk. Setelah produk berhasil di cetak di mesin plastic injeksi kemudian dipasang
komponen pendukung yaitu klip. Klip harus terpasang sesuai dengan Standart Operating Procedure (SOP). Sebelum
masuk dock audit dan dikirim ke customer produk harus lolos Quality Control (QC).

Proses Produksi di Line Plastik injeksi

• Setting Mesin. Setting mesin dilakukan oleh operator bagian engineering proses. Setting mesin dilakukan pada
saat mesin melakukan pergantian mold dan pada saat proses produksi didapatkan produk Not Good (NG).
Mesin disetting sesuai dengan data setting yang dibuat oleh departemen engineering. Pembuatan data setting
berdasarkan hasil trial yang dilakukan sebelum proses produksi.
• Pengambilan Produk. Pengambilan produk dilakukan oleh operator produksi. Produk diambil dari mold
(cetakan). Disini operator tidak hanya mengambil produk dari mold, tetapi operator produksi juga
mengoperasikan mesin plastik injeksi. Proses produksi secara manual di mulai dari operator menutup pintu
mesin. Kemudian ejector akan mundur dan mold menutup secara otomatis. Setlah mold tertutup messin
malakukan proses injeksi. Setelah proses injeksi selesai mold akan terbuka, kemudian pintu terbuka dan ejector
maju untuk memudahkan operator melepas produk dari mold.
• Pemotongan Gate Runner. Pemotongan gate runner juga dilakukan oleh operator produksi. Setelah mengambil
produk dari mold kemudian operator memotong gate runner yang ada di produk. Gate runner merupakan jalan
untuk mengalirkan lelehan material plastik ke dalam cetakan. Gate runner ini diperlukan untuk menjaga kualitas
part sehingga didapatkan dimensi dan bentuk part yang sesuai.
• Pemasangan Klip dan Pengecekan. Klip dipasang sesuai dengan jenis klip yang ditentukan. Setelah klip
dipasang operator melakukan pengecakan produk secara visual.

Mesin Hwa Chin HC - 1060 T


Mesin plastik injeksi yang digunakan untuk proses produksi Panel Assy Instrument, adalah mesin Hwa Chin
HC – 1060 T.
Mesin Plastik injeksi ini dihubungkan dengan robot ABB 6-Axis IRB 4600 dengan koneksi Euromap 67.
Gambar 3 memperlihatkan mesin plastik injeksi HC-1060 T.

97
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Gambar 3. Mesin Plastik injeksi HC – 1060 T

Robot ABB 6-axis IRB 4600


Robot yang digunakan untuk proses otomatisasi product handling di mesin plastik injeksi adalah robot ABB
6-axis IRB 4600. Gambar 4 memperlihatkan robot ABB 6-axis IRB 4600 yang digunakan.

Gambar 4. Robot ABB 6-Axis IRB 4600

Permasalahan pada proses produksi Panel Assembly Instrument


Berdasarkan data produksi pada bulan februari, jumlah produksi tidak sesuai dengan target produksi. Target
produksi per jam adalah 45 pcs, akan tetapi jumlah yang mampu diproduksi per jam adalah 40 pcs. Gambar 5
memperlihatkan jumlah produksi tidak sesuai dengan target produksi.

Gambar 5. Jumlah produksi tidak sesuai dengan target produksi


Berdasarkan urutan kerja proses produksi Panel Assembly Instrument, pada proses pengambilan produk
operator harus membuka pintu mesin dan masuk ke area mold seperti pada Gambar 6. Proses ini memakan waktu
sampai 6 detik. Proses ini bisa dihilangkan jika dilakukan dengan proses otomatisasi.

98
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Gambar 6. Proses Pengambilan produk

Selain itu, ketika mengambil produk operator harus melewati tie bar mesin plastik injeksi. Permukaan pada
tie bar bersifat licin karena terdapat pelumas, sehingga membahayakan operator. Ejector yang ada pada mold
mempunyai permukaan yang tajam. Ketika operator mengambil produk dari mold, jari operator bisa bersentuan
langsung dengan sisi ejector yang tajam. Tentunya hal ini harus dihindari untuk meningkatkan keamanan dan
keselamatan operator produksi.

Perancangan Gripper
Gripper merupakan bagian dari robot handling yang digunakan untuk proses pengambilan produk. Gripper
didesain sesuai dengan bentuk dari produk yang di ambil. Sehingga perancangan gripper menyesuaikan dengan
bentuk produk yang akan ditangani.
Perancangan gripper lebih menitikberatkan pada dimensi base gripper dan kebutuhan penahan produk untuk
mengambil produk dari mold. Penempatan penahan produk pada gripper disesuaikan setelah gripper selesai dibuat
dan dilakukan proses teaching.
Gripper didisain untuk menggenggam dan menahan produk dengan memberikan kontak pada objek. Kontak
yang digunakan berupa vakum, silinder pneumatic dan sensor yang memastikan geripper sudah menahan produk.
Gambar 7 memperlihatkan bagian-bagian Gripper, yaitu: Rangka Gripper; Base dan Quick Change gripper; Vacuum
Pad; Mini Containing Cylinder

Gambar 7. Bagian-bagian Gripper

Perancangan Program
Untuk merealisasikan pembuatan aplikasi ini, maka hal yang paling utama adalah membuat program. Hal
pertama yang dibuat adalah diagram alir program, tujuannya supaya memudahkan pembuatan program. Gambar 8
memperlihatkan flow chart program robot.

99
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Gambar 8. Flow Chart Program Robot

Program dimulai dari robot pada posisi home, setelah robot menerima input posisi mold tertutup robot
standby untuk melakukan pengambilan produk. Selama mold tertutup mesin melakukan proses inject, setelah selesai
mold akan membuka dan robot menuju posisi pretake. Ejector akan maju sesuai dengan parameter yang disetting.
Robot mengambil produk, setelah product detect ON robot mletakkan produk.
Pembuatan program robot ini dilakukan dengan proses teaching. Sebelum melakukan proses teaching robot,
program yang berisi sequence pergerakan robot (main program) di upload ke robot ABB. Main program ini dibuat
oleh ABB. Main program robot terdiri take part, insert clip, cut runner dan place part. Dari keempat main program
tersebut tidak semua dilakukan proses teaching. Teaching robot hanya dilakukan pada take part dan place part.

Spesifikasi yang Dibutuhkan


Dalam Pembuatan gripper harus disesuaikan dengan kebutuhan di lapangan. Spesifikasi yang dimaksud
adalah sebagai berikut:
• Penggerak gripper yang digunakan untuk proses otomatisasi product handling adalah robot 6-axis yang di
integrasikan dengan mesin plastik injeksi.
• Input pada gripper sesuai dengan output robot 6-axis, yaitu pneumatic dan vacuum.
• Berat gripper tidak melebihi beban maksimal dari robot 6-axis yaitu 40 kg.
• Robot diprogram sesuai dengan alur pengambilan produk dari mold.
• Untuk menghubungkan gripper dengan robot diperlukan quick change yang sesuai dengan yang ada di industri.

Pembuatan dan Pengujian


Pembuatan Gripper
Pembuatan Quick Change dan Base Gripper
Awal dari pembuatan gripper adalah pembuatan base gripper. Base gripper terbuat dari plat alumunium
dengan tebal 5 mm. Plat dipotong sesuai dengan ukuran. Setelah dipotong plat dibuat lubang berdiameter 10 mm
untuk menghubungkan base dengan quick change dengan menggunakan baut M10. Base gripper dibuat untuk
menghubungkan quick change gripper dengan rangka gripper.

100
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Komponen yang terdapat pada gripper yaitu vacuum, mini container cylinder dan manifold. Vacuum dan
mini container cylinder dipasang di rangka gripper sedangkan manifold dipasang di base gripper. Gambar 9
memperlihatkan gripper sebelum dipasang selang angin.

Gambar 9. Gripper sebelum dipasang selang angin


Setelah komponen tersebut terpasang semua selanjutnya selang pneumatic dipasang sesuai dengan
perancangan yang dibuat.

Teaching Robot
Teaching robot dilakukan untuk menentukan titik referensi dan kecepatan pergerakan robot. Kecepatan bisa
diatus seefisien mungkin agar cycle time bisa sesuai dengan cycle time yang ditentukan. Selain itu teaching juga
sekaligus untuk memastikan gripper yang dibuat bisa
memegang produk dengan baik, tanpa meninggalkan bekas pada produk. Berikut beberapa titik yang perlu
dilakukan proses teaching:

Home Position Robot.


Home Position robot merupakan titik di mana robot berada pada posisi paling aman dari mold dan tidak
mengganggu persiapan sebelum produksi seperti pemasangan hot runner dan lain lain. Gambar 10 memperlihatkan
Robot pada Posisi Home

Gambar 10. Robot Pada Posisi Home

Pretake Produk. Setelah robot menerima input dari mesin bahwa mold sudah terbuka penuh robot diposisikan
pada posisi pretake. Pada titik pretake ini robot berada tepat di depan produk ketika masih menempel di ejector
mold. Posisi pretake ini juga berfungsi untuk mengurangi kecepatan pada saat robot mengambil produk.

Pengambilan produk.
Setelah robot menerima masukan sinyal posisi ejector dari mesin, robot bergerak maju mendekati produk.
Pada saat robot maju mendekati produk vacuum dalam keadaan on. Ketika produk detect sudah memberikan sinyal
1 maka robot akan bergerak mundur ke posisi pretake dan standby dengan kecepatan sesuai program pretake dan
standby.

101
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Place Part.
Produk yang di ambil robot di arahkan ke area place part, yaitu di samping area kerja operator. Tinggi posisi
place part disamakan dengan tinggi rata-rata operator agar operator mudah dalam mengambil produk dari gripper.
Setelah titik place part di teaching sesuai, robot diberikan jeda 0.5 detik sebelum melepaskan produk dari gripper.
Hal ini di maksudkan untuk memastikan operator sudah memegang produk agar produk tidak jatuh di lantai.
Gambar 11 memperlihatkan Robot pada posisi place part

Gambar 11. Robot pada posisi place part

Pengujian
1. Pengujian system kerja gripper. Pada pengujian sistem kerja mesin ini adalah untuk mengetahui apakah sistem
kerja pada gripper sudah berjalan dengan baik, dan sesuai dengan program yang telah ditentukan. Pengujian sistem
kerja gripper, terdiri dari:
• Quick change bisa terpasang rapat tanpa ada gerakan antara quick change di gripper dan di robot ABB.
• Ukuran gripper setelah dipasang ke robot bisa masuk di area buka mold tanpa menabrak mold.
• Ketika vacuum dinyalakan kemudian vacuum ditutup product detect harus menyala.
• Saat gripper sudah berada pada posisi take part dan actuator gripper dinyalakan product detect menyala
• Gripper bisa mengambil produk dari mold dan dletakkan di area place part
• Gripper mengambil product tanpa cacat karena gripper
2. Pengujian Cycle Time Process
Pada pengujian cycle time process ini dilakukan untuk mengetahui waktu yang diperlukan robot dalam
mengambil product sampai ke place part. Pengujian ini dilakukan dengan mengumpulkan data produksi sebelum
menggunakan robot dan sesudah menggunakan robot. Gambar 12 memperlihatkan peningkatan jumlah produksi
ketika pengambilan produk sudah menggunakan robot.

Gambar 12. Peningkatan jumlah produksi ketika pengambilan produk sudah menggunakan robot.
Dari diagram batang di atas menunjukkan adanya peningkatan jumlah produksi pada saat pengambilan
produk sudah menggunakan robot. Selain itu pada saat prosesnya menggunakan robot jumlah produksi lebih stabil,
berbeda dengan proses manual yang jumlah produksi per jamnya meningkat 20%.

102
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Kesimpulan
Dari penelitian ini, didapatkan bahwa pembuatan gripper sebagai komponen robot ABB IRB 4600 di mesin
plastik injeksi pada produk panel assembly instrument dapat meningkatkan jumlah produksi sebanyak 20% per jam.
Dengan adanya gripper panel assembly instrument, operator tidak perlu masuk ke dalam mesin plastik injeksi pada
waktu mengambil hasil plastik injeksi. Produk diambil oleh robot kemudian diletakkan di area place part di luar
mesin plastik injeksi sehingga mencegah terjadinya kecelakaan kerja.

Daftar Pustaka
Ardi, S., Jimmy, M., Agustono, R., “Design of Pokayoke Sensor Systems in Engraving Machine to Overcome
Upside Defect Production using Programmable Logic Controller”, Proceeding International Conference on
QiR 2015 UI.
Ardi, S., Subagio, D., Sidik, M., “Automatic Detection Machine on the OLP (Outer Link Plate) Cam Chain Using
Camera Sensor and Programmable Logic Controller”, Proceeding The International Conference MICEEI
2014.
Buhrer, U.T., Legat, C., Vogel-Heuser, B., Changeability of Manufacturing Automation Systems using an
Orchastration Engine for Programmable Logic Controllers, IFAC-PapersOnLine 48-3 (2015), 1573-1579.
G. Valencia-Palomo, J.A. Rossiter, Programmable logic controller implementation of an auto-tuned predictive
control based on minimal plant information, ISA Transactions 50 (2011), pp. 92-100.
Jamaludin, Anif. 2007. Injection Molding dan Penerapannya di Industri Manufaktur
Sandin, Paul E. 2003. Robot Mechanisms and Mechanical Devices Illustrated. United State of America: The
McGraw-Hill
Syahril Ardi, Desitia Utami, Communication Control System of Robot AII-Series with the Permanent Welding
Process Supporting tool on Motorcycle Frame Body, Technologic Vol.3 No.2, ISSN: 2085-8507, Halaman
12-19
Syahril Ardi, Febrika Tasiawati, Disain Sistem Kontrol Mesin Arc Welding by Robot di Housing Assembly Line
Menggunakan Sistem Kendali PLC Mitsubishi Q-Series, Robot Controller OTC AX-26, dan CC-Link, Jurnal
Mercu Buana.

103
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

PERAMALAN KEBUTUHAN SOLAR UNTUK KRP KIJANG INNOVA


PADA DIVISI SCM PT XYZ

Etika Muslimah1,Muhammad Luthfi Saqqo2


1,2
Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Surakarta
Jl. A. Yani Tromol Pos 1 Pabelan Kartasura 57102 Telp 0271 717417
Email: etika.muslimah@ums.ac.id

Abstrak

PT XYZ merupakan perusahaan eksplorasi dan produksi yang bertugas mengangkat minyak mentah
(crude oil) dan gas dari dalam bumi. PT XYZ memiliki divisi Supply Chain Management (SCM), divisi
SCM mempunyai tugas antara lain, Procurement, Receiving and Inventory, Transportation serta
General Services. Transportasi pada perusahaan ini dilimpahkan kepada PT. ABC sebagai vendor
yang dipilih melalui sistem tender yang diadakan oleh divisi procurement di bagian SCM. PT ABC
menyediakan driver, maintenance kendaraan, asuransi sesuai dengan Kontrak Kerjasama (KKS).
Namun PT ABC tidak menanggung pengeluaran konsumsi kebutuhan bahan bakar minyak (BBM)
Solar, hal ini berdampak pada pengeluaran BBM yang berlebih karena mobilitas yang tinggi pada PT
XYZ. Penelitian ini bertujuan mengetahui konsumsi BBM Solar pada PT XYZ. Hasil penelitian ini
akan digunakan sebagai acuan oleh PT XYZ untuk melakukan efisiensi penggunaan BBM Solar.
Analisis yang akan digunakan adalah dengan melakukan peramalan (forecast) konsumsi solar pada
Kendaraan Ringan Pribadi (KRP) Kijang Innova yang digunakan.. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Time Series. Selain melakukan forecast konsumsi solar, penelitian ini juga
untuk menntukan efisiensi dari kendaraan tersebut. Efisiensi ditentukan dengan membandingkan
dengan standard yang telah ditetapkan oleh produsen kendaran tersebut. Hal ini menjadi acuan untuk
merumuskan efisiensi suatu kendaraan dalam kondisi normal atau perlu dilakukan maintenance.

Kata kunci: Efisiensi; Forecasting; Maintenance; Time Series

Pendahuluan
Transportasi merupakan kegiatan untuk memindahkan barang (muatan) ataupun penumpang dari suatu
tempat ke tempat lain (Salim, 2000). PT. XYZ merupakan perusahaan yang bergerak dibidang minyak dan gas.
Perusahaan ini bertugas mengeksplorasi minyak dari dalam bumi untuk kemudian diolah dan didistribusikan.
Transportasi merupakan salah satu aktivitas ini di perusahaan. Perusahaan ini memiliki beberapa divisi, salah
satunya divisi Supply Chain Management (SCM. Divisi ini bertugas dalam bidang Procurement, Receiving and
Inventory, Transportation serta General Services. Salah satu aktivitas di divisi SCM adalah tranportasi.
Transportasi yang merupakan aktivitas yang memiliki frekuensi tinggi. Transportasi di PT XYZ merupakan bagian
dari fungsi Supply Chain Management (SCM) yang mengatur akomodasi perjalanan pegawai untuk dinas ataupun
keperluan sehari-hari baik dalam keperluan eksplorasi produksi maupun untuk keperluan kantor. Transportasi pada
PT XYZ ini dilimpahkan kepada Vendor yang dipilih melalui sistem tender yang diadakan oleh divisi procurement
di bagian SCM. Pihak PTXYZ bekerjasama dengan vendor sesuai dengan kesepakatan kontrak kerjasama (KKS).
Vendor transportasi pada PT XYZ di akomodasi oleh PT ABC yang menyediakan 1 unit PajeroSport, 6 unit
Pick Up Double Kabin, 3 Single Kabin, 1 unit Bus, 1 unit Ambulans, 23 unit Kijang Innova , 1 unit CraneKato, 2
unit Trailer, 1 unit Truck TD, 2 unit Forklift, 2 Unit FireTruck, 1 unit FireJeep , 1 unit DumpTruck, 1 unit
Bulldozer, 1 unit Grader dan 1 unit Wales.
Dari data diatas dapat diketahui unit terbanyak untuk kegiatan transportasi yakni Kijang Innova dengan
bahan bakar solar.Konsumsi bahan bakar solar menjadi kebutuhan yang paling besar utnuk transportasi. Faktor
efisiensi menjadi hal yang penting untuk memprtimbangkan penggunaan kendaraan tersebut. Penelitian ini
dimaksudkan untuk mengetahui konsumsi solar dan efiisiensi khusus pada kendaraan tersebut. Di perusahaan
tersebut Kijang Innova dimasukkan dalam kelompok Kendaraan Ringan Penumpang. Aktivitas transportasi yang
menggunakan kendaraan ini dalam sehari cukup banyak. Sehingga konsumsi solar sangat besar. Hal tersebut
menyebabkan pengeluaran biaya yang cukup besar. Sehingga perusahaan merasa perlu untuk melakukan analisis
untuk konsusmsi bahan bakar solar tersebut, dan efiseinsinya.

104
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Kijang Innova menjadi salah satu kendaraan yang digunakan oleh PT. XYZ yang intensitasnya sangat tinggi
untuk keperluan sehari-hari. Pengisian bahan bakar dilakukan setiap hari sesuai kebutuhan untuk transportasi dalam
satu hari tersebut. Pencatatatan data kebutuhan solar dilakukan setiap hari. Analisis peramalan diperlukan untuk
dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi perusahaan dalam membuat keputusan dalam mengalokasikan
kebutuhan bahan bakar.
Beberapa penelitian yang menggunakan forecasting sebagai metode untuk perencanaan sudah dilakukan oleh
beberapa peneliti. Penelitian tersebut meliputi peramalan untuk penjualan produk sebuah perusahaan (Rahmawati,
2013) dan (Jonnius dan Ali, 2012). Penelitian dengan forecastingdigunakanuntuk mengetahui lebih jelas mengenai
data di masa yang akan datang berdasarkan data masa lalu. Hal ini merupakan komponen penting dalam industri
untuk menyiapkan produk atau jasa di masa yang akan datang.

Peramalan
Peramalan adalah suatu proses memperkirakan secara sistematis tentang apa yang mungkin terjadi di masa
yang akan dating berdasarkan informasi data masa lalu dan sekarang yang dimiliki untuk meminimalisir tingkat
kesalahan (Riduwan, 2010).
Peramalan (Forecasting) merupakan kegiatan untuk menentukan konsumsi bahan baku/produk yang akan
datang, serta merencanakan kapasitas produksi yang baik sesuai dengan besarnya konsumsi permintaan. (Rangkuti,
2005)
Terdapat beberapa jenis metode peramalan dalam bagian manajemen. Namun dalam beberapa kasus,
biasanya satu metode belum tentu cocok digunakan untuk kasus tertentu, sehingga dalam peramalan dapat
menggunakan banyak metode untuk pemecahan sebuah masalah, karena hasil dari setiap metode akan berbeda.
Peramalan menggunakan teknik-teknik peramalan yang bersifat formal maupun informal (Gaspersz, 1998). Secara
umum metode peramalan diklasifikasikan dalam 2 kategori utama, yakni (Makridakis, 1999) :
1. Peramalan dengan menggunakan metode kualitatif.
Peramalan dengan metode kualitatif dilakukan dengan beberapa pertimbangan, antara lain:
a. Tidak adanya data masa lalu.
b. Trend data masa lalu berbeda dengan trend data di masa yang akan datang.
Metode yang digunakan pada peramalan kualitatif adalah pendekatan berpikir exploratory (berpikir ke masa
depan dengan dasar kejadian pada saat ini) dan pendekatan berpikir normatif (berpikir sesuai yang diinginkan di
masa yang akan datang dan kemudian menentukan langkah yang diperlukan untuk saat ini).
2. Peramalan dengan menggunakan metode kuantitatif
Peramalan dengan menggunakan metode kualitatif dapat diterapkan dengan beberapa persyaratan sebagai
berikut:
a. Tersedia informasi data masa lalu.
b. Informasi yang didapatkan dapat diterjemahkan kedalam data numeric.
c. Data masa lalu memiliki trend yang sama dengan masa yang akan datang.

Metode peramalan (Forecasting) kuantitatif dapat digolongkan dalam dua kategori, antara lain (Makridakis, 2010):
1. Teknik Deret Berkala (Time Series)
Teknik Deret Berkala (Time Series) yakni suatu metode peramalan yang memperlakukan proses untuk
memperoleh output/taksiran sebagai sistem yang tidak bisa diketahui/black box dan tidak perlu dilakukan
usaha untuk menelusurinya.
2. Teknik explanatory/kausal, yaitu menganggap nilai taksiran memiliki hubungan sebab akibat dengan input
sistem.
Metode Deret Waktu (time series) merupakan metode kuantitatif yang sering digunakan dan memiliki beberapa
metode, antara lain:
a. Simple Average
Metode Simple Average menghitung rataan dari data yang tersedia (sejumlah 1 periode)
b. Moving Average
Model rata-rata bergerak menggunakan sejumlah data aktual permintaan yang baru untuk membangkitkan
nilai ramalan untuk permintaan dimasa yang akan datang.
c. Weighted Moving Average
Metode Weighted Moving Average (WMA) dapat mengatasi kelemahan dari metode Moving Average
(MA) yang menganggap setiap data memiliki bobot yang sama, padahal akan lebih normatif apabila data
yang baru memiliki data akurasi yang lebih tinggi.
d. Single Exponential Smoothing
Pengaruh smoothing α pada metode ini yakni semakin besar nilai α, smoothing yang dilakukan semakin
kecil dan sebaliknya. Karena αberupa variable, masalah pada peramalan metode ini adalah mencari nilai α
yang optimal.

105
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

e. Double Exponential Smoothing


Metode ini baik digunakan pada data yang menunjukan adanya trend. Sehingga pada exponential
smoothing ini dipengaruhi oleh data Trend dan data Level (L) maka untuk L0 nilai yang didapat adalah
dari Linier Intercept dan T0 adalah nilai yang didapat dari Linier Slop. Kedua nilai linier tersebut didapat
dari proses regresi.
Keakuratan peramalan digunakan untuk memilih model terbaik dari metode-metode yang ada, dengan cara
melihat atau memilih nilai Mean Absolute Percentage Error (MAPE) terkecil.
Metode evaluasi atas terjadinya perbedaan dalam peramalan, dibutuhkan efektifitas pengukuran. Error dalam
peramalan dapat dilakukan mekanisme pemberian skor yang biasa digunakan. Error peramalan adalah perbedaan
secara numerik dari peramalan permintaan dengan permintaan actual. Dimana D1 adalah data pada periode waktu t
dan e, merupakan kesalahan (error) pada periode i yang nilainya didapat dari selisih antara nilai aktual dengan nilai
peramalan periode i. Beberapa statistik kesalahan peramalan antara lain:
1) Cumulative sum of forecast errors
2) Mean Square Error
3) Mean absolute deviation of forecast error
4) Mean absolute percentage errors

Metode
Sebelum melakukan pemilihan suatu model forecasting, lebih baik mengidentifikasi pola historis dari data
aktual permintaan. Penelitian ini menggunakan software WIN-QSB untuk melakukan pengolahan data. Setelah data
diolah dilakukan identifikasi pola data yang digunakan.
Pemilihan model forecasting seharusnya berdasarkan pada pola historis dari data aktual konsumsi BBM solar
pada KRP Kijang Innova. Berdasarkan data aktual konsumsi BBM solar pada KRP Kijang Innova periode bulan
Januari sampai periode bulan Agustus, terlihat bahwa fluktuasi data tiap periode mengalami peningkatan atau lebih
dikenal dengan pola data trend. Metode yang digunakan adalah forecasting Simple Average (SA), Single
Exponential Smoothing (SES), Double Exponential Smoothing (DES) dan Linier Regression (LR).

Hasil dan Pembahasan


Berikut adalah data-data yang dikumpulkan meliputi segala informasi yang terkait. Informasi data diperoleh
dengan meminta data konsumsi bahan bakar kepada pihak-pihak terkait.
Dilihat dari data konsumsi BBM solar pada mobil Innova yang berjumlah 22 unit, maka dengan melakukan
pengolahan data Konsumsi BBM solar setiap periode akan terlihat pola data dari konsumsi BBM solar tersebut.
Setelah mengetahui pola data selanjutnya peneliti melakukan pengolahan data lanjutan untuk melakukan peramalan
dengan menggunakan metode-metode peramalan (Forecasting).
Dibawah ini merupakan pola data konsumsi BBM solar pada kijang Innova dalam liter, data
yangdikumpulkan merupakan data setiap periode yang berlangsung selama 15 hari awal bulan serta 15 hari
akhirbulan.

Gambar 1. Pola Data Konsumsi BBM solar pada Kijang Innova

Dari grafik diatas dapat diketahui bahwa pola data yang terjadi adalah Trend sehingga metode peramalan
yang digunakan Simple Average (SA), Single Exponential Smoothing (SES) Double Exponential Smoothing (DES)
dan Linier Regression (LR). Trend adalah rata-rata perubahan dalam jangka waktu panjang. Factor trend
menggambarkan perilaku data yang meningkat, menurun atau tidak berubah (Makridakis, 2010).

106
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Tabel 1.Data Konsumsi BBM Solar pada Kijang Innova dalam Liter
JANUARI FEBRUARI MARET APRIL MEI JUNI JULI AGUSTUS

No 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1

1 50 80 110 85 149 180 208 245 185 250 100 190 65 220 230

2 90 125 78 140 110 55 105 88 120 75 95 127 145 175 145

3 60 70 78 60 35 70 65 105 90 126 90 110 115 77 140

4 87 135 55 85 60 80 120 170 140 60 100 225 95 155 75

5 175 220 100 123 85 190 170 128 55 130 110 110 70 120 70

6 30 250 130 190 220 305 270 345 265 460 330 430 195 522 490

7 140 165 135 90 125 195 200 260 162 260 182 135 70 140 145

8 155 180 148 152 130 200 160 300 255 245 187 255 142 265 195

9 185 105 110 102 120 155 240 250 120 290 220 330 90 290 220

10 215 195 100 180 130 235 190 245 180 295 210 240 160 245 235

11 80 260 115 220 90 193 150 230 305 325 280 260 185 295 225

12 185 149 116 150 180 170 205 270 195 295 205 275 150 270 245

13 160 135 155 165 125 185 155 90 120 115 140 110 45 120 115

14 130 174 109 100 107 205 166 203 160 130 110 155 40 208 120

15 70 175 55 70 56 55 120 145 130 145 98 145 40 280 75

16 160 111 115 92 120 85 155 175 89 215 92 140 100 230 215

17 205 190 145 205 150 275 160 210 255 270 230 225 155 315 240

18 140 225 160 215 160 210 235 285 180 255 230 262 170 250 200

19 30 75 85 50 85 100 135 30 100 205 60 110 50 203 115

20 100 105 93 115 105 105 95 198 125 135 155 80 90 150 80

21 95 195 115 130 180 220 170 150 150 90 45 95 35 170 55

22 145 140 155 220 105 190 135 230 195 200 205 255 135 340 175

Jumlah 2688 3461 2463 2941 2628 3660 3610 4354 3577 4573 3475 4266 2343 5042 3806

Tabel 2 Output Data WIN-QSB.


CFE 6145.891 7967.453 2545.938 1351.526 10972.92 3699.994 1.56E+03 -1.22E-03
MAD 724.9803 777.9737 727.561 915.9335 913.5458 647.8461 858.5703 533.3851
MSE 748324.9 858960.4 772686.4 1198675 1163465 661056.1 1056091 442307.9
MAPE 19.94068 20.76824 21.0021 26.35716 23.49885 18.59934 24.74128 16.39028
Trk.Signal 8.477321 10.24129 3.499278 1.475572 12.01135 5.711224 1.818974 -2.29E-06
R-sqaure 0.434249 0.6561927 0.5119135 0.8927242 1 0.4698309 0.7545281 0.2720081
Alpha=0.1 Alpha=0.5 Alpha=0.9 Alpha=0.1 Alpha=0.5 Alpha=0.9 a=2771.591
F(0)=2687 F(0)=2687 F(0)=2687 F(0)=2687 F(0)=2687 F(0)=2687 b=94.0929
F'(0)=2687 F'(0)=2687 F'(0)=2687
Dari data diatas di dapatkan bahwa pada coloumn MAPE nilaipada LR memiliki nilai yang terkecil yakni 16.39028,
MAPE yang dipilih karna menunjukan tingkat error yang paling kecil. Dari data diatas diketahui tingkat error
terkecil ditunjukan oleh Linier Regression (LR). Selanjutnya dari data tersebut dilakukan verifikasi data berdasarkan
forecasting dari data LinierRegression (LR).

107
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Tabel 3 Hasil Forecasting Konsumsi BBM solar pada KRP Kijang Innova dengan Metode Time Series dalam Liter
Bulan SA SES 0.1 SES 0.5 SES 0.9 DES 0.1 DES 0.5 DES 0.9 LR

16 3524.333 3483.746 3959.969 3903.373 3067.222 3900.512 3970.908 4277.076


17 3524.333 3483.746 3959.969 3903.373 3067.222 3900.512 3970.908 4371.169
18 3524.333 3483.746 3959.969 3903.373 3067.222 3900.512 3970.908 4465.262
19 3524.333 3483.746 3959.969 3903.373 3067.222 3900.512 3970.908 4559.355
20 3524.333 3483.746 3959.969 3903.373 3067.222 3900.512 3970.908 4653.448
21 3524.333 3483.746 3959.969 3903.373 3067.222 3900.512 3970.908 4747.541
22 3524.333 3483.746 3959.969 3903.373 3067.222 3900.512 3970.908 4841.633
23 3524.333 3483.746 3959.969 3903.373 3067.222 3900.512 3970.908 4935.726

Tabel 4 Daftar Driver dan Jarak Tempuh Kilometer KRP Kijang Innova
Interval Konsum Konsumsi
Kode Nama Sopir No Mobil Alokasi Driver Awal Akhir
Kilometer si BBM km/liter
Assisten Manager PWP-
Jatmiko K 9367 DN 19846 42718 9.745206647
1 GS 22872 2347
Assisten Manager
Eko Yurianto K 9362 DN ' 17836 34546 9.988045427
2 Produksi 16710 1673
3 Edi S K 9359 DN Assisten Manager RAM 13255 26730 13475 1291 10.43764524
Mujiono
K 9369 DN Poll Harian 18241 32750 8.836175396
4 MRH 14509 1642
5 M. Adib K 9374 DN Poll Harian 32842 52267 19425 1856 10.46605603

6 Rudi Santoso K 9376 DN Assisten Manager HR 19288 54876 35588 4432 8.029783394

7 Sardi K 9373 DN Poll Harian 32689 58236 25547 2404 10.62687188

8 Beno K 9375 DN Poll Harian 26892 61445 34553 2969 11.63792523

9 Ristiawan K 9379 DN Poll Harian 25037 57636 32599 2827 11.53130527

10 Jamari K 9357 DN Poll Shift 27135 56323 29188 3055 9.554173486

11 Priyo S K 9363 DN Assisten Manager PE 30263 62215 31952 3213 9.944600062

12 Iwan P K 9390 DN Poll Harian 34380 67451 33071 3060 10.80751634

13 Trihono Heru K 9366 DN Poll Harian 27467 46318 18851 1935 9.742118863

14 Didik K 9364 DN Poll Harian 30860 56606 25746 2117 12.16154936

15 Andika Y K 9368 DN Assisten Manager SCM 11673 22767 11094 1119 9.914209115

16 Andika Y K 9001 DN Assisten Manager SCM 41643 54175 12532 540 23.20740741

17 Edi Sarwono K 9381 DN Poll Harian 27044 48848 21804 2024 10.77272727

18 Edi Sarwono K 8800 JN Poll Harian 202100 202568 468 70 6.685714286


Ali Akrom,
Budi W, K 9358 DN Poll Shift 31115 64432 10.31486068
19 Legiman 33317 3230
Ari WL,
Kusbudiono, K 9371 DN Poll Shift 25746 58242 10.22851747
20 Suyitno B 32496 3177
Assisten Manager
Zaeroni K 9361 DN 11146 27709 11.55826936
21 Kesehatan 16563 1433
22 Heru Indarto K 9370 DN Assisten Manager HSSE 13601 27970 14369 1731 8.300982091

23 Ali Mashar K 9360 DN Poll Harian 25944 46125 20181 1895 10.64960422

24 Mujiono DGK K 9372 DN Poll Harian 21098 58540 37442 2825 13.25380531
Setelah dilakukan pengolahan data Konsumsi BBM solar diketahui jumlah kebutuhan dari periode 16 sampai
periode 23. Selain itu dari data tersebut dapat diketahui pula kendaraan mana yang sebaiknya dilakukan
maintenance dikarenakan boros sebab konsumsi BBM Solar yang terlalu besar berdasarkan interval kilometer
berbanding dengan konsumsi solar tersebut.
Tabel diatas merupakan data driver beserta kilometer awal saat mobil pertama digunakan pada periode 1 bulan
januari 2016 sampai kilometer terakhir pada periode 1 bulan agustus 2016.

108
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Dari data diatas selanjutnya diplotkan kedalam grafik, untuk menunjukan kendaraan mana yang sebaiknya
dilakukan maintenance lebih awal karena konsumsi solar yang berlebih.

Gambar 2. Tingkat Efisiensi KRP Kijang Innova pada Periode 1Januari 2016 - Periode 1 Agustus2016

Dari analisis data diatas terdapat beberapa kendaraan yang berada dibawah batas minimum boros yakni
dibawah batas LCL 9, kendaraan dibawah LCL adalah kendaraan nomor 18 yang hanya mampu menempuh 6,6857
KM dalam 1 liter solar, disisi lain terdapat kendaraan yang berada diatas UCL 12 yakni kendaraan nomor 16.
Kendaraan nomor 16 mampu menempuh 23,207 KM dalam 1 liter solar, hal ini belum bisa dianggap hemat karena
terdapat faktor human error saat melakukan input nilai KM kendaraan Kijang Innova.
Diketahui nilai efisiensi Kijang Innova antara 1:9 sampai 1:12 yang artinya setiap liter solar dapat
menempuh jarak 9 Km sampai 12 Km, semakin besar kilometer yag dapat ditempuh maka bahan bakar semakin
efisien. Hal ini berpengaruh pada pengeluaran biaya untuk penggunaan solar pada setiap kendaraan. Kedepan
dengan adanya penelitian ini pengeluaran solar dapat ditekan untuk efisiensi biaya bahan bakar karena dengan
penelitian ini diketahui kendaraan Kijang Inova berada pada yang kurang dari nilai efisiensi. Selain itu adanya
penelitian ini juga untuk mengetahui lebih awal kendaraan mana yang sebaiknya dilakukan Maintenance karena
adanya data perbandingan efisiensi bahan bakar.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil perhitungan dan analisis data diatas maka dapat diambil beberapa kesimpulan :
1. Data kebutuhan solar pada KRP Kijang Innova setelah dilakukan pengolahan data forecasting periode 16 sampai
periode 23 didapatkan kebutuhan solar sebagai berikut: Periode 16 adalah 4277.076 liter solar, periode 17 adalah
4371.169 liter solar, periode 18 adalah 4465.262 liter solar, periode 19 adalah 4559.355 liter solar, periode 20
adalah 4653.448 liter solar, periode 21 adalah 4747.541 liter solar, periode 22 adalah 4841.633 liter solar,
periode 23 adalah 4935.726 liter solar.
2. Pengolahan data dengan menggunaknSimple Average, Single Exponential Smoothing, Double Exponential
Smoothing serta Linier Regression didapatkan data bahwa Linier Regression memiliki data yang lebih akurat,
dengan tingkat MAPE 16,39 %
3. Apabila terdapat data yang berada dibawah UCL 9 maka perlu adanya maintenance pada kendaraan tersebut,
karena hal ini akan berdampak pada pengeluaran solar yang berlebih sehingga nilai cost juga akan besar.

Saran
Dari pengelolaan data konsumsi BBM saran peneliti kepada petugas input data antara lain:
1. Adanya data diatas dapat dijadikan acuan bagi PT XYZ selaku pihak yang menggunakan solar untuk
memperkirakan kebutuhan secara berkala.
2. Petugas input data dari PT. XYZ sebaiknya melakukan input data harian dengan lebih teliti untuk mengurangi
tingkat bias pada input data.

109
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Daftar Pustaka
Abbas, Salim,(2000), “Manajemen Transportasi. Cetakan Pertama”, Edisi Kedua.Ghalia Indonesia. Jakarta.
Jonnius dan Auzar Ali, (2012) “Analisis Forecasting Penjualan Produk Perusahaan”.
Makridakis,S, (1999)“Metodedan Aplikasi Peramalan”, EdisiKe-2.TerjemahanHariSuminto.Jakarta:
BinarupaAksara.
Makridakis, S. dan Steven Wheelwright, (2010) “Metode dan Aplikasi Peramalan”, Jilid 1, Binarupa Aksara
Publisher, Tangerang
Rangkuti, Freddy, (2005),“Analisis SWOT: Teknik Membedah Kasus Bisnis”, Jakarta: PT. Gramedia
Rahmawati, Noviana, (2013)“ForecastingPenjualan Sepeda Motor Kawasaki pada Sumber Buana Motor, Skripsi,
Akuntansi Diploma III, Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Yogyakarta,Yogyakarta
Riduwan, (2010), “Metode dan teknik Menyusun Tesis”, Alfabeta, bandung

110
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

USULAN PERBAIKAN SISTEM PERSEDIAAN BAHAN BAKU PADA


ZUPPA ICE CREAM DENGAN MEMPERTIMBANGKAN
KNOWN PRICE INCREASES

Halton Novanta1 , Y.M. Kinley Aritonang2


1,2
Fakultas Teknologi Industri, Jurusan Teknik Industri, Universitas Katolik Parahyangan
Jl. Ciumbuleuit 94, Bandung 40141
Email: halton_novanta@hotmail.com

Abstrak

Zuppa Ice Cream merupakan perusahaan yang memproduksi produk es krim. Proses manufaktur yang
dilakukan adalah proses pembuatan es krim dari bahan baku sampai menjadi produk jadi.
Permasalahan yang terdapat pada perusahaan tersebut adalah seringnya terjadi kekurangan maupun
kelebihan bahan baku yang menyebabkan terhambatnya proses produksi. Saat proses produksi
terhambat, maka akan terjadi kehilangan penjualan yang menyebabkan hilangnya keuntungan dari
perusahaan. Permasalahan tersebut terjadi karena perusahan belum memiliki sistem persediaan
bahan baku yang baik. Perusahaan juga belum memiliki kebijakan khusus dalam menghadapi
kenaikan harga sehingga belum memperoleh penghematan optimum. Penelitian yang dilakukan
bertujuan agar dapat memberikan usulan sistem persediaan yang dapat meminimasi total expected
cost.
Metode yang digunakan dalam penelitian adalah perhitungan total biaya minimum dengan metode
fixed order interval. Komponen biaya yang diperhitungkan adalah biaya pemesanan, penyimpanan,
dan lost sales. Perhitungan dilakukan dengan menggunakan metode iterasi untuk mencari nilai
interval waktu pemesanan yang menghasilkan biaya persediaan paling minimum. Selanjutnya interval
waktu pemesanan (T) dan tingkat inventori maksimum (R) menjadi acuan dalam melakukan
pemesanan.
Usulan sistem persediaan bahan baku yang diberikan adalah pemesanan dengan metode T secara
joint order terhadap pemasok yang sama. Usulan tersebut dalam perhitungannya menghasilkan total
biaya persediaan per tahun sebesar Rp 4.760.830,81. Penelitian juga dilakukan untuk menentukan
kebijakan khusus ketika perusahaan menghadapi kasus known price increases. Perhitungan yang
dilakukan dapat menentukan besar pemesanan khusus yang sebaiknya dilakukan untuk memperoleh
penghematan optimum.

Kata kunci: interval pemesanan; known price increases; persediaan; total expected cost

Pendahuluan
Pada zaman ini, dunia industri berkembang dengan pesat. Perkembangan dunia industri ini menyebabkan
persaingan yang semakin ketat. Perusahaan perlu menentukan strategi yang dapat memaksimalkan sumber daya
yang dimiliki sehingga proses dapat berjalan secara efisien. Tingkat efisiensi perusahaan dipengaruhi oleh beberapa
aspek. Salah satu aspek penting yang perlu diperhatikan adalah sistem persediaan bahan baku untuk produksi.
Sistem persediaan bahan baku sangat penting untuk kelancaran produksi sehingga target produksi dapat tercapai.
Menurut Fogarty (1991) persediaan dapat berbentuk bahan baku untuk memproses, barang setengah jadi, dan
barang jadi yang siap untuk dijual maupun didistribusi sehingga persediaan sesungguhnya mempunyai fungsi yang
sangat penting bagi perusahaan industri. Ketiga jenis bentuk persediaan tersebut penting dalam suatu perusahaan
namun persediaan bahan baku berada pada titik awal untuk memulai produksi. Ketersediaan barang jadi yang akan
dijual kepada konsumen akan tercukupi jika persediaan bahan baku untuk produksi dan juga sistem produksi yang
ada berjalan dengan baik.
Sistem persediaan bahan baku yang baik dibutuhkan oleh perusahaan agar dapat tersedia jumlah yang tepat
sesuai dengan kebutuhan dengan mengeluarkan biaya sekecil mungkin. Kekurangan bahan baku akan menyebabkan
produksi tidak dapat berjalan dan terjadi lost sales. Kerugian yang diakibatkan oleh tidak terpenuhinya permintaan
konsumen dapat juga berdampak pada loyalitas konsumen karena konsumen dapat juga beralih membeli ke pihak
lain. Terhambatnya produksi karena kekurangan persediaan bahan baku dapat diantisipasi dengan menyimpan bahan
baku sebanyak mungkin pada gudang tetapi hal ini akan membuat biaya penyimpanan menjadi tinggi.

111
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Perhitungan jumlah pemesanan ekonomis (EOQ) dapat digunakan untuk menentukan jumlah pemesanan
dengan biaya serendah mungkin, tetapi perhitungan ini hanya dapat dilakukan jika seluruh parameter pemesanan
diketahui secara pasti. Menurut Tersine (1994) keadaan yang dihadapi perusahaan menghadapi banyak faktor yang
menyebabkan parameter menjadi tidak pasti seperti jumlah permintaan maupun lead time yang dapat berubah-ubah
dengan probabilistik tertentu. Kemungkinan-kemungkinan tersebut dapat menyebabkan metode perhitungan yang
sudah ada menjadi kurang sesuai untuk diimplementasikan pada setiap kondisi.
Penentuan sistem persediaan yang meminimasi biaya persediaan masih jarang dilakukan oleh kebanyakan
perusahaan karena sulitnya menghadapi kasus probabilistik. Pada objek penelitian kali ini, perusahaan juga belum
memiliki perhitungan sistem persediaan yang optimum melainkan berdasarkan intuisi. Sistem persediaan yang
dilakukan berdasarkan intuisi memiliki beberapa kelemahan yaitu tidak mempertimbangkan biaya yang tidak keluar
dari perusahaan secara nyata seperti biaya modal dan biaya kehilangan penjualan. Perusahaan masih hanya
mempertimbangkan biaya-biaya persediaan yang secara jelas terlihat seperti biaya pembelian dan biaya pemesanan.
Untuk itu diperlukan sebuah sistem persediaan yang tepat dan dapat dijalankan sesuai dengan kondisi perusahaan.
Perusahaan Zuppa Ice Cream merupakan produsen produk home made ice cream yang terletak di Jakarta dan
telah beroperasi sejak bulan September tahun 2014. Produksi dilakukan dari mengolah bahan baku mentah seperti
telur, gula, susu, krim, tepung, dan bahan-bahan lainnya. Hasil akhir produksi berupa es krim yang akan dikirimkan
ke sejumlah toko untuk dijual ke konsumen. Produk yang diproduksi dikategorikan menjadi empat jenis produk
berdasarkan rasa yaitu vanilla, cokelat, green tea, dan cheese cake. Setiap jenis produk memiliki kebutuhan bahan
baku yang berbeda. Bahan baku khusus yang digunakan setiap jenis produk antara lain vanilli, bubuk kokoa, daun
teh hijau, dan cream cheese.
Berdasarkan wawancara dengan pemilik perusahaan, diketahui bahwa selama ini sering terjadi kekurangan
maupun kelebihan bahan baku. Masalah tersebut terjadi karena perusahaan belum memiliki sistem persediaan bahan
baku sehingga pemesanan bahan baku hanya dilakukan berdasarkan intuisi. Kekurangan bahan baku terjadi ketika
produksi tertunda karena tidak adanya bahan baku yang digunakan. Saat terjadi kekurangan bahan baku, maka
perusahaan tidak dapat memproduksi semua jenis produk. Kerugian yang dialami perusahaan adalah tidak dapat
memenuhi permintaan untuk jenis produk yang dipilih untuk tidak diproduksi saat itu. Pemilihan jenis produk yang
diproduksi ketika terjadi kekurangan bahan baku dilakukan berdasarkan intuisi. Kelebihan bahan baku juga dapat
menyebabkan kerugian pada perusahaan dalam pengaruhnya pada tingginya biaya karena meningkatnya biaya
penyimpanan. Selain tingginya biaya penyimpanan, kelebihan bahan baku pada suatu waktu juga menyebabkan
perputaran barang menjadi lambat. Perputaran barang yang lambat terutama pada produk bahan makanan sangat
dihindari untuk mencegah penurunan kualitas bahan baku tersebut. Kekurangan dan kelebihan bahan baku dapat
dikurangi dengan menetapkan persediaan bahan baku yang sesuai.
Metode persediaan yang saat ini digunakan oleh perusahaan dilakukan berdasarkan intuisi. Pemesanan bahan
baku dilakukan ketika bahan baku sudah hampir habis. Sistem persediaan tersebut hampir menyerupai metode fixed
order quantity karena menggunakan reorder point sebagai acuan dalam melakukan pemesanan. Akan tetapi
perusahaan tidak melakukan perhitungan reorder point yang sebaiknya digunakan. Selain itu, perusahaan juga
mendapatkan beberapa bahan dari pemasok yang sama sehingga lebih cocok untuk menggunakan metode fixed
order interval untuk dapat melakukan joint order. Hasil pengamatan juga menunjukkan bahwa perusahaan belum
memiliki safety stock sehingga sampai mengalami kehabisan bahan baku dalam beberapa kali kejadian. Perusahaan
juga belum melakukan perhitungan total biaya persediaan sehingga belum ada tolak ukur yang jelas dalam
meminimasi biaya persediaan.
Fenomena yang sering ditemui oleh perusahaan saat ini adalah tidak stabilnya harga bahan baku. Harga
bahan baku cenderung naik karena dipengaruhi oleh banyak faktor. Pada periode satu tahun terakhir terdapat empat
kali kenaikan harga bahan baku yang telah diinformasikan terlebih dahulu oleh supplier. Kenaikan harga yang
diberitahukan oleh supplier selama ini selalu diberitahukan pada awal bulan dan terjadi kenaikan harga pada
pertengahan bulan yang sama.
Bahan baku yang kenaikan harganya dapat diketahui terlebih dulu adalah susu dan krim karena kedua bahan
tersebut dibeli langsung dari pabrik. Supplier yang memproduksi sendiri produknya seringkali memiliki kemampuan
untuk mengatur kenaikan harga dan dapat memberi informasi akan adanya kenaikan harga di waktu yang akan
datang. Pada periode yang lalu, perusahaan belum memiliki kebijakan khusus dalam menghadapi kenaikan harga
karena belum dapat menentukan kebijakan yang memberikan penghematan optimal pada perusahaan.
Untuk itu penelitian ini dilakukan untuk menentukan sistem persediaan yang dapat menghasilkan total biaya
yang minimum. Berdasarkan identifikasi masalah yang telah diuraikan diatas, maka dapat dibuat rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana sistem persediaan bahan baku yang sesuai dengan keadaan perusahaan?
2. Bagaimana kebijakan yang sebaiknya dilakukan perusahaan ketika mengetahui akan terjadi kenaikan
harga?
3. Bagaimana perbandingan sistem persediaan usulan dengan sistem persediaan sekarang?

112
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan cara pengamatan langsung, mengambil data yang diberikan oleh
perusahaan, dan juga dari sumber-sumber lain. Data-data yang dibutuhkan untuk perancangan sistem persediaan
yaitu data permintaan Zuppa Ice Cream selama satu tahun, data lead time kebutuhan bahan baku, biaya persediaan,
dan besar kenaikan harga yang pernah terjadi.

Data permintaan
Data permintaan yang digunakan dalam penelitian adalah data permintaan selama satu tahun (Januari 2015 –
Januari 2016). Pengumpulan data permintaan dilakukan dengan pendekatan melalui data penjualan. Data penjualan
yang dicatat oleh perusahaan adalah data penjualan per hari untuk keempat jenis produk yaitu vanilla, cokelat, green
tea, dan cheesecake. Data penjualan per hari kemudian direkapitulasi untuk mendapatkan data penjualan per minggu
menjadi 52 data. Data penjualan direkapitulasi dalam setiap minggunya untuk melihat pola data yang lebih stabil.
Perhitungan data permintaan dilakukan dengan menjumlahkan data penjualan dan besaran lost of sales. Besar
lost of sales didapatkan berdasarkan perkiraan dari pemilik yaitu sebesar 8%. besar lost of sales memperhitungkan
pelanggan yang tidak jadi membeli karena tidak tersedianya jenis produk yang ingin dibeli.

Data kebutuhan bahan baku


Data kebutuhan untuk setiap bahan baku dihitung dengan mengalikan data permintaan dengan kebutuhan
bahan baku untuk setiap produknya. Data kebutuhan bahan baku untuk memproduksi satu produk menggunakan
data dari perusahaan dan tidak ditampilkan dalam penelitian ini. Kebutuhan bahan baku utama yang digunakan
untuk keempat jenis produk kemudian dijumlahkan untuk masing-masing jenis bahan baku per minggunya untuk
mendapatkan total kebutuhan bahan baku per minggu. Kebutuhan bahan baku khusus langsung digunakan sebagai
kebutuhan bahan baku total karena hanya digunakan untuk satu jenis produk.

Data biaya persediaan


Komponen biaya persediaan yang termasuk dalam penelitian ini adalah biaya pembelian, biaya pemesanan,
biaya penyimpanan, dan biaya kekurangan persediaan. Biaya pembelian yang digunakan adalah data harga bahan
baku per unit yang diperoleh dari data pembelian terbaru dari perusahaan. Biaya pemesanan dihitung berdasarkan
beberapa komponen yang menghasilkan biaya ketika pemesanan dilakukan. Biaya pemesanan meliputi
penghitungan komponen biaya telepon, biaya administrasi, dan biaya pengiriman dari pemasok. Pemesanan yang
dilakukan untuk satu jenis pemasok akan menimbulkan biaya pemesanan yang sama walaupun jenis bahan baku
yang dipesan berbeda.
Data-data yang dibutuhkan untuk menghitung biaya penyimpanan adalah biaya modal dan biaya gudang.
Biaya gudang terdiri dari biaya listrik gudang dan pekerja gudang. Biaya modal diperhitungkan dengan
menggunakan bunga deposito pada bank sebesar 6,5% dan pajak sebesar 20%. Bunga bank yang digunakan adalah
bunga pada bank yang digunakan oleh perusahaan. Data bunga bank diperoleh langsung dari perusahaan. Bunga
tabungan deposito yang digunakan adalah per bulan Februari tahun 2016. Sementara biaya gudang diperoleh dari
data pada perusahaan. Biaya penyimpanan kemudian dihitung dengan menjumlahkan biaya modal dan biaya gudang
setiap jenis produk sesuai dengan fraksinya. Untuk mendapatkan nilai biaya simpan per unit per tahun maka total
biaya penyimpanan dibagi dengan rata-rata persediaan per tahun.
Bahan baku utama yang digunakan untuk keempat jenis rasa produk akan menggunakan pendekatan dari
persentase permintaan untuk dihitung persentase produksinya. Berdasarkan data permintaan maka diketahui
persentase permintaan untuk rasa vanilla, cokelat, green tea, dan cheese cake berturut-turut adalah 24%, 27%, 23%,
dan 26%. Dengan menggunakan pendekatan tersebut maka perhitungan biaya lost of sales 1 butir telur memiliki arti
rasa vanilla kekurangan 0,24 butir, rasa cokelat kekurangan 0,27 butir, dan seterusnya.
Dalam memenuhi kebutuhan bahan bakunya, perusahaan memesan bahan baku ke tiga pemasok yang
selanjutnya akan disebut sebagai pemasok A, B, dan C. Masing-masing pemasok memiliki lead time yang relatif
konstan tanpa terpengaruh jenis bahan baku yang dipesan.
Dalam kurun waktu satu terakhir, perusahaan pernah mengalami kenaikan harga bahan baku yang diketahui
atau disebut juga known price increases. Kenaikan harga tersebut terjadi pada produk dari pemasok B yaitu bahan
baku susu dan krim. Berdasarkan hasil wawancara, diketahui pemasok B selalu memberi informasi tentang waktu
dan besar kenaikan harga yang akan terjadi. Dalam dua kali kejadian pada satu tahun terakhir, kenaikan harga akan
diumumkan pada awal bulan dan terjadi dua minggu setelahnya. Besar kenaikan harga relatif sama yaitu naik
sebesar 5% dari harga awal.

Pengolahan Data
Pengolahan data akan meliputi pengujian distribusi data kebutuhan bahan baku, perhitungan biaya
persediaan, perhitungan metode sistem persediaan, dan perhitungan dengan mempertimbangkan known price
increases. Pengolahan data dilakukan dengan bantuan perangkat lunak Microsoft Excel untuk melakukan

113
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

iterasi.Model persediaan untuk menghadapi kasus known price increases juga dibuat untuk melihat gambaran
tingkat persediaan saat terjadi pemesanan khusus.

Uji distribusi data kebutuhan bahan baku


Pengujian distribusi data kebutuhan bahan baku akan dilakukan untuk setiap jenis bahan baku. Uji distribusi
dilakukan dengan metode Kolmogorov Smirnov dengan bantuan perangkat lunak yang akan menghasilkan tiga nilai
sebagai parameter distribusi yaitu rata-rata, standar deviasi, dan P-value dan dapat dilihat pada Lampiran B. Nilai α
yang ditetapkan adalah 5%. Jika nilai P-value > α, maka perbedaan antara pengujian dengan kurva normal baku
tidak signifikan atau data berdistribusi normal.

Perhitungan metode Fixed Order Interval untuk individual order


Perhitungan sistem persediaan akan dilakukan dengan metode Fixed Order Interval atau metode T. Dalam
mencari interval waktu pemesanan yang optimal, akan digunakan metode iterasi. Perhitungan nilai T dan R
optimum selanjutnya akan digunakan sebagai parameter untuk melakukan pemesanan oleh perusahaan. Metode
yang digunakan adalah pemesanan secara individual order untuk setiap bahan baku. Pemesanan dilakukan secara
terpisah untuk setiap jenis bahan baku walaupun memiliki nilai T yang sama dan berasal dari pemasok yang sama.
Grafik biaya persediaan untuk bahan baku susu dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1 menunjukkan hubungan
interval pemesanan (T) dengan biaya pemesanan (BP), biaya simpan (BS), biaya lost of sales (BL), dan total cost
(TC).

Gambar 1. Grafik biaya persediaan susu

Parameter pemesanan yang digunakan pada metode ini adalah T dan R. Pemesanan akan dilakukan setiap T
waktu sebesar R dikurangi dengan posisi persediaan saat itu. Metode ini membuat perusahaan lebih mudah dalam
menentukan waktu pemesanan karena tidak perlu melakukan pemeriksaan jumlah persediaan secara terus menerus.
Tingkat safety stock (SS) juga diperhitungkan karena mempertimbangkan kondisi permintaan yang bervariasi.
Rekapitulasi perhitungan secara individual order dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Rekapitulasi Perhitungan Metode Fixed Order Interval untuk Individual Order

Bahan Baku T (Bulan) R (unit) SS (unit)

Telur 0,560 1.827 445


Gula 0,738 255.096 55.459
Susu 0,738 261 59
Krim 0,728 291 66
Tepung 1,282 146.227 27.820
Vanilli 0,868 21.905 5.961
Bubuk kokoa 0,858 33.232 7.512
Daun teh hijau 0,860 21.166 5.298
Cream cheese 0,848 37.439 9.123

114
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Perhitungan metode Fixed Order Interval untuk joint order


Perhitungan metode T secara joint order dilakukan dengan menggabungkan pemesanan bahan baku yang
berasal dari pemasok yang sama. Perhitungan secara joint order dilakukan untuk mencari skenario pemesanan yang
menghasilkan total biaya persediaan minimum.
Penentuan skenario joint order dilakukan dengan memerhatikan jarak antar T optimum dari setiap bahan
baku yang berasal dari pemasok yang sama. Pemesanan secara joint order untuk pemasok A dilakukan dengan dua
skenario karena T optimum dari bahan baku tepung memiliki T optimum yang cukup jauh yaitu 1,282. Pada
skenario pertama, bahan baku tepung tidak diikutsertakan dalam joint order. Skenario kedua adalah penggabungan
ketiga bahan baku untuk membandingkan total biaya persediaannya.

Pemilihan metode sistem persediaan


Pemilihan metode sistem persediaan dilakukan dengan melakukan perbandingan total biaya persediaan antara
pemesanan secara individual order, joint order skenario 1, dan joint order skenario 2. Rekapitulasi total biaya
persediaan dari ketiga metode tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Rekapitulasi Total Biaya Persediaan

Metode Total Biaya Persediaan (Rp)

Individual order 6.464.094,54


Skenario 1 5.148.910,10
Joint order
Skenario 2 4.760.830,81

Berdasarkan perbandingan total biaya persediaan pada Tabel 3 maka dapat dilihat metode yang menghasilkan
biaya paling minimum adalah pemesanan secara joint order skenario 2 dengan total biaya persediaan sebesar Rp
4.760.830,81.

Perhitungan dengan mempertimbangkan known price increases


Perhitungan selanjutnya akan mempertimbangkan kejadian kenaikan harga yang akan datang. Perhitungan
akan dilakukan dengan menggunakan asumsi kenaikan harga untuk jenis bahan baku yang berbeda terjadi pada
waktu yang sama untuk kenaikan harga lebih dari satu barang. Pada periode satu tahun terakhir, perusahaan
menghadapi kenaikan harga yang telah diberitahu oleh pemasok B pada bahan baku susu dan krim secara bersama-
sama. Namun pada kejadian yang akan datang, ada kemungkinan kenaikan harga terjadi hanya kepada salah satu
bahan baku saja. Perhitungan selanjutnya akan mempertimbangkan beberapa skenario yang mungkin terjadi dari
pemasok B pada kejadian known price increases. Beberapa skenario yang mungkin terjadi antara lain sebagai
berikut.
1. Kenaikan harga hanya pada satu bahan baku yang tergabung dalam joint order.
2. Kenaikan harga pada seluruh bahan baku yang tergabung dalam joint order.

Ite m y an g m en ga lam i k en aik an ha r ga


Ite m y an g t id ak m e nga lam i k en aik an h ar ga
Q* J oin t o rd er de ng an ha rg a ba ru

R a wa l

R b a ru

T mc T2
Gambar 2. Model persediaan kasus known price increases pertama

115
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Gambar 2 menunjukkan model persediaan dalam menghadapi kenaikan harga dari salah satu bahan baku
yang tergabung pada joint order. Pada model persediaan tersebut, bahan baku yang mengalami kenaikan harga
sebaiknya dipesan sejumlah besar pemesanan khusus yang optimum. Bahan baku yang tidak mengalami kenaikan
harga sebaiknya dipesan mengikuti perhitungan pemesanan optimum secara individual order. Setelah lama
pemakaian pemesanan khusus habis, maka bahan baku tersebut sebaiknya dipesan secukupnya agar habis bersamaan
pada satu titik yang disebut Tmc. Setelah periode Tmc, pemesanan gabungan dapat kembali dilakukan dengan
menggunakan perhitungan biaya persediaan yang telah mengalami kenaikan harga. Gambar 3 menunjukkan model
persediaan dari kasus untuk kenaikan harga dari seluruh bahan baku pada joint order. Perbedaan dari kasus pertama
adalah perusahaan sebaiknya melakukan pemesanan khusus untuk kedua jenis bahan baku. Bahan baku yang lama
pemakaian pemesanan khususnya lebih lama akan menjadi titik acuan Tmc. Bahan baku yang habis lebih dulu akan
dilakukan pemesanan secukupnya agar habis bersamaan pada titik Tmc. Pemesanan gabungan selanjutnya sebaiknya
dilakukan dengan memperhatikan kenaikan harga yang telah terjadi.

Q*
B a ha n b ak u s us u
B a ha n b ak u k r im
J oin t o rd er de ng an ha rg a ba ru

Q*

R b a ru

T mc
Gambar 3. Model persediaan kasus known price increases kedua

Perbandingan sistem persediaan sekarang dengan usulan


Perbandingan sistem persediaan sekarang dengan usulan dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa
faktor. Faktor-faktor yang dipertimbangkan antara lain jenis sistem persediaan, kebijakan ketika terjadi kenaikan
harga, besar lost of sales, safety stock, dan perhitungan biaya persediaan. Penentuan faktor-faktor pembanding
dilakukan dengan memperhatikan kelemahan sistem persediaan saat ini dan dibandingkan dengan usulan yang dapat
memperbaikinya. Perbandingan sistem persediaan sekarang dengan usulan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Perbandingan Sistem Persediaan Sekarang dengan Usulan

Sistem Sekarang Sistem Usulan

Pemesanan dilakukan berdasarkan intuisi, menggunakan Menggunakan metode Fixed Order Interval dengan
acuan reorder point joint order
Perusahaan melakukan pemesanan khusus namun belum
Menggunakan pemesanan khusus yang menghasilkan
menentukan jumlah yang menghasilkan penghematan
penghematan optimum
optimum
Berkurang menjadi antara 0,1% sampai dengan 0,2%
Berdasarkan perkiraan pemilik, lost of sales sebesar 8%
berdasarkan perhitungan
Perusahaan belum mempertimbangkan perlunya safety Diperhitungkan dengan mempertimbangkan variansi
stock data permintaan
Perusahaan belum melakukan perhitungan biaya
Sudah melakukan perhitungan total biaya persediaan
persediaan

116
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Kesimpulan dan Saran


Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian yang telah dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Perusahaan sebaiknya menggunakan sistem persediaan fixed order interval secara joint order mengikuti
skenario kedua. Parameter yang digunakan dalam pemesanan menggunakan nilai interval waktu pemesanan (T)
dan tingkat inventori maksimum (R). Pemesanan dilakukan setiap T dengan jumlah sebesar selisih antara R
dengan posisi persediaan saat itu. Nilai T dan R setiap bahan baku dapat dilihat ada Tabel 4.

Tabel 4 Nilai T dan R Optimum dari Setiap Bahan Baku

Pemasok Tipe Bahan Baku T (bulan) R (unit)

Telur 1.554
A Gula 0,444 176.631
Tepung 65.780
Susu 209
B 0,534
Krim 236
Vanilli 17.101
bubuk kokoa 25.904
C 0,588
daun teh hijau 16.555
cream cheese 29.517

2. Saat terjadi kenaikan harga yang akan diketahui, perusahaan sebaiknya melakukan pemesanan khusus untuk
mendapatkan penghematan maksimum. Besar pemesanan khusus dapat dihitung dengan menggunakan metode
perhitungan yang didapat dari pengolahan data.
3. Perbandingan sistem sekarang dan sistem usulan adalah menurunnya tingkat lost sales, diperhitungkannya safety
stock, adanya total biaya persediaan, dan penggunaan metode fixed order interval secara joint order.

Saran yang dapat diberikan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Penelitian dengan mempertimbangkan kasus known price increases selanjutnya sebaiknya memperhitungkan
kasus kenaikan harga dari bahan baku yang terjadi pada waktu yang tidak bersamaan.
2. Penelitian selanjutnya pada objek yang sama dapat melakukan analisis pemilihan supplier karena lead time dari
pemasok C terhitung cukup lama yaitu empat hari jika dibandingkan dengan pemasok lainnya.

Daftar Pustaka
Fogarty, D.W., Blackstone Jr., J.H., dan Hoffman, T.R. (1991). “Production & Inventory Management 2nd edition”.
Ohio : South-Western Publishing Co Cincinnati.
Hadley, G. dan Whitin, T.M. (1963). “Analysis of Inventory Systems”. New Jersey : Prentice-Hall, Inc.
Tersine, R.J. (1994). “Principle of Inventory and Material Management. 4th edition”. New Jersey : The University
of Oklahoma, Prentice Hall International Inc.

117
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

USULAN PERBAIKAN SISTEM ANGKUTAN KOTA BOGOR UNTUK


MENGURANGI KEMACETAN

Robby Hartono1, Bagus Made Arthaya2, Alfian3


1,2,3
Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknologi Industri, Universitas Katolik Parahyangan
Jl. Ciumbuleuit 94 40141 Telp 022 2032655
Email: robby_1108@yahoo.com

Abstrak

Kota Bogor merupakan kota yang memiliki tingkat kemacetan lalu lintas tertinggi di Indonesia.
Kemacetan tersebut sebagian besar disebabkan oleh banyaknya angkutan kota (angkot) yang
beroperasi serta perilaku para supir angkutan yang sering melanggar peraturan lalu lintas, salah
satunya yaitu mengetem. Adanya sistem target setoran yang harus ditanggung oleh para supir angkot
menyebabkan tindakan mengetem semakin marak terjadi. Penelitian yang akan dilakukan bertujuan
untuk memberikan usulan perbaikan sistem angkutan kota Bogor dan mengetahui seberapa besar
dampak usulan tersebut terhadap pengurangan kemacetan di Kota Bogor.
Metode yang digunakan dalam penelitian adalah simulasi sistem dengan menggunakan program PTV
VISSIM 7. Simulasi sistem digunakan untuk penelitian ini karena sistem angkutan kota Bogor terlalu
rumit untuk dievaluasi dengan metode analitis. Pembuatan model simulasi dilakukan terhadap salah
satu ruas jalan di Kota Bogor yang memiliki tingkat kemacetan terparah yaitu Jalan Lawang
Seketeng. Ukuran performansi yang dipilih pada penelitian ini adalah rata-rata waktu kendaraan
dalam menempuh perjalanan di ruas Jalan Lawang Seketeng.
Berdasarkan pengamatan terhadap sistem yang disimulasikan, diusulkan adanya perubahan sistem
“kejar setoran” menjadi sistem gaji, dan penggunaan sistem BUSA atau Buitenzorg Smart Angkot.
Sistem BUSA merupakan perpaduan antara angkot tradisional dengan teknologi masa kini seperti
sensor, aktuator, mikrokontroler, dan global positioning system (GPS). Sistem BUSA ini akan
membantu para calon penumpang untuk mengetahui sisa kapasitas kursi yang ada di sebuah angkot
serta membantu para pemilik angkot dalam mengawasi kinerja supir angkot sehari-hari. Kedua
usulan tersebut dapat menghilangkan tindakan mengetem dan mengurangi kemungkinan angkot untuk
berhenti. Dengan adanya usulan ini rata-rata waktu kendaraan dalam menempuh perjalanan di ruas
Jalan Lawang Seketeng berkurang dari 612 detik menjadi 245 detik.

Kata kunci: angkot; mengetem; ruas Jalan Lawang Seketeng; simulasi

Pendahuluan
Pertumbuhan dan perkembangan suatu wilayah dipengaruhi oleh beberapa faktor baik itu faktor internal
maupun eksternal. Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi perkembangan suatu wilayah adalah faktor
transportasi. Transportasi merupakan kegiatan yang berperan penting dalam pembangunan dan perekonomian suatu
wilayah karena transportasi sangat erat kaitannya dengan aktifitas masyarakat terutama di daerah perkotaan. Tanpa
adanya transportasi maka aktivitas ataupun kegiatan masyarakat menjadi terganggu, oleh sebab itu diperlukan
adanya suatu sistem transportasi yang lancar, tertib, aman, dan nyaman agar dapat meningkatkan pembangunan dan
perekonomian wilayah tersebut.
Kotamadya Bogor merupakan salah satu kota penyangga DKI Jakarta, sehingga pertumbuhannya bersamaan
dengan perkembangan di ibukota. Tidak sedikit penduduk Kota Bogor yang bekerja dan beraktivitas di Jakarta, oleh
karena itu diperlukan adanya sarana dan prasarana transportasi yang lebih baik dan lengkap di Kota Bogor. Sejak
tahun 1980, Kota Bogor mulai melakukan pembangunan transportasi dalam kota seperti jalan dan jembatan
penyeberangan. Seiring dengan itu, permintaan masyarakat akan jasa transportasi termasuk angkutan umum juga
semakin meningkat. Angkutan Kota (angkot) merupakan salah satu jenis sarana transportasi umum yang paling
banyak digunakan oleh masyarakat Kota Bogor. Hal tersebut dikarenakan tarif angkutan kota yang relatif murah dan
terjangkau oleh sebagian besar kalangan masyarakat. Tarif angkutan kota Bogor saat ini sebesar Rp 3.500 yang
berlaku baik untuk jarak dekat maupun jarak jauh.
Peningkatan permintaan akan jasa layanan angkutan kota di Bogor membuat jumlah angkot yang beroperasi
bertambah secara cepat dan diluar kendali. Hal ini dapat dilihat dari semakin bertambahnya trayek dan jumlah

118
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

angkot yang ada di Kota Bogor. Menurut Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (DLLAJ), pada tahun 1996, tercatat
jumlah angkot yang beroperasi sebanyak 2.343 unit dengan melayani 17 trayek. Sepuluh tahun kemudian yaitu
tahun 2006, jumlah angkot yang beroperasi sebanyak 3.506 unit dengan melayani 22 trayek. Pada tahun 2010,
Pemerintah Kota Bogor melakukan pengurangan jumlah angkot untuk menekan tingkat kepadatan arus lalu lintas
menjadi 3.412 unit dengan melayani 23 trayek. Karena jumlah angkot yang beroperasi di Kota Bogor terlalu banyak,
Kota Bogor yang dahulu dikenal sebagai “Kota Hujan” mendapatkan julukan baru yaitu “Kota Sejuta Angkot”.
Jumlah angkot yang terlampau banyak menyebabkan timbulnya berbagai masalah salah satunya adalah
kemacetan lalu lintas. Kemacetan lalu lintas ini memberikan dampak negatif yang cukup besar antara lain kerugian
waktu, pemborosan energi, peningkatan polusi udara, serta mengganggu kelancaran kendaraan darurat seperti
ambulans dan pemadam kebakaran dalam menjalankan tugasnya. Dengan adanya permasalahan ini maka
dirancanglah penelitian untuk memperbaiki sistem angkutan kota untuk mengurangi kemacetan di Kota Bogor.
Pertumbuhan jumlah angkutan kota di Kota Bogor terus meningkat setiap tahunnya. Hingga tahun 2016
terdapat 23 trayek Angkutan Kota (AK) dengan jumlah armada 3.412 unit, 10 trayek Angkutan (Perkotaan) Antar
Kota Dalam Provinsi (AKDP) dengan jumlah armada 4.426 unit, serta 3 buah koridor Angkutan Massal Trans
Pakuan dengan jumlah armada 30 unit. Peningkatan jumlah angkot dan ketidakteraturan angkot di jalan raya
semakin memperparah kemacetan di Bogor. Berdasarkan data Kementerian Perhubungan (Kemenhub) tahun 2014,
Kota Bogor menempati urutan pertama sebagai kota termacet dan terpadat lalu lintasnya di Indonesia. Data untuk
sepuluh kota termacet yang terdapat di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1.
Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa Kota Bogor memiliki rata-rata kecepatan kendaraan yang paling
rendah dibandingkan dengan kota lainnya. Rata-rata kecepatan kendaraan di Bogor hanya sebesar 15,32 kilometer
per jam dan volume per kapasitas atau V/C ratio sebesar 0,86. V/C ratio merupakan tingkat perbandingan antara
jumlah kendaraan dengan daya tampung jalan. V/C ratio yang bernilai 0,7 dapat diartikan bahwa kapasitas jalan
raya 10, dan terisi oleh kendaraan sebanyak 7 buah.

Tabel 1. Data sepuluh kota termacet di Indonesia


No Kota Rata-rata Kecepatan Kendaraan (km/jam) V/C Ratio
1 Bogor 15,32 0,86
2 DKI Jakarta 16 0,85
3 Bandung 17,3 0,85
4 Surabaya 21 0,83
5 Depok 21,4 0,83
6 Bekasi 21,86 0,83
7 Tangerang 22 0,82
8 Medan 23,4 0,76
9 Makassar 24,06 0,73
10 Semarang 27 0,72

Salah satu penyebab utama kemacetan di Kota Bogor adalah banyaknya angkutan kota yang beroperasi serta
para supir angkutan yang tidak mematuhi peraturan lalu lintas. Setiap hari para supir angkot ini dikenai setoran
dengan jumlah tertentu sesuai dengan trayeknya masing-masing. Untuk memenuhi setoran yang telah ditentukan
tersebut, maka para supir angkot harus mengejar target setoran atau yang lebih dikenal dengan istilah ‘kejar setoran’.
Dalam kesehariannya, kejar setoran ini memberikan pengaruh yang buruk terhadap perilaku para supir
angkot pada saat mengemudi. Perilaku dan kebiasaan buruk yang sering dilakukan supir angkot antara lain:
melanggar rambu-rambu lalu lintas, berhenti mendadak, mengetem di sembarang tempat, memotong jalan tanpa
memberi isyarat, dan mengisi muatan armada secara berlebihan. Hal-hal tersebut sangatlah mengganggu pengguna
jalan lain serta menyebabkan kemacetan dan ketidaknyamanan berlalu lintas.
Selain dikarenakan angkot yang mengetem di sembarang tempat, terdapat beberapa masalah lain yang
menyebabkan kemacetan di Kota Bogor seperti banyaknya angkot yang berhenti untuk memanggil penumpang.
Ketika sedang berjalan, angkot dapat berhenti tiba-tiba hanya untuk memanggil orang yang berdiri di pinggir jalan.
Sebaliknya, para penumpang yang hendak menggunakan angkot seringkali menyebabkan kemacetan di ruas jalan
contohnya apabila terdapat tiga orang calon penumpang yang ingin menggunakan angkot namun kapasitas angkot
yang tersedia hanya dua buah. Para calon penumpang tidak mengetahui sisa kapasitas di dalam angkot tersebut,
sehingga mereka tetap memberhentikan angkot tersebut. Setelah angkot berhenti para calon penumpang tidak jadi
menggunakan angkot tersebut karena kapasitasnya tidak mencukupi. Dengan demikian akan ada banyak angkot
yang diberhentikan namun tidak digunakan oleh para calon penumpang.
Penelitian ini akan merancang suatu usulan perbaikan sistem angkutan kota yang diharapkan dapat
mengurangi kemacetan di Kota Bogor. Usulan perbaikan sistem tersebut perlu dilakukan verifikasi agar dapat
mengetahui seberapa besar dampak usulan yang diberikan terhadap pengurangan tingkat kemacetan yang ada.
Proses verifikasi yang digunakan tidak dapat menggunakan sistem nyata sehingga diperlukan adanya simulasi

119
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

sistem. Pembuatan simulasi pada penelitian ini akan dilakukan pada salah satu ruas jalan di Kota Bogor yaitu ruas
Jalan Lawang Seketeng. Ruas jalan ini dipilih karena merupakan ruas jalan yang paling macet dengan tingkat V/C
ratio sebesar 0,8 dan rata-rata kecepatan kendaraan hanya sebesar 13,66 km/jam.

Gambar 1. Kondisi lalu lintas Jalan Lawang Seketeng

Dalam pembuatan simulasi sistem, diperlukan adanya ukuran performansi untuk menunjukkan perubahan
yang terjadi terhadap sistem angkutan kota. Ukuran performansi yang dipilih pada penelitian ini adalah rata-rata
waktu kendaraan dalam menempuh perjalanan di ruas Jalan Lawang Seketeng. Pada penelitian ini akan dilakukan
simulasi ruas Jalan Lawang Seketeng secara keseluruhan yang mencakup kondisi sistem angkutan Kota Bogor
sekarang dan sistem angkutan Kota Bogor setelah diberikan beberapa usulan perbaikan sistem angkutan kota.
Pembuatan simulasi sistem menggunakan program PTV Vissim 7 dengan tipe full version. Berdasarkan
permasalahan yang sudah dijelaskan di atas, terdapat beberapa rumusan masalah yang disusun sebagai berikut.
1. Bagaimana kelemahan sistem angkutan kota Bogor saat ini?
2. Apa usulan yang dapat diberikan untuk memperbaiki sistem angkutan kota Bogor sehingga dapat
mengurangi kemacetan?
3. Seberapa besar dampak usulan yang diberikan terhadap pengurangan tingkat kemacetan?

Pembangungan Model Sistem Ruas Jalan Lawang Seketeng


Menurut Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, sampai dengan tahun 2015, jaringan pelayanan angkutan
umum dengan panjang lintasan trayek telah mencapai 328.560 Km atau mencakup 52,43 % apabila dibandingkan
dengan panjang jalan yang menjadi kewenangan Pemerintah Kota Bogor (626.651 Km). Sistem angkutan yang
melayani pergerakan masyarakat Kota Bogor terdiri atas Angkutan Kota, Angkutan Perkotaan (AKDP), Angkutan
Massal/ Bus Transit System (BTS) Trans Pakuan, dan Kereta Api Commuter Jabodetabek serta bus reguler Terminal
Baranangsiang. Adapun jaringan pelayanan angkutan umum di dalam wilayah Kota Bogor yaitu:
1.Terdapat 23 trayek Angkutan Kota (AK) dengan jumlah armada 3.412 unit,
2.Terdapat 10 trayek Angkutan (Perkotaan) Antar Kota Dalam Propinsi (AKDP) dengan jumlah armada
4.426 unit,
3.Terdapat 3 koridor Angkutan Massal Trans Pakuan dengan jumlah armada 30 unit.
Jalan Lawang Seketeng merupakan salah satu ruas jalan yang berada di wilayah Bogor Tengah. Ruas jalan
ini berawal dari persimpangan Padasuka dan berakhir pada persimpangan Bogor Trade Mall (BTM). Jalan Lawang
Seketeng merupakan ruas jalan yang terdiri dari dua buah lajur namun hanya memiliki satu arah tujuan sehingga
kendaraan tidak dapat melaju dengan bolak balik. Ruas jalan ini memiliki total jarak ± 730 m dengan kapasitas
2642,1 satuan mobil penumpang perjam (smp/jam).
Menurut pihak DLLAJ Kota Bogor, Jalan Lawang Seketeng merupakan ruas jalan yang memiliki kinerja
terburuk dan menjadi skala prioritas penanganan utama. Hal ini disebabkan ruas jalan ini memiliki tingkat VC ratio
tertinggi di Kota Bogor yaitu sebesar 0,8 dan memiliki rata-rata kecepatan kendaraan yang paling rendah pula di
Kota Bogor yaitu hanya sebesar 13,66 km/jam. Dengan kata lain, ruas jalan ini merupakan jalan yang paling macet
di Kota Bogor dan cocok digunakan sebagai objek untuk penelitian ini.
Kemacetan yang terjadi di Jalan Lawang Seketeng disebabkan oleh beberapa hal seperti adanya penyempitan
ruas jalan yang tadinya dua buah lajur menjadi satu buah lajur, terdapat pasar tradisional di sebagian ruas jalan ini
dan sering dilakukannya bongkar muat barang pada kawasan pasar tersebut. Selain ketiga hal tersebut, banyaknya
angkutan kota yang mengetem pada ruas jalan ini semakin memperparah kemacetan di ruas jalan ini. Jalan Lawang
Seketeng dilalui oleh beberapa jenis angkutan kota seperti angkutan kota dengan kode trayek 04 dan 18, serta
angkutan perkotaan (AKDP) dengan kode trayek 03 dan 04A. Dengan adanya penyempitan menjadi satu buah lajur,
angkutan kota yang berhenti untuk menunggu penumpang (mengetem) menyebabkan kemacetan yang sangat parah.
Jalan Lawang Seketeng memiliki dua buah jalur masuk (input) dan dua buah jalur keluar (output). Pada
penelitian ini, kedua jalur masuk dibedakan menjadi input 1 dan input 2, sama halnya dengan jalur keluar yaitu

120
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

output 1 dan output 2. Gambar 2 menunjukkan layout dari ruas jalan Lawang Seketeng serta input dan output yang
ada. Titik A pada layout merupakan letak penyempitan ruas jalur dari dua buah lajur menjadi satu buah lajur.

Gambar 2. Layout ruas Jalan Lawang Seketeng

Pada lokasi input 1, kendaraan datang dari arah persimpangan Padasuka. Di kawasan ini jalanan tidak
mengalami kemacetan karena lebar jalan yang cukup besar dan terdiri dari dua buah lajur kendaraan. Sekitar 300
meter dari lokasi input 1 terdapat sebuah persimpangan yang akan mengarah ke Jalan Suryakencana. Persimpangan
inilah yang menjadi lokasi output 1 dalam penelitian. Tidak hanya mobil pribadi, beberapa angkutan kota juga
banyak yang mengambil jalur output 1 ini. Kondisi jalan pada lokasi output 1 cukup baik namun hanya terdiri dari
satu lajur dan satu arah saja.
Persimpangan yang menjadi lokasi input 2 terletak sekitar 540 meter dari input 1. Input 2 merupakan ruas
jalan yang berasal dari Jalan Suryakencana dan hanya terdiri dari satu buah lajur dengan satu arah menuju Jalan
Lawang Seketeng. Pada ruas jalan ini terdapat toko-toko kelontong dan sebagainya karena letaknya yang dekat
dengan pasar tradisional. Ruas jalan yang terdapat pada lokasi input 2 ini cukup sempit dengan kondisi jalan yang
rusak. Hal ini menyebabkan sering terjadinya kemacetan pada ruas jalan ini. Titik penyempitan ruas jalan yang
tadinya dua buah lajur menjadi satu buah lajur terletak di titik A pada layout. Titik ini hanya berjarak sekitar 20
meter dari lokasi input 2. Dengan adanya penyempitan ruas jalan ini, kondisi lalu lintas seringkali mengalami
kemacetan terutama pada pagi dan siang hari.
Pasar tradisional yang ada pada ruas Jalan Lawang Seketeng berada dari titik penyempitan ruas jalan hingga
akhir dari lokasi output 2. Pasar ini tidak tertata dengan rapih sehingga banyak pedagang yang menjual barang
dagangannya hingga di pinggir ruas jalan. Pasar tradisional ini biasa ramai oleh pengunjung sejak pagi hingga siang
hari. Ruas Jalan Lawang Seketeng berakhir pada persimpangan Bogor Trade Mall (BTM) yang ditunjukkan sebagai
lokasi output 2 pada layout. Pada bagian inilah seringkali angkutan kota mengetem dengan waktu yang cukup lama.
Meskipun kondisi jalan sudah menjadi dua lajur, namun mobil yang baru saja melewati pasar tetap mengalami
kesulitan karena banyaknya angkutan kota yang mengetem sejak tikungan keluar.

Pengambilan dan pengolahan data


Proses pengambilan data jumlah dan proporsi kendaraan dilakukan dengan pengamatan secara langsung.
Pengamatan dilakukan di pagi hari sekitar pukul 08.00 hingga pukul 12.00 sesuai dengan batasan yang ada. Proses
pengamatan dilakukan tiga kali di tiga hari yang berbeda yaitu pada hari Rabu 4 Mei 2016, Kamis 5 Mei 2016, dan
Jumat 6 Mei 2016. Selain mendapatkan proporsi kendaraan, pengamatan ini juga dilakukan untuk memvalidasi data
yang didapat dari pihak DLLAJ Kota Bogor dalam hal volume kendaraan.
Masing-masing lokasi memiliki data yang berbeda satu dengan lainnya. Data-data tersebut merupakan hasil
rekap dari pengambilan data yang sudah dilakukan sebelumnya seperti volume, kecepatan, dan proporsi jumlah.
Pada bagian input 1, keterangan data yang ada adalah sebagai berikut:
1. Volume kendaraan sebesar 2102 smp/jam
2. Kecepatan minimum kendaraan adalah 17 km/jam
3. Kecepatan maksimum kendaraan adalah 24 km/jam
4. Proporsi jumlah kendaraan tipe angkot adalah 60%
5. Proporsi jumlah kendaraan tipe mobil adalah 30%
6. Proporsi jumlah kendaraan tipe truk adalah 10%
Pada output 1, data yang ditampilkan adalah proporsi jumlah kendaraan yang berbelok dan tetap lurus di ruas
Jalan Lawang Seketeng. Keterangan data yang ada pada bagian output 1 adalah sebagai berikut:
1. Proporsi jumlah kendaraan yang berbelok sebesar 30%
2. Proporsi jumlah kendaraan yang lurus sebesar 70%
Pada input 2, data yang ditampilkan adalah volume kendaraan yang masuk, kecepatan kendaraan, proporsi
jumlah dan warna dari kendaraan yang ada. Keterangan data yang ada pada bagian input 2 adalah sebagai berikut:
1. Volume kendaraan sebesar 300 smp/jam

121
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

2. Kecepatan minimum kendaraan adalah 10 km/jam


3. Kecepatan maksimum kendaraan adalah 20 km/jam
4. Proporsi jumlah kendaraan tipe angkot adalah 30%
5. Proporsi jumlah kendaraan tipe mobil adalah 60%
6. Proporsi jumlah kendaraan tipe truk adalah 10%
Selain pada input dan output, terdapat beberapa proses yang terjadi di dalam sistem ruas Jalan Lawang
Seketeng ini. Proses yang pertama yaitu adanya angkutan kota yang berhenti untuk menaikan ataupun menurunkan
penumpang. Proses ini terjadi di sepanjang ruas Jalan Lawang Seketeng. Angkutan kota akan berhenti selama 30
detik dengan probabilitas 50%. Pada saat berhenti ini, kecepatan angkutan kota akan berkurang menjadi 0 km/jam.
Data ini didapatkan dari hasil pengamatan secara langsung dan wawancara kepada beberapa supir angkot yang
melewati ruas Jalan Lawang Seketeng.
Proses kedua yaitu terjadinya penyempitan ruas jalan yang tadinya dua buah lajur menjadi satu buah lajur.
Selain itu, terdapat proses mengetem yang dilakukan oleh angkutan kota di kawasan sekitar pasar. Proses mengetem
ini disimbolkan dengan adanya pengurangan kecepatan angkutan kota menjadi 0 km/jam hingga 5 km/jam. Proses
mengetem ini dimulai sejak penyempitan ruas jalan hingga akhir lokasi output 2. Data proses mengetem ini didapat
dari pengamatan secara langsung namun tidak dilakukan pencatatan. Perkiraan kecepatan dari 0 hingga 5 km/jam
didapat dari hasil wawancara terhadap beberapa supir angkot yang ada.
Constrain atau batasan yang dimiliki oleh model konseptual ini yaitu total jarak Jalan Lawang Seketeng
sebesar 730 meter. Pembatasan ini dilakukan agar model sesuai dengan sistem nyatanya saat ini. Jarak dan kapasitas
ruas jalan didapat berdasarkan data dari DLLAJ Kota Bogor. Data yang ingin diperoleh melalui model simulasi
kelak adalah rata-rata waktu kendaraan dalam menempuh perjalanan di ruas Jalan Lawang Seketeng. Data inilah
yang menjadi ukuran performansi dari metode simulasi sistem yang dilakukan.

Pembuatan model simulasi sistem sekarang


Langkah pertama yang harus dilakukan dalam pembuatan model simulasi sistem sekarang adalah membuat
layout dari sistem Jalan Lawang Seketeng. Pembuatan layout ini dimulai dengan mencari latar belakang atau
background dari model simulasi yaitu Jalan Lawang Seketeng yang didapat melalui Google Maps. Dengan bantuan
Google Maps, didapat tampilan Jalan Lawang Seketeng secara keseluruhan baik itu jalanan maupun rumah-rumah di
sekitar jalan tersebut.
Pembuatan ruas jalan pada program ini menggunakan obyek link. Sesuai dengan model konseptual yang
sudah dibuat, ruas jalan dibagi menjadi beberapa macam yaitu input 1, input 2, output 1, output 2, dan ruas jalan
yang mengalami penyempitan yaitu pada bagian pasar. Kelima ruas jalan ini dibuat secara terpisah karena memiliki
karakteristik masing-masing. Dengan bantuan background yang sudah dimasukkan, pembuatan jalan dengan obyek
link hanya mengikuti ruas jalan yang sudah ada. Proses pembuatan ruas jalan input 1 dimulai dari awal masuk Jalan
Lawang Seketeng hingga ke kawasan pasar. Gambar 3 menunjukkan pembuatan ruas jalan pada program.

Gambar 3 Pembuatan ruas jalan pada program

Setelah pembuatan layout selesai dilakukan, langkah selanjutnya dalam membuat model simulasi sistem
sekarang adalah memasukkan data-data yang dibutuhkan sesuai dengan model konseptual yang sudah dibuat. Data
yang dimasukkan adalah data kecepatan, tipe kendaraan, jumlah kendaraan, dan proporsi kendaraan.
Setelah semua data dan proses dimasukkan ke dalam program, maka model simulasi sistem sekarang sudah
selesai dan siap digunakan. Untuk menjalankan simulasi dapat menggunakan tombol play pada bagian toolbars.
Pada saat menjalankan simulasi terdapat beberapa tipe tampilan seperti tampilan 2 dimensi, 3 dimensi, dan tampilan
first person saat berada di dalam mobil.
Proses pengambilan data untuk model simulasi sistem sekarang dimulai dengan mengatur parameter simulasi
program terlebih dahulu. Model simulasi akan dijalankan selama 3600 detik dengan tampilan simulasi 10 langkah

122
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

per detiknya. Hal tersebut dikarenakan volume kendaraan yang dimasukkan dalam satuan per jam sehingga simulasi
akan dijalankan untuk waktu satu jam pula. Untuk kecepatan dari simulasi dipilih 10 simulasi detik per detik agar
didapat tampilan simulasi yang tidak terlalu lambat dan tidak terlalu cepat.
Model simulasi yang dibangun merupakan jenis model terminating sehingga diperlukan adanya warm up
period. Warm up period merupakan proses menjalankan simulasi terlebih dahulu hingga didapat bentuk model
simulasi yang sesuai dengan sistem nyata saat pengambilan data dilakukan. Kondisi yang terjadi pada saat
pengambilan data dilakukan adalah sudah terjadi kemacetan pada bagian pasar hingga melebihi lokasi input 2.
Pengambilan data model simulasi sekarang dilakukan secara bertahap dimulai dari pengambilan sampel
terlebih dahulu lalu sampel tersebut akan diuji kecukupan untuk mengetahui apakah jumlah sampel tersebut sudah
cukup atau belum. Apabila jumlah sampel telah cukup maka data tersebut dapat digunakan untuk proses selanjutnya
yaitu proses validasi model. Jumlah sampel yang diambil pertama kali yaitu sebanyak 200 buah.

Tabel 1 Perbandingan Sistem Nyata dengan Simulasi


Hasil Pengamatan Sistem Nyata Hasil Simulasi
Jumlah data 88 buah Jumlah data 200 buah
Waktu Minimum 444 detik Waktu Minimum 460 detik
Waktu Maksimum 841 detik Waktu Maksimum 840 detik
Rata-rata Waktu 607,58 detik Rata-rata Waktu 612,11 detik
Standar Deviasi 96,084 Standar Deviasi 104,70
Variansi 9232,097 Variansi 10961,273

Perancangan Usulan Sistem Perbaikan Angkutan Kota Bogor


Berdasarkan kondisi yang ada saat ini, terdapat beberapa permasalahan mengenai sistem angkutan kota di
Kota Bogor. Permasalahan yang akan digunakan dalam perancangan usulan yaitu adanya sistem “kejar setoran”
yang dikenakan kepada para supir angkutan kota sehingga mengakibatkan perilaku negatif dari para supir angkutan.
Permasalahan lainnya yang dipilih adalah ketidaktahuan calon penumpang akan sisa tempat duduk yang tersedia di
dalam angkutan kota. Dengan kedua permasalahan tersebut, dirancanglah usulan untuk merubah sistem “kejar
setoran” dan penggunaan sistem BUSA (Buitenzorg Smart Angkot).

Perubahan sistem “kejar setoran”


Usulan pertama yang diajukan adalah merubah sistem “kejar setoran” menjadi sistem gaji untuk para supir
angkutan. Dengan adanya penghilangan target setoran yang harus dibayarkan, perilaku negatif yang dilakukan oleh
para supir angkutan juga dapat berkurang. Saat ini banyak angkutan kota yang mengetem di persimpangan jalan
untuk menunggu penumpang. Hal ini disebabkan adanya tuntutan para supir angkutan untuk memenuhi target
setoran yang ada. Apabila sistem target setoran ini dihilangkan, maka para supir angkot diharapkan tidak perlu
melakukan mengetem di ruas-ruas jalan. Dengan mengganti sistem kejar setoran tersebut menjadi sistem gaji maka
para supir akan diberikan arahan agar mereka tidak perlu mengetem. Para supir akan diwajibkan menjalankan
kendaraannya dengan lancar tanpa perlu memikirkan setoran yang harus mereka bayarkan. Penghilangan kegiatan
mengetem ini akan menyebabkan berkurangnya kemacetan di Kota Bogor.
Berdasarkan data DLLAJ tahun 2015, rata-rata setoran yang harus dibayarkan oleh para supir angkutan kota
Bogor adalah Rp 93.000 setiap harinya, sedangkan rata-rata pendapatan yang didapat oleh para supir angkutan
tersebut hanya sebesar Rp 166.000 setiap harinya. Dengan demikian jumlah uang yang diterima oleh para supir
angkutan setiap harinya hanya sebesar Rp 73.000. Apabila para supir angkutan bekerja selama 30 hari dalam satu
bulan maka pendapatan yang didapat oleh para supir angkutan setiap bulannya sebesar Rp 2.190.000. Pendapatan
para supir angkutan ini masih berada di bawah Upah Minimum Regional Kota Bogor yaitu sebesar Rp 3.022.756.
Oleh sebab itu perubahan sistem setoran ini selain dapat mengurangi kemacetan di Kota Bogor dapat pula
meningkatkan kesejahteraan para supir angkutan.

Penggunaan sistem BUSA (Buitenzorg Smart Angkot)


Usulan yang kedua adalah penggunaan sistem BUSA atau Buitenzorg Smart Angkot. Sistem BUSA
merupakan suatu sistem angkutan terbaru yang menggabungkan angkot tradisional dengan teknologi masa kini
seperti sensor, seven segment, mikrokontroler, dan juga Global Positioning System (GPS). Penggunaan sistem
BUSA ini diharapkan dapat mengurangi permasalahan kapasitas angkot dan mempermudah pengawasan oleh para
pemilik angkot.
Pada sistem BUSA akan dipasang sebuah panel LED yang bertujuan untuk menunjukkan sisa tempat duduk
yang tersedia. Panel ini akan diletakkan pada bagian atas angkot dengan menggunakan sistem seven segment.
Dengan adanya panel ini, para calon penumpang dapat mengetahui sisa kapasitas yang tersedia sehingga mereka
tidak perlu memberhentikan angkot yang kapasitasnya tidak mencukupi. Gambar 4 (kiri) menunjukkan tampilan
angkot setelah dipasang panel LED.

123
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Gambar 4 Tampilan angkot sistem BUSA

Untuk perhitungan sisa tempat duduk yang tersedia, sistem BUSA menggunakan sensor yang diletakkan pada
kursi penumpang. Sensor ini dapat mendeteksi ada atau tidak penumpang yang duduk pada kursi tersebut lalu akan
dihitung jumlah tempat duduk yang masih kosong. Sensor yang digunakan berupa strain gauge yang diletakkan
diantara kulit jok dan busa jok. Input dari sensor tersebut akan diproses oleh mikrokontroler dan hasilnya
ditampilkan pada seven segment yang terdapat pada panel LED. Proses pemasangan sensor ini dapat dilihat pada
Gambar 4 (kanan).
Selain pemasangan panel LED dan sensor, sistem BUSA juga menggunakan Global Positioning System
(GPS) untuk mengetahui letak setiap angkot yang sudah menerapkan sistem ini. Penggunaan GPS ini akan
membantu para pemilik angkot dalam mengawasi kinerja para supirnya apakah masih melakukan ngetem atau tidak.
Pemilik angkot dapat memantau semua kegiatan dan pergerakan dari angkot yang mereka miliki dan apabila
terdapat angkot yang mengetem atau berkendara keluar dari trayeknya maka hal tersebut dapat dilihat melalui tablet
atau komputer dari pemilik angkot.
Sistem BUSA juga dapat membantu pengguna angkot dengan menggunakan aplikasi smartphone BUSA
untuk mengetahui letak semua angkot di Kota Bogor dan estimasi waktu untuk mencapai suatu tempat bila
menggunakan angkot. Gambar 5 menunjukkan aplikasi smartphone yang diterapkan pada angkot BUSA. Pada
gambar tersebut tedapat pengguna angkot yang berasal dari titik A ingin menuju titik B dengan menggunakan
angkot trayek tertentu. Pada aplikasi tersebut akan ditampilkan letak angkot yang paling dekat dan estimasi waktu
pengguna angkot tersebut tiba di tempat tujuan.

Gambar 5 Sistem GPS pada Angkot BUSA

Sistem BUSA juga memiliki keuntungan bagi para pemilik angkot, salah satunya untuk mengetahui jumlah
penumpang yang diangkut setiap harinya. Selain menghitung sisa kursi penumpang, mikrokontroler yang digunakan
juga dapat merekap total penumpang yang ada. Dengan demikian para pemilik angkot dapat mengetahui seberapa
besar pendapatan yang diperoleh para supir angkot di hari tersebut. Jumlah pendapatan tersebut dapat dijadikan
sebagai acuan untuk menentukan gaji dari para supir angkot serta menghindari adanya kecurangan yang dilakukan
para supir angkot.
Pembuatan model simulasi sistem usulan dilakukan dengan merubah beberapa obyek yang ada pada model
simulasi sistem sekarang. Langkah pertama yang dilakukan adalah menghilangkan daerah mengetem yang dilakukan
oleh angkot. Daerah mengetem pada model simulasi dilambangkan dengan persegi panjang berwarna kuning.
Gambar 6 menunjukkan perbedaan yang terjadi pada daerah mengetem di model simulasi sekarang dengan model
simulasi usulan.

Simulasi Sekarang Simulasi Usulan

Gambar 6 Perbedaan daerah mengetem pada model simulasi

124
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Selain daerah mengetem, perubahan model simulasi juga terjadi pada proporsi angkot untuk berhenti.
Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa supir angkot, terdapat kurang lebih 10% calon penumpang yang
tidak jadi menggunakan angkot karena kurangnya kapasitas. Menurut para supir angkot apabila terdapat 10 calon
penumpang pada suatu ruas jalan, terdapat 1 calon yang tidak jadi menggunakan angkot karena kurangnya kapasitas
ini. Hal ini dapat diatasi dengan adanya perhitungan sisa tempat duduk yang terdapat pada sistem BUSA. Gambar 7
menunjukkan perbedaan proporsi angkot untuk berhenti pada model simulasi.

Gambar 7 Perbedaan proporsi angkot berhenti pada model simulasi

Setelah didapat data hasil model simulasi sistem usulan, langkah selanjutnya adalah membandingkan data
hasil model simulasi sistem sekarang dengan data hasil model simulasi sistem usulan. Tabel 3 menunjukkan
perbandingan data-data model simulasi sistem sekarang dengan usulan.

Tabel 3 Perbandingan model simulasi sistem sekarang dengan sistem usulan


Parameter Simulasi Sistem Sekarang Simulasi Sistem Usulan
Jumlah data 200 buah 200 buah
Waktu Minimum 460 detik 180 detik
Waktu Maksimum 840 detik 300 detik
Rata-rata Waktu 612,11 detik 245,49 detik
Standar Deviasi 104,70 34,97

Kesimpulan dan Saran


Berdasarkan hasil pengolahan data dan analisis yang sudah dilakukan pada penelitian ini, ditariklah
kesimpulan yaitu:
1. Kelemahan sistem angkutan kota Bogor saat ini yaitu adanya penggunakan sistem “kejar setoran” yang
menyebabkan perilaku negatif dari para supir angkot seperti mengetem. Hal inilah yang menjadi
penyebab utama kemacetan di Kota Bogor.
2. Usulan yang diberikan untuk mengurangi kemacetan di Kota Bogor yaitu adanya perubahan sistem ”kejar
setoran” menjadi sistem gaji, dan penggunaan sistem BUSA atau Buitenzorg Smart Angkot yang dapat
membantu para calon penumpang untuk mengetahui sisa kapasitas kursi di dalam sebuah angkot serta
dapat membantu para pemilik angkot untuk mengawasi kinerja supir angkot sehari-hari.
3. Melalui metode simulasi sistem pada ruas Jalan Lawang Seketeng, usulan perbaikan sistem angkutan kota
tersebut dapat mengurangi rata-rata waktu kendaraan dalam menempuh perjalanan di ruas jalan tersebut
dari 612 detik menjadi 245 detik.
Beberapa saran yang dapat diberikan untuk penelitian selanjutnya yaitu:
1. Proses simulasi dilakukan pada ruas jalan yang berbeda sehingga dapat diketahui dampak usulan di
tempat lain.
2. Usulan yang diberikan dapat diterapkan secara langsung sehingga hasil yang didapat akan lebih akurat.
3. Adanya pemberian faktor lain dalam pembuatan simulasi seperti kendaraan roda dua ataupun orang yang
menyebrang jalan.

Daftar Pustaka
Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kota Bogor, (1996), “Survei Penumpang 1996”, Dinas Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan, Bogor.
Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kota Bogor, (2006), “Ekspose Pembenahan Transportasi Kota Bogor”, Dinas
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Bogor.
Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kota Bogor, (2010), “Laporan Tahunan DLLAJ Kota Bogor 2010”, Dinas
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Bogor.
Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kota Bogor, (2015), “Evaluasi Kinerja Jaringan Jalan dan Simpang di
Wilayah Kota Bogor Tahun 2015”, Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Bogor.
Law, A.M. dan W.D. Kelton, (1991), “Simulation Modeling and Analysis. 2nd ed.”, New York: McGraw-Hill Inc.
PTV VISION, (2014), “PTV VISSIM 7 User Manual”, Karlsruhe, Germany: PTV AG.

125
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

AUDIT ENERGI DENGAN PENDEKATAN METODE AHP


(ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS) UNTUK PENGHEMATAN
ENERGI LISTRIK (Studi Kasus:PT. ABC)

Ratnanto Fitriadi1, Yanuarti Werdaningsih2


1,2
Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Surakarta
Jl. A. Yani Tromol Pos 1 Pabelan Kartasura 57102 Telp 0271 717417
1
PUSLOGIN Pusat Studi Logistik dan Optimisasi Industri, Universitas Muhammadiyah Surakarta
Jl. A. Yani Tromol Pos 1 Pabelan Kartasura 57102 Telp 0271 717417
Email: ratnanto.fitriadi@ums.ac.id)

Abstrak

Meningkatnya pembangunan yang diikuti perkembangan perekonomian Indonesia mengakibatkan


kebutuhan energi nasional semakin meningkat. Salah satu energi di Indonesia yang terus meningkat
adalah energi listrik. Energi listrik tersebut dipasok dari pembangkit listrik, diantaranya tenaga uap
(bahan bakar batubara) dan tenaga gas (bahan bakar gas). Batu bara dan gas alam merupakan salah
satu sumber energi yang tidak dapat diperbaruhi. Oleh karena itu, pemanfaatannya harus sebaik
mungkin untuk keberlangsungan cadangan energi bagi generasi selanjutnya. PT. ABC merupakan
perusahaan yang bergerak di bidang percetakan yang menyediakan jasa percetakan surat kabar SP
dan beberapa buku sekolah dan majalah. Akan tetapi, perusahaan tersebut belum ada kegiatan untuk
menajemen energi yang bermanfaat untuk meningkatkan pengefisienan penggunaan energi listrik dan
biaya penggunaan energi. Audit energi adalah teknik yang dipakai untuk menghitung besarnya
konsumsi energi pada suatu bangunan/gedung dan mengenali cara-cara untuk penghematannya. AHP
(Analytical Hierarchy Process) merupakan suatu metode pengambilan keputusan yang menguraikan
masalah multi faktor atau multi kriteria yang kompleks menjadi suatu hierarki. Produksi koran rata-
rata berada dalam jumlah 500-600 ribu oplah dalam periode satu tahun dan non koran rata-rata
berada dalam jumlah 600 ribu oplah. Biaya listrik yang dikeluarkan rata-rata dalam waktu satu
bulan adalah sebesar Rp 30.815.544. Berdasarkan pengolahan AHP urutan alternatif penghematan
berdasarkan bobot adalah tindakan penghematan pada teknologi sekarang dengan bobot sebesar
53,1%, tindakan Penghematan energi pada karyawan 29,9%, Penggunaan Teknologi Baru hemat
energi 16,9%.

Kata kunci: AHP, Alternatif Penghematan; Audit Energi; Efisiensi Energi Listrik

PENDAHULUAN
Dalam kehidupan sehari-hari kebutuhan akan energi merupakan komponen yang sangat penting. Hukum
kekekalan energi menyatakan bahwa energi tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan namun dapat berubah ke
bentuk lain menjadi energi lain (Joule). Salah satu kebutuhan energi di Indonesia yang terus meningkat adalah
energi listrik. Energi listrik tersebut dipasok dari berbagai jenis pembangkit listrik, diantaranya pembangkit listrik
tenaga uap (bahan bakar batubara) dan listrik tenaga gas (bahan bakar gas). Batu bara dan gas alam merupakan salah
satu sumber energi yang tidak dapat diperbaruhi. Oleh karena itu, pemanfaatannya harus sebaik mungkin untuk
keberlangsungan cadangan energi bagi generasi selanjutnya. Menurut Rianto (2007) meningkatnya pembangunan
yang diikuti perkembangan perekonomian Indonesia mengakibatkan kebutuhan energi nasional semakin meningkat
dan menjadi kontributor besar dalam biaya operasional yang harus dikeluarkan.
Peningkatan kebutuhan energi dari tahun 2009-2019 terus meningkat yang dipengaruhi oleh peningkatan
pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan penduduk yang membuat kebutuhan energi meningkat. Presentase untuk
peningkatan pertumbuhan kebutuhan energi bernilai lebih besar, yaitu 7,1% dibandingkan dengan pertumbuhan
ekonomi dan pertumbuhan penduduk, dengan masing-masing jumlah presentase sebesar 6,1% dan 1,1% (Putri,
2014). Kesadran akan penghematan energi listrik mutlak harus dilakukan seluruh konsumen energi listrik, baik itu
rumah tangga maupun industri untuk menjaga keberlangsungan cadangan energi bagi generasi selanjutn ya.Dari
laporan Menteri ESDM (2015) kegiatan manajemen energi sudah dilakukan di berbagai industri khususnya di
Indonesia salah satunya adalah PT. Pharos Tbk Semarang sebagai pemenang 1 dalam kategori manajemen energi

126
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

pada industri kecil dan menengah. PT. Indah Kiat Pulp and Paper sebagai pemenang 1 kategori manajemen energi
pada industri kategori industri besar
PT. ABC merupakan perusahaan yang bergerak di bidang percetakan yang menyediakan jasa percetakan
surat kabar (SP) dan beberapa buku sekolah dan majalah diwilayah surakarta dan sekitarnya. PT. ABC juga telah
melakukan kegiatan sebagai bentuk kesadaran terhadap konsumsi energ listrik. Salah satu bentuk kegiatannya
adalah dengan penggantian beberapa lampu hemat energi dibeberapa ruangan, mematikan mesin produksi ketika
waktu istirahat, mematikan beberapa lampu di ruangan yang jarang untuk digunakan. Akan tetapi, perusahaan
tersebut belum ada kegiatan untuk menajemen energi dimana kegiatan tersebut bermanfaat untuk meningkatkan
pengefisienan penggunaan energi listrik dan biaya penggunaan energi.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi sumber energi listrik yang digunakan perusahaan berasal,
melakukan audit energi untuk mengetahui berapa energi listrik yang digunakan untuk beroperasi pada setiap
bulannya, mengidentifikasi apa saja bentuk pemborosan listrik yang terdapat di PT. ABC., dan mengetahui alat apa
yang membutuhkan pasokan listrik paling besar dalam penggunaannya, serta memberikan usulan alternatif apa yang
akan dilakukan oleh perusahan khususnya didalam penghematan konsumsi energi listrik dan untuk mengefisiensi
kegunaan energi listrik.

METODE PENELITIAN
Manajemen Energi
Manajemen energi merupakan kegiatan yang terstruktur untuk mengoptimalkan penggunaan energi.
Manajemen energi diterapkan dengan tanpa mengurangi kualitas dan kuantitas produksi. Ada beberapa faktor
mengapa diperlukan manajemen energi, diantaranya karena kenaikan harga energi, pasokan energi yang tidak
menentu atau kurang handal, atau keperluan investasi peralatan energi yang ditiadakan. Manajemen energi listrik
sendiri terdiri dari tiga bagian global, yaitu konservasi, audit dan manajemen energi listrik (Wafi, 2012).
Konservasi Energi
Konservasi energi adalah penggunaan energi dengan efisiensi dan rasional tanpa mengurangi penggunaan
energi yang memang benar-benar diperlukan. Upaya konservasi energi diterapkan pada seluruh tahap pemanfaatan,
mulai dari pemanfaatan sumber daya energi sampai pada pemanfaatan terakhir dengan menggunakan teknologi yang
efisien dan membudayakan pola hidup hemat energi (Albert, 2008) .
Audit Energi
Audit energi adalah teknik yang dipakai untuk menghitung besarnya konsumsi energi pada suatu
bangunan/gedung dan mengenali cara-cara untuk penghematannya. Audit energi merupakan aktifitas pemeriksaan
berkala untuk mengetahui ada tidaknya penyimpangan dalam suatu kegiatan penggunaan energi (Sulistyowati,
2012). Audit energi awal terdiri dari survey manajemen energi dan survey energi secara teknis (Simatupang, 2011).
Intensitas Konsumsi Energi (IKE)
Intensitas Konsumsi Energi merupakan besar nilai pemakaian energi listrik untuk satuan luas bangunan
dalam waktu setahun (Pasisarha, 2012). Nilai IKE penting untuk untuk dijadikan tolak ukur menghitung potensi
penghematan energi yang mungkin diterapkan di setiap ruangan atau seluruh area bangunan. Dengan
membandingkan intensitas konsumsi energi bangunan dengan standar nasional, dapat diketahui apakah sebuah
ruangan atau keseluruhan bangunan sudah efisiensi atau tidak menggunakan energi.
AHP (Analytical Hierarchy Process)
AHP merupakan suatu metode pengambilan keputusan yang menguraikan masalah multi faktor atau multi
kriteria yang kompleks menjadi suatu hierarki (Saaty, 1993). Prinsip AHP terdiri dari menyusun hierarki,
menentukan prioritas penilaian, menguji konsistensi.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Proses Produksi
Proses pembuatan koran yang diproduksi di PT. ABC ada 11 tahapan. Tahapan pencetakan Koran (tahap ke-
1) diawali dengan menyusun file yang akan dicetak, pencucian plat yang digunakan sebagai media pencetakan pada
mesin, kertas sebagai sebagai media hasil cetakan koran dan tinta sebagai bahan baku cetakan koran. Tahap ke-2
adalah penyinaran file yang sudah disusun ke plat yang sudah dibersihkan. Penyinaran ini menggunakan mesin CTP.
Tahap selanjutnya, plat yang sudah disinari dicuci dengan mesin prosessor lalu dilekukkan pada masing-masing
sisinya untuk dipasangkan di mesin web cetaknya. Tahap ke-6 plat yang terpasang dicuci dengan air fountain untuk
menghilangkan debu yang menempel pada plat supaya kualitas hasil cetakan tetap baik. Selanjutnya, pencetakan
dimulai lalu koran akan dilipat sesuai dengan halaman yang sudah tersusun, pemotongan koran dan terakhir adalah
packaging koran.
Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan di PT. ABC dengan melakukan wawancara, pengamatan langsung dan
kuesioner untuk pengambilan data di dalam perhitungan AHP. Wawancara dilakukan untuk mengetahui seputar
perusahaan di dalam memproduksi koran dan non koran dan peluang alternatif penghematan apa yang dapat

127
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

diterapkan di sana untuk memungkinkan adanya kebijakan baru tentang pemanfataan energi listrik serta kapasitas
daya berbagai fasilitas perusahaan.
Sumber Energi Listrik
PT. ABC di dalam memproduksi koran dan non koran didukung dengan adanya mesin-mesin penunjang di
dalam proses mencetaknya untuk menghasilkan kualitas cetak yang terbaik. Selain itu, sebagai penunjang yang lain
berasal dari bagian office yang mengatur penjadwalan produksi, penjadwalan kerja karyawan, mengatur keuangan
perusahaan, mengatur kebutuhan bahan baku produksi, melakukan pemesanan bahan baku dan lain-lain. Energi
yang digunakan di dalam proses produksi maupun proses penunjang di dalam perusahaaan PT. ABC paling besar
adalah energi listrik. Sumber listrik yang digunakan di PT. ABC ini adalah berasal dari listrik PLN dan dengan
bantuan genset apabila ada pemadaman listrik.
Perbandingan Produk yang Dihasilkan dengan Konsumsi Listrik
Produk yang dihasilkan oleh PT. ABC adalah koran dan non koran. Koran terdiri dari koran SP, H, JP dan
Koran O sedangkan untuk non koran terdiri dari LKS, Kamus, Al-Qur’an dan tabloid. Berikut adalah produksi koran
selama periode juli 2015 sampai juni 2016.

Gambar 1. Diagram Perbandingan Biaya Energi Listrik,


Produksi Koran dan Non Koran Bulan juli 2015-juni 2016

Berdasarkan gambar 1 diketahui bahwa produksi koran rata-rata berada dalam jumlah 500-600 ribu oplah
dalam periode satu tahun. Produksi koran tertinggi terjadi pada bulan oktober 2015 dengan jumlah hampir mencapai
angka 700 ribu oplah. Sedangkan, jumlah produksi yang paling sedikit pada bulan mei 2016. Selanjutnya, produksi
non koran selama periode satu tahun mengalami fase naik turun. Penurunan yang cukup signifikan terjadi pada
bulan februari dengan selisih jumlah produksi dengan bulan januari mencapai 150 ribu oplah. Produksi non koran
terbanyak terjadi pada bulan april 2016 dengan jumlah hampir 400 ribu oplah. Biaya yang dikeluarkan PT.ABC
untuk listrik saja yang rata-rata dalam waktu satu bulan adalah sebesar Rp 30.815.544. Berdasarkan gambar 2
diketahui bahwa konsumsi energi listrik mengalami peningkatan dan penurunan, mengalami peningkatan terus
menerus selama 4 bulan bertururt-turut pada akhir tahun 2015 dan mengalami penurunan selama 3 bulan pertama
diawal tahun 2016.
Kemudian pada tabel 1 adalah perhitungan penggunaan daya selama satu bulan secara manual dan tarif biaya
listrik yang dikeluarkan, akan tetapi perhitungan ini melakukan pendataan fasilitas yang digunakan dengan merk dan
type yang sama dan running time fasilitas melalui wawancara dengan karyawan.

Tabel 1. Tabel Perhitungan Manual Penggunaan Daya dan Tarif Biaya Bulan Juni 2016
No Ruangan Daya
1 Manajer SDM 163,776
2 Bagian Umum 505,92
3 Staff 1 186,048
4 Staff 2 402,0
5 Maintanance 147,6
6 Gudang Bahan Baku 169,8
7 Pracetak 2369,3
8 Produksi 131197,4
Jumlah Daya 135141,9
Tarif Daya @Rp 1050,00/KWh 141898982,4

128
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Fasilitas Perusahaan
Fasilitas yang terdapat diperusahaan memiliki peran baik dan penting dalam hal perencanaan, produksi,
keuangan, bahan baku, pengemasan dan lain-lain. Fasilitas yang terdapat diperusahaan antara lain komputer pc,
telepon, printer, alat penerangan ruangan, pendingin ruangan,dispenser, mesin-mesin produksi. Berikut adalah besar
konsumsi energi berdasarkan masing-masing ruangan beserta fasilitas yang digunakan pada masing-masing ruangan.
Pada tabel 2 diketahui penggunaan daya pada masing-masing ruangan dengan perhitungan dan pendataan fasilitas
pabrik serta dengan luas ruangan yang sudah diketahui, dibawah ini adalah hasil perhitungan IKE (Intensitas
Konsumsi Energi) pada masing-masing ruangan.
Tabel 2. Tabel Hasil IKE
Luas Ruangan
No Ruangan 2 Daya IKE Kategori
(m )
1 Ruang 1 20 163,776 8,19 Efisien
2 Ruang 2 60 505,92 8,43 Efisien
3 Ruang 3 50 186,048 3,72 Sangat Efisien
4 Ruang 4 50 402 8,04 Efisien
5 Ruang 5 50 147,6 2,95 Sangat Efisien
6 Ruang 6 40 169,8 4,25 Sangat Efisien
7 Ruang 7 150 2369,3 15,8 Agak Boros
8 Ruang 8 1200 131197,4 109,33 Sangat Boros

Berdasarkan tabel 2 standar IKE untuk di ruangan office sudah masuk di dalam kategori efisien dimana hal
ini dapat dikatakan aman dalam penggunaan listrik. Ruang produksi yang terdiri dari ruang pracetak dan produksi
menjadi ruangan dengan kategori IKE sangat boros, hal ini dikarenakan pada ruangan tersebut ada mesin-mesin
produksi yang membutuhkan daya yang besar untuk proses dari mempersiapkan bahan yang akan dicetak hingga
hasil cetakan. Pemborosan listrik merupakan sebuah kebiasaan tindakan yang sudah mulai harus dikurangi bahkan
ditinggalkan.
Tabel 3. Kalkulasi Konsumsi Energi bulan juni 2016
Daya Total Daya Lama (jam) Lama (jam) Konsumsi/bln
No Ruang Nama Fasilitas Jumlah
(watt) (watt) @ 1 hari @ 1 bulan (Kwh)
AC 1 260 260 8 192 49,92
Lampu LED 1 13 13 8 192 2,50
1 Ruang 1
Komputer 2 250 500 8 192 96,00
Printer 1 320 320 2 48 15,36
AC 2 260 520 8 192 99,84
Lampu TL LED 4 16 64 8 192 12,29
Komputer 7 250 1750 8 192 336,00
2 Ruang 2
Printer 1 1 320 320 2 48 15,36
Printer 2 1 11 11 8 192 2,11
Dispenser 1 420 420 4 96 40,32
AC 1 260 260 16 384 99,84
Lampu LED 2 13 26 16 384 9,98
3 Ruang 3
Komputer 2 250 500 6 144 72,00
Printer 2 11 22 8 192 4,22
AC 1 260 260 16 384 99,84
Lampu LED 2 13 26 16 384 9,98
4 Ruang 4
Komputer 3 250 750 16 384 288,00
Printer 2 11 22 8 192 4,22
AC 1 260 260 8 192 49,92
Lampu LED 2 13 26 8 192 4,99
5 Ruang 5
Komputer 1 250 250 2 48 12,00
Dispenser 1 420 420 8 192 80,64
AC 1 260 260 16 384 99,84
6 Ruang 6 Lampu LED 2 13 26 16 384 9,98
Komputer 1 250 250 10 240 60,00
AC 3 260 780 16 384 299,52
Lampu LED 4 13 52 16 384 19,97
Komputer 5 250 1250 16 384 480,00
7 Ruang 7 Printer 1 150 150 8 192 28,80
Mesin Cetak Plate
2 2000 4000 16 384 1536,00
Maker
Mesin CTP Fuji 2 6,5 13 16 384 4,99
Mesin Cetak Goss
1 120000 120000 16 384 46080,00
Shanghai
Mesin Goss
1 110000 110000 16 384 42240,00
Comunity Line 2
8 Ruang 8
Mesin Goss
1 110000 110000 16 384 42240,00
Comunity Line 3
Conveyor 3 500 1500 16 384 576,00
Lampu TL 10 16 160 16 384 61,44

129
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Pada tabel 3 diketahui bahwa penggunaan komputer dan pendingin ruangan adalah fasilitas kantor yang
paling banyak pengguaan dayanya. Berdasarkan hasil dari wawancara dengan staff produksi dan supervisor dibagian
umum, bentuk pemborosan yang terdapat di PT. ABC adalah berasal dari sikap dan kebiasaan yang sudah ada dari
karyawan dan dari teknologi yang sudah ada seperti tidak mematikan lampu dan pendingin ruangan ketika saat
waktu istirahat, tetap menyalakan alat penerangan pada ruangan yang jarang digunakan, belum adanya SOP dan
kebijakan tentang penggunaan fasilitas di perusahaan. Berdasarkan teknologi yang dipakai seperti beberapa ruangan
masih menggunakan alat penerangan yang belum hemat energi, penggunaan alat pendingin terutama pemilihan PK
di dalam ruangan yang belum disesuaikan dengan kebutuhan ruangan dan panas yang dihasilkan ruangan,
penggunaan suhu pada pendingin ruangan yang tidak disesuaikan dengan kebutuhan panas yang terdapat diruangan
tersebut.
Berikut gambar 2 menunjukkan diagram konsumsi listrik dari masing-masing peralatan atau fasilitas yang
ada di PT. ABC tersebut.

Gambar 2. Diagram Konsumsi Listrik pada Fasilitas di PT.ABC

Terlihat bahwa konsumsi energi listrik pada masing-masing ruangan terdapat fasilitas-fasilitas apa saja yang
penggunaan dayanya terbesar. Pada peringkat 1-3 adalah mesin cetak yaitu goss shanghai dan goss community.
Lalu, ada mesin cetak plate maker yang digunakan di ruang pracetak. Kemudian, komputer dan pendingin ruangan.

Alternatif Penghematan Konsumsi Energi Listrik


Menyusun Hierarki AHP
Menyusun hierarki merupakan langkah pertama yang dilakukan dalam metode AHP. Hierarki terdapat 2 level yaitu
level 0, level 1 dan level 2.
1. Level 0 adalah tujuan atau sesuatu hal yang ingin dicapai. Tujan didalam hierarki ini adalah mencari alternatif
penghematan energi listrik di PT.ABC. Alasan pemilihan tujuan adalah penggunaan listrik sangatlah besar dan
pemanfaatannya kurang efisien yang dapat menyebabkan meningkatnya biaya pengeluaran listrik selain itu
dengan adanya pasokan energi listrik yang mulai terbatas dan belum adanya pemerataan pasokan listrik yang
menyebabkan pemadaman bergilir, menipisnya sumber bahan bakar fosil bumi dan meningkatnya pemanasan
global dibumi.
2. Level 1 adalah faktor yang mempengaruhi penghematan. Faktor penghematan ini meliputi penjadwalan,
teknologi, tata letak perusahaan, sop penggunaan fasilitas pabrik yang selama ini masih perlu adanya perbaikan
dan pemanfaatan dalam pengelolaannya. Penjadwalan maintenance untuk mesin juga perlu dilakukan secara
rutin supaya proses percetakan tidak terganggu.
a. Penjadwalan
Penjadwalan merupakan salah satu faktor yang menentukan dalam penjadwalan produksi percetakan.
Penjadwalan meliputi penjadwalan produksi, penjadwalan pembelian bahan baku, penjadwalan kerja
karyawan. Penjadwalan yang dapat dimaksimalkan dengan baik mampu mengurangi jadwal kerja lembur
karyawan dan jadwal produksi menjadi lebih maksimal.
b. Teknologi
Teknologi sangat berperan penting dalam proses produksi yang digunakan sebagai alat penunjang di dalam
mencetak. Penggunaan teknologi yang baru mampu mengefisiensikan penggunaan energi listrik dan lebih
efektif.
c. Tata Letak Perusahaan
Tata letak perusahaan khususnya fasilitas-fasilitas yang ada di perusahaan juga dapat menjadi salah satu
faktor yang dapat dilakukan penghematan energi listrik. Dengan penempatan fasilitas yang sesuai akan dapat

130
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

meminimalisir penggunaan energi listrik yang besar. Dengan layout ruangan dan layout penempatan fasilitas
mampu mengurangi jarak perpindahan barang, karyawan yang mampu meningkatkan waktu produksi dan
lebih produktif.
d. SOP Penggunaan Fasilitas
Kebiasaan atau sikap dan tindakan terhadap budaya penggunaan listrik sesuai kebutuhan sangatlah penting.
SOP penggunaan fasilitas sangatlah penting ada dan wajib untuk diperhatikan bagi seluruh karyawan dan
operator di perusahaan.
3. Level 2, merupakan sistem kebijakan yang akan dipilih oleh perusahaan denga urutan prioritas untuk melakukan
penghematan diantaranya ada 3 yaitu dengan melakukan tindakan pemanfaatan dan penghematan energi pada
karyawan, tindakan penghematan dan pemanfaat didalam penggunaan teknologi sekarang dan penggunaan
teknologi baru hemat energi.
a. Dengan melakukan tindakan pemanfataan dan penghematan energi pada karyawan, hal ini dapat dilakukan
dengan adanya sosialisasi tentang pemanfaatan dan efisiensi penggunaan mesin, alat pendingin, alat
penerangan dan segala bentuk fasilitas perusahaan yang bersumber dari listrik. Serta didukung dengan
adanya kebijakan SOP penggunaan fasilitas selama jam kerja atau selama berada diperusahaan. Hal lain yang
dapat dilakukan dengan melakukan penataan lingkungan pabrik, fasilitas produksi maupun office secara tepat
supaya dapat memaksimalkan kinerja karyawan dan mengefisiensikan waktu dan energi pada karyawan.
b. Tindakan pemanfaatan dan penghematan dengan teknologi sekarang, kebijakan ini merupakan kebijakan
yang tidak perlu mengeluarkan investasi yang besar. Tindakan yang dapat dilakukan untuk pemanfaatan
dengan teknologi yang ada sekarang supaya lebih hemat adalah dengan adanya perbaikan atau penginstalan
alat-alat listrik lebih dimaksimalkan, pengaturan penjadwalan khususnya produksi dimaksimalakan supaya
mengurangi waktu lembur nyala mesin. Selain itu, secra rutin dilakukan perawatan mesin atau pengecekan
fungsi mesin supaya tidak adanya kerusakan mendadak yang dapat menyebabkan berubahnya jadwal
produksi yang menimbulkan waktu lembur kerja.
c. Penggunaan teknologi baru yang lebih hemat energi, Kebijakan yang terakhir adalah penggunaan teknologi
baru yang lebih hemat energi. Kebijakan ini perlu adanya investasi yang besar untuk membeli mesin cetak
baru maupun mesin produksi baru yang lain. Selain itu, dapat dilakukan untuk berinvestasi teknologi yang
dapat menyuplay sumber energi terbarukan yang dapat dilakukan untuk mengurangi penggunaan energi
listrik yang bersumber dari PLN. Karena, semakin terbatasnya sumber energi alam sehingga sumber energi
alam tersebut nantinya masih dapat dimanfaatkan oleh generasi masa depan .

Level 0: Alternatif
Tujuan Penghematan

Penjadwalan Kerja Penjadwalan Tata Letak SOP Penggunaan


Teknologi
Level 1: Karyawan Produksi Perusahaan Fasilitas
Faktor Yang
Mempengaruhi

Level 2: Tindakan Pemanfaatan dan Tindakan Penghematan Penggunaan Teknologi Baru


Sistem Penghematan Penghamatan Energi Karyawan Teknologi Sekarang Hemat Energi

Gambar 3. Struktur Hierarki Permasalahan

Pengolahan Bobot Penilaian AHP


Berdasarkan kuesioner yang dinilai dari responden yaitu karyawan pabrik di bagian umum dan staff serta
karyawan bagian maintenance. Hasil penilaian bobot oleh responden diolah menjadi matriks berpasangan pada
setiap level hierarki AHP kemudian dilakukan tahap pengujian konsistensi terhadap penilaian responden tersebut.
Untuk menghasilkan penilaian dari ketujuh responden diatas, kemudian dilakukan rataan geometrik (Geometric
Mean) pada setiap matriks perbandingan berpasangan. Rataan geometrik faktor diperoleh dengan perhitungan:
Aij = (Z1,Z2,Z3...Zn)1/n )
= (1 x 1 x 1) 1/3
= 1,00
Kemudian, akan menghasilkan rataan geometrik pada tabel 4 yang selanjutnya akan dilakukan tahap normalisasi
matriks.

131
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Tabel 4. Matriks Hasil Rataan Geometrik


PenjadwalanOrangKerja PenjadwalanProduksi Teknologi TataLetakPerusahaan SOPPenggunaanFasilitas
PenjadwalanOrangKerja 1,000 0,191 0,195 0,181 0,179
PenjadwalanProduksi 4,304 1,000 1,253 0,240 0,143
Teknologi 1,813 0,768 1,000 1,611 0,271
TataLetakPerusahaan 2,436 0,637 0,209 1,000 0,193
SOPPenggunaanFasilitas 6,698 3,040 3,322 5,186 1,000

Tabel 5. Matriks Normalisasi


Penjadwalan Kerja Karyawan Penjadwalan Produksi Teknologi Tata Letak Perusahaan SOP Penggunaan Fasilitas Jumlah Bobot

Penjadwalan Kerja Karyawan 0,062 0,034 0,033 0,022 0,100 0,250 0,050

Penjadwalan Produksi 0,265 0,177 0,210 0,029 0,080 0,761 0,152

Teknologi 0,112 0,136 0,167 0,196 0,152 0,763 0,153

Tata Letak Perusahaan 0,150 0,113 0,035 0,122 0,108 0,527 0,105

SOP Penggunaan Fasilitas 0,412 0,539 0,556 0,631 0,560 2,698 0,540

Langkah berikutnya adalah pengujian konsistensi pada bobot faktor dengan pengolahan secara vertikal dan
horizontal. Dengan hasil pengujian konsistensi seperti pada tabel 6.

Tabel 6. Pengujian Konsistensi


Jumlah Baris Bobot Vektor Eigen λ maks CI CR
Penjadwalan Kerja Karyawan 0,250 0,050 0,070 1,390 0,0425 0,0380
Penjadwalan Produksi 0,761 0,152 0,119 0,779
Teknologi 0,763 0,153 0,154 1,012
Tata Letak Perusahaan 0,527 0,105 0,101 0,959
SOP Penggunaan Fasilitas 2,698 0,540 0,556 1,031
*CI-Consistency Index *CR-Consistency Ratio
1. Bobot prioritas faktor penghematan:

2. Vektor eigen:
0,062 0,034 0,033 0,022 0,100 0,050 0,070
0,265 0,177 0,210 0,029 0,080 0,152 0,119
0,112 0,136 0,167 0,196 0,152 X 0,153 = 0,154
0,150 0,113 0,035 0,122 0,108 0,105 0,101
0,412 0,539 0,556 0,631 0,560 0,540 0,556

3. Nilai λ maks:
0,070 0,050 1,390
0,119 0,152 0,779
0,154 : 0,153 = 1,012
0,101 0,105 0,959
0,556 0,540 1,031

4. Indeks Konsistensi (CI)

5. Rasio Konsistensi (CR)

Berdasarkan pengolahan yang dilakukan, didapat hasil bobot prioritas pada faktor penghematan penjadwalan
sebesar 0,050 atau 5 % dengan rasio konsistensi 0,0380 atau 3,8 % dimana 3,8 % ≤ 10 % yang artinya dapat
dikatakan bahwa pengujian konsistensi penilaian bobot antar faktor penghematan dapat diterima. Berikut adalah
bobot faktor penghematan secara keseluruhan.

132
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Tabel 7. Tabel Bobot Faktor Penghematan


Kriteria Penghematan Bobot
Penjadwalan Kerja Karyawan 0,05
Penjadwalan Produksi 0,152
Teknologi 0,153
Tata Letak Perusahaan 0,105
SOP Penggunaan Fasilitas 0,54
Eigen Maksimum 5,17
CI 0,0425
CR 0,038

Langkah berikutnya adalah menghitung bobot sistem penghematan dengan perbandingan matriks
berpasangan pada masing-masing sistem penghematan pada level 2 dengan langkah-langkah perhitungan sama
dengan pengolahan sebelumnya.
Berdasarkan hasil pengolahan bobot untuk penilaian solusi sistem penghematan, selanjutnya dilakukan
perbandingan antara bobot pada masing-masing faktor dengan sistem penghematan dengan perhitungan sebagai
berikut:
Tabel 8. Hasil Pengolahan Bobot Antar Sistem Penghematan
Faktor Penghematan
Penjadwalan Kerja Penjadwalan Tata Letak SOP Penggunaan
Teknologi Bobot
Karyawan Produksi Perusahaan Fasilitas
Keseluruhan
Bobot Faktor Penghematan 0,050 0,152 0,153 0,105 0,540
Bobot Sistem Penghematan
Sistem Penghematan

Tindakan Penghematan 0,531 0,769 0,550 0,764 0,578 0,6203


Teknologi Sekarang
Tindakan Penghematan 0,299 0,164 0,365 0,155 0,321 0,2852
Energi Pada Karyawan
Penggunaan Teknologi
0,169 0,067 0,085 0,081 0,101 0,0945
Baru
Pada tabel 8 adalah hasil secara keseluruhan dari pengolahan metode AHP. Berdasarkan hasil pengolahan
bobot keseluruhan prioritas urutan alternatif penghematan adalah tindakan penghematan pada teknologi sekarang
yang dipakai diperusahaan, tindakan penghematan energi pada karyawan dan yang terakhir adalah penggunaan
teknologi baru. Dengan memperhitungkan dari hasil bobot alternatif sistem penghematan dengan bobot faktor
penghematan dapat dianalisis bahwa alternatif sistem penghematan berupa tindakan penghematan teknologi
sekarang dengan nilai 0,6203. Dimana nilai tersebut berasal dari faktor SOP pengguaan fasilitas dengan bobot
0,540 dan kontribusi sistem penghematan pada tindakan penghematan teknologi sekarang sebesar 0,578.
Tindakan-tindakan penghematan yang dapat dilakukan adalah Contoh SOP di ruangan office seperti
penggunaan penerangan lampu sesuai dengan jam kerja karyawan dan disaat jam istirahat sebaiknya lampu
dimatikan, penggunaan suhu pendingin ruangan disesuaikan dengan suhu ruangan normal, tata ruang kantor di
design dengan tujuan supaya pengkondisian udara di dalam kantor tetap dingin dengan tidak adanya udara luar yang
panas atau suhu yang panas dari luar tidak masuk dalam kantor, Tidak sering menghidupkan dan mematikan pc
ketika tidak digunakan lebih baik di stand by. Contoh SOP di pabrik atau lantai produksi dapat dilakukan dengan
menggunakan mesin produksi ketika jam kerja, melakukan perawatan rutin pada mesin secara rutin, perbaikan pada
penjadwalan produksi dan kerja karyawan supaya mengurangi waktu lembur dan melakukan perbaikan waktu
produksi pada masing-masing proses produksi supaya mengurangi waktu tunggu pada proses produksi selanjutnya.

PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dalam pemilihan alternatif penghematan energi listrik di PT. ABC
dengan pendekatan metode AHP (Analytical Hierarchy Process) dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. PT. ABC sebagai salah satu produsen percetakan di Surakarta dengan seluruh pasokan sumber listrik yang
digunakan dalam proses produksi dan penunjangnya menggunakan pasokan dari sumber listrik PLN.
2. Berdasarkan hasil audit energi penggunaan daya listrik dalam waktu satu bulan kurang lebih sebesar 135 ribu
Kwh. Sedangkan, berdasarkan perhitungan IKE, hasil IKE sesuai dengan standar nasional untuk ruangan office
masih dalam keadaan efisien, akan tetapi pada pabrik atau lantai produksi masuk dalam kriteria agak boros dan
sangat boros.
3. Bentuk pemborosan yang terjadi di perusahaan antara lain tidak mematikan lampu penerangan ketika saat waktu
istirahat, tidak mematikan alat pendingan saat waktu istirahat, tetap menyalakan alat penerangan pada ruangan

133
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

yang jarang digunakan, belum adanya SOP tentang penggunaan fasilitas di perusahaan, belum adanya kebijakan
tentang penggunaan fasilitas pabrik dan pemanfaatan listrik di perusahaan.
4. Berdasarkan pengolahan dengan pendekatan metode AHP hasil yang diperoleh di dalam prioritas usulan
alternatif penghematan energi listrik pada perusahaan percetakan PT. ABC adalah dengan urutan nilai bobot
adalah tindakan penghematan teknologi sekarang dengan bobot 0,6203, Tindakan penghematan energi
pada karyawan 0,2852, Penggunaan teknologi baru dengan bobot 0,0945. Tindakan-tindakan penghematan
energi listrik dapat dilakukan sebagai berikut:
a. SOP Penggunaan Fasilitas di Ruang Office
1) Penggunaan penerangan lampu sesuai dengan jam kerja karyawan dan saat jam istirahat sebaiknya lampu
dimatikan.
2) Penggunaan suhu pendingin ruangan disesuaikan dengan suhu ruangan normal.
3) Tata ruang kantor di design dengan tujuan supaya pengkondisian udara di dalam kantor tetap dingin dengan
tidak adanya udara luar yang panas atau suhu yang panas dari luar tidak masuk dalam kantor.
4) Tidak sering menghidupkan dan mematikan pc ketika tidak digunakan lebih baik di stand by.
b. SOP Penggunaan Fasilitas di pabrik atau lantai produksi
1) Menggunakan mesin produksi ketika jam kerja.
2) Melakukan perawatan rutin pada mesin secara rutin.
3) Perbaikan pada penjadwalan produksi dan kerja karyawan supaya mengurangi waktu lembur.
4) Melakukan perbaikan waktu produksi pada masing-masing proses produksi supaya mengurangi waktu
tunggu pada proses produksi selanjutnya.
Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat diambil saran bagi perusahaan sebagai berikut:
1. Altenatif penghematan yang dapat dilakukan dan tanpa membutuhkan investasi baru adalah pada penghematan
pada teknologi yang sekarang. Tindakan yang dapat dilakukan dengan adanya SOP penggunaan fasilitas,
perbaikan sistem penjadwalan produksi, penjadwalan kerja karyawan, perbaikan tata letak ruang, rutin
melakukan maintanance pada mesin-mesin produksi secara berkala.
2. Tindakan penghematan energi listrik atau lebih tepatnya pemanfaatan penggunaan listrik sebaiknya dilakukan
dengan kebijakan yang ada diperusahaan. Hal ini dilakukan supaya selain dari sisi biaya dapat mengurangi biaya
pengeluaran tetapi juga ikut berperan dalam kegiatan menjaga kelestarian alam untuk menjaga pasokan sumber
daya fosil tetap terjaga untuk kehidupan masa depan dan mengurangi pemanasan global serta penipisan lapisan
ozon.

DAFTAR PUSTAKA
Albert, Thumann, P.E William J.Younger, 2008, Handbook Of Energy Audits, Sixth Edition, Fairmont Press.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia (ESDM), 2015, Penganugerahan Penghargaan
Efisiensi Energi Nasional Ke-4 tahun 2015. www.esdm.go.id/siaran-pers/55-siaran-pers/7927-
penganugerahan-penghargaan-efisiensi-energi-nasional-ke-4-tahun-2015.html, (diakses pada tanggal 20
April 2016).
Pasisarha, Daeng Supriyadi, 2012, Evaluasi IKE Listrik Melalui Audit Awal Energi Listrik Di Kampus Polines,
ISSN:2252-4908 Vol 1.No 1:1-7.
Putri, Aldianti, Dea, 2014. Pemilihan Peluang Hemat Energi Listrik Dengan Pendekatan Metode ANP dan
PROMETHEE, Jurnal Rekayasa dan Manajemen Sistem Industri,Vol 3.No 1: 142-153.
Rianto, A, 2007, Audit Energi dan Analisis Peluang Penghematan Konsumsi Energi pada Sistem Pengkondisian
Udara di Hotel Santika Premier Semarang, Unpublished Thesis, Semarang:Universitas Negeri Semarang.
Saaty, Thomas L., 1993, Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin, Edisi 2. Diterjemahkan oleh: Ir.Liana
Setiono, Jakarta Pusat.PT Pustaka Binaman Pressindo.
Simatupang, Rafles, 2011, Pedoman Teknis Audit Energi Implementasi Konservasi Energi dan Pengurangan Emisi
CO2 Di Sektor Industri (Fase 1). Jakarta Selatan:PusatPengkajian Industri Hijau dan Lingkungan Hidup
Badan Pengkajian Kebijakan,Iklim dan Mutu Industri.
Sulistyowati, 2012, Audit Energi Untuk Efisiensi Pemakaian Energi Listrik. Jurnal Eltek.Vol 10.No 1: 14-25.
Wafi Dendy Yumnun, Sjamsjul Anam, Heri Suryoatmojo, 2012, Optimasi dan Manajemen Energi Kelistrikan Di
Gedung City Of Tomorrow. Teknik Elektro Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya.

134
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

EVALUASI KUALITAS PRODUK PUSH UP DETECTOR DENGAN


MENGGUNAKAN PENDEKATAN ERGONOMI

Ch Desi Kusmindari1*, Yanti Pasmawati2 , Ari Muzakir3


1, 2
Program Studi Teknik Industri, Fakultas Teknik, Universitas Bina Darma
3
Program Studi Teknik Informatika, Fakultas Ilmu Komputer, Universitas Bina Darma
E-mail: desi_christofora@binadarma.ac.id,

Abstrak

Push up adalah gerakan Calisthenics favorit karena hanya membutuhkan badan dan tanah. Push up
juga sangat baik untuk upper body. push up detector dirancang untuk memudahkan dalam melakukan
push up, penelitian ini bermaanfaat untuk mengetahui tingkat kesalahan pada push up detector dan
Peningkatan kualitas push up detector untuk menghasilkan posisi push up yang benar. Berdasarkan
hasil penelitian tahun sebelumnya masih terdapat beberapa kekurangan dari push up detector yang
dibuat, oleh sebab itu pada tahun kedua ini akan dilakukan evaluasi terhadap rancangan push up
detector yang telah dirancang pada tahun pertama. Metode Evaluasi yang digunakan adalah metode
evaluasi dengan pendekatan ergonomi. Hasil penelitian di tahun kedua ini adalah menunjukan
kesalahan pada rangkaian push up detector pada bagian baterai sebelumnya mengunakan baterai ni-
mh 9 volt yang hanya mampu bertahan selama 6 menit diganti dengan baterai lead-acid 9 volt
charger bertahan selama 7 jam, dan kesalahan dibagian ukuran push up detector berpengaruh
kepada pengguna yang berukuran kurang dari 167 cm salah satu sensor dari push up detector tidak
dapat bekerja secara maksimal. Setelah dilakukan evaluasi dan perbaikan pada rangkaian push up
detector yang sebelumnya masalah yang timbul sebanyak 50% menjadi 16.67 % dari seluruh
rangkaian pada push up detector

Kata kunci: kualitas push up detector; rancang bangun; alat deteksi push up atletic; evaluasi
ergonomi

Pendahuluan
Push up adalah gerakan Calisthenics favorit karena hanya membutuhkan badan dan tanah. Push up juga
sangat baik untuk upper body. Sebenarnya push up merupakan cara berolahraga yang sangat murah dan praktis
karena bisa dilakukan kapan saja dan dimana saja dan tidak harus memerlukan alat tambahan. Jika kegiatan ini rutin
dilakukan, akan banyak manfaat yang dirasakan terutama pada bagian lengan karena lengan akan menjadi tumpuan
saat melakukan push-up. Selain itu push-up juga berfungsi untuk mengecilkan otot pada bagian perut, Namun jika
melakukan push up dengan cara yang salah, justru tidak membawa manfaat yang baik, tapi dapat menyebabkan
cidera otot. http://www.tipssehatku.com
Ergonomi yang secara umum diartikan sebagai ”the study of work” telah mampu membawa perubahan yang
signifikan dalam mengimplementasikan konsep peningkatan produktivitas melalui efisiensi penggunaan tenaga kerja
dan pembagian kerja berdasarkan spesialisasi-keahlian kerja manusia. Fokus dari apa yang telah diteliti, dikaji dan
direkomendasikan oleh para pionir studi tentang kerja di industri ini telah memberikan landasan kuat untuk
menempatkan ”engineer as economist” didalam perancangan sistem produksi, baik yang terkait dengan perancangan
produk maupun proses (mesin, fasilitas dan tatacara kerja). (Wignjosoebroto, 2001)
Salah satu dari sekian banyaknya kegiatan yang belum memanfaatkan teknologi adalah teknologi yang
digunakan untuk membuat alat push up detector otomatis yang ergonomis belum pernah dilakukan. Alat ini pada
dasarnya sangat penting mengingat pada saat ini kegiatan olah raga push up adalah olah raga yang umum dan
banyak dilakukan di kalangan atlit maupun masyarakat. Kebutuhan alat ini sangat diperlukan mengingat jika olah
raga ini tidak dilakukan dengan benar, maka dapat menyebabkan cidera otot.
Pada tahun sebelumnya alat ini sudah dirancang berdasarkan kaidah ergonomi dan menggunakan metode
Quality Function Deployment, tetapi keandalan dari push up detector belum dapat dipertangung jawabkan sehingga
perlu ada evaluasi agar alat ini dapat dipertangung jawabkan kesahihannya. Tujuan dari penelitian ini adalah (1)
kapasitas push up detector menentukan berapa banyak penyimpanan memori pada push up detector, (2) Identifikasi
faktor kesalahan rangkaian dan ukuran dari push up detector dan (3) Perbaikan push up detector berdasarkan hasil
evaluasi dan dilakukan perbaikan rancangan dan ukuran pada push up detector.

135
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Metode Penelitian
Metode pengumpulan data yang akan digunakan adalah dengan melakukan evaluasi ergonomi terhadap
rancangan push up detector. Evaluasi tersebut meliputi (1) ukuran rancangan push up detector dan (2)
mengidentifikasi kesalahan rancangan push up detector
Alat analisis yang digunakan adalah 7 tools yang meliputi : Stratifikasi
1. Lembar Data (Dina,2014)
Lembar periksa adalah lembaran (sheet) yang digunakan untuk mencatat kegiatan atau kejadian (data) dengan
format yang sudah disiapkan terlebih dahulu. Pengisi sheet tinggal memberikan tanda pada kolom yang sudah
disediakan. Guna lembar periksa ini selain memudahkan dalam pemeriksaan juga memudahkan dalam
membuat rekapitulasi dan memudahkan analisis terhadap masalah
2. Diagram Pareto (Agus, 2014)
Diagram pareto digunakan untuk menampilkan data dengan tujuan untuk mengetahui suatu penyebab yang
memberikan pengaruh yang paling besar terhadap akibat. Dengan demikian bisa segera dilakukan langkah
perbaikan berdasarkan skala prioritas, yaitu penyebab yang paling besar pengaruhnya terhadap akibat
3. Diagram Ishikawa (tulang ikan)
Diagram ini digunakan untuk menggambarkan hubungan antara sebab dan akibat dari suatu kegiatan. Dengan
diagram Ishikawa kita dapat menjabarkan banyak sekali semua penyebab, mulai dari penyebab yang paling
dekat dengan akibat (masalah), sampai penyebab yang tidak dekat dengan akibat (masalah). Diagram Ishikawa
biasa juga disebut sebagai diagram Tulang Ikan (Fish Bone Chart) karena melihat bentuk dari anak panah yang
menyerupai tulang ikan
4. Peta Kendali (Riana,2015)
Merupakan grafik garis dengan pencantuman batas maksimum dan minimum yang merupakan batas daerah
pengendalian. Peta kendali juga bisa dipergunakan untuk mengukur apakah proses (kegiatan produksi) dalam
keadaan terkendali atau tidak. Proses dikatakan dalam keadaan terkendali jika unit yang diukur berada dalam
batas-batas kendali.Pada peta kendali bisa diketahui adanya penyimpangan tetapi tidak terlihat penyebab
penyimpangan tersebut. Peta kendali hanya menunjukkan perubahan data dari waktu ke waktu.
5. Histogram (Utami, 2014)
Histogram adalah diagram berupa diagram batang (balok) yang menggambarkan penyebaran (distribusi) data
yang ada, jadi dengan menggnakan histogram, data yang dikumpulkan akan dengan mudah diketahui
sebenarnya (distribusinya).
6. Diagram Tebar (Riana, 2015)
Diagram tebar adalah diagram yang digunakan untuk mengetahui apakah ada korelasi (hubungan) atau tidak
antara 2 variabel. Diagram tebar bisa juga digunakan untuk mengetahui apakah suatu penyebab yang diduga
mempengaruhi atau tidak terhadap akibat (masalah) yang sedang dihadapi
Analisis data yang dilakukan dengan mengunakan 8 langkah penyelesaian masalah yang terdapat dalam
Gugus Kendali Mutu (Nurhadi, 2013) sebagai berikut:
1. Menentukan tema masalah.
2. Mengumpulkan dan menyajikan data.
3. Menentukan sebab-sebab masalah.
4. Menyusun rencana perbaikan
5. Melaksanakan rencana perbaikan
6. Memeriksa hasil perbaikan.
7. Menentukan standarisasi.
8. Menetapkan rencana berikutnya.
Sehingga bagan alir penelitian digambarkan sebagai berikut :

136
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Gambar 1. Bagan Alir Penelitian

Hasil dan Pembahasan


Mendesain merupakan sebuah pola perncangan yang melalui berbagai proses dan pertimbangan estetika,
fungsi, masalah, survei dan banyak aspek lain, sehingga seorang yang memilih berprofesi sebagai desainer
membutuhkan keahlian, penelitian, pemikiran, model dan pengalaman tertentu dalam orientasinya pada sebuah
karya desain. Dalam pandangan perusahaan yang berorientsasi pada keuntungan (Profit Oriented Enterprise),
kesuksesan perancangan dan pengembangan produk ditentukan oleh (Ulrich dan Eppinger, 2001:3). Konsep
pengukuran produktivitas di sini mengacu pada suatu proses produksi yang bertujuan untuk mengukur prestasi
perusahaan dalam lingkungan fisik yaitu mengukur efisiensi perusahaan dalam mentransformasikan sumber daya-
sumber daya fisik menjadi keluaran fisik (Vincent Gaspersz:2009).
Evaluasi yang dilakukan pada push up detector yang pertama kali adalah identifikasi faktor kesalahan pada
rangkaian push up detector.
a. Lembar periksa komponen push up detector ditujukan untuk menentukan apakah komponen yang dipakai pada
push up detector sudah berfungsi secara maksimal atau tidak.

Tabel 1. Lembar Periksa Komponen Dan Fungsi Push Up Detector


LEMBAR PERIKSA
Nama Produk : Push Up Detector
Tanggal check : 28 Mei 2016
Fungsi
NO NAMA KOMPONEN Tidak
Baik
Baik
1 Material Push Up Detector √ -
Ukuran Posisi Push Up
2 - √
Detector
3 Fungsi Sensor √
4 Rangkaian Push Up Detector - √
5 Daya Tahan Baterai - √
6 Kapasitas Penyimpanan √ -

137
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Dari tabel diatas diketahui bahwa masalah yang timbul pada penelitian sebelumnya dalam push up detector
sebanyak 3 masalah atau 50% dari seluru rangkaian push up detector.

b. Histogram baterai rangkaian push up detector


Untuk mengetahui apakah baterai yang dipakai dapat bertahan lebih lama dan sensor tidak mengalami eror
seperti yang ada sebelum melakukan Pengujian mengunakan baterai ni-mh 9 Volt pada push up detector hanya
dapat bertahan selama 6 menit. Berikut adalah histogram daya tahan baterai dalam push up detector.
Data diatas menunjukan bahwa pengunaan baterai ni-mh 9 volt tidak mampu aktif lebih lama,

40
35
30
25
20
15
10
5
0

Gambar 2. histogram jumlah baterai ni-mh 9 volt

c. Membahas Penyebab rangkaian push up detector


Mencari penyebab dari problem yang sedang dibahas dalam rangkaian push up detector. Fish Bone Diagram
baterai pada rangkaian push up detector dibutuhkan unntuk mengidentifikasi maslah yang timbul dalam rangkaian
push up detector serta membatu untuk mengetahui tindakan yang akan timbul setelah dilakukan penelitian
ini.berikut ini adalah fish bone diagram power baterai didalam rangkaian push up detector

Gambar 3. Fish Bone Diagram Power Battery

d. Menguji kebenaran penyebab dengan check sheet dan pareto diagram untuk mengetahui baterai apa yang pas
untuk dipasang dalam rangkaian push up detector. Daya tahan bterai sangat penting untuk kenormalan dan
kesahihan dari push up detector, setelah dilakukan perbaikan baterai beberapa kali didapatlah baterai yang pas
untuk rangkaian push up detector dan menormalkan kembali fungsi sensor, seperti table check sheet di bawah
ini :

Tabel 2. Check sheet daya tahan baterai


Daya Tahan
No Baterai Volt
baterai
1 Lithium
9 volt 1 Menit
Ion
2 Ni-Mh 9 volt 7 Menit
3 Lead-Acid 9 volt 7 Jam

138
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Berikut adalah diagram pareto daya tahan baterai dalam rangkaian push up detector.

Gambar 4. Pareto Diagram Daya Tahan Baterai

e. Membuat rencana guna mengatasi penyebab kesalahan dengan rencana perbaikan dengan mengunakan langkah
5W + 1H yang berfungsi untuk mengetahui apa, mengapa, bagaimana, kapan, siapa, dan dimana rencana
perbaikan dilakukan serta untuk mengetahui langkah selajutnya yang akan dilakukan oleh peneliti. Berikut tabel
5W+1H.

Tabel 3. Rencana Perbaikan 5W+1H


WHAT WHY HOW WHEN WHO WHERE
Daya tahan Tidak dapat bertahan Menganti 20 Juni Popi Laboratorium
Baterai lama dengan baterai 2015 Saputra pengembangan
Sensor eror apabila lead-acid 9 volt organisasi dan
baterai melemah bisnis

Sumber : pengolahan data

Melaksanakan apa yang telah direncanakan dan melakukan perbaikan sesuai rencana,langkah perbaikan yang
dilakukan untuk mempertahankan daya pada push up detector adalah :
a. Pengantian baterai ni-mh 9 volt dengan baterai lead-acid 9 volt charger
b. Membuat manual prosedur mengenai pengantian baterai, perawatan baterai, dan fungsi tombol, adapun manual
prosedurnya adalah :
1) Pengecasan baterai tidak boleh lebih dari 4 jam
2) Lepas baterai setelah digunakan
3) Posisi ± baterai harus sesuai saat mengecas
4) Tombol 1 untuk back
5) Tombol 2 untuk melihat penyimpanan
6) Tombol 3 untuk reset
7) Tombol 4 untuk save dan memulai push up
8) Tombol on/off untuk mengaktifkan dan mematikan push up detector
Langkah selanjutnya adalah mengkonfirmasi hasil antara sebelum dan sesudah langkah perbaikan agar
didapat hasil yang maksimal. Berdasarkan check sheet evaluasi hasil setelah dilakukan pengantian baterai lead-acid
9 volt charger dari baterai awal yang mengunakan ni-mh 9 volt yang hanya mampu bertahan selama 6 menit.
Dibawah ini adalah hasil evaluasi perbaikan.

Tabel 4. Check Sheet Evaluasi Perbaikan Rangkaian Push Up Detector


Banyak Lama aktif push up
No Nama
push up detector
1 Daniel Guntur
20 7 Jam
Aritonang
2 Murdiono 20 7 Jam
3 Herlon Manulang 20 7 Jam
4 Mardiono 20 7 Jam
5 Heru Setiawan 20 7 Jam
6 Muslim Arisandi 20 7 Jam
7 Ibnu Afandi 20 7 Jam
8 Nugraha Abi Putra 20 7 Jam
9 Robby Nugraha 20 7 Jam
10 Sari 20 7 Jam

139
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Histogram evaluasi hasil yang dilakukan setelah pengantian baterai dari batreai ni-mh 9 volt dengan baterai
lead-acid 9 volt charger.Langkah berikutnya adalah melakukan standarisasi terhadap rangkaian push up detector.
Standarisasi dilakukan untuk membakukan suatu produk atau keputusan yang ditetapkan dalam suatu produk sama
halnya seperti standarisasi yang ditetapkan pada push up detector.
1. Kedua sensor yang ada pada push up detector harus aktif secara bersamaan untuk menghasilkan penghitungan
secara otomatis, posisi sensor pertama berada tepat pada bahu penguna sedangkan posisi sensor kedua berada
pada bagian paha penguna push up detector.
2. Jenis baterai yang digunakan adalah lead-acid 9 volt charger dikarnakan jenis baterai ini mampu bertahan
lebih dari 5 jam atau maksimal 7 jam.
3. Jenis material pada push up detector sendiri mengunkan material yang tidak menggangu fungsi dari sensor dan
material yang kuat
4. Perawatan dilakukan pada rangkaian, baterai, maupun saat pengecasan saat pengecasan tidak boleh lebih dari 4
jam, kabel masa dari push up detector ke baterai harus selalu di lepas ketika selesai menggunakan push up
detector.
5. Penyempurnaan dilakukan untuk menghasilkan rangkaian yang lebih efisien dan bisa di bongkar pasang untuk
di sesuaikan dengan ukuran tubuh penguna dari push up detector.
Evaluasi yang kedua berkenaan dengan ukuran antropometri pengguna terhadap penempatan sensor di push
up detector. Dari hasil percobaab ukuran tubuh yang ekstrim dari penguna push up detector menyebabkan push up
detector belum dapat bekerja maksimal dikarnakan posisi sensor tidak sesuai dengan tubuh pengguna. Berikut
adalah lembar periksa komponen push up detector ditujukan untuk menentukan apakah komponen yang dipakai
pada push up detector sudah berfungsi secara maksimal atau tidak.

Tabel 5. Lembar Periksa Komponen dan Fungsi Push Up Detector


LEMBAR PERIKSA
Nama Produk : Push Up Detector
Tanggal check : 28 Mei 2016
Fungsi
NO NAMA KOMPONEN Tidak
Baik
Baik
1 Material Push Up Detector √ -
2 Ukuran Posisi Push Up Detector - √
3 Fungsi Sensor √
4 Rangkaian Push Up Detector - √
5 Daya Tahan Baterai - √
6 Kapasitas Penyimpanan √ -
Sumber : Hasil Pengamatan

Untuk mengetahui apakah ukuran pada push up detector sesuai dengan ukuran badan posisi push up penguna
Berikut adalah table dan histogram ukuran tubuh serta ukuran posisi push up pengguna push up detector.

Tabel 7. lembar periksa ukuran tubuh


Ukuran Ukuran tangan
No Nama Posisi sensor
Tubuh posisi push up
1 Daniel Guntur
175 69 Maksimal
Aritonang
2 Murdiono 172 65 Maksimal
3 Herlon Manulang 175 68 Maksimal
4 Mardiono 168 64 Maksimal
5 Heru Setiawan 160 54 Tidak
6 Muslim Arisandi 167 61 Maksimal
7 Ibnu Afandi 170 64 Maksimal
8 Nugraha Abi Putra 165 60 Tidak
9 Robby Nugraha 164 58 Tidak
10 Sari 167 61 Maksimal

Sumber : pengolahan data

140
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Data diatas menunjukan bahwa ukuran tubuh dibawah 167cm menyebabkan sensor push up detector tidak
bisa bekerja secara maksimal. Untuk mendeteksi penyebab masalahnya maka dibuatlah fish bone diagram ukuran
tubuh serta badan posisi push up penguna push up detector.

Gambar 5. Fish Bone Diagram ukuran Push Up detector

Ukuran dan kekuatan material dari push up detector adalah hal yang sangat penting supaya alat ini dapat
bekerja maksimal dan mampu bertahan lebih lama, seperti table check sheet dibawah ini :

Tabel 8. check sheet material utama push up detector


Daya Tahan
NO Jenis Ukuran
material
1 Pipa tiang utama 75 cm Kuat
2 Pipa sensor 90 cm Kuat

Berikut adalah diagram pareto ukuran tubuh serta posisi push up dalam rangkaian push up detector.

push up detector
100
80
ukuran
60
pipa tiang utama pipa sensor

Gambar 6. pareto diagram ukuran push up detector

Setelah diketahui permasalahannya maka dibuatlah rencana guna mengatasi penyebab kesalahan dengan
rencana perbaikan dengan mengunakan langkah 5W + 1H yang berfungsi untuk mengetahui apa, mengapa,
bagaimana, kapan, siapa, dan dimana rencana perbaikan dilakukan . Berikut tabel 5W+1H.

Tabel 9. Rencana Perbaikan 5W+1H


WHAT WHY HOW WHEN WHO WHERE
Ukuran push Tidak dapat bekerja Membuat 20 Juni Popi Laboratorium
up detector secara normal apabila material dan 2015 Saputra pengembangan
ukuran tubuh ukuran push up organisasi dan
pengguna dibawah detector yang bisnis
167 cm bisa dibongkar
pasang dan
disesuaikan
dengan ukuran
tubuh penguna

Sumber : pengolahan data

141
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Untuk perbaikan ukuran push up detector, maka hal yang dilakukan adalah :
a. Pengantian material pada pipa sensor dengan pipa yang bisa dibongkar pasang dan bisa disesuaikan dengan
ukuran tubuh manusia
b. Membuat manual prosedur mengenai pengantian baterai, perawatan baterai, dan fungsi tombol, adapun manual
prosedurnya adalah :
1) Pengecasan baterai tidak boleh lebih dari 4 jam
2) Lepas baterai setelah digunakan
3) Posisi ± baterai harus sesuai saat mengecas
4) Tombol 1 untuk back
5) Tombol 2 untuk melihat penyimpanan
6) Tombol 3 untuk reset
7) Tombol 4 untuk save dan memulai push up
8) Tombol on/off untuk mengaktifkan dan mematikan push up detector
Evaluasi hasil ukuran push up detector adalah mengubah tiang pipa sensor menjadi pipa yang bisa
disesuaikan dengan ukuran tubuh penguna dan bisa dibongkarpasang untuk memudakan dalam membawa push up
detector .Standarisasi untuk ukuran atau letak sensor adalah:
1) Pipa sensor yang dapat di sesuaikan dengan ukuran tubuh penguna dari push up detector serta bahan dari pipa
yang tidak bisa menggangu kerja dari sensor.
2) Jenis material yang dipakai adalah material yang lebih kuat dan tidak mudah patah
3) Perawatan dilakukan pada bagian pipa sensor yaitu meletakan bagian dari push up detector aman dari benturan
dan apapun yang dapat menyebabkan rangkaian rusak.
4) Penyempurnaan dilakukan pada bagian rangkaian adalah bagaimana rangkaian ini dapat di minimaliskan dan
dapat dibawa dengan mudah.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil evaluasi terhadap push up detector maka dapat disimpulkan bahwa:
1) Kesalahan pada push up detector ini dibagi menjadi dua bagian yaitu penggunaan batere yang kapasitasnya
kecil yaitu baterai in-mh 9 volt yang hanya bisa bertahan selama 6 menit dan letak sensor yang tidak dapat
mendeteksi jika ukuran tubuh kurang adri 167 cm.
2) Perbaikan yang dilakukan adalah mengganti baterai in-mh 9 volt dengan baterai lead-acid 9 volt charger yang
mampu bertahan maksimum 7 jam tanpa charger . Penggantian jenis bateri ini menyebabkan bertambah besarnya
kapasitas simpan push up detector
3) Perbaikan permasalahan kedua adalah dengan membuat pipa atau tiang detector menjadi adjustable sehingga
dapat menyesuaikan ukuran tubuh pengguna.
4) Setelah dilakukan evaluasi dan perbaikan pada rangkaian push up detector yang sebelumnya masalah yang
timbul sebanyak 50% menjadi 16.67 % dari seluruh permasalahan push up detector

Ucapan Terima Kasih


Terima kasih kepada Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Direktorat Jendral penguatan riset dan
pengembangan Kementrian Riset, Teknologi dan pendidikan Tinggi Sesuai surat Perjanjian penugasan pelaksanaan
program penelitian Nomor : 002/SP2H/LT/DRPM/II/2016 tanggal 17 Februari 2016

Daftar Pustaka
Agus (2014) Diagram pareto. http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/8/8a/Pareto.PNG.
Dina (2014) Lembar periksa. http://www.cqeacademy.com/wp-content/uploads/2014/01/Check-
Sheet_Expected.png.
Gasprez Vincent ( 2009) Production Planning and Inventory Control, Jakarta, Gramedia Pustaka utama
Nurhadi M ( 2013) Gugus Kendali Mutu. https://mnurhadi.wordprees.com/gkm.
Riana Sari Devi (2015) Diagram Tebar. https://www-users.york.ac.uk/~mb55/talks/rcr42.gif.
Riana Sari Devi (2015) Peta Kendali . http://menrvalab.com/wp-content/uploads/2015/03/112.jpg
Ulrich dan Eppinger (2005), Product design and development, Singapore, Mc Grawhill
Utami Siska. 2014. Histogram. https://www.mathsisfun.com/data/images/histogram.gif.
Wignjosoebroto Sritomo(2001) Ergonomi. Jakarta: Guna Widya.

142
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

EVALUASI IKLIM KESELAMATAN KERJA DENGAN MENGGUNAKAN


METODE NOSACQ-50 DI PT. PRIMARINDO ASIA INFRASTRUKTUR,
TBK.

Paulus Sukapto1, Harjoto Djojosubroto2, Bonita3


1,2,3
Fakultas Teknologi Industri, Program Studi Teknik Industri, Universitas Katolik Parahyangan
Jl. Ciumbuleuit 94, Bandung 40141
Email: paulussukapto@gmail.com

Abstrak

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui iklim keselamatan kerja. Iklim keselamatan merupakan
persepsi bersama antara manajemen perusahaan dan pekerja dalam menangani masalah
keselamatan dalam melakukan setiap kegiatan di perusahaan. Untuk mengukur iklim keselamatan di
suatu perusahaan dapat menggunakan metode The Nordic Occupational Safety Climate
Questionnaire (NOSACQ-50). Penelitian ini dilakukan di divisi produksi PT. PAI, Tbk terutama di
departemen laminating, departemen cutting, departemen sewing, departemen rubber, departemen
stock fitt, dan departemen assembly. Objek penelitian ini adalah supervisor dan pekerja di masing-
masing departemen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 10 masalah yang memiliki nilai
rata-rata iklim keselamatan lebih rendah secara signifikan. Dari kesepuluh masalah tersebut, akan
dilakukan analisis kondisi iklim keselamatan saat serta kaitannya dengan jumlah kecelakaan yang
terjadi di masing-masing departemen, dan dilanjutkan dengan penentuan usulan perbaikan iklim
keselamatan untuk meningkatkan iklim keselamatan di perusahaan.

Kata kunci: budaya keselamatan; iklim keselamatan; NOSACQ-50

Pendahuluan
Kecelakaan kerja pada umumnya disebabkan karena sistem kerja yang ada di perusahaan yang lemah
(O’Toole, 2002). Upaya yang dilakukan untuk mengurangi tingkat kecelakaan kerja yaitu dengan membuat solusi
teknis, regulasi, dan faktor manusia (Törner et al., 2008). Budaya keselamatan (safety culture) sangat ditentukan
oleh nilai, sikap, persepsi, dan pola perilaku yang dianut dalam suatu organisasi (Nordlöf et al., 2015, Antonsen,
2009, Guldenmund, 2010, dan Hopkins,1999).
Budaya keselamatan sangat dipengaruhi iklim keselamatan (safety climate). Iklim keselamatan merupakan
persepsi bersama antara manajemen perusahaan dengan pekerja dalam melakukan setiap aktivitas di perusahaan.
Penelitian dilakukan di PT. PAI yang mengasilkan sepatu olah raga. Perusahaan memiliki enam departemen,
yaitu laminating, cutting, sewing, rubber, stock fitt, dan assembly. Salah satu indikator keberhasilan perusahaan ini
adalah jumlah kecelakaan kerja. Data kecelakaan kerja PT. PAI dapat dilihat pada Tabel 1.
Tiga departemen (rubber, stock fitt, dan assembly) mengalami kenaikan kecelakaan kerja dari tahun ke tahun.
Hal ini menunjukkan bahwa masih terdapat masalah keselamatan yang belum diselesaikan dengan tuntas di
perusahaan.

Tabel 1.Jumlah Kecelakaan Kerja PT. PAI, Tbk


Tahun Jumlah
Departemen
2012 2013 2014 Kecelakaan

Laminating 0 0 0 0
Cutting 3 1 0 4
Sewing 20 8 5 33
Rubber 4 0 1 5
Stock Fitt 1 1 2 4
Assembly 3 0 5 8
TOTAL 31 10 13 54

143
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Berdasarkan data pada Tabel 1, maka tujuan penelitian ini mengetahui kondisi iklim keselamatan di
perusahaan saat ini serta kaitannya dengan jumlah kecelakaan kerja yang terjadi di perusahaan.

Objek penelitian
Objek penelitian adalah semua karyawan yang ada diperusahaan

Penentuan metode dan pengumpulan data


Kuesioner yang digunakan dalam penelitian adalah The Nordic Occupational Safety Climate Questionnaire
(NOSACQ-50). NOSACQ-50 merupakan kuesioner yang digunakan untuk mengevaluasi iklim keselamatan di suatu
perusahaan. Kuesioner NOSACQ-50 terdiri dari 50 pernyataan yang terbagi menjadi 7 dimensi, seperti yang dapat
dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Dimensi pada NOSACQ-50


Dimensi Makna
1 Prioritas keselamatan kerja manajemen
2 Pengembangan keselamatan kerja dari manajemen
3 Keadilan terhadap keselamatan kerja dari manajemen
4 Komitmen keselamatan kerja dari para karyawan
Prioritas keselamatan kerja dari karyawan dan sikap
5
tidak ingin ambil resiko keselamatan kerja
Komunikasi dan pelatihan keselamatan kerja
6 termasuk percaya terhadap kompetensi keselamatan
kerja dari rekan
7 Kepercayaan pekerja dalam sistem keselamatan kerja

Selain mengumpulkan data berupa kuesioner, penelitian juga membutuhkan data jumlah kecelakaan kerja
yang diperoleh dari data historis perusahaan seperti yang dapat dilihat pada Tabel 1. Kedua data tersebut akan diolah
dengan menggunakan pengujian hipotesis untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan.

Hasil dan Pembahasan


1. Departemen Laminating
Departemen laminating tidak memiliki rata-rata iklim keselamatan yang lebih rendah secara signifikan
dibandingkan dengan departemen lainnya. Berdasarkan data historis perusahaan, tidak pernah terjadi kecelakaan
kerja di departemen laminating. Namun, hal tersebut tidak menjamin bahwa pekerja telah melakukan pekerjaannya
dengan aman. Hal ini terlihat dari pekerja yang melakukan tindakan berbahaya saat berinteraksi dengan bahan-
bahan kimia. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa iklim keselamatan di departemen laminating belum
berjalan dengan optimal.

2. Departemen cutting
Departemen cutting memiliki nilai rata-rata iklim keselamatan yang lebih rendah secara signifikan
dibandingkan dengan supervisor seperti yang dapat dilihat pada Tabel 1.
Masalah 5: Pernyataan 12 membahas mengenai managemen yang mendorong pekerja untuk ikut
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang berdampak pada keselamatan kerja. Berdasarkan hasil
wawancara, pekerja di departemen cutting jarang ikut berpatisipasi dalam mengemukakan pendapatnya yang
berkaitan dengan keselamatan. Hal ini dikarenakan setiap pengambilan keputusan dilakukan oleh atasan sehingga
pekerja hanya dapat menerima keputusan yang telah ditentukan. Selain itu, pekerja juga tidak memiliki kesempatan
untuk mengemukakan pendapatnya kepada supervisor karena supervisor jarang mengadakan pertemuan dengan
pekerja

Tabel 3. Rekap pernyataan yang berbeda signifikan departemen cutting


Dimensi 12 30
Supervisor 3.1 2.71
Pekerja 3.36 2.91
p-value 0.046 0.039

144
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Masalah 6 : Pernyataan 30 membahas mengenai pekerja yang menganggap bahwa kecelakaan kerja ringan
sebagai bagian dari pekerjaan harian. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan, tidak adanya peraturan yang
mewajibkan pekerja di departemen cutting untuk menggunakan sarung tangan kain saat bekerja. Oleh sebab itu,
tidak sedikit pekerja yang tangannya terluka akibat terkena pisau pada cetakan cutting karena tidak menggunakan
sarung tangan. Akan tetapi, pekerja tidak mengeluhkan kecelakaan tersebut karena pekerja berpendapat bahwa luka
yang ditimbulkan hanya luka ringan yang dapat sembuh dalam waktu singkat.
Berdasarkan data historis perusahaan tingkat kecelakaan kerja di departemen cutting mengalami penurunan
dari tahun ke tahun. Hal ini dikarenakan adanya perubahan sistem kerja mesin yang dilakukan oleh managemen
perusahaan. Pada sistem kerja mesin yang lama, pekerja mengoperasikan mesin dengan cara menekan tombol up
dan tombol down seperti yang terlihat pada Gambar 1. Sistem kerja mesin ini memungkinkan pekerja untuk
mengoperasikan mesin potong hanya dengan menggunakan satu tangan. Oleh sebab itu, saat mesin potong tersebut
bergerak pekerja lupa untuk mengangkat sebelah tangannya yang lain sehingga tangan pekerja terjepit mesin.

Gambar 1. Sistem kerja mesin lama

Setelah kecelakaan tersebut terjadi, perusahaan segera melakukan tindakan perbaikan dengan mengganti
sistem kerja mesin yang lama menjadi sistem kerja mesin yang baru. Sistem kerja mesin yang baru mengharuskan
kedua tangan pekerja untuk memencet kedua tombol yang terletak di sebelah kanan dan kiri secara bersamaan
sehingga pekerja tidak lupa untuk mengangkat kedua tangannya saat mengoperasikan mesin seperti yang dapat
dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Sistem kerja mesin baru

3. Departemen sewing
Departemen sewing tidak memiliki rata-rata iklim keselamatan yang lebih rendah secara signifikan
dibandingkan dengan departemen lainnya. Berdasarkan data historis perusahaan, tingkat kecelakaan kerja di
departemen sewing mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Hal ini dikarenakan setiap lini produksi memiliki
ketua grup yang bertanggung jawab untuk mengawasi, membantu, dan melaporkan masalah yang dialami pekerja

145
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

kepada supervisor. Setiap proses dikerjakan lebih dari satu orang sehingga pekerja dapat saling mengingatkan untuk
bekerja secara hati-hati.

4. Departemen rubber
Pada departemen rubber, pekerja memiliki nilai rata-rata iklim keselamatan yang lebih rendah secara
signifikan dibandingkan dengan supervisor seperti yang dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Rekap pernyataan yang berbeda signifikan departemen rubber


Dimensi 4 29 38
Supervisor 2.74 2.74 3.1
Pekerja 2.92 2.95 3.28
p-value 0.028 0.021 0.033

Masalah 7 : Pernyataan 4 membahas mengenai managemen yang lebih mementingkan keselamatan


dibandingkan produksi. Menurut penuturan pekerja, target produksi yang diberikan oleh managemen perusahaan
terlalu tinggi sehingga pekerja dituntut untuk bekerja secara cepat. Meskipun telah diturunkan dari target produksi
sebelumnya, pekerja tetap merasa kesulitan sehingga tidak jarang target produksi tersebut tidak dapat tercapai.
Apabila target produksi tidak tercapai, supervisor di departemen rubber akan mengadakan pertemuan dengan
pekerja untuk membahas masalah tersebut. Hal ini membuat pekerja merasa takut sehingga pekerja cenderung lebih
mementingkan target produksi dibandingan dengan keselamatannya sendiri.
Masalah 8 : Pernyataan 29 membahas mengenai pekerja yang menganggap bahwa potensi bahaya sebagai hal
yang tidak dapat dihindari dalam bekerja. Hal ini terlihat dari mesin yang digunakan untuk membuat outsole sepatu
membutuhkan panas yang cukup tinggi, yaitu ± 170oC. Hal ini membuat suhu lingkungan di sekitar tempat kerja
lebih tinggi dibandingkan dengan suhu lingkungan lainnya. Selain itu, cetakan dies yang digunakan cukup berat dan
pekerja cukup sering mengangkat cetakan dies tersebut karena satu orang pekerja bertugas untuk menangani dua
mesin. Dengan kondisi lingkungan kerja yang beresiko tinggi untuk terjadi kecelakaan kerja dan alat keselamatan
yang kurang memadai mengakibatkan pekerja sering mengalami kecelakaan kerja ringan maupun berat, seperti
tangan pekerja yang mengalami luka bakar karena terkena panas dari cetakan dies dan jari tangan pekerja yang
terjepit cetakan dies.
Masalah 9 : Pernyataan 38 membahas mengenai pekerja yang memiliki kepercayaan yang tinggi satu sama
lain dengan rekan kerja untuk memastikan keselamatan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa target
produksi yang ditetapkan perusahaan cukup membebani pekerja sehingga pekerja cenderung lebih berfokus pada
pekerjaannya dan kurang peduli dengan keselamatan diri sendiri maupun lingkungan disekitarnya.
Berdasarkan hasil perhitungan uji hipotesis, departemen rubber memiliki nilai rata-rata iklim keselamatan
yang positif meskipun terdapat pernyataan yang memiliki perbedaan secara signifikan. Akan tetapi, berdasarkan
data historis perusahaan tingkat kecelakaan kerja di departemen rubber mengalami peningkatan di tahun 2013 ke
2014. Hal ini menandakan bahwa masih terdapat masalah yang belum terselesaikan dengan tuntas di departemen
rubber. Dengan target produksi yang cukup tinggi membuat pekerja harus bekerja secepat mungkin untuk
memenuhi target tersebut. Hal ini yang menyebabkan pekerja sering mengalami kecelakaan ringan maupun berat
seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Selain itu, tidak adanya tindakan perbaikan yang dilakukan oleh
managemen perusahaan mengakibatkan masalah tidak dapat terselesaikan dengan tuntas sehingga berpeluang besar
kecelakaan yang sama dapat terulang kembali.

5. Departemen stock fitt


Departemen stock fitt tidak memiliki rata-rata iklim keselamatan yang lebih rendah secara signifikan
dibandingkan dengan departemen lainnya. Akan tetapi, berdasarkan data historis perusahaan tingkat kecelakaan
kerja di departemen stock fitt mengalami peningkatan di tahun 2013 ke 2014. Hal ini menandakan bahwa masih
terdapat masalah yang belum terselesaikan dengan tuntas pada departemen stock fitt. Hal ini terlihat dari yang sering
mengalami kecelakaan kerja, seperti tangan pekerja terkena mata bor karena pekerja tidak menggunakan sarung
tangan pada saat bekerja. Akan tetapi, pekerja tidak melaporkan kecelakaan tersebut kepada supervisor sehingga
managemen perusahaan tidak dapat mendeteksi dan melakukan tindakan perbaikan sehingga berpeluang besar
masalah yang sama dapat terulang kembali.

6. Departemen assembly
Pada departemen assembly, pekerja memiliki nilai rata-rata iklim keselamatan yang lebih rendah secara
signifikan dibandingkan dengan supervisor seperti yang dapat dilihat pada Tabel 5.

146
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Tabel 5. Rekap pernyataan yang berbeda signifikan departemen assembly


Dimensi 30
Supervisor 2.72
Pekerja 2.91
p-value 0.048

Masalah 10 : Pernyataan 30 membahas mengenai pekerja yang menganggap kecelakaan kerja ringan sebagai
bagian dari pekerjaan harian. Berdasarkan hasil pengamatan, pekerja di departemen assembly tidak menggunakan
alat keselamatan saat bekerja. Pekerja berpendapat bahwa dengan menggunakan sarung tangan membuat pergerakan
pekerja menjadi kurang leluasa. Selain itu, pekerja juga mengatakan bahwa managemen perusahaan sudah jarang
menyediakan alat pelindung karena pekerja jarang menggunakan alat pelindung tersebut. Hal ini mengakibatkan
seringnya pekerja mengalami kecelakaan kerja ringan, seperti tangan pekerja yang terkena jarum jangka saat
memberi tanda pada upper sebagai batas pembentukan pola outsole dan tangan pekerja yang terkena mata bor saat
sepatu dari sisa proses pengeleman. Namun, pekerja tidak mengeluhkan hal tersebut karena pekerja berpendapat
bahwa hal kecelakaan kerja ringan merupakan salah satu resiko pekerjaan.
Berdasarkan data historis perusahaan tingkat kecelakaan kerja di departemen assembly mengalami
peningkatan di tahun 2013 ke 2014. Hal ini menandakan bahwa masih terdapat masalah yang belum terselesaikan
dengan tuntas di departemen assembly. Berdasarkan hasil wawancara, diketahui bahwa pekerja di departemen
assembly sering mengalami kecelakaan kerja ringan, antara lain tangan pekerja yang terluka akibat terkena mata
pahat saat membersihkan sepatu dari sisa lem dan tangan pekerja yang tertusuk jarum jangka saat memberi tanda
pada upper sebagai batas pembentukan pola outsole Namun, pekerja mengungkapkan bahwa kecelakaan tersebut
merupakan bagian dari resiko pekerjaan sehingga apabila pekerja terluka, pekerja tidak pernah melaporkannya
kepada supervisor.

Usulan perbaikan
Untuk masalah 1 dan 8, usulan perbaikan yang dapat diberikan, antara lain managemen perusahaan berhenti
menyalahkan pekerja setiap terjadi kecelakaan kerja. Hal ini dikarenakan budaya menyalahkan dapat menghambat
pelaporan, mengambat pemeriksaan menyeluruh dari kecelakaan dan proses pembelajaran karena masalah tidak
dapat dideteksi dan diperbaiki sehingga berpeluang besar kesalahan yang sama akan terulang kembali. Managemen
perusahaan seharusnya melakukan tindakan perbaikan di lingkungan kerja dengan menyediakan alat keselamatan
berupa sarung tangan kain yang dapat menutupi hingga ke bagian pergelangan tangan pekerja seperti yang terdapat
pada Gambar 3.

Gambar 3. Sarung tangan pelindung

Selain itu, memberikan penahan pada cetakan dies agar saat pekerja memasukan material, cetakan dies tidak
menutup secara tiba-tiba dan memberikan pembatas pada meja kerja supaya jari pekerja tidak tertimpa cetakan dies
pada saat pekerja menarik cetakan dies dari mesin seperti yang dapat dilihat pada Gambar 4.

147
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

3. Hal-hal yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kondisi iklim keselamatan di perusahaan, antara lain :
a. Tidak membudayakan sikap saling menyalahkan.
b. Melakukan tindakan perbaikan apabila ditemukan masalah secara langsung secepat mungkin.
c. Mengadakan diskusi terbuka dengan pekerja.

Saran
1. Perlu adanya sikap terbuka dalam penyelesaian masalah terutama iklim keselamatan kerja;
2. Perlu diteliti dengan baik terutama di Bagian Rubber yang mengalami peningkatan kecelakaan kerja.

Daftar Pustaka
O’Toole, M. (2002). The Relationship Between Employees’ Perceptions Of Safety And Organizational Culture.
Journal Of Safety Research, 33, 231-243.
Törner, M., Pousette, A., Kines, P., Mikkelsen, K. L., Lappalainen, J., Tharaldsen, J., & Tómasson, K. (2008). A
Nordic Questionnaire For Assessing Safety Climate (NOSACQ). Greece: Working on Safety Conference in
Crete.
Nordlöf, H., Wiitavaara, B., Winblad, U., Wijk, K., & Westerling, R. (2015). Safety Culture And Reason For Risk-
Taking At A Large Steel-Manufacturing Company: Invertigation The Worker Perspective. Safety Science,
73, 126-135. doi: 10.1016/j.ssci.2014.11.020

149
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

PENGARUH DESAIN KATUP UDARA PADA KARAKTERISTIK


PENCAMPURAN UDARA MOTOR BENSIN

IGA Uttariyani1*, Budi Rochmanto2 and Hari Setiapraja3


1,2,3
Balai Teknologi Termodinamika Motor dan Propulsi, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)
E-mail: a.uttariyani@bppt.go.id

Abstrak

Tuntutan teknologi engine modern adalah kinerja yang tinggi, ramah lingkungan dan hemat energi.
Berbagai kajian telah dilakukan untuk mencapai persyaratan tersebut seperti perbaikan pada sistem
sistem asupan udara, metoda pencampuran bahan bakar dan udara yang lebih homogen maupun
sistem katalitik converter pada keluaran gas buang untuk menekan kadar emisi yang dihasilkan.
Paper ini akan membahas optimasi pencampuran bahan bakar dan udara melalui berbagai desain
katup dengan saluran masuk/intake manifold yang tetap. Pengujian dilakukan pada rigtest yang
dirancang khusus untuk mengetahui kekuatan pusaran/swirl. Hasil pengujian menunjukkan bahwa
optimasi desain katup intake dengan saluran masuk diperlukan untuk mendapatkan nilai efisiensi
volumetrik yang ideal untuk mendapatkan kinerja motor bensin yang tinggi.

Kata kunci: Intake manifold; Katup; Motor Bensin; swirl

Pendahuluan
Semakin berperannya penggunaan motor bakar dalam berbagai bidang khususnya dalam bidang otomotif
telah mendorong perkembangan teknologi yang sudah ada. Salah satu permasalahan yang semakin banyak
mendapat perhatian adalah masalah pembakaran pada kendaraan bermotor. Apalagi dewasa ini muncul regulasi-
regulasi yang mengharuskan emisi kendaraan bermotor harus dibawah nilai yang telah ditetapkan oleh suatu negara
yang bersangkutan. Oleh karena itu berbagai desain atau penemuan terbaru yang berhubungan dengan proses
pembakaran yang ada pada mesin torak terus dikembangkan. Salah satu perbaikan yang dilakukan untuk
meningkatkan efektifitas dan efesiensi dalan proses pembakaran adalah mendesain suatu bentuk valve atau
modifikasi area cylinder head yang mampu menghasilkan bentuk pusaran udara yang masuk kedalam ruang bakar
yang optimal sehinggga mampu menghasilkan campuran bahan bakar yang cukup sempurna atau homogen. Proses
pencampuran yang lebih baik ini dapat menyempurnakan proses pembakaran. Dengan pembakaran yang sempurna
akan memberikan tenaga / daya yang optimal dan emisi gas buang yang sesuai dengan regulasinya international saat
ini. Pusaran udara itu biasa disebut dengan swirl. Swirl adalah aliran berputar yang dihembuskan ke dalam ruang
bakar melalui katup/valve yang terpasang pada cylinder head dengan suatu sumbu putar. Ada beberapa prinsip
dasar untuk menghasilkan bentuk swirl. Yang pertama adalah mendesain suatu bentuk valve sedemikian rupa
sehingga mampu mengalirkan udara pusar. Yang kedua adalah mendesain jalan masuk udara yang sebelum inlet
port dibuat bentuk lengkungan –lengkungan khusus untuk menginduksikan swirl. Metode lainnya adalah melalui
pengaturan posisi atau sudut dari pada inlet valve sehingga udara yang melaluinya menghasilkan bentuk pusaran
udara yang sesuai dengan desain konsep pembakarannya.
Ada beberapa bentuk port dan modifikasinya untuk menghasilkan bentuk pusaran udara yang sudah
dikembangkan saat ini :
1. Directed straight port
2. Deflector wall port
3. Masked valve port
4. Helical port
Gambar 1 menunjukkan proses induksi swirl pada motor bakar. Dari Gambar 1 terlihat bahwa pola aliran
tergantung dari jenis geometri katup dan dudukannya pada cylinder head sehingga hal ini menjadi komponen yang
harus di perhatikan ketika mendesain sistem katup untuk menghasilkan performance engine sesuai dengan yang
diharapkan.

150
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Gambar 1. Induksi swirl pada motor bakar

Selain modifikasi sistem katup, kekuatan swirl juga dapat dilakukan melalui modifikasi saluran katup masuk.
Kepala katup masuk diberikan tembok pengarah disetengah kelilingnya yang akan menimbulkan pusaran. Bahkan
saat ini banyak tambahan-tambahan desain pada inlet valve misalnya dengan penambahan sirip dan sebagainya
sehingga setelah dilakukan pengujian mampu menghasilkan bentuk swirl yang optimal. Gambar 2 menunjukkan
klasifikasi induction port untuk berbagai desain.

Gambar 2. Kasifikasi induction port untuk berbagai desain saluran katup

Dari suatu pengujian yang yang dilakukan untuk mengetahui angka swirl yang dihasilkan oleh suatu desain
valve pada suatu engine, sebenarnya banyak sekali parameter-parameter yang akan ditentukan untuk mengetahui
performance dari engine tersebut, selain kita perlu menguji lebih lanjut pada engine tersebut melalui suatu pengujian
performance engine, pengujian emisi gas buang dan lain-lain untuk mengetahui desain suatu valve tersebut bagus
atau optimal.
Dari nilai swirl yang dihasilkan tersebut ( dalam bentuk torsi udara masuk ) kita juga harus menghitung dan
mengukur parameter-parameter yang lain yang berhubungan untuk menentukan karakteristik dari pada pada engine
tersebut. Parameter-parameter tersebut antara lain :
- Kecepatan udara masuk
- Debit udara masuk
- Dimensi dan tinggi kenaikan/penurunan valve/ valve lift.
- Koefesien-koefesien, konstanta-konstanta yang berhubungan dengan paramater kecepatan, debit dan
dimensi serta valve lift .

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa nilai swirl sangat berpengaruh terhadap performance dari suatu
motor pembakaran dalam bahkan modifikasi angka swirl dilakukan untuk menyesuaikan konsep pembakaran sesuai
dengan bahan bakar yang akan digunakan. Hal ini karena angka swirl dapat berpengaruh kepada variasi tekanan dan
temperature dari campuran bahan bakar dan udara, energi kinetic turbulen dan kecepatannya serta dapat menaikkan

151
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

nilai equivalence ratio. Dengan demikian maka nilai swirl dapat secara ;angsung mempengaruhi nilai power
keluaran dari motor bakar, thermal efisiensi maupun emisi gas buang yang di hasilkan.

Bahan dan Metode Penelitian


Pada paper ini dicoba dilakukan perbandingan beberapa model valve dengan desain manifold standard untuk
engine 1500 cc dengan susunan silinder in-line. Variasi valve yang dilakukan diberikan pada Gambar 3, yaitu:
a) Model standard katup tanpa pengarah dengan saluran masuknya adalah type directed port.
b) Modifikasi katup standard dengan penambahan 6 buah sayap diatas busur katup dengan kemiringan 600 . dalam
hal ini modifikasi juga dilakukan dengan katup yang di lengkapi barrier dan bersayap pengarah(shrouded)

Gambar 3.Katup Pembangkit Pusaran Modifikasi dan Standar

Dua model diatas dipilih dipilih sebagai desain yang dianggap ekstrem untuk memberikan data hasil uji yang
dapat dijadikan patokan batas maksimal untuk optimasi desain pada lebih lanjut. Tujuan penelitian ini adalah desain
modifikasi valve yang mampu menghasilkan bilangan pusar (nilai swirl) yang optimal dengan meminimalkan
faktor- faktor yang bertolak belakang dengan nilai swirl tersebut, seperti tekanan masuk, temperatur dan lain-lain.
Sehingga dengan demikian tetap diharapkan mampu menghasilkan suatu bentuk campuran udara dan bahan bakar
yang sempurna, sehingga pembakaran lebih sempurna tanpa mengorbankan performance akibat turunnya nilai
koefisien aliran yang dapat menurunkan effisiensi volumetrik.

Metode Pengujian
Gambar 4 menunjukkan skematik diagram untuk pengukuran angka swirl pada suatu sistem katup and
cylinder motor pembakaran dalam. Momentum aliran udara yang melewati saluran masuk diukur oleh impuls swirl
meter type P7300 model 150. Alat pendukung lainnya antara lain alat ukur flow jenis Laminer Flow Meter ( LFM),
pengukur tekanan jenis Fluid Manometer type 4 Test Set. Rig atau aparatus diatur untuk mengkondisikan langkah
penghisapan dengan mengatur variable speed pada blower untuk diatur kecepatannya sehinggga aliran dapat kita
atur. Sketsa dapat kita lihat pada gambar dibawah. Konstruksi penyanggahan kepala silinder harus dibuat
sedemikaian rupa agar getaran yang terjadi tidak merusak instalasi yang ada. Untuk mensimulasikan aliran ke
dalam mesin harus dibuat silinder tiruan yang mempunayai diameter sama dengan diameter yang sebenarnya.
Untuk membuka katup dirancang mekanisme penggerak katup dengan pendorong katup yang menggunakan
ulir. Dalam pengukuran pusaran katup dibuka dan ditahan setiap 0,25 mm. Katup yang dibuka setiap 0,25 mm,
perbedaan tekanan yang terjadi antara udara luar dan dalam sinder dijaga konstan pada tekakan 250 mmH20 agar
kondisi turbulen penuh dapat dicapai. Pengaturan dilakukan dengan mengatur kecepatan putaran blower. Besarnya
laju momentum angular akan terbaca pada tampilan digital sebagai torsi.
Dengan modifikasi bentuk valve tersebut diharapkan mampu menghasilkan bilangan pusar ( nilai swirl ) yang
optimal dengan meminimalkan faktor- faktor yang bertolak belakang dengan nilai swirl tersebut, seperti tekanan
masuk, temperatur dan lain-lain. Sehingga dengan demikaian tetap diaharapkan mampu menghasilakan suatu
bentuk campuran udara dan bahan bakar yang sempurna, sehingga tenaga dan emisi gas buang yang dihasilkan
dapat optimal. Dalam hal ini, walaupun tidak ditinjau hasil pengujian performance engine dan uji emisi gas buang
desain valve yang besangkutan, disini dapat terlihat perbandingan karakteristik dan nilai dalam suatu paramater dari
desain valve yang bersangkutan dalam bentuk plot grafik dari beberapa model valve.

152
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Gambar 4. Susunan rig test untuk pengujian nilai swirl

Perhitungan dan persamaan yang dipergunakan dalam pengukuran nilai swirl adalah sebagai berikut:

- Effective velocity yang melewati port : (1)

dimana ρ adalah densitas pada kondisi inlet


ΔP umumnya diatur mendekati 254 mm H20 ( 2491 N/m2), mengacu pada kecepatan Vo ≈ 64,4 m/s
- Valve inner seta area, (2)

- Orifice area , (3)

Pada 0,125 L/D, untuk Ø=30o CF = 0,456


untuk Ø=45o CF = 0,367
Untuk kasus ideal CD = 1
- Discharge coefficien, (4)

- Flow coefficient berdasarkan gaya angkat (5)

- Non –dimensioanal valve lift, ( L/D)


- Non-dimensional rig swirl, (6)

Analisa dan Pembahasan


Gambar 5 menunjukkan grafik perbandingan non dimensional valve lift (L/D) dengan koefisien alisan Cf.
Secara keseluruhan untuk tingkat angkat katup L/D ≤ 0,15 , sistem pemasukan aliran memberikan kenaikan
koefesien aliran yang cenderung linear. Setelah melewati tinggi angkat katup kira-kira 0,15, memberikan efek
koefesien aliran yang membentuk parabola. Pada bukaan katup 0 ˂ L/D ˂ 0,1, luasan efektif aliran masih besar
sehingga aliran yang melewati katup akan meningkat lebih besar dibandingkan dengan aliran ketika pada bukaan
katup L/D ˃ 0,1. Pada bukaan katup L/D ˃ 0,1, aliran yang melewati dudukan katup tidak menempel pada kepala
dan dudukan katup, akibtanya aliran memberikan koefesien luasan Cd yang kecil, sehingga kenaikan koefesien
alirannya tidak sebesar pada 0 ˂ L/D ≤ 0,1.
Grafik katup bersayap pada L/D ≤ 0,08, memberikan koefesien aliran yang hampir berimpit dengan katup
standar. Hal ini disebabkan karena pada bukaan tersebut aliran masih melekat pada seluruh bagian yang dilewati
termasuk sayap-sayap diatas kepala katup dan juga disebabkan karena permukaan sayap tidak memberikan pengaruh
gesekan terlalu besar terhadap aliran. Tetapi pada L/D ≥ 0,08, koefesien aliran untuk katup bersayap mulai menurun
dibandingkan dengan katup standar. Ketika katup bersayap disimulasikan seperti dipakai pada mesin yang
sebenarnya dimana diletakkan manipol pada kepala silinder, koefesien alirannya menurun jika dibandingkan dengan
katup standar. Hal ini disebabkan sebagian besar karena adanya hambatan berupa manipol tersebut. Untuk bukaan
maksimal L/D = 0,25 penggunaan katup bersayap akan menurun koefesien aliran Cf sekitar 2,5 % terhadap katup
standar. Jika diperhatikan grafik katup shrouded, akibat dari pelat pengarahnya membuat membuat luasan efektif
dari katup standar berkuran 50 % sehingga koefesien alirannya turun secara signifikan. Katup shrouded
memberikan koefesien aliran paling buruk dibandingkan model yang lain.

153
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Gambar 5. Hasil pengukuran non dimentional valve lift dengan koefisien aliran

Apabila kita melihat efek katup terhadap koefisien aliran Cf, dapat terlihat dari katup standar bahwa efek
hambatan katup akan menghilang pada suatu titik tinggi angkat katup tertentu, dimana akan memberikan dampak
koefesian aliran yang konstan, yaitu pada koefesien aliran sekitar 0,62. Koefesien aliran yang konstan ini
merupakan akibat dari penurunan tekanan ΔP, yang diberiakan oleh sistem saluran pemasukan. Makin besar
hambatan pada sistem pemasukannya, maka koefesien alirannya akan konstan pada tinggi bukaan katup yang lebih
besar. Hal ini terlihat pada grafik untuk katup tipe shrouded dan katup bersayap.
Pada setiap grafik untuk tinggi angkat L/D = 0, koefesien alirannya seharusnya nol, karena belum ada aliran,
tetapi dalam pengukuran ini tidak nol. Hal ini akibat adanya kebocoran kecil pada sistem aparatus maupun sistem
pemasukan udara ketika proses pengukuran.
Gambar 6 menunjukkan grafik perbandingan non dimensional valve lift (L/D) dengan nilai swirl Nf. Untuk
katup standar, bilangan pusar yang dihasilkan dibangku uji adalah mewakili model saluran masuk yang digunakan
dalam pengujian ini, yaitu model kepala silinder standar. Bilangan pusar yang dihasilkan katup standar pada tiap
tinggi angkat katup merupakan yang terendah dibandingkan dengan model katup lain. Pada tinggi angkat katup L/D
≤ 0,1, katup membuka pada tinggi angkat yang kecil, maka C D akan naik karena luasan efektif aliran naik, sehingga
pusaran yang dihasilkan juga meningkat lebih tinggi.

Gambar 6. Hasil pengukuran non dimentional valve lift dengan nilai swirl

Dengan memberikan 6 sayap dengan kemiringan 60o, membuat pusaran pada katup standar melonjak sekitar
100 % pada bukaan katup L/D ≤ 0,09. Bukaan katup L/D ≥ 0,09, kenaikan bilangan pusar makin kecil dan
cenderung mendekati grafik katup standar. Hal ini terjadi karena pembangkitan pusaran karena saluran masuk tipe
directed port memberikan karakteristik pusaran tersendiri. Jika kedua pembangkit pusaran tersebut digabungkan,
maka pusaran yang terjadi merupakan resultan vektor kecepatan angular VØ dari masing-masing pembangkit
pusaran. Hal ini terbukti pada grafik, dimana karena katup bersayap memberikan pembangkitan yang lebih besar
maka pada bukaan kecil, pusaran dari katup bersayap tidak terlalu terganggu oleh saluran yang ada. Tetapi efek
resultan keduanya terlihat pada bukaan katup makin besar, dimana kenaikan bilangan pusar cenderung menuju
grafik katup standar. Ditambah lagi pada bukaan besar kecepatan aksial dari aliran keluar katup turut membuat
kecepatan angular aliran menurun.
Apabila katup bersayap diletakkan dikepala silinder yang menggunakan manipol, kenaikan bilangan pusar
sepanjang tinggi angkat katup cenderung stabil terhadap katup standar yaitu sekitar 40% - 50%. Sayap yang
diletakkan diatas katup dengan kemiringan sayap tertentu adalah untuk mengarahkan aliran yang melewati katup

154
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

agar membentuk kecepatan arah tangensial yang besarnya diatur melaluhi jumlah sayap dan sudut kemiringan.
Kecepatan arah tangensial inilah yang menimbulkan momentum angular.
Katup yang diberi pelat pengarah (shrouded valve) kelihatan tidak terganggu terhadap pusaran yang
dihasilkan oleh saluran masuk. Pada bukaan L/D ≤ 0,05, efek pembangkitan pusaran yang dihasilkan terhadap
katup standar tidak terlalu berarti jika dibandingkan dengan model katup lain. Pada L/D ˃ 0,05, efek pembangkitan
pusarannya meningkat secara signifikan meninggalkan bilangan pusar katup tipe yang lain. Dapat dikatakan,
shrouded valve yang digabungkan dengan saluran masuk tipe directed akan menaikan bilangan pusar secara
signifikan, karena shrouded valve mempunyai sifat pembangkitan yang berbeda yaitu hanya membangkitkan
kecepatan angularnya.

Kesimpulan
Katup shrouded yang dikombinasiakan dengan saluran tipe directed akan memberikan bilangan pusar yang
lebih tinggi dibandingkan dengan model lain, tetapi menghasilkan koefisien aliran yang paling rendah. Saluran
directed yang tidak diberi katup pembangkit akan menghasilkan bilangan pusar yang rendah tetapi koefesien aliran
nya cukup tinggi. Kombinasi antara Katup bersayap dengan saluran masuk pembangkit pusaran karena belum tentu
dapat mencapai hasil yang diinginkan. Pembangkitan pusaran biasanya menurunkan koefesian aliran yang berarti
menurunkan efisiensi volumetris. Sehingga untuk aplikasi katup bersayap pada mesin akan lebih sesuai dengan
saluran masuknya yang lurus.
Hasil kajian ini hanya bisa dipakai sebagai perancangan sistem pembangkit pusaran saja. Padahal dalam hal
perancangan mesin , yang terpenting adalah kinerja yang dihasilkan oleh motor pembakaran dalam, Jadi masih
merupakan tantangan lebih lanjut untuk menguji pengaruh pusaran yang dihasilkan dengan kinerja/power dan emisi
gas buang dari sistem motor bakar. Hal ini dikarenakan karena nilai swirl yang besar dari bangku uji, belum tentu
memberikan performansi yang optimal pada suatu mesin.

Daftar Notasi (satuan harus menggunakan sistem Satuan Internasional (SI))


A = area pada valve inner seat
AV = orifice area antara valve head dan dudukan pada low valve lifts
B = cylinder bore
D = inner seat diameter
τ = impulse meter torque, angular momentum flux
L = valve lift
m = air mass flow rate memeluhi port
n = jumlah inlet valve
Q = volume flow terukur pada flowmeter
ΔP = total pressure drop yang melaluhi port
Ρ = densitas udara

Daftar Pustaka
Ahmed E.E Khalil, Aswani K. Gupta, (2014), "Toward distributed combustion for ultra low emission vehicle using
swirling and non swirling flow field" Applied energy 121 (2014), pp. 132-139.
Cusson Technology, (1998), “Instructio Manual Port Flow Rigs”
Cusson Technology, (1998), “LTMP Indonesia air calibration rig operating manual”
E. Parathan, A. Ramesh, B. Nagalingam, (2013), "Effect of swirl on performance and combustion of a biogas
fuelled spark ignition engine" Energy Conversion and Management 76 (2013), pp. 463-471.
H. Burbuz, Ismail H. Akcay, D. Buron, (2014), " An investigation on effect of in cylinder swirl flow on performance
combustion and cyclic variation in Hydrogen fuelled spark ignition " Journal of energy institute 87 (2014),
pp. 1-10.
H. Zhung, David L.S. Hung, (2014), "Characteriszation of the effect of air swirl motion on time resolved in cylinder
flow using quadruple proper orthogonal decomposition" Energy Conversion and Management 108 (2016),
pp. 366-376.
Heywood J.B, (1998), "Internal Combustion Engine Fundamental" New York McGraw-Hill,Inc., 1988
Idris Saad, Saiful Bari, (2014), "Guide vane swirl and tunble device to improve in-cylinder air flow of Compression
Ignition engine using vegetable oil" Procedia engineering 90 (2014), pp. 425-430.
Kern Y. Kang, Rolf D reitz, (1994), "The effect of intake valve alignment on swirl generation in a Direct Injection
Diesel Engine" Experimental thermal and fluid science, Vol. 20 (1994) pp. 94-103.

155
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

RANCANG BANGUN KARDUS PACKAGING LAPTOP MULTIFUNGSI


DENGAN MENGGUNAKAN DATA ANTROPOMETRI
(RABU ANTER KAPACK LATIF)

Mohamad Danny Haryanto1, Muhammad Luthfi Saqqo2


1,2
Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Surakarta
Jl. A.Yani Tromol Pos I Pabelan Kartasura 57102 Telp 0271 717417
Email: dannyharyan9@gmail.com

Abstrak

Kemasan atau kardus packaging laptop merupakan media yang digunakan untuk memuat dan
menjaga laptop agar terhindar dari kecacatan pada saat proses penyimpanan dan pengiriman
berlangsung. Selain itu kardus packaging juga dibutuhkan dalam kegiatan pemasaran karena dapat
digunakan untuk menarik perhatian konsumen. Namun setelah produk laptop sampai ditangan
konsumen kardus packaging tidak digunakan lebih lanjut atau tidak difungsikan lagi bahkan dibuang
dan dapat menjadi sumber sampah anorganik. Hal ini sangat disayangkan mengingat ribuan kardus
laptop yang tidak terpakai dapat menjadi sumber masalah sosial dan bencana alam. Oleh karena itu,
penelitian ini bertujuan untuk membuat rancang bangun Kardus Packaging yang memiliki nilai guna
yang lebih besar serta memanfaatkan kembali barang bekas menjadi produk yang lebih bernilai
ekonomi. Penelitian rancang bangun Kardus Packaging laptop ini pada tahap selanjutnya disebut
sebagai KAPACK. Kegiatan penelitian ini diawali dengan melakukan observasi lapangan dan analisa
keinginan konsumen, kemudian menganalisa produk setipe yang sudah ada, menetapkan data apa
saja yang dibutuhkan seperti data antropometri masnusia Indonesia 50%, lalu membuat rancangan
konseptual dan desain 3D KAPACK berdasarkan customer needs sehingga didapatkan desain
KAPACK dengan ukuran Tinggi Bidang Kerja: 249 mm, Tebal KAPACK: 145 mm, Tinggi Kaki
KAPACK: 124 mm, Tinggi Kover Atas: 566 mm, Lebar KAPACK: 350 mm, Panjang KAPACK: 450
mm, Diameter Handle: 40,6 mm, Panjang Handle: 130 mm. Manfaat yang didapat oleh konsumen
yaitu, konsumen tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan untuk membeli meja laptop, speaker,
cooling pad serta tas laptop karena semua produk tersebut sudah dikemas dalam satu produk
KAPACK.

Kata kunci: antropometri; ergonomi; kapack laptop; rancang bangun

Pendahuluan
Latar belakang
Dunia industri pada saat ini mengalami perkembangan yang sangat pesat, baik perkembangan di bidang
teknologi, makanan, informasi dan sebagainya. Perkembangan di bidang teknologi dan informasi menjadikan suatu
perusahaan di dunia berusaha untuk menjadi yang terbaik, hal ini sejalan dengan permintaan kertas ataupun kardus
pada indutri yang bersangkutan.
Industri teknologi informasi akan berusaha mengemas produk dengan baik dan aman, untuk meminimalisir
terjadinya kecacatan produk saat produk berada di tangan konsumen. Sejalan dengan hal itu permintaan akan
industri packaging juga ikut meningkat. Packaging menjadi hal utama dalam melakukan kegiatan distribusi dimana
pada desain packaging dibutuhkan bahan yang kuat dan awet untuk menjaga kondisi produk dari hal-hal yang dapat
menyebabkan terjadinya kecacatan pada produk (Danger, 1992).
Selain pada inovasi produk, perusahaan juga dituntut untuk berinovasi pada kardus packaging agar pelanggan
tertarik dan terpuaskan dari kemasan produk yang menarik (Danger, 1992). Universitas Muhammadiyah Surakarta
(UMS) merupakan salah satu perguruan tinggi yang berada di wilayah Surakarta dengan mahasiswa 6000-8000
untuk angkatan 2016 (SaputroS, 2016). Hal itu menjadikan UMS sebagai perguruan tinggi dengan jumlah
mahasiswa yang besar. Kondisi ini berdampak pada lingkungan sekitar UMS yang mayoritas memiliki usaha service
dan jual beli laptop, sebagian besar laptop yang di service ataupun dijual tidak ada kardus packaging. Kardus
packaging pada laptop mayoritas hilang karena kurang dimanfaatkan dengan baik oleh konsumen, hal ini
berdampak pada harga laptop saat akan dijual.

156
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Diketahui kardus Packaging selama ini hanya digunakan sebatas pada packaging suatu produk ataupun
bahan properti. Pada dasarnya setelah produk laptop sampai ditangan konsumen kardus packaging laptop hanya
diletakan pada gudang ataupun tempat penyimpanan barang dan kurang dimanfaatkan kembali oleh konsumen,
bahkan dibuang ataupun hilang. Oleh karena itu peneliti mengusung tema “Desain Produk Ergonomis dan Ramah
Lingkungan” pada penelitian ini.
Peneliti menggagas konsep “Desain Produk Ergonomis dan Ramah Lingkungan” karena dengan adanya
penambahan nilai guna pada suatu produk bekas diharapkan dapat menjadi alternatif untuk mengurangi eksplorasi
sumber daya alam secara berlebih. Seperti penelitian untuk memanfaatkan barang bekas menjadi media belajar
siswa IPA di Mamuju Utara (Pasaribu dkk. 2014). Selain itu penelitian pada Uji Coba Distalasi dari barang bekas di
MAN II Yogyakarta. (Putri, 2013). Dari beberapa penelitian sebelumnya menunjukan bahwa dengan adanya
pemanfaatan barang bekas dapat mengurangi sedikit penggunaan bahan alam. Selain itu dengan memanfaatkan
barang bekas diharapkan lebih ergonomis dalam memaksimalkan nilai guna dari suatu produk.
Peneliti berusaha membuat rancang bangun design pada packaging laptop, hal ini dikarenakan produk laptop
merupakan salah satu produk yang diminati oleh masyarakat setelah produk smartphone (Hansen, Liputan6.com)
selain itu packaging laptop memiliki ukuran yang relatif lebih besar sehingga dapat dimanfaatkan untuk pembuatan
produk yang lebih bermanfaat. Peneliti mengusulkan produk Kardus Packaging (KAPACK ) yang ergonomis dan
efisien.
Peneliti mengusung konsep ergonomis karena dalam produk ini peneliti menambahkan tempat mouse, tempat
speaker dan lain-lain. Selain itu peneliti menambahkan unsur estetika dan style yang dimiliki produk saat digunakan
serta akan menambah nilai prestis pengguna. mengurangi jumlah sampah kardus packaging laptop. Produk ini juga
disesuaikan dengan ukuran antropometri tubuh konsumen. KAPACK dapat dijadikan sebagai meja lipat yang
fleksibel, oleh karena itu harus desesuaikan dengan dimensi pengguna untuk meminimalisir risiko terjadinya cidera.
Adanya kebutuhan pendukung dalam satu produk diharapkan konsumen akan memanfaatkan produk ini, selain itu
dengan memanfaatkan produk bekas, akan berdampak pada pengurangan penebangan kayu yang digunakan sebagai
bahan untuk membuat kertas ataupun kardus. Selain itu konsumen akan lebih merasa puas karena produk pendukung
seperti mouse, speaker, meja laptop hadir dalam satu paket, sehingga konsumen tidak perlu mengeluarkan biaya
lebih untuk pembelian produk pendukung.
Utara (Pasaribu dkk. 2014). Selain itu penelitian pada Uji Coba Distalasi dari barang bekas di MAN II
Yogyakarta. (Putri, 2013). Dari beberapa penelitian sebelumnya menunjukan bahwa dengan adanya pemanfaatan
barang bekas dapat mengurangi sedikit penggunaan bahan alam. Selain itu dengan memanfaatkan barang bekas
diharapkan lebih ergonomis dalam memaksimalkan nilai guna dari suatu produk. Peneliti berusaha membuat
rancang bangun design pada packaging laptop, hal ini dikarenakan produk laptop merupakan salah satu produk yang
diminati oleh masyarakat setelah produk smartphone (Hansen, Liputan6.com) selain itu packaging laptop memiliki
ukuran yang relatif lebih besar sehingga dapat dimanfaatkan untuk pembuatan produk yang lebih bermanfaat.
Peneliti mengusulkan produk Kardus Packaging (KAPACK ) yang ergonomis dan efisien.
Peneliti mengusung konsep ergonomis karena dalam produk ini peneliti menambahkan tempat mouse, tempat
speaker dan lain-lain. Selain itu peneliti menambahkan unsur estetika dan style yang dimiliki produk saat digunakan
serta akan menambah nilai prestis pengguna. mengurangi jumlah sampah kardus packaging laptop. Produk ini juga
disesuaikan dengan ukuran antropometri tubuh konsumen. KAPACK dapat dijadikan sebagai meja lipat yang
fleksibel, oleh karena itu harus desesuaikan dengan dimensi pengguna untuk meminimalisir risiko terjadinya cidera.
Adanya kebutuhan pendukung dalam satu produk diharapkan konsumen akan memanfaatkan produk ini, selain itu
dengan memanfaatkan produk bekas, akan berdampak pada pengurangan penebangan kayu yang digunakan sebagai
bahan untuk membuat kertas ataupun kardus. Selain itu konsumen akan lebih merasa puas karena produk pendukung
seperti mouse, speaker, meja laptop hadir dalam satu paket, sehingga konsumen tidak perlu mengeluarkan biaya
lebih untuk pembelian produk pendukung.

Alat dan Bahan


Alat yang Digunakan:
Tabel Data antropometri Peralatan Tulis
Penggaris Laptop dengan Aplikasi 3D
Kertas

Bahan yang Digunakan:


Kardus Laptop Baterai
Speaker Laptop
Mouse Coolpad

157
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Papan Kayu Charger Laptop


Besi

Metode Penelitian
Metode yang digunakan pada penelitian ini yaitu menggunakan pendekatan ergonomi. Dimana ergonomi
merupakan sebuah studi yang tersistem dengan menggunakan berbagai informasi - informasi tentang sifat,
kemampuan, keterbatasan manusia guna mendesain sebuah sistem kerja yang mendukung kehidupan dan pekerjaan
manusia. (Sutalaksana, 1979). Ergonomi memiliki prinsip dasar yaitu fitting the task to the man, yang memiliki arti
bahwa pekerjaan atau lingkungan pekerjaan harus disesuaikan dengan kemampuan dan keterbatasan manusia /
pekerja sehingga tujuan atau target dapat tercapai dan pekerjaan lebih produktif. (Grandjean, 1993). Perancangan
produk pada penelitian ini menggunakan data antropometri tubuh Mahasiswa Teknik Industri UMS. Adapun
tahapan penelitian yang dilaksanakan yaitu:

Gambar 1. Metodologi penelitian

158
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Adapun data antropometri yang digunakan yaitu:


1. Tinggi Siku Duduk: Subyek tegak dengan lengan atas vertikal disisi badan dan membentuk sudut siku – siku
dengan lengan bawah. Ukur jarak vertikal dari permukaan alas duduk sampai ujung bawah siku kanan.
2. Tinggi Bahu Duduk: Subyek duduk dan diukur jarak vertikal dari permukaan alas duduk sampai ujung tulang
bahu yang menonjol.
3. Tinggi Mata Duduk: Subyek dudu dan diukur jarak vertikal dari permukaan alas duduk sampai ujung mata
bagian dalam.
4. Panjang Lengan Bawah: Subyek berdiri tegak dengan tangan disamping dan diukur jarak dari siku sampai
pergelangan tangan.
5. Panjang Telapak Jari: Diukur dari ujung tengah sampai pangkal pergelangan tangan.
6. Jangkauan Tangan ke Depan: Subyek berdiri tegak dengan betis dan pantat (bagian samping kiri badan)
merapat kedinding, tangan direntangkan secara horizontal kedepan dan diukur jarak horizontal dari punggung
sampai ujung jari tengah.
7. Diameter Genggaman Tangan: Dikur garis tengah.
8. Lebar Tangan: Diukur dari ujung tengah sampai pangkal pergelangan tangan.

Hasil dan Pembahasan


Obyek penelitian yang digunakan yaitu kardus packaging Laptop merk Asus yang dapat dibuka kover
atasnya. Adapun hasil dan pembahasan penelitian ini sebagai berikut:
Tabel 1. Elemen dan Dimensi KAPACK
Persentil
No Elemen KAPACK Dimensi Lain -
50 95
lain
1 Tinggi Bidang Kerja Tinggi Siku Duduk 249 mm
Tebal Laptop 14 inchi + Kover + Cool Pad + Kover
2 Tebal KAPACK 145 mm
Bawah
Tinggi Kaki
3 (Tinggi Siku Duduk - Tebal KAPACK) / cosine 15 124 mm
KAPACK
4 Tinggi Kover Atas Tinggi Bahu Duduk 566 mm
Kondisi Terbuka 90 Harus Kurang dari Tinggi Mata Duduk 745 mm
5 Lebar KAPACK Lebar Laptop 14 inchi + Allowance 350 mm
Harus Kurang dari Panjang Lengan Bawah (257 mm)
+ 397 mm
Panjang Telapak Tangan (135 mm)
6 Panjang KAPACK Panjang Laptop 14 inchi + Allowance 450 mm
Harus Kurang dari Jangkauan Tangan ke Depan 757 mm
40,6
7 Diameter Handle Diameter Genggaman Tangan
mm
127
Panjang Handle Lebar Tangan + Allowance 130 mm
mm

159
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Gambar 2. KAPACK tampak depan, samping, atas

Gambar 3. KAPACK tampak 3D

Kesimpulan
Dari penelitian yang telah dilakukan didapatkan hasil dan kesimpulan yaitu, KAPACK merupakan sebuah
inovasi rancang bangun kardus untuk packaging yang ramah lingkungan. KAPACK memiliki berbagai macam
kelebihan yakni, adanya penopang atau kaki dimana KAPACK bisa dijadikan meja laptop atau meja belajar,
dilengkapi dengan speaker, mouse, cooling pad, tatakan untuk lembar tugas, tatakan mouse, baterai sebagai sumber
daya mandiri, serta memiliki nilai estetika yang futuristic dan classic karena berbentuk koper. KAPACK juga
dirancang dengan mempertimbangkan konsep ergonomi dan ukuran antropometri tubuh pengguna dengan maksud
agar pengguna merasa nyaman, praktis dan terhindar dari cidera yang mungkin terjadi pada penggunaan dalam
jangka panjang. KAPACK sendiri juga dirancang untuk menjadi produk yang memiliki sifat sustainable dimana
produk ini dapat digunakan secara berkelanjutan serta dapat didaur ulang untuk menjadi produk baru. Produk ini
dapat didaur ulang karena bahan baku utama KAPACK adalah kardus single wall dengan nilai tekanan bursting test
sebesar 14 kgf/cm2 yang berarti cukup kuat untuk menahan tusukan, tekanan serta terjatuh. Setelah dilakukan

160
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

penelitian berdasarkan antropometri didapatkan desain KAPACK dengan ukuran Tinggi Bidang Kerja: 249 mm,
Tebal KAPACK: 145 mm, Tinggi Kaki KAPACK: 124 mm, Tinggi Kover Atas: 566 mm, Lebar KAPACK: 350
mm, Panjang KAPACK: 450 mm, Diameter Handle: 40,6 mm, Panjang Handle: 130 mm. Manfaat yang didapat
oleh konsumen yaitu, konsumen tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan untuk membeli meja laptop, speaker,
cooling pad serta tas laptop karena semua produk tersebut sudah dikemas dalam satu produk KAPACK yang
diproduksi oleh perusahaan, sehingga akan lebih hemat, ergonomis, efektif serta efisien. Diusungnya konsep desain
produk yang ergonomis serta ramah lingkungan bertujuan untuk memberikan rekomendasi kepada perusahaan-
perusahaan agar lebih memperhatikan aspek ramah lingkungan terhadap produk-produk untuk memenuhi
kebutuhan konsumen.

Daftar Pustaka
Cenadi, C. Suharto. 2000. Peranan Desain Kemasan Dalam Dunia Pemasaran. NIRMANA VOL. 2, No. 1.
Universitas Kristen Petra. Surabaya.
Danger, Eric P. 1992. Selecting Colour for Packaging. England. Gower Technical Press Ltd. Gelbert dkk. 1996.
Konsep Pendidikan Lingkungan Hidup dan “Wall Chart”. Buku Panduan Lingkungan Hidup,
PPPGT/VEDC. Malang.
Kotler dan Amstrong. 2001. Prinsip-prinsip Pemasaran. Edisi keduabelas. Jilid 1. Erlangga. Jakarta.
Natadjaja, L. 2002. Pengaruh Komunikasi Visual Antar Budaya Terhadap Pemasaran Produk Ditinjau dari
Warna dan Ilustrasi Desain Komunikasi. Universitas Kristen Petra. Surabaya.
Pasaribu dkk. 2014. Pemanfaatkan Barang Bekas Menjadi Media Belajar Siswa IPA di Mamuju Utara. (Online)
(Http://jurnal.untad.ac.id/jurnal/index.php/JKTO/article/view/2871,diakses 08 September 2016)
Putri, Sofi. 2013. Uji Coba Distalasi dari barang bekas di MAN II Yogyakarta.
(Online).(Http://digilib.uinsuka.ac.id/12218/1/BAB%20I,%20V,%20DAFTAR%20%20PUSTAKA,
diakses 07 September 2016).
Republik Indonesia. 2008. Undang-Undang No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Jakarta: Sekretariat
Negara.
Sismanto, Andik. 2016. Awal Tahun Penjualan Kompter Membaik. (Online).
(http://autotekno.sindonews.com/read/1077785/123/awal-tahun-penjualan-komputer-membaik-453028603,
diakses tanggal 13 September 2016).
Saputro, Imam. 2016. Jumlah Pendaftar UMS Melonjak (Online). (http://solo.tribunnews.com/2016/06/30/jumlah-
pendaftar-melonjak-kuotadokteran-di-ums-sudah-penuh, diakses tanggal 09 September 2016

161
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

PENERAPAN METODE QUALITY FUNCTION DEPLOYMENT (QFD)


PADA PENGEMBANGAN PRODUK LOCKER

M Kumroni Makmuri1, Amiluddin Zahri2


1,2
Program Studi Teknik Industri, Fakultas Teknik, Universitas Bina Darma
Jl. A Yani No 3 Palembang 30263
Email: kumroni@binadarma.ac.id

Abstrak

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mendisain alat bantu bagi truk pengangkut hasil
perkebunan untuk mengatasi hambatan prasarana jalan perkebunan yang rusak sesuai dengan
kebutuhan dan keinginan konsumen. Pengunci gardan (differential locker) merupakan salah satu alat
bantu yang dapat digunakan untuk mengatasi prasarana jalan perkebunan yang rusak. Locker dapat
diterapkan pada gardan truk sehingga saat melintas lumpur atau tanah licin, tenaga akan tersalur ke
pada kedua roda secara merata. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan disain
produk locker sesuai dengan kebutuhan dan keinginan konsumen. Dalam pembuatan locker ini,
produsen harus mengetahui kebutuhan dan keinginan konsumen melalui metode Quality Function
Deployment (QFD). bBerdasarkan hasil penelitian yang dilakukan ternyata konsumen lebih menyukai
produk locker manual (353) berbanding otomatis (125,42). Beradasarkan urutan kepentingan,
kemudahan bongkar pasang urutannya 1, Bahan baku yang baik urutannya 2, dan disain produk
urutannya 3. Sedangkan hasil rancangan proses produksi Locker berdasarkan prioritas adalah
pemilihan jenis bahan dengan nilai 49%, prioritas ke dua pembuatan alat dengan nilai 25%,
prioritas ke tiga pemilihan lampu indikator dengan nilai 15 %.Hasil penelitian ini diharapkan dapat
menambah hasil rekayasa teknologi sederhana berbasis informasi konsumen dan bermanfaat baik
bagi produsen maupun bagi pengguna dalam hal ini adalah pengemudi truk perkebunan.

Kata kunci: disain produk; differential; locker; Quality Function Deployment

Pendahuluan
Sumatera selatan merupakan provinsi yang terletak di lintang pada posisi antara 102 º 40′ 0″-103º 0′ 0″ bujur
timur dan 3º 4′ 10″ – 3º 22′ 30″ lintang selatan memiliki sumber daya alam yang begitu melimpah. Salah satu
sumber daya alam provinsi ini adalah memiliki sumber daya perkebunan seluas 1.878.983 ha yang merupakan
perkebunan milik rakyat dan perusahaan, terdiri dari perkebunan karet, kelapa sawit, tebu, kopi, kelapa, lada dan
lainnya dengan total produksi 4.040.150 ton. Ada empat komoditas perkebunan yang dominan yaitu kelapa sawit,
karet, kopi dan kelapa. Keempat komoditas tersebut tersebar hampir tersebar di semua kabupaten/kota di Sumatera
Selatan. Hasil perkebunan tersebut tidaklah berarti apabila tidak ditunjang oleh sarana dan prasarana transportasi
yang memadai. Kondisi nyatanya jalan sebagai salah satu prasarana transportasi di perkebunan sebagian besar rusak
dan sukar untuk dilalui. Perbaikan sarana transportasi merupakan solusi kelangsungan kontribusi sektor ini terhadap
perekonomian. Sarana transportasi yang dimaksud adalah kendaraan. Dalam penelitian ini, peneliti mencoba untuk
mendisain alat bantu kendaraan yang dapat digunakan mengatasi kondisi jalan rusak yang ada di perkebunan.
Locker atau differential Locker merupakan salah satu cara yang dapat digunakan oleh kendaraan mengikat kedua
roda yang terdapat dalam as roda sehingga kedua roda tersebut dapat berputar secara bersamaan. Tujuan dari
penelitian ini adalah (1) Mendapatkan alat bantu yang dapat meningkatkan kemampuan kendaraan dalam mengatasi
rintangan jalan yang rusak, (2) Meningkatkan pendapatan petani pekebun dikarenakan sistem distribusi hasil
perkebunan yang lancar, (3) Meningkatkan pendapatan pengrajin bengkel melalui pembuatan alat bantu locker, (4)
Menambah jumlah item spart part yang beredar dipasaran dan (5) Meningkatkan kreatifitas dalam mengembangkan
produk.
Mengingat keterbatasan waktu, biaya dan tenaga serta fasilitas dari peneliti, maka ruang lingkup penelitian
ini dibatasi hanya menerapkan metode Quality Function Deployment (QFD) untuk menentukan kebutuhan dan
keinginan konsumen sebagai dasar dalam pengembangan produk locker dimaksudkan untuk menyederhanakan dan
mengarahkan penelitian.
Tempat penelitian yang dipilih adalah di pool angkutan truk perkebunan kelapa sawit PTP X kabupaten
Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan. Sedangkan waktu penelitian dilakukan pada bulan Januari – Oktober 2016.

162
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Metode Penelitian
Dalam pandangan perusahaan yang berorientsasi pada keuntungan (Profit Oriented Enterprise), kesuksesan
perancangan dan pengembangan produk ditentukan oleh (Ulrich dan Eppinger, 2005:3).
1. Kualitas Produk
2. Produk yang harus dapat memuaskan keinginan konsumen, reliable dan robust (kuat). Kualitas produk pada
akhirnya akan mempengaruhi pangsa pasar dan menentukan harga yang ingin dibayar oleh pelanggan untuk
produk tersebut.
3. Biaya
4. Apakah yang dimaksud dengan biaya manufaktur dari produk? Yaitu biaya untuk modal peralatan dan alat
Bantu serta biaya produksi setiap unit produk. Produk harus dapat di produksi dengan biaya yang murah. Biaya
produk meliputi seluruh biaya produksi dan biaya yang melibatkan investasi biaya peralatan dan tooling.
5. Waktu Pengembangan.
6. Kecepatan perancangan dan pengembangan produk akan sangat menentukan kesuksesan produk. Waktu
pengembangan yang cepat akan menyebabkan produk masuk pasar lebih awal daripada pesaing, akibatnya
produk akan memimpin pasar.
7. Biaya Pengembangan
8. Berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk mengembangkan produk? Biaya pengembangan biasanya
merupakan salah satu komponen yang penting dari investasi yang dibutuhkan untuk mencapai profit.
Ketersediaan biaya pengembangan akan memperlancar proses perancangan dan pengembangan produk
sehingga akan mempercepat waktu perancangan dan pengembangan produk.
9. Kemampuan Pengembangan
10. Perancangan dan pengembangan produk akan dapat bekerja secara efisien jika sumber daya manusia yang ada
menguasai setiap spesialisasi keilmuan dan dilengkapi oleh peralatan yang memadai.
Sebelum data diolah dan dianalisa menurut prosedur penelitian, data mentah yang didapat dari kuesioner
dilakukan test Kecukupan Data. Jika besarnya N’ kurang dari N maka sampel yang diambil sudah mencukupi,
dengan kata lain sampel yang diambil telah mewakili populasi yang diamati. Dan sebaliknya jika N’ > N, maka
sampel yang diambil dikatakan belum mencukupi sehingga perlu dilakukan pengambilan sampel lagi atau
menambah sejumlah sampel hingga akhirnya mencukupi. Hal ini dimaksudkan agar diperoleh data yang bersifat
representatif untuk dilakukan proses pengolahan selanjutnya.
Langkah-langkah metode pengolahan data menggunakan metode QFD adalah : (Couhen Lou, 2005 : 102-
117)
a. House Of Quality (HOQ)
Penerapan metodologi QFD dalam proses perancangan produk diawali dengan pembentukan matrik
perencanaan produk, atau sering disebut sebagai House of Quality (rumah kualitas).
b. Matrik Part Deployment
Dalam rumah kedua ini kebutuhan teknis yang terpilih untuk dikembangkan ditransformasikan pada rancangan
konsep yang lebih teknis yang disebut sebagai bagian kritis. Dalam penentuan bagian kritis, perlu dibuat suatu
analisis konsep terlebih dahulu.
c. Matrik Process Planning
Sebelum menentukan matrik proses, harus diperhatikan tahap-tahap proses yang dilalui oleh bahan baku
sampai menjadi produk jadi dan siap dipasarkan. Pada tahapan ini analisis diawali dengan pembuatan peta
proses pengembangan produk. Dan peta tersebut kemudian dihubungkan dengan part kritis yang dihasilkan dan
matrik sebelumnya.
d. Matrik Perencanaan Produk
Setelah melalui tahap perencanaan dan proses maka untuk tahap terakhir dapat diketahui tindakan yang perlu
diambil untuk perbaikan kualitas.

Hasil dan Pembahasan


Konsumen adalah target dan sumber inspirasi pengembangan produk karena konsumen tidak saja
memanfaatkan dan menggunakan produk akan tetapi sekaligus mereka akan menentukan apakah produk tersebut
baik atau buruk dari kacamata industri (Imam Djati Widodo, 2003:23).
QFD adalah metodologi untuk menterjemahkan kebutuhan dan keinginan konsumen ke dalam suatu
rancangan produk yang memiliki persyaratan teknis dan karakteristik kualitas tertentu. (Akao;1990 ; Urban;1993).
Penggunaan QFD dalam proses perancangan produk akan membantu manajemen dalam memperoleh
keunggulan kompetitif melalui proses penciptaan karakteristik dan atribut kualitas produk atau jasa yang mampu
meningkatkan kepuasan konsumen. Disamping itu, penerapan QFD juga mampu menjamin bahwa informasi
mengenai kebutuhan konsumen yang diperoleh pada tahap awal proses perencanaan diterapkan pada seluruh
tahapan siklus produk, mulai tahap konsep desain, perencanaan komponen, perencanaan proses dan produksi,
hingga produk sampai ke tangan konsumen

163
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Tahap awal merupakan tahap penyusunan kuesioner untuk mendapatkan kebutuhan atau keinginan daripada
para ahli dalam hal ini adalah mekanik kendaraan. Teknik pengumpulan data dengan memberikan sejumlah
pertanyaan kepada 10 orang mekanik. Dari hasil pengumpulan data tersebut di dapatkan 12 varabel produk locker
yaitu:
Tabel 1. Variabel rancangan locker
No Kebutuhan
1 Bahan baku produk
2 Pengoperasian produk
3 Harga produk
4 Disain produk
5 Pelayanan purna jual
6 Daya tahan produk
7 Waktu pemasangan produk
8 Kemampuan operasi produk
9 Kemudahan bongkar pasang produk locker
Pengaruh produk locker atau dampaknya terhadap alat yang lain dalam
10
gardan
11 Ketergantungan produk locker dengan peralatan yang lain dalam gardan
12 Posisis penempatan locker di gardan
Sumber: hasil penelitian

Setelah didapat 12 variabel diatas, maka dilanjutkan menyusun kuesioner untuk mendapatkan keinginan dan
kebutuhan dari konsumen. Namun sebelum kuesioner tersebut dapat digunakan untuk menjaring data responden
pengguna produk, maka kuesioner tersebut perlu dilakukan uji validitas dan reliabilitas. (Martono,2010)
Berdasarkan hasil pengukuran tersebut maka variabel dikatakan reliabel jika mempunyai koefisien reliabilitas
alpha sebesar 0,5 atau lebih. Jika dilihat pada berdasarkan hasil pengujian nilai alpha diatas 0,5. sedangkan untuk
melihat valid tidaknya kuesioner tersebut dapat dilihat dari Corrected Item-toal Correlation yaitu antara skor item
dengan skor total item yang dapat digunakan menguji instrumen atau kuesioner dimana kesemua atribut tersebut
berada diatas 0,5 sehingga kuesioner sudah valid dan reliabel.
Dari spesifikasi yang telah diperoleh maka selanjutnya dilakukan penentuan tingkat kepentingan pelanggan
dengan pemberian bobot atas jawaban 50 responden kemudian dicari nilai rata-ratanya. Hasil dari jawaban 50
responden yang telah diolah dapat dilihat seperti pada tabel di bawah ini :
Tabel 2. Tingkat kepentingan
Nilai Urutan Tingkat
No Atribut Produk
Rata-rata Kepentingan Kepentingan
1 bahan baku yang baik 4,24 2 85% 5
2 kemudahan pengoperasian 3,78 6 76% 4
3 harga produk 3,26 8 65% 4
4 disain produk 2,62 3 52% 3
5 pelayanan purna jual 3,1 5 62% 4
6 daya tahan produk 4,44 7 89% 5
7 waktu pemasangan produk 2,76 12 55% 3
8 kemampuan operasi produk 4,08 10 82% 5
9 kemudahan bongkar pasang 3,16 1 63% 4
pengaruh produk atau
10 dampaknya terhadap alat yang 3,72 11 74% 4
lain
ketergantungan produk
11 3,24 4 65% 4
dengan peralatan yang lain
12 posisi penempatan di gardan 4,1 9 82% 5
Sumber: hasil pengolahan data

Pengukuran tingkat kepuasan konsumen terhadap produk dimaksudkan untuk mengukur bagaimana tingkat
kepuasan konsumen setelah pemakaian produk yang akan dianalisis. Sedangkan target-target karakteristik rekayasa
untuk mengendalikan proses produksi distandarkan pada interval nilai seperti tabel berikut :

164
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Tabel 3. Tingkat kepuasan, target, improvement ratio, sales point dan bobot
Tingkat
Improvment Sales Relative
No Kebutuhan Kepuasan Goal
Ratio Point Weight

1 bahan baku yang baik 4,24 5 1,18 1.5 11,24


kemudahan
2 3,78 4 1,08 1.2 7,34
pengoperasian
3 harga produk 3,26 4 1,23 1.2 7,21
4 disain produk 2,62 3 0,73 1.2 3,44
5 pelayanan purna jual 3,1 4 1,06 1.2 5,91
6 daya tahan produk 4,44 5 1,53 1.2 12,21
waktu pemasangan
7 2,76 3 1,15 1.2 5,71
produk
kemampuan operasi
8 4,08 5 1,61 1.5 14,76
produk
kemudahan bongkar
9 3,16 4 0,9 1.2 5,11
pasang
pengaruh produk atau
10 dampaknya terhadap alat 3,72 4 1,45 1.2 9,70
yang lain
ketergantungan produk
11 dengan peralatan yang 3,24 4 0,98 1.2 5,71
lain
posisi penempatan di
12 4,1 5 1,58 1.2 11,65
gardan
Sumber: hasil pengolahan data

Rasio perbaikan (Improvment Ratio) adalah merupakan perbandingan antara nilai yang diharapkan pihak
produsen dengan tingkat kepuasan konsumen terhadap suatu produk. Titik jual (sales point) adalah kontribusi suatu
kebutuhan konsumen terhadap daya jual produk. Nilai dari titik jual ditentukan oleh perancang setelah
mempertimbangkan kondisi pasar saat melakukan penelitian dengan memperhatikan pendapat dari para ahli dan
responden.
Selanjutnya dihitung nilai dari bobot masing-masing atribut kebutuhan produk locker tersebut. Setelah
didapat nilai-nilai dari bobot kepentingan masing-masing atribut, maka selanjutnya dilakukan proses perhitungan
mengenai bobot relatif (relative weight). Bobot relatif ini membantu dalam memprioritaskan persyaratan konsumen
untuk dikembangkan.
Untuk menentukan kuat tidaknya hubungan antara kebutuhan teknik dengan kebutuhan konsumen
memerlukan pengalaman, ketajaman dan pengetahuan yang cukup mendalam tentang segala sesuatu yang terkait
dengan proses pembuatan locker. Dalam pembuatan locker, banyak hal-hal yang tidak bisa dipastikan begitu saja,
namun memerlukan beberapa kali percobaan untuk mengetahui penyebabnya. Sebagai contoh atribut jenis bahan
dipengaruhi oleh dua kebutuhan teknik yaitu:kualitas bahan dan tahan lama. Sedangkan jika dari hubungan tersebut
memiliki talenta yang kuat maka diberikan nilai 9 (kuat).
Tetapi untuk karakteristik teknik yang lain hubungan dengan kebutuhan konsumen belum tentu seperti yang
terjadi diatas, jika hubungannya lemah atau tidak begitu pengaruh maka diberikan nilai 3 (lemah). Hubungan antar
karakteristik teknik diletakkan di bagian atas rumah kualitas
Setelah dapat mengidentifikasi lebih awal hubungan-hubungan antar kebutuhan teknik dalam proses maka
akan ditarik keuntungan dalam perancangan teknik yang mungkin tidak akan nampak sampai saat perancangan
proses dan setelah menghabiskan dana dalam jumlah yang besar.
Sama halnya dalam menentukan hubungan antara kebutuhan konsumen dengan kebutuhan teknik atau
karakteristik, hubungan positip kuat antara jenis bahan dengan hasil berupa produk locker. Hubungan antar
karakteristik rekayasa diletakkan di bagian atap rumah kualitas. Informasi yang ditampilkan oleh peta penyebaran
mutu (QFD) membutuhkan strategi analisis yang tepat.

165
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Gambar 1. Penentuan karakteristik kualitas produk locker

Gambar 2. Penentuan fungsi produk locker


Sumber: hasil olahan

166
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Dari hasil penentuan fungsi tersebut diatas maka yang menjadi prioritasnya adalah sebagai berikut: berfungsi
menjadi cakar pada medan berat, dapat bekerja secara otomatis, menjaga traksi pada roda, dan mengunci putaran
roda kanan kiri. Selanjutnya dibuat penentuan konsep rancangan produk, seperti di bawah ini:

Gambar 3. Penentuan konsep rancangan produk

Setelah matriks penentuan konsep diperoleh maka selanjutnya dilakukan pemilihan terhadap kedua konsep
yang direncanakan. Sedangkan untuk memilih konsep yang terbaik didasarkan pada nilai konsep positip tertinggi,
yaitu produk Locker Manual. Untuk itu dapat dibuat matriks perancangan produk seperti di bawah ini;

Gambar 4. Penentuan rancangan produk

Dari rancangan produk yang telah disusun beserta prioritasnya, kemudian disusun proses produksi yang perlu
dilaksanakan. Untuk setiap butir proses produksi, ditentukan keterkaitannya dengan rancangan produk yang telah
ditetapkan untuk mendapatkan prioritas proses.

167
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Setelah proses QFD selesai, maka dihasilkan prioritas dari rancangan produk dan proses yang perlu
dilaksanakan. Langkah selanjutnya yang akan dikerjakan oleh perancang yaitu menentukan perencanaan produksi,
yang menyangkut hal-hal operasional, seperti menyiapkan bahan baku sesuai dengan keinginan konsumen, desain
dari locker dan lain-lain.

Gambar 5. Penentuan proses produksi

Setelah diketahui dari keinginan konsumen terhadap produk locker yang berdasarkan atas atribut-atribut yang
dominan untuk diinginkan konsumen, maka Locker yang akan dibuat adalah Locker manual.
Type Locker Manual, atau locker yang bisa diaktifkan atau di-non aktifkan sesuai sama keperluan
pengemudinya. Type ini mempunyai beberapa jenis yang dibedakan dengan cara aktivasi locker itu. Jenis pertama
sistem ini, aktivasinya memakai kabel baja sehingga sering disebut cable locker. Jenis ini bisa didapati pada
kendaraan Toyota Land Cruiser seri 40 serta seri 60. Untuk aftermarket jenis ini yaitu OX Locker. Jenis ke-2 dari
sistem manual ini yaitu aktivasinya memakai motor elektrik yang melekat pada casing gardan. Jenis ini sering
disebut electrik locker dan didapati pada Toyota Land Cruiser seri 80 dan Toyota Hilux. Jenis yang ketiga dari
sistem ini aktivasinya memakai angin yang dihasilkan oleh suatu pompa sehingga disebut air locker. Product ini
berpedoman pada system yang disebut ARB Air Locker. Tetapi secara umum, ketiga jenis ini mempunyai cara kerja
penguncian serta pelepasan yang lebih kurang sama, yakni mengunci ke-2 poros roda dengan cara manual oleh si
pengemudi.
Di dalam sistem manual, ada 2 gigi bisa yang sama-sama bertautan ketika posisi lock. Salah satu gigi itu bisa
berubah untuk memastikan posisi diferensial terkunci atau terbuka. Untuk sistem pergeseran gigi untuk mengunci
diferensial kanan serta kiri inilah yang dikerjakan oleh ketiga jenis yang dimaksud lebih tadi. Jika tak diperlukan,
pengemudi bisa melepas kuncian diferensial hingga kendaraan bisa dikemudikan seperti seperti mobil yang tidak
dilengkapi dengan pengunci diferensial. Pada saat diferensial dalam posisi terkunci, perilaku mobil seperti mobil
yang sistem diferensialnya mengalami pengelasan, terkunci 100% setiap waktu. Keuntungan dari selectable locker
atau locker manual yaitu, pengemudi bisa memilih untuk mengunci atau melepas diferensial sesuai dengan sama
medan yang bakal dilaluinya, hingga pengemudi bisa mengatur kendaraannya dengan lebih akurat.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengolah data maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Keinginan konsumen terhadap produk locker adalah:
a. Kemudahan bongkar pasang, urutan kepentingannya = 1
b. Bahan baku yang baik, urutan kepentingannya = 2
c. Disain produk, urutan kepentingannya = 3
d. Ketergantungan produk locker dengan produk lain, urutan
e. kepentingannya = 4
f. Pelayanan purna jual, urutan kepentingannya = 5
g. Kemudahan pengoperasian , urutan kepentingannya = 6

168
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

h. Daya tahan produk, urutan kepentingannya = 7`


i. Harga produk, urutan kepentingannya = 8
j. Posisi penempatan di gardan , urutan kepentingannya = 9
k. Kemampuan operasi produk, urutan kepentingannya = 10
l. Pengaruh produk atau dampaknya terhadap alat lain, urutan kepentingannya = 11
m. Waktu pemasangan produk, urutan kepentingannya = 12
2. Prioritas utama bagi konsumen terhadap karakterisik kualitas produk 4 prioritas utamanya adalah pertama yang
perlu diperhatikan adalah Kualitas penempatan dengan nilai 162, kualitas fungsi/kemampuan operasi dengan
nilai 144, Tahan lama dengan nilai 106 dan kualitas bahan dengan nilai 85.
3. Hasil rancangan produk locker berdasarkan atributnya menggunakan metode QFD, enam prioritas adalah:
a. Memiliki alat pengoperasian berupa tuas (147,91)
b. Menggunakan seling (2844)
c. Menggunakan lampu indikator (1296)
d. Menggunakan as roda yang sudah dimodifikasi (1865,35)
e. Menggunakan per untuk mempermudah kembalinya tuas (3079,84)
f. Menggunakan besi bersuri (4551,84)
g. Menggunakan per untuk mengembalikan locker (3535,05)

Ucapan Terima Kasih


Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada ristekdikti yang telah memberikan dana penelitian hibah
bersaing.

Daftar Pustaka
Couhen Lou, 2005, Quality Function Deployment, Addison-Wesley Publishing Company
Imam Djati Widodo. 2003. Perencanaan dan Pengembangan Produk, Produk Planning And Design. Yogyakarta,
Penerbit UII Press Indonesia.
Martono, Nanang. 2010. “ Metode Penelitian Kualitatif Analisis Isi dan Data Sekunder ”. Jakarta. PT Rajag
Grafindo Persada.
Ulrich Karl T, 2001, Perancangan dan Pengembangan Produk, Jakarta, Penerbit Salemba

169
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

DESAIN LINGKUNGAN FISIK BAGI OPERATOR BAGIAN


PEMERIKSAAN

Yanti Pasmawati1, Christofora Desi Kusmindari2, Paulus Sukapto3, Johanna Renny


Octavia4
1,2
Program Studi Teknik Industri, Fakultas Teknik, Universitas Bina Darma
Jl. Jend. A. Yani No.03 Plaju Palembang 30264 Telp 0711 515582
3,4
Program Studi Teknik Industri, Fakultas Teknologi Industri, Universitas Katolik Parahyangan
Jl. Ciumbuleuit 94 Bandung 40141 Telp 022 2032655
Email: yantipasmawati@binadarma.ac.id

Abstrak

Visual inspection task merupakan aktivitas inspeksi suatu produk dengan posisi mata terpusat melalui
konveyor yang bergerak, semakin cepat produk diproduksi maka semakin kritis waktu dari operator
pemeriksaan. Selain gangguan fisiologis. kondisi tersebut dalam jangka waktu lama akan berdampak
pada gangguan psikologis seperti kelelahan mata, ketidaknyamanan, dan kehilangan konsentrasi
sehingga terjadi penurunan produktivitas, penurunan angka kecelakaan yang berhubungan dengan
kerja dan kelelahan (Manuaba, 1992). Tujuan penelitian yang ingin dicapai, antara lain: (1)
Menentukan ukuran kinerja pemeriksaan dan tingkat produktivitas bagian visual inspection task, (2)
Menentukan rancangan desain eksperimen yang ergonomis yang dapat diterapkan pada visual
inspection task. Objek penelitian adalah operator bagian pemeriksaan pada minuman kemasan cup
“panther”. Operator berjumlah 10 orang yang memiliki nilai IQ 90-120 yang berusia 20 – 25 tahun.
Metode penelitian adalah metode eksperimen. Variabel independen terdiri dari tingkat pencahayaan,
posisi kerja, dan gender. Variabel dimanipulasi menjadi 12 kelompok desain eksperimen. Pengolahan
data dilakukan dengan pendekatan ukuran kinerja pemeriksaan. Analisis data penelitian
menggunakan analysis of variance (ANOVA), Control Chart, dan produktivitas. Hasil penelitian
menyatakan bahwa: (1) Berdasarkan ukuran kinerja pemeriksaan, rancangan desain eksperimen
yang menghasilkan kinerja pemeriksaan di stasiun kerja visual inspection task minuman kemasan cup
panther terbaik adalah desain eksperimen LkB200 (Laki-laki, posisi kerja berdiri, tingkat
pencahayaan 200 Lux) yaitu sebanyak 525 cup. Hal ini juga mempengaruhi produktivitas kerja yang
mana desain eksperimen LkB200 juga memiliki produktivitas tertinggi dari rancangan desain
eksperimen lainnya yaitu sebesar 0.833, (2) Faktor interaksi yang berbeda pada desain eksperimen
adalah faktor tingkat pencahayaan dengan posisi kerja. Faktor tersebut mempengaruhi jumlah cacat
terdeteksi.

Kata kunci: lingkungan fisik; pengukuran waktu; produktivita; ukuran kinerja pemeriksaan;
visual inspection task

Pendahuluan
Visual inspection task merupakan aktivitas deteksi cacat produk, yang disebagian besar industri manufaktur
merupakan metode pemeriksaan primer. Produk diperiksa dengan posisi mata terpusat melalui konveyor yang
bergerak, semakin cepat produk diproduksi maka semakin kritis waktu dari operator pemeriksaan. Aktivitas tersebut
perlu memperhatikan faktor pencahayaan, temperatur, dan kebisingan karena dalam jangka waktu lama akan
berdampak pada gangguan psikologis seperti kelelahan mata, ketidaknyamanan, dan kehilangan konsentrasi
sehingga terjadi penurunan produktivitas, penurunan angka kecelakaan yang berhubungan dengan kerja dan
kelelahan (Manuaba, 1992).
Kelelahan kerja merupakan resiko dari dampak faktor sirkadian, faktor pekerjaan, faktor psikologis, dan
faktor manusia. Faktor tersebut apabila tidak dikendalikan dengan baik akan berdampak buruk pada produktivitas
kerja, kecelakaan kerja dan cidera bagi karyawan atau operator, bahkan kualitas suatu produk. Hal ini terbukti
bahwa terdapat 50 juta orang mengalami cidera per tahun akibat pekerjaan, (WHO, 2009; WHO, 2010). Resiko
kelelahan kerja juga disebabkan oleh aktivitas kerja yang monoton yang dilakukan secara terus menerus dengan
durasi kerja yang relatif panjang, sehingga sangat diperlukan investigasi terkait beban kerja terhadap performansi
dalam kondisi monoton (Dunn & Williamson, 2012).

170
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Gambar 1. Kondisi work station visual inspection task

Industri minuman kemasan di Indonesia, sebagai salah satu contohnya adalah PT Bumi Pasir Putih
merupakan perusahaan yang bergerak di bidang produksi air minum kemasan. Kondisi yang terjadi pada perusahaan
sejenis, terdapat beban kerja yang monoton dimana durasi kerja, jumlah jam kerja, lingkungan kerja, dan lingkungan
sosial yang terdapat di perusahaan berbeda-beda sehingga mempengaruhi tingkat kelelahan kerja yang berbeda pula
yang berdampak terhadap produktivitas kerja. Hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa terdapat pengaruh
temperatur dan pencahayaan dalam Ruangan terhadap produktivitas berpikir (kognisi) (Pasmawati, 2014). Hasil
penelitian tersebut menyimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara desain lingkungan kerja terhadap
peningkatan produktivitas dan penurunan beban kerja. Oleh karena itu, untuk menentukan desain lingkungan kerja
ergonomis pada stasiun kerja visual inspection task , maka tujuan penelitian ini adalah (1) Menentukan ukuran
kinerja pemeriksaan dan tingkat produktivitas di visual inspection task minuman kemasan cup “Panther”. (2)
Mengetahui pengaruh desain lingkungan fisik kerja, faktor pekerjaan dan faktor individu terhadap output cacat
terdeteksi. (3) Menentukan desain eksperimen yang ergonomis untuk diimplementasikan di visual inspection task
minuman kemasan cup “Panther”.

Bahan dan Metode Penelitian


Objek penelitian adalah visual inspection task pada minuman kemasan cup merk “Panther” untuk
mengidentifikasi cacat. Adapun karakteristik atau kategori cacat yaitu volume kurang (Vk), Cup bocor (Cb),
Gambar tidak pas (Gtp).

Gambar 2. Objek penelitian (panther)

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini ialah minuman kemasan Panther Cup, Lampu, Sound
level meter, Thermometer, Konveyor, Lux meter, Lembar Pengamatan, Kamera dan Stop Watch. Responden
berjumlah 10 orang dengan gender laki-laki dan perempuan, nilai IQ 90-120 yang terlebih dahulu dilakukan test
intelegensi umum, waktu pengamatan selama 2.20 jam. Desain eksperimen berjumlah 12 desain eksperimen yang
merupakan manipulasi dari variabel independen, seperti yang tergambar pada gambar 3 berikut ini:

Gambar 3. Kerangka berpikir (variabel independen dan dependen)

Metode penelitian adalah metode eksperimen dengan menggunakan pendekatan ukuran kinerja pemeriksaa
dan teknik analisis dalam menyimpulkan hasil penelitain.Agar penelitian sistematis maka dibuatkan flow chart
penelitian terdapat pada gambar 4 berikut ini

171
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Gambar 4. Flow chart penelitian

Hasil dan Pembahasan


Pengendalian kualitas suatu produk sangat penting di dalam suatu proses produksi, hal ini dapat
menunjukkan penilaian terhadap kinerja operator atau karyawan yang berdampak penting bagi kinerja perusahaan.
Hal tersebut juga diterapkan di visual inspection task untuk minuman kemasan cup merk “Panther”.

Gambar 5. Visual inspection task pada minuman kemasan panther

172
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Langkah-langkah dengan pendekatan Ukuran Kinerja Pemeriksaaan (chengalur dkk, 2004) sebagai berikut:
1. Persentase Cacat Terdeteksi
Persentase cacat terdeteksi ini merupakan persentase jumah produk yang terdeteksi menurut operator sesuai
karakteristik atau kategori cacat secara keseluruhan dari total jumlah produk cacat. Berdasarkan hasil perhitungan
persentase cacat terdeteksi yang terbesar adalah desain eksperimen LkB200 (Laki-laki, posisi kerja berdiri, tingkat
pencahayaan 200Lux) sebesar 83.333%. Hal ini menyimpulkan bahwa kinerja pemeriksaan tertinggi terdapat pada
desain eksperimen LkB200.

2. Persentase Cacat Dinilai Benar


Penilaian persentase cacat dinilai benar dilakukan melalui idenfifikasi hasil deteksi cacat oleh operator
dengan membuktikan bahwa hasil deteksi tersebut benar dinyatakan cacat berdasarkan karakteristik atau kategori
cacat yang ditentukan. Berdasarkan hasil perhitungan persentase cacat dinilai benar yang terbesar adalah desain
eksperimen LkB200 (Laki-laki, posisi kerja berdiri, tingkat pencahayaan 200Lux) sebesar 83.333%. Hal ini
menyimpulkan bahwa kinerja pemeriksaan tertinggi terdapat pada desain eksperimen LkB200.

3. Persentase Cacat Dinilai Salah


Persentase cacat dinilai salah dinyatakan apabila tidak terdapat atau teridentifikasi karakteristik atau kategori
produk cacat di produk yang dinyatakan terdeteksi benar oleh operator. Dengan kata lain produk tersebut tidak
dinyatakan cacat. Berdasarkan hasil perhitungan persentase cacat dinilai salah, dinyatakan bahwa dari 12 kelompok
desain eksperimen tidak terdapat deteksi produk cacat minuman kemasan cup panther yang dilakukan oleh operator
adalah salah. Hal ini ditunjukkan dari nilai persentase sebesar 0% dari ke 12 kelompok desain eksperimen.

Tabel 1. Persentase cacat terdeteksi


Jumlah
Jumlah Jumlah
Jumlah Jumlah Cacat Jumlah Total
Cacat Cacat
Desain Minuman Cacat Terdeteksi Cacat Produk
Dinilai Dinilai
Eksperimen Kemasan Terdeteksi dan Dinilai Cacat
Benar Salah
(Cup) (Cup) terdeteksi Salah(Cup) (Cup)
(Cup) (%)
benar (%)
LkB200 5040 525 525 83.33333333 0 0 630
LkB300 5040 405 405 64.28571429 0 0 630
LkB500 5040 488 488 77.46031746 0 0 630
LkD200 5040 455 455 72.22222222 0 0 630
LkD300 5040 484 484 76.82539683 0 0 630
LkD500 5040 466 466 73.96825397 0 0 630
PrB200 5040 444 444 70.47619048 0 0 630
PrB300 5040 524 524 83.17460317 0 0 630
PrB500 5040 519 519 82.38095238 0 0 630
PrD200 5040 414 414 65.71428571 0 0 630
PrD300 5040 394 394 62.53968254 0 0 630
PrD500 5040 390 390 61.9047619 0 0 630
Sumber: Pengolahan Data

4. Persentase Cacat Dinamai Benar


Merupakan jumlah persentase produk cacat yang digolongkan berdasarkan jenis karakteristik atau kategori
cacat, dalam hal ini terdiri dari 3 kategori cacat, antara lain Volume kurang (Vk), Cup bocor (Cb), Gambar tidak pas
(Gtp). Berdasarkan hasil pengolahan data nilai persentase cacat dinamai benar atau pengelompokan cacat
berdasarkan kategori cacat tersebut di atas, maka kategori cacat tertinggi adalah volume kurang (Vk) sebesar
35.878%.

173
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Tabel 2. Persentase cacat dinamai benar


Jumlah
Kategori Cacat
Desain Produk Cacat
Eksperimen Terdeteksi Vk Vk Cb Cb Gtp Gtp
(Cup) (cup) (%) (cup) (%) (cup) (%)
LkB200 525 187 35.619 167 31.810 171 32.571
LkB300 405 140 34.568 127 31.358 138 34.074
LkB500 488 170 34.836 152 31.148 163 33.402
LkD200 455 154 33.846 143 31.429 140 30.770
LkD300 484 167 34.504 163 33.678 154 31.818
LkD500 466 150 32.189 142 30.472 164 35.193
PrB200 444 177 39.865 132 29.730 137 30.856
PrB300 524 188 35.878 173 33.015 166 31.680
PrB500 519 187 36.031 159 30.636 173 33.333
PrD200 414 130 31.401 165 39.855 119 28.744
PrD300 394 121 30.711 132 33.503 141 35.787
PrD500 390 137 35.128 110 28.205 143 36.667
Sumber: Pengolahan Data

5. Limbah Bahan
Ukuran kinerja pemeriksaan penelitian ini tidak menghitung limah bahan karena tidak berhubungan dengan
cacat produk).

6. Inspeksi Waktu
Waktu visual inspection task minuman kemasan cup panther adalah 2.20 jam kerja. Pekerjaan dilakukan
secara bergantian dengan operator lain.

7. Jumlah unit Diisnpeksi Per Periode Waktu


Tabel 3. Waktu Inspeksi Per Cup Minuman Kemasan Panther
Desain Jumlah Minuman Jumlah Waktu Waktu Inspeksi
Eksperimen Kemasan (Cup) Inspeksi (detik) (detik/cup)
LkB200 5040 2460 0.488095238
LkB300 5040 2469 0.489880952
LkB500 5040 2501 0.496230159
LkD200 5040 2460 0.488095238
LkD300 5040 2476 0.491269841
LkD500 5040 2431 0.48234127
PrB200 5040 2492 0.494444444
PrB300 5040 2547 0.505357143
PrB500 5040 2482 0.492460317
PrD200 5040 2497 0.495436508
PrD300 5040 2483 0.49265873
PrD500 5040 2497 0.495436508
Sumber: Pengolahan Data

Berdasarkan data waktu inspeksi tersebut di atas, maka dilakukan perhitungan waktu standar untuk
mendeteksi 5040 cup selama 2.20 jam waktu kerja di stasiun kerja visual inspection task sebagai berikut:

• Menghitung Waktu Siklus (Ws)


Ws = ∑ X I (1)
N
29795
= = 2482.916667 detik
12

174
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

• Menghitung Waktu Normal (Wn)


Wn = Ws x P (2)
= 2482.916667 x 1.06 = 2631.891667 detik

• Menghitung Waktu Baku (Wb)


Wb = Wn (1+ a) (3)
= 2631.891667 (1+ 0.33)
= 3500.415917 detik

Jadi, waktu baku atau waktu standar untuk mendeteksi 5040 cup adalah 3500.415917 detik.

• Output Standart
Output standart =
1 (4)
Waktu Baku
= 1 = 0.00028568 cup/detik
3500.415917

Jika dilakukan perhitungan untuk waktu pemeriksaan satu cup, maka digunakan rumus sebagai berikut:
Waktu Inspeksi per cup =
jumlahwaktubakuinspeksi (5)
jumlah produksi keseluruhan
= 3500.415917 = 0.694526968 detik/cup
5040
Dari hasil perhitungan didapat bahwa waktu yang dibutuhkan untuk melakukan inspeksi satu cup minuman
kemasan panther adalah 0.694526968 detik.
Berdasarkan pengolahan data dan hasil dengan menggunakan pendekatan ukuran kinerja
pemeriksaan, maka dilakukan dua teknik analisis untuk mengetahui kinerja pemeriksaan dari 12 kelompok desain
eksperimen yaitu Produktivitas kerja, Control Chart dan analysis of variance (ANOVA).

1. Analisis Produktivitas
Produktivitas operator pada penelitian ini didesain dengan dipengaruhi oleh faktor gender, posisi kerja, dan
tingkat pencahayaan. Faktor usia, tingkat IQ merupakan control dari kualitas non fisik dari operator. Secara umum
produktivitas mengandung pengertian perbandingan terbalik antara hasil yang dicapai (output) dengan keseluruhan
sumber daya yang digunakan (input). Dalam hal ini produktivitas visual inspection task dapat ditentukan dengan:
Produktivitas = Jumlahprodukcacatterdet eksi (6)
jumlah total produk cacat
= 525 = 0.833
630

Gambar 6. Produktivitas visual inspection task

Berdasarkan nilai produktivitas tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa 12 kelompok desain eksperimen
penelitian belum memenuhi batasan standar produktivitas, dimana ditunjukkan dari line yang belum mencapai nilai
1. Namun, dari ke 12 kelompok desain eksperimen, desain eksperimen LkB200 merupakan desain eksperimen yang
nilai produktivitasnya tertinggi yairu 0.833. Oleh karena itu, faktor-faktor tersebut di atas besar artinya bagi
penciptaan suasana kerja yang ergonomis, untuk menunjang tercapainya efisiensi di dalam proses yang telah
memenuhi batasan standar produktivitas.

175
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

2. Analisis Jumlah Produk Cacat Menggunakan Control Chart


Control Chart digunakan untuk mengidentifikasi kecenderungan kemampuan mendeteksi cacat minuman
kemasan panther yang terjadi dengan mengelompokkan berdasarkan kelompok desain eksperimen.
• Rata-rata unit dideteksi cacat

X=
∑Xi (7)
N

5508
= = 459 Cup
12

• Standar deviasi
∑(xi - x)2
= (8)
N −1
27864 = 50.33
=
11

• Batas Kontrol Atas (BKA) dan Batas Kontrol Bawah (BKB)


BKA = + k.σ (9)
= 459 + 2 (50.33) = 559.66 cup

BKB = – k.σ (10)


= 459 - 2 (50.33) = 358.34 cup

Gambar 7. Control chart analysis

Berdasarkan control chart di atas, jika dilihat dari line jumlah cacat terdeteksi maka desain eksperimen
LkB200 (Laki-laki, posisi kerja berdiri, tingkat pencahayaan 200 Lux) merupakan desain yang memiliki kinerja
pemeriksaan terbaik, namun masih terdapat cacat produk yang tidak terdeteksi atau terlewati, hal ini juga terlihat
pada semua desain eksperimen. Kinerja pemeriksaan semua desain eksperimen masih berada pada batas kendali
kinerja produktif.

3. Analysis of Variance (ANOVA)


Berdasarkan teknik analisis dengan uji ANOVA yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa untuk
melakukan pendeteksian cacat minuman kemasan cup panther tingkat pencahayaan dan gender tidak ada perbedaan
sedangkan tingkat pencahayaan dan posisi kerja terdapat perbedaan. Hal ini menunjukkan bahwa faktor interaksi
yang berbeda adalah faktor pencahayaan dengan posisi kerja.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Berdasarkan ukuran kinerja pemeriksaan, rancangan desain eksperimen yang menghasilkan kinerja
pemeriksaan di stasiun kerja visual inspection task minuman kemasan cup panther terbaik adalah desain
eksperimen LkB200 (Laki-laki, posisi kerja berdiri, tingkat pencahayaan 200 Lux) yaitu sebanyak 525 cup. Hal

176
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

ini juga mempengaruhi produktivitas kerja yang mana desain eksperimen LkB200 juga memiliki produktivitas
tertinggi dari rancangan desain eksperimen lainnya yaitu sebesar 0.833.
2. Faktor interaksi yang berbeda pada desain eksperimen adalah faktor tingkat pencahayaan dengan posisi kerja.
Faktor tersebut mempengaruhi jumlah cacat terdeteksi.

Daftar Pustaka
Azwar, S. 2006. Pengantar Psikologi Inteligensi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Chengalur, N.S, et al. 2004. Kodak’s Ergonomic Design For People At Work. Second Edition, The Eastman
Kodak company. Amerika.
Cronbach, L.J. 1990. Essentials of Psychological Testing. New York: Harper Collins Publishers.
Dunn, N. & Wiliamson, A. (2012): Driving Monotonous Routes in a Train Simulator. The Effect of Task Demand on
Driving Performance and Subjective Experience. Ergonomic Vol.55 No.9, 997-1008.
Grandjean, E. 1988. Fitting the Task To the Man. A Texbook of Occupational Ergonomics, 4th Edition London:
Taylor & Francis.
Manuaba, A. 1992. Pengaruh Ergonomi Terhadap Produktivitas. Dalam Seminar Produktivitas Tenaga Kerja,
Jakarta.
Pasmawati, Yanti. & Rachmawati (2013): Pengaruh Desain Lingkungan Fisik Dalam Ruangan Terhadap
Produktivitas Berpikir (kognisi). Prodising Seminar Nasional Teknik Industri (SNTI).ISSN: 2338-
7122.pp54-61.
Poulton, E.C. 1973. The effect of fatigue inspection work. Applied Ergonomics : 73-83. Department of Engineering
Production,Universityof Birmingham. Birmingham.
Santoso, Budi. 2004. Ergonomi Manusia, Peralatan, dan Lingkungan. Jakarta: Prestasi Pustaka.
Sedarmayanti. 1996. Tata Kerja dan Produktivitas Kerja, Suatu Tinjauan Aspek Ergonomi atau Kaitan antara
Manusia dengan Lingkungan Kerja. Bandung; CV. Mandar Maju.
Sutalaksana Z, Iftikar, Dkk. 2006. Teknik Perancangan Sistem Kerja. Edisi kedua, ITB. Bandung
Suma’mur, PK. 1982. Ergonomi Untuk Produktivitas Kerja. Jakarta: Yasasan Swabhawa Karya.
Subekti, Agus. 2013. Panduan Pelaksanaan Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Di Perguruan Tinggi
edisi IX. http://simlitabmas.dikti.go.id. Diakses pada tanggal 7 April 2013 Pukul 13.00.
Tarwaka. 2014. Ergonomi industri. Solo: Harapan Press
Tarwaka. 2014. Ergonomi Industri: Dasar-Dasar Pengetahuan Ergonomi dan Aplikasi Di Tempat Kerja. Surakarta:
Harapan Press Surakarta.
WHO. (2009): Global status report on road safety. World Health Organisation, Geneva.
WHO. (2010): Equity, Social Determinants and Public Health Programs. World Health Organisation, Geneva.
Wignjosoebroto, Sritomo. 2003. Ergonomi, Studi Gerak dan Waktu. Surabaya: Guna Widya.

177
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

TANGKI (FUEL TANK) BAHAN BAKAR GAS UNTUK SEPEDA MOTOR:


SEBUAH STUDI NUMERIK

Agung Premomo1, Eko Arif Syaefudin1 , Febriyanto2, Wardoyo1, Riza Wirawan1


1
Program Studi Pendidikan Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Negeri Jakarta
Jl. Rawamangun Muka Jakarta Timur 13220 Telp 0214700918
Email: agung-premono@unj.ac.id

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan desain tangki sepeda motor bahan bakar gas (BBG)
yang dapat dijadikan rujukan bagi pengembangan sepeda motor. Penelitian ini juga diharapkan
dapat menjawab penggunaan tangki sepeda motor gas yang tetap mengedepankan ergonomis, juga
keamaan (safety factor) yang sesuai dengan standard yang telah ditetapkan. Desain tangki gas dibuat
dengan material baja AISI 1045 dengan ketebalan 4 mm. Pengujian eksperimental dilakukan secara
numerik menggunakan metode elemen hingga dengan uji statik linier. Tekanan yang diberikan
memiliki tiga variasi yaitu 54,5 Psi, 77,9 Psi, dan 91,4 Psi. Besaran suhu menyesuaikan tekanan kerja
berdasarkan persamaan gas ideal. Hasil pengujian untuk tangki sepeda motor bagian atas dengan
ketebalan dinding 4 mm menghasilkan data maksimum untuk menerima tekanan/pressure maksimal
yang diberlakukan yaitu 91,4 Psi dalam suhu 43,3 °C dengan Safety Factor 4,1 , von misses maksimal
1.278e+008 mm, dan displacement maksimum 2.878e-001 mm. Sedangkan pada bagian bawah
menghasilkan Safety Factor 4,3 , von misses maksimal 1.230e + 008 mm, dan displacement
maksimum 1.767e-001 mm

Kata kunci: Tangki sepeda motor; Komposit; Metode Elemen Hingga; Safety Factor

Pendahuluan
Krisis bahan bakar merupakan salah satu hal yang paling menakutkan di era sekarang, salah satunya adalah
bahan bakar bensin. Produksi minyak yang terus menurun pada kisaran satu juta barel per hari, sementara kebutuhan
mencapai 1,3 juta barrel per hari. Harga minyak dunia yang tidak stabil dan pada beberapa kondisi cenderung naik,
menjadikan banyak pakar memikirkan solusi yang tepat dalam hal bahan bakar. Diantara solusi yang sangat baik
adalah beralih dari bahan bakar bensin menuju bahan bakar bakar gas.
Bahan bakar gas (BBG) merupakan solusi yang juga digunakan secara resmi oleh Pemerintah Indonesia,
salah satunya digunakan oleh Bus Transjakarta yang ditandai juga dengan banyaknya SPBG. Jika dilihat dari
berbagai sudut pandang, tidak heran memang BBG mejadi pilihan, diantaranya dari sisi ekonomi atau harga.
Kendaraan bermotor roda dua juga salah satu alat transportasi publik paling dibutuhkan saat ini, jumlah
kendaraan motor roda dua di Indonesia tahun 2013 sudah mencapai angka 84.732.652. Dengan angka tersebut,
mahal dan tidak pastinya harga bahan bakar bensin menjadikan suatu hal yang masuk akal untuk beralih ke bahan
bakar gas.
Tahun 2015 lalu, publik sempat diramaikan dengan sepeda motor berbahan bakar gas, dengan sumber bahan
bakar langsung ke gas LPG 3 kg dari Pertamina. Dengan terwujudnya terobosan tersebut, terdapat satu masalah,
yaitu fungsi tangki asli dari sepeda motor tersebut sebagai tempat menyimpan sumber energi akan mengalami
kegagalan fungsi atau unfunction.
Oleh karenanya, studi permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu desain tangki untuk BBG
(Bahan Bakar Gas) pada Sepeda Motor.

Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen, yaitu metode yang menggunakan
software untuk menguji dan menemukan variasi yang tepat terhadap penelitian yang dilakukan dengan
menambahkan beberapa perlakuan variasi, peneliti membuat tiga variasi tekanan (internal pressure) yaitu 54,5 Psi,
77,9 Psi, 91,4 Psi, dengan tebal dinding tangki 3,8 mm. Tiga variasi tersebut lalu diperlakukan uji statik dengan
tangki bagian atas dan tangki bagian bawah secara terpisah menggunakan software SolidWorks 2014, tekanan yang
berlaku sesuai dengan tekanan pada LPG. Setelah mendapatkan data dari software yaitu von mises stress,

178
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

displacement, dan safety factor. Peneliti menyimpulkan desain tangki yang dibuat sesuai dengan standard safety
factor yang telah ditetapkan.

Hasil Penelitian
Model tangki digambar pada software SolidWorks 2014, model tangki di bentuk 2 dimensi kemudian dibuat
3 dimensi, lalu diuji dengan static simulation of SolidWorks 2014 agar mengetahui kekuatan dari tangki. Asumsi
yang digunakan adalah: (1) tangki akan disimulasi terpisah 2 bagian (bagian atas dan bagian bawah); (2) Tekanan
gas berlaku sama pada seluruh bagian dalam tangki; (3) Sambungan tangki diabaikan (tidak dibahas); dan (4) tebal
plat 3,8 mm.

Tabel 1. Varian Internal Pressure pada tangki


Nama Suhu Internal
Varian Pressure
A 26.7 54.5
B 37.8 77.9
C 43.3 91.4

1. Varian A
Uji statik pada tangki bagian atas dan bagian bawah dengan suhu gas LPG 26,7 °C didapatkan internal
pressure 54,5 Psi. Hasil tegangan Von Misses maksimal adalah 1.085 x 108 N/m2 dengan angka keamanan terendah
4,17 x 108. Dari kedua parameter tersebut, maka tangki bagian atas masih aman dalam menerima beban statik,
sehingga desain tangki aman untuk diimplementasikan. Adapun gambar dari tegangan Von Misses dan angka
keamanan dapat dilihat pada gamba 1 dan 2.

Gambar 1. Hasil Von Misses pada Tangki bagian atas

Gambar 2. Hasil Safety Factor pada Tangki bagian atas

179
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Uji statik pada tangki bagian bawah dengan suhu gas LPG 26,7 °C didapatkan internal pressure 54,5 Psi.
Hasil tegangan Von Misses maksimal adalah 1.114e+008 N/m^2 dengan angka keamanan terendah 4,759. Dari
kedua parameter tersebut, maka tangki bagian atas masih aman dalam menerima beban statik, sehingga desain
tangki aman untuk diimplementasikan. Adapun gambar dari tegangan Von Misses dan angka keamanan dapat dilihat
pada gamba 3 dan 4.

Gambar 3. Hasil Von Misses pada Tangki bagian bawah

Gambar 4. Hasil Safety Factor pada Tangki bagian bawah

Tabel 2. Hasil uji pada tangki bagian atas varian A

Nama Minimum Maksimal

Von misses stress 1.125e+000 N/m^2 1.085e+008 N/m^2

Displacement 1.000e -030 mm 2.445e-001 mm

Safety factor 4.888e+000 4.712e + 008

Tabel 3. Hasil uji pada tangki bagian bawah varian A

Nama Minimum Maksimal

Von misses stress 1.000e+000 N/m^2 1.114+008 N/m^2

Displacement 1.000e -030 mm 1.599e-001 mm

Safety factor 1.000e+016 4.759e+000

180
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

2. Varian B dan C
Pengujian yang sama dengan varian A dilakukan untuk varian B dan C. Adapun rekapitulasi untuk
parameter tegangan Von Misess dan angka keamana dapat dilihat pada tabel 5 dan 6 untuk varian B, sedangkan
tabel 7 dan 8 untuk varian C.

Tabel 4. Hasil uji pada tangki bagian atas varian B

Nama Minimum Maksimal

Von misses stress 2.021e+000 N/m^2 1.205e + 008 N/m^2

Displacement 1.000e -030 mm 2.716e-001 mm

Safety factor 4.399e+000 2.623e+008

Tabel 5. Hasil uji pada tangki bagian bawah varian B

Nama Minimum Maksimal

Von Mises stress 0.000e+000 N/m^2 1.172e+008 N/m^2

Displacement 1.000e-030 mm 1.683e - 001 mm

Safety factor 4,2 1.000e+016

Tabel 6. Hasil uji pada tangki bagian atas varian C

Nama Minimum Maksimal

Von misses stress 1.949 e + 000 N/m^2 1.278e+008 N/m^2

Displacement 1.000e -030 mm 2.878e - 001 mm

Safety factor 4.148 e + 000 2.720e + 008

Tabel 7. Hasil uji pada tangki bagian bawah varian B

Nama Minimum Maksimal

Von misses stress 000e + 000 N/m^2 1.230e + 008 N/m^2

Displacement 1.000e -030 mm 1.767e - 001 mm

Safety factor 4.310e+000 1.000e+016

181
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Penutup
Penelitian ini menghasilkan desain tangki sepeda motor yang sesuai dengan dimensi dari tangki Honda GL
Pro. Pada uji statik menggunakan software didapatkan hasil minimum safety factor telah memenuhi standard yaitu
4,1 pada tangki bagian atas dan 4,3 pada tangki bagian bawah.
Hasil analisis juga menunjukan bahwa tegangan maksimum yag terjadi dari tiga varian data yang diambil
berada dibawah harga dari yield strength, dan hal ini salah satu standard tegangan yang aman.
Penulis berharap pada penelitian lanjutan, diperlukan penelitian terkait analisis pada sambungan tangki, tutup
tangki dan berbagai alat deteksi gas pada tangki yang dapat mensuport kinerja mesin sepeda motor berbahan bakar
gas.

Terima Kasih:
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Nomor
DIPA -042.06-0/2016, tanggal 7 Desember dan berdasarkan SK Direktur Riset dan pengabdian masyarakat nomor
0094/E5.1/PE/2016 tentang penerima penugasan Penelitian dan pengabdian kepada Masyarakat tahun 2016.

Daftar Pustaka
Achmad, S. (2015). Desain Sliding Bridge Sebagai Sebagai Solusi Peningkatan Pelayanan Transjakarta. [Skripsi].
Jakarta : Fakultas Teknik-UNJ.
D, j. (2004). biblio. Jakarta, bandung: works.
Dahlan, P. (2012). Elemen Mesin 1. Jakarta: Citra Harta Prima.
Darmadi, Djarot.(2003). STATIKA STRUKTUR 1. Malang: Brawijaya.
ETSAP. (2010). Automotive LPG and Natural Gas Engines”, Technology Brief T03
Fritz. (1997). Novel Design and Optimization of Vehicle's Natural Gas Fuel Tank. Thesis Paper. Japan : Ohaio Univ.
Handoyo, Singgih & Sudibyo, Dudi. (2011). AVIAPEDIA Ensiklopedia Umum Penerbangan. Jakarta: Kompas.
Hutahaean, Yamses Rohanes. (2014). Mekanika Kekuatan Material. Yogyakarta: Graha ilmu.
Ken, H. (2006). Prinsip - prinsip Dasar Teknik. Jakarta: Erlangga.
Kramer. (2006). write. jakarta: works.
Nasution, I. (2012). STATIKA 1. Bandung: ITB.
R.R. Saraf, S.S.Thipse and P.K.Saxena. (2009). Comparative Emission Analysis of Gasoline/LPG Automotive Bifuel
Engine”, International Journal of Civil and Environmental Engineering 1:4.
M.A. Ceviz_, F. Yu¨ ksel. (2006)”Cyclic variations on LPG and gasoline-fuelled lean burn SI engine”,
Renewable Energi 1950–1960.

182
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

INKUBATOR BAGI KEWIRAUSAHAAN DI UNIVERSITAS


MUHAMMADIYAH SURAKARTA

Suranto1, Muhtadi2, Totok Budi Santosa3


1
Dosen Teknik Industri, Universitas Muhammadiyah Surakarta
2
Dosen Farmasi, Universitas Muhammadiyah Surakarta
3
Dosen Fisioterapi, Universitas Muhammadiyah Surakarta
Jl. A. Yani Tromol Pos 1 Pabelan Kartasura 57102 Telp 0271 717417
Email: ranto_ums@yahoo.com
Email : sur185@ums.ac.id

Abstrak

IPTEKS Bagi Kewirausahaan (IbK) yang dijalankan di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS)
pada tahun pertama ini bertujuan: (a) mengimplementasikan peran IPTEKS dan mendampingi
mahasiswa, alumni menjadi tenant (wirausaha) yang mandiri, (b) penguatan inkubator bisnis yang
dimiliki UMS, melalui pelatihan tindakan wirausaha secara langsung, pemberdayaan potensi tenant,
dan penguatan kegiatan wirausaha. Program IbK sangat bermanfaat bagi tenant dalam rangka
memajukan usaha. Metode pendampingan berbasis potensi, berupa pelatihan, pemetaan potensi
usaha, motivasi, fasilitasi bagi 20 tenant dari para praktisi. Program IbK dilaksanakan mulai 20
maret hingga nopember 2016, memilih 20 tenant (wirausaha baru) sesuai kelompok bidang:
ketahanan pangan, herbal, peternakan-perikanan, kuliner dan fashion. Hasil seleksi tahun pertama
20 tenant, 10 tenant dibantu dalam pendanaan. Model pendampingan dan pemberdayaan secara
doing, empowering, facilitating dan evaluating. Tahapan proses mendapatkan tenant melalui
rekruitmen, penggalian potensi/bakat, interview dan finger print (test sidik jari). Materi pelatihan
meliputi pendalaman manajemen bisnis, pengelolaan keuangan, online shop marketing, pengenalan
pengembangan usaha, manajemen ritel dan franches. Anggota tenant meliputi mahasiswa PKMK,
mahasiswa dan alumni yang merintis usaha baru. Waktu pelaksanaan pelatihan, pemberdayaan,
pendampingan selama 3 bulan di kelas dan 4 bulan monitoring dilapangan. Pelaksanaan
pendampingan bekerjasama dengan lembaga socialpreneur yang ada di Universitas Muhammadiyah
Surakarta dan lembaga usaha yang memiliki kompetensi sesuai bidang, seperti: (a) Sekolah Vokasi,
mendukung peralatan berbasis teknologi, pelatihan dan tempat pelatihan (b) LazisMu, mendukung
keuangan dalam pelaksanaan pendampingan (c) Talents Center, mendukung pelaksanaan penggalian
potensi entrepreneur berbasis bakat, IIBF (Indonesian Islamic Business Forum kota Solo) dan HIPMI
(Himpunan Pengusaha Muda kota Sragen). Hasil pendampingan, sesuai observasi selama 7 bulan
telah menghasilkan 10 tenant mandiri dari jumlah 20 tenant, artinya ada 10 tenant menjadi
wirausaha baru yang mapan, sisanya 10 tenant masih terus merintis dan menggeluti usaha. Harapan
ke depan, program IbK yang dijalankan mampu melahirkan wirausaha baru, menciptakan peluang
kerja bagi alumni UMS.

Kata kunci: IbK; tenant; omset; meningkat

Pendahuluan
Jumlah mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) yang menekuni dunia wirausaha masih
sangat kecil. Pada tahun 2014, mahasiswa yang memiliki usaha sekitar 200 mahasiswa, masih sangat kecil
dibanding jumlah keseluruhan mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta yang mencapai 24.000 mahasiswa.
Hal ini didukung oleh hasil tracer studi pada tahun 2014 terhadap lulusan UMS tahun lulus 2012 menunjukkan
bahwa dari 3275 alumni hanya 57% alumni yang bekerja, sisanya meneruskan studi S2 atau, merawat anak dan
keluarga atau tidak bekerja. Dari yang bekerja tersebut hanya 2% saja yang menggeluti bidang kewirausahaan.
Sebagian besar atau 98% bekerja pada orang lain atau sebagai pegawai. Ironisnya, alumni yang bekerja sebagai
pegawai tersebut yang memperoleh gaji di atas 1 juta rupiah per bulan hanyalah sebesar 30%, sebagian besar bergaji
di bawah 1 juta rupiah.
Demikian, masih terdapat pengangguran dan prospek lulusan UMS tersebut, sebenarnya telah banyak
mendapat perhatian dari beberapa elemen UMS, seperti dilakukan oleh para dosen dan mahasiswa, termasuk secara

183
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

kelembagaan terdorong oleh program pemerintah, maupun inisiatif lembaga UMS untuk memberikan bekal
tambahan dalam mengembangkan budaya kewirausahaan. Hal ini dilakukan melalui program pengembangan diri,
pembelajaran kewirausahaan, pelatihan dan seminar wirausaha, program magang ke industri dan usaha, penambahan
materi soft skill dan hard skill pada mahasiswa. Selain itu UMS tahun 2000 dan kembali aktif tahun 2015, yang
mendirikan Pusat Inkubator Wirausaha Bisnis (Inwabi) dan bekerjasama dengan LPPM UMS melakukan kegiatan
kemitraan dan pelatihan-pelatihan, pengabdian bagi dosen dan mahasiswa yang banyak melibatkan UMKM.
Dari hasil-hasil kegiatan tersebut telah memberikan feed back yang sangat positif terutama menumbuhkan
dan mengembangkan jiwa entreupreneurship dikalangan mahasiswa UMS, memberikan pengalaman nyata didunia
kerja, membuka kesempatan kerja dan memperkuat hubungan kemitraan UMS dengan UKM.
Mewujudkan calon lulusan tenant yang bermental mandiri sebagai pengusaha, dibutuhkan metode, sarana
sebagai strategi dan model skenario pembelajaran kewirausahaan yang tepat, hal ini bisa dilakukan pada mata kuliah
kewirausahaan secara berlapis disertai peran inkubator. Inkubator Bisnis yang dimiliki UMS digunakan sebagai
alat/metode/strategi memberdayakan peserta (tenant) yang masih lemah. Pengembangan model inkubator
kewirausahaan dijadikan sebagai model strategi yang meliputi; doing, empowering, facilitating, evaluating, menuju
berdaya, dan profesional bagi tenant. Inkubator digunakan sebagai alat pada pelatihan (pembelajaran) calon
wirausaha baru agar lebih kreatif, berdaya, profesional, mandiri, memiliki mental usaha mandiri.
Pelaksanaan IbK tahun pertama sangat menggembirakan, dari 20 tenant dapat aktif 10 tenant dan 10 tenan
tersebut sekarang telah mandiri dan memiliki omset penjualan tiap bulan sangat mengagumkan rata-rata
9.5juta/bulan. Omset tertinggi 65juta/bulan dan terendah 1650ribu/bulan. Adapun 10 tenant tersebut bergerak
dibidang usaha: fashion, kuliner, jasa penjualan, ternak dan makanan ringan.
Program pendampingan mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Surakarta melalui kegiatan IbK dan
Inwabi merupakan salah satu upaya kerjasama antara perguruan tinggi dan Kopertis/Dikti yang bertujuan untuk
mempersiapkan mahasiswa secara lebih dini memahami permasalahan yang dihadapi dunia usaha dan mengatasi
permasalahan tersebut dengan bekal keterampilan dan pengetahuan yang didapat bangku perguruan tinggi. Secara
umum mahasiswa mengalami kendala dalam menjalankan usaha, yaitu berkaitan dengan (a) Modal usaha, (b) Ide
usaha, (c) Metode dan teknis pendampingan, (d) Tempat pelaksanaan pemberdayaan/pendampingan mahasiswa,
dan; (e) Akses penjualan produk. Melalui gencarnya sosialisasi dan promosi yang akan direncanakan, serta
dukungan dari LPPM dan UMS mahasiswa banyak yang tertarik tergerak untuk berwirausaha.
Program IbK ini diharapkan mampu menjadi solusi ke depan untuk membangun, mendukung dan
memberdayakan program wirausaha yang dimiliki oleh Inkubator Wirausaha Bisnis (Inwabi) UMS. Target setiap
tahun jumlah tenant 20 orang, Inkubator siap mendampingi calon wirausaha baru, minimal 5 tenant atau 25% bisa
tangguh dan mandiri dalam menjalankan usaha, oleh karena itu IbK sangat penting dan layak untuk dilakukan di
kampus-kampus.

Tinjauan Pustaka
 Inkubator UMS
Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) merupakan salah satu Perguruan Tinggi Swasta yang telah
meraih prestasi dan masuk dalam 50 PTN/PTS terbaik di Indonesia (50 promising Indonesia universities) dan
terbaik no 8 PTN/PTS versi QS. Dilaporkan UMS berada pada posisi peringkat ke 40-an dari total jumlah
PTN/PTS (lebih dari 3000 PT) yang ada di Indonesia. Bidang Penelitian, UMS masuk dalam kategori Utama dalam
program Desentralisasi Penelitian Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. UMS juga memiliki lebih dari 100
Doktor dengan berbagai keahlian dan pengalaman penelitian, dan telah berhasil memperoleh dana Hibah- hibah
Penelitian DP2M DIKTI, baik HB, PF, Hibah pekerti, Hibah Pasca dan juga Insentif Ristek, yang tiap tahunnya
tidak kurang dari 50 judul telah didanai.
Inkubator UMS berdiri sejak tahun 2000, dan kembali aktif tahun 2015, peran inkubator adalah Abramson
(1997), (Faire. 1973) inkubator “assistance programs targeted to start-up and fledgling firms. They offer access
to business and technical assistance provided through in-house expertise and a network of community resources”.
Program inkubator menawarkan akses bisnis dan bantuan teknis melalui keahlian serta jaringan bagi sumber daya
masyarakat. Inkubator bisnis diharapkan mempercepat keberhasilan pengembangan usaha melalui serangkaian
sumber daya, dukungan bisnis yang diatur oleh manajemen inkubator. Inkubator bertujuan mempercepat
pertumbuhan dan keberhasilan usaha melalui serangkaian sumber daya, dukungan bisnis, layanan yang mencakup
ruang fisik, modal, pelatihan, layanan umum, dan jaringan (Musa Hubeis. 2009). Tanggung jawab pelaksanaan dan
pengembangan IbK ini, akan selalu dikerjasamakan dan disinergikan dengan dengan unit/lembaga yang ada di
Universitas Muhammadiyah Surakarta.

 Peran dan Fungsi Inkubator


Peran dan fungsi inkubator yang dikembangkan meliputi konsep Doing, Empowering, Facilitating dan
Evaluating. Pelaksanaannya sesuai dengan hasil observasi dan pendekatan sebelumnya terhadap mitra, maka

184
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

permasalahan yang dihadapi oleh mahasiswa dan alumni. Inkubator wirausaha berperan dan berfungsi sebagai
wadah untuk menjembatani mahasiswa dan alumni dalam karir di bidang wirausaha. Program wirausaha, modal
wirausaha, dan metode pengembangan wirausaha serta networking (pemasaran) produk dari mahasiswa belum
terkooordinir secara optimal. Produk-produk dari tenant yang dihasilkan sejauh ini sebenarnya memiliki
keunggulan.
Melalui bimbingan dan pendampingan oleh tim Pelaksana pendampingan kewirausahaan diharapkan
memiliki target sesuai tujuan dan keluaran (a) pengembangan bisnis, rintisan usaha baru bagi mahasiswa dan alumni
UMS, (b) minimal 5 tenant dari 20 tenant keluaran program IbK bisa sukses dan mapan (mandiri), menjadi
wirausahawan mandiri yang dapat membuka kesempatan kerja bagi pemuda, mahasiswa dan masyarakat yang lain
(c) perguruan tinggi nantinya mampu memberikan penguatan mental kemandirian bagi calon wirausaha baru dan
mampu menyelenggarakan unit layanan bisnis yang profesional, mandiri dan berkelanjutan, berwawasan knowledge
based economy, (d) pengembangan unit inkubator wirausaha (Inwub) di kampus UMS dapat berjalan lebih baik
berkelanjutan, seiring dengan perintisan program pengembangan kewirausahaan melalui kegiatan IbK ini, (e)
meningkatkan skill tenat baik manajemen, leadhership, teknologi, produksi, pemasaran, dll, (f) mampu
menghasilkan metode yang tepat dalam meningkatkan mental keberdayaan dan kemandirian wirausaha/bisnis
tenant dan pengembangan yang berkelanjutan, (g) publikasi ilmiah dalam jurnal/majalah nasional, seminar nasional
dan jurnal internasional akan diwujudkan pada setiap tahunnya, (h) memiliki showroom usaha keluaran IbK dalam
menjual produk-produk yang menjadi oleh-oleh khas UMS, (i) menjadi fasilitator dan pelopor wirausaha di kampus.

Metode Pelaksanaan Pendampingan


Pelaksanaan pendampingan tatap muka dilakukan secara periodik seminggu dua hingga tiga kali (senin dan
kamis wajib dan sabtu sebagai evaluasi outing class kunjungan usahan selama 2-3 jam dalam tiap kali tatap muka)
berisikan pelayanan pendampingan terhadap tenant, berupa: motivasi, konsultasi, pembinaan, pelatihan dan
pertemuan anggota. Model pelayanan pertama (integratif) lahirlah tenat calon wirausahawan yang telah berdaya.
Lahirlah peserta calon wirausahawan yang memiliki pengetahuan kewirausahaan dan mahir dalam bidangnya serta
mampu memasarkan produknya.
Kinerja pelaksanaan program dilakukan empat tahapan yaitu Doing, dimaksudkan istilah doing, adalah
melakukan tindakan atau praktik nyata secara langsung. Peserta calon wirausahawan harus praktik melakukan suatu
jenis usaha rill, ini sebagai metode pembelajaran. Pelatihan dengan model ini tidak hanya teoritis, tidak hanya
sebatas memberikan pemahaman semata kepada tenant, namun peserta (tenant) harus praktik langsung melakukan
tindakan membuat usaha, produksi karya dan menjual.
Empowering, inti dari IbK adalah empowering, dimaksud dengan empowering adalah pemberdayaan.
Pemberdayaan bertujuan menjadikan peserta calon wirausaha memiliki daya untuk melakukan usaha atau bisnis
nyata. Pemberdayaan dalam hal ini mengkapasitasi peserta calon wirausahawan.
Facilitating adalah kegiatan seorang pendidik/pendamping yang berperan sebagai pendamping/pembimbing,
memfasilitasi masalah yang dihadapi tenant dengan cara membantu memberikan solusi agar semua masalah yang
dihadapi peserta menjadi lebih mudah untuk di atasi. Seorang pendidik/pendamping dalam program IbK ini berperan
sebagai pendamping yang penuh kesabaran, keuletan, kecermatan untuk bersama-sama menyelesaikan masalah. Inti
dari fasilitasi adalah menjadikan segala sesuatu masalah lebih mudah untuk di atasi peserta.
Evaluating berisi tentang evaluasi kegiatan, target dari IbK adalah tenant harus mandiri menjadi wirausaha
baru. Dikatakan mandiri adalah berdaya dan professional, mampu menjalankan usaha sendiri. Lahirlah wirausaha
baru adalah capaian akhir dari IbK ini.

Tahap Pelaksanaan
 Persiapan
Program IbK tahun ke -2 ini diharapkan dapat melaksanakan sejumlah kegiatan kreatif yang mampu
menghasilkan wirausaha baru lebih mandiri. Tahap persiapan yang dilakukan adalah (a) persiapan jumlah tenant,
minimal 20/tahun. Tenant berasal dari program studi yang ada di UMS, diseleksi dengan potensi bakat dan ditambah
dari mahasiswa PKM (Program Kreatifitas Mahasiswa Kewirausahaan) dan alumni, (b) Menyiapkan tempat, mitra
dengan lembaga rekanan yang memiliki reputasi bidang wirausaha, pendamping, model/strategi pembelajaran,
kurikulum/materi, sarana prasarana dan alat pendukung kegiatan kewirausahaan, (c) Setiap tahun peserta minimal
20 mahasiswa dan mendampingi calon wirausaha baru yang akan dikembangkan.
Untuk tahun pertama yang telah dilaksanakan sebagai pelajaran dan motivasi telah menghasilkan (a) Selama
6-8 bulan pelatihan, 20 tenant, telah berhasil 10 tenant yang mandiri (50%/tahun), melebihi target 5 tenant/tahun, (b)
Display produk, (c) Publikasi ilmiah dalam jurnal/prosiding nasional, internacional, koran diwujudkan pada setiap
tahunnya, (d) Konsep Model pendampingan IbK, (e) Peningkatan omset penjualan dan buku pedoman menjalankan
IbK.

185
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

 Pelaksanaan
Pelaksanaan pendampingan memiliki kriteria sesuai yang diterapkan program inkubator, yaitu: (1) sesuai
kondisi mental awal tenant, (2) kualitas dan kuantitas, (3) tepat sasaran dan waktu, (4) materi mudah dimengerti dan
dikomunikasikan dengan baik pada tenant, (5) murah dalam pembiayaan.
Penyampaian materi program inkubator tidak sekedar bersifat lisan di kelas, tetapi materi dilakukan dengan
tindakan, komunikasi via sms, komunikasi via email, acara seminar, kuliah umum, diskusi, partisipatif interaktif,
learning by doing dan dilakukan dengan metode pembelajaran yang Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, Menyenangkan,
Gembira, dan Berbobot (PAIKEM GEMBROT) serta Learning is fun merupakan kunci yang diterapkan dalam
program pendampingan ini (Faire, 1973).
Pendampingan dilaksanakan dengan memanusiakan manusia (humanisasi), merupakan interaksi antar
manusia sehingga terjadi humanisasi (memanusiakan manusia) yang egaliter atau kesederajatan kedudukan, melalui
hubungan yang baik, kemitraan (partnership), duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi, tidak memandang rendah
peserta. Peserta dipandang sebagai sistem yang memiliki kekuatan positif dan bermanfaat bagi proses pemecahan
masalah (Formica, 2010), (Fransesco, 2006).
Materi pelatihan dan pendampingan 70% praktek dan 30% teori dan diskusi. Adapun materi secara detail
sebagai berikut: (1) Materi tahap awal terdiri dari: Motivasi sukses dan motivasi wirausaha, (2) pengetahuan bisnis.
Materi tahap kedua, yaitu (1) Mengenali bakat (melalui tes sidik jari), (2) Menangkap peluang dan ide bisnis,
(3) Mengubah bakat menjadi ide bisnis, (4) Memahami bahwa ide usaha terbaik bersumber dari potensi bakat, (5)
Wirausaha berbasis bakat akan menghasilkan 4E (enjoy/gembira, easy/mudah, excellent/unggul, earn/produktif), (6)
Membuat real business plan dan studi kelayakan bisnis, (7) Memulai dan menjalankan usaha, franchise, retail, (8)
Pendampingan dan pelatihan usaha dilapangan, (9) doing dalam usaha, (10) stimulasi dana, (11) melaksanakan
bisnis dan pendampingan mandiri, online shop marketing, ekspor dan impor, (12) monitoring dan evaluasi bisnis.

 Evaluasi
Sistem monitoring dan evaluasi keberhasilan tenant dilakukan seminggu sekali pada hari senin atau sabtu (1
atau 2 kali dalam seminggu). Mengevaluasi kegiatan dan perkembangan bisnis oleh tenant, dengan mencatat
kapasitas produksi, pemasaran, omset penjualan, tenaga kerja yang dilibatkan dan peluang yang dapat
dikembangkan. Setiap hari senin dilakukan evaluasi oleh tenaga pendamping/konsultan pada lembaga inkubator
bisnis, untuk membantu memecahkan permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh tenant agar diperoleh solusi
terbaik dalam pengelolaan dan pengembangan usaha.

Hasil Pendampingan
Pelaksanaan kegiatan IbK, dilakukan dengan tahapan; pelatihan, pemberdayaan, pendampingan dan evaluasi
hasil dari para tenant. Lebih detail sebagai berikut:

 Tahap I
Kegiatan tahap pertama ini adalah (a) rekruitmen peserta dihasilkan jumlah 66 pendaftar dan yang hadir
mengikuti seleksi interview dan sidik jari untuk mengetahui mental dan potensi wirausaha 41 peserta dan dihasilkan
verifikasi data dan yang diterima menjadi calon tenant 20 peserta, (b) verifikasi data usaha peserta 20 diterima dan
dipresentasikan sesuai permasalahan yang dihadapi. Berdasar diskusi 20 peserta tersebut didapatkan bermacam
jenis usaha yaitu: 2 orang di bidang fashion, 13 orang dibidang kuliner dan herbal, serta 5 orang dibidang
peternakan, perikanan dan jasa.
Setelah dikelompokkan dan didiskusikan secara detail, peserta dipilih 20 tenant dipilih 10 tenant yang
didanai, sesuai pertimbangan: (a) hasil sidik jari berguna mengetahui potensi wirausaha calon tenant, (b) motivasi
wirausaha, (c) business plan, (d) teknik pemasaran dan strategi bisnis canvas usahanya.
Dalam kegiatan, 20 tenant wajib mengikuti pelatihan, akan tetapi 10 tenant menjadi perhatian tersendiri
karena telah dibiayai/didanai. Adapun materi pelatihan dibuat silabi pelatihan selama 15 kali pertemuan, meliputi
konsep doing, empowering, facilitating dan evaluating. Kegiatan sosialisasi, interview dan rekruitmen dilakukan di
aula ruang vokasi, jam 09.00-14.00, sesuai gambar-1. Test sidik jari dan interview

186
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Gambar-1. Test sidik jari dan interview


 Tahap II
Kegiatan tahap kedua memberikan pemahaman, mindset wirausaha berbasis bakat/potensi. Karakter dan
potensi 20 tenant dapat dibaca berdasar finger print dan keakurasian hasil diatas 90%. Materi penyuluhan tentang
pengenalan bakat (melalui tes sidik jari), menangkap peluang dan ide bisnis, mengubah bakat menjadi ide bisnis,
memahami bahwa ide usaha terbaik bersumber dari potensi bakat, wirausaha berbasis bakat akan menghasilkan 4E
(enjoy/gembira, easy/mudah, excellent/unggul, earn/produktif).
Berdasarkan analisis sidik jari bahwa 20 orang peserta yang memiliki potensi sesuai bakat bidang wirausaha
akan terus dimonitor secara serius dan sungguh-sungguh dalam menjalankan usahanya, hal ini terbukti 20 tentant
tampak optimis dalam menjalankan usahanya dengan baik. Hal ini dapat di lihat berdasar indikator (a) tiap
pertemuan dalam mengikuti kegiatan, (b) penjualan produk atau hasil produksinya mengalami peningkatan.
Kegiatan pelatihan dilakukan sehari jam 09.00-15.00, diruang pelatihan inkubator.

 Tahap III
Tahap ketiga setiap peserta mempresentasikan usahanya, menganalisis melalui SWOT (Strenght, Weakness,
Opportunity, Treath) dan bisnis kanvas, dari usaha yang dilakukan. Permasalahan yang timbul tersebut menjadi
pekerjaan pendamping dan tenant untuk segera dicari jalan keluarnya. Tahapan ini membutuhkan keterampilan
manajemen (pengelolaan usaha) melalui real business plan, solusi dan proses pemecahan masalah. Pendamping
memberikan training motivasi dan pengetahuan bisnis serta coaching teknis memulai bisnis. Dilanjutkan magang
bagi yang mendalami usaha tertentu agar mampu learning by doing terutama menyusun rencana bisnis. Stimulasi
dana muncul pada tahap ketiga dan menjadi permasalahan yang belum bisa terpecahkan secara akurat. Pelaksanaan
pertemuan ini dilakukan sehari jam 09.00-15.00, diruang pelatihan inkubator. Sesuai gambar-2. Pendampingan di
kelas oleh Instruktur Mitra UMS

Gambar-2. Pelatihan tim dari instruktur mitra UMS


 Tahap IV
Berdasarkan SWOT analisis yang dipaparkan dari setiap usahanya dilakukan pendampingan dan solusi agar
usaha berjalan lebih lancar. Berdasar analisis solusi yang lebih tepat dari permasalahan adalah mempelajari online
shop marketing internet, karena lebih dari 50% peserta mengalami kesulitan bagaimana cara menjual produknya.
Baik produk karya sendiri atau karya oranglain tetapi tenant sebagai marketing secara off dan online. Pertemuan
pelatihan on line shop dilakukan selama 2 sessi dengan pertemuan 4 kali ditambah choacing by telephon dan setiap
pertemuan sekitar 3 jam (jam 09.00-12.00 dan 12.00-15.00). Adapun materi on line shop meliputi 9 item, semisal
whatsapp, twitter, line, path, instagram dan facebook, dll. Sebelum mengenal on line shop setiap peserta
mempresentasikan omsetnya masing-masing dan setiap habis pelatihan on line shop perilaku peserta dalam
menjalankan/menjualkan produknya di nilai besarnya omset penjualan. Setiap awal pertemuan, tiap peserta/tenant
bergantian sharing permasalahan yang dihadapi, dan mempresentasikan omsetnya. Setiap pelatihan selama 6 jam
dan pertemuan periodenya berjarak satu minggu 1-2 kali. Selama bulan ramadhon peserta tidak ada kegiatan
pelatihan, tetapi pendampingan melaluai sms, WA dan telephon agar lebih memaksimal terhadap produk usahanya
dalam meningkatkan omset penjualan maupun membangun akses penjualan.

187
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

 Tahap V
Peserta melakukan pelatihan internet melalui penjualan dunia maya, online shop marketing selama 4 sessi
dalam 2 hari, pertemuan perdana membahas pentingnya online shop dan pengamatan/observasi setelah mengikuti
pelatihan online shop marketing. Setiap peserta memiliki produk yang dijual dan mampu memanfaatkan sosial
media dengan baik. Mulai dari Facebook, Twitter, Line, Istagram, dll. Penguasaan sosial media sebagai media untuk
menjual produknya agar mengalami kenaikan omset penjualan. Selama pertemuan 1-8 kali pertemuan diatas 50%
peserta mengakui pentingnya pendampingan dan pentingnya penjualan melalui dunia maya “online shop” terbukti
omset penjualan mengalami kenaikan, bahkan diajarkan pula pengenalan “ekspor-impor”. Dari sinilah terlihat trend
mental kewirausahaan berdasar volume (omset) penjualan. Tim pendamping mencatat dan memberikan evaluasi
setiap pertemuan, dan dilakukan pada pertemuan 9 hingga 12. Sedangkan pertemuan 13-15 selalu melakukan
pendampingan 2x ke lapangan dan evaluasi pendampingan. Gambar-3. Pendampingan lapangan oleh Tim IbK.

Gambar-3. Pendampingan tim IbK


 Tahap VI
Tahap ini digunakan untuk mengobservasi prilaku atau kecenderungan tenant yang dilihat dan dievaluasi
trend omsetnya, apakah mengalami kenaikan, stagnan atau penurunan. Peserta juga membuat komentar, catatan dan
hasil akhir kegiatan yang telah dilaksanakan.

 Tahap VII
Peserta di evaluasi melalui berbagai kegiatan yang dilakukan, yaitu: membuat real business plan (doing),
memulai dan menjalankan usaha miliknya (empowering), pendampingan usaha (facilitating) dan motivasi sukses
wirausaha (evaluating), selain pertemuan kunjungan lapangan dan pengembangan produk, maupun rencana
pembelian alat-alat produksi.

 Tahap VIII
Hasil pendampingan tenant melalui inkubator secara keseluruhan sangat memuaskan dan mampu
meningkatkan mental usaha tenant. Hasil kegiatan IbK di desiminasikan dalam seminar nasional dan jurnal nasional
serta internasional, Gambar-4, contoh omset tenant.

Gambar 4. Contoh Omset Tenant

Kesimpulan
• Kegiatan IbK yang dijalankan melalui Inkubator dan pendampingan dengan konsep Doing (tindakan
langsung wirausaha), Empowering (pemberdayaan langsung peserta), facilitating (menfasilitasi peserta
untuk usaha), dan Evaluating (mengevaluasi kegiatan yang telah dijalankan oleh peserta), di inkubasi
selama 6-8 bulan telah memberikan hasil tenant mandiri 10 tenant, melebihi target hanya 5 tenan mandiri
dari 20 tenant, artinya 50% telah berhasil menjadi tenant mandiri.
• Melalui IbK muncul pengusaha muda dari mahasiswa maupun alumni UMS, jumlah pendaftar/peserta
(tenant) cukup antusias dan setelah mendapatkan materi motivasi wirausaha, real business plan dan

188
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

marketing produk melalui on line dan off line shop marketing, hasilnya sangat menggembirakan, omset
penjualan tenant mengalami kenaikan. Omset tertinggi 65juta/bulan dan omset terendah 1650ribu/bulan,
dirata-rata dari 10 tenant yang dibiayai 9.5juta/bulan.
• Pelatihan di fokuskan pada proses pengembangan usaha, dengan melakukan pelatihan manajemen retail
dan franchise telah membuka wawasan untuk meningkatkan dan mengembangkan usaha yang dikelola, hal
ini menambah semangat dalam meningkatkan omset setiap tenant
• Teknologi sosial media yang dikenalkan pada tenant mampu memberikan wawasan dan pengetahuan
tersendiri bagi tenant dalam rangka peningkatan hard dan soft skill wirausaha tenant

Saran
• Wirausaha tidak harus membutuhkan modal yang besar, wirausaha bisa dilakukan dengan menjual produk,
baik yang diproduksi sendiri atau produk yang dihasilkan orang lain
• Optimalkan peran networking dan dunia maya, karena kesuksesan usaha kuncinya pada marketing
(penjualan).
• Penambahan jam (waktu) pelatihan dan penambahan materi agar tenant mampu memaksimalkan
kemampuan dan menjual produknya di berbagai daerah lain.

Daftar Pustaka
Faire. 1973. Knowledge-driven entrepreneurship: the key to social and economic transformation. Springer. New
York Dordrecht Heidelberg London.
Fayolle.,Alain. 2006. Handbook of research in entrepreneurship education: international perspectives.
Massachusetts Northampton USA. Edward Elgar Publishing Inc.
Formica. Piero.,Thomas Andersson, Martin G. Curley,.2010. Knowledge-Driven Entrepreneurship: The Key to
Social and Economic Transformation. Springer. New York Dordrecht Heidelberg London.
Fransesco. Perrini. 2006. The new social entrepreneurship: what awaits social entrepreneurial ventures?. UK:
Edward Edgar Publishing, London.
Muhtadi, 2015. Pengembangan Kewirausahaan Berbasis Program Mahasiswa Wirausaha Di Universitas
Muhammadiyah Surakarta, Laporan Pengabdian Masyarakat. LPPM UMS. Surakarta.
Musa Hubeis. 2009. Prospek usaha kecil dalam wadah inkubator. Jakarta. PT. Ghalia Indah.

189
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

USULAN INOVASI BERDASARKAN KELOMPOK


PRODUK PADA FOOD PROCESSOR

Jefvie Lois1 , Catharina Badra Nawangpalupi2 , Romy Loice3


Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknologi Industri, Universitas Katolik Parahyangan
Jl. Ciumbuleuit 94, Bandung 40141 Telp (022) 2032655/2042004
Email: Jefvielois@gmail.com

Abstrak

Perkembangan teknologi serta kebutuhan dari konsumen yang semakin meningkat dari waktu ke
waktu menyebabkan setiap penyedia barang dan jasa harus terus meningkatkan inovasi pada produk
yang dihasilkan. Kondisi yang sama berlaku untuk food processor. Masih banyaknya keluhan
konsumen akan food processor yang telah ada pada pasaran mengharuskan perusahaan penyedia
food processor lebih serius dalam menghasilkan produk yang inovatif dan sesuai dengan kebutuhan
konsumen.
Oleh karena itu, pada penelitian ini akan dilakukan identifikasi karakteristik produk yang
berpengaruh pada inovasi suatu produk. Karakteristik Produk tersebut dapat dilihat dari
karakteristik fisik dan spesifikasi produk yang disediakan pada website yang menyediakan informasi
food processor. Kategorisasi penilaian akan dilakukan pada setiap karakteristik produk yang ada
untuk dijadikan parameter penilaian produk. Kemudian penilaian akan dilakukan pada 100 jenis food
processor. Hasil penilaian tersebut akan dilakukan analisis faktor untuk mengetahui struktur pokok
diantara karakteristik produk dalam analisis. Setiap faktor yang terbentuk atau dinamakan kriteria
inovasi. Selanjutnya akan dilakukan perhitungan terhadap nilai kriteria inovasi berdasarkan factor
loading dan penilaian produk.
Usulan inovasi pada food processor berdasarkan kriteria inovasi yang telah didapatkan untuk
pengembangan produk food processor adalah dengan memperhatikan kategori produk yang
merepresentasikan kriteria inovasi yang ingin dikembangkan. Dengan memperhatikan produk yang
merepresentasikan hal tersebut, pengembangan inovasi yang tepat sasaran dapat dilakukan.

Kata kunci: food processor; inovasi; karakteristik produk; kriteria inovasi; kelompok produk

Pendahuluan
Pada zaman serba modern ini, segala bidang pada dunia industri berkembang dengan sangat pesat. Dampak
perkembangan tersebut adalah adanya keharusan setiap perusahaan untuk terus meningkatkan diri agar dapat
bersaing, terutama dalam persaingan pemenuhan kebutuhan konsumen. Dalam pemenuhan kebutuhan konsumen,
perusahaan tentu harus mengetahui kebutuhan konsumen.
Secara umum, produk yang sering diincar oleh konsumen adalah produk yang memiliki kualitas bagus, harga
terjangkau, sesuai dengan kegunaan yang diinginkan, dan penjelasan atau pelayanan kegunaan produk yang cukup
jelas. Produk tersebut tentulah produk yang memiliki lebih banyak spesifikasi yang sesuai dengan kebutuhan
konsumen. Kebutuhan konsumen yang semakin beragam mengharuskan perusahaan untuk melakukan berbagai
usaha untuk memproduksi suatu produk. Tidak hanya penciptaan produk baru, bahkan pengembangan produk yang
sudah ada diharapkan dapat menarik minat beli masyarakat. Perusahaan perlu untuk mengembangkan inovasi pada
produk mereka agar dapat mewujudkan hal tersebut.
Inovasi merupakan penerapan hal-hal baru, seperti pembaharuan atau penemuan baru yang berbeda dari yang
sudah ada atau yang sudah dikenal sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan yang ingin
mengembangkan hal baru dari yang telah ada atau penemuan akan hal baru membutuhkan sesuatu yang dinamakan
inovasi. Semakin bagus peningkatan inovasi yang dilakukan oleh perusahaan, semakin besar profit yang akan
didapatkan oleh perusahaan tersebut.
Menurut Kelley, Pikkel, Quinn, dan Walters (2013), inovasi merupakan penciptaan penawaran baru yang
dapat diterima. Inovasi dibutuhkan untuk dapat mengidentifikasi masalah dan bergerak secara sistematis untuk
menemukan solusi yang elegan. Inovasi terdiri dari sepuluh tipe, yaitu profit model, network, structure, process,
product performance, product system, service, channel, brand, dan customer engagement.

190
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Perusahaan perlu untuk mengetahui inovasi-inovasi yang perlu dikembangkan agar dapat tepat sasaran dan
memenuhi keinginan dari konsumen. Dengan mengetahui inovasi yang perlu dikembangkan, penelitian dan
pengembangan produk dalam perusahaan dapat lebih terpusat. Pengembangan yang akan dilakukan juga lebih
maksimal dan sesuai dengan yang dibutuhkan masyarakat.
Salah satu cara untuk mengetahui kriteria inovasi dari produk adalah dengan mengidentifikasi spesifikasi
yang terlihat dan diberikan pada produk. Hal ini dikarenakan tujuan dari dilakukannya inovasi adalah untuk
memenuhi kebutuhan konsumen dan hal yang dapat dilihat oleh konsumen sebelum membeli produk adalah menilai
tampilan dari produk serta melihat spesifikasi dari produk. Hasil tersebut selanjutnya akan digunakan untuk
membuat core benefit proposition. Core benefit proposition berguna untuk menunjukkan perbedaan antar produk
yang digunakan untuk menarik perhatian dari pelanggan atau konsumen produk tersebut.

Identifikasi Masalah
Produk yang akan menjadi fokus pada penelitian ini adalah food processor. Produk ini dipilih karena
dianggap memiliki jenis produk dan inovasi produk yang sangat beragam. Hal tersebut dibutuhkan agar dapat
melihat variasi bentuk dan spesifikasi dari produk serta menghasilkan kriteria inovasi pada food processor. Alasan
lainnya adalah sebagian besar rumah tangga pasti mempunyai food processor baik yang digunakan untuk
memproses makanan ataupun minuman. Penggunaan yang sangat beragam juga menjadi salah satu alasan food
processor yang ada juga sangat beragam.
Keberagaman inovasi pada food processor dapat dilihat dari perkembangan inovasi food processor merk
Cuisinart. Sebuah produk harus dapat terus dikembangkan dari segala aspek agar dapat bertahan di pasar dan
menarik minat konsumen. Perkembangan inovasi pada food processor merk Cuisinart dari waktu ke waktu dari
tahun 1970 sampai dengan tahun 2014 dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Perkembangan Inovasi Food Processor Merk Cuisinart


Tahun Inovasi
1960 > Food Processor pertama dengan nama Robot-Coupe
1971 >Pergantian pada alat aktual dan desain
1972 >Pemanjangan feed tube
>Peningkatan Cutting blade dan disc

1974 >Peningkatan disc dan blades


1978 >Sebuah mangkok kerja dengan 46% kapasitas lebih dari sebelumnya
>Motor yang lebih kuat dan efisien
>Feed tube yang lebih besar
1986 >Mini Mate Chopper dengan pisau performansi tinggi
1990 >Fitur inovatif, misalnya feed tube besar.
1991 >Pint size : memotong makanan dengan cepat dalam ukuran kecil
1992 >Pegangan tangan dan pisau yang dapat memotong berlawanan arah
1999 >Tujuh jenis kecepatan dan ukuran 3 cup food processor
2000 >Pisau logam untuk adonan, permukaan mulut tabung yang lebih besar
2008 >Material yang mengurangi emisi karbon
>Material yang menggunakan energi yang lebih sedikit
2009 >Mangkok kerja yang lebih beragam
>Sistem penguncian pisau
>Teknologi sealtight
2014 >8 cup food processor
>first speed convection
Sumber : diadaptasi dari www.cuisinart.com/about/timeline.html

Food processor yang telah ada pada pasaran sangat beragam. Keberagaman food processor dapat dilihat dari
segi bentuk, ukuran, warna, fungsi, bahan, dan lain-lain. Konsumen yang ingin membeli food processor pastinya
akan membandingkan antara satu produk dengan produk lainnya agar mendapatkan produk yang sesuai dengan
kebutuhan mereka. Contoh inovasi yang ada pada food processor adalah bentuk atau ukuran tabung, bentuk atau
ukuran keseluruhan, sistem penggunaan, kemampuan proses, jenis pisau yang digunakan, komponen pendukung,

191
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

fungsi atau fitur yang tersedia, warna, harga yang ditawarkan, kecepatan pisau, jenis tombol yang digunakan,
ukuran ketinggian pada tabung, tempat penyimpanan untuk hasil yang telah selesai diproses, dan lain-lain.
Perusahaan lain yang bergerak di bidang food processor adalah KitchenAid. Produk food processor merk
KitchenAid juga sangat beragam. Hal ini dapat dilihat pada alamat web KitchenAid (http://www.kitchenaid.com/).
Berdasarkan kapasitas yang ada, terdapat variasi tempat penampungan setara 7-cup, 9-cup, bahkan ada yang
mencapai 14-cup. Hal lainnya adalah terdapat food processor yang menawarkan pisau potong yang sangat beragam.
Sistem penggunaan juga bervariasi, ada yang menggunakan model tekan dan ada juga yang menggunakan model
putar untuk operasi food processor. Salah satu gambar food processor merk KitchenAid dapat dilihat pada Gambar
1.

Gambar 1. Food Processor Merk KitcheenAid

Setiap perusahaan penghasil food processor pasti berusaha menghasilkan produk yang memang dibutuhkan
pada pasar. Inovasi dari berbagai aspek dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dan menarik minat konsumen.
Inovasi yang tepat dari sebuah perusahaan akan membuat produk yang dikeluarkan tersebut menjadi unggul di
pasaran. Food processor dipilih karena dianggap memiliki jenis produk dan inovasi yang banyak sehingga dapat
dinilai tampilan produk serta spesifikasi produknya.
Dari hasil wawancara yang telah dilakukan, dapat dilihat bahwa masih banyak keluhan dari konsumen
mengenai food processor yang telah mereka gunakan. Hal ini dapat terjadi karena konsumen tidak mengetahui
produk seperti apa yang memenuhi kebutuhan dan keinginan mereka. Rekapitulasi kebutuhan konsumen yang
memakai food processor dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Rekapitulasi Kebutuhan Konsumen


Konsumen Kebutuhan
Keawetan komponen
Ibu Sarmi Material yang digunakan
Mudah digunakan
Fitur yang lebih banyak
Variasi mata pisau
Elin Sistem otomatis
Timer
Tahan lama
Material yang digunakan
Ibu Joming Listrik yang stabil
Fitur yang banyak
Keawetan komponen
Ketahanan energi
Ibu Yani
Kemudahan penggunaan
Mudah dibersihkan

Food processor yang sangat beragam di pasaran disebabkan oleh munculnya inovasi yang banyak sehingga
muncul kebutuhan untuk mengetahui kriteria inovasi pada food processor. Berikut merupakan rumusan masalah dari
penelitian yang akan dilakukan:
1. Apa saja karakteristik produk yang dapat merepresentasikan inovasi pada food processor?
2. Apa saja kriteria inovasi yang dapat merepresentasikan inovasi pada food processor?
3. Apa usulan inovasi dengan memperhatikan kelompok produk pada food processor?

192
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Pengumpulan Data
Produk yang digunakan dalam penelitian ini adalah food processor. Food processor yang digunakan dalam
penelitian ini berjumlah 100 jenis. Food processor dipilih karena dianggap sebagai produk dengan keberagaman
jenis pada pasaran yang tinggi dan memiliki tampilan fisik serta spesifikasi yang jelas. Contoh gambar dan
spesifikasi dapat dilihat pada Tabel 3.
Karakteristik inovasi dari referensi akan digunakan untuk menghubungkan karakteristik produk dan inovasi.
Karakteristik inovasi yang digunakan dan karakteristik produknya dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 3. Contoh Gambar dan Spesifikasi


Gambar Spesifikasi

KitchenAid KFP1333GER
Berat: 8,16 kg
Ukuran tabung: 13-cup
Slicing disc: Adjustable slicing disc
Paket tabung dan pisau
Fitur Pendukung:
+ Pusher
+ Chef’s Bowl

Tabel 4. Karakteristik Inovasi dan Produk


Karakteristik Inovasi Karakteristik Produk
Tombol yang digunakan
Ease of use Pegangan yang disediakan
Berat produk
Jumlah warna yang ditawarkan
Unique Posisi tabung
Ukuran tabung
Pilihan kecepatan
Slicing disc
Product features
Tabung khusus
Ketersediaan fitur pendukung
Penyediaan paket pisau atau tabung
Product system Sistem otomatis
Karakteristik khusus dari material yang digunakan

Selanjutnya, karakteristik produk akan dibagi menjadi 3 kategorisasi penilaian. Kategorisasi penilaian
tersebut yang akan digunakan untuk menilai produk. Karakteristik produk dan kategorisasi penilaiannya dapat
dilihat pada Tabel 5.

Analisis Faktor
Hasil penilaian 100 jenis produk yang telah dilakukan akan dilanjutkan dengan analisis faktor untuk
mendapatkan faktor yang mempengaruhi inovasi. Jumlah faktor yang terbentuk dapat dilihat dari scree plot. Dapat
dilihat penurunan signifikan masih terjadi dari terbentuknya 1, 2, 3, 4, dan 5 faktor, namun pada faktor kelima, nilai
eigenvalue telah berada dibawah 1, sehingga jumlah faktor yang paling bagus untuk merepresentasikan karakteristik
produk adalah 4 faktor. Scree plot dapat dilihat pada Gambar 2. Pembagian karakteristik produk ke dalam kriteria
inovasi(faktor) yang terbentuk dapat dilihat pada Tabel 6.

193
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Gambar 2. Scree Plot

Tabel 5. Karakteristik Produk dan Kategorisasi Penilaian


Karakteristik Produk Kategorisasi Penilaian
1. Putar
a Tombol yang digunakan 2. Tombol Tebal
3. Tombol Tipis (touch)
1. Tidak tersedia
b Pegangan yang disediakan 2. Pegangan setengah
3. Pegangan penuh
1. 0-8 lbs (0-3,63 kg)
c Berat Produk 2. >8-16 lbs (3,63-7,26 kg)
3, >16-24 lbs (7,26-11 kg)
1. 1-2 warna
d Jumlah warna (yang ditawarkan) 2. 3-4warna
3. 5-6 warna
1. Bagian atas
e Posisi tabung 2. Bagian samping
3. Keduanya
1. 2-6 cup (0,47-1,42 l)
f Ukuran tabung 2. >6-10 cup (1,42-2,365 l)
3. >10-14 cup (2,365-3,31 l)
1. 1-2 level
g Pilihan kecepatan 2. 3-4 level
3. 5-6 level
1. Tidak tersedia
h Slicing disc(pengaturan ukuran potong makanan) 2. Pergantian disc
3. Adjustable Slicing Disc
1. Tidak tersedia
i Tabung khusus (untuk memasukkan makanan) 2. Mulut tabung yang kecil
3. Mulut tabung yang luas
1. 0-1 fitur
j Fitur pendukung (contoh : storage case, bowl 2. 2-3 fitur
3. 4-5 fitur
1. Tidak tersedia
k Paket pisau, tabung 2. Tersedia 1 paket produk
3. Tersedia kedua paket produk
1. Tidak tersedia
Sistem Otomatis:Eco Mode, Auto-Variable Speed
l 2. Tersedia 1 sistem
Control
3. Tersedia 2 sistem
1. 0-1 karakteristik
Karakteristik khusus (dari material yang
m 2. 2-3 karakteristik
digunakan)
3. 4-5 kateristik

194
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Tabel 6. Kriteria Inovasi


Kriteria Inovasi Karakteristik Produk
Pegangan yang disediakan
Ukuran tabung
Pilihan kecepatan
Variasi Fitur
Slicing disc
Tabung khusus
Paket pisau dan tabung
Tombol yang digunakan
Perbedaan Fitur pendukung
Jumlah warna
Posisi tabung
Kemudahan Pengoperasian
Sistem otomatis
Berat produk
Variasi Sistem
Kegunaan khusus

Pengelompokan Produk
Berdasarkan kriteria inovasi yang sudah terbentuk, akan dicari kelompok produk memiliki nilai kriteria
inovasi tinggi. Kelompok produk tersebut didapatkan dengan cara membandingkan antar kriteria inovasi pada setiap
food processor. Contohnya, dari 100 produk food processor, produk apa saja yang termasuk dalam kelompok
produk yang inovatif menurut kriteria inovasi variasi fitur dan perbedaan, variasi fitur dan kemudahan
pengoperasian, variasi fitur dan variasi sistem, dan lainnya.
Langkah pertama yang akan dilakukan adalah mengalikan factor loading dengan penilaian masing-masing
karakteristik produk yang membentuk kriteria inovasi. Kemudian hasil tersebut akan dijumlahkan untuk
mendapatkan nilai setiap kriteria inovasi pada masing-masing produk food processor. Contohnya untuk perhitungan
nilai variasi fitur pada produk KitchenAid KFP1333GER adalah 0,826x3 + 0,811x3 + 0,7x3 + 0,689x3 + 0,591x2 +
0,564x3 = 11,952. Perhitungan yang sama akan dilakukan pada setiap kriteria inovasi pada produk KitchenAid
KFP1333GER, kemudian perhitungan tersebut akan dilakukan pada semua produk food processor yang digunakan
pada penelitian ini.
Persentase dari rentang nilai kriteria inovasi yang akan digunakan adalah sebesar 25% produk yang memiliki
nilai kriteria inovasi tertinggi. Pemilihan persentase sebesar 25% dilakukan untuk mengelompokkan produk yang
memiliki nilai kriteria inovasi tinggi. Semakin kecil persentase yang digunakan, semakin inovatif kelompok produk
yang terbentuk. Namun pemilihan 25% dilakukan agar acuan pengembangan produk tidak hanya terpaku pada 1-2
produk, melainkan terdapat variasi produk yang dapat dievaluasi.
Kemudian akan dilakukan pengelompokan produk dengan nilai kriteria inovasi tinggi hasil kombinasi variasi
fitur dan perbedaan dapat dilihat pada Gambar 3(Angka dalam tabel menunjukkan nomor food processor yang
digunakan dalam penelitian). Pengelompokan produk berdasarkan nilai kriteria inovasi tinggi juga akan dilakukan
terhadap kombinasi setiap kriteria inovasi. Dari hasil kelompok produk kombinasi kriteria inovasi tersebut
didapatkan keunggulan dari setiap kelompok produk. Keunggulan setiap kelompok produk dapat dilihat pada Tabel
7.

Gambar 3. Kombinasi Variasi Fitur dan Perbedaan

195
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Usulan Inovasi
Usulan inovasi yang dapat diberikan berdasarkan kelompok produk hasil kombinasi kriteria inovasi adalah
sebagai berikut:
1. Penambahan jumlah fitur pendukung yang disediakan, seperti penyediaan fitur cord storage, disc storage, dough
blade, storage box, spatula, dough tool, whisk tool dan lainnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa produk yang
diinginkan oleh konsumen adalah produk yang memiliki jumlah fitur pendukung yang banyak. Jumlah fitur
pendukung yang banyak akan memudahkan konsumen dalam memproses makanan, tanpa perlu menyediakan
alat-alat lainnya.
2. Penggunaan karakteristik khusus material, seperti penggunaan material BPA-free, thermoresist, non-slip feet,
dan eco-material. Karakteristik khusus material yang digunakan akan memberikan kenyamanan dan keamanan
pengguna dalam menggunakan produk food processor.

Tabel 7. Keunggulan Setiap Kelompok Produk


Kombinasi Kriteria Inovasi Keunggulan
Pegangan yang disediakan
Ukuran tabung
Variasi Fitur dan Perbedaan Paket pisau atau tabung
Tombol yang digunakan
Slicing disc
Pegangan yang disediakan
Ukuran tabung
Variasi Fitur dan Kemudahan Pengoperasian Paket pisau atau tabung
Pilihan kecepatan
Sistem otomatis
Pegangan yang disediakan
Variasi Fitur dan Variasi Sistem Ukuran tabung
Tabung khusus
Perbedaan dan Kemudahan Pengoperasian Tombol yang digunakan
Tombol yang digunakan
Perbedaan dan Variasi Sistem
Berat Produk
Berat Produk
Kemudahan Pengoperasian dan Variasi Sistem
Sistem Otomatis

3. Penambahan jumlah warna yang ditawarkan. Semakin banyak jumlah warna yang ditawarkan, semakin banyak
pula pilihan konsumen dalam memilih food processor yang sesuai dengan keinginannya.
4. Variasi posisi tabung yang disediakan pada food processor, seperti variasi penempatan pada bagian atas,
samping, bawah, atau memungkinkan pada beberapa posisi. Variasi penempatan posisi tabung tersebut akan
membantu konsumen dalam memproses beberapa tipe makanan. Konsumen juga dapat sekaligus menggunakan
dua jenis pisau untuk memproses makanan.
Penerapan beberapa bagian dari usulan dalam bentuk sketsa produk dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Sketch Food Processor

196
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Kesimpulan
1. Karakteristik produk yang dapat merepresentasi inovasi pada food processor adalah tombol yang digunakan,
pegangan yang disediakan, berat produk, jumlah warna yang ditawarkan, posisi tabung, ukuran tabung, pilihan
kecepatan, slicing disc, tabung khusus untuk memasukkan makanan, fitur pendukung, paket pisau atau tabung,
sistem otomatis, dan karateristik khusus dari material yang digunakan.
2. Kriteria inovasi yang merepresentasikan inovasi pada food processor adalah variasi fitur, perbedaan, kemudahan
pengoperasian, dan variasi sistem.
3. Usulan inovasi berdasarkan karakteristik kelompok inovasi produk pada food processor adalah penambahan
jumlah fitur pendukung yang disediakan, penggunaan karakteristik khusus material, penambahan jumlah warna
yang ditawarkan, serta variasi posisi tabung yang disediakan.

Saran
1. Penggunaan variabel dan jumlah produk yang lebih banyak agar kriteria inovasi yang terbentuk dapat lebih
akurat.
2. Melakukan wawancara untuk mengetahui kebutuhan dari konsumen untuk membentuk suatu kriteria inovasi.
3. Melakukan pembahasan perancangan produk dengan pihak perusahaan yang memproduksi food processor dan
pengguna.

Daftar Pustaka
Cho, Y.C., (2015), “Exploring Factors That Affect Usefulness, Ease of Use, Trust, And Purchase Intention In the
Online Environment”, Vol. 19, No. 1, pp. 21-36.
Cooper, R.G., (1979), “The Dimensions of Industrial New Product Success and Failure. Journal of Marketing”, Vol.
43, No. 3, pp. 93-103.
Creusen, M.E.H. dan Schoormans, J.P.L., (2005), “The Different Roles of Product Apperance in Consumer Choice”,
pp. 1-32.
Hair, F. H., Black, W. C., Babin, B. J., Anderson, R. E., Tatham, R. L., (2006), “Multivariate Data Analysis”,
Pearson Education, Inc.
Jakpar, S., Johari, A., Myint, K.T., dan Na, A.G.S., (2012). “Examining the Product Quality Attributes That
Influences Customer Satisfaction Most When the Price Was Discounted: A Case Study in Kuching
Sarawak”, Vol. 3, No 23, pp. 221-236.
Keeley, L., Pikkel, R., Quinn, B., Walters, H. ,(2013), “Ten Types of Innovation : The Discipline of Building
Breakthroughs”, John Wiley & Sons, Inc.
Rogers, E. M., (1983), “Diffusion of Innovations”, The Free Press.
Santoso, S., (2002), “Buku Latihan SPSS Statistik Multivariat”, PT Elex Media Komputindo.

197
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

RANCANG BANGUN MEJA KERJA PENGRAJIN PERAK DENGAN


PENDEKATAN ERGONOMI DAN KAIZEN UNTUK MENINGKATKAN
PRODUKTIVITAS

Endang Widuri Asih1 , Sunarsih2, Yuliana Rahmawati3


1,2,3
Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknologi Industri, Institut Sains & Teknologi AKPRIND Yogyakarta
Jl. Kalisahak No.28,Kompleks BalapanTromol Pos 45 Yogyakarta 55222
Email : endang.akprind@gmail.com

Abstrak

Penduduk Kotagede, Yogyakarta sebagian besar adalah pengrajin perak. Di antara home industry
perajin perak di Kotagede, dipilih Anggra Silver sebagai tempat penelitian . Home industry ini
berada di Dusun Basen, Kelurahan Purbayan, Kecamatan Kotagede. IKM (Industri Kecil Menengah)
tersebut saat ini belum bisa memenuhi permintaan pasar. Hal ini terjadi karena dalam melakukan
pekerjaanya, perajin memiliki produktivitas dan efisiensi yang rendah. Faktor penyebab dari
rendahnya produktivitas dan efisiensi ini adalah karena ada 2 permasalahan yang menyebabkan
rendahnya produktivitas dan efisiensi kerja yaitu; fasilitas kerja yang tidak ergonomis dan layout
kerja yang tidak efisien . Pada pekerjaan proses pembuatan kerajinan perak posisi kerja membungkuk
karena meja kerja tidak ergonomis atau tidak sesuai dengan ukuran dimensi tubuh, peletakan benda
dan alat kerja yang tidak teratur, tidak sesuai dengan urutan proses produksi atau berantakan serta
berjauhan. Dua permasalahan tersebut menyebabkan rendahnya produktivitas dan efisiensi kerja
perajin perak. Untuk memenuhi permintaan pasar terhadap produk hasil kerajinan perlu dibangun
fasilitas kerja yang lebih ergonomis dan memadai
Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan kuantitas, kualitas dan produktivitas pada proses
pembuatan kerajinan perak. guna tercapainya tujuan tersebut harus ada fasilitas dan layout kerja
yang ergonomis. Fasilitas kerja ini adalah meja kerja untuk proses kerajinan perak dengan
pendekatan Ergonomi dan Kaizen.
Hasil penelitian ini adalah adalah rancang bangun meja kerja yang ergonomis. Meja kerja yang
dirancang disesuaikan dengan karakteristik pekerja dan pekerjaanya dengan ukuran data
Antropometri. Pendekatan Kaizen dengan konsep 3S (Seiri,Seiton dan Seiso) ini digunakan untuk
merancang meja kerja dan layout kerja sesuai dengan urutan prosedur kerja. Meja dibuatkan kotak-
kotak alat kerja sesuai penamaanya. Peletakan kotak-kotak alat kerja disusun berdasarkan prosedur
kerja,dan alat-alat kerja seperti alat bor, pemoles digabung dalam satu meja serta dibuatkan laci
tempat pembuangan limbah padatan seperti serpihan perak dan debu, hal ini dimaksudkan mengatur
segala sesuatu, memilah sesuai dengan aturan dan prinsip yang tertentu. Dari hasil implementasi
meja kerja ini didapatkan efisiensi waktu proses sebesar 30%.

Kata Kunci : Fasilitas Kerja; Layout kerja; Ergonomis; Ramah Lingkungan; Kerajinan Perak

Pendahuluan
Kelangsungan dan pertumbuhan usaha sangat tergantung pada kemampuan industri/ perusahaan dalam
mengantisipasi perubahan-perubahan yang terjadi pada lingkungan usaha. Kelangsungan dan pertumbuhan usaha
pada industri besar maupun kecil sangat berpengaruh pada perekonomian nasional. Dengan adanya pertumbuhan
usaha dapat meningkatkan kesempatan kerja dan dapat memberikan /menunjang pendapatan pemerintah. Industri
kecil mempunyai potensi yang cukup besar dalam peningkatan penerimaan devisa negara, serta meningkatkan taraf
kehidupan masyarakat yang dapat memberikan nilai tambah.
Industri kecil menengah Perak berada di Kotagede, sebuah kecamatan yang terletak di Kota Yogyakarta,
Provirisi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Pengrajin Perak di Kotagede terkenal dengan produknya yang unik,
halus dan telaten dalam menggarap produk peraknya sehingga menghasilkan karya seni bernilai tinggi. Ratusan
jenis kerarijinan perak dihasilkan oleh Pengrajin Perak, mulai dari cincin, giwang, bros, miniatur sepeda, becak,
andhong, kapal-kapalan dan berbagai hiasan lainnya. pada tahun 2006 kerajinan perak mulai menurun, hal ini
dikarenakan adanya krisis ekonomi dan issue tentang hasil penelitian yang menyatakan bahwa kandungan tanah
Kotagede berbahaya akibat limbah hasil produksi kerajinan perak yang dibuang sembarangan (Kedaulatan

198
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Rakyat,2009), serta adanya bencana alam yang terjadi di Yogyakarta. Tetapi pada saat sekarang ini, industri perak
sudah mulai meningkat lagi, terlihat dari peningkatan permintaan pasar yang terus bertambah. Permintaan hasil
kerajinan perak ini berasal dari konsumen daerah-daerah di Indonesia maupun ekspor keluar negeri
Di antara perusahaan perajin perak di Kotagede, dipilih Anggra Silver sebagai mitra I dan Pengrajin Eko
Susilo sebagai mitra II. Kedua IKM ini berada di Dusun Basen, Kelurahan Purbayan, Kecamatan Kotagede. Mitra I
ini berada di RT 14 sedangkan mitra II di RT 15. Penduduk kedua RT tersebut sebagian besar bekerja sebagai
pengrajin logam perak. Kedua IKM tersebut saat ini belum bisa memenuhi permintaan pasar. Hal ini terjadi karena
dalam melakukan pekerjaanya, perajin memiliki produktivitas dan efisiensi yang rendah. Faktor penyebab dari
rendahnya produktivitas dan efisiensi ini adalah karena fasilitas dan layout kerja yang kurang ergonomis.
Ergonomi (Chappins dalam Iridiastadi, 2014) adalah ilmu yang menggali dan mengaplikasikan informasi-informasi
mengenai perilaku, kemampuan, keterbatasan dan karateristik manusia lainnya untuk merancang peralatan, mesin,
sistem, pekerjaan dan lingkungan dengan tujuan untuk meningkatkan produktivitas, keselamatan, kenyamanan, dan
efektivitas pekerjaan manusia.
Fasilitas kerja yang digunakan dalam proses pembuatan perak adalah meja kerja, las, alat pemoles, bor, alat
peleburan . Fasilitas dan layout kerja ini tidak ergonomis dan efisien. Pekerjaan dengan fasilitas tidak ergonomik
terlihat pada saat pengrajin melakukan pekerjaan membersihkan kerak dan memoles. Alat pembersih kerak dan
poles diletakkan di bawah dengan posisi kerja perajin duduk di bangku kayu pendek (dingklik dalam bahasa Jawa).
Ketinggian tempat duduk kira-kira 10 sampai 20 cm (gambar 1), sehingga pada saat kerja posisi duduk
membungkuk dan kaki menekuk. Hal ini menyebabkan terhambatnya sirkulasi darah pada punggung dan kaki
sehingga pekerja mudah lelah. Pada saat melakukan kerja melebur, mentatah serta mengelas perajin menggunakan
meja kerja yang lebih tinggi, namun meja kerja ini juga tidak ergonomis. Ukuran meja tidak sesuai dengan dimensi
tubuh perajin sehingga posisinya duduk membungkuk. Hal ini akan menyebabkan sakit pada bagian punggung dan
leher. Sirkulasi darah yang terhambat akan menyebabkan kelelahan otot dan cepat menimbulkan kelelahan serta
sakit pada bagian tulang belakang ( Endang WA, 2011). Untuk mengurangi efek ini, perajin sering melepas lelah
disela-sela melakukan pekerjaanya sehingga mengakibatkan produktivitas kerjanya menurun.
Cara kerja perajin tidak efisein ini terlihat pada saat melakukan pekerjaanya, perajin sering bolak balik dari
meja kerja, ke tempat peleburan, mesin bor dan polishing karena layoutnya berjauhan. Peletakan alat yang tidak
rapi menyebabkan pekerja sering mencari-cari alat dan benda kerja. Akibatnya, proses produksi menjadi lama,
banyak waktu yang terbuang untuk bolak balik, mencari-cari alat dan benda kerja serta untuk melepaskan lelah.
Untuk meningkatkan produktivitas dan kinerja industri kecil, faktor-faktor yang berpengaruh tersebut harus
mendapatkan perhatian serius dari pemilik industri kecil terutama faktor seperti; resiko faktor ergonomi, posisi kerja
tidak alamiah dan layout kerja (Endang WA, 2009). Masalah peningkatan produktivitas ini dilakukan sebagai usaha
untuk mendapatkan alternatif cara kerja yang baik, efektif, dan efisien.
Peningkatan produktivitas kerja perajin perak perlu dilakukan dengan perbaikan kerja yaitu merancang meja
kerja yang ergonomis dan layout kerja yang rapi sesuai urutan proses produksinya. Penelitian ini membahas tentang
perancangan meja kerja perajin perak berdasarkan pendekatan ergonomic dan kaizen. Kaizen merupakan sistem
pengambangan produktivitas, kualitas, teknologi, proses produksi, budaya kerja, keamanan kerja, dan
kepemimpinan yang dilakukan terus menerus. Dengan 5S Kaizen, maka pekerja akan lebih nyaman, lebih efisien,
lebih produktif, dan lebih sejahtera.

Gambar 1 &2. Posisi kerja yang tidak ergonomis pada pengrajin perak

199
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Gambar 3.& 4. .layout benda dan alat kerja yang berantakan


Ergonomi
Ergonomi berasal dari bahasa latin yaitu ergon (kerja) dan nomos (hukum alam) dan dapat didefinisaikan
sebagai studi tentang aspek-aspek manusia dalam lingkungan kerjanya yang ditinjau secara anatomi, fisiology,
psikologi, engineering, manajemen dan desai atau perancangan. Ergonomi berkenaan pula dengan optimasi,
efisiensi, kesehatan, keselamatan dan kenyamanan manusia di tempat kerja, di rumah dan dimanapun.
Ergonomi (Chappins dalam Iridiastadi, 2014) adalah ilmu yang menggali dan mengaplikasikan informasi-
informasi mengenai perilaku, kemampuan, keterbatasan dan karateristik manusia lainnya untuk merancang
peralatan, mesin, sistem, pekerjaan dan lingkungan dengan tujuan untuk meningkatkan produktivitas, keselamatan,
kenyamanan, dan efektivitas pekerjaan manusia.
Inti ergonomi adalah suatu prinsip fitting the task/job to the man yang artinya, adalah pekerjaan haruslah
disesuaikan dengan kemampuan dan keterbatasan yang dimiliki oleh manusia. Ini berarti dalam merancang suatu
jenis pekerjaan perlu diperhatikan factor-faktor apa saja yang menjadi kelebihan dan keterbatasan manusia sebagai
pelaku kerja. Dengan demikian akan mempermudah proses pencarian tenaga kerja. Pengelompokkan bidang kajian
ergonomi adalah kajian ergonomi secara lengkap mencakup seluruh perilaku manusia dalam bekerja adalah kajian
ergonomi yang dikelompokkan sebagai berikut oleh (Sutalaksana, 2007); Antropometri, Faal kerja , Biomekanika
kerja, Penginderaan, dan Psikologi kerja.

Manusia Dan Karateristik Pekerjaanya


Kinerja suatu sistem kerja di dalam suatu perusahaan atau unit produksi sangat tergantung pada interaksi
antara elemen-elemen sistem kerjanya. Bila interaksi antara elemen-elemen tersebut baik, maka kegiatan produksi
berjalan baik, sehingga dapat menghasilkan tingkat output yang diharapkan. Elemen-elemen tersebut antara lain
peralatan, lingkungan kerja, tempat kerja dan tenaga kerja. Dari semua elemen ini yang terpenting adalah elemen
manusia, karena manusia merupakan pelaksana dari pekerjaan, sedangkan elemen yang lainya merupakan elemen
pendukung. Oleh karena itu elemen-elemen pendukung perlu dirancang sedemikian rupa untuk menjamin
optimalitas manusia dalam melakukan pekerjaanya. Prinsip ini disebut dengan Human Centered Design, atau
perancangan yang berpusat pada manusia.

Kaizen
Kaizen merupakan sistem pengambangan produktivitas, kualitas, teknologi, proses produksi, budaya kerja,
keamanan kerja, dan kepemimpinan yang dilakukan terus menerus. Dengan 5S (Seiri, Seiton, Seiso, Seiketsu dan
Shitsuke) Kaizen, maka pekerja akan lebih nyaman, lebih efisien, lebih produktif, dan lebih sejahtera. 5S atau di
Indonesia biasanya disebut 5R adalah cara untuk meningkatkan produktivitas dengan melakukan kegiatan menata
tempat kerja. Karena lingkungan kerja yang nyaman, dan teratur, dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas
yang tinggi di perusahaan.
5S / 5R diatas merupakan urutan dalam menata tempat kerja, yang merupakan tanggung jawab semua
pekerja, mulai dari CEO sampai Cleaning Service. Setiap pekerja bertanggung jawab melakukan penataan tempat
kerja kearah yang lebih baik, dan ini harus menjadi budaya perusahaan.
• Seiri atau pemilihan. Berarti mengatur segala sesuatu, memilah sesuai dengan aturan dan prinsip yang tertentu.
Ini artinya membedakan antara yang diperlukan dengan yang tidak diperlukan. Membuang yang tidak diperlukan
dan memcari penyebab-penyebabnya serta menghilangkan penyebabnya sehingga tidak menimbulkan masalah.
• Seiton atau penataan. Berarti menyimpan barang di tempat yang tepat atau dalam tata letak yang benar
sehingga dapat dipergunakan dalam keadaan mendesak. Ini juga cara untuk menghilangkan waktu proses
pencarian. Jika sesuatu disimpan di tempatnya demi mutu dan keamanan, berarti anda memiliki tempat kerja
yang rapi.
• Seiso atau Pembersihan. Istilah ini berarti membersihkan barang-barang sehingga menjadi bersih. Ini artinya
membersihkan sampah, kotoran dan benda-benda asing serta membersihkan segala sesuatu. Pembersihan sebagai
pemeriksaan terhadap tempat kerja dan yang tidak memiliki cacat dan cela.

200
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

• Seiketsu atau pemantapan. Ini berarti terus menerus dan secara berulang-ulang melakukan pemeliharaan,
pemilahan dan pembersihan. Dengan demikian, pemantapan mencakup kebersihan pribadi dan kebersihan
lingkungan.
• shitsuke atau pembiasaan. Istilah ini berarti pelatihan dan kemampuan untuk melakukan apa ingin anda
lakukan meskipun itu sulit dilakukan. Pelatihan dan kemampuan untuk melakukan sesuatu secara benar.
tujuannya untuk menciptakan tempat kerja dengan kebiasaan dan perilaku yang baik. Dengan mengajarkan
setiap orang apa yang harus dilakukan dan memerintahkan setiap orang untuk melaksanakannya, maka kebiasaan
buruk akan terbuang dan kebiasaan baik akan terbentuk. Orang mempraktekkannya dengan membuat dan
mematuhi undang-undang.

Ada pun manfaat yang diperoleh perusahaan jika memanfaatkan sikap kerja 5S yaitu :
• keamanan. Dengan adanya pemilihan dan penataan maka barang-barang dan kelengkapan kerja yang digunakan
tersedia dan mengurangi angka kecelakaan kerja yang disebabkan oleh kesalahan manusia (Human Factor).
Misalnya mencegah terpeleset dan kebakaran dari kebocoran minyak.
• Kondisi kerja yang rapi. Dengan kondisi kerja yang rapi, produktivitas meningkat.
• Efisiensi. dianalogikan sebagai koki masak terkenal, pelukis yang terkenal mereka memelihara peralatan
mereka. Tidak ada pisau yang berkarat. Tidak ada kuas yang kusut. Sehingga saat digunakan peralatan tersebut
selalu tersedia dan siap digunakan. Jika di industri maka efisiensi mesin menjadi tinggi dan mengurangi waktu
macet mesin.
• Mutu. Industri Elektronik dan mesin memerlukan tingkat presisi dan kebersihan yang tinggi. Setitik kotoran
dapat menyebabkan kecacatan sebuah produk. dengan adanya 5S maka kualitas akan terjaga.
Semua orang akan lebih senang bekerja di lingkungan yang bersih dan rapi. Oleh karena itu 5S merupakan
elemen inti dari 'berpikir jernih' dan 'tempat kerja yang nyaman', serta merupakan prinsip dasar bagi semua pabrik
berkelas dunia. Konsep 5S merupakan fondasi dari semua program pengembangan kualitas. Sering pula dikatakan
bahwa jalan menuju produktivitas dimulai dari 5S. Dan melalui 5S dapat diciptakan perusahaan dengan
produktivitas maksimal.

Metode Penelitian
Penelitian perancangan meja kerja pada pengrajin perak ini dengan melakukan observasi di lingkungan
pengrajin RW 04 dusun Basen, Kelurahan Purbayan, kecamatan Kotagede, Yogyakarta yaitu pengrajin Anggra
Silver dan pengrajin Edi Susilo. Di kedua mitra pengrajin perak tersebut dilakukan identifikasi permasalahan
ketidak ergonomisan fasilitas kerja yaitu meja kerja dan alat-alat kerja yang lain . Dari hasi tersebut kemudian
dianalisis dengan pendekatan Ergonomi dan Kaizen untuk dijadikan acuan sebagai spesifikasi meja kerja yang
dapat memenuhi kebutuhan proses produksi yang ergonomis dan ramah lingkungan.

Hasil dan Pembahasan


Pada tahapan penelitian ini teridentifikasi bahwa posisi kerja perajin perak tidak ergonomis dan peletakan
fasilitas kerja yang tidak beraturan. Pada penelitian ini adalah fasilitas dan layout kerja yang dapat membantu
pekerja agar lebih efektif dan efisien dalam bekerja. Fasilita kerja ini dirancang dengan menggabungkan beberapa
alat dan benda kerja menjadi satu-kesatuan yang layoutnya disesuaikan dengan urutan proses produksi kerajianan
perak. Fasilitas kerja ini adalah meja kerja pengraji perak yang ergonomis dan ramah lingkungan. Sehingga
pengrajin dapat bekerja lebih efisien, efektif dan meningkatkan jumlah produksi.
Pendekatan ergonomic pada perancangan alat yaitu meja kerja yang dirancang disesuaikan dengan
karakteristik pekerja dan pekerjaanya dengan ukuran menggunakan data Antropometri. Dan Pendekatan Kaizen
dengan konsep 5S ini digunakan untuk merancang meja kerja dan layout kerja sesuai dengan urutan prosedur kerja
sehingga dalam proses kerja perajin perak lebih resik dan tertata rapi.
Pada penelitian ini konsep 5S yang digunakan dalam perancangan meja kerja hanya 3S yaitu Seiri, Seiton
dan Seiso.
• Dengan konsep Seiri atau pemilihan dan Seiton , dalam perancangan meja dibuatkan kotak-kotak alat kerja
sesuai penamaanya. Peletakan kotak-kotak alat kerja disusun berdasarkan prosedur kerja, hal ini dimaksudkan
mengatur segala sesuatu, memilah sesuai dengan aturan dan prinsip yang tertentu. Ini artinya membedakan
antara yang diperlukan dengan yang tidak diperlukan. Membuang yang tidak diperlukan dan memcari penyebab-
penyebabnya serta menghilangkan penyebabnya sehingga tidak menimbulkan masalah.
• Dengan konsep Seiton atau penataan, dalam perancangan meja kerja, alat-alat kerja seperti alat bor, pemoles
digabung dalam satu meja dibuatkan Berarti menyimpan barang di tempat yang tepat atau dalam tata letak yang
benar sehingga dapat dipergunakan dalam keadaan mendesak. Ini juga cara untuk menghilangkan waktu proses
pencarian. Jika sesuatu disimpan di tempatnya demi mutu dan keamanan, berarti anda memiliki tempat kerja
yang rapi.

201
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

• Dengan Seiso atau Pembersihan. Perancangan meja kerja dibuatkan tempat pembuangan limbah yaitu dalam
bentuk laci, hal ini dimaksudkan limbah padatan yaitu serpihan perak atau debu hasil pemolesan bias langsung
dibuang di laci dengan mudah sehingga menjadi bersih. Ini artinya membersihkan sampah, kotoran dan benda-
benda asing serta membersihkan segala sesuatu. Pembersihan sebagai pemeriksaan terhadap tempat kerja dan
yang tidak memiliki cacat dan cela. Adapun rincian rancangan meja kerja seperti table 1&2 serta gambar 5&6.
Dari hasil rancang bangun meja kerja setelah diimplementasikan ada efisiensi waktu proses sebesar 25 %.

a. Meja Kerja 1
Meja kerja 1 yang digunakan sebagai inti dari pekerjaan para pengerajian memiliki spesifikasi yang dapat
meningkatkan kinerja dari pengerajin. Berikut tabel yang menjelaskan spsifikasi meja kerja 1 :

Tabel. Spesifikasi Meja Kerja I


No. Jenis Ukuran Jumlah Satuan Keterangan
1. Meja P : 150cm; 1 Buah Ukuran meja kerja merupakan rata-rata antropometri
Kerja L : 100 cm; pekerja.
1 T : 75 cm
2. Kotak P : 20 cm; 7 Buah Kotak difungsikan sebagai tempat untuk bahan baku,
L : 25 cm; produk setengah jadi dan alat kerja yang memiliki
T : 10 cm dimensi ukuran kecil. Jarak jangkauan kotak sesuai
dengan dimensi panjang rentang lengan ke depan.
3. Balok P : 20 cm; 1 Buah Balok tersebut sebagai penumpang papan bantu,
bantu L : 30 cm; dirancang dengan tambahan scrup (mur) yang dapat
T : 10 cm dengan mudah dalam penggantian papan bantu,
selain itu balok bantu tersebut diberi celah lobang
yang dapat memudahkan pekerja untuk meletakkan
benda kerja.
4. Papan P : 15 cm; 1 Buah Papan bantu tersebut dilengkapi dengan celah
bantu L : 20 cm; ditengahnya untuk memudahkan pekerja.
T : 2 cm
5. Laci P : 50 cm; 1 Buah Laci tersebut dirancang mememiliki kemiringan 30º
limbah L : 50 cm; dan lubang untuk memudahkan pekerja dalam
T : 20 cm membuang limbah.
6. Laci P : 45 cm; 2 Buah Laci alat berada di sisi kanan dan kiri dengan ukuran
alat L : 45 cm; jangkauan yang telah disesuaikan dengan dimensi
T : 10 cm antropometri pekerja.
7. Tutup P : 150 cm 1 Unit Lampu dan tutup lampu dirancang agar sinar lampu
Lampu jatuh fokus pada benda kerja.
8. Gantun - 1 Buah Gantungan nozel patri diletakkan di sisi kanan meja
gan dan telah diukur dengan dimensi panjang rentang
nozel lengan ke depan.
patri

b. Meja kerja 2
Meja kerja 2 merupakan meja yang dirancang untuk meletakkan alat kerja yang memiliki dimensi besar dan
fungsi khusus seperti melubangi, menghaluskan, melebur. Berikut tabel yang menjelaskan spesifikasi meja
kerja 2:

Tabel 2. Spesifikasi Meja Kerja 2

No. Jenis Ukuran Jumlah Satuan Keterangan


1. Meja kerja P : 150cm; 1 Buah Meja tersebut dirancang dengan ukuran
L : 100 cm; antropometri pekerja dan tersebut dirancang
T : 75 cm memiliki sisi miring sebesar 30º untuk
memudahkan pembersihan limbah yang
dihasilkan.
2. Celah P : 150 cm; 1 Buah Celah lubang limbah tersebut memiliki lubang
lubang L : 10 cm: yang berfungsi untuk mengeluarkan limbah
limbah T : 10 cm padat.
3. Mesin - 1 Unit Mesin gerinda tersebut digunakan untuk

202
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

gerinda menghaluskan benda kerja.


4. Mesin bor - 1 Unit Mesin bor duduk tersebut digunakan untuk
duduk melubangi benda kerja.
5. Mangkok - 1 Buah berfungsi untuk meleburkan benda kerja.
lebur

Tampak Depan

Tampak Belakang
Gambar 5. Rancangan Meja Kerja 1

Keterangan :
A. Kotak
B. Balok Bantu
C. Papan Bantu
D. Laci Limbah
E. Laci Alat
F. Tutup Lampu
G. Gantungan Nozel

II. Meja Kerja 2

203
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Tampak Depan

Tampak Belakang
Gambar 6. Rancangan meja kerja 2

Kesimpulan
1. Pada Mitra 1 dan 2 ada 2 (tiga) permasalahan yang menyebabkan rendahnya produktivitas dan efisiensi kerja
yaitu; fasilitas kerja yang tidak ergonomis, dan layout kerja yang tidak efisien .Pada pekerjaan proses pembuatan
kerajinan perak posisi kerja dengan membungkuk karena meja kerja tidak ergonomis atau tidak sesuai dengan
ukuran dimensi tubuh, peletakan benda dan alat kerja yang tidak teratur, tidak sesuai dengan urutan proses
produksi atau berantakan serta berjauhan.
2. Hasil yang dicapai dalam program ini adalah terwujudnya fasilita kerja yang ergonomis. Fasilitas ini adalah
meja kerja yang dirancang dengan menggabungkan beberapa alat dan benda kerja menjadi satu-kesatuan yang
layoutnya disesuaikan dengan urutan proses produksi kerajianan perak yang ergonomis dan ramah lingkungan.
3. Dari hasil implemantasi rancang bangun meja kerja ini dapat mengurangi waktu proses produksi sebesar 30%.

Daftar Pustaka
Daliman A., 2000,Peranan Industri Seni Kerajinan Perak di Daerah Istimewa Yogyakarta Sebagai Pendukung
Pariwisata Budaya, Jurnal Humaniora volume XII no.2, Yogyakarata
Endang WA., Indri C., ,Netty, 2015, Analisis Produktivitas Pada Proses Penyepuhan dengan Metode Green
Productivity,,Prosiding IENACO, Program studi Teknik Industri, Universitas Muhamadiyah Surakarta,
Surakarta
Endang WA, 2011, Usulan Perancangan Fasilitas Kerja yang Ergonomis Guna meningkatkan Kinerja pekerja
Industri kecil Mozaik, procceding 11th National Conference of Indonesian Ergonomics Society, Universitas
Indonesia, Jakarta
Endang WA, 2009, Perancangan Alat Pemecah Kedelai yang Ergonomis dengan Pendekatan Integrasi Model kano
dan Function Deployment, Jurnal Technoscientia, Vol.1. No.2 Februari, Institut Sains & Teknologi
AKPRIND Yogyakarta, Yogyakarta
Iridiastadi H, Yassierli, 2014, Ergonomi Suatu Pengantar, Penerbit Rosda, Bandung
http://id.wikipedia.org/wiki/Pertambangan, diakses tanggal 15 April 2015
http://krjogja.com/read/144216/pertumbuhan-industri-kreatif-perlu-digenjot.kr, diakses tanggal 16 April 2015
http://www.kemenperin.go.id/artikel/19/Kebijakan-Industri-Nasional), diakses tanggal 15 April 2015
Warta Ekspor ,Membedah Potensi Industri Perak Di Indonesia,Edisi April 2012 1

204
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

PENGELOLAAN BANGUNAN YANG RAMAH LINGKUNGAN


(GREEN CONSTRUCTION)
DALAM KONTEKS TEKNIK SIPIL

Maksum Tanubrata1, Ika Gunawan2


1
Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Kristen Maranatha
Jalan:Prof Drg Suria Sumantri no 65,40164 Telp 62222012186
2
Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi,Universitas Kristen Maranatha
Jalan:Prof Drg Suria Sumantri No 65,40164 Telp 62222012186
Email: maksum.tanubrata150@gmail.com

Abstrak

Sarana dan prasarana fisik, atau sering disebut dengan infrastuktur, merupakan bagian yang sangat
penting dalam sistem pelayanan masyarakat. Berbagai fasilitas fisik merupakan hal yang vital guna
mendukung gerak roda pemerintahan, perekonomian, industri dan berbagai kegiatan sosial
masyarakat dan pemerintahan. Mulai dari sistem energi, transportasi jalan raya, bangunan-
bangunan perkantoran dan sekolah, hingga telekomunikasi, rumah peribadatan dan jaringan
layanan air bersih, kesemuanya itu memerlukan adanya dukungan infrastruktur yang handal.
Demikian luasnya cakupan layanan masyarakat tersebut, maka peran infrastruktur dalam mendukung
dinamika suatu negara menjadi sangatlah penting artinya. Adalah suatu hal yang umum bila kita
mengkaitkan pertumbuhan eknomi dan pembangunan suatu negara dengan pertumbuhan
infrastruktur di negara tersebut. Berbagai laporan badan dunia seperti World Bank, menekankan
peran infrastruktur dalam pembangunan negara, dan bagaimana negara-negara di dunia melakukan
investasi disektor tersebut
Wacana green construction perlahan tapi pasti mulai berhembus di dunia konstruksi Indonesia.
Namun masih banyak orang bertanya kenapa wacana hijau begitu penting untuk melekat pada dunia
konstruksi, kemudian apakah yang dimaksud dengan green construction yang bila diterjemahkan
secara bebas adalah konstruksi hijau, implementasinya dan payung hukum yang menyertainya.

Kata Kunci: green construction; infraswtruktur; prasarana; pembangunan pendahuluan

Pendahuluan
Teknologi ramah lingkungan telah ramai dikampanyekan, masyarakat dikenalkan dengan konsep ramah
lingkungan, misal prinsip pemisahan sampah organik dan anorganik, serta penggunaan plastik dan sabun yang bisa
terdegradasi. Selain itu perusahaan-perusahaan juga mulai diwajibkan untuk menggunakan teknologi yang ramah
lingkungan dan penanganan pengolahan limbah sesuai dengan standard yang telah ditetapkan oleh badan yang
terkait, misalnya dengan adanya ISO 4001 tentang lingkungan. Kelangkaan BBM & BBG serta fenomena global
warming menyebabkan setiap bidang keilmuwan berlomba untuk melakukan inovasi penggunaan energi-energi
alternatif selain minyak dan gas bumi, serta berlomba menciptakan dan menggunakan teknologi yang ramah
lingkungan Green Technology. Energi alternatif yang banyak dieksplorasi oleh para ahli agar bisa digunakan
sebagai pengganti BBM dan BBG adalah energi matahari, angin, biofuel, biogas, dan bioetanol.
Rumah merupakan elemen terdekat dan terkecil yang merupakan tempat singgah dari subjek (pelaku utama)
pengguna energi BBM & BBG serta sebagai produsen dari limbah baik secara langsung maupun tidak langsung.
Para ahli baik itu arsitek maupun teknokrat sedang dan telah melakukan berbagai inovasi untuk menciptakan rumah
yang hemat energi dan ramah lingkungan.
Indonesia merupakan negara tropis yang dilewati oleh garis katuliswa sehingga dilimpahi sinar matahari
yang cukup sepanjang tahun, serta suhu yang cukup stabil. Dengan memperhatikan kondisi geografis tersebut, maka
energi alternatif matahari sangat cocok diterapkan di Indonesia. Konstruksi bangunan rumah juga harus
memperhatikan unsur penggunaan bahan/material dan bentuk bangunan yang mampu mengurangi penggunaan
lampu untuk pencahayaan, AC untuk pendingin, sistem pembuangan yang baik.

Bahan dan metode penelitian (Rumusan Masalah)


Berdasarkan pendahuluan di atas, penulis merumuskan rumusan masalah sebagai berikut.

205
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

1. Apakah yang dimaksud dengan green building?


2. Bagaimana pengunaan energi matahari sebagai alternatif energi listrik?
3. Bagaimana konstruksi dan material rumah ramah lingkungan?
4. Bagaimana rumah tinggal dan kebutuhan energi di Indonesia?
5. Bagaimana konsep hemat energi atau sadar energi?

Hasil dan Pembahasan


A. Tinjauan Pustaka
1. Definisi Green Building
Green building (juga dikenal sebagai konstruksi hijau atau bangunan yang berkelanjutan) mengacu pada
struktur dan menggunakan proses yang bertanggung jawab terhadap lingkungan dan sumber daya yang efisien di
seluruh siklus hidup-bangunan: mulai dari penentuan tapak untuk desain, konstruksi, operasi, pemeliharaan,
renovasi pembongkaran, dan. Hal ini membutuhkan kerjasama yang erat dari tim desain, arsitek, insinyur, dan klien
di semua tahapan proyek. Praktik Green Building memperluas dan melengkapi desain bangunan klasik keprihatinan
ekonomi, utilitas, daya tahan, dan kenyamanan.
Green construction ialah sebuah gerakan berkelanjutan yang mencita-citakan terciptanya konstruksi dari
tahap perencanaan, pelaksanaan dan pemakaian produk konstruksi yang ramah lingkungan, efisien dalam pemakaian
energi dan sumber daya, serta berbiaya rendah. Gerakan konstruksi hijau ini juga identik dengan sustainbilitas yang
mengedepankan keseimbangan antara keuntungan jangka pendek terhadap resiko jangka panjang,dengan bentuk
usaha saat ini yang tidak merusak kesehatan, keamanan dan kesejahteraan masa depan.

2. Konsep Green Building


Green building menyatukan array yang luas dari praktek, teknik, dan keterampilan untuk mengurangi dan
akhirnya menghilangkan dampak bangunan terhadap lingkungan dan kesehatan manusia. Hal ini sering menekankan
mengambil keuntungan dari sumber daya terbarukan, misalnya, menggunakan sinar matahari melalui solar pasif,
surya aktif, dan fotovoltaik teknik dan menggunakan tanaman dan pohon-pohon melalui atap hijau, taman hujan,
dan pengurangan air hujan run-off. Banyak teknik lain yang digunakan, seperti menggunakan kayu sebagai bahan
bangunan, atau menggunakan beton kerikil atau permeabel dikemas bukan beton atau aspal konvensional untuk
meningkatkan pengisian air tanah. Di sisi estetika arsitektur hijau atau desain yang berkelanjutan adalah filosofi
merancang bangunan yang harmonis dengan fitur alam dan sumber daya sekitar situs. Ada beberapa langkah kunci
dalam merancang bangunan berkelanjutan: menentukan ‘hijau’ bahan bangunan dari sumber-sumber lokal,
mengurangi beban, sistem mengoptimalkan, dan menghasilkan di tempat energi terbarukan.
Pemakaian material/bahan bangunan yang banyak digunakan seperti kaca, beton, kayu, asphalt, baja dan
jenis metal lainnya ditengarai dapat menimbulkan efek pemanasan global yang signifikan dan menyebabkan
perubahan iklim di dunia. Ingat kan penggunaan kaca gelap/ kaca yag dapat memantulkan cahaya matahari yang
biasanya digunkan pada gedung-gedung tinggi/bertingkat yang biasa disebut dengan kaca film ribben. Jelas-jelas itu
sangat merugikan karena menghantarkan cahaya matahari kembali ke atmosfer bumi dan terjadilah penumpukan
sehingga suhu bumi semakin panas. Empat aspek utama yang perlu dipertimbangkan dalam membangun green
building yaitu:

1. Material
Material yang digunakan untuk membangun haruslah diperoleh dari alam, merupakan sumber energi terbarukan
yang dikelola secara berkelanjutan, atau bahan bangunan yang didapat secara lokal untuk mengurangi biaya
transportasi. Daya tahan material bangunan yang layak sebaiknya tetap teruji, namun tetap mengandung unsur
bahan daur ulang, mengurangi produksi sampah, dan dapat digunakan kembali atau didaur ulang.

2. Energi
Penerapan panel surya diyakini dapat mengurangi biaya listrik bangunan. Selain itu, bangunan juga selayaknya
dilengkapi jendela untuk menghemat penggunaan energi (terutama untuk lampu serta AC). Untuk siang hari,
jendela sebaiknya dibuka untuk mengurangi pemakaian listrik. Jendela tentunya juga dapat meningkatkan
kesehatan dan produktivitas penghuninya. Green building juga harus menggunakan lampu hemat energi,
peralatan listrik hemat energi lain, serta teknologi energi terbarukan seperti turbin angin dan panel surya.

3. Air
Penggunaan air dapat dihemat dengan menginstal sistem tangkapan air hujan. Cara ini akan mendaur ulang air
yang misalnya dapat digunakan untuk menyiram tanaman atau menyiram toilet. Gunakan pula peralatan hemat
air, seperti pancuran air beraliran rendah, tidak menggunakan bathtub di kamar mandi, menggunakan toilet flush
hemat air atau toilet kompos tanpa air, dan memasang sistim pemanas air tanpa listrik.

206
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Pembahasan
1. Penggunaan Energi Matahari
Sinar dari matahari dapat diubah menjadi energi listrik menggunakan komponen yang disebut sel surya. Sel
surya merubah sinar matahari menjadi arus listrik DC. Arus yang dihasilkan sebanding dengan intensitas sinar
matahari yang diterima dan juga sebanding dengan luas permukaan dari sel surya yang terpapar sinar matahari.
Para ahli telah berhasil memanfaatkan prinsip dari sel surya dengan menciptakan panel surya yang dapat
digunakan sebagai atap rumah. Dengan pesatnya kemajuan teknologi, para ilmuwan juga telah menciptakan panel
surya yang mampu berputar untuk menyesuaikan posisinya mencari intensitas matahari yang tertinggi. Profesor
Michael Gratzel dari Lausanne Federal Technology Institute juga telah berhasil menemukan sel surya murah yang
bisa digunakan membangun jendela yang menghasilkan listrik dengan efisiensi yang tinggi.

2. Konstruksi Dan Material Rumah Ramah Lingkungan


Terdapat banyak aspek yang harus diperhatikan ketika merancang sebuah rumah. Berikut ini adalah berbagai
contoh yang telah ditawarkan/dicontohkan oleh para arsitektur yang peduli akan lingkungannya. Pertama, kita bisa
meniru konsep rumah pangung. Dengan adanya jarak antara tanah dengan lantai, maka area tanah dibawah lantai
masih bisa berfungsi untuk penyerapan air. Hal ini bisa bermanfaat untuk mengurangi banjir. Kedua, harus
diperhatikan masalah pencahayaan. Jika rumah mempunyai titik-titik masuknya cahaya yang cukup, maka akan
mengurangi penggunaan lampu pada siang hari. Selanjutnya yang ketiga adalah masalah ventilasi, jika pertukaran
udara di rumah cukup, maka akan mengurangi penggunaan AC maupun kipas angin, ditambah lagi jika rumah
mempunyai ruang terbuka hijau maka udara yang keluar masuk rumah akan lebih bersih begitupun suhu udara akan
menjadi lebih rendah. Masalah sanitasi juga harus diperhatikan, misalnya perancangan saluran pembuangan air dan
penempatan tempat sampah organic maupun anorganik.
Pemilihan material untuk membangun sebuah rumah juga akan berpengaruh terhadap efek keramah-tamahan
lingkungan yang sedang gencar-gencarnya dikampanyekan. Pertama, gunakan sumber daya yang bisa diperbarui.
Sumber daya yang bisa diperbarui misalnya material bangunan dari kayu, bebatuan dan semacamnya yang pada
umumnya adalah material alami yang banyak terdapat di lingkungan sekitar dan mudah untuk diperbarui kembali.
Selanjutnya kita bisa menggunakan kembali material bangunan yang masih layak pakai, dan mengolah limbah atau
material sisa bangunan untuk dapat dimanfaatkan kembali.
Berikut ini adalah contoh berbagai bahan yang bisa dipilih untuk menghasilkan sebuah rumah yang ramah
lingkungan. Low E-Glass, yang bisa digunakan untuk kaca jendela yang akan menyerap panas sehingga ruangan
tidak akan terlalu panas dan berarti penggunaan AC juga bisa dihemat. Rain Harversting yang memanfaatkan air
hujan dengan cara menampungnya dan digunakan kembali untuk kebutuhan sehari-hari seperti menyiram tanaman
sampai untuk toilet. Storage Heating adalah penyimpanan sumber panas yang nantinya akan digunakan untuk
menghangatkan ruangan pada saat suhu dingin tiba, sehingga penggunaan mesin penghangat ruangan (heater) dapat
dikurangi. Penggunaan bahan Photocatalytic pada permukaan dinding bagian luar yang akan mengkonversi organik
yang berbahaya menjadi tidak berbahaya.

Dalam penerapan green construction tentunya banyak tantangan yang harus dilalui, yaitu
Modal atau Biaya
Tak bisa dipungkiri penggunaan design hijau ini memakan biaya yang banyak. Untuk konsep Green Building
tentunya tidak akan sama dengan gedung-gedung yang lainnya. Banyak faktor yang membuat Green Construction´
memakan modal yang cukup besar, seperti contohnya dalam peggunaan pakar atau tenaga ahli dalam pembuatan
gedung yang berkonsep Green Building tentunya mengeluarkan biaya yang tidak sedikit.

Pembuatan design yang startegis


Setiap gedung atau suatu konstruksi dipastikan memiliki design yang berbeda-beda, tentunya dalam prinsip
Green Building design haruslah meningkatkan efesiensi penggunaan sumber daya pelaksanaan dan pemakaian
produk konstruksi yang berkonsepkan ramah lingkungan.Tentunya hal itu menjadi tantangan utama para ahli Green
Building untuk membuat design yang cocok pada kondisi eksternal internal lingkungan sekitarnya.

Pemilihan material/bahan bangunan yang ramah lingkungan


Mayoritas rumah saat ini dibangun dengan menggunakan bingkai kayu, Gedung tradisional Bahan dan bahan
pilihan bagi banyak orang. Namun membangun rumah kayu berbingkai membutuhkan rencana yang sangat hati-hati
dirancang dan kru konstruksi dengan banyak pengalaman dan keterampilan. Membangun rumah dengan bingkai
kayu umumnya akan menghasilkan struktur yang handal dan aman, namun juga rentan terhadap kegagalan prematur
ketika rincian kecil dibiarkan atau dibuat dengan produk kayu berkualitas buruk.Saat ini pemilik rumah memiliki
kesempatan untuk memilih dari alternatif Bahan Bangunan Hijau. Namun dengan isu ilegal logging yang masih
banyak penggunaan kayu sebagai material mulai ditinggalakan untuk kelestarian lingkungan. Penggunaan bau alam,

207
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

batu bata, gypsum, dan alumunium serta baja ringanpun menjadi piliha yang tepat. Karena selain ramah lingkungan
tapi juga mampu menunjang ketahanan bangunan dan tentunya healthy conditional.

Pembiayaan serta perawatan green building


Tidak mudah merawat suatu gedung atau bangunan apalagi bangunan dengan konsep Green Building, yang
harus mempertahankan manfaatnya untuk lingkungan sekitar.

Faktor kesehatan
Menggunakan material & produk-produk yang non-toxic akan meningkatkan kualitas udara dalam ruangan,
dan mengurangi tingkat asma, alergi dan sick building syndrome. Material yang bebas emisi, dan tahan untuk
mencegah kelembaban yang menghasilkan sporadan mikroba lainnya. Kualitas udara dalam ruangan juga harus
didukung menggunakan sistem ventilasi yang efektif dan bahan-bahan pengontrol kelembaban yang memungkinkan
bangunan untuk bernapas. Bahan-bahan alami atau natural sudah diketahui memang cukup rentan terhadap
gangguan lingkungan itu sendiri seperti keberadaan mikroorganisme ,serta kelembaban udara dan suhu diluar
maupun didalam ruangan yang harus diseimbangkan untuk meminimalisasi kerusakan bangunan.

Upaya-Upaya untuk mewujudkan Green Construction:


1. Membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya Green Construction bagi dunia
pembangunan di Indonesia.
2. Membuat bangunan-bangunan yang berbahan dasar ramah lingkungan
3. Mengatur tata letak kota yang sesuai dengan konsep Green Construction yang berwawasan
lingkungan.
4. Membangun sistem bangunan yang effisien dalam menggunakan energi.
5. Membangun Green Construction dengan menggunakan material yang dapat di perbaharui,
didaur ulang, dan digunakan kembali serta mendukung konsep efisiensi energi.
6. Mengolah limbah-limbah yang bermanfaat untuk dijadikan material bahan dasar.
7. Membangun Green Construction yang sesuai dengan kondisi alam, dan iklim wilayah
Indonesia.
8. Inovasi untuk mengembangkan green building terus dilakukan sebagai upaya untuk menghemat
energi dan mengurangi masalah-masalah lingkungan.
9. Pemilihan material yang pas agar Green Building bisa bertahan lebih lama.
10. Penggunaan teknologi-teknologi yang sesuai dan ramah lingkungan agar tidak merusak
ekosistem sekitar.

3. Rumah Tinggal Dan Kebutuhan Energi


Indonesia adalah sebagai negara yang seluruh wilayahnya dikawasan equator, merupakan keuntungan namun
juga menjadi suatu kerugian yang sangat besar. Sebagai keuntungan, karena sebenarnya iklim tropis membuat
kekayaan alam semakin berlimpah, namun menjadi kerugian karena iklim tropis menjadikan tingginya irradiance
matahari, yakni rata-rata 200-250 W/m2 selama setahun atau 850-1100 W/m2 selama masa penyinaran. Hal ini
menyebabkan suhu permukaan akan naik lebih tinggi dari daerah lain di dunia. Irradiance yang sangat besar ini bisa
dimanfaatkan menjadi sebuah sumber energi yang luar biasa atau juga bisa menjadi kendala yang sangat besar sebab
dengan tingginya suhu permukaandi kawasan Indonesia, akan dibutuhkan energi yang besar pula untuk menyejukan
rumah. (Daryono, 2008) Pada kenyataannya kondisi iklim tropis di Indonesia sering dianggap sebagai masalah.
Tidak tercapainya kenyamanan penghawaan dalam rumah tinggal, membuat berputus asa dalam mencari
penyebabnya. Dan umumnya langsung dicarikan solusi atau dikatakan sebagai jalan pintas, dengan penggunaan alat
pengkondisian udara atau air conditioner (AC). Prinsip kerja AC memang menurunkan suhu udara untuk
penyegaran ruang. Prinsip kerja ini yang diakui dapat menjamin kenyamanan ruang. Namun apabila diperhatikan
dengan seksama sebenarnya penggunaan AC adalah pemborosan energi yang berasal dari sumber daya yang tidak
terbaharukan (non-renewable resources). Dan proses kerja AC akan menghasilkan zat emisi karbon CFC
(klorofluorokarbon), yang akan membentuk efek rumah kaca dan merusak lapisan ozon. (Frick, 2006) Seluruh
permukaan bangunan harus terlindungi dari sinar matahari secara langsung.
Dinding dapat dibayangi oleh pepohonan. Atap perlu diberi isolator panas atau penangkal panas. Langit-
langit umum dipergunakan untuk mencegah panas dari atap merambat langsung ke bawahnya (Satwiko, 2005).
Desain sadar energi (energy conscious design) merupakan salah satu paradigma arsitektur yang menekankan pada
konservasi lingkungan global alami khususnya pelestarian energi yang bersumber dari bahan bakar tidak terbarukan
(non renewable energy) dan yang mendorong pemanfaatan energi terbarukan (renewable energy). Dalam desain
sadar energi mutlak diperlukan pemahaman kondisi dan potensi iklim setempat untuk mempertimbangkan
keputusan-keputusan desain yang akan berdampak pada konsumsi energi baik pada tahap pembangunan maupun
pada tahap operasional bangunan.

208
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Pada skala lingkungan mikro, fenomena radiasi matahari ini mempengaruhi laju peningkatan suhu
lingkungan. Kondisi demikian mempengaruhi aktivitas manusia di luar ruangan, untuk mengatasi fenomena ini ada
tiga hal yang bisa dikendalikan yaitu durasi penyinaran matahari, intensitas matahari, dan sudut jatuh matahari
(Satwiko, 2003).

4. Konsep Hemat Energi Atau Sadar Energi


Sebaran penggunaan energi dalam rumah tinggal lebih banyak pada aspek fungsi penghawaan atau
penyegaran udara dan aspek fungsi pencahayaan, sehingga kedua hal ini penting untuk menjadi fokus dalam
pembahasan konsep penghematan energi ini. Pembahasan tentang penghematan energi ditekankan pada langkah
ekologis, yaitu dengan menciptakan kesinambungan antara rumah tinggal dengan lingkungannya atau adanya
interaksi dengan alam.
Di samping dua hal tersebut terdapat aspek penting lainnya untuk rumah tinggal, adalah pemanfaatan air
sebagai sumber daya penunjang kualitas hidup, dengan sistem reduce, reuse, recycle. Sistim Surya Pasif (passive
solar system) merupakan suatu teknik pemanfaatan energi surya secara langsung dalam bangunan tanpa atau
seminimal mungkin menggunakan peralatan mekanis, melalui perancangan elemen elemen arsitektur (lantai,
dinding, atap, langit langit, aksesoris bangunan) untuk tujuan kenyamanan manusia (mengatur sirkulasi udara
alamiah, pengaturan temperatur dan kelembaban, kontrol radiasi matahari, penggunaan insulasi termal).
Pertukaran udara alami naiknya suhu dalam rumah menyebabkan panas dan hal ini sangat terkait dengan
kondisi iklim mikro skala rumah dan kawasan sekitarnya. Untuk menurunkan suhu sekaligus memberikan
kenyamanan penghawaan diperlukan aliran udara yang cukup. Prinsip aliran udara adalah adanya perbedaan suhu
dan tekanan antara dua atau lebih space, baik space antar ruang maupun antara ruang dalam dan ruang luar. Oleh
sebab itu perlu diciptakan bidang-bidang bangunan yang dapat membuat perbedaan suhu dan tekanan udara.
Beberapa aplikasi konsep penyegaran udara adalah :

Ventilasi Atap
Angin akan mengalir dari suhu rendah menuju suhu yang lebih tinggi. Ruang bawah atap merupakan bagian
yang menerima radiasi terbesar, sehingga memiliki suhu yang panas. Sebaiknya ruang bawah atap dilengkapi lubang
ventilasi, sehingga akan menarik udara dari dalam ruang untuk dialirkan ke luar bangunan.
Melalui lubang ventilasi yang terletak di bagian atap, maka tekanan udara panas di dalam ruang akan tertarik
dan terbuang ke luar melalui atap. Untuk mendapatkan efek cerobong (stack effect), maka menara angin dibuat
dengan bentuk penutup menghadap arah datang angin, dan lebih baik lagi adanya void. Efek cerobong akan optimal
bila rumah tinggal/bangunan memiliki plafon tinggi atau minimal dua lantai. Semakin tinggi plafon, maka semakin
baik ventilasinya (aliran angin).

Pencahayaan alami
Tujuan dari pencahayaan adalah disamping mendapatkan kuantitas cahaya yang cukup sehingga tugas visual
mudah dilakukan, juga untuk mendapatkan lingkungan visual yang menyenangkan atau mempunyai kualitas cah aya
yang baik. Dalam pencahayaan alami, yang sangat mempengaruhi kualitas pencah ayaan adalah terjadinya
penyilauan. Pencahayaan alami siang hari dapat dikatakan baik apabila : pada siang hari antara jam 08.00 sampai
dengan jam 16.00 waktu setempat, terdapat cukup banyak cahaya yang masuk ke dalam ruangan. Distribusi cahaya
di dalam ruangan cukup merata dan atau tidak menimbulkan kontras yang mengganggu. Penyilauan adalah kondisi
penglihatan dimana terdapat ketidaknyamanan atau pengurangan dalam kemampuan melihat suatu obyek, karena
luminansi obyek yang terlalu besar, distribusi luminansi yang tidak merata atau terjadinya kontras yang berlebihan.
Ada dua jenis penyilauan :
1. Penyilauan yang menyebabkan ketidakmampuan melihat suatu obyek (disability glare),
2. Penyilauan yang menyebabkan ketidaknyamanan melihat suatu obyek tanpa perlu menimbulkan
ketidakmampuan melihat (discomfort glare). Prinsip pencahayaan alami adalah memanfaatkan cahaya matahari
semaksimal mungkin dan mengurangi panas matahari semaksimal mungkin. Pemanfaatan cahaya alami jelas
akan menghemat listrik.

Kesimpulan dan Saran


Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas maka diambil simpulan sebagai berikut:
1. Green building (juga dikenal sebagai konstruksi hijau atau bangunan yang berkelanjutan) mengacu pada
struktur dan menggunakan proses yang bertanggung jawab terhadap lingkungan dan sumber daya yang efisien
di seluruh siklus hidup-bangunan: mulai dari penentuan tapak untuk desain, konstruksi, operasi, pemeliharaan,
renovasi pembongkaran, dan. Hal ini membutuhkan kerjasama yang erat dari tim desain, arsitek, insinyur, dan
klien di semua tahapan proyek.

209
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

2. Energi matahari sebagai alternatif energi selain BBM & MIGAS dapat diterapkan dalam membangun rumah
yang hemat energi dalam bentul panel surya untuk atap maupun dalam bentuk sel gratzel yang bisa digunakan
sebagai jendela.
3. Pada skala lingkungan mikro, fenomena radiasi matahari ini mempengaruhi laju peningkatan suhu lingkungan.
Kondisi demikian mempengaruhi aktivitas manusia di luar ruangan, untuk mengatasi fenomena ini ada tiga hal
yang bisa dikendalikan yaitu durasi penyinaran matahari, intensitas matahari, dan sudut jatuh matahari
4. Pemilihan material untuk membangun sebuah rumah juga akan berpengaruh terhadap efek keramah-tamahan
lingkungan yang sedang gencar-gencarnya dikampanyekan. gunakanlah sumber daya yang bisa diperbarui.
Sumber daya yang bisa diperbarui misalnya material bangunan dari kayu, bebatuan dan semacamnya yang
pada umumnya adalah material alami yang banyak terdapat di lingkungan sekitar dan mudah untuk diperbarui
kembali. Selanjutnya bisa menggunakan kembali material bangunan yang masih layak pakai, dan mengolah
limbah atau material sisa bangunan untuk dapat dimanfaatkan kembali.
5. Perancangan rumah yang hemat energi dan ramah lingkungan harus memperhatikan aspek kecukupan cahaya,
ventilasi, dan sanitasi.
6. Pemilihan bahan material untuk bangunan hendaknya juga memperhatikan aspek keberlanjutan dan ramah
lingkungan.

Saran
Beberapa saran yang dapat diberikan untuk dapat dilakukan selanjutnya sebagai berikut:
1. Perlunya kesadaran dari semua pihak untuk bersama-sama mengembangkan dan menerapkan penggunaan
energi alternatif selain BBM & MIGAS.
2. Perlunya kesadaran dari tiap keluarga maupun pengembang/kontraktor agar memperhatikan aspek hemat
energi dan ramah lingkungan ketika merancang sebuah rumah.

Ucapan terima kasih:


Kami ucapkan terima kasih kepada pihak Universitas Kristen Maranatha yang telah membiayai akomodasi
pada seminar ini.
Kami ucapkan pula terima kasih atas diterimanya makalah ini kepada pihak UMS atas diberi kesempatan
sebagai pembicara pada symposium Nasional pada RAPI XV 2016.

Daftar Pustaka
Sulistiyowati.(2009).Pengelolaan Bangunan Ramah Lingkungan.Jakarta: Kementrian Negara Lingkungan Hidup.
http://en.wikipedia.org/wiki/Green_building
Yefrichan. (2010) Jenis-Jenis Panel Sel Surya. [online].
http://yefrichan.wordpress.com/tag/teknologi-surya/page/7/ [20 Oktober 2012].
Hendai. (2011) jendela yang bekerja sebagai panel surya. [online]. Tersedia:
http://hendai9.wordpress.com/category/uncategorized/page/3/ [20 Oktober 2012].
Ghini, I. (2009, 19, April) Konstruksi Bangunan Rumah Ramah Lingkungan. Kompas Forum [online]. Tersedia:
http://forum.kompas.com/green-global-warming/18518-konstruksi-bangunan-umah-ramah-lingkungan-
cyprus-house.html
Kresna. (2011) Bangunan Hijau (Green Building). [online].
Tersedia: http://newkidjoy.blogspot.com/2011/05/bangunan-hijau-green-building.html [20 Oktober 2012].
Lasera, A. (2012). “Rumah Hemat Energi dan Ramah Lingkungan”. Makalah Kompetisi Artikel Online 2012.
Temanggung.
Munir, A. (2009) “Sains Arsitektur 2”. Makalah Peneilitian Pemasangan Green Panel Universitas Pembangunan
Nasional “Veteran”. Jawa Timur.

210
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

KAMPINA: KAMPUNG PRODUKTIF RAMAH ANAK SEBAGAI


KOMPONEN PEMBENTUK KETAHANAN KOTA (RESILIENT CITY)
Studi kasus: Desa Walen, Simo, Boyolali

Arlis Hardiyanto1, Muhammad Sanusi2, Redhita Ria Permatasari3


1,3
Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Surakarta
2
Program Studi Teknik Elektro, Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Surakarta
email: dhitariapermatasari @gmail.com

Abstrak

Pengelolaan potensi daerah menjadi peluang untuk mengembangkan suatu kawasan menjadi
pendukung pembentukan ketahanan kota dengan menjaga komponen daerah seperti kearifan lokal,
tanpa mengesampingkan posisi hak-hak anak itu sendiri. Untuk mengetahui potensi dan peluang
pengembangan daerah dilakukan dengan pemetaan potensi dan analisis SWOT, bertujuan untuk
mengukur kemampuan suatu daerah sebagai komponen pembentuk ketahanan kota (resilient city).
Melalui metode penelitian deskriptif kualitatif, mendriskripsikan dan menganalisa hasil studi
lapangan (live in). Pengembangan suatu dearah berdasarkan potensi (peluang) dan kearifan lokal
yang ada. Tentu Kearifan lokal menjadi menjadi salah satu peluang usaha yang dimiliki suatu tempat,
salah satunya yaitu Desa Walen yang mempunyai potensi besar untuk dikembangkan. Hasil yang
diperoleh berdasar metode yang dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1)
Potensi masyarakat desa Walen mayoritas adalah pengrajin bambu dan 2) upaya dari segi
lingkungan alam yakni pemanfaatan wilayah unntuk konservasi bambu 3)Pemanfaatan ruang yang
difungsikan sebagai ruang lokal (kreatif) guna mendukung aktifitas tumbuh kembang anak dan fungsi
lain secara umum 4) Perencanaan ini mejadi actionplan untuk mewujudkan pengembangan inovasi
perkotaan yang berkelanjutan.

Kata Kunci : ramah anak; resilience city; actionplan

PENDAHULUAN
Sejak beberapa tahun yang lalu kota ramah anak di Indonesia sudah terakomodir dalam satu, Peraturan
Menteri Nomor 02 Tahun 2009 mengenai Kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak. Di dalam peraturan menteri telah
tertuang berbagai indikator kota ramah anak antara lain, kesehatan, pendidikan, perlindungan, infrastruktur,
lingkungan hidup, dan pariwisata. Kebijakan mengenai kota ramah anak ini diidentifikasi sehingga dapat diketahui
kebijakan ini bertujuan adalah; 1) mampu berkontribusi terhadap kota tempat tinggalnya; 2) tereksplorasi seluruh
pendapat yang ingin disampaikan; 3) beraprtisipasi dalam keluarga, komunitas, dan lingkungan keluarga; 4) mudah
dalam perolehan pelayanan dasar 5); mudah untuk menggunakan dan memperoleh akses air dan sanitasi 6);
terlindungi dari kekerasan, pelecehan, dan eksploitasi anak; 7) memiliki ruang hijau; 8) bertempat tinggal di
lingkungan yang sehat dan bebas polusi; dan 9) kesetaraan dalam perolehan pelayanan dasar untuk masyarakat (
Riggio, 2012). Anak memiliki empat hak dasar yang harus dipenuhi yakni hak penghidupan yang lebih layak, hak
untuk tumbuh dan berkembang, hak mendapat perlindungan dan hak partisipatif. Pengembangan kota yang aman
dan sesuai telah banyak dikampanyekan dengan pengajuan program-program yang telah dirumuskan.
Pengembangan lingkungan layak anak dapat diupayakan dan dimulai dari bawah/akar rumput (bottom up) yakni dari
pembangunan sebuah kampung yang bertujuan untuk menstimulasi pengembangan kota layak anak sehingga
mempermudah terbentuknya daerah-daerah layak anak hingga kota layak anak. Sebuah lingkungan binaan yang
didalamnya terakomodir dengan susunan program yang tetap mengutamakan hak anak dalam berkehidupan yang
layak. Disisi lain, implikasi yang berkaitan dengan pencanangan kota ramah anak adalah berdampak pada ketahanan
kota yang berarti bahwa kemampuan suatu lingkungan untuk merespon secara sehat dan produktif ketika
menghadapi suatu rintangan dan permasalahan (Shatte dan Reivich, 2002). Pengembangan suatu wilayah
kedaerahan sebagai kampung yang memiliki potensi dan peluang dalam mendukung ketahanan kota, dapat
dilakukan dengan menekankan pada potensi kearifan lokal di Desa Walen khususnya. Pemanfaatan peluang
ekonomi sehingga tercipta kawasan yang mampu mengembangkan potensi lokal yang telah tersedia tentu dapat
meningkatkan nilai ekonomidaerah tersebut. Keterlibatan peran seluruh masyarakat pun sangat dibutuhkan untuk
pengembangan kawasan produktif sebab adanya pemerataan peluang. Pengembangan kawasan yang ramah
terhadap anak dapat terjaga dengan memanfaatkan ekologi dan menjaga kelestariannya, tentu yang utama adalah
dalam mengkonsumsi sumber daya alam yang tidak berlebihan namun tetap terjaga.

211
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Potensi kearifan lokal merupakan peluang pengembangan suatu daerah kabupaten/kota. Salah satunya adalah
Desa Walen yang memiliki penduduk ±200KK yang 60% diantaranya bekerja sebagai pengrajin bambu, kearifan
lokal dan kebuyaan yang masih terjada menjadi kunci lestarinya daerah secara turun temurutn. Produk utama Desa
Walen adalah tampah dan eblek, dimana masing-masing industri mampu memproduksi hingga 20 buah tampah per
hari. Selain tampah dan eblek, terdapat beberapa titik industri kerupuk di Desa Walen meski jumlahnya tidak
sebanyak industri bambu. Ketersediaan bambu atau hutan bambu yang sangat melimpah, sehingga dapat
dimanfaatkan sebagai mata pencaharian masyarakat. Sebanyak 60-70 % penduduk di kelima dusun tersebut bekerja
sebagai pengrajin industri bambu, antara lain; tampah, besek, eblek, welitan, dan kurungan ayam. Sebagian
menjadikanya sebagai pekerjaan utama, sebagian lagi menjadikannya sebagai pekerjaan sampingan selain bertani di
sawah yang berada di Desa Walen.

Rumusan Masalah
Bagaimana mengembangkan kawasan kampung produktif yang ramah terhadap anak sebagai upaya atau
komponen untuk membentuk ketahanan kota (resilient city)?

Tujuan Penelitian
Memetakan dan mengembangkan jaringan daerah potensial, Membentuk strategi pengembangan kampung
produktif ramah anak pada kawasan atau daerah potensial, Mendukung dan mengupayakan masyarakat daerah
terutama Desa Walen untuk dikembangkan menjadi daerah yang produktif dan ramah anak sebagai komponen
pendukung ketahanan kota (resilient city).

Manfaat Penelitian
Bagi pemerintah, hasil analisis ini dapat dijadikan pertimbangan dan masukan dalam pembuatan kebijakan
mengenai pengembangan kawasan kampung yang produktif ramah anak.,bagi pelajar, hal ini dapat dijadikan sebagai
media acuan dalam menentukan pola pengembangan suatu wilayah yang berimplikasi pada kebertahanan kota.

TINJAUAN PUSTAKA
Kampung Produktif
Konsep “desa atau kampung” mengandung makna adanya “keterkaitan” yang lebih luas, baik secara
ekologis, ekonomis, dan sosiologis. Dalam konteks ini, konsep “desa atau kampung” mengandung pengertian
pertama “ikatan sosial” yang berlandaskan teritorial di mana masyarakat di kawasan tersebut hidup dalam suatu
lokalitas tertentu dengan eksistensi yang jelas; kedua “ikatan sosial” berdasarkan lingkup pekerjaan (profesi) di
mana hubungan antar anggotanya tidak permanen, tetapi mempunyai intensitas interaksi yang tinggi dalam suatu
waktu tertentu. Ketiga “ikatan sosial” yang dibangun berdasarkan jaringan sosial (social networking) sebagai nilai
tambah dari modal sosial (social capital) dengan satu fokus interaksi pada pengembangan masyarakat.
Berbagai program bantuan pemerintah yang mengalir ke desa tidak secara signifikan mampu mengangkat
harkat hidup orang desa, memerangi kemiskinan desa, mencegah urbanisasi, menyediakan lapangan pekerjaan dan
lain-lain. Yang terjadi adalah ketergantungan, konservatisme dan pragmatisme orang desa terhadap bantuan
pemerintah. Dengan demikian pembangunan desa yang dilancarkan bertahun-tahun sebenarnya mendatangkan
kegagalan.
Konteks itulah yang melatar belakangi, Kemenakertrans meluncurkan Program Desa Produktif sejak tahun
2010 yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan masyarakat desa untuk memanfaatkan
potensi yang dimiliki desa secara efisien, efektif dan berkualitas; meningkatkan nilai tambah dan produktivitas desa
melalui pengelolaan sumberdaya secara kreatif, inovatif, terintegrasi dan berkelanjutan; memperluas kesempatan
kerja dan berusaha untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat desa; meningkatkan harmonisasi
antar kelompok masyarakat melalui penerapan budaya produktif masyarakat (Dirjend. Pembinaan Pelatihan dan
Produktivitas, Kemenakertrans RI, 2011).
Desa Produktif
Desa Produktif adalah suatu desa yang masyarakatnya memiliki kemauan dan kemampuan memanfaatkan
secara kreatif dan inovatif seluruh potensi sumberdaya yang dimiliki untuk menciptakan nilai tambah dan
meningkatkan produktivitas perdesaan. Pemahaman ini menegaskan bahwa desa produktif adalah desa yang
“menghasilkan sesuatu untuk perbaikan kualitas hidup” akibat dampak/efek dari aktivitas warga dalam sektor
tertentu maupun beberapa sektor yang serempak mendorong dinamika ekonomi-sosial mencapai kemajuan pedesaan
serta kesejahteraan warganya.
Elemen Desa Produktif
Desa Produktif adalah suatu kesatuan dari sejumlah yang berlangsung dinamik dan dalam implementasinya.
Beberapa elemen atau komponen yang terkandung dalam desa produktif, aktor, sistem produksi, keterpaduan,
administrasi, substansi.

212
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Pada dasarnya, Desa Produktif adalah desa yang menghasilkan lebih banyak barang dan jasa dengan basis
sumberdaya sendiri untuk memperbaiki taraf dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat. karenanya, desa
produktif dapat ditandai dengan tersedianya lapangan kerja yang menyerap usia produktif, meningkatnya kualitas
sumberdaya manusia masyarakat desa, meningkatnya tingkat pendapatan masyarakat desa, digunakannya
sumberdaya alam dan sumberdaya manusia dari desa sendiri, meningkatnya derajat kesehatan masyarakat desa,
menguatnya ikatan sosial masyarakat desa, adanya kelembagaan desa yang partisipatif, transparan dan akuntabel.
Indikator Kampung Ramah Anak
Pengembangan daerah sebagai kampung (kawasan) yang ramah terhadap anak merupakan salah satu upaya
untuk meningkatkan dan mengekplorasi potensi yang ada. Kampung menjadi konsep alternatif untuk menjaga dan
mengembangkan kawasan permukiman yang berkelanjutan, baik secara ekonomi dan lingkungannya. Konsep
berkelanjutan adalah satu dari beberapa konsep pengembangan kawasan atau kota hingga saat ini. Menciptakan
keberlanjutan kawasan memiliki fokus penting dalam penyelesaian masalah, terutama pada kondisi lingkungan.
Konsep keberlanjutan juga dapat dikembangkan melalui komponen pengembangan ramah anak, dimana suatu
kawasan mampu menjamin hak-hak anak dengan baik. Perwujudan kampung yang ramah terhadap anak dan
berkelanjutan perlu memperhatikan beberapa indikator antara lain, peluang ekonomi, pemerataan (equity),
partisipasi masyarakat, ekologi, energy conservation, ruang kreatif, atraksi, bentuk program, keterjangkauan,
keberadaan lokasi yang layak.
Resilient City
Kota ketahanan (resilient city) menggambarkankapasitas kota berfungsi, sehinggaorang-orang yang tinggal
dan bekerja di kota-kota Terutama kaum miskin dan rentan bertahan hidup dan berkembang tidak peduli apa
menekankan atau guncangan yang mereka hadapi. Ketahanan (resilience) adalah istilah yang muncul dari bidang
ekologi pada 1970-an, untuk menggambarkan kapasitas sistem untuk mempertahankan atau memulihkan fungsi
dalam hal gangguan atau gangguan. Hal ini berlaku ke kota-kota karena mereka adalah sistem yang kompleks yang
terus beradaptasi dengan perubahan keadaan. Gagasan dari tangguh kota menjadi konseptual yang relevan ketika
tekanan kronis atau guncangan yang tiba-tiba mengancam gangguan yang luas atau runtuhnya sistem fisik atau
sosial. Konseptual keterbatasan ketahanan adalah bahwa hal itu tidak tentu memperhitungkan dinamika kekuasaan
yang melekat dalam cara kota fungsi dan mengatasi gangguan. Dalam konteks kota, ketahanan telah membantu
untuk menjembatani kesenjangan antara risiko bencana pengurangan dan adaptasi perubahan iklim. Bergerak
menjauh dari bencana tradisional manajemen risiko, yang didirikan pada risiko penilaian yang berhubungan dengan
bahaya tertentu. Sebaliknya, ia menerima kemungkinan bahwa berbagai peristiwa mengganggu baik tekanan dan
guncangan - mungkin terjadi tetapi tidak tentu diprediksi. ketahanan berfokus pada peningkatan kinerja sistem
dalam menghadapi berbagai bahaya, bukan mencegah atau mengurangi hilangnya aset karena peristiwa tertentu.

METODE PENULISAN
Metode penulisan yang digunakan untuk mendukung penyusunan full paper dengan melakukan pemetaan
potensi, identifikasi masalah, dan analisis diskriptif dari data yang diperoleh. Selain itu, adanya observasi pada
eksisting kawasan untuk memudahkan pengambilan hasil analisis.

PEMBAHASAN
Desa Walen merupakan salah satu kelurahan di Kecamatan Simo, yang dilintasi jalur alternatif ke arah
Salatiga. Kelurahan Walen terdiri dari Dukuh Pokoh, Wates, Walen, Jeringan, Ngampon, Jaten, Pacingan,
Sambirono dan Manglen. Lima diantaranya, yaitu Dukuh Pokoh, Wates, Walen, Jeringan dan Ngampon memiliki
potensi bambu baik berupa natural bamboo forest maupun industri mikro bambu. Potensi bambu yang sangat
melimpah, pada akhirnya dimanfaatkan sebagai mata pencaharian masyarakat. Hampir seluruh masyarakat memiliki
keterampilan menganyam bambu yang didapatkan secara turun temurun. Sebagian pengrajin memanfaatkan hasil
hutan bambu yang berada di Desa Walen sebagai bahan baku industri, sebagian lagi memilih untuk mencari bahan
baku di daerah yang lebih tinggi, 60-70 % penduduk di kelima desa tersebut bekerja sebagai pengrajin industri
bambu, antara lain; tampah, besek, eblek, welitan, dsb. Sebagian menjadikanya sebagai pekerjaan utama, sebagian
lagi menjadikannya sebagai pekerjaan sampingan selain bertani di sawah yang berada di Desa Walen. Sebagian
besar mata pencaharian penduduk di Dukuh Jeringan merupakan pengrajin anyaman bambu dengan spesifikasi
besek. Hampir setiap rumah tangga, dapat melakukan anyaman bambu. Selain itu, dari sisi arsitektural rumahnya
pun, sebagian besar rumah penduduk masih terbuat dari bambu, baik dari segi hiasan maupun dinding
rumahnya.Sedangkan Dukuh Pokoh hanya terdiri dari 90KK yang 70% diantaranya bekerja sebagai pengrajin
bambu. Sebagian lain memilih bekerja di sawah, menggarap lahan milik orang lain. Produk utama Dukuh Pokoh
adalah tampah dan eblek, dimana penduduk wanita sebagian besar bekerja membuat eblek (anyaman) dan penduduk
pria membuat wengku (bingkai tampah). Dari pagi hingga sore penduduk wanita membuat anyaman, sedangkan
dimalam hari penduduk pria mengasapi dan membuat wengku, Sama seperti Dukuh Pokoh, Mayoritas penduduk
Dukuh Ngampon bekerja sebagai petani dan pembuat anyaman dari bambu. Untuk pembuat anyaman dari bambu
sebagian besar dari kaum ibu-ibu, mereka biasanya membuat anyaman untuk mengisi waktu kosong selepas pulang

213
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

dari sawah. Anyaman dari bambu terse butha silnya berupa besek dan eblek. Bahan baku pohon bambu untuk
membuat anyaman masih berasal daerahnya sendiri. Anyaman-anyamantersebut di pasarkankeKabupaten Semarang
melalui para pengepul yang datingsetiapminggu.Pengrajinjugaseringmembuatbesekdanebleksesuaidengan
pesananpelanggandariKabupatenBoyolali.Dari hasil observasi dan pemataan yang telah dilakukan pada lima dusun
dengan masing-masing karakter, dan potensi peluang pengembangan daerah, sebagai berikut:
1. Dusun Pokoh
Dukuh Pokoh adalah salah satu dukuh di Desa Walen yang terletak di bagian selatan. Berbatasan dengan
Kelurahan Banyudono di bagian selatan dan Dukuh Walen di bagian utara. Dukuh Pokoh dilalui oleh jalan lokal
yang menghubungkannya dengan jalan utama di Desa Walen.Dukuh Pokoh hanya terdiri dari 90KK yang 70%
diantaranya bekerja sebagai pengrajin bambu. Sebagian lain memilih bekerja di sawah, menggarap lahan milik
orang lain. Produk utama Dukuh Pokoh adalah tampah dan eblek, dimana penduduk wanita sebagian besar bekerja
membuat eblek (anyaman) dan penduduk pria membuat wengku (bingkai tampah). Dari pagi hingga sore penduduk
wanita membuat anyaman, sedangkan dimalam hari penduduk pria mengasapi dan membuat wengku.Suasana
pedesaan masih sangat terasa di Dukuh Pokoh, pada bagian selatan wilayahnya dilewati aliran sungai dengan
pemandangan dataran tinggi dan sawah terasering yang hijau. Hutan bambu juga masih banyak ditemukan di
wilayah ini, sebagian dari hutan bambu membentuk koridor alam yang indah dan menjadikannya sebagai ciri khas
dari Dukuh Pokoh. Sungai yang mengalir di bagian selatan dukuh ini sering dimanfaatkan pengrajin sebagai tempat
untuk merendam potongan bambu sebelum diolah menjadi produk bambu. Sedangkan warga lebih memilih untuk
tidak memanfaatkan potensi hutan bambu di dukuh ini sebagai bahan baku, mereka lebih memilih menggunakan
bambu dari Kabupaten Semarang.Konservasi sumber daya alam sebagai nilai tambah destinasi wisata menjadi
peluang pengembangan daerah ini, potensi dan kekayaan alam yang masih terjaga menjadi nilai jual yang dapat
dikelola masyarakat. Potensi kearifan lokal dan kebudayaan yang masih terjaga merupakan peluang untuk
dikembangkan maksimal untuk mendukung terciptanya daerah produktif yang mampu menompang pembentukan
konsep ketahanan kota.

K e t e r a n g a n :
A r e a P e r s a w a h a n Rumah Bambu (Material)

J e m b a t a n M a s j i d

R u m p u n B a m b u T a n a h L a p a n g

K o r i d o r H u t a n B a m b u P o s y a n d u

Gambar 1.1 Daerah pemetaan potensi peluang Ds. Pokoh.


Sumber : Tim Pemetaan Bamboo Biennale 2012 dan Analisis Penulis, 2016.

2. Dusun Walen
Dukuh Walen adalah salah satu Dukuh di Desa Walen yang memiliki luas terbesar diantara dukuh lainnya
di desa tersebut. Dukuh Walen terletak di jantung Desa Walen, diapit oleh Dukuh Pokoh di bagian Selatan, dan
Dukuh Ngampon dan Jeringan di bagian utara. Dukuh ini dilalui oleh jalan utama Desa Walen yang membaginya
menjadi dua bagian, terdapat pula kantor desa di dukuh ini. Pusat-pusat kegiatan masyarkat juga berada di Dukuh
Walen, yaitu balai desa, dan posyandu. Pasar Walen juga terletak di dukuh ini tetapi pasar ini sudah tidak berfungsi
sejak tahun 1970. Wilayah Dukuh Walen di bagian utara jalan dikelilingi oleh sawah, sedangkan di wilayah selatan

214
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Dukuh Walen didominasi oleh hutan bambu. Wilayah disekitar jalan raya didominasi oleh permukiman penduduk.
Sungai juga mengaliri wilayah Dukuh Walen bagian utara yang berbatasan dengan Dukuh Ngampon dan
Jeringan.Dukuh Walen memiliki jumlah penduduk terbesar dengan kurang lebih 200KK yang 60% diantaranya
bekerja sebagai pengrajin bambu. Penduduknya didominasi oleh penduduk usia produktif diatas 40 tahun. Hal ini
dikarenakan penduduk usia produktif dibawah usia 40 tahun lebih memilih mengadu nasib di kota-kota besar di
Indonesia. Produk utama Desa Walen adalah tampah dan eblek, dimana masing-masing industri mampu
memproduksi hingga 20 buah tampah per hari. Selain tampah dan eblek, terdapat industri kerupuk di Desa Walen
meski jumlahnya tidak sebanyak industri bambu. Rumah-rumah arsitektur bambu masih banyak ditemukan di
Dukuh Walen, terutama di bagian selatan jalan raya yang berbatasan dengan Dukuh Pokoh. Meski pada wilayah
disepanjang jalan raya konstruksi bangunan rumah sudah menggunakan batu bata dan batako.

K e t e r a n g a n :
A r e a P e r s a w a h a n Rumah Bambu (Material)

J e m b a t a n Rumah Joglo Limasan

R u m p u n B a m b u M a s j i d

M a k a m Taman Kanak-kanak (TK)

Gambar 1.2 Daerah pemetaan potensi peluang Ds. Walen.

Sumber : Tim Pemetaan Bamboo Biennale 2012 dan Analisis Penulis, 2016.

Pembentukan jaringan atau komunitas (koperasi) sebagai upaya pengelolaan potensi yang berkelanjutan
untuk menjadikan daerah atau kampung produktif yang ramah anak. Keberadaan jaringan kelompok (koperasi)
merupakan langkah untuk meningkatkan nilai ekonomi masyarakat setempat yang dikelola secara mandiri.
3. Dusun Jeringan
Dukuh Jeringan terletak di Desa Walen, Kecamatan Simo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Diantara
semua dukuh yang ada di Desa Walen, Dukuh Jeringan merupakan dukuh yang paling kecil dan terletak paling
timur dekat dengan perbatasan. Walaupun merupakan dukuh yang paling kecil, namun dukuh ini merupakan dukuh
yang asri, karena memiliki hutan bambu dan hutan alami yang cukup luas. Terbukti, hampir setiap rumah memiliki
jarak yang cukup jauh antara rumah yang satu dengan yang lainnya dikarenakan adanya hutan bambu atau hutan
alami tadi.
Luasan hutan bambu yang cukup luas di area Dusun Jeringan, tidak mengherankan apabila sebagian besar
mata pencaharian penduduk di dukuh ini merupakan pengrajin anyaman bambu dengan spesifikasi besek. Hampir
setiap rumah tangga, dapat melakukan anyaman bambu. Selain itu, dari sisi arsitektural rumahnya pun, sebagian
besar rumah penduduk masih terbuat dari bambu, baik dari segi hiasan maupun dinding rumahnya.

215
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

K e t e r a n g a n :
J e m b a t a n Rumah Bambu (Material)

Koridor Hutan Bambu M a s j i d

R u m p u n B a m b u T a n a h L a p a n g

Perkebunan (Tanah Kosong)

Gambar 1.3 Daerah pemetaan potensi peluang Ds. Jeringan.

Sumber : Tim Pemetaan Bamboo Biennale 2012 dan Analisis Penulis, 2016

Upaya konservasi area potensial seperti koridor hutan bambu, perkebunan, dan rumpun-rumpun bambu
sebagai pesona alam yang dapat dimanfaatkan secara tepat. Keberadaan ruang-ruang kreatif dan tanah lapang
sebagai upaya penyediaan ruang bermain anak tanpa menghilangkan unsur kearifan lokal setempat.
4. Dusun Ngampon
Dukuh Ngampon salah satu dusun di Desa Walen, Kecamatan Simo, Kabupaten Boyolali.
Mayoritas penduduk Dukuh Ngampon bekerja sebagai petani dan pembuat anyaman dari bambu. Pengrajin anyaman
dari bambu sebagian besar dari kaum ibu-ibu, mereka biasanya membuat anyaman untuk mengisi waktu kosong
selepas pulang dari sawah. Anyaman dari bambu tersebut hasilnya berupa besek dan eblek. Bahan baku pohon
bambu untuk membuat anyaman masih berasal daerahnya sendiri. Anyaman-anyaman tersebut di pasarkan ke
Kabupaten Semarang melalui para pengepul yang datang setiap minggu. Pengrajin juga sering membuat besek dan
eblek sesuai dengan pesanan pelanggan dari Kabupaten Boyolali.

216
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

K e t e r a n g a n :
A r e a P e r s a w a h a n Rumah Bambu (Material)

J e m b a t a n M a s j i d

R u m p u n B a m b u T a n a h L a p a n g

Perkebunan (Tanah Kosong) Fa si li ta s P e nd i d i ka n

Gambar 1.4 Daerah pemetaan potensi peluang Ds. Ngampon.


Sumber : Tim Pemetaan Bamboo Biennale 2012 dan Analisis Penulis, 2016.

Pengembangan peluang potensi yang dapat dikembangkan pada daerah tersebut, penyediaan ruang-ruang
lokal untuk menjaga kearifan lokal dan kebudayaan setempat. Keberadaan ruang-ruang lokal (kreatif) sebagai
langkah pelestarian kawasan yang berkelanjutan.

5. Dusun Wates
Salah satu dukuh di Desa Walen Kecamatan Simo adalah dukuh Wates. Wates terletak di paling timur desa
Walen dan berbatasan langsung dengan Desa Gunung. Dukuh yang dihuni sekitar 90 keluarga ini memiliki
kenampakan alam yang masih alami, dengan dikelilingi kali atau sungai kecil dengan rumpun bambu di tepinya.
Masyarakat Wates rata-rata bermatapencaharian petani. Sedangkan pekerjaan sambilannya adalah menganyam
bambu yang sudah mereka lakoni secara turun-temurun. Terdapat sekitar 15 rumah pengrajin anyaman bambu.
Produk anyaman bambu yang dihasilkan lebih beragam dibanding dukuh lainnya di Desa Walen ini. Seperti Besek,
Tabakan, Gedheg, Tambir, Eblek, dan Sangkar Burung. Namun mayoritas masyarakatnya adalah pengrajin Besek.

217
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

K e t e r a n g a n :
A r e a P e r s a w a h a n Rumah Bambu (Material)

J e m b a t a n Rumah Joglo Limasan

R u m p u n B a m b u M a s j i d

P o s y a n d u Fa si li ta s P e nd i d i ka n

Gambar 1.5 Daerah pemetaan potensi peluang Ds. Wates.


Sumber : Tim Pemetaan Bamboo Biennale 2012 dan Analisis Penulis, 2016.

KESIMPULAN
Pengembangan Desa Walen sebagai kampung produktif ramah anak sebagai komponen pembentuk
ketahanan kota harus memperhatikan beberapa aspek perencanaan, antara lain:
1) Pemanfaatan ruang yang difungsikan sebagai ruang lokal (kreatif) guna mendukung aktifitas tumbuh
kembang anak dan fungsi lain secara umum;
2) Adanya jejaring dari kelima dusun yang ada untuk meningkatkan nilai ekonomi, dapat dilakukan
pembentukan komunitas atau koperasi yang dapat dikelola secara mandiri oleh masyarakat;
3) Pembentukan komunitas atau jaringan untuk menjaga kelestarian kearifan lokal yang ada agar tetap
berkelanjutan; dan
4) Perencaan jangka panjang sebagai bentuk actionplan sebagai daerah produktif yang ramah terhadap anak
tanpa mengekploitasi kekayaan dan sumber daya alam yang masih alami pada daerah tersebut, namun
mengupayakan konservasi untuk menjaga keberlanjutan dan kearifan lokal yang ada.
SARAN
Perlu adanya dukungan dari masyarakat, penggiat, pendamping (Arsitek dan Perencana Kota), serta
Pemerintah untuk mengembangkan dan mewujudkan daerah-daerah potensial yang dapat mendukung terbentuknya
kota yang berkelanjutan, dan atau ketahanan kota

DAFTAR PUSTAKA
Hardiyanto, Arlis. 2016. Penataan Kawasan Semanggi Surakarta sebagai Kampung Ramah Anak. Surakarta: Prodi
Arsitektur FT-UMS.
https://desaproduktif.wordpress.com/2011/10/26/gambaran-desa-produktif/#more-29 (online diakses Minggu,
05/09/16 waktu 3:21)
Silva, Jo da, dan Braulio E. Morera. 2014. City Resilience Framework, city resilience index. UK: Ove Arup &
Partners International Limited 2014.
Tim Mapping (Pemetaan) Bamboo Biennale 2014

218
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

PENANGANAN PREVENTIF TERHADAP


ANCAMAN TANAH LONGSOR
DI PERMUKIMAN BUKIT SELILI - SAMARINDA

Zakiah Hidayati1 , Mafazah Noviana2


1
Program Studi Arsitektur, Jurusan Desain, Politeknik Negeri Samarinda
Jl. dr. Cipto Mangunkusumo Kampus Gunung Lipan Samarinda 75131. Telp 0541 260588
2
Program Studi Arsitektur, Jurusan Desain, Politeknik Negeri Samarinda
Jl. dr. Cipto Mangunkusumo Kampus Gunung Lipan Samarinda 75131. Telp 0541 260588
Email: zakitec@yahoo.co.id

Abstrak

Ancaman bencana alam seperti banjir, tanah longsor dan kekeringan semakin mengepung kawasan-
kawasan permukiman di hampir seluruh wilayah Indonesia. Pun demikian yang terjadi pada
masyarakat Samarinda yang tinggal di Bukit Selili. Setelah mengalami bencana longsor yang cukup
parah untuk ketiga kalinya, masyarakat Bukit Selili dan pemerintah Kota Samarinda semakin
waspada terhadap bencana longsor yang dapat terjadi sewaktu-waktu. Masyarakat Bukit Selili harus
memikirkan tindakan untuk menghadapi ancaman bencana longsor. Hal inilah yang melatarbelakangi
dilakukannya penelitian ini. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi area rawan longsor
dan menganalisis pola permukiman, pola vegetasi, pola jalan, utilitas bangunan & lingkungan di
kawasan Bukit Selili untuk menghasilkan konsep preventif terhadap ancaman tanah longsor, terutama
ditinjau dari kacamata ilmu arsitektur. Metode yang diterapkan dalam penelitian ini adalah studi
kasus. Metode studi kasus mempelajari secara intensif kondisi permukiman Bukit Selili sekarang
dengan bencana rawan longsor. Hal pertama yang diteliti adalah identifikasi area rawan longsor
berdasar kejadian beberapa bencana longsor terakhir. Berdasar identifikasi area rawan longsor,
kemudian dianalisis menggunakan kriteria pencegahan bencana, identifikasi tanah longsor, dan
komponen permukiman (pola permukiman, pola vegetasi, pola jalan dan utilitas). Penelitian
difokuskan pada empat komponen permukiman. Setiap komponen dari kriteria permukiman
dikerucutkan menjadi elemen-elemen indikator. Tahapan analisis menghasilkan konsep preventif
berupa panduan-panduan struktur bangunan rumah tinggal (struktur bawah yaitu area panggung dan
struktur atas/atap), utilitas bangunan dan lingkungan (saluran air kotor, septictank, drainase
bangunan, drainase lingkungan), dan penanaman vegetasi lokal di area gundul. Diharapkan
permukiman yang telah berumur lebih dari 100 tahun ini bisa dipertahankan terutama di area
longsor rendah.

Kata kunci: longsor; preventif; permukiman

Pendahuluan
Bukit Selili adalah sebuah bukit yang berada di tepi kawasan Sungai Mahakam di Kecamatan Samarinda Ilir,
Samarinda. Ditinjau dari histori geologi oleh Fajar Alam (seorang ahli geologist dari Samarinda), sewaktu
Samarinda belum seramai sekarang, kira-kira 23 juta tahun silam terjadi patahan naik di Selili (Bukit Selili naik
terhadap dataran daerah pelabuhan), yang arahnya memanjang garis patahannya sampai ke arah Prangat (ruas
Samarinda - Bontang). Patahan yang besar ini, menyebabkan daerah sekitarnya banyak bidang lemah atau rekahan-
rekahan yang mudah dilewati oleh air. Seiring waktu, daerah tepi Sungai Mahakam, jutaan tahun kemudian,
mengundang minat orang-orang untuk datang dan bermukim. Alasannya tentu dekat air, nyaman untuk kehidupan
sehari-hari. (Sarip, Kompas Corporation, 2015)
Bulan Februari 2015, Bukit Selili mengalami longsor untuk yang ketiga kalinya. Longsor yang terjadi
menyebabkan patahnya jembatan kayu di RT 17 Kelurahan Selili Samarinda. Pergeseran tanah ini tidak
menyebabkan korban jiwa, tetapi masyarakat sekitar semakin was-was terhadap ancaman terjadinya lonsor kembali.
Pergeseran tanah disebabkan oleh banyak faktor yaitu antara lain kondisi alamiah geologis tanah dan kegiatan
manusia di kawasan tersebut.
Bagaimana masyarakat Bukit Selili dapat hidup ‘serasi’ dengan lingkungan yang rawan longsor tentu
menjadi poin yang harus dipikirkan oleh pemerintah dan masyarakat. Melalui kacamata arsitektur, hal tersebut akan

219
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

ditelaah agar menjadi masukan yang membangun terutama bagi masyarakat yang tinggal di Bukit Selili. Untuk itu
perlu dilakukan pencegahan bencana sebagai upaya untuk menghilangkan dan/atau mengurangi ancamana bencana
tanah longsor di permukiman Bukit Selili sesuai dengan UU No 24 tahun 2007.
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi area rawan tanah longsor dan menganalisis
pola permukiman, pola vegetasi, pola jalan, utilitas bangunan & lingkungan untuk menghasilkan konsep preventif
terhadap ancaman tanah longsor di permukiman Bukit Selili. Lingkup konsep preventif dalam tulisan ini adalah
pencegahan terhadap bencana tanah longsor yang mungkin akan terjadi, setelah sebelumnya pernah mengalami
bencana sejenis.
• Penanganan bencana pada dasarnya terdiri dari 4 fase yaitu :
− Prevention (pencegahan - mitigasi)
Pada tahap ini melakukan identifikasi dan meminimalkan resiko yang ditimbulkan oleh bangunan, peralatan
dan lain-lain yang berada dalam area rawan bencana. Melaksanakan pengawasan dan pemeliharaan terhadap
bangunan dan lain sebagainya. Mitigasi bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik
melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana (Pasal
1 ayat 6 PP No 21 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana). Mitigasi didefinisikan sebagai
upaya yang ditujukan untuk mengurangi dampak dari bencana.
− Preparedness (kesiapan)
Pada tahap ini kesiapan penanggulangan bencana telah terdokumentasi dengan baik (misalnya tertulis),
sehingga semua pihak yang terlibat dapat mempelajari dan memahami dengan baik mengenai rencana kesiapan,
respon dan pemulihan.
− Response (tanggap)
Pada periode tanggap darurat (response) ini aspek emergensi yang perlu perhatikan pada fase tanggap darurat
adalah: A) penyelamatan dan pertolongan terhadap korban. B)pengungsian korban ke wilayah lain. C) penyediaan
tempat penampungan sementara yang layak. D) Penyediaan makan, baik distribusi dan persediaan stok bahan
pangan. E) pembukaan akses jalan melalui darat udara atau laut termasuk pendaratan helikopter. F) ketersediaan alat
komunikasi. G) ketersediaan air bersih. H) ketersedian barang - barang kebutuhan untuk pengungsi. I) sarana
kesehatan dan sanitasi, tenaga medis. J) ketersediaan informasi publik. Tersedianya informasi bagi komunitas
tentang apa yang harus dilakukan. K) Jaminan keamanan konstruksi untuk bangunan yang mendapatkan prioritas
tertinggi L) jaminan untuk dukungan moral bagi korban.
− Recovery (pemulihan)
Segmen recovery merupakan proses pemulihan ke kondisi yang normal. Terdapat kegiatan rehabilitasi dan
rekonstruksi dengan skala prioritas dan dikerjakan dengan metode/teknik tertentu. (Unesco, 1999).
• Tanah longsor
Tanah longsor merupakan salah satu jenis gerakan massa tanah atau batuan, ataupun percampuran keduanya,
yang bergerak keluar atau menuruni lereng akibat terganggunya kestabilan tanah maupun batuan penyusun lereng
tersebut. Menurut Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Bencana Longsor Tahun 2007, proses yang memicu
terjadinya tanah longsor adalah peresapan air ke dalam tanah akan menambah bobot tanah akibat curah hujan yang
tinggi serta tingkat kelerangan yang sangat tinggi. Jika air tersebut menembus sampai tanah kedap air yang berperan
sebagai bidang gelincir, maka tanah menjadi sangat licin dan tanah pelapukan di atasnya akan bergerak mengikuti
lereng dan keluar lereng tersebut (Imanda, 2013).
Ada 6 jenis tanah longsor, yakni: longsoran translasi, longsoran rotasi, pergerakan blok, runtuhan batu,
rayapan tanah, dan aliran bahan rombakan. Jenis longsoran translasi dan rotasi paling banyak terjadi di Indonesia.
Sedangkan longsoran yang paling banyak memakan korban adalah aliran bahan rombakan (ESDM, 2008).
• Pola permukiman
Pola persebaran permukiman penduduk dipengaruhi oleh keadaan iklim, keadaan tanah, tata air, topografi
dan ketersediaan sumber daya alam yang terdapat di wilayah tersebut. Ada tiga jenis pola pemukiman penduduk
berdasarkan teori permukiman secara umum dikaitkan dengan kondisi lahan dan lingkungan sekitarnya, yaitu
sebagai berikut (Wiraprama, Zakaria, & Purwantiasning, 2014):
− Pola Permukiman Memanjang (Linier).
Pola pemukiman memanjang memiliki ciri pemukiman berupa deretan memanjang karena mengikuti jalan,
sungai, rel kereta api atau pantai.
− Pola Permukiman Terpusat
Pola permukiman ini mengelompok membentuk unit-unit yang kecil dan menyebar, umumnya terdapat di
daerah pegunungan atau daerah dataran tinggi yang berelief kasar, dan terkadang daerahnya terisolir. Di daerah
pegunungan, pola permukiman memusat mengitari mata air dan tanah yang subur. Sedangkan daerah pertambangan
di pedalaman permukiman memusat mendekati lokasi pertambangan. Penduduk yang tinggal di permukiman
terpusat biasanya masih memiliki hubungan kekerabatan dan hubungan dalam pekerjaan. Pola permukiman ini
sengaja dibuat untuk mempermudah komunikasi antar keluarga atau antar teman bekerja.

220
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

− Pola Permukiman Tersebar


Pola permukiman tersebar terdapat di daerah dataran tinggi atau daerah gunung api dan daerah-daerah yang
kurang subur. Pada daerah dataran tinggi atau daerah gunung api penduduk akan mendirikan permukiman secara
tersebar karena mencari daerah yang tidak terjal, morfologinya rata dan relatif aman. Sedangkan pada daerah kapur,
permukiman penduduk akan tersebar mencari daerah yang memiliki kondisi air yang baik. Mata pencaharian
penduduk pada pola permukiman ini sebagian besar dalam bidang pertanian, perkebunan dan peternakan.
− Pola Permukiman Cluster
Pola permukiman cluster biasanya terdapat pada permukiman-permukiman tradisional yang sudah terpola
karena perilaku masyarakatnya maupun karena tuntutan adat dan tradisi masyarakat.
• Tipe Vegetasi
Fungsi vegetasi sangat penting dalam sistem rekayasa lereng stabil di area tanah longsor. Vegetasi berfungsi
sebagai agen pencegahan erosi, pengurangan infiltrasi dan alir limpasan, pencegah longsor dan perkuatan lereng.
(Zufialdi Zakaria, 2013). Vegetasi yang beradaptasi baik dapat memberikan kekuatan akar dalam mengikat agregat
tanah dan sebagai pilar penahan longsor (Erfandi, 2013).
Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum (2007) No. 22/PRT/M/2007 menyarankan
untuk menanam jenis tanaman sesuai dengan kemiringan lereng. Untuk dapat menguatkan tanah pada lereng di
antaranya adalah pohon kemiri, laban, dlingsem, mindi, johar, bungur, banyan, mahoni, renghas, jati, kosambi,
sonokeling, trengguli, tayuman, asam jawa dan pilang.
• Utilitas lingkungan
Pembahasan utilitas lebih banyak difokuskan pada sistem drainase karena sistem drainase di permukiman
rawan longsor sangat diperlukan untuk mencegah air hujan masuk ke dalam tanah bukit secara berlebihan. Air yang
berlebihan di dalam tanah akan menggerus tanah dan mendorong terjadinya longsor.
Drainase berasal dari bahasa Inggris yaitu drainage yang mempunyai arti mengalirkan, menguras, membuang
atau mengalihkan air. Drainase secara umum didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari usaha untuk
mengalirkan air yang berlebihan dalam suatu konteks pemanfaatan tertentu. (Nurhapni & Burhanudin, 2011).
Dasar pertimbangan drainase lingkungan antara lain adalah sebagai berikut: dinding saluran mempunyai pori-
pori untuk peresapan air tanah, perkerasan dinding berfungsi untuk melindungi tanah agar tidak longsor, dasar
saluran bukan merupakan bahan yang kedap air, permukaan terbuka untuk proses pengeringan secara alamiah,
cekungan saluran dihindarkan membentuk sudut lancip agar aliran lancar dan memungkinkan untuk kontrol
kebersihan setiap harinya (Yuliani & Yuliarso, 2007).
Metode Penelitian
Berdasarkan tujuan, manfaat dan jenis objek yang akan ditinjau maka metode yang diterapkan adalah studi
kasus. Metode studi kasus mempelajari secara intensif kondisi permukiman Bukit Selili sekarang dengan bencana
rawan longsor. Hal pertama harus mengetahui identifikasi area yang paling rawan longsor di permukiman Bukit
Selili berdasar dengan kejadian beberapa bencana longsor terakhir. Pemetaan kawasan longsor skala kota telah
dilakukan pemerintah Kota Samarinda di dalam Peraturan Daerah Kota Samarinda Nomor 2 Tahun 2014 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Samarinda tahun 2014 – 2034 (Pasal 37). Berdasar identifikasi area paling
rawan dari permukiman bukit Selili, kemudian di analisis berdasar kriteria pencegahan bencana, identifikasi tanah
longsor, dan permukiman. Masing-masing kriteria memiliki komponen dan indikator. Komponen dari kriteria
kegiatan pencegahan bencana adalah identifikasi area longsor dan penghilangan/pengurangan ancaman bencana.

Tabel 1. Kriteria, komponen, indikator dan teknik


No Kriteria Komponen Indikator Teknik
1. Kegiatan Identifikasi area Hirarki area longsor (paling rawan dan Studi pustaka
pencegahan longsor aman dari longsor) Wawancara
bencana Penghilangan / Penguatan bangunan dan lingkungan / Observasi
(preventif) pengurangan kawasan
ancaman bencana
Masyarakat Masyarakat sebagai penghuni kawasan
Selili memahami bagaimana mencegah
dan menyiapkan hunian dan lingkungan
dalam menghadapi bencana
2. Tanah longsor Derajat kelerengan Semakin tinggi derajat kelerengan
semakin rentan longsor
Jenis longsor Ketahanan / durability permukiman
Jenis tanah Dampak terhadap jenis pondasi
bangunan

221
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

3. Permukiman Pola permukiman Tipe pola permukiman (linear,


terpusat,tersebar atau cluster)
Letak rumah (di atas sungai atau di atas
bukit)
Struktur bangunan (material, teknik,
penguatan struktur)
Pola jalan Bentuk pola jalan (linear, radial, spiral,
network, campuran)
Material, teknik, penguatan struktur
Pola vegetasi Jenis vegetasi lokal
Metode pelaksanaan
Utilitas Air bersih
Air kotor
Drainase

UTARA
Gambar 1. Sketsa potongan lokus penelitian dari sisi barat

Hasil dan Pembahasan


Kampung Bukit Selili terletak di tepi Sungai Mahakam, sepanjang kawasan Jalan Selili Samarinda dan
sekitarnya. Lokus penelitian berada di kawasan permukiman Bukit Selili di sisi selatan yang secara administratif
berada di sebagian RT 15, 16 dan 17. Setiap RT rata-rata dihuni oleh 40 – 70 KK. Warga berusia produktif rata-rata
bekerja di sektor swasta atau wiraswasta.
Penduduk yang tinggal sekarang rata-rata adalah generasi ketiga dan keempat yang kebanyakan berasal dari
suku Banjar dan masih terkait silsilah kekeluargaan yang sama/dekat. Sebagian warga menempati rumah yang
merupakan warisan dari orang tua dan nenek. Berjalannya waktu, cukup banyak pendatang dari suku Bugis dan
Jawa di kampung ini.
Pola permukiman Bukit Selili termasuk pola linier yang mengikuti aliran Sungai Mahakam di bagian selatan.
Pola linier merupakan pola permukiman yang lazim terbentuk pada wilayah yang kental dengan budaya air (sungai).
Pada masa lampau, Sungai Mahakam menjadi pusat kegiatan masyarakat Kalimantan Timur seperti masyarakat
Samarinda dan sekitarnya (termasuk wilayah Kutai Kartanegara).

Jl. Lumba-lumba

Jl. Lumba-lumba
Lokus
Sungai Mahakam

 UTARA

Gambar 2. Garis merah sebagai penanda bentuk linearitas kampung Selili

222
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Lokus berada di permukiman dengan tanah berkontur cukup terjal (kurang dari 90 meter/kategori low hill,
dengan derajat kemiringan lebih dari 40%). Sebelah utara lokus penelitian adalah permukiman RT 15, sebelah
selatan adalah area lahan/hutan. Sebelah barat adalah Sungai Mahakam dan sebelah timur adalah hutan/kebun.
Rumah paling rendah adalah rumah yang berada tepat di atas sungai Mahakam dan kemudian semakin tinggi
mengikuti lereng bukit Selili ke arah timur.
Seluruh rumah dibangun dengan kayu sebagai konstruksi utama bangunan, dengan struktur panggung
berlantai 1 - 2. Atap berbentuk limasan atau pelana dengan penutup dari seng. Dinding-dinding kayu tersusun
vertikal, horizontal atau kombinasi keduanya. Kolom-kolom struktur bawah (panggung) tersusun dari kayu ulin
dengan konstruksi kalang sunduk. Akses menuju beranda melalui tangga (kayu/beton) atau langsung dari jalan
lingkungan. Hanya langgar kampung yang dibangun dengan beton.

Gambar 3. View lokus penelitian dari arah Sungai Mahakam (barat)

Jenis bencana longsor yang terjadi di permukiman Bukit Selili adalah jenis rayapan tanah. Rayapan tanah
adalah jenis tanah longsor yang bergerak lambat. Jenis tanahnya berupa butiran kasar dan halus. Jenis tanah longsor
ini hampir tidak dapat dikenali. Setelah waktu yang cukup lama longsor jenis rayapan ini bisa menyebabkan tiang-
tiang telepon, pohon, atau rumah miring ke bawah.
Hampir setiap rumah di area lokus penelitian (RT 15,16, 17) mengalami pengaruh fisik akibat rayapan tanah.
Hal yang paling sering terjadi adalah tiang-tiang panggung yang miring, pondasi kalang sunduk yang terbuka akibat
tanah tergerus, jalanan patah, parit patah, pipa air patah dan lain sebagainya. Walaupun secara umum jenis longsor
yang terjadi tergolong longsor lambat, tetapi akumulasi rayapan tanah dan pengaruh faktor-faktor pemicu lainnya
(curah hujan tinggi, vegetasi yang jarang, aktifitas penduduk) menghasilkan beberapa kali bencana longsor yang
cukup parah. Tercatat bencana longsor yang cukup parah terjadi 3 kali (1998, 2006 dan 2015).
Pemetaan area longsor berdasar kejadian tanah longsor terakhir dapat dilihat pada gambar berikut :

Area penghijauan
bukit Selili (area
hijau)

Bagian ini menggambarkan


area paling rawan longsor.
Di luar itu, semua area ber-
potensi longsor

Gambar 4. Sebaran area longsor

Berikut adalah hasil analisis berdasar komponen-komponen penelitian (yaitu pola permukiman, pola
vegetasi, pola jalan dan utilitas) yang menghasilkan panduan penguatan bangunan dan lingkungan. Beberapa
panduan disertai gambar pendukung untuk memudahkan pemahaman pembaca.

223
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Tabel 2. Panduan penguatan bangunan dan lingkungan


No Komponen Panduan Deskripsi
1 Pola Bangunan rumah tinggal : Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menguatkan
permukiman Perlu penguatan trucuk pondasi adalah :
pondasi pada yang telah Mengisi ruang antara celah trucuk ulin (tiang pondasi) ke
atau hampir terlepas dari tanah dudukan dengan pondasi batu. Hal ini jika
tanah. dilakukan jika jarak trucuk dan tanah masih dekat) –
(lihat gambar 5 kiri).
Menyambung trucuk ulin jika celah antara trucuk (tiang
pondasi) dengan tanah dudukan agak jauh. (Gambar 5
kanan).
Perlu penambahan balok Tiang pondasi yang miring tentu berakibat pada tiang
suai pada area panggung yang tersambung di atasnya. Bangunan rumah tinggal
warga banyak yang kurang rigid karena tidak dilengkapi
dengan balok suai (balok diagonal pengaku) di
trucuk/tiang pondasi sehingga bangunan mudah miring
jika ada beban berlebih di salah satu sisi atau lemahnya
dudukan trucuk di salah satu sisi. Untuk mengatasi
kemiringan ini harus ada penambahan balok suai di
pondasi maupun di dinding bangunan setelah bangunan
yang miring diluruskan kembali. Hal ini berlaku baik
untuk rumah di atas bukit atau sungai.
Penggunaan tangga kayu Tangga kayu lebih fleksibel menghadapi pergerakan
tanah dibandingkan tangga beton karena beban material
yang ringan dan konstruksi yang luwes, sehingga tangga
kayu lebih direkomendasikan di kampung Selili.
2 Pola Direkomendasikan Direkomendasikan menggunakan tanaman-tanaman yang
vegetasi menggunakan tanaman- mudah ditemui di kota Samarinda yaitu kaliandra,
tanaman yang mudah rambutan, sengon, aren.
ditemui di kota Samarinda Area patahan ekstrim diberi tanaman jenis rumput-
Patahan di rawan longsor rumputan sebagai selimut dasar. Kemudian ditanam
di RT 17 ditanami jenis tanaman yang akarnya tidak terlalu besar.
rumput-rumputan.
3 Pola jalan Pengunaan konstruksi Penggunaan material kayu untuk jalan atau tangga cukup
kayu pada jalan setapak adaftif terhadap lingkungan berkontur. Hal ini ditinjau
yang berbentuk undak- dari kemudahan mobilitas/mengangkut material, reaksi
undakan terhadap aliran air hujan yang sering meluap dari drainase
melewati bawah tangga atau jalan kayu, dan pasang air
Sungai Mahakam yang mengenai area paling landai dari
kampung ini.
Untuk jalan berbentuk Penggunaan material semen untuk pedestrian cukup
ramp dapat menggunakan bermanfaat untuk memperkuat stabilitas tanah namun
penutup semen untuk tetap harus diperhatikan aspek perawatan terutama
memudahkan aksesibilitas terhadap kerusakan retak atau patahan yang disebabkan
masyarakat terkikisnya tanah di bawah konstruksi jalan. Material
semen dapat diterapkan pada jalan setapak yang tidak
terlalu curam dan tidak banyak cekungan pada
permukaan.
Dampak dari longsoran tanah dengan membawa patahan
material jalan semen lebih berbahaya dari sekedar
longsoran tanah, selain itu penggunaan material semen
terutama untuk posisi jalan atau tangga dengan posisi
melintang terhadap kemiringan kontur juga
mempengaruhi aliran air hujan sehingga harus dibuat
gorong-gorong.

224
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

4 Utilitas Penambahan talang Padatnya bangunan di Kampung Selili mengakibatkan


posisi curahan air hujan dari atap tidak semua bisa
diarahkan langsung ke saluran drainase lingkungan. Air
hujan yang dari atap rumah langsung mengalir ke tapak
dan hal ini akan membuat tanah semakin rapuh dan
mudah longsor. Solusi dengan penambahan talang pipa
untuk arahkan aliran langsung ke saluran drainase.
(Gambar 6)
Semua hunian harus Air kotor dari rumah-rumah warga sebagian besar
memiliki saluran air kotor / dialirkan melalui parit-parit kecil yang berada di tepi jalan
drainase yang diteruskan setapak menuju sungai Mahakam. Air kotor ini berasal
ke drainase lingkungan dari kamar mandi, wastafel, area cuci piring dan area cuci
baju. Terdapat pula rumah-rumah warga yang tidak
memiliki saluran air kotor sehingga air dari kamar mandi
langsung terbuang di tanah. Hal ini sangat tidak baik
dilakukan di kawasan rawan longsor karena tanah
menjadi semakin jenuh air. Seharusnya setiap rumah
menyalurkan air kotor menuju drainase kampung. Secara
umum, parit drainase di sepanjang jalan setapak,
kondisinya masih cukup baik.
Penerapan tripikon-S pada Untuk rumah di atas area sungai Mahakam, lebih tepat
septic tank rumah warga di menggunakan tripikon-S karena pertimbangan efisiensi
atas sungai. tempat. Sejauh ini kinerja pengolahan dari tripikon-S
Penerapan septic tank kayu belum diketahui secara dalam, tetapi dapat menjadi salah
di rumah warga di atas satu rekomendasi pemilihan jenis septic tank.
bukit. Kelebihan septic tank ulin adalah mudah dalam proses
peresapan sehingga tidak cepat penuh. Selain itu, material
kayu ulin relatif masih mudah didapat di kota Samarinda
dan kualitasnya tidak diragukan sebagai kayu yang tahan
cuaca di outdoor. Material kayu juga tidak memberikan
beban mati yang tinggi terhadap bukit yang rawan
longsor. Sisi kelemahannya adalah septic tank mudah
penuh jika berada di tanah rendah di musim hujan dan
harganya relatif lebih mahal dibandingkan septic tank
beton.

Gambar 5. Dudukan pondasi batu (kiri) dan sambungan trucuk ulin (kanan)

225
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Gambar 6. Pemasangan talang pipa (kanan)

Kesimpulan
Konsep preventif terhadap ancaman tanah longsor di permukiman Bukit Selili menghasilkan rekomendasi
meliputi bangunan dan kawasan/lingkungan. Rekomendasi berupa penguatan struktur bangunan rumah tinggal
(struktur bawah yaitu area panggung dan struktur atas/atap), utilitas bangunan dan lingkungan (saluran air kotor,
septictank, drainase bangunan, drainase lingkungan), dan penanaman vegetasi lokal di area gundul/sedikit vegetasi.
Rekomendasi ini dipersiapkan untuk menghadapi kemungkinan terjadi bencana longsor di Bukit Selili di waktu-
waktu mendatang.

Ucapan terima kasih


Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat
Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi atas biaya penelitian dengan nomor proyek:042.06-0/2016.

Daftar Pustaka
Erfandi, D., (2013), “Sistem Vegetasi dalam Penanganan Lahan Rawan Longsor”, Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan.. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian
Pertanian, pp. 319-328.
ESDM, (2008), “Pengenalan Gerakan Tanah,
www.esdm.go.id/regulasi/pencarianlegislasiaregulasi/doc_download/489-pengenalan-gerakan-tanah.html,
diakses 16 April 2015, pp 1-3.
Imanda, A.., (2013), “Penanganan Permukiman di Kawasan Rawan Bencana Gerakan Tanah Studi Kasus:
Permukiman Sekitar Ngarai Sianok”, Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, 141-156.
Nurhapni, & Burhanudin, H., (2011), “Kajian Pembangunan Sistem Drainase Berwawasan Lingkungan di
Lingkungan Perumahan”, Jurnal Perencanaan Wilayah Kota Universitas Islam Bandung, pp.1-12.
Republik Indonesia, (2007), “Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Bencana Longsor Nomor : 22
/PRT/M/2007”, Jakarta :Departemen Pekerjaan Umum, Direktorat Penataan Ruang.
Sarip, M., (2015), “Waspada Gejala Longsor di Gunung Selili Samarinda”, Kompas Corporation, Kompasiana
website:m.kompasiana.com/muhammadsarip/waspada-gejala-longsor-di-gunung-selili-
samarinda_54f8ff52a333119d478b4866, diakses 22 Juli 2015.
Unesco, (1999), “Disaster Planning”, Unesco, web site: http://webworld.unesco.org/safeguarding/en/txt_sini.htm,
diakses 9 September 2016.
Wiraprama, A. R., Zakaria, & Purwantiasning, A. W., (2014), “Kajian Pola Permukiman Dusun Ngibikan
Yogyakarta”, Jurnal Arsitektur NALARs, 31-36.
Yuliani, S., & Yuliarso, H., (2007). “Konsep Eko Arsitektur pada Desain Drainase Lingkungan”, Gema Teknik, pp.
97-10.
Zufialdi Zakaria, D. M. (2013). “Bio Engineering, Melalui Pemanfaatan Tanaman Kaliandra di Wilayah Zona
Rawan Longsor Jawa Barat”, Bulletin of Scientific Contribution , pp. 168-175.

226
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

VIRTUAL EMISSION IN HIGH SPEED RAIL PROJECT

Robby Yussac Tallar1 , Harry Wiguna2


1
Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Kristen Maranatha
Jl. Surya Sumantri No 65 40164 Telp 022 2012186
2
Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Kristen Maranatha
Jl. Surya Sumantri No 65 40164 Telp 022 2012186
Email: robbyyussac@yahoo.com (email penulis utama)

Abstrak

Meningkatnya jumlah penduduk di Indonesia yang sedemikan pesatnya dengan segala aktivitas yang
ada di dalamnya mendorong peningkatan kebutuhan akan sarana transportasi massal yang memadai.
Di Indonesia sendiri, transportasi massal in belu terlalu mengutukan penduduk Indonesia. Hal ini
disebabkan karena kurangnya perencanaan pemerintah dalam membuat sebuah sistem transportasi
massal yang baik dan terintegrasi sehingga mampu memnuhi atau mendukung seluruh aktivitas
teersebut. Salah satu moda transportasi massal yang efektif dan efisien yang bisa diterapkan di
Indonesia adalah kereta api. Salah satu proyek yang sedang dilakukan di Indonesia yang
berhubungan dengan kereta api adalah proyek kereta api cepat (High Speed Rail) yang akan
menghubungkan Jakarta dengan Bandung. Jika proyek ini terselesaikan maka akan memberikan
dampak positif bagi lingkungan sekitarnya. Salah satunya adalah dengan mengurangi emisi gas
buang yang diakibat oleh para pengguna kendaraan bermotor, dengan adanya proyek ini diharapkan
para pengguna kendaraan bermotor yang akan pergi dari Jakarta menuju Bandung bisa
menggunakan High Speed Rail ini. Virtual Emission merupakan sebuah konsep yang ditawarkan pada
makalah ini dengan menadopsi ide dari Virtual Water. Secara sederhana virtual emission sama
artinya dengan jumlah kerugian yang ditimbulkan secara tidak langsung dari emisi gas buang
sebagai akibat dari kendaraan bermotor. Setidaknya emisi gas buang yang dikeluarkan sepanjang
rute jalan Jakart-Bandung bisa dikurangi dengan adanya proyek High Speed Rail. Bukan hanya
dampak positf yang ditimbulkan tetapi dalam pembangunan proyek Hihsh Speed Rail ini juga bisa
memberikan dampak lainnya dengan menggunakan analisa SWOT (strength, weakness, opportunity
dan threat) bisa diketahui dampak-dampak apa saja yang akan ditimbulkan dengan adanya proyek
ini.

Kata kunci: Emisi gas buang; High Speed Rail; Analisa SWOT

Pendahuluan
Meningkatnya jumlah penduduk di Indonesia yang sedemikian pesatnya dengan segala aktivitas yang ada di
dalamnya mendorong peningkatan kebutuhan akan sarana transportasi massal pendukung massal yang memadai. Di
Indonesia sendiri, transportasi massal ini belum terlalu menguntungkan penduduk Indonesia. Hal ini disebabkan
karena kurangnya perencanaan pemerintah dalam membuat sebuah sistem transportasi massal yang baik dan
terintegrasi sehingga mampu memenuhi atau mendukung seluruh aktivitas tersebut. Hal ini menyebabkan banyak
masyarakat (kalangan menengah keatas) lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi dibandingkan dengan
menggunakan transportasi massal yang sudah tersedia.
Salah satu moda transportasi massal yang di Indonesia adalah kereta api. Moda transportasi ini dianggap
cukup efektif dan efisien dalam melakukan pengangkutan orang maupun barang secara massal. PT. Kereta Api
Indonesia (KAI) adalah satu-satunya badan usaha milik negara yang menyelenggarakan jasa angkutan kereta api di
Indonesia. Namun pada akhir Maret 2007 Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) telah
mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1992, yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 yang
membuka kesempatan kepada investor swasta maupun pemerintah daerah untuk mengelola jasa angkutan kereta api
di Indonesia. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pengguna kereta api dari tahun 2006 sampai 2015
terus meningkat. Hal ini disertai dengan adanya usaha peningkatan yang dilakukan oleh PT. KAI. dalam hal
pelayanan, fasilitas, dan keamanan hal ini menandakan ada perubahan yang dilakukan oleh PT.KAI. Walaupun
demikian fakta lapangan yang terjadi adalah pengguna kereta api masih lebih sedikit dibandingkan dengan
pengguna jalan raya. Hal ini terutama masih sering terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta dan Bandung. Maka
dari itu pemerintah harus memberikan perhatian lebih dalam rangka mendorong angka pengguna jalan raya untuk

227
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

beralih menggunakan moda transportasi kereta api ini. Salah satu dampak positif yang akan didapat bila moda
transportasi kereta api ini dioptimalkan maka akan mengurangi penggunaan bahan bakar minyak (BBM) kendaraan
bermotor, sehingga berujung pada penghematan biaya sekaligus peningkatan kualitas udara. Maka dari itu,
pemerintah saat ini berupaya untuk mewujudkan sebuah kereta cepat atau High Speed Rail (HSR) dimulai dari HSR
Line Jakarta-Bandung. Berdasarkan perencanaannya kereta cepat ini akan beroperasi pada tahun 2019 sehingga
pembangunan infrastruktur penunjang proyek HSR Line ini dipercepat selama kurun waktu terakhir ini.
Makalah ini bertujuan untuk memaparkan dan mengkaji dampak dari emisi gas buang yang dapat dikurangi
sebagai akibat adanya proyek HSR Line Jakarta-Bandung ini. Hipotesis yang dibangun adalah dengan adanya
proyek HSR Line Jakarta-Bandung ini diharapakan mampu mengurangi emisi gas buang dan memberikan dampak
positif terhadap lingkungan termasuk kesehatan masyarakat didalamnya. Oleh karena itu, makalah ini juga akan
membahas keterkaitan secara ekonomi dari dampak-dampak yang dihasilkan oleh pengurangan emisi gas buang
sebagai akibat adanya proyek HSR Line Jakarta-Bandung.

Deskripsi Umum Transportasi Kereta Api


Transportasi kereta api adalah transportasi darat yang menggunakan rel, lokomotif, dan gerbong sebagai
sarana pengangkut. Kereta api dirancang untuk tujuan tertentu seperti mengangkut hasil alam maupun manusia.
Kereta api pada awalnya menggunakan rel yang terdiri dari 2 batang baja yang diletakkan di bantalan kayu jati yang
keras. Dalam perkembangannya terciptalah kereta api monorel yang memiliki jalur tunggal dan hanya memiliki 1
batang baja.
Kereta api adalah sarana transportasi berupa kendaraan dengan tenaga gerak, baik berjalan sendiri maupun
dirangkaikan dengan kendaraan lainnya, yang akan ataupun sedang bergerak di rel. Kereta api merupakan alat
transportasi massal yang umumnya terdiri dari lokomotif (kendaraan dengan tenaga gerak yang berjalan sendiri) dan
rangkaian kereta atau gerbong (dirangkaikan dengan kendaraan lainnya). Rangkaian kereta atau gerbong tersebut
berukuran relatif luas sehingga mampu memuat penumpang maupun barang dalam skala besar. Karena sifatnya
sebagi angkutan massal yang efektif, maka beberapa negara berusaha memanfaatkannya secara maksimal sebagi alat
transportasi utama angkutan darat baik di dalam kota, antarkota, maupun antarnegara.

Metodologi
Makalah ini menggunakan data primer dan data sekunder sebagai data utama di dalam menganalisis. Sumber
data primer adalah data hasil wawancara pemakalah dengan nara sumber. Sementara itu, sumber data sekunder
adalah kajian, publikasi dan laporan dari penelitian sebelumnya baik dari pemerintah maupun opini para ahli yang
terdapat dalam media elektronik.

Gambar 1. Alur pikir penulisan kajian

Analisa SWOT
Proyek HSR Line Jakarta-Bandung terlebih dahulu dianalisa dengan menggunakan deskripsi komperhensif
terhadap kekuatan, kelemahan, kesempatan, dan ancaman dari proyek itu sendiri. Hasil analisa berupa rangkuman
dapat dilihat pada Tabel 1.

228
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Tabel 1. Rangkuman analisa SWOT proyek HSR Line Jakarta-Bandung


Kekuatan (S) :
1. Mobilitas masyarakat lebih cepat dan efisien bila ditinjau dari segi waktu
2. Kenyamanan, keamanan, dan keselamatan lebih terjamin
3. HSR Line merupakan teknologi termutakhir dalam moda transportasi darat di Indonesia
4. Mengurangi emisi gas buang dari kendaraan bermotor
Kelemahan (W) :
1. Secara kalkulasi cepat HSR lebih mahal bila dibandingkan dengan moda transportasi darat lainnya, terutama
kendaraan bermotor
2. Memerlukan moda transportasi penunjang (feeder transportation) lain untuk mencapai stasiun HSR Line
3. Dibutuhkan perhitungan khusus perlambatan dan percepatan HSR Line pada tiap stasiun
Kesempatan (O) :
1. Dapat meningkatkan pertumbuhan daerah-daerah yang dilewatinya (stasiun-stasiun yang disinggahi) termasuk
pertumbuhan ekonomi
2. Membuka lapangan pekerjaan yang terkait dengan proyek
3. Memaksimalkan potensi berupa tenaga ahli lokal
Ancaman (T) :
1. Memicu dampak negatif pada parameter lingkungan tertentu
2. Potensi adanya korupsi dalam proyek HSR Line
3. Menimbulkan kesenjangan/kecemburuan antar daerah

Ada pun penjelasan dari tiap-tiap point diatas sebagai berikut:


• Untuk (S1) Mobilitas masyarakat lebih cepat dan efisien bila ditinjau dari segi waktu
Dengan adanya HSR Line Jakarta – Bandung maka masyarakat yang hendak berlibur atau beraktifitas dapat
lebih cepat sampai ke tempat tujuan sehingga masyarakat dapat memaksimalkan waktu libur mereka.
• Untuk (S2) Kenyamanan, keamanan, dan keselamatan lebih terjamin
Kenyamanan, keamanan, dan keselamatan pengguna HSR Line Jakarta-Bandung akan lebih terjamin
karena dengan adanya fasilitas yang mendukung pada kereta api cepat ini. Keselamatan akan terjamin
karena kereta cepat ini akan menggunakan teknologi tercanggih dengan mengadopsi sistem kendali CTCS-
3 yang telah mendapatkan sertifikasi dari Loyds dan TUV serta sertifikasi Safety Implementation Level
(SIL) 4, sedangkan untuk telekomunikasi menggunakan sistem GSM-R yang dinilai andal dan tepercaya.
• Untuk (S3) HSR Line merupakan teknologi termutakhir dalam moda transportasi darat di Indonesia
Teknologi yang digunakan pada HSR Line Jakarta-Bandung adalah teknologi yang paling mutakhir,
teknologi yang berdaya angkut massal, hemat energi, dan juga ramah lingkungan. Jika teknologi yang
digunakan bukanlah teknologi yang baru maka akan menimbulkan high cost economy dibandingkan
dengan penggunaan teknologi yang paling baru.
• Untuk (S4) Mengurangi emisi gas buang dari kendaraan bermotor
Dengan adanya HSR Line Jakarta-Bandung ini tentunya akan mengurangi penggunaan kendaraan bermotor
khususnya di Jakarta dan Bandung, sehingga dapat mengurangi juga emisi gas buang yang ditimbulkan.
• Untuk (W1) Secara kalkulasi cepat HSR lebih mahal bila dibandingkan dengan moda transportasi darat
lainnya, terutama kendaraan bermotor
Bila dilakukan kalkulasi cepat, biaya yang dikeluarkan untuk menggunakan kereta cepat ini lebih mahal
jika dibandingkan dengan moda transportasi lainnya. Hal ini wajar saja mengingat dengan menggunakan
HSR Line, waktu yang diperlukan untuk mencapai tempat tujuan menjadi lebih cepat dengan fasilitas yang
lebih baik dan nyaman.
• Untuk (W2) Memerlukan moda transportasi penunjang (feeder transportation) lain untuk mencapai stasiun
HSR Line
Sebelum masyarakat bisa menggunakan HSR Line ini mereka membutuhkan sarana transportasi lain untuk
menuju ke stasiun HSR Line tersebut.
• Untuk (W3) Dibutuhkan perhitungan khusus perlambatan dan percepatan HSR Line pada tiap stasiun
Dalam perhitungan kecepatan HSR Line diperlukan analisa lebih lanjut yang terkait dengan perlambatan
(pengereman) dan percepatan (start up) saat di keempat stasiun. Hal ini diperlukan agar penggunaan HSR
Line menjadi optimal.
• Untuk (O1) Dapat meningkatkan pertumbuhan daerah-daerah yang dilewatinya (stasiun-stasiun yang
disinggahi) termasuk pertumbuhan ekonomi
HSR Line ini akan menjadi sebuah peluang baru untuk melakukan usaha bagi masyarakat sekitar yang
daerahnya dekat dengan stasiun yang disinggahi sehingga dapat memajukan pereknomian yang ada di
daerah tersebut.
• Untuk (O2)Membuka lapangan pekerjaan yang terkait dengan proyek

229
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Dengan adanya proyek HSR Line ini tentu akan membuka banyak lapangan kerja baru di berbagai bidang
keahlian tidak hanya di bidang teknik sipil saja, baik pada saat prosesnya proyek HSR Line maupun
setelahnya.
• Untuk (O3)Memaksimalkan potensi berupa tenaga ahli lokal
Banyak penyedia jasa pendidikan seperti universitas yang berada di wilayah Jakarta-Bandung seperti
Universitas Tarumanegara maupun Universitas Kristen Maranatha yang menghasilkan banyak tenaga ahli
lokal yang dapat terlibat dalam proyek HSR Line ini sehingga memaksimalkan potensi mereka dengan
adanya proyek HSR Line ini.
• Untuk (T1) Memicu dampak negatif pada parameter lingkungan tertentu
Pembangunan infrastruktur HSR Line memicu dampak negatif pada parameter lingkungan tertentu seperti
sumber-sumber air tanah yang akan terus berkurang karena perkembangan wilayah di sepanjang jalur HSR
Line.
• Untuk (T2) Potensi adanya korupsi dalam proyek HSR Line
Proyek HSR Line yang terbilang mega proyek ini memiliki perputaran dana yang didak sedikit sehingga
menimbulkan potensi korupsi di dalamnya semisal dalam pengadaan peralatan atau perlengkapan yang
terkait.
• Untuk (T3) Menimbulkan kesenjangan/kecemburuan antar daerah
HSR Line yang akan beroperasi di Jakarta-Bandung tentunya akan menimbulkan kencemburuan dari
daerah lain yang memiliki potensi sumber daya alam yang lebih baik/besar tetapi minim infrastruktur bila
dibandingkan dengan Jakarta-Bandung.

Virtual Emmission
Virtual Emission merupakan sebuah konsep yang ditawarkan pada makalah ini dengan mengadopsi ide dari
Virtual Water yang sebelumnya telah diperkenalkan oleh Professor John Anthony Allan dari King’s College London
and the School of Oriental and African Studies pada tahun 1993. Secara sederhana virtual emission sama artinya
dengan jumlah kerugian yang ditimbulkan secara tidak langsung dari emisi gas buang sebagai akibat dari kendaraan
bermotor. Jadi semakin banyak konsumsi bahan bakar, semakin banyak pula emisi gas buang yang dihasilkan.
Ironisnya virtual emission ini belum diperhitungkan kedalam analisa proyek HSR Line Jakarta-Bandung. Jumlah
rata-rata kendaraan bermotor yang menggunakan moda transportasi darat dari Jakarta-Bandung harus diketahui
terlebih dahulu untuk menghasilkan emisi gas buang termasuk didalamnya selama kemacetan terjadi. Adapun
diagram alir yang digunakan untuk menghitung virtual emission dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Diagram alir analisa perhitungan

Pada makalah ini dilakukan analisa sederhana untuk mengetahui seberapa besar nilai virtual emission yang
terjadi. Contoh analisa menggunakan beberapa data sekunder dan asumsi yang terkait dalam perhitungannya yaitu
jarak antara Kota Jakarta dengan Kota Bandung adalah 150 km dan asumsi kendaraan yang masuk ke Kota Bandung
dari Kota Jakarta sebanyak 1000 kend/jam. Dengan menggunakan persamaan dan tabel-tabel berikut maka
dilakukan perhitungan estimasi emisi gas buang kendaraan :

230
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

n
Ep = ∑ L × Ni × Fpi (1)
i =1

Tabel 2. Faktor emisi berdasarkan jenis kendaraan dan bahan bakar


Tipe kendaraan/bahan bakar Faktor emisi (gram/liter)
NOx CH4 NMVOC CO N2O CO2
Bensin :
Kendaraan penumpang 21,35 0,71 53,38 462,63 0,04 2597,86
Kendaraan niaga kecil 24,91 0,71 49,82 295,37 0,04 2597,86
Kendaraan niaga besar 32,03 0,71 28,47 281,14 0,04 2597,86
Sepeda motor 7,12 0,71 85,41 427,05 0,04 2597,86
Diesel :
Kendaraan penumpang 11,86 0,08 2,77 11,86 0,16 2924,9
Kendaraan niaga kecil 15,81 0,04 3,95 15,81 0,16 2924,9
Kendaraan niaga besar 39,53 0,24 7,91 35,57 0,12 2924,9
Lokomotif 71,15 0,24 5,14 24,11 0,08 2964,43

Tabel 3. Indeks Standar Pencemar Udara


Kategori Rentang Penjelasan
Baik 0 – 50 Tingkat kualitas udara yang tidak
memberikan efek bagi kesehatan
mausia tau hewan dan tidak
berpengaruh pada tumbuhan,
bangunan, ataupun estetika
Sedang 51 – 100 Tingakat kualitas udara yang tidak
berpengaruh pada kesehatan manusia
atau hewan tetapi berpengaruh pada
tumbuhan yang sensitif, dan nilai
estetika
Tidak sehat 101 – 199 Tingkat kualitas udara yang bersifat
merugikan pada manusia ataupun
kelompok hewan yang sensitive atau
bisa menimbulkan keruskan pada
tumbuhan ataupun niali estetika
Sangat tidak sehat 200 – 299 Tingkat kualitas udara yang dapat
merugikan kesehatan pada sejumlah
segmen populasi yang terpapar
Berbahaya 300 – lebih Tingkat kualitas udara berbahaya yang
secara umum dapat merugikan
kesehatan yang serius pada populasi.
Sumber: Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 45 Thn 1997

Tabel 4. Sumber dan standar kesehatan emisi gas buang


Pencemar Sumber Keterangan
Karbon monoksida (CO) Buangan kendaraan bermotor; Standar kesehatan : 10 mg/m3 (9 ppm)
beberapa polutan proses industry
Sulfur dioksida (SO2) Panas dan fasilitas pembangkit listrik Standar kesehatan : 80 ɥg/m3 (0,03
ppm)
Nitrogen dioksida (NO2) Buangan kendaraan bermotor, panas, Standar kesehatan : 100 pg/m3 (0,05
dan fasilitas ppm) selama 1 jam

Jika jenis polutan adalah NOx maka emisi yang akan dihitung untuk mobil (bensin) dengan faktor emisi
21,35 gr/l atau 0,002135 gr/km dengan banyak kendaraan yang melintas 1000 kendaraan/ jam maka:

n
Ep = ∑ L × Ni × Fpi
i =1
n
Ep = ∑ 150 × 1000 × 0,002135
i =1
Ep = 320,25 g/jam/km

231
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Berdasarkan hasil perhitungan dan dengan menggunakan Tabel 4 maka didapat kesimpulan bahwa dihasilkan
intensitas emisi gas buang jauh melebihi dari ambang batas yang ditentukan oleh pemerintah dan bias dikategorikan
sebagai kondisi berbahaya untuk kesehatan masyarakat yang berada disekelilingnya.

Kesimpulan dan Saran


Dengan adanya proyek HSR Line sebenarnya menciptakan beberapa dampak positif seperti peluang untuk
memaksimalkan potensi yang dimiliki dilewatinya seperti tenaga-tenaga ahli lokal dengan membuka lapangan
pekerjaan disamping meningkatkan pendapatan daerah, dan sebagainya. Salah satu dari dampak postif yang belum
tergali adalah pengurangan dari emisi gas buang yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor pada rute Jakarta-
Bandung bila proyek HSR ini terealisasikan. Walaupun tak dipungkiri masih banyak hal-hal lain yang harus
diperhatikan dalam proyek HSR Line ini tetapi setidaknya masalah yang terkait dengan emisi gas buang dapat
terbahas dalam makalah ini.
Saran utama yang dapat diberikan pada makalah ini adalah diperlukannya penelitan dan perhitungan lebih
lanjut tentang sistem kompensasi sebagai penggantian kerugian dengan adanya proyek HSR Line ini. Kerugian yang
dimaksud termasuk juga di dalamnya kerugian non material seperti kerusakan-kerusakan lingkungan semisal
penebangan pohon-pohon ataupun kerusakan alam lainnya sebagai dampak negatif dari pembangunan sarana dan
prasarana infrastruktur jalur HSR Line.

Daftar Pustaka
Pemerintah Republik Indonesia, (2007), Undang-undang No. 23 Tahun 2007 Tentang Perkeretaapian. Jakarta.
Pemerintah Republik Indonesia, (2007), Undang-undang No. 72 Tahun 2007 Lalulintas dan Angkutan Kereta Api.
Jakarta.
Rosyani, D. & Susilo B.H., (2010), “Kinerja Kereta Api Baraya Geulis”. Tugas Akhir. Jurusan Teknik Sipil.
Universitas Kristen Maranatha. Bandung.
Warpani, Suwardjoko P., (1990), “Merencanakan Sistem Perangkutan”, ITB, Bandung.
http://id.wikipedia.org/wiki/kereta_api
www.kereta-api.ac.id

232
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

KELAYAKAN TARIF BATIK SOLO TRANS (BST) DITINJAU DARI


ABILITY TO PAY (ATP) DAN WILLINGNESS TO PAY (WTP)

Gotot Slamet Mulyono1, Nurul Hidayati2 dan Maharannisa Widi Lestari 3


1,2,3
Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Surakarta
Jl. A. Yani Tromol Pos 1 Pabelan Kartasura 57102 Telp 0271 717417
E-mail: gototsm@gmail.com, nurulhisyam@gmail.com

Abstrak

Konsekuensi menggunakan angkutan umum adalah adanya kewajiban untuk membayar tarif kepada
pihak operator kendaraannya. Tarif yang dikeluarkan dapat ditetapkan berdasarkan biaya standar
operasional kendaraan saja maupun ditambah dengan biaya lainnya. Angkutan umum dalam
melayani penumpang memberikan fasilitas diantaranya: kepastian tempat naik/turun serta adanya air
conditioner (AC) di dalam kendaraan. Berdasarkan pengamatan, masyarakat yang menggunakan
Batik Solo Trans (BST) cukup beragam. Hal ini menjadi pertimbangan untuk mengkaji apakah tarif
yang dibayarkan oleh pengguna BST saat ini sudah sesuai dengan kemampuan serta kemauan
membayar mereka masing-masing. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik responden
pengguna BST, besar tarif yang harus dibayar pengguna berdasarkan perhitungan Ability to Pay
(ATP) serta Willingness to Pay (WTP). Obyek penelitian ini adalah BST Koridor I dan II. Data yang
digunakan berupa hasil kuisioner oleh 460 responden. Pelaksanaan survai dilakukan pada beberapa
hari kerja/sekolah yaitu: Kamis-Jum’at, 12-13 Februari 2015 untuk Koridor 2, sedangkan Koridor 1
dilakukan pada Rabu, 18 Februari 2015 dan Senin, 23 Februari 2015. Hasil studi diketahui
karakterisistik respondennya mayoritas adalah: 58% perempuan, 28% pelajar, 37% bertujuan bisnis,
dan 28% berpenghasilan antara Rp900.001,00-Rp1.099.050,00. Berdasarkan analisa tarif sesuai
Ability to Pay (ATP) kategori pelajar diperoleh sebesar Rp2.000,00 dan kategori umum Rp3.670,00,
sedangkan sesuai Willingness to Pay (WTP) untuk kategori pelajar diperoleh sebesar Rp1.555,00 dan
kategori umum Rp3.458,00. Hasil tarif ATP kategori pelajar yang diperoleh sama dengan tarif yang
berlaku, sedangkan tarif WTP menunjukan tarif yang berlaku belum layak. Hasil tarif baik
berdasarkan ATP maupun WTP untuk kategori umum yang diperoleh lebih rendah dari tarif yang
berlaku, hal ini menunjukkan bahwa tarif tersebut belum layak.

Kata kunci: angkutan umum; traif; ATP; WTP

Pendahuluan
Sebagai fasilitas pendukung kehidupan manusia, transportasi sudah tidak dapat dipisahkan dari aspek-aspek
aktivitas hidup manusia. Transportasi telah berkembang menjadi kebutuhan manusia yang mendasar. Maka, fasilitas
pendukung transportasi saat ini wajib setara dengan perkembangan kegiatan kehidupan, khususnya transportasi
darat. Moda transportasi darat dapat dikelompokan menjadi 2 macam, yaitu kendaraan pribadi dan angkutan umum.
Angkutan umum adalah layanan jasa angkutan yang memiliki trayek, jadwal tetap, tarif, maupun lintasannya yang
dikelola oleh pemerintah atau operator tertentu dan dapat digunakan untuk masyarakat umum.
Tarif merupakan harga jasa angkutan yang harus dibayar oleh pengguna jasa. Harga jasa angkutan ditentukan
mengikuti sistem tarif yang ada dan berlaku secara umum. Tarif yang ditetapkan oleh pemerintah bertujuan utama
untuk melindungi kepentingan pengguna jasa (konsumen) dan juga produsen. Kebijakan tarif dapat dipandang
sebagai alat pengendali lalu lintas, dapat juga sebagai alat untuk mendorong masyarakat menggunakan kendaraan
umum dan mengurangi kendaraan pribadi. Di sisi lain, dapat juga digunakan sebagai acuan yang mengarah pada
perkembangan wilayah atau kota.Untuk pelayanan jasa angkutan umum yang berkualitas, golongan masyarakat
tertentu sudah memperlihatkan kesediaan membayar. Meskipun demikian, tarif angkutan umum harus dapat
terjangkau oleh daya beli masyarakat pada umumnya.Maka, kebijakan tarif tidak hanya didasarkan pada perhitungan
biaya operasional kendaraan saja, tetapi juga mempertimbangkan unsur pelayanan kepada masyarakat. Angkutan
umum yang ada dan pemahaman kesediaan orang untuk membayar layanan transportasi umum ditingkatkan. Jika
pelayanan sosial dianggap sebagai kebutuhan dasar manusia, dan sebagai katalis untuk pertumbuhan ekonomi, maka
tarif bus harus dibuat terjangkau untuk bagian yang berbeda dari masyarakat, terutama di kategori pendapatan
terendah atau captive passengers. Oleh karena itu, hal ini penting untuk memeriksa keterjangkauan keuangan untuk

233
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

kelompok-kelompok seperti ketika mempertimbangkan kebijakan tarif (Kumarage, 2002). Di bidang transportasi
umum, ukuran kualitas layanan adalah subjek terbesar kedua bagi perencana dan operator angkutan. Umumnya,
kualitas layanan diukur dengan persepsi pengguna dan harapan mereka tentang beberapa aspek kualitas pelayanan
(Eboli dan Mazzulla, 2008).
Surakarta merupakan kota yang penuh nuansa sejarah dan budaya, memiliki tradisi Jawa yang dibanggakan
masyarakatnya. Salah satu tradisi yang berlangsung turun temurun dan semakin mengangkat nama daerah ini adalah
membatik. Seni dan pembatikan Solo menjadikan daerah ini pusat batik di Indonesia. Sebagai kota yang tekenal
akan budaya batiknya, salah satu angkutan umum yang dioperasikan di Surakarta yaitu Batik Solo Trans (BST)
mempunyai ciri khas berupa desain batik yang terdapat pada luar badan bus. Pemilihan nama BST yaitu untuk
menyesuaikan program jangka panjang Pemerintah Kota Surakarta yang akan meningkatkan dunia Pariwisata
dengan mengangkat tema batik sebagai ciri khas Kota Surakarta.
BST termasuk dalam kategori Bus Rapid Transit. Kategori ini merupakan suatu angkutan cepat yang
menaikkan dan menurunkan penumpang di lokasi yang sudah ditentukan atau pada halte tertentu. Bus Rapid Transit
(BRT) telah diadopsi sebagai perbaikan pada layanan bus reguler melalui kombinasi fitur seperti perubahan
infrastruktur yang mengakibatkan kecepatan operasi yang lebih baik dan kehandalan layanan (Adewumi dan Allopi,
2014). BST juga merupakan salah satu angkutan umum yang diminati oleh warga Solo, khususnya pelajar dan
pegawai, namun tak jarang pula kita melihat beberapa orangtua (masyarakat) bahkan lansia dan juga pedagang yang
menjadi penumpang BST. Beberapa orang bahkan menggunakan BST ini sebagai moda transportasi yang utama
demi menunjang aktivitas sehari - hari. Beragamnya golongan masyarakat yang menggunakan bus ini menjadi salah
satu faktor untuk melihat apakah tarif yang harus dibayar oleh pengguna sudah sesuai dengan kemampuan dan
kemauan membayar mereka. Selain memiliki halte tersendiri, BST menawarkan pelayanan yang berbeda dari
angkutan umum darat pada umumnya, yaitu dengan memberikan fasilitas air conditioner yang sangat cocok untuk
penumpang di kala terik matahari tengah menyengat kota, kursi yang nyaman saat badan terasa lelah, lingkungan
bus yang bersih serta aroma bus yang wangi, pelayanannya yang ramah kepada konsumen, dan tentunya tembang-
tembang daerah yang selalu diputar di dalam bus membuat penumpangnya merasa rileks.
Adanya faktor perbedaan fasilitas serta pelayanan antara Bus BST dengan Bus Umum lainnya seperti PO.
Atmo dan PO. Nusa tersebut juga menjadi pertimbangan dalam penentuan tarif. Berdasarkan latar belakang di atas,
penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah tarif yang berlaku sudah sesuai dengan kemampuan membayar
para penggunanya. Selain itu, apakah tarif tersebut seimbang dengan fasilitas serta pelayanan yang diberikan.

Metode Penelitian
Penelitian ini berlokasi di dalam Bus BST di sepanjang rute Koridor I dan Koridor II. Peta rute tersebut BST
yang diresmikan pada tanggal 1 September 2010 dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Rute Batik Solo Trans (BST)


Penelitian ini mengunakan data utama berupa kuisioner bagi pengguna BST. Kuisioner berisi informasi
tentang karakteristik responden atau pengguna BST seperti: maksud perjalanan, intensitas perjalanan, pendapatan,
waktu tunggu kedatangan bus, dan kepuasan pelayanan bus. Pelaksanaan survai berupa penyebaran kuisioner
dilakukan pada beberapa hari kerja/sekolah yaitu: Kamis dan Jum’at, 12-13 Februari 2015 untuk Koridor 2,
sedangkan untuk Koridor 1 dilakukan pada Rabu, 18 Februari 2015 dan Senin, 23 Februari 2015. Selain data
tersebut, data yang dicari adalah informasi rata-rata penumpang per hari yang akan digunakan untuk menentukan
jumlah responden yang akan disurvai.

234
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Daya Beli Penumpang (Ability To Pay dan Willingness To Pay)


Tingkat kemampuan dan kemauan membayar masyarakat perlu diketahui supaya tarif angkutan umum tidak
menjadi beban yang berat bagi masyarakat pengguna jasa transportasi (Pudjianto, 2002). Ability To Pay (ATP)
adalah kemampuan seseorang untuk membayar jasa pelayanan yang diterimanya berdasarkan penghasilan yang
dianggap ideal. Pendekatan yang digunakan dalam analisis ATP didasarkan pada alokasi biaya untuk transportasi
dari pendapatan rutin yang diterimanya. Jadi, ATP adalah kemampuan masyarakat dalam membayar ongkos
perjalanan yang dilakukannya. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi ATP diantaranya: besar penghasilan,
kebutuhan transportasi, total biaya transportasi (harga tiket yang ditawarkan), intensitas perjalanan, dan prosentase
penghasilan yang digunakan untuk biaya transportasi (Tamin dkk, 1999). Besarnya ATP adalah rasio alokasi
anggaran untuk angkutan umum terhadap total perjalanan, baik yang berpenghasilan maupun yang tidak
berpenghasilan. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut (Armijaya, 2003):

ATP = (1)

Willingness To Pay (WTP) secara umum adalah jumlah maksimal yang ingin dibayarkan seorang konsumen
untuk memperoleh suatu barang atau jasa (Breidert, 2005). Faktor-faktor yang mempengaruhi WTP antara lain
adalah (Tamin dkk, 1999):
1. Persepsi pengguna terhadap tingkat kualitas pelayanan
2. Utilitas pengguna terhadap angkutan umum yang digunakan
3. Fasilitas yang disediakan oleh operator
4. Pendapatan pengguna

WTP tiap jenis pekerjaan = (2)

WTP seluruh kategori pekerjaan = (3)

Aspek-aspek yang terkandung dalam WTP setiap kali diperkirakan untuk menyoroti bagaimana penilaian
penting tentang kualitas pelayanan yang didapat dari sampel populasi tersebut. WTP untuk akurasi informasi jauh
lebih besar dari waktu perjalanan dan waktu tunggu (Zito dan Salvo, 2012).

Analisa dan Pembahasan


Berdasarkan hasil analisa terhadap 460 data responden, dapat diketahui karakteristik pengguna BST ditinjau
dari jenis kelamin, jenis pekerjaan, maksud perjalanan, dan pendapatan. Hasil tersebut ditampilkan pada Gambar 2
sampai Gambar 5.

Gambar 2. Prosentase responden berdasarkan jenis kelamin

Gambar 3. Prosentase responden berdasarkan jenis pekerjaan

235
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Gambar 4. Prosentase responden berdasarkan maksud perjalanan

Gambar 5. Prosentase responden berdasarkan pendapatan


Berdasarkan Gambar 2 dapat diketahui 58% penumpang BST perempuan dan 42% laki-laki. Dari sejumlah
sampel yang diambil, mayoritas pengguna angkutan umum tersebut adalah pelajar sejumlah 28% yang diikuti oleh
pegawai swasta sebesar 27% dan mahasiswa sebesar 14%. Selain kelompok pengguna di atas masih ada kelompok
PNS, ibu rumah tangga dan wiraswasta yang prosentasi masing-masingnya tidak lebih dari 15 % (Gambar 3).
Berdasarkan Gambar 4, dapat dilihat dari karakter maksud perjalanan pelaku, maka dominansi pengguna BST
adalah dari kalangan pelaku bisnis sebesar 37%, sedangkan yang paling sedikit prosentasenya adalah perjalanan
rekreasi (4%).
Selain menampilkan karakteristik dari pelaku perjalanan, hasil analisa juga menjelaskan tentang karakteristik
perjalanan yang diinginkan pengguna. Karakter tersebut ditinjau dari waktu tunggu penumpang, dan tingkat
kepuasan penumpang yang ditampilkan pada Gambar 6 dan Gambar 7.

Gambar 6. Prosentase responden berdasarkan waktu tunggu

Gambar 7. Prosentase responden terhadap kepuasan pelayanan BST


Gambar 6 menjelaskan bahwa 61% responden menyatakan waktu tunggu BST di pemberhentian adalah lama.
Kondisi ini sedikit berbeda dengan nilai prosentase yang diperoleh dari tingkat kepuasan seperti terlihat di Gambar
7. Gambar ini memperlihatkan bahwa mayoritas responden (72%) menyatakan cukup puas dengan pelayanan yang
diberikan BST.

236
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Sebagaimana telah disebutkan dalam tujuan, penelitian ini tidak hanya ingin mengetahui karakteristik
pengguna BST saja tapi juga untuk mendapatkan nilai tarif berdasarkan Ability To Pay (ATP) dan Willingness To
Pay (WTP). Berkaitan dengan hal ini, rekapitulasi kuisioner responden dapat dilihat pada Tabel 1 sampai Tabel 3
berikut ini.
Tabel 1. Rekapitulasi jumlah responden berdasarkan intensitas perjalanan tiap profesi
Jumlah Responden
Jenis Pekerjaan 7 hari/ 5 hari/ 4 hari/ 2 hari/ 1 hari/ Jumlah Responden/
(Profesi) minggu minggu minggu minggu minggu profesi
Pelajar 39 46 12 12 20 129
Mahasiswa 14 16 3 5 26 64
PNS 13 22 3 11 10 59
Pegawai Swasta 24 37 18 18 25 122
Wiraswasta 10 18 10 9 10 57
Ibu Rumah Tangga 5 3 3 14 4 29
Total 105 142 49 69 95 460

Tabel 2. Rekapitulasi biaya transportasi tiap jenis pekerjaan per minggu


Biaya Transportasi Per-Minggu (Rp)
Jenis Pekerjaan Total biaya/Minggu
(Profesi) 7 hari/ 5 hari/ 4 hari/ 2 hari/ 1 hari/ (Rp)
minggu minggu minggu minggu minggu
Pelajar 546.000 460.000 96.000 48.000 40.000 1.190.000
Mahasiswa 392.000 320.000 48.000 40.000 104.000 904.000
PNS 364.000 440.000 48.000 88.000 40.000 980.000
Pegawai Swasta 672.000 740.000 16.000 144.000 100.000 1.672.000
Wiraswasta 280.000 360.000 60.000 72.000 40.000 912.000
Ibu Rumah Tangga 140.000 120.000 48.000 56.000 16.000 272.000

Tabel 3. Rekapitulasi biaya transportasi tiap jenis pekerjaan per bulan


Jenis Pekerjaan Total Jumlah Biaya Per- Rata-rata Biaya Rata-rata Biaya
(Profesi) Responden Minggu (Rp) Per-Minggu (Rp) Per-Bulan (Rp)
Pelajar 129 1.190.000 9.225 36.900
Mahasiswa 64 904.000 14.125 56.500
PNS 59 980.000 16.611 66.441
Pegawai Swasta 122 1.672.000 13.705 54.820
Wiraswasta 57 912.000 16.000 64.000
Ibu Rumah Tangga 29 272.000 9.380 37.518

Tabel 4. Frekuensi penggunaan BST tiap jenis pekerjaan


Jenis Pekerjaan Frekuensi Penggunaan Frekuensi Penggunaan
(Profesi) Per-Minggu Per-Bulan
Pelajar 4,61 18,44
Mahasiswa 3,53 14,12
PNS 4,15 16,61
Pegawai Swasta 3,98 15,93
Wiraswasta 4,00 16,00
Ibu Rumah Tangga 3,24 12,96

Tabel 5. Ability To Pay (ATP) tiap jenis pekerjaan


Jenis Pekerjaan Proporsi Biaya BST/ Frekuensi/ bulan ATP (Rp)
(Profesi) bulan (Rp) (1) (2) (1)/(2)
Pelajar 36.900 18,44 2.000
Mahasiswa 56.500 14,12 4.000
PNS 66.441 16,61 4.000
Pegawai Swasta 54.820 15,93 3.450
Wiraswasta 64.000 16,00 4.000
Ibu Rumah Tangga 37.518 12,96 2.900

237
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Berdasarkan Tabel 5 dapat diketahui bahwa ability to pay (ATP) untuk profesi pelajar yaitu Rp2.000,00;
Mahasiswa Rp4.000,00; PNS Rp4.000,00; Pegawai Swasta Rp3.450,00; Wiraswasta Rp4.000,00; dan Ibu Rumah
Tangga Rp2.900,00. Besarnya ATP pada tiap profesi akan mempengaruhi perhitungan penentuan besarnya rata-rata
ATP tiap kategori (kelompok). Pembagian kategori (kelompok) sesuai dengan besarnya tarif yang dibayar oleh tiap
profesi. Kategori tersebut adalah kategori Pelajar (Rp2.000,00), dan Umum (Rp4.000,00). Hasil perhitungan nilai
ATP tiap kelompok dapat dilihat pada Tabel 6 berikut.

Tabel 6. Nilai Ability To Pay (ATP) tiap kelompok


Jenis Pekerjaan ATP Tiap Profesi ATP Tiap Kategori/Kelompok
Kategori
(Profesi) (Rp) (Rp)
Pelajar Pelajar 2.000 2.000
Mahasiswa 4.000
PNS 4.000
Umum Pegawai Swasta 3.450 3.670
Wiraswasta 4.000
Ibu Rumah Tangga 2.900

Berdasarkan Tabel 6 diperoleh rata-rata ATP penumpang BST adalah Rp2.000,00 untuk kategori pelajar, dan
Rp3.670,00 untuk kategori umum. Hal ini menunjukkan bahwa pengguna atau responden sudah mampu untuk
membayar besarnya nilai tarif yang ditawarkan. Dalam penelitian mengenai tarif tersebut, tidak hanya
memperhatikan kemampuan membayar tarif, tetapi juga terdapat nilai kesediaan membayar tariff (WTP). Analisa
WTP yang dibuat didasarkan pada data Tabel 7 berikut, dan hasilnya ditampilkan pada Tabel 8.

Tabel 7. Kesediaan membayar tiap jenis pekerjaan dan prosentasenya


Jumlah dan Prosentase Pemilih tiap Jenis Profesi
Kesediaan
Prosentase Pegawai Wira- Total
Membayar Pelajar Mahasiswa PNS Ibu RT
Swasta swasta
1500 Jumlah 116 2 118
% 25.22 0.40 0.25617
2000 Jumlah 12 14 3 1 12 42
0.02608
% 2.61 3.04 0.00652 0.20 6 0.09113
2500 Jumlah 1 2 2 5
% 0.22 0.40 0.43 0.01052
3000 Jumlah 20 29 42 22 9 122
% 4.35 6.30 0.09130 0.047829 0.01956 0.26517
3500 Jumlah 3 3
% 0.60 0.006
4000 Jumlah 29 18 31 17 6 101
% 6.30 0.039 0.06739 0.03695 0.01304 0.21956
4500 Jumlah 20 20
% 4.30 0.043
5000 Jumlah 1 10 21 17 49
% 0.22 0.022 0.04565 0.03695 0.10652
Jumlah 129 64 59 122 57 29 460
Total
% 0.28043 0.13913 0.128 0.26421 0.12373 0.06269 0.99808

Tabel 8. Willingness To Pay (WTP) tiap kategori kelompok


WTP Tiap WTP Tiap Kategori
Kategori Jenis Pekerjaan (Profesi) Profesi Kelompok
(Rp) (Rp)
Pelajar Pelajar 1.555 1.555
Mahasiswa 3.266
PNS 3.628
Umum Pegawai Swasta 3.824 3.457
Wiraswasta 3.878
Ibu Rumah Tangga 2.690

238
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Berdasarkan Tabel 8 dapat diketahui willingness to pay (WTP) untuk profesi Pelajar yaitu Rp1.555,00;
Mahasiswa Rp3.266,00; PNS Rp3.628,00; Pegawai Swasta Rp3.824,00; Wiraswasta Rp3.878,00; dan Ibu Rumah
Tangga Rp2.690,00. Berdasarkan hasil perhitungan WTP di atas, maka diperoleh WTP rata-rata penumpang BST
adalah Rp1.555,00 untuk kategori pelajar, dan Rp3.457,00 untuk kategori umum.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Mayoritas pengguna Batik Solo Trans (BST) adalah perempuan, jenis profesi terbanyak adalah Pelajar, dan
mayoritas penumpang bertujuan keperluan bisnis. Selain itu dapat diketahui kategori pendapatan terbanyak adalah
Rp900.001,00-Rp1.099.050,00. Waktu tunggu kedatangan BST yang dirasakan sesuai oleh pengguna yaitu 6-10
menit. Penilaian pengguna mengenai pelayanan yang diberikan BST cukup memuaskan.
2. Hasil yang didapat dalam analisis Ability to Pay (ATP) untuk kategori Pelajar adalah Rp2.000,00 dan kategori
umum Rp3.670,00.
3. Willingness to Pay (WTP) untuk kategori pelajar diperoleh sebesar Rp1.555,00 dan kategori umum diperoleh
Rp3.458,00.
4. Berdasarkan Ability to Pay (ATP) dan Willingness to Pay (WTP) dapat diketahui kelayakan tarif Bus Batik Solo
Trans (BST) yang berlaku sebagai berikut :
a. Hasil ATP untuk kategori pelajar yaitu Rp2.000,00 adalah sama dengan atau seimbang dengan tarif yang
berlaku. Sedangkan WTP untuk kategori Pelajar adalah Rp1.555,00 menunjukan bahwa tarif yang berlaku
belum layak untuk Pelajar.
b. Hasil ATP untuk kategori umum yaitu Rp3.670,00 adalah lebih rendah daripada tarif yang berlaku. Hasil WTP
untuk kategori umum yaitu Rp3.457,00 adalah lebih rendah daripada tarif yang berlaku. Hasil ATP dan WTP
yang didapat lebih rendah dari pada tarif yang berlaku saat ini, hal tersebut menunjukkan bahwa tarif tersebut
belum layak untuk pengguna Batik Solo Trans (BST).

Daftar Pustaka
Adewumi, E., & Allopi, D. (2014). An Appropriate Bus Rapid Transit. International Journal Of Science And
Technology Vol.3 No.4 ISSN 2049-7318.
Armijaya, H. (2003). Ability To Pay dan Willingness To Pay Penumpang Angkutan Kereta Api Commuter.
Makassar.
Breidert, C. (2005). Estimation of Willingness to Pay. Theory, Measurement, Application, Disertation
Wistschaftsyniverstat Wien. Gabler Edition Wissenschaft
Eboli, L., & Mazzulla, G. (2008). Willingness To Pay Of Public Transport Users For
Kumarage, A. S. (2002). Criterion For A Fares Policy And Fares Index For Bus Transport In Sri Lanka.
International Journal Of Regulation And Governance Vol. 2 No. 1, 53-73
Pujianto, B. (2002). Sistem Angkutan Umum dan Barang. Semarang: Universitas Diponegoro.
Tamin, O. Z., Rahman, H., Kusumawati, A., Munandar, A. S., & Setiadji, B. H. (1999). Studi Evaluasi Tarif
Angkutan Umum dan Analisa Ability To Pay (ATP) dan Willingness To Pay (WTP) di DKI Jakarta.
Transportasi Vol. 1 No.2, 122-135.
Zito, P., & Salvo, G. (2012). Latent Class Approach To Estimate The Willingness To Pay For Transit User
Information. Journal Transportation Technologies.

239
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

EFISIENSI PELUNAKAN AIR SADAH MENGGUNAKAN BENTONIT


TERAKTIVASI DENGAN METODE PERTUKARAN ION

Eka Sulistyaningsih
Teknik Industri, Teknologi Industri, Institut Sains & Teknologi AKPRIND YOGYAKARTA
Email: sulistyaningsih@akprind.ac.id

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efisiensi pelunakan air sadah menggunakan bentonit yang
diaktivasi menggunakan metode pertukaran ion pada kolom kromatografi serta mengetahui pH
optimum kondisi kolom yang menghasilkan efisiensi terbesar. Bentonit dihaluskan dan diayak
menggunakan ayakan 100 mesh kemudian gunakan sebagai fasa diam. Aktivasi bentonit dilakukan
secara fisika dan kimia. Aktivasi secara fisika dilakukan dengan kalsinasi pada suhu 400 ºC, dan
aktivasi secara kimia dengan perendaman menggunakan HCl 1 M. Penentuan kapasitas penukar
kation dilakukan dengan menginteraksikan bentonit dengan NaCl jenuh lalu dititrasi dengan NaOH
0,05 N. Penentuan pengaruh pH kolom kromatografi terhadap hasil pelunakan dilakukan dengan
memvariasikan pH kolom kromatografi ketika proses pelunakan yaitu pada pH 1-4. Konsentrasi
sampel yang mengandung ion kalsium diukur menggunakan spektrofotometer serapan atom pada
panjang gelombang 422,7 nm. Sedangkan untuk ion magnesium diukur absorbansinya pada panjang
gelombang 285,2 nm. Hasil penelitian menunjukkan kapasitas penukar ion dari bentonit yang
diaktivasi adalah 0,0349 miliequivalen/gram, sedangkan kapasitas penukar kation bentonit yang tidak
diaktivasi dalah 0,005 miliequivalen/gram, . Hasil memperlihatkan pH optimum yang menghasilkan
persen efisiensi terbesar pada kedua logam dengan bentonit diaktivasi terjadi pada pH 3. Efisiensi
terbesar untuk ion kalsium adalah 94,38% dan ion magnesium adalah 98,12%.

Kata kunci: air sadah; bentonit; pelunakan; pertukaran ion; teraktivasi

Pendahuluan
Air merupakan unsur penting dalam kehidupan. Sumber utama air di bumi ini adalah laut, dan semua air
akhirnya akan kembali ke laut. Laut bertindak sebagai reservoir atau penampung. Air dapat mengalami daur
hidrologi. Selama menjalani daur itu, air selalu menyerap zat-zat yang menyebabkan air itu tidak lagi murni. Bahan
mineral yang dapat terkandung dalam air karena kontaknya dengan batu-batuan terutama terdiri dari : kalsium
karbonat (CaCO3), magnesium karbonat (MgCO3), kalsium sulfat (CaSO4), magnesium sulfat (MgSO4), dan
sebagainya ( Atastina, 2007 ). Dalam beberapa kasus, daerah yang mempunyai lapisan batu gamping umumnya
memilki kualitas air tanah cukup baik, kecuali kandungan unsur dan senyawa mineral tertentu seperti Kalsium
(Ca2+) dan Magnesium (Mg2+) yang cukup tinggi sehingga disebut air sadah atau air keras (Siahaan, 2000).
Ambang batas maksimum kesadahan air yang dianjurkan adalah 350 ppm. Jika kadar kesadahan air melewati
batas maksimum,maka harus diturunkan yang biasa disebut dengan pelunakan air (water softening). Masalah yang
timbul karena tingginya kadar kesadahan dalam air antara lain timbulnya kerak pada ketel atau alat masak dan sabun
kurang berbusa (jika air digunakan untuk mencuci). Dalam dunia industri, secara ekonomi, hal ini sangat merugikan
karena adanya kerak pada ketel atau alat masak akan menyebabkan transfer panas terhambat sehingga panas yang
dibutuhkan harus lebih tinggi sehingga dibutuhkan bahan bakar yang lebih banyak dan waktu yang lebih lama.
Begitu juga jika digunakan untuk mencuci harus digunakan sabun yang lebih banyak. Dalam skala rumah tangga,
hal ini tidak terlalu dirasakan tetapi dalam skala industri, kerugian yang ditimbulkan sangat besar (Astuti, 2005).
Salah satu cara untuk melunakkan air sadah adalah dengan cara pertukaran ion.
Penelitian ini menggunakan bentonit yang diaktivasi sebagai media pertukaran ion. Bentonit merupakan
salah satu lempung dari kelompok smektit, yang mengandung 85% montmorilonit. Rumus umum bentonit adalah
(OH)4Si8Al4O20.XH2O. Bentonit ini dapat dijadikan sebagai resin penukar ion untuk proses pemisahan
menggunakan metode kromatografi penukar ion. Selama ini bentonit banyak dipakai sebagai bahan penyerap
(adsorben). Penggunaan bentonit sebagai penukar ion akan meningkat apabila bentonit diaktivasi. Aktivasi bentonit
dapat dilakukan dengan pengasaman yaitu menggunakan asam-asam mineral (HCl, H2SO4, dan HNO3) maupun
dengan pemanasan suhu tinggi. Aktivasi bentonit dengan pemanasan pada suhu tinggi bertujuan untuk
menghilangkan zat-zat pengotor yang melekat sehingga tidak mengganggu proses pertukaran ion. Sebagai

240
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

pembanding, penelitian ini juga menggunakan bentonit yang tidak diaktivasi. Aktivasi dilakukan dengan cara
fisika dan kimia. Konsentrasi ion kalsium(II) dan magnesium(II) setelah pertukaran ion dianalisis
menggunakan AAS (Atomic Absorption Spectroscopy) kemudian dihitung efisiensinya.

Bahan dan Metode


Bahan
Bahan yang digunakan adalah: bentonit, akuades, CaCl2, MgCl2, HCl, NaOH, NaCl, kertas saring, glasswool,
indikator phenolphthalein (pp). bahan kimia yang digunakan adalah kualitas pure analysis.

Metode
Aktivasi Bentonit
Pembuatan fasa diam bentonit diawali dengan mencuci bentonit. Bentonit yang telah dicuci kemudian
dihaluskan dan diayak menggunakan ayakan 100 mesh. Aktivasi secara fisika dilakukan dengan kalsinasi
(pemanasan pada ruang tertutup) selama 1 jam pada suhu 400 ºC untuk menghilangkan air dan menghilangkan zat-
zat volatil yang melekat sehingga luas permukaan bentonit bertambah dan mempunyai daya serap yang baik.
Aktivasi secara kimia dengan merendam bentonit ke dalam larutan HCl 1 M sambil diaduk selama 1 jam dengan
tujuan melarutkan pengotor yang melekat pada bentonit. Selanjutnya bentonit disaring dan dicuci dengan akuades
hingga pH netral. Setelah itu, bentonit direndam dengan NaOH selama 1 jam sehingga diperoleh Na2Bentonit
sehingga memiliki kapasitas penukar kation yang tinggi.. Selanjutnya bentonit disaring dan dicuci dengan akuades
hingga pH netral, kemudian dikeringkan dengan oven pada suhu 110 ºC selama 4-5 jam.

Penentuan Kapasitas Penukar Kation


Penentuan kapasitas penukar kation dilakukan dengan menginteraksikan 2,5 gram bentonit dengan 15 mL
larutan NaCl jenuh, kemudian diaduk dengan pengaduk magnetik selama 1 jam. Setelah diaduk, residu dan filtrat
dipisahkan dengan menggunakan kertas saring, residu dibilas dengan akuades hingga volume filtrat menjadi 50 mL.
Sebanyak 10 mL filtrat dititrasi dengan larutan NaOH 0,05 N menggunakan indikator phenolptalein (pp). Kapasitas
penukar kation (k), ditentukan dengan menggunakan rumus berikut:
k = V .N x 50 (1)
W 10
V = volume NaOH, mL,
N = normalitas NaOH, N
W = berat fasa diam bentonit yang digunakan, gram

Proses pertukaran ion


Sebanyak 1000 gram bentonit dimasukkan ke dalam kolom kromatografi dan bertindak sebagai fasa diam.
Kemudian mengkondisikan pH kolom pada variasi pH 1-4 dengan HCl. Tujuan pengkondisian ini adalah agar
pengikatan ion kalsium dan magnesium maksimal. Pertukaran ion dilakukan dengan mengalirkan air sadah melalui
kolom yang berisi bentonit, ion Ca dan ion Mg dalam air sadah ditukar dengan ion Na dalam bentonit. Hal tersebut
berlangsung terus sampai suatu saat ion Na dalam bentonit habis ditukar dengan ion Ca dan Mg dari dalam air, pada
keadaan ini bentonit tersebut dinamakan telah jenuh yang berarti bentonit tidak mampu lagi melakukan pertukaran
ion. Analisa hasil yang dilakukan adalah perubahan konsentrasi setelah air sadah dilewatkan pada bentonit. Proses
pertukaran ini dilakukan selama 3 jam dengan kecepatan alir 2,5 cm/detik.
Proses pertukaran ion yang terjadi pada bentonit yang diaktivasi dapat dilihat sebagai berikut :
1. Proses aktivasi bentonit (Powell, 1954)
CaBentonit + 2 NaOH ≡ Na2Bentonit + Ca(OH)2 (2)
MgBentonit + 2 NaOH ≡ Na2Bentonit + Mg(OH)2 (3)
2. Proses softening
Na2Bentonit + CaCl2 ≡ CaBentonit + 2NaCl
Na2Bentonit + Mg(SO)4≡ MgBentonit + Na2(SO)4
Gambar 1 memperlihatkan sketsa alat penelitian yang berupa kolom penukar ion berdiameter 4 cm dan tinggi 1,5 m.

241
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Air sadah (CaCl2, MgCl2, MgSO4)

Tumpukan Bentonit

Air bersih

Gambar 1. Skema Alat Penelitian

Hasil dan Pembahasan


Aktivasi bentonit dapat diartikan sebagai perlakuan baik secara kimia maupun fisika untuk meningkatkan
kemampuan bentonit dalam proses pertukaran ion. Aktivasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah aktivasi
secara fisika kemudian secara kimia. Aktivasi secara fisika dilakukan dengan kalsinasi selama 1 jam pada suhu 400
ºC. Kalsinasi ini bertujuan untuk menguapkan air dan zat-zat volatil dan pengotor yang ada dalam pori-pori
lempung sehingga pori-pori bentonit yang semula tertutup menjadi terbuka. Aktivasi kimia dilakukan dengan
merendam bentonit hasil aktivasi fisika dengan HCl kemudian dilanjutkan dengan pencucian dan perendaman
dengan NaOH dengan tujuan memudahkan proses pertukaran ion. Menurut Asril Riyanto (1994:10) tujuan dari
penambahan senyawa-senyawa asam ini adalah untuk membersihkan permukaan pori-pori lempung, membuang
senyawa-senyawa pengotor dan mengatur kembali letak atom yang akan dipertukarkan. Penambahan NaOH
bertujuan agar diperoleh Na2bentonit sehingga memudahkan pertukaran.
Kapasitas pertukaran resin penukar kation dapat diukur dengan menetapkan jumlah milligram ekuivalen ion
natrium yang diserap oleh 1 gram resin dalam bentuk hidrogennya (Vogel, 1994:199). Kapasitas penukar kation
bentonit yang diaktivasi adalah sebesar 0,0349 miliequivalen/gram bentonit kering, artinya setiap gram fasa diam
bentonit diaktivasi dapat dipertukarkan dengan 0,0349 miliequivalen ion Ca2+ dan ion Mg2+. kapasitas penukar ion
dari bentonit yang tidak diaktivasi adalah 0,0050 miliequivalen/gram artinya tiap 1 gram fasa diam bentonit tidak
diaktivasi dapat dipertukarkan dengan 0,0050 miliekuivalen ion Ca2+ dan ion Mg2+. Kapasitas penukar kation
selengkapnya dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Kapasitas Penukar Kation Bentonit

Kapasitas Penukar Kation (KPK) KPK rata- KPK rata-


(meq/gram bentonit kering) rata rata
Fasa diam Titrasi 1 Titrasi 2 Titrasi 3 (meq/gram (meq/gram
bentonit bentonit
kering) kering)
Bentonit diaktivasi 1 0,0299 0,0449 0,0299 0,0349
Bentonit diaktivasi 2 0,0349 0,0299 0,0349 0,0332 0,0376
Bentonit diaktivasi 3 0,0399 0,0448 0,0498 0,0448
Bentonit tidak diaktivasi 1 0,0050 0,0050 0,0050 0,0050
Bentonit tidak diaktivasi 2 0,0050 0,0050 0,0050 0,0050 0,0050
Bentonit tidak diaktivasi 3 0,0050 0,0050 0,0050 0,0050

2+ 3+ 3+
Pada bentonit yang tidak diaktivasi, terdapat kation-kation pengotor seperti Fe , Fe , dan Al yang
+ +
berada dalam bentonit dan memiliki afinitas yang lebih besar daripada Na , sehingga Na tidak dapat menukar
2+ 3+ 2+ 3+
kation Fe , Fe , Mg , dan Al dalam bentonit. Sehingga nilai kapasitas pertukaran kationnya lebih kecil
dibandingkan bentonit yang diaktivasi. Adapun urutan affinitas ion pada penukar ion menurut Pecsock R.L dkk
(1976) adalah sebagai berikut:
+ + + + + + + + +
Li < H < Na < NH 4 < K < Rb < Cs < Ag < Ti
2+ 2+ 2+ 2+ 2+ 2+ 2+ 2+ 2+ 2+ 2+ 2+
Be < Mn < Mg < Zn < Co < Cu < Cd < Ni < Ca < Sr < Pb < Ba
+ 2+ 3+ 4+
Na < Ca < La < Th
Persen efieiensi pelunakan air sadah untuk ion magnesium dan kalsium diperlihatkan pada tabel 2dan 3.

242
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Tabel 2. Persen efisiensi pelunakan air sadah (ion magnesium)


% Efisiensi ion % Efisiensi ion
Rata-rata Rata-rata
Variasi pH Ulangan Mg(II) bentonit Mg(II) bentonit
% efisiensi % efisiensi
diaktivasi tidak diaktivasi
1 62,65 48,00
1 2 78,39 80,31 53,13 55,08
3 99,89 64,12
1 70,33 35,17
2 2 83,66 80,71 71,08 60,09
3 88,13 74,01
1 94,80 59,36
3 2 99,74 98,12 78,04 73,77
3 99,81 83,91
1 94,69 21,62
4 2 99,65 98,02 68,15 53,31
3 99,71 70,71

Tabel 3.Persen efisiensi pelunakan air sadah (ion kalsium)


% Efisiensi ion Rata-rata % Efisiensi ion
Rata-rata
Variasi pH Ulangan Ca(II) bentonit % Ca(II) bentonit
% efisiensi
diaktivasi efisiensi diaktivasi
1 76,38 78,09
1 2 83,86 82,38 86,59 83,96
3 86,91 87,23
1 79,52 66,82
2 2 94,62 90,59 98,89 88,52
3 97,63 99,85
1 86,05 82,80
3 2 97,11 94,38 99,96 94,27
3 99,99 99,99
1 82,10 77,18
4 2 99,92 93,99 99,83 92,32
3 99,95 99,94

Gambar 2 memperlihatkan hubungan antara pH kondisi kolom dengan % efisiensi pertukaran ion kalsium
dan magnesium. pH kolom optimum adalah 3, efisiensi pelunakan kalsium sebesar 94,38%, untuk magnesium
98,12%. Kenaikan efisiensi pada pH 1-3 karena apabila sebuah kation dalam larutan sedang bertukar dengan sebuah
ion yang berbeda valensinya, afinitas relatif dari ion yang bervalensi lebih tingggi terhadap penukar ion (penukar ion
+
mengikat Na ) bertambah berbanding lurus dengan bertambahnya keenceran, dengan kata lain pertukaran akan
lebih baik dengan keenceran yang lebih tinggi.
− +
Kapasitas penukar ion merupakan fungsi pH yaitu RcH Rc + H . Dari persamaan tersebut, terlihat
− +
bahwa ionisasi penukar kation RcH menghasilkan Rc dan H , yang dipengaruhi oleh pH. Pada pH rendah (pH
4), ionisasi dari penukar kation asam dihambat dan kapasitas penukarannya berkurang sehingga nilai persen
efisiensinya rendah. Penurunan persen efisiensi pada pH 4 terjadi kemungkinan karena terbentuknya ion kompleks
yang mempunyai kemampuan menerobos ke dalam bentonit lebih kecil dibandingkan dengan kemampuan Ca2+ dan
Mg2+ (Sudjadi,1988: 130).

243
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Gambar 2. Efisiensi pertukaran ion kalsium dan magnesium

Pada pH tinggi (pH 4), ionisasi penukar ion dihambat dan kapasitas penukarannya berkurang sehingga nilai
persen efisiensinya rendah. Penurunan persen efisiensi pada pH 4 kemungkinan karena terbentuknya ion kompleks
2+
yang mempunyai kemampuan menerobos ke dalam bentonit lebih besar dibandingkan dengan kemampuan Ca dan
Mg2+. Efisiensi ion magnesium(II) lebih besar dibandingkan ion kalsium(II), hal ini disebabkan magnesium
memiliki jari-jari atom lebih kecil dibandingkan jari-jari atom kalsium. Ukuran jari-jari atom magnesium 0,072 nm
dan kalsium 0,1 nm. Oleh karena itu, apabila kedua ion tersebut diinteraksikan dengan fasa diam bentonit,
magnesium akan memiliki kecenderungan yang lebih besar, karena lebih dekat dengan inti yang demikian akan
lebih memperkuat interaksi yang terjadi pada permukaan bentonit.

Kesimpulan
Kesadahan sangat merugikan terutama pada penggunaan air industri karena dapat menyebabkan kerusakan
alat-alat pemanas. Berdasarkan hal ini, industri-industri yang menggunnakan alat pemanas harus melunakkan air
yang akan dgunakan. Penelitian tentang pelunakan air sadah menggunakan bentonit telah dilakukan. Berdasarkan
hasil penelitian, persen efisiensi pelunakan terbesar baik untuk ion kalsium maupun magnesium terjadi pada pH 3.
Persen efisiensi terbesar untuk ion kalsium adalah adalah 94,38%, sedangkan untuk ion magnesium adalah 98,12%.
Perbedaan ini disebabkan adanya perbedaan ukuran kedua ion dan afinitasnya. Magnesium memiliki ukuran ion
lebih kecil dibanding kalsium sehingga lebih dekat dengan inti yang demikian akan lebih memperkuat interaksi yang
terjadi pada permukaan bentonit. Kelebihan proses pertukaran ion ini adalah tidak menghasilkan buangan bahan
padat yang dapat menimbulkan bahaya lingkunngan, bahan pelunak dalam hal ini bentonit dapat diregenerasi.

Acknowledgment
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Dr. Suyanta atas pemberian bentonitnya.

Daftar Pustaka
Agostinho LCL, Nascimento L and Cavaloanti BF., (2012). Water Hardness Removal for Industrial Use:
Application of the Electrolysis Process. Scientivic Reports, Vol 1 (9) pp:1-5
Asril Riyanto. (1994). Bahan Galian Industri Bentonit. Direktorat Pertambangan Umum Pusat Penelitian dan
Pengembangan Teknologi Mineral
Astuti Widi. (2005). Proses Pelunakan Air Sadah Menggunakan Zeolit Alam Lampung. Widya Riset No. 1 (8).
LIPI. UPT Balai Pengolahan Mineral Lampung LIPI
Fritz,S.J and Srhenk George H. (1979). Quantitative Analytical Chemistry Fourth Edition. Boston:Allyn and
Bacon,Inc
Grim, R.E.(1953). Clay Mineralogy. United Stated of America:Mcgraw Hill Book Company, inc.
Karna Wijaya, dkk. (2002). Studi Kestabilan Termall dan Asam Lempung Bentonit. Indonesian Journal of
Chemistry.Volume 2
Konrad Dorfner, Anton J.Hartono.(1995). Iptek Penukar Ion. Yogyakarta:Penerbit Andi

244
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Marsidi, R. (2001). Zeolit untuk Mengurangi Kesadahan Air. Jurnal Teknologi Lingkungan, Vol 2 (1) pp:1-10
nd
Pecsock R.L; Shiel L.D; Cairns T.Mc William. (1976). Modern Methods of Chemical Analysis 2 edition. New
York: John Willey and Sons
Powell, S.T. (1954). Water Conditioning For Industri. pp. 146 – 192. Mc.Graw Hill Book Company.Inc. New York.
Saeed, A.M and Hamzah, M.J., (2013). New approach for removal of total hardness (Ca 2+, Mg2+) from water using
commercial polyacrylic acid hydrogel beads, study and application. International Journal of Advanced
Biological and Biomedical Research, Vol 1 (9) pp: 1142-1156
Sudjadi. (1998). Metode Pemisahan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius
Vogel. (1990). Buku Teks Analisis Anorganik Kualitatif Makro dan Semimikro. Diterjemahkan oleh L.Setiono dan
A.Hadyana Pudjaatmaka. Jakarta:PT.Kalman Media Pustaka
Vogel. (1994). Buku Teks Analisis Anorganik Kuantitatif Makro dan Semimikro. Diterjemahkan oleh L.Setiono dan
A.Hadyana Pudjaatmaka. Jakarta:PT.Kalman Media Pustaka

245
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

DISAIN PANJANG LAS PADA SAMBUNGAN LAS GESER EKSENTRIS


DENGAN METODE BAGI-DUA (BISECTION)

Kamaludin1
1
Program Studi Teknik Sipil, ITENAS - Bandung
Jl. PHH Mustofa 23 Bandung
Email: kamal.itenas@gmail.com

Abstrak

Salah satu peranan teknologi pada bidang rekayasa adalah pada bidang rekayasa struktur dalam
mendesain suatu elemen pada struktur baja. Sambungan antar elemen merupakan salah satu yang
harus diperhatikan dalam merencanakan struktur baja. Tahap mendesain sambungan sering kali
membutuhkan suatu proses yang cukup panjang dan rumit. Ada beberapa kasus dalam mendisain
sambungan pada struktur baja yang tidak dapat dirancang apabila dilakukan secara manual karena
membutuhkan proses yang cukup panjang dan berulang. Melihat keadaan ini diperlukan suatu cara
untuk menerapkan teknologi perangkat lunak pada disain sambungan baja. Pembuatan perangkat
lunak biasanya menggunakan suatu metoda numerik untuk mempermudah implementasi ke bahasa
pemrograman. Permasalahan yang timbul adalah bagaiman menerapkan metoda numerik untuk
menyelesaikan masalah-masalah disain elemen struktur ini. Selanjutnya diperlukan satu atau
beberapa metode numerik yang akan diterapkan pada penyelesaian disain sambungan baja ini
dengan cara memanfaatkan teknologi rekayasa perangkat lunak. Studi Kasus yang akan dilakukan
dalam penelitian ini adalah disain panjang las pada sambungan las geser eksentris. Hasil dari
penelitian ini diantaranya pertama, menentukan panjang las lebih cepat dan akurat. Kedua,
kesalahan hasil yang diperoleh dalam menentukan panjang las ini bisa diatur sekecil mungkin dari
nilai toleransi yang diberikan. Ketiga, panjang las yang diperoleh secara umum hanya beberapakali
iterasi saja. Keempat, Penerapan metode bagi dua (bisection) ini dapat digunakan dalam menentukan
panjang las karena metode ini selalu konvergen ke nilai panjang las yang sebenarnya.

Kata kunci: desain sambungan; sambungan las; geser eksentris; panjang las; metode bagi dua
(bisection); kapasitas sambungan

Pendahuluan
Peranan teknologi menjadi sangat penting dalam kehidupan sehari hari baik dalam bidang sosial maupun
bidang rekayasa. Salah satu peranan teknologi pada bidang rekayasa adalah pada bidang rekayasa struktur dalam
mendisain suatu elemen pada struktur baja. Sambungan antar elemen merupakan salah satu yang harus diperhatikan
dalam merencanakan struktur baja. Tahap mendisain sambungan sering kali membutuhkan suatu proses yang cukup
panjang dan rumit.
Ada beberapa kasus dalam mendisain sambungan pada struktur baja yang tidak dapat dirancang apabila
dilakukan secara manual karena membutuhkan proses yang cukup panjang dan berulang.
Ada dua cara prosedur disain panjang las pada tipe sambungan las geser eksentris yaitu
1. Prosedur pertama dengan cara coba-coba.
2. Prosedur kedua dengan menggunakan salah satu metode numerik.
Bila dikerjakan secara manual tentang prosedur disain cara pertama umumnya lebih mudah dikerjakan
dibandingkan dengan cara kedua, hal ini dikarenakan terutama pada cara kedua ini dalam proses mencari panjang
las diiringi perubahan nilai inersia dan titik berat pola las. Perubahan panjang las akan mempengaruhi nilai inersia
dan posisi pusat pola las sehingga dalam menentukan titik pusat pola las dan nilai inersia bukan hal yang mudah
dilakukan secara manual. Penerapan teknologi rekayasa perangkat lunak akan mempermudah dan mempercepat
perhitungan dalam mendisain cara kedua diatas. Metode penyelesaian untuk penentuan panjang las yang akan
diterapkan yaitu dengan menggunakan metode bagi dua (bisection). Metode ini dipilih karena memiliki solusi
penyelesaian sambungan las tertutup. Data input awal untuk metode ini dapat dimasukan yaitu panjang las minimal
dan panjang las maksimal.
Melihat keadaan ini diperlukan suatu cara untuk menerapkan teknologi perangkat lunak pada disain
sambungan baja. Pembuatan perangkat lunak biasanya menggunakan suatu metoda numerik untuk mempermudah

246
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

implementasi ke bahasa pemrograman. Permasalahan yang timbul adalah bagaiman menerapkan metoda numerik
untuk menyelesaikan masalah disain ini. Selanjutnya diperlukan satu atau beberapa metode numerik yang akan
diterapkan pada penyelesaian disain sambungan baja ini dengan cara memanfaatkan teknologi rekayasa perangkat
lunak. Studi Kasus yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah disain panjang las pada sambungan las geser
eksentris

Maksud dan Tujuan


Rekayasa perangkat lunak (software) dibuat dengan tujuan pertama untuk memperpendek proses perhitungan
dalam mendisain sambungan las. Kedua untuk menghindari proses coba-coba yang sering dilakukan dalam
mendisain sambungan las. Ketiga menerapkan metode numerik dibidang rekayasa struktur. Keempat untuk
memperkenalkan rancang bangun software untuk bidang rekayasa struktur.

Ruang Lingkup
1. Konsep disain menggunakan konsep disain LRFD.
2. Sambungan yang ditinjau Sambungan Las eksentris dan hanya geser.
3. Disain memenuhi syarat kekuatan.
4. Metode Bagi Dua untuk mencari titik keseimbangan
5. Basis OS dapat berjalan di windows.
6. Bahasa pemrograman yang digunakan yaitu delphi

Metode Penelitian
Penelitian dilakukan dengan cara diawali dengan studi pustaka lalu membuat model sambungan las kemudian
merancang algoritma dan diimplementasikan ke bahasa pemrograman, selanjutnya menerapkan metode numerik
yaitu metode bagi dua (bisection) untuk penentuan panjang las yang diperlukan dalam mendesain sambungan las
dan diakhiri kesimpuan. Dipilihnya metode ini karena metode ini memiliki karakteristik range tertutup.
Implementasi penerapan metode bagi dua (bisection) pada disain ini menggunakan bahasa komputer yaitu bahasa
pascal atau pemrograman visual yang disebut Delphi. Metode bagi dua (bisection) diterapkan untuk penentuan
panjang las pada sambungan baut geser eksentris, sehingga tidak perlu lagi coba-coba dan mempermudah dalam
menghitung kapasitas sambungan las geser eksentris. Adapun proses langkah-langkah dalam menetukan panjang las
digambarkan pada gambar 1. Keakuratan data yang dihasilkan tergantung nilai toleransi yang diberikan, semakin
kecil toleransi maka hasil data output yang diperoleh semakin akurat.
Mulai

Tebal Las; Panjang Vertikal; Jarak Beban;


Beban; Tebal Pelat; Elektroda; Mutu Baja;

Hitung: Panjang Las Minimum dan Maksimum;


R Desain Base Metal; R Desain Las; R Ultimate
Las, toleransi

Mengganti Nilai L Horizontal

Apakah
|Rd – Ru| < toleransi

Tampilkan : Panjang Horizontal;


Rdesain Base Metal; R Desain Las

Selesai

Gambar 1 : Flowcart Penentuan Sambungan Las

247
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Sambungan Las
Desain dan analisis lasan fillet didasarkan pada asumsi bahwa penampang las adalah segitiga siku-siku 45°,
seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2. Ukuran lasan fillet dilambangkan w dan panjang salah satu dari dua sisi
yang sama dari penampang ideal ini. Ukuran las standar yang ditentukan dalam penambahan sebesar 1/16 inci.
Untuk lasan fillet dibuat dengan proses busur logam terlindung, tebalnya adalah jarak tegak lurus dari sudut
dari las untuk sisi miring dan sama dengan 0,707 kali ukuran las. Dengan demikian, untuk suatu panjang las L
dikenakan beban P, tegangan geser kritis adalah :
fv = (1)

Gambar 2

Jika las tegangan geser ultimate, Fnw, digunakan dalam persamaan ini, beban nominal kapasitas las dapat
ditulis sebagai :
Rn = 0,707wLFnw (2)
Kekuatan dari las fillet tergantung pada logam las digunakan-yaitu, itu adalah fungsi dari jenis elektroda.
Kekuatan elektroda didefinisikan sebagai kekuatan tarik utamanya, dengan kekuatan 60, 70, 80, 90, 100, 110, dan
120 kips per inci persegi tersedia untuk proses pengelasan busur logam terlindung. Elektroda harus dipilih untuk
mencocokkan logam dasar. Untuk nilai yang umum digunakan baja, hanya dua elektroda perlu dipertimbangkan:
1. Gunakan E70XX elektroda dengan baja yang memiliki tegangan leleh kurang dari 60 ksi.
2. Gunakan E80XX elektroda dengan baja yang memiliki tegangan leleh dari 60 ksi atau 65 ksi.
Kekuatan desain lasan diberikan dalam tabel AISC J2.5. Tegangan geser ultimate Fnw di las fillet adalah 0,6
kali kekuatan tarik logam las, dilambangkan FEXX. Oleh karena itu,
Fnw = 0,6 FEXX (3)
Jika sudut antara arah beban dan sumbu las dilambangkan
adalah :
Fnw = 0,6 FEXX (1 + 0,5 sin1,5θ) (4)

Gambar 3

Tabel 1 menunjukkan kekuatan untuk beberapa nilai-nilai. Seperti Tabel 1 menunjukkan, jika sumbu las
sejajar dengan beban, kekuatan dasar yang diberikan oleh Fnw = 0,60FEXX benar, tetapi ketika las tegak lurus ke
beban, kekuatan yang sebenarnya adalah 50% lebih tinggi.
Tabel 1, kekutan las dengan berbagai sudut
Direction of Load () Fnw = 0,6 FEXX (1 + 0,5 sin1,5)
0
0 0,6 FEXX (1)
150 0,6 FEXX (1,066)
300 0,6 FEXX (1,177)
450 0,6 FEXX (1,297)
600 0,6 FEXX (1,403)
750 0,6 FEXX (1,475)
900 0,6 FEXX (1,5)

Sabungan Las Eksentrik Hanya Geser


Koneksi eksentrik adalah satu di mana resultan dari beban diterapkan tidak melewati pusat gravitasi dari
pengencang atau las. Jika sambungan memiliki bidang simetri, pusat massa dari daerah geser dari pengencang atau
las dapat digunakan sebagai titik referensi, dan jarak tegak lurus dari garis aksi beban ke pusat massa disebut
eksentrisitas.

248
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Koneksi las eksentrik dianalisis dalam banyak cara yang sama seperti koneksi dibaut, kecuali bahwa panjang
unit las menggantikan pengencang individu dalam perhitungan. Seperti dalam kasus koneksi dibaut eksentrik dimuat
di geser, koneksi las geser dapat diselidiki baik dengan metode kekuatan elastis atau ultimate.

Analisa Elastis
Beban diperhitungkan kemudian dikalikan dengan 0,707 kali ukuran las untuk mendapatkan beban yang
sebenarnya.

Gambar 4

Karena semua elemen las menerima bagian yang sama dari geser langsung, maka tegangan geser langsung
f1 = (5)
dimana L adalah panjang total las dan secara numerik sama dengan daerah geser. Jika komponen persegi
panjang yang digunakan,
f1x = (6)
dan
f1y = (7)
Dimana Px dan Py adalah komponen x dan y dari beban yang diterapkan. Tegangan geser yang disebabkan
oleh pasangan tersebut ditemukan dengan rumus torsi
f2 = (8)
Dimana
d = Jarak dari pusat bidang geser ke titik di mana tegangan sedang dihitung
J = Momen inersia polar dari daerah itu
Gambar 8.17 menunjukkan tegangan ini di sudut kanan atas dari las yang diberikan. Di sisi komponen
persegi panjang.
f2x = (9)
dan
f2y = (10)

Gambar 5

J= dA = dA= dA= dA = Iy + Ix (11)


Dimana Ix dan Iy adalah momen persegi panjang inersia dari daerah geser. Setelah semua komponen persegi
panjang telah ditemukan, mereka dapat ditambahkan secara vektor untuk mendapatkan resultan geser tegangan di
tempat tujuan, atau
fv = (12)
Desain praktis koneksi dilas memerlukan pertimbangan rincian seperti sebagai ukuran las maksimum dan
minimum dan panjang. Persyaratan untuk lasan fillet ditemukan di AISC J2.2b dan dirangkum di sini.

249
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Ukuran Minimal
Ukuran minimal yang diizinkan adalah fungsi dari ketebalan lebih tipis yang terhubung bagian dan diberikan
dalam AISC Tabel J2.4. Persyaratan ini diambil langsung dari American Welding Society Struktur Welding Code
(AWS, 2010).

Ukuran Maksimal
Sepanjang tepi bagian kurang dari 1/4 inci tebal, ukuran fillet las maksimum sama dengan ketebalan bagian.
Untuk bagian 1/4 inci atau lebih tebal, ukuran maksimum adalah t - 1/16 inci, di mana t adalah ketebalan bagian.
Untuk fillet lasan selain yang di sepanjang tepi, tidak ada maksimum ukuran tertentu. Dalam kasus ini, ukuran
maksimum yang akan digunakan dalam perhitungan kekuatan akan dibatasi oleh kekuatan geser logam dasar.

Panjang Minimal
Panjang diperbolehkan minimum dari las fillet adalah empat kali ukurannya. keterbatasan ini tentu tidak
mutlak, tetapi jika panjang ini tidak tersedia, panjang pendek dapat digunakan jika ukuran efektif las diambil sebagai
seperempat panjangnya. Panjang las dalam hal ini mungkin tidak kurang dari jarak antara mereka-yaitu, L ≥ W

Panjang Maksimal
AISC tidak memaksakan batasan pada panjang lasan, tapi untuk lasan akhir-load, ada beberapa pembatasan.
Lasan akhir-loaded yang lasan membujur pada akhir sebuah aksial elemen dimuat. Jika panjang melebihi 100 kali
ukuran las, sebuah effectivelength berkurang digunakan dalam perhitungan kekuatan. Panjang efektif diperoleh
dengan mengalikan panjang sebenarnya dengan faktor β, di mana
β = 1.2 – 0.002(l/w) ≤ 1.0
L = panjang sebenarnya las
W = ukuran las
Jika panjang lebih besar dari 300 kali ukuran las, menggunakan panjang efektif 180W.

Metode Bagi Dua (Metode Bisection)


Dalam penyelesaian matematika dari suatu model persoalan nyata bidang rekayasa, sering yag dicari adalah
nilai-nilai variable x atau VAriabel t sedemikian rupa sehingga terpenuhi persamaan f (x) atau f(t) = 0 yang
digunakan dalam model. Dalam beberapa kasus, melalui faktorisasi f(x) atau f(t) = 0 dapat diperolah penyelesaian
seperti yang diinginkan; akant etapi, lebih banyak jabaran persamaan dalam model mempunyai yang rumit, sehingga
teknik analisi matematika murni tidak dapat memberikan solusi.
Jika terdapat suatu f(x) yang menerus [a,b] dan f(a)-f(b) < 0, maka paling tidak f(x) mempunyai satu akar
f(x) mempunyai satu akar [a,b].

Gambar 6 Ilustrasi metode bagi dua

Algoritma
1. Mulai
2. Diketahui sebagai data : f(x), Toleransi ( ) atau (n) kali iterasi.
3. Tentukan perkiraan nilai awal (a) dan nilai awal (b) dengan syarat f(a)-f(b) < 0. bisa dengan cara memplot
fungsi f(x).
4. Hitung c = (a+b)/2
5. abs f(x) < atau sudah iterasi n kali maka jawabannya adalah c dan Selesai.
6. jika f(a)-f(c) < 0 maka b = c dan jika tidak maka a =c
7. Ulangi tahap 3
8. Selesai

250
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Bahasa Pemrograman Delphi


Delphi adalah suatu program berbasis bahasa Pascal yang telah memanfaatkan suatu teknik pemrograman
yang disebut RAD, dan membuat pemrograman menjadi lebih mudah. Selain itu delphi adalah suatu bahasa
pemrograman yang telah memanfaatkan metode pemrograman Object Oriented Programming (OOP). Sebagai salah
satu piranti pengembangan software berbasis windows, umumnya delphi lebih banyak digunakan untuk
pengembangan aplikasi desktop berbasis database, tapi sebagai perangkat pengembangan yang bersifat general-
purpose delphi mampu digunakan dalam berbagai jenis proyek pengembangan software lainnya.
Program Delphi dikenal juga dengan nama IDE (Integrated development Environment), yaitu lingkungan
pengembangan aplikasi yang terpadu. Melalui IDE ini dibangun aplikasi-aplikasi dari merancang tampilan untuk
pemakai (antarmuka pemakai), menuliskan kode sampai mencari penyebab kesalahan (debugging).

Statemen IF
Dalam melakukan perhitungan, seringkali ditemukan adanya beberapa pilihan yang harus ditentukan.
Sebagai contoh, dari nilai mahasiswa akan ditentukan apakah mahasiswa tersebut lulus atau tidak, dan jika lulus
apakah predikat dari nilainya tersebut. Dalam menangani hal ini telah disediakan statemen untuk percabangan, yaitu
dengan mengunakan statemen IF.
Statemen IF termasuk pada statemen logika yang digunakan untuk memberikan perumpamaan atau
penambahan keterangan. Statemen ini bisa juga diaplikasikan untuk kondisi ganda atau sering disebut juga
Statemen IF Ganda atau Majemuk yang artinya dalam statemen IF bisa terdapat statemen IF yang lain lagi. Aturan
penulisan statemen if adalah sebagi berikut :
if condition then
statemen1;
else
stetement2;
end
dimana kondisi diatas adalah ekspresi boolean, jika kondisi berharga true maka stetement1 akan dieksekusi,
sedangkan jika kondisi bernilai false maka statemen2 yang akan dieksekusi. Bagian else dapat dihilangkan apabila
terdapat satu kondisi saja sehingga statemen if diatas menjadi
if condition then
statemen;

Looping
Perulangan (Looping) merupakan suatu instruksi yang digunakan untuk mengeksekusi sejumlah instruksi
program secara berulang-ulang. Perulangan mempunyai peranan penting sebab adakalanya bagian dari program
perlu dieksekusi kembali berulang-ulang untuk melakukan sejumlah proses. Seperti yang telah diulas pada modul
dua dalam bahasa pemrograman proses perulangan dalam sintaks instruksi dan penggunaan yang bervariasi, adapun
intruksi yang sering digunakan dalam bahasa Fortan adalah GO...TO, IF, dan DO...CONTINUE. Sedangkan dalam
bahasa Pascal intruksi yang digunakan yaitu WHILE...DO, REPEAT...UNTIL, FOR...TO...DO, dan
FOR...DOWNTO...TO.
Pernyataan perulangan dipakai untuk melakukan proses berulang terhadap pernyataan sederhana atau
pernyataan terstruktur

Struktur While()
Karakteristik while() adalah:
1. Dilakukan pengecekan kondisi terlebih dahulu sebelum dilakukan perulangan. Jika kondisi yang dicek bernilai
benar (true) maka perulangan akan dilakukan.
2. Blok statemen tidak harus ada. Struktur tanpa statemen akan tetap dilakukan selama kondisi masih true.
Bentuk Umum
while <kondisi> do
begin
<pernyataan yang akan dijalankan>
End

Struktur Repeat ... Until()


Karakteristik Repeat() adalah:
1. Dilakukan perulangan terdahulu kemudiandilakukan pengecekan. Jika kondisi yang dicek bernilai benar (true)
maka perulangan akan dihentikan.
2. Blok statemen tidak harus ada. Struktur tanpa statemen akan tetap dilakukan selama kondisi masih salah.
Bentuk Umum

251
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Repeat
<pernyataan yang akan dijalankan>
Until (<kondisi>)

Struktur For
Karakteristik :
1. Digunakan untuk perulangan yang batasnya sudah diketahui dengan jelas, misalnya dari 1 sampai 10.
2. Memerlukan 2 buah variabel awal dan akhir perulangan.
3. Nilai variabel penghitung akan secara otomatis bertambah atau berkurang tiap kali sebuah pengulangan
dilaksanakan.
Bentuk Umum:
for <nilai_awal> to <nilai_akhiri> do
begin
<pernyataan yang akan dijalankan>
End

Algoritma Metode Bagi Dua pada Sambunga Las Eksentris hanya Geser
Banyak model algoritma yang dapat dilakukan atau dapat disusun. Susuna sintak atau pritah ini akan
menggambarkan langkah demi langkah dalam menganalisis atau mendesain panjang las pada sambaungan las.
1. Mulai
2. Data Beban Luar (Pu), Tebal Las (w); Panjang Vertikal; Jarak Beban; Beban; Tebal Pelat; Elektroda; Mutu
Baja (FXX);
3. Hitung: Panjang Las Minimum dan Maksimum; R Desain Base Metal; R Desain Las; R Ultimate Las, toleransi
4. Apakah |Rd – Ru| < toleransi, Jika tidak ulangi tahap 3, jika ya lanjut ke tahap berikutnya
5. Panjang Horizontal; Rdesain Base Metal; R Desain Las
6. Selesai

Implemtasi ke Bahasa Pemrograman


Gambar 7 memperlihat tampilan aplikasi yang telah dibuat, termasuk info gambar dan tabel keluran historis
panjang las. Intput berua data material, mutu las, mutu baja, toleransi dan jumlah iterasi.

Gambar 7 Tampilan aplikasi pencarian panjang las

252
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

{$R *.dfm}

function Ru(L,Pu,h,e:real):real;
Var M,xbar,ybar,ex,Ix,Iy,J,f1x,f1y,f2x,f2y : real;
begin
xbar:=2*L*L/2/(2*L+h);
ex:=L+e-xbar;
M:=Pu*ex;
ybar:=h/2;
Ix:=1/12*1*power(h,3)+2*L*sqr(ybar);
Iy:=2*(1/12*1*power(L,3)+L*sqr(L/2-xbar))+h*sqr(xbar);
J:=Ix+Iy;
f1x:=0;
f1y:=Pu/(h+2*L);
f2x:=M*ybar/J;
f2y:=M*(L-xbar)/J;
Result:=sqrt(sqr(f1x+f2x)+sqr(f1y+f2y));
end;

procedure TForm1.Button1Click(Sender: TObject);


var a,b,c,jarak,v,s,fa,fb,fc,tol,w,rd,Rua,Rub,Ruc,
pd,pl,p,tp,Ix,Rdp1,Rdp2,Rdp,fy,fu: real;
N,i:integer;
ket : string;
begin
v:=StrToFloat(Edit1.Text);
pl:=StrToFloat(Edit2.Text);
pd:=StrToFloat(Edit3.Text);
jarak:=StrToFloat(Edit4.Text);
p:=1.2*pd+1.6*pl;
tp:=StrToFloat(Edit6.Text);
w:=strtofloat(Edit7.Text);
a:=4*w;
b:=100*w;
tol:=strtofloat(Edit_tol.Text);
N:=strtoint(Edit_N_iterasi.Text);
if RadioGroup1.ItemIndex = 0 then
Rd:=0.707*w*0.6*60*0.75;
if RadioGroup1.ItemIndex = 1 then
Rd:=0.707*w*0.6*70*0.75;
if RadioGroup1.ItemIndex = 2 then
Rd:=0.707*w*0.6*80*0.75;
if RadioGroup1.ItemIndex = 3 then
Rd:=0.707*w*0.6*90*0.75;
if RadioGroup1.ItemIndex = 4 then
Rd:=0.707*w*0.6*100*0.75;
if RadioGroup1.ItemIndex = 5 then
Rd:=0.707*w*0.6*110*0.75;
if RadioGroup1.ItemIndex = 6 then
Rd:=0.707*w*0.6*120*0.75;
if RadioGroup2.ItemIndex = 0 then
begin
fy:=36;
fu:=58;
Rdp1:=0.6*fy*tp;
Rdp2:=0.45*fu*tp;
if rdp1 < rdp2 then
rdp:=rdp1
else
rdp:=rdp2;
end;
if RadioGroup2.ItemIndex = 1 then
begin
fy:=50;
fu:=65;
Rdp1:=0.6*fy*tp;
Rdp2:=0.45*fu*tp;
if rdp1 < rdp2 then
rdp:=rdp1
else
rdp:=rdp2;
end;
if RadioGroup2.ItemIndex = 1 then
begin
fy:=50;

253
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

fu:=65;
Rdp1:=0.6*fy*tp;
Rdp2:=0.45*fu*tp;
if rdp1 < rdp2 then
rdp:=rdp1
else
rdp:=rdp2;
end;
Edit5.Text:=FloatToStr(rdp);
if rdp < rd then
showmessage('Tebal Pelat atau Mutu Baja Tidak Memadai');

Edit8.Text:=floattostr(Rd);

Rua:=Ru(a,P,v,jarak);
Rub:=Ru(b,P,v,jarak);
fa:=Ru(a,P,v,jarak);;
fb:=Ru(b,P,v,jarak);
if (fa-Rd)*(fb-Rd)<0 then
begin
i:=0;
c:=(a+b)/2;
fc:=Ru(c,P,v,jarak);

if abs(fc-Rd)<tol then ket:='Ok' else ket:='Tdk Ok';


Memo1.Clear;
Memo1.Lines.Add('----------------------------------------------------------------');
Memo1.Lines.Add(format('%5s %10s %10s %10s %10s %10s %10s
%10s',['i','La','Lb','Lc','Ru(a)','Ru(b)','Ru(c)','cek']));
Memo1.Lines.Add('----------------------------------------------------------------');
Memo1.Lines.Add(format('%5s %10.6f %10.6f %10.6f %10.6f %10.6f %10.6f
%10s',[inttostr(i),a,b,c,fa,fb,fc,ket]));
Repeat
if (fa-Rd)*(fc-Rd)>0 then a:=c else b:=c;
i:=i+1;
c:=(a+b)/2;

fa:=Ru(a,P,v,jarak);;
fb:=Ru(b,P,v,jarak);
fc:=Ru(c,P,v,jarak);
if abs(fc-Rd)<tol then ket:='Ok' else ket:='Tdk Ok';
Memo1.Lines.Add(format('%5s %10.6f %10.6f %10.6f %10.6f %10.6f %10.6f
%10s',[inttostr(i),a,b,c,fa,fb,fc,ket]));
until (abs(fc-Rd)<tol) or (i>N);
Memo1.Lines.Add('-------------------------------------------------------------------');
Memo1.Lines.add('');
Memo1.Lines.Add('Panjang Las Horizontal = '+floattostr(c));
end else showmessage('Tebal Las dan Dimensi Asumsi Dirubah');

Edit9.Text:=FloatToStr(c);
end;

Analisis dan Pembahasan


Data hasil proses pencarian panjang las diperlihatkan pada Gambar 8. Data ini memperlihatkan bahwa hasil
akhir panjang las hanya beberapa iterasi saja yaitu 15 iterasi. Pada tahap awal iterasi ada beberapa nilai yang naik
turun sebelum konvergen ke panjang las yang sebenarnya. Perbedaan turun naiknya panjang las diawal
diperkirankan 20-30% terhadap angka sebelumnya akan tetapi selanjutnya terjadi konvergen diangka yang
sebenarnya. Metode bagi dua cocok diterapkan pada penentuan panjag las hal ini dikarenakan ternyata metode ini
terjadi konvergen ke angka yang dicari. Selain itu metode ini cocok digunkan kerena metode ini termasuk motede
tertutup dengan memberikan nilai awal yaitu panjang las min untuk batas bawah dan panjang las maksimum untuk
batas bawah dan batas atas. Meskipun nilai awal panjang las dirubah-rubah akan tetap konvergen di panjang las
disekitar 8 inchi pada kasus ini. Perubahan nilai awal sebagai data harus berada pada range angka yang sebenarnya.
Data yang dihasilkan memiliki hasil yang sama (tergantung nilai toleransi yang diberikan) bila dihitung ulang secara
manual hal ini menunjukkan bahwa proses perhitungan sudah benar dan penulisan algoritmaa program sudah benar.

254
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Gambar 8 Tabel Output dari Rekayasa Perangkat Lunak

Kesimpulan
Hasil dari penelitian ini diantaranya pertama, menentukan panjang las lebih cepat dan akurat. Kedua,
kesalahan hasil yang diperoleh dalam menentukan panjang las ini bisa diatur sekecil mungkin dari nilai toleransi
yang diberikan. Ketiga, panjang las yang diperoleh secara umum hanya beberapakali iterasi saja. Keempat,
Penerapan metode bagi dua (bisection) ini dapat digunakan dalam menentukan panjang las karena metode ini selalu
konvergen ke nilai panjang las yang sebenarnya.

Daftar Pustaka
Kadir, Abdul, “Pemrograman dengan Delphi”, Erlangga, 2000
Nasution, Amrinsyah, “Metode Numerik”, Erlangga, 1998.
Salmon, C.G.&Johnson, J.E.,”Steel Structures : Design and Behavior.4th Ed.” , New York, 1996.
Segui, W.T. 2003. LRFD Steel Design, 3rd ed. Brooks/Cole Publishing Company, Pacific Grove.
Setiawan, Agus. 2008. Perencanaan Struktur Baja dengan Metode LRFD. Jakarta : Penerbit Erlangga.
Timoshenko.,& Goodier,”Theory of Elasticity”, New York, 1956

255
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

INVESTMENT ANALYSIS OF STANDART INNS BECOME THREE


STARS

Anik Ratnaningsih1, Fery Susanto2


1
Department of Civil Engineering, Faculty of Engineering, University of Jember
Jl. Kalimantan No. Jember Tel 0331 37 68 121 410 241
2
Department of Civil Engineering, Faculty of Engineering, University of Jember
Jl. Kalimantan No. Jember 37 68 121 Tel 0331 410 241
Email: ratnaningsihanik@gmail.com

Abstract

Economic growth in terms of an area must travel equipped with supporting facilities such as lodging
or hotel. Currently each region has an appeal that is different about the way the region in attracting
tourists who will visit the area. One area that attracts tourists domestic and foreign countries to visit
is in the district of Banyuwangi. Level of tourist arrivals in Banyuwangi increased significantly.
Number of foreign tourists In 2013 increased 90% to 10 462 people and local tourists increased by
24% to 1,057,952 people, which have an impact on the greater demand for hotel rooms. Currently
there is a lot of land that awakened rentals with all limitations such as the number of rooms are only a
dozen, inadequate condition of the building and land use is not maximized. The purpose of this study
was to obtain the investment costs for the increase of the inn into a hotel with the method of
assessment of the value of IRR, NPV, BEP, PP, ROI, RE and room-based decent. Investment
calculation results standartnya development Inns converted into a 3 star hotel in Banyuwangi is
feasible, considering the value of NPV> 0. IRR> MARR, BEP obtained within a period of 6 years,
payback period of 4 years 6 months 14 days, ROI> 1 , RE> 1. the minimum rental price of the room
according to standard budget hotel between Rp. 200,000 - Rp. 400.000, -

Keywords: Investment, Inns, Hotels, IRR, NPV

INTRODUCTION
Banyuwangi district is located at the end of the Eastern part of Java Island and the adjacent Bali Strait.
Banyuwangi is an area in East Java area of 5782.50 km2 (Wikipedia, 2003). Banyuwangi economic growth in the
last 5 years average of 5.85 s / d from 7.14%. This condition is supported by tourist traffic in Banyuwangi always
increased significantly. In 2013 foreign tourists reached 90% from 2012 to 10 462 people, and local tourists
increased by 24 percent to 1,057,952 in 2013 (Alvara Strategic Research, 2013). Jakarta, foreign tourist spending in
Banyuwangi around Rp 3 million per tourist by 2.5 days long visit. This means that there are funds flowing to
Banyuwangi during 2013 of foreign tourists only Rp 31.4 billion. does not include local tourist shopping. Growth of
tourists visiting Banyuwangi causes the demand for hotel rooms getting bigger, it became the economies conducive
climate for investment in the field of hospitality, so the need to improve infrastructure facilities and supporting
infrastructure such as the availability of venue. Facilities and infrastructure of the inn that is currently the most
widely in the form of rentals for their demands to improve the facilities of existing services, it is necessary to
increase facility rentals into a hotel.

REVIEW OF LITERATURE
Definition Inn
Inn (from the French "logement", "residential", through the Dutch language) is a type of commercial
accommodation that offers cheaper rates than hotel. (www.id.wikipedia.org, 2015), rentals have facilities almost like
jasmine, but the budget hotels are equipped with air conditioning (AC), while rentals only equipped with ordinary
fan.

Understanding Hotel
According to decree the minister of Tourism, Post and Telecommunications No: KM 34 / HK 103 / MPPT-
87, Hotel is a type of accommodation that use some or all of the building to provide an accommodation, food and

256
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

beverages as well as other services for the public, commercially managed and comply with the requirements set out
in the government.
the types of naming rooms in the hotel are as follows:
a. room standard / regular room is a hotel room the facilities available in a standard room is the place
bed, bathroom, desk, television, telephone, refrigerator, wardrobe, luggage rack,
b. suite / suite room is one room in the hotel where the rooms are characterized by two separate rooms
in a single room, the guest rooms and sleep. Types naming suite rooms in the hotel
include:DeluxeSuite, SuiteSuperior, Family Suite /Room, Presidential suitesand the Penthouse.

Classification Hotel By Amenities


Classification of hotels in Indonesia will conduct a review every three years once that is done by the
Indonesian Hotel and Restaurant Association (IHRA) by considering some aspek.dari number of rooms, facilities
and equipment are provided, the management system model, the motto of service. by considering aspects.

Table 1. Classification of hotel based facilities


Type Hotel
Facilities Hotel
Inn Stars 2 Stars 3
Number min standart - 20 rooms 30 rooms
rooms
Number min room suite - 1 room 2 kmr
layout of bathrooms Outside In In
Tv and telephone Condition There there are
al
security doors Manual Otomtis Otomtis
Rules of the air vents AC /vents AC24oc
Restaurant / bar - bar Restauran
t
Lobby -was there no
source: Indonesian Hotel and Restaurant Association (IHRA)

Investment Feasibility Analysis


Investment is the exciting activities the funds are then used to purchase goods capital at the present time, and
seek the realization of profits in the future, because investing is dealing with the future is full of uncertainty, before
carrying out the investment necessary to do a feasibility study to determine whether an investment program that can
be provid oriented (Salim Basalamah, 1994: 24). Investment feasibility analysis is the process of calculation to
determine an investment project is feasible or not to be implemented as well as calculate the economic benefits of an
investment. According to Faith Suharto (1995).

Calculation of Minimum Lease


Lease a minimum price calculation, where other factors such as location and so on are not taken into account.
The value of the minimum lease is obtained if the same building revenue and expenditure. Gross revenue per year
according to Hartono Poerbo (1998: 55) is calculated by the following formula:

R = EXAX L x 365 xr (1)


Where:
R = Revenue
a = Percentage room occupancy rate (%)
L = Area hotel room (m²)
365 = Number of days in a year
r = Rental Rates per room (USD)
e = coefficient hotel revenues
while to find the magnitude expenditure is calculated by summing all the expenditure incurred.

Analysis assessment of investment


Method used for investment appraisal is NetPresentValue (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Calculation
Analysis of breakeven / Break Event point (BEP), payback period (PBP) , Return on Investment (ROI) before and
after tax Return on Capital.

257
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Net Present Value (NPV)


Present Worth (Present Value) is used to determine whether a plan has an advantage in the time period
of analysis. it is calculated on the Present Worth of the Revenue (PWR), and the Present Worth of Cost (PWC). Cash
flow project capital costs, operations, production, maintenance, and other expenses - other. The following
formulation:

NPV = PWR - PWC (2)

Where:
NPV = present value of net
PWR = present value of the income
PWC = present value of costs / expenses

Internal Rate of Return (IRR)


Returns /Internal Rate of Method return (IRR) by Robert J. Kodoatie (1994) is the magnitude of the interest
rate that makes the cost of expenditures and revenues equally. This method is used to obtain an interest rate which
the net present value of the expenditure (NPV) is zero.
NPV (0) = PWR-PWC-I at i =? (3)

NPV = present value of net


PWR = present value of the income
PWC = present value of the cost / expenditure
I = investment costs after construction
criteria for a decision to determine whether or not an investment in the IRR method is if: IRR> MARR
(Minimum Attractive Rate of Return), the investment proposal is accepted.

Break Event Point (BEP)


Break Even Point is the state of a business that does not make a profit and no loss position, meaning that an
undertaking is said to break even if the amount of revenue is equal to total costs. If the profit contribution can only
be used for fixed costs alone (Mulyadi: 2001).
So Break Event Point is a condition where:
1. Cumulative revenue = Cumulative expenditure
2. Cumulative income - Cumulative expenditure = 0
Break event point can be illustrated in the calculation of net cash flow or stock break eventpoint.

Payback period (PBP)


Payback period is basically aimed to find out how long (period) investment will be returned when the
condition of the break-even point (break even point). The length of the payback period (k) when the conditions BEP
are:

(4)

If k ≤ n then the investment otherwise economically feasible and if k ≥ n then investments is an investment
not economically feasible.
Where: k = payback period
n = age investment
Return of investment
Return on investmen (ROI) to distinguish between ROI before taxes (ROI beforetax)and ROI after tax (ROI
aftertax).(Jimmy.S Juwana, 2005)

a). Return On Investment (ROI) Before Taxes:


Before the loan is paid off, the year 1 to the year to 5:
Profit before tax plus depreciation:
Lb 1-5 = income - loan interest costs - operating costs - insurance costs - interest costs of capital itself - credit
loan principal - the principal of equity capital
before the loan is paid off, the year 6 to year 15:
Profit before tax plus depreciation:

258
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Lb 6-15 = income - loan interest costs - operating costs - insurance costs - the principalof their own capital
amountin the present value 1 s / d year-on-n:
(5)
After the loan is paid off that year by 16 s / d 50 years:
La = revenue - operational costs - insurance costs
Total value now (in 16 s / d 50 years)

PVA = x La (6)

So the present value to earnings before taxes plus depreciation is:


L = PVB + PVA (7)
RIB = (8)

Value RIB> 1:00


b). Return On Investment (ROI) after tax:
L'b 1-5 = income-operational expenses -cost-interest loan insurance costs - the cost of equity capital tax- - the
principal of equity capital - capital loan principal - the principal of equity capital
L'b 6-15 = income-loan interest cost - the cost operasional- insurance costs - taxes - the principalof their own
capital
amount of the present valuein 1 s / d year-on-n:

PV 'b = x L'b (9)

Once the loan is paid off, that is, from the 16 s / d in 50


Profit after tax plus depreciation:
L'a = revenue - Operational costs - insurance costs - taxes
PV'a = x L'a (10)
L '= PV'b - PV'a (11)

RIA = (12)
Value RIA> 1:00

Rate of Return of Capital


The capital investment for the first, then the rate of return on equity:
RE = 1 (13)
Research Methods
Research Sites
This research was conducted at the hotel Muktisari located in the Wahid Hasyim No. , 66, Rogojampi,
Banyuwangi. The building inn was built on a land area of 1685m².

Lokasi

Figure 1. Location Map Hotel Multisari

259
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Phase of studies 7 (seven) stages:


Stage 1
Preparatory Phase.
Phase 2
Data collection phase
of Phase 3
Phase calculation of investment costs, direct costs derived from the calculation of the plan budget cost of
construction of the physical hotel Muktisari, indirect costs derived from the percentage of 20% of direct costs
(Hartono Poerbo: 1998), the overhead is taken 10% of the total cost of direct and indirect.
Stage 4
Phase calculation of expenditure and income.
Stage 5
Stage evaluation investment by the method of net present value(NPV).
Stage 6
Stage follow-up evaluation, after unknown NPV value hotel is greater than the NPV rentals, then proceed to
a feasibility evaluation of investment with methods Internal Rate of Return (IRR), Break Event Point (BEP ), Pay
Back Period (PBP), Return of investment before and after tax (ROI) and Return on Equity(RE).
Phase 7
Phase discussion, recapitulate the results of the analysis and pricing of the minimum lease hotel rooms per
day.

DISCUSSION
Planning Database
Investment planning includes data - based that is required in the calculation of investments such as land area,
gross area of the building, net area of the building, the cost of investment, number of rooms, the economic life of the
building, hotel occupancy rates, and others.
Investments Database of Inn Muktisari
Inn Muktisari located at Jl. Wahid Hasyim No.66, Rogojampi district, Banyuwangi Regency, has been in
operation for ± 20 years, the cost of the investment project Inn Muktisari assumed all wear capital from the owner or
the capital itself.

Figure 2. Plan Situation Inns


land fee of Rp. 2.52639 billion, building costs Rp. 1.14954 billion, the economic life of the building for 30
years, building economic residual life for 10 btahun, interest own capital amounted to 6.5% (BI rate), the number of
rooms by 11 rooms, occupancy coefficient of 65%.
Investment Planning Hotel Muktisari

Figure 3. Hotel site plan

260
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Size of plot area of 1684.26 m2, Number 7 floors + 1 basement, basement height 2.5 m, 5m first floor, 2-7
floor 3.5 m, net floor area consists of the total room hotel with a total area of 2857.8 m2, number of rooms 142,
KDB earned 56% less than the requirements set by the government banyuwangiyaitu 60%, KLB dipeoleh 353% less
than the requirements set by the government Banyuwangi is 800%, the unit price of land Rp.1.500.000, occupancy
at 65.99%

Calculation of the investment costs


Directly obtained from the fee calculation of the budget plan the physical development Muktisari hotel Rp.
35.743 billion, indirect costs derived from the percentage of 20% of direct costs (Hartono Poerbo: 1998), which
amounted to Rp. 7.1486 billion, the overhead is taken 10% of the total direct and indirect costs, which amounted to
US $ 4.28916 billion, total investment cost for the construction of hotel Muktisari Rp. 47.18076 billion.

Annual Income
To obtain the annual gross revenue, taking the equation 1.

Annual spending
Annual spending consists of operating and maintenance costs, depreciation costs, insurance costs, capital
costs, the cost of the loan capital, the cost of company tax.

Table 2.Pendapatan andexpenditure rentals muktisari


Description The amount of
Revenue Rp.933 561 937
Expenditures
- Operating costs Rp. 298 561 937
- Depreciation Rp. 38.318 million
- Insurance costs Rp. 24,839,048
- Company tax Rp. 424.459.26

Table 3. Revenue and expenditure muktisari hotel


Description Magnitude
Revenues
Expenses
- Operating costs = Rp. R 516 254
- Depreciation = Rp. 714 860 000
- Insurance = Rp. 43 021 r
- Cost of Capital Loan = Rp. 2,580,032,679
- Interest Expense Loan = Rp. 3101973290
Capital
- Cost of Equity = Rp. 4,157,332,667
- Interest Expense Equity = Rp. 1609095608
- A Corporate Tax (th 1-5) = Rp. 174 235 r - 68,521,226
- Corporate Tax A (6-15 = r + Rp.174.235 28,080,224
years old)
- Corporate Tax B (16-50 = Rp.174.235r + Rp. 107 229 000
years old)
- Expenditure Restaurant = Rp.146 000 000

From the comparison value Income =Expenses,hotel room rental price obtained a minimum of Rp. 11 199/
m2.

261
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Table 4. Revenue and expenditure muktisari hotel after being multiplied minimum rental prices
Value With
Description
r = Rp.11 199
Annual income
Income Hotel Rp.19,272,065,850.
Revenues Restaurant Rp 365 000 000
Annual expenses
Operating costs Rp.5,781,619,755.
Depreciation Rp 714 860 000
Insurance USD. 481 801 646
Cost of Loan Capital Rp.6,020,062,772
Interest Expense Loan Capital USD. 527 658 502
Cost of Equity Rp.3,219,278,056
1. Interest Expense Equity USD. 644 009 676
2. Corporate Tax A (th 1-5) Rp. 1882775440
3. Company Tax A (6-15 th) Rp. 1979376892
4. Company Tax B (16-50 years old) Rp. 2058525667
5. Expenditure Restaurant Rp. 146.000.000s

Figure 4. Diagram cash flow


Analysis of the net present value (NPV)
1. Annual Gross Revenue = Rp. 993 561 937 / year
Present Value = Rp.4.13.191.907
2. Annual expenditure = Rp. 424,459.260 / year
Present Value = Rp. 1767448360
NPV = PWR - PWC> 0
NPV =. 4.13.191.907 - 1,767,448,360
= 2,369,743,547> 0
Analysis muktisari hotel investment appraisal
Analysis of Net Present Value (NPV)
1. Gross Revenue = Rp19.272.065.850
Present Value Rp.287.569.507.165=
2. Expenses1-5 = Rp19.272.065 .850
Present Value Rp.80.248.882.201=
3. expenses6-15 = Rp.15.505.379.568
Present Value Rp.111.886.818.964=
4. Spending15-50 = Rp.9,036,807,068
Present Value = Rp.14.313.943.506
NPV = PWR - PWC>0.
NPV = 287.569.507.165- 80.248.882.201- 14313943506-111886818964
= 91,119,862,492> 0.

262
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

From the above it CALC hotel more promising investment than investment in rentals of hotel investment
then it could be implemented.
Analysis of Internal Rate of Return (IRR)
NPV (0) = PWR - PWC - I
= Annual Earnings (P / A, i% .50) - A Annual Expenditure (P / A, i%, 5) - Annual Expenditure B (P / A,
i%, 10 ) - Expenditure Annual C (P / A, i%, 35) (P / F, i%, 15) - I
Know of perhitunjgan, NPV = 0 is between i = 13% to i = 14%, then the interpolation method IRR value will
be as follows:
IRR =
= 13% + 0:04 = 13 040%%> 6.5%, (MARR) then invertasi feasible.

Analysis of break-even point(BEP)


net income per year = Annual Income - Annual spending -investasi

Figure 5. Graph Calculation of breakeven point Fixed Based System

shows that the coefficient value of the minimum lease is equal to 0.6599, break-even point(BreakEvent point)
is reached after:

n=

= 6.0123
= 6 years 5 days
so the time it takes for an investment to be at the breakeven point is 6 years 5 days .

Summary of evaluation of the feasibility of hotels muktisari


calculation muktisari hotel investment feasibility evaluation, obtained some results of the assessment are
summarized in the following table 5 .

Table 5. Summary of the calculation of investment feasibility


Analysis Analysis results Descri
Methods Hotel Inn ption
NPV 91,073,972,021 2,369,743,547 Worth
IRR 20 165%> 6.5%, - Worth
BEP 6 years 5 days - -
Payback Period 4 years 6 months 14 6 years, 5 -
days months, 18
days
ROI before tax 3.58> 1, r = - -
Rp.11.300
ROI after tax 3:29> 1, r = - -
Rp.11.500
RE> 1,377 1 - Decent

263
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Price minimum Rent room


minimum rental price per room is obtained by multiplying the minimum rental prices per m2 with an area
average - average per room. Hotel room rates are then added cost of 21% - 30% for tax and service / tax and service
(Hartono Poerbo, 1998)
With the division percentage tax charge a maximum of 10% (Law No. 28 of 2009, Local Taxes and Levies)
and a service fee of 11%. So the value of the minimum lease each room as follows:
The minimum rental price of renting rooms used Rp11,500 m2 / day
Standart Room
Rental / Spacious = 15.6 x 11.500 = USD. 179 400
Tax 10% x rent = 10% x 179 400 = Rp. 17,900
Service11% xsewa = 11% x 179 400 = Rp. 19 734
Total = US $217 074
1Superior Room
Rental / Spacious = 19.5 x 11.500 = USD. 224 250
Tax 10% x rent = 10% x 224 250 = Rp. 22,400

Service11% xsewa = 11% x 224 250 = Rp. 24 667


Total = USD271 342
Superior Rooms 2
Rent / Spacious = 27 x 11,500 = Rp. 310 500
Tax 10% x rent = 10% x 310 500 = Rp. 31,500
Service11% xsewa = 11% x 310 500 = Rp. 34 155
Total = US $ 375 705

CONCLUSION
Conclusion
From the analysis and discussion it can be concluded as follows:
1. Investment development Inns Muktisari modified into a 3 star hotel in Banyuwangi is feasible, with a value
judgment Muktisari hotel NPV (Rp. 91,073,972,021> 0) is greater than the NPV inns Muktisari (Rp.
2.369.743.54> 0). IRR obtained 20 165% greater than the interest rate of Bank Indonesia 6.5%, BEP obtained
6 years and 1 day faster than loan repayment period of 15 years, payback period of 4 years 6 months 14 days,
before tax gained 3.58 ROI greater 1, ROI after tax gained 3.29 greater than the terms 1 and RE gained 1.37
greater than 1
2. Minimum rental price of hotel suite to recover the cost of investment of Rp. 11,500 / m2 / day. With the
minimum rental prices room / day as follows:
standard rooms = Rp. 217 074 / room / day
room superior 1 = Rp. 271 342 / room / day
room superior 2 = Rp. 375 705 / room / day

Bibliography
Badan Pusat Statistik Kabupaten Banyuwangi .2015. Banyuwangi Dalam Angka Tahun 2015. Banyuwangi ; Badan
Pusat Statistik Kabupaten Bayuwangi.
Kodoatic, Robert J .1994. Analisa Ekonomi Teknik. Yogyakarta : Andi Offset
Mulyadi.2001 . Akuntasi Manajemen: Edisi ketiga. Yogyakarta: Penerbit STIE YKPN.
Soeharto, Imam. 1995. Manajemen Proyek Dari Konseptual Sampai Operasional, Edisi Pertama, Jakarta : Erlangga
Poerbo, Hartono. 1998 . Tekno Ekonomi Bangunan Bertingkat Banyak : Dasar – Dasar Studi Kelayakan Proyek
Perkantoran, Perhotelan, Rumah sakit, Apartemen. Jakarta : Djambatan.
Rahajo, Ferianto. 2007. Ekonomi Teknik: Analisi Pengambilan Keputusan . Yogyakarta: Andi Offset.
Republik Indonesia. 2009.Undang-Undang No 28 tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Jakarta
Wijaya, Sri .2011. Studi kelayakan Hotel Best Western Premier Kapasitas Hotel Bintang Di Surakarta.Surakarta :
FT UNS.
Wikipedia 2003.Kabupaten banyuwangi https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Banyuwangi (17 februari 2016).

264
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

ADAPTASI IKLIM PADA HUNIAN RUMAH TINGGAL


YANG MENGHADAP MATAHARI

Vippy Dharmawan1 , Nanik Rachmaniyah2


1
Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Surabaya
Jl. Sutorejo Nomor 59 Surabaya 60113 Telp 031.3811966
2
Jurusan Interior, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, ITS Surabaya
Jl. Raya Keputih, Sukolilo – Surabaya 60119 Telp 031.5925223
Email: masvippy@gmail.com

Abstrak

Persoalan kelembaban, suhu, dan intensitas matahari yang tinggi menjadi salah satu masalah utama
bagi rancangan arsitektur di Indonesia secara umum. Hal ini karena posisi geografis Indonesia yang
terletak di sekitar garis katulistiwa dan berada di antara dua benua menyebabkan wilayah ini
memperoleh sinar matahari sepanjang tahun, serta suhu dan kelembaban udaranya relatif tinggi.
Rumah-rumah tradisional di Indonesia telah sejak lama beradaptasi terhadap kondisi tersebut.
Penggunaan bahan kayu dan bambu misalnya, menimbulkan efek dingin pada bangunan. Namun
bagaimana cara rumah-rumah hunian modern masa kini yang dibangun dengan sistem konstruksi
modern mengatasi masalah tersebut masih terus menjadi bahan penelitian.
Tulisan ini memaparkan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui bagaimana sebuah rumah
modern yang dibangun dengan konstruksi batu bata dan beton beradaptasi terhadap iklim di
Indonesia. Penelitian diselenggarakan dengan menggunakan metode deskriptif evaluatif. Teknik
pengumpulan data dilakukan dengan cara pengamatan terhadap elemen-elemen pembentuk arsitektur
dan wawancara terhadap penghuni rumah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setidaknya terdapat
tiga cara yang dilakukan oleh perancang dalam mengupayakan agar bangunan ini dapat beradaptasi
terhadap iklim setempat. Yang pertama adalah dengan cara olahan tata ruang. Yang kedua dengan
cara penataan sistem sirkulasi udara, dan yang ketiga adalah dengan memasang dinding penahan
panas di bagian depan bangunan. Secara umum terlihat bahwa upaya adaptasi bangunan terhadap
kondisi iklim membawa dampak yang memuaskan. Dapat disimpulkan bahwa bangunan hunian
dengan konstruksi dan bahan bangunan modern atau masa kini dapat beradaptasi dengan baik
terhadap iklim tropis lembab.

Kata kunci : adaptasi iklim; rumah tinggal; matahari

Pendahuluan
Rumah adalah bangunan tempat manusia untuk berhuni. Tempat untuk berlindung dari ancaman marabahaya,
beristirahat, dan bercengkerama bersama keluarga. Dalam pengertian yang lebih luas rumah tinggal bukan hanya
sekedar bangunan fisik saja, tetapi haruslah merupakan tempat kediaman yang memenuhi syarat-syarat kehidupan
yang layak dalam segala segi kehidupan. Sebagai suatu karya arsitektur, rumah tidak hanya mempunyai dimensi
guna atau hal-hal yang terkait dengan fungsi-fungsi teknis bangunan saja, tetapi juga mempunyai dimensi citra
yang terkait dengan mental, kejiwaan, dan kebudayaan manusia (Mangunwijaya, 1988). Penelitian Waterson pada
hunian tradisional suku-suku di Asia Tenggara juga menunjukkan adanya dimensi religius pada bangunan rumah
tinggal (Roxana, 1990). Menurut ketentuan dalam American Public Health Association, secara garis besar rumah
haruslah memenuhi kebutuhan pokok jasmani dan rohani, dapat melindungi penghuninya dari penularan penyakit,
serta dapat melindungi manusia dari gangguan luar (Frick, 2006). Dengan demikian setiap rancangan arsitektur
rumah tinggal sebaiknya dapat memenuhi ketentuan-ketentuan tersebut.
Sementara itu persoalan kelembaban, suhu, dan intensitas matahari yang tinggi menjadi salah satu masalah
utama bagi rancangan arsitektur di Indonesia secara umum. Hal ini karena posisi geografis Indonesia yang terletak
di sekitar garis katulistiwa dan berada di antara dua benua menyebabkan wilayah ini memperoleh sinar matahari
sepanjang tahun, serta suhu dan kelembaban udaranya relatif tinggi. Dengan kondisi tersebut bangunan di Indonesia
harus mampu menyesuaikan diri dengan radiasi panas serta silau matahari, kelembaban tinggi yang berdampak
buruk pada kesehatan dan usia material bangunan, serta suhu tinggi yang menyebabkan ketidaknyamanan pada
penghuni bangunan (Mangunwijaya, 1980).

265
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Arsitektur rumah-rumah tradisional atau klasik di Indonesia (Prijotomo, 2008) telah sejak lama beradaptasi
terhadap kondisi tersebut. Penggunaan bahan kayu dan bambu misalnya, menimbulkan efek dingin pada bangunan.
Selain untuk keperluan konstruksi, bahan kayu dan bambu juga dipakai sebagai dinding. Dinding dari anyaman
bambu yang berpori memungkinkan terjadinya aliran udara yang menurunkan tingkat kelembaban dan suhu dalam
ruangan. Selain itu hampir semua rumah tradisional di Indonesia mempunyai sosoran atap yang jauh menjorok
keluar bangunan. Sosoran ini memberikan naungan yang membatasi sinar dan silau dari matahari. Penelitian yang
dilakukah di tahun 2014 oleh Lainang pada rumah tradisional Kejang Lako di Rantau Panjang Provinsi Jambi
(gambar 1.) misalnya, menunjukkan kenyamanan thermal telah dapat dicapai tanpa adanya sistem atau mekanikal
tertentu namun terutama oleh pemakaian bahan bangunan kayu dan ijuk. Selain contoh di atas masih banyak lagi
elemen dan bagian bangunan dari rumah tradisional Indonesia yang menunjukkan daya adaptasi yang tinggi
terhadap iklim setempat.

Gambar 1. Rumah Tradisional Kejang Lako Provinsi Jambi


Contoh Arsitektur Klasik Indonesia
Sumber : indonesiaculture.blogspot.com
Namun demikian bagaimana cara rumah-rumah hunian modern masa kini yang dibangun dengan sistem
konstruksi modern mengatasi masalah tersebut masih terus menjadi bahan penelitian. Konstruksi rumah modern di
Indonesia kebanyakan bersumber dari ilmu pengetahuan konstruksi barat yang secara filosofis berbeda dengan yang
ada di Indonesia. Bahan bangunan yang dipakai lebih didominasi oleh batu, besi atau baja, dan bahan pabrikasi.
Batu bata, batu kali, batu kerikil, beton, besi tulangan adalah beberapa bahan bangunan yang sering dipakai pada
rumah modern. Selain itu pertimbangan iklim tidaklah lagi menjadi hal yang dominan bagi masyarakat modern
dalam memilih rumah huniannya (gambar 2.).
Tulisan ini memaparkan hasil penelitian yang bertujuan untuk mengetahui bagaimana sebuah rumah modern
yang dibangun dengan konstruksi batu bata dan beton beradaptasi terhadap iklim di Indonesia. Bagaimana olahan
bahan bangunan dalam menanggapi iklim, serta bagaimana sistem dan cara pengaturan ruang-ruang dapat
menyesuaikan diri dengan kondisi iklim setempat.

Gambar 2. Sebuah Contoh Rumah dengan Konstruksi Modern


Sumber : pinterest.com

266
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Obyek Penelitian
Sebagai sampel diambil sebuah rumah hunian di kota kecamatan Kamal, kabupaten Bangkalan – pulau
Madura. Rumah ini diambil sebagai sampel karena orientasi posisinya yang menghadap barat, arah matahari
bersinar dengan terik di siang hingga sore hari (gambar 3.).

KETERANGAN :
RT - Ruang Tamu
RD – Rg. Duduk / Rg .Makan
KT – Kamar Tidur
M - Mushola
D - Dapur
C - Tempat Cuci & Jemur
CP – Carport
T - Taman
K - Taman + Kolam

Gambar 3. Denah dan Tampak Depan Rumah yang Diteliti

Rumah ini terdiri dari 2 buah kamar tidur, ruang tamu, ruang makan, ruang tengah, mushola, kamar
cadangan (loteng), 2 kamar mandi, dapur, ruang cuci, carport, halaman depan, dan halaman belakang. Luas
keseluruhan bangunan adalah 88 m2, berdiri di atas tanah seluas 104 m2. Pada bagian depan terdapat sedikit sisa
tanah yang dimanfaatkan untuk taman kecil, namun sayangnya area taman tersebut tidak cukup untuk ditanami
pohon peneduh. Karena rumah ini menghadap ke arah barat, maka pada waktu siang hingga sore hari bagian depan
rumah ini terpapar sinar matahari dengan intensitas yang cukup tinggi. Adapun pada bagian belakang terdapat
halaman kecil yang di dalamnya terdapat kolam ikan hias.

Metode Penelitian
Penelitian diselenggarakan dengan menggunakan metode deskriptif evaluatif. Teknik pengumpulan data
dilakukan dengan cara pengamatan terhadap elemen-elemen pembentuk arsitektur dan wawancara terhadap
penghuni rumah. Elemen arsitektur yang diamati adalah elemen yang memberi dampak pada tinggi rendahnya suhu,
silau matahari, serta tinggi rendahnya kelembaban. Adapun wawancara terhadap penghuni rumah dilakukan untuk
mengetahui sejauh mana hunian ini memberi rasa nyaman kepada penghuninya, dan juga untuk mengetahui pola
perilaku yang terjadi pada bangunan ini.

Pengaruh Iklim pada Bangunan


Pada iklim tropis lembab seperti di Indonesia setidaknya ada tiga aspek yang berpengaruh langsung pada
rancangan bangunan. Tiga aspek tersebut adalah sinar matahari, hujan dan kelembaban, serta angin
(Mangunwijaya, 1980). Pada kebanyakan bangunan di Indonesia ketiganya menjadi hal yang wajib
dipertimbangkan dalam menyusun rancangan arsitekturnya. Sinar matahari membawa radiasi panas, sinar, serta
silaunya yang harus diredam sesuai dengan kebutuhan. Adapun pengaruh hujan secara fisikalis adalah
hempasannya yang dapat merusak merusak unsur-unsur bangunan seperti atap, dinding, dan sebagainya. Hujan juga
membawa kelembaban yang dapat berakibat pada pembusukan bahan-bahan bangunan yang berasal dari bahan
organik seperti kayu dan sejenisnya. Selain itu udara yang lembab juga sangat buruk bagi kesehatan penghuni
bangunan. Sedangkan angin perlu dipertimbangkan arah hembusan dan kecepatannya, karena terkait dengan upaya
sirkulasi udara di dalam bangunan.
Secara definisi, arsitektur tropis adalah suatu karya arsitektur yang mampu mengatasi problematika yang
ditimbulkan oleh iklim tropis (Karyono, 2010). Respon atau penyesuaian terhadap pengaruh iklim ada banyak cara.
Bisa dengan cara mengatur posisi dan penempatan bangunan terhadap arah matahari dan angin, bisa juga dengan
cara mengolah bangunan itu sendiri. Pengaturan posisi bangunan misalnya dilakukan dengan cara meminimalisir
bagian bangunan yang terpapar langsung sinar matahari. Sedangkan olahan pada bangunan bisa dilakukan di
bagian alas, dinding, maupun atap. Penyesuaian juga dapat dilakukan dengan cara memilih bahan-bahan bangunan
yang dapat mencegah efek negatif matahari, hujan, dan angin.

267
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Pada bagian atap misalnya, sudah umum diterapkan pada rumah-rumah di Indonesia penggunaan atap dengan
kemiringan yang curam serta sosoran yang menjorok jauh dari dinding. Selain itu juga pemanfaatan ruang antara
atap dan plafond yang berfungsi sebagai penghalang radiasi panas matahari yang menerpa atap. Beralih pada
dinding, saat ini karena ketersediaan lahan yang makin sulit di kota-kota besar maka sering tidak terhindarkan
adanya bangunan atau dinding yang menghadap matahari siang-sore hari. Oleh karena itu penggunaan sunscreen
sudah umum dilakukan. Baik yang terbuat dari bahan kayu, aluminium, krawang bata, maupun bahan lainnya yang
lambat menghantar panas. Selanjutnya pada bagian alas bangunan, penggunaan lantai keramik atau granit yang
kedap air juga berguna untuk mencegah uap air dari tanah masuk ke dalam bangunan.

Hasil Penelitian
Hasil penelitian menunjukkan bahwa setidaknya terdapat tiga cara yang dilakukan oleh perancang dalam
mengupayakan agar bangunan ini dapat beradaptasi terhadap iklim setempat. Yang pertama adalah dengan cara
olahan tata ruang. Yang kedua dengan cara menata sistem sirkulasi udara, dan yang ketiga adalah dengan memasang
dinding penahan panas di bagian depan bangunan.
1. Olahan Tata Ruang
Lazimnya penataan ruang rumah-rumah di Indonesia mengikuti pola terpusat. Pola organisasi ruang terpusat
adalah suatu susunan ruang dimana terdapat satu ruang sebagai pusat orientasi yang dikelilingi oleh ruang-ruang lain
di sekitarnya. Selain pola terpusat terdapat juga berbagai macam pola penataan ruang lainnya yaitu pola linier,
radial, grid, dan cluster (Ching, 2000). Namun secara tradisi susunan organisasi ruang rumah tinggal keluarga
Indonesia mengikuti pola terpusat. Sebagai pusat orientasi adalah ruang duduk atau ruang keluarga yang biasanya
menjadi tempat favorit bagi penghuni rumah untuk saling berinteraksi satu sama lain.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa ruang-ruang pada rumah ini termanfaatkan secara maksimal.
Sehari-hari rumah ini didiami oleh sepasang suami istri pensiunan beserta seorang asisten rumah tangga. Dua hingga
tiga hari sekali putri bungsu beserta suami dari sepasang pensiunan ini datang berkunjung dan menginap di rumah
ini. Pasangan suami istri menempati kamar tidur belakang, sedangkan putri bungsu mereka menempati kamar tidur
belakang. Adapun ruang loteng dan mushola setidaknya satu atau dua minggu sekali akan menjadi kamar tidur
cadangan ketika ada anggota keluarga lain datang berkunjung. Dengan demikian kamar tidur yang ada
termanfaatkan secara maksimal.
Pengolahan tata ruang menunjukkan bahwa ruang-ruang ditata sedemikian rupa sehingga ruang-ruang yang
intensitas penggunaannya tinggi berada di area yang tidak langsung terkena radiasi panas maupun silau matahari.
Adapun ruang-ruang yang intensitas penggunaannya rendah atau berkarakter dingin ditempatkan sebagai buffer atau
penghalang panas. Terlihat bahwa pada bagian depan terdapat ruang carport yang ditempatkan sebagai buffer dari
kamar tidur depan. Sedangkan ruang tamu yang dilengkapi dengan dinding penahan panas diletakkan di depan
ruang duduk. Adapun ruang-ruang lainnya diposisikan di bagian belakang bangunan, jauh dari sumber radiasi panas
(gambar 4.).

AREA DENGAN INTENSITAS KETERANGAN :


PENGGUNAAN TINGGI DAN RT - Ruang Tamu
PERLU KENYAMANAN FISIK RD – Ruang Duduk / Ruang Makan
KT – Kamar Tidur
M - Mushola
D - Dapur
C - Tempat Cuci & Jemur
AREA DENGAN INTENSITAS CP – Carport
PENGGUNAAN RENDAH T - Taman
(BERFUNGSI SEBAGAI K - Taman + Kolam
PENGHALANG RADIASI
PANAS DAN SILAU)

Gambar 4. Olahan Tata Ruang untuk Mengantisipasi Radiasi Panas dari Arah Depan (barat)

268
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

2. Penataan Sistem Sirkulasi Udara


Pada cara yang kedua yaitu penataan sistem sirkulasi udara, perancang membuat area void atau atrium di
bagian tengah bangunan. Temperatur yang hangat di bagian atas atrium memberi efek menyedot udara dari area
bawah yang mempunyai temperatur lebih rendah. Efek ini bisa terjadi karena adanya perbedaan tekanan udara di
kedua area tersebut. Dengan demikian terjadi aliran udara secara alamiah di dalam bangunan yang menjamin suhu di
dalam ruang tetap berada dalam kisaran suhu nyaman. Demikian juga adanya udara yang mengalir memberi efek
pada kelembaban yang menjadi tidak terlalu tinggi.
Dari hasil pengamatan terlihat bahwa pada semua ruang terdapat lubang angin-angin yang berfungsi untuk
mengalirkan udara. Pada gambar 5 terlihat bahwa ruang duduk yang terletak di bagian tengah bangunan plafondnya
ditinggikan agar tercipta suatu atrium. Suhu udara pada bagian atas atrium cenderung lebih panas dari bagian
bawahnya, sehingga tercipta perbedaan tekanan udara. Akibatnya udara mengalir dari bagian bawah ke bagian atas
atrium karena perbedaan tekanan. Udara tersebut lalu terbuang keluar bangunan melewati lubang ventilasi yang ada
di bagian atas atrium. Kondisi ini mengakibatkan udara yang berada di ruang-ruang lainnya mengalir masuk ke
ruang duduk tersebut yang selanjutnya mengalir ke atas dan dibuang ke luar bangunan. Terjadilah sirkulasi udara
yang terus menerus pada bangunan ini.

ATRIUM / VOID

DINDING
PENAHAN PANAS

Gambar 5. Penataan Sirkulasi Udara. Aliran udara dibawa


ke atas dan dibuang lewat ngin-angin

Namun demikian, berdasarkan hasil wawancara dengan penghuni rumah, pada waktu-waktu tertentu udara masih
terasa gerah terutama ketika suhu udara luar di lingkungan sekitarnya tinggi. Dalam kondisi seperti ini aliran
udara tidak berpengaruh pada kenyamanan penghuni, karena udara yang mengalir keluar masuk bangunan masih
tinggi atau di atas suhu nyaman.

3. Dinding Penahan Panas


Selanjutnya cara ketiga yang dilakukan perancang sebagai upaya adaptasi bangunan terhadap iklim adalah
dengan memasang dinding penahan panas pada bagian bangunan yang menghadap matahari sore. Dari hasil
pengamatan, selain dinding tersebut dapat menjaga suhu dalam ruangan tetap nyaman, dinding itu juga bermanfaat
sebagai penghalang pandangan dan elemen estetika. Dinding penahan panas adalah modifikasi dari dinding bagian
depan ruang tamu yang diolah sedemikian rupa sehingga dapat meredam radiasi panas yang dibawa oleh sinar
matahari siang dan sore hari. Prinsip kerjanya cukup sederhana, yaitu dengan memberikan bukaan pada bagian atas
dinding sehingga radiasi panas pada dinding bisa terbuang ke atas terbawa aliran udara keluar.
Seperti terlihat pada gambar 6 , dinding penahan panas terdapat pada bagian kanan bangunan, sedangkan
pada bagian kiri terdapat carport. Carport memberikan naungan yang menghambat randiasi panas di bagian kiri,
sedangkan dinding penahan panas menghambat radiasi di sisi kanan. Praktis bangunan ini terlindung dari radiasi
panas yang berasal dari bagian depan bangunan.

269
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Gambar 6. Dinding Penahan Panas

Dari hasil penelitian secara umum terlihat bahwa upaya adaptasi bangunan terhadap kondisi iklim membawa
dampak yang positif dan memuaskan penghuni rumah. Dapat disimpulkan bahwa bangunan hunian dengan
konstruksi dan bahan bangunan modern atau masa kini dapat beradaptasi dengan baik terhadap iklim tropis lembab.

Daftar Pustaka
Alfata, M.N., 2011, Studi Kenyamanan Thermal Adaptif Rumah Tinggal di Kota Malang Studi Kasus: Perumahan
Sawojajar 1 Kota Malang, Jurnal Pemukiman, Vol. 6 No 1 April 2011:9-17.
Ching, Franchis D.K. (1984), Arsitektur, Bentuk- Ruang dan Susunannya, Alih Bahasa oleh : Ir. Paulus Hanoto
Adjie, Airlangga, hlm. 204-214
Frick, Heinz/Tri Hesti Mulyani dkk. (2006), Arsitektur Ekologis, Kanisius, hlm. 1-3
Karyono, Tri Harso (2010), Green Architecture : Pengantar Pemahaman Arsitektur Hijau di Indonesia, Rajawali
Press, hlm. 93-97
Mangunwijaya, Dipl.Ing. Y.B. (1980), Pasal-Pasal Penghantar Fisika Bangunan, PT. Gramedia Jakarta, hlm. 26-46
Mangunwijaya, Dipl.Ing. Y.B. (1988), Wastu citra: pengantar ke ilmu budaya bentuk arsitektur, sendi-sendi
filsafatnya, beserta contoh-contoh praktis, PT. Gramedia Pustaka Utama, hlm 9-10
Prijotomo, Josef (2008), Pasang Surut Arsitektur Indonesia, Wastu Lanas Grafika, hlm. 5-8
Waterson, Roxana (1990), The Living House : An Anthropology of Architecture in South-East Asia, Oxford
University Press, p.115-137

270
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

IDENTIFIKASI LINGKUP KERJA KONSULTAN MANAJEMEN


KONSTRUKSI PADA DOKUMEN KONTRAK UNTUKMENGURANGI
RISIKO KETERLAMBATAN PADA PROYEK KONSTRUKSI
BANGUNAN GEDUNG BERTINGKAT TINGGI DI DKI JAKARTA

Lusiana Idawati1, Manlian Ronald A. Simanjuntak2, Paulus Kurniawan*3


1,2,3
Magister Teknik Sipil, Fakultas Sains & Teknologi, Universitas Pelita Harapan
Menara UPH, Lippo Karawaci, Tangerang 15811 Telp. 021 5460901
Email: lusiana.idawati@uph.edu

Abstrak

Proyek konstruksi berskala besar umumnya melibatkan jasa konsultan Manajemen Konstruksi,
dengan tujuan agar kinerja proyek tercapai. Lingkup kerja Konsultan MK dinyatakan dalam dokumen
kontrak sebagai kesepakatan tertulis antara pemilik proyek dan Konsultan MK. Dalam observasi
awal terhadap proyek konstruksi bangunan gedung bertingkat tinggi di DKI Jakarta ditengarai
bahwa penggunaan jasa Konsultan MK tidak sepenuhnya menjamin tercapainya seluruh target
kinerja, khususnya kinerja waktu. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah lingkup kerja pada
dokumen kontrak benar-benar telah mencakup peran utuh Konsultan MK. Penelitian ini bertujuan
mengidentifikasi lingkup kerja yang signifikan bagi kinerja waktu proyek konstruksi, khususnya pada
tahap pelaksanaan,tetapi tidak dicantumkan dalam dokumen kontrak sehingga mereduksi peran
Konsultan MK. Pada tahap pertama dilakukan analisis lingkup kerja melalui perbandingan antara
Construction Management Association of America (CMAA) dan dokumen kontrak standarKonsultan
MK serta Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 45/PRT/M/2007, dengan tujuan untuk
menginventarisasi lingkup kerja yang tereduksi. Pada tahap kedua dilakukan penyebaran kuesioner
dengan responden pakar manajemen kontruksi yangterdiri dari akademisi dan profesional yang
berpengalaman dalam proyek konstruksi bangunan gedung bertingkat tinggi di DKI Jakarta,
dilengkapi dengan wawancara. Setelah dilakukan analisis statistik deskriptif terhadap hasil,
teridentifikasi lingkup kerja yang berpengaruh signifikan terhadap kinerja waktu namun umumnya
tidak tercakup dalam dokumen kontrak meliputi: layanan tambahan dengan kompensasi biaya,
manajemen proyek, manajemen biaya, manajemen sistem informasi, dan manajemen waktu.

Kata kunci: gedung bertingkat tinggi; kinerja waktu; konsultan manajemen konstruksi; lingkup
kerja; risiko keterlambatan

Pendahuluan
Proyek konstruksi terdiri dari serangkaian aktivitas yang saling berkaitan satu dengan yang lain dalam
seluruh siklus proyek, mulai dari perencanaan (studi konsep dan kelayakan), perancangan (rekayasa dan desain),
pengadaan, pelaksanaan (konstruksi), start-up dan penerapan, sampai dengan operasi dan pemanfaatan. Untuk
mengelola dan mengendalikan rangkaian aktivitas pada tahap demi tahap tersebut diperlukan upaya manajemen
proyek konstruksi yang tepat dan efektif. Semakin tinggi kompleksitas suatu proyek konstruksi, semakin tinggi pula
tuntutan akan keterampilan manajemen proyek, karena semakin tinggi pula risiko tidak tercapainya sasaran kinerja
proyek.Tak heran, pada proyek-proyek konstruksi berskala besar – termasuk bangunan gedung bertingkat tinggi
yang dewasa ini makin marak, terutama di kota-kota besar – pada umumnyadigunakan jasa Konsultan Manajemen
Konstruksi (MK). Konsultan MK merupakan suatu perusahaan atau organisasi yang mengkhususkan diri dalam
praktik manajemen konstruksi profesional, atau mempraktikkannya pada suatu proyek tertentu, sebagai bagian dari
tim manajemen proyek (Donald dan Boyd,1995).
Penggunaan jasa Konsultan MK bertujuan untuk menjaga mutu proyek, yaitu agar seluruh sasaran kinerja
proyek tercapai, termasuk kinerja waktu, biaya, dan fisik sesuai rancangan dan spesifikasi, baik secara kuantitas
maupun kualitas. Namun demikian, terdapat indikasi bahwa digunakannya jasa konsultan MK tidak serta-merta
menjadi jaminan tercapainya seluruh sasaran kinerja tersebut. Hal ini antara lain tampak pada observasi awal
terhadap beberapa proyek konstruksi bangunan gedung bertingkat tinggi di DKI Jakarta. Informasi awal yang
diperoleh dari Kontraktor atau Konsultan MK menunjukkan masih adanya masalah dengan kinerja waktu, yaitu
terjadinya keterlambatan pada tahap pelaksanaan proyek.

271
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Keterlambatan kontruksi dan penyimpangan kualitas konstruksi, terutama pada tahap pelaksanaan,ditengarai
berkaitan dengan beberapa masalah mengenai peran Konsultan MK yang acap ditemui, antara lain: peran Konsultan
MK yang belum sepenuhnya dipahami, penugasan Konsultan MK tidak dilakukan pada saat yang tepat, keterbatasan
wewenang Konsultan MK, kurang profesionalnya pelaku manajemen konstruksi, dan adanya konflik kepentingan
antara Konsultan MK, Pimpro, Kontraktor, Konsultan dan Pemberi Tugas (Ir. Sulistiyo S.M. dalam wawancara
dengan Wahyu S. yang dimuat di majalah Konstruksi, Juli 2002).Berbagai permasalahan tersebut dapat
mengakibatkan tidak optimalnya pelaksanaan manajemen konstruksi di lapangan karena Konsultan MK tidak dapat
menjalankan perannya secara utuh.
Lebih lanjut Ir. Sulistyo S.M. (2002) mengungkapkan adanya 2 (dua) bentuk penyimpangan terhadap peran
utuh Konsultan MK, yaitu 1) Konsultan MK hanya berfungsi sebagai pengawas atau inspektur proyek; dan 2)
terjadinya pengurangantugas dan kewajiban Konsultan MK dengan tujuan menurunkan fee sampai di bawah harga
wajar yang pada akhirnya juga dapat mengakibatkan terjadinya praktek-praktek Konsultan MK yang melanggar
etika.Penyimpangan jenis pertama sebenarnya merupakan bentuk degradasi peran Konsultan MK, sedang bentuk
kedua adalah reduksi. Keterkaitan antara degradasi dan/atau reduksi peran Konsultan MK dan kinerja proyek
konstruksi merupakan topik yang menarik untuk dikaji dan penting bagi pengelola serta pemilik proyek.
Dalam penelitian ini, fokus penelitian adalah peran Konsultan MK berdasarkan lingkup kerja pada dokumen
kontrak dan pengaruhnya terhadap kinerja waktu proyek konstruksi, dan dibatasi pada proyek konstruksi bangunan
gedung bertingkat tinggi di DKI Jakarta, khususnya pada tahap pelaksanaan konstruksi.Penelitian ini bertujuan
mengidentifikasi lingkup kerja yang memiliki pengaruh signifikan terhadap kinerja waktu pelaksanaan konstruksi
tetapijarang tercantum pada dokumen kontrak Konsultan MK.Hasil yang diperoleh diharapkan dapat menjadi
masukan bagi para pelaku konstruksi untuk mengurangi risiko keterlambatan konstruksi pada proyek serupa di
kemudian hari.

Bahan dan Metode Penelitian


Manajemen konstruksi, sebagai suatu bidang profesi, dalam melaksanakan panggilannya wajib memenuhi
dan berupaya mencapai standar keunggulan tertinggi, baik dalam pendidikan yang dipersyaratkan, kinerja, maupun
kode etik profesinya (Official Register ASCE, 2008). Dengan demikian, Konsultan MK juga harus terus
meningkatkan standarnya, baik dalam hal kinerja maupun etika, dalam menjalankan perannya sebagai penyedia jasa
manajemen konstruksi profesional.
Construction Management Association of America (CMAA),yang standar-standarnya banyak digunakan
sebagai acuan dalam manajemen konstruksi, merumuskan peran Konsultan MK sebagai berikut: 1) penggunaan
anggaran yang paling efektif; 2) pengendalian yang lebih baik atas lingkup kerja; 3) mengoptimalkan opsi-opsi
penjadwalan proyek/program; 4) penggunaan keahlian individu anggota tim proyekyang terbaik; 5) sedapat
mungkin menghindari keterlambatan, perubahan, dan klaim; 6) meningkatkan kualitas desain dan konstruksi; dan 7)
mengoptimalkan fleksibilitas dalam opsi-opsi kontrak/pengadaan (CMAA, 2007). Tampak bahwa peran Konsultan
MK pada butir ketiga dan kelima di atas berkaitan langsung dengan kinerja waktu, sedangkan butir kedua, keempat,
dan ketujuh secara tidak langsung juga akan mempengaruhi kinerja waktu proyek.
Adapun keberadaan Konsultan MK dimaksudkan untuk: 1) mencapai penyelesaian pelaksanaan kegiatan
pembangunan mulai dari perencanaan, pembangunan, dan pemeliharaan dalam waktu yang telah disepakati dalam
rangka penghematan waktu, dengan biaya yang serendah-rendahnya dalam rangka penghematan biaya, dengan
mutu yang setinggi-tingginya; 2) membentuk faktor-faktor sistem agar terbentuk pengelolaan kegiatan yang dapat
melaksanakan fungsinya dengan baik; 3) mengendalikan aliran informasi antara berbagai tahap pelaksanaan untuk
mendapatkan kesatuan bahasa dan gerak serta kelancaran pelaksanaan; 4) mengendalikan pengaruh timbal balik
antara proyek/kegiatan dengan lingkungannya; 5) menyelaraskan desain produk dan pelaksanaannya sesuai dengan
yang diharapkan(Tuelah, Tjakra, dan Walangitan,2014).
Manfaat penggunaan jasa Konsultan MK meliputi: 1) memungkinkan tahap pelaksanaaan dimulai seawal
mungkin, meskipun perencanaan belum selesai seluruhnya, sehingga waktu pelaksanaan dapat dihemat, yang berarti
pemilik proyek dapat memakai fasilitas yang sudah selesai dengan segera; 2) terutama untuk proyek-proyek
komersial dimana faktor pasar, besarnya modal, tingginya bunga pinjaman dan nilai inflasi sangat menentukan,
penghematan waktu dalam penyelesaian proyek berarti penghematan biaya; 3) pemilik proyek mendapatkan
keuntungan dengan dilakukannya pemeriksaan keuangan ganda oleh konsultan manajemen konstruksi, selain oleh
stafnya sendiri; 4) jumlah biaya akhir proyek selalu dapat diketahui sebelumnya, pengaturan biaya serta arus dana
selalu diikuti dan diperbaharui terus menerus; 5) tidak terjadi kontrak ganda atas keuntungan, pajak dan biaya umum
untuk subkontraktor/kontraktor utama yang dibebankan kepada pemilik proyek,seperti halnya dalam sistem
tradisional/kontraktor utama; 6) pembelian material utama (import) yang memerlukan waktu penyerahan lama dapat
dilakukan seawal mungkin; 7) pemilik proyek dan pengawasannya dilakukan oleh konsultan manajemen konstruksi
yang ahli dan berpengalaman, sementara pada umumnya pemilik proyek pada bidang industri konstruksi memang
terbatas (tidak selalu); 8) manajemen proyek dilakukan oleh konsultan manajeman konstruksi dengan menyatukan
tahap perancangan, pelelangan dan pelaksanaan dalam satu kesatuan utuh dan terpadu; 9) pemilik proyek tidak perlu

272
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

banyak membuang waktu yang berharga untuk mengurus hal yang bukan profesinya(Tuelah, Tjakra, dan
Walangitan,2014).
Dari uraian maksud dan manfaat di atas jelas bahwa bagi pemilik proyek, tujuan utama penggunaan jasa
Konsultan MK adalah untuk meningkatkan kinerja waktu, biaya, dan mutu bangunan. Jika peran Konsultan MK
dilaksanakan secara utuh dan sesuai standar tertinggi, diharapkan tujuan tersebut dapat dicapai dengan baik. Dengan
demikian, jika masih sering terjadi keterlambatan dalam pelaksanaan proyek konstruksi bangunan gedung bertingkat
tinggi di DKI Jakarta, perlu diteliti apakah Konsultan MK sudah menjalankan perannya secara utuh sesuai standar.
Peran Konsultan MK dilihat dari lingkup kerja yang tercantum pada dokumen kontrak untuk mengidentifikasi
lingkup kerja yang signifikan bagi kinerja waktu proyek tetapi tidak atau jarang dicantumkan dalam kontrak.
Sebagai standar digunakan lingkup kerja CMAA, khususnya pada tahap pelaksanaan konstruksi,yang dibagi
menjadi lima faktor yaitu: Manajemen Proyek (Project Management) terdiri dari 16 butir lingkup kerja, Manajemen
Waktu (Time Management) 5 butir, Manajemen Biaya (Cost Management) 6 butir, Manajemen Sistem Informasi
(Management Information System) 6 butir, dan Layanan Tambahan (Additional Services) 20 butir. Secara
keseluruhan terdapat 53 butir lingkup kerja pada tahap konstruksi yang dijabarkanpada Tabel 1 sebagai berikut:

Tabel 1. Lingkup kerja standar CMAA


No Kode Lingkup Kerja Manajemen Layanan Dasar Konstruksi Pada Fase Konstruksi/Pelaksanaan
MANAJEMEN PROYEK (X.1)
1 X.1.1 Memimpin rapat persiapan pelaksanaan pekerjaan (pre-construction meeting)
2 X.1.2 Verifikasi izin, jaminan pelaksanaan dan asuransi Kontraktor
3 X.1.3 Manajemen dan prosedur komunikasi tahap konstruksi di lapangan
4 X.1.4 Menetapkan dan menerapkan prosedur administrasi kontrak
Review Permintaan Informasi, Shop Drawings, Sampel, dan pengajuan lain (Review of Request for
5 X.1.5
Information, Shop Drawings, Samples, And Other Submittals)
6 X.1.6 Rapat di Site Proyek (Project Site Meetings)
7 X.1.7 Koordinasi dengan konsultan perencana terkait disiplin masing-masing
8 X.1.8 Menyetujui perubahan minor dalam pekerjaan sesuai dengan spesifikasi dalam kontrak Kontraktor
9 X.1.9 Perubahan Pesanan (Change Orders)
10 X.1.10 Informasi kondisi fisik proyek
11 X.1.11 Ulasan Kualitas (Quality Review)
12 X.1.12 Program keselamatan kontraktor
13 X.1.13 Perselisihan antara kontraktor dan pemilik
14 X.1.14 Operasional dan pemeliharaan material dalam bentuk pelaksanaan manual dan jaminan-jaminan.
15 X.1.15 Mengeluarkan sertifikat penyelesaian sub pekerjaan kontraktor
16 X.1.16 Mengeluarkan sertifikat penyelesaian akhir
MANAJEMEN WAKTU (X.2)
17 X.2.1 Menyesuaikan, memperbarui dan mendistribusikan master schedule
18 X.2.2 Meninjau jadwal konstruksi Kontraktor
19 X.2.3 Laporan Jadwal Konstruksi
20 X.2.4 Menentukan dan menyarankan pengaruh change order pada jadwal
21 X.2.5 MK dengan kontraktor menyusun dan menyampaikan update jadwal
MANAJEMEN BIAYA (X.3)
22 X.3.1 MK dengan kontraktor menentukan target nilai progres konstruksi
23 X.3.2 Rencana alokasi biaya pemilik untuk pembayaran progres konstruksi Kontraktor
24 X.3.3 Menyarankan kepada pemilik pengaruh permintaan perubahan dari segi biaya
25 X.3.4 Rekap biaya yang dikeluarkan pemilik (cost records)
Memberikan masukan optimasi waktu dan biaya (studi trade-off) untuk Berbagai Komponen
26 X.3.5
Konstruksi
27 X.3.6 Kemajuan pembayaran (progres payments)
MANAJEMEN SISTEM INFORMASI / MSI (X.4)
28 X.4.1 Laporan jadwal pemeliharaan material dan peralatan pada masa konstruksi
29 X.4.2 Laporan biaya proyek
30 X.4.3 Laporan change order
31 X.4.4 Laporan arus kas
32 X.4.5 Laporan kemajuan pembayaran (setiap kontrak)
33 X.4.6 Laporan Revisi anggaran proyek dan konstruksi akibat permintaan perubahan

273
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Tabel 1. Lingkup kerja standar CMAA (lanjutan)


Lain-Lain / Additional Services (X.5)
Penyidikan, penilaian atau evaluasi kondisi lapangan, fasilitas, atau peralatan yang berbeda dari
34 X.5.1
apa yang ditunjukkan dalam dokumen kontrak
Layanan yang terkait dengan pengadaan, penyimpanan, pemeliharaan dan pemasangan peralatan,
35 X.5.2
bahan, perlengkapan dan furnitur yang dipasok/disediakan oleh pemilik
36 X.5.3 Layanan yang terkait dengan perencanaan kebutuhan ruang di proyek
37 X.5.4 Mengatur kondisi lahan terhadap kebutuhan proyek (program ruang)
38 X.5.5 Layanan yang terkait dengan permintaan investigasi dan analisis di proyek
39 X.5.6 Layanan yang terkait dengan penyewaan atau sewa ruang di sekitar proyek
40 X.5.7 Persiapan studi kelayakan keuangan proyek
41 X.5.8 Persiapan keuangan, laporan MSI yang tidak tersedia di bawah layanan dasar
42 X.5.9 Pemeriksaan teknis dan pengujian kinerja
43 X.5.10 Persiapan panduan operasi dan pemeliharaan
44 X.5.11 Layanan yang terkait dengan perekrutan dan pelatihan personil pemeliharaan
Layanan yang diberikan sehubungan dengan sengketa antara pemilik dan kontraktor, dan MK
45 X.5.12
memberikan Keputusan
46 X.5.13 Inspeksi garansi selama masa garansi dari proyek
Konsultasi mengenai penggantian pekerjaan atau properti yang rusak akibat kebakaran atau
47 X.5.14
penyebab lainnya selama jasa konstruksi
Memberikan pertimbangan terhadap kondisi yang tidak tertera dalam dokumen kontrak terhadap
48 X.5.15
peraturan yang berlaku dimana proyek itu dilaksanakan
Persiapan dan pelayanan sebagai saksi sehubungan dengan sidang umum atau pribadi atau
49 X.5.16
arbitrase, mediasi atau proses hukum akibat perselisihan
Membantu pemilik dalam kegiatan hubungan masyarakat, termasuk menyiapkan informasi dan
50 X.5.17
menghadiri pertemuan publik
Membantu pemilik dengan pengadaan dan persiapan dokumen sehubungan dengan penggunaan
51 X.5.18
bangunan
Jasa berhubungan dengan operasi awal peralatan seperti start-up, pengujian, penyesuaian dan
52 X.5.19
penyeimbangan sistem yang dikerjakan
53 X.5.20 Setiap layanan lain yang tidak dinyatakan termasuk dalam perjanjian

Bertolak dari standar lingkup kerja yang ditetapkan, selanjutnya dilakukan langkah-langkah penelitian yang
dapat dikelompokkan ke dalam tiga tahap yang berurutan, yaitu: 1) perbandingan lingkup kerja standar CMAA
dengan yang digunakan dalam dokumen kontrak bangunan gedung di Indonesia; 2) penyebaran kuesioner kepada
para pakar manajemen konstruksi; dan 3) wawancara pakar untuk melengkapi pengisian kuesioner. Keseluruhan
proses penelitian dijabarkan pada Gambar 1 sebagai berikut:

Gambar 1. Proses penelitian

274
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Pada tahap pertama, dilakukan Analisis lingkup kerja melalui perbandingan antara lingkup kerja Konsultan
MK di Indonesia dengan lingkup kerja standar CMAA yang digunakan sebagai acuan. Lingkup kerja Konsultan MK
di Indonesia direpresentasikan oleh lingkup kerja padaPeraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 45/PRT/M/2007
yang merupakan acuan bagi proyek pemerintah dan lingkup kerja pada dokumen kontrak standar 2 (dua) Perusahaan
Jasa Konsultan MK yang banyak menangani bangunan gedung bertingkat tinggi di DKI Jakarta. Tujuan analisis
tahap pertama ini adalah untuk mengeliminasi lingkup kerja yang sudah umum tercantum dalam dokumen kontrak
Konsultan MK di Indonesia. Analisis dilakukan dengan metode check list sebagai berikut: 1) lingkup kerja pada
kedua dokumen kontrak dan Permen PU yang secara harafiah maupun konseptual memenuhi kriteria lingkup kerja
pada CMAA diberi tanda "x"; dan selanjutnya 2) lingkup kerja yang sudah tercantum pada ketiga dokumen tersebut
(mendapatkan 3 tanda “x”) dieliminasi.Lingkup kerja yang masih tersisa setelah proses eliminasi tersebut akan
digunakan pada tahap selanjutnya.
Pada tahap kedua, dilakukan penyebaran kuesioner dengan responden 5 orang pakar manajemen konstruksi
yang terdiri dari kalangan akademisi dan praktisi. Pemilihan responden dilakukan dengan kriteria kepakaran dalam
bidang manajemen konstruksi, baik secara akademis maupun profesional. Praktisi yang menjadi responden adalah
yang berpengalaman sebagai konsultan MK pada proyek-proyek bangunan gedung bertingkat tinggi di DKI Jakarta.
Tujuan analisis tahap kedua ini adalah mempertajam hasil analisis tahap pertama sehingga diperoleh lingkup kerja
yang jarang tercantum dalam dokumen kontraktetapi memiliki pengaruh signifikan terhadap kinerja waktu proyek.
Kuesioner mencantumkan lingkup kerja yang tidak tereliminasi pada tahap pertama dengan 2 set pertanyaan dan
skala penilaian sebagaimana ditampilkan pada Tabel 2 dan Tabel 3 di bawah.

Tabel 2. Instrumen pengukuran lingkup kerja yang tercantum pada dokumen kontrak
Apakah Lingkup Kerja yang Dimaksud Tertulis dalam Dokumen Kontrak Konsultan Manajemen Konstruksi?
skala penilaian
1 2 3
Tertulis Tidak tertulis tetapi dilakukan di lapangan Tidak tertulis

Tabel 3. Instrumen pengukuran pengaruh lingkup kerja terhadap kinerja waktu


Apakah Menurut Anda Lingkup Kerja yang Dimaksud Berpengaruh terhadap Kinerja Waktu Proyek?
skala penilaian
1 2 3 4 5
Sangat Tidak Tidak Sangat
Netral Berpengaruh
Berpengaruh Berpengaruh Berpengaruh

Analisis pada tahap ini dilakukan dalam 2 putaran, yaitu pertama, eliminasi lingkup kerja yang sudah umum
tertulis di dokumen kontrak; dan kedua, eliminasi terhadap lingkup kerja yang dipandang lebih kecil pengaruhnya
terhadap kinerja waktu. Lingkup kerja yang tersaring pada tahap ini merupakan lingkup kerja yang berpengaruh
signifikan terhadap kinerja waktu tetapi jarang tercantum pada dokumen kontrak. Metode yang digunakan adalah
statistik deskriptif berdasarkan total bobot pada skala penilaian yang diperoleh setiap lingkup kerja.
Pada tahap ketiga penelitian, dilakukan wawancara terhadap ke-5 responden pakar untuk konfirmasi dan
klarifikasi kuesioner jika diperlukan. Tujuan wawancara terutama untuk mendapatkan masukan dan saran terkait
peran Konsultan MK sesuai lingkup kerjanya pada dokumen kontrak dalam mengurangi risiko keterlambatan
proyek.

Hasil dan Pembahasan


Pada tahap pertama didapatkan 6 lingkup kerja yang mendapat 3 tanda “x” dari keseluruhan 53 standar
lingkup kerja CMAA yang dijadikan acuan. Ke-enam lingkup kerja yang sudah umum tercantum pada dokumen
kontrak tersebut dieliminasi sehingga diperoleh 47 lingkup kerja yang kemudian digunakan dalam kuesioner pada
tahap kedua penelitian.Hasil analisis tahap pertama ditampilkan pada Gambar 2.
Analisis putaran pertama pada tahap kedua ini menghasilkan 13 lingkup kerja yang sudah umum tercantum
dalam dokumen kontrak, sehingga didapatkan 34 lingkup kerja yang akan dianalisis kembali pada putaran kedua.
untuk meneliminasi lingkup kerja yang signifikansi pengaruhnya terhadap kinerja waktu dipandang lebih kecil. Dari
34 lingkup kerja yang tersaring, diperoleh 10 lingkup kerja yang dipandang memiliki pengaruh signifikan terhadap
kinerja waktu, tetapi jarang dicantumkan dalam dokumen kontrak Konsultan MK. Hasil analisis tahap kedua
ditampilkan pada Gambar 3 dan Gambar 4.
Dari 10 lingkup kerja yang diidentifikasi, 3 di antaranya termasukfaktor manajemen proyek yaitu:
manajemen dan prosedur komunikasi tahap konstruksi di lapangan (X.1.3);koordinasi dengan konsultan perencana
terkait disiplin masing-masing (X.1.7); daninformasi kondisi fisik proyek (X.1.10). Satu lingkup kerja
termasukfaktor manajemen waktu yaitu: menentukan dan menyarankan pengaruh change order pada jadwal (X.2.4)
dan2 lingkup kerja termasukfaktor manajemen biaya yaitu: memberikan masukan optimasi waktu dan biaya (studi

275
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

trade-off) untuk berbagai komponen konstruksi (X.3.5); dan kemajuan pembayaran (X.3.6).Satu lingkup kerja
termasukfaktor manajemen sistem informasi yaitu: laporan revisi anggaran proyek konstruksi akibat permintaan
perubahan (X.4.6) dan 3 lingkup kerja termasuk faktor lain-lain (additional services) yaitu: penyidikan, penilaian
atau evaluasi kondisi lapangan, fasilitas, atau peralatan yang berbeda dari apa yang ditunjukkan dalam dokumen
kontrak (X.5.1); layanan yang terkait dengan pengadaan, penyimpanan, pemeliharaan dan pemasangan peralatan,
bahan, perlengkapan dan furnitur yang dipasok/disediakan oleh pemilik (X.5.2); persiapan dan pelayanan sebagai
saksi sehubungan dengan sidang umum atau pribadi atau arbitrase, mediasi atau proses hukum akibat perselisihan
(X.5.16). Ke-sepuluh lingkup kerja teridentifikasi ditampilkan pada Tabel 4.

Gambar 2. Hasil analisis tahap pertama

Gambar 3. Hasil analisis tahap kedua berdasarkan lingkup kerja yang tercantum pada kontrak

276
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Gambar 4. Hasil analisis tahap kedua berdasarkan pengaruh lingkup kerja terhadap kinerja waktu

Tabel 4. Sepuluh lingkup kerja teridentifikasi

Total
No Kode Faktor Mean Median
Bobot

1 X.1.3 Manajemen Proyek (X.1) 24 4.8 5


2 X.3.6 Manajemen Biaya (X.3) 24 4.8 5
3 X.5.1 Lain-Lain / Additional Services (X.5) 24 4.8 5
4 X.1.7 Manajemen Proyek (X.1) 23 4.6 5
5 X.1.10 Manajemen Proyek (X.1) 23 4.6 5
6 X.2.4 Manajemen Waktu (X.2) 23 4.6 5
7 X.3.5 Manajemen Biaya (X.3) 23 4.6 5
8 X.4.6 Manajemen Sistem Informasi (X.4) 23 4.6 5
9 X.5.2 Lain-Lain / Additional Services (X.5) 23 4.6 5
10 X.5.16 Lain-Lain / Additional Services (X.5) 23 4.6 5

Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa sebanyak 34 atau 64.15% dari keseluruhan lingkup
kerja Konsultan MK berdasarkan standar CMAA jarang tercantum dalam dokumen kontrak di Indonesia terutama
pada proyek bangunan gedung bertingkat tinggi di DKI Jakarta. Secara spesifik untuk tiap faktor, lingkup kerja yang
jarang tercantum adalah: 43.75% dari total lingkup kerja pada faktor Manajemen Proyek (X.1);20% dari total
lingkup kerja pada faktor Manajemen Waktu (X.2); 83.3% dari total lingkup kerja pada faktor Manajemen Biaya
(X.3);50% dari total lingkup kerja pada faktor Manajemen Sistem Informasi (X.4); dan 90% dari total lingkup kerja
pada faktor Lain-lain/Additional Services (X.5).
Analisis lebih lanjut menghasilkan kesimpulan bahwa 10 di antara 34 lingkup kerja yang jarang tercantum
pada dokumen kontrak tersebut memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kinerja waktu pelaksanaan konstruksi
bangunan gedung bertingkat tinggi di DKI Jakarta. Sepuluh lingkup kerja tersebut adalah:
1. manajemen dan prosedur komunikasi tahap konstruksi di lapangan (X.1.3);
2. koordinasi dengan konsultan perencana terkait disiplin masing-masing (X.1.7);
3. informasi kondisi fisik proyek (X.1.10);
4. menentukan dan menyarankan pengaruh change order pada jadwal (X.2.4);

277
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

5. memberikan masukan optimasi waktu dan biaya (studi trade-off) untuk Berbagai Komponen Konstruksi
(X.3.5);
6. kemajuan pembayaran (progres payments) (X.3.6);
7. laporan revisi anggaran proyek dan konstruksi akibat permintaan perubahan (X.4.6);
8. penyidikan, penilaian atau evaluasi kondisi lapangan, fasilitas, atau peralatan yang berbeda dari apa yang
ditunjukkan dalam dokumen kontrak (X.5.1);
9. layanan yang terkait dengan pengadaan, penyimpanan, pemeliharaan dan pemasangan peralatan, bahan,
perlengkapan dan furnitur yang dipasok/disediakan oleh pemilik (X.5.2);
10. persiapan dan pelayanan sebagai saksi sehubungan dengan sidang umum atau pribadi atau arbitrase, mediasi
atau proses hukum akibat perselisihan (X.5.16).
Tahap ketiga penelitian yang berupa wawancara pakar menghasilkan beberapa saran untuk peningkatan
kinerja proyek konstruksi bangunan gedung bertingkat tinggi di kemudian harisebagai berikut:
1. layanan tambahan sebaiknya dicantumkan dalam dokumen kontrak Konsultan MK sehingga hak dan kewajiban
para pihak menjadi lebih jelas;
2. kewenangan konsultan MK dalam manajemen biaya seharusnya ditingkatkan karena dari pengalaman di
lapangan, kurangnya kewenangan dalam manajemen biaya akan menigkatkan risiko keterlambatan waktu
konstruksi.
Secara keseluruhan, hasil penelitian dapat dijadikan data awal untuk penelitian lebih lanjut yang melibatkan
lebih banyak responden. Hasil analisis lebih lanjut diharapkan dapat menghasilkan rekomendasi lingkup kerja yang
baik dan tepat dalam dokumen kontrak Konsultan MK untuk meningkatkan kinerja konstruksi bangunan gedung
gedung bertingkat tinggi, khususnya di DKI Jakarta, pada masa mendatang.

Daftar Pustaka
Barrie, Donald S.and Paulson, Boyd C., (1995), “Manajemen Konstruksi Profesional”, ed. 2, trans. Sudinarto,
Erlangga, pp. 18-24
Construction Management Association of America, (2010), “An Owner’s Guide to Construction
Management”,CMAA, pp. 11-13
Ervianto, Wulfram I. , (2005), "Manajemen Proyek konstruksi", Andy Offset, pp. xx-xx
Thomsett, Michael C.,(2010),“The Little Black Book of Project Management”, American Management Association
(AMACOM), pp. 29-33
Tuelah,Joel D.P.,Tjakra,Jeremias,Walangitan,D.R.O., (2014), "Peranan Konsultan Manajemen Konstruksi pada
Tahap Pelaksanaan Proyek Pembangunan: Studi Kasus The Lagoon Taman Sari", Jurnal Tekno Sipil, Vol. 12
(61), pp. 47-53
Wahyu, S., (Juli 2002), "Perlu Dipertanyakan Degradasi CM", Konstruksi, pp. 54-56
_____, (2007), Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 45/PRT/M/2007 tentang Tatacara Pembangunan Gedung
Negara

278
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

IDENTIFIKASI FAKTOR-FAKTOR UTAMA PENYEBAB


KETERLAMBATAN PELAKSANAAN KONSTRUKSI
PROYEK BUDGET HOTEL DI JAKARTA

Lusiana Idawati1, Manlian Ronald A. Simanjuntak2, Fahmi3*


1,2,3
Magister Teknik Sipil, Fakultas Sains & Teknologi, Universitas Pelita Harapan
Menara UPH, Lippo Karawaci, Tangerang 15811 Telp. 021 5460901
Email: fahmi_22doc@yahoo.com

Abstrak

Budget hotel atau hotel ekonomiberbintangduaatautigamakin diminati oleh para pelancong cerdas
(smart traveler), baik mereka yang tergolong business travelers, mereka yang bepergian
berombongan, keluarga yang menikmati liburan, ataupun asosiasi olah raga yang menggelar
pertandingan. Beberapa surveimenunjukkan bahwa tingkat hunian hotel
bintangduadantigamendudukitempattertinggidalambeberapatahunterakhir. Hal inimenarikminat para
investor untukberinvestasipadabudget hoteldanmenyebabkanmaraknyapembangunanbudget
hoteldewasaini di kota-kotabesar di Indonesia, khususnya di Jakarta.Sesuaikonsepbudget hotel yang
mementingkanefisiensitanpamengurangikenyamanan, makapengoperasianhotel
tepatwaktumenjadisangatpentingbagi para investor.
Keterlambatanpenyelesaianproyekakanmengakibatkankerugian yang cukupsignifikan. Hal
inimenjaditantangantersendiridalampelaksanaankonstruksiproyekbudget hotel,
khususnyadalammanajemenwaktuproyek.Penelitianinibertujuanuntukmengetahuifaktor apa saja
dalammanajemenproyekyang dipandang sebagaipenyebabutamaterjadinya keterlambatan
pelaksanaan konstruksi proyek bangunan gedung budgethotel di Jakarta,
sehinggadapatmenjadimasukanbagipengelolaproyekserupauntukmenghindariterjadinyaketerlambatan
yang merugikan. Berdasarkanstudipustakadanwawancara terhadap para operator hotel, diperoleh
40variabelpotensialpenyebabketerlambatan yang tergolong ke dalam 7 faktoryaitu instruksi
perubahan, material, peralatan kerja, biaya, sumberdaya manusia, metode pelaksanaan, dan sosial
budaya daerah. Selanjutnyamelaluimetodepenyebarankuesionerkepada para pakar, teridentifikasi15
variabel utamapenyebabketerlambatanproyekkonstruksibudget hotel di Jakarta.Faktor-faktor yang
dipandang berpengaruh paling signifikan meliputi faktor peralatan kerja, faktor material, dan faktor
biaya.

Kata Kunci : budget hotel; keterlambatan proyek; manajemen konstruksi; manajemen waktu

Pendahuluan
Dalam beberapa tahun terakhir ini terjadi pergeseran kecenderungan dalam industri perhotelan. Jika
sebelumnya hotel yang dianggap bagus adalah hotel yang menyediakan layanan dan fasilitas mewah dan lengkap,
yaitu hotel berbintang 4 ke atas, saat ini semakin banyak pelancong cerdas (smart traveler) yang lebih memilih
layanan profesional dan kenyamanan tanpa harus mengeluarkan biaya terlalu tinggi untuk fasilitas yang tidak
mereka butuhkan. Perkembangan ini ditanggapi oleh para investor dan operator jaringan hotel dengan membangun
lebih banyak budget hotel atau dikenal juga sebagai smart hotel atau economy hotel. Konsep budget hotel adalah
hotel berkelas internasional yang menawarkan kenyamanan dan layanan profesional dengan harga terjangkau, yang
dimungkinkan dengan cara meminimalkan fasilitas yang jarang dinikmati tamu yang umumnya lebih senang
berlama-lama di tempat wisata atau bertemu rekan bisnisnya di luar hotel (Adiati, 2011). Umumnya budget
hoteltergolong klasifikasi hotel berbintang dua atau tiga.
Perkembangan ini juga menyebabkan maraknya pembangunan budget hotel di Indonesia. Di Jakarta sendiri,
Colliers International (2016) mencatat pembangunan 14 budget hotel baru dengan target penyelesaian antara tahun
2016 sampai 2019, seperti ditampilkan pada Tabel 1. Sementara itu, ada 10 hotel di Jakarta yang sudah siap untuk
dioperasikan pada tahun 2016 dan hampir seluruhnya adalah budget hotel, termasuk 4 hotel yang dikelola Amaris, 3
oleh Swiss-Belhotel, dan sisanya dikelola oleh NEO, Harper, dan Ibis (Asdhiana, 2016). Ini menunjukkan tingginya
minat investasi pada budget hotel, yang diharapkan memiliki return of investment lebih cepat. Intiland, perusahaan
pengembang terkemuka yang meluncurkan Whiz Hotel melalui Intiwhiz, menyatakan bahwa dari hasil survei yang

279
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

dilakukan selama dua tahun, okupansi hotel tertinggi adalah hotel bintang dua dan tiga, bukan hotel bintang empat,
apalagi bintang lima (Kusumaputra, 2010).

Tabel 1.Konstruksi budget hotel (Colliers International 2016)

Dalam observasi awal melalui wawancara, terdapat indikasi bahwa paling tidak 10 di antara 14 hotel yang
sedang dibangun tersebut mengalami keterlambatanpada waktu pelaksanaan konstruksi. Keterlambatan ini tentunya
akan menimbulkan kerugian bagi semua pihak, terutama pemilik dan operator hotel, karenahotel tidak dapat
beroperasi sesuai jadwal yang direncanakan. Hal ini tentunya akan memperpanjang waktu pengembalian investasi.
Karena itu, perlu dilakukan penelitian tentang faktor utama penyebab keterlambatan konstruksi proyek budget hotel,
khususnya di Jakarta, agar dapat dijadikan rekomendasi untuk mengurangi risiko keterlambatan pada proyek-proyek
serupa di kemudian hari.

Bahan dan Metode Penelitian


Komar (2014) menjelaskan klasifikasi hotel sebagai berikut: commercial hotel, airport hotel, economy hotel,
suite hotel, residential hotel, casino hotel,dan resorts. Selanjutnya dijelaskan bahwa economy hotelmenekankan pada
kebersihan ruangan dan adanya ruang rapat sebagai kebutuhan mendasar bagi para tamu. Secara umum, kriteria
hotel bintang dua dan tiga antara lain: mempunyai tempat parkir untuk kendaraan roda empat dan roda dua,
memiliki taman, kapasitas parkir untuk setiap enam kamar hotel, terdapat lobi, restoran, bangunan lebih dari empat
lantai mempunyai lift/elevator, kapasitas air 300-500 L/orang/hari, tersedia instalasi air panas, tersedia pembangkit
listrik cadangan dengan kapasitas 50% dari kapasitas PLN, tersedia pencegahan bahaya kebakaran, dan terdapat tata
udara yang baik. Mengingat lokasinya yang umumnya di pusat kotadengan harga lahan yang relatif lebih mahal,
bangunan budget hotel di Jakarta biasanya merupakan bangunan bertingkat, yaitu antara 4 sampai 10 lantai.
Pada bangunan bertingkat yang difungsikan sebagai budget hotel, tahap pelaksanaan konstruksinyameliputi
pekerjaan-pekerjaan sebagai berikut: a) pekerjaan persiapan; b) pekerjaan pondasi; c) pekerjaan struktur atas; d)
pekerjaan finishing atau arsitektur; dan e) pekerjaan mekanikal, elektrikal, dan plumbing. Pekerjaan persiapan dimulai
dari pembersihan lapangan dan perataan permukaan tanah sesuai rencana, penempatan bedeng pekerja dan material,
serta pemagaran. Pekerjaan pondasi meliputisetting out titik acuan bangunan sampai dengan titik pondasi, pemancangan
tiang pondasi, dan pekerjaan pile cap. Pekerjaan struktur atas meliputi pekerjaan kolom, balok, dan pelat.
Pekerjaan finishing atau arsitekturdilakukan setelah pekerjaan struktur selesai dan dinyatakan kuat, terdiri dari pekerjaan
dinding, lantai, plafon, dan pengecatan. Pekerjaan mekanikal, elektrikal dan plumbing umumnya dilakukan bersamaan
dengan pekerjaan arsitektur, meliputi pekerjaan air bersih, air panas, air kotor, hidran, sprinkler, alarm, MATV,sertasound
system.
Kinerja waktu, sebagai salah satu kriteria utama manajemen proyek konstruksi, dapat dibedakan menjadi 3 aspek
yaitu: a) durasi waktu pelaksanaan pekerjaan (time of completion); b) durasi waktu masa pemeliharaan (defect liabilty
period); dan c) durasi-durasi waktu spesifik (biasanya disebut milestone) (Hansen, 2014). Dalam penelitian ini, kinerja
waktu yang diteliti adalah pada aspek yang berkaitan dengan durasi waktu pelaksanaan pekerjaan. Proses penelitian
dijabarkan pada Gambar 1.

280
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Identifikasi faktor-faktor yang dapat menyebabkan keterlambatan proyek diawali dengan kajian pustaka dan
hasil-hasil penelitian terkait sebelumnya. Selanjutnya dilakukan analisis sesuai konteks penelitian ini, yaitu konstruksi
bangunan gedung bertingkat di Jakarta, untuk mendapatkan faktor-faktor yang relevan dengan konteks tersebut. Pada
tahap berikutnya, dilakukan wawancara dengan responden para operator budget hotel dengan tujuan mempertajam
faktor-faktor penyebab keterlambatan proyek konstruksi budget hotel di Jakarta. Hasil yang diharapkan dari tahap ini
adalah teridentifikasinya sejumlah faktor dan variabel yang ditengarai memiliki peran pada keterlambatan konstruksi
budget hotel, khususnya di wilayah Jakarta. Faktor dan variabel tersebut kemudian dicantumkan pada kuesioner yang
digunakan pada tahap selanjutnya, yaitu penelitian pakar.

Permasalahan Penelitian

Maksud dan Tujuan Penelitian

Kajian Pustaka & Hasil Penelitan yang Relevan

Wawancara operator hotel

Pemilihan Faktor-Faktor dan Variabel

Penelitian Pakar

Pemilihan Variabel

Pembahasan Hasil Penelitian

Kesimpulan

Gambar 1. Alur proses penelitian

Pada tahap selanjutnya dilakukan penelitian melalui penyebaran kuesioner dengan responden para pakar, baik
akademisi maupun praktisi. Pemilihan responden dilakukan dengan kriteria memiliki pengalaman dan pemahaman
mendalam terhadap pelaksanaan konstruksi bangunan gedung bertingkat di Jakartadengan kualifikasi budget hotelatau
yang setara.Pada tahap inidilakukanpengukuran persepsi terhadap faktor dan variabel utama yang berpengaruh terhadap
keterlambatan konstruksi budget hotel di Jakarta. Parameter yang digunakan adalah sebagai berikut: STS = Sangat
Tidak Setuju dengan nilai 1; TS = Tidak Setuju dengan nilai 2; AS = Agak Setuju dengan nilai 3; S = Setuju dengan
nilai 4; SS = Sangat Setuju dengan nilai 5.
Pada tahap akhir dilakukan analisis dengan metode statistik deskriptif untuk menentukan faktor dan variabel
yang dipandang paling berpengaruh terhadap keterlambatan konstruksi proyek budget hotel di Jakarta. Pembahasan
terhadap hasil-hasil yang diperoleh dilakukan untuk menetapkan kesimpulan penelitian ini.

Hasil dan Pembahasan


Ramanathan, Chidambaram, dan Idrus (2012)dalam penelitiannya berhasil mengidentifikasi 17 faktor yang
mempengaruhi keterlambatan suatu proyek konstruksi.Faktor-faktor tersebut dijabarkan pada Tabel 2 sebagai berikut:
Tabel 2. Faktor-Faktor yang mempengaruhi keterlambatan proyek konstruksi
1 Finansial (keuangan) 10 Tenaga Kerja
2 Proyek 11 Lingkungan
3 Pemilik 12 Kontrak
4 Kontraktor 13 Hubungan kontraktual
5 Konsultan 14 Eksternal (luar)
6 Perencana 15 Perubahan
7 Koordinasi 16 Penjadwalan dan kontrol
8 Material 17 Hubungan pemerintah
9 Pabrik / Peralatan

Messah, Widodo, dan Adoe (2013) dalam kajiannya terhadap penyebab keterlambatan pelaksanaan proyek
konstruksi gedung di Kupangmenemukan bahwa bagi kontraktor, faktor utama penyebab keterlambatan adalah
ketersediaan tenaga kerja. Sedangkan bagi pemilik dan konsultan pengawas, faktor utama penyebab keterlambatan
adalah mobilisasi material. Adapun Simanjuntak dan Firmansyah (2014) dalam penelitiannya terhadap waktu

281
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

pelaksanaan konstruksi bangunan gedung pemerintahan di wilayah Serang, Banten, mengidentifikasi faktor-faktor
utama yang mempengaruhi keterlambatan proyek sebagai berikut: a) material; b) peralatan; c) biaya; d) sumber daya
manusia; dan e) metode pelaksanaan.Asmarantaka (2014) dalam penelitiannya terhadap konstruksi proyek Hotel
Batiqa Palembang menetapkan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja waktu dan mutu sebagai berikut: a) faktor
bahan (material); b) faktor peralatan; c) faktor keuangan; d) faktor lingkungan dan masyarakat; e) faktor tenaga
kerja; f) faktor perencanaan; dan g) faktor manajemen.
Pada tahap berikutnya dilakukan wawancara dengan pihak operator budget hotel di Jakarta. Hasil wawancara
mengenai faktor penyebab keterlambatan konstruksi proyek budget hotel di Jakarta berdasarkan pengalaman
operator hotel dapat dirumuskansebagai berikut: a) instruksi perubahan;b) material;c) peralatan kerja; d) biaya; e)
sumber daya manusia; f) metode pelaksanaan; dang) sosial budaya.
Hasil yang diperoleh pada tahap literatur dan wawancara kemudian dirangkum dan dikelompokkan
berdasarkan relevansi dan klasifikasinya untuk mendapatkan faktor dan variabel yang ditengarai berpengaruh
terhadap keterlambatan konstruksi proyek budget hotel di Jakarta. Faktor dan variabel tersebut diuraikan dalam
Tabel 3 di bawah.

Tabel 3. Faktor dan variabel yang ditengarai menyebabkan keterlambatan proyek budget hoteldi Jakarta
No Faktor Variabel
1 Instruksi 1.1 Perubahan desain oleh pemilik
Perubahan 1.2 Perubahan desain oleh perencana
1.3 Kondisi tanah di proyek
1.4 Kesalahan dalam penyelidikan tanah
1.5 Kondisi permukaan air di lahan
1.6 Masalah komposisi susunan lapisan tanah
1.7 Kesalahan yang terjadi selama proses konstruksi oleh kontraktor yang mengakibatkan
perubahan desain
1.8 Perubahan tipe dan spesifikasi material
2 Material 2.1 Kekurangan material
2.2 Proses pengadaan material yang terlambat
2.3 Terlambat dalam pengiriman material (hubungan dengan transportasi)
2.4 Kerusakan material dalam penyimpanandi proyek
2.5 Keterlambatan material dalam fabrikasi khusus dari luar negeri (import)
2.6 Kualitas material tidak baik
2.7 Kenaikan harga
2.8 Kesulitan dalam memperoleh harga resmi dari pemasok material
2.9 Kesulitan dalam pemasangan material tertentu
3 Peralatan 3.1 Kerusakan atau kegagalan peralatan kerja
Kerja 3.2 Kekurangan penyediaan peralatan kerja
3.3 Terlambatnya pengiriman peralatan
3.4 Kurangnya produktivitas peralatan
4 Biaya 4.1 Keterlambatan pembayaran untuk penyelesaian pekerjaan dari pemilik
4.2 Kesulitan keuangan kontraktor
4.3 Inflasi mata uang
4.4 Kesulitan keuangan pemilik
4.5 Fluktuasi harga barang atau material
5 Sumber Daya 5.1 Kekurangan ketersediaan tenaga kerja
Manusia 5.2 Kemampuan buruh terkait produktivitas
5.3 Asal daerah buruh
5.4 Tidak mahirnya operator peralatan
5.5 Kekurangan personel teknik, manajemen, dan pengawasan dari kontraktor
5.6 Kekurangan personel teknik, manajemen, dan pengawasan dari perencana (konsultan)
5.7 Pengalaman personel kontraktor yang tidak mencukupi
5.8 Kerja lembur yang berlebihan
6 Metode 6.1 Teknologi yang tertinggal
Pelaksanaan 6.2 Ketidakmampuan tim proyek kontraktor dalam menentukan atau menerapkan metode
pelaksanaan
7 Sosial Budaya 7.1 Permasalahan dengan tetangga sekitar
Daerah 7.2 Praktik penipuan dan suap
7.3 Perizinan dari pemerintah setempat
7.4 Panjangnya birokrasi yang berlebihan dan operasional pemerintah

282
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Hasil yang diperoleh dari tinjauan literatur dan wawancara, yaitu berupa 7 (tujuh) faktor dengan total 40
(empat puluh) variabel selanjutnya dituangkan dalam bentuk kuesioner yang digunakan pada tahap berikutnya, yaitu
penelitian pakar. Penyebaran kuesioner dilakukan dengan responden 5 (lima) orang pakar yang memiliki kualifikasi
dalam proyek konstruksi bangunan gedung bertingkat di Jakarta dengan kualifikasi budget hotel atau yang setara.
Pakar memiliki latar belakang sebagai akademisi (2 orang) dan praktisi (3 orang).Untuk setiap variabel dihitung
total nilai yang diberikan berdasarkan persepsi pakar, dengan kemungkinan range antara 5 (semua pakar Sangat
Tidak Setuju) sampai 25 (semua pakar Sangat Setuju). Hasil yang diperoleh ditabulasi sebagaimana ditampilkan
pada Gambar 2.

Gambar 2.Hasilpenelitian pakar

Analisis selanjutnya dilakukan dengan mengelompokkan variabel berdasarkan total nilai yang diperoleh
dengan kategori sebagai berikut: nilai 5 ≤ X< 9 adalah Sangat Tidak Setuju;nilai 9 ≤ X < 13 adalah Tidak
Setuju;nilai 13 ≤ X < 17 adalah Agak Setuju;nilai 17 ≤ X < 21 adalah Setuju; dannilai 21 ≤ X ≤ 25 adalah Sangat
Setuju. Pengelompokan dilakukan dengan menggunakan metode quartildengan 5 rentang nilai.Skala pengelompokan
variabel ditunjukkan pada Gambar 3.

5≤X<9 21 ≤ X ≤ 25
13 ≤ X < 17
9 ≤ X < 13 17 ≤ X < 21

Gambar 3.Pengelompokan faktor dan variabel

Pada tahap selanjutnya dilakukan seleksi variabel untuk mendapatkan variabel yang paling signifikan
pengaruhnya terhadap keterlambatan konstruksi. Seleksi dilakukan dengan cara menghilangkan variabel-variabel
yang dalam persepsi pakar dapat dikategorikan sebagai kurang signifikan, yaitu variabel-variabel pada kategori
Sangat Tidak Setuju, Tidak Setuju, Agak Setuju, dan Setuju. Dengan demikian hanya variabel-variabel pada
kategori Sangat Setuju, yaitu yang berada pada rentang nilai 21 ≤ X ≤ 25 yang masuk dalam seleksi, yaitu yang
dipandang memiliki pengaruh signifikan terhadap keterlambatan konstruksi proyek budget hotel di Jakarta. Hasil
seleksi menunjukkan adanya 15(lima belas) variabel atau 37,5%(tiga puluh tujuh koma lima persen) dari total 40

283
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

(empat puluh) variabel yang dipandang berpengaruh signifikan terhadap keterlambatan konstruksi, yang tersebar ke
dalam 7(tujuh) faktor, yaitu: 1) faktor instruksi perubahan teridiri dari 2 variabel; 2) faktor material 3 variabel; 3)
faktor peralatan kerja 4 variabel; 4) faktor biaya 3 variabel; 5) faktor sumber daya manusia 1 variabel; 6) faktor
metode pelaksanaan 1 variabel; dan 7) faktor sosial budaya daerah 1 variabel.
Faktor instruksi perubahan(berturut-turut dari nilai yang lebih besar) terdiri dari variabel 1.2 Perubahan
desain oleh perencana dan1.1 Perubahan desain oleh pemilik. Dengan demikian, dari 8 (delapan) variabel
teridentifikasi 2 (dua) variabel atau 25%(dua puluh lima persen) yang dipandang memiliki pengaruh
signifikan.Faktor materialmeliputi variabel 2.3 Terlambat dalam pengiriman material (hubungan dengan
transportasi), 2.6 Kualitas material tidak baik, dan 2.2 Proses pengadaan material yang terlambat. Dari 9 (sembilan)
variabel pada faktor ini, terdapat 3 (tiga) variabel atau 33,3%(tiga puluh tiga koma tiga persen) yang dipandang
berpengaruh signifikan.
Faktor peralatan kerjameliputi variabel 3.1 Kerusakan atau kegagalan peralatan kerja, 3.2 Kekurangan
penyediaan peralatan kerja, 3.3 Terlambatnya pengiriman peralatan, dan 3.4 Kurangnya produktivitas peralatan dari
yang diharapkan. Dengan demikian dari keseluruhan 4 (empat) variabel, teridentifikasi 4 (empat) variabel atau
100%(seratus persen) yang dipandang berpengaruh signifikan.Faktor biayameliputi variabel 4.4 Kesulitan keuangan
bagi pemilik, 4.1 Keterlambatan pembayaran untuk penyelesaian pekerjaan dari pemilik, dan 4.2 kesulitan
keuangan kontraktor. Dari total 5 (lima) variabel, teridentifikasi 3 (tiga) variabel atau 60%(enam puluh persen) yang
dianggap memiliki pengaruh signifikan terhadap keterlambatan.
Faktor sumber daya manusiamencakup variabel 5.1 Kekurangan ketersediaan tenaga kerja. Dari 8 (delapan)
variabel teridentifikasi 1 (satu) variabel atau 12,5%(dua belas koma lima persen) yang dipandang signifikan.Faktor
metode pelaksanaanmencakup variabel 6.2Ketidakmampuan tim proyek kontraktor dalam menentukan atau
menerapkan metode pelaksanaan. Variabel teridentifikasi ini adalah 1 (satu) dari 2 (dua) variabel pada faktor
tersebut, atau 50% (lima puluh persen). Faktor sosial budaya daerahmencakup variabel 7.3 Perizinan dari
pemerintah setempat. Dari 4 (empat) variabel pada faktor ini, teridentifikasi 1 (satu) variabel atau 25%(dua puluh
lima persen) yang dipandang berpengaruh signifikan terhadap keterlambatan.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor penyebab keterlambatan konstruksi
proyek budget hotel di Jakarta berturut-turut adalah sebagai berikut: 1) faktor peralatan kerja, dengan 4 (empat)
variabel atau 26,67%(dua puluh enam koma enam puluh tujuh persen) dari total 15 (lima belas) variabel
teridentifikasi; 2) faktor material yang terdiri dari 3 (tiga) variabel atau 20% (dua puluh persen); 3) faktor biaya
terdiri dari 3 (tiga) variabel atau 20%(dua puluh persen); 4) Faktor instruksi perubahan dengan 2 (dua) variabel atau
13,33% (tiga belas koma tiga puluh tiga); 5) faktor sumber daya manusia, metode pelaksanaan, dan sosial budaya
daerah masing-masing dengan 1 (satu) variabel atau 6,67%(enam koma enam puluh tujuh persen) dari total variabel
teridentifikasi.
Faktor peralatan kerja dan faktor biaya juga teridentifikasi sebagai faktor utama penyebab keterlambatan, jika
ditilik dari persentase variabel pada masing-masing faktor yang dipandang signifikan, yaitu 100% (seratus persen)
variabel pada faktor peralatan kerja dan 60% (enam puluh persen) variabel pada faktor biaya. Kedua faktor tersebut
diikuti oleh faktor metode pelaksanaan sebesar 50% (lima puluh persen), faktor material 33,3% (tiga puluh tiga
koma tiga persen), faktor instruksi perubahan dan faktor sosial budaya daerah masing-masing 25% (dua puluh lima
persen), dan faktor sumber daya manusia 12,5% (dua belas koma lima persen).
Dengan demikian rekomendasi yang dapat diberikan kepada para pengelola proyek konstruksi serupa di
kemudian hari, baik pemilik proyek, konsultan manajemen konstruksi, ataupun kontraktor, adalah untuk lebih
memperhatikan faktor peralatan kerja. Kerusakan, kekurangan, keterlambatan, ataupun kurangnya produktivitas
peralatan kerja dapat berpengaruh buruk terhadap kinerja waktu proyek. Apabila faktor peralatan kerja dapat
dikelola dengan baik, diharapkan dapat mengurangi risiko keterlambatan proyek.
Disamping faktor peralatan kerja, faktor material dan faktor biaya juga memiliki pengaruh signifikan
terhadap keterlambatan konstruksi. Dengan memberikan perhatian lebih terhadap faktor material, khususnya
mencegah keterlambatan proses dan pengadaan, serta menjaga kualitas material secara lebih ketat, diharapkan
keterlambatan konstruksi dapat dikurangi. Demikian pula dengan faktor biaya, karena adanya masalah keuangan,
baik pada pemilik proyek maupun kontraktor, akan berpengaruh terhadap kinerja waktu proyek dan bukan tidak
mungkin menyebabkan keterlambatan konstruksi yang pada akhirnya akan semakin menyebabkan kerugian bagi
para pihak.
Untuk mendapatkan hasil identifikasi yang lebih tepat lagi, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan
melakukan penyebaran kuesioner terhadap para pengelola konstruksi proyek budget hotel di Jakarta. Dalam
kuesioner yang akan digunakan, selain 15 (lima belas) variabel yang termasuk kategori Sangat Setuju di atas akan
dimasukkan juga 16 (enam belas) variabel yang termasuk kategori Setuju atau berada pada rentang nilai 17 ≤ X <
21. Dengan demikian terdapat 31 (tiga puluh satu) variabel yang dikelompokkan ke dalam 7 (tujuh) faktor yang

284
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

akan digunakan sebagai variabel bebas pada penelitian selanjutnya, sedangkan variabel terikat adalah kinerja waktu
pelaksanaan konstruksi proyek budget hotel di Jakarta.
Dengan adanya penelitian lanjutan tersebut, diharapkan dapat diperoleh kesimpulan yang lebih rinci dan
saran yang lebih komprehensif. Dengan demikian para pengelola proyek konstruksi budget hotel di Jakarta di
kemudian hari dapat memperoleh manfaat dengan mencegah terjadinya keterlambatan konstruksi pada tahap
pelaksanaan proyek.

Daftar Pustaka
Colliers International Indonesia, (2016), “Research & Forecast report” – Q1 2016 Hotel, Colliers International,pp.
4-6
Adiati,Maria Pia,(2011), “Overview Smart Hotel di Indonesia yang Merupakan Trend Baru dalam Industri
Perhotelan”, Binus Business Review, Vol. 2 (2), pp. 619-626
Asdhiana, I Made (ed.), (2016), “Mau Tahu Hotel-hotel Baru Tahun 2016?”, kompas.com, 22 Januari 2016.
Asmarantaka, Nadya Safira, (2014), “Analisis Risiko yang Berpengaruh terhadap Kinerja Proyek pada
Pembangunan Hotel Batiqa Palembang”, Jurnal Teknik Sipil dan Lingkungan, Vol. 2 no 3, pp. 483-491
Hansen, Seng, (2014) “Manajemen Kontrak Konstruksi”, PT Gramedia Pustaka Utama, pp. 111-160
Komar, Richard, (2014), “Hotel Management”, PT Gramedia Widiasarana Indonesia, pp. 117-308
Kusumaputra, Robert Adhi, (2010), “Ramai-ramai Bangun Budget Hotel”, kompas.com, 20 Agustus 2010.
Messah,YunitaAfliana, Widodo,Theodorus, dan Adoe, Marisya L., (2013), “Kajian
PenyebabKeterlambatanPelaksanaanProyekKonstruksiGedung di Kota Kupang”, Jurnal Teknik Sipil, Vol. II
No 2, pp. 157-168
Simanjuntak,Manlian Ronald. A. dan Firmansyah,Imam, (2014), “ Rekomendasi Hasil Analisis Waktu Pelaksanaan
Konstruksi Bangunan Gedung Pemerintahan di Lingkungan Kota Serang Provinsi Banten”, Jurnal Ilmiah
Media Enggineering, Vol. 4 no 4, pp. 219-228
Ramanathan, Chidambaram, Narayanan. SP dan Idrus, Arazi. B., (2012), “Construction Delays Causing Risk on
Time and Cost – a Critical Review”, Australian Journal of Construction Economics and Building, 12 (1), pp
37-57

285
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

LASEM HERITAGE CENTER SEBAGAI UPAYA PELESTARIAN


KAWASAN HERITAGE DI LASEM

Esnan Pramono1 dan Dhani Mutiari2


1,2
Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Surakarta
Jl. A. Yani Tromol Pos 1 Pabelan Kartasura 57102 Telp 0271 717417
Email : esnanpramono50@gmail.com; dhani.mutiari@yahoo.com

Abstrak

Lasem merupakan kota di pesisir pantai utara Jawa yang kaya dengan beragam budaya dan etnis.
Masyarakat yang multicultural menyebabkan beragamnya kebudayaan akibat persilangan budaya itu
sendiri, sehingga Kota Lasem memiliki beragam warisan budaya, sejarah, seni, dan arsitektur. Dalam
perkembangannya di Kota Lasem belum terlihat kemajuan pengelolaan potensi tersebut. Kota Lasem
sebagai kawasan heritage sangat potensial, terlihat dengan adanya bukti pendataan oleh Program
Penataan dan Pelestarian Kota Pusaka (P3KP) Kabupaten Rembang dengan ditemukannya beragam
warisan budaya. Selain itu pemerintah Kabupaten Rembang dalam RUTRK juga telah mencantumkan
pengelolaan Kota Lasem sebagai kawasan cagar budaya dan kota pusaka. Melihat potensi heritage
kota Lasem, maka perlu adanya pengelolaan potensi-potensi yang ada di Lasem. Permasalahannya
adalah bagaimanakah wujud pengelolaan yang paling efektif yang dapat digunakan untuk proses
pelestarian heritage di Lasem.
Pengetahuan tentang sejarah dan budaya masyarakat multiculture di Kota Lasem yang terdiri atas
kebudayaan masyarakat Cina dan masyarakat Jawa Islam beserta alkulturasinya menjadi dasar
dalam konsep perencanaan. Pemahaman tentang wadah yang dapat digunakan sebagai pusat
aktifitas secara tangible dan intangible bagi masyarakat atau komunitas penggiat pelestarian
heritage. Kedua background knowledge ini menjadi dasar literature di dalam menyelesaikan
masalah.
Metode yang digunakan adalah diskripsi kualitatif untuk menemukan konsep perencanaan dan sintesa
sebagai langkah mengintegrasikan informasi. Kedua proses dilakukan sampai akhirnya menemukan
bahwa perlu mengembangkan dan memperkenalkan kota Lasem kepada masyarakat luas salah
satunya dengan membuat wadah yang berupa Lasem Heritage Center yaitu pusat warisan budaya
yang mewadahi peninggalan kebudayaan dan sejarah kota Lasem. Pengelolaan dari gedung ini
melibatkan komunitas-komunitas yang ada di Lasem. Konsep desain bangunan berlanggam etnik
kontemporer yaitu dengan tujuan untuk mengangkat arsitektur etnik tradisional di Lasem dalam
desain yang modern.

Kata kunci : Lasem; Heritage Center; Arsitektur; Etnik Kontemporer

PENDAHULUAN
Kecamatan Lasem memiliki beragam budaya dari peninggalan 3 etnik yaitu Islam, Tionghoa, dan Jawa.
Ketiga etnik ini hidup bermasyarakat dalam satu kawasan dan saling bertoleransi, sehingga tercipta kerukunan dan
akulturasi kebudayaan. Alkulturasi Kebudayaan ini terlihat pada bentuk arsitektur Klenteng Cu An Kiong yang di
bangun pada abad ke-15, Masjid Ja’mi Lasem di bangun pada tahun 1588 dan Kawasan Tionghoa.
Perlindungan terhadap benda cagar budaya di Lasem sampai saat ini belum ditetapkan oleh pemerintah
setempat, demikian juga perlindungan untuk dikonservasi. Berbagai penemuan benda cagar budaya membuat
sejarawan mengusulkan Lasem ditetapkan sebagai kota cagar budaya. Sedangkan komunitas yang bergerak di
bidang wisata menggagas konsep Lasem kota pusaka dunia. Berbagai rencana telah dilakukan untuk pengembangan
Lasem, termasuk dalam rencana umum tata ruang kota (RUTRK) Kabupaten Rembang yang dalam program
utamanya merencanakan pembangunan pusat kebudayaan di Kecamatan Rembang dan Kecamatan Lasem pada
tahun pelaksanaan 2015 tetapi belum terealisasikan. aProgram utama lainnya adalah pengembangan nilai budaya,
pengelolaan kekayaan budaya, dan pengelolaan keragaman budaya di Kecamatan Lasem di antaranya berupa
Petilasan dan Makam Sunan Bonang, Pasujudan dan Makam Putri Cempa, Bukit Jejeruk dan Makam Sultan
Mahmud, Situs Goa dan Batu Prasasti Kajar, Masjid Jami' Makam Adipati Tejokusumo I dan Mbah Sambu,
Klenteng Mak Co Thian Siang Sing Bo Dasun, Klenteng Poo An Bio Karangturi, Galangan Kapal Dasun, Makam

285
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

R.Panji Margono Dorokandang, Makam Nyi Ageng Maloka di Caruban Desa Gedongmulyo, Makam Sayid
Abubakar atau Panti Puspo di Caruban. (RUTRK Kabupaten Rembang tahun 2011-2031).
Melihat berbagai permasalahan tersebut, maka perlu dibuat wadah “Lasem Heritage Center” sebagai pusat
warisan budaya yang mewadahi peninggalan kebudayaan dan sejarah kota Lasem. Berdasarkan uraian diatas maka
permasalahan awal dalam perencanaan dan perancangan Lasem Heritage Center adalah sebagai berikut :
1. Fasilitas apa sajakah yang dapat memenuhi kebutuhan sebagai Lasem Heritage Center agar dapat menjadi pusat
warisan budaya yang mewadahi peninggalan kebudayaan dan sejarah kota Lasem sekaligus memeiliki peran
pelestarian kawasan di sekitarnya?
2. Bagaimanakah bentuk bangunan “Lasem Heritage Center “ yang dapat mengintegrasikan ke multiculturan di
Lasem ?

LITERATURE
Pengertian Heritage Center
Definisi “heritage” menurut UNESCO (United Nations Educational, Scientific and cultural Organization)
yaitu sebagai warisan budaya pada masa lalu yang sekarang di jalani oleh manusia dan diteruskan kepada generasi
mendatang. Heritage Center secara luas memiliki arti bahwa pusat warisan budaya yang mewadahi peninggalan
pusaka budaya dalam satu tempat dan menjadi pusat perhatian bagi manusia. Menurut Cahyono(2002 dalam
rachmitayeni.blogspot.co.id, 2016 ) terdapat 3 fungsi Heritage Center yaitu : Pameran, Studi dan Wisata. Fungsi
pameran memiliki tujuan untuk apresiasi, edukasi, rekreasi dan prestasi.

Multiculture, alkulturasi dan sinkretisme


Multiculturalisme mencakup gagasan, cara pandang, kebijakan, penyikapan, dan tindakan, oleh masyarakat
suatu Negara, yang majemuk dari segi etnis, budaya, agama dan sebagainya, namun mempunyai cita-cita untuk
mengembangkan semangat kebangsaan yang sama dan mempunyai kebanggaan untuk mempertahankan
kemajemukan tersebut (A.Rifai Harahap, 2007, mengutip M.atho Muzhar dalam Wikipedia Indonesia, ensiklopedia
bebas, 2016). Konsepsi dalam arsitektur dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya yang di manifestasikan ke dalam wujud
arsitektur. Masyarakat yang multicultural memicu beragamnya kebudayaan akibat dari persilangan budaya itu
sendiri.(F.Christian.J.Sinar Tanudjaja,1992). Secara singkat akulturasi dapat didefinisikan bersatunya dua
kebudayaan atau lebih sehingga membentuk kebudayaan baru tanpa menghilangkan unsur kebudayaan asli (Erika,
2007). Sinkretisme dalam kehidupan masyarakat merupakan perpaduan, percampuran, dan penyelarasan dua
keyakinan atau lebih. Hasil sinkretisme dapat membentuk keyakinan baru atau menomorsatukan keyakinan yang
dianggap paling benar. Adapun sinkretisme itu sendiri tidak terlepas dari kenisbian dan bersifat divergen. Dengan
kata lain, sinkretik yang terjadi dalam masyarakat Jawa bersifat longgar, adaptif, dan akomodatif (Ashadi, 2013 dan
Turita Indah Setyani, 2011).

Budaya China atau Thiong Hoa


Keseimbangan dan harmoni merupakan ajaran pokok dalam filsafat China yang di kenal dengan istilah Ying-
Yang (keseimbangan) (gambar : 1). Selain Ying Yang terdapat juga simbol yang lain yang sering digunakan yaitu
bunga Lotus atau teratai. Bunga teratai memiliki makna simbol kesucian dan kesempurnaan yaitu dengan dasar,
bunga teratai tumbuh di atas lumpur tetapi tidak pernah kotor. Penggunaan simbol-simbol tersebut memiliki makna
filosofi tertentu dan sudah terjadi akulturasi maupun sinkretisme di Lasem, mengingat kondisi masyarakat yang
multicultural (Ornamentasi pada Bangunan Bersejarah Kebudayaan Islam dan Tionghoa di Lasem, Esnan, 2015).
Dalam filsafat Tionghoa bahwa kehidupan ini dijabarkan seperti mata angin dengan berpusat di tengah dan memiliki
makna tersendiri. Kostof, 1995 (dalam Dhani Mutiari, 2010) menjabarkan bahwa bagian selatan digunakan untuk
tempat ibadah, utara digunakan untuk komersial, timur dan barat untuk pertanian, dan tengah sebagai pusat
kekuasaan.

Gambar 1 : Yin dan Yang


(Sumber : Hidajat, 1993 Hal. 16, dalam Dhani Mutiari, 2010)

286
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

METODE PENELITIAN
Metode yang dilakukan adalah:
1. Proses pencarian data dengan cara observasi, wawancara dan studi banding.
2. Proses analisis untuk kebutuhan problem solving dalam proses perancangan bangunan yang meliputi:
a. Analisa lokasi dan site
b. Analisa Ruang
c. Analisa Bentuk
Dengan dasar analisis dari pencarian data dan studi literatur
3. Proses sintesa yaitu dengan mengintegrasikan hasil analisa yang berupa konsep menjadi sebuah disain yang
berupa:
a. Site Plan
b. Denah
c. Tampak
d. Tiga dimensi

HASIL DAN PEMBAHASAN


Gagasan Perancangan
Lasem merupakan kota di pantai pesisir jawa yang sangat erat dengan peristiwa sejarah dan peninggalan
kebudayaan. Warisan budaya di kota Lasem begitu menarik dan kaya akan nilai seni dan sejarah. Tetapi dari
warisan budaya tersebut belum adanya perlindungan dan konservasi yang semestinya. Sehingga perlu adanya tempat
untuk mewadahi hal tersebut. Bertolak pada kekayaan warisan budaya di kota Lasem, maka perlu diajukan sebagai
kota pusaka. Beragam warisan budaya di kota Lasem, berpotensi untuk dikembangkan salah satunya adalah dengan
membuat Lasem Heritage Center (LHC) yaitu pusat warisan budaya kota Lasem.
Perencanaan Lasem Heritage Center (LHC) menggagas sebuah desain yang berfungsi sebagai pusat
informasi sejarah Lasem, kegiatan pelestaraian warisan budaya serta kegiatan wisata. Lasem Heritage Center
mewadahi arsip sejarah kota Lasem, sejarah kota Lasem, dan peninggalan benda-benda bersejerah. Dengan adanya
Lasem Heritage Center diharapkan dapat memperkenalkan kota Lasem sebagai kota pusaka serta meningkatkan
perekonomian masyarakat Lasem.

Fungsi, Tujuan dan Peranan Perencanaan Lasem Heritage Center


Perancangan Lasem Heritage Center mempunyai fungsi sebagai berikut :
a. Pusat informasi, memberikan informasi kepada masyarakat tentang sejarah dan peninggalan kota Lasem
b. Wisata, sebagai tempat refresing, berkunjung dalam rangka menghibur diri dan bersenang-senang.
c. Pendidikan, memberi pengetahuan warisan budaya di Lasem serta sejarah kota Lasem.
d. Pameran, memamerkan benda-benda arsip sejarah peninggalan kota Lasem.
e. Seminar, sebagai kegiatan mengemukakan teori tentang warisan budaya di Lasem serta kegiatan pelestarian dan
pengembangan.
f. Pertunjukan seni, memberikan hiburan dan pengetahuan tentang warisan budaya seni di Lasem.
Tujuan perencanaan “Lasem Heritage Center” meliputi :
a. Menjadikan “Lasem Heritage Center” sebagai wisata yang edukatif dan informatif kepada masyarakat.
b. Merancang bangunan dengan gaya etnik kontemporer yang memadukan kebudayaan di Lasem sebagai metafora
dalam perancangan desain.
Lasem Heritage Center (LHC) mempunyai peranan sebagai berikut :
a. Sebagai upaya melestarikan warisan budaya di kota Lasem.
b. Mengenalkan kota Lasem sebagai kota pusaka dan wisata.
c. Memfasilitasi pusat informasi dan wisata edukatif kepada masyarakat Lasem dan wisatawan.

Pelaku dan Kegiatan yang Diwadahi


Pelaku dan kegiatan yang diwadahi dalam perencanaan Lasem Heritage Center (LHC) adalah sebagai
berikut :
a. Pengunjung
Jumlah wisatawan di Kabupaten Rembang pada tahun 2014 993.363 orang setahun, dengan rata-rata
kunjungan setiap objek wisata 248.340 orang pertahun. Sehingga per hari wisatawan berkunjung pada objek wisata
rata-rata 680 orang. Dengan demikian jumlah pengunjung Lasem Heritage Center (LHC) dalam sehari diperkirakan
berjumlah 700 orang. Sasaran utama pengunjung adalah dari luar daerah dengan asumsi 70% sedangkan dalam

287
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

daerah 30% dengan pertimbangan rata-rata jumlah wisatawan di Kabupaten Rembang berasal dari luar daerah.
Analisa kegiatan pengunjung adalah sebagai berikut :

Tabel 1. Analisa Kegiatan Pengunjung


No. Pengunjung Kegiatan Kebutuhan Ruang
1. Wisatawan • Mencari informasi sejarah kota • Ruang Informasi
Lasem. • Ruang Pameran
• Melihat pameran • Ruang Pertunjukan /theater
• Melihat pertunjukan • Cavetaria
• Melakukan aktifitas wisata, • Lavatory
berfoto, makan-minum,
bersantai, Toilet/WC.
2. Pelajar/Mahasiswa • Study Tour • Perpustakaan
• Berkunjung ke perpustakaan • Ruang seminar
• Melakukan diskusi/seminar
• Melakukan aktifitas wisata
3. Komunitas • Melakukan study banding • Ruang Penelitian
• Menggali informasi • Ruang Informasi
• Acara undangan/event • Ruang seminar dan diskusi
• Melakukan diskusi/seminar

b. Pengelola
Jumlah pengelola Lasem Heritage Center (LHC) merupakan semua staf yang terlibat dalam managemen
berjalannya kegiatan. Jumlah pengelola dapat dijelaskan sebagai berikut :

Tabel 2. Analisa Kegiatan Pengelola


No. Pengelola Pelaku Kebutuhan Ruang
1. Ketua/Pemilik Ruang Direktur dan
Direktur
Wakil ketua wakil
2. Sub bidang tata Sekretaris Ruang Tata Usaha
usaha Wakil sekretaris
Staff administrasi
Humas/informasi
3. Seksi edukasi Kabag perpustakaan Ruang Pengelola
Staff perpustakaan Edukasi
Staff Seminar
guide
4. Seksi pameran Kabag pameran Ruang Pengelola
dan koleksi Staff pameran Pameran dan koleksi
kurator
Staff koleksi dan perawatan
Staff receptionist
5. Seksi hiburan Kabag pertunjukan Ruang pengelola hiburan
6. Seksi Operasional Kepala operasional Ruang pengelola
Staff mekanikal & elektrikal operasional
Cleaning service
7. Seksi keamanan Kepala keamanan Ruang Keamanan
Staff keamanan
Security/ keamanan gedung
Security/ keamanan pameran
Ticketing Parkir

288
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

c. Komunitas
Komunitas merupakan pengisi dan pelaku jalannya kegiatan Lasem Heritage Center (LHC) yang terdiri dari
komunitas-komunitas yang ada di kota Lasem. Komunitas tersebut dikelompokan berdasarkan visi dan misinya.
Analisanya adalah sebagai berikut :

Tabel 3. Analisa Kegiatan Komunitas


No. Komunitas Bidang Kegiatan/Fokus Kebutuhan Ruang
1. Seni & Budaya Komunitas tari R. Komunitas Tari
Komunitas opera R. Komunitas Opera
Batik R. Komunitas Batik
2. Sejarah Penelitian sejarah R. Komunitas Sejarah
3. Bangunan Konservasi bangunan & R. Komunitas Konservasi
penelitian Bangunan
4. Pariwisata Pengembangan wisata & Guide R. Pengembangan wisata
dan guide
d. Penyewa
Penyewa dalam hal ini adalah pengusaha yang menggunakan fasilitas –fasilitas untuk kegiatan usaha yang
disediakan oleh managemen Lasem Heritage Center (LHC). Analisa jumlah penyewa adalah sebagai berikut :

Tabel 4. Analisa Kegiatan Penyewa


No. Jenis Retail Kegiatan Kebutuhan Ruang
1. Tenant Makan, minum Cavetaria
2. Kerajinan/oleh-oleh Belanja, melihat-lihat Toko Kerajinan dan sovenir
3. ATM center Transaksi, pengambilan uang ATM center

Fasilitas Ruang yang dibutuhkan


Dari analisa pelaku dan kegiatan diatas maka dapat disimpulkan bahwa fasilitas yang dibutuhkan pada
bangunan Lasem Heritage Center dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 5. Fasilitas Ruang yang dibutuhkan


No. Kelompok Ruang Jenis Ruang
1. Kegiatan Utama Ruang Pameran/Exhibition Ruang Pameran Tetap
Ruang Pameran Temporer
Ruang Komunitas R. Komunitas Tari
R. Komunitas Opera
R. Komunitas Batik
R. Komunitas Sejarah
R. Komunitas Konservasi
Bangunan
R. Pengembangan wisata dan
guide
Ruang Penelitian Laboratorium
Ruang Seminar dan diskusi Auditorium
Ruang Meeting
Ruang pertunjukan Amphitheater
2 Pengelola Ruang Direktur dan wakil
Ruang Tata Usaha
Ruang Pengelola Edukasi
Ruang Pengelola Pameran dan koleksi
Ruang pengelola hiburan
Ruang pengelola operasional
Ruang Keamanan

289
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

No. Kelompok Ruang Jenis Ruang


Ruang Informasi
Ticketing
3 Fasilitas Penunjang Cavetaria
Toko Kerajinan dan sovenir
ATM center
Mushola/masjid
4 Servis Lavatori
Keamanan
MEE

Gambar 2: Organisasi Ruang LHC

Konsep Tampilan Bangunan


Konsep Massa
Ornamentasi pada bangunan heritage di Lasem mempunyai bentuk dasar yang sama yaitu bunga teratai
(Lotus). Bunga teratai memiliki makna simbol kesucian dan kesempurnaan yaitu dengan dasar, bunga teratai tumbuh
di atas lumpur tetapi tidak pernah kotor. Penggunaan simbol-simbol tersebut memiliki makna filosofi tertentu dan
sudah terjadi akulturasi maupun sinkretisme di Lasem, mengingat kondisi masyarakat yang multicultural
(Ornamentasi pada Bangunan Bersejarah Kebudayaan Islam dan Tionghoa di Lasem, Esnan, 2015). Berdasarkan
pertimbangan tersebut maka bentuk massa dan denah menggunakan metafora bunga teratai.

Gambar 2. Konsep Gubahan Massa

290
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Arsitektur Etnik Kontemporer


Sebuah kebudayaan dalam suatu daerah akan berkembang dan mengalami pergeseran. Pergeseran budaya
akan mempengaruhi keadaan sosial masyarakat, termasuk arsitektur. Wujud arsitektur seolah berubah mengikuti
perkembangan zaman. Sehingga dalam perencanaan ini berkonsep bangunan yang modern atau masa kini, tetapi
dengan langgam tradisional. Bangunan berlanggam etnik tradisional di kota Lasem pada masa lalu dihadirkan dalam
desain masa kini (kontemporer). Arsitektur pada bangunan etnik Tionghoa, Jawa, dan Muslim di kota Lasem
menjadi landasan konsep ide desain dengan menggabungnya menjadi satu wujud arsitektur sehingga menjadi bentuk
baru dari penggabungan tersebut.

Gambar 3. Konsep Arsitektur Etnik Kontemporer

Konsep fasad bangunan dalam perencanaan LHC terinspirasi dari arsitektur tradisional yang terdapat di kota
Lasem. Bangunan yang mendominasi pada kawasan yaitu bangunan dengan langgam etnik Tionghoa, sehingga
diterapakan dalam fasad bangunan sebagai konsepsi arsitektur etnik kontemporer.

Gambar 4. Eksterior Lasem Heritage Center


Multicultural Design
Multicultural merupakan perbedaan cara pandang masyarakat yang majemuk dari segi etnis,budaya dan
agama tetapi dalam wilayah yang sama dan mempunyai cita-cita serta semangat yang sama. Kota Lasem merupakan
kota yang masyarakatnya majemuk dan memiliki perbedaan agama dan beragam budaya. Sehingga dalam konsep
perencanaan LHC menggunakan konsep multiculture desain yaitu dengan menerapkan beragam perbedaan tersebut
dalam satu wujud desain. Penerapan multiculture desain dibatasi pada perbedaan kepercayaan dan keyakinan
masyarakat Lasem, dengan tujuan menghindari konflik atas dasar agama dan kepercayaan. Dasar pertimbangan
dengan konsep multiculture desain, bahwa konsep tersebut mencerminkan apa yang diwadahi dalam LHC dan
selaras dengan keadaan lingkungan sekitar. LHC berisi informasi sejarah kota Lasem, kebudayaan dan peninggalan
dari etnik Tionghoa, Jawa dan Muslim.

291
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Gambar 5. Penerapan Konsep Multiculture Desain


Ide bentuk bangunan sebagian besar mengambil bentuk dari bangunan yang ada di kota Lasem yang
diseragamkan. Bentuk bunga teratai merupakan bentuk dasar simbolisasi pada bangunan arsitektur Tionghoa di
Lasem, model gunungan swallows tail adalah salah satu bentuk detail arsitektur Tionghoa yang ada di Lasem, dan
penerapan bentuk atap limasan pada LHC tower terinsprasi dari atap masjid Ja’mi Lasem.

Arsitektur ekologi
Menurut Frick.H., Mulyani.T.H., 2006 konsep arsitektur ekologi adalah smart land use dan Water Treatment.
Kedua konsep ini digunakan dalam perencanaan Lasem Heritage Center (LHC) .
a. Smart Land Use
Smart land use dalam perencanaan LHC adalah bagaimana memanfaatkan lahan dengan membuat tempat
parkir di bawah bangunan dengan kontruksi rumah panggung. Sehingga pemanfaatan ruang sangat maksimal dengan
mengurangi tempat parkir pada lahan terbuka. Pengurangan tempat parkir pada lahan terbuka tersebut bertujuan
untuk memperluas ruang terbuka hijau, sehingga nantinya desain pada landskape akan lebih luas. Perkerasan pada
tempat parkir LHC ini menggunakan paving block sehingga jika terjadi genangan air pada lantai tempat parkir,
airnya akan meresap ke dalam tanah.

Gambar 6. Penerapan Konsep Smart Land Use


b. Water Treatment
Yaitu dengan menghemat energi khususnya air. Air merupakan kebutuhan yang sangat penting dalam
kehidupan sehingga butuh pengolahan dan penghematan yang baik. Dalam konsep pengolahan ini, air bekas
pemakaian (grey water) di treatment menggunakan biofilter anaerob-aerob. Air hasil filter kemudian ditampung
dalam kolam yang berfungsi juga sebagai landskape sehingga menghemat energi air. Dari tampungan air digunakan
untuk menyiram tanaman dan sebagian dibuang ke sungai sehingga tidak mencemari lingkungan.

Gambar 7. Kolam Penampungan Air Hasil Filterisasi

292
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

PENUTUP
Kesimpulan
Lasem Heritage Center merupakan pusat warisan budaya yang mewadahi peninggalan pusaka budaya di
kota Lasem dalam satu tempat dan menjadi pusat informasi tentang sejarah kebudayaan Lasem. Konsep yang
digunakan adalah :
1. Fasilitas Ruang yang disediakan adalah
a. Ruang Pameran
b. Ruang Penelitian
c. Ruang Komunitas
d. Perpustakaan
e. Ruang Pertunjukan
2. Konsep Penampilan bentuk
a. Metafora bentuk bangunan terinspirasi dari ornamen dan bangunan etnik yang ada di Lasem.
b. Arsitektur etnik kontemporer merupakan langgam yang digunakan dalam perencanaan Lasem Heritage
Center yaitu dengan mengangkat bangunan etnik yang ada di Lasem sebagai preseden perancangan dengan
desain yang kekinian.
c. Multicultural design, yaitu dengan memasukkan unsur kemajemukan masyarakat dari segi etnis, budaya,
dan agama yang diseragamkan dalam satu bentuk desain bangunan.
d. Arsitektur ekologi adalah konsep yang digunakan dalam perencanaan utilitas bangunan Lasem Heritage
Center dengan water treatment serta smart land use pada pemanfaatan lahan sebagai respon terhadap alam.

Saran
1. Lasem Heritage Center merupakan tempat untuk memberikan informasi kawasan heritage di sekitarnya tetapi
jauh lebih penting pemerintah daerah Lasem dapat membuat program pelestarian dan pemberian insentif pada
pemilik rumah rumah tinggal yang termasuk dalam program pelestarian.
2. Pemerintah daerah Lasem membuat guideline untuk proses pengembangan bangunan yang masuk dalam
program pelestarian sehingga di dalam perkembangannya bangunan tetap dapat mempertahankan identitasnya.

Daftar Pustaka
Ashadi, 2013, Sinkretisme dalam Tata Ruang Mesjid Wali Songo, Nalars Volume 12 No 1 Januari 2013 : 1-16,
Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Erika, 2007, Difusi, Akulturasi, dan Asimilasi : Konsep, Contoh, dan Perbedaannya, Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Indonesia.
Frick.H., Mulyani.T.H., 2006, Arsitektur Ekologis, Kanisius, Yogyakarta.
Indah S., Turita, 2011, Meniti Sinkretisme Teks Tantu Panggělaran, Kawistara, Volume 1 No. 2, 17 Agustus 2011.
J. Sinar Tandjaja, F.Christian, 1992, Wujud Arsitektur Sebagai Ungkapan Makna Sosial Budaya Manusia,
Universitas Atma Jaya, Yogyakarta.
Lacy, Bill, 1991, 100 Contemporary Architects, London.
Moedjiono, 2011, Ragam Hias dan Warna Sebagai Simbol dalam Arsitektur Cina, Volume 11, Jurusan Arsitektur
Fakultas Teknik Universitas Diponegoro Semarang.
Mutiari, Dhani, 2010, Pengaruh Politik terhadap Arsitektur Rumah Cina, Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Pramono, Esnan, 2015. Ornamentasi pada Bangunan Bersejarah Kebudayaan Islam dan Tionghoa di Lasem,
Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Rencana Umum Tata Ruang Kota, Kabupaten Rembang tahun 2011-2031.
http://rachmitayeni.blogspot.co.id, diakses pada hari sabtu 2 april 2016.

293
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

KONSERVASI SPASIAL DAN PSIKOLOGI


PADA PERMUKIMAN MIGRAN MADURA
KELURAHAN KOTALAMA - MALANG

Damayanti Asikin*1, Antariksa2 dan Lisa Dwi Wulandari3


1
Mahasiswa Program Doktor Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya Malang & Dosen Jurusan
Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya, Malang
Jl. MT Haryono 169 Malang Telp 0341 567486
2,3
Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya, Malang
Jl. MT Haryono 169 Malang Telp 0341 567486
Email: dama_asikin@ub.ac.id

Abstrak

Masalah konservasi warisan abad ke-21 adalah meningkatkan warisan untuk kehidupan modern,
dengan objek penelitian berupa adaptasi warisan arsitektur dan cara menggunakannya. Pembahasan
gagasan ruang sebagai nilai warisan membangun pendekatan baru untuk konservasi arsitektur
modern yang kompleks. Konsep konservasi yang didasarkan pemahaman bahwa ruang merupakan
warisan budaya disebut juga sebagai konservasi spasial. Ruang merupakan dimensi arsitektur yang
membedakannya dari ekspresi artistik yang lain sehingga ruang harus dipertimbangkan sebagai
objek konservasi itu sendiri, bukan hanya sebagai produk hasil konsolidasi, restorasi dan konservasi
batas-batas fisiknya. Selain konservasi spasial, terdapat pula teori konservasi psikologi yang
menyebutkan bahwa persepsi tempat dan kognisi memberikan gambaran pada mental dan tempat
secara kolektif. Kota Malang merupakan salah satu tujuan migrasi masyarakat Madura yang berasal
dari Kabupaten Bangkalan sejak tahun 1930, namun hingga saat ini Migran Madura yang
bermigrasi ke Kota Malang bukan hanya berasal dari Bangkalan saja, tetapi juga dari daerah-
daerah kabupaten lain di Pulau Madura seperti Pamekasan, Sampang dan Sumenep. Permukiman
Kotalama Malang merupakan salah satu titik aglomerasi Migran Madura di Kota Malang. Oleh
sebab itu ingin diketahui bagaimana konsep dan bentuk konservasi yang diterapkan Migran Madura
pada permukiman urban di Kelurahan Kotalama Malang sebagai upaya proses penyesuaian dalam
lingkungannya yang baru. Hasil kajian menunjukkan bahwa konservasi spasial dan konservasi
psikologi diterapkan bersama-sama, saling melengkapi. Konservasi psikologi menjadi bekal
pengalaman ruang yang dibawa migran dari tempat asalnya melengkapi konservasi spasial.
Konservasi spasial lebih mendominasi pada aspek tangible sedangkan konservasi psikologi lebih
mendominasi pada aspek intangible.

Kata kunci: konservasi; Madura; Malang; migran; permukiman

Pendahuluan
Konservasi merupakan tindakan pelestarian yang menekankan kepada penggunaan kembali bangunan atau
kota lama supaya tidak terlantar, dengan mempertahankan keseluruhan atau sebagian keasliannya, dapat dilakukan
dengan tetap mempertahankan fungsi lama, atau mengubahnya dengan fungsi baru sesuai kebutuhan (Yuwono,
1995; Antariksa, 2012). Masalah konservasi warisan abad ke-21 adalah meningkatkan warisan untuk kehidupan
modern, dengan objek penelitian berupa adaptasi warisan arsitektur dan cara menggunakannya. Konsep konservasi
yang dirasa sesuai dengan masalah tersebut adalah konservasi maksimum, perubahan minimum, serta adaptasi yang
tepat (Riaubienė, 2012).
Pembahasan ruang arsitektur sangat terkait dengan ide dan realisasi modernisme. Pembahasan gagasan ruang
sebagai nilai warisan membangun pendekatan baru untuk konservasi arsitektur modern yang kompleks (Jandl, 1995
dalam Amorim & Loureiro, 2007). Konsep konservasi yang didasarkan pemahaman bahwa ruang merupakan
warisan budaya disebut juga sebagai konservasi spasial (Amorim & Loureiro, 2007; Amorim, et al, 2007). Dimensi
spasial arsitektur merupakan kunci penting untuk mendukung perwujudan atribut sosial dan menciptakan
kemungkinan interaksi sosial. Prinsip mendasar untuk konservasi adalah bentuk arsitektural, pemahaman spasialitas
(keruangan) dan penetapan prosedur teknis untuk mendukung konservasi dan restorasi. Ruang merupakan dimensi
arsitektur yang membedakannya dari ekspresi artistik yang lain sehingga ruang harus dipertimbangkan sebagai

294
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

objek konservasi itu sendiri, bukan hanya sebagai produk hasil konsolidasi, restorasi dan konservasi batas-batas
fisiknya. Selain konservasi spasial, terdapat pula teori konservasi psikologi (Bott, et al, 2003; Brook, 2001;
Saunders, 2003), yang menyebutkan bahwa persepsi tempat dan kognisi memberikan gambaran pada mental dan
tempat secara kolektif. Pengetahuan berbasis tempat merupakan fondasi penting untuk melembagakan manajemen
adaptif, dan kesadaran seseorang akan tempat berfungsi sebagai acuan untuk memahami perubahan yang diajukan
terhadap lingkungan. Hubungan emosional tertentu pada suatu tempat, memori, preferensi, pemahaman tingkat
tertentu pada dimensi simbolik suatu tempat akan menimbulkan penghargaan terhadap memori tempat tersebut
maupun jiwa suatu tempat dalam pikiran manusia (Bott, et al, 2003).
Untuk melengkapi teori konservasi psikologi, dikenal juga The Spirit of Place in Conservation / jiwa suatu
tempat dalam konservasi (Silva, 2008). Teori antropologi, psikologi, dan lingkungan mengusulkan definisi mendasar
dari gagasan jiwa suatu tempat, serta bagaimana aspek tangible dan intangible tempat dan budaya membangkitkan
jiwa suatu tempat dan memori terhadap hal tersebut. Pada warisan tangible dan intangible juga berlaku pemikiran
kembali spirit of place. Spirit of place merupakan kualitas pengalaman yang unik untuk tempat tertentu, kombinasi
dari atribut tangible berupa bangunan, lansekap, objek, manusia, kegiatan dan lain sebagainya. Sedangkan atribut
intangible tempat berupa sikap budaya terhadap lingkungan dan penggunaannya, makna simbolik yang melekat
pada tempat, kenangan sejarah, emosi, preferensi, dan lain sebagainya.
Kota Malang merupakan salah satu tujuan migrasi masyarakat Madura yang berasal dari Kabupaten
Bangkalan sejak tahun 1930 (Jonge, 1989). Namun hingga saat ini Migran Madura yang bermigrasi ke Kota Malang
bukan hanya berasal dari Bangkalan saja, tetapi juga dari daerah-daerah kabupaten lain di Pulau Madura seperti
Pamekasan, Sampang dan juga Sumenep (Ubaidillah, 2014; Ma’arif, 2015). Permukiman Kotalama Malang
merupakan salah satu titik aglomerasi Migran Madura di Kota Malang. Sesuai dengan teori Bott, et al, (2003),
ikatan yang kuat antara manusia dengan suatu tempat dapat menjadi faktor yang signifikan dalam pengelolaan
lahan. Ikatan terhadap tempat asal kemungkin juga menjadi faktor signifikan dalam mengelola lahan permukiman
ini yang berkembang mulai tahun 1950 hingga sekarang. Oleh sebab itu ingin diketahui bagaimana konsep
konservasi yang diterapkan Migran Madura pada permukiman urban di Kelurahan Kotalama Malang? Dengan
mengetahui konsep tersebut, akan ditemukan bentuk konservasi yang dilakukan migran Madura sebagai upaya
proses penyesuaian dalam lingkungannya yang baru.

Bahan dan Metode Penelitian


Kajian dilakukan untuk mendapatkan fakta yang akan mengungkapkan suatu masalah atau keadaan atau
peristiwa seperti apa adanya. Sebagai kajian konservasi yang juga merupakan penelitian non-eksperimen, digunakan
metode deskriptif-eksploratif (Antariksa, 2012; Darjosanjoto, 2006). Metode deskriptif dan eksploratif digunakan
untuk menjelaskan karakteristik fenomena yang terjadi dan memahami fenomena tersebut dengan cara melakukan
diagnosa terhadap fenomena tersebut dengan menjaring alternatif serta menemukan ide-ide baru melalui observasi
serta wawancara.

Tabel 1. Variabel Kajian


Sub
Tujuan Variabel Indikator
variabel
Menemukan konsep Konservasi spasial Konfigurasi Organisasi keruangan; penggunaan
dan bentuk konservasi (Amorim & Loureiro, spasial lahan; sirkulasi (Page, et al, 1998)
pada permukiman 2007; Amorim, et al, 2007) Struktur komposisi ruang, pemanfaatan
spasial ruang, pengaturan ruang (Amorim
& Loureiro, 2007)
Konservasi psikologi (Bott, Persepsi Place attachment: privasi, ruang
et al, 2003; Brook, 2001; tempat & personal, teritorialitas, dan
Saunders, 2003; Silva, kognisi kesesakan (Altman, 1980; Altman
2008) & Low, 1992; Laurens, 2004;
Halim, 2005; Casakin & Kreitler,
2008)
Spirit of Sikap budaya, makna simbolik,
place emosi, preferensi (Silva, 2008).
Sumber: diolah dari berbagai sumber

Hasil dan Pembahasan


Konservasi pada permukiman Kotalama Malang terdiri atas konservasi spasial serta konservasi psikologis.
Konservasi spasial mencakup konfigurasi dan struktur spasial, sedangkan konservasi psikologis mencakup persepsi
tempat dan kognisi serta spirit of place.

295
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Konservasi spasial
Konservasi spasial merupakan konservasi terhadap lingkungan fisik keruangan. Pada saat yang sama
konservasi spasial merupakan ekspresi yang memungkinkan pengaturan spasial, dipilih untuk memenuhi persyaratan
fungsi sosial dari kelompok sosial tertentu, dalam periode sejarah tertentu, dan konfigurasi ini membawa mereka ke
dalam aturan-aturan sendiri yang membatasi interaksi yang mungkin antara anggota kelompok sosial. Ruang
menjadi mediasi keberadaan dan kesadaran.
Organisasi keruangan pada konfigurasi spasial permukiman Kotalama diamati berdasarkan pengaturan
elemen pencipta bidang dasar, bidang vertikal, dan bidang atap yang membentuk sistem keruangan dalam skala
mezo maupun mikro (Page, et al, 1998). Bidang dasar berupa tata letak massa bangunan beserta ruang terbuka
dalam kawasan (termasuk fasilitas sumber air bersama maupun MCK) beserta jalan-jalan lingkungan. Tebing
sungai menjadi bidang vertikal pembentuk ruang kawasan permukiman, bersama jalan di luar kawasan akan menjadi
pembentuk ruang dalam skala mezo. Jajaran hunian di sisi jalan lingkungan menjadikan jalan lingkungan menjadi
ruang interaksi sosial warga penghuni di sekitar jalan tersebut maupun ruang interaksi sosial dengan orang luar
lingkungan tersebut. Keberadaan sumur bersama juga menjadi pembentuk ruang interaksi sosial di dalam kawasan.
Hunian di sekeliling sumur akan menjadi dinding vertikal pembentuk ruang dalam lingkungan permukiman tersebut.
Tiga aspek yang mempengaruhi pola ruang permukiman tradisional di Madura adalah kepercayaan, kekerabatan dan
strata sosial (Mukhlisah, et al, 2011), akan mempengaruhi konfigurasi spasial permukimannya. Kondisi tersebut
berbeda dengan permukiman di Kotalama, aspek yang mempengaruhi pola ruang berupa elemen bidang dasar,
bidang vertikal, dan bidang atap yang membentuk konfigurasi spasial lingkungan permukiman.
Jalur pejalan kaki yang ada di permukiman Kotalama tidak bisa dipilah-pilah sebagai sarana bagi pejalan
kaki dan sebagai sarana pendukung kegiatan sektor informal seperti dalam skala kota. Di kawasan ini sirkulasi yang
ada berfungsi sebagai beberapa elemen fisik lingkungan sekaligus yaitu sebagai sarana sirkulasi bagi pejalan kaki
maupun pendukung kegiatan sektor informal (sebagai tempat berdagang atau menyiapkan dagangan), maupun
sebagai ruang terbuka tempat warga berinteraksi dan bersosialisasi. Kondisi ini jelas berbeda dengan permukiman
Madura yang umumnya berupa kumpulan tanean lanjheng. Dalam satu kelompok tanean lanjheng terdapat satu
pintu masuk yang resmi, berada di sisi Timur tanean. Antar tanean lanjheng biasanya dipisahkan oleh tegal tempat
pemilik tanean tersebut bekerja, dengan penghubung antar tanean adalah berupa jalan lingkungan.
Struktur spasial lingkungan permukiman ini juga dilengkapi dengan ruang lingkungan yang dimanfaatkan
untuk berbagai fasilitas lingkungan seperti fasilitas peribadatan, fasilitas pendidikan, maupun fasilitas umum.
Terdapat juga fasilitas lingkungan berupa tempat penitipan becak dan rombong yang dikarenakan kondisi topografi
dan luasan hunian yang tidak memungkinkan becak dan rombong dibawa pulang ke rumah. Selain itu seiring
dengan perkembangan perekonomian yang memungkinkan warga memiliki kendaraan roda 4 tetapi akses menuju
rumahnya tidak memungkinkan, maka terdapat pula ruang terbuka yang dimanfaatkan sebagai tempat parkir
kendaraan-kendaraan tersebut.
Pada skala mikro lingkungan, komposisi ruang hunian/unit bangunan di permukiman Kotalama minimal
terdiri dari 3 fungsi utama rumah tinggal berupa emper – kamar – pawon. Tidak selalu bangunan rumah tersebut
memilik batas tegas yang membedakan fungsinya, karena proses membangun yang diawali dari batas luar bangunan
sebagai batas teritori rumah tinggal mereka. Meskipun belum ada batas tegas antar fungsi ruang di dalam rumah,
tetapi ketiga fungsi tersebut menjadi ruang minimal yang diwadahi. Baru pada tahap selanjutnya, sejalan dengan
peningkatan perekonomian penghuninya, masing-masing fungsi tersebut akan diberikan batas fisik yang nyata.
Pada permukiman di Madura, ruang tinggal atau rumah adalah ruang utama, memiliki satu pintu utama dan
hanya terdiri atas satu ruang tidur yang dilengkapi serambi. Ruang bagian belakang atau bagian dalam sifatnya
tertutup dan gelap. Pembukaan hanya didapati pada bagian depan saja, baik berupa pintu maupun jendela, bahkan
rumah yang sederhana tidak memiliki jendela. Ruang dalam ini adalah tunggal, artinya ruang ini terdiri atas satu
ruang dan tanpa sekat sama sekali (Pangarsa, et al, 1994; Tulistyantoro, 2005; Asmarani, et al, 2016) . Fungsi utama
ruang tersebut adalah untuk mewadahi aktifitas tidur bagi perempuan atau anak-anak. Serambi memiliki dinding
setengah terbuka, pembukaan hanya ada di bagian depan. Fungsi utama ruang ini adalah sebagai ruang tamu bagi
perempuan.
Terdapat sedikit perbedaan fungsi bangunan rumah tinggal antara yang di Madura dengan di permukiman
Kotalama. Di Kotalama fungsi utama rumah memang untuk tempat tinggal, meskipun pada beberapa rumah ditemui
adanya tambahan fungsi usaha. Rumah di Kotalama tidak sepenuhnya diperuntukkan bagi wanita dan anak-anak
seperti di Madura, tetapi juga dimanfaatkan kaum laki-laki. Hal ini juga dikarenakan rumah bagi Migran Madura
bukan lagi berbentuk tanean lanjheng yang merupakan kelompok hunian satu keluarga besar, tetapi berupa hunian
tunggal yang dihuni keluarga inti. Keterbatasan lahan yang dapat digunakan juga mengakibatkan jenis ruang yang
diwadahi rumah disesuaikan dengan kondisi yang ada.
Orientasi bangunan di Kotalama tegak lurus sungai baik pada bangunan yang membelakangi maupun
menghadap sungai pada rumah-rumah yang berada di sepanjang sungai. Untuk rumah yang tidak terletak di tepi
sungai, orientasi bangunannya menghadap ke jalan lingkungan. Orientasi bangunan tidak berpegang pada arah Utara
Selatan seperti halnya tanean lanjheng, tetapi lebih ditentukan oleh keberadaan sungai dan kondisi kontur yang ada.

296
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Berdasarkan kajian yang dilakukan, konservasi spasial terlihat pada pengaturan spasial hunian, proses
pembangunannya, serta fungsi utamanya sebagai tempat tinggal. Tata ruang pada hunian/unit bangunan di
Permukiman Kotalama minimal terdiri dari 3 fungsi utama rumah tinggal berupa: ruang untuk menerima tamu –
ruang tidur – dapur. Tidak selalu bangunan rumah tersebut memilik batas tegas yang membedakan fungsinya,
karena proses membangun yang diawali dari batas luar bangunan sebagai batas teritori rumah tinggal mereka.
Meskipun belum ada batas tegas antar fungsi ruang di dalam rumah, tetapi ketiga fungsi tersebut menjadi ruang
minimal yang diwadahi. Baru pada tahap selanjutnya, sejalan dengan peningkatan perekonomian penghuninya,
masing-masing fungsi tersebut akan diberikan batas fisik yang nyata.

Konservasi psikologi
Manusia berinteraksi dengan lingkungannya dengan cara mengembangkan ikatan dan hubungan yang
mengarah pada domain geografi manusia dan psikologi lingkungan (Casakin & Kreitler, 2008). Konsep ini
berkaitan dengan fitur psikologis dan fisik, serta variabel yang terkait dengan perasaan, emosi, dan ikatan yang
dikembangkan manusia dengan tempat tinggalnya. Hubungan individu dengan tempatnya memberikan pemaknaan
yang dimaknai oleh proses personal, sosial dan budayanya. Hubungan dengan tempat yang terbentuk oleh makna
emosional dan perasaan terhadap tempat atau wilayah tertentu disimbulkan sebagai place attachment (Altman &
Low, 1992), dipandang sebagai ikatan emosional yang terbentuk oleh seseorang terhadap lingkungan fisik yang
diberi makna dikarenakan adanya proses interaksi antara manusia dengan lingkungan tersebut (Casakin & Kreitler,
2008).
Empat elemen penting yang mempengaruhi terbentuknya perilaku manusia terkait dengan proses hubungan
manusia dan lingkungannya adalah privasi, ruang personal, teritorialitas, dan kesesakan (Altman, 1980 & Laurens,
2004). Privasi merupakan kemampuan seseorang atau sekelompok orang untuk mengendalikan interaksi mereka
dengan orang lain (Laurens, 2004), yang sangat terkait dengan ruang personal, teritorialitas, dan kesesakan. Ruang
personal dan teritorialitas personal merupakan mekanisme seseorang untuk mengatur privasinya, dan kesesakan
merupakan kegagalan untuk mencapai privasi tersebut (Lang, 1987). Ruang personal dan teritorialitas merupakan
mekanisme pengaturan batasan untuk mencapai privasi pribadi maupun kelompok yang diinginkan (Halim, 2005).
Pada permukiman Kotalama Malang, ruang personal dan teritorialitas lingkungan terbentuk akibat kondisi
geografis permukiman yang terletak pada daerah yang diapit dua sungai tepi sungai berkontur terjal (lebih 60°).
Penghuni wilayah permukiman yang 90% merupakan migran Madura yang termasuk dalam golongan migran
permanen karena terjadi dalam waktu yang lama (Said, 1996), sehingga menunjukkan teritorialitas bagi kelompok
Migran Madura yang tinggal di lingkungan permukiman ini.

Gambar 1. Wilayah permukiman Kotalama Malang

Ruang personal pada permukiman Kotalama berbeda dengan ruang personal permukiman Madura,
dikarenakan penghuni permukiman bukan merupakan satu keluarga besar, dan berasal dari berbagai kabupaten di
Pulau Madura. Keterbatasan lahan yang bisa dimanfaatkan sebagai permukiman menyebabkan mereka harus saling
berbagi dengan sesama migran Madura, sehingga daerah permukiman tersebut menjadi ruang personal migran
Madura. Hal ini terkait dengan karakter dasar masyarakat Madura, ejhin, yang membawa sifat toleran, persahabatan
dan tidak tergantung/mandiri (Hidayat, 2009a).
Dalam satu kelompok hunian (tanean lanjheng), terdapat teritorialitas penghuni berdasarkan susunan
keluarga, pria-wanita, maupun berdasarkan sifat aktifitasnya seperti yang terlihat pada Gambar 2. (Tulistyantoro,
2005). Dikarenakan permukiman Kotalama ini tidak terdiri dari kelompok-kelompok keluarga, teritorialitas

297
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

penghuni permukiman berbeda dengan teritorialitas di Madura. Secara mezo teritorialitas lebih didasarkan atas
kesamaan sebagai migran yang berasal dari Madura, bukan pada kelompok hunian keluarga. Hal terkait dengan
karakter dasar masyarakat Madura yang bersifat toleran (bagian dari karakter ejhin), loyalitas dan konsisten (bagian
dari karakter koko).
Karakter masyarakat pada suatu lingkungan binaan dalam konteks budaya, dilihat dari tradisi berhuni, sistem
kekerabatan, serta ruang budaya yang terbentuk akibat aktivitas tradisi masyarakat berdasarkan sifat formalitas dan
informalitas aktivitas masyarakatnya (Jenkins, 1997). Karakter masyarakat tersebut di Permukiman Kotalama
terlihat melalui pemanfaatan dan perletakan rumah dalam permukiman.
Rumah di permukiman ini umumnya digunakan sebagai tempat tinggal para wanita ibu rumah tangga
bukan sebagai tempat bekerja, karena yang bekerja di luar rumah adalah kaum laki-laki. Kondisi serupa dijumpai
pada rumah umumnya masyarakat Madura, dimana rumah merupakan tempat perempuan (Pangarsa, et al, 1994;
Tulistyantoro, 2005). Model permukiman tersebut dipengaruhi oleh ekologi tegal (ladang) yang terkait dengan
kondisi geografis pulau Madura (Ma’arif, 2015). Terdapat sedikit perbedaan antara kondisi yang ada di permukiman
Kotalama dengan permukiman di Madura. Rumah tidak sepenuhnya diperuntukkan dan digunakan para wanita,
tetapi sekaligus juga digunakan oleh laki-laki. Pada siang hari kaum laki-laki bekerja di luar lingkungan
permukiman, rumah hanya digunakan oleh wanita, sehingga kuantitas penggunaan rumah oleh wanita menjadi lebih
besar. Setelah pulang bekerja, kaum laki-laki juga menggunakan rumah sebagai ruang aktivitasnya. Fungsi utama
hunian sebagai tempat tinggal juga ditunjukkan dari hasil penelitian Asikin (1996) yang memperlihatkan bahwa
sebagian besar dari sampel kajian merupakan hunian dengan fungsi hunian murni. Sedangkan hunian yang juga
berfungsi sebagai tempat usaha hanya relatif kecil, dan yang melakukan usaha di hunian tersebut adalah para wanita.
Kondisi seperti ini dikarenakan perbedaan kondisi geografis permukiman, yang tidak memungkinkan migran
bermatapencaharian seperti didaerah asalnya, diperkuat dengan hasil penelitian Dewi, et al (2008) yang
menyebutkan perbedaan pola permukiman hunian masyarakat Madura disebabkan karena faktor mata pencaharian,
serta keterbatasan lahan yang bisa dimanfaatkan sebagai permukiman.

Gambar 2. Pola susunan dan orientasi tanean lanjheng (Tulistyantoro, 2005)

Terdapat upaya agar rumah anak dapat berdekatan dengan rumah orang tua, meskipun tidak dalam satu
lingkungan tanean lanjheng seperti halnya kelompok rumah di Madura. Pola perumahan tanean lanjheng sebagai
wujud budaya khas adat, merupakan ciri khas arsitektural Madura yang memiliki tatanan berbeda. Adat tradisi
Madura yang kental, membawa nilai dan sistem kekerabatan yang erat sebagai salah satu budaya lokal masyarakat
Madura (Susanto, 2008; Taufiqurrahman, 2007; Mukhilsah, et al, 2011; Dewi, et al, 2008). Kondisi lingkungan
permukiman serta migrasi yang tidak dilakukan oleh satu kelompok keluarga besar menyebabkan adanya perbedaan
pola permukiman dengan permukiman di Madura. Selama masih memungkinkan, orang tua akan tetap
mengupayakan agar rumah tinggal anak berdekatan dengan rumah orang tua, tetapi tidak lagi mempertimbangkan
tata aturan perletakan rumah seperti pada tanean lanjheng.
Dalam konteks sosial karakter masyarakat akan dilihat dari pola interaksi masyarakat serta ruang yang
terbentuk karena aktivitas sosial masyarakat seperti communal place, public space, dan open space (Jenkins, 1997).
Karakter masyarakat dalam konteks sosial pada Permukiman Kotalama tersebut terlihat melalui pembagian waktu
dalam berinteraksi dan beraktifitas.
Terdapat pembagian waktu yang berbeda-beda dalam melakukan interaksi maupun memanfaatkan fasilitas
lingkungan yang ada (pemanfaatan sumur bersama, pemanfaatan jalan lingkungan) menjadikan sumur dan jalan
sebagai communal space. Anak-anak akan memanfaatkan sumur sebagai tempat mandi pada waktu pagi hari
sebelum berangkat sekolah dan sore hari menjelang waktu mengaji; kaum wanita selain menemani anak-anak yang

298
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

masih kecil untuk pada pagi dan sore hari, mereka memanfaatkan sumur setelah anak-anak berangkat sekolah untuk
mencuci pakaian maupun mengambil air untuk keperluan memasak. Sedangkan kaum pria memanfaatkan sumur
tersebut pada siang hari, menjelang waktu sholat dhuhur untuk mandi.
Pada permukiman Madura di pulau Madura juga terdapat pembagian waktu yang berbeda-beda dalam
melakukan interaksi maupun memanfaatkan fasilitas lingkungan yang ada. Namun karena adanya perbedaan
teritorialitas dan personal space permukiman Kotalama dengan permukiman di Madura, maka yang berfungsi
sebagai communal space tidak sepenuhnya sama. Pemanfaatan langgar sebagai tempat ibadah sekaligus tempat tidur
kaum laki-laki, pemanfaatan halaman panjang dalam tanean sebagai tempat berinteraksi baik dengan keluarga besar
maupun orang lain, maupun jalan penghubung antar kelompok tanean lanjheng, menjadikan langgar, halaman, serta
jalan sebagai communal space lingkungan (Mukhlisah, et al, 2011).
Jalan dimanfaatkan sebagai ruang terbuka, sedangkan sumur umum, fasilitas peribadatan, fasilitas pendidikan
serta open space lingkungan dimanfaatkan sebagai public space. Karena banyak warga yang bekerja di sektor
informal sebagai penarik becak maupun pedagang keliling yang menggunakan gerobak/rombong, tetapi becak
maupun rombong tersebut tidak memungkinkan dibawa pulang ke rumahnya karena kondisi jalan dalam lingkungan
maupun keterbatasan tempat dalam rumah tinggalnya, maka terdapat tempat yang digunakan untuk menitipkan atau
meletakkan becak dan rombong tersebut. Letak penitipan tersebut di tempat yang berdekatan dengan akses jalan di
luar lingkungan permukiman, agak jauh dari tepi sungai. Demikian pula halnya adanya ruang terbuka yang
dimanfaatkan secara bersama-sama sebagai area kendaraan roda 4 sebagai pemenuhan peningkatan perekonomian
warganya.
Pola interaksi yang terjadi di permukiman Kotalama menunjukkan karakter yang sedikit berbeda dengan
karakter yang ada di Madura, sehingga juga membentuk ruang sosial yang tidak sepenuhnya sama. Kondisi ini
dikarenakan adanya perbedaan hubungan kekerabatan serta karakter mata pencaharian dalam pembentukan
permukiman mereka.
Ruang personal pada permukiman Kotalama dibentuk dengan cara pembentukan batas terluar hunian mubeng
kandhang (Asikin, 1996). Kondisi ini menunjukkan bordering process (Smith, 1990), yang dimaksudkan sebagai
upaya untuk mengontrol akses yang dikuasainya dengan menciptakan ruang yang terpagari (skala lingkungan
permukiman) serta wilayah teritorialitas mereka. Sedangkan ruang personal pada permukiman Madura dibentuk
melalui pola ruang permukiman tradisional Madura (tanean lanjheng) yang berbentuk klaster-klaster permukiman
yang dihuni oleh satu kerabat yang terdiri dari satu sampai lima generasi, terdiri dari bagunan langgar/mussollah,
rumah, dapur dan kandang yang di ikat oleh halaman panjang. Ruang personal dalam setiap unit bangunan hunian,
berupa ruang tunggal, artinya ruang ini terdiri atas satu ruang dan tanpa sekat sama sekali (Pangarsa, et al, 1994;
Tulistyantoro, 2005; Asmarani, et al, 2016).

Gambar 3. Ruang personal dan sifat ruang dalam hunian

Perbedaan dalam proses pembentukan ruang personal pada permukiman Kotalama dan Madura (secara
umum) dikarenakan adanya perbedaan dimensinya. Di Kotalama ruang personal terbentuk dalam satu unit
bangunan, sedangkan di Madura ruang personal terbentuk dari susunan beberapa unit bangunan (Gambar 3). Tetapi
terdapat persamaan dalam perilaku membangun unit bangunan, yang berupa ruang tunggal, untuk kemudian
dilanjutkan dengan pembagian ruang dalamnya.

299
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Konservasi psikologi terlihat pada teritorialitas yang secara mezo lebih didasarkan atas kesamaan sebagai
migran yang berasal dari Madura, bukan pada kelompok hunian keluarga. Hal terkait dengan karakter dasar
masyarakat Madura yang bersifat toleran (bagian dari karakter ejhin), loyalitas dan konsisten (bagian dari karakter
koko). Keterbatasan lahan yang bisa dimanfaatkan sebagai permukiman menyebabkan mereka harus saling berbagi
dengan sesama migran Madura, sehingga daerah permukiman tersebut menjadi ruang personal migran Madura. Hal
ini terkait dengan karakter dasar masyarakat Madura, ejhin, yang membawa sifat toleran, persahabatan dan tidak
tergantung/mandiri (Hidayat, 2009). Perbedaan dalam proses pembentukan ruang personal pada permukiman
Kotalama dan Madura (secara umum) dikarenakan adanya perbedaan dimensinya. Di Kotalama ruang personal
terbentuk dalam satu unit bangunan, sedangkan di Madura ruang personal terbentuk dari susunan beberapa unit
bangunan.

Kesimpulan
Konservasi yang dilakukan migran Madura di permukiman Kotalama ini merupakan bagian dari spirit of
place yang dibawa dari tempat asalnya. Spirit of place ini membantu proses penyesuaian migran dalam
lingkungannya yang baru. Konservasi spasial dan konservasi psikologi diterapkan bersama-sama, saling
melengkapi. Konservasi psikologi menjadi bekal pengalaman ruang yang dibawa migran dari tempat asalnya
melengkapi konservasi spasial. Konservasi spasial lebih mendominasi pada aspek tangible berupa tata ruang hunian,
3 fungsi utama bangunan sebagai tempat tinggal, serta bentukan awal bangunan hunian sebagai ruang tunggal.
Sedangkan konservasi psikologi lebih mendominasi pada aspek intangible berupa pembentukan teritorialitas, ruang
personal, serta perilaku membangun unit bangunan huniannya.

Daftar Pustaka
Altman, I., (1980), “Culture and Environment”, Monterey. Ca. Brooks/Cole
Altman I. & Low S., (1992), “Human Behavior and environment: Advances in theory and research”, Vol 12: Place
Attachment. New York: Plenum Press
Amorim L. & Loureiro C., (2007), “The Space of Architecture and a New Conservation Agenda”. City & Time 2
(3): 1. [online] URL: http://www.ct.ceci-br.org
Amorim, L., Loureiro,C., & Nascimento, C., (2007), “Preserving Space: Towards a New Architectural
Conservation Agenda”, Proceedings, 6th International Space Syntax Symposium, İstanbul, 2007
Antariksa, (2012), “Pemikiran dan Tahapan dalam Pelestarian”,
https://www.academia.edu/7762340/Pemikiran_dan_Tahapan_dalam_Pelestarian_ , diakses 22 Pebruari
2016
Asmarani, I.K., Antariksa, & Ridjal, A.M., (2016), “Elemen Arsitektural Rumah Bangsal di Desa Larangan Luar
Pamekasan Madura”. http://arsitektur.studentjournal.ub.ac.id , diakses 31 Mei 2016
Asikin, D., (1996), “Keragaman Spasial Rumah Tinggal di Daerah Pengaliran Sungai Brantas Kelurahan Kotalama
– Kotamadya Malang”, Tesis, PPS UGM Yogyakarta, tidak dipublikasikan.
Bott, S., Cantrill, J.G., & Myers, O.E. Jr., (2003), “Place and the Promise of Conservation Psychology”, Human
Ecology Review, Vol. 10, No. 2, 2003; 100-112 © Society for Human Ecology
Brook, A.T., (2001), What is "Conservation Psychology?", Population and Environmental Psychology Bulletin, 27
(2), Spring, 2001
Casakin, H.P. & Kreitler, S., (2008), “Place Attachment as a Function of Meaning Assignment”, Open
Environmental Sciences, 2: 80-87
Darjosanjoto, E.T.S., (2006) “Penelitian Arsitektur di Bidang Perumahan dan Permukiman”. ITS press
Dewi, P.F.R., Antariksa & Surjono, (2008), “Pelestarian Pola Perumahan Taneyan Lanjhang pada Permukiman di
Desa Lombang Kabupaten Sumenep”, arsitektur e-Journal, Volume 1 Nomor 2, Juli 2008: 94-109
Halim, D., (2005), “Psikologi Arsitektur: Pengantar Kajian Lintas Disiplin”, Gramedia. Jakarta
Hidayat, A., (2009), “Karakter Orang Madura dan Falsafah Politik Lokal”, KARSA, Vol. XV No. 1 April 2009:1-14
Jenkins, R., (1997), “Rethinking Ethnicity, Arguments and Explorations”, Sage Publication, London
Jonge, H., (1989), “Madura dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan Ekonomi, dan Islam: Suatu Studi
Antropologi Ekonomi”, Perwakilan Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV)
dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI); PT Gramedia, Jakarta
Lang, J., (1987), “Creating Architectural Theory; The Role of Behavioral Science in Environment Design”, Van
Nostran Reinhold Company, New York
Laurens, J. M., (2004), “Arsitektur dan Perilaku Manusia”, Grasindo, Jakarta
Ma’arif, S., (2015), “The History of Madura; Sejarah Panjang Madura dari Kerajaan, Kolonialisme sampai
Kemerdekaan”, Araska Publisher, Yogyakarta
Mukhilsah, Antariksa & Wijayanto, T., (2011), “Pola Permukiman Tradisional Madura Desa Ellak Daya Kabupaten
Sumenep”, Prosiding Seminar Nasional “Teritorialitas, Pariwisata, Dan Pembangunan Daerah”: 1-7.
Program Studi Magister Arsitektur Universitas Udayana

300
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Page, R.R., Gilbert, C.A., & Dolan, S.A., (1998), “A guide to cultural Landscape reports : contents, process, and
techniques”, U.S. Department of the Interior National Park Service Cultural Resource Stewardship and
Partnerships Park Historic Structures and Cultural Landscapes Program. Washington, DC.
Pangarsa, G.W., Tjahjono, R., & Pamungkas, S.T., (1994), “Deformasi dan Dampak Ruang Arsitektur Madura
Pedalungan di Lereng Utara Tengger”, Penelitian DIPA FTUB.
Riaubienė, E., (2012) “Use of Architectural Heritage: Challenges of Preservation and Adaptation”. Architecture and
Urban Planning. 2012/6: 25-30.
Said, R., (1996), “Pengantar Ilmu Kependudukan”, Jakarta: LP3ES
Saunders, C., (2003), “The emerging field of conservation psychology”, Human Ecology Review, 10.
Silva, K.D., (2008), “Rethinking the Sprit of Place: Conceptual Convolutions and Preservation Pragmatics”. 16th
ICOMOS General Assembly and International Symposium: 'Finding the spirit of place – between the
tangible and the intangible', 29 sept – 4 oct 2008
Smith, D., (1990), “Introduction: the sharing and dividing of geographical space”, in Shared Space, Divided Space:
Essays on Conflict and Territorial Organization. Eds M Chisholm, D Smith (Unwin Hyman, London): 1–21
Susanto, E., (2008), Ruh Islam dalam “Wadag” Lokal Madura: Kasus “Tanean Lanjeng”. KARSA, Vol. XIV No. 2
Oktober 2008:142-147
Taufiqurrahman, (2007), “Identitas Budaya Madura”, KARSA, Vol. XI No. 1 April 2007: 1-11
Tulistyantoro, L., (2005), “Makna Ruang pada Tanean Lanjang di Madura”, Dimensi Interior, Vol. 3, No. 2,
Desember 2005: 137 - 152
Ubaidilah, K., (2014), “Dinamika Perantau Madura dalam Politik Kota Malang: Suatu Kajian Antropolgi Politik”.
Tesis, Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Yuwono, J. S. E., (1995) “Megalitik Indonesia dan Ambiguitas Pemaknaannya”. Jurnal Artefak, 15: 26-30

301
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

NILAI-NILAI TRADISI DAN BUDAYA KERATON


SEBAGAI ELEMEN PEMBENTUK STRUKTUR RUANG
PERMUKIMAN BALUWARTI SURAKARTA YANG DIBANGUN
PADA MASA PAKU BUWANA III (1749-1788M)

Tri Hartanto1,3, Tony Atyanto Dharoko1 dan Yoyok Wahyu Subroto2


1,2
Departemen Teknik Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada
Jl. Grafika No.2 Kampus UGM,Yogyakarta 55281 Telp 0274 542973
3
Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Tunas Pembangunan (UTP) Surakarta
Jl. Walanda Maramis No.31 Cengklik Surakarta 57135 Telp 0271 853824
E-mail: tri.hartanto23@yahoo.com

Abstrak

Penelitian ini bertujuan menggali ‘konsep’ struktur ruang permukiman Baluwarti, yang berada di
dalam kawasan keraton Kasunanan Surakarta berdasarkan elemen-elemen tradisi dan budaya
keraton. Peneliti mengkaji sejarah untuk mengungkapkan seperti apakah ‘konsep’ struktur ruang
permukiman Baluwarti yang dibangun pada masa pemerintahan Paku Buwana III (1749-1788M).
Permukiman Baluwarti dibangun setelah bangunan inti keraton (nDalem Ageng) yang dibangun pada
masa Paku Buwana II selesai. Permukiman ini dibangun dengan mengacu pada paugeran keraton,
yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai tradisi dan budaya Jawa. Sebagaimana kita ketahui
bersama bahwa struktur ruang permukiman tradisional senantiasa menjaga keselarasan dengan alam.
Dimana masyarakat pada masa itu tidak hanya memperhatikan elemen fisik saja, namun juga elemen
non fisik didalam pembangunan permukimannya. Lebih-lebih keraton dikenal sangat ketat dan
konsisten menjalankan falsafah-falsafah Jawa yang diturunkan oleh para leluhurnya. Elemen-elemen
non fisik yang berupa nilai-nilai tradisi dan budaya keraton terimplementasi didalam elemen fisik
permukiman Baluwarti. Struktur ruang permukiman Baluwarti pun disusun dengan nilai-nilai tradisi
dan budaya keraton, dimana tata letak dan bentuk bangunan diatur sedemikian rupa, sehingga
keselarasan hubungan antara Raja dengan kawula tetap terjaga sesuai falsafah ‘manunggaling
kawula gusti’.

Kata Kunci : Baluwarti; konsep; permukiman; ruang, struktur; Surakarta

Pendahuluan
Di era globalisasi sekarang ini, bangsa Indonesia sedang mengalami berbagai keterpurukan karena tidak
memegang teguh jati diri bangsa (nations characters building). Ada yang berpendapat bahwa jati diri bangsa dan
budaya bangsa adalah seperti dua sisi mata uang yang tidak mungkin terpisahkan, karena nilai parameter dari jati
diri suatu bangsa adalah budaya bangsa itu sendiri. Banyak orang Indonesia yang tidak mencerminkan
kepribadiannya sebagai orang Indonesia, banyak orang Jawa yang tidak mencerminkan kepribadiannya sebagai
orang Jawa. Hal tersebut menggambarkan lunturnya bahkan hilangnya budaya bangsa sebagai jati diri bangsa di
negeri ini. Untuk membangun kembali jati diri bangsa diperlukan kebersamaan dan kegotong-royongan semua
elemen masyarakat. Bidang pendidikan dan kebudayaan diharapkan mampu menjadi elemen utama penggerak
dalam membentuk karakter generasi muda yang mau mengerti dan memahami budaya bangsa. Semua unsur lapisan
dalam kehidupan berbangsa, seharusnya turut berperan dalam menggali dan merumuskan nilai-nilai luhur/jati diri
bangsa, yang bersumber dari kehidupan sosial budaya masyarakatnya.
Penggalian nilai-nilai tradisi dan budaya bangsa di bidang arsitektur dapat dilakukan dengan melakukan riset/
penelitian yang merujuk pada bangunan atau kawasan tradisional yang berada di setiap kota atau daerah, dimana
sarat akan nilai-nilai luhur kehidupan sosial masyarakatnya. Sehingga akan diperoleh konsep / teori lokal, yang bisa
dijadikan untuk membangun identitas / jati diri bangsa. Kearifan lokal merupakan sistem nilai dan norma, dianut,
dipahami, dan diaplikasikan masyarakat lokal berdasarkan pemahaman, pengalaman mereka dalam berinteraksi dan
berinterrelasi dengan lingkungan (Tjahyono,1999 dalam Prijono, 2000:6). Bentuk-bentuk budaya, baik yang
“tangible‟ (bentuk permukiman, cara penataan tempat tinggal dan halaman, acara-acara tradisi perkawinan,
perayaan keagamaan, dan lain-lain) maupun “intangible‟ (cerita rakyat, mitos, lagu, tarian, dan lain-lain) dapat

302
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

dipelajari, karena bentuk-bentuk budaya ini tidak statis, tetapi mengalami perubahan dari generasi ke generasi. Oleh
sebab itu nilai-nilai kearifan lokal hendaknya dipelajari kemudian dikembangkan untuk membentuk sebuah budaya
baru. Bentuk budaya akan selalu dikembangkan dengan baik jika memperhatikan geografis lokasi, sehingga mampu
menciptakan sebuah pola baru yang peka terhadap lingkungan lokal yaitu budaya dan iklim (Arifin, 2009:7).
Pemilihan kota Surakarta sebagai lokasi penelitian karena kota ini dikenal sebagai salah satu pusat dan inti
kebudayaan Jawa, karena secara tradisional merupakan salah satu pusat pengembangan tradisi Jawa. Bersama
dengan Yogyakarta, Surakarta merupakan pewaris Kesultanan Mataram yang dipecah melalui Perjanjian Giyanti,
pada tahun 1755. Kemakmuran wilayah ini sejak abad ke-19 mendorong berkembangnya berbagai literatur
berbahasa Jawa, tarian, seni boga, busana, karya arsitektur, dan bermacam-macam ekspresi budaya lainnya. Pada
tahun 1830 di Surakarta didirikan Lembaga Bahasa Jawa atau Instituut voor het Javaasche Taal untuk memepelajari
kesusasteraan, bahasa dan sejarah Jawa kuno. Setelah masa revolusi dan penghapusan status istimewa, kedua
keraton di wilayah Kota Surakarta yakni Keraton Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran berfungsi
menjadi penjaga nilai budaya Jawa.
Eksistensi kota Surakarta tidak bisa dipisahkan dengan keberadaan dua pusat kekuasaan tradisional, yakni
Keraton Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran. Kota Surakarta atau Solo / Sala, tumbuh seiring
dengan perpindahan ibukota kerajaan Mataram Islam dari Kartasura pada tahun 1745. Desa Sala / Solo dipilih
sebagai ibukota kerajaan yang baru ketika Sunan Paku Buwono II yang memerintah Mataram 1726 -1749
memutuskan memindahkan istananya di Kartasura yang hancur akibat ‘geger pecinan’. Hasil nujum (prediksi) para
waskita kerajaan menyebutkan bahwa kerajaan Mataram akan tetap menjadi kerajaan yang besar dan kekal walau
kekuasaan raja tinggal ‘samegaring payung’, jika istananya dibangun di desa Sala. Sebagai ibukota kerajaan,
keraton yang menjadi tempat tinggal raja merupakan pusat yang dikelilingi benteng sebagai “negara” atau negari. Di
luar benteng lingkungannya disebut negaragung, mancanegara, dan pesisiran.
Benteng yang mengelilingi Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat disebut dengan nama benteng
Baluwarti. Istilah “baluwarti” sendiri berasal dari bahasa Portugis, yakni ‘baluarte’, yang berarti benteng. Waktu itu
pagar (benteng Baluwarti) berupa susunan bambu selanjutnya diganti menjadi pagar tembok besar dengan
ketinggian 6 meter dan ketebalan 2 meter. Kemudian untuk mendukung kekuasaan raja, Sunan Paku Buwono III
menciptakan daerah di sekitar Kedhaton sebagai daerah pertahanan. Daerah sekitar keraton yang dinamakan
Baluwarti, difungsikan sebagai permukiman penduduk, khususnya yang memiliki hubungan keluarga dengan raja,
dan penduduk yang mengabdi pada raja, antara lain bangsawan / pangeran, kerabat raja, dan abdi dalem
(Soeratman,1989:32). Keluarga raja tinggal di lingkaran pertama yang dikelilingi benteng yang tinggi. Di lingkaran
kedua adalah permukiman yang terdiri sentana dalem dan abdi dalem, dan dikelilingi oleh benteng Baluwarti.
Layout berbagai ibukota di Asia Tenggara merefleksikan konsep kekuatan pusat yang menghubungkan
kekuatan kosmos dan menghilang di pinggiran. Pengaruh raja adalah yang paling kuat sebagai pusat politik dan
berakhir pada batas kerajaan (Waterson, 1990:95-96). Tata nilai menjadi salah satu pertimbangan penting di dalam
struktur ruang masyarakat tradisional. Kepercayaan bahwa roh leluhur ada di puncak-puncak gunung yang tinggi
menciptakan sumbu geografis imaginer. Sumbu geografis ini memandang tempat yang memiliki posisi lebih tinggi
memiliki nilai ritual di atas tempat yang lebih rendah. Tempat-tempat yang lebih tinggi ini disebut sebagai hulu.
Sementara arah yang berlawanan dengan arah gunung memiliki tata nilai lebih rendah disebut teben, (Mahaputra,
2005). Sejak lama disadari bahwa budaya memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk struktur ruang
permukiman.
Struktur ruang permukiman digambarkan melalui pengidentifikasian tempat, lintasan, dan batas sebagai
komponen utama, selanjutnya diorientasikan melalui hirarki dan jaringan atau lintasan yang muncul dalam
lingkungan binaan mungkin secara fisik atau non fisik. Untuk membentuk Struktur Ruang tidak hanya orientation
yang terpenting, tetapi juga objek nyata dari suatu identifikasi. Dalam suatu lingkungan, tempat suci berfungsi
sebagai pusat yang selanjutnya menjadi orientasi dan identifikasi bagi manusia, dan merupakan Struktur Ruang
(Norberg-Schulz 1979 dalam Sasongko 2005:2-3).

Bahan dan Metode Penelitian


Penelitian yang akan dilakukan adalah permukiman penduduk (abdi dalem keraton) yang berada di dalam
kawasan keraton Kasunanan Surakarta. Dimana permukiman ini termasuk dalam wilayah Kelurahan Baluwarti,
Kecamatan Pasar Kliwon, Kota Surakarta. Secara administratif Kelurahan Baluwarti terbagi dalam 12 RW dan 38
RT, sehingga untuk sebuah wilayah administrasi kelurahan, ini tidak terlalu luas. Jumlah penduduk kelurahan
Baluwarti sebanyak 7.588 jiwa, yang terdiri 1.734 Kepala Keluarga (KK). Jumlah laki-laki 3.637 jiwa, sedangkan
perempuan berjumlah 3.951 (2016).
Kehidupan sosial budaya masyarakat di Baluwarti tidak dapat dipisahkan dengan latar belakang sejarah
terbentuknya lingkungan permukiman tersebut. Sebagai wadah perikehidupan masyarakat Baluwarti pada awal
pembentukan merupakan satu kesatuan dengan keraton Kasunanan Surakarta. Komunitas masyarakat di Baluwarti
sangat erat kaitannya dengan kondisi sosial budaya masyarakat yang menghuni daerah ini. Komunitas masyarakat
disini tidak dapat lepas dari beradaan keraton Kasunanan Surakarta.

303
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Lokasi
Penelitian

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian

Permukiman
Baluwarti
Benteng (Cempuri) Kawasan Inti Keraton mengelilingi
(kedhaton) kawasan inti
Benteng Baluwarti keraton

Gambar 2. Lokus Penelitian, Kondisi Permukiman Baluwarti Tahun 2016

Elemen-elemen struktur ruang permukiman, seperti tata ruang pola permukiman (aspek fisik), dan tradisi
kehidupan sosial budaya masyarakatnya dengan segala ritual (aspek non fisik), masih dipertahankan sebagian
masyarakat permukiman Baluwarti hingga sampai saat ini. Latar belakang terbentuknya permukiman Baluwarti,
berasal dari ikatan formal masyarakat terhadap keraton. Ikatan ini, berupa status sebagai abdi dalem keraton. Hunian
dikelompokkan berdasar status, peran, serta pangkat dari masing-masing penghuni. Sehingga permukiman Baluwarti
diyakini memiliki nilai-nilai tradisi dan budaya keraton sebagai elemen pembentuk struktur ruang permukiman.
Adapun metode penelitian yang akan digunakan adalah kualitatif induktif dengan membaca sejarah
(historical reading). Historical reading digunakan untuk mengetahui konsep awal struktur ruang dari permukiman
Baluwarti yang dibangun pada masa pemerintahan Paku Buwana III, melalui buku-buku atau babad yang
menceritakan kondisi saat itu, dokumen / arsip / majalah / artikel, dan koran, gambar dalam periode saat itu, dan
artefak yang masih ada.
Strategi penelitian dengan metode membaca sejarah (historical reading) dalam penelitian ini adalah
digunakan untuk mengungkapkan perkembangan permukiman Baluwarti terkait seperti apakah konsep awal
permukiman ini dibangun, kemudian melihat perkembanganya dalam periodesasi tertentu hingga kondisi saat ini.

304
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Adapun pendekatan membaca sejarah disini dalam aplikasinya merujuk pada metode historical research, dimana
sumber sejarah menurut bentuknya digolongkan menjadi tiga, yakni sumber tertulis, sumber lisan, dan sumber
benda/artefak, (Gottschalk, 1975: 35-36; Kuntowijoyo, 1995: 94-96; dalam Lubis, 2011:7). Kemudian di dalam
metode penelitian sejarah, terdapat empat tahapan yang harus dilewati. Keempat tahapan tersebut yakni heuristik,
kritik atau verifikasi, interpretasi, dan historiografi (Lubis, 2011:15-16).
Adapun tahapan dari teknik pengumpulan data dengan metode historical reading adalah sebagai berikut:
1). Studi pustaka, dilakukan sebagai penunjang dalam memperkaya hasil kajian, beberapa literatur yang terkait
dengan tema yang akan diteliti perlu dipelajari. Studi pustaka ini akan memberikan wawasan sebagai sumber
pengetahuan dalam mendalami fokus dari obyek penelitian.
2). Observasi, dalam melaksanakan penelitian mengenai permukiman Baluwarti perlu melakukan pengamatan
langsung terhadap objek kajian, berupa seting fisik, bangunan, dan benda/artefak yang diyakini memberikan
informasi terkait keberadaannya.
3). Wawancara, merupakan sebuah metode pengumpulan data yang sangat penting, karena kita dapat mengetahui
pandangan dan informasi dari masyarakat (orang yang berkompeten) mengenai kondisi struktur ruang
permukiman Baluwarti.
Sumber sejarah pada obyek penelitian menurut bentuknya digolongkan menjadi tiga, yakni sumber tertulis,
sumber lisan, dan sumber benda (artefak):
a. Untuk menggali sumber tertulis, peneliti akan melakukan kajian berdasarkan Babad Nitik Kartasura, Babad
Nitik Surakarta dan Babad Giyanti, dimana dalam ketiga buku tersebut terkait dengan sejarah terbentuknya
permukiman Baluwarti pada masa pemerintahan Paku Buwana III, hal ini berdasarkan rekomendasi dari KGPH
Poeger selaku Plt. Raja Keraton Surakarta.
b. Untuk menggali dari sumber lisan, peneliti akan mewawancarai narasumber yang berkompeten yang memiliki
pengetahuan sejarah tentang permukiman Baluwarti. Adapun narasumber yang sudah menyatakan kesediaannya
selain dari tokoh masyarakat, adalah KGPH Poeger, dan terkait dengan budaya keraton adalah Kanjeng Budaya.
c. Untuk menggali informasi dan data dari sumber benda (artefak), akan dilakukan dengan mencari informasi dan
data, baik di lingkungan keraton Surakarta dan juga dari lokasi penelitian. Tidak menutup kemungkinan peneliti
akan berusaha mencari di museum-museum yang memiliki sumber data terkait pembentukan permukiman
Baluwarti.
Berikut pada gambar 3. di bawah ini adalah diagram metode kerja didalam historical reading, yang peneliti
pergunakan sebagai acuan di lapangan:

Gambar 3. Metode Kerja Historical Reading (Membaca Sejarah)

Hasil dan Pembahasan


Beberapa kitab Jawa, baik Babad Giyanti (1916, I), Babad Kartasura Pacinan (1940), maupun Babad Tanah
Jawi (1941), kisah perpindahan Keraton dari Kartasura ke Surakarta hampir seragam. Ketika Sunan Paku Buwono II
(1726–1749) kembali dari Ponorogo, (1742), ia menyaksikan kehancuran bangunan istana. Rusaknya bangunan
istana itu disebabkan ulah dari para pemberontak Cina. Bagi Sunan, keadaan tersebut mendorong niatnya untuk
membangun sebuah istana yang baru. Ia menghendaki, istana yang baru itu berada di sebelah timur istana lama,
dekat dengan sungai Bengawan Sala. Hal ini dilakukan di samping untuk menjauhi pengaruh para pemberontak
yang mungkin masih bersembunyi di Kartasura, juga untuk menghapus kenangan buruk kehancuran istana
Kartasura.

305
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Sesudah Sunan Paku Buwana II menerima laporan, maka segera memerintahkan kepada Kyai Tohjaya dan
Kyai Yasadipura (I), serta R.T. Padmagara, untuk mengupayakan agar desa Sala dapat dibangun istana baru. Ketiga
utusan tersebut kemudian pergi ke desa Sala. Sesampainya di desa Sala, mereka berjalan mengelilingi rawa-rawa
yang ada disekeliling desa Sala. Akhirnya, mereka dapat menemukan sumber tirta amerta kamandanu (air
kehidupan, sumber mata air). Hal itu dilaporkan kepada Sunan, dan kemudian Sunan memutuskan bahwa desa Sala-
lah yang akan dijadikan pusat istana baru. Sunan segera memerintahkan agar pembangunan istana segera dimulai.
Atas perintah Sunan, seluruh abdi dalem dan sentana dalem membagi tugas: Abdi dalem mancanegara Wetan dan
Kilen dimintai balok-balok kayu, jumlahnya tergantung pada luas wilayahnya. Balok-balok kayu tersebut
selanjutnya dimasukkan ke dalam rawa di desa Sala sampai penuh. Meskipun demikian belum dapat menyumbat
mata air rawa tersebut, bahkan airnya semakin deras.

Sanadyan kelebetana sela utawi balok ingkang ageng-ageng ngantos pinten-pinten ewu, meksa mboten saget
pampet, malah toya saya ageng ambalaber pindha samodra.(Tus Pajang, 1940:24-25).
(Walaupun diberi batu ataupun balok-balik kayu yang besar-besar sampai beribu-ribu banyaknya, terpaksa tidak
dapat tertutup, bahkan keluarnya air semakin besar dan menyeruap bagaikan samudra).

Demikian akhirnya Kyai Gede Sala memperoleh ganti rugi sebesar sepuluh ribu ringgit (saleksa ringgit) dari
Sunan. Selanjutnya Kyai Gede Sala bertapa di makam Kyai Bathang. Di dalam bertapa itu Kyai Gede Sala
memperoleh “Sekar Delima Seta” dan daun lumbu (sejenis daun talas). Kedua barang tersebut dimasukkan ke dalam
sumber mata air (tirta amerta kamandanu). Sesudah itu dilakukan kerja bakti (gugur gunung) menutup rawa.
Akhirnya pekerjaan itu selesai dengan cepat. Penghuninya dipindahkan dan dimukimkan kembali di tempat lain
(“wong cilik ing desa Sala kinen ngalih marang ing desa Iyan sami”). Kemudian pembangunan dimulai dengan
menguruk tanah yang tidak rata dan dibuat gambar awal dengan mengukur panjang dan lebarnya (“ingkur amba
dawane”). Puluhan ribu (leksan) buruh bekerja di proyek pembangunan itu. Dinding-dinding pertama dibangun dari
bambu karena waktunya mendesak. Adapun desain umumnya mencontoh model Karaton Kartasura (“anelad
Kartasura”) (Lombard, III: 109).

Gambar 4. Model Keraton Surakarta Mengikuti Keraton Kartasura


Inti kebudayaan Keraton Surakarta yang dicetus Paku Buwana I berupa gagasan, hasil olah pikir dan batin
manusia berupa perilaku hidup menyembah kepada Tuhan YME dan perilaku hidup sosial budaya (hubungan
dengan sesama). Nilai yang terkandung di dalamnya diwariskan pelestariannya dari generasi ke generasi, melalui

306
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

proses seleksi nilai tersebut menurut lintasan perjalanan sejarah. Menurut Paku Buwana I, Sri Radya Laksana adalah
wujud dan gambaran inti kebudayaan Keraton Surakarta. Arti harfiahnya adalah perilaku lahir dan batin untuk
menjunjung tinggi negara. Unsurnya terdiri dari ratu (raja), putra sentana, abdi dalem (punggawa), kawula (rakyat),
fisik bangunan keraton, pemerintahan, wilayah dan kelompok tetua (pendahulu) yang dihormati. Oleh karena itu,
keraton juga sebagai tempat manunggaling ratu, sentana, abdi serta kawula. Atau bersatunya raja, sentana, abdi
serta rakyat, (KRMH. Yosodipura,1990:1).
Keraton Kasunanan Surakarta berdiri pada tahun 1745, dan terus mengalami perkembangan seiring dengan pergantian
raja yang memimpin pemerintahan keraton, yakni dari masa pemerintahan Paku Buwana II hingga Paku Buwana XII.
Perkembangan yang terjadi ternyata masih mengacu pada suatu konsep tata ruang keraton terdahulu yang terus dipertahankan
dari masa ke masa.Perkembangan kawasan ditinjau dari variabel fisik, ternyata elemen-elemen fisik kawasan dirintis sejak masa
Paku Buwana II. Pemerintahan selanjutnya, mengembangkan dan menyempurnakan pembangunan fisik yang ada, masa puncak
perkembangan adalah masa Paku Buwana X. Selain terjadi perkembangan fisik, juga terjadi perubahan fungsi bangunan.
Perkembangan kawasan keraton bila ditinjau dari faktor politik, pada masa Paku Buwana II hingga Paku Buwana XI, keraton
memiliki kekuasaan di bidang politik pemerintahan. Selanjutnya, masa Paku Buwana XII, keraton kehilangan kekuasaan
politiknya, dikarenakan telah bersatunya keraton dengan Pemerintah Republik Indonesia. Perkembangan kawasan keraton
bila ditinjau dari faktor budaya, masa Paku Buwana II, adanya budaya untuk meneruskan tata ruang keraton terdahulu. Masa
Paku Buwana III hingga Paku Buwana X adalah pembentukan dan penyempurnaan konsep tata ruang keraton. Konsep tata
ruang yang terbentuk tersebut terus dipertahankan hingga masa Paku Buwana XII. Kemudian kegiatan upacara adat terus
dipertahankan dan dilaksanakan, terlebih pada masa ini terjadi pengembangan upacara adat besar dengan diciptakannya
Upacara adat Kirab Pusaka, yang menambah ciri khas, karena hanya dilaksanakan di Keraton Kasunanan Surakarta.

Masa Paku Buwana II, Masa Paku Buwana III,


sudah berdiri tembok dibangun tembok
keraton (cempuri) Baluwarti yang
yang diapit dua alun- menjadi benteng
alun. Bangunan yang pertahanan keraton.
didirikan pertama kali Selain dilakukan
adalah bangunan pembangunan di
nDalem Ageng dalam keraton, juga
(berada di dalam dibangun
tembok cempuri) dan permukiman abdi
Tratag Rambat (dekat dalem di dalam
alun-alun lor) tembok keraton.

Gambar 5. Perkembangan Pembangunan Keraton Surakarta Masa PB. II – PB. III

Berdasarkan hasil wawancara dengan KGPH Poeger, (2016) bahwa setelah selesai dibangun nDalem Ageng
bangunan inti keraton, kemudian Sinuhun Paku Buwana II menyampaikan kepada semua kawula/rakyat yang mau
menempati atau membangun rumah di sekeliling cempuri diperbolehkan. Lebih jauh KGPH Poeger menyampaikan
bahwa melihat tanah di sekitar cempuri dengan benteng keraton Baluwarti masih luas, maka Sinuhun

307
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

memperbolehkan ditempati oleh kawula/rakyat, baik abdi dalem, sentana dalem dan putra dalem. Tanah yang luas
tersebut dikapling-kapling dan diberi pagar tembok untuk faktor keamanan. Pemberian lahan untuk dibangun
rumah-rumah kawula didasari akan kewajiban raja kepada kawula/rakyatnya. Hal ini sesuai falsafah Jawa
“manunggaling kawula gusti” dalam konteks horisontal yaitu bahwa raja dan rakyat/kawula harus senantiasa dekat.
Bagi orang Jawa dahulu, pusat dunia ini ada pada raja dan keraton, Tuhan adalah pusat makrokosmos sedangkan
raja dianggap perwujudan wakil Tuhan di dunia, sehingga dalam dirinya terdapat keseimbangan berbagai kekuatan
dari dua alam. Jadi raja dipandang sebagai pusat komunitas di dunia seperti halnya raja menjadi mikrokosmos dari
wakil Tuhan dengan keraton sebagai tempat kediaman raja. Keraton merupakan pusat keramat kerajaan dan
bersemayamnya raja karena raja pun dianggap merupakan sumber kekuatan-kekuatan kosmis yang mengalir ke
daerah kedaulatannya dan membawa ketentraman, keadilan dan kesuburan wilayah.
Permukiman ini tentunya sudah diatur dengan paugeran atau nilai-nilai hukum adat keraton. Berdasarkan
artefak yang ada, wujud dari lansekap pengelompokan tempat tinggal kawula yang tercermin didalam nama-nama
kampung yang hingga kini masih dapat kita runut. Pun bentuk bangunan yang bercirikan arsitektur tradisional Jawa
masih dapat kita lihat dari beberapa bangunan milik abdi dalem dan putra dalem/dalem pangeran dengan style yang
disesuaikan. Pola permukiman disusun mengelilingi cempuri dalam rangka sebagai ‘pagar mangkok’ untuk
senantiasa ikut mengamankan Raja. Ini ditempuh mengingat falsafah Jawa juga mengajarkan bahwa ‘pagar
mangkok’ akan lebih kokoh dibandingkan dengan pagar tembok, yang mana wilayah keraton sendiri juga sudah
dibuat pagar tembok / benteng yang tinggi dan kokoh. Dalam konteks ini yang dimaksud dengan pagar mangkok
adalah Raja yang senantiasa memperhatikan kebutuhan akan sandang, pangan, dan papan bagi kawulanya, sehingga
kebutuhan pokok kawulanya sudah tercukupi dengan sendirinya kawulanya pun akan senantiasa bertanggungjawab
menjaga keselamatan rajanya.

Raja berada pada


R R pusat keraton

Kawula berada
K dekat, dan
K mengelilingi Raja

Benteng (cempuri) Permukiman Kawula Permukiman Kawula


‘Pagar tembok’ ‘Pagar Mangkok’ ‘Magersari’

Gambar 6. Perkembangan Pembangunan Permukiman Baluwarti Masa PB. II – PB. III

Sependapat dengan KGPH Poeger, menurut Kanjeng Budaya (2016) maksud lahan ini diperuntukkan sebagai
tempat tinggal sentana dalem dan abdi dalem adalah dengan pertimbangan bahwa sewaktu-waktu sentana dalem
dan abdi dalem, baik itu pangeran, bupati, prajurit, penari, penabuh dan abdi lainnya, jika diperlukan oleh Raja,
dapat segera tiba dan menghadap. Para bangsawan dan pejabat tinggi Kraton bertempat tinggal pada lokasi yang
terletak di pinggir jalan lingkar utama, sedangkan para abdi dalem menempati rumah tinggal mereka di dalam
perkampungan. Permukiman abdi dalem di Baluwarti awalnya terdiri dari 5 (lima) kampung, yaitu: (1) Kampung
Tamtaman, (2) Kampung Carangan, (3) Kampung Wirengan, (4) Kampung Lumbung, dan (5) Kampung Gambuhan.
Elemen-elemen struktur ruang permukiman, seperti tata ruang pola permukiman (aspek fisik), dan tradisi
kehidupan sosial budaya masyarakatnya dengan segala ritual (aspek non fisik), masih dijalankan sebagian
masyarakat permukiman Baluwarti hingga sampai saat ini, yang melahirkan kekhasan tersendiri. Kekhasan inilah
yang menjadikan lingkungan permukiman Baluwarti yang berada di dalam keraton berbeda dengan permukiman
lain (di luar keraton) di Surakarta. Karena warga permukiman Baluwarti (abdi dalem) yang berada di dalam keraton
diusahakan tetap menjaga tradisi dan budaya keraton (budaya Jawa), dan untuk itu secara berkala diberikan
penjelasan terkait nilai-nilai tradisi dan budaya keraton oleh pihak keraton, hal ini seperti yang disampaikan oleh
KGPH Poeger kepada penulis, (2016).

308
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Baluwarti

Gambar 6. Konsep Struktur Ruang Permukiman Baluwarti Masa PB. III


Kesimpulan
Permukiman Baluwarti dibangun setelah bangunan inti keraton (ndalem Ageng) selesai. Atas kehendak Raja
Sinuhun Paku Buwana II memberikan hak pakai (magersari) tanah keraton kepada semua kawula yang
membutuhkan tempat tinggal. Kebijakan ini didasari oleh falsafah Jawa ‘manunggaling kawula gusti’ dimana Raja
dan Kawula / rakyat senantiasa bersatu didalam membangun keselaran hidup. Didalam pembangunan permukiman
Baluwarti ini, tidak terlepas dari tradisi dan budaya keraton sebagai paugeran yang senantiasa dijalankan secara
turun-temurun dalam setiap sendi kehidupan, termasuk pengaturan bangunan yang terwujud dalam tata letak dan
bentuk bangunan yang sudah diatur sedemian rupa. Sehingga struktur ruang permukiman Baluwarti yang mulai
dibangun pada masa Paku Buwana III sarat dengan nilai-nilai tradisi dan budaya keraton sebagai pembentuk elemen
ruangnya baik secara fisik dan non fisik untuk mewujudkan keselarasan dengan alam.

Daftar Pustaka
Budihardjo, Eko. (1997). “Jati Diri Arsitektur Indonesia”. Alumni, Bandung
Doxiadis, CA, (1974). Action for A Better Scientific Aproach to the Subject of Human Settlements : The
Anthropocosmos Model, Ekistics, 229, 405-412.
Farkhan, Ahmad. (2002). “Perubahan Bentuk Dan Struktur Lingkungan Permukiman Di Baluwarti Surakarta”.
Tesis, Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro,Semarang
Koentjaraningrat, (2009). “Pengantar Ilmu Antropologi”, Rineka Cipta, Surabaya.
Muhajir, Noeng, 2000, Metodologi Keilmuan, Rake Sarasin, Yogyakarta.
Radèn Ngabèi Yasadipura I. (1937). “Babad Giyanti”. Jilid 1, Serie No. 1259 Bale Pustaka - Batawi Sèntrêm.
Sasongko, Ibnu. (2005). “Pembentukan Struktur Ruang Permukiman Berbasis Budaya, (Studi Kasus: Desa Puyung -
Lombok Tengah)”. Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur Vol. 33, No. 1. Institut Teknologi Nasional, Malang.
Sri-Hardiyanti, Nurul. (2005). “Studi Perkembangan Dan Pelestarian Kawasan Keraton Kasunanan Surakarta”. Dimensi
Teknik Arsitektur, Vol. 33, No. 1, Desember 2005: 112 – 124
Soeratman, Darsiti, (1989). Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939, Taman Siswa,Yogyakarta

309
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

KONSEP COURTYARD PADA PERMUKIMAN MULTI-ETNIS HISTORIS


DI KOTA LAMA GRESIK SEBAGAI KONSEP KEARIFAN LOKAL
BERDASARKAN PERSPEKTIF POST-KOLONIAL

Dian Ariestadi*1, Antariksa2, Lisa D. Wulandari3 dan Surjono4


1
Mahasiswa Program Doktor Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya Malang & Dosen Jurusan Teknik
Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Negeri Malang
Jl. MT Haryono 169 Malang Telp 0341 567486
2,3
Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya Malang
Jl. MT Haryono 169 Malang Telp 0341 567486
4
Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya Malang
Jl. MT Haryono 169 Malang Telp 0341 567486
Email: dian.ariestadi.ft@um.ac.id

Abstrak

Perkembangan kota-kota Indonesia khususnya Jawa, tidak terlepas dari sejarah kota-kota pesisir
sebagai bandar perniagaan, bertemunya berbagai etnis pendatang, dan berkembang menjadi kota
multikultur yang heterogen. Pada era kolonial, kota pesisir utara jawa merupakan pusat-pusat
prioritas wilayah yang dikuasai, sehingga saat ini memiliki jejak pengaruh kolonialisme baik struktur
fisik, sosial, hingga kulturalnya. Paradigma post-kolonialis menekankan perspektif kajian pada kuasa
(power), identitas, serta upaya-upaya resiliensi untuk mempertahankan eksistensi (struggle). Pada
kota historis era kolonial paradigma post-kolonialis tidak hanya mengkaji aspek hegemoni power
penjajah serta dampak pada pihak terjajah (subaltern), tetapi lebih luas dapat mengkaji konsep-
konsep resiliensinya sebagai konsep sosial dan budaya lokal. Kajian ini menggunakan metode
deskriptif kualitatif dengan eksplorasi tipo-morfologi spasial dan arsitektural pada bangunan dan
lingkungan hunian yang ada di Kota lama Gresik. Dalam perspektif postkolonial, pola tata ruang
kota dengan pola permukiman multi-etnis Kota lama Gresik yang tertutup merupakan perwujudan
bentuk dari upaya kelompok etnis untuk mempertahankan identitas, melindungi privasi dan teritori
dari kekuatan-kekuatan yang mengganggu eksistensi etnis mereka. Transformasi konsep courtyard
pada bangunan dan lingkungan di permukiman multi-etnis Kota lama Gresik terlihat tidak menjadi
konflik, baik antar etnis maupun konflik masyarakat dengan pihak penguasa, melainkan dapat
digunakan sebagai mekanisme kontrol pada satu lingkungan etnis yang ternyata sesuai dengan
tuntutan kebutuhan sosial dan budayanya. Dalam perspektif postkolonial, toleransi dan demokrasi
merupakan atribut penting dalam dinamika pemahaman dan penggunaan konsep courtyard.
Courtyard yang telah terbentuk dan berkembang di kota multi-etnis Gresik dapat digunakan sebagai
potensi kearifan lokal untuk konsep lingkungan hunian, arsitektur dan kota yang berkelanjutan.

Kata kunci: Courtyard; Gresik; Historis; Kearifan Lokal; Multi-etnis; Post-kolonial

Pendahuluan
Kota menempati kedudukan penting dalam dinamika kebudayaan sebagai pusat komunitas sosial dan
kultural. Perkembangan lingkungan, kota dan arsitektur di Indonesia tidak terlepas dari sejarah perkembangan kota-
kota di pesisir utara Pulau Jawa. Kota-kota tersebut berperanan penting dalam rute perdagangan Internasional pada
jalur Selatan: Selat Malaka - Laut Jawa – Maluku. Selain sebagai jalur perdagangan dunia, kota pesisir utara Jawa
merupakan jalur perkembangan dan penyebaran agama Islam.
Kota-kota pantai atau pesisir merupakan tipologi kota multikultur, terbentuk dan berkembang dengan
masyarakat yang multi-etnis, membentuk struktur yang heterogen dengan budaya baru melalui proses akulturasi.
Kota-kota pantai atau pesisir khususnya pesisir utara Jawa merupakan kategori kota awal di Indonesia yang
terbentuk dan berkembang menjadi kota-kota besar dan modern. Perkembangan ini menunjukan fenomena
permukiman etnis sebagai bagian penting pembentukan lingkungan, kota, dan arsitektur di Indonesia. Arsitektur
Pesisir dipandang sebagai konsep arsitektur yang merupakan relasi antara fungsi, bentuk dan makna arsitektur
pesisir sebagai kesatuan yang utuh dalam membentuk identitas arsitektur kota Pesisir, dengan ciri yang melekat
sebagai bentuk akulturasi budaya dan memiliki nilai dan unsur yang adaptif terhadap segala perubahan (Fauzy dkk,

310
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

2011). Perkembangan kota-kota di wilayah pantura yang dicatat sebagai kota bandar pelabuhan dan perdagangan
besar antara lain Gresik, Tuban, Lasem, Semarang, Cirebon, dan Batavia.
Kajian arsitektur dan kota multi etnis banyak dilakukan terkait dengan konsep pembentukan dan penggunaan
ruang karena kompleksitas interaksi keragaman sosial, budaya, serta aspek politik di dalamnya. Teori ‘Production
of Space’ (Lefebvre, 1991) menekankan interaksi sosial sebagai aspek penting dalam pembentukan ruang,
sedangkan teori ‘Power of Place’ (Hayden, 1995) menyebutkan bahwa penggunaan ruang pada kawasan multi etnis
dipengaruhi oleh aspek dominasi dan penguasaan kelompok pengguna ruang. Perubahan keinginan untuk
berkelompok memunculkan ide penguasaan ruang (Marcus & Cameron, 2002) sehingga tidak lagi terdapat ruang
yang bebas-kuasa (no power – free space). Ruang bersama (shared space) berubah menjadi ruang terbagi (divided
spaces), ruang inklusif atau eksklusif, atau ruang antara – space of ambiguity.
Perkembangan paradigma dalam teori arsitektur saat ini harus dapat memahami berbagai diversitas,
diskontinuitas, kontigensi, dan keniscayaan untuk dapat mengikuti perubahan-perubahan fenomena yang tidak
dapat diprediksikan (Heynen & Wright, 2012). Kajian-kajian dengan berbagai paradigma teori baru yang bersifat
interdisipliner diharapkan dapat mengembangkan berbagai fenomena dan konsep spasial, arsitektural, dan desain
urban. Paradigma dalam kajian teori arsitektur berkembang dari penggunaan paradigma modernisme, fenomenologi,
strukturalisme, post-modernisme, hingga post-strukturalis (Leach, 1997). Penggunaan paradigma poststrukturalis
dapat mengungkapkan makna dari sebuah fenomena dengan lebih holistik. Ruang, bangunan, atau lingkungan
terbangun tidak berhenti pada bentukannya saja, tetapi akan terus diberi makna oleh penghuninya (Aryanti, 2013).
Kajian teori arsitektur saat ini juga semakin kompleks, dalam Handbook of Architectural Theory disimpulkan
bahwa kuasa (power), diferensiasi (difference), dan perwujudan (embodiment) sebagai aspek penting dalam
perkembangan teori arsitektur yang dikaji dengan paradigma dan perspektif dari kapitalisme dan teori kritik, post-
kolonial, hingga pendekatan feminist (Crysler, Cairns & Heynen, 2012). Paradigma post-kolonialis menekankan
pada kajian kuasa (power), identitas, serta upaya-upaya resiliensi untuk mempertahankan eksistensi (struggle).
Dalam definisi luas, perspektif postkolonial menyuarakan untuk semua jenis dan situasi perjuangan melawan
kekuasaan hegemonik (Hosagrahar, 2012). Teori post-kolonial dalam arsitektur sebagai istilah yang digunakan
untuk merujuk kepada cara baru pemahaman konteks "non-Barat" (Akcan, 2014). Hasil dari berkerjanya
kolonialisme selama lebih dari tiga abad sangat banyak dan beragam. Melalui perspektif post-kolonial semua
dampak buruk tersebut bisa terungkap. Dampak tersebut tidak hanya berbagai penderitaan fisik dan batin sepanjang
berlangsungnya penjajahan, namun sampai dengan saat ini setelah lebih dari setengah abad penjajahan berakhir.
Dampak-dampak tersebut hanya kelihatan setelah meggunakan kacamata teori post-kolonial.
Pada kota historis era kolonial paradigma post-kolonialis tidak hanya mengkaji aspek hegemoni pihak
penguasa (power) dan pihak yang terjajah (subaltern) sebagai pihak marginal, tetapi dengan lebih luas dapat untuk
mengkaji konsep-konsep resiliensinya. Pengelompokan etnis dan pemisahan permukiman berdasarkan ras dalam
kebijakan kolonial tidak sepenuhnya mampu membuat dikotomi mutlak. Pada batas-batas tertentu ada titik-titik
temu yang memungkinkan pemisahan tersebut membentuk ciri baru (Soekiman, 2014).
Kota Gresik secara historis tercatat sebagai kota awal masuknya Islam khususnya di Pulau Jawa, berkembang
sebagai kota bandar perniagaan besar hingga era kolonial. Sejarah panjang perkembangan Kota Gresik membentuk
lingkungan kota yang spesifik dengan permukiman multi-etnis dan multi-kultur yang saling berdekatan dan masih
dapat diamati saat ini. Struktur ruang kota Gresik yang heterogen dengan lingkungan permukiman enclave multi-
etnis Arab, Cina, Belanda, serta permukiman multi-kultur lainnya seperti Kauman, Pekelingan, dan Kemasan.
memiliki bentukan ruang-ruang terbuka di tengah hunian dan lingkungan (courtyard).
Tipologi courtyard telah dikenal di lingkungan Arab, Cina, Jepang hingga Eropa memiliki karakteristik
sosial, kultural dan lingkungan yang menunjukkan hubungan dengan permasalahan mekanisme privasi berhuni serta
berkaitan dengan aspek sosial budaya seperti: religi, gender, teritori, serta keamanan (Edward, et al., 2006). Konsep
courtyard pada hunian dan lingkungan merupakan potensi konsep spasial dan arsitektural yang berperan penting
dalam pengaturan sistem aksesibilitas dan transportasi, keamanan, serta kenyamanan bangunan dan lingkungan
(Rapoport, 2007). Kajian konsep courtyard yang terbentuk dan berkembang di ruang hunian dan lingkungan pada
kawasan kota lama di Kota Gresik diharapkan akan mengungkapkan konsep struktur ruang kota historis sebagai
konsep dan teori kearifan lokal untuk memperkaya teori-teori ruang dan tempat (space and place), teori arsitektur,
serta teori pengembangan kota di Indonesia khususnya kota di pesisir utara Jawa yang merupakan simpul historis
perkembangan kota di Indonesia. Sedangkan penggunaan perspektif post-kolonial pada kajian kota multi-etnis yang
juga merupakan lingkungan multikultur akan mengidentifikasi keberberkaitannya dengan integrasi - segregasi,
komunal - pemisahan (shared) ruang, serta konsep-konsep stabilitas dan dinamika keruangannya yang berhubungan
dengan aspek-aspek kuasa (power), identitas, serta upaya-upaya resiliensi untuk mempertahankan eksistensi
(struggle).

Metode
Kajian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan eksplorasi tipologi-morfologi spasial dan
arsitektural pada bangunan dan lingkungan hunian yang ada di Kota lama Gresik. Selanjutnya data-data tipologi

311
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

kasus-kasus kajian akan dianalisis melalui deskripsi catatan-catatan arsip historis dan hasil-hasil observasi data
lapangan.
Populasi dalam penelitian ini adalah lingkungan kawasan permukiman multi-etnis Gresik. Survei lapangan
dilakukan melalui observasi langsung kawasan permukiman multi-etnis Gresik. Survei lapangan dititikberatkan pada
deskripsi data fisik beserta latar sosial, budaya, dan historisnya. Teknik pengamatan yang dilakukan berupa insight
observation, diperkaya dengan interpretasi komparatif pada objek-objek yang dipilih sebagai kasus kajian. Objek
pengamatan meliputi bangunan-bangunan rumah tinggal, lingkungan dan tapak dalam skala mikro, meso (kelompok
rumah tinggal), serta makro untuk lingkup kawasan yang lebih luas yaitu kawasan permukiman multi-etnis di
wilayah kota lama Gresik.
Berdasarkan RDTR dan Zoning Regulation Kota Gresik 2008-2028, wilayah historis tersebut berada pada
Satuan Kawasan Pengembangan I (SKP I) Kecamatan Gresik yang meliputi Kawasan Kota Lama dan sekitarnya
(Gambar 1).

Kawasan historis
Kota lama Gresik

Gambar 1. Peta satuan pengembangan kawasan Kecamatan Gresik (Pemda Gresik, 2012)

Hasil dan Pembahasan


Hasil penelitian merupakan gambaran tipologi-morfologi fisik bangunan dengan courtyard dan potensi
courtyard komunal pada kawasan Kota Lama Gresik. Selanjutnya, pembahasan melalui deskripsi kasus-kasus kajian
dengan perspektif post-kolonial.

Kota Lama Gresik yang Multi-etnis dan Multi-kultur


Kawasan permukiman lama di Wilayah Kota Lama Gresik terdiri atas: (1) Kampong Pecinan, sebagai
kawasan kampung lama dengan fungsi utama hunian etnis Cina, (2) Kampung Arab yang merupakan kawasan
kampung lama dengan fungsi utama hunian etnis Arab dengan pola lingkungan tertutup dan aktivitas pengrajin
tenun, (3) Kampong Kemasan, sebagai kawasan kampung lama dengan fungsi utama hunian etnis jawa dengan pola
ikatan kekerabatan dan umumnya memiliki tingkat sosial ekonomi yang tinggi, (4) Kampong Kepatihan, sebagai
kawasan kampung lama dengan fungsi utama hunian untuk pegawai pemerintahan, dan (5) Kampung Pakelingan
yang merupakan lingkungan kawasan dengan fungsi rumah tinggal dan karakteristik masyarakat pedagang
(Widyastuti, 2011). Kawasan permukiman etnis yang saling berdekatan ini menjadikan kondisi fisik kota sebagai
gambaran kota multi etnis dan multi-kultur (Gambar 2).

Gambar 2. Peta lingkungan multi-etnis Kota Lama Gresik (Peta Rupa Bumi Digital Indonesia skala 1:25.000 Lembar 1608-432 Surabaya
(Bakorsurtanal) & Google Map, 2016)

312
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Hasil tinjauan tipologi-morfologi menunjukan gambaran lingkungan fisik perkembangan kawasan Kota
Lama Gresik yang pernah berperan sebagai kota pusat perkembangan Islam, pusat perdagangan dan industri
dipengaruhi oleh peristiwa politik. Sejarah perkembangan Kota Gresik terdiri atas tahapan periode: (1) tahun 1480-
1487 merupakan tahap perkembangan awal Kerajaan Giri Kedaton sebagai sentra religious, pusat pengembangan
dan pendalaman ajaran Islam di seluruh Jawa; (2) tahun 1487-1605 yang dimulai saat Kota Grissee mulai
berkembang dengan membuka pelabuhan, menjadi kota dengan fungsi ekonomi dan fungsi politik, sehingga
menjadi perhatian bagi kerajaan-kerajaan Islam di tanah Jawa maupun di luar Jawa; (3) tahun 1605-1748 saat Giri
Kedaton tidak berkembang, mengalami penurunan, dan cenderung diabaikan akibat konflik kepentingan antara
Kerajaan Mataram dengan Pemerintah Kolonial Belanda {Kerajaan Giri Kedaton mengalami masa suram pasca
wafatnya Sunan Prapen dan pimpinan diambil alih oleh Pangeran Singosari, selanjutnya pasukan Kolonial Belanda
berkroni dengan Raja Mataram yaitu Amangkurat II menyerang Giri Kedaton hingga memukul mundur Pangeran
Singosari ke Bojonegoro}, (4) tahun 1748-1916 yang ditandai dengan tumbuhnya kegiatan perindustrian di
Kampung Kemasan yang menjadi cikal bakal terbentuknya Gresik sebagai kota industri; Permukiman Kota Lama
mulai meluas ke arah timur dan ke barat dengan pembangunan permukiman dan industry; Kota Grisse mulai
mendapatkan perhatian oleh Pemerintah Belanda yang menjadikan kawasan tersebut sebagai kawasan industri
penyamakan kulit beserta fasilitas-fasilitas publik lainnya; Kantor Bea cukai pun dibangun di dekat pelabuhan, Kota
Grissee mulai berkembang dengan membuka jaringan kereta api; serta (5) tahun 1916-2008 yang ditandai
pembangunan pelabuhan di Kota Surabaya pada tahun 1911 jalur perdagangan secara berangsur mulai pindah ke
Tanjung Perak dan pelabuhan Gresik mulai ditinggalkan para saudagar besar (Riski et al, 2009). Setelah kawasan
Kota Lama Gresik mulai ditinggalkan, menjadikan kawasan yang ada saat ini hanya dapat menghidupkan aktivitas
kawasan pada siang hari sebagai permukiman, industri kecil dan kerajinan, serta perdagangan dalam skala kecil.
Perkembangan Kota Gresik dengan latar belakang sejarah dan politik yang terjadi menunjukan
perkembangan struktur kota dari kota multi-etnis menjadi kota multi-kultur. Perkembangan awal kota Gresik dengan
fungsi kota kerajaan dan pusat penyebaran agama sehingga menarik minak etnis pendatang Arab, Cina hingga
kolonial Belanda, membentuk lingkungan permukiman multi-etnis kampung Arab, Kampung Pecinan, Kampung
Bedilan (kolonial). Sedangkan perkembangan karena sektor ekonomi, industri dan kerajinan, membentuk
lingkungan permukiman Kampung Pekelingan dan Kampung Kemasan/Kemuteran yang lebih berfungsi sebagai
lingkungan permukiman pengrajin dan pedagang yang berhasil.
Berdasarkan GreenMap Cagar Budaya Kota Gresik (2010), kawasan Kota Lama Gresik merupakan kawasan
historis dengan lingkungan permukiman multi-etnis yang menurut tipologi-morfologi bangunannya terdiri atas:
Kampung Arab, Kampung Pecinan, Kampung Belanda, Kampung Pribumi, Kampung Pecinan Perdagangan, dan
Kampung Peranakan (Gambar 3).

Gambar 3. Peta lingkungan multi-etnis Kota Lama Gresik (Pemda Gresik, 2010)

Sebagai masyarakat majemuk, Indonesia dipandang sebagai tipe masyarakat daerah tropis di mana antara
pemegang kekuasaan dan yang dikuasai memiliki perbedaan ras/etnis. Kelas penguasa yakni orang Belanda
merupakan minoritas, dan yang dikuasai terdiri dari sejumlah etnis yang berbeda. Penduduk bumiputera yang
merupakan penduduk mayoritas menempati lapisan bawah dan menjadi warga negara kelas tiga di negerinya sendiri.
Sementara itu, orang Tionghoa menempati lapisan menengah terbesar di antara orang timur asing lainnya seperti
Arab dan India (Juningsih, 2015).

313
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Konsep Courtyard Hunian dan Lingkungan pada Kawasan Kota Lama Gresik
Kondisi umum lingkungan permukiman multi-etnis pada kawasan Kota Lama Gresik didominasi oleh fungsi
hunian yang bercampur dengan bangunan usaha perdagangan yang terletak di tepi jalan utama kawasan, serta sedikit
bangunan dengan fungsi kantor administrasi. Ruang terbuka pada bangunan (mikro) dan lingkungan (meso dan
makro) di kawasan-kawasan ini merupakan ruang komunal pada lingkungan dengan konsep courtyad.
Kasus-kasus kajian konsep courtyard pada bangunan terutama yang terdapat di Kampung Arab Gresik karena
konsep courtyard yang sangat kuat pada lingkungan hunian yang sangat tertutup (enclave settlement) serta latar
belakang budaya etnis yang kuat. Lingkungan hunian di Kampung Arab dapat terdiri atas lingkungan hunian di
tengah kawasan dengan akses jalan lingkungan khusus yang dibatasi dengan pagar tinggi yang tertutup, dan hunian
di tepi jalan lingkungan atau jalan utama kawasan dengan bangunan rumah tinggal dengan luas yang lebih kecil
(Gambar 4.).

Gambar 4. Tipologi courtyard bangunan di kampung Arab Gresik (Ariestadi, 2014)

Pola hunian di tengah kawasan umumnya memiliki halaman depan sebagai area penerima setelah gerbang
utamanya. Courtyard terletak di belakang bangunan rumah induk utama. Akses courtyard selain dari ruang rumah
tinggal juga selalu terdapat akses tambahan (side entrance) dari samping bangunan utama. Halaman depan dapat
berfungsi untuk aktivitas privat pada saat gerbang utama ditutup. Hunian di tepi jalan lingkungan umumnya
berbatasan langsung dengan jalan lingkungan, jalan utama kawasan, atau dengan hunian lainnya. Bangunan ini
umumnya hanya berfungsi sebagai rumah tinggal tanpa fungsi tambahan kegiatan usaha. Pola ruang courtyard
terletak di belakang atau samping dengan akses tersendiri (side entrance). Dengan demikian selalu terdapat dua
akses yaitu akses utama dan akses tambahan yang ditandai dengan pintu yang selalu tertutup oleh elemen tirai/kerei
(Ariestadi, 2014).
Pada skala yang lebih luas pada lingkungan kelompok hunian (meso) konsep courtyard menggunakan ruang-
ruang komunal khususnya jalan lingkungan sebagai satu-satunya ruang sentral-terbuka-’publik’ pada ruang-ruang di
sekitarnya yang tertutup-’privat’. Ilustrasi konsep courtyard lingkungan seperti pada Gambar 5.

Ket: : Jalan kawasan, : Courtyard, : Jalan Lingkungan sebagai ruang komunal


Gambar 5. Tipologi courtyard lingkungan di kampung Arab Gresik

314
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Secara umum tipologi courtyard lingkungan pada kawasan Kota Lama Gresik terdapat pada lingkungan
permukiman di Kampung Arab, Pecinan, hingga Kampung Kemasan (Gambar 6.).

Kampung Arab Pecinan Kampung Kemaasan


: Area dengan potensi konsep courtyard lingkungan
Gambar 6. Tipologi courtyard lingkungan di kampung Arab Gresik

Penggunaan ruang-ruang komunal pada kawasan, khususnya jalan-jalan lingkungan serta halaman-halaman
semi privat dan privat pada area hunian memenuhi kriteria-kriteria konsepsi courtyard lingkungan/‘komunal’
melalui fungsi-fungsi antara lain: (a) fungsi courtyard sebagai mekanisme privasi kegiatan berhuni; (b) courtyard
sebagai pengaturan sistem yang lebih besar dari rumah tinggal, meliputi jalan sekitarnya, blok, mikro-lingkungan,
lingkungan, dll; (c) courtyard sebagai ruang sentral, sebagai akses ke ruang lain; (d) fungsi courtyard berkaitan
dengan efisiensi penggunaan ruang pada permukiman urban yang padat; serta (e) courtyard juga berkaitan dengan
permasalahan permukiman padat sebagai upaya efisiensi iklim untuk mencapai kenyamanan (Rapoport, 2007).

Konsep Courtyard Kawasan Multi-etnis Kota Lama Gresik dalam Perspektif Post-kolonial
Dalam perspektif post-kolonial aspek kuasa, identitas, dan resiliensi merupakan aspek penting kajian. Dalam
kajian aspek kuasa, relasi yang penting meliputi relasi politis, intelektual, kultural, dan moral (Said, 2010). Struktur
ruang kota yang multi-etnis dan multi-kultur dengan dominasi kondisi spasial dan arsitektur kolonial yang kuat
menunjukkan relasi politis yang paling berperan dalam pembentukan dan perkembangannya. Meskipun demikian,
karena sejarah perkembangan Kota Gresik berawal dari kota sentra pengembangan dan penyebaran agama Islam
maka relasi kultural dan moral masih menunjukkan pembentukan dan perkembangan sosial budaya masyarakat
Gresik yang dilandasi ajaran dan budaya islam yang kuat. Latar belakang sejarah dan budaya Gresik sebagai pusat
perkembangan Islam menjadikan Kota Gresik memiliki kehidupan agama yang kuat (Pemda Gresik, 2012).
Masuknya agama Islam di Gresik membawa budaya dan tradisi yang masih banyak dilakukan masyarakat hingga
saat ini, antara lain tradisi pengajian, ritual ziarah makam, haul atau khol ulama-ulama besar, tradisi Maulud, pasar
bandeng menjelang malam takbiran (Widodo, et al. 2004).
Uraian tersebut menunjukkan bahwa meskipun secara fisik kawasan Kota Lama Gresik yang multi etnis
memiliki karakteristik fisik arsitektur kolonial, tetapi terdapat penyesuaian yang didasarkan kebutuhan akan relasi
kultural dan moral. Relasi kultural dan moral berlandaskan ajaran islam menuntut aturan-aturan dan batasan-batasan
dalam hubungan-hubungan sosial dalam penggunaan ruang. Pengaturan privasi dan teritori merupakan unsur
penting dalam penataan dan penggunaan ruang. Pola tata ruang kota dengan pola permukiman multi-etnis Kota lama
Gresik yang tertutup (multi-etnich enclave settlemen) merupakan perwujudan bentuk dari upaya kelompok etnis
untuk mempertahankan identitas, melindungi privasi dan teritori.
Sejarah Kota Gresik yang dikenal sebagai kota perdagangan dan industri, membentuk kelompok-kelompok
sosial dalam masyarakat menurut jenis dan tingkat sosialnya. Kampung Arab, Pecinan, Kemasan serta Kampung
Bedilan/kolonial dengan fisik bangunan-bangunan besar dan mewah menunjukan tingkat status sosial yang tinggi
untuk menampilkan keberhasilan baik sebagai penguasa secara politis maupun ekonomi. Perbedaan ini berdasarkan
data sejarah tidak menimbulkan konflik dalam masyarakat. Relasi sosial yang terbentuk lebih mempertimbangkan
aspek ekonomi untuk saling menguntungkan dengan latar belakang budaya-tradisi-ajaran berlandaskan keagamaan
(islam) yang kuat.
Keberadaan bangunan hunian dan lingkungan dengan courtyard di lingkungan kota multi etnis Gresik
merupakan bentuk transformasi spasial dan arsitektural. Courtyard merupakan ruang luar yang terletak di tengah
volume ruang interior dan menjadi pusat morfologi dan organisasi spasial. Courtyard berasal dari empat budaya

315
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

kuno Cina, Lembah Hindus India, Ur di Timur Tengah, serta Yunani dan Romawi. Evolusi bentuk tersebut menjadi
tipologi courtyard di Cina, Korea dan Jepang; courtyard di wilayah Asia Kecil; courtyard Arab-Islam; serta
courtyard di negara-negara Eropa (Yu, 1999; Zhang, 2006; Li & Yan, 2010; Edward et al, 2006). Sedangkan konsep
courtyard di Kota Lama Gresik lebih merupakan upaya pembentukan ruang terbuka di tengah bangunan dan
lingkungan dengan latar belakang etnis Arab dan Cina, yang diimplementasikan pada tipologi bangunan kolonial
serta struktur ruang kota/’urban’ yang padat. Pembentukan konsep courtyard pada lingkungan yang terbatas
merupakan upaya untuk menunjukan identitas etnis. Selain itu, penggunaan ruang courtyard sebagai pusat aktivitas
bersama dalam lingkup privat merupakan upaya resiliensi sesuai persyaratan sosial, budaya dan agama. Dalam
lingkup skala yang lebih luas konsep courtyard lingkungan pada ruang-ruang komunal dengan memanfaatkan
ruang-ruang jalan lingkungan yang tertutup dapat mengontrol aksesibilitas sesuai tingkatan publik-privat yang
sesuai.
Tinjauan aspek identitas dan resiliensi sebagai aspek kajian post-kolonial pada konsep courtyard di Kota
Lama Gresik menempatkan unsur kontrol privasi dan teritori sebagai unsur yang paling penting. Keberadaan
courtyard dapat mewadahi kegiatan sosial-komunal penghuni dalam suatu lingkungan dengan teritori ruang privat
yang sangat dominan. Courtyard mampu menciptakan keseimbangan karena tetap memberikan ruang untuk
kegiatan sosial-komunal diantara dominasi kegiatan dengan tuntutan privasi yang tinggi. Dengan demikian pola
kawasan etnich-enclave dengan konsep courtyard bangunan dan lingkungan di Kota Lama Gresik merupakan salah
satu bentuk arsitektur pertahanan karena dengan ketertutupannya maka tradisi dan kebudayaan masyarakat sesuai
etnisnya dapat lebih mudah untuk dipertahankan (Ariestadi, 2014).

Kesimpulan
Konsep courtyard di lingkungan kota multi etnis Gresik digunakan sebagai mekanisme privasi berhuni pada
kawasan etnis yang tertutup (enclave settlemen), pengaturan sistem kawasan, ruang sentral dan akses ke ruang lain,
serta efisiensi penggunaan ruang pada permukiman urban yang padat. Berkaitan dengan permasalahan permukiman
urban yang padat konsep courtyard dapat diimplementasikan sebagai upaya efisiensi untuk mencapai kenyamanan
iklim bangunan dan lingkungan. Transformasi konsep courtyard pada bangunan dan lingkungan di permukiman
multi-etnis Kota lama Gresik terlihat tidak menjadi konflik, baik antar etnis maupun konflik masyarakat dengan
pihak penguasa, melainkan dapat digunakan sebagai mekanisme kontrol pada satu lingkungan etnis yang ternyata
sesuai dengan tuntutan kebutuhan sosial dan budaya mereka.
Dalam perspektif post-kolonial, dinamika pemahaman dan penggunaan konsep courtyard yang terbentuk
dan berkembang di Kota Lama Gresik dipengaruhi oleh: politik kekuasaan, upaya untuk menunjukkan identitas,
serta upaya resiliensi untuk mempertahankan identitas. Konsep courtyard yang telah terbentuk dan berkembang di
kota multi-etnis Gresik dapat digunakan sebagai potensi kearifan lokal bentuk dan konsep lingkungan hunian,
arsitektur dan kota menuju konsep kota berkelanjutan.

Daftar Pustaka
Akcan, E. (2014). Postcolonial Theories in Architecture. Dalam A Critical History Of Contemporary Architecture
1960–2010. Haddad, E.G. & Rifkind, D. (Editors). London-Thousand Oaks-New Delhi: SAGE
Publications Ltd
Ariestadi D., (2014), " Teritori Ruang Hunian dan Kawasan pada Arsitektur Rumah Courtyard Di Kampung Arab
Gresik" Prosiding Seminar Nasional Arsitektur Pertahanan (ARSHAN) 2014 , Program Studi Arsitektur,
UPN “Veteran” Jatim, 08 Agustus 2014, Insting Teritorial dan Ruang Pertahanan, pp. 155-164.
Aryanti, T. (2013). Breaking The Wall, Preserving The Barrier: Gender, Space, and Power In Contemporary
Mosque Architecture in Yogyakarta, Indonesia. PhD Dissertation. Urbana, Illinois: University of Illinois at
Urbana-Champaign.
Crysler C.G., Cairns S., & Heynen H., (Editors). (2012). The SAGE Handbook of Architectural Theory. London-
Thousand Oaks-New Delhi: SAGE Publications Ltd.
Edwards B., Sibley M., Hakmi M., & Land P. (Editors). (2006). Courtyard Housing Past, Present and Future. New
York: Taylor & Francis
Fauzy B., Antariksa & Salura P. (2011). Memahami Relasi Konsep Fungsi, Bentuk dan Makna Arsitektur Rumah
Tinggal Masyarakat Kota Pesisir Utara Di Kawasan Jawa Timur: Kasus Studi Rumah Tinggal di Kampung
Karangturi dan Kampung Sumber Girang, Lasem. DIMENSI (Journal of Architecture and Built
Environment), Vol. 38, No. 2.
Hayden, D. (1995). The Power of Place: Urban Landscapes as Public History. Cambridge: The MIT Press.
Heynen H., & Wright G. (2012). Introduction: Shifting Paradigms and Concerns. Dalam The SAGE Handbook of
Architectural Theory. Crysler C.G., Cairns S., & Heynen H., (Editors). London- Thousand Oaks-New
Delhi: SAGE Publications Ltd.

316
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Hosagrahar J. (2012). Interrogating Difference: Postcolonial Perspectives in Architecture and Urbanism. Dalam The
SAGE Handbook of Architectural Theory. Crysler C.G., Cairns S., & Heynen H., (Editors). London-
Thousand Oaks-New Delhi: SAGE Publications Ltd.
Juningsih L., (2015), " Multikulturalisme Di Yogyakarta dalam Perspektif Sejarah" Prosiding Seminar Dies Natalis
Fakultas Sastra, USD ke-22, Pergulatan Multikulturalisme di Yogyakarta dalam Perspektif Bahasa, Sastra,
dan Sejarah, pp. 1-11.
Leach N., (Ed). (1997). Rethinking Architecture: A reader in cultural theory. London and New York: Routledge,
Taylor & Francis Group.
Lefèbvre, H. (1991). The Production of Space. Cambridge and Oxford: Blackwell
Li, Y. and Yan, X. (2010). Analysis on the Characteristics of Guanzhong Traditional Residential Courtyard - Take
Tang Courtyard in Xunyi County as an Example. Asian Social Science, CCSE. www.ccsenet.org/ass, Vol. 6
No. 3.
Markus T.A., & Cameron D. (2002), The Words Between the Spaces, Buildings and Language, London, Routledge
Pemda Gresik (2010). GreenMap Cagar Budaya Kota Gresik: Study Analisa Aset Bangunan Bersejarah (Kuno) Di
Kabupaten Gresik. Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Gresik Bekerjasama dengan Lembaga Penelitian
dan Pengabdian kepada Masyarakat ITS Surabaya.
Pemda Gresik (2012). Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) Koridor Jl. Pahlawan – Alun-Alun – Jl.
Raden Santri – Jl. HOS Cokroaminoto – Jl. Basuki Rahmat. Dinas Pekerjaan Umum, Pemerintah
Kabupaten Gresik.
Rapoport, A. (Special Article). (2007). The Nature of the Courtyard House: A Conceptual Analysis. TDSR
VOLUME XVIII NUMBER I I
Riski C., Antariksa, & Surjono. (2009). Pelestarian Kampung Kemasan Kota Lama Gresik. Arsitektur e-Journal,
Volume 2 Nomor 2
Said, E. W. (2010). Orientalisme. (Terjemahan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Soekiman, D. (2014). Kebudayaan Indis, Dari Zaman Kompeni sampai Revolusi. Depok : Komunitas Bambu
Widodo, D. I. (Editors). (2004). Grissee Tempo Doeloe. Pemerintah Kabupaten Gresik
Widyastuty A. A. S. I. (2011). Identifikasi Kawasan Kota Lama Gresik. Jurnal Teknik WAKTU, Vol. 09, No. 02.
Yu, N. (1999). The Urban Courtyard Housing Form as a Response to Human Needs, Culture and Environment.
Thesis: The University of Guelph.
Zhang, D. (2006). New courtyard houses of Beijing: direction of future housing development. URBAN DESIGN
International 11, pp. 133–150. www.palgrave-journals.co.uk/udi

317
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

ANALISA SIFAT MEKANIS PISTON BEKAS


HASIL PROSES TEMPA

Kurniawan Joko Nugroho1*, Ahmad Haryono2


1,2
Dosen Teknik Mesin Politeknik Pratama Mulia Surakarta
Email: wawanjoko01@gmail.com, ahmadharyono@gmail.com

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk meneliti perbedaan sifat mekanik dan struktur mikro pada piston hasil
proses tempa. Bahan penelitian adalah piston bekas pemakaian selama 5 tahun dan original keluaran
pabrikan. Untuk uji komposisi kimia menggunakan spectrometer, sedangkan uji kekerasan
menggunakan Brinnel Tester, uji struktur mikro dengan alat mikroskop optik, sedangkan uji keausan
menggunakan mesin Oghosi High Speed Universal Wear Testing Machine (Type-OAT-U). Hasil uji
komposisi menunjukkan bahwa material piston proses pengecoran mempunyai paduan unsur utama
83,56 wt % Al, 12,6322 wt % Si, 1,3110 wt % Ni. Sedangkan untuk piston hasil proses tempa
mempunyai unsur utama 82,97 wt % Al, 12,0385 wt % Si, 3,9462 wt % Cu dan unsur – unsur atom
yang lain dengan total 100 wt %.Harga kekerasan untuk piston hasil proses pengecoran 85,1 – 91,98
BHN, sedangkan angka kekerasan tertinggi untuk piston hasil proses tempa adalah 127,8 BHN. Hasil
uji keausan untuk piston proses pengecoran abrasi spesifik 5.05E-04 mm2/kg sedangkan proses tempa
1.71E-04 mm2/kg. Hasil struktur mikro piston hasil proses tempa lebih halus dan terdapat partikel
silicon eutektik sedangkan proses pengecoran terdapat partikel silicon berbentuk jarum, dikarenakan
kandungan unsur Fe lebih tinggi dari proses tempa.

Kunci : Piston Proses Tempa, Uji Kekerasan, Uji Keausan dan Struktur Mikro

Pendahuluan
Penggunaan logam ferro seperti besi dan baja masih mendominasi dalam perencanaan-perencanaan
mesin maupun dalam bidang konstruksi. Sedangkan penggunaan logam non ferro yang terus meningkat dari
tahun ke tahun yaitu logam alumunium [1]. Hal ini terlihat dari urutan pengunaan logam paduan alumunium
yang menempati urutan kedua setelah pengunaan logam besi atau baja, dan diurutan pertama untuk logam
non ferro [1]. Pemakaian alumunium khusus pada industri otomotif juga terus meningkat Sejak tahun 1980 [2]
dan terus meningkat seiring meningkatnya jumlah kendaraan bermotor di indonesia. Banyak komponen otomotif
yang terbuat dari paduan aluminium, diantaranya adalah piston, blok mesin, cylinder head, valve dan lain
sebagainya. Penggunaan paduan aluminium untuk komponen otomotif dituntut memiliki kekuatan yang baik. Agar
alumunium mempunyai kekuatan yang baik biasanya logam alumunium dipadukan dengan dengan unsur-unsur
seperti: Cu, Si, Mg, Zn, Mn, Ni, dan sebagainya. Mengolah bijih alumunium menjadi logam alumunium (Al)
memerlukan energi yang besar dan biaya yang mahal untuk mendapatkan logam alumunium masalah yang
utama sebetulnya pada keterbatasan bijih alumunium dialam, karena bijih alumunium merupakan sumber daya
alam yang tidak dapat diperbaharui. Karena biasanya sifat dan kualitas piston hasil pengecoran ulang tidak
bisa sama dengan piston dari bahan baku baru yaitu Al-Si. Proses pengecoran (casting) sering dilakukan
untuk menghasilkan satu komponen mesin atau peralatan lainnya. Proses pengecoran ini terdiri dari bermacam-
macam metode, seperti gravity casting, pressure casting, centrifugal casting, dan forging. Masing – masing
metode mempunyai keunggulan tersendiri. Pada proses pembuatan piston yang dilakukan oleh industri kecil
biasanya menggunakan metode gravity casting, mengingat metode ini sangat mudah dikerjakan. Bila
dibandingkan dari kualitas hasil pengecoran, centrifugal casting dan pressure casting lebih baik daripada
gravity casting, dimana hal yang mempengaruhi terhadap sifat mekanik pada proses pengecoran salah satunya
adalah tekanan logam cair saat dimasukkan kedalam cetakan. Untuk meningkatkan kualitas hasil pengecoran ,
alternatif penggunaan metode centrifugal casting dan pressure casting dapat dilaksanakan dengan
mempertimbangkan biaya yang dibutuhkan. Bila menggunakan pressure casting, maka biaya yang dibutuhkan
sangat besar dan tidak sebesar bila menggunakan metode centrifugal casting [4] Kualitas pengecoran dapat
dilihat dari sifat-sifat mekanik bahan hasil pengecoran, beberapa sifat mekanik yang sering diuji pada satu
material adalah kekerasan, tegangan tarik, kemampuan menyerap gaya dari luar (impact). Hal lain yang perlu

318
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

dilakukan adalah uji struktur mikro, dimana struktur mikro dapat memprediksi sifat-sifat mekanik dilihat dari
bentuk dan ukuran butir serta fasa yang terjadi.

Bahan dan Metode Penelitian


Bahan Penelitian :
a. Piston asli pabrikan hasil pengecoran
b. Piston asli pabrikan hasil proses tempa (forging).

Metode Penelitian
1. Langkah Pembuatan Spesimen
a. Bahan piston asli pabrikan hasil proses pengecoran dan proses tempa, dipotong-potong sebanyak 20 buah
dengan ukuran 15 mm x 10 mm x 8 mm.
b. Membuat rumah cetakan dari bahan pipa PVC berdiameter 50 mm dengan tinggi 10 mm.
c. Spesimen diletakkan di dalam rumah cetakan yang diletakkan diatas bidang datar, kemudian melakukan
pencetakan menggunakan resin dan katalis dengan perbandingan 100 : 2, kemudian didinginkan di udara.
d. Mengamplas permukaan spesimen menggunakan mesin poles dengan amplas nomor 100 sampai dengan
nomor 2000 hingga rata dan halus. Setelah selesai dilanjutkan dengan polishing dengan autosol metal polish
pada kain beludru.
e. Spesimen yang telah dipoles permukaannya hingga mencapai tingkat kekasaran 0,02 - 0,06 µm, dicuci
hingga bersih kemudian dikeringkan dengan kain.

2. Pengujian Awal Spesimen


Spesimen yang telah dipoles permukaannya hingga mencapai tingkat kekasaran 0,04 µm, selanjutnya dilakukan
a. Uji Komposisi Kimia.
Satu spesimen hasil proses pengecoran dan tempa di uji komposisi kimia di PT. KHS Yogyakarta, dengan
menggunakan alat spektrometer, merk Hilger, type E 2000/Fe .
b. Uji Kekerasan.
Satu spesimen hasil pengecoran dan tempa diuji kekerasannya menggunakan alat microhardnesstester di
Laboratorium Bahan Mekanik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Merk Buehler.
c. Uji Keausan
Pengujian keausan yang dilakukan menggunakan metode Oghosi dengan prinsip piringan putar (revolving
disk) sebagai media penggesek yang menggesek permukaan spesimen, gesekan tersebut akan
menghasilkan jejak keausan pada bagian yang lebih lunak.
d. Uji Struktur Mikro dan Uji SEM
Satu spesimen hasil pengecoran dan tempa diuji struktur mikronya mikroskop optic yang berada di Lab.
Ilmu Bahan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Hasil dan Pembahasan


1. Uji Komposisi Kimia
Hasil uji komposisi menunjukkan bahwa material piston hasil proses cor mempunyai paduan unsur utama
83,56 wt % Al, 12,6322 wt % Si, 1,3110 wt % Ni dan unsur – unsur atom yang lain dengan total 100 wt %.
Sedangkan untuk piston hasil proses tempa mempunyai unsur utama 82,97 wt % Al, 12,0385 wt % Si, 3,9462 wt %
Cu dan unsur – unsur atom yang lain dengan total 100 wt %.. Adapun hasil lengkap pengujian komposisi material
piston hasil proses cor dan tempa disajikan pada Tabel 1 di bawah ini :

Tabel 1. Uji Komposisi Kimia


Unsur Material Piston AA.4032
( wt % )
Cor Tempa
Si 12,6322 12,0385 12,20
Fe 0,5618 0,3058 1,2
Cu 0,8800 3,9462 0,9
Mn 0,0276 0,0614
Mg 0,9067 0,5063 1
Cr 0,0182 0,0107
Ni 1,3110 0,0828 0,9
Zn 0,0584 0,0372
Ti 0,0264 0,0159

319
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Ca 0,0000 0,0015
P 0,0043 0,0074
Pb 0,0054 0,0033
Sb 0,0000 0,0000
Sn 0,0041 0,0058
Al 83,56 82,97 85

2. Uji Kekerasan
Untuk mengetahui dan mendapatkan harga kekerasan piston hasil cor dan tempa diambil 3 titik untuk
masing-masing spesimen. Hasil dari pengujian kekerasan adalah berupa nilai kekerasan dari benda uji. Pengujian
menggunakan Brinell Tester , dengan beban penjejakan 187,76 Kgf diameter penetrator 2,5 mm dan waktu
penjejakan selama 15 detik. Hasil dari uji kekerasan ditunjukkan pada Tabel 2 dan Tabel 3 dibawah ini.

Tabel 2. Hasil Uji Kekerasan Proses Cor


Spesimen No Diameter D Harga
Injakan (mm) Kekerasan
(BHN)
1 24,5 1,53 91.99
Cor 1 2 24,5 1,52 91.75
3 24 1,53 91.99
1 25 1,58 85.1
Cor 2 2 25 1,57 84.9
3 25 1,58 85.1
1 24,5 1,58 85.1
Cor 3 2 25 1,57 84.9
3 25 1,58 85.1
1 25,5 1,55 88.49
Cor 4 2 25,5 1,55 88.49
3 25 1,55 88.49
1 25 1,58 85.2
Cor 5 2 24,5 1,58 85.2
3 25 1,57 84.9

Tabel 3. Hasil Uji Kekerasan Proses Tempa


1 24 1,32 127.8
Tempa 1 2 24 1,32 127.8
3 24 1,31 127.4
1 23,5 1,32 127.8
Tempa 2 2 23,5 1,32 127.8
3 24 1,31 127.4
1 24 1,32 127.8
Tempa 3 2 24 1,32 127.8
3 24 1,32 127.8
1 24 1,32 127.8
Tempa 4 2 23,5 1,31 127.4
3 24 1,31 127.4
1 24 1,32 127.8
Tempa 5 2 24 1,32 127.8
3 24 1,32 127.8

Dari hasil pengujian kekerasan, nilai tertinggi didapat pada material piston tempa 2 sebesar 127.8 BHN.
Sedangkan nilai kekerasan terendah didapat pada material cor sebesar 85.1 BHN.

3. Uji Keausan.
Pengujian keausan menggunakan mesin Oghosi High Speed Universal Wear Testing Machine ( Type OAT-U
), dengan data sebagai berikut : P (beban) yang digunakan : 19.08 kg, tebal disk pengaus ( B ) : 3 mm, jari-jari disk
pengaus ( r ) : 13,6 mm, kecepatan abrasi : 0,244 m/detik, waktu yang digunakan adalah 60 detik.

320
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Tabel 4. Hasil Uji Keausan


Lebar Alur
Bo bo3 Abrasi Spesifik
Abrasi (mm)
Kode
Jarak Abrasi (m)
Sampel
bo1 bo2 bo3 rata-rata (mm)3 Ws ( mm2/kg)

Tempa 1 2.4 2.6 2.6 2.5 2.56 15 2.47E-04


Tempa 2 1.9 2.3 2.2 2.1 1.77 15 1.71E-04
Tempa 3 1.9 1.6 2.2 1.9 2.28 15 2.19E-04
Tempa 4 1.7 2.1 2.1 1.96 2.28 15 2.20E-04
Tempa 5 1.7 2.6 2.1 2.1 3.94 15 3.79E-04
Cor 1 2.4 2.2 2.3 2.3 2.56 15 2.47E-04
Cor 2 2.3 2.1 2.2 2.2 2.28 15 2.20E-04
Cor 3 1.8 2 2.4 2.1 4.78 15 4.60E-04
Cor 4 1.9 1.8 1.8 1.8 3.2 15 3.08E-04
Cor 5 1.7 1.8 1.8 1.8 5.24 15 5.05E-04
Hasil uji keausan untuk piston proses pengecoran abrasi spesifik 4.05E-04 mm2/kg sedangkan proses tempa
sebesar 1.71E-04 mm2/kg

4. Hasil Uji Metalografi.


Struktur mikro piston hasil proses cor pada Gambar 1, terlihat bahwa terdapat partikel silikon berbentuk
jarum dan partikel silikon eutektik.

Silikon berbentuk jarum

α-Aluminium+eutektik

Gambar 4. Hasil Struktur Mikro Proses Cor 1 ( Pembesaran 200 x )

Hasil struktur mikro proses tempa, struktur mikro lebih rapat dibandingkan dengan proses cor dikarenakan
material alumunium pada piston tempa, strukturnya tidak berubah bahkan lebih baik dalam proses pembuatannya
dengan cara dipress atau dipadatkan.

α-Aluminium

dendritic microstructure

Gambar 5. Hasil struktur mikro piston tempa 2 menunjukkan unsur dendritik dengan silicon eutektik didalam matriks aluminium solid
solution.( Pembesaran 200 x )

321
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Kesimpulan
1. Hasil uji komposisi menunjukkan bahwa material piston proses pengecoran mempunyai paduan unsur utama
83,56 wt % Al, 12,6322 wt % Si, 1,3110 wt % Ni. Sedangkan untuk piston hasil proses tempa mempunyai unsur
utama 82,97 wt % Al, 12,0385 wt % Si, 3,9462 wt % Cu dan unsur-unsur atom yang lain dengan total 100 wt %.
2. Harga kekerasan untuk piston hasil proses pengecoran 85.1 – 91.99 BHN, sedangkan angka kekerasan tertinggi
untuk piston hasil proses tempa adalah 127.8 BHN.
3. Hasil uji keausan untuk piston proses pengecoran abrasi spesifik sebesar 5.05E-04 mm2/kg sedangkan proses
tempa sebesar 1.71E-04 mm2/kg.
4. Hasil struktur mikro piston hasil proses tempa lebih halus dan terdapat partikel silicon eutektik sedangkan
struktur mikro hasil proses cor terdapat partikel silicon berbentuk jarum.

Daftar Pustaka
B. H. Amstead, Teknologi Mekanik, Terjemahan Sriati Djaprie, Erlangga, Jakarta, 1987
Begüm Akkayan, DDS, PhD, Burcu Sahin, DDS, and Hubert Gaucher, DDS, MScD., 2008, The Effect of
Different Surface Treatments on the Bond Strength of Two Esthetic Post Systems,
Budinski., 2001,” Engineering Materials Properties and Selection,” PHI New Delhi, pp. 517–536.
Callister, W.D., (2001),Material Sciene and Engineering an Introduction fourth Edition, John Willey and Sons,
lnc, New York USA.
Cole, G S., and Sherman, A. M., 1995, “Light weight materials for automotive applications,” Material
Characterization, 35 (1) pp. 3–9.
Rajan, CP Sharma & Sharma Ashok, 1997 ” Heat Treatment Principle And Trccnique ” (revised edition), PHI
New Delhi, pp. India
Smallman, R.E., 1985, “Metalurgi Fisik Modern”, Gramedia, Jakarta, hal. 347 Suhariyanto ., Perbaikan Sifat
Mekanik Paduan Aluminium (A356.0) dengan Menambahkan TiC, 2007
Surdia, T. dan Cijiiwa K, 1991, Teknik Pengecoran Logam, PT Pradnya Paramita, Jakarta
Surdia, T. dan Shinroku, 1982, Pengetahuan Bahan Teknik,PT Pradnya Paramita, Jakarta
Surdia, Tata & Saito, Shinroku. 1992. Pengetahuan Bahan Teknik. (edisi kedua). Jakarta: Pradnya Paramita.
V, A. Srivastava and R. Shivpuri. Intermetallic Formation and Its Relation toInterface Mass Loss and
Tribology in Die CastingDies, Elsevier B.V.New Zealand, 2003, p.2233
Vaillant ,P., Petitet, J. P.,1995, “Interactions under hydrostatic pressure of mild steel with liquid aluminum
alloys,”.JMater Science 30 pp 4659–4668

322
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

PEMANFAATAN LIMBAH BULU AYAM SEBAGAI MATERIAL


PEMBUAT PANEL AKUSTIK

Ansarullah1, Ramli Rahim2, Asniawaty3


1
Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin Makassar
Jl. Poros Malino Kabupaten Gowa
2
Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin Makassar
Jl. Poros Malino Kabupaten Gowa
3
Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin Makassar
Jl. Poros Malino Kabupaten Gowa
Email: ansarullah.aa1234@gmail.com

Abstrak

Bulu ayam merupakan limbah yang setiap hari diproduksi dan masih belum banyak dimanfaatkan.
Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa bulu ayam bisa digunakan untuk bahan akustik.
Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi potensi bulu ayam untuk diciptakan sebagai bahan panel
yang berfungsi sebagai panel akustik. Penelitian ini menggunakan metode eksperimental dengan
melakukan tahapam pembentukan panel dengan cara seleksi material bulu ayam, proses
pembersihan, proses pengeringan, proses pencacahan, proses permodelan panel. Hasil penelitian ini
berupa model panel akustik dengan ukuran 22x22cm2 dengan ketebalan 9 dan 18 mm. Penelitian ini
juga menghasilkan model panel berbentuk lingkaran ukuran Ø10 cm dengan tebal 1,5cm, 2,5cm, dan
5cm untuk digunakan pada pengujian koefisien absorpsi menggunakan tabung impedansi.

Kata kunci: akustik; bulu ayam; limbah; panel

Pendahuluan
Limbah bulu ayam sangat mudah ditemukan mengingat konsumsi daging ayam terus meningkat yang dapat
terlihat dari banyaknya penjualan daging ayam, mulai dari pasar moderen, pasar tradisional, pasar kagetan yang
berada di pinggir jalan, sampai pada pedagang keliling. Peningkatan permintaan daging ayam pedaging
dikarenakan harga daging ayam dapat dijangkau oleh konsumen dengan taraf ekonomi menengah sampai taraf
ekonomi atas. Dengan demikian permintaan daging ayam cenderung mengalami peningkatan (Marlin, 2013).
Salah satu masalah yang muncul pada usaha pemotongan ayam adalah Iimbah bulu ayam, yang merupakan
bahagian dari sisa pengolahan daging ayam. Hasil pemotongan ternak unggas ini menghasilkan rata-rata bobot bulu
4 - 9 % dari bobot hidup (Arifin, 2008). Bulu ayam mengandung nutrisi sekitar 91% protein (keratin), 1% lipid, dan
8% air. Teknologi dan metode pembuangan diperlukan untuk mengurangi ancaman terhadap lingkungan
(Thyagarajan, 2013).
Pada dasarnya bulu ayam merupakan potensi yang sudah mulai dimanfaatkan diantaranya adalah menjadi
bahan pengisi bantal, pembuatan kemoceng dan bahan asesoris. Disamping itu, bulu ayam juga merupakan limbah
yang banyak menarik perhatian peneliti dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Seiring kemajuan teknologi yang meningkat dan berkembangnya kegiatan industri pemotongan ayam akan
membawa dampak positif dan dampak negatif baik bagi lingkungan maupun manusia. Tumbuh pesatnya industri
juga berarti makin banyak limbah yang dikeluarkan dan mengakibatkan permasalahan yang kompleks bagi
lingkungan sekitar (Erlita, 2011).
Penelitian-penelitian sebelumnya yang sudah menggunakan bulu ayan diantaranya adalah Desain Bioball
Berbahan Komposit Bulu resin Polyester (Budianto, 2013), Pembuatan Prototope Genteng Komposit bulu Ayam
(Janari, 2010), Limbah Bulu Ayam Sebagai Penguatan Dalam Semen-terikat Komposites (Acda, 2010),
Pemanfaatan Limbah Bulu Ayam Potong Metode Pengukusan Untuk Bahan Ransum Ayam Potong (Arifin, 2008).
Di Indonesia masalah akustik bangunan belum berkembang, bahkan cara-cara pembangunan jaman sekarang
umumnya lebih buruk perihal isolasi bunyi daripada rumah-rumah kuno yang biasa memakai dinding-dinding dan
konstruksi daun pintu dan jendela yang lebih berat dan besar (Mangunwijaya, 2000).
Teknik pengendalian kebisingan memainkan peranan penting untuk menciptakan suasana lingkungan akustik
yang nyaman. Ini dapat tercapai ketika intensitas suara diturunkan ke level yang tidak mengganggu pendengaran

323
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

manusia. Pencapaian lingkungan akustik yang nyaman ini dapat diperoleh dengan menggunakan beragam tehnik.
Salah satu tehnik tersebut adalah dengan menyerap suara (Asade, 2013).
Panel pelapis dinding untuk keperluan meredam bising dan meningkatkan kualitas bunyi dalam ruang- ruang
studio pribadi kini semakin dibutuhkan. Namun, ketersediaan panel semacam ini sangat rendah, disebabkan
tingginya harga jual sehingga tidak terjangkau sebagian besar masyarakat. Panel pelapis yang terbuat dari bahan
baku dengan harga rendah diperkirakan dapat menurunkan harga jual barang panel akustik. Pada tahap awal telah
diselidiki kemungkinan penggunaan limbah sebagai bahan baku panel. Adapun limbah yang dipilih adalah bulu
ayam, mengingat material ini memiliki karakteristik sebagaimana bahan-bahan untuk keperluan akustik, seperti
elastisitas cukup tinggi dan mengandung rongga udara. Penelitian awal menunjukkan bahwa bulu ayam sangat
potensial digunakan sebagai bahan baku panel (Haisa, 2015). Namun demikian, penelitian lanjutan mengenai
kemampuan panel dimaksud sebagai bahan panel akustik, perlu dilakukan. Pengujian dilakukan dengan cara
merekatkan bulu ayam dengan campuran air dan lem sebagai bahan material panel akustik.

Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode eksperimental dengan melakukan tahapam pembentukan panel dengan
cara seleksi material bulu ayam, proses pembersihan, proses pengeringan, proses pencacahan, proses permodelan
panel.

Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini berupa model panel akustik dengan ukuran 22x22cm2 dengan ketebalan 9 dan 18 mm.
Penelitian ini juga menghasilkan model panel berbentuk lingkaran ukuran Ø10 cm dengan tebal 1,5cm, 2,5cm, dan
5cm untuk digunakan pada pengujian koefisien absorpsi menggunakan tabung impedansi.

Gambar 1. Proses pembersihan

Gambar 2. Proses penjemuran

Cara pembuatan panel dimulai pengumpulan limbah bulu ayam, kemudian dibersihkan dengan cara
membilas sampai enam kali selanjutnya dipilah antara bulu kasar dan kulit ayam yang tersisa. Setelah proses
pembersihan kemudian di buat proses pengawetan material. Pengawetan ini berlangsung selama 2 hari dengan
rendaman formalin 0,5 liter dan air 10 liter.

324
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Gambar 3. Proses pencacahan bulu

Gambar 4.Penimbangan dan media cetakan

Gambar 5. Pengeringan hasil cetakan

325
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Setelah pengawetan selesai, proses selanjutnya adalah dilakukan pemutihan bahan baku dengan pemutih
pakaian (merek bayclin) selama semalam. Hasil tersebut selanjutnya ditiriskan dan dikeringkan selama lima hari.
Bulu ayam yang telah dikeringkan selanjutnya dicacah dengan ukuran sekitar 1 mm – 2 mm. Proses selanjutnya
adalah persiapan alat dan material campuran untuk membentuk panel. Adapun prosesnya sebagai berikut :
- Penimbangan bulu
- Pengukuran air
- Perekat
- Alat yang dibutuhkan ;
- Timbangan digital
- Wadah
- Sendok
- Gelas ukur
- Oven

Gambar 6. Hasil pembuatan panel

Gambar 7. Hasil Pebuatan panel berdiameter 10 cm

Proses pembuatan panel adalah sebagai berikut ;

326
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Pertama-tama semua material di timbang dengan perbandingan 4 : 4 : 2 dimana air berjumlah 4 berbanding 4
bulu ayam dan 2 perekat. Jenis perekat yang dipaka adalah lem fox. Lem diaduk dengan air agar dapat bercampur
rata sambil diaduk terus selanjutnya bulu dituang ke dalam adonan tersebut. Setelah semua tercampur dan
diturunkan ke cetakan. Proses selanjutnya dipadatkan, untuk mengurangi kadar air sehingga dapat dikeringkan ke
dalam oven untuk proses pengeringan. Proses ini berlangsung selama enampuluh menit dan di ulangi lagi proses ini
sebanyak dua kali, tetapi proses kedua wadanya sudah dilepas.

Kesimpulan
Pada proses ini bahwa bulu ayam dapat menghasilkan kesimpulan yang menunjukkan komposisi bulu ayam,
lem, dan air direkomendasikan pada penelitian lanjutan. Kesimpulan tersebut didasarkan pada komposisi panel yang
menghasilkan bentuk panel ukuran 22 x 22 cm dengan ketebalan 9 mm dan 18 mm dan panel ukuran diameter 10
cm dengan ketebalan 1,5 cm, 2,5 cm, dan 5 cm.

Daftar Pustaka
Acda, Menando N. 2010. Waste Chicken Feather as Reinforcement in Cement-Bonded Composites. Philippine
Journal of Science. 139 (2): 161 – 166. Desember.
Arifin, Tazul. 2008. Pemanfaatan Limbah Bulu Ayam Potong Metode Pengukusan Untuk Bahan Ransum Ayam
Potong. Master Tesis - Pengelolaan Sumber Daya Alam & Lingkungan. USU Institutional Repository
Asade, Felix, Isranuri Ikhwansyah. 2013. Perancangan Tabung Impedansi Dan Kajian Eksperimental Koefisien
Serap Bunyi Paduan Aluminium-Magnesium. Jurnal e-Dinamis, Volume. 6, No.2 September.
Budianto, Ruslim. 2013. Desain Bioball Berbahan Komposit Bulu AyamResin Polyester: Sifat Material,
Karakteristik Bentuk dan Karakteristik Hidraulik (tesis). Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Erlita, Dila Cahaya, 2011. Pengolahan Limbah Pemotongan Ayam Dan Dampak Terhadap Masyarakat Sekitar.
(Studi kasus : PT. Charoen Pokphand Indonesia, Salatiga). (skripsi). Universitas Diponegoro.
Janari, Dian. 2010. Pembuatan Prototipe Genteng Komposit Bulu Ayam (skripsi). Jurusan Teknik Mesin FTI – UII.
Mangunwijaya, Y.B. 2000. Pengantar Fisika Bangunan. Djambatan. Jakarta.
Marlin, Leni. 2013. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Permintaan Daging Ayam Ras Pada Rumah Tangga Di
Kelurahan Gunung Sari Kecamatan Rappocini Kota Makassar (skripsi). Universitas Hasanuddin Makassar.
Thyagarajan, D. dkk,. 2013. Scope of Poultry Waste Utilization. IOSR Journal of Agriculture and Veterinary
Science (IOSR-JAVS) eISSN: 2319-2380, p-ISSN: 2319-2372. Volume 6.

327
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

PENGARUH CRYOGENIC TREATMENT TERHADAP


KARAKTERISTIK KEAUSAN MDI (MARTEMPER DUCTILE IRON)

Agus Suprapto1, Agus Iswantoko2, Ike Widyastuti3


1,2,3
Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Merdeka Malang
Jl. Terusan Raya Dieng 62-64 Malang
EMail: agussuprapto@yahoo.com

Abstrak

Pada umumnya untuk mengatasi masalah keausan logam menggunakan proses heat treatment, case
hardening dan penambahan unsur kimia dengan tujuan untuk mengurangi gesekan. Dewasa ini
banyak industri mengembangkan penggunaan cryogenic treatment untuk memperbaiki ketahanan aus
pada bahan ductile iron sehingga ketahanan ausnya lebih tinggi. Tujuan penelitian ini untuk
mengevaluasi dampak cryogenic treatment terhadap kekerasan dan ketahanan aus Martemper
Ductile Iron (MDI). Metode yang dipakai dalam penelitian ini menggunakan cryogenic treatment
hasil dari proses Martemper Ductile Iron (MDI) dengan pemanasan sampai temperatur Austenit
9000C dan pada temperature tersebut di tahan 30 menit, selanjutnya di celup cepat pada air hangat
400C, 600C, 800C dengan variasi waktu penahanan 60s, 120s, 180s dan didinginkan di udara sampai
temperature kamar, Analisa pengujian ini dilakukan dengan metode analitis dan uji keras dengan
metode Rockwel dan uji aus. Temuan hasil penelitian: (1). Hasil proses Martemper Ductile Iron
(MDI) menunjukkan kekerasan dan ketahanan ausnya meningkat dibanding sebelum proses
Martemper, (2). Hasil Cryogenic Treatment menunjukkan kekerasan dan ketahanan ausnya lebih
tinggi dibanding hasil proses Martemper.

Kata kunci: martemper; MDI; cryogenic treatment

Pendahuluan
Dewasa ini banyak industri mengembangkan penggunaan cryogenic treatment untuk memperbaiki ketahanan
aus pada cutting tool, gear, dan lain-lain (Thamizhmanii, S. et al, 2011; Ramji B.R. et al, 2010; Kollmer K.P, 2007).
Cryogenic treatment adalah suatu proses pendinginan suatu bahan baja, stainless steel dan lain-lain dari temperatur
kamar sampai dengan temperatur -3200F (-1960C) kemudian pada temperatur tersebut ditahan selama waktu
tertentu dan dilanjutkan dengan penghangatan sampai temperatur kamar (Singh, S. et al, 2012 dan Ramji B.R. et al,
2010).
A Suprapto, et al (2014) menunjukkan dampak Cryogenic Treatment dan Temper terhadap umur pahat
karbida pada pembubutan Al T-6061 terjadi peningkatan umur pahat sebesar 105% dibandingkan dengan pahat
karbida tanpa treatment. Hal ini didukung hasil penelitian oleh Suriansyah et al (2015) yang menunjukkan pengaruh
cryogenic cooling, martemper and temper treatment pada FCD-45 terjadi kenaikan kekerasan sebesar 9 %
dibanding sebelum mendapat treatment. Penelitian cryogenic treatment dikembangkan pada material Austemper
Ductile Iron (ADI) oleh Chang-Yong Kang et al (2009) terhadap strukturmikro dan sifat kekerasan, selain itu
Suprapto, A., et al (2016) juga meneliti dampak Cryogenic Treatment terhadap karakteristik keausan pahat ADI
(Austemper Ductile Iron) terjadi penurunan keausan sebesar 77%.
Metode Penelitian dikembangkan oleh Akinlabi Q et all (2013) melalui Martempered Ductile Iron (MDI)
dengan Quenching dalam air hangat diperoleh kekerasan tertinggi HRc 52,9.
Menindak lanjuti penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Chang-Yong Kang et al (2009); A Suprapto, et al
(2016); dan Akinlabi Q et all (2013), dalam penelitian ini mengkombinasikan Cryogenic treatment dengan proses
Martemper pada material Ductile Iron (MDI), untuk melihat pengaruh sifat kekerasan dan karakteristik keausan
MDI (Martemper Ductile Iron).

Metode Percobaan
Martemper Ductile Iron (MDI)
 Bahan FCD-45 dipanaskan sampai temperatur Austenit 9000C dengan waktu penahanan 1 jam
 Celup cepat pada air hangat 400C, 600C, 800C dg variasi waktu penahanan 60s, 120s dan 180s
 Didinginkan di udara sampai temperature kamar

328
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Cryogenic treatment MDI


 Pendinginan pada nitrogen cair
 Waktu penahanan pada nitrogen cair bervariasi: 2 jam, 24 jam, 48 jam
 Pemanasan sampai temperatur kamar
Uji Kekerasan
 Metode Rockwell skala C
 dengan indentor intan dengan beban minor 10 kg dan beban major 150 kg
Uji Keausan
 Penimbangan berat awal dan berat akhir sampel (g)
 Beban 15 kg, Putaran 750 rpm, Jarak luncur 295 mm
 Waktu pembebanan 5 menit

Hasil dan Pembahasan


Kekerasan
Tabel 1. Kekerasan hasil proses Martemper Ductile Iron pada media air hangat dengan variasi temperatur T 400C,
T 600C, T 800C dan variasi holding t 60 s, t 120 s, t 180 s dan Cryogenic treatment dengan variasi holding time
2jam, 24 jam dan 48 jam
Kondisi HRc
0
40 C 600 C 800 C
Waktu t 60 second Untreat 51.33 46.67 48.33
Nitrogen cair 2 jam 53.67 51.67 55.33
Nitrogen cair 24 jam 54.00 53.33 54.67
Nitrogen cair 48 jam 55.33 53.33 52.67
Kondisi HRc
400 C 600 C 800 C
Waktu t 120 second Untreat 51.67 49.00 48.67
Nitrogen cair 2 jam 54.00 54.00 55.00
Nitrogen cair 24 jam 55.00 56.33 56.00
Nitrogen cair 48 jam 56.33 53.67 51.33
Kondisi HRc
400 C 600 C 800 C
Waktu t 180 second Untreat 52.00 51.33 49.00
Nitrogen cair 2 jam 56.00 55.33 56.33
Nitrogen cair 24 jam 55.33 57.00 51.33
Nitrogen cair 48 jam 55.67 56.33 42.67
Bahan FCD-45 yang digunakan pada proses Martemper memiliki kekerasannya HRb 88

Gambar 1. Kekerasan hasil proses Martemper Ductile Iron pada media air hangat dengan variasi temperature dan holding t 60 second dan
Cryogenic treatment dengan variasi holding time 2jam, 24 jam dan 48 jam

329
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Berdasarkan Tabel 1 dan Gambar 1 menunjukkan kekerasan hasil proses martemper pada air hangat dengan
temperatur 400C dengan holding time t 60 second, dilanjutkan dengan proses Cryogenic treatment dengan holding
time 2 jam, kekerasannya meningkat 4,56 % dibandingkan dengan tanpa proses Cryogenic treatment (Untreat).
Adapun pengaruh holding time pada proses Cryogenic treatment menunjukkan dengan bertambahnya holding time,
kekerasannya meningkat. Hasil yang sama ditunjukkan pada proses martemper pada temperatur air hangat 600C
dilanjutkan dengan proses Cryogenic treatment dengan bertambahnya holding time menunjukkan kekerasannya
meningkat, namun bila dibandingkan dengan tanpa proses Cryogenic treatment (Untreat) peningkatan
kekerasannya 10,71% lebih besar dibanding dengan temperatur air hangat 400C. Sedangkan pada temperatur air
hangat 800C pada proses martemper dilanjutkan dengan proses Cryogenic treatment pada Gambar 1 menunjukkan
perbedaan yang sangat significant, pada saat proses Cryogenic treatment dengan holding time 24 jam dan 48 jam
terjadi penurunan kekerasan dibandingkan dengan hasil kekerasan pada holding time 2 jam. Untuk khusus proses
martemper tanpa proses Cryogenic treatment (Untreat) menunjukkan pengaruh temperature air hangat terhadap
kekerasan dapat dilihat pada Gambar 1, bahwa semakin tinggi temperaturnya maka kekerasanya turun, namun untuk
temperatur air hangat 800C menunjukkan kekerasannya lebih tinggi dibanding dengan kekerasan hasil proses
martemper pada temperatur air hangat 600C, seharusnya kekerasannya lebih rendah. Begitu juga pada proses
martemper pada temperatur air hangat 800C dilanjutkan Cryogenic treatment dengan holding time 2 jam
menunjukkan kekerasannya lebih tinggi dibanding pada temperatur air hangat 600C dan 400C, seharusnya
kekerasannya lebih rendah. Untuk proses martemper pada temperatur air hangat 80 0C dilanjutkan Cryogenic
treatment dengan holding time 24 jam, pola hasil kekerasannya sama dengan holding time 2 jam. Khusus untuk
holding time 48 jam pada proses Cryogenic treatment, semakin tinggi temperature air hangatnya maka
kekerasannya semakin turun. Jadi pada Gambar 1 menunjukkan bahwa pengaruh Cryogenic treatment terhadap
kekerasan pada bahan Martemper Ductile Iron (MDI) sangat significant.

Gambar 2. Kekerasan hasil proses Martemper Ductile Iron pada media air hangat dengan variasi temperature dan holding t 120 second dan
Cryogenic treatment dengan variasi holding time 2jam, 24 jam dan 48 jam

Gambar 2 dan tabel 1 menunjukkan kekerasan hasil proses martemper pada air hangat dengan temperatur
400C dengan holding time t 120 second, dilanjutkan dengan proses Cryogenic treatment dengan holding time 2 jam,
kekerasannya meningkat 4,51 % dibandingkan dengan tanpa proses Cryogenic treatment (Untreat). Adapun
pengaruh holding time pada proses Cryogenic treatment menunjukkan dengan bertambahnya holding time,
kekerasannya meningkat. Untuk proses martemper pada temperatur air hangat 600C dilanjutkan dengan proses
Cryogenic treatment dengan bertambahnya holding time menunjukkan kekerasannya meningkat, akan tetapi pada
holding time Cryogenic treatment 48 jam terjadi penurunan kekerasan. Untuk holding time Cryogenic treatment 2
jam dibandingkan dengan tanpa proses Cryogenic treatment (Untreat) peningkatan kekerasannya 10,20% lebih
besar dibanding dengan temperatur air hangat 400C. Sedangkan pada temperatur air hangat 600C dan 800C pada
proses martemper dilanjutkan dengan proses Cryogenic treatment pada Gambar 2 menunjukkan perbedaan yang
sangat significant, pada saat proses Cryogenic treatment dengan holding time 48 jam terjadi penurunan kekerasan
dibandingkan dengan hasil kekerasan pada holding time 2 jam dan 24 jam. Untuk khusus proses martemper tanpa
proses Cryogenic treatment (Untreat) menunjukkan pengaruh temperature air hangat terhadap kekerasan dapat
dilihat pada Gambar 2, bahwa semakin tinggi temperaturnya maka kekerasanya semakin turun. Untuk proses
martemper pada temperatur air hangat 800C dilanjutkan Cryogenic treatment dengan holding time 2 jam,
kekerasannya lebih tinggi dibandingkan dengan temperatur air hangat 400C dan 600C, seharusnya kekerasannya
lebih rendah. Hal sebaliknya terjadi pada proses martemper pada temperatur air hangat 40 0C dilanjutkan Cryogenic
treatment dengan holding time 24 jam, kekerasannya lebih rendah dibandingkan dengan temperatur air hangat 60 0C
dan 800C, seharusnya kekerasannya lebih tinggi. Untuk holding time 48 jam pada proses Cryogenic treatment,

330
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

semakin tinggi temperature air hangatnya maka kekerasannya semakin turun. Jadi pengaruh Cryogenic treatment
terhadap kekerasan pada bahan Martemper Ductile Iron (MDI) sangat significant lihat Gambar 2.

Gambar 3. Kekerasan hasil proses Martemper Ductile Iron pada media air hangat dengan variasi temperature dan holding t 180 second
dan Cryogenic treatment dengan variasi holding time 2jam, 24 jam dan 48 jam

Kekerasan hasil proses martemper pada air hangat dengan temperatur 400C dengan holding time t 180
second dilanjutkan dengan proses Cryogenic treatment dengan holding time 2 jam, kekerasannya meningkat 7,69 %
dibandingkan dengan tanpa proses Cryogenic treatment (Untreat) ditunjukkan pada Gambar 3 dan Tabel 1. Namun
pengaruh holding time pada proses Cryogenic treatment menunjukkan dengan bertambahnya holding time,
perubahan kekerasannya tidak significant. Untuk proses martemper pada temperatur air hangat 600C dilanjutkan
dengan proses Cryogenic treatment dengan bertambahnya holding time menunjukkan kekerasannya meningkat, akan
tetapi pada holding time Cryogenic treatment 48 jam terjadi penurunan kekerasan. Untuk holding time Cryogenic
treatment 2 jam dibandingkan dengan tanpa proses Cryogenic treatment(Untreat) peningkatan kekerasannya 7,79%
hampir sama dibanding dengan temperatur air hangat 400C. Sedangkan pada temperatur air hangat 600C pada
proses martemper dilanjutkan dengan proses Cryogenic treatment pada Gambar 3 menunjukkan perbedaannya tidak
significant, untuk temperatur air hangat 800C perbedaanya sangat significant, pada saat proses Cryogenic treatment
dengan holding time 24 jam dan 48 jam terjadi penurunan kekerasan dibandingkan dengan hasil kekerasan pada
holding time 2 jam untuk, holding time 48 jam kekerasannya lebih rendah dibanding dengan tanpa proses Cryogenic
treatment (Untreat) . Untuk khusus proses martemper tanpa proses Cryogenic treatment (Untreat) menunjukkan
pengaruh temperature air hangat terhadap kekerasan dapat dilihat pada Gambar 3, bahwa semakin tinggi
temperaturnya maka kekerasanya semakin turun. Untuk proses martemper pada temperatur air hangat 800C
dilanjutkan Cryogenic treatment dengan holding time 2 jam, kekerasannya lebih tinggi dibandingkan dengan
temperatur air hangat 400C dan 600C, seharusnya kekerasannya lebih rendah. Hal sebaliknya terjadi pada proses
martemper pada temperatur air hangat 600C dilanjutkan Cryogenic treatment dengan holding time 24 jam,
kekerasannya lebih rendah dibandingkan dengan temperatur air hangat 80 0C, seharusnya kekerasannya lebih tinggi.
Untuk holding time 48 jam pada proses Cryogenic treatment, semakin tinggi temperature air hangatnya maka
kekerasannya semakin turun, untuk temperatur air hangat 600C seharusnya kekerasannya lebih rendah dibanding
dengan temperatur air hangat 400C . Jadi pengaruh Cryogenic treatment terhadap kekerasan pada bahan Martemper
Ductile Iron (MDI) tidak significant, khusus untuk holding time 48 jam pada temperatur 800C kekerasannya lebih
rendah dibanding dengan tanpa proses Cryogenic treatment (Untreat).

Keausan
Tabel 2. Laju Keausan hasil proses Martemper Ductile Iron pada media air hangat dengan variasi temperatur T
400C, T 600C, T 800C dan variasi holding t 60 s, t 120 s, t 60 s dan Cryogenic treatment dengan variasi holding time
2jam, 24 jam dan 48 jam

Kondisi Laju keausan (g/s)


0
40 C 600 C 800 C
Waktu t 60 second Untreat 0.0000667 0.0001667 0.0000667
Nitrogen cair 2 jam 0.0000667 0.0001333 0.0002333
Nitrogen cair 24 jam 0.0000333 0.0000333 0.0000667
Nitrogen cair 48 jam 0.0000333 0.0000667 0.0001667

331
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Kondisi Laju keausan (g/s)


0
40 C 600 C 800 C
Waktu t 120 second Untreat 0.0001333 0.0002000 0.0001667
Nitrogen cair 2 jam 0.0000333 0.0000333 0.0001000
Nitrogen cair 24 jam 0.0000667 0.0000667 0.0001000
Nitrogen cair 48 jam 0.0000333 0.0000667 0.0000333
Kondisi Laju keausan (g/s)
0
40 C 600 C 800 C
Waktu t 180 second Untreat 0.0001000 0.0002333 0.0001667
Nitrogen cair 2 jam 0.0000333 0.0000667 0.0001667
Nitrogen cair 24 jam 0.0000333 0.0001000 0.0000333
Nitrogen cair 48 jam 0.0001667 0.0000333 0.0000667

Gambar 4. Laju keausan hasil proses Martemper Ductile Iron pada media air hangat dengan variasi temperature dan holding t 60
second dan Cryogenic treatment dengan variasi holding time 2jam, 24 jam dan 48 jam

Berdasarkan Tabel 2 dan Gambar 4 menunjukkan pengaruh holding time semakin lama (2 jam dan 24 jam)
pada proses Cryogenic treatment setelah proses martemper pada temperatur air hangat dengan 400C dengan
holding time t 60 second laju keausannya menurun. Namun untuk holding time 48 jam pada proses Cryogenic
treatment laju keausannya meningkat. Hal ini didukung dengan hasil kekerasan yang ditunjukkan pada Gambar 1,
yang mana kekerasannya semakin meningkat maka laju keausannya semakin rendah, ini menunjukkan bahwa
ketahanan ausnya semakin tinggi. Bila dilihat dari pengaruh temperatur air hangat pada proses martemper semakin
tinggi (400C, 600C, dan 800C), dilanjutkan dengan proses Cryogenic treatment menunjukkan laju keausannya
semakin tinggi (Gambar 4), sehingga ketahanan ausnya semakin rendah.

Gambar 5. Laju keausan hasil proses Martemper Ductile Iron pada media air hangat dengan variasi temperature dan holding t 120
second dan Cryogenic treatment dengan variasi holding time 2 jam, 24 jam dan 48 jam

332
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Gambar 5 dan tabel 2 menunjukkan laju keausan hasil proses martemper pada air hangat dengan temperatur
400C dengan holding time t 120 second, dilanjutkan dengan proses Cryogenic treatment dengan holding time 2 jam,
laju keausannya menurun 75 % dibandingkan dengan tanpa proses Cryogenic treatment (Untreat). Adapun
pengaruh holding time (24 jam dan 48 jam) pada proses Cryogenic treatment menunjukkan dengan bertambahnya
holding time, laju keausannya menurun, akan tetapi holding time 2jam seharusnya laju keausannya lebih tinggi
dibanding dengan holding time 24 jam dan 48 jam. Adapun pengaruh temperatur air hangat pada proses
martemper semakin tinggi (400C, 600C, dan 800C), dilanjutkan dengan proses Cryogenic treatment menunjukkan
laju keausannya semakin tinggi, ini berbeda pada proses martemper dengan temperatur air hangat 800C, dilanjutkan
proses Cryogenic treatment dengan holding time 48 jam, hasilnya menunjukkan laju keausannya lebih rendah
seharusnya lebih tinggi bila dilihat dari hasil kekerasannya rendah (lihat Gambar 2). Hasil proses Martemper Ductile
Iron (MDI) menunjukkan Laju keausannya lebih tinggi dibandingkan dengan proses Cryogenic treatment, ini
menunjukkan ketahanan aus hasil proses Martemper lebih rendah dibanding dengan hasil proses Cryogenic
treatment.
Laju keausan hasil proses martemper pada air hangat dengan temperatur 400C dengan holding time t 180
second dilanjutkan dengan proses Cryogenic treatment dengan holding time 2 jam, laju keausannya menurun 67 %
dibandingkan dengan tanpa proses Cryogenic treatment (Untreat) ditunjukkan pada Gambar 6 dan Tabel 2. Namun
pengaruh holding time pada proses Cryogenic treatment menunjukkan dengan bertambahnya holding time,
perubahan laju keausannya meningkat, namun untuk temperatur air hangat dengan 80 0C dilanjutkan Cryogenic
treatment pada holding time 24 jam dan 48 jam terjadi penurunan laju keausan. Untuk proses martemper pada
temperatur air hangat 600C dilanjutkan dengan proses Cryogenic treatment dengan bertambahnya holding time
terjadi kenaikan laju keausan, akan tetapi pada holding time Cryogenic treatment 48 jam terjadi penurunan laju
keausan. Gambar 6 menunjukkan terjadinya perubahan penurunan laju keausan pada proses Cryogenic treatment
dibandingkan dengan hasil proses Martemper Ductile Iron (MDI). Ini menunjukkan ketahanan aus hasil proses
Martemper lebih rendah dibanding dengan hasil proses Cryogenic treatment.

Gambar 6. Laju keausan hasil proses Martemper Ductile Iron pada media air hangat dengan variasi temperature dan holding t 180
second dan Cryogenic treatment dengan variasi holding time 2 jam, 24 jam dan 48 jam

Bahan FCD-45 yang digunakan pada proses Martemper memiliki kekerasannya HRb 88, dikonversikan ke
HRc diperoleh HRc 9. Adapun hasil proses Martemper pada FCD-45 dengan quenching dalam air hangat diperoleh
kekerasan tertinggi HRc 52 (lihat Tabel 1), hasil ini hampir sama dengan yang dilakukan oleh Akinlabi Q et all
(2013) diperoleh HRc 52.9, terjadi peningkatan kekerasan sebesar 478 % dibandingkan dengan kekerasannya FCD-
45. Sedangkan hasil Cryogenic Treatment pada bahan Martemper Ductile Iron (MDI) diperoleh kekerasan tertinggi
HRc 57 (lihat Tabel 1), sehingga terjadi kenaikan kekerasan 10 % dibandingkan dengan hasil proses Martemper.
Hasil Cryogenic Treatment pada bahan MDI dibandingkan dengan bahan FCD 45 terjadi peningkatan kekerasan
sebesar 533 %.
Laju keausan terendah hasil proses Martemper pada FCD-45 dengan quenching dalam air hangat diperoleh
v= 0,0000667 g/s (lihat Tabel 2). Adapun hasil Cryogenic Treatment pada bahan Martemper Ductile Iron (MDI)
laju keausan terendah v= 0,0000333 g/s (lihat Tabel 2) sehingga terjadi penurunan laju keausan sebesar 50%, ini
menunjukkan ketahanan ausnya meningkat. Hal ini didukung hasil penelitian oleh A Suprapto, et al (2016) yang
menunjukkan terjadi penurunan keausan sebesar 77% hasil proses Cryogenic Treatment pada pahat ADI (Austemper
Ductile Iron).

333
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Kesimpulan
1. Hasil proses Martemper Ductile Iron (MDI) menunjukkan kekerasan dan ketahanan ausnya meningkat dibanding
sebelum proses Martemper.
2. Hasil Cryogenic Treatment menunjukkan kekerasan dan ketahanan ausnya lebih tinggi dibanding hasil proses
Martemper.

Daftar Pustaka
Thamizhmanii S. et al., (2011), ”Performance of deep cryogenically treated and non-treated PVD inserts in milling”,
Journal of Achievments in Materials and Manufacturing Engineering, Vol.49, Issue 2, Desember 2011,
p.460-466
Ramji B.R. et al., (2010), ”Analysis of Roughness and Flank Wear in Turning Gray Cast Iron Using Cryogenically
Treated Cutting Tool”, Research Journal of Applied Sciences, Engineering and Technology, Vol. 2 (5)
pp.414-417
Kollmer K.P, (2007), “Applications & Developments in the Cryogenic Processing of Materials”, Kollmer-The
Technologi Interface.htm.2/23/2007
Singh S. et al., (2012), ”Experimental Analysis of Cryogenic Treatment on Coated Tungsten Carbide Inserts in
Turning”, International Journal of Advanced Engineering Technology, Vol.3 (1) pp.290-294
Agus Suprapto, Agus Iswantoko dan Ike Widyastuti, (2014), ”Impact of Cryogenic Treatment and Temper to
carbide toollife on turning process for Al T-6061”, International Journal of Applied Engineering Research,
Vol. 9 (24) pp. 30643-30650
Suriansyah S., Pratikto, Agus Suprapto dan Yudi Surya Irawan, (2015), ”The Effect Cryogenic Cooling, Martemper
And Temper Of Micro Structure And Hardness Ductile Cast Iron (FCD-45)”, International Journal of
Applied Engineering Research, Vol. 10 (8) pp. 19389-19400
Chang-Yong Kang et al, (2009), ”Effect of Subzero Treatment on the Microstructure and Mechanical Properties of
Austempered Ductile Cast Iron”, Materials Transactions, Vol. 50 (9) pp. 2207 to 2211
Agus Suprapto, Agus Iswantoko dan Ike Widyastuti, (2016), ”Impact Evaluation of Cryogenic Treatment to Wear
Characteristics of ADI Cutting Tool”, International Journal of Applied Engineering Research, Vol. 11(12)
pp. 7691-7697
Oyetunji Akinlabi; Barnabas A. A.; Adewara J.O.T. (2013), “Development of Martempered Ductile Iron by Step-
Quenching Method in Warm Water”, Daffodil International University Journal of Science and Technology,
Vol. 8, Issue 2

334
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

PENGARUH KETEBALAN CORE MELINTANG PADA REKAYASA DAN


MANUFAKTUR BAHAN KOMPOSIT HYBRID SANDWICH TERHADAP
PENINGKATAN KEKUATAN BENDING

Agus Hariyanto1
1
Dosen Jurusan Teknik Mesin FT Universitas Muhammadiyah Surakarta.
E-mail : agus.hariyanto @Ums.ac.id

Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah menyelidiki pengaruh ketebalan core terhadap peningkatan kekuatan
bending komposit hibrid sandwich berpenguat serat kenaf dan serat gelas bermatrix Polyester dengan
core kayu pinus pada posisi melintang. Pola kegagalannnya diamati dengan photo makro.
Bahan utama penelitian adalah serat kenaf anyam dan serat E-Glass anyam, resin unsaturated
polyester 157 BQTN, kayu pinus. Hardener yang digunakan adalah MEKPO dengan konsentrasi 1%.
Komposit dibuat dengan metode cetak tekan hidrolis. Komposit sandwich tersusun terdiri dari dua
skin (lamina komposit hibrid) dengan core ditengahnya pada posisi melintang. Lamina komposit
hibrid sebagai skin terdiri dari beberapa lamina serat gelas anyam dan lamina serat kenaf. Fraksi
volume serat komposit hibrid sebagai skin adalah 30%. Core yang digunakan adalah kayu pinus yang
dipotong pada arah melintang. Core yang digunakan ada 4 macam variasi ketebalan yaitu 5, 10, 15
dan 20 mm. Spesimen dan prosedur pengujian bending mengacu pada standart ASTM C 393.
Penampang patahan dilakukan foto makro untuk mengidentifikasi pola kegagalannya.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kemampuan menahan momen bending komposit sandwich
meningkat seiring dengan penambahan ketebalan core melintang pada komposit hibrid sandwich.
Kekuatan bending komposit hibrid sandwich meningkat seiring dengan penambahan ketebalan pada
core melintang. Tegangan (kekuatan) bending komposit hibrid sandwich memiliki harga yang paling
optimum pada ketebalan core 5 mm. Tahapan pola kegagalan komposit sandwich adalah kegagalan
tarik skin komposit sisi bawah, kegagalan geser core, delaminasi skin komposit sisi atas dengan core,
kegagalan skin komposit sisi atas.

Kata Kunci: komposit hibrid sandwich; kekuatan bending; core melintan;, pola kegagalan

Pendahuluan
Serat alam telah dicoba untuk menggeser pengunaan serat sintetis, seperti E-Glass, Kevlar-49, Carbon/
Graphite, Silicone Carbide, Aluminium Oxide, dan Boron. Walaupun tak sepenuhnya menggeser, namun
penggunaan serat alam menggantikan serat sintesis adalah sebuah langkah bijak dalam menyelamatkan kelestarian
lingkungan dari limbah yang dibuat dan keterbatasan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui. Berbagai
jenis tanaman serat tumbuh subur di Indonesia, seperti kenaf (hibiscus canabinus). Produksi serat kenaf dunia
menduduki posisi mencapai 970.000 ton/tahun. Di Indonesia, serat kenaf tersebut biasanya hanya dipakai sebagai
bahan karung goni sehingga nilai ekonominya rendah.
Ketersediaan kayu pinus (Pinus Merkusi) sangat berlimpah, namun nilai jualnya sangat murah. Sifat ringan
kayu ini selaras dengan filosofi rekayasa bahan komposit, yaitu menghasilkan disain ringan. Keberhasilan aplikasi
kayu ini sebagai material core pada rekayasa bahan komposit diharapkan dapat menggantikan penggunaan bahan
core sintetis impor dari luar negeri, seperti core polyurethane foam (PUF) dan core Divynil cell (PVC).
Hal lain yang ironis adalah masuknya core kayu balsa yang di import dari Australia. Padahal, Indonesia
sebagai negara tropis menghasilkan aneka kayu hasil hutan termasuk kayu balsa di Indonesia Timur dan kayu pinus
di Pulau Jawa. Inovasi teknologi dengan memanfaatkan bahan alam merupakan langkah bijak menuju kemandirian
bangsa yang bertumpu sumber daya alam lokal. Salah satu solusi kreatif terhadap banyaknya material import yang
masuk di Indonesia adalah memberdayakan material alam lokal yang bertumpu pada budaya riset yang
berkelanjutan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penggunaan serat kenaf dan kayu pinus sebagai bahan komposit
sandwich merupakan solusi kreatif untuk mendukung perkembangan teknologi komposit yang ramah lingkungan.
Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki pengaruh ketebalan core melintang terhadap peningkatan kekuatan

335
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

bending komposit sandwich kombinasi serat kenaf dan serat gelas (hibrid) bermatrix Polyester dengan core kayu
pinus dan mengidentifikasi Pola kegagalannnya.

Bahan dan Metoda Penelitian


Bahan utama penelitian adalah serat E-glass anyam dengan massa jenis 2,42 gr/cm3, serat kenaf anyam
dengan density 1,45 gr/cm3, core kayu pinus, unsaturated poliester type 157 BQTN, hardener MEKPO dengan kadar
1%, dan adhesive epoxy resin dan epoxy hardener dengan rasio 1:1 dengan density 0,45 ml/cm2. Serat kenaf yang
digunakan tanpa perlakuan. Pembuatan komposit sandwich dilakukan dengan metode press mold. Fraksi volume
serat lamina komposit hibrid (skin) ditentukan 30%, yang dikontrol dengan ketebalan komposit sandwich saat
pencetakan.
Komposit sandwich tersusun dari dua lamina komposit hibrid (skin) dengan core kayu pinus di bagian
tengahnya. Lamina komposit hibrid (skin) tersusun dari 3 lamina serat gelas anyam dan 2 lamina serat kenaf anyam.
Serat kenaf yang digunakan tanpa perlakuan. Core kayu pinus dibuat dengan pemotongan pada arah melintang
(tegak lurus serat kayu). Ketebalan core divariasi 5, 10, 15, dan 20mm. Komposit sandwich yang sudah dicetak
dipotong-potong menjadi spesimen uji.
Pengujian bending dilakukan dengan four point bending method, seperti ditunjukkan pada gambar 1.
Spesimen dan metode pengujiannya mengacu pada standar ASTM C 393. Penampang patahan spesimen uji
dilakukan foto makro untuk mengidentifikasi pola kegagalannya.

L/4 L/2 L/4

b
c
L = Span

Ltotal

Gambar 1. Pengujian bending spesimen uji

Persamaan yang digunakan untuk menghitung pengujian bending adalah ASTM C-393 :

P L
Mmax = × (1)
2 4

(2)
σ b max = M . z E + E( )
f c
EI
bt f d 2 bt c 3
D = EI = E f + Ec (3)
2 12

PL
σ b facing = (4)
4t ( d + c )b

P
τ core = (5)
(d + c)b

336
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Hasil dan Pembahasan


Analisis Kekuatan Bending
Tabel 1. Hasil pengujian bending komposit sandwich
Komposit Sandwich Core Melintang
Average Average Core
Average Bending Average Facing Shear
Tebal Bending Strength Strength Average Flexural
σ
Core (c) Moment (M) Strength ( b ) σb Rigidity;
( facing ) MPa
τ
mm N.m MPa ( core ) MPa (D) N.m2
5 33,3 20 21 9 25,95
10 53,9 36 26 8 68,81
15 88 23 23 7 145,44
20 141 22 22 5 246

Komposit sandwich yang diperkuat serat kenaf dan serat E-glass dengan posisi core kayu pinus melintang
(tegak lurus serat kayu) mampu menahan momen bending yang tinggi, seperti ditunjukkan pada tabel. Momen
bending meningkat seiring dengan penambahan ketebalan core, seperti ditunjukkan pada gambar 2. Dengan
demikian, penambahan bagian inti struktur sandwich menunjukkan secara signifikan peningkatan kemampuan
menahan momen bending. Sifat material yang lebih lunak (core kayu pinus) dan penambahan ketebalan core
menyebabkan memiliki kemampuan menahan momen bending yang lebih tinggi.
Selain itu, efek posisi core kayu pinus pada arah melintang (tegak lurus serat kayu) desainnya dapat dibentuk
curva pada bidang lengkung dalam konstruksi ruangan. Hal ini dapat disebabkan oleh perubahan posisi core
melintang dibandingkan dengan core membujur (posisi longitudinal lebih sulit dengan posisi lateral). Bila ditinjau
dari segi kekuatan bending, kekuatan bending komposit sandwich optimum pada ketebalan core sekitar 10 mm
seperti ditunjukkan pada gambar 3. Komposit sandwich yang diperkuat serat kenaf dan serat E-glass dengan posisi
core kayu pinus melintang (tegak lurus serat kayu) memiliki tingkat kemampuan kemudahan dibentuk (forming)
yang lebih tinggi dibandingkan dengan komposit sandwich yang diperkuat serat kenaf dan serat E-glass dengan
posisi core kayu pinus membujur (sejajar serat kayu).
Berdasarkan analisis yang dihitung dengan standar ASTM D 393, komposit sandwich yang diperkuat serat
kenaf dan serat E-glass dengan posisi core kayu pinus melintang (tegak lurus serat kayu) memiliki kekuatan bending
facing yang tinggi, seperti ditunjukkan pada gambar 4, yang paling optimum terjadi pada komposit sandwich dengan
ketebalan core 10 mm.
Analisis kekuatan geser core menunjukkan bahwa tegangan geser core komposit dengan serat kenaf dan serat
E-glass dengan posisi core kayu pinus melintang (tegak lurus serat kayu) menurun seiring dengan penambahan
ketebalan core. Efek posisi core kayu pinus melintang mengindikasikan menurunkan kekuatan geser core komposit
hibrid sandwich. Namun, pada komposit yang posisi core kayu pinus melintang ini, memberikan efek stabilitas
dimensi yang lebih baik (tidak mudah terjadi deformasi).
Analisis flexural rigidity (kekakuan) komposit sandwich yang diperkuat serat kenaf dan serat E-glass dengan
posisi core kayu pinus melintang (tegak lurus serat kayu) mempunyai kekakuan yang cukup tinggi. Kekakuan
meningkat seiring dengan penambahan ketebalan core, seperti ditunjukkan pada gambar 6.

Gambar 2. Kurva momen bending komposit sandwich

337
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Gambar 3. Kurva kekuatan bending komposit sandwich

Gambar 4. Kurva tegangan facing/skin komposit sandwich

Gambar 5. Kurva tegangan geser core komposit sandwich

338
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Gambar 6. Kurva flexural rigidity (kekakuan) komposit sandwich

Analisis Pola Kegagalan Bending

Gagal tekan 15mm Core patah


pada skin geser

Fiber pull out gagal tarik pada skin delaminasi skin


dan core pada
ikatan interfacial

Gambar 7. Penampang patahan core kayu pinus melintang


komposit sandwich

Kegagalan bending komposit sandwich core arah serat kayu melintang ditunjukkan pada gambar 7. Secara
umum, pola kegagalan di awali dengan retakan pada komposit skin yang menderita tegangan tarik. Kemudian, beban
bending tersebut didistribusikan pada core sehingga menyebabkan core mengalami kegagalan. Skin yang semula
menderita beban tekan akhirnya mengalami kegagalan seiring dengan gagalnya core.
Gambar 7 menunjukkan secara jelas adanya kegagalan tarik pada komposit skin bawah, gagal geser core dan
kegagalan tekan pada skin atas. Mekanisme patahan terjadi karena kegagalan komposit sandwich akibat beban
bending berawal dari skin komposit sisi belakang (bawah) dan dilanjutkan dengan kegagalan core, delaminasi skin
dan core pada ikatan interfacial.

Kesimpulan
Berdasarkan data hasil penelitian tersebut maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Momen bending meningkat seiring dengan penambahan ketebalan core. Efek posisi core melintang
mengindikasikan desainnya dapat dibentuk curva pada bidang lengkung dalam konstruksi ruangan.

339
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

2. Tegangan bending komposit sandwich memiliki harga yang optimum pada ketebalan core 10 mm. Kemampuan
menahan momen dan kekakuan komposit sandwich meningkat seiring dengan penambahan ketebalan core.
Namun penambahan ketebalan core menurunkan kekuatan geser.
3. Tahapan pola kegagalan komposit hibrid sandwich adalah kegagalan tarik skin komposit sisi bawah,
kegagalan geser core, delaminasi skin komposit sisi atas dengan core pada ikatan interfacial., kegagalan tekan
skin komposit sisi atas.

Notasi Persamaan
b: lebar spesimen ( mm ) τ core : tegangan geser core
c: tebal core (mm)
d : tebal spesimen (mm) (MPa)
D:kekakuan bending (N.mm2) σ b : tegangan bending (MPa)
E: modulus bending (MPa) σ b facing :tegangan bending
I: momen inersia (mm4)
L: panjang span (mm) skin(MPa)
M: momen bending (N-mm) z: Jarak 0,5 tinggi skin terhadap
P: beban bending(N) titik acuan sumbu netral
tf: tebal skin sandwich (mm) (mm)

Daftar Pustaka
Allen, H.G., 1969, Analysis and Design of Structural Sandwich Panels, Pergamon press.
Anonim, 1994. “Annual Book of Standards, Section 15, C 393-94, Standard Test Methods forFlexural Properties of
Sandwich Constructions", ASTM, 1994.
Annual Book of Standards, ASTM D 790 – 02, “Standard Test Methods for Flexural Properties of
Unreinforced and Reinforced Plastics and Electrical Insulating Materials”,ASTM, 2002
Anonim. 2003. „DIAB Sandwich Handbook“ http://www.diabgroup.com, (3 Sptember 2008, jam 15.30 WIB)
Anonim, 2001,Technical data Sheet ,PT Justus Sakti Raya Corporation, Jakarta.
David W.,1987 “Mechanical Properties of Wood,Wood Handbook, Wood as an Engineering Material”
Forest Products Laboratory USDA Forest Service Madison, Wisconsin.
http://www.fpl.fs.fed.usdocumntsfplgtrfplgtr113ch04.pdf , November 2007.
Eichorn, S.J., Zafeiropoulus, C.A.B.N., Ansel, L.Y.M.M.P., Entwistle, K.M., Escamilla, P.J.H.F.G.C., Groom,L,
Hill, M.H.C., Rials, T.G. and Wild, P.M., 2001, Review Current International Research into Cellulosic
Fibers and Composites, Journal of Materials Science, Vol. 36, pp. 2107-2131
Febrianto, B. dan Diharjo, K., 2004, Kekuatan Bending dan Impak Komposit Hibrid Sandwich kombinasi serat
karung goni dan serat gelas polyester dengan core kayu sengon laut, Skripsi, UNS, Green,
Hariyanto, A.,. 2006. “Studi Perlakuan Alkali dan Tebal Core Terhadap Sifat Bending dan Impak
Komposit Hybrid Sandwich Serat Kenaf dan Gelas Bermatrik Polyester dengan Core Kayu Sengon
Laut” Tesis. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.
Siswamartana,. 2002.”Hutan Pinus dan Hasil Air” Cepu: Pusat Pengembangan Sumber Daya Hutan
Perhutani.

340
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

TINJAUAN VARIASI DIAMETER BUTIRAN TERHADAP KUAT GESER


TANAH LEMPUNG KAPUR
(STUDI KASUS TANAH TANON, SRAGEN)

Qunik Wiqoyah1, Anto Budi L2, Lintang Bayu P3


1,2,3
Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Surakarta
Jl.Ahmad Yani, Tromol Pos 1 Pabelan Kartasura, Surakarta
E-mail: qunik_w@yahoo.co.id

Abstrak

Penelitian ini menitik beratkan pada pengaruh variasi butiran tanah lempung kapur terhadap nilai
kuat geser tanah.Hal ini berawal dari pemikiran bahwa semakin kecil ukuran butiran tanah,
diharapkan semakin banyak kapur yang menyelimuti butiran tanah tersebut, sehingga butiran tanah
akan semakin besar dan semakin keras, yang akan memperbesar nilai kuat gesernya. Variasi ukuran
butiran tanah pada penelitian ini adalah No.4, No.30, dan No.50, dengan persentase penambahan
kapur : 2,5% dan 5%, . Jenis pengujian yang dilakukan di laboratorium Mekanika Tanah Teknik Sipil
UMS adalah sifat fisis dan mekanis tanah (Direct Shear Test). Hasil dari pengujian menunjukkan
bahwa campuran tanah lempung dengan kapur, dengan variasi ukuran butiran tanah ( lolos saringan
No 4, No 30 dan No 50) dapat memperbaiki sifat fisis dan sifat mekanis (kuat geser) tanah lempung.
Nilai tegangan geser (τ) cenderung mengalami peningkatan seiring dengan penambahan kapur dan
penambahan beban normal (N). Nilai tegangan geser (τ) terbesar terjadi pada tanah lolos saringan
No.4 dengan penambahan presentase kapur 5% dan beban normal (N) 9 kg yaitu sebesar 0,677
kg/cm2. Nilai kohesi (c) dan nilai sudut gesek dalam (ϕ) pada tanah lolos saringan No. 4, No. 30, No.
50 cenderung mengalami peningkatan seiring penambahan kapur. Nilai kohesi (c) tertinggi terjadi
pada tanah lolos saringan No. 4+ kapur 5% sebesar 0,529 kg/cm2 dan nilai sudut gesek dalam
(ϕ )tertinggi terjadi pada pada tanah lolos saringan No. 4 + kapur 5% sebesar 25,2°. Hasil uji
tersebut di atas menunjukkan bahwa diameter butiran lolo saringan No 4 dapat memperbaikan sifat
fisis maupun mekanis (kuat geser) yang lebih besar, dibandingkan dengan variasi lolos No 30 dan No
50. Hal ini menunjukkan bahwa diameter butiran tanah asli yang lebih besar tetap memberikan
kontribusi yang lebih besar dibandingkan dengan diameter butiran tanah asli yang lebih kecil,
walaupun tanah tersebut telah distabilisasi dengan kapur.

Kata kunci : tanah lempung; stabilisasi; kapur; sifat fisis; kuat geser

PENDAHULUAN
Menurut Wiqoyah (2003) tanah Tanon ini merupakan tanah lempung anorganik dengan plastisitas
tinngi.Berdasarkan penelitian pendahuluan tersebut, diperlukan adanya perbaikan tanah Tanon agar mampu
menahan beban yang bekerja. Perbaikan yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya yaitu Wiqoyah (2003) dan
Istiawan (2009), dengan mencampurkan kapur sebagai bahan stabilisasinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pemakaian kapur dapat memperbaiki sifat fisis maupun sifat mekanis tanah (CBR).Penelitian yang sejenis dengan
penelitian ini juga telah dilakukan oleh Murdani (2014), dengan variasi diameter butiran tanah lolos saringan No 4,
No 30 dan No 200 dengan persentase penambahan kapur 2,5% dan 5%. Hasil dari penelitian yang dilakukan
Murdani (2014), menunjukkan bahwa besarnya diameter butiran tanah asli sangat mempengaruhi kuat dukung
tanah, walaupun tanah tersebut distabilisasi dengan kapur. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti
sebelumnya maka pada penelitian ini akan tetap menggunakan bahan stabilisasi yang sama yaitu kapur dengan
variasi kapur : 2,5% dan 5%, akan tetapi ukuran butiran tanahnya divariasikan, dengan variasi : lolos No 4, No 30
dan No 50. Pemakaian variasi butiran ini bertujuan untuk melihat, apakah dengan variasi butiran ini dapat
memperbaiki sifat fisis dan mekanis( kuat geser) tanah Tanon tersebut.

Stabilisasi Tanah
Usaha untuk memperbaiki atau merubah sifat-sifat tanah disebut stabilisasi tanah. Stabilisasi tanah dasar
bertujuan untuk merubah struktur tanah atau sifat tanah sehingga dapat untuk memenuhi persyaratan dalam
meningkatkan daya dukung tanah. Tanah yang tidak memenuhi persyaratan tersebut mungkin bersifat sangat lepas,

341
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

mempunyai sifat perembesan yang tinggi, kuat dukung sangat rendah, atau sifat-sifat lain yang membuat tanah
tersebut tidak layak atau tidak sesuai digunakan sebagai tanah dasar.
Metode stabilisasi yang banyak digunakan adalah stabilisasi mekanis dan stabilisasi kimiawi. Stabilisasi
mekanis yaitu menambah kekuatan dan kuat dukung tanah dengan cara perbaikan struktur dan perbaikan sifat-sifat
mekanis tanah, sedangkan stabilisasi kimia yaitu menambah kekuatan dan kuat dukung tanah dengan cara
mengurangi atau menghilangkan sifat-sifat mekanis tanah yang kurang menguntungkan dengan jalan mencampur
tanah dengan bahan kimia seperti semen, kapur dan fly ash.

Kapur
Bahan dasar dari kapur adalah batu kapur. Batu kapur mengandung calsium karbonat (CaCO3), dengan
pemanasan pada suhu tinggi (± 900˚ C) karbon dioksidanya keluar dan tinggal kapur/kalsium oksidanya saja (CaO).
Susunan kimia maupun sifat fisik bahan dasar yang mengandung kapur ini berbeda dari satu tempat ke tempat yang
lain. Bahkan dalam satu tempatpun belum tentu sama. Kalsium oksida yang diperoleh ini biasa disebut “quicklime”.
Kapur hasil pembakaran apabila ditambahkan air maka mengembang dan retak-retak. Banyak panas yang keluar
(seperti mendidih) selama proses ini, hasilnya adalah calsium hidroksida (Ca(OH)2).

Analisa Ukuran Butiran


Analisa ukuran butiran meliputi analisa hydrometer dan analisa saringan, analisa hydrometer digunakan
untuk mendapatkan distribusi ukuran partikel-partikel tanah berdiameter kurang dari 0,075 mm. Pada prinsipnya
analisa hydrometer didasarkan pada sedimentasi (pengendapan) butir-butir tanah dalam air. Analisa saringan
digunakan untuk mendapatkan distribusi ukuran partikel-partikel tanah berdiameter lebih dari 0,075 mm. Analisa
ayakan dilakukan dengan mengayak dan menggetarkan contoh tanah melalui satu set ayakan dimana lubang-lubang
ayakan tersebut makin kecil secara berurutan. Untuk standar ayakan di Amerika Serikat, nomor ayakan dan ukuran
lubang diberikan dalam Tabel III.3.
Tabel 1. Ukuran-ukuran ayakan standar di Amerika Serikat
Ayakan no Lubang (mm)
4 4,750
6 3,350
8 2,360
10 2,000
16 1,180
20 0,850
30 0,600
40 0,425
50 0,300
60 0,250
80 0,180
100 0,150
140 0,106
170 0,088
200 0,075
270 0,053
(Hardiyatmo, 2000)

Uji DST (Direct Shear Test)


Pemeriksaan ini adalah untuk menentukan kuat geser tanah setelah mengalami konsolidasi akibat suatu beban
dengan drainase vertikal 2 arah. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan single shear atau double shear. Pemeriksaan
dapat dibuat pada semua jenis tanah dan pada contoh tanah asli (undistrub) atau contoh tanah tidak asli (disturb).
Dalam perhitungan mekanika tanah, kuat geser ini biasa dinyatakan τ (tegangan geser) dengan parameter geser c
(kohesi) dan φ sudut gesek dalam.
Hasil pengujian dapat diperoleh dengan menghitung tegangan normal dan tegangan geser.
Tegangan normal dan tegangan geser dihitung dengan rumus :
N
σ= (1)
A
P
τ= (2)
A

342
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

dengan :
σ = tegangan normal (kg/cm2)
τ = tegangan geser (kg/cm2)
N = beban normal (kg)
P = beban geser (kg)
A = luas penampang (cm2)
Menurut Mohr tegangan geser dapat dihitung dengan rumus :
τ = c + τ tan θ (3)
Sedangkan parameter geser dalam bentuk matematis :
Y = a0 + a1.X (4)
dengan :
Y =τ
X =σ
a0 = c
a1 = tan θ
Persamaan normal untuk mencari nilai a0 dan a sebagai berikut :
(∑Y ).(∑ X 2 ) − (∑ X ).(∑ XY )
a0 = (5)
n.(∑ X 2 ) − (∑ X )2
n.( ∑ XY ) − ( ∑ X ).( ∑ Y )
a1 = (6)
n.( ∑ X 2 ) − ( ∑ X ) 2

METODE PENELITIAN
Bahan yang digunakan adalah tanah lempung dari desa Jono, Tanon, Sragen diambil pada kedalaman lebih
dari 30 cm (keadaan tanah terganggu) dan kapur. Besar persentase kapur adalah 0%; 2,5%; 5% dari berat total tanah
kering udara.Uji yang dilakukan terhadap campuran tanah dan kapur adalah sifat fisis dan mekanis tanah. Sifat fisis
tanah meliputi; berat jenis, kadar air, Atterberg limits, analisa ukuran butiran dan klasifikasi tanah. Sifat mekanis
tanah meliputi uji pemadatan dan CBR. Alat yang digunakan pada penelitian ini, berasal dari Laboratorium
Mekanika Tanah Universitas Muhammadiyah Surakarta, yang sesuai dengan Annual Book of ASTM ..
Tahapan dalam penelitian ini dimulai dengan studi literatur dan penyediaan bahan yaitu sampel tanah dan
kapur, menyaring sampel tanah lolos saringan No. 4, No. 30 dan No.50, selanjutnya dilakuka uji sifat fisis tanah asli,
dan uji sifat fisis tanah campuran dengan persentase penambahan kapur sebesar 0%, 2.5%, 5%, yang meliputi :
kadar air, berat jenis (Gs= Spesific Gravity), batas-batas Atterberg (LL= Liquid Limit, PL= Plastic Limit, SL=
Shrinkage Limit), dan analisa ukuran butiran. Selanjutnya dilakukan uji kepadatan tanah dengan metode standard
Proctor untuk mendapatkan kepadatan maksimum dan kadar air optimum. Kadar air tersebut kemudian digunakan
untuk pembuatan benda uji untuk pengujian DST (direct shear test). Tahapan berikutnya adalah pembuatan benda
uji tanah asli dan campuran untuk uji DST dan analisa data serta pengambilan kesimpulan.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Sifat Fisis
1. Specific gravity (berat jenis) dan kadar air
Uji specific gravity tanah asli pada tanah lolos saringan No.4 didapatkan nilai sebesar 2,622 akan tetapi
setelah dilakukan penambahan kapur, tanah asli mengalami penurunan nilai specific gravity. Nilai specific gravity
terkecil terjadi pada tanah dengan penambahan 5% kapur yaitu sebesar 2,583 yang menunjukkan terjadi penurunan
nilai sebesar 0,039. Penurunan nilai specific gravity terkecil terjadi pada penambahan 2,5% kapur yaitu sebesar 2,6
dan terjadi penurunan nilai sebesar 0,022. Hal ini disebabkan antara lain karena bercampurnya 2 bahan dengan
specific gravity yang berbeda. Nilai specific gravity tanah asli adalah 2,622 sedangkan nilai specific gravity kapur
lebih kecil yaitu 2,302 sehingga penurunan nilai specific gravity terjadi.

343
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Gambar 1. Grafik Hubungan antara persentase penambahan kapur dengan nilai specific gravity

Gambar 2. Grafik Hubungan antara persentase penambahan kapur dengan nilai kadar air

2. Batas atterberg
Hasil uji batas cair menunjukkan adanya penurunan seiring dengan besarnya penambahan persentase
kapur.Penurunan nilai batas cair (LL) maksimum terjadi pada tanah lolos saringan No. 4 dengan penambahan kapur
5 %. Hal ini disebabkan tanah mengalami proses sementasi sehingga tanah menjadi butiran yang lebih besar yang
menjadikan gaya tarik menarik antar partikel dalam tanah menurun. Penurunan ini menyebabkan partikel dalam
tanah mudah lepas dari ikatannya sehingga nilai kohesi akan semakin kecil, hal ini akan menyebabkan turunnya
nilai batas cair (LL). Nilai batas cair terhadap tanah lolos saringan No. 30 dan No. 50 mengalami kenaikan ,itu
dikarenakan semakin kecil butiran tanah maka akan semakin kuat daya tarik menarik antar partikel tanah,jadi antar
partikel tanah pada butiran kecil tidak mudah lepas. Hubungan penambahan kapur dengan nilai batas cair (LL) dapat
dilihat pada Gambar 4. dan Hubungan antara lolos saringan No. 4, No. 30 dan No. 200 dengan nilai batas cair (LL)
dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Grafik Hubungan antara lolos saringan No. 4, No. 30 dan No. 50 dengan nilai batas cair (LL)

`4
Gambar 4. Grafik Hubungan antara lolos saringan No. 4, No. 30 dan No. 50 dengan nilai batas plastis (PL)

344
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Nilai batas plastis (PL) tanah asli lolos saringan No.4 dari uji Atterberg limits didapatkan sebesar 29,74%.
Pada penambahan kapur 5% nilai batas plastis mengalami kenaikan sebesar 5,89%. Hal ini juga terjadi pada tanah
lolos saringan No.30 dan lolos saringan No.50. Nilai tertinggi terjadi pada tanah lolos saringan No. 4 dengan
campuran kapur 5%, dengan nilai batas plastis 35,63%. Penambahan kapur mengakibatkan peningkatan nilai batas
plastis, dikarenakan terjadinya penurunan kohesi tanah yang menyebabkan ikatan antar butir tanah semakin tidak
lekat. Pada tanah lolos saringan No. 30 dan No. 50 nilai batas plastis mengalami penurunan dari tanah lolos saringan
No. 4, karena tanah dengan butiran kecil ikatan antar butir tanah semakin lekat ( kohesi tinggi ).
Nilai batas susut (SL) tanah asli lolos saringan No.4 dari uji Atterberg limits didapatkan sebesar 10,75%.
Hasil uji Atterberg limits menunjukkan peningkatan sebanyak 1,56% yang terjadi pada tanah lolos saringan No.4
dengan penambahan kapur 5% dengan nilai batas susut 12,31%. Hal ini juga terjadi pada tanah lolos saringan No.30
dan lolos saringan No.200. Nilai tertinggi terjadi pada tanah lolos saringan No. 50 dengan campuran kapur 5%,
dengan nilai batas susut 13,28%. Peningkatan nilai batas susut terjadi seiring dengan besarnya persentase
penambahan kapur. Hal tersebut disebabkan karena pencampuran tanah asli dengan kapur menyebabkan butiran
tanah semakin besar, sehingga akan memperkecil luas spesifik butiran, yang menyebabkan butiran tidak mudah
terpengaruh oleh perubahan kadar air. Hubungan antara diameter butiran dan nilai batas susut dapat dilihat pada
Gambar 5.

Gambar 5. Grafik Hubungan antara lolos saringan No. 4, No. 30 dan No. 200 dengan nilai batas susut (SL)

Hasil perhitungan PI berdasar nilai LL dan PL dari pengujian Atterberg limits. Besar kecilnya nilai indeks
plastis sangat tergantung oleh nilai batas cair dan batas plastis. Penambahan persentase kapur dapat menurunkan
batas cair dan menaikkan batas plastis, maka indeks plastisnya akanmenurun.Nilai PI (indeks plastis) tanah saringan
No.4, No. 30 dan No. 50 mengalami penurunan pada penambahan kapur 5%. Penurunan tertinggi terjadi pada tanah
lolos saringan No. 4 pada penambahan kapur 5%, dengan nilai PI (indeks plastis)37%. Pada tabel indeks plastisitas
menyatakan bahwa jika nilai PI>17 maka tanah tersebut masuk ke dalam tanah lempung kohesif berplastisitas
tinggi. Hubungan antara lolos saringan No. 4, No. 30 dan No. 200 dengan nilai indeks plastis (PI) dapat dilihat pada
Gambar 6.

Gambar 6. Grafik Hubungan antara lolos saringan No. 4, No. 30 dan No. 50 dengan nilai indeks plastis (PI)

3. Analisa ukuran butiran dan klasifikasi tanah


Pada tanah lolos saringan No.50 dengan penambahan kapur 2,5% didapatkan nilai batas cair sebesar 87,71%,
batas plastis 32,01%, persentase lolos saringan No. 200 sebesar 78% dan nilai GI sebesar 47,62 maka diambil
GI=47, menurut AASHTO termasuk kedalam kelompok A-7-5, yang merupakan tanah lempung bersifat tidak baik
atau buruk apabila digunakan sebagai lapis pondasi perkerasan jalan atau bangunan. Pada penambahan kapur 5%
didapatkan nilai batas cair sebesar 86,09%, batas plastis 33,19%, persentase lolos saringan No. 200 75,2% dan nilai
GI sebesar 43,11 menurut AASHTO termasuk kedalam kelompok A-7-5. Hasil yang sama juga terjadi pada
penambahan tanah lolos saringan No. 4 dan No. 30 pada tanah asli dan penambahan kapur 2,5% yaitu menurut
metode AASHTO termasuk kedalam kelompok A-7-5. Berdasarkan nilai batas cair dan indeks plastisitas pada tanah
lolos saringan No. 4, No. 30 dan No. 50 penambahan kapur 2,5% dalam metode USCS termasuk kelompok CH, dan

345
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

untuk penambahan kapur 5% termasuk kelompok MH-OH. Tetapi didapatkan nilai LLR pada tanah lolos saringan
No. 4, No. 30 dan No. 50 dengan penambahan kapur 5% sebesar 0,871 ; 0,886 ; 0,891 sehingga nilai perbandingan
antara batas cair dengan tanah oven dengan batas cair dengan tanah kering udara (LLR)>0,75 tanah merupakan
kelompok MH, yaitu tanah lanau elastis.

Sifat Mekanis
1. Standard Proctor
Gambar 7 menunjukkan bahwa tanah lolos saringan No. 4 dengan penambahan kapur akan menyebabkan
penurunan berat isi kering maksimum. Pada tanah asli lolos saringan No. 4 berat isi kering maksimum sebesar 1,215
gr/cm3 namun seiring dengan penambahan kapur mengalami penurunan. Penurunan pada penambahan kapur 5%
yaitu dengan nilai berat isi kering maksimum sebesar 1,145 gr/cm3. Hal ini juga terjadi pada tanah lolos saringan
No. 30 dan No. 200. Penurunan terbesar terjadi pada tanah lolos saringan No. 200 pada penambahan kapur 5%
dengan hasil berat isi kering maksimum sebesar 0,980 gr/cm3 ,

Gambar 7 Grafik Hubungan antara lolos saringan No. 4, No. 30 dan No. 50 dengan berat isi kering maksimum

Penambahan kapur cenderung menyebabkan kenaikan kadar air optimum. Nilai kadar air optimum pada
tanah asli lolos saringan No. 4 yaitu 31% tetapi seiring penambahan kapur cenderung mengalami peningkatan. Pada
tanah lolos saringan No. 4 penambahan kapur 5% yaitu 32,46%. Hal ini juga terjadi pada tanah lolos saringan No.
30 dan No. 50. Peningkatan terbesar terjadi pada tanah lolos saringan No. 4 pada penambahan kapur 5% dengan
hasil kadar air optimum sebesar 32,46%. Hal ini disebabkan oleh pembesaran rongga karena sementasi yang
menyebabkan bertambahnya pori-pori tanah yang dapat diisi air. Pada tanah asli lolos saringan No.30 dan No. 50
mengalami penurunan kadar air optimum. Hal ini dikarenakan semakin kecil butiran maka tanah akan lebih rapat,
pori-pori tanah sedikit terisi air jadi nilai kadar air optimum mengalami penurunan dari kadar air optimum pada
tanah asli lolos saringan No. 4.

2. Uji DST (Direct Shear Test)


Pengujian DST dilakukan pada sampel tanah asli dan campuran dengan variasi penambahan kapur 2,5% dan
5%. Hasi pengujian DST (Direct Shear Test) untuk tanah asli dan campuran dapat dilihat pada gambar di bawah.

Gambar 8. Grafik Hubungan antara lolos saringan No. 4, No. 30 dan No. 50 dengan nilai tegangan geser (τ) dengan beban normal 3 Kg

346
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Gambar 9. Grafik Hubungan antara lolos saringan No. 4, No. 30 dan No. 50 dengan nilai tegangan geser (τ) dengan beban normal 6 Kg

Gambar 10. Grafik Hubungan antara lolos saringan No.4, No.30 dan No.50 dengan nilai tegangan geser (τ) dengan beban normal 9 Kg

Dari grafik diatas menunjukkan bahwa nilai tegangan geser (τ) cenderung mengalami peningkatan seiring
dengan penambahan kapur dan penambahan beban normal (N). Nilai tegangan geser (τ) terbesar terjadi pada tanah
lolos saringan No.4 dengan penambahan presentase kapur 5% dan beban normal (N) 9Kg yaitu sebesar 0,677
kg/cm2. Hal ini disebabkan karena tanah lolos saringan No.4 merupakan tanah yang bergradasi paling baik dalam
pengujian ini, sedangkan penambahan kapur juga berpengaruh pada nilai kuat geser karena terjadinya proses
sementasi saat perendaman, yang menyebabkan penggumpalan pada tanah campuran sehingga daya ikat antar
butiran meningkat. Kuat geser tanah adalah gaya perlawanan yang dilakukan oleh butir tanah terhadap desakan atau
tarikan, hal ini yang berkaitan dengan beban normal (N) adalah desakan, jadi semakin besar desakan/beban yang
diberikan kepada tanah maka semakin besar pula kuat geser tanah tersebut. Hasil pengujian kuat geser di atas
didukung dengan penjelasan parameter geser dibawah ini.

Tabel .1. Hasil parameter geser pada tanah lolos saringan No. 4
Variasi C (kg/cm2) Φ (°)
Tanah asli 0,485 19,4
Tanah asli + kapur 2,5% 0,524 23,8
Tanah asli + kapur 5% 0,539 25,1

Tabel 2. Hasil perameter geser pada tanah lolos saringan No. 30


Variasi C (kg/cm2) Φ (°)
Tanah asli 0,469 17,3
Tanah asli + kapur 2,5% 0,496 21,5
Tanah asli + kapur 5% 0,518 22,7

Tabel 3. Hasil perameter geser pada tanah lolos saringan No. 50


Variasi C (kg/cm2) Φ (°)

347
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Tanah asli 0,438 13,2


Tanah asli + kapur 2,5% 0,479 18,8
Tanah asli + kapur 5% 0,501 20,3

Dari Tabel diatas menunjukkan bahwa nilai c dan ϕ cenderung mengalami peningkatan seiring dengan
penambahan kapur. Pada tanah asli lolos saringan No. 4 nilai c dan ϕ yaitu masing-masing 0,485 kg/cm2 dan 19,4°
dan mengalami kenaikan menjadi 0,539 kg/cm2 dan 25,1° pada penambahan kapur 5%. Hal ini juga terjadi pada
tanah lolos saringan No. 30 dan No. 50. Peningkatan terbesar terjadi pada tanah lolos saringan No. 4 pada
penambahan kapur 5% dengan hasil c dan ϕ yaitu masing-masing 0,539 kg/cm2 dan 25,1°.
Meningkatnya nilai c dan ϕ jika ditambah kapur disebabkan terjadinya proses sementasi saat perendaman,
yang menyebabkan penggumpalan pada tanah campuran sehingga daya ikat antar butiran meningkat. Akibatnya
rongga-rongga pori yang telah ada sebagian akan dikelilingi bahan sementasi yang lebih keras,sehingga butiran
menjadi tidak mudah hancur karena penambahan air. Pada tanah lolos saringan No. 30 dan No. 50 mengalami
penurunan nilai c dan ϕ dari tanah lolos saringan No. 4, karena ukuran butiran pada tanah lolos saringan nomor 4
lebih beragam daripada tanah lolos saringan No.30 dan No.50. Tanah yang mempunyai gradasi baik mempunyai
nilai kuat geser yang lebih baik, sedangkan tanah yang memiliki gradasi butiran jelek maka nilai kohesi (c) nya akan
semakin turun. Hal ini dikarenakan tanah yang bergradasi jelek cenderung memiliki diameter butiran yang seragam
dan pada saat tanah tersebut dicampur akan masih banyak rongga antar butiran sehingga ikatan antar butiran akan
berkurang, sebaliknya tanah bergradasi baik jika dicampur maka rongga antar butiran semakin sedikit dan
memperbesar ikatan antar butiran tersebut. Tanah yang bergradasi baik posisi antar butiran tanah bisa saling
mengunci, hal ini akan menjadikan nilai sudut geser dalam (ϕ) lebih tinggi daripada tanah yang hanya mempunyai
sedikit ragam butiran. Karena tanah lolos saringan No. 4 paling beragam jenis butiranya maka hasil nilai c dan ϕ
tertinggi yaitu pada lolos saringan No. 4 dengan penambahan kapur 5%.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan di laboratorium dan analisa data percobaan maka dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut :
1. Hasil uji sifat fisis tanah lempung lolos saringan No. 4, No. 30, No. 50 setelah distabilisasi dengan kapur 2,5%,
5% menunjukkan bahwa nilai berat jenis (specific gravity),nilai kadar air, nilai batas cair dan nilai persentase
lolos saringan No. 200 cenderung menunjukkan penurunan, sedangkan nilai batas plastis dan batas susut
mengalami peningkatan.
2. Hasil uji pemadatan tanah menggunakan standard Proctor pada tanah lolos saringan No. 4, No. 30, No. 50.
Berat volume kering maksimum mengalami penurunan dan kadar air optimum mengalami peningkatan setelah
di stabilisasi dengan kapur. Hasil uji pemadatan tanah pada sampel tanah campuran didapat penurunan berat
volume kering maksimum terbesar terjadi pada campuran tanah lolos No. 50 dengan kapur 5% dan
peningkatan kadar air optimum terbesar terjadi pada campuran tanah lolos No. 4 dengan kapur 5%.
3. Nilai tegangan geser (τ) cenderung mengalami peningkatan seiring dengan penambahan kapur dan
penambahan beban normal (N). Nilai tegangan geser (τ) terbesar terjadi pada tanah lolos saringan No.4 dengan
penambahan presentase kapur 5% dan beban normal (N) 9Kg yaitu sebesar 0,677 kg/cm2. Nilaik ohesi (C) dan
nilai sudut geser dalam (ϕ) pada tanah lolos saringan No. 4, No. 30, No. 50 cenderung mengalami peningkatan
seiring penambahan kapur. Nilai kohesi (C) tertinggi terjadi pada tanah lolos saringan No. 4+ kapur 5%
sebesar 0,529 kg/cm2 dan nilai sudut geser dalam (ϕ)tertinggi terjadi pada pada tanah lolos saringan No. 4 +
kapur 5% sebesar 25,2°.

Daftar Pustaka
ASTM. 1981. Annual Book of ASTM. Philadelpia, PA.
Hardiyatmo, H. C. 2000, . Mekanika Tanah I. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Hardiyatmo, H. C. 2001. Prinsip-prinsip Mekanika Tanah dan Soal Penyelesaian I (1st ed). Yogyakarta : Beta
Offset.
Istiawan, A. C.K. 2009. Pengaruh Kapur Sebagai Bahan Stabilisasi Terhadap Kuat Dukung dan Potensi
Pengembangan Tanah Lempung (Studi Kasus Tanah Lempung Tanon, Sragen), Tugas Akhir, S1 Teknik
Sipil, UMS
Wiqoyah Q., 2003, Campuran Kapur dan Trass Sebagai Bahan Stabilisasi Tanah Lempung untuk Lapisan Dasar
Jalan. Tesis, Universitas Gajah Mada Jogyakarta, Jogyakarta.

348
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

FATIGUE ENDURANCE AND HARDNESS CHARACTERIZATION OF


DLC (DIAMOND-LIKE CARBON) COATING ON HQ 805 SUBSTRAT

Viktor Malau1, Priyo Tri Iswanto2, Winda Sanni Slat3 and Didy Suharlan4
1,2,3,4
Departemen Teknik Mesin dan Industri, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada
Jl. Grafika 2 Yogyakarta 55281 Telp 0274 521673
Email: malau@ugm.ac.id

Abstrak

Machinery steel HQ (High Quality) 805 is a group of machinery steels that are widely used as
machinery components such as long shafts, crankshafts, gears, rods and pins. HQ 805 steel is a low
alloy steel and has chemical composition (wt %) of 0.3673 C, 0.2273 Si, 0.296 S, 0.0093 P, 0.7136
Mn, 1.3080 Ni, 1.4031 Cr, 0.0099 Ti, 0.1585 Mo, 0.2184 Cu, 0.0073 W, 0.0142 Sn, 0.0045 Ca, 0.0127
Zn, 0.0142 Al and 95.48 Fe. Hardness and fatigue endurance of HQ 805 are necessary to be improved
so that the lifetime of the components can increase or endure. These properties can be obtained by
performing an appropriate surface treatment to HQ 805 material. DLC (Diamond-Like Carbon) is a
new type of coating and it has high mechanical properties such as hardness (like diamond) and Young
modulus. This DLC coating can be deposited on a substrate by CVD (Chemical Vapor Deposition) or
PVD (Physical Vapor Deposition) technique. The objective of this research is to study and
characterize the effect of parameters process of DLC coating on hardness, fatigue endurance and
microstructure of HQ 805 material.
The surface treatment with DLC coating was selected as a surface coating of HQ 805 in order to
obtain the properties as needed. DLC coating was deposited on surface of HQ 805 by CVD plasma
discharge technique. DLC coating derived from a mixture of argon gas (Ar) and methane (CH4) has a
ratio of 76 : 24 by volume. Parameters process of DLC coating were variation of pressure and
deposition time. Pressure variations used were 1.2, 1.4 and 1.6 mbar with deposition time of 2, 4, and
6 hours. Operating temperature was maintained at 400 oC. The tests have been done on raw material
specimens (HQ 805 without coating) and HQ 805 with coating. Surface hardness was characterized
by Vickers micro hardness test with indentation load of 10 grams and indentation time of 10 minutes
and fatigue endurance was obtained by rotary bending test machine with load variations.
Microstructure analysis and composition were performed by SEM (Scanning Electron Microscopy)
and EDS (Energy Dispersive X-Rays Spectroscopy) respectively.
The results show that the parameters process of DLC coating such as pressure and time deposition is
capable to modify the hardness and fatigue endurance significantly. The deposition pressure of 1.4
mbar results higher hardness compared to its hardness of coating obtained with deposition pressure
of 1.2 and 1.6 mbar. The increasing of deposition time gives the increment of hardness. The highest
hardness of 665 VHN (Vickers Hardness Number) is produced by a DLC coating with the pressure of
1.4 mbar and deposition time of 4 hours, while the base metal HQ 805 (without coating) has the
hardness of 327 VHN.
The surface roughness of specimen tested increases with increasing of deposition time. DLC coating
with a deposition pressure of 1.4 mbar gives the smallest surface roughness compared with 1.2 and
1.6 mbar deposition pressure.
HQ 805 substrate (without the DLC layer) has a fatigue endurance of 400 MPa. DLC coating on the
substrate can increase or decrease the fatigue endurance depending on pressure and time deposition
of coating used. DLC coatings with 1.2 and 1.4 mbar pressure produce the same fatigue endurance of
450 MPa for 2 hours time deposition. DLC coating with the pressure of 1.4 mbar and deposition time
of 4 hours results a highest fatigue endurance of 512 MPa, and otherwise fatigue endurance drops
dramatically (to 395 MPa) for deposition time of 6 hours. The general conclusion can be stated that
the DLC coating on the substrate HQ 805 will provide the best fatigue endurance if the substrate is
coated with a pressure of 1.4 mbar and deposition time of 4 hours.

Kata kunci: DLC coating, fatigue endurance, hardness, roughness

349
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Pendahuluan
Bahan merupakan salah satu komponen penting dalam perancangan guna menghasilkan suatu produk
berkualitas. Untuk dapat menghasilkan suatu produk bermutu, sifat material yang akan digunakan perlu
dipertimbangkan agar peralatan yang dihasilkan dapat digunakan dengan baik. Pada penggunaannya, peralatan yang
dihasilkan sering menghadapi permasalahan karena pemilihan material tidak tepat. Material yang menjadi
komponen dasar suatu peralatan atau konstruksi mesin belum memenuhi standard fungsi peralatan tersebut.
Berbagai persyaratan dari pemilihan material yang digunakan seperti: kekuatan fatik, ketangguhan, kekerasan,
ketahanan aus dan ketahanan korosi diharapkan dapat terpenuhi dengan memperbaiki sifat dasar yang dimiliki
material.
Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya teknik rekayasa material, maka salah satu
cara untuk meningkatkan sifat fisis dan mekanis material adalah merekayasa sifat material dan paduannya dengan
proses perlakuan permukaan (surface treatment) berupa pemberian lapisan tipis (thin film) untuk mendapatkan sifat-
sifat tertentu dari permukaan suatu bahan. Salah satu baja permesinan (machinery steel) adalah HQ 805. Aplikasi
utama dari HQ 805 adalah sebagai komponen mesin, poros, roda gigi, rods and pins yang membutuhkan sifat
kekuatan fatik, kekerasan dan ketahanan korosi yang baik.
Lapisan tipis menawarkan beberapa manfaat seperti: peningkatan kekerasan dan kekuatan fatik, tahan aus,
tahan korosi dari suatu permukaan. Salah satu lapisan tipis dari bahan keras, tahan aus, dan tahan korosi adalah DLC
(Diamond-Like Carbon). Salah satu metode yang dapat digunakan untuk pelapisan DLC adalah plasma chemical
vapour deposition (plasma CVD). Lapisan DLC dengan metode CVD ini dapat diperoleh dengan menggunakan gas
berupa CH4, C2H2, C2H4 atau benzena C6H6 (Anhar, 2014). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh
lapisan tipis DLC pada permukaan material HQ 805 terhadap kekerasan dan kekuatan fatik dengan parameter proses
berupa variasi tekanan dan lama pelapisan.
Purnama, dkk (2013) melakukan penelitian tentang pembuatan bahan target karbon untuk deposisi lapisan
tipis DLC. Karbon (C) yang digunakan adalah arang tempurung kelapa hasil proses karbonisasi dengan metode
simple heating pada suhu 600 oC dengan laju pemanasan 5,42 oC/menit. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa
penambahan komposisi PVAc (Polyvinyl Acetate) dapat meningkatkan nilai kuat tekan bahan target karbon.
Lapisan tunggal DLC atau lapisan kombinasi dengan DLC dapat meningkatkan corrosion fatigue strength (Uematsu,
dkk., 2011; Okada, dkk., 2010; Du, dkk., 2014) dan modulus elastis (Kakiuchi, dkk., 2011) dari magnesium paduan,
menurunkan dan menaikkan kekerasan (Fujimoto, dkk., 2011; Vaghri, dkk., 2011), menaikkan ketahanan aus dan
kekuatan fatik dari baja tahan karat (Morita, dkk., 2012).

Bahan, Alat dan Metode Penelitian


Bahan penelitian berupa baja HQ 805 yang dipotong dan dibuat menjadi spesimen uji fatik, uji kekerasan dan
uji struktur mikro. Pengujian dilakukan terhadap spesimen yang belum dilapisi (raw material) dan spesimen yang
telah dilapisi DLC. Alat-alat yang digunakan terdiri dari dapur plasma (untuk melapisi permukaan spesimen uji)
mesin uji fatik rotary bending (untuk mengetahui kekuatan fatik, life-cycles), alat uji mikro Vickers (untuk
mengetahui kekerasan), alat uji kekasaran permukaan, alat pengamatan struktur mikro berupa SEM-EDS.
Lapisan DLC diperoleh dari gas methane (CH4) yang dialirkan kedalam dapur plasma bersamaan dengan gas
argon (Ar) dengan perbandingan CH4 : Ar = 24 ; 76 (% volume). Parameter proses pelapisan berupa variasi tekanan
(p = 1,2; 1,4; 1,6 mbar) dan lama pelapisan (t = 2, 4, 6 jam) pada suhu pelapisan 400 oC (konstan). Pengujian fatik
dilakukan dengan menggunakan rotary bending machine dan spesimen dibuat sesuai standard ASTM E-466 seperti
diperlihatkan oleh Gambar 1. Pengujian dilakukan dengan memberikan beban awal pada tegangan σ1 sekitar 2/3 dari
kekuatan tarik masing-masing spesimen. Pada tingkat tegangan σ1 ini, pengujian dilaksanakan sampai diperoleh
jumlah siklus kegagalan N1. Selanjutnya untuk tegangan σ2, σ3 dan seterusnya dilakukan pengujian terhadap
spesimen kedua, ketiga dan seterusnya sampai dihasilkan jumlah siklus kegagalan N2, N3 dst.

Lo = 26
R = 12
D=8
10

25 25
80

Gambar 1. Bentuk dan ukuran spesimen uji fatik sesuai standard ASTM E-466

Hasil dan Pembahasan


Tabel 1 menunjukkan hasil uji komposisi kimia baja HQ 805.

350
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Tabel 1. Hasil uji komposisi kimia baja HQ 805


Unsur C Si S P Mn Ni Cr Ti
% berat 0.3673 0.2237 0.0296 0.0092 0.7136 1.3080 1.4031 0.0099

Unsur Mo Cu W Sn Ca Zn Al Fe
% berat 0.1585 0.2184 0.0073 0.0142 0.0045 0.0127 0.0142 95.48

Hasil Uji Fatik


Hasil uji fatik dari raw material dan spesimen yang diberi lapisan DLC pada tekanan p = 1,2 mbar dengan
variasi lama pelapisan DLC (t) = 2, 4, 6 jam diperlihatkan pada Gambar 2 dan 3. Gambar ini menunjukkan bahwa
lapisan DLC dengan lama pelapisan 2 dan 4 jam menghasilkan tegangan lebih tinggi dibandingkan dengan raw
material HQ 805, sedangkan lapisan dengan lama pelapisan 6 jam memberikan tegangan lebih rendah dari material
HQ 805. Hasil ini menunjukkan bahwa lapisan DLC dengan lama pelapisan 2 dan 4 jam menghasilkan tegangan
fatik (endurance limit) lebih tinggi dari raw material HQ 805, sementara lapisan DLC dengan lama pelapisan 6 jam
mempunyai tegangan fatik lebih rendah. Lapisan DLC dengan t = 6 jam mempunyai lapisan lebih tebal yang
memungkinkan lapisan tersebut memiliki porositas lebih besar sehingga tegangan fatiknya menjadi lebih rendah.
Gambar 4 dan 5 secara berurutan memperlihatkan hubungan antara tegangan yang diberikan dan jumlah
siklus dari uji fatik lapisan DLC dengan tekanan pelapisan p = 1,4; 1,6 mbar untuk lama pelapisan t = 2, 4 dan 6
jam. Lapisan DLC dengan tekanan p = 1,4 mbar dan t = 6 jam menghasilkan tegangan fatik lebih rendah
dibandingkan dengan raw material HQ 805. Hasil ini mempunyai kesamaan terhadap hasil lapisan DLC dengan p =
1,2 mbar dan t = 6 jam pada Gambar 2 dan 3 di atas.

750
700 Raw material HQ 805
650 p = 1,2 mbar; t = 2 jam
Tegangan σ (MPa)

600 p = 1,2 mbar; t = 4 jam


550 p = 1,2 mbar; t = 6 jam

500
450
400
350
300
0,E+00 5,E+06 1,E+07 2,E+07 2,E+07 3,E+07
Jumlah siklus (N)
Gambar 2. Hasil uji fatik raw material dan spesimen DLC pada tekanan 1,2 mbar
dengan variasi lama pelapisan (skala linier)

750
Raw material HQ 805
700 p = 1,2 mbar; t = 2 jam
p = 1,2 mbar; t = 4 jam
650 p = 1,2 mbar; t = 6 jam
Tegangan σ (MPa)

Power (Raw material HQ 805)


600 Power (p = 1,2 mbar; t = 2 jam)
Power (p = 1,2 mbar; t = 4 jam)
550 Power (p = 1,2 mbar; t = 6 jam)
500
450
400
350
1,E+04 1,E+05 1,E+06 1,E+07 1,E+08
Jumlah siklus (N)
Gambar 3. Hasil uji fatik raw material dan spesimen DLC pada tekanan 1,2 mbar
dengan variasi lama pelapisan (skala logaritmik)

351
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

800

700

600
Tegangan σ (MPa)

500

400
Raw material HQ 805 p = 1,4 mbar, t = 2 jam
p = 1,4 mbar, t = 4 jam p = 1,4 mbar, t = 6 jam
300
Power (Raw material HQ 805) Power (p = 1,4 mbar, t = 2 jam)
Power (p = 1,4 mbar, t = 4 jam) Power (p = 1,4 mbar, t = 6 jam)
200
1,E+04 1,E+05 1,E+06 1,E+07 1,E+08
Jumlah siklus (N)

Gambar 4. Hasil uji fatik raw material dan spesimen DLC pada tekanan 1,4 mbar
dengan variasi lama pelapisan

800

700
Tegangan σ (MPa)

600

500

400
Raw material HQ 805 p = 1,6 mbar, t = 2 jam
300 p = 1,6 mbar, t = 4 jam p = 1,6 mbar, t = 6 jam
Power (Raw material HQ 805) Power (p = 1,6 mbar, t = 2 jam)
Power (p = 1,6 mbar, t = 4 jam) Power (p = 1,6 mbar, t = 6 jam)
200
1,E+04 1,E+05 1,E+06 1,E+07 1,E+08
Jumlah siklus (N)
Gambar 5. Hasil uji fatik raw material dan spesimen DLC pada tekanan 1,6 mbar
dengan variasi lama pelapisan

800

700
Tegangan σ (MPa)

600

500

400
Raw material HQ 805 p = 1,2 mbar; t = 4 jam
p = 1,4 mbar; t = 4 jam p = 1,6 mbar; t = 6 jam
300
Power (Raw material HQ 805) Power (p = 1,2 mbar; t = 4 jam)
Power (p = 1,4 mbar; t = 4 jam) Power (p = 1,6 mbar; t = 6 jam)
200
1,E+04 1,E+05 1,E+06 1,E+07 1,E+08
Jumlah siklus (N)
Gambar 6. Perbandingan hasil uji fatik raw material dan spesimen DLC pada
tekanan 1,2; 1,4; 1,6 mbar yang memberikan hasil optimum

352
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Gambar 6 menginformasikan hasil optimum (terbaik) dari lapisan DLC untuk tekanan dan lama pelapisan tertentu.
Lapisan dengan tekanan p = 1,6 mbar menghasilkan tegangan fatik lebih tinggi dari lapisan dengan tekanan = 1,2
dan 1,4 mbar maupun dari raw material HQ 805.

Hasil Uji Kekerasan Mikro Vickers


Gambar 7 merepresentasikan peningkatan kekerasan permukaan HQ 805 setelah dilakukan pelapisan DLC
dengan variasi tekanan (p = 1,2; 1,4; 1,6 mbar) dan lama pelapisan (t = 0, 2, 4, 6 jam). Peningkatan kekerasan ini
terjadi akibat adanya tambahan unsur karbon (C) yang terdifusi secara intertisi ke dalam substrat, dimana kenaikan
karbon C dalam baja akan meningkatkan kekerasan baja tersebut. Kekerasan tertinggi (optimum) sekitar 665 VHN
dihasilkan oleh lapisan DLC dengan tekanan p = 1,4 mbar dan lama pelapisan t = 4 jam. Lapisan DLC dengan
tekanan pelapisan p = 1,4 mbar menghasilkan kekerasan tertinggi karena permukaannya lebih halus. Hal ini
dibuktikan dengan kekasaran Ra lebih kecil seperti terlihat pada Gambar 8, serta pengamatan SEM seperti
ditunjukkan pada Gambar 5-19.

700
Number, VHN (kg/mm²)

650
Vickers Hardness

600
550
500
450
400
350
300 p = 1,2 mbar p = 1,4 mbar
250 p = 1,6 mbar
200
0 1 2 3 4 5 6 7
Lama pelapisan DLC, t (jam)
Gambar 7. Pengaruh tekanan dan lama pelapisan terhadap kekerasan permukaan lapisan DLC

Hasil Uji Kekasaran Permukaan


Hasil uji kekasaran permukaan sebagai fungsi variasi tekanan dan lama pelapisan ditunjukkan pada Gambar
8. Kekasaran permukaan (Ra) meningkat seiring dengan naiknya lama pelapisan. Lapisan DLC dengan tekanan
pelapisan sebesar 1,4 mbar menghasilkan kekasaran permukaan paling rendah dibandingkan dengan tekanan
lainnya. Bila Gambar 7 dan 8 dibandingkan maka ditemukan bahwa kekerasan (VHN) tertinggi dihasilkan oleh
lapisan DLC dengan kekasaran permukaan (Ra) terendah.

0,3
Kekasaran permukaan Ra (µm)

0,25

0,2

0,15

0,1 p = 1,2 mbar


p = 1,6 mbar
0,05
p = 1,4 mbar
0
0 1 2 3 4 5 6 7
Lama pelapisan DLC t (jam)
Gambar 8. Pengaruh tekanan dan lama pelapisan terhadap kekasaran permukaan lapisan DLC

Hasil pengamatan SEM dari lapisan DLC untuk tekanan p = 1,2; 1,4; 1,6 mbar dengan lama pelapisan t = 4 jam
secara berurutan diperlihatkan pada Gambar 9, 10, 11.

353
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

DLC coating surface

Gambar 9. Hasil pengamatan SEM dari lapisan DLC untuk p = 1,2 mbar dan lama pelapisan t = 4 jam

Gambar 10. Hasil pengamatan SEM dari lapisan DLC untuk p = 1,4 mbar
dan lama pelapisan t = 4 jam

DLC coating surface

Gambar 11. Hasil pengamatan SEM dari lapisan DLC untuk p = 1,6 mbar
dan lama pelapisan t = 4 jam

Hasil pengamatan SEM di atas menginformasikan bahwa lapisan DLC dengan tekanan p = 1,2; 1,6 mbar
menghasilkan / menampilkan butiran-butiran agak bulat, sementara lapisan DLC dengan tekanan p = 1,4 mbar
memiliki permukaan lebih halus (dengan kekesaran permukaan Ra lebih kecil, seperti terlihat pada Gambar 8).

Hasil pengamatan komposisi kimia dari raw material HQ 805 dengan EDS ditunjukkan pada Gambar 12.

Unsur Mass [%] Atomic [%]


C 10,73 35,76
Si 0,4 0,58
Cr 1,82 1,40
Mn 0,45 0,33
Fe 85,10 61,01
Ni 1,15 0,79
Mo 0,34 0,14
Total 100 100

Gambar 12. Hasil pengamatan EDS dari raw material HQ 805

354
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Tabel 2 memperlihatkan komposisi kimia dengan alat EDS dari lapisan DLC dengan tekanan pelapisan p = 1,2; 1,4
dan 1,6 mbar dan lama pelapisan t = 4 jam.

Tabel 2. Hasil uji komposisi kimia dengan EDS dari lapisan DLC pada tekanan
p = 1,2; 1,4; 1,6 mbar dengan lama pelapisan 4 jam

a. p = 1,2 mbar & t = 4 jam b. p = 1,4 mbar & t = 4 jam


Unsur Mass [%] Atomic [%] Unsur Mass [%] Atomic [%]
C 31,51 63,66 C 17,62 49,84
O 6,91 10,48 Cr 1,43 0,93
Cr 1,29 0,60 Mn 0,69 0,43
Mn 0,41 0,18 Fe 79,22 49,19
Fe 53,59 23,29 Ni 1,04 0,60
Ni 0,79 0,33 Total 100 100
Zr 5,51 1,47
Total 100 100
c. p = 1,6 mbar & t = 4 jam
Unsur Mass [%] Atomic [%]
C 30,17 61,12
O 8,90 13,53
Cr 1,10 0,51
Mn 0,46 0,21
Fe 50,89 22,17
Ni 0,59 0,24
Zr 7,70 2,05
Si 0,19 0,17
Total 100 100

Hasil uji EDS ini memperlihatkan bahwa kadungan karbon (C) pada permukaan mengalami kenaikan. Kenaikan
unsur karbon ini menyebabkan kekerasan meningkat (Gambar 7).

Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dicapai dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Raw material HQ 805 mempunyai kekuatan fatik sekitar 425 MPa. Tekanan dan lama proses pelapisan DLC
mempengaruhi ketahanan fatik material HQ 805. Kekuatan fatik lapisan DLC lebih tinggi dari kekuatan fatik
raw material HQ 805 terjadi pada kondisi p = 1,2; 1,4 mbar dengan t = 4 jam, dan pada kondisi p = 1,6 mbar
dengan t = 6 jam. Kekuatan fatik tertinggi dicapai pada kondisi adalah p = 1,6 mbar dengan t = 6 jam.
2. Lama pelapisan DLC dapat meningkatkan kekerasan permukaan material. Nilai kekerasan permukaan lapisan
DLC menunjukkan penurunan setelah nilai kekerasan optimum permukaan DLC dicapai. Kekerasan tertinggi
(optimum) sekitar 665 VHN dihasilkan oleh lapisan DLC dengan tekanan p = 1,4 mbar dan lama pelapisan t = 4
jam.
3. Proses pelapisan DLC menambah unsur karbon (C) secara signifikan pada permukaan bahan HQ 805 yang
memodikikasi sifat-sifat permukaan tersebut.

Ucapan Terimakasih
Penelitan ini dibiayai oleh Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat, Direktorat Jenderal Penguatan Riset dan
Pengembangan, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi dengan kontrak No. 015 / SP2H / LT / DRPM
/ II / 2016 tertanggal 17 Februari 2016. Kami mengucapkan banyak terimakasih kepada Bapak Pimpinan
Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi yang telah membiayai penelitian ini sehingga penelitian ini
dapat terlaksana dengan baik.

Daftar Pustaka
Anhar, W., 2014, Optimasi parameter proses pelapisan Diamond-Like Carbon terhadap kekerasan, keausan dan
korosi pada baja AISI 410, Thesis Pascasarjana UGM.
Du, D., Liu, D., Ye, Z., Zhang, X., Li, B., Zhou, Z., Yu, L., 2014, Fretting wear and fretting fatigue behaviors of
diamond-like carbon and graphite-like carbon films deposited on Ti-6Al-4V alloy, Applied Surface Science 313,
pp. 462–469.

355
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Fujimoto, S., Ohtake, N., Takai, O., 2011, “Mechanical properties of silicon-doped diamond-like carbon films
prepared by pulse-plasma chemical vapor deposition”, Surface and coatings Technology, Vol. 206, pp. 1011-
1015.
Kakiuchi, T., Uematsu, Y., Teratani, T., Harada, Y., 2011, “Effect of Film Elastic Modulus on Fatigue Behaviour of
DLC Coated Wrought Magnesium Alloy AZ61”, Procedia Engineering 10, pp. 1087–1090.
Morita, T., Hirano, Y., Asakura, K., Kumakiri, T., Ikenaga, M., Kagaya, C., 2012 “Effects of plasma carburizing
and DLC coating on friction-wear characteristics, mechanical properties and fatigue strength of stainless steel”,
Materials Science & Engineering A 558 pp. 349–355.
Okada, H., Uematsu, Y., Tokaji, K., 2010, “Fatigue behaviour in AZ80A magnesium alloy with DLC/thermally
splayed WC-12Co hybrid coating”, Procedia Engineering 2, pp. 283-290.
Purnama, E., Santjojo, D. H., Masruroh, 2013, “Studi Pengaruh Penambahan PVAc (Polyvinyl Acetate) dan Ukuran
Butir Terhadap Kuat Tekan Bahan Target Karbon untuk Deposisi Lapisan Tipis Diamond-Like Carbon (DLC)”,
Physics Student Journal Vol. 1 No. 1.
Uematsu, Y., Kakiuchi, T., Teratani, T., Harada, Y., Tokaji, K., 2011, “Improvement of corrosion fatigue strength of
magnesium alloy by multilayer diamond-like carbon coatings”, Surface & Coatings Technology 205, pp. 2778–
2784.
Vaghri, E., Khalaj, Z., Ghoranneviss. M., Borghei, M., 2011, “Characterization of Diamond-Like Carbon Films
Synthesized by DC Plasma Enhanced Chemical Vapor Deposition”, Journal Fusion Energy, 30:447–452.

356
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

PENGARUH PENGGUNAAN PASIR PANTAI YANG DIBERI


PERLAKUAN DAN SUBSTITUSI CANGKANG BUAH SAWIT
TERHADAP KUAT TEKAN MORTAR

Donny F. Manalu1 , Indra Gunawan2 dan Joko Eko Susilo3


1,2,3
Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Bangka Belitung
Gedung Dharma Pendidikan, Kampus Terpadu Universitas Bangka Belitung
Balunijuk, Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung 33172 Telp 0717 4260034
Email: donny_fm@yahoo.com

Abstrak

Penggunaan pasir pantai sebagai agregat halus dalam pembuatan mortar ini dilatarbelakangi oleh
ketersediaan pasir pantai di alam dalam jumlah yang sangat besar. Penelitian ini ingin mencari kuat
tekan mortar maksimum yang dihasilkan dari penggunaan pasir pantai yang diberi perlakuan dan
penggunaan cangkang buah sawit sebagai bahan pengganti sebagian pasir pantai. Penelitian
dilakukan secara eksperimen dengan melakukan pengujian di laboratorium. Proporsi campuran
mortar semen yang digunakan yaitu dengan perbandingan 1PC : 3PS. Dari hasil penelitian diperoleh
kuat tekan mortar pada umur pengujian 28 hari untuk campuran mortar dengan penggunaan pasir
pantai yang dicuci dengan air tawar biasa dan substitusi cangkang buah sawit 0%, 5%, 10%, 15%
dan 20% berturut-turut adalah 5,2 MPa; 5,13 MPa; 3,73 MPa ; 3,67 MPa ; 2,87 MPa. Dan hasil
kuat tekan mortar pada umur pengujian 28 hari untuk campuran mortar dengan penggunaan pasir
pantai yang dicuci dengan air tawar panas dan substitusi cangkang buah sawit 0%, 5%, 10%, 15%
dan 20% berturut-turut adalah 5,27 MPa; 3,33 MPa; 3,2 MPa; 3,87 MPa; 3,87 MPa. Berdasarkan
hasil pengujian dapat disimpulkan bahwa kuat tekan maksimum yang dapat dicapai dari campuran
yang direncanakan adalah sebesar 5,27 MPa. Kuat tekan ini dihasilkan dari campuran dengan
penggunaan pasir pantai yang dicuci dengan air tawar panas dan penggunaan cangkang buah sawit
sebesar 0%.

Kata kunci: cangkang buah sawit; kuat tekan; mortar; pasir pantai

Pendahuluan
Indonesia merupakan negara yang mempunyai lebih dari 3700 pulau dan pantai sepanjang 80.000 km, yang
memiliki keanekaragaman karakteristik kualitas pasir laut (Mangerongkonda, 2007). Propinsi Kepulauan Bangka
Belitung adalah propinsi ke-31 di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara geografis Propinsi Kepulauan
Bangka Belitung terletak pada 105°-108° BT dan 03°-30° LS. Memiliki luas wilayah 81.582 km2 terdiri dari
wilayah daratan 16.281 km2 yang meliputi dua pulau besar dan 251 pulau-pulau kecil dengan panjang pantai 1.200
km dan perairan laut seluas 65.301 km2. (Potensi investasi dan profil usaha Provinsi Kepulauan Bangka Belitung,
2003).
Penggunaan pasir pantai sebagai agregat halus dalam pembuatan mortar ini dilatarbelakangi oleh
ketersediaan pasir pantai di alam dalam jumlah yang sangat besar. Pasir yang digunakan berasal dari daerah Pantai
Air Anyir yang berada di Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Di beberapa daerah kabupaten
di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung banyak dibuka perkebunan kelapa sawit. Dalam proses produksi dari
perkebunan kelapa sawit menghasilkan cangkang kelapa sawit. Cangkang kelapa sawit didapatkan dari hasil
pemisahan inti buah kelapa sawit dari cangkang.
Salah satu alternatif pemecahan masalah banyaknya cangkang kelapa sawit yang dihasilkan oleh perkebunan
sawit yang ada provinsi ini adalah pemanfaatan cangkang buah sawit sebagai agregat campuran beton. Hal ini dapat
dilakukan dengan melihat kondisi secara fisik dari cangkang kelapa sawit yaitu beratnya yang ringan dan kulitnya
yang keras. Penggunaan cangkang buah sawit sebagai substitusi pada pasir dalam pembuatan mortar diharapkan
mampu mengurangi cangkang buah sawit yang dihasilkan oleh perkebunan sawit.
Pemanfaatan pasir pantai dan pasir sungai dengan beberapa variasi campuran sebagai agregat dalam
pembuatan mortar untuk paving block menghasilkan nilai kuat tekan yang sesuai dengan standar SNI-03-0691-1996
dan masuk pada mutu B yang dapat digunakan sebagai pelataran parkir kendaraan (Fahmiardi, 2012). Kuat tekan
mortar yang menggunakan beberapa variasi campuran pasir pantai dan pasir sungai dengan perbandingan adukan

357
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

yang sama dari dua tipe semen PC dan PPC, hasil pengujian menunjukkan nilai kuat tekan mortar dengan semen PC
lebih tinggi daripada mortar yang sama namun menggunakan semen tipe PPC (Wahyudi, 2012).
Mangerongkonda (2007) melakukan penelitian kuat tekan beton dengan menggunakan pasir dari laut
Bangka. Beton segar (fresh concrete) dari masing-masing tipe treatment diuji slump dan air content-nya, kemudian
setelah dicetak dan beton mengeras sesuai dengan umur rencana yakni 7, 14, dan 28 hari, beton diuji kuat tekan
dengan mesin tekan hidrolik dan diuji penyusutan dengan jangka sorong. Hal ini dilakukan untuk mengetahui
pengaruh penggunaan pasir laut Bangka Belitung berikut dengan masing-masing treatment-nya terhadap nilai slump
dan nilai air content pada fresh concrete dan terhadap perkembangan kekuatan tekan dan penyusutan pada beton
keras (hardened concrete). Hasil akhir dari penelitian ini adalah beton yang dibuat dengan memakai pasir laut yang
dicuci dengan air tawar (treatment type II), pada umur 28 hari memiliki nilai rata-rata kuat tekan 20,9 % lebih besar
jika dibandingkan dengan beton pada treatment type I (pasir laut digunakan dalam keadaan aslinya) dan 20,0 %
lebih besar jika dibandingkan dengan beton pada treatment type III (pasir laut direndam dengan air hangat). Namun
pada dasarnya material pasir laut Kepulauan Bangka Belitung telah memenuhi syarat dan dapat digunakan sebagai
komponen struktural beton, karena beton yang dibuat dengan memakai pasir laut Kepulauan Bangka Belitung dalam
keadaan asli (treatment type I), dapat mencapai nilai kuat tekan pada umur 7 hari yang lebih besar dari nilai kuat
tekan karakteristik (characteristic strength) pada umur 28 hari. Untuk treatment type III (pasir laut direndam dengan
air hangat) disimpulkan bahwa kelarutan lumpur, lempung, dan zat organik yang terdapat pada pasir laut hampir
tidak bergantung pada temperatur atau suhu, karena nilai rata-rata kuat tekan beton-nya yang dicapai pada umur
rencana (7, 14, dan 28 hari) hampir sama dengan yang dicapai beton pada treatment type I (pasir laut asli). Dari
ketiga tipe treatment didapatkan nilai slump yang sama (typical), sedangkan untuk nilai air content dan shrinkage
(penyusutan) tidak terlalu banyak memberikan perbandingan.
Pasir pantai dari Pantai Sampur, yaitu salah satu pantai yang di Pulau Bangka yang digunakan sebagai
agregat halus dalam adukan beton sudah diteliti oleh Dumyati dan Manalu (2015). Pasir pantai yang digunakan
diberi beberapa perlakuan yaitu perlakuan normal, perlakuan disiram dengan air biasa dan perlakuan dicuci dengan
air biasa. Kuat tekan beton yang dihasilkan untuk seluruh perlakuan terhadap pasir memenuhi nilai kua tekan yang
ditargetkan, dan nilai kuat tekan tertinggi dihasilkan dari beton yang menggunakan pasir panati yang sudah dicuci
dengan air biasa terlebih dahulu.
Cangkang buah sawit merupakan bagian paling keras dari buah Kelapa Sawit. Cangkang Kelapa Sawit
didapatkan dari hasil pemisahan inti buah Kelapa Sawit dari cangkang. Dalam pemrosesan buah Kelapa Sawit
menjadi ekstrak minyak sawit, menghasilkan 20 ton cangkang sawit yang diperoleh dari pengolahan 100 ton tandan
buah segar. Cangkang sawit memiliki beberapa manfaat yaitu, sebagai bahan bakar untuk boiler, bahan campuran
untuk makanan ternak, cangkang sawit juga dapat dimanfaatkan sebagai pengeras jalan / pengganti aspal. Cangkang
Kelapa Sawit mempunyai struktur kulit yang sangat tebal dan keras serta banyak mengandung zat kersik (Si02). Dari
hasil penelitian diperoleh bahwa silika dioksida ini dapat meningkatkan kuat tekan beton, karena dapat mengurangi
susut beton dan meningkatkan daya tahan terhadap keretakan, selain itu pori-pori cangkang Kelapa Sawit lebih rapat
sehingga lebih kaku dan padat (Putra, 2003). Disamping itu, Si02 ini merupakan salah satu unsur kimia terbesar yang
terkandung dalam Portland Cement.
Cangkang buah sawit sebagai bahan tambah pada adukan beton sudah diteliti oleh Serwinda (2013), bahwa
untuk kuat tekan beton rencana f’c = 25 MPa terjadi peningkatan kuat tekan yang didapat dari penggunaan cangkang
buah sawit sebesar 10% dari berat agregat kasar. Sementara untuk kuat tekan rencana f’c = 30 MPa didapatkan
peningkatan nilai kuat tekan untuk adukan beton yang menggunakan pasir sebesar 5 % dari berat agregat kasar
(Supriyanto, 2013).
Berdasarkan eksperimen yang dihasilkan pada penggunaan pasir pantai baik dalam adukan mortar dan beton
yang menunjukkan peningkatan nilai kuat tekannya, dan penggunaan cangkang buah sawit sebagai agregat dalam
campuran beton, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pemanfaatan kedua bahan yang dimaksud.
Pemanfaatan pasir pantai yang diberi perlakuan dengan dicuci aira tawar dingin dan dicuci aiar tawar panasbdan
cangkang buah sawit dengan beberapa persentase dalam pembuatan adukan mortar semen perlu dilakukan untuk
mendapatkan nilai kuat tekan yang lebih baik.

358
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Bahan dan Metode Penelitian

Gambar 1. Pasir pantai (Pantai Air Anyir, Pulau Bangka)

Gambar 2. Cangkang buah sawit

Gambar 3. Proses pencucian pasir pantai dengan air tawar

359
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Gambar 4. Cangkang buah sawit yang sudah dihaluskan dan disaring

Penelitian dilakukan secara eksperimen dengan melakukan pengujian di laboratorium. Mortar yang
direncanakan adalah mortar semen, yaitu mortar yang dibuat dari campuran air, semen portland, dan agregat halus
dalam perbandingan campuran yang tepat (Tjokrodimuljo, 2007).
Campuran mortar dibuat dengan pasir pantai yang diberi perlakuan dengan pencucian menggunakan air
tawar dingin dan pencucian menggunakan air tawar panas (Gambar 1). Pencucian pasir pantai dilakukan dengan
jalan memasukkan pasir kedalam suatu wadah yang berisi air dan diaduk sampai rata (Gambar 3). Air yang
digunakan untuk mencuci pasir adalah air tawar yang dipanaskan dengan jalan direbus sampai mendidih (suhu ±
100° C) dan yang tidak dipanaskan.
Pemanfaatan cangkang buah sawit adalah sebagai pengganti sebagian agregat halus. Cangkang buah sawit
yang akan digunakan terlebih dahulu dikeringkan, kemudian cangkang yang sudah kering dihaluskan dengan cara
penumbukan (Gambar 2). Seteleh ditumbuk dilakukan penyaringan dan saringan yang digunakan adalah saringan
nomor 4 dan nomor 100. Hasil penyaringan, yaitu yang lolos saringan no. 4 dan tertahan di saringan no. 100, dan
akan dihasilkan cangkang buah sawit yang berbentuk serbuk atau butiran halus (Gambar 4). Serbuk cangkang buah
sawit sebagai substitusi pasir yang digunakan dalam campuran mortar ini dengan beberapa persentase yaitu 0%, 5%,
10%, 15%, dan 20% terhadap berat pasir pantai.
Proporsi campuran mortar semen yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada persyaratan dalam
pembuatan mortar yang ditetapkan dalam SNI 03-6882-2002. Berdasarkan syarat-syarat yang sudah ditetapkan
dalam SNI 03-6882-2002, maka direncanakan pembuatan mortar tipe S, dengan perbandingan 1PC : 3PS (semen :
pasir).
Pengujian kuat tekan mortar dilakukan pada sampel kubus berukuran : 5 cm x 5 cm x 5 cm pada umur
pengujian 7 hari dan 28 hari. Sebelum pengujian kuat tekan mortar dilakukan perawatan benda uji kubus mortar
yang dilakukan dengan cara direndam di dalam air selama umur yang diinginkan. Untuk setiap umur pengujian kuat
tekan mortar dengan penggunaan pasir yang dicuci dengan air tawar dingin dan penggunaan substitusi cangkang
dengan persentase tertentu dibutuhkan sebanyak 15 sampel. Demikian pula untuk setiap umur pengujian kuat tekan
mortar dengan penggunaan pasir yang dicuci dengan air tawar panas dan penggunaan substitusi cangkang dengan
persentase tertentu dibutuhkan sebanyak 15 sampel. Total jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini
sebanyak 60 sampel (komposisi campuran selengkapnya dapat dilihat dalam Tabel 1 dan Tabel 2).

Tabel 1. Komposisi campuran mortar dengan pasir yang dicuci dengan air tawar dingin

Jumlah
Pasir
benda uji
Kode Semen
Pasir Cangkang
Sampel (%) 7 28
pantai buah
hari hari
(%) sawit (%)
PD-CS-01 100 100 0 3 3
PD-CS-02 100 95 5 3 3
PD-CS-03 100 90 10 3 3
PD-CS-04 100 85 15 3 3
PD-CS-05 100 80 20 3 3

360
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Tabel 2. Komposisi campuran mortar dengan pasir yang dicuci dengan air tawar panas

Jumlah
Pasir
benda uji
Kode Semen
Pasir Cangkang
Sampel (%) 7 28
pantai buah
hari hari
(%) sawit (%)
PP-CS-01 100 100 0 3 3
PP-CS-02 100 95 5 3 3
PP-CS-03 100 90 10 3 3
PP-CS-04 100 85 15 3 3
PP-CS-05 100 80 20 3 3

Hasil dan Pembahasan

3.5
Kuat tekan mortar (MPa)

3
2.5
2
1.5
1
0.5
0
0 5 10 15 20
Cangkang buah sawit (%)

Gambar 5. Kuat tekan mortar dengan pasir pantai yang dicuci air tawar dingin
pada umur pengujian 7 hari (modifikasi dari Susilo, 2016).

Hasil pengujian kuat tekan mortar ditunjukkan pada gambar 5, 6, 7 dan 8 (modifikasi dai Susilo, 2016). Kuat
tekan mortar pada umur pengujian 7 hari untuk campuran mortar dengan penggunaan pasir pantai yang dicuci
dengan air tawar biasa dan substitusi cangkang buah sawit 0%, 5%, 10%, 15% dan 20% berturut-turut adalah 3,2
MPa; 2,67 MPa; 2,07 MPa; 2,0 MPa dan; 1,13 MPa seperti ditunjukkan pada Gambar 5.
Dari Gambar 5 juga terlihat bahwa hasil pengujian kuat tekan mortar dari bentuk benda uji kubus ukuran
5×5×5 cm, dengan campuran mortar yang menggunakan pasir pantai yang dicuci dengan air tawar biasa dan
penambahan cangkang sawit sebesar 5%, 10%, 15% dan 20% pada umur 7 hari menunjukkan terjadinya penurunan
nilai kuat tekan mortar berturut-turut sesuai dengan peningkatan penggunaan cangkang sawit sebesar 5%, 10%,
15%, dan 20% dari berat pasir pantai.

2.5
Kuat tekan mortar (MPa)

1.5

0.5

0
0 5 10 15 20
Cangkang buah sawit (%)

Gambar 6. Kuat tekan mortar dengan pasir pantai yang dicuci air tawar panas
pada umur pengujian 7 hari (modifikasi dari Susilo, 2016).

361
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Sementara hasil kuat tekan mortar pada umur pengujian 7 hari untuk campuran mortar dengan penggunaan
pasir pantai yang dicuci dengan air tawar panas dan substitusi cangkang buah sawit 0%, 5%, 10%, 15% dan 20%
berturut-turut adalah 2,73 MPa; 2,6 MPa; 2,27 MPa; 2,53 MPa ; 2,40 MPa (Gambar 6).
Dari Gambar 6 juga terlihat bahwa hasil pengujian kuat tekan mortar dari bentuk benda uji kubus ukuran
5×5×5 cm, dengan campuran mortar yang menggunakan pasir pantai yang dicuci dengan air tawar panas dan
penambahan cangkang sawit sebesar 5%, 10%, 15% dan 20% pada umur 7 hari menunjukkan terjadinyaa penurunan
nilai kuat tekan mortar sesuai dengan peningkatan penggunaan cangkang sawit sebesar 5%, 10%, 15%, dan 20%
dari berat pasir pantai.

5.5
Kuat tekan mortar (MPa) 5
4.5
4
3.5
3
2.5
2
1.5
1
0.5
0
0 5 10 15 20
Cangkang buah sawit (%)

Gambar 7. Kuat tekan mortar dengan pasir pantai yang dicuci air tawar panas
pada umur pengujian 28 hari (modifikasi dari Susilo, 2016).

Demikian juga kuat tekan mortar pada umur pengujian 28 hari untuk campuran mortar dengan penggunaan
pasir pantai yang dicuci dengan air tawar biasa dan substitusi cangkang buah sawit 0%, 5%, 10%, 15% dan 20%
berturut-turut adalah 5,2 MPa; 3,13 MPa; 3, 73 MPa ; 3,67 MPa ; 2,87 MPa (Gambar 7).
Dari Gambar 7 juga terlihat bahwa hasil pengujian kuat tekan mortar dari bentuk benda uji kubus ukuran
5×5×5 cm, dengan campuran mortar yang menggunakan pasir pantai yang dicuci dengan air tawar biasa dan
penambahan cangkang sawit sebesar 5%, 10%, 15% dan 20% pada umur 28 hari menunjukkan terjadinya penurunan
nilai kuat tekan mortar sesuai dengan peningkatan penggunaan cangkang sawit sebesar 5%, 10%, 15%, dan 20%
dari berat pasir pantai. Akan tetapi jika dibandingkan terhadap kuat tekan mortar dengan campuran mortar yang
sama untuk umur pengujian 7 hari menunjukkan terjadi peningkatan nilai kuat tekan.

5.5
5
Kuat tekan mortar (MPa)

4.5
4
3.5
3
2.5
2
1.5
1
0.5
0
0 5 10 15 20
Cangkang buah sawit (%)

Gambar 8. Kuat tekan mortar dengan pasir pantai yang dicuci dengan air tawar panas
pada umur pengujian 28 hari (modifikasi dari Susilo, 2016).

Dan hasil kuat tekan mortar pada umur pengujian 28 hari untuk campuran mortar dengan penggunaan pasir
pantai yang dicuci dengan air tawar panas dan substitusi cangkang buah sawit 0%, 5%, 10%, 15% dan 20% berturut-
turut adalah 5,27 MPa; 3,33 MPa; 3,2 MPa; 3,87 MPa; 3,87 MPa. (Gambar 8)

362
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Dari Gambar 8 juga terlihat bahwa hasil pengujian kuat tekan mortar dari bentuk benda uji kubus ukuran
5×5×5 cm, dengan campuran mortar yang menggunakan pasir pantai yang dicuci dengan air tawar panas dan
penambahan cangkang sawit sebesar 5%, 10%, 15% dan 20% pada umur 28 hari menunjukkan terjadinya fluktuasi
nilai kuat tekan mortar sesuai dengan peningkatan penggunaan cangkang sawit sebesar 5%, 10%, 15%, dan 20%
dari berat pasir pantai. Akan tetapi jika dibandingkan terhadap kuat tekan mortar dengan campuran mortar yang
sama untuk umur pengujian 7 hari menunjukkan terjadi peningkatan nilai kuat tekan.
Dari seluruh pengujian kuat tekan dihasilkan bahwa penggunaan cangkang sawit pada campuran benda uji
dapat menurunkan nilai kuat tekan mortar berturut – turut dengan peningkatan penggunaan cangkang sawit sebesar
5%, 10%, 15%, dan 20% dari berat pasir pantai. Belum dapat disimpulkan secara rinci apa penyebab terjadinya
penurunan kuat tekan tersebut, untuk sementara dapat disimpulkan, bahwa terjadinya penurunan kuat tekan tersebut
akibat bentuk cangkang sawit hasil tumbukan yang digunakan agak cekung, sehingga menyebabkan pasta semen
tidak penuh menyelimuti cangkang yang mengakibatkan kurangnya daya rekat cangkang terhadap pasta mortar.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kekuatan beton/mortar, beberapa faktor yang mempengaruhi
kekuatan beton/mortar adalah faktor air semen dan kepadatan, umur beton/mortar, jenis semen, jumlah semen, dan
sifat agregat (Tjokrodimuljo, 2007). Faktor air semen adalah nilai perbandingan air terhadap semen atau yang
disebut faktor air semen (fas) mempunyai pengaruh yang kuat secara langsung terhadap kekuatan beton (Mulyono,
2003). Harus dipahami secara umum bahwa semakin tinggi nilai fas semakin rendah mutu kekuatan beton. Kekuatan
tekan beton akan bertambah dengan naiknya umur beton. Kekuatan beton akan naiknya secara cepat (linier) sampai
umur 28 hari, tetapi setelah itu kenaikkannya akan kecil. Kekuatan tekan beton pada kasus-kasus tertentu terus akan
bertambah sampai beberapa tahun dimuka. Biasanya kekuatan tekan rencana beton dihitung pada umur 28 hari.
Dengan teori tersebut bahwa dengan semakin bertambahnya umur mortar maka mutu mortar termasuk dalam
aplikasi misalnya paving block akan menjadi semakin baik juga.
Selain itu dari seluruh pengujian kuat tekan, hasil pada grafik pengujian kuat tekan diperoleh nilai kuat
tekannya naik dan turun pada setiap komposisi campuran mortar, hal itu dikarenakan tiap-tiap komposisi campuran
mortar dilakukan pengadukan secara terpisah atau berbeda-beda, karena itu tiap campuran mortar diaduk dengan
konsistensi pengadukan yang berbeda-beda, hal tersebut dibuktikan dengan nilai uji leleh mortar yang berbeda-beda.
Nilai uji leleh mortar berbeda-beda dikarenakan tiap-tiap komposisi campuran mortar dilakukan pengadukan secara
terpisah atau berbeda-beda dengan jumlah air yang digunakan pada tiap-tiap komposisi campuran juga berbeda-
beda, sehingga membuat nilai leleh mortar berbeda-beda, yang mengakibatkan adanya perbedaan Yang
mengakibatkan perbedaan nilai kuat tekan pada masing-masing benda uji.
Kesimpulan
Dari pengujian dan perhitungan yang telah dilakukan dalam penelitian ini maka dapat disimpulkan sebagai
berikut :
1. Dengan perlakuan terhadap Pasir Pantai Air Anyir, yaitu dengan dilakukan pencucian dengan air tawar biasa dan
air tawar panas, Pasir Pantai Air Anyir dapat digunakan sebagai agregat halus pada campuran mortar, karena
sudah memenuhi spesifikasi pada pengujian di laboratorium.
2. Dari hasil penelitian pada umur 28 hari diperoleh, kuat tekan mortar tertinggi pada campuran pasir pantai dicuci
dengan air tawar biasa yaitu pada penambahan cangkang buah sawit sebesar 0%, dengan nilai kuat tekannya 5,20
MPa (PD-CS-01). Dan kuat tekan mortar tertinggi pada campuran pasir pantai dicuci dengan air tawar panas
yaitu pada penambahan cangkang buah sawit sebesar 0%, dengan nilai kuat tekannya 5,27 MPa (PP-CS-01).
3. Campuran mortar yang menggunakan campuran pasir pantai dan cangkang buah sawit dengan perlakuan pasir
pantai dicuci dengan air tawar biasa dan perlakuan dicuci dengan air tawar panas, dapat dikatakan menghasilkan
nilai kuat tekan mortar menurun seturut dengan peningkatan penggunaan cangkang buah sawit sebesar 5%, 10%,
15%, dan 20% dari berat pasir pantai.

Daftar Pustaka
Dumyati, A. dan Manalu, D.F., (2015), “Analisis Penggunaan Pasir Pantai Sampur Sebagai Agregat Halus Terhadap
Kuat Tekan Beton”, Jurnal Fropil, Vol. 3, No.1.
Fahmiardi, G., (2012), “Pemanfaatan Pasir Sempadan Pantai Sebagai Agregat Pengganti Pasir Sungai Luk Ulo
Untuk Pembuatan Paving Block”, Scaffolding, Vol.1, No.1.
Mangerongkonda, D.R., 2007, “Pengaruh Penggunaan Pasir Laut Bangka Terhadap Karakteristik Kualitas Beton”,
Skripsi, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Universitas Gunadarma, Depok
Mulyono, T., (2003), “Teknologi Beton”, Andi Offset: Yogyakarta.
Putra, F. Elsa, 2003, “Penggunaan Cangkang Kelapa Sawit Sebagai Campuran Beton”, Tugas Akhir, Jurusan Teknik
Sipil, Universitas Andalas, Padang.
Serwinda, 2013, “Pengaruh Penambahan Cangkang Sawit Terhadap Kuat Tekan Beton f’c 25 MPa”, Jurnal
Mahasiswa Teknik Sipil UPP, Vol.1, No.1.

363
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Supriyanto, 2013, “Pengaruh Penambahan Cangkang Sawit Terhadap Kuat Tekan Beton f’c 30 MPa”, Jurnal
Mahasiswa Teknik Sipil UPP, Vol.1, No.1.
Susilo, J.E., (2016), “Penggunaan Cangkang Buah Sawit dan Pasir Pantai Air Anyir terhadap Kuat Tekan Paving
Block”, Tugas Akhir, Jurusan Teknik Sipil, Universitas Bangka Belitung.
Tjokrodimuljo, K., 2007, “Teknologi Beton”, Andi Offset : Yogyakarta.
Wahyudi, Y., (2012), “Perbandingan Mortar Berpasir Pantai dan Sungai”, Media Teknik Sipil, Vol. 10, No.1,
hal.70-79.

364
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

MORFOLOGI SERAT PELEPAH TANAMAN SALAK HASIL PROSES


BIOPULPING MENGGUNAKAN KULTUR Phanerochaete chrysosporium
dan Trametes versicolor

Triastuti Rahayu1, Aminah Asngad2, Suparti3


1,2,3
Prodi Pendidikan Biologi FKIP UMS
Jl. A. Yani Tromol Pos 1 Pabelan Kartasura 57102 Telp 0271 717417
Email: tr124@ums.ac.id

Abstrak

Serat pelepah tanaman salak yang menjadi limbah perkebunan salak di Kabupaten Sleman
Yogyakarta sama sekali belum dimanfaatkan dan menjadi sampah/limbah. Tujuan penelitian ini
adalah mengetahui morfologi serat pelepah tanaman salak hasil perlakuan menggunakan jamur
pelapuk putih (P. chrysosporium dan Trametes versicolor) dengan lama inkubasi 45 hari. Rancangan
penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) satu faktor yaitu jenis inokulum jamur
pelapuk putih (J0=kontrol, J1=P.crysosporium (PC), dan J2=Trametes versicolor (TV). Pelepah
tanaman salak dibuat serpih berukuran ± 1,6 cm dengan pencacah sampah kemudian dikeringkan dan
direndam dengan air bersih 24 jam. Setelah ditiriskan, serpih dimasukkan dalam plastic tahan panas
dan disterilkan dalam autoclave selama 30 menit pada suhu 121°C. Kultur jamur pelapuk putih dari
kultur cair diinokulasi dalam serpih pelepah salak 10% kemudian diinkubasi pada suhu ruang (29-
30˚C) selama 45 hari. Parameter yang diamati adalah kerapatan pertumbuhan miselium JPP, warna
serat setelah masa inkubasi berakhir, dan foto SEM. Hasil penelitian menunjukkan bahwa miselium
PC mengalami pertumbuhan lebih cepat sampai minggu ke-3 dibandingkan TV, tetapi akhir inkubasi
tampak miselium TV tumbuh bagus sama dengan PC. Warna serat/serpih pelapah salak dengan
perlakuan JPP menjadi lebih putih dibandingkan kontrol, dan dengan SEM terlihat permukaan serat
lebih kasar pada perlakuan dengan PC karena degradasi matriks. Serat dengan perlakuan TV tampak
permukaan halus dan koloni JPP tetapi belum terlihat degradasi matriks. Kesimpulan penelitian ini
adalah morfologi serat pelepah salak dengan perlakuan PC menunjukkan tingkat degradasi lebih
lanjut dibandingkan TV.

Kata kunci : biopulping; jamur pelapuk putih; pelepah salak; serat

Pendahuluan
Kertas merupakan bahan yang tipis dan rata yang biasanya terbuat dari kayu dengan kadar serat 39%.
Penggunaan kertas di dunia saat ini telah mencapai angka yang sangat tinggi. Berdasarkan data Kementerian
Perindustrian Republik Indonesia, pada tahun 2012 permintaan kertas mencapai 12 juta ton. Hampir 90% pulp dan
kertas yang dihasilkan menggunakan bahan baku kayu sebagai sumber bahan berserat selulosa. Maka dapat
diprediksikan bahwa akan terjadi eksploitasi hutan secara besar-besaran yang dapat mengakibatkan terganggunya
kestabilan lingkungan sehingga perlu mendapat perhatian khusus. Untuk mengatasi hal ini pemerintah harus mencari
alternatif untuk mengganti penggunaan kayu hutan sebagai bahan baku pembuat pulp dan kertas.
Bahan alternatif yang sudah digunakan antara lain jerami dengan kadar selulosa 30,2 %, ampas tebu dengan
kadar selulosa 43-52% (Nasution, 2010), mendong (Kuntari, 2010), kulit singkong dan bulu ayam (Nurjannah dan
Asngad, 2015), bulu ayam dan kulit kacang (Riyanti dan Asngad, 2015), kulit jagung dan bulu ayam (Pratiwi dan
Asngad, 2015). Serat tanaman yang potensial dan belum dimanfaatkan adalah serat pelepah tanaman salak.
Tanaman salak merupakan komoditi utama Kabupaten Sleman Yogyakarta. Kepala Bidang Tanaman Pangan dan
Hortikultura Dinas Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (DPPK) Kabupaten Sleman Edi Sriharmanto, mengatakan
luas lahan salak di Sleman mencapai 2.500 hektar. Pemanfaatan tanaman salak selama ini hanya terfokus pada
buahnya saja, sedangkan untuk pelepah dan daunnya belum termanfaatkan secara baik. Pelepah tanaman salak yang
telah dipotong dianggap masyarakat sebagai limbah dan belum termanfaatkan, sehingga apabila dibuang ke sungai
akan merusak lingkungan dan menurunkan fungsi sungai sebagai saluran air. Menurut informasi dari Ketua Asosiasi
petani salak di Sleman Yogyakarta, bahwa tanaman salak harus disiangi pelepahnya setiap enam bulan sekali.
Dalam satu rumpun tanaman salak produktif setiap tahunnya mampu menghasilkan potongan pelepah salak kurang
lebih sekitar 24 buah. Apabila dikalkulasikan dengan jumlah tanaman salak yang ada, maka dalam satu tahun

365
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

pelepah salak yang belum termanfaatkan sekitar ± 23.000 truk. Serat pelepah tanaman salak ini memiliki potensi
yang cukup menjanjikan untuk bahan baku kertas seni karena mengandung selulosa sekitar 41% (Raharjo, 2016).
Kertas seni (art paper) berbeda dengan kertas pada umumnya karena mempunyai nilai seni yang lebih
dibandingkan kertas tipis biasa yang kebanyakan polos teksturnya. Kertas seni agak kasar dan seratnya terlihat
sehingga menghasilkan tekstur yang tidak merata hal tersebut menjadikan kertas menjadi lebih menarik untuk dibuat
hiasan dengan berbagai bentuk. Bahan utama dalam proses pembuatan kertas adalah bubur kertas (pulp). Proses
pembuatan pulp ada dua macam yaitu secara kimia (chemical pulping) dan proses mekanikal (mechanical pulping).
Pulping secara kimia memberikan dampak negatif bagi lingkungan, sehingga beberapa peneliti mencoba melakukan
proses pulping secara biologi (biopulping) menggunakan jamur pelapuk putih (Bajpai, 2012).
Jamur pelapuk putih hanya akan mendegradasi lignin dari bahan serat alam dan tidak atau sedikit
mendegradasi selulosa (Bajpai, 2012) karena kelompok jamur ini mempunyai enzim lignin peroksidase (Isroi et al.
2011). Dari banyak spesies jamur pelapuk putih, ada beberapa yang sesuai untuk biopulping yaitu spesies Trametes
versicolor dan P. chrysosporium (Bajpai, 2012; Isroi et al., 2011). Pengaruh kinerja setiap spesies jamur berbeda
bahkan satu spesies tetapi beda strain juga berbeda. Berdasarkan latar belakang di atas, maka akan dilakukan
penelitian untuk mengetahui morfologi serat pelepah tanaman salak hasil biopulping menggunakan dua jenis jamur
pelapuk putih.

Metode Penelitian
Alat : timbangan analitik, bejana pemasak, erlenmeyer 1 L, incubator, gelas ukur, penyaring, smart blender ECC,
alat pemotong sampah, kompor, autoklaf, LAF, kulkas, ose, tabung reaksi, oven, mikropipet, lampu spiritus.
Bahan : Pelepah tanaman salak (dari Sleman Yogyakarta), kultur JPP P. chrysosporium dan T. versicolor, Malt
Extract Agar (MEA) (10.65 g MEA dalam 300 ml aquades), KH2PO4, MgSO4.7H2O, glukosa, pepton, dan malt
extract, media PDA, akuades, alkohol, spiritus.

Rancangan penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian eksperimental. Rancangan penelitian yang digunakan
Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola 1 faktor dan tiga ulangan. Faktor perlakuan adalah jenis inokulum jamur
pelapuk putih (J0 = Kontrol, J1 = P. chrysosporium, J2 = T. versicolor).

Pelaksanaan penelitian
Persiapan Bahan Baku (Fatriasari dkk., 2010)
Pelepah tanaman salak tanpa kulit yang digunakan adalah tanaman salak dari Kecamatan Turi Kabupaten Sleman
Yogyakarta. Pelepah tanaman salak dibuat serpih berukuran ± 1,6 cm dengan pencacah sampah. Untuk mencegah
pertumbuhan mikroorganisme kontaminan, selanjutnya serpih pelepah tanaman salak disimpan dalam lemari
pendingin sampai siap digunakan. Sehari sebelum digunakan serpih tersebut dikeluarkan dari lemari pendingin dan
dibiarkan sampai mencapai suhu ruang.

Persiapan Inokulum (Fatriasari dkk., 2010)


Biakan jamur P.crysosporium dan T. versicolor dikultur pada medium Slant Malt Extract Agar (MEA) (10.65 g
MEA dalam 300 ml aquades) selama 7-14 hari. Sebanyak 5 ml medium JIS Broth dimasukkan ke dalam masing-
masing agar miring, jamur kemudian dirontokkan dengan ose. Suspensi tersebut kemudian dituang ke dalam 95 ml
medium JIS Broth (dalam 1 L akuades ditambahkan 3 g KH2PO4, 2 g MgSO4.7H2O, 25 g glukosa, 5 g pepton, dan
10 g malt extract) dan diinkubasi selama 7-8 hari dalam kondisi stasioner. Sebanyak 10 gram corn steep liquor
(CSL) dituangkan ke dalam 100 ml inokulum (10% inokulum stock). Inokulum dihomogenkan dengan smart
blender ECC dengan kecepatan tinggi selama dua kali 20 detik. Campuran ini dinamakan inokulum stok.

Metode Inokulasi (Fatriasari dkk., 2010)


Serpih pelepah salak (100 berat kering udara) direndam dalam air bersih 1:1 selama 24 jam. Selanjutnya ditiriskan
15 menit dan dimasukkan ke dalam kantong plastik tahan panas. Sterilisasi menggunakan dengan uap panas terbuka
dalam autoclave selama 30 menit pada suhu 121°C. Ada 3 kelompok perlakuan yaitu pertama : kontrol (tanpa jamur
pelapuk putih), 2. Inokulasi dengan P.crysosporium, 3. Inokulasi dengan T. versicolor . Total inokulum cair yang
dinjeksikan secara merata dalam serpih pelepah tanaman salak adalah 10 ml (10%). Serpih pelepah tanaman salak
dalam kantong plastik kemudian diinkubasi dalam suhu ruang (29-30˚C) selama 45 hari.

Analisa SEM (Srivilai et.al., 2013)


Sepotong pelepah tanaman salak yang sudah diinkubasi dengan JPP (Jamur pelapuk putih) difiksasi dengan 2,5%
glutaraldehid dalam 0,1 M buffer fosfat (pH 7,2) semalam pada 40C kemudian dicuci dengan 0,1 M buffer fosfat
(pH 7,2) . Sampel difiksasi dengan 1,7 osmiumtetraoksida 2 jam kemudian dicuci menggunakan akuades

366
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

selanjutnya didehidrasi dengan larutan aseton bertingkat (20, 40, 60, 80, dan 100%) dan dikeringanginkan. Sampel
yang sudah dilapisi emas diobservasi menggunakan SEM.

Analisis data
Data berupa pertumbuhan miselium JPP, warna serat, dan foto SEM dianalisis secara deskriptif kualitatif yang
menggambarkan sejauh mana degradasi jamur pelapuk putih terhadap pelepah tanaman salak.

Hasil Penelitian
Secara umum pertumbuhan miselium jamur P. chrysosporium lebih cepat (rapat) dibandingkan T. versicolor
mulai minggu I sampai II, tetapi mulai minggu III pertumbuhan kedua jamur hampir sama rapatnya pada substrat
(Gambar 1). Hal ini menunjukkan bahwa TV memerlukan adaptasi dengan substrat serpih pelepah salak lebih lama
dibandingkan PC. Beberapa factor yang mempengaruhi pertumbuhan JPP adalah substrat. Aktivitas degradasi lignin
umumnya dimulai dari reaksi biotransformasi komponen kompleks lignin oleh fungi pelapuk putih. Kandungan
lignin pada pelepah salak ini termasuk tinggi yaitu 28,01% (Raharjo, dkk. 2016) sehingga JPP yang mempunyai
aktivitas lignin peroksidase (LiP) lebih tinggi akan dapat tumbuh lebih baik. Sangat dimungkinkan aktivitas LiP
PC lebih tinggi dibandingkan TV, merupakan jamur termotoleran dibandingkan jenis jamur lain (Supriyanto, 2009).

TV TV
PC PC

7 hari 21 hari

TV PC
PC TV

14 hari 45 hari

Gambar 1. Perbandingan Pertumbuhan miselium P. chrysosporium (PC) dan T. versicolor (TV) pada Substrat Serat
Pelepah Tanaman Salak
Semua jenis JPP mempunyai kemampuan degradasi lignin dan biobleaching (pemutih) karena menghasilkan
enzim lakase dan peroksidase (lignin peroksidase (LiP) dan manganese peroksidase (MnP)). Berkurangnya kadar
lignin menyebabkan serat terlihat lebih putih/cerah. Dibandingkan dengan control (serat tanpa JPP), warna serat
coklat tua (seperti warna awal perlakuan) sedangkan dengan perlakuan JPP berwarna lebih terang (Gambar 2).
Warna serat pada PC dan TV tidak berbeda nyata sehingga parameter ini belum dapat digunakan untuk menentukan
kemampuan degradasi lignin oleh JPP pada serat pelepah salak sehingga perlu dilakukan analisis lignin atau
bilangan kappa.

K PC TV

Gambar 2. Warna Serat Pelepah Salak setelah inkubasi 45 hari (K: Kontrol, PC : P. chrysosporium, TV: T.
versicolor)

367
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Untuk mengetahui pertumbuhan miselium JPP pada serat, dilakukan foto SEM setelah inkubasi 45 hari.
Permukaan serat pada kontrol (Gambar 3C) terlihat halus karena tertutup oleh matriks hemiselulose dan lignin
(Raharjo, et al., 2016) yang melapisi bagian luar serat (selulosa), dinding sel juga tidak tampak. Apabila
dibandingkan dengan serat yang diberi perlakuan jamur pelapuk putih (JPP) terlihat lebih kasar (Gambar 3A-3B).
Hal ini dimungkinkan karena permukaan serat tertutup oleh miselium jamur yang mendegradasi lapisan luar serat.
Menurut Bajpai, 2012, jamur pelapuk putih hanya akan mendegradasi lignin dari bahan serat alam dan tidak atau
sedikit mendegradasi selulosa karena kelompok jamur ini mempunyai enzim lignin peroksidase (Isroi et al. 2011).

A B
S
S
S
S

S
S S

ds
S
S miselium
S

S miselium
m

S
miselium
m

PC 30 hari PC 45 hari
C

matriks

PO 30 hari PO 45 hari

TV 30 hari
Gambar 3. Hasil SEM Serat Pelepah Tanaman Salak Hasil Biopulping menggunakan Phanerochaete chrysosporium
(PC) dan Trametes versicolor (TV) (4000x), S : spora JPP)

Gambar 3 menunjukkan kerapatan miselium JPP tidak berbeda setelah inkubasi 45 hari. Miselium jamur
tampak berkoloni pada permukaan serat untuk mulai mendegradasi lignin dan memanfaatkan nutrisi dari serat
pelepah tanaman salak yang mengandung polisakarida untuk pertumbuhannya. Selain tampak penyebaran miselium,
juga tampak adanya spora jamur yang berbentuk bulat. Pada serat dengan PC, permukaan tampak sangat kasar
(Gambar 3A lingkaran kuning). Kemungkinan ini adalah matriks serat yang sudah didegradasi JPP, tetapi tidak
tampak dinding sel seperti pada TV (Gambar 3B). JPP sebagai pretreatment proses biopulping ini bertujuan untuk
membuka struktur lignoselulosa agar selulosa terurai. Secara skematis JPP akan memutuskan polimer
(depolymerise), memecah ikatan karbon-karbon, dan ikatan mineral dengan lignin oleh enzim ligninolitik (Gambar
4).

368
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Gambar 4. Skema tujuan pretreatment biologis biomassa lignoselulosa (Isroi et al. 2011).

Pretreatment menggunakan JPP menyebabkan pelapukan serat tetapi untuk pembuatan kertas masih perlu
dikombinasikan dengan mekanik (Biomecahanical pulping) atau kimia (Biochemical pulping) agar komponen lignin
hilang.

Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa morfologi serat pelepah salak dengan perlakuan PC menunjukkan tingkat
degradasi lebih lanjut dibandingkan TV.

Acknowledgment:
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Direktorat Jenderal
Penguatan Riset dan Pengembangan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, atas biaya penelitian
dengan nomor proyek:006/SP2H/LT/DRPM/II/2016, tanggal 17 Februari 2016

Daftar Pustaka
Ahmed. A, Gary M. Scott, Masood Akhtar and Gary C. Myers, 1998, Biokraft Pulping of Kenaf and its
Bleachability, Preceeding North American Nonwood Fiber Symposium.
Akhtar. M., G. M. Scott , R. E. Swaney, and T. K. Kirk, 1992. Overview of Biomechanical and Biochemical Pulping
Research, ACS Symposium Series, American Chemical Society, Washington, DC
Azhari. A., Falah. S., Nurjannah. L., Suryani, dan Bintang., M., 2014., Delignifikasi Batang Kayu Sengon oleh
Trametes versicolor, Current Biochemistry Journal, Volume 1 (1): 1-10.
Bajpai, P., 2012, Biotechnology for Pulp and Paper Processing, DOI 10.1007/978-1-4614-1409-4_7, Springer
Science+Business Media. LLC
Fatriasari. W., Anita. S.H., Falah. F., Adi. T.N., dan Hermiati. E., 2010, Biopulping Bambu Betung Menggunakan
Kultur Campur Jamur Pelapuk Putih (Trametes versicolor, Pleurotus ostreatus dan Phanerochaete
crysosporium), Berita Selulosa, Vol. 45, No. 2, Desember 2010 : 44 – 56.
Isroi, Millati, R., Syamsiah, S., Niklasson, C., Cahyanto, M.N., Lundquist, K., Taherzadeh, M.J., 2011. Biological
Treatment of Lignocelulloses With White-Rot Fungi and Its Applications : A Review. Bioresources.com.
Kirk, T.K., Burgess, R.R, and Koning, J.W. 1992. Use Fungi in Pulping Wood : An Overview of Biopulping
Research. New York : Routledge, Chapman & Hall, Chapter 7.
Kuntari, 2010. Pemanfaatan Limbah Mendong Sebagai Bahan Baku Kertas Seni. Jurnal Sains Materi Indonesia.
Vol 11 No. 3 hal 188-194
Nurjannah. I, dan Asngad. A., 2015, Pemanfaatan Limbah Bulu Ayam Dan Kulit Singkong Sebagai Bahan
Pembuatan Kertas Seni Dengan Penambahan NaOH Dan Pewarna Alami, Skripsi. UMS.
Pratiwi dan Asngad, 2015, Pemanfaatan Limbah Bulu Ayam Dan Kulit Jagung Sebagai Bahan Pembuatan Kertas
Seni Dengan Penambahan NaOH Dan Pewarna Alami, Skripsi, UMS.
Raharjo, W.P., Rudy S., Anindito P., M. Agus C., and Triyono. 2016. Mechanical Properties of Untreated and
Alkaline Treated Fibers from Zalacca Midrib Wastes. Sustainable Energy and Advanced Materials AIP
Conf. Proc. 1717, 040018-1-040018-8; doi: 10.1063/1.4943461
Riyanti, L.A.A. dan Asngad. A., 2015, Pemanfaatan Limbah Bulu Ayam Dan Kulit Kacang Tanah Sebagai Bahan
Pembuatan Kertas Seni Dengan Penambahan Naoh Dan Pewarna Alami, Skripsi, UMS.
Srivilai, P., Chaiseana, W., Loutchanwoot, P., and Dornbundit, P., 2013, Comparison of Differences Between the
Wood Degradation by Monokaryons (n) and Dikaryons (2n) of White Rot Fungus (Cambodian phellinus
linteus), Journal of Biological Sciences 13 (3) : 131-138, ISSN 1727-3048.

369
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

KLASIFIKASI GLAUCOMA MENGGUNAKAN CUP-TO-DISC RATIO


DAN NEURAL NETWORK

Ri Munarto1*, Endi Permata2, Indra Ginanjar A.T3


1,2
Dosen Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
3
Mahasiswa Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
E-mail : rim_munarto@yahoo.com, Endi_permata@yahoo.com, indragat@gmail.com

Abstrak

Glaucoma adalah penyebab utama kebutaan dunia, terhitung 12,3% kebutaan permanen menurut
Organisasi Kesehatan Dunia. Penyakit ini khususnya prevalent di Asia, sampai lebih dari 50% kasus
glaucoma total ditemukan di daerah ini. Sekalipun kerusakan glaucoma tidak bisa balik, penelitian
menunjukkan deteksi awal dapat efektif memperlambat atau menghentikan atropy glaucoma. Rasio
ukuran optic cup terhadap optic disc (CDR), dikenal sebagai indkator penting assessmen glaucoma,
apabila perkembangan glaucoma berkaitan dengan excavation berkembang dari optic cup. CDR yang
diukur secara manual dapat menjadi subyektif, membatasi penggunaan screening terhadap deteksi
awal. Sistem deteksi otomatis dengan menghitung CDR memberikan pengukuran yang cepat, obyektif
dan konsisten. Sistem terdiri dari sederetan tahapan. Pertama, optic yang merupakan region of
interest, diextraksi dengan analisis intensitas pixel. Deteksi tepi Canny silanjutnya digunakan untuk
segmentasi optic disc. Segmentasi optic lebih menantang disebabkan karena keberadaan pembuluh
darah dan tissue di sekeliling retina. Extraksi fitur dengan parameter geometrik kepala syaraf optik,
seperti luasan disc, cup dan rambut syaraf (rim), diameter disc dan cup to disc ratio diextrak dari
citra fundus digital, digunakan untuk mendiagnosa dan mengukur perkembangan glaucoma.
Parameter geometrik mengukur perubahan struktur kepala syaraf optik seperti diameter optic disc,
luasan optic disc, diameter cup, luasan rambut syaraf, dan rata-rata kedalaman cup. Klasifikasi
menjadi mild glaucoma, moderate glaucoma dan severe glaucoma menggunakan neural network
algoritma backpropagation.
Dari simulasi menggunakan MATLAB R2014, hasil pelatihan didapat arsitektur Neural Network
terbaik memiliki arsitektur sebagai berikut: jumlah neuron lapisan input adalah1, jumlah neuron
hidden layer 1 adalah 30, jumlah neuron hidden layer 2 adalah 20, jumlah neuron lapisan output
adalah 3, toleransi error adalah 10-5, eppoch maksimum 20000, nilai learning-rate dan momentum
adalah 0,5 dan 0,7.
Dari pengujian yang dilakukan, klasifikasi mild glaucoma didapatkan akurasi 99%, sensitivitas 99%,
spesifitas 97%, moderate glaucoma didapat akurasi 85%, sensitivitas85%, spesifitas 99%, dan severe
glaucoma didapat akurasi akurasi 99%, sensitifitas 99%, spesifitas 98%. Dari hasil GUI yang telah
divalidasi oleh dokter di d Rumah Sakit Mata Nasional Cicendo Bandung dan Eye Centre Kedoya
Jakarta, didapat kesimpulan bahwa sistem dapat membantu dokter dalam menentukan tingkatan
glaucoma pasien.

Katakunci: Cup-to-disc ratio; Citra fundus; Glaucoma; Neural Network

Pendahuluan
Mata merupakan salah satu panca indera manusia yang mempunyai peran vital dalam kehidupan. Tidak
semua manusia memiliki mata yang sempurna, ada yang mengalami kelainan pada mata, salah satunya adalah
glaukoma. Glaucoma adalah penyebab utama kebutaan dunia, terhitung 12,3% kebutaan permanen menurut
Organisasi Kesehatan Dunia. Penyakit ini khususnya prevalent di Asia, sampai lebih dari 50% kasus glaucoma total
ditemukan di daerah ini. Sekalipun kerusakan glaucoma tidak bisa balik, penelitian menunjukkan deteksi awal dapat
efektif memperlambat atau menghentikan atropy glaucoma.
Karakteristik glaucoma adalah tekanan mata tinggi, kehilangan pandangan bertahap yang akan dapat
menyebabkan kebutaan dan kerusakan struktur retina secara permanen. Kebanyakan faktor resiko utama glaucoma
adalah kenaikan tekanan intraokuler. Ketika tekanan intra okular naik tinggi akan menekan kepala syaraf optik
(Optic Nerve Head), selanjutnya cup membesar dan ratio perbandingan diameter cup terhadap disc menjadi
membesar. Kerusakan terjadi akibat perubahan ketebalan Optic Nerve Head (ONH) dan lapisan serat syaraf retina

370
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

(Retina Nerve Fiber Layer). Perubahan ONH yang terjadi pada beberapa bagian retina meliputi disc, cup,
neuroretinal rim, parapapillary chorioretinal athropy dan pembuluh darah retina adalah merupakan ciri dari
glaucoma. ONH disebut juga sebagai optic disc. Cup adalah area di bagian dalam disc. Neuroretinal rim adalah area
diantara disc dan cup. Parapapillary chorioretinal athropy bagian mirip rambut terletak didekat disc, bagian ini
dinyatakan sebagai pembuluh darah ONH. Pemeriksaan ONH dapat dilakukan secara langsung dengan
menggunakan direct opthalmoscope, indirect opthalmoscope atau dengan posterior pole lens yang dilengkapi
dengan slit lamps. Hampir semua pemeriksaan yang dilakukan secara manual oleh dokter ditemukan penyimpangan
ketepatan hasil pemeriksaan yang disebabkan oleh ketergantungan pada domain pengetahuan dokter yang berbeda.
Pemeriksaan pada pasien oleh dokter secara langsung akan membuat pasien merasa tidak nyaman, sehingga untuk
mengatasinya pemeriksaan ONH dapat diamati melalui citra retina, dimana citra dihasilkan dengan beberapa tipe
peralatan semacam Funduscopy, Confocal Scanning Lasser Opthalmoscopy (CLSO), Heidelberg Retinal Tomograph
(HRT) dan Optical Coherence Tomography(OCT).
Cup-to-Disc Ratio (CDR) adalah parameter kunci yang digunakan ophthalmologis untuk memeriksa
glaucoma. Cup-to-Disc Ratio lebih besar dari 0,65 umumnya dianggap terindikasi glaucoma. Penentuan rasio cup-
to-disc ratio tidaklah selalu mudah disebabkan kontras diantara cup dan daerah lingkungan biasanya rendah.
Perhitungan CDR secara manual yang dilakukan oleh dokter yang terlatih dan perangkat yang mahal semacam HRT
bersifat subyektif dan ketersediaan HRT relatif sangat terbatas. Variasi pembacaan cup-to-disc ratio dapat menjadi
deteksi awal glaucoma, diperlukan karena tahap awal symptom-symptom penyakit tidak dirasakan oleh kebanyakan
pasien dan karena perkembangan penyakit glaucoma lambat. Kerusakan terjadi pada ONH bila status penyakit sudah
lanjut baru dapat diamati oleh dokter. Oleh sebab itu dibutuhkan adanya pendeteksian glaucoma secara otomatis.
Penelitian sekarang terhadap deteksi glaucoma terus berkembang. Studi yang dikembangkan dengan cara
yang terus berubah, meliputi penggunaan fitur, metode segmentasi dan teknik ekstraksi fitur, serta metode
klasifikasi. Pada penelitian ini, segmentasi menggunakan metode thresholding P-tile, ekstraksi ciri menggunakan
area dan centroid, dan klasifikasi menggunakan neural network algoritma backpropagation. Sampel citra fundus
retina yang diperoleh dengan kamera fundus Zeiss viscucam Pro Non-mediatric Cam 4726 dari Rumah Sakit Mata
Nasional Cicendo Bandung dan Eye Centre Kedoya Jakarta yang telah divalidasi oleh pihak rumah sakit. Dari 60
citra yang digunakan, masing-masing dibagi 30 citra untuk pelatihan dan 30 citra untuk pengujian, dimana 30 citra
tersebut terdiri dari 10 citra retina penderita glaucoma kelas mild, 10 kelas moderate, dan 10 kelas severe.
Pra pengolahan (pre processing) terdiri dari resize citra menjadi ukuran 1300 x 1600 pixel , konversi model
warna RGB ke HSV, ekstraksi warna, contrast limited adaptive histogram (CLAHE) dan morfology smoothing.
Konversi warna citra RGB ke HSV, karena daerah sekitar disc dan cup cenderung memiliki warna lebih terang
daripada retina. Teknik pengolahan citra Contrast Limited Adaptive Histogram (CLAHE) digunakan agar bagian
pembuluh darah dan wilayah lain selain disc dan cup dapat terlihat jelas. Operasi morfologi smoothing ditujukan
untuk memperhalus citra pembuluh darah dan menghilangkan derau pada citra. Ekstraksi warna metode
thresholding P-tile pada komponen red, green, dan blue digunakan pada masing-masing. Ekstraksi red channel pada
disc dan green channel pada cup sehingga obyek disc dan cup dapat lebih terlihat pada kedua channel tersebut.
Segmentasi citra fundus retina digunakan untuk memisahkan disc dan cup dari wilayah lainnya pada citra
fundus retina. Proses segmentasi meliputi Region of Interest (ROI), binary thresholding, dan operasi morfologi.

Metodologi Penelitian

Gambar 1. Diagram Alir Penelitian

371
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

(Gambar 2), adalah rancangan arsitektur neural network backpropagation yang terdiri dari 1 input terdiri dari
nilai cup to disc ratio, 2 hidden layer dan 3 output yang terdiri dari kelas mild, moderate dan severe glaukoma.
Hidden layer 1 berjumlah 30 neuron dengan menggunakan fungsi aktivasi purelin, hidden layer 2 berjumlah 20
neuron menggunakan fungsi aktivasi logsig. Lapisan output menggunakan fungsi aktivasi purelin dengan neuron
berjumlah 3 neuron, yaitu Mild Glacoma, Moderate Glaucoma, Severe Glaucoma.

Gambar 2. Arsitektur Jaringan Backpropagation

Efektifitas Sistem
Ketika mengacu pada kinerja model klasifikasi, kita perlu menguji kemampuan model untuk memprediksi
dengan benar atau memisahkan kelas. Ketika melihat kesalahan yang dilakukan oleh model klasifikasi atau
classifier. Confusion matrix menghasilkan gambaran yang sangat rinci mengenai kinerja sebuah classifier. Untuk
mengetahui tingkat keakuratan kinerja dari sistem, maka diadakan pendekatan statistikal yang berhubungan dengan
keefektifan sistem ini untuk menghitung nilai sensitivity, specificity, dan accuracy.
Tabel 1 adalah tabel confusion matrix pada proses klasifikasi untuk 3 kelas.

Tabel 1. Confusion Matrix pada Klasifikasi 3 Kelas

Setelah didapat confusion matrix maka dapat hitung sensitivity, spesificity dan accuracy pada kelas A, B, dan
Cmenggunakan persamaan 2 sampai dengan persamaan 8:

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)

372
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Hasil dan Pembahasan


1. Hasil Pra-Pengolahan
Pra-pengolahan merupakan proses awal yang dilakukan dalam pengolahan citra sebelum data diolah
menggunakan jaringan saraf tiruan dengan tujuan untuk mendapatkan karakteristik objek lebih jelas dengan
menghilangkan noise dan memperjelas fitur pada objek yaitu optic disc dan optic cup.
Pra pengolahan (pre processing) terdiri dari resize citra menjadi ukuran 1300 x 1600 pixel , konversi model
warna RGB ke HSV, ekstraksi warna, contrast limited adaptive histogram (CLAHE) dan morfology smoothing.
Konversi warna citra RGB ke HSV, karena daerah sekitar disc dan cup cenderung memiliki warna lebih terang
daripada retina. Teknik pengolahan citra Contrast Limited Adaptive Histogram (CLAHE) digunakan agar bagian
pembuluh darah dan wilayah lain selain disc dan cup dapat terlihat jelas. Operasi morfologi smoothing ditujukan
untuk memperhalus citra pembuluh darah dan menghilangkan derau pada citra. Ekstraksi warna dengan thresholding
pada komponen red, green, dan blue digunakan pada masing-masing. Ekstraksi red channel pada disc dan green
channel pada cup sehingga obyek disc dan cup dapat lebih terlihat pada kedua channel tersebut.
Setiap citra retina fundus dicapture menggunakan kamera retina fundus resolusi tinggi dan disimpan dalam
citra digital resolusi tinggi 3032x2048. Daerah sekitar region of interest disekitar optic disc pertama harus dibatasi
dulu. Pengidentifikasian yang benar region of interest, menghasilkan citra yang kecil yang akan menghasilkan
percepatan perhitungan cup-to-disc ratio apabila ukurannya kurang dari 11% dari keseluruhan citra retina fundus.
Kumpulan citra fundus pertama diperiksa dan diperoleh daerah optic disc biasanya memiliki warna terang atau
intensitas warna lebih tinggi daripada disekitar area retina. Citra retina dengan intensitas tertinggi dipilih sebagai
kandidat potensial untuk pusat optic disc. Selanjutnya, dengan metode centroid, intensitas terbobot digunakan untuk
memperoleh pendekatan pusat region of interest. Batas region of interest dengan dimensi dua kali diameter optic
disc tipikal digunakan sebagai batas awal untuk segmentasi optimasi optic disc. Selanjutnya region of interest
dikembalikan sebagai citra ukuran 480x250 pixel.
Pada segmentasi optic disc, pertama, dilakukan lokalisasi kasar daerah optic disc dinyatakan menggunakan
red channel. Komponen merah yang digunakan ditemukan memiliki kontras yang lebih tinggi diantara area optic
disc dan bukan optic disc daripada channel-channel lainnya. Dibandingan dengan ekstraksi optic disc, segmentasi
optic cup lebih sulit, karena pembuluh darah dan tisue neuroretinal rim disekitar optic cup. Segmentasi optic cup
dengan analisis pendekatan komponen warna. Pada analisis komponen warna, komponen warna citra RGB dianalisa,
dan ditemukan optic cup lebih mudah dibedakan dalam citra hijau disebabkan karena keteramatan dan kekontrasan
optic cup lebih baik dan pixelnya memiliki intensitas lebih tinggi, sementara neuroretinal rim dan pembuluh darah
retina memiliki intensitas lebih rendah. Warna hijau dideteksi dengan beberapa nilai threshold dan menghasilkan
sebagai warna putih. Selanjutnya dilakukan operasi morphology opening untuk menghilangkan noise disekitar
daerah cup, dan selanjutnya deteksi tepi dan ellipse fitting untuk mendapatkan penghalusan batas tepi.

(a) (b)
Gambar 3. (a) Flowchart Pra-pengolahan Optic Disc, (b) Flowchart Pra-pengolahan Optic Cup

Gambar 4. Hasil Pra-pengolahan Optic Disc

373
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Gambar 5. Hasil Pra-pengolahan Optic Cup

2. Hasil Segmentasi
Segmentasi citra adalah proses pemisahan obyek yang satu dengan obyek yang lain dalam suatu citra atau
antara objek dengan latar yang terdapat dalam sebuah citra. Dengan proses segmentasi, masing-masing obyek pada
citra dapat diambil secara individu sehingga dapat digunakan sebagai input bagi proses selanjutnya. Pada langkah ini
proses segmentasi dilakukan untuk memisahkan wilayah optic disc dan optic cup dengan wilayah yang lain. Untuk
menghilangkan pembuluh darah, digunakan operasi morphology closing. Closing didefinisikan sebagai dilasi diikuti
dengan erosi dan cenderung memperbesar batas daerah foreground dalam citra dan memperkecil lubang-lubang
warna background dalam daerah semacam. Ukuran structuring element dipilih 20x20 pixel karena ukuran ini lebih
lebih besar daripada lebar kebanyakan pembuluh darah. Setelah operasi closing digunakan filter median untuk
memperhalus lebih lanjut citra yang diperoleh.
Selanjutnya ekstraksi batas disc menggunakan deteksi tepi. Pada pendekatan deteksi tepi Canny, dikhususkan
untuk dapat mendeteksi tepi dengan penekanan noise pada saat yang sama. Pada deteksi tepi Canny, digunakan dua
threshold untuk mendeteksi tepi yang kuat dan yang lemah, dan akan dimasukkan tepi yang lemah dalam output
hanya jika terhubung ke tepi yang kuat. Threshold optimum dari setiap citra input retina diperoleh berbeda,
disebabkan perbedaan intensitas dalam setiap citra. Sekalipun threshold optimum citra retina input telah diatur
selama beberapa kali untuk hanya mendeteksi batas disc, perintah edge masih mendeteksi pembuluh darah di dalam
optic disc dan juga di luar optic disc. Untuk lebih memperhalus kontur digunakan direct ellipse fitting.

(a) (b)
Gambar 6. (a) Flowchart Segmentasi Optic Disc, (b) Flowchart Segmentasi Optic Cup

Gambar 7. Hasil Segmentasi Optic Disc

Gambar 8. Hasil Segmentasi Optic Cup

374
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

3. Hasil Ekstraksi Fitur


Ekstraksi fitur menggunakan hasil perhitungan cup to disc ratio, ditambah parameter lainnya yaitu perimeter,
luas dan centroid dari optic cup dan optic disc. Ketujuh parameter tersebut ternyata cukup dapat membedakan ketiga
kelas penyakit mild glaucoma, moderate glaucoma, dan severe glaucoma yang diklasifikasi.

Gambar 9. Ekstraksi Ciri Optic Disc dan Optic Cup

Hasil perhitungan area, centroid dan perimeteropticdisc dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10. Hasil Perhitungan Area, Centroid dan PerimeterOpticDisc

Hasil perhitungan nilai area, centroid dan perimeter dari opticcup dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11. Hasil Perhitungan Area, Centroid dan PerimeterOpticCup

4. Hasil Pengujian
Pengujian (testing) pada klasifikasi glaucoma pada citra retina fundus dilakukan sebanyak 10 kali (ten fold).
Pengujian ini dilakukan sebagai media untuk melihat seberapa handalnya jaringan backpropagation yang dibangun
untuk klasifikasi glaukoma.

Tabel 1. Hasil Tingkat Accuracy Kelas Mild, Moderate dan Severe Klasifikasi Glaukoma pada Pengujian 1-10
Accuracy
Mild Moderate Severe Sistem
Pengujian 1 100% 90% 100% 97%
Pengujian 2 100% 90% 100% 97%
Pengujian 3 100% 80% 100% 93%
Pengujian 4 100% 90% 90% 93%
Pengujian 5 100% 80% 100% 93%
Pengujian 6 100% 80% 100% 93%
Pengujian 7 100% 80% 100% 93%
Pengujian 8 90% 90% 100% 93%
Pengujian 9 100% 90% 100% 97%
Pengujian 10 100% 80% 100% 93%
Rata-Rata 99% 85% 99% 94,2%

375
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

(Tabel 1) menunjukkan nilai tingkat akurasi masing masing kelas dan sistem dari setiap pengujian. Dari hasil
pengujian yang telah dilakukan, nilai rata-rata akurasi untuk kelas mild glaucoma adalah sebesar 99%. Nilai akurasi
rata-rata untuk kelas moderate glaucoma adalah 85% dan untuk kelas severe glaucoma nilai akurasi rata-rata adalah
sebesar 99%.Nilai rata-rata accuracy sistem yang didapat dari sepuluh kali pengujian adalah sebesar 94,2%

Tabel 2. Hasil Tingkat Sensitivity Kelas Mild, Moderate dan Severe Klasifikasi Glaukoma pada Pengujian 1-10
Sensitivity
Mild Moderate Severe
Pengujian 1 100% 90% 100%
Pengujian 2 100% 90% 100%
Pengujian 3 100% 80% 100%
Pengujian 4 100% 90% 90%
Pengujian 5 100% 80% 100%
Pengujian 6 100% 80% 100%
Pengujian 7 100% 80% 100%
Pengujian 8 90% 90% 100%
Pengujian 9 100% 90% 100%
Pengujian 10 100% 80% 100%
Rata-Rata 99% 85% 99%

Tabel 3. Hasil Tingkat Specificity Kelas Mild, Moderate dan Severe Klasifikasi Glaukoma pada Pengujian 1-10
Specificity
Mild Moderate Severe
Pengujian 1 100% 100% 95%
Pengujian 2 100% 100% 95%
Pengujian 3 100% 100% 95%
Pengujian 4 100% 95% 95%
Pengujian 5 95% 100% 100%
Pengujian 6 95% 100% 100%
Pengujian 7 90% 100% 100%
Pengujian 8 100% 100% 100%
Pengujian 9 95% 100% 100%
Pengujian 10 100% 100% 100%
Rata-Rata 97,5% 99% 98%

(Tabel 2) dan (Tabel 3) menunjukkan nilai-nilai yang didapat dari sepuluh kali pengujian klasifikasi
glaukoma menggunakan neural network algoritma backpropagation, didapat kelas mild glaucoma, akurasi 99%,
sensitivity 99%, specivity 97,5%, kelas moderate glaucoma, akurasi 85%, sensitivity 85%, specivity 99%, kelas
moderate glaucoma, akurasi 99%, sensitivity 99%, specivity 98%. Hasil ini menunjukkan sistem klasifikasi
menggunakan cup to disc ratio dan neural network algoritma backpropagation telah berhasil dengan sangat baik
yaitu menghasilkan akurasi rata-rata 94,2%. Khusus kelas moderate glaucoma mendapatkan hasil kurang baik,
karena kelas ini sering dimasukkan kedalam kelas severe glaucoma dengan ciri yang sulit dibedakan diantaranya,
disebabkan segmentasi morphology kurang tepat digunakan untuk dapat membedakan diantara keduanya sehingga
diusulkan penelitian selanjutnya menggunakan segmentasi non-morphology.

5. Tampilan GUI
Graphic User Interface (GUI) pada dasarnya merupakan media tampilan grafis sebagai pengganti perintah
teks untuk user berinteraksi. Pada sistem klasifikasi glaukoma ini dikembangkan meliputi kesatuan tampilan,
dikarenakan agar interface dari sistem klasifikasi glaukoma ini terlihat sederhana. Pada penelitian ini, dirancang tiga

376
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

desain tampilan GUI, yaitu desain tampilan GUI proses pengolahan citra pada optic disc, desain tampilan GUI
proses pengolahan citra pada optic cup dan desain tampilan GUI klasifikasi glaukoma.
1. Tampilan GUI Optic Disc

Gambar 12. Tampilan GUI Proses Pengolahan Citra pada Optic Disc

2. Tampilan GUI Optic Cup

Gambar 13. Tampilan GUI Proses Pengolahan Citra pada Optic Cup

3. Tampilan GUI Klasifikasi Glaukoma

Gambar 14 Tampilan GUI Klasifikasi Glaukoma

Kesimpulan Dan Saran


Berdasarkan penelitian, klasifikasi glaucoma dengan menggunakan neural network backpropagation di dapat
beberapa kesimpulan, sebagai berikut:
1. Klasifikasi glaucoma menjadi mild glaucoma, moderate glaucoma, severe glaucoma dapat dilakukan dengan
neural network algoritma backpropagation, dengan akurasi rata-rata didapat sebesar 94,2%. Pada kelas mild
glaucoma, didapat akurasi 99%, sensitivity 99% dan specivity 97,5%, kelas moderate glaucoma didapat akurasi
85%, sensitivity 85%, specivity 99%, dan kelas severe glaucoma didapat akurasi 99%, sensitivity 99%, specivity
98%.
2. Telah berhasil dibuat suatu sistem bantu aplikasi klasifikasi glaukoma dengan menggunakan citra fundus retina
yang dapat membantu dokter mengklasifikasi glaucoma menjadi mild glaucoma, moderate glaucoma, severe
glaucoma.

Saran:
1. Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik, dapat dicoba dilakukan segmentasi menggunakan non-morphology
segmentation, menambah ekstraksi fitur GLCM dengan wavelet, dan klasifikasi menggunakan ANFIS.

377
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Daftar Pustaka:
Ahmed Almazron, Ritambhar Burman, Kaamran Raahemifar, Vasudevan Lakshinarayanan. 2015. Optic Disc and
Optic Cup Segmentation Methodologies for Glaucoma Image Detection: A Survey: Journal of Opthalmology.
Apeksha Padaria, Bhailal Limbasiya. 2015. Detection of Glaucoma Using Retinal Fundus Images with Gabor Filter.
Department of Computer Science & Engineering, Parul Institute of Technology: International Journal of
Advance Engineering and Research Development.
Chalinee Burana-Anusorn, Kanokvate Tungpimolrut, Toshiaki Kondo,Waree Kongprawechnon, dan Sunisa
Sintuwong. 2013. Image Processing Techniques for GlaucomaDetection Using the Cup-to-Disc Ratio.
Thammasat: International Journal of Science and Technology
Chandrashekar Chaithra, J.Chandrika, B.Ramesh. Comparative Study on the Detection and Classification of
Glaucoma Images: International Journal of Engineering, Economics and Management
Cut Maisyarah Karyanti, Sigit Widiyanto, Aries Muslim, Ruddy J. Suhatril. Analisis dan Pengolahan Citra Medis.
Jakarta: Universitas Gunadarma.
Gonzales Rafael C, Richard E Woods. Digital Image Processing Third Edition. United States of America: Prentice
Hall Pearson Education International.
Hafsah Ahmad, Aqsa Shakeel, Syed Omer Gillani, Umer Ansari, AbubakarYamin. 2014. Detection of Glaucoma
Using Retinal Fundus Images Images. Islamabad Pakistan: IEEE.
Image Processing Toolbox User’s Guide Matlab R2014b.
Iwan Manalu, Anggoro Suryo Pramudyo dan Siswo Wardoyo. 2015. Klasifikasi Retinopati Diabetik Menggunakan
Jaringan Saraf Tiruan Backpropagation. Cilegon: Tugas Akhir Jurusan Teknik Elektro Universitas Sultan
Ageng Tirtayasa.
Kusumadewi, Sri. 2003. Artificial Intelligent (Teknik dan Aplikasinya). Yogyakarta: Penerbit GRAHA ILMU.
Munir, Rinaldi. 2004. Pengolahan Citra Digital dengan Algoritmik. Bandung: Penerbit Informatika.
National Eye Institute (NEI). Tersedia dari: https://www.nei.nih.gov. [Di akses 9 Januari 2016 pukul 20.00]
Preeti, Jyotika Pruthi. 2013. Review of Image Processing Technique for Glaucoma Detection. India: International
Journal of Computer Science and Mobile Computing.
PSJ Kumar, Sukanya Banerjee. 2014. A Survey on Image Procesing Technique for Glaucoma Detection:
International Journal of Advance Research in Computer Engineering & Technology (IJARCET).
Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2015. Situasi dan Analisis Glaukoma. Jakarta:
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Samanta Sourav, Sk. Saddam Ahmed, Mohammed Abdel-Megeed M. Salem, Siddharta Sankar Nath, Nilanjan Dey,
Sheli Sinha Chowdhury. 2014. Haralick Feature Based Automated Glaucoma Classification Using
Backpropagation Neural Network. Switzerland: FICTA.
Septiarini Anindita, Agus Harjoko. 2015. Automatic Glaucoma Detection Based On the Type of Features Used: A
Review: Journal of Theoretical and Applied Information Technology.
Syed Akhter Hussain, Holambe A.N. 2015. Automated Detection and Classification of Glaucoma from Eye Fundus
Image: A Survey. India: International Journal of Computer Science and Information Technology.
WHO. 2006-2011. Vision 2020 The Right to Sight. France. IAPB.
Widya Arfini, Dani. 2011. Glaucoma Caused Blindness with Its Characteristic in Cipto Mangunkusomo Hospital.
Jakarta: Jurnal Oftalmologi Indonesia

378
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

EVALUASI KUALITAS LAYANAN E-GOVERNMENT PEMERINTAH


KOTA YOGYAKARTA DENGAN METODE E-GOVQUAL MODIFIKASI

Prita Haryani
Teknik Informatika, Institut Sains & Teknologi AKPRIND Yogyakarta
email : pritaharyani@akprind.ac.id

Abstrak

Pemerintah Kota Yogyakarta menerapkan strategi peningkatan pelayanan umum, komunikasi dan
informasi dengan mengembangkan teknologi informasi dan aplikasi telematika dalam rangka e-
government. Salah satu implementasi e-government oleh Pemerintah Kota Yogyakarta adalah situs
website resmi Pemerintah Kota Yogyakarta. Pengimplementasian layanan e-goverment melalui situs
resmi pemerintah Kota Yogyakarta dinilai berhasil. Pengimplementasian layanan e-goverment
melalui situs resmi pemerintah Kota Yogyakarta dinilai berhasil. Hal ini terbukti dengan hasil
penilaian PeGI bahwa sistem e-government Pemerintah Kota Yogyakarta berhasil menduduki
peringkat pertama. Guna meningkatkan pelayanan yang maksimal kepada masyarakat melalui e-
government, maka diperlukan feedback terhadap pihak Pemerintah Kota Yogyakarta, yaitu dengan
melakukan analisis kualitas layanan website Pemerintah Kota Yogyakarta terhadap persepsi
pengguna akhir. Pada penelitian ini menggunakan metode E-GovQual untuk mengukur kualitas
layanan e-government. Jumlah sampel adalah 90 responden. Analisis yang digunakan adalah analisis
dekriptif hasil kuesioner, uji validitas, reliabilitas, dan uji hipotesis.
Hasil uji hipotesis menunjukkan bahwa dimensi citizen support, content and appreance of
information, reability, functionality of the interaction environment, trust, dan dimensi ease of use
berpengaruh terhadap kualitas layanan e-government. Kualitas layanan e-government berpengaruh
terhadap kepuasan pengguna website, kualitas layanan e-government berpengaruh terhadap
intensitas pengguna website dan kepuasan pengguna website berpengaruh terhadap intensitas
penggunaan website Pemerintah Kota Yogyakarta. Guna meningkatkan kepuasan pengguna terhadap
website Pemerintah Kota Yogyakarta, perlu ditambahkan fitur peta situs dan persetujuan tertulis
(Level of Agreement) antara pihak pengelola dan pengguna layanan website tentang aturan atau
pedoman dalam penggunaan website Pemerintah Kota Yogyakarta.

Kata kunci: e-government; kualitas layanan; website; e-Govqual; Yogyakarta

Pendahuluan
Sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Pemerintah Kota Yogyakarta Tahun 2012-
2016 yang bertujuan menyelenggarakan pemerintahan yang berkualitas, Pemerintah Kota Yogyakarta menerapkan
strategi peningkatan pelayanan umum, komunikasi dan informasi. Arah kebijakan untuk mewujudkan tujuan
tersebut yaitu dengan mengembangkan teknologi informasi dan aplikasi telematika dalam rangka e-government.
Salah satu implementasi e-government oleh Pemerintah Kota Yogyakarta adalah situs website resmi Pemerintah
Kota Yogyakarta.
Pengimplementasian layanan e-goverment melalui situs resmi pemerintah Kota Yogyakarta dinilai berhasil.
Hal ini terbukti dengan hasil penilaian PeGI (Pemeringkatan e-government Indonesia) tingkat Kabupaten/Kota di
Banten, DIY, Bali, NTB, Kalimantan, Sulawesi tahun 2015, bahwa sistem e-government Pemerintah Kota
Yogyakarta berhasil menduduki peringkat pertama (Pemeringkatan e-Government Indonesia, 2016). Guna
meningkatkan pelayanan yang maksimal kepada masyarakat melalui e-government, maka diperlukan feedback
terhadap pihak Pemerintah Kota Yogyakarta yaitu dengan melakukan analisis kinerja situs website resmi
Pemerintah Kota Yogyakarta terhadap persepsi pengguna akhir, dalam hal ini masyarakat yang mengakses website
tersebut.
Terdapat beberapa metode yang digunakan untuk mengukur kualitas layanan website yaitu metode E-
GovQual, ServQual dan WebQual. Penelitian dengan metode E-Govqual digunakan untuk mengukur kualitas
layanan website di bidang e-government (Papadomichelaki and Mentzas, 2011). Metode ServQual digunakan untuk
mengukur kualitas layanan website di bidang pemasaran dan jasa (Parasuraman , et al, 1988) Metode WebQual
dilakukan untuk menilai kualitas layanan website di bidang pekerjaan, pendidikan, perpustakaan, sistem informasi,

379
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

e-commerce, transaksi online (Barnes, et al, 2001). Metode WebQual merupakan pengembangan dari metode
ServQual. Oleh karena itu, framework yang tepat digunakan pada penelitian ini adalah framework E-GovQual untuk
mengukur kualitas layanan website (e-goverment) pemerintah Kota Yogyakarta. Untuk menambah kebaharuan
penelitian, pada penelitian ini akan ditambahkan dimensi user satisfaction dan the intent to reuse guna mengukur
kepuasan dan intensitas pengguna dalam mengakses website Pemerintah Kota Yogyakarta.

Bahan dan Metode Penelitian


E-Government
E-government merupakan pemanfaatan teknologi informasi di bidang pemerintah. Peraturan e-government
tertuang dalam Intruksi Presiden Republik Indonesia No 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional
Pengembangan E-government. Dengan adanya e-government diharapkan dapat menciptakan pemerintah yang baik
dan peningkatan kualitas pelayanan publik yang efisien dan efektif. Pengembangan e-government meliputi empat
tingkatan yaitu (Intruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 3, 2003):
1. Persiapan
Tahap persiapan meliputi pembuatan situs informasi di setiap lembaga, penyiapan SDM, penyiapan sarana
akses yang mudah, dan sosialisasi aitus informasi baik untuk internal ataupun untuk publik
2. Pematangan
Tahap pematangan meliputi pembuatan situs informasi publik yang interaktif, dan pembuatan antarmuka
leterhubungan dengan lembaga lain
3. Pemantapan
Tahap pemantapan meliputi pembuatan situs transaksi pelayanan publik dan pembuatan interoperabilitas
aplikasi maupun data dengan lembaga lain
4. Pemanfaatan
Tahap terakhir yaitu pembuatan aplikasi untuk pelayanan yang bersifat Government to Government (G2G)
Government to Business (G2B), dan Government to Consumers (G2C) yang terintegrasi

Pembuatan situs pemerintah pusat dan daerah juga harus didukung oleh arsitektur e-government yang dapat
menjamin transparansi pelayanan publik serta keterpaduan dan interoperabilitas jaringan sistem pengelolaan serta
pengolahan dokumen dan informasi elektronik yang mendukungnya. Arsitektur e-government mencakup empat lapis
struktur yaitu akses, portal pelayanan publik, organisasi pengelolaan dan pengolahan informasi, infrastruktur dan
aplikasi dasar. Keempat lapis struktur tersebut terangkum dalam gambar arsitektur e-government di bawah ini.

Gambar 1. Arsitektur E-government

Website Pemerintah Kota Yogyakarta


Alamat situs website Kota Yogyakarta adalah www.jogjakota.go.id. Situs tersebut merupakan jaringan
terpadu dari layanan SKPD (Satuan Kerja Pemerintahan Daerah) Kota Yogyakarta. Layanan secara online tersebut
dapat diakses secara bebas bagi masyarakat kota Yogyakarta pada khususnya dan masyarakat luas pada umumnya.
Tercatat beberapa instansi juga secara terpadu memberikan informasi seperti; Sekretariat Daerah (Sekda), Bagian
Hukum, Dinas Perijinan, LPSE, Baznas, KPU, Dinas Pariwisata Seni dan Budaya, SKPD Kecamatan/ Kelurahan,
dan dinas terkait lainnya. Secara spesifik tampilan website Kota Yogyakarta dapat dilihat pada Gambar 2 di bawah
ini.

380
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Gambar 2. Salah Satu Tampilan Website Kota Yogyakarta

E-GovQual
E-GovQual merupakan framework yang digunakan untuk mengukur kualitas layanan website, khususnya
website insitusi pemerintah yang telah menerapkan e-government. E-GovQual mencakup dimensi (Papadomichelaki
and Mentzas, 2011):
1. Ease of use (kemudahan pengguna)
Dimensi ini dapat diartikan seberapa mudah masyarakat dapat berinteraksi atau menggunakan website e-
government
2. Trust ( kepercayaan)
Trust dapat diartikan bagaimana kepercayaan atau keraguan selama proses layanan berlangsung secara online
3. Functionality of the interaction environment (fungsionalitas dari interaksi lingkungan)
Dimensi ini dapat diartikan bagaimana peran internal dari pihak pengelola menyediakan informasi yang
dibutuhkan oleh pengguna
4. Reability (keandalan)
Reability dapat diartikan sebagai aksesbilitas, ketersediaan dan keakuratan informasi yang dibutuhkan
pengguna
5. Content and appreance of information (isi dan tampilan informasi)
Dimensi ini dapat diartikan bagaimana kualitas dari informasi yang disediakan. Kualitas informasi meliputi
penggunaan warna, grafis dan ukuran halaman website yang tepat.
6. Citizen support (pendukung)
Citizen support dapat diartikan mengenai fitur apa saja yang sudah disediakan dalam website untuk membantu
pengguna dalam mencari informasi yang dibutuhkan.

Pada penelitian ini kualitas layanan website Pemerintah Kota Yogyakarta diukur dengan menggunakan
framework e-govqual. Pada penelitian ini dilakukan uji hipotesis untuk mengetahui pengaruh dimensi citizen
support, content and appreance of information reability, functionality of the interaction environment, trust, dan
dimensi ease of use terhadap kualitas layanan website Pemerintah Kota Yogyakarta. Untuk menambah kebaharuan
penelitian, pada penelitian ini juga ditambahkan dimensi user satisfaction dan the intent to reuse guna mengukur
kepuasan dan intensitas pengguna dalam mengakses website Pemerintah Kota Yogyakarta. Model konseptual
pengukuran kualitas layanan e-government dapat dilihat pada Gambar. 3.

Gambar 3. Model konseptual pengukuran kualitas layanan e-government

381
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Metode Pengambilan Data


Dalam penelitian ini terdapat 40 atribut variabel yang digunakan berdasarkan enam dimensi dari metoda E-
GovQual. Pada Tabel 1 akan dijelaskan lebih rinci mengenai atribut variabel yang digunakan dalam kuesioner.

Tabel 1. Atribut Variabel Dimensi E-GovQual


Dimensi Atribut Variabel Indikator
Ease of use Stuktur Website EU1
Fungsi pencarian EU2
Peta Situs EU3
Pengaturan link dengan mesin pencari EU4
URL mudah diingat EU5
Personalisasi informasi EU6
Trust Tidak membagi data pribadi dengan orang lain TRS1
Melindungi anonimitas TRS2
Mengamankan pengarsipan data pribadi TRS3
Menyediakan persetujuan tertulis TRS4
Prosedur memperoleh username dan password TRS5
Akses kontrol TRS6
Functionality of the Adanya bantuan online dalam formulir FIE1
Interaction Perhitungan otomatis formulir FIE2
Environment Format respon yang memadai FEI3
Reliability Kemampuan untuk melakukan pelayanan yang dijanjikan RLB1
secara tepat waktu
Pengiriman informasi tepat waktu RLB2
Situs website mudah diakses RLB3
Kecocokan sistem browser RLB4
Waktu loading RLB5
Content and Kelengkapan data dan informasi CAI1
Appearance of Akurasi dan keringkasan data dan informasi CAI2
Information Informasi jelas CAI3
Informasi diperbaharui secara berkala CAI4
Semua link dapat bekerja dengan baik CAI5
Informasi mudah dimengerti CAI6
Warna menarik CAI7
Grafis menarik CAI8
Animasi menarik CAI9
Ukuran halam web sesuai CAI10
Citizen Support Pedoman yang user friendly CS1
Terdapat halaman bantuan (help page) CS2
Pertanyaan yang sering diajukan CS3
Detail kontak informasi CS4
Pertanyaan pengguna dijawab dengan cepat CS5
User Satisfaction Kepuasan pengguna US1
Keinginan kembali mengakses website US2
The intent to use Keberlanjutan REI1
Frekuesi mengakses website REI2
Rekomendasi REI3

Instrumen utama dalam penelitian ini adalah kuesioner. Pengukuran variabel dilakukan dengan menggunakan
skala Likert. Skala linkert merupakan cara pengukuran paling umum digunakan dalam penelitian survei. Terdapat
empat pilihan jawaban, yaitu: Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Kurang Setuju (TS), dan Tidak Setuju (TS).
Pemberian nilai untuk setiap jawaban sesuai dengan Tabel 2. di bawah ini:

382
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Tabel 2. Bobot nilai jawaban responden


Jawaban Nilai
Sangat Setuju 4
Setuju 3
Kurang Setuju 2
Tidak Setuju 1

Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini yaitu menggunakan teknik non probability sampling karena
setiap elemen populasi tidak mempunyai kemungkinan yang sama untuk dijadikan sampel (Jogiyanto,2008). Sampel
pada penelitian ini adalah pengguna website Pemerintah Kota Yogyakarta. Besar jumlah sampel disesuaikan dengan
metode analisis yang akan digunakan yaitu Structural Equation Model berbasis varian (PLS). Pada PLS, indikator-
indikator pada setiap variabel laten yang dijadikan sebagai parameter pengukuran tidak saling berkorelasi dan
ukuran minimal sampel pada PLS yaitu 10 sampel untuk tiap jalur (Jogiyanto, 2011). Jadi jumlah sampel yang
digunakan adalah 90 responden.

Analisis Data
Pada penelitian ini juga menggunakan analisis Structural Equation Model berbasis varian (PLS). Evaluasi
model PLS dilakukan dengan mengevaluasi outer model dan inner model. Outer model digunakan untuk menilai
validitas dan reliabilitas model sedangkan inner model digunakan untuk memprediksi hubungan kausalitas
antarvariabel laten (Jogiyanto, 2011).
1. Outer model (model pengukuran)
a) Uji validitas
Pada penelitian ini uji validitas menggunakan uji validitas konstruk. Validitas konstruk menunjukkan
seberapa baik hasil yang diperoleh dari penggunaan suatu pengukuran sesuai teori-teori yang digunakan untuk
mendefinisikan suatu konstruk (Hartono, 2008). Uji validitas dinilai dengan menggunakan nilai skor loading. Jika
skor loading< 0,5, indikator ini dapat dihapus dari konstruknya karena indikator ini tidak termuat ke konstruk yang
mewakilinya dan jika skor loading antara 0,5-0,7, sebaiknya peneliti tidak menghapus indikator yang memiliki skor
loading tersebut sepanjang skor AVE dan communality indikator tersebut > 0,5 (Jogiyanto, 2011).
b) Uji Reliabilitas
Pada penelitian ini, uji reliabilitas menggunakan metoda composite reliability. Rule of thumb nilai alpha atau
composite reliability > 0,7 meskipun nilai 0,6 masih dapat diterima (Hair, et al, 2008).
2. Inner model (model struktural)
Model struktural dalam PLS dievalusi dengan menggunakan R2 untuk konstruk dependen, nilai koefisien
path atau t-values tiap path untuk uji signifikansi antarkonstruk dalam model struktural (Jogiyanto, 2011). Nilai R2
digunakan untuk mengukur tingkat variasi perubahan variabel independen terhadap variabel dependen. Semakin
tinggi nilai R2 berarti semakin baik model prediksi dari model penelitian yang digunakan. Nilai koefisien path
menunjukkan tingkat signifikansi dalam pengujian hipotesis.
Confidence coefficient (koefisien keyakinan) atau tingkat signifikansi menunjukkan probabilitas keyakinan
bahwa suatu nilai yang diuji akan masuk di dalam interval keyakinan. Nilai uji kritis (t-values) tergantung dari dua
hal, yaitu besarnya confidence coefficient dan arah dari hipotesisnya (Jogiyanto,2008). Arah dari hipotesis
menentukan pengujiannya apakah menggunakan satu ekor (one tail) atau dua ekor (two tail). Pada penelitian ini
digunakan uji hipotesis dua ekor (two tail) karena hipotesis tidak berarah. Koefisien keyakinan yang banyak
digunakan adalah 99% dan 95%, sedangkan koefisien keyakinan 90% dianggap marginal (Jogiyanto,2008).
Besarnya koefisien keyakinan yang digunakan adalah 95% dengan nilai α (alpha) sebesar 5% sehingga nilai t-
values > 1,96.

Hasil dan Pembahasan


Karakteristik Responden
Karakteristik responden pada penelitian ini dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin, usia, dan tingkat
pendidikan. Berdasarkan jenis kelamin, jumlah responden pada penelitian ini didominasi oleh pria. Jumlah
responden pria berjumlah 75 orang dan jumlah responden wanita berjumlah 15 orang. Berdasarkan tingkat usia
responden dikelompokkan menjadi 4 bagian. Berdasarkan pengelompokkan tersebut, ternyata pada usia <25 tahun
mendominasi responden yang mengakses website Pemerintah Kota Yogyakarta yaitu sebanyak 59 orang.
Kelompok usia 26-30 tahun sebanyak 21 orang. Sedangkan kelompok usia yang paling sedikit yang mengakses
website Pemerintah Kota Yogyakarta adalah 41-50 tahun yaitu 2 orang. Berdasarkan tingkat pendidikan responden
dikelompokkan menjadi 3 kelompok yaitu SMA, S1 dan S2. Komposisi masing-masing tingkat pendidikan
responden yaitu jumlah responden dengan tingkat pendidikan SMA berjumlah 18 orang, S1 berjumlah 68 orang dan
S2 berjumlah 4 orang.

383
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Analisis Deskritif Hasil Kuesioner


Dimensi ease of use
Dimensi ease of use diukur berdasarkan enam pernyataan indikator yaitu stuktur website (EU1), fungsi
pencarian (EU2), peta situs (EU3), pengaturan link dengan mesin pencari (EU4), url mudah diingat (EU5) dan
personalisasi informasi (EU6). Dari keenam pernyataan yang digunakan untuk mengukur variabel ease of use,
mayoritas menyatakan setuju untuk kelima pernyataan tersebut, hanya pada pernyataan EU3 responden menyatakan
bahwa website Pemerintah Kota Yogyakarta tidak memiliki peta situs.
Dimensi trust
Dimensi trust diukur berdasarkan lima pernyataan yaitu tidak membagi data pribadi dengan orang lain
(TRS1), melindungi anonimitas (TRS2), mengamankan pengarsipan data pribadi (TRS3), menyediakan persetujuan
tertulis (TRS4), prosedur memperoleh username dan password (TRS5), dan akses kontrol (TRS6). Dari keenam
pernyataan yang digunakan untuk mengukur variabel trust, mayoritas menyatakan setuju untuk keenam pernyataan
tersebut, hanya pada pernyataan TR4 responden menyatakan bahwa tidak terdapat persetujuan tertulis pada website
Pemerintah Kota Yogyakarta.
Dimensi functionality of the interaction environment
Dimensi functionality of the interaction environment diukur bedasarkan tiga pernyataan yaitu Adanya
bantuan online dalam formulir, (FIE1), perhitungan otomatis formulir (FIE2) dan format respon yang memadai
(FIE3). Dari ketiga pernyataan yang digunakan untuk mengukur variabel Functionality of the Interaction
Environment, mayoritas responden menyatakan setuju untuk ketiga pernyataan tersebut.
Dimensi Reliability
Dimensi reliability diukur berdasarkan lima pernyataan yaitu kemampuan untuk melakukan pelayanan yang
dijanjikan secara tepat waktu (RLB1), pengiriman informasi tepat waktu (RLB2), situs website mudah diakses
(RLB3), kecocokan sistem browser (RLB4), dan waktu loading (RLB5). Dari kelima pernyataan yang digunakan
untuk mengukur variabel reliability, mayoritas menyatakan setuju untuk kelima pernyataan tersebut.
Dimensi content and appearance of information
Dimensi content and appearance of information diukur dengan sepuluh pernyataan yaitu kelengkapan data
dan informasi (CAI1), akurasi dan keringkasan data dan informasi (CAI2), informasi jelas (CAI3), informasi
diperbaharui secara berkala (CAI4), semua link dapat bekerja dengan baik (CAI5), informasi mudah dimengerti
(CAI6), warna menarik (CAI7), grafis menarik (CAI8), animasi menarik (CAI9), dan ukuran halam web sesuai
(CAI10). Dari kesepuluh pernyataan yang digunakan untuk mengukur variabel content and appearance of
information, mayoritas menyatakan setuju untuk kesepuluh pernyataan tersebut.
Dimensi citizen support
Dimensi citizen support diukur dengan menggunakan lima pernyataan yaitu pedoman yang user friendly
(CS1), terdapat halaman bantuan (help page) (CS2), pertanyaan yang sering diajukan (CS3), detail kontak informasi
(CS4), dan pertanyaan pengguna dijawab dengan cepat (CS5). Dari kelima pernyataan yang digunakan untuk
mengukur variabel citizen support, mayoritas menyatakan setuju untuk kelima pernyataan tersebut.
Uji Validitas
Uji validitas diukur menggunakan nilai loading factor. Berikut ini hasil nilai loading factor masing-masing
indikator yang ditunjukkan pada Gambar 4.

Gambar 4. Output model pengukuran setelah indikator yang tidak valid dihapus

384
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Dari Gambar 4. dapat diketahui bahwa semua indikator nilai loading factornya > 0,5 sehingga semua
indikator dinyatakan valid.

Uji Reliabilitas
Hasil perhitungan Composite Reliability dapat dilihat pada Tabel 3 berikut:

Tabel 3. Hasil perhitungan composite reliability


Composite
Konstruk
Reliability
Easy of use 0,769
Trust 0,772
Functionality of the Interaction Environment 0,840
Reliability 0,811
Content and Appearance of Information 0,860
Citizen Support 0,800
Quality Service 0,915
User Satisfaction 0,827
The intent to use 0,873

Dari data di atas, dapat diketahui bahwa semua konstruk sudah memenuhi nilai Composite Reliability > 0,7,
maka semua konstruk dapat digunakan dalam model.

Uji Inner Model


Model struktural pada PLS dievaluasi dengan menggunakan R2 untuk konstruk dependen dan t-values untuk
uji signifikansi antarkonstruk pada model struktural. Nilai R-square dari variabel dependen yang digunakan didalam
model dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Nilai R-square


Konstruk R Square
Quality Service 0,994
User Satisfaction 0,370
The intent to use 0,423

Uji hipotesis dua ekor dilakukan dengan alpha 5%, jadi hipotesis diterima jika t-values >1,96. Setelah uji
hipotesis dilakukan, diperoleh data seperti pada Tabel 5.

Tabel 5. Hasil uji hipotesis


Jalur Hasil Pengujian
Hipotesis T-Values Ket
Dari Ke α=0,05
H1 Easy of use Quality Service 5,155 Signifikan Diterima
H2 Trust Quality Service 6,544 Signifikan Diterima
Functionality of
H3 the Interaction Quality Service 4,852 Signifikan Diterima
Environment
H4 Reliability Quality Service 7,559 Signifikan Diterima
Content and
H5 Appearance of Quality Service 9,074 Signifikan Diterima
Information
H6 Citizen Support Quality Service 7,479 Signifikan Diterima
H7 Quality Service The intent to use 2,951 Signifikan Diterima
User
H8 Quality Service 8,267 Signifikan
Satisfaction
User
H9 The intent to use 3,539 Signifikan Diterima
Satisfaction

385
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Kesimpulan
Kesimpulan pada penilaian kualitas layanan website Pemerintah Kota Yogyakarta yaitu:
1. Berdasarkan analisis dekriptif terhadap kualitas layanan website Pemerintah Kota Yogyakarta dengan
menggunakan metode E-GovQual, website Pemerintah Kota Yogyakarta belum memiliki peta situs dan
persetujuan tertulis (Level of Agreement) antara pihak pengelola dan pengguna layanan website tentang aturan
atau pedoman dalam penggunaan website Pemerintah Kota Yogyakarta
2. Berdasarkan uji hipotesis dengan nilai t sebesar 5,155, Citizen support berpengaruh terhadap kualitas layanan
website Pemerintah Kota Yogyakarta
3. Berdasarkan uji hipotesis dengan nilai t sebesar 6,544, Content and appreance of information berpengaruh
terhadap kualitas layanan website Pemerintah Kota Yogyakarta
4. Berdasarkan uji hipotesis dengan nilai t sebesar 4,852, Reability berpengaruh terhadap kualitas layanan website
Pemerintah Kota Yogyakarta
5. Berdasarkan uji hipotesis dengan nilai t sebesar 7,559, Functionality of the interaction environment
berpengaruh terhadap kualitas layanan website Pemerintah Kota Yogyakarta
6. Berdasarkan uji hipotesis dengan nilai t sebesar 9,074, Trust berpengaruh terhadap kualitas layanan website
Pemerintah Kota Yogyakarta
7. Berdasarkan uji hipotesis dengan nilai t sebesar 7,479, Ease of use berpengaruh terhadap kualitas layanan
website Pemerintah Kota Yogyakarta
8. Berdasarkan uji hipotesis dengan nilai t sebesar 7,872, kualitas layanan e-government berpengaruh terhadap
kepuasan pengguna website Pemerintah Kota Yogyakarta
9. Berdasarkan uji hipotesis dengan nilai t sebesar 2,688, kualitas layanan e-government berpengaruh terhadap
intensitas pengguna website Pemerintah Kota Yogyakarta
10. Berdasarkan uji hipotesis dengan nilai t sebesar 3,688, kepuasan pengguna website Pemerintah Kota
Yogyakarta berpengaruh terhadap intensitas penggunaan website Pemerintah Kota Yogyakarta

Daftar Pustaka
A Parasuraman, V.A. Zeithaml, and L. L. Berry, (1988), "ServQual: A multiple-item scale for measuring consumer
perceptions of service quality," Journal of retailing, vol. 64, pp. 12-40.
Directorat e-Government. (2016) Pemeringkatan e-Government Indonesia (PeGI). [Online]. HYPERLINK
http://pegi.layanan.go.id
Jogiyanto, (2008), “Metodologi Penelitian Sistem Informasi”. Yogyakarta: Andi Offset.
Jogiyanto, (2011), “Konsep dan Aplikasi Structural Equation Modeling (SEM)”. Yogyakarta: Unit Penerbit dan
Percetakan STIM YKPN Yogyakarta.
J. M. Hartono, (2011). “Metodologi Penelitian Sistem Informasi”. Yogyakarta: Andi Offset, 2008.
J. F. J. Hair, W. C. Lack, B.. J. Babin,R. E. Anderson, and R. L. Tatham, (2008), “Multivariate Data Analiysis”.
New York: Pearson Prentice Hall.
Presiden Republik Indonesia (2003), Intruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 3: Kebijakan dan Strategi
Nasional Pengembangan E-government
S. J. Barnes, K Liu, and R. T. Vidgen, (2001), "Evaluating WAP news sites: TheWebQual/ M approach, in global
cooperation in the millenium," in Proceedings of the Ninth European Conference on Information Sytem ,
Bled, Slovenia.
Xenia Papadomichelaki and Gregoris Mentzas, (2011) "e-GovQual: A multiple- item scale for assesing e-
government service quality," Elsevier, pp. 98-109.

386
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

PENGEMBANGAN JARINGAN BISNIS SOSIAL BERBASIS KOMUNITAS


PELAKU USAHA BERBAHAN BAKU UBI KAYU

Eko Budi Cahyono1 , Adi Sutanto2, Ahmad Juanda3, Wahyudi4


1
Program Studi Teknik Informatika, Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Malang
2
Program Studi Magister Agribisnis, Universitas Muhammadiyah Malang
3
Program Studi Akuntansi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Muhammadiyah Malang
4
Program Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Malang
Jl. Raya Tlogomas 246 Malang 65144
Email: ekobudi@umm.ac.id

Abstrak

Sebagian besar jaringan bisnis pelaku usaha berbahan baku ubi kayu masih memiliki keterbatasan
dalam beberapa hal, diantaranya keterbatasan akses informasi, akses modal dan akses pasar. Upaya
untuk mengatasi keterbatasan tersebut, salah satunya dengan cara mengarahkan mereka
menggunakan perangkat teknologi informasi secara optimal. Tujuan penelitian pada tahun pertama
adalah pengembangan model jaringan bisnis sosial dan pengembangan prototip teknologi jaringan
bisnis sosial pelaku usaha berbahan baku ubi kayu.
Hasil penelitian mengarah pada terwujudnya jaringan sosial yang melekat pada jaringan bisnis yang
ditandai dengan adanya modal sosial untuk meningkatkan produktivitas industri berbahan baku ubi
kayu. Upaya yang sudah dilakukan melalui penelitian ini adalah: a) Pembentukan komunitas kasava
b) Kesepakatan kerjasama komunitas kasava untuk melakukan program bersama. Salah satu dari
program tersebut adalah mendirikan klaster industri kecil pengolahan ubi kayu di sentra-sentra
produksi bahan baku. Diantaranya yang sudah berhasil didirikan melalui kerjasama tersebut adalah
klaster industri pengolahan tepung mocaf di desa Tirtoyudo kecamatan Tirtoyudo kabupaten Malang.
c) Perancangan model jaringan bisnis sosial dan prototip teknologi informasi (https://kasava.org).

Kata kunci: jaringan bisnis sosial; modal sosial; teknologi informasi; ubi kayu

Pendahuluan
Sebagian besar pelaku usaha berbahan baku ubi kayu masih memiliki keterbatasan dalam beberapa hal,
diantaranya keterbatasan akses informasi, akses modal dan akses pasar. Upaya untuk mengatasi dan menghilangkan
keterbatasan tersebut, salah satunya dengan cara mengarahkan mereka untuk menggunakan perangkat teknologi
informasi secara optimal.
Dengan kemampuan untuk menggunakan perangkat teknologi informasi yang sudah berkembang begitu pesat,
maka para pelaku usaha akan semakin melek tentang kondisi usaha yang dijalankan dan semakin mudah untuk
memperoleh akses informasi, pasar dan permodalan. Selain itu, para pelaku usaha akan berupaya secara natural
untuk membangun jaringan bisnis mereka yang dipersatukan karena kepentingan dan bidang usaha yang sejenis atau
serumpun. Jaringan bisnis tersebut sudah tidak lagi dibatasi oleh wilayah geografis, tapi bisa menembus batas antar
wilayah.
Perkembangan teknologi informasi semakin menjadi bagian dari tuntutan kehidupan bisnis dan kehidupan
sosial. Beberapa diantaranya adalah facebook, twitter, e-commerce, bisnis on line, e-banking, dan lain-lainnya.
Perangkat teknologi tersebut merupakan media untuk melakukan aktivitas kehidupan bisnis dan aktivitas kehidupan
sosial. Tuntutan untuk menggunakan media teknologi tersebut telah menjadi sebuah keharusan, termasuk bagi
pelaku usaha berbahan baku ubi kayu. Faktanya pelaku usaha kecil belum familiar dalam menggunakan media
teknologi informasi untuk menjalankan aktivitas bisnis dan aktivitas sosialnya (Lembaga Penelitian SMERU, 2003;
Syarif, 2008).
Jaringan bisnis dalam suatu komunitas usaha bisa terbentuk secara natural atau by design. Jaringan bisnis yang
terbentuk secara natural melalui sebuah proses interaksi transaksional antar pelaku usaha yang berlangsung secara
terus menerus. Sedangkan jaringan bisnis yang terbentuk by design melalui sebuah proses pelembagaan yang
dipelopori oleh pemerintah, lembaga masyarakat atau oleh pelaku usaha sendiri. Baik secara natural atau by design
orientasi dari jaringan tersebut masih lebih menekankan pada orientasi bisnis sebagaimana hasil penelitian Juanda
tentang pengembangan jaringan bisnis usaha gaplek di kabupaten Malang (Juanda et al, 2015). Hasil penelitian

387
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

tersebut menemukan bahwa jaringan bisnis yang ada kurang memperhatikan aspek sosial dalam menjalin interaksi
antar pelaku usaha, disamping itu ketika melibatkan penggunaan teknologi informasi juga belum dilakukan secara
optimal terutama dari aspek sosial. Dengan kata lain jaringan bisnis yang ada masih bersifat transaksional sehingga
interaksi yang terjadi kurang menunjukkan sifat sosial.
Melihat kenyataan tersebut, para pelaku usaha berbahan baku ubi kayu masih memerlukan bantuan (tidak
sekedar modal) tetapi dalam bentuk intervensi sosial untuk membangun kohesivitas komunitas yang solid di tengah-
tengah dinamika arus informasi dan teknologi yang berkembang. Intervensi sosial ini diperlukan untuk membangun
aspek sikap dan perilaku bagi komunitas pelaku usaha agar mereka memahami permasalahan yang dihadapi,
mengetahui posisi dalam struktur perekonomian, memiliki konfidensi secara komunal untuk bangkit dari
keterpurukan menghadapi situasi ekonomi yang tidak kondusif bagi mereka, mampu memanfaatkan secara optimal
peluang yang ada terkait dengan tren perangkat teknologi, bantuan pendanaan, dan jaringan pasar.
Sejauh ini intervensi sosial terhadap komunitas pelaku usaha berbahan baku ubi kayu lebih banyak bersifat
parsial, sehingga tidak memunculkan jaringan bisnis sosial yang saling menguatkan (sinergi) antara satu dengan
yang lain. Dengan demikian, dirasa perlu adanya pengembangan social capital (trust, network, dan norms) melalui
intervensi sosial secara komprehensif yang melibatkan komponen komunitas pelaku usaha, antara lain petani,
industri kecil mikro, pedagang berbahan baku ubi kayu, serta pelaku industri keuangan mikro dan bengkel mesin.
Hal ini dikarenakan modal sosial merupakan faktor kunci keberhasilan pelaku usaha kecil
(http://www.depkop.go.id).
Berkembangnya jaringan bisnis didasari oleh persamaan kepentingan diantara para pelaku ekonomi. Di
kalangan pelaku usaha, jaringan bisnis tidak bisa solid karena tidak memiliki alat perekat yang mampu
mempersatukan kepentingan diantara mereka (Susanto, 2006). Alat perekat dimaksud bisa berupa tantangan pasar,
kesamaan bidang usaha, rasa senasib sepenanggungan (esprit de corp), dan kesadaran bersama untuk maju. Dalam
kaitan ini, komunitas pelaku usaha berbahan baku ubi kayu sebenarnya memiliki peluang untuk menciptakan alat
perekat tersebut ketika sudah terbentuk sebuah komunitas yang solid, bahkan segmented. Oleh karena itu,
pengembangan jaringan bisnis tersebut harus diikuti pula dengan nuansa sosial yang dapat memunculkan alat
perekat sebagai pemersatu komunitas yang ada. Dengan demikian, jaringan yang terbangun akan memiliki dimensi
baru, yaitu jaringan bisnis sosial.
Pengembangan jaringan bisnis sosial memerlukan instrumen teknologi informasi yang dijadikan sebagai media
untuk berinteraksi antar pelaku usaha dan dengan konsumen. Akan tetapi instrumen tersebut tidak bisa berfungsi
secara efektif jika tidak dilakukan intervensi dalam mengarahkan pelaku usaha untuk memiliki sikap teknologi
minded dan memiliki modal sosial. Jika hal ini tercapai maka akan menjadi pemicu percepatan dan perluasan
kegiatan bisnis sosial dalam menghadapi persaingan global.
Permintaan ubi kayu terus meningkat baik untuk konsumsi, pakan dan industri olahan (ubi kayu, chips, tapioka
dan mocaf) serta bahan energi baru terbarukan. Luas panen ubi kayu di Indonesia pada tahun 2011 seluas 1,18 juta
hektar dan produksi yang dicapai sebesar 24,04 juta ton dengan produktivitas sebesar 20,29 ton/ha. Sedangkan pada
tahun 2012 luas tanam ubi kayu diproyeksikan seluas 1,29 juta hektar dan diharapkan luas panen yang akan dicapai
seluas 1,24 juta hektar dengan produktivitas 20,23 ton/ha maka produksi ubi kayu nasional diharapkan mencapai 25
juta ton. Kabupaten Malang termasuk wilayah sentra produksi ubi kayu di Jawa Timur (Kementerian Pertanian,
2012) karena memiliki luas panen rata-rata per tahun lebih dari 5.000 hektar. Dengan demikian Malang memiliki
potensi pasar dan industri yang memanfaatkan bahan baku ubi kayu seperti pabrik tapioka, chips/pellet, mocaf.
Secara nasional sentra produksi ubi kayu menyebar ke sepanjang pegunungan seribu meliput Sumatra Utara,
Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, NTT dan Sulawesi Selatan. Khusus di Jawa Timur ada 15
kabupaten dan kotamadya yang menjadi sentra produksi ubi kayu, Malang adalah salah satu diantaranya.
Diharapkan Malang sebagai obyek penelitian menjadi pilot project untuk pengembangan jaringan bisnis sosial
pelaku usaha berbahan baku ubi kayu di Indonesia.
Penelitian ini dilaksanakan dalam kurun waktu dua tahun. Adapun tujuan penelitian dan luaran yang akan
dicapai pada tahun pertama adalah :
1. Pengembangan model jaringan bisnis sosial antar pelaku (investor, produsen, distributor, konsumen) yang
memberdayakan pelaku usaha berbahan baku ubi kayu. Luaran berupa model jaringan bisnis sosial.
2. Pengembangan prototip teknologi jaringan bisnis sosial pelaku usaha berbahan baku ubi kayu. Luaran
berupa prototip teknologi informasi.

Peta Jalan dan Metode Penelitian


Penelitian ini diarahkan pada terwujudnya jaringan sosial yang melekat pada jaringan bisnis yang ditandai
dengan adanya modal sosial untuk meningkatkan produktivitas industri berbahan baku ubi kayu dengan
mempertimbangkan kearifan lokal. Upaya yang sudah dilakukan melalui penelitian dan program pemerintah antara
lain: a) penguatan bahan baku ubi kayu melalui intensifikasi dan ekstensifikasi lahan serta fasilitasi kemitraan petani
dan industri b) pengembangan sentra industri dan jaringan bisnis c) pemanfaatan teknologi informasi dalam jaringan

388
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

bisnis. Secara rinci peta jalan penelitian dan pengembangan jaringan bisnis sosial berbahan baku ubi kayu
dituangkan dalam tabel berikut ini:

Tabel 1. Peta Jalan Penelitian


No. Upaya Capaian Sasaran Keterangan
Pengembangan 2015 Akhir 2017
Penguatan bahan a.Bertambahnya luas Bahan baku yang a.Hasil penelitian teknologi
baku ubi kayu area panen dan berkualitas untuk pangan ubi kayu dari DPPM
melalui intensifikasi produktivitas tanaman keperluan industri UMM tahun 2010 s.d 2014.
dan ekstensifikasi ubi kayu. b.Program peningkatan
1. lahan serta fasilitasi b.Adanya kerjasama produksi ubi kayu tahun
kemitraan petani dan yang baik antara petani 2010 s.d 2014 dirjen
industri dengan industri. tanaman pangan kementrian
pertanian 2012.
a. Pengembangan a. Peningkatan a. Kontinyuitas a. Program kerja
Sentra Industri permintaan. penyediaan bahan pengembangan ubi kayu
melalui diversifikasi, b. Tumbuhnya industri baku yang sebagai bahan baku industri
2. sosialisasi, promosi pangan olahan berbasis berkualitas dan dari Badan Penelitian dan
dan pameran produk ubi kayu. berdaya saing. Pengembangan Industri
pangan berbasis ubi c. Peningkatan akses b. Terwujudnya Departmen Perindustrian
kayu. informasi, pasar dan jaringan bisnis yang b. Hasil penelitian PUPT
b. Pengembangan modal. berkesinambungan. dan realisasi program
jaringan bisnis. department perindustrian
Pengembangan Pemanfaatan teknologi Efisiensi biaya Hasil kerjasama kemitraan
3. jaringan bisnis informasi dalam ekonomi dan PT DNA dan UMM tahun
melalui penguatan jaringan bisnis produktivitas 2013.
teknologi informasi industri

Secara komprehensif penelitian ini dilakukan melalui empat tahapan yang meliputi 1) Pengembangan model
jaringan bisnis sosial, 2) Pengembangan prototip teknologi informasi, 3) Penerapan teknologi informasi, 4)
Intervensi sosial. Dengan pemahaman bahwa penelitian ini merupakan penelitian aksi (action research) maka
metode untuk seluruh tahapan penelitian yang dilakukan meliputi:
a. Metode pengembangan model jaringan bisnis sosial berbasis pada teknologi informasi
Penelitian dimulai dari identifikasi aktivitas bisnis dan aktivitas sosial yang telah dilakukan oleh komunitas
pelaku usaha berbahan baku ubi kayu di kabupaten Malang sebagai pilot project. Kemudian di rancang
model interaksi bisnis antara investor, produsen, distributor dan konsumen untuk aktivitas bisnis serta
model interaksi sosial antara donatur dan donatee untuk aktivitas sosial. Pengembangan model jaringan
bisnis sosial dilakukan dengan cara melibatkan secara langsung para pelaku usaha baku ubi kayu.
Komunitas jaringan bisnis sosial bertemu dalam sistem teknologi informasi sebagaimana pada gambar 1
untuk akses informasi, transaksi permodalan, serta transaksi bisnis penawaran dan permintaan ubi kayu
beserta olahannya yang bersifat sektoral dan segmented.
b. Metode Intervensi Sosial
Intervensi sosial adalah cara atau strategi untuk melakukan perubahan sikap dan perilaku sasaran, baik
individu, kelompok, dan atau masyarakat. Dapat dikatakan pula, bahwa intervensi sosial merupakan upaya
perubahan berencana terhadap individu, kelompok, maupun komunitas (Adi, Isbandi Rukminto, 2005;
Nugroho, 1984). Tujuan utama dari intervensi sosial adalah untuk memperbaiki fungsi sosial sasaran
perubahan. Ketika fungsi sosial seseorang berfungsi dengan baik, diasumsikan bahwa kondisi sejahtera
akan semakin mudah dicapai. Mekanisme intervensi sosial dengan tujuan pemberdayaan komunitas pelaku
usaha berbahan baku ubi kayu dilakukan melalui tahapan:
1. Penggalian masalah yang dihadapi komunitas dalam kaitannya dengan akses informasi, modal,
pasar, dan modal sosial.
2. Diagnosis masalah utama yang dihadapi oleh komunitas dalam mengakses informasi, modal,
pasar, dan modal sosial.
3. Negosiasi kontrak intervensi sosial antara tim peneliti dengan komunitas sasaran program.
4. Membentuk sistem aksi guna mendukung rencana pelaksanaan intervensi sosial.
5. Pelaksanaan tindak perubahan melalui program intervensi sosial yang terencana melalui
pendekatan individual, kelompok, dan workshop pemanfaatan prototip, sehingga terwujud modal
sosial, serta kesiapan penerapan sistem jaringan bisnis sosial.

389
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

6. Terminasi intervensi sosial, sekaligus mendorong sasaran perubahan berpartisipasi dalam program
pemberdayaan melalui jaringan bisnis sosial.

Gambar 1. Arsitektur Sistem Teknologi Informasi

Hasil dan Pembahasan

Intervensi Sosial
Penerapan teknologi informasi tidak terlepas dari keberadaaan sistem yang sedang berjalan. Sistem yang sedang
berjalan diberikan intervensi sosial dengan tujuan untuk pemberdayaan komunitas pelaku usaha berbahan baku ubi
kayu. Intervensi sosial yang dilakukan yaitu:
1. Pembentukan komunitas kasava. Komunitas ini merupakan kumpulan para pelaku usaha berbahan baku ubi
kayu yang sama-sama mempunyai masalah dengan akses informasi, permodalan dan pemasaran.
2. Pembentukan sistem aksi terhadap komunitas kasava. Pelaksanaan tindak perubahan program intervensi
sosial yang terencana melalui pendekatan individual dan kelompok. Diantara program dengan pendekatan
kelompok yaitu pendirian industri kecil pedesaan skala klaster untuk pengolahan ubi kayu menjadi tepung
mocaf dan olahannya.
3. Pengembangan industri mocaf di sentra-sentra produksi ubi kayu membutuhkan teknologi informasi
dengan basis fungsi mempertemukan antara petani dengan investor dan mempertemukan antara petani
dengan konsumen/distributor dalam suatu sistem klaster jaringan bisnis sosial.
4. Teknologi informasi difungsikan untuk membantu menyelesaikan permasalahan pendanaan pendirian
industri baru dan permasalahan jaringan produksi dan distribusi mocaf beserta olahannya.
5. Dengan meningkatkan nilai tambah ubi kayu menjadi tepung mocaf dan olahannya diharapkan petani lebih
produktif. Petani tidak saja menyediakan bahan baku ubi kayu tetapi juga terlibat langsung dalam
pengembangan industri kecil pedesaan.

Teknologi Pertanian
Pada pelaksanaan sistem aksi dipilih kelompok tani ubi kayu desa Tirtoyudo kecamatan Tirtoyudo kabupaten
Malang sebagai model dari sistem klaster jaringan bisnis sosial. Kelompok tani Tirtoyudo dipilih karena kelompok
tani ini (1) mempunyai lahan ubi kayu sebesar 60.500 m2 (6 ha) yang dimiliki oleh dua belas petani dengan rata-rata
produktivitas 38 ton/ha (2) telah terbiasa mengelola lahan dan memasarkan bahan baku ubi kayu secara bersama-
sama (3) aktif dalam forum komunikasi petani se Malang selatan (4) telah bergabung dalam komunitas kasava (5)
bersedia menjadi model dari klaster industri dan menjadi bagian dari jaringan bisnis sosial pelaku usaha berbahan
baku ubi kayu.

390
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Negosiasi kontrak intervensi sosial antara tim peneliti dengan kelompok tani ubi kayu Tirtoyudo dilakukan
dengan pembagian tugas: tim peneliti menyediakan mesin pabrik mocaf yang dianggarkan dari dana hibah MP3EI,
melakukan konsultasi dan pendampingan terhadap operasionalisasi pabrik mocaf, menyediakan teknologi informasi
untuk pengembangan menuju sistem klaster jaringan bisnis sosial; sedangkan kelompok tani ubi kayu Tirtoyudo
melakukan tugas untuk menyediakan bahan baku ubi kayu yang rutin sebesar 2 ton/hari, menyediakan tanah dan
bangunan pabrik seluas 240 m2 dengan layout pabrik seperti terlihat pada gambar 2, menggunakan teknologi
informasi yang telah disediakan tim peneliti untuk melakukan kegiatan perusahaan.

Gambar 2 Denah Pabrik Industri Pengolahan Tepung Mocaf

Mesin pengolahan tepung mocaf mempunyai kapasitas input sebesar 2 ton/hari dengan kapasitas output sebesar
600 kg/hari tepung mocaf dengan spesifikasi mesin sebagai berikut:
1. 1 buah mesin perajang kapasitas 500 kg/jam engine 5,5 hp
2. 1 buah mesin pengering kapasitas 300 kg/batch kecepatan pengeringan 3-5 %/jam blower 2 hp motor listrik
3. 1 buah mesin peniris kapasitas 300 kg/jam bahan stainless steel
4. 1 buah mesin penepung kapasitas 250-300 kg/jam engine diesel 24 hp
5. 1 buah mesin pengayak kapasitas 150-200 kg/jam engine motor listrik 1 hp

Gambar 3 Desain mesin pengolah mocaf

391
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Teknologi Informasi
Model bisnis sosial adalah sebuah deskripsi tentang bagaimana sebuah perusahaan membuat sebuah nilai
tambah di dunia kerja, termasuk di dalamnya kombinasi dari sumber daya, infrastruktur, produk, pelayanan, citra,
distribusi, dan sistem informasi yang memberikan dukungan terhadap peningkatan sosial ekonomi masyarakat.
Model bisnis sosial lebih mudah digambarkan dalam bentuk model kanvas. Kelebihan model kanvas diantaranya
adalah (1) kemampuan dalam menggambarkan elemen inti dalam sebuah bisnis sosial dengan lebih mudah dalam
satu lembar kanvas (2) kemudahan pemodelan jika suatu elemen berubah-ubah dengan cepat dan melihat implikasi
perubahan suatu elemen terhadap elemen bisnis yang lain (3) menggambarkan interaksi dalam rantai nilai
perusahaan dengan lebih sederhana.
Model bisnis kanvas dipopulerkan oleh Alexander Osterwalder berdasarkan bukunya yang berjudul Business
Model Generation. Pada model bisnis kanvas ada sembilan hal yang menggambarkan elemen utama dalam setiap
bisnis. Kesembilan elemen tersebut adalah key partners, key activities, value propotions, customer relationship,
customer segments, cost structure, key resources, revenue streams, dan channels (Osterwalder, 2010).
Model bisnis sosial dari sistem klaster jaringan pabrik mocaf dan olahannya dimodelkan dalam bentuk kanvas
selengkapnya seperti terlihat pada gambar 4. Keterangan: key partners adalah mitra utama perusahaan (petani,
pedagang, ikm), key activities adalah kegiatan utama perusahaan agar dapat memberikan nilai tambah (produksi
mocaf dan olahannya), value propositions adalah nilai tambah yang diberikan kepada pelanggan (crowdfunding,
ecommerce), customer relationship adalah tipe hubungan perusahaan dengan pelanggan (kasava.org apps for
Android, dashboard kasava.org), customer segments adalah pelanggan dalam pasar komunitas (industri kecil mikro
pedesaan, distributor, konsumen), cost structure adalah komponen biaya operasional perusahaan (transaksi
elektronik), key resources adalah sumber daya utama perusahaan (pendanaan pendirian pabrik, jaringan produksi
dan jaringan distribusi), revenue streams adalah pendapatan perusahaan yang diperoleh dari pelanggan melalui pasar
komunitas (bagi hasil), channels adalah saluran komunikasi atau transaksi antara perusahaan dengan pelanggan
(sms, mobile data, teknologi informasi). Model kanvas dapat memberikan gambaran umum tentang perencanaan
arsitektur sistem aplikasi dari teknologi informasi yang sedang dirancang, gambaran dari model bisnis dan gambaran
dari model sosial sekaligus dalam satu kanvas.

Gambar 4 Model bisnis sosial kanvas

Kesimpulan
Dari hasil pembahasan dan pelaksanaan kegiatan penelitian di lapangan didapat kesimpulan sebagai berikut:
a. Keterbatasan yang ada pada pelaku usaha berbahan baku ubi kayu terhadap akses informasi, akses modal dan
akses pasar dapat diatasi dengan cara mengarahkan para pelaku usaha tersebut menggunakan perangkat
teknologi informasi secara optimal dalam aktivitas bisnis dan sosialnya.

392
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

b. Model bisnis sosial kanvas menggambarkan model bisnis, model jaringan sosial dan arsitektur sistem aplikasi
teknologi informasi sekaligus dalam satu kanvas sehingga perencanaan dan evaluasi sistem menjadi mudah
dipantau dalam satu kanvas.
c. Pada prakteknya modal sosial berperan sekali sebagai penggerak usaha dalam komunitas. Untuk itu diperlukan
suatu modal sosial dari komunitas kasava yang melekat pada teknologi informasi yang sedang dibangun.
Modal sosial yang dimaksud adalah jaringan bisnis sosial, kerjasama diantara para mitra usaha untuk mencapai
tujuan bersama (key partners) dan pencapaian nilai tambah perusahaan secara bersama-sama (value
proposition)

Acknowledgment: Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Kementerian Riset Teknologi dan
Pendidikan Tinggi atas biaya penelitian Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
(MP3EI) berjudul “Pengembangan Jaringan Bisnis Sosial Berbasis Komunitas Pelaku Usaha Berbahan Baku Ubi
Kayu (Cassava)” dengan nomor kontrak: SK. DP2M No. 0581/E3/2016.

Daftar Pustaka
Adi, Isbandi Rukminto. 2005. Ilmu Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial: Pengantar pada Pengertian dan
Beberapa Pokok Bahasan. Jakarta. FISIP UI Press.
Gould, Roger V. (2000) Why Do Networks Matter? Rationalist and Structuralist Interpretations. Loch Lomond
Skotlandia tanggal 22 – 25 Juni 200, http://www.nd.edu/~dmyers/lomond/passy-pdf, (download, 27
Nopember 2001).
Juanda, Ahmad; Kholmi, Masiyah; Setyawan, Setu; Cahyono, Eko Budi. 2015. Pengembangan Jaringan Bisnis
Berbasis Komunitas Untuk Pemberdayaan Usaha Gaplek (Dried Cassava) di Kabupaten Malang.
Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi.
Kementerian Pertanian, 2012. Roadmap Peningkatan Produksi Ubi Kayu 2010-2014, Direktorat Jenderal Tanaman
Pangan
Kendall, K.E; Kendall, J.E. 2003. System Analysis and Design,. Pearson Education.
Lembaga Penelitian SMERU. 2003. Upaya Penguatan Usaha Mikro dalam Rangka Peningkatan Ekonomi
Perempuan (Sukabumi, Bantul, Kebumen, Padang, Surabaya, Makasar). Laporan Lapangan.
Nugroho, Sumarno T. 1984. Sistem Intervensi Kesejahteraan Sosial. Yogyakarta. PT. Hanindita.
Osterwalder, Alexander (2010), Business Model Generation, John Wiley and Sons
Pemkab Malang. 2012. Kabupaten Malang dalam Angka Tahun 2011. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
Kabupaten Malang.
Priyono. (2012). Modal Sosial Faktor Kunci Keberhasilan Kredit
Mikro, http://www.depkop.go.id/component/content/article/377-modal-sosial-faktor-kunci-keberhasilan-
kredit-mikro.html (diakses, 6 Agustus 2012 pukul 10.43 WIB).
Ritzer, George. 2000. Modern Sociological Theory. New York: The Mcgraw-Hill Companies, Inc.
Sheller, Mimi (2000) From Social Networks to Social Flows: Re-thinking the Movement in Social Movements, paper
dalam Workshop tentang “Social Movement Analysis: The Network Perspective” di Loch Lomond
Skotlandia tanggal 22 – 25 Juni 200, http://www.nd.edu/~dmyers/lomond/passy-pdf, (download, 27
Nopember 2001).
Smelser, Neil J. 1962. Theory of Collective Behavior. New York: The Free Press.
Smelser, Neil, J. 1981. Sociology. Englewood Cliffs, New Best : Prentice-Hall Inc.
Sutanto, Adi; Andajani, T.K; Budiyanto, Agus Krisno; Wachid, Muhammad; Cahyono, Eko Budi. 2012. Kajian
tentang Implementasi PUG dalam Perumusan Kebijakan Publik dan Model Penanggulangan Kemiskinan
Berbasis Potensi Ekonomi Lokal di Kabupaten Malang. Badan Penelitian dan Pengembangan Pemerintah
Kabupaten Malang.
Syarif, Teuku. 2008. Pendekatan dan Strategi Pembangunan Ekonomi yang Berorientasi pada Perbaikan Iklim
Usaha UMKM. Jurnal INFOKOP. Volume 16.
Tilly, Charles (1978). From Mobilization to Revolution. Amerika Serikat: Addison-Wesley Publishing Company.
Wahyudi. 2005. Formasi dan Struktur Gerakan Sosial Petani. Malang: UMM Press.
Yunus, M; Weber, Karl. 2010. Building Social Business: The New Kind of Capitalism that Serves Humanity’s Most
Pressing Needs. PublicAffairs, USA.

393
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

SISTEM PENYIARAN RADIO BERBASIS INTERNET


DAN MANAJEMEN REQUEST LAGU
(STUDI KASUS RADIO “RAPMA FM” UMS )

Heru Supriyono1, Nisa Dwi Septiyanti2


1
Program Studi Teknik Elektro Fakultas Teknik UMS
2
Program Studi Informatika Fakultas Komunikasi dan Informatika UMS
Jl. A. Yani Tromol Pos I Pabelan Kartasura Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia, 57102
Email: Heru.Supriyono@ums.ac.id

Abstrak

Salah satu kelemahan radio yang dipancarkan dengan gelombang elektromagnetik adalah terbatas
oleh jangkauan wilayah sehingga tidak bisa didengarkan oleh pendengar yang berada diluar
jangkauan wilayah siaran. Kelemahan ini bisa diatasi dengan menggunakan teknologi radio internet
dimana siaran tidak dipancarkan dengan gelombang elektromagnetik namun dipancarkan dengan
jaringan internet. Paper ini membahas penelitian yang sudah dilakukan yaitu pembuatan radio
internet beserta manajemen request lagunya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperluas
cakupan siaran dan peningkatan pengelolaan permintaan lagu serta menguji unjuk kerjanya.
Penelitian mengambil tempat studi kasus di radio Rapma FM Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Radio internet dibuat dengan memanfaatkan perangkat lunak Sambroadcaster dan Icecast. Sistem
manajemen request lagu dibuat berbasis web dengan tiga buah user level yaitu administrator, penyiar
dan user biasa/pendengar. Hasil pengujian menunjukkan bahwa radio internet yang dibuat beserta
semua fitur request lagunya berjalan dengan baik.

Kata kunci : Radio Internet; manajemen request lagu; Rapma FM; Sambroadcaster; dan Icecast

Pendahuluan
Musik banyak diperdengarkan di media elektronik. Beberapa media elektronik seperti radio dan televisi
sudah menggunakan musik sebagai latar dalam sebuah film atau acara pokok. Media yang paling sering
menggunakan musik sebagai acara utama adalah radio. Radio adalah teknologi yang digunakan untuk pengiriman
sinyal dengan cara modulasi dan radiasi gelombang elektromagnetik. Gelombang ini melintas dan merambat lewat
udara dan juga bisa merambat melalui ruang angkasa yang hampa udara, karena gelombang ini tidak mempunyai
medium pengangkut (seperti molekul udara) (Mahardika, 2012).
Radio berbasis gelombang elektromagnetik sering disebut sebagai radio konvensional. Radio konvensional
yang bersifat lokal memberikan batasan terhadap penyiaran radio yang membuatnya tidak dapat dinikmati oleh
masyarakat luas diluar cakupan wilayahnya. Oleh karena itu diperlukan suatu teknologi yang dapat mengatasi
keterbatasan tersebut. Salah satu teknologi yang dapat digunakan adalah radio internet yang juga dikenal
sebagai web radio, streaming radio atau net radio.
RAPMA FM sebagai Radio Komunitas Kampus dan satu-satunya media elektronis yang dimiliki oleh
Universitas Muhammadiyah Surakarta mempunyai peranan sebagai media informasi, hiburan, dan dakwah. Radio
Rapma FM berada pada frekuensi 94,2 Mhz dengan sebaran sebagian wilayah Karesidenan Surakarta yaitu Solo,
Kartasura, Sukoharjo, dan Boyolali. Untuk memperluas jangkauan pendengar radio serta dapat digunakan untuk
sistem penyiaran dalam radio RAPMA FM, maka peneliti mencoba membuat sebuah sistem alternative penyiaran
dan manajemen request lagu pada radio internet yang dikombinasikan dengan radio berbasis gelombang
elektromagnetik (Rapma FM).

Tinjauan Pustaka
Penelitian terdahulu yang membahas mengenai radio internet telah banyak dilakukan, salah satunya adalah
penelitian yang dilakukan oleh Mahardika (2012) menghasilkan suatu kesimpulan tentang kelebihan radio internet
atau radio streaming jaika dibandingkan dengan sistem sebelumnya. Radio streaming memiliki kelebihan yaitu
dapat diakses dari mana saja, selama masih ada koneksi internet. Karena tidak terbatas pada lokal area saja seperti
sistem sebelumnya.

394
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Penelitian yang dilakukan Simanjuntak (2012) menyatakan bahwa live streaming menjadi teknologi yang
sangat membantu para pengelola stasiun radio untuk memungkinkan setiap orang dari seluruh penjuru dunia bisa
mendengarkan siaran radionya. Teknologi live streaming cukup membantu beberapa stasiun radio swasta di
Indonesia, tetapi pemanfaatannya dinilai masih kurang maksimal karena kebanyakan radio swasta baru bisa diakses
sebatas audio streaming. Kesimpulan dari penelitian ini adalah sistem yang telah dibuat berhasil diakses secara
streaming hingga wilayah yang berbeda diluar jangkauan frekuensi sebah stasiun radio lokal, sistem dibuat dengan
bahasa pemograman berorientasi objek yang kemudian distreamingkan dengan server unstream.tv dan diembeded
kedalam sebuah tampilan website yang dibuat dengan bahasa pemograman PHP.
Penelitian yang dilakukan oleh Al Hani (2010), terkait dengan pengelolaan iklan dalam sebuah radio,
menyatakan bahwa dalam dunia radio dibutuhkan suatu program aplikasi yang mampu menangani transaksi-
transaksi iklan yang terjadi di radio mulai dari transaksi awal, pemutaran iklan hingga pembuatan laporan bukti siar.
Aplikasi program managemen radio dibuat untuk menangani kegiatan me-manage iklan radio. aplikasi program ini
terbagi menjadi 2, yaitu aplikasi untuk sisi server dan aplikasi untuk sisi client, yang keduanya terhubung dengan
media transmisi berupa kabel UTP.
Purwandani (2011) sesuai dengan jurnalnya menyatakan bahwa kini teknologi masuk kedalam teknologi
digital,maka informasi yang berupa suara dan musik akan diubah kedalam bentuk digital. Teknologi tersebut
disebut sebagai radio streaming yang fungsinya sama yaitu mem-broadcast voice dan musik melalui teknologi
digital. Radio streaming berbeda dari podcasting, dimana podcasting harus mendownload file terlebih dahulu
sedangkan radio streaming dapat mendengarkan secara langsung dengan melakukan koneksi ke alamat streaming
server tanpa harus mendownload file lagu yang memakan banyak memori dan waktu yang lama. Dari hasil
pengujian Quality of Service (QoS) yang dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa jaringan kabel lebih unggul dari
pada jaringan wireless dikarenakan bandwidth kabel yang lebih besar dari pada jaringan wireless.

Metode Penelitian
Penelitian sistem manajemen request lagu pada radio internet ini merupakan penelitian aplikatif yang
bertujuan untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh Radio RAPAM FM yaitu pada sistem penyiaran
dan sistem manajemen request lagu. Penelitian dilaksanakan dalam berbagai tahapan dengan hasil akhir penelitian
berupa sistem penyiaran radio berbasis internet yang dikombinasikan dengan sistem penyiaran berbasis gelombang
elektromagnetik dan sistem manajamen request lagu.
Perangkat lunak yang dibutuhkan saat merancang sistem ini meliputi Balsamiq Mockups, yEd
Graph Editor, dan Notepad++; sedangkan perangkat lunak yang dibutuhkan untuk mengimplementasikan
dan menjalankan sistem meliputi XAMPP, Chrome, Icecast, dan Sambroadcaster. Secara umum alur
sistem penyiaran dan manajemen request lagu pada radio internet untuk bisa di nikmati oleh para pendengar dapat
diihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Alur kerja sistem radio internet secara umum (diambil dari www.streamingkita.com)

Pada Gambar 1 dapat dilihat bahwa alur sistem penyiaran dan management request lagu pada radio internet
dimulai dari sumber suara yaitu mikrofon dan dari komputer yang memainkan lagu, kemudian sumber suara tersebut
masuk ke mixer siaran untuk pengaturan tinggi rendahnya suara yang akan diperdengarkan kepada pendengar. Dari
mixer masuk pada dua cabang penerimaan sumber suara yang pertama yaitu pemancar suara untuk radio
konvensional kemudian yang kedua masuk ke server streaming untuk sistem radio internet, dari pemancar radio
konvensional pendengar bisa mendengarkan radio dengan mencocokkan tuning malalui radio elektronik, sedangkan
dari server streaming pendengar dapat mendengarkan radio melalui internet dengan mengakses sistem penyiaran
dan pengelolaan lagu pada radio internet.
Berdasarkan analisis kebutuhan sistem, dapat dibuat suatu use case dari sistem yang akan dibangun. Use case
dalam sistem manajemen request lagu pada radio internet meliputi use case diagram user, administrator dan penyiar.
Usecase diagram user berfungsi untuk memberikan gambaran fasiltas yang diberikan oleh sistem ini untuk user
seperti yang dijelaskan pada Gambar 2 (a) dan (b). User sebagai seorang yang mengakses website yang berisi sistem

395
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

manajemen request lagu pada radio internet mendapatkan fasilitas untuk mengakses informasi yang sudah
disediakan dalam aplikasi tersebut yaitu mendengarkan radio, merequest lagu, melihat daftar putar, jadwal acara,
berita, iklan, dan gallery anggota radio Rapma FM.

(a) (b)
Gambar 2. Use Case Diagram: (a) User, (b) administrator

Usecase diagram administrator berfungsi untuk memberikan gambaran fasiltas yang diberikan oleh sistem
ini untuk administrator seperti yang dijelaskan pada Gambar 2(b). Administrator mendapatkan fasilitas untuk
mengakses informasi yang sudah disediakan dalam aplikasi tersebut yaitu menginput data lagu, manajemen request
lagu, menginput daftar putar, mengedit jadwal acara, posting berita, posting iklan, dan upload foto gallery, serta
dapat menghapus dan mengedit data yang ada. Usecase untuk penyiar dapat dilihat pada Gambar 3. Penyiar hanya
dapat melihat data dari admin tanpa bisa menambah, mengedit atau meghapus. Setiap penyiar memiliki akun
sendiri-sendiri untuk login.

Gambar 3. Use Case Diagram Penyiar

Hasil dan Pembahasan


Hasil yang telah dicapai dalam penelitian ini adalah sebuah radio internet untuk Rapma FM beserta sistem
manajemen request lagu pada radio internet berbasis web dimana terdapat halaman user dan dua level admin yaitu
administrator dan penyiar dimana masing-masing level admin tersebut memiliki hak akses yang berbeda. Sistem
yang dirancang untuk user bertujuan agar siaran radio RAPMA FM dapat dinikmati melalui internet, me-request
lagu, melihat daftar putar, jadwal acara, berita, profil, gallery, dan iklan. Sedangkan pada sisi administrator bertugas
untuk mengelola request lagu yang masuk dan menampilkan daftar putar kepada penyiar. Sedangkan penyiar akan
mengesekusi daftar putar kedalam software sambroadcaster. Berdasarkan tahapan-tahapan diatas pada pembuatan
sistem ini telah diuji dengan menggunakan browser mozilla firefox verrsi 29.0.1, Internet explorer versi
11.0.9600.17107 Google Chrome versi 35.0.1916.114 dan mendapatkan hasil pengujian sebagai berikut:

Halaman Home
Pada menu home (Gambar 4) terdapat fitur-fitur yang disediakan berupa fitur request lagu, fitur player radio
streaming, fitur informasi jadwal acara, fitur informasi list lagu yang akan ditampikan dan layanan widget dari

396
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

twitter rapma untuk interaksi terhadap user. Server streaming menggunakan server Icecast sedangkan player
radio streaming menggunakan teknologi HTML 5. Pada fitur request lagu, user diberikan fasilitas untuk melakukan
request lagu sesuai dengan lagu yang terdapat pada radio RAPMA FM, terdapat enam form pengisian untuk
melakukan request, yaitu form untuk memasukkan nama, email, kategori, penyanyi, judul lagu dan kotak komentar
untuk meninggalkan pesan.

Gambar 4. Tampilan Halaman Home

Menu Berita dan Profile


Menu berita berisikan tentang berita atau informasi seputar kampus di Universitas Muhammadiyah
Surakarta. Berita dapat diupdate sewaktu-waktu oleh admin. Menu profile merupakan menu yang digunakan untuk
menampilkan informasi mengenai profil dari radio Rapma FM mulai dari awal berdirinya radio, sejarah radio serta
Visi dan Misi radio Rapma FM.

Menu Gallery
Menu gallery digunakan untuk melihat gambar atau foto-foto anggota rapma FM.

Menu Contact Us
Menu contact us berisi mengenai informasi alamat dan kontak yang bisa dihubungi dari Rapma FM.

Halaman Login
Halaman login, digunakan untuk masuk sebagai administrator atau sebagai penyiar.

Halaman Administrator
Halaman administrator memiliki fitur-fitur seperti manajemen request lagu, input data lagu, input daftar
putar, input berita, input gallery, dan input iklan. Menu yang disediakan untuk admin terdapat pada sidebar seperti
dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Tampilan sidebar administrator

397
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Menu Lagu
Menu lagu (Gambar 6) berfungsi untuk menampilkan halaman manajemen lagu yang digunakan untuk
menambah kategori lagu atau genre, kemudian dari genre yang telah ditambahkan dapat digunakan untuk
menambahkan nama penyanyi atau band sesuai kategorinya masing-masing. Data yang telah ditambahkan kemudian
akan ditampilkan dalam bentuk list dan dapat dilakukan proses tambah lagu, edit dan hapus.

Gambar 6. Tampilan menu lagu


Menu Daftar Putar
Menu daftar putar (Gambar 7) digunakan untuk memanajemen daftar putar untuk ditampilkan pada halaman
penyiar agar list lagu yang telah diatur oleh administrator dapat diesekusi oleh penyiar dalam perangkat lunak
sambroadcaster

Gambar 7. Tampilan daftar putar

Implenentasi Sistem Terhadap Radio Rapma FM


Setelah sistem selesai dibuat maka sistem diimplementasikan ke Radio RAPMA FM yang skema
implementasinya seperti dapat dilihat pada Gambar 8.

398
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Gambar 8. Implementasi Sistem

Berdasarkan Gambar 8, manajemen sistem penyiaran radio diatur oleh administrator yang kemudian diakses
oleh penyiar dan user. Dari sisi penyiar hak akses dibatasi hanya bisa melihat request yang masuk, menampilkan
daftar putar, melihat berita dan jadwal acara setiap harinya yang semua itu diatur oleh administrator. Penyiar tidak
dapat menambah, mengedit atau menghapus data. Penyiaran bertugas untuk manajemen sambroadcaster agar bisa
terkoneksi dengan server icacast. Jika sistem berjalan dengan baik maka user dapat menikmati siaran radio RAPMA
FM dengan fitur-fitur yang disediakan oleh sistem.

Pembahasan
Pengujian sistem dilakukan diradio RAPMA FM Unniversitas Muhammadiyah Surakarta. Sebelum sistem
diterapkan keefektifan sistem perlu di uji terlebih dahulu. Peneliti menggunakan metode black-box untuk
mengetahui apakah sistem sudah berjalan baik atau belum. Jika semua proses telah berhasil dilakukan, maka sistem
siap untuk digunakan. Hasil pengujian sistem dengan menggunakan metode black-box dapat dilihat pada Tabel 1
dan Tabel 2.

Tabel 1. Hasil Uji Black-box Halaman User


No Nama Fungsi Keterangan
1 Lihat Halaman Beranda Baik
2 Radio Streaming Online Baik
3 Request Lagu Baik
4 Lihat Jadwal Acara Baik
5 Lihat Daftar Putar Lagu Baik
6 Widget twitter RAPMA Baik
7 Lihat Menu Berita Baik
8 Lihat Menu Profile Baik
9 Lihat Menu Gallery Baik
10 Lihat Menu Contact Us Baik

399
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Tabel 2. Hasil Uji Black-box Halaman Administrator


No Nama Fungsi Keterangan
1 Menu Login Baik
2 Hapus Request Lagu Baik
3 Tambah Kategori Baik
4 Tambah Penyanyi Baik
5 Tambah Lagu pada Penyanyi Baik
6 Edit Penyanyi Baik
7 Hapus Penyanyi Baik
8 Tambah Daftar Putar Baik
9 Tampil List Daftar Putar Baik
10 Tampil List Daftar Putar pada Halaman User Baik
11 Hapus Daftar Putar Baik
12 Tambah Jadwal Acara Baik
13 Tampil Berita Baik
14 Tambah Berita Baik
15 Hapus Berita Baik
16 Tampil Iklan Baik
17 Tambah Iklan Baik
18 Hapus Iklan Baik
19 Tampil Gallery Baik
20 Tambah Gallery Baik
21 Hapus Gallery Baik
22 Tampil Slide Baik
23 Tambah Slide Baik

Dari hasil pengujian dapat dilihat bahwa sistem manajemen request lagu pada radio internet yang dibuat ini
memiliki kelebihan diantaranyan adalah proses loading sistem cukup cepat, tidak perlu melakukan instalasi flash
player untuk memainkan radio internet karena sudah menggunakan teknologi HTML 5, sistem mudah digunakan
(user friendly),dan responsif terhadap berbagai ukuran layar perangkat.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil proses perancangan, pembuatan dan implementasi sistem manajemen Request Lagu pada
Radio Internet dapat ditarik kesimpulan: (1) sistem penyiaran radio internet sudah berhasil diimplementasikan
dengan studi kasus pada Radio RAPMA FM UMS. Dengan penyiaran berbasis internet ini radio RAPMA FM bisa
didengarkan oleh pendengar dimanapun berada selama ada jaringan internet tanpa dibatasi batasan geografis; (2)
hasil pengujian pada sistem manajemen request lagu menunjukkan semua fitur pada sistem telah berjalan dengan
baik.

Persantunan
Materi yang dipublikasikan ini adalah sebagian dari Tugas Akhir/Skripsi mahasiswa yaitu Nisa Dwi Septiyanti
dalam rangka menyelesaikan pendidikan sarjana (S1) pada Program Studi Informatika Fakultas Komunikasi dan
Informatika Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Daftar pustaka
Al Hani, R.. (2010). Aplikasi program managemen iklan radio (study kasus: Radio PTPN).Skripsi, Jurusan Teknik
Elektro Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Surakarta, Tidak Diterbitkan.
Mahardika, D. S. G. S.. (2012). Analisis dan perancangan request server otomatis pada radio streaming berbasis
web (studi kasus : radio streaming universitas tidar magelang). Skripsi. Jurusan Teknik Informatika, STMIK
Amikom Yogyakarta, Tidak Diterbitkan.
Purwandani, P. P.. (2011). Implementasi radio kampus pada jaringan lokal politeknik Telkom. Tugas Akhir
Program Diploma III Teknik Informatika Politeknik Telkom Bandung, tidak diterbitkan.
Simanjuntak, D. A. 2012. Pengembangan sistem siaran radio live streaming audio visual. Jurnal Sains dan Seni
Vol.1, No.1. Institut Sepuluh Nopember, Surabaya.

400
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

PROTOTYPE ALAT IoT (INTERNET OF THINGS) UNTUK PENGENDALI


DAN PEMANTAU KENDARAAN SECARA REALTIME

Erma Susanti1 , Joko Triyono2


1
Jurusan Teknik Informatika, Fakultas Teknologi Industri, IST AKPRIND Yogyakarta
Jl. Kalisahak No. 28 Kompleks Balapan Yogyakarta 55222 Telp 0274 563029
2
Jurusan Teknik Informatika, Fakultas Teknologi Industri, IST AKPRIND Yogyakarta
Jl. Kalisahak No. 28 Kompleks Balapan Yogyakarta 55222 Telp 0274 563029
Email: erma@akprind.ac.id

Abstrak

Kendaraan bermotor merupakan salah satu objek yang sangat rawan untuk dicuri. Antisipasi dari
tindak pencurian tidak cukup hanya dengan memasang kunci pengaman, tetapi juga perlu melengkapi
kendaraan dengan sistem pemantau dan pengendali. Kendaraan seperti sepeda motor pada umumnya
belum dilengkapi dengan GPS (Global Positioning System), sehingga perlu dilengkapi dengan
perangkat tersebut dan juga sistem tertanam (embedded system) yang dapat dipantau dari jarak jauh.
Penggunaan sistem tertanam dapat menjadi pilihan untuk diimplementasikan karena hemat daya dan
harganya relatif murah. Penerapan sistem pengendali dan pemantau kendaraan jarak jauh pada
penelitian ini diimplementasikan dengan membuat prototype alat IoT (Internet of Things)
menggunakan Rapsberry Pi 3 Model B, modem GSM, GPS USB VK-172 Glonass, dan relay DC.
Perangkat IoT akan dilengkapi aplikasi yang akan dikoneksikan dengan server Firebase dan
selanjutnya dipasang pada kendaraan. Jika kendaraan dihidupkan maka alat IoT akan mengirimkan
data posisi kendaraan dari satelit GPS ke server Firebase. Penggunaan server Firebase dipilih
karena mendukung pemrograman socket, memiliki pustaka yang lengkap untuk berbagai platform web
dan piranti bergerak, dapat digabungkan dengan berbagai framework, dan menyediakan layanan
DbaaS (Database as a Service). Hasilnya, data posisi kendaraan yang diterima server, secara
langsung (realtime) akan ditampilkan melalui aplikasi web sistem pengendali dan pemantau jarak
jauh dengan tampilan visualisasi Google Maps dan tombol lock/unlock untuk menghidupkan dan
mematikan/mengunci kendaraan.

Kata kunci: IoT, Internet of Things, Pemantau, Pengendali, Raspberry Pi, Firebase

Pendahuluan
IoT (Internet of Things) merupakan teknologi yang dapat mengkoneksikan suatu peralatan dengan Internet
untuk menjalankan berbagai fungsi. Perangkat IoT dapat diimplementasikan menggunakan embedded system (sistem
tertanam), karena cenderung hemat daya. Salah satu perangkat yang menggunakan teknologi pengontrol jarak jauh
dengan sistem tertanam berbasis ARM (Advanced RISC Machine) adalah Raspberry Pi. Raspberry Pi (disingkat
raspi) adalah suatu mini komputer yang dapat bekerja seperti halnya personal komputer. Raspberry Pi juga memiliki
sambungan LAN yang dapat digabungkan dengan router menjadi jaringan nirkabel yang dapat diakses oleh berbagai
perangkat dengan akses internet (Darmaliputra dan Hermawan, 2014). Raspberry Pi dapat dimanfaatkan untuk
pembuatan berbagai perangkat IoT yang dapat membantu automatisasi berbagai pekerjaan. Penerapan IoT pada
penelitian ini adalah untuk pengendali dan pemantau kendaraan bermotor. Perangkat pemantau lokasi akan
memanfaatkan GPS Glonass untuk mendapatkan data posisi latitude, longitude dan waktu. Selanjutnya data akan
dikirim ke server Firebase dan ditampilkan kembali secara realtime ke dalam sistem pengendali dan pemantau
berbasis web. Firebase dipilih karena tidak hanya menyediakan fasilitas penyimpaan data, tetapi juga menyediakan
API untuk pengimplementasian web socket (Oriza, 2014). Sistem pemantau akan menampilkan visualisasi dalam
bentuk peta yang menunjukkan lokasi kendaraan. Sistem tertanam ini menggunakan teknologi realtime karena
memiliki waktu respon yang sangat singkat, sehingga pengguna aplikasi akan mendapatkan update informasi
kendaraan secara langsung saat terjadi perubahan data, tanpa perlu melakukan refresh halaman. Pendekatan
menggunakan teknologi monitoring terhadap pergerakan kendaraan secara realtime perlu dilakukan untuk
mengamankan kendaraan (Muchlisin dan Istiyanto, 2011).
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan prototype perangkat IoT untuk mengamankan
kendaraan dengan cara melakukan pemantauan dan pengendalian terhadap kendaraan dari jarak jauh. Sistem

401
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

pengendali dapat bekerja untuk menghidupkan atau mematikan kendaraan. Kendaraan yang telah terpasang alat IoT
tersebut dapat dikunci dari jarak jauh melalui aplikasi web yang dapat diakses melalui browser web dari komputer
atau perangkat bergerak (mobile). Sistem pemantau akan menampilkan data posisi lokasi kendaraan (latitude dan
longitude) yang diperoleh dari satelit GPS (GPS Receiver) dan ditampilkan dengan visualisasi dari Google Maps.
Saat mesin kendaraan hidup maka aplikasi pada alat IoT akan terus berjalan, dan akan terkoneksi dengan server
Firebase. Selanjutnya dari server Firebase informasi akan langsung ditampilkan pada aplikasi web sistem pengendali
dan pemantau.

Tinjauan Pustaka
Sistem pemantau kendaraan diteliti oleh Lee, et al. (2014) dengan membuat desain dan
mengimplementasikan suatu sistem untuk melihat perpindahan kendaraan berdasarkan lokasi di suatu waktu
tertentu. Teknologi yang digunakan mengkombinasikan aplikasi telepon pintar (smartphone) dengan menggunakan
mikrokontroler. Desain alat tracking menggunakan GPS dan teknologi GSM/GPRS. Alat tersebut akan ditanamkan
ke dalam kendaraan untuk mendapatkan posisi kendaraan secara realtime. Sistem tracking kendaraan menggunakan
modul GPS untuk mendapatkan koordinat geografi dengan interval waktu tertentu. Modul GSM/GPRS selanjutnya
mengirim data dan meng-update lokasi kendaraan secara realtime. Aplikasi smartphone digunakan untuk secara
berkelanjutan memonitoring lokasi keberadaan kendaraan. Google Maps API digunakan untuk menampilkan
visualisasi kendaraan di peta melalui aplikasi smartphone. Hasil pengembangan dan pengujian sistem tracking untuk
memantau lokasi pergerakan kendaraan secara realtime. Penelitian secara detail mendeskripsikan desain dan
implementasi sitem tracking kendaraan. Perangkat in-vehicle, server, dan aplikasi smartphone digunakan untuk
sistem tracking kendaraan. Pengujian sistem menunjukkan pemantauan lokasi kendaraan dari berbagai tempat dan
diimplementasikan dengan biaya relatif murah.
Widyantara and Sastra (2015) melakukan penelitian tentang IoT untuk sistem monitoring lalu lintas di kota
Denpasar. Tujuannya adalah untuk menampilkan visualisasi lalu lintas melalui web berbasis GPS/GPRS.
Implementasi IoT difokuskan pada akuisisi lalu lintas memanfaatkan kemampuan GPS sebagai sensor, komunikasi
data dengan GPRS dan desain sistem monitoring berbasis web/GIS. Hasilnya menunjukkan interkoneksi antara GPS
Tracker, GPRS dan jaringan internet sebagai skema IoT untuk pengembangan ITMS (Intelligent Traffic Monitoring
System) di Denpasar Bali. Target penelitian ITMS Denpasar adalah pengembangan pusat manajemen lalu lintas
yang memiliki kemampuan memproses data lalu lintas dari alat GPS Tracker menjadi ITMS realtime berbasis
Google MAP API dan menyediakan layanan informasi lalu lintas dalam bentuk GIS. IoT tersebut dibangun
menggunakan model arsitektur jaringan dan menggunakan desain perangkat lunak untuk antarmuka aplikasi dengan
menerapkan metode desain interaksi client-server.
Penelitian Vigneshwaran, et al. (2015) membahas tentang pencegahan tindakan pencurian menggunakan
teknologi GSM dan teknologi GPS. GPS digunakan untuk mendapatkan posisi lokasi kendaraan. Data dikirimkan
menggunakan telepon genggam dengan GSM. Posisi yang didapatkan dari modul GPS dikirim ke mikrokontroler
dengan mengirim ke pengguna smartphone melalui GSM dengan modem GSM dan modul GPS. Implementasi
menggunakan mikrokontroler Atmel. Jika terjadi tindak pencurian, maka kendaraan dapat dimatikan melalui
aplikasi Android. Solenoid dan komponen relay digunakan untuk mengontrol kendaraan. Hasil implementasi dan
pengujian sistem secara realtime dilakukan dengan melakukan pengecekan sistem tracking. Sistem tracking diinstal
ke dalam kendaraan dan dilakukan pengujian dengan melakukan perjalanan ke tiga kota. Sistem tracking
menunjukkan status interval dan respon sukses.
Desain monitoring dan tracking kendaraan sekolah dari lokasi A ke lokasi B secara realtime dilakukan oleh
Shinde and Mane (2015); Shinde, et al. (2015) . Sistem yang diusulkan menggunakan teknologi berbasis Embedded
Linux Board bernama Raspberry Pi dan menggunakan fitur penyimpanan basis data secara realtime. Sistem bekerja
dengan GPS dan GSM yang digunakan untuk pelacakan dan monitoring kendaraan. Modul SIM908 digunakan
untuk GPS, GPRS dan GSM. GPS memberikan informasi terkini kendaraan, GPRS mengirimkan hasil tracking
informasi ke server dan GSM digunakan untuk mengirimkan pesan ke pemilik kendaraan. Sistem yang ada pada
kendaraan akan dimonitor secara realtime melalui web. Sistem juga dilengkapi dengan sensor gas LPG MQ6 dan
sensor suhu DS18B20 untuk deteksi gas dan temperatur. Sistem monitoring informasi kendaraan diimplementasikan
menggunakan LAMP (Linux, Apache, MySQL, dan PHP). Hasil pengujian dilakukan untuk menguji jalannnya
sensor suhu dan sensor gas. Hasil sensor dari peralatan akan dikirimkan melalui pesan yang dikirim ke pemilik
kendaraan.
Leelavathi, et al. (2016) meneliti tentang penggunaan IoT dengan sistem tertanam dengan membuat aplikasi
mobil pintar (smart car). Metode capturing image dan pelacakan lokasi digunakan untuk mencari kendaraan yang
hilang dan juga mendeteksi adanya indikasi aktivitas berbahaya pada kendaraan. Tujuan pengembangan alat IoT
pada penelitian ini adalah untuk keamanan kendaraan dari pencurian. Desain sistem tracking untuk kendaraan
menggunakan sensor pergerakan dan IoT. Sistem penguncian kendaraan menggunakan sensor seperti yang
diterapkan pada pintu, deteksi pergerakan, dan GPS. Aplikasi Smart car digunakan untuk sistem penguncian pada
kendaran. Perangkat mobile dengan sistem operasi Android diinstal dengan aplikasi smart car. Untuk mengakses

402
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

aplikasi harus melakukan login. Aplikasi ini dapat digunakan untuk melakukan penguncian atau membuka pintu
kendaraan. Aplikasi juga akan memberikan perintah suara jika ada indikasi pencurian atau aktivitas mencurigakan
pada kendaraan. Perangkat wifi dongle juga digunakan untuk akses internet. Alat IoT dibuat menggunakan
Raspberry Pi untuk aplikasi tertanam. Komponen antarmuka menggunakan Pi camera, modem GSM dan GPS,
sensor pintu, sensor proximity, dan wifi dongle. Default sistem operasi yang digunakan adalah Linux, sistem operasi
ini digunakan untuk menangani tugas dan komponen alat pada Chip. Skrip Phyton digunakan untuk pemrograman
pada alat dan fungsionalitas. Sensor penguncian pintu akan terdeteksi jika ada pergerakan yang mencurigakan di
dalam kendaraan.

Teori Raspberry Pi
Komponen board (papan) Raspberry Pi model B terdiri dari port USB untuk mengkoneksikan berbagai
perangkat USB seperti keyboard, mouse, dan lain-lain. Mini USB port digunakan untuk menghubungkan ke power
adaptor. Untuk terkoneksi ke jaringan bisa menggunakan port Ethernet/LAN atau pada Raspberry Pi 3 model B
sudah dilengkapi dengan wifi built-in. Raspberry Pi juga sudah mendukung audio/video. Untuk mengkoneksikan ke
monitor/tv dapat menggunakan HDMI atau RCA. Beberapa pin GPIO (General Purpose Input/Output) dapat
digunakan untuk mengkoneksikan dengan perangkat elektronik lainnya. Gambar 1 merupakan komponen bagian
depan Raspberry Pi model B (Schmidt, 2012). Sistem operasi yang direkomendasikan untuk perangkat Raspberry Pi
adalah Raspbian. Raspbian merupakan distribusi resmi sistem operasi untuk perangkat Raspberry Pi berbasis Debian
(Richardson and Wallace, 2013). Fungsi Raspberry secara keseluruhan dapat dijalankan oleh sistem operasi. Sistem
operasi yang dapat digunakan pada Raspberry Pi antara lain Raspbian, Pidora, OpenElec, RaspBMC, RISC OS,
Arch Linux ARM, dan lain-lain (Rakhman, dkk., 2014).

Gambar 1. Komponen Bagian Depan Raspberry Pi Model B (Schmidt, 2012)

Firebase
Firebase dapat bertindak sebagai basis data realtime sehingga aplikasi sistem pemantau dan pengendali akan
dapat disinkronisasi dengan basis data untuk menyediakan data secara realtime. Keuntungan menggunakan basis
data Firebase sebagai backend adalah memastikan bahwa latency pada proses penyimpanan data ke server sangat
kecil. Semua operasi dengan firebase pada pengembangan aplikasi menggunakan AngularFire karena operasi API
telah menyediakan objek dan array seperti add, remove, dan get (Phan, 2015). AngularFire memanfaatkan koneksi
antara AngularJS dan Firebase. Kombinasi tersebut menggunakan tiga cara koneksi yaitu HTML, JavaScript, dan
basis data Firebase. Firebase menjamin ‘no server code’ sehingga memudahkan pembuatan aplikasi. Firebase juga
dapat melakukan sinkronisasi data dengan local cache pada perangkat yang ada sehingga aplikasi tetap responsif
ketika koneksi jaringan lambat (Max, 2014).

Teknologi GPS
GPS (Global Positioning System) merupakan suatu sistem navigasi menggunakan satelit yang diletakkan
pada orbit. GPS Reveicer akan menerima sinyal posisi satelit (latitude dan longitude). GPS Receiver pada penelitian
ini digunakan untuk mendeteksi lokasi kendaraan dan sekaligus menyediakan informasi yang dapat diakses dari
jarak jauh melalui aplikasi sistem pemantau berbasis web. GPS menggunakan standar protokol NMEA untuk dapat
mentransmisikan posisi data. Data posisi lokasi yang didapatkan dari GPS akan dikirimkan ke server secara realtime
melalui Firebase.

403
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Relay DC
Raspberry pi mengendalikan peralatan listrik dengan bantuan relay. Relay berfungsi untuk mengontrol arus
listrik dengan memberikan tegangan dan arus pada koil, dengan relay arus listrik dapat diputus atau dihubungkan ke
alat IoT. Koil motor dapat digerakkan dengan menggunakan relay DC dengan tegangan koil sebesar 12V DC dan
arus yang diberikan sekitar 20-30 mA.

Metode Penelitian
Implementasi penelitian ini terdiri dari perangkat keras dan perangkat lunak. Perangkat keras untuk
pembuatan alat IoT antara lain sistem tertanam menggunakan Raspberry Pi 3 Model B, modul GPS menggunakan
USB GPS VK-172 Glonass, dan Relay DC. Gambar 2 adalah perangkat keras utama yang digunakan untuk
penelitian ini yaitu Relay DC, USB GPS Glonass, dan Raspberry Pi 3 Model B. Perangkat lunak untuk aplikasi pada
alat IoT terdiri dari sistem operasi Raspbian dan NodeJS. Sedangkan perangkat lunak untuk server dan aplikasi
sistem pemantau dan pengendali jarak jauh dikembangkan mengunakan AngularFire (AngularJS dan Firebase) dan
Google Maps API. Aplikasi tersebut berbentuk web yang dapat diakses dari berbagai perangkat baik itu komputer
maupun perangkat mobile melalui browser.

Gambar 2. Perangkat Keras untuk membuat alat IoT

Arsitektur dari aplikasi IoT dan koneksi Raspberry Pi ke sistem pemantau dan pengendali dapat dilihat pada
Gambar 3. Langkah pertama lakukan instalasi perangkat Raspberry Pi dengan sistem operasi Raspbian dan buat
kode program untuk aplikasi client menggunakan NodeJS. Selanjutnya koneksikan perangkat Raspberry Pi dengan
internet menggunakan wifi dongle atau 3G/4G modem GSM dan pasang USB GPS. Untuk Raspberry Pi 3 Model B
sudah tersedia perangkat wifi sehingga tidak perlu perangkat wifi dongle tambahan. Setelah itu hidupkan perangkat
dan nyalakan service aplikasi untuk bisa mendapatkan data posisi latitude dan longitude dari satelit GPS. Data yang
diperoleh dari GPS receiver secara realtime akan dikirim ke server, dan dari server Firebase data lokasi akan
diproses untuk ditampilkan kembali ke dalam bentuk peta Google (Google Maps). Gambar panah menunjukkan alat
IoT akan mengirimkan data posisi ke server, sedangkan gambar panah putus-putus menunjukkan alur sistem jika
pengguna mengirimkan perintah kepada alat IoT.

Gambar 3. Arsitektur Alat IoT Untuk Pengendali dan Pemantau Kendaraan

404
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Perangkat IoT dirancang dengan sistem tertanam menggunakan board (papan) tunggal Raspberry Pi untuk
menanamkan aplikasi yang akan terhubung dengan server Firebase. Server Firebase pada penelitian ini dipilih
karena memiliki banyak pustaka (library) untuk pengembangan aplikasi web maupun mobile serta mendukung
penerapan DbaaS (Database as a Service) untuk cloud computing. Perangkat Raspberry Pi 3 Model B sudah
dilengkapi dengan perangkat wifi untuk akses Internet dan juga terdapat 4 port USB yang dapat digunakan untuk
menghubungkan beberapa komponen tambahan. Sebagai bahan percobaan, perangkat USB GPS VK-172 Glonass
akan digunakan sebagai GPS receiver, kemudian komponen Relay DC juga ditambahkan sebagai pengendali on/off
kendaraan. Lokasi GPS yang didapat akan dikirim menggunakan Internet ke server Firebase dan selanjutnya akan
ditampilkan melalui aplikasi sistem pemantau dengan visualisasi menggunakan Google Maps.
Implementasi alat IoT terdiri dari beberapa tahapan. Pertama tahap persiapan alat IoT dengan melakukan
instalasi sistem operasi Raspbian untuk perangkat Raspberry Pi. Kemudian instal NodeJS dan membuat kode untuk
akuisisi perangkat GPS. Selanjutnya membuat kode untuk Google Maps, kode perintah ke GPIO (General Purpose
Input Output), dan kode untuk koneksi ke server. Setelah itu aplikasi ditanamkan pada alat IoT dan akan dijalankan
service aplikasi untuk selalu terkoneksi dengan server. Aplikasi harus terus berjalan (running) jika kendaraan
dihidupkan.
Implementasi untuk aplikasi server adalah berbentuk aplikasi web yang ditampilkan dengan visualisasi peta
yang menunjukkan lokasi kendaraan dan juga tombol on/off untuk kendali kendaraan. Aplikasi server dibuat dengan
menggabungkan antara AngularJS dengan Firebase (AngularFire).
Cara kerja sistem, pertama kendaraan dengan IoT akan melakukan akuisisi lokasi melalui perangkat GPS
secara langsung. Data latitude, longitude dan waktu yang didapatkan terlebih dahulu akan dibandingkan dengan data
yang sudah disimpan terakhir, apabila kendaraan tidak berubah posisi maka data tersebut akan disimpan ke dalam
penyimpanan lokal dan selanjutnya akan di broadcast ke server.
Sebelum perangkat dipasang, terlebih dahulu dipersiapkan sistem operasi Raspbian Jessie yang akan
menangani perangkat Raspberry Pi. Kemudian dilakukan instalasi aplikasi NodeJS dan pengaturan pin GPIO.
Kemudian aplikasi dipasang pada alat IoT untuk mendapatkan data lokasi dari satelit GPS. Aplikasi pada IoT
tersebut akan langsung terkoneksi ke server saat kendaraan dihidupkan. Aplikasi akan terus dijalankan selama
kendaraan dalam keadaaan hidup. Jika data didapat maka data akan dikirimkan ke dengan server. Sedangkan pada
sistem pengendali, jika pengguna memberikan perintah melalui aplikasi web, maka perintah akan dikirim ke server,
dan server akan mengirimkan perintah ke alat IoT. Terakhir lakukan wiring pada kendaraan dan lakukan pengujian
fungsional aplikasi pada kendaraan.

Hasil dan Pembahasan


Pengujian sistem pemantau dan pengendali dilakukan dengan menguji fungsionalitas aplikasi web apakah
sudah dapat mengirim perintah dan direspon oleh alat IoT. Proses pengujian pertama dengan melakukan wiring pada
kendaraan dengan memasang Relay DC dan menghubungkannya dengan alat IoT. Selanjutnya dilakukan pengujian
secara langsung pada kendaraan.
Hasil prototype awal alat IoT untuk pemantau dan pengendali dapat dilihat pada Gambar 4. Pengujian
pertama dengan melakukan pengujian terhadap kinerja perangkat GPS. Alat IoT tersebut telah dilengkapi dengan
sistem operasi Raspbian dan aplikasi client yang dibuat dengan NodeJS. Aplikasi client ditanamkan di alat untuk
menjalankan service untuk mendapatkan data posisi dengan mengirimkan sinyal ke satelit GPS, selanjutnya data
akan dikirim ke server pemantau secara realtime. Sedangkan alat pengendali dibuat dengan menghubungkan alat
IoT dengan Relay DC.

Gambar 4. Prototype alat IoT untuk pemantau dan pengendali

405
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Alat IoT pada saat dihidupkan akan tersinkronisasi dengan Server Firebase. Pergerakan kendaraan
selanjutnya dapat dipantau melalui aplikasi web sistem pemantau dan pengendali. Aplikasi dilengkapi dengan login
pengguna untuk keamanan akses aplikasi oleh pengguna yang tidak berhak. Hasil sistem pemantauan ditunjukkan
pada Gambar 5. Data latitude dan longitude posisi GPS kendaraan dikirimkan ke server Firebase. Dari server
Firebase selanjutnya ditampilkan menggunakan Google Maps. Aplikasi ditunjukkan dengan Google Maps dan icon
posisi kendaraan dengan IoT. Aplikasi pengendali dapat digunakan untuk mematikan dan mengunci kendaraan jika
terjadi pencurian.

Gambar 5. Sistem Pemantau dan Pengendali berbasis Web

Kesimpulan
Perangkat IoT untuk pengendali dan pemantau kendaraan bermotor diimplementasikan menggunakan
perangkat keras antara lain Raspberry Pi 3 Model B, USB GPS VK-172 Glonass, relay DC dan dikoneksikan
dengan Internet menggunakan modem 3G/4G GSM. Sedangkan untuk perangkat lunak terdiri dari perangkat lunak
untuk client dan server. Aplikasi client dikembangkan dengan menggunakan NodeJS, sedangkan untuk server
dikembangkan menggunakan AngularJs dan Firebase (AngularFire). Aplikasi client akan diletakkan pada Raspberry
Pi dan akan secara otomatis berjalan setiap kendaraan hidup. Selanjutnya perangkat akan melakukan akuisisi GPS
dengan mencari posisi koordinat lokasi latitude dan longitude. Data posisi tersebut kemudian dikirimkan secara
langsung (realtime) ke server Firebase. Selanjutnya dari server Firebase akan merespon lokasi yang didapatkan
tersebut dengan menampilkannya ke dalam Google Maps. Sedangkan untuk sistem pengendali, maka pengujian
dilakukan dengan mencoba menghidupkan dan mematikan kendaraan dari jarak jauh melalui aplikasi web yang
dapat diakses dari komputer atau perangkat mobile. Hasil uji coba alat IoT dan sistem pemantau jarak jauh secara
fungsional dapat merespon posisi kendaraan dan menampilkannya secara langsung. Uji coba alat IoT untuk sistem
pengendali juga dapat merespon perintah yang diberikan melalui sistem.
Hasil penelitian masih memerlukan banyak pengembangan, karena masih mengalami kendala pada keamanan
peletakan alat dan kerentanan alat dari air hujan. Kendala lainnya adalah pada koneksi internet yang sering tidak
stabil dan koneksi ke satelit GPS yang tidak berjalan semestinya.

Daftar Pustaka
Darmaliputra, A. dan Hermawan, H., (2014), “Pembuatan Web Server Berbasis Raspberry Pi Untuk Kontrol Lampu
dan AC” Calyptra, Vol. 3 (1).
Lee, S., et al., (2014), “Design and Implementation of Vehicle Tracking System Using GPS/GSM/GPRS
Technology and Smartphone Application” IEEE World Forum on Internet of Things (WF-IoT), pp. 353-358.

406
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Leelavathi, T. C., et al., (2016), “IoT for Smart Car using Raspberry Pi” International Research Journal of
Engineering and Technology (IRJET), Vol. 03 (06) pp. 1376-1379
Max, D. (2014), “Building Real Time Apps With Firebase and AngularJS”, http://davemax.com, diakses 19 Maret
2015.
Muchlisin, Y. D. dan Istiyanto, J. E., (2011), “Implementasi Pelacakan Kendaraan Bermotor Menggunakan Gps dan
Gprs dengan Integrasi Googlemap” IJCCS – Indonesian Journal of Computing and Cybernetics Systems,
Vol. 5 (2) pp. 76-84.
Oriza, A. (2014), “Firebase Membantu Kita Membuat Aplikasi Realtime”, http://www.codepolitan.com/firebase-
membantu-kita-membuat-aplikasi-realtime/, diakses 21 Maret 2015
Phan, H., (2015), "Ionic Cookbook", Packt Publising, pp. 209-210
Rakhman, E., et al., (2014), “Raspberry Pi – Mikrokontroler Mungil yang Serba Bisa”, Andi.
Richardson, M. and Wallace, S., (2013), "Getting Started with Raspberry Pi", O’Reilly Media, Inc., pp. 10
Schmidt, M., (2012), "Raspberry Pi A Quick - Start Guide", The Pragmatic Programmers, LLC., pp. 2
Shinde, P. and Mane, (2015), “Advanced Vehicle Monitoring and Tracking System based on Raspberry Pi” IEEE
Sponsored 9th International Conference on Intelligent Systems and Control (ISCO).
Shinde, P., et al., (2015), “Real Time Vehicle Monitoring and Tracking System based on Embedded Linux Board
and Android Application” International Conference on Circuit, Power and Computing Technologies
(ICCPCT).
Vigneshwaran, K., et al., (2015), “An Intelligent Tracking System Based on GSM and GPS Using Smartphones”
International Journal of Advanced Research in Electrical, Electronics and Instrumentation Engineering
(IJAREEIE), Vol. 4 (5) pp. 3897-3903.
Widyantara, I. M. O. and Sastra, N. P., (2015), “Internet of Things for Intelligent Traffic Monitoring System: A
Case Study in Denpasar” International Journal of Computer Trends and Technology (IJCTT), Vol. 30 (3),
pp. 169-173.

407
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

PEMBUATAN RUANG PAMER 3 MUSEUM SANGIRAN


MENGGUNAKAN TEKNOLOGI VIRTUAL REALITY BERBASIS
ANDROID

Fendi Aji Purnomo*1, Eko Harry Pratisto2 dan Roni Abdul Yasir3
1,2,3
Jurusan D3 Teknik Informatika, Fakultas MIPA, Universitas Sebelas Maret Surakarta
Jl. Ir. Sutami 36A Jebres 57126 Telp 0271 663450
Email: fendi_aji@mipa.uns.ac.id

Abstrak

Virtual Reality (VR) merupakan teknologi yang menggabungkan objek tiga dimensi (3D) dipadukan
dengan pendengaran dan pengelihatan yang menghasilkan efek pengguna seakan sedang berada
dalam lingkungan virtual. Pengenalan wisata Museum Sangiran dengan memasukkan materi
kedalam sebuah lingkungan berteknologi VR dapat menjadikan pengenalan semakin menarik serta
visual dan sampai saat ini aplikasi media pengenalan dan informasi wisata Museum Sangiran belum
ada yang menerapkan konsep Virtual Reality dalam pengembangannya. Berdasarkan hal tersebut
maka dibuat aplikasi 3D Virtual Reality Ruang Pamer 3 Museum Sangiran berbasis android. Virtual
ruang pamer 3 Museum Sangiran merupakan lingkungan virtual yang ada di Museum Sangiran
dengan studi kasus di Ruang Pamer 3 yang dikembangkan menggunakan Unity 3D. Metode
pengembangan aplikasi menggunakan Software Development Life Cycle (SDLC) water fall yang
dimulai dari inisialisasi, perancangan, implementasi, pengujian dan pemeliharaan. Hasil dari
penelitian ini berupa aplikasi Virtual museum Sangiran berbentuk file .apk yang dapat dijalankan
pada perangkat android dengan dukungan sensor gyroscope. Virtual Reality Ruang Pamer 3 Museum
Sangiran diharapkan mampu menciptakan gambaran visual terhadap salah satu ruang yang ada di
Museum Sangiran, sehingga dapat dijadikan sebagai media perkenalan wisata dan juga sebagai
sarana informasi yang interaktif. Minimum perangkat untuk menjalankan aplikasi ini adalah prosesor
Quad-core 1.2 GHz, 512GB RAM dan dukungan sensor gyroscop.

Kata kunci: virtual museum; android; Sangiran

Pendahuluan
Dalam beberapa tahun terakhir, telah banyak sumber warisan budaya yang tersedia berkat penggunaan
Information and Communication Technology (ICT), hal tersebut dapat diimplentasikan berupa realisasi dan
pembuatan objek virtual dari hasil kebudayaan [1]. Pertumbuhan tersebut cenderung lebih disukai dalam hal
rekonstruksi 3D [2], teknologi multimedia, komputer grafis dan virtual reality juga menyebabkan konsep baru dalam
penyajian virtual heritage. Fenomena tersebut mengacu pada penggunaan sistem maya untuk membuat, bernavigasi,
dan mengeksplorasi terhadap rekonstruksi lingkungan dari ketertarikan budaya [3]. Pengguna dapat menikmmati
secara efektif untuk mengenal warisan budaya melalui pengalaman baru yang formatif dan mengasikkan dalam
waktu yang bersamaan [4], terutama bagi kalangan muda [5]. Dalam kenyataannya, kemungkinan untuk kunjungan
digital terhadap situs arkeologi (pengalaman dalam rekonstruksi secara interaktif) menjadikan pengalaman lebih
menarik, memperkaya budaya dan menghibur bagi pengunjung.
Sebuah proyek virtual museum memang menarik seperti yang diidentifikasi penting dalam menciptakan
pengalaman baru melalui pengemasan konten baru atau penguatan gagasan sudah menjadi bagian dari misi virtual
museum. Ketika dihadapkan pada produk digital, pengguna memiliki kesempatan untuk berpengalaman dalam
konteks pembelajaran informal, di mana proses kognitif (yaitu perhatian, menghafal, pengenalan pola, dll)
berlangsung [6]. Perwujudan edukasi melalui proyek virtual museum tetap dalam kemampuan untuk
mengakomodasi hasil kebudayaan, pemberian aksesibilitas dan kepuasan secara keseluruhan. Oleh karena itu,
pengalaman atau pengalaman pengguna bukan tentang teknologi, desain, atau interface tapi tentang menciptakan
momen yang handal melalui alat yang nyata.
Applikasi Virtual museum telah dikembangkan oleh [7] jengan judul The Virtual Museums of Caen: A case
study on modes of representation of digital historical content. Diantara model penyampaian digital virtual museum
yang telah dikembangkan, bahwa penggunaan model dengan oculus (kacamata VR) menawarkan pengalaman yang
sangat fantastis dengan bidang pandang yang landscape dan eksplorasi bentuk secara bebas. Hal tersebut

408
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

menciptakan pengalaman pendidikan yang menarik yang dikemas dalam sebuah aplikasi dan dapat diakses melalui
situs. Virtual museum yang menyajikan rekonstruksi 3D juga telah dikembangkann oleh [8] dengan judul penelitian
Virtual museums and Calabrian Cultural Heritage: projects and challenges. Rekonstruksi objek 3D yang disajikan
melalui teknologi web base dan CD ROOM tersebut menjadikan pengalaman baru bagi bagi pengguna untuk
mengeksplorasi hasil kebudayaan.
Dalam penelitian ini akan dikembangkan virtual museum dalam mengenal warisan budaya perkembangan
kehidupan manusia purba yang dikemas dalam aplikasi mobile menggunakan teknologi virtual reality sehingga
pengunjung dapat dinikmati dengan bantuan oculus VRBOX dalam mengeskplorasi objek pamer yang disajikan.

Metode
Metode pengembangan aplikasi game yang digunakan adalah Software Development Life Cycle (SDLC)
Water Fall dimulai dari analisis, perancangan, pembuatan, pengujian dan pemeliharaan.

Analisis

Perancangan

Pembuatan

Pengujian

Pemeliharaan

Gambar 1. Metode Software Development Life Cycle (SDLC) Water Fall dalam pengembangan aplikasi Virtual
museum Sangiran

 Tahap Analisis
Analisis dilakukan melalui observasi langsung ke Museum Sangiran yang beralamat di Sangiran, Kalijambe Kabupaten
Sragen. Dalam observasi telah ditentukan bahwa untuk pengalaman eksplorasi museum lebih dimungkinkan pada ruang pamer
ketiga, hal tersebut dikarena ruang pamer tiga lebih luas seperti ruangan hall sehingga pengunjung hanya dapat menikmati dari
jarak jauh objek pamer. Melalui virtual museum ini pengunjung dapat lebih detail lagi dalam mengeksplorasi objek pamer.

 Tahap Perancangan
Dalam tahap ini aplikasi virtual museum disajikan melalui aplikasi android .APK yang kemudian diinstal pada
perangkat smartphone yang dilengkapi sensor gyroscop dan sebagai kontrol button digunakan gamepad bluethooth untuk
berinteraksi dalam mengeksplorasi ruang virtual museum. Pemanfaatan sensor gyro dalam penentuan arah orientasi dapat
digunakan sebagai penentu posisi kamera dalam sebuah simulasi 3 Dimensi, dengan begitu dalam perancangan aplikasi dapat
juga diimplementasikan sebagai alat melakukan interaksi pada Virtual Reality Ruang Pamer 3 Museum Sangiran.
Kebutuhan bahan hardware yang digunakan dalam pembuatan aplikasi virtual museum adalah komputer
dengan processor core i3 2,1 GHz, RAM 6 GB, VR BOX Case, dan gamepad bluethooth. Sedangkan perangkat
lunak yang dibutuhkan adalah Unity 3D dan 3D Studio max untuk membuat modeling.
Perangkat yang dibutuhkann untuk pengujian aplikasi dengan spesifikasi pada Tabel 1.

Tabel 1. Spesifikasi perangkat untuk pengujian aplikasi virtual museum


No Nama Perangkat Spesifikasi
1 Smartfreen Andromax G Prosesor : Dual-core 1.2 GHz, GPU : Adreno 203, 512 MB RAM
2 Xiaomi Redmi 2 Prosesor : Quad-core 1.2 GHz Cortex-A53, GPU : Adreno 306, 2 GB RAM
3 Asus Zenfone 2 Prosesor : Quad-core 1.8 GHz, GPU : PowerVR G6430, 2 GB RAM
ZE551ML
4 Xiaomi Note 2 Prosesor : Octa-core 2.0 GHz Cortex-A53, GPU : PowerVR G6200,
2 GB RAM

 Tahap Pembuatan

409
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Aplikasi virtual museum Sangiran dibuat dengan storyboard aplikasi yang ditunjukkan pada gambar berikut
di bawah ini.

Gambar 2. Tampilan spalsh screen awal Gambar 3. Tampilan menu utama aplikasi

Gambar 4. Tampilan menu petunjuk penggunaan Gambar 5. Tampilan menu info aplikasi

Gambar 6. Tampilan stereoskopis 360o ruang 3 Gambar 7. Tampilan stereoskopis 360o objek pamer

Aplikasi yang telah dibuat menggunakan Unity 3D selanjutnya diekspor dalam APK dan diujikan pada
perangkat HP dengan dukungan sensor gyroscop supaya interaksi 360o dapat dinikmati pengguna.

 Tahap Pengujian
Tahap pengujian dalam aplikasi virtual museum ini dilakukan melalui pengujian fungsionalitas sistem navigasi,
pengujian aplikasi terhadap perangkat android dengan variasi RAM yang ditentukan, dan pengujian kemanfaatan virtual
museum melalui kuisioner terhadap pengguna. Aspek yang dinilai melalui kuisioner yaitu aspek kebaikan rekonstruksi
objek manusia purba, aspek user interface, aspek kejelasan audio dan aspek penyampaian informasi.

Hasil dan Pembahasan


Hasil pembuatan aplikasi virtual museum Sangiran telah menghasilkan file APK dengan ukuran 54MB.
Selanjutnya aplikasi dipasang pada perangkat android dan untuk melihat stereoskopis 360o objek pamer harus
dengan bantuan oculus VR BOX, yaitu kaca mata untuk melihat aplikasi virtual reality. Dan untuk bereksplorasi
menjelajahi digunakan gamepad bluethooth yang sudah terkoneksi antara perangkat android dan gamepad tersebut.
Illustrasi penggunaan aplikasi virtual museum ditunjukkan pada Gambar 8.

410
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Gambar 8. Hasil implementasi virtual museum dengan dukungan sensor gyroscop dan gamepad bluethooth sehingga
pengguna dapat bereksplorasi

Dalam pengujian fungsional aplikasi dilakukan melalui pengujian tombol tiap menu aplikasi dan apabila
menemui kesalahan untuk selanjutnya diperbaiki. Hasil pengujian button navigasi bahwa button berfungsi normal
dan menyajikan informasi sesuai perancangan. Informasi yang disajikan yaitu informasi rekonstruksi 3D ruang
pamer beserta objek pamer Homo Sapien, Tanduk Kerbau Purba dan dilengkapi informasi audio sebagai penjelasan.
Pengujian terhadap perangkat smartphone juga dilakukan dengan kriteria pengujian padaTabel 2.

Tabel 2. Hasil pengujian aplikasi virtual museum pada perangkat yang berbeda
Navigasi Dapat
Kelancaran Navigasi
menggun dimainkan
Nama Dapat saat menggun
No Spesifikasi akan dengan Keterangan
Perangkat dijalankan dijalankan akan
sensor kacamata
(1-5) kontroller
gyro VR BOX
1 Smartfreen Prosesor : v 2 v x v Aplikasi dapat dipasang
Andromax G Dual-core dan dijalankan namun
1.2 GHz karena kapasitas RAM dan
GPU : Prosesor yang kecil maka
Adreno 203 aplikasi sangat berat ketika
dijalankan dan juga
512 MB ketidakhadiran sensor
RAM gyroskope dalam
smartphone ini
menjadikannya tidak dapat
menggunakan navigasi.
2 Xiaomi Prosesor : v 4 v v v Aplikasi dapat dipasang
Redmi 2 Quad-core dan dijalankan untuk
1.2 GHz digunakan pada aplikasi
Cortex-A53 virtual reality.
GPU :
Adreno 306
2 GB RAM
3 Asus Prosesor : v 5 v v v Aplikasi dapat dipasang
Zenfone 2 Quad-core dan dijalankan pada
ZE551ML 1.8 GHz perangkat ini keunggulan
GPU : ada pada prosesor yang
PowerVR lebih high dari pengujian
G6430 sebelumnya
2 GB RAM
4 Xiaomi Note Prosesor : v 5 v v v Aplikasi dapat dipasang
2 Octa-core dan dijalankan pada
2.0 GHz perangkat ini.kelancaran

411
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Cortex-A53 aplikasi pada perangkat ini


GPU : pun juga sangat baik.
PowerVR
G6200
2 GB RAM

Berdasarkan Tabel 2, dapat dilakukan analisis bahwa aplikasi virtual museum yang telah dibangun untuk
android OS dapat berjalan apabila terdapat dukungan sensor gyroscop dan bantuan navigasi gamepad bluethooth.
Semakin besar processor, memori RAM dan GPU aplikasi semakin lancar dijalankan dan sebaliknya.
Pengujian kemanfaatan aplikasi juga telah dilakukan melalui penyebaran kuisioner terhadap pengguna
dengan sample 10 responden. Hasil kuisioner dirangkum pada Gambar 9.

Gambar 9. Grafik hasil kuisioner uji kemanfaatan aplikasi terhadap responden

Hasil kuisioner berdasar Gambar 9 menyebutkan bahwa aspek kebaikan rekonstruksi objek manusia purba
bernilai baik dan sangat baik sejumlah 60%, aspek user interface aplikasi virtual museum Sangiran bernilai baik dan
sangat baik sejumlah 80%, aspek kejelasan audio dalam aplikasi bernilai baik dan sangat baik sejumlah 70% dan
aspek penyampaian informasi melalui aplikasi VR museum bernilai baik dan sangat baik sejumlah 60%. Hasil
tersebut menyatakan walaupun rekonstruksi objek 3D manusia purba belum maksimal diwujudkan akan tetapi peran
audio dubbing dalam menjelaskan sejarah manusia purba dapat dijadikan sebagai nilai lebih dalam pengemasan
aplikasi virtual museum tersebut.

Kesimpulan
Hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa aplikasi virtual museum telah berhasil dibuat, studi kasus
dalam penelitian ini adalah ruang pamer 3 Museum Sangiran yang menyajikan informasi sejarah manusia purba
Homo Sapien. Pengalaman pengguna dalam mengeksplorasi aplikasi virtual museum dapat dilakukan dengan
kontrol gamepad dan menghasilkan nilai yang dominan baik dan sangat baik dalam penyampaian informasi.
Aplikasi ini minimal dapat berjalan pada perangkat android dengan spesifikasi processor dualcore 1,2 GHz, 512
MB RAM dan dukungan sensor gyroskop.

Daftar Pustaka
A. Adamo, P.A. Bertacchini, E. Bilotta, P. Pantano & Tavernise A. "Connecting Art And Science For Education:
Learning by an Advanced Virtual Theatre with 'Talking Heads"". Leonardo, 43(5),442-448,2010.
John McCaffery, Alan Miller, Anna Vermehren t, Adeola Fabola, "The Virtual Museums of Caen: A case study on
modes of representation of digital historical content. ", IEEE Digital Heritage, 2015
L. Gomes, O. R. Pereira Bellon, L. Silva. "3D reconstruction methods for digital preservation of cultural heritage:
A survey", Pattern Recognition Letters, 50, 3-14, 2014.
M. Mortara, C. E. Catalano, F. Bellotti, G. Fiucci, M. HouryPanchetti, P. Petridis. "Learning cultural heritage by
serious games", Journal of Cultural Heritage, 15,318-325,2014.

412
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Matlin M., “Cognition”, Holboken, NJ, John Wiley & Sons, Inc., 2009.
N. Rodrigues, L. Magalhaes, J. Moura, A. Chalmers. "Digital Applications in Archaeology and Cultural Heritage"
1, 92-102. 2014.
R. Stone, T. Ojika. "Virtual Heritage: What Next?" IEEE Multimedia, 73-74, 2002
Simona Giglio, Lorella Gabriele, Assunta Tavemise, Pietro Pantano, Eleonora Bilotta, Francesca Bertacchini,
"Virtual museums and Calabrian Cultural Heritage: projects and challenges ", IEEE Digital Heritage, 2015

413
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

KONSEP MEMBANGUN APLIKASI MULTIPLATFORM


DENGAN OPTIMALISASI PENGGUNAAN VIEW, FUNCTION DAN
TRIGGER PADA RDBMS POSTGRESQL

Joko Triyono
Jurusan Teknik Informatika, Fakultas Teknologi Industri,
Institut Sains & Teknologi AKPRIND Yogyakarta
Jl. Kalisahak No.28, Komplek Balapan Yogyakarta, 55222
E-mail: zainjack@gmail.com

Abstrak

Perkembangan Teknologi informasi mengalami lompatan yang luar biasa dasawarsa ini, dengan
semakin pesat perkembangan bahasa pemrograman, database serta sistem operasi menyebabkan ada
ketimpangan dalam implementasi di dunia nyata. Beberapa sistem informasi yang telah di bangun
akan menjadi sangat ketinggalan ketika teknologi yang baru muncul, kadangkala model algoritma
yang ada juga berbeda sehingga perlu di lakukan penyesuaian agar sistem bisa kompatibel, belum
lagi dengan perkembangan device dan software yang luar biasa cepatnya. RDBMS saat ini sangat
terbuka dan bisa di akses oleh software aplikasi apapun sehingga perlu di lakukan standarisasi dalam
transaksi dan view agar sesuai dengan aturan bisnis. Optimalisasi dalam penelitian ini dilakukan
dengan membebankan semaksimal mungkin algoritma transaksi di lakukan di sisi RDBMS, sehingga
aplikasi akan melakukan seminimal mungkin perintah SQL, dengan mengkombinasikan penggunaan
view, function dan trigger secara tepat. Dengan metode ini akan memudahkan bagi pengembang
aplikasi, karena algoritma telah dilakukan di sisi rdbms, sehingga menggunakan software apapun
akan didapatkan algoritma yang sama.

Kata Kunci : algoritma; aplikasi; database; multiplatform; optimalisasi

Pendahuluan
Sistem informasi menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam semua sisi kehidupan saat ini, dengan sistem
informasi yang tepat maka bisa diwujudkan efektifitas kerja yang lebih baik. Tidak terjadinya duplikasi-duplikasi
informasi dan menjadi lebih terstruktur dan tertata dalam penyajian informasi kepada khalayak dengan media view
yang berbeda-beda baik itu berbasis web, smartphone maupun device yang lain. Hampir di semua sektor kegiatan,
sistem informasi menjadi tolok ukur dalam menilai atau mengukur efektifitas kerja.
Dengan kondisi seperti saat ini, kekuatan sistem informasi sangat menentukan, sistem informasi yang baik
pasti akan di dukung oleh sebuah atau lebih database yang baik. Dimana database merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari keberadaan sistem informasi. Perubahan-perubahan teknologi dalam pemrogaman akan
menyebabkan sering berpindahnya atau digantikannya sistem informasi ke sistem informasi yang lebih baru yang
tentunya juga akan berpengaruh terhadap keberadaan database yang mendukung sistem informasi. Teknologi
database tidak secepat perkembangan teknologi sistem informasi, tetapi database yang baik akan selalu support
terhadap perubahan teknologi sistem informasi dengan menerapkan teknik-teknik tertentu.
Dalam penelitian ini akan di paparkan optimalisasi dengan membebankan semaksimal mungkin algoritma
transaksi di lakukan di sisi RDBMS, sehingga aplikasi akan melakukan seminimal mungkin perintah SQL.
Penggunaan view, function dan trigger diharapkan akan memudahkan bagi pengembang aplikasi, karena algoritma
telah dilakukan di sisi rdbms, sehingga menggunakan software apapun akan didapatkan algoritma yang sama.

Metode Penelitian
Tulisan ini dilakukan dalam skala laboratorium di Laboratorium Jaringan dan Internet Institut Sains dan
Teknologi AKPRIND Yogyakarta, model atau model yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebuah database
pembelian dari sebuah toko, dimana toko ini melakukan pembelian produk untuk menambah stok dari beberapa
pemasok dan menjual produk ke pelanggan secara langsung, sistem informasi digunakan sebagai interface dari para
pemegang kendali baik itu bagian penjualan, bagian pembelian maupun manager.

414
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Kebutuhan Sistem
Bahan dan alat yang dibutuhkan untuk penelitian ini meliputi hardware dan software, diantaranya yaitu:
 Hardware, laptop Lenovo dengan spesifikasi Intel® Core™ i5-5200U CPU @ 2.20GHz × 4 Ram 7,7 GiB 64bit
Hardisk 500GB.
 Software Sistem operasi Ubuntu 16.04 LTS.
 Software Web Server, PHP
 Database PostgreSQL 9.5.4

Metode Pengumpulan Data


Metode yang digunakan dalam pengumpulan data pada penelitian ini terdiri dari beberapa metode, yaitu:
Metode Observasi, Metode observasi ini digunakan untuk pengumpulan data dengan pengamatan secara langsung
maupun tidak langsung terhadap obyek yang diteliti.
Metode Studi Kepustakaan, Metode studi kepustakaan merupakan sebuah cara dalam pengumpulan data dengan
mempelajari bahan pustaka baik berupa dokumen tertulis ataupun berupa gambar dengan membandingkan beberapa
referensi.
Metode Eksperimen, Metode ini digunakan dengan mengadakan uji coba dan simulasi yang telah dibuat
menggunakan RDBMS PostgreSQL, menguji secara langsung melalui terminal (SQL Manipulation) maupun
menggunakan aplikasi berbasis web menggunakan PHP.

Perancangan Sistem
Peraturan Bisnis
Peraturan bisnis pada obyek penelitian adalah bahwa semua transaksi baik itu penjualan mupun pembelian
barang harus dilakukan di RDBMS dan menggunakan aturan dasar hanya menjual barang yang ada di stok
sedangkan untuk pembelian, maka bisa dilakukan penambahan produk jika pada saat dilakukan pembelian tidak
diketemukan produk tersebut. Transaksi dilakukan secara langsung terhadap tabel paling bawah dan sinkronisasi
terhadap tabel-tabel yang terkait digunakan function dan trigger. Penampilan data atau select digunakan view
sehingga data yang diperoleh dari beberapa tabel harus sudah di olah menjadi sebuah view.
Desain Sistem
Berdasarkan peraturan bisnis yang telah dijelaskan, maka dalam tulisan ini di implementasikan dalam sebuah
gambar design seperti yang di tunjukkan pada gambar 2.
Dalam penelitian ini akan di bangun:
 Database dan tabel-tabel yang digunakan
 Penentuan relational databases
 Pembuatan view
 Pembuatan function dan procedure
 Pembuatan trigger untuk transaksi pembelian dan penjualan

Sequence Diagram
Sequence Diagram digunakan untuk lebih menjelaskan proses-proses yang terjadi pada transaksi sistem.
Sequence Diagram proses pembelian barang meliputi proses penambahan, pengubahan dan penghapusan pembelian
seperti pada gambar 1.

Gambar 1 Sequence Diagram Pembelian


Aktivitas yang terjadi pada gambaran sequence diagram pembelian bisa dijelaskan sebagai berikut:
Transaksaksi Pembelian
1. Aktor melakukan transaksi di User Interface (UI), dengan mengirimkan ke proses beli berupa tgl, kode pemasok,
qty, jumlah, harga dan kode barang

415
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

2. Pada proses beli, di masukkan ke tabel berupa tgl, kode pemasok dan di dapatkan id beli, id beli diteruskan ke
proses dbeli bersama qty, jumlah, harga dan kode barang.
3. Pada proses dbeli akan dilakukan transaksi ke table dbeli, setelah di lakukan transaksi dbeli maka akan
diteruskan ke trigger after insert
4. Proses Trigger After Insert, pada proses ini akan dilakukan update tabel beli berdasarkan new.idbeli terhadap qty
dan jumlah.
Transaksi Update Pembelian
1. Aktor melakukan transaksi di User Interface (UI), dengan mengirimkan ke proses dbeli berupa idbeli, qty,
jumlah, harga dan kode barang
2. Pada proses dbeli akan dilakukan transaksi update ke table dbeli, setelah di lakukan transaksi dbeli maka akan
diteruskan ke trigger after Update
3. Proses Trigger After Update, pada proses ini akan dilakukan update tabel beli berdasarkan new.idbeli terhadap
qty dan jumlah dengan cara data yang ada di tabel beli di kurangi dengan data lama yang diupdate di tabel dbeli
lalu dilanjutkan dengan update dengan data baru.
Transaksi Delete Pembelian
1. Aktor melakukan transaksi di User Interface (UI), dengan mengirimkan ke proses dbeli berupa idbeli, dan kode
barang
2. Pada proses dbeli akan dilakukan transaksi delete ke table dbeli, sebelum di lakukan transaksi dbeli maka akan
diteruskan ke trigger Before Deleted
3. Proses Trigger Before Delete, pada proses ini akan dilakukan update tabel beli berdasarkan idbeli terhadap qty
dan jumlah dengan cara : data yang ada di tabel beli di kurangi dengan data lama yang didelete di dbeli.

Perancangan Database
Perancangan Tabel
Tabel-tabel yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 4 buah tabel yang saling berelasi, berikut tabel-
tabel yang digunakan.
Tabel Supplier
Tabel ini untuk menampung data-data supplier yang menjadi pemasok di toko dengan primary key kodes.
Table "public.supplier"
Column | Type | Modifiers
----------------+-----------------------+-----------
kodes | character varying(5) | not null
nama | character varying(50) |
alamat | character varying(50) |
totaltransaksi | numeric | default 0
Indexes:
"supplier_pkey" PRIMARY KEY, btree (kodes)
Referenced by:
TABLE "beli" CONSTRAINT "beli_kodes_fkey" FOREIGN KEY (kodes) REFERENCES supplier(kodes)

Tabel Produk
Tabel ini untuk menampung data-data produk yang dijual dengan sebuah primary key kode.
Table "public.produk"
Column | Type | Modifiers
------------+-----------------------+-----------
kode | character varying(5) | not null
nama | character varying(50) |
satuan | character varying(15) |
hargajual | numeric | default 0
jual | integer | default 0
beli | integer | default 0
stokonhand | integer | default 0
Indexes:
"produk_pkey" PRIMARY KEY, btree (kode)
Referenced by:
TABLE "dbeli" CONSTRAINT "dbeli_kode_fkey" FOREIGN KEY (kode) REFERENCES produk(kode)
Tabel Beli
Table Beli menampung data induk pembelian dengan id serial sebagai primary key dan memiliki foreign key
kodes yang bereferensi ke tabel supplier.

Table "public.beli"
Column | Type | Modifiers
--------+----------------------+---------------------------------------------------
id | integer | not null default nextval('beli_id_seq'::regclass)
tgl | date |
qty | integer | default 0

416
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

jumlah | numeric | default 0


kodes | character varying(5) |
Indexes:
"beli_pkey" PRIMARY KEY, btree (id)
Foreign-key constraints:
"beli_kodes_fkey" FOREIGN KEY (kodes) REFERENCES supplier(kodes)
Referenced by:
TABLE "dbeli" CONSTRAINT "dbeli_idb_fkey" FOREIGN KEY (idb) REFERENCES beli(id)

Tabel dBeli
Tabel dBeli menampung data detail pembelian dengan id serial sebagai primary key dan memiliki foreign
key kode yang mereferensi ke tabel produk serta foreign key idb yang mereferensi ke tabel beli.
Table "public.dbeli"
Column | Type | Modifiers
--------+----------------------+----------------------------------------------------
id | integer | not null default nextval('dbeli_id_seq'::regclass)
qty | integer | default 0
harsat | numeric | default 0
kode | character varying(5) |
idb | integer |
Indexes:
"dbeli_pkey" PRIMARY KEY, btree (id)
Foreign-key constraints:
"dbeli_idb_fkey" FOREIGN KEY (idb) REFERENCES beli(id)
"dbeli_kode_fkey" FOREIGN KEY (kode) REFERENCES produk(kode)
Triggers:
tr_beli_detail AFTER INSERT OR DELETE OR UPDATE ON dbeli FOR EACH ROW EXECUTE PROCEDURE
f_beli_detail()

Perancangan Diagram Relational


Rancangan ini untuk menjelaskan hubungan antar tabel yang terdapat dalam sistem toko. Gambar 2 menjelaskan
tentang diagram relasional database.

Gambar 2. Relational Database


Perancangan VIEW
View digunakan untuk mengurangi akses UI ke tabel secara langsung, sehingga algoritma dari relasi antar
tabel yang cukup panjang akan di sederhanakan oleh view.
View vbeli, view ini digunakan untuk menampilkan data suplier, produk dan kapan terjadi pembelian yang di
dapatkan dari tabel supplier, produk, beli dan dbeli.

create view vbeli as


select supplier.kodes,supplier.nama as namapemasok,produk.kode,produk.nama, beli.tgl,
dbeli.harsat,dbeli.qty
from supplier, produk, beli, dbeli
where supplier.kodes=beli.kodes and dbeli.kode=produk.kode and beli.id=dbeli.idb;

View vtotalbelipertgl, view ini digunakan untuk menampilkan data rangkuman pembelian per tanggal yang
didapat dari group sum tabel beli.
create view vtotalbelipertgl as
select tgl,sum(jumlah) as total from beli group by tgl order by tgl;

417
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Perancangan Trigger Pembelian


Untuk merancang trigger pembelian harus di buat function dulu seperti berikut ini. Pada function
f_beli_detail terbagi menjadi 3 keadaan yaitu INSERT, UPDATE dan DELETE yang di handle oleh TG_OP. Pada
saat INSERT, maka proses yang di lakukan adalah update tabel beli dan update produk.
sedangkan pada saat UPDATE maka proses yang dilakukan ada dua yaitu mengurangi data di tabel beli dengan data
lama lalu mengupdate data di tabel beli dengan data yang baru saja di update, berikutnya mengurangi data di tabel
produk dengan data lama dan mengupdate data di tabel produk dengan data yang baru saja di update.
sedangkan pada saat DELETE maka dilakukan update pada tabel beli dan tabel produk dengan data yang akan di
deleted.

CREATE OR REPLACE FUNCTION f_beli_detail()


RETURNS trigger AS
$$
BEGIN
IF TG_OP = 'INSERT' THEN
update beli set jumlah = jumlah + (NEW.qty * NEW.harsat), qty = qty + New.qty
where id = NEW.idb;
update produk set beli = beli + NEW.qty, stokonhand = stokonhand + NEW.qty
where kode = NEW.kode;
RETURN NEW;
END IF;
IF TG_OP = 'UPDATE' THEN
update beli set jumlah = jumlah - (OLD.qty * OLD.harsat),
qty = qty - OLD.qty where id = OLD.idb;
update beli set jumlah = jumlah + (NEW.qty * NEW.harsat),
qty = qty + New.qty where id = OLD.idb;
update produk set beli = beli - OLD.qty, stokonhand = stokonhand - OLD.qty
where kode = OLD.kode;
update produk set beli = beli + NEW.qty, stokonhand = stokonhand + NEW.qty
where kode = OLD.kode;
RETURN NEW;
END IF;
IF TG_OP = 'DELETE' THEN
update beli set jumlah = jumlah - (OLD.qty * OLD.harsat),
qty = qty - OLD.qty where id = OLD.idb;
update produk set beli = beli - OLD.qty, stokonhand = stokonhand - OLD.qty
where kode = OLD.kode;
RETURN OLD;
END IF;
END;
$$
language plpgsql ;

Setelah function terbentuk, maka trigger baru di buat

CREATE TRIGGER tr_beli_detail AFTER INSERT OR UPDATE OR DELETE ON dbeli FOR EACH ROW
EXECUTE PROCEDURE f_beli_detail();

Hasil dan Pembahasan


Sistem database yang telah diimplementasikan di RDBMS baik itu tabel, refference antar tabel, view dan
trigger serta function perlu diuji coba untuk mengetahui validasi dari fungsi-fungsi yang telah di rencanakan.
Pengujian di lakukan melalui UI terminal psql, dan membandingkan dengan cara tanpa view, trigger dan function.

Pengujian View
View vbeli, setelah di eksekusi dengan perintah select, maka akan di dapatkan list hasil select.
toko=# select * from vbeli;
kodes | namapemasok | kode | nama | tgl | harsat | qty
-------+-------------+------+--------------------+------------+--------+-----
s01 | Bejo | 001 | Jahe Merah Kering | 2016-10-01 | 20000 | 1
s02 | Budiman | 002 | Jahe Merah Basah | 2016-10-01 | 15000 | 1
s03 | Anwar | 003 | Jahe Emprit Basah | 2016-10-10 | 10000 | 10
s04 | Irsyad | 003 | Jahe Emprit Basah | 2016-10-10 | 10000 | 10
s04 | Irsyad | 005 | Jahe Emprit Kering | 2016-10-10 | 10000 | 5
s04 | Irsyad | 005 | Jahe Emprit Kering | 2016-10-10 | 10000 | 2
s01 | Bejo | 002 | Jahe Merah Basah | 2016-10-01 | 21000 | 10
s01 | Bejo | 002 | Jahe Merah Basah | 2016-10-01 | 21000 | 10
(8 rows)

418
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Akan menghasilkan output yang sama jika dibandingkan dengan perintah langsung yang cukup panjang dan
komplek.

toko=# select supplier.kodes,supplier.nama as


namapemasok,produk.kode,produk.nama,beli.tgl,dbeli.harsat,dbeli.qty
from supplier, produk, beli, dbeli
where supplier.kodes=beli.kodes and dbeli.kode=produk.kode and beli.id=dbeli.idb;

kodes | namapemasok | kode | nama | tgl | harsat | qty


-------+-------------+------+--------------------+------------+--------+-----
s01 | Bejo | 001 | Jahe Merah Kering | 2016-10-01 | 20000 | 1
s02 | Budiman | 002 | Jahe Merah Basah | 2016-10-01 | 15000 | 1
s03 | Anwar | 003 | Jahe Emprit Basah | 2016-10-10 | 10000 | 10
s04 | Irsyad | 003 | Jahe Emprit Basah | 2016-10-10 | 10000 | 10
s04 | Irsyad | 005 | Jahe Emprit Kering | 2016-10-10 | 10000 | 5
s04 | Irsyad | 005 | Jahe Emprit Kering | 2016-10-10 | 10000 | 2
s01 | Bejo | 002 | Jahe Merah Basah | 2016-10-01 | 21000 | 10
s01 | Bejo | 002 | Jahe Merah Basah | 2016-10-01 | 21000 | 10
(8 rows)

Dengan menerapkan view vbeli, perintah SQL yang semula cukup panjang bisa di gantikan dengan perintah yang
singkat dengan memanggil nama view yang di buat.. Dengan demikian proses select data bisa dilakukan dengan
cukup memanggil nama view.

create view vbeli as


select supplier.kodes,supplier.nama as
namapemasok,produk.kode,produk.nama,beli.tgl,dbeli.harsat,dbeli.qty
from supplier, produk, beli, dbeli
where supplier.kodes=beli.kodes and dbeli.kode=produk.kode and beli.id=dbeli.idb;

View vtotalbelipertgl, View ini digunakan setelah di eksekusi dengan perintah select, maka akan di dapatkan list
hasil select berupa jumlah pembelian pertanggal.

toko=# Select * from vtotalbelipertgl;


tgl | total
------------+--------
2016-10-01 | 455000
2016-10-10 | 270000
(2 rows)

Akan menghasilkan output yang sama jika dibandingkan dengan perintah langsung yang cukup panjang dan
komplek.
toko=# select tgl,sum(jumlah) as total from beli group by tgl order by tgl;
tgl | total
------------+--------
2016-10-01 | 455000
2016-10-10 | 270000
(2 rows)

Dengan menerapkan view vtotalbelipertgl, perintah SQL yang semula cukup panjang bisa di gantikan dengan
perintah yang singkat dengan memanggil nama view yang di buat.. Dengan demikian proses select data bisa
dilakukan dengan cukup memanggil nama view.

create view vtotalbelipertgl as


select tgl,sum(jumlah) as total from beli group by tgl order by tgl;

Pengujian Trigger
Dalam pengujian trigger ini, akan diuji dari INSERT, UPDATE dan DELETE. Akan diuji pada produk
dengan kode ‘002’ dengan melakukan penambahan pembelian di untuk kode tersebut dengan beli.id = 2.
toko=# select * from produk;
kode | nama | satuan | hargajual | jual | beli | stokonhand
------+--------------------+--------+-----------+------+------+------------
...
005 | Jahe Emprit Kering | kg | 0 | 0 | 7 | 7
002 | Jahe Merah Basah | kg | 0 | 0 | 21 | 21 <-- Obyek
(4 rows)

toko=# select * from beli;


id | tgl | qty | jumlah | kodes

419
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

----+------------+-----+--------+-------
2 | 2016-10-01 | 1 | 15000 | s02 <-- obyek
4 | 2016-10-10 | 3 | 170000 | s04
...
(4 rows)

toko=# select * from dbeli;


id | qty | harsat | kode | idb
----+-----+--------+------+-----
1 | 1 | 20000 | 001 | 1
...
8 | 10 | 21000 | 002 | 1
9 | 10 | 21000 | 002 | 1
(8 rows)

Perintah SQL
toko=# insert into dbeli(qty,harsat,kode,idb) values(5,15000,'002',2);
INSERT 0 1

Hasil setelah terjadi INSERT


Setelah di lakukan perintah INSERT pada table dbeli, maka terlihat pada tabel produk akan bertambah dari
21 menjadi 26 (bertambah 5), pada tabel beli untuk beli.id=2 qty menjadi 6 setelah terjadi penambahan 5 dan di
tabel dbeli terjadi penambahan record pada id=10.
Dari percobaan ini terbukti bahwa trigger berjalan sempurna.
toko=# select * from produk;
kode | nama | satuan | hargajual | jual | beli | stokonhand
------+--------------------+--------+-----------+------+------+------------
...
005 | Jahe Emprit Kering | kg | 0 | 0 | 7 | 7
002 | Jahe Merah Basah | kg | 0 | 0 | 26 | 26 <-- obyek
(4 rows)

toko=# select * from beli;


id | tgl | qty | jumlah | kodes
----+------------+-----+--------+-------
...
1 | 2016-10-01 | 21 | 440000 | s01
2 | 2016-10-01 | 6 | 90000 | s02 <-- obyek
(4 rows)

toko=# select * from dbeli;


id | qty | harsat | kode | idb
----+-----+--------+------+-----
1 | 1 | 20000 | 001 | 1
...
8 | 10 | 21000 | 002 | 1
9 | 10 | 21000 | 002 | 1
10 | 5 | 15000 | 002 | 2 <-- obyek
(9 rows)

Pengujian Update
Dengan menggunakan data dan obyek yang sama diatas, akan dilakukan update data pembelian untuk
dbeli.id=10 qty dari 5 menjadi 10. Dari hasil pengujian terlihat bahwa beli.id2 qty = 11, produk.beli = 31

toko=# update dbeli set qty=10 where id=10;


UPDATE 1
toko=# select * from dbeli;
id | qty | harsat | kode | idb
----+-----+--------+------+-----
1 | 1 | 20000 | 001 | 1
...
8 | 10 | 21000 | 002 | 1
9 | 10 | 21000 | 002 | 1
10 | 10 | 15000 | 002 | 2 <-- obyek
(9 rows)

toko=# select * from beli;


id | tgl | qty | jumlah | kodes
----+------------+-----+--------+-------
...
1 | 2016-10-01 | 21 | 440000 | s01

420
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

2 | 2016-10-01 | 11 | 165000 | s02 <-- obyek


(4 rows)

toko=# select * from produk;


kode | nama | satuan | hargajual | jual | beli | stokonhand
------+--------------------+--------+-----------+------+------+------------
...
005 | Jahe Emprit Kering | kg | 0 | 0 | 7 | 7
002 | Jahe Merah Basah | kg | 0 | 0 | 31 | 31 <-- obyek
(4 rows)

Pengujian Delete
Dengan menggunakan data dan obyek yang sama diatas, akan dilakukan delete data pembelian untuk
dbeli.id=10. Setelah dilakukan delete maka record di dbeli dengan id=10 sudah tidak ada, beli.id=2 qty menjadi 1
dan produk.kode=002 beli menjadi 21.
toko=# delete from dbeli where id=10;
DELETE 1
toko=# select * from dbeli;
id | qty | harsat | kode | idb
----+-----+--------+------+-----
1 | 1 | 20000 | 001 | 1
...
8 | 10 | 21000 | 002 | 1
9 | 10 | 21000 | 002 | 1
(8 rows)

toko=# select * from beli;


id | tgl | qty | jumlah | kodes
----+------------+-----+--------+-------
...
1 | 2016-10-01 | 21 | 440000 | s01
2 | 2016-10-01 | 1 | 15000 | s02 <--obyek
(4 rows)

toko=# select * from produk;


kode | nama | satuan | hargajual | jual | beli | stokonhand
------+--------------------+--------+-----------+------+------+------------
...
005 | Jahe Emprit Kering | kg | 0 | 0 | 7 | 7
002 | Jahe Merah Basah | kg | 0 | 0 | 21 | 21 <--obyek
(4 rows)

Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa, dengan melakukan optimalisasi
database akan memungkinkan para pengembang sistem informasi tidak terlalu direpotkan dengan algoritma SQL,
karena banyak pekerjaan yang bisa di bebankan ke RDBMS, baik itu untuk transaksional maupun untuk view.
Dengan metode ini, apapun bahasa pemrograman yang digunakan tetap akan mengakses SQL yang sangat
sederhana, sehingga akan memudahkan dalam pengembangan sistem informasi dan tetap akan mendapatkan
algoritma database yang sama.
Saran untuk memperbaiki penelitian ini adalah seberapa besar beban yang di tanggung oleh server RDBMS
jika beban transaksional dan view di letakkan di RDBMS, dari sisi keamanan transaksi juga perlu di lakukan kajian
khusus.

Daftar Pustaka
Triyono, J, Fatkhiyah, E, (2014), "Penggunaan Jejaring Sosial Twitter untuk Mengelola Stok Simplisia di Assosiasi
Biofarmaka As-Syifa Farma Tempuran Kecamatan Tempuran Kabupaten Magelang" Jurnal Generic, Vol.
9 (2) pp. 356-370.
Triyono, J. (2010), “Pelayanan KRS on-line Berbasis SMS” Jurnal Teknologi, Vol.3 No 1 pp. 33-38
Utami,E, Rahardjo, S (2006),” RDBMS dengan PostgeSQL di GNU/Linux” Andi Yogyakarta

421
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

PENDETEKSI BEBAN ASIMETRI MENGGUNAKAN


APLIKASI ANDROID

Julianus Gesuri Daud 1, Benny A.P. Loegimin 2, Janviver Luase3


1,2,3
Jurusan Teknik Elektro, Politeknik Negeri Manado
Jl. Raya Politeknik Ds. Buha Manado PO BOX 1256 Telp (0431) 815212, 815217
Email: nus_its@yahoo.com

Abstrak

Konsekuensi dari pertumbuhan beban listrik yang meningkat dari tahun ke tahun menimbulkan
permasalahan tersendiri karena penambahan beban listrik oleh konsumen seringdilakukan dengan
sambungan langsung pada jaringan distribusi tegangan rendah 220 Volt milik PLN secara tak
terencana sehingga dapat menyebabkan ketidakmerataan pembebanan untuk masing-masing fasa R, S
dan T. Keadaan ini juga menyebabkan adanya arus yang besar pada kawat netral yang mengalir
menuju ke transformator daya. Kondisi ini bila di biarkan terus menerus akan dapat menyebabkan
suhu pada trafo menjadi naik dan bertambah panas mengakibatkan trafo bisa meledak sehingga
penyaluran energy listrik ke masyarakat pengguna energy listrik menjadi terhenti. Alat yang
dirancang ini akan mendeteksi perubahan yang terjadi. Setiap penambahan beban di masing-masing
fasa R, S dan T akan di monitor kemudian besaran arus netral yang muncul akan di informasikan ke
Operator melalui aplikasi android.

Kata kunci: arus netral; beban asimetri; losses; transformator distribusi

Pendahuluan
Pertambahan jumlah penduduk menyebabkan peningkatan di berbagai sektor terutama di bidang
ketenagalistrikan yang mengalami kemajuan pesat. Titik akhir suplai tenaga listrik berada di bagian distribusi.
Seperti di Negara berkembang lainnya di Indonesia juga kebanyakan menggunakan pola sambungan konfigurasi
dengan system radial. Di mana pada system ini mengacu kepada prinsip sebatang pohon yakni terdiri dari batang
sebagai pusat listrik kemudian ke cabang, ranting dan daun.Energi listrik yang di catu pelanggan kebanyakan di
ambil di sisi ranting. Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan mengenai adanya gangguan ketidakseimbangan
yang terjadi pada sistem tenaga listrik menurut klasifikasi tegangan mulai dari level distribusi dengan tegangan 415
Volt sampai dengan level transmisi 400 kV menunjukkan bahwa prosentase terbesar berada pada sistem distribusi
dengan tegangan 25 kV ke bawah.Permasalahan penambahan beban listrik oleh konsumen dengan melakukan
sambungan langsung pada jaringan distribusi tegangan rendah 220 Volt milik PLN yang dilakukan secara tak
terencana dapat menyebabkan ketidakmerataan pembebanan untuk masing-masing phasa R, S dan T. Kondisi ini
akan mengakibatkan dampakburuk pada kualitas daya system energy yang dihasilkan karena dalam hubungan
bintang maka akan menimbulkan nilai arus yang besar pada kawat netral dan arus tersebut akan mengalir dari beban
menuju ke transformator daya pada sisi tegangan menengah 20 kV. Keadaan ini tidak bisa dibiarkan karena arus
netral tersebut cenderung menyebabkan pemanasan yang bila dibiarkan terus menerus suhu akan naik dan trafo akan
meledak.

Losses Distribusi
Losses distribusi diakibatkan karena pendistribusian beban yang tidak merata. Hal ini dapat terjadi karena
dalam kenyataan di lapangan, kebanyakan sambungan listrik ke konsumen tidak memperhatikan kondisi
pembebanan di masing-masing penyulangsehingga semakin memperbesar losses pada saluran distribusi. Ketika
gelombang sistem tenaga listrik terganggu akibat kondisi beban tidak seimbang yang memunculkan harmonisa
ketiga makaakanmengakibatkan arus yang dihasilkan akan berbentuk non sinusoidal dan akan mengandung
harmonisa. Dampak yang ditimbulkan oleh distorsi harmonik diantaranya adalah terjadinya pemanasan yang
berlebihan pada peralatan, penurunan faktor daya, masalah resonansi, kesalahan pengukuran dari alat-alat ukur,
fliker dan lain-lain. Distorsi akibat harmonisa sangat berpengaruh buruk pada kualitas daya sistem tenaga listrik
karena menimbulkan bermacam-macam gangguan distribusi sehingga losses perlu dikurangi dan jaringan di tata
ulang agar beban menjadi seimbang. Pengaruh ketidakseimbangan beban juga akan memunculkan arus mengalir
pada kawat netral sehingga menyebabkan suhu trafo mengalami peningkatan dan pada titik tertentu transformator

422
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

distribusi menjadi sangat panas dan meledak. Harmonisa juga membuat arus netral menjadi semakin besar. Data
menunjukkan sebanyak 211 trafo yang rusak. Kerusakan trafo pada saluran distribusi akan membuat konsumen
tidak mendapat suplai energi listrik karena pemadaman dan pada kondisi ini terjadi kwh hilang atau akan menambah
besar nilai KWh tak terjual. Trafo yang rusak di PT PLN Area Tahuna Rayon Siau belum lama ini mendorong
penulis membuat simulasi pembebanan yang kemudian merancang detektor yang terkoneksi dengan Hand phone.

Beban Asimetri
Kebanyakan suplai daya listrik yang ditransmisikan ke konsumen selalu menggunakan transformator dua
belitan yang memiliki hubungan Y – Y seperti ditunjukkan pada gambar 1.

Gambar 1. Suplai jaringan tiga fasa dengan transformator Y – Y

Penguraian tiga fasor arus tak seimbang menjadi komponen simetri ( Gonen, 1986; Stevenson, 1982) dalam bentuk
matriks yaitu
Iabc = A.I012 (1)
I012 = A-1 Iabc (2)
 I a  1 1 1   I a 0 
 I  = 1 a 2 a . I  (3)
 b    a1 
 I c  1 a a   I a 2 
2

Misalkan A adalah
1 1 1
A= 
a 
2 (4)
1 a
1 a a 2 
-1
Sehingga A
1 1 1
A-1 = 1 
a 2 
(5)
1 a
3
1 a a 
2

Bila kedua sisi Persamaan (4) dikalikan dengan A-1 maka


I a0  1 1 1   I a 
 I  = 1 1 a a 2 . I  (6)
 a1  3   b
 I a 2  1 a a   I c 
2

dengan
Ib1 = a2Ia1 Ic1 = a Ia1 (7)
Ib2 = a Ia2 Ic2 = a2Ia2
Ib0 = Ia0 Ic0 = Ia0
Bila persamaan (7) ditulis kembali sebagai persamaan (8), (9) dan (10) :
Ia = Ia1 + Ia2 + Ia0 (8)
Ib = a2Ia1 + a Ia2 + Ia0 (9)
Ic = a Ia1 + a2Ia2 + Ia0 (10)
Sebagaimana uraian terdahulu dalam mendapatkan komponen simetri tegangan urutan nol, positif dan negatif maka
hal yang sama berlaku juga untuk arus sebagai berikut :
I ao = (I a + I b + I c )
1 (11)
3
I = (I + aI + a 2 I )
1 (12)
a1 a b c
3
I a2
1
(
= I a + a 2 I b + aI c
3
) (13)

Pada sistem tiga fasa, jumlah arus-arus yang mengalir di saluran sama dengan arus In. Jadi arus-arus tersebut akan
balik kembali melalui saluran netralnya.
I a + I b + I c = In (14)

423
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Dengan membandingkan persamaan (7) dan persamaan (14), diperoleh


In = 3I a 0 (15)
Dalam kondisi ideal untuk suatu sistem tiga fasa hubungan Υ di mana tidak ada arus yang mengalir pada saluran
netralnya maka In sama dengan nol. Hal ini karena arus-arus salurannya tidak mengandung komponen-komponen
urutan nol. Di banding dengan hubungan delta yang cenderung mencatu beban seimbang maka hubungan bintang
selain menggunakan sistem satu fasa juga tiga fasa sehingga permasalahan paling banyak terjadi di jaringan
distribusi dengan sistem tegangan 220 Volt yang kebanyakan adalah pelanggan rumah tangga.

Arus Netral
Adapun spesifikasi data trafo distribusi yang mengalami gangguan yang di jadikan acuan penelitian ini adalah
sebagai berikut :
Buatan Pabrik : TRAFINDO
Type : Outdoor
Daya : 200 kVA
Tegangan : 21/20,5/20/19,5/19 kV//400 V
Arus : 6,8 – 359 A
Hubungan : Dyn5
Impedansi :4%

Data kerusakan trafo distribusi dari PT PLN Area Tahuna Rayon Siau yang JEBOL adalah sebagai berikut :
Kejadian Gangguan : Tanggal 30 Maret 2014 jam 00.50
Nomor Gardu : HO3AJO
Merk : Trafindo
Kapasitas : 200 kVA
Sistem : 3 Phase
Penyebab kerusakan : TIDAK DIKETAHUI.
Kondisi pembebanan sebelum trafo tersebut mengalami gangguan fatal berdasarkan data yang di ambil pada tanggal
26 Pebruari 2014 seperti di tunjukkan pada tabel 1.

Tabel 1. Hasil pengukuran beban Trafo 200kVA

Penghantar Beban (Ampere)


Fasa R 147 A
Fasa S 154 A
Fasa T 177 A
Netral 122 A

Diperoleh data total beban trafo yakni S = 105 kVA atau 53 % dari daya total yang ada pada Trafo Distribusi
sebesar 200 kVA. Dari tabel 1 diketahui keadaan beban di masing-masing fasa tidaklah sama persis namun terlihat
nilai besaran arus yang terukur pada penghantar Netral sangat besar yakni tercatat arus netral sebesar 122 Ampere
sehingga dapat dikatakan bahwa dengan nilai tersebut suhu pada Trafo tersebut sangat begitu panas meskipun suhu
lingkungan sekitar begitu dingin karena kejadian Trafo jebol terjadi malam hari pada jam 00.50. Dengan demikian
dapat di katakan bahwa faktor arus netral yang ke Trafo inilah yang menjadi satu-satunya pemicu Trafo rusak
karena beban yang di pikul Trafo 53 % atau belum terlalu besar dan masih di kategorikan beban sedang.
Gejala arus netral yang besar akhir-akhir ini sudah sangat memprihatinkan seperti terlihat pada tabel 2.

2. Pengukuran Arus Beban di PLN Rayon Manado Selatan


Fasa
No Gardu Tanggal/Jam
No R S T Netral Keterangan
Pengukuran
1 M 139 18 Agustus 2016 180 212 104 135 Jam 20.10
2 M 386 18 Agustus 2016 289 298 372 112 Jam 21.13
3 M 366 21 Agustus 2016 221 114 95 114 Jam 19.11
4 M 24 21 Agustus 2016 204 62 146 133 Jam 19.02
5 M 228 21 Agustus 2016 276 179 322 132 Jam 20.19
6 M 133 A 22 Agustus 2016 627 460 348 265
7 M 342 B 23 Agustus 2016 101 99 63 165

424
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Metode Penelitian
Rancangan penelitian yang dilakukan sebagaimana pada gambar 2 berikut.

Gambar 2.Rancangan penelitian pengukuran arus netral.

Dari gambar 2 untuk sisi kirim terukur arus pada fasa R atau A1, tegangan V1, V2, V3 masing-masing berlaku
untuk tegangan fasa R, S dan T kemudian bila di sisi terima yang mencatu beban dalam hubungan bintang dengan
A1 berupa amperemeter untuk mengukur arus fasa R, A2 untuk fasa S dan A3 untuk fasa T sedangkan A4 adalah
amperemeter untuk mengukur arus netral yang berasal dari beban menuju ke trafo.
Kasus yang terjadi pada Trafo tistribusi di atas yang meledak di jadikan sampel untuk kemudian di buat wiring
diagram seperti pada gambar 3 berikut. Trafo ini mencatu 3 jurusan dengan masing-masing jurusan punya beban
yang bervariasi. Untuk mengetahui secara pasti apakah benar bahwa akibat penggunaan beban-beban listrik oleh
konsumen akan menyebabkan arus mengalir pada kawat Netral atau lebih dikenal sebagai Arus Netral maka di
adakan rangkaian simulasi di Laboratorium Sistem Tenaga.

Gambar 3. Alokasi beban pada wiring diagram.

Setiap penambahan beban di masing-masing fasa R, S dan T akan di monitor kemudian dibandingkan. Arus
yang mengalir pada kawat netral juga di amati terus menerus. Untuk tahap pertama dilakukan pemodelan beban
distribusi system 3 fasa 4 kawat (Load) yang di catu dari panel distribusi yang berasal dari main distribution panel
dengan sumber listrik dari trafo distribusi dalam hubungan delta ( ∆) dan bintang ( ). Sisi primer trafo dalam
hubungan delta memiliki tegangan 20 kV sedangkan sisi sekunder trafo dalam hubungan bintang dengan tegangan
yang di turunkan menjadi 380/220 volt.Panel distribusi kemudian dibuat dan di pasang alat monitoring pemakaian
beban.

425
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Beban distribusi di kategorikan dalam dua macam yakni beban R untuk resistif seperti lampu pijar dan
Lampu Hemat Energi atau LHE kemudian beban L untuk induktif seperti lampu neon serta power supply dc.
Spesifikasi beban sebagaimana tertera pada tabel 3. Pengambilan data dilakukan dengan mengatur komposisi beban
pada fasa R sebanyak 11 buah lampu, fasa S sebanyak 3 buah lampu dan fasa T terdiri dari 1 buah lampu serta
power supply dc.

Tabel 3.Beban Distribusi yang digunakan

Spesifikasi Beban Fasa Jumlah


LHE 28 W Jazz R 1 buah
LHE 20 W Ekonomat R 1 buah
LHE 22 W Philips R 1 buah
LHE 9 W Hinomaru R 1 buah
LP 100 W Philips R 1 buah
LP 75 W Philips Clear R 2 buah
LP 25 W Philips Softone R 1 buah
LP 25 W Ekonomat R 1 buah
LP 15 W Philips R 1 buah
LP 5 W Chiyoda R 1 buah
LHE 28 W Jazz S 1 buah
Neon 10 W Chiyoda S 1 buah
Neon Philips S 1 buah
LHE 28 W Jazz T 1 buah
Power supply dc T 1 buah

Sebenarnya penempatan beban bisa di atur-atur melalui rekonfigurasi untuk mengetahui besar kecilnya arus
netral yang mengalir melalui kawat netral.Peralatan detektor kemudian di pasang seperti pada gambar 4.

Gambar 4.Pemasangan detektor pada rangkaian

Peralatan detektor ini menggunakan Arduino Uno yang dihubungkan ke system melalui current transformer
untuk mengukur arus yang lewat akibat pemakaian beban pada fasa R, fasa S dan fasa T. Gambar 5 menunjukkan
bagian dalam dari rangkaian Arduino Uno termasuk penempatan posisi kartu. Hasil pembacaan kemudian dikirim ke
operator melalui aplikasi android untuk pengambilan keputusan segera terhadap kondisi beban asimetri.

Gambar 5. Pemasangan kartu Android pada Arduino Uno

426
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Gambar 7.Uji coba Pendeteksi Beban Asimetri

Hasil dan Pembahasan


Tabel 4, tabel 5 dan tabel 6 memperlihatkan perubahan nilai ketika beban di atur secara bervariasi.

Tabel 4. Kondisi beban mendekati seimbang

Parameter Fasa R Fasa S Fasa T Arus Netral


Daya (W) 168 164 166 -
Tegangan (V) 226 221 224 -
Arus (A) 0,746 0,736 0,740 0,015 Amp

Tabel 5. Kondisi beban tak seimbang

Parameter Fasa R Fasa S Fasa T Arus Netral


Daya (W) 46 159 379 -
Tegangan (V) 222 218 219 -
Arus (A) 0,206 0,726 1,73 1,1 Amp

Tabel 6. Fasa T tidak di bebani

Parameter Fasa R Fasa S Fasa T Arus Netral


Daya (W) 72,5 96,1 0 -
Daya reaktif 66,4 2,99 0 -
Arus (A) 0,430 0,428 0 0,4

Beban yang terbagi rata atau cenderung seimbang menunjukkan nilai arus netral yang relative kecil (tabel 4)
sedangkan beban yang tidak seimbang atau asimetri, nilai arus netral melebihi 1 Ampere (tabel 5).

Tabel 7. Pengujian Beban Asimetri


Arus Netral (Ampere)
Pengujian Fasa R Fasa S Fasa T Meter Analog Meter Digital
pertama 187 W 93,7 W 0W 0,6 A 0,75 A
kedua 353 W 0W 0W 1,4 A 1,63 A
ketiga 255 W 0W 0W 0,9 A 1,18 A
keempat 20,6 W 108 W 95,2W 0,7 A 0,84 A
kelima 212 W 92 W 0W 0,7 A 0,84 A
keenam 281 W 92,3 W 0W 0,9 A 1,15 A
ketujuh 0W 0W 3,33W 0,39 A 0,47 A
kedelapan 0W 108 W 3,33W 0,5 A 0,68 A
kesembilan 191 W 109 W 3,33W 0,30 A 0,58 A
kesepuluh 384 W 0W 3,33W 1,48 A 1,79 A

427
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Hal yang sama pula berlaku untuk pengujian terhadap beban asimetri yang di atur-atur baik pada fasa R, fasa
S dan fasa T. Dari ke 10 pengujian yang dilakukan menunjukkan bahwa beban tak seimbang seperti pada pengujian
ke 2 dan 10, nilai arus netral melebihi dari 1 ampere. Karena peralatan deteksi sudah menggunakan aplikasi Android
maka hanya dibutuhkan waktu 4 detik, operator sudah mendapat informasi kelebihan arus netral.

Kesimpulan
1. Kenaikan beban yang selalu berubah setiap saat dapat cepat langsung di ketahui serta di monitor menggunakan
aplikasi android.
2. Penggunaan aplikasi android sangat membantu dalam mengakses dengan cepat gejala yang membahayakan
akibat peningkatan arus netral pada pemakaian energi listrik.
3. Akses informasitentang perubahan kenaikan arus netral hanya membutuhkan waktu 4 detik.

Daftar Pustaka
Baran, M. E, Wu, F. F., (1989)"Network Reconfiguration in Distribution Systems for Loss Reduction and Load
Balancing." IEEE Transaction on Power Delivery, Vol. 4 No.2, pp. 1401-1407.
Daud, Julianus. G., (2007), "Analisis Penggunaan High Pass Filter dalam upaya mengurangi Losses Daya Trafo
Distribusi di PT PLN (PERSERO) APJ Surabaya Selatan", Prosiding Seminar Nasional Diversifikasi Sumber
Energi untuk Mendukung Kemajuan Industri dan Sistem Kelistrikan Nasional, Jurusan Teknik Kimia
Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret Surakarta, pp 117-118.
Daud, Julianus. G., (2008), "Estimasi Pengurangan Susut Distribusi Menggunakan Kombinasi Rekonfigurasi
dengan Algoritma Ant Colony dan Pemasangan Filter Harmonik ", Tesis Magister, Jurusan Teknik Elektro,
Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, pp 49-50.
Daud, Julianus. G., (2006), "Estimasi Pengurangan susut energy pada saluran Distribusi 20 kV Penyulang Barata
menggunakan Filter harmonik."Prosiding Seminar Nasional dan Workshop Energy Security, Jurusan Teknik
Fisika, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, pp 165.
Daud, Julianus. G. dan Sundah, J., (2016), "Simulasi Beban Asymmetric Pada Transformator
Distribusi."Prosiding7th Industrial Research and National Seminar,Politeknik Negeri Bandung, pp 209-212.
Dilek, Murat,(2001), "Integrated Design of Electrical Distribution Systems : Phase Balancing and Phase Prediction
Case Studies."Dissertation, Virginia USA.
Gonen, Turan, (1986), "Electric Power Distribution System Engineering ", Mc Graw Hill, pp 226-230
Grady, W.M, Santoso, S.,(2001)," Understanding Power System Harmonics, "Sept.
Karunakara, E. and Muthu Kumar,E., (1999),“Field measurement and analysis of harmonics level. ” High
VoltageEngineering simposium, Conference Publication No. 467.IEE.
Stevenson, William D, Mismail, Budiono. (1982) "Analisa Sistem Tenaga "UniversitasBrawijaya Malang Jawa
Timur, pp 447-449
Tolbert, Leon. M, Harolds D. Hollis.,(1996)," Survey of Harmonics measurements in Electrical Distribution
System. " IEEE IAS Annual Meeting Oct, 6-10, San Diego.
Zimmerman, R. D., (1992),"Network Reconfiguration for Loss Reduction in Three Phase Powed Distribution
Systems. " Cornell Univ. in Ithaca New York.

428
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

PENGEMBANGAN MEDIA PEMBELAJARAN BERBASIS TEKNOLOGI


SESUAI DENGAN GAYA BELAJAR PESERTA DIDIK

Hernawan Sulistyanto1 , Sujalwo2


1,2
Program Studi Pendidikan Teknik Informatika, FKIP, Universitas Muhammadiyah Surakarta
Jl. A. Yani Tromol Pos 1 Pabelan Kartasura 57102 Telp 0271 717417
Email: hernawan.sulistyanto@ums.ac.id

Abstrak

Para peserta didik dapat dimungkinkan mempunyai maksud belajar yang berbeda, latar belakang
yang tidak sama, tingkat pengetahuan yang tidak sejajar, kompetensi yang bervariasi, serta gaya
belajar yang tidak serupa. Oleh karena itu sebuah sistem pembelajaran yang disesuaikan dengan
gaya belajar peserta didik sangat layak untuk diwujudkan sehingga para peserta didik memperoleh
materi dengan model penyajian yang berbeda sesuai dengan kebutuhan dan kecocokannya dalam
belajar. Sebuah sistem pembelajaran berbantuan teknologi komputer perlu didesain untuk
memberikan kebebasan kepada peserta didik dalam membangun secara aktif pengetahuan yang
dimilikinya melalui suatu proses adaptif pengorganisasian pengalaman belajar berbasis sistem temu
kembali informsi (Information Retrieval System) disingkat IRS dengan model aplikasi web untuk
menambah interaksi dengan lingkungannya. Unjuk kerja sistem dapat diujikan dengan menggunakan
metode pengujian black-box dan alpha-beta pada setiap modul sistem. Sementara itu tindakan kelas
dan survey untuk mengidentifikasi dampak langsung dari sistem pembelajaran berbantuan teknologi
pembelajaran tanya jawab terhadap serapan materi oleh peserta didik. Berdasarkan pada
serangkaian analisis sementara dapat ditarik suatu hipotesis bahwa penggunaan teknologi pada
pembelajaran yang disesuaikan dengan gaya belajar peserta didik akan memberikan indikasi adanya
peningkatan yang signifikan dalam penguasaan dan pemahaman materi belajar serta penguatan
pengalaman baik dalam lingkungan formal maupun non-formal.

Kata kunci: gaya belajar; information retrieval; media pembelajaran

Pendahuluan
Pada paradigma konstruktivistik dinyatakan bahwa belajar bukanlah sekedar kegiatan memindahkan
pengetahuan dari pembelajar (learner) kepada peserta didik (student), melainkan suatu kegiatan yang
memungkinkan peserta didik membangun sendiri pengetahuannya (Yamin, 2012). Sehingga dalam pendekatan ini
mind tidak berfungsi sebagai alat penjiplak struktur pengetahuan melainkan sebagai alat untuk interprestasi
informasi yang diterima sehingga muncul makna yang unik. Dengan demikian menurut konstruktivism informasi
pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang merupakan hasil yang dibangun (dikonstruksi) secara aktif oleh dan
dalam diri subjek belajar yang disebut dengan peserta didik, bukan secara pasif diterima dari lingkungannya. Salah
satu cara mengkonstruksi pengetahuan yang dimiliki oleh peserta didik adalah dengan menghadirkan teknologi
dalam kegiatan pembelajaran yang sedang mereka alami. Perkembangan yang cepat dari teknologi telah
mengakibatkan terjadinya pergesarn yang signifikan dalam hal bagaimana, kapan, dan dimana manusia dapat
beraktivitas. Implementasi teknologi pada bidang pendidikan seyogyanya distrukturisasi agar dapat secara efektif
menghantarkan peserta didik menghadapi abad ke-21. Masa sekarang ini anak usia sekolah sedang tumbuh seiring
dalam pertumbuhan media teknologi yang tersebar dimana-mana (ubiquitos technology) dan saling terkoneksi.
Tantangan yang muncul akibat kemajuan dan perubahan teknologi telah mengubah karakteristik masyarakat secara
significant, seperti misalnya model pembelajaran suatu pengetahuan yang dulunya biasa disampaikan dalam ruang
kelas nampaknya tidak akan tampak lagi cocok bagi keberhasilan pendidikan di era teknologi seperti saat ini. Lebih
jauh lagi, dekade sekarang ini peserta didik tidak hanya membutuhkan pemikiran dari pembelajar mengenai apa
yang perlu mereka pelajari, tetapi juga bagaimana dan kapan mereka dapat belajar. Realitas yang harus
dipertimbangkan adalah peserta didik saat ini sedang tumbuh dengan laptop, tablet, ponsel, dan mereka
mengharapkan untuk dapat menggunakan teknologi ini di dalam pembelajaran (Laurilard,2014). Teknologi
komputer telah berhasil diaplikasikan dengan baik dalam pembelajaran dan penilaiannya. Teknologi jenis ini
dipercaya sebagai tool yang powerfull bagi perubahan dan reformasi pendidikan. Sejumlah penelitian yang telah
dilakukan menunjukkan bahwa ketepatan penggunaan perangkat teknologi dalam pembelajaran dapat meningkatkan

429
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

kualitas pendidikan dengan menghubungkan pembelajaran ke situasi kehidupan nyata (Fu,2013). Skill penguasaan
teknologi kelak akan menjadi prasyarat bagi pembelajar dimasa depan. Melalui teknologi komputer, pembelajaran
dapat terjadi kapan saja dan dimana saja (Blazer, 2008). Materi pelajaran online misalnya, dapat diakses dalam 24
jam, tujuh hari, dalam seminggu. Demikian pula adanya kelas telekonferens telah memungkinkan baik pembelajar
dan peserta didik dapat berinteraksi secara mudah dan menyenangkan. Berbasis pada teknologi pula pembelajaran
tidak bergantung pada metari cetak kertas semata karena beragam sumber pembelajaran dapat diperoleh dimana dan
darimana saja.
Penelitian yang telah ada saat ini mengindikasikan bahwa teknologi membantu dalam pengalihragaman
sebuah lingkungan pengajaran menjadi berpusat pada peserta didik (learned-centered) (McClarty, 2012). Sejak
peserta didik terlibat secara langsung dalam proses pembelajaran, mereka mendapatkan kepercayaan diri yang tinggi
dalam pembuatan keputusan dan perencanaan (Elston, 2013). Area lain yang juga menjanjikan kearah penggunaan
teknologi dalam pembelajaran adalah penggunaan teknologi realitas tertambahkan (augmented reality) disingkat AR.
Naismith (2008) melaporkan bahwa AR dan pembelajaran berbasis game akan mempertinggi kemampuan penalaran
secara luas. Pendidikan berbasis game akan menguatkan skill yang penting untuk pekerjaan mendatang seperti
kolaboratif, pemecahan masalah, dan komunikasi. Pada penelitian Laurilard (2014) dan McClarty (2012)
disampaikan bahwa ternyata banyak sekali skill yang diperlukan ketika ingin keberhasilan dalam bermain game,
seperti pemikiran, perencanan, pembelajaran, dan teknikal skill.
Berdasarkan pada beberapa penelitian yang telah dilakukan dibeberapa topik teknologi pembelajaran maka
pada masa kini masih terbuka peluang pula untuk mengimplementasikan bentuk teknologi lain dengan variasi topik
yang berbeda yaitu menggunakan teknologi IR dengan aplikasi web.
Terdapat beberapa definisi mengenai gaya-gaya belajar (learning styles). Menurut Bennet (1979), gaya
belajar adalah sebuah cara yang paling disukai oleh seorang peserta didik dalam melakukan pembelajaran. James
dan Blank (1993) mendifinisikan gaya belajar sebagai sebuah metode yang rumit dalam mana peserta didik merasa
paling efisien dan paling efektif dalam melaksanakan proses, menyimpan dan mendapatkan kembali sesuatu yang
mereka sedang pelajari. McLoughin (1999) menyimpulkan istilah gaya belajar sebagai pengadopsian sebuah mode
yang bersifat tipikal dan berbeda dari setiap peserta didik dalam pembelajaran. Honey & Mumford (1992)
mendefinisikan gaya belajar sebagai kecakapan/kemampuan dan perilaku yang menentukan cara-cara yang lebih
disenangi oleh peserta didik dalam proses pembelajaran. Gaya belajar mempengaruhi efektifitas dari pelatihan
(training), apakah pelatihan itu tersedia secara on-line atau dalam cara-cara yang lebih tradisional (Benham (2002)).
Menurut Riding dan Cheema (1991), gaya belajar dapat diklasifikasikan sebagai wholist-analytical dan verbaliser-
imager. Wholist-analytical menggambarkan bagaimana individu mengolah informasi. Wholist lebih menyukai untuk
mempelajari materi secara global. Sementara analyst adalah lebih menyerupai pada pengolahan informasi dalam
cara yang detail. Verbaliser-imager menggambarkan bagaimana individu mengekspresikan informasi. Verbaliser
lebih menyukai untuk menyajikan informasi dalam bentuk kata-kata, sementara imager cenderung untuk
menyajikan informasi dalam bentuk piktorial. Pask (1988) menyebutkan wholist-analytical sebagai holist-serialist.
Menurut Park, wholists lebih menyukai untuk memulai belajar dengan pandangan terhadap materi dan kemudian
baru diolah terhadap detail-detailnya. Sementara serialists cenderung untuk mengikuti langkah demi langkah
instruksi. Menurut Felder, dkk (1988), wholist dan serialist dikenal sebagai global dan sequensial, sementara
verbaliser dan imager dikenal sebagai verbal dan visual. Sequential learners cenderung untuk belajar dalam step
linear yang mengikuti bagian step by step. Global learners lebih menyukai untuk belajar dalam lompatan-lompatan
besar. Menurut Sarasin (1999) paling banyak pebelajar dapat dikategorikan sebagai visual, auditory, dan kinesthetic
learners bergantung pada bagaimana mereka lebih menyukai untuk menerima dan mengolahinformasi. Visual
learners dapat beajar dengan efektif ketika mereka melihat materi. Auditory learners suka untuk mendengarkan
materi, sementara kinesthetic learners adalah yang belajar terbik dengan mengerjakan. Ketiga kategori ini dkenal
sebagai gaya pembelajaran VAK. Gaya pembelajaran VAK menghubungkan pada kanal pengamatan manusia, yaitu
penglihatan (vision), pendengaran (hearing), dan perasaan (feeling). Hal ini menganjurkan bahwa learner dapat
dibagi kedalam salah satu dari tiga gaya pembelajaran yang disukai, yaitu visual, auditory, atau kinesthetic.
Auditory learners lebih menyukai untuk menyerap informasi dengan mendengarkan. Mereka belajar terbaik dari
mendengarkan ada kuliah, partisipasi dalam diskusi dan pembicaraan sesuatu. Ketika mereka memanggil kembali
informasi, mereka akan mengingat cara mereka mendengarkannya. Visual learners belajar terbaik ketika informasi
disajikan dalam gambar-gambar, tabel-tabel, chart-chart, peta-peta atau diagram-diagram. Melihat dan membaca
adalah aktifitas penting bagi visual learners.
Kinesthetic learners belajar terbaik melalui merasakan dan mengerjakan. Mereka lebih menyenangi aktivitas
laboratorium atau perjalanan lapanan daripada kuliah dalam kelas. Mereka suka untuk terlibat dengan pengalaman-
penglaman secara fisik, seperti sentuhan, merasakan, memegang, melakukan, dan pengalaman-pengalama yang
berkaitan dengan tangan secara praktek. Setiap gaya model pembelajaran memiliki perangkat (instrument) tersendiri
untuk pengukuran learners yang biasanya dalam bentuk kuisioner. Kuisioner menyediakan beberapa pertanyaan
mengenai personalitas learner, kemampuann dan perilaku. Pada penelitian ini gaya pembelajaran VAK akan
dikombinasikan dengan gaya pembelajaran Felder yang berupa gaya pembelajaran global dan sekuensial.

430
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Metode
Pada penelitian ini akan digunakan pendekatan deduktif dan induktif, yaitu untuk meningkatkan pemahaman
terhadap sesuatu dan bukan membangun penjelasan dari sesuatu. Metode penelitian tindakan kelas adalah studi
berupa monitoring dan pencatatan penerapan sesuatu oleh peneliti secara hati-hati, yang tujuannya untuk
memecahkan masalah dan mengubah sesuatu. Metode tindakan kelas dilakukan dengan pengujian sebelum aplikasi
dan pengujian sesudah aplikasi. Pada penelitian ini menggunakan kuisioner.
Perancangan dilaksanakan dengan cara pemodelan UML (Unified Modelling Language). Tahapan diawali
dengan membuat use case diagram. Tahapan yang dilakukan dalam membuat use case diagram adalah menentukan
kandidat actor, menentukan use case requirement yang berguna untuk mengindentifikasi kebutuhan use case dalam
aplikasi media pembelajaran IPA.
Pendidik bertanggung-jawab atas penyediaan dan pengeditan seluruh materi pembelajaran. Disisi lain
pendidik diberi hak akses pula untuk mengedit kuisioner. Sebuah diagram alir bagi hak akses guru diilustrasikan
pada Gambar 1 berikut ini.

Pendidik baru Pendidik teregister

registrasi

login

Membuat pelajaran baru

Area admin

Area pengeditan
materi

Materi Materi Materi Materi Materi Materi Materi


Global- Global- Global- sekuensial- sekuensial- sekuensial- kuisioner
visual auditori kinestetik viisual auditori kinestetik

Logout

Gambar 1. Diagram alir hak akses pendidik

Pada langkah pengujian disediakan beberapa pertanyaan melalui kuisioner seperti yang disajikan pada Tabel
1 dan Tabel 2 berikut ini.

431
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Table 1. Pertanyaan sebelum penggunaan aplikasi

Jawaban
No Pertanyaan
SS S N TS STS
1 Kegiatan belajar IPA saat ini menyenangkan
Proses pembelajaran saat ini membantu
2
meningkatkan minat belajar
Guru saat ini menggunakan media pembelajaran
3
interaktif
Pelajaran membutuhkan pembelajaran interaktif
4
agar tidak bosan
Media pembelajaran yang ada saat ini
5
memudahkan siswa dalam memahami materi
6 Media Pembelajaran saat ini bersifat fleksibel
Guru saat ini menggunakan alat bantu peraga
7
dalam proses belajar mengajar
Menurut anda pembelajaran guru saat ini tidak
8
membosankan
9 Media pembelajaran saat ini bervariasi
Media pembelajaran saat ini sesuai dengan
10
silabus

Tabel 2. Pertanyaan setelah penggunaan aplikasi

Jawaban
No Pertanyaan
SS S N TS STS
Teks yang ada pada Website pembelajaran ini
1
mudah dibaca
Gambar yang ada pada website pembelajaran ini
2
dapat dilihat dengan jelas
Gambar yang ada pada Website pembelajaran ini
3 mendukung materi pegukuran waktu, jarak dan
kecepatan yang disediakan
Materi pilihan yang ada pada Website
4
pembelajaran ini sudah lengkap
Media pembelajaran yang ada saat ini
5
memudahkan siswa dalam memahami materi
Paduan warna keseluruhan yang ada pada Website
6
ini menarik untuk dilihat
Penempatan objek yang ada pada Website
7
pembelajaran ini sudah memadai
Menurut anda pembelajaran berbasis Website ini
8
tidak membosankan
Paduan warna keseluruhan yang ada pada Website
9
Pelajaran ini menarik untuk dilihat
Perlu Website pembelajarn seperti ini digunakan
10
dalam pembelajaran lain
Keterangan :
SS : Sangat Setuju = 5
S : Setuju = 4
N : Netral = 3
TS : Tidak Setuju = 2
STS : Sangat Tidak Setuju = 1

432
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Hasil dan Pembahasan


Bentuk dari hasil tampilan pada aplikasi media pembelajaran yang didesain diperlihatkan pada Gambar 2 di
bawah ini.

Gambar 2. Tampilan aplikasi media pembelajaran

Pada menu di aplikasi disediakan beberapa opsi pilihan materi dari beberapa mata pelajaran, yaitu Biologi,
Kimia, dan Fisika. Gambar 2 di atas ditunjukkan beberapa cakupan materi dalam mata pelajaran Biologi. Sementara
untuk cakupan materi dalam mata pelajaran Kimia dan Fisika ditampilkan pada Gambar 3 berikut ini.

Gambar 3. Cakupan materi mata pelajaran Fisika dan Kimia

Penilaian utama adalah penilaian pada unsur yang merupakan unsur paling utama pada program yang
meliputi tampilan, kelengkapan isi, kualitas web, serta keseluruhan program. Penilaian ini terdapat pula kuisioner
soal latihan sebelum pengujian aplikasi dan sesudah pengujian aplikasi untuk menghasilkan pembuktian dan
perbandingan terhadap aplikasi tersebut bermanfaat ataupun tidak.
Pada kuisioner tersebut terdapat 10 pernyataan dan para siswa dapat memberikan jawaban dalam bentuk
sangat setuju (SS) dengan skor 5, setuju (S) dengan skor 4, netral (N) dengan skor 3, tidak setuju (STS) dengan skor
2, dan sangat tidak setuju (STS) dengan skor 1. Berdasarkan penilaian responden untuk menghitung prosentase
penilaian responden dan untuk menampilkan hasil dalam bentuk grafik, maka dapat dihitung dengan cara mencari
rata-rata skor (S) = (∑skor penilaian terhadap pernyataan/∑pernyataan), presentase (p1) = rata-rata skor (S) x 100 /5,
jawaban penilaian = jika 0% - 20% = STS, 21% – 40% = ST, 41% - 60% = N, 61% - 80% = S, 81% - 100% = SS,
mengelompokkan kategori jawaban penilaian (X), n = jumlah responden.
Prosentase dinyatakan dengan Persamaan 1 berikut ini.
 skor ( s ) 
P=  x100%
 SMax  (1)

433
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Berikut cara menghitung nilai prosentase responden. Di asumsikan pada responden 1 dengan perhitungan
sebagai berikut.
Diketahui :
Responden 1 dalam menjawab pernyataan: 1 (5), 2 (5), 3 (1), 4 (3), 5 (5), 6 (4), 7 (3), 8 (5), 9 (4), 10 (3)
S = (∑skor penilaian terhadap pernyataan/∑pernyataan)
= 38 / 10
= 10
p1 = S x 100 /5
= 10 x 100 / 5
= 76%
Jawaban penilaian = Setuju ( 76% merupakan hasil dari 61% - 80% = S)
X = 17 ( jumlah keseluruhan jawaban responden yang memilih Setuju)
Maka, P = 17 /26 x 100% = 65%
Hasil penilaian dari responden mengenai aplikasi ditampilkan pada Gambar 4 di bawah ini.

100% 77%
80% 65%
60% Sangat Setuju
40%
15%19% 19%
20% 00 4%0 0 Setuju
0%
Sebelum Sesudah
Aplikasi Aplikasi

Gambar 4. Grafik Penilaian Terhadap Aplikasi


Selanjutnya dilakukan penghitungan hasil kuisioner sebelum dan sesudah pengujan dengan cara sama seperti
perhitungan diatas. Hasil perhitungan rekapitulasi jawaban sebelum pengujian mendapat nilai rata-rata 57,69231
dengan hasil jawaban memuaskan sedangkan presentase 58%, sedangkan rekapitulasi soal latihan sesudah pengujian
yaitu mendapatkan nilai rata-rata 85,38462 dengan hasil jawaban sangat memuaskan sedangkan dengan presentase
menjadi 85%.
Berdasarkan hasil rekapitulasi soal latihan sebelum dan sesudah pengujian mengalami kenaikan 27%
sehingga pembuatan media permbelajran berbasis website ini berhasil dan bermanfaat bagi siswa terlihat pada
Gambar 5 berikut ini.

Gambar 5. Grafik Penilaian Terhadap Soal Latihan


Sebagai bahan bahasan dan diskusi singkat adalah perbedaan media pembelajaranini dengan media
pembelajaran dengan buku yaitu media ini lebih interaktif dan menarik sehingga menjadikan seorang anak lebih
mengerti, tidak bosan dan semangat belajar dalam belajar.
Pembeda utama dengan media pembelajaran sebelumnya yaitu cara implementasi aplikasi saat ini berbasis
website dan latihan soal yang lebih banyak serta secara random (acak) sehingga siswa dapat menemukan contoh soal
yang lebih bervariasi.

Kesimpulan
Setelah menganalisa media pembelajaran yang telah dibuat dan diujikan, penulis dapat menyimpulkan
bahwa :
1. Media pembelajaran berbasis website dapat menumbuhkan daya tarik siswa. Dikarenakan media pembelajaran
berbasis website ini dilengkapi dengan gambar, audio dan video yang menarik sehingga siswa dapat terpacu
untuk mengakses keselutuhan materi.

434
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

2. Penerapan media pembelajaran berbasis website sebagai alternatif belajar bagi siswa juga terbukti mampu
meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi pelajaran. Terlihat dari hasil uji latihan yang menunjukkan
peningkatan nilai dari sebelum dan sesudah menggunakan media pembelajaran berbasis website.
3. Siswa menunjukkan respon yang positif terhadap media pemelajaran berbasis website. Terlihat dari 20
kuisioner yang dibagikan kepada siswa yang menyatakan bahwa website perlu digunakan dalam pembelajaran
IPA. Kesesuaian gambar dengan materi pelajaran yang disampaikan akan membantu siswa dalam memahami
pelajaran. Hal ini ditandai dengan 20 siswa menyatakan bahwa media pembelajaran IPA berbasis website
digunakan dalam proses kegiatan belajar mengajar.
4. Aplikasi media pembelajaran IPA berbasis web adalah model pembelajaran yang lebih interaktif dan atraktif
yang berisi tentang materi sesuai dengan kurikulum.
5. Aplikasi ini dibuat sebagai pendukung dan penguat model pembelajaran yang telah ada (klasikal) dengan
mengandalkan sarana atau media berbasiskan Web untuk membantu guru dalam menyampaikan materi kepada
siswa.

Daftar Pustaka
Benham, H. C. 2002. Training effectiveness, online delivery and the influence of learning style. Paper presented at
the 2002 ACM SIGCPR Conference on Computing Personal Research, Kristiansand, Norway.
Bennett, C. 1979. Individual differences and how teachers perceive them. The Social Studies, 70(2), 56-61.
Blazer, C. 2008. Literature Review Educational Technology, Research Services, Miami Florida.
Elston, J. 2013. Technology in The Classroom, on-line Material Lecture, Cambridge University.
Felder, R. M., & Silverman, L. K. 1988. Learning and teaching styles in engineering education. Engineering
Education, 78(7), 674- 681.
Fu, J.S. 2013. ICT in Education: A Critical Review and Its Implications, paper elektronik dalam International
Journal of Education and Development using Information and Communication Technology, Vol. 9. Issue 1,
pp. 112-125.
Honey, P., & Mumford, A. 1992. The Manual of Learning Styles (3rd ed.). Maidenhead, UK: Peters Honey.
James, W. B., & Blank, W. E. 1993. Review and critique of available learning-style instruments for adults. In D.
Flannery (Ed.), Applying cognitive learning styles (pp. 47-58). San Francisco: Jossey-Bass.
Khan, B. H. 1997. Web-based instruction (WBI): What is it and why is it? In B. H. Khan (Ed.), Web-based
instruction (pp. 5-18). Englewood Cliffs, NJ: Educational Technology Publications.
Laurilard, D., dan Deepwell, M. 2014. ALT Survey on The Effective use of Learning Technology in Education, For
the Education Technology Action Group, ALT.
McClarty, K.L, Orr, A., Frey, P.M., Dolan, R.P., Vassileva, V., dan McVay, A. 2012. Literature Review of Gaming
in Education, Research Report, Pearson.
McLoughlin, C. 1999. The implications of research literature on learning styles for the design of instructional
material. Australian Journal of Educational Technology, 15(3), 222-241.
Naismith, L., Londsdale, P., Vavaoula, G., dan Sharpies, M. 2008. Literature Review in Mobile Technologies and
Learning, Report 11, University of Birmingham.
Pask, G. 1988. Learning strategies, teaching strategies, and conceptual or learning styles. In R. Schmeck (Ed.),
Learning strategies and learning styles. New York: Plenum Press.
Riding, R., & Cheema, I. 1991. Cognitive styles: An overview and integration. Educational Psychology: An
International Journal of Experimental Educational Psychology, 11(3-4), 193-215.
Sarasin, Lynne Celli. 1999. Learning Style Perspectives, Impact in the Classroom. Madison, WI: Atwood
Publishing.
Walke, P.P., and Karale, S.2013. Implementation approach for various categories of question answering system, In
Proceeding of IEEE Conference on Information and Communication Technology (ICT 2013), pp. 402-407.
We, Z., Xuan, Z, Wei, Z., and Junjie, C.2012. Design and implementation of influenza question answering system
on multi-strategies, In Proceedings of IEEE International Conferences, IEEE Press, 2012, pp. 720-722.
Yamin, M. 2012. Paradigma Baru Pembelajaran. Referensi, Jakarta.

435
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

PEMANFAATAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG)


UNTUK PEMETAAN WISATA ALAM DAN BUDAYA
SEBAGAI USAHA PERKEMBANGAN KABUPATEN SUKOHARJO

Bambang Partono1 , MS Khabibur Rahman2


1
Pendidikan Geografi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo
Jl. Letjend. Sudjono humardani No. 1 Kampus Jombor Sukoharjo Telp. (0271) 593156
2
Pendidikan Geografi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo
Jl. Letjend. Sudjono humardani No. 1 Kampus Jombor Sukoharjo Telp. (0271) 593156
Email: bambang.partono@gmail.com

Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui persebaran pariwisata alam dan budaya di Kabupaten
Sukoharjo. Untuk mencapai tujuan tersebut, digunakan metode penelitian dengan cara melakukan
pemetaan persebaran wisata alam dan budaya yang ada di Kabupaten Sukoharjo, dengan cara
melakukan ploting lokasi wisata tersebut. Dalam rangka mengetahui persebaran wisata alam dan
budaya yang ada di Kabupaten Sukoharjo digunakan metode penelitian deskriptif dengan cara
mendeskripsikan peta. Data lokasi objek wisata diperoleh dengan melakukan ploting ke lokasi wisata
menggunakan alat berupa Global Positioning System (GPS) kemudian menumpangkan data tersebut
ke peta dasar. Berdasarkan hasil analisis peta, diketahui bahwa terdapat sebanyak 16 objek wisata
alam dan budaya di Kabupaten Sukoharjo yang tersebar di 10 kecamatan. Objek wisata budaya
berjumlah 10 objek sedangkan objek wisata alam sebanyak 6 objek wisata.

Kata kunci: Pemetaan; Sukoharjo; Wisata

Pendahuluan
Indonesia yang merupakan Negara dengan kekayaan alam dan wisata yang melimpah menjadikan Indonesia
sebagai Negara salah satu tujuan wisata dunia. Dengan kondisi kekayaan alam dan wisata yang sangat banyak
tersebut maka banyak pula potensi wisata yang dimiliki oleh Indonesia. Kekayaan wisata ini hendaknya mampu
dikelola secara optimal untuk meningkatkan pendapatan masyarakat pada khususnya dan devisa Negara pada
mumnya. Dalam upaya pengembangan pariwisata Indonesia, masih sangat banyak kendala yang dihadapi, sehingga
perkembangannya tidak merata dan seimbang. Hal ini teidak lepas dari peran pemerintah yang kurang dalam
pengembangan dan pengelolaan kawasan wisata di beberapa daerah. Begitu pula dengan wisata yang ada di
Kecamatan Sukoharjo, masih banyak potensi wisata yang belum dikembangkan secara maksimal.
Di sisi lain, perkembangan pemanfaatan data spasial mengalami kemajuan dengan sangat pesat. Hal ini tidak
dapat terlepas dari perkembangan teknologi yang membantu pengolahan data spasial, salah satunya adalah sistem
informasi geografis (SIG). Pemanfaatan SIG tidak terbatas dalam bidang tertentu saja, tetapi dapat dikembangkan
atau diintegrasikan dengan bidang lain termasuk pariwisata. Sistem informasi yang berbasis kerunagan (spasial)
memiliki fungsi yang sangat penting dalam berbagai kegiatan dan tujuan serta aplikasi yang nantinya akan
mempermudah kinerja penggunanya.

Kajian Pustaka
1. Peta dan Analisis Pemetaan
Analisis spasial mempelajari perbedaan lokasi mengenai sifat-sifat penting atau seri sifat-sifat penting. Pada
analisis keruangan, data yang dikumpulkan dapat berupa data titik, garis maupun area (Bintarto dan Hadisumarno,
1991: 12). Hal yang harus diperhatikan adalah penyebaran penggunaan ruang yang telah ada dan penyediaan ruang
yang akan digunakan untuk berbagai kegunaan yang dirancangkan. Pendekatan keruangan merupakan suatu cara
pandang atau kerangka analisis yang menekankan eksistensi ruang sebagai penekanan yang dipandang dari struktur
(spatial structure), pola (spatial pattern), dan proses (spatial processes). Struktur keruangan berkenaan dengan
elemen pembentuk ruang yang disimbolkan dalam tiga bentuk utama, yaitu titik, garis dan area
Menurut Sinagadalam ICA (1991:1) mendefinisakn peta sebagai suatu gambaran dari permukaan bumi,
biasanya dalam skala tertentu dan digambarkan di atas bidang datar melalui suatu sistem proyeksi. Peta
menggunakan simbol dua dimensi untuk mencerminkan fenomena geografikal yang dilakukan secara sistematis dan

436
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

memerlukan kecakapan untuk membuat dan membacanya. . Secara umum peta dapat dibagi kedalam dua jenis,
yaitu :
1) Peta Umum / Peta Rupabumi
Peta yang menampilkan sebagian unsure-unsur buatan manusia serta unsure alam pada bidang datar dengan
skala dan proyeksi tertentu. Dalam istilah asing, peta Rupabumi sering disebut juga topographical map.
2) PetaKhusus / Tematik
Peta yang menyajikan tema tertentu dan untuk kepentingan tertentu dengan menggunakan peta rupabumi yang
telah disederhanakan sebagai dasar untuk meletakkan informasi tematiknya.
Penelitian mengenai pemetaan persebaran wisata ini memerlukan peta rupabumi Indonesia sebagai peta dasar
yang digunakan sebagai tempat diletakkannya informasi tematiknya berupa kajian persebaran objek wisata. Hasil
akhir dari penelitian ini adalah peta tematik persebaran wisata di Kabupaten Sukoharjo. Peta merupakan sebuah
media komunikasi antara pembuat peta dengan pemabaca / pengguna peta. Apa yang dimaksudkan oleh pembuat
peta dan tertuang dalam peta yang dibuat, diharapkan mampu diinterpretasikan dengan baik oleh pembaca peta.
Dalam pemetaan, hal-hal yang harus diperhatikan adalah mengenai desain peta, desain symbol, dan tata letak
komponen peta supaya data yang dihasilkan sesuai, dengan yang diharapkan, dimengerti dan memberikan gambaran
yang jelas, rapi dan bersih. Ada beberapa hal pula yang harus diperhatikan dalam membaca dan membuat peta, yaitu
:
1) Skala peta
Skala peta erat kaitannya dengan ukuran geometri bumi, misalnya perbandingan jarak di lapangan dengan jarak
dipeta.
2) Symbol
Merupakan penggambaran kenampakan yang ada di permukaan bumi.
3) Sistem koordinat
Berkaitan dengan penentuan posisi obyek yang berada di lapangan.
4) Arah utara
Panduan kearah utara target di peta dan dipakai sebagai petunjuk arah ke utara bila kita berada di lapangan.

Pada dasarnya, ada dua hal informasi yang akan ditemui dalam sebuah peta, yaitu :
1) Muka peta
Muka peta merupakan bagian pokok dari sebuah peta. Muka peta menunjukkan daerah yang dipetakan serta
informasi-informasi yang dimaksudkan dalam peta tersebut. Adapun informasi yang digambarkn dalam muka
peta adalah semua hal baik buatan manusia maupun bentang alam, misalnya jalan, sungai, penggunaan lahan,
dll.
2) Informasi tepi (marginal information)
Informasi tepi merupakan bagian yang berisi bagian detail dari peta serta hal-hal yang menjelaskan mengenai
apa yang ada didalam muka peta. Informasi tepi dimaksudkan untuk membantu pengguna peta dalam membaca
peta. Adapun informasi yang berada pada bagian informasi tepi antara lain : Judul, skala, legenda, orientasi
arah, sumber data, pembuat peta, insert, dan lain-lain.
Adapun bagian-bagian yang ada didalam peta antara lain :
1) Judul peta
2) Skala peta
3) Orientasi arah
4) Legenda
5) Peta insert
6) Sumber data
7) Pembuat peta
8) Grid (Garis Lintang)
9) Grid (Garis Bujur)

2. Wisata dan Pariwisata


Pengertian wisata adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara
sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati obyek dan daya tarik wisata.(Undang-undang No. 9 tahun 1990
pasal 1).
Dari pengertian wisata tersebut dapat disimpulkan dari beberapa unsur yaitu :
1) Kegiatan perjalanan;
2) Dilakukan dengan suka rela;
3) Bersifat sementara, dan
4) Perjalanan itu seluruhnya atau sebagian bertujuan untuk menikmati obyek dan daya tarik wisata.

437
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Pariwisata merupakan salah satu sektor andalan untuk memperoleh devisa dari penghasilan nonmigas.
Selain perolehan devisa, pariwisata juga berperan dalam bidang-bidang strategis yang lain, misalnya menciptakan
lapangan kerja, mendorong pelestarian dan pengembangan budaya bangsa dan menumbuhkan rasa cinta Tanah
Air. Pariwisata merupakan industri baru yang mampu menghasilkan banyak keuntungan baik untuk pemerintah
maupun masyarakat.
Pariwisata adalah gabungan gejala dan hubungan yang timbul dari interaksi wisatawan, bisnis, pemerintah,
tuan rumah serta masyarakat tuan rumah dalam proses menarik dan melayani wisatawan-wisatawan ini serta para
pengunjung lainnya. (Robert McIntosh dan Shashikant Gupta dalam Pendit, 1994 : 36). Menurut Wahab (1999 :
5), pariwisata adalah salah satu dari industri gaya hidup yang mampu menyediakan pertumbuhan ekonomi yang
cepat dalam mengaktifkan sektor produksi lain di dalam negara penerima wisatawan”.
Jadi dapat disimpulkan bahwa pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata, termasuk
pengusaha obyek dan daya tarik wisata serta usaha-usaha yang berhubungan dengan penyelenggaraan pariwisata.
Dengan demikian bahwa pariwisata meliputi beberapa hal antara lain :
1) Semua kegiatan yang berhubungan dengan perjalanan wisata.
2) Penguasaan obyek dan daya tarik wisata, seperti : kawasan wisata, taman rekreasi, kawasan peninggalan
sejarah (candi, makam) museum, waduk, pagelaran seni budaya, tata kehidupan masyarakat dan yang bersifat
alamiah : keindahan alam, gunung berapi, danau, pantai dan lainnya.
3) Pengusaha jasa dan sarana pariwisata :
a. Usaha jasa pariwisata (biro perjalanan wisata, agen perjalanan wisata, pramuwisata, konvensi, perjalanan
intensif dan pameran).
b. Usaha jasa informasi pariwisata.
c. Usaha jasa pramuwisata.
d. Usaha jasa konsultan pariwisata.
e. Usaha sarana pariwisata yang terdiri dari : akomodasi, rumah makan, bar, angkutan wisata dan sebagainya.

Metode Penelitian
1. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di seluruh objek wisata alam dan budaya di Kabupaten Sukoharjo.
2. Metode penelitian
Dalam penelitian ini metode yang dilakukan menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan
mendeskripsikan peta sebagai hasil penelitian.
3. Sumber Data
Sumber data penelitian terdiri dari dua jenis yaitu data primer dan data sekunder. Data primer berupa koordinat
lokasi masing-masing objek wisata, sedangkan data sekunder berupa peta RBI Digital yang digunakan sebagai
peta dasar untuk menumpangkan koordinat hasil ploting lokasi objek wisata.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan teknik dokumentasi dan observasi. Teknik dokumentasi
digunakan untuk memperoleh data peta RBI sedangkan teknik observasi digunakan untuk memperoleh data
koordinat lokasi objek wisata.
5. Teknik Analisis data
Teknik analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah teknik analisis peta.

Hasil dan Pembahasan


Analisis yang dilakukan untuk mengetahui persebaran objek wisata di Kabupaten Sukoharjo adalah analisis
spasial dengan menggunakan peta. Dalam penelitian ini peta digunakan sebagai media penyaji dalam menampilkan
lokasi persebaran lokasi objek wisata. Dalam penggambarannya pada peta, objek wisata disimbolkan menggunakan
symbol titik (point). Untuk lebih jelasnya mengenai lokasi absolute masing-masing objek wisata di Kabupaten
Sukoharjo dapat dilihat pada table berikut :

Tabel 1. Koordinat Lokasi Objek Wisata alam dan Budaya Kabupaten Sukoharjo
No Nama Lokasi Kecamatan X Y Jenis
1 Kerajinan Andong Kartasura 110,7421 -7,5536 Budaya
2 Kraton Kartasura Kartasura 110,7456 -7,5624 Budaya
3 Kraton Pajang Kartasura 110,7530 -7,5649 Budaya
4 Makam Ki Ageng Sutawijaya Tawagsari 110,7824 -7,7074 Budaya
5 Makam Ki Ageng Purwoto Sidik Weru 110,7801 -7,8009 Budaya

438
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

6 Gunung Sepikul Bulu 110,8196 -7,7775 Alam


7 Sendang Ki truno Lele Bulu 110,8172 -7,7805 Alam
8 Batu Seribu Bulu 110,8223 -7,7832 Alam
9 Pasanggrahan Langenharjo Grogol 110,8136 -7,6132 Budaya
10 Candi Sonosewu Mojolaban 110,8585 -7,5852 Budaya
11 Kerajinan Gamelan Mojolaban 110,8608 -7,6082 Budaya
12 Alas Karet Polokarto 110,9330 -7,6396 Alam
13 Waduk Mulur Bendosari 110,8851 -7,6798 Alam
14 Makam Ki Ageng Balak Bendosari 110,9329 -7,6835 Budaya
15 Dam Colo Nguter 110,9121 -7,7421 Alam
16 Makam Eyang Banjaran Sari Tawangsari 110,7800 -7,7430 Budaya

Dalam penyajian persebaran lokasi objek wisata alam dan budaya di Kabupaten Sukoharjo menggunankan
Sistem Informasi Geografis (SIG) dalam pengolahan datanya. Pengolahan datanya dilakukan dengan cara
menumpangkan titik koordinat lokasi objek wisata ke dalam peta dasar. Data yang dimasukkan sejumlah 16 titik
wisata alam dan budaya di Kabupaten Sukoharjo. Dari 16 objek wisata tersebut tersebar kedalam 9 Kecamatan
yaitu Kecamatan Kartasura, Tawangsari, Weru, Bulu, Grogol, Mojolaban, Polokarto, Bendosari dan Nguter. Untuk
lebih jelasnya mengenai persebaran objek wisata alam dan budaya di Kabupaten Sukoharjo dapat dilihat pada peta
berikut :

Gambar 1. Peta Persebaran Objek Wisata Alam dan Budaya di Kabupaten Sukoharjo (skala tidak diperhitungkan)

Dalam penggambarannya setiap objek wisata digambarkan dengan simbol titik berbentuk segilima berwarna
hijau, yang artinya satu titik mewakili satu objek wisata, baik wisata alam maupun wisata budaya dilengkapi dengan

439
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

nomor yang menunjukkan identitas objek tersebut. Urutan nomor objek wisata dapat dilihat pada legenda peta yang
terletak pada marginal information atau informasi tepi peta. Dari analisis peta diketahui bahwa Kecamatan Kartasura
dan Kecamatan Bulu merupakan kecamatan yang memiliki objek wisata alam dan budaya paling banyak
dibandingkan kecamatan lain yaitu dengan 3 objek wisata.
Setelah diketahui persebaran objek wisata yang terdapat di Kabupaten Sukoharjo, perlu pula dipetakan
persebaran objek wisata berdasarkan jenis wisatanya, yaitu wisata alam atau wisata budaya. Untuk lebih jelasnya
persebaran objek wisata di Kabupaten Sukoharjo berdasarkan jenisnya dapat dilihat pada gambar berikut :

Gambar 2. Peta Persebaran Objek Wisata berdasarkan jenis wisatanya di Kabupaten Sukoharjo (skala tidak
diperhitungkan)

Dalam penggambaran pada peta, masing-masing objek disimbolkan dengan segilima dengan perbedaan
warna hijau dan ungu. Warna hijau mewakili objek wisata alam, sedangkan warna ungu mewakili objek wisata
budaya. Jumlah objek wisata alam yang terdapat di Kabupaten Sukoharjo sebanyak 6 objek, lebih sedikit
dibandingkan dengan objek wisata budaya dengan jumlah total 10 objek wisata. Persebaran wisata budaya berada
dibagian utara dan bagian barat Kabupaten Sukoharjo, sedangkan wisata alam lebih banyak di bagian timur dan
selatan.
Peta persebaran objek wisata berdasarkan jenisnya dapat dijadikan sebagai panduan orang yang akan
mengunjungi Kabupaten Sukoharjo dalam rangka berwisata. Peta ini dapat dijadikan rujukan dan referensi dalam
menentukan destinasi wisata yang akan dikunjungi. Jika dikonsep lebih baik dan ditambah dengan infromasi
lengkap mengenai masing-masing objek wisata serta kegiatan-kegiatan yang ada di lokasi wisata maka akan sangat
menarik dan memberikan gambaran bagi para wisatawan. Sektor wisata sebetulnya dapat dijadikan salah satu
penghasil devisa yang cukup tinggi bagi daerah jika dikelola dan dikemas dengan baik, bukan tidak mungkin hal
tersebut juga terjadi di Kabupaten Sukoharjo. Banyaknya objek wisata budaya menjadi nilai positif tersendiri yang
tidak dimiliki oleh daerah lain. Hal inilah yang seharusnya bisa dimanfaatkan oleh instansi yang terkait khususnya
dinas Pariwisata untuk mengelola wisata budaya di Kabupaten Sukoharjo agar menjadi destinasi wisata yang handal
sehingga banyak mendatangkan wisatawan yang akan memberikan dampak positif bagi perekonomian lokal maupun
tambahan penghasilan daerah.

440
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa jumlah objek wisata alam dan budaya di Kabupaten
Sukoahrjo sebanyak 16 objek wisata yang tersebar di 10 Kecamatan dengan rincian 10 objek wisata budaya dan 6
objek wisata alam. Peta persebaran objek wisata dapat dijadikan panduan dalam berwisata, jika dikemas dengan
baik akan mendatangkan wisatawan dan mampu meningkatkan pendapatan lokal maupun daerah.

Daftar Pustaka
Bintarto, R dan Hadisumarno, Surastopo.(1991). Metode Analisa Geografi. Jakarta : LP3ES.
Pendit, Nyoman S. (1994). Ilmu Pariwisata. Jakarta : Akademi Pariwisata Trisakti
Sinaga, Maruli. 1995. Pengetahuan Peta. Jogjakarta : Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada.
Wahab, Salah (1999). Manajemen Pariwisata. Jakarta : Pradnya Paramita
Undang-undang No. 9 tahun 1990 Tentang Kepariwisataan

441
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

MODEL PEMBANGKITAN LISTRIK HIBRID PV-GENSET BERBASIS


KOMUNAL DI PULAU KARIMUNJAWA

Gunawan1,Suryani Alifah2,Moh. Arif Raziqy3


1,2,3
Prodi Teknik Elektro, Fakultas Teknologi Industri, Universitas Islam Sultan Agung
Jl. Raya Kaligawe KM 4 Semarang
Email : gunawan@unissula.ac.id

Abstrak

Kebutuhan energi listrik masyarakat Pulau Karimunjawa saat ini di suplai oleh Pembangkit Listrik
Tenaga Diesel (PLTD) dengan total daya produksi 400kW dengan rasio elektrifikasi 55%.
Kontinyuitas daya PLTD terkendala oleh tingginya biaya bahan bakar dan suplai yang tidak kontinyu
sehingga generator dioperasikan secara terbatas pada jam 17.00 – 06.00. Penelitian bertujuan
membuat model pembangkitan - pembebanan dengan memanfaatkan potensi sinar matahari sebagai
komplemen dari sistem eksisting.
Metodologi yang digunakan adalah pemodelan biaya tahunan dari system ( Annual Cost of System)
berdasarkan analisis pola beban harian untuk menentukan biaya energy per kWh. Pada model yang
dibuat, sejumlah unit PV dioperasikan pada system. Proyeksi daya tambahan pada sistem
memperhitungkan jumlah dan kapasitas unit modul solarcell, baterai dan inverter. Biaya investasi
perangkat pada gilirannya menentukan harga tiap kWh energi listrik yang diproduksi, serta luaran
mengenai polutan dan emisi dari pembangkit yang digunakan. Model pembangkitan dan pembebanan
didukung aplikasi HOMER yang menyediakan berbagai fitur mengenai pemilihan berbagai komponen
beserta biayanya sistem pembangkit hybrid.
Model pertama berupa penambahan kapasitas daya sebesar 100kW menggunakan PV ke sistem pada
saat beban puncak dengan durasi 3 jam dan pemasokan daya pada siang hari selama 5jam dihasilkan
dari total produksi sebesar 800kWh/hari dengan harga jual adalah Rp 3.900;/kWh. Model kedua
berupa penambahan kapasitas daya sebesar 100kW ke sistem pada siang hari selama 10 jam dan saat
beban puncak selama 3 jam, dengan total produksi sebesar 1400kWh/hari dengan harga jual Rp
3867/kWh. Secara umum model pertama mampu mereduksi polutan dan emisi sebesar 13% dan
model kedua sebesar 27%,

Kata kunci : Pembangkit Hibrid; PV-Diesel; HOMER Energy; Karimunjawa

Pendahuluan
Pulau Karimunjawa merupakan bagian dari Kecamatan Karimunjawa yang terpisah cukup jauh dengan
daratan Kabupaten Jepara.Penyediaan energilistrik di pulau tersebut disuplai oleh beberapa Pembangkit Listrik
Tenaga Diesel (PLTD) yang berasal dari beberapa genset, dengan rasio elektrifikasi lokal cukup kecil hanya
mencapai 55%.Jaringan listrik tersebut tidak terhubung dengan grid pulau Jawa, maka sistem kelistrikannya berdiri
sendiri. Masalah utama kelistrikan di pulau Karimunjawa adalah keterbatasan penyediaan energi listrik oleh
Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD)yang hanya berkapasitas 400kW, sementara jumlah pengguna dan beban
listrik tumbuh dengan pesat karena merupakan daerah pariwisata yang berkembang.[5][6]
Selain kapasitas pembangkitan listrik yang kecil, kontinuitas suplai bahan bakar menjadi masalah besar
terkait dengan harga bahan bakar dan pengangkutannya. Saat ini genset beroperasi mensuplai beban hanya pada sore
sampai pagi hari,atau kurang lebih 13 jam setiap harinya sebagai langkah penghematan.

442
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Selain rencana jangka panjang untuk membangun pembangkit dengan kapasitas yang besar oleh pemerintah,
masyarakat dapat mengupayakan kebutuhan listrik secara mandiri. Penggunaan diesel kecil sebagai cadangan daya
telah banyak dilakukan dan memiliki masalah yang sama karena tergantung dengan suplai bahan bakar fosil. Upaya
pemanfaatan energi baru terbarukan dengan teknologi konversi yang tersedia di pasaran dapat dijadikan solusi
alternatif. Potensi energiterbarukan yang tersedia dikepulauan Karimunjawa yang cukup besar adalah energi surya
dan angin. AplikasiPhoto Voltaic (PV)sudah banyak digunakan,akan tetapi gagasan untuk membangun pembangkit
listrik tenaga surya secara komunal perlu perhitungan secara cermat. Keberadaan genset yang tersedia menjadi basis
perhitungan besarnya kebutuhan daya tambahan dan pola beban harian sebagai dasar kapan tambahan daya
diperlukan.
Penelitian ini memiliki tujuan untuk mendapatkan model pembangkitan dan pembebanan dengan pola
kebutuhan listrik masyarakat setempat. Model sistem kelistrikan ini diharapkan memiliki fleksibilitas yang tinggi
dalam perencanaan pengembangan pembangkit baru yang dikoneksikan ke sistem tenaga listrik. Kebutuhan jumlah
daya tambahan pada waktu yang diinginkan dituangkan dalam konsep pembangkit hybridPV-Genset. Konfigurasi
sejumlah modul PV pada sistem ditujukan untuik memikul beban komunal. Total unit PV yang ada
menggambarkan potensi daya listrik tambahan yang diinginkan.Komponen PV yang terdiri dari unit solar cell,
batere dan inverter memiliki kapasitas yang dapat disesuaikan kebutuhan dengan biayanya. Seluruh investasi yang
dibutuhkan digunakan untuk melakukan prediksi jumlah produksi listrik dengan biaya energinya. [2][4] Cara
penghitungan dan pemilihan komponen serta mengkoneksikan dengan pembangkit diesel yang tersedia merupakan
sebuah model sistem tenaga listrik yang unik pada kasus di Pulau Karimunjawa.

Kelayakan Pembangkit Hybrid di Karimunjawa


Nilai rata-rata radiasi matahari global pada permukaan horisontal setiap jam per tahun dijadikan
dasarperancangan sebuah sistem PV di lokasi yang ditentukan. Data sekunder radiasi matahari per jam yang
diperoleh dari NASA menyebutkan bahwa energi matahari. rata-rata tahunan yang akumulasi dari radiasi matahari
harian pada permukaan horisontal untuk pulau Karimunjawa di lokasi 5°42’ - 6°00’ LS, 110°07’ - 110°37’ BT
sebesar 5,23 (kWh/m2/d)[7]. Fluktuasi penyinaran matahari dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 1.Potensi Intensitas Penyinaran Matahari Selama Setahun

Parameter Ekonomi Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Hibrid (PLTH), meliputi :

1. BiayaNet Total SaatIni(TotalNetPresentCost)


Biaya Net Total Saat Ini (Total NetPresentCost/NPC) merupakan parameter ekonomi yang paling utama untuk
nilai suatu sistem PLTH. Total NPC dapat dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut.[2][3][4]

(1)
dimana :
Cann,tot = total biaya tahunan ($/tahun)
CRF() = faktor penutupan modal
i = suku bunga (%)
Rproj = lama waktu suatu proyek
N = jumlah tahun

Sedangkan faktor penutupan modal bisa didapatkan dengan menggunakan rumus sebagai berikut.

443
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

(2)

2. BiayaLevelizedEnergi(LevelizedCost ofEnergy)
Levelized Cost of Energy (COE) didefinisikan sebagai biaya rata-rata per kWh produksi energy listrik yang
terpakai oleh sistem. Untuk menghitung COE biaya produksi energy listrik tahunan dibagi dengan total energi
listrik terpakai yangdiproduksi. Berikut adalah persamaannya [5].

(3)

Metodologi Penelitian
Pemodelan dilakukan dengan menyusun skenario penambahan suplai daya pada waktu waktu yang dianggap
strategis. Perencanaan sistem menggunakan design tool HOMER Energy sebagai perangkat lunak membuat model
sistem pembangkitan - pembebanan. Metodologi yang digunakan adalah analisis skenarioterkait biaya tahunan dari
system ( Annual Cost of System)yang meliputi biaya modal (Annual Capital Cost), Biaya Operasi dan Perawatan
(Annual Operation Maintenace Cost), Biaya penggantian komponen (Annual Replacement Cost),dan Biaya
Kerusakan (Annual Damage Cost). Hasil akhir perhitungan biaya ini berupa konfigurasi Pembangkit Listrik Tenaga
Hybrid dengan langkah proses sebagai berikut.

Gambar 2. Diagram alir kajian PLTH Karimunjawa

Data-data yang dibutuhkan antara lain, generator yang terdapat di P. Karimunjawa memiliki daya output
500kVA atau senilai bersih 400kW, untuk mensuplai sebanyak 850 pelanggan selama 13 jam mulai pukul 17.00 –
06.00.Pola beban diasumsikan flat tidak mengalami fluktuasi karena daya terserap seluruhnya selama durasi waktu
tersebut, seperti di ilustrasikan pada Gambar 3.

444
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Gambar 3. Profil Daya Output Diesel P. Karimunjawa

Kondisi awal pembebanan adalah sesuai kapasitassuplai Generator 500kVA / 400kW. Pembebanan ini di
asumsikan flat tidak mengalami fluktuasi beban listrik karena beban relatif stabil sesuai kapasitas maksimum
genset. Genset mensuplai beban pada jam 17.00-06.00 selama 13 jam dan off dari grid pada jam 06.00-17.00.
Skema dasar pembebanan dan pembangkitan energi listrik hanya menggunakan generator di pulau
Karimunjawa.Disain dasar pembangkit listrik tenaga hibrid seperti Gambar 4.

Gambar 4. Desain Pembangkit Listrik Hibrid di P. Karimunjawa dengan HOMER

Berdasarkan kondisi tersebut pemodelan pembangkitan-pembebanan sistemdapat dibuat secara terbuka,


menentukan skala prioritas berdasarkan kapasitas, waktu dan durasi suplai daya listrik yang paling mendekati pola
kebutuhan.Pola kebutuhan listrik masyarakat setempat disajikan dalam dua model. Modelpertama, setting
pembebanan pada jam 10.00 – 14.00, dengan beban listrik adalah 100 kWyang disuplai PV danGenerator mensuplai
sebesar 400 kW selama jam 17.00 – 06.00. Pada saat beban puncak diharapkan dapat memikul 25% dari beban rata-
rata harian yaitu sebesar 500 kW, 400 kW dari diesel dan 100 kW dari PV.

Hasil dan Pembahasan


Pada model pertama, didiskripsikan bahwa pada beban pagi-siang menggunakan PV dengan kapasitas 100
kW, baterei 100 kWh dan inverter 100 kW. Guna mensuplai beban puncak yang terjadi selama 3 jam, diperlukan
penyimpanan daya sebesar 300 kWh. Asumsi energi maksimal cahaya matahari terjadi selama jam 09.00 – 14.00
yaitu 5 jam. Kapasitas PV 60 kW selama 5 jam menghasilkan output 300 kWh dengan kapasitas baterey 300 kWh
dan inverter 100 kW. Total beban listrik di P. Karimujawa 6000 kWh/hari, yang terdiri dari 5.200 kWh diesel dan
800 kWh PV. Kontribusi PV terhadap sistem adalah 13%. Skema pembebanan dan pembangkitan model pertama
dapat dilihat pada gambar 5.

445
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Gambar 5.Skenario Pembebanan dan Pembangkitan Model 1

Tabel 1.Komposisi ModelPertama di PLTH P. Karimunjawa


Komponen Type Jumlah Unit
PV Generic flat plate PV 250 kW
Generator 500kW Genset 400 kW
Battery CELLCUBE® FB 10-130 82 Strings
Converter System Converter 150 kW
Dispatch Strategy Cycle Charging

Tabel 2. Daftar Input Biaya Komponen


Capital Replacement O&M
Componen
(Rp) (Rp) (Rp)
Generator 0 0 500.000/jam
PV Plat 17.080.000 0 500.000/thn
Battrey Cell Cube 640.000.000 640.000.000 10.000.000/thn
Convertor ( Inverter +
1.600.000 0 500.000/thn
Control )

Setting Periode proyek PLTH ini selama 10 tahun. Biaya-biaya atau Total biaya pembangkit Hibrid ini akan
di bagi menjadi 10 tahun sesuai lama proyek, jumah biaya tahunan yang meliputi pengadaan komponen,
penggantian komponen, biaya operasi pemeliharaan dan biaya bahan bakar akan di jumlah dan di bagi terhadap
jumlah energi listrik yang di produksi hasilnya akan berpengaruh terhadap harga jual energi listrik tiap kWh. Biaya
NPC total untuk model pertama adalah Rp 85.413.436.416.
Total produksi listrik model pertama 2.282.892 kWh/tahun yang terdiri dari PV 17% (384.892 kWh/tahun)
dan diesel 83% (1.898.000 kWh/tahun). Produksi listrik bulanan Selama bulan Januari sampai Desember Diesel
selalu konstant seperti pemodelan yang didesain flat menghasilkan listrik sebesar 216,7kW/bulan, sementara PV
menghasilkan listrik terjadi fluktuasi berdasarkan tingkat pencahayaan matahari. Energi listrik yang dihasilkan
adalah sebagai berikut: 34,0 kW; 38,2 kW; 44,0 kW; 44,2 kW, 44,9 kW; 44,4 kW; 48,2 kW; 53,4 kW; 55,3 kW;
49,1 kW; 38,8 kW; 32,5 kW. Untuk lebih jelas seperti pada Gambar 6.

Gambar 6. Produksi listrik bulanan model pertama

446
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Pada perencanaan model pertama dengan jumlah beban 6000kWh/hari seperti pada gambar 5 di supplai PV
13% (800 kWh/hari). Total biaya pengadaan komponen PLTH Rp 56.970.002.432; tidak ada biaya penggantian
komponen, hal ini karena lamanya proyek adalah 10 tahun, peralatan tersebut masih berada dalam lifetime atau
garansi, kecuali generator. Biaya operasi dan pemeliharaan semua komponen adalah Rp 12.572.498.944; Untuk
biaya bahan bakar diesel selama 10 tahun adalah Rp 42.110.935.040,- dengan harga perliter adalah Rp 8.600;
jumlah total kebutuhan pengadaan sistem adalah Rp 85.413.436.416; dibagi selama sepuluh tahun, maka biaya
tahunan adalah Rp 8.541.343.872;. harga jual pemodelan pertama adalah Rp 3.900/kWh, ini diperoleh dari biaya
operasi sistem tahunan Rp 8.541.343.872; dibagi terhadap jumlah konsumsi listrik yaitu 2.190.000 kWh/tahun.
Photo Voltaik 250 kW dengan output rata-rata 1054,50 kWh/hari, rata-rata 1kW menghasilkan 4.216
kWh/hari. Waktu oprasi PV berdasarkan data yang telah di input yang diperoleh dari NASA, yaitu selama 4.376
jam/tahun atau rata-rata sekitar 12 jam perhari. Harga livelized cost atau harga jual PV jika independent dari sistem
adalah Rp 1.429 kWh/tahun, nilai ini didapat dari biaya total PV tanpa mengikut sertakan batere dan inverter Rp
549.999.992,- dibagi terhadap produksi PV pertahun 384.892 KWh/tahun.
Generator 400 KW beroperasi selama 4745 jam/tahun, produksi listrik 1.899.000 kWh/tahun. Biaya diesel
jika independent terhadap sistem PLTH adalah Rp 2343/kWh. Kunsumsi bahan bakar sebesar 489.662 liter/tahun,
dengan harga Rp 8.600/liter maka biaya konsumsi bahan bakar Rp 4.211.093.504;.
Model kedua dengan penambahan kapasitas PV terhadap sistem 21%, yaitu mengoperasikan listrik selama 24
jam dengan perincian PV mensupplai sebesar 100 KW dari jam 06.00-17.00 dan mensupplai pada beban puncak 100
kW dari PV , 400 kW dari diesel yang terjadi pada jam 19.00-21.00. Seperti model pertama diesel mensupplai dari
jam 17.00-06.00 sebesar 400 KW.Pemodelan model kedua dapat di lihat pada gambar 7.

Gambar 7. Skenario Pembebanan dan Pembangkitan Model 2


Tabel 3. Komposisi Model kedua kompononen PLTH P. Karimunjawa
Komponen Type Jumlah Unit
PV Generic flat plate PV 450 kW
Generator 500kW Genset 400 kW
CELLCUBE® FB 10-
Battery 90 Strings
130
Converter System Converter 150 kW
Dispatch Strategy Cycle Charging

Jumlah unit dari PV pada model kedua lebih besar yaitu 450 kW, jumlah baterai 90 buah, sementara
generator dan inverter tetap sama. Sehingga biaya capital dan total sistem mengalami kenaikan. Total biaya sistem
Rp 93.173.436.416;, sedangkan biaya tahunan sistem adalah 9.317.343.616.
Total produksi listrik pada model kedua adalah 2.590.807 kWh/tahun, yang terdiri dari PV 26,74% (692.807
kWh/tahun) dan Generator 73,265 (1.898.000 kWh/tahun). Produksi listrik diesel generator perbulan rata-rata
selama setahun adalah 216,7 kWh. Sedangkan produksi PV bervariasi bergantung tingkat radiasi sinar matahari
yang terjadi di Pulau Karimunjawa. Fluktuasi dari daya yang dihasilkan terlihat seperti Gambar 8.

447
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Gambar 8. Produksi listrik bulanan model dua


Pada model kedua dengan menambah waktu suplai menjadi 24 jam seperti pada Gambar 7, pembebanan pada
pagi hari sampai sore 100 KW dan malam hari sama seperti semula. Besaran komponen pembangkit generator 400
KW, PV 450 KW, Inverter 150 KW, dan Battrey 90 buah. Total jumlah beban 6600 kWh/hari, PV mensuplai 21%
(1.400 kWh/hari). Biaya pengadaan peralatan Rp 65.490.001.920; Seperti pada model pertama biaya pengantian
komponen di tiadakan juga. Biaya operasi dan pemeliharaan Rp 14.372.499.456; Biaya bahan bakar adalah Rp
42.110.535.040; Jumlah total biaya selama proyek adalah Rp 93.173.436.416;.Biaya tahunan total sistem adalah Rp
9.317.343.616; denga konsumsi listrik sebesar 2.409.000 kWh/tahun, sehingga harga jual Rp 3867/kWh.
Pada model kedua harga levelized cost PV adalah Rp 1.429/KWh. Biaya ini diperoleh dari total biaya
tahunan PV tanpa biaya batere dan inverter Rp 989.999.968; di bagi dengan produksi listrik 692.807 KWh/tahun.
Sedangkan biaya produksi generator seperti pada model pertama.
Berdasarkan sistem default dari HOMER untuk generator 500 KVA / 400 KW menghasilkan emisi seperti
pada tabel 4.

Tabel 4. Polutan dan Emisi dari Pembangkit Diesel


Pollutant Emissions Units
Carbon dioxide 1289441 Kg/yr
Carbon monoxide 3183 Kg/yr
Unburned hydrocarbons 353 Kg/yr
Particulate matter 240 Kg/yr
Sulfur dioxide 2589 Kg/yr
Nitrogen oxide 28400 Kg/yr

Tabel 5.Potensi Polutan dan Emisi direduksi dengan PV


Scenario Scenario
Pollutant 1 2 Units
13% PV 27% PV
Carbon dioxide 167627.33 348149.07 Kg/yr
Carbon monoxide 413.79 859.41 Kg/yr
Unburned hydrocarbons 45.89 95.31 Kg/yr
Particulate matter 31.2 64.8 Kg/yr
Sulfur dioxide 336.57 699.03 Kg/yr
Nitrogen oxide 3692 7668 Kg/yr

Penggunaan pembangkit PV sebagai pendukung dalam pemenuhuan energi listrik secara hybrid dapat
mengurangi potensi emisi gas buang berupa polutan dan emisi sebesar 13% untuk skenario 1 dan 27% untuk
skenario 2 dari potensi emisi yang dikeluarkan oleh pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) yang terinstall, dengan
komposisi seperti dalam tabel 5.

448
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Kesimpulan
Berdasarkan uraian analisis pada bab sebelumnya, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Model pertama dengan kontribusi ke sistem sebesar 8 jamoperasi, untuk beban 5.200 kWh/hari dengan
penambahan energi 800 kWh/hari., didapatkanenergi listrik dengan hargasebesar Rp 3.900/kWh. Sementara
pada model kedua memberi kontribusi 15 jam dengan tambahan energi listrik 6600 kWh/hari, mendapatkan
energi listrik dengan harga Rp 3.867/kWh.
2. System Hybrid- berbasis komunal dengan beberapa pembangkit listrik tenaga surya secara terpusat dengan
penggunaan bersama berpotensi mengurangi polutan dan emisi sebesar 13% pada scenario 1 dan 27% pada
scenario 2 dari nilai emisi generator yg digunakan, dimana menunjukkan bagaimana pemenuhan kebutuhan
listrik tanpa menambah masalah lingkungan.

Daftar Pustaka
Asian Development Bank (2015),“Tarif Untuk Pembangkit Tenaga Angin dan PV Surya Atap di Indonesia”,
Jakarta:pp 12-22
Kunaifi, (2010). “Program Homer utntuk studi kelayakan pembangkit listrik Hibrida di Propinsi Riau”, Seminar
Nasional Informatika,UPN Veteran
Herlina, (2009),“Analisis Dampak Lingkungan dan Biaya Listrik Pembangkit Listrik Tenaga Hibrid di Pulau Sebesi
Lampung Selatan”,Universitas Indonesia.
Gilman, P., Lambert, T. (2006),“Micropower System Modeling with HOMER”,National Renewable Energy
Laboratory of United States Government.
-------, (2014),” Rencana Usaha Pembangkit Tenaga Listrik (RUPTL) 2015-2024 PT. PLN (Persero) Distribusi
Jateng DIY.”PT PLN
-------,(2014),”Laporan Rasio Elektrifikasi 2014 PT. PLN (Persero) Distribusi Jateng DIY”, PT.PLN

449
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

EMISI SMOKE DAN KEAUSAN LOGAM PADA PELUMAS


KENDARAAN TRUK BERBAHAN BAKAR BIODIESEL
DUAPULUH PERSEN

Ihwan Haryono1, I.G.A. Uttariyani2, Siti Yubaidah3


1,2,3
Balai Teknologi Termodinamika, Motor dan Propulsi (BT2MP)
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)
Gd. 230 Kawasan PUSPIPTEK, Setu, Tangerang Selatan 15314
Ph. 021_7560539 Fax. 021_7560538
E-mail: ihwan.haryono@bppt.go.id

Abstrak

Untuk mendukung implementasi pemakaian bahan bakar biodiesel dua puluh persen, pemerintah
melalui kementerian ESDM bekerjasama dengan BT2MP telah melakukan uji jalan dan road show
sejauh 40.000 kilometer lintas Jawa menggunakan kendaraan truk (mobil box). Tujuan dari uji jalan
ini untuk mengetahui pengaruh penggunaan B20 terhadap kendaraan sekaligus sosialisai pemakaian
B20 yang baru saja dipasarkan di masyarakat luas. Selama uji jalan dan road show, kendaraan uji
dilakukan uji kepekatan asap atau opasitas secara periodik tiap 10.000 kilometer dan di akhir
pengujian dilakukan uji pelumas bekas (used oil analysis) untuk mengetahui keausan logam, serta
inspeksi beberapa komponen engine yang berkaitan dengan pemakaian bahan bakar biodiesel 20%.
Hasil pengujian menunjukkan tidak terjadi perubahan yang signifikan pada emisi asap (opasitas) dan
keausan logam pada pelumas bekas masih didalam toleransi yang diijinkan. Dari hasil inspeksi visual
beberapa komponen engine menunjukkan bahwa tidak terjadi pembentukan deposit karbon yang
berlebihan dan tidak ditemukan keausan yang berarti. Dapat disimpulkan bahwa penggunaan bahan
bakar biodiesel duapuluh persen (B20) menghasilkan emisi asap di bawah batas yang ditentukan
pemerintah dan tidak berpengaruh negatif secara signifikan pada kondisi komponen engine.

Kata kunci: analisa pelumas; biodiesel; emisi; keausan logam; opasitas (smoke)

Pendahuluan
Untuk mengatasi ketergantungan terhadap solar impor dan untuk ketahanan energi nasional, maka arah
kebijakan energi nasional adalah mengurangi ketergantungan Indonesia pada energi berbasiskan sumber daya fosil
dan beralih ke energi terbarukan. Energi dari fosil semakin menipis, sementara kebutuhan energi nasional terus
tumbuh sekitar 7% hingga 8% per tahun. Jika tidak ada alternatif pengalihan maka sumber energi minyak bumi
semakin cepat habis. Disisi lain pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia masih sangat kecil, hanya sekitar 6%
dari total kebutuhan, padahal potensinya sangat besar (Press release, 2016).
Pada tahun 2014, telah dilakukan uji ketahanan kinerja mesin terhadap 6 buah kendaraan penumpang
memalui uji jalan dengan jarak tempuh 40.000 km dengan bahan bakar solar dan biodiesel 20%. Hasilnya cukup
memuaskan, baik kendaraan yang menggunakan B0 (solar) maupun yang menggunakan B20 tidak ada keluhan.
Kinerja semua kendaraan kendaraan uji, baik itu berbahan bakar B20 maupun B0, tidak ada perubahan signifikan.
(Rahmadi dkk, 2015).
Uji jalan dan road show B20 tahun 2015 merupakan kegiatan sosialisasi kesiapan kendaraan bermotor
bermesin diesel terhadap pelaksanaan mandatori B20, yaitu implementasi B20 yang ditetapkan melalui menteri
ESDM 1 Januari 2016 perihal penggunaan bahan bakar nabati (BBN) biodiesel sekitar 20% berbasis crude palm oil
(CPO), Fatty Acid Methyl Ester (FAME). Pemakaian B20 secara bertahap meningkat sampai dengan 30% pada
tahun 2025 (Permen ESDM, 2013).
Makalah ini menyampaikan hasil uji emisi opasitas terhadap salah satu kendaraan uji selama uji jalan dan
road show tersebut setelah menempuh rute lintas Jawa sejauh 40.000 kilometer dan analisa kondisi pelumas engine
sehabis digunakan, serta inspeksi visual kondisi komponen engine dari kendaraan yang digunakan.

450
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Kajian Pustaka
Emisi gas buang mesin diesel
Emisi gas buang mesin diesel berisi sebuah campuran gas yang kompleks, uap, cairan aerosol dan bahan
partikulat. Maretial-material ini merupakan produk dari pembakaran. Kuantitas dan komposisi emisi gas buang
mesin diesel terutama tergantung dari:
• Tipe engine, misal turbocharged atau non-turbocharged
• Apakah engine dilakukan perawatan secara teratur dan disetel ulang
• Bahan bakar yang digunakan
• Beban engine
• Temperatur engine (Anonim, 2012).
Emisi gas buang dari mesin diesel umumnya lebih kelihatan dibandingkan dengan yang berasal dari mesin
berbahan bakar gasolin. Hal itu dikarenakan engine diesel sepuluh kali lebih banyak mengandung jelaga (soot).
Secara umum, mesin diesel menghasilkan karbon monoksida lebih rendah dibandingkan dengan mesin berbahan
bakar gasolin, tetapi lebih banyak mengandung oksida nitrogen, oksida sulphur, aldehydes, dan partikulat
(particulate matter). Beberapa material lain yang dikeluarkan dari mesin diesel dapat dilihat pada ilustrasi Gambar
1.

- Carbon (soot)
- Water (H2O)
- Carbon monoxide (CO)
- Carbon dioxide (CO2)
- Nitrogen (N2)
- Oxides of nitrogen (NOx)
- Oxides of sulphur, eg (SO2)
- Alcohols
- Aldehydes
- Ketones
- Various hydrocarbons (HC)
- Polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs)

Gambar 1. Unsur kimia utama dari emisi gas buang mesin diesel

Partikel jelaga di dalam emisi gas buang mesin diesel mempunyai ratusan unsur organik yang terserap pada
permukaannya, beberapa diantaranya mempunyai potensi bahaya pada kesehatan dibandingkan dengan yang
lainnya. Kandungan jelaga (soot) di dalam emisi gas buang mesin diesel bervariasi dari 60% hingga 80% tergantung
dari bahan bakar yang digunakan, dan tipe serta kondisi engine.

Gambar 2. Proses pertumbuhan soot

451
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Pada permulaan studi mengenai soot, metode yang digunakan masih berupa Smoke Point yaitu tinggi api
dimana soot dapat diamati dengan menggunakan mata telanjang. Studi ini menghubungkan struktur molekul
hidrokarbon dengan titik smoke. Hasilnya mengindikasikan bahwa hidrokarbon yang menghasilkan soot mengalami
peningkatan secara berurutan sebagai berikut:

paraffins < isoparaffins < mono-olefins < naphthenes < alkynes < aromatics

Secara umum dapat dikatakan semakin kompak struktur molekul dengan nomor atom karbon yang sama akan
mempunyai kecenderungan membentuk soot lebih kuat. Pemahaman sekarang mengenai pertumbuhan soot
ditunjukkan dalam Gambar 2 dan dijelaskan secara rinci dalam rujukan (Kittelson dan Kraft, 2014).
Partikel soot adalah seperti kumpulan atau gumpalan yang terbuat dari roda karbon dengan diameter 10 s/d
100 nm. Morphologi unik campuran soot ditunjukkan pada Gambar 3. Soot di dalam tropospher memberikan
kontribusi terbesar kedua pada pemanasan global setelah CO2 (Li dkk, 2015).

Gambar 3. Morphologi dan komposisi dari partikel soot di Asia timur

Smoke (asap). Smoke adalah istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan awan, kabur, situasi
yang dihasilkan dari proses pembakaran material organik. Smoke berisi padatan atau cairan atau butiran cair yang
amat kecil sehingga cenderung tertahan di udara untuk jangka waktu tertentu, bervariasi dari beberapa detik sampai
tahunan. Walaupun smoke sering terlihat oleh mata manusia, tetapi sebagian besar tidak. Ukuran dan isi dari partikel
atau butiran cair penyusun smoke sangat mempengaruhi kemampuan kita untuk melihat.

Opasitas. Opasitas adalah sebuah ukuran dari pengurangan atau hilangnya sinar yang melalui smoke di
dalam ruang kolom yang biasanya dinyatakan dalam persentase. Sebuah opasitas 10% berati 90% dari sumber
cahaya masih ada dan 10% hilang setelah melalui ruang pengukuran. Istilah 90% (0,9), sisa cahaya, dinyatakan
sebagai Transmittan.
Angka smoke (smoke number) adalah sebuah istilah yang berhubungan dengan smoke meter (aetholometers)
yang mengukur sifat optik dari smoke pada bahan kertas saring. Berbagai skala nilai smoke sudah dikembangkan
disesuaikan dengan peralatan ukur yang digunakan dengan sejumlah asumsi soot yang sedang diukur. Asumsi yang
mendasari laporan adalah soot merupakan unsur paling banyak atau yang terpenting dari asap yang akan diukur.
Skala laporan yang umum termasuk Hartridge Smoke Unit (HSU), Bosch Smoke Unit (BSU), Filter Smoke Number
(FSN), dan lain-lain (Anonim, 2010).

Analisa pelumas habis pakai (used oil analysis)


Analisa pelumas habis pakai dibagi dalam tiga katagori:
1. Analisa sifat pelumas termasuk bahan dasar dan aditifnya,
2. Analisa kontamintan,
3. Analisa sisa keausan dari mesin (Anonim, 2011).

452
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Viskositas
Viskositas adalah sifat resistansi internal pelumas untuk mengalir pada temperatur dan dalam waktu tertentu,
dan dianggap sebagai sifat fisik yang paling penting dari pelumas. Perubahan viskositas menunjukkan pemakaian
yang tidak benar, pengenceran, kontaminasi atau kerusakan pelumas dalam pemakaian. Viskositas yang paling
umumnya ditentukan dengan metode kinematik dan hasilnya dilaporkan dalam centistokes/cSt (1 Centistoke (cSt) =
1 milimeter persegi per detik). Kelas pelumas mesin juga dapat dinyatakan sebagai SAE Grade.

Base Number (BN, “TBN”)


Merupakan ukuran total kandungan alkali hadir dalam pelumas. Banyak aditif yang digunakan dalam
pelumas mesin mengandung material alkaline (basic) yang bertujuan untuk menetralisir asam yang terbentu selama
proses penuaan dan pembakaran bahan bakar. Sebuah BN relatif tinggi dikaitkan dengan peningkatan perlindungan
terhadap korosi ring dan liner silinder, dan kerusakan untuk logam "kuning", seperti tembaga dan perunggu.
Penurunan BN yang tidak normal menunjukkan kapasitas menetralisir asam berkurang dan atau paket aditif habis.
Pengujian pertama menentukan jumlah asam yang diperlukan untuk menetralkan isi basa sampel. Hasil akhir
kemudian dinyatakan sebagai jumlah yang setara dengan alkali kalium hidroksida per gram sampel.

Tabel 1. Kandungan logam dan kaitannya (Anonim, 2011 dan Fitch, 2011)
LOGAM SUMBER
Aluminium, Al Piston atau crankcase engine
Barium, Ba Detergent, inhibitor korosi dan karat (rust)
Calcium, Ca Aditif detergent/dispersant, kontaminan air, kontaminasi udara
Chromium, Cr Piston, liner silinder, katup pembuangan, kebocoran pendingin dari inhibitor korosi
Tembaga, Cu Bearing, bushing, pendingin oli, aditif
Besi, Fe Keausan umum, liner silinder, katup, rocker arm, bearing, crank shaft, cam shaft, pin
Timbal, Pb Bearing
Magnesium, Mg Detergent, dispersant, peningkat alkalinity
Molibdenum, Mo Ring piston, aditif tekanan ekstrim, kontaminasi pendingin
Nickel, Ni Campuran logam bearing, valve train
Phosporus, P Aditif anti-wear
Potasium, K Kebocoran pendingin, kontaminasi udara
Silikon, Si Debu udara, sil, kebocoran pendingin, aditif
Sodium, Na Kebocoran pendingin, aditif
Tin, Sn Logam bearing, piston, ring piston, sil, bushing, thrust washer
Zink, Zn Aditif anti-wear, anti oksidan, inhibitor korosi

Pengujian kandungan logam digunakan untuk menafsirkan kondisi komponen engine. Adanya unsur-unsur
tertentu atau kombinasi dari unsur-unsur menunjukkan masalah-masalah yang ada. Berbagai jenis logam dan sumber
dari mana asalnya dapat dilihat pada Tabel 1.
Tujuan dari analisa pemumas habis pakai adalah untuk memantau kelayakan pelumas, memantau kondisi
mesin yang sedang dilumasi dan mengukur tingkat kontaminannya.
• Tingkat pengurangan ZDDP (zinc dialkyl dithiophosphates) yang tinggi menunjukkan bahwa aditif sedang
banyak digunakan.
• Perubahan viskositas (resistensi fluida untuk mengalir) dari kondisi baru, dapat menunjukkan servis yang tidak
benar, pengenceran, kontaminasi atau kerusakan pada saat digunakan.
• Tin, timbal, dan tembaga dapat menunjukkan kerusakan bantalan (bearing)
• Kombinasi dari besi (Iron) dengan krom biasanya akan menunjukkan keausan liner dan ring.
• Adanya aluminium dapat menunjukkan keausan piston.
• Silicon biasanya dapat ditelusuri ke sistem pemasukan udara yang rusak yang memungkinkan udara
mengandung kotoran atau pasir ke dalam ruang pembakaran.
• Boron dan natrium merupakan komponen dari etilena glikol dan biasanya menunjukkan aditif antibeku dalam
minyak, yang dihasilkan dari kebocoran tutup gasket pendingin oil, atau blok yang retak.

Metode Pengujian
Pengujian dilakukan dengan menggunakan sebuah kendaraan angkut barang (truk) sebagaimana ditunjukkan
pada Gambar 4. Kendaraan tersebut dijalankan menggunakan bahan bakar Biodiesel, B20, dengan kualitas Standar
Nasional Indonesia untuk B0 (Kep. Dirjen Migas, 2013) dan B100 (SNI, 2015) sebagai bahan campuran biodiesel.
Pelumas engine kendaraan yang digunakan adalah sebagaimana yang direkomendasikan pabrik pembuat mobil
dengan spesifikasi API SAE 15W-40.

453
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

5% 10%
5%
40%

40%

General/ City Highway


Waving Rough Road
Down/up Hill & Corner

Gambar 4. Kendaraan uji Gambar 5. Kondisi rute uji jalan

Sebelum dilakukan pengujian jalan, komponen-komponen kritis engine yang berhubungan dengan sistem
pembakaran diganti atau dibersihkan terlebih dahulu sehingga seperti komponen baru. Demikian juga kondisi awal
pengujian, engine disetel ulang sebagaimana kondisi engine baru.
Setelah engine kendaraan dikondisi ulang, kendaraan dilakukan penggatian oli dan run-in untuk memastikan
tidak ada masalah terhadap mesin dan dilakukan uji emisi awal. Selanjutnya kendaraan diuji dengan melakukan
perjalanan (road test) pada berbagai kondisi jalan yang berbeda sampai menempuh jarak lebih dari 32.000 kilometer.
Rute uji jalan dimulai dari Serpong (BT2MP) – Bogor (Puncak) – Bandung (Lembang) – Subang – Cikampek dan
kembali ke Serpong. Rute uji jalan dengan berbagai variasi kondisi sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 5.
Setelah menempuh jarak lebih dari 32.000 kilometer, kendaraan uji menempuh jalur utama Jawa dalam
rangka kegiatan sosialisasi pemanfaatan B20 (road show) di berbagai kota yang disinggahi. Adapun jalur dan kota
yang ditempuh adalah Jakarta-Tegal-Semarang-Surabaya-Jember-Malang-Solo-Jogjakarta-Dieng-Bandung-Serang-
Merak-Jakarta. Di berbagai kota tersebut, tim uji melakukan serangkaian kegiatan sosialisasi berupa seminar atau
pertemuan umum lainnya.
Selama pengujian jalan (road test) dan road show, kendaraan dilakukan perawatan (service) dan penggatian
pelumas sesuai dengan yang direkomendasikan pabrikan tiap 10.000 km. Pengujian emisi dilakukan secara periodik
setiap jarak tempuh 10.000 kilometer sebelum servive dan penggantian pelumas di ruang uji kendaraan (vehicle test
cell) Balai Teknologi Termodinamika, Motor dan Propulsi.
Sampling pelumas dilakukan sehabis kendaraan menempuh jarak 40.000 kilometer saat dilakukan
pembongkaran untuk melihat kondisi komponennya. Dengan demikian umur pemakaian pelumas adalah 10.000
kilometer jarak tempuh kendaraan. Sampel pelumas selanjutnya dikirim ke laboratorium analisa pelumas (SOS, PT.
Trakindo) yang telah terakreditasi. Parameter yang diuji adalah parameter kondisi degradasi pelumas (viskositas dan
TBN), penurunan kandungan aditif (additives depletion) dan kandungan keausan logam (metal wear).

Hasil Pengujian dan Pembahasan


Parameter uji yang diambil adalah emisi kepekatan asapnya (opasitas). Pengujian kendaraan dengan metode
free akselerasi menggunakan alat Smoke Meter Tecnotest dengan sistem diagnose Stargas 898. Adapun hasil uji
opasitas kendaraan uji tersebut ditunjukkan dalam Gambar 6.
Grafik emisi kepekatan asap (opasitas) menunjukkan angka rata-rata 10,78% HSU pada awal uji jalan dan
mengalami peningkatan menjadi 12,41 % HSU pada kilometer 10.000 yang selanjutnya menurun lagi menjadi 10,44
% HSU pada kilometer 20.000. Pada kilometer 30.000 opasitas menunjukkan angka 11,94 HSU dan pada kilometer
40.000 menunjukkan angka 14,32 HSU.
Emisi smoke pada kendaraan uji relatif stabil pada kisaran 10,4 HSU sampai dengan 14,4 HSU selama uji
jalan sampai dengan 40.000 kilometer. Nilai emisi smoke selama uji jalan dan sosialisasi ini masih jauh di bawah
ambang batas yang diijinkan menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 5 tahun 2006 yaitu sebesar 50%.
Hal ini menunjukkan hasil yang positif pemakaian B20 pada kendaraan angkut barang (truk) terhadap emisi asap
(smoke) yang dihasilkan.

454
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Limit Permen LH; 2006

Gambar 6. Grafik hasil uji opasitas asap

Biodiesel yang dibuat dari minyak tumbuhan mengandung sulfur yang sangat rendah, walaupun dapat juga
dijumpai biodiesel yang dibuat dari minyak hewan mengandung sulfur sebesar 50 – 100 ppm (Gerpen dkk, 2007).
Kandungan sulfur berpengaruh besar pada pembentukan emisi partikulat. Dalam proses pembakaran, 95 - 98%
sulfur teroksidasi menjadi SO2 dimana gas ini bersama gas buang lain terbuang ke udara dan dapat bereaksi yang
berkontribusi pada pembentukan asap dan hujan asam. SO2 dengan adanya oksigen membentuk SO3. Di dalam
temperatur tinggi gas ini berbentuk uap (vapour) dan dengan mudah bercampur dengan air yang terbentuk selama
proses pembakaran. Aerosol dari asam sulfur yang menyatu dengan air menjadi komponen emisi partikulat
(Merkisz, 2002).

Tabel 2: Used oil analysis


PARAMETER HASIL PENGUKURAN BATAS TOLERANSI SATUAN
Degradasi pelumas (Fitch, 2011) Shell
Viskositas, 100 oC 12,6 -10% s/d +20% +/- 20% cSt
TBN 11,6 penurunan 75% 2,0 mgKOH/g
Keausan logam SOS, PT. Trakindo Shell
Fe 71 < 125 3 – 150 ppm
Al 6 < 25 2 – 20 ppm
Cr 1 < 15 0 – 20 ppm
Cu 2 < 35 -5 – 65 ppm
Pb 0 < 25 3 – 50 ppm
Si 9 < 45 1 – 15 ppm
Kandungan aditif
Ca 3917 ppm
Zn 1298 ppm
Mo 100 ppm
Mg 21 ppm
P 929 ppm
B 34 ppm

Hasil uji pelumas bekas sesudah uji jalan dan road show ditunjukkan pada Tabel 2. Dari Tabel 2 tersebut
parameter degradasi pelumas, kandungan aditif maupun keausan logam masih di dalam toleransi yang diijinkan.

455
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Sifat fisik viskositas masih pada nilai 12,6 cSt. Pelumas yang digunakan mempunyai spesifikasi API SAE 15W-40
dan berdasar brosur didapat nilai uji viskositas pada suhu 100oC berada pada nilai 15 cSt, sehingga selisih dengan
spesifikasi pelumas barunya sebesar 16%. Nilai ini masih didalam batas limit yang dikeluarkan Shell (Angeles,
2003). Nilai batas toleransi ini dapat bervariasi antar perusahaan atau pengambil keputusan tergantung pada
pengalaman, data base, biaya maupun penelitian yang dilakukan. Nilai viskositas hasil uji masih merupakan
perkiraan karena perubahan viskositas seharusnya dibandingkan dengan nilai viskositas pelumas baru, dimana
pengukuran viskositas baru tersebut tidak dilakukan. Demikian juga dengan nilai TBN sebesar 11,6 mgKOH/g yang
masih jauh dengan dengan batas limitnya sebesar 2,0 mgKOH/g. Hasil ini menunjukkan bahwa kelayakan
pemakaian pelumas masih dalam kondisi yang baik. Hasil ini didukung dengan kandungan aditifnya. Semua nilai
dari keausan logam masih dibawah nilai tolerasi yang diijinkan. Keausan logam ini berasal dari berbagai komponen
engine sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 1. Hal ini menunjukkan tidak terjadi keausan komponen engine secara
signifikan.
Aditif Ca dan Mg merupakan aditif pembersih (detergency/dispersant) yang bekerja dengan cara
meningkatkan sifat basa dengan ditunjukkan nilai TBN. Sifat basa berfungsi menetralisir sifat asam hasil oksidasi
pelumas akibat pemakaian terlalu lama atau panas akibat beban yang berat. Kandungan Zn dan P masih tersedia
yang berfungsi sebagai aditif anti oksidan anti keausan (anti wear). Mo merupakan aditif anti tekanan tinggi
(extreme pressure) pada pelumas atau grase dan juga dipakai sebagai anti karat untuk cairan pendingin mesin
(coolant), dan B dapat digunakan sebagai aditif detergent/dispersant, anti-oxidant pelumas atau aditif pendingin
mesin. Sejumlah kandungan aditif masih terdeteksi pada pelumas habis pakai mengindikasikan bahwa pelumas
tersebut masih layak digunakan (in-service).

Kepala

Under crown
Skirt
Gambar 7. Piston sesudah uji ketahanan

Dari hasil pengamatan visual, pemakaian B20 FAME juga tidak menunjukkan pengaruh negatif pada
komponen sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 7 s/d Gambar 10. Gambar 7 menunjukkan piston masih
menunjukkan kondisi normal. Pembentukan deposit pada kepala piston tidak terlihat berlebihan. Ring piston juga
dapat bekerja dengan baik dilihat dari tidak adanya deposit (warna hitam) di daerah di bawah alur ring (skirt). Juga
tidak ditemukan adanya keausan. Kondisi di bawah kepala piston (under crown) juga terlihat bersih.

Deposit karbon Deposit karbon Batang valve


Dinding silinder

Gambar 8. Kepala silinder Gambar 9. Katup pemasukan Gambar 10. Silinder

Pembentukan deposit karbon di ruang bakar ditunjukkan dengan kondisi deposit kepala silinder (Gambar 8)
dan di katup pemasukan (Gambar 9) terlihat normal. Batang katup pemasukan juga tidak terjadi keausan yang
signifikan. Gambar 10 menunjukkan kondisi permukaan dinding silinder. Dari gambar tersebut bekas kontak antara
permukaan ring piston dengan dinding silinder terlihat normal dan bukan keausan yang signifikan. Komponen kritis
engine sesudah pengujian ketahanan (durability) memperlihatkan kondisi operasi engine dan sistem pelumasannya
telah beroperasi secara normal.

456
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Kesimpulan
Dari uji jalan dan road show menggunakan kendaraan truk berbahan bakar B20 FAME sejauh 40.000
kilometer dengan jadwal service dan dengan penggunaan serta penggantian pelumas sesuai rekomendasi pabrikan
menghasilkan emisi asap (opasitas) yang masih rendah dibandingkan dengan peraturan yang ditetapkan pemerintah
dan komponen kritis yang berhubungan dengan sistem pembakaran tidak menunjukkan adanya pengaruh negatif
yang signifikan.

Daftar Pustaka
Angeles Rolly, (2003), Table on Oil Analisys. http://www.rsareliability.com/Oil%20Analysis%20Tables.pdf
Anonim, (2010), Smoke Factor Measurement with Remote Sensing Device Technology. Environment System
Product. North Forbes Blvd. Tuscon AZ, 84745. Wikipedia. Oil analysis. The Free Encyclopedia.
https://en.wikipedia.org/wiki/Oil_analysis
Anonim, (2011), Basics of Oil Analysis. 4th Edition. ©Analysts, Inc. www.analystsinc.com
Anonim, (2012), Health and Safety Executive. Control of diesel engine exhaust emissions in the workplace. Third
edition. http://www.hse.gov.uk/pUbns/priced/hsg187.pdf
Fitch Jim, (2011), How to Read an Oil Analysis Report. Noria’s 12 th Annual Conference and Exhibition. Columbus
OH.
http://www.reliableplant.com/download/rp2011/jim_how_to_read_oil_analysis_le.pdf
Gerpen Jon H. Van, Peterson Charles L. and Goering Carroll E, (2007). Biodiesel: An Alternative Fuel for
Compression Ignition Engines. ASAE Publication Number 913C0107
Keputusan Dirjen Migas No. 978.K/10/DJM.S/2013
Kittelson David and Kraft Markus, (2014), Particle Formation and Models in Internal Combustion Engines.
Released: 31 January 2014. Cambridge Centre for Computational Chemical Engineering. University of
Cambridge
Li Weijun, Shao Longyi, Zhang Daizhou, Ro Chul-Un, Hu Min, Bi Xinhui, Geng Hong, Matsuki Atsushi, Niu
Hongya, Chen Jianmin, (2015), A review of single aerosol particle studies in the atmosphere of East Asia:
Morphology, mixing state, source, and heterogeneous reactions. Journal homepage:
www.elsevier.com/locate/jclepro
Merkisz Jerzy, Kozak Miłosław. Bielaczyc Piotr, Szczotka Andrzej, (2002), An Investigation of Influence of Diesel
Fuel Sulphur Content on Particulates Emissions From Direct Injection Common Rail Diesel Vehicle.
Journal of KONES Internal Combustion Engines
Peraturan Menteri ESDM NO. 25 tahun 2013 dan no. 20 tahun 2014 tentang Perubahan Pertama dan Kedua atas
Peraturan Menteri ESDM No. 32 Tahun 2008
Press release Roadshow B20-1, (27 Januari 2016), Roadshow B20 Lintas Jawa 2016 Dimulai. Jakarta
Rahmadi Ari, Wibowo Edi, Paryanto Imam, Wibowo Cahyo S., Fajar Rizqon, (2015), Laporan Kajian dan Uji
Pemanfaatan Biodiesel 20%. Direktorat Bioenergi, DirJend. Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi,
Kementerian ESDM
SNI 7182:2015; Biodiesel

457
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

RANCANG BANGUN TUNGKU PEMANAS


UNTUK PANDE BESI YANG RAMAH LINGKUNGAN
GUNA MENINGKATKAN KAPASITAS PRODUKSI ALAT PERTANIAN

Imam Sodikin1, Joko Waluyo2, Yuli Pratiwi3


1
Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknologi Industri, IST AKPRIND Yogyakarta
2
Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknologi Industri, IST AKPRIND Yogyakarta
Jln. Kalisahak No. 28 Kompleks Balapan Yogyakarta 55222
3
Jurusan Teknik Lingkungan, Fakultas Sains Terapan, IST AKPRIND Yogyakarta
Jln. Bimasakti No. 3 Pengok Yogyakarta Telp. 0274 544504
Email: dikiam12@yahoo.com

Abstrak

Kelompok Pande Besi “DL” sebagai mitra I di Dukuh Karangasem RT. 04, Desa Gilangharjo dengan
jumlah pengrajin 15 orang, dan Kelompok Pande Besi “PRT” sebagai mitra II di Dukuh Karasan RT.
01, Desa Palbapang, Kecamatan Pandak, Kabupaten Bantul dengan jumlah pengrajinnya 15 orang,
keduanya memproduksi alat-alat pertanian seperti: pacul, arit, pisau, gathul, linggis, kampak dan
lain-lain. Produk alat pertanian di kedua mitra tersebut belum bisa memenuhi permintaan pasar,
dikarenakan tingkat produksi yang rendah. Faktor penyebabnya adalah digunakannya tungku dengan
konstruksi sangat sederhana, yaitu menggunakan tungku yang harus dioperasikan lebih dari seorang.
Pengoperasiannya minimal harus melibatkan tukang ubub tiup pompa, dan ada yang membakar besi,
serta menempa dan membentuknya. Berdasar fakta tersebut, maka perlu dibangun tungku pande besi
yang mengunakan blower guna meningkatkan kapasitas produksi, karena suplai udara ke tungku
dapat diatur dengan memperbesar dan mepersempit katup pada blower dan dengan konstruksi tungku
yang ramah lingkungan. Hasil yang diperoleh adalah konstruksi tungku pande besi yang
menggunakan blower untuk suplai udara, ramah lingkungan, dan mampu meminimalkan kerugian-
kerugian panas yang terbuang. Proses suplai udara ke tungku dapat diatur dengan memperbesar dan
mepersempit katup pada blower. Waktu proses pemanasan arang untuk pengerjaan bahan mentah
55% - 66,7% lebih singkat dibanding dengan proses secara manual, sedangkan untuk pengerjaan
bahan jadi lebih singkat 43,3% - 52%. Waktu proses pemanasan benda kerja untuk pengerjaan bahan
mentah maupun pengerjaan bahan jadi sebesar 40% - 50% lebih singkat dibanding dengan proses
secara manual. Penggunaan tungku pemanas pande besi mampu meningkatkan kapasitas produksi
alat-alat pertanian sebesar 2,5 - 3 kali.

Kata kunci: alat-alat pertanian; arang kayu; blower; tungku pemanas pande besi

Pendahuluan
Pertanian merupakan kegiatan manusia untuk mengembangbiakan tumbuh-tumbuhan ataupun hewan dengan
maksud agar tumbuh-tumbuhan dan hewan tersebut dapat lebih baik dalam memenuhi kebutuhan manusia. Lebih
baik dalam artian kuantitatif, kualitatif dan ekonomis. Artinya dengan biaya produksi yang lebih murah diperoleh
jumlah produksi yang lebih banyak, rasa dan mutu lebih baik serta tahan lama. Pada taraf ini manusia mulai
berusaha untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas disertai dengan pertimbangan yang ekonomis
(putrajagebob.blogspot.com, 2010). Pertanian merupakan sektor utama penghasil bahan-bahan makanan dan bahan-
bahan industri yang dapat diolah menjadi bahan sandang, pangan, dan papan yang dapat dikonsumsi maupun
diperdagangkan, maka dari itu pembangunan pertanian merupakan bagian dari pembangunan ekonomi.
Pembangunan pertanian adalah suatu proses yang ditujukan untuk selalu menambah produksi pertanian untuk
tiap-tiap konsumen, yang sekaligus mempertinggi pendapatan dan produktivitas usaha tiap-tiap petani dengan jalan
menambah modal dan skill untuk memperbesar turut campur tangannya manusia di dalam perkembangan tumbuh-
tumbuhan dan hewan (Hadisapoetro S., 1975). A. T. Mosher di dalam bukunya Getting Agriculture Moving, bahwa
pembangunan pertanian adalah suatu bagian integral dari pada pembangunan ekonomi dan masyarakat secara umum
(Sudalmi E. S., 2010). Secara luas pembangunan pertanian bukan hanya proses atau kegiatan menambah produksi
pertanian melainkan sebuah proses yang menghasilkan perubahan sosial baik nilai, norma, perilaku, lembaga, sosial

458
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

dan sebagainya demi mencapai pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat yang
lebih baik (Hadisapoetro S., 1975).
Perekonomian DIY tahun 2014 (c-to-c) tumbuh 5,2 persen dan sedikit melambat dibandingkan dengan tahun
2013 yang tumbuh 5,5 persen. Dari sisi produksi, pertumbuhan didorong oleh peningkatan nilai tambah pada semua
lapangan usaha selain pertanian, kehutanan dan perikanan. Perekonomian DIY Triwulan IV-2014 tumbuh 4,2 persen
dibandingkan Triwulan IV-2013 (y-on-y). Level pertumbuhan ini sedikit melambat dibandingkan dengan
pertumbuhan y-on-y pada periode yang sama tahun sebelumnya yang sebesar 4,6 persen. Perekonomian DIY
Triwulan IV- 2014 mengalami kontraksi sebesar 1,1 persen dibandingkan triwulan sebelumnya (q-to-q). Dari sisi
produksi, penurunan ini disebabkan oleh efek musiman pada lapangan usaha pertanian, kehutanan dan perikanan
terutama sub kategori tanaman pangan yang tumbuh negatif 77 persen (yogyakarta.bps.go.id, 2014). Berdasarkan
data tersebut, maka diperlukan upaya peningkatan nilai tambah pada sektor usaha pertanian. Salah satu cara adalah
melalui pentingnya dukungan aspek mekanisasi pertanian.
Alat dan mesin pertanian telah digunakan dalam usaha tani tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan
peternakan. Penggunaan alat dan mesin pertanian telah dirasakan manfaatnya oleh petani khususnya tanaman
pangan dalam mempercepat pengolahan tanah, pengendalian hama, panen dan perontokan khususnya di daerah
intensifikasi. Namun demikian jumlah alat dan mesin pertanian masih sangat sedikit dibanding dengan luas lahan
yang ada. Ditinjau dari jumlah alat dan mesin yang digunakan, level mekanisasi pertanian masih berada + 30 persen.
Demikian pula angka susut pasca panen juga masih besar yaitu berkisar antara 12.5-23%. Untuk komoditas
perkebunan, mekanisasi telah digunakan terutama untuk pengolahannya. Namun demikian lebih dari 65% komoditas
perkebunan belum dapat diolah sehingga peluang pengembangan mekanisasinya masih terbuka luas
(www.litbang.pertanian.go.id).
Peralatan dalam usaha tani adalah alat-alat yang digunakan dalam proses usaha tani. Berdasarkan sifat alat
usaha tani dibedakan menjadi 2 yaitu: alat tetap atau peralatan yang digunakan dalam beberapa kali proses produksi
(traktor, truk, bajak, cangkul, dan lain-lain), dan alat variabel atau peralatan yang digunakan dalam satu kali proses
produksi (benih, pupuk, pestisida, dan lain-lain) (putrajagebob.blogspot.com, 2010). Usaha meningkatkan dukungan
mekanisasi pertanian dalam rangka pengembangan mekanisasi seperti diuraikan di atas, kebijakan pengembangan
mekanisasi pertanian harus mampu meningkatkan produktivitas, efisiensi, mutu dan nilai tambah, mendorong
tumbuhnya industri alat dan mesin dalam negeri dan mendorong kemitraan antara industri besar dan UKM. Strategi
yang perlu ditempuh dalam pengembangan mekanisasi pertanian adalah membangun industri pertanian di pedesaan
berbasis mekanisasi pertanian pada sentra produksi. Untuk itu diperlukan dukungan untuk pengembangan
mekanisasi guna mendukung revitalisasi pertanian antara lain mendorong berkembangnya industri alat-alat
pertanian dalam negeri.

Kondisi Wilayah Mitra


Industri Kecil Menengah (IKM) untuk pandai besi di Kecamatan Pandak tepatnya ada di Desa Gilangharjo
dan Palbapang. Pandai besi ialah juru atau tukang tempa besi (kbbi.web.id), sedangkan menurut wikipedia, pandai
besi atau sebutan lainnya “pande besi” adalah tukang (orang) yang bekerja menempa besi dengan menggunakan api
untuk membentuk besi yang ditempanya menjadi suatu benda yang diinginkan, seperti belati, pedang, pisau, dan
lain-lain. Seorang ahli pandai besi biasanya memiliki otot yang kekar atau badan yang kuat, dikarenakan cara
mereka bekerja 90% bersumber dari otot dan kekuatan tubuh. Saat ini Desa Gilangharjo dan Palbapang merupakan
sentra pandai besi. Kelompok pande besi di Desa Gilangharjo ada 24 kelompok dengan total tenaga kerja 144 orang,
sedangkan kelompok pande besi di Desa Palbapang ada 20 kelompok dengan total tenaga kerja 100 orang.
Kelompok-kelompok pande besi tersebut merupakan sektor IKM yang pengelolaannya masih sederhana,
konvensional yang perlu dibina agar dapat dipertahankan tradisi pande besi tersebut yang sudah dikenal di
Yogyakarta, bahkan sampai luar Jawa.
Kelompok Pande Besi “DL” yang berada di Padukuhan Karangasem RT 04 Desa Gilangharjo Kecamatan
Pandak Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai Mitra I, dan Kelompok Pande Besi “PRT” di
Padukuhan Karasan RT 01 Desa Palbapang Kecamatan Pandak Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta
sebagai Mitra II. Kedua desa tersebut sebagian penduduknya bermata pencaharian sebagai pande besi yang
menghasilkan alat-alat pertanian yang pemasarannya di sekitar Daerah Istimewa Yogyakarta dan sebagian
dipasarkan di luar Daerah Istimewa Yogyakarta yaitu di Lampung dan Palembang.
Kedua kelompok pande besi yang memproduksi alat-alat pertanian tersebut belum bisa memenuhi
permintaan pasar akan kebutuhan alat-alat pertanian yang semakin meningkat, dengan tuntutan baik dari segi
kuantitas dan kualitas dikarenakan produktivitas yang dinilai rendah dan kurang efisien. Faktor penyebabnya adalah
desain tungku yang kurang efisein. Tungku yang digunakan oleh kedua pande besi tersebut yaitu kotak terbuat dari
tanah liat yang terletak di atas tanah abu dan arang menjadi satu tidak terpisah, sehingga saat arang habis terbakar
untuk menambah arang yang baru maka harus mengeluarkan abu dari sisa pembakaran terlebih dahulu. Hal ini
membutuhkan proses yang lama untuk sekali proses penempaan. Apabila hujan turun dan tanah menjadi basah akan
mengakibatkan arang kayu susah dinyalakan serta panas dari tungku terserap oleh tanah yang basah. Hal ini

459
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

mengakibatkan banyak panas yang terbuang, sehingga efisiensi tungku tersebut sangat rendah. Oleh karena itu, guna
mengoptimalkan pemenuhan permintaan kebutuhan alat-alat pertanian seperti cangkul, arit, pisau, linggis, dan
sebagainya diajukanlah IbM Teknologi Tepat Guna (TTG). TTG tersebut berupa konstruksi dapur/tungku pande
besi dengan desain ramah lingkungan yang efisien untuk membantu kelompok pande besi di Dukuh Karangasem,
Desa Gilangharjo dan Dukuh Karasan, Desa Palbapang, Kecamatan Pandak, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa
Yogyakarta sehingga mampu meningkatkan kapasitas produksi dan produktivitas untuk memenuhi permintaan pasar
(Sodikin dan Triyono, 2013). Diharapkan dengan terpenuhinya permintaan pasar akan produk alat-alat pertanian dan
perkebunan tersebut, maka penghasilan kelompok pade besi dapat meningkat dan swasembada pangan dapat segera
direalisasikan.

Kondisi Kelompok Pande Besi “DL” (Mitra 1) dan Kelompok Pande Besi “PRT” (Mitra 2)
Kelompok pande besi “DL” Dukuh Karangasem, Desa Gilangharjo Kecamatan Pandak Kabupaten Bantul,
dan kelompok pande besi “PRT” Dukuh Karasan Desa Palbapang Kecamatan Pandak Kabupaten Bantul Daerah
Istimewa Yogyakarta masih menggunakan tungku yang konvensional, sehingga membutuhkan tenaga kerja yang
banyak karena masih menggunakan tenaga sebagai tukang ubub untuk menghidupkan tungku. Tukang ubub tersebut
dalam bekerja makin lama tenaganya makin berkurang karena lelah. Hal ini disebabkan tenaga manusia tidak bisa
bekerja secara konstan, sehingga mengakibatkan pemanasan tungku tidak optimal dan produk yang dihasilkan
berkurang. Kondisi tersebut menyebabkan permintaan pasar terhadap produk-produk pertanian tidak bisa terpenuhi.
Di samping itu untuk mendapatkan tenaga kerja sebagai tukang ubub sangat sulit, karena pendapatan yang
diperolehnya sangat minim hanya sebesar Rp. 50.000,00/ perhari, dengan jam kerja dari jam 08.00 sampai jam
16.00. Oleh karena itu, untuk memenuhi permintaan pasar akan produk-produk pertanian, perlu dibangun tungku
pande besi yang ramah lingkungan dengan menggunakan blower sebagai pengganti tukang ubub.

Proses Pembuatan Alat-alat Pertanian


Pande besi atau dalam bahasa Inggris dikenal istilah blacksmith adalah proses pembuatan alat-alat pertanian
ataupun alat-alat lain yang bahan utamanya baja dengan cara ditempa untuk menghasilkan barang-barang dengan
daya guna tinggi. Barang-barang yang dihasilkan antara lain arit, gathul, pethel, linggis, kampak dan lain
sebagainya. Pada kelompok pande besi ini terdiri dari 1 orang empu dan 2 orang atau lebih sebagai panjak dan
seorang lagi sebagai tukang ubub. Empu yaitu orang yang kerjanya memegang besi yang akan dibentuk sekaligus
mengatur bagian mana yang akan ditempa agar menjadi bentuk alat seperti yang diinginkan. Sedangkan panjak
adalah orang yang kerjanya memukul atau menempa baja yang akan dibuat produk jadi. Tukang ubub adalah orang
yang kerjanya meniupkan angin ke dalam dapur untuk memanaskan baja yang akan ditempa. Alat ububan ini terdiri
dari dua tabung silinder yang di dalamnya diberi klep seperti pompa yang dapat digerakan naik dan turun seperti
gerak pompa ban. Adapun proses pembuatan alat-alat pertanian seperti pada gambar 1 dan 2 berikut ini.

Gambar 1. Proses pembuatan alat pertanian di Kelompok Pande Besi “DL”

460
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Gambar 2. Proses pembuatan alat pertanian di Kelompok Pande Besi “PRT”

Bahan dan Metode


Metode yang digunakan dalam program PPM ini adalah action community service, dengan membuat tungku
pande besi yang efektif, efisien, dan ramah lingkungan dengan menggunakan blower (Sularso 2003). Di Kelompok
Pande Besi “DL” sebagai Mitra 1 di Dukuh Pandean Desa Gilang Harjo Kecamatan Pandak Kabupaten Bantul dan
Kelompok Pande Besi “PRT” sebagai Mitra 2 di Dukuh Karasan Desa Palbapang Kecamatan Pandak Kabupaten
Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta dibuat tungku. Di kedua mitra tersebut peralatan tungku ini merupakan
pemecahan masalah yang harus dibuat dan tungku yang dibangun dengan memiliki spesifikasi yang khusus,
sehingga nantinya diharapkan dapat dipergunakan untuk memenuhi permintaan pasar akan produk-produk alat
pertanian baik dari permintaan di lingkungan Daerah Istimewa Yogyakarta maupun di luar Daerah Istimewa
Yogyakarta seperti Palembang, Lampung, dan Bengkulu. Juga dalam rangka meningkatkan kapasitas produksi alat-
alat pertanian serta untuk mempercepat swa sembada pangan, maka metode yang diterapkan adalah sebagai berikut:
1. Metode Merancang dan Membangun tungku
Membangun tungku pande besi secara efisien dan ramah lingkungan atau membangun teknologi tepat guna
sebagai solusi bagi masyarakat (Sodikin dan Triyono, 2014), sehingga diharapkan dengan adanya tungku pande
besi tersebut penghasilan pande besi meningkat dan biaya produksi berkurang hal ini disebabkan jumlah tenaga
kerja menjadi berkurang karena tenaga tukang ubub digantikan oleh blower (Anzarih 2010).
Langkah perancangan tungku pande besi ini dimulai dengan melakukan observasi di Kelompok Pande besi “DL”
di Dukuh Karangasem, Desa Gilangharjo, Kecamatan Pandak, Kabupaten Bantul, dan Kelompok Pande Besi
“PRT” di Dukuh Karasan, Desa Palbapang, Kecamatan Pandak, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa
Yogyakarta. Kemudian dilakukan identifikasi kebutuhan dan hasilnya dianalisis untuk dijadikan acuan sebagai
perumusan masalah spesifikasi tungku yang akan dibangun. Adapun spesifikasi tungku yang akan dibangun
terdiri dari bahan-bahan seperti pada tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1. Bahan-bahan untuk pembuatan satu buah tungku


No. Bahan Penggunaan Unit Jumlah
1. Bata Merah Dinding luar Buah 200
2. Semen Portland Dinding luar Kg 50
3. Castable material Dinding dalam Kg 10
4. Blower ¼ PK Pensuplai udara Buah 3
5. Besi siku Rangka tungku Meter 7
6. Pipa D 1 ½ inch Saluran udara Meter 6
7. Plat pipa diameter 4 inch Cerobong Batang 1
8. Pelat baja tebal 1 mm Pengarah debu Lembar 2
Sumber: Sugiyono, 2000

461
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Peralatan yang dibutuhkan untuk membangun tungku pande besi merupakan peralatan tukang seperti cetok,
meteran, siku besi, pasak besi yang digunakan untuk memotong batu tahan api, pukul besi yang digunakan untuk
merapatkan sambungan batu tahan api, pacul, ember untuk adukan semen biasa dan semen batu tahan api,
waterpass dan lain-lain. Pengoperasian tungku sebaiknya menunggu semua sambungan kering terlebih dahulu.
2. Pelatihan kepada Mitra
Memberi pelatihan kepada mitra yang meliputi pelatihan cara mengoperasikan tungku, perawatan tungku, dan
cara memproduksi alat-alat pertanian dengan kualitas yang standar, sehingga dapat memenuhi permintaan pasar
perihal kuantitas dan kualitas alat-alat pertanian.
3. Partisipasi Mitra
Partisipasi mitra ini diikuti dari awal, yaitu mitra aktif dari pertemuan awal dengan tim PPM dalam rangka studi
lapangan untuk mendapatkan informasi-informasi yang menjadi permasalahan di kalangan pande besi, dan
mengadakan diskusi untuk mendapatkan keinginan dalam rangka meningkatkan kapasitas produksi alat-alat
pertanian. Jadi mitra ini dituntut aktif dari awal sampai dengan akhir kegiatan. Pada waktu pelatihan peran aktif
mitra sangat penting, karena nantinya setelah program selesai, semua alat dan kegiatan ada pada mitra, oleh
karena itu partisipasi mitra sangatlah penting.

Hasil dan Pembahasan


Hasil program dari aspek produksi adalah membangun tungku pande besi yang efisien dan ramah lingkungan
untuk memenuhi kebutuhan permintaan pasar perihal alat-alat pertanian di kedua mitra tersebut (Degarmo, 2000)
dan secara umum tujuan membangun tungku pande besi di kedua mitra pande besi di Wilayah Kabupaten Bantul
adalah sebagai berikut:
1. Mampu menentukan konstruksi tungku yang efisien.
2. Mampu menentukan konstruksi tungku yang tepat.
3. Mampu mengurangi kerugian-kerugian panas pada tungku.
4. Mampu menentukan blower sebagai pensuplai udara pada tungku sehingga proses pemanasan berlangsung
dengan baik.
5. Mengetahui kinerja tungku pande besi sehingga proses pande besi dapat optimum.
Hasil program dari aspek manajemen yaitu memberikan pelatihan kepada mitra yang meliputi pelatihan cara
mengoperasikan tungku, perawatan tungku, dan pelatihan cara mengoptimalkan hasil produksi, sehingga
keberlanjutan program dapat tercapai melalui peran serta aktif mitra atau masyarakat. Bentuk rancangan tungku
pemanas untuk pande besi yang ramah lingkungan dapat dilihat pada gambar 3. Prosedur operasi secara singkat
adalah sebagai berikut:
1. Pengisian arang kayu pada tungku sesuai pada tempatnya, mula-mula setinggi 15 cm kemudian dibakar dengan
kertas atau minyak tanah dan blower dijalankan.
2. Setelah bara api besar dan merata, arang kayu ditambahkan sesuai dengan kebutuhan baru kemudian dilakukan
proses pemanasan.
3. Selanjutnya proses penempaan/pande, dan besar kecilnya panas dapat diatur dengan menambah atau mengurangi
hembusan udara segar pada tungku dengan cara memperlebar dan mempersempit katup pada blower tersebut.

462
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Pandangan samping Pandangan depan


Gambar 3. Bentuk rancangan tungku pemanas pande besi

Berikut disajikan tabel perbandingan (tabel 2, 3, dan 4) proses pembuatan alat-alat pertanian antara proses
manual dan proses menggunakan tingku pemanas pande besi. Perbandingan dilakukan untuk katagori bahan mentah
dan bahan jadi. Bahan mentah merupakan bahan baku yang melalui proses tempa sampai menjadi bahan setengah
jadi, sedangkan bahan jadi yaitu bahan setengah jadi yang melalui proses grinding sampai dengan penghalusan.
Tabel-tabel tersebut menunjukkan bahwa dibutuhkan waktu pemanasan yang lebih singkat bila menggunakan
tungku pemanas pande besi baik untuk jenis bahan mentah maupun bahan jadi. Kapasitas produksi juga meningkat
2,5 sampai 3 kali bila dibandingkan dengan cara pemanasan manual (menggunakan ububan).

Tabel 2. Perbandingan waktu pemanasan arang


Waktu Proses
Pemanasan Arang
Katagori
No. Nama Bahan (menit)
Bahan
Tungku
Manual
Pemanas
1. Baja Bahan Mentah 15 5
Bahan Jadi 25 12
2. Baja Pear, Pegas Daun Bahan Mentah 20 9
Bahan Jadi 30 17
3. Kikir, Bahan Kikir Bahan Mentah 20 9
Bahan Jadi 30 17
4. Rumah Laker, Piringan Cakram Bahan Mentah 22 12
Bahan Jadi 35 19

463
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Pada tabel 2 ditunjukkan bahwa penggunaan tungku pemanas mampu meminimalkan waktu proses
pemanasan arang sebesar 10 - 11 menit untuk pengerjaan bahan mentah dan 13 - 16 menit untuk pengerjaan bahan
jadi bila dibandingkan dengan waktu proses pemanasan arang secara manual.

Tabel 3. Perbandingan waktu pemanasan benda kerja


Waktu Proses
Pemanasan Benda Kerja
Katagori
No. Nama Bahan (menit)
Bahan
Tungku
Manual
Pemanas
1. Baja Bahan Mentah 5 3
Bahan Jadi 5 3
2. Baja Pear, Pegas Daun Bahan Mentah 7 4
Bahan Jadi 7 4
3. Kikir, Bahan Kikir Bahan Mentah 10 5
Bahan Jadi 10 5
4. Rumah Laker, Piringan Cakram Bahan Mentah 12 6
Bahan Jadi 12 6

Pada tabel 3 di atas menunjukkan bahwa penggunaan tungku pemanas mampu meminimalkan waktu proses
pemanasan benda kerja (sampai pijar) sebesar 2 - 6 menit, baik untuk pengerjaan bahan mentah maupun pengerjaan
bahan jadi bila dibandingkan dengan waktu proses pemanasan benda kerja secara manual.

Tabel 4. Perbandingan kapasitas produksi


Kapasitas Produksi
(unit)
No. Nama Bahan Jenis Produk
Tungku
Manual
Pemanas
1. Baja Tanganan cangkul, linggis, 2 5
betel, palu, dan cetok
2. Baja Pear, Pegas Daun Sabit, gobang, pisau, golok, 2 5
dan kapak
3. Kikir, Bahan Kikir Sabit, cangkul, cangkrong, 2 5
dan kapak
4. Rumah Laker, Piringan Samurai, pisau sayat, pisau 2 6
Cakram dapur, gobang, dan golok

Pada tabel 4 di atas menunjukkan bahwa penggunaan tungku pemanas mampu meningkatkan kapasitas
produksi alat-alat pertanian sebesar 2,5 - 3 kali lebih banyak bila dibandingkan dengan penggunaan cara manual.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan:
1. Konstruksi tungku pande besi yang dibangun merupakan konstruksi tungku yang menggunakan blower untuk
suplai udara, ramah lingkungan, dan mampu meminimalkan kerugian-kerugian panas yang terbuang.
2. Proses suplai udara ke tungku dapat diatur dengan memperbesar dan mepersempit katup pada blower.
3. Waktu proses pemanasan arang untuk pengerjaan bahan mentah 55% - 66,7% lebih singkat dibanding dengan
waktu proses pemanasan secara manual, sedangkan untuk pengerjaan bahan jadi lebih singkat 43,3% - 52%.
4. Waktu proses pemanasan benda kerja untuk pengerjaan bahan mentah maupun pengerjaan bahan jadi sebesar
40% - 50% lebih singkat dibanding dengan waktu proses pemanasan secara manual.
5. Penggunaan tungku pemanas pande besi hasil rancangan mampu meningkatkan kapasitas produksi alat-alat
pertanian sebesar 2,5 - 3 kali.

Ucapan Terima Kasih


Tim pelaksana program IbM menyampaikan ucapan terima kasih kepada Direktorat Riset dan Pengabdian
Kepada Masyarakat (DRPM) Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi atas biaya pengabdian kepada
masyarakat Program IbM Tahun Anggaran 2016 dengan Nomor: DIPA-042.06-0.1.401516/2016; tanggal 7
Desember 2015.

464
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Daftar Pustaka
Anzarih, (2010), ”Penerapan Teknologi Tungku Pembakaran Hemat Energi Pada Perajin Pande Besi Tenaga Maju
Kabupaten Sidrap”, Jurnal Teknik Mesin Jurusan Teknik Mesin Politeknik Negeri Ujung Pandang.
Degarmo, E, P., (2002), ”Material and Processes In Manufacturing”, Printed In The United States Of America.
Hadisapoetro, (1975), “Pembangunan Pertanian”, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
http://id.wikipedia.org/wiki/Pandai_besi, diakses tanggal 19 Maret 2015.
http://kbbi.web.id, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), diakses tanggal 19 Maret 2015.
http://putrajagebob.blogspot.com/2010/05/menejemen-usahatani.html, diakses tanggal 20 Februari 2015.
http://www.litbang.pertanian.go.id, diakses tanggal 20 Februari 2015.
http://yogyakarta.bps.go.id/download/brs/2015/02/1. brs diy no.11 - 5 februari 2015 pdrb tahun 2014, diakses
tanggal 17 Maret 2015.
Sodikin, I., Triyono, J., (2013), “Rancang Bangun Alat Pengering Simplisia Serta Optimalisasi Waktu dan
Temperatur Pengeringan Guna Meningkatkan Produktivitas Industri Kecil”, Prosiding Seminar Nasional
Industrial Services, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Cilegon Banten, Oktober 2013.
Sodikin, I., Triyono, J., (2014), “Rancang Bangun Alat Pemacu Tumbuh Tanaman Guna Meningkatkan
Produktivitas Hasil Pertanian Pada Industri Kecil Herbal”, Prosiding Simposium Nasional RAPI XIII,
Universitas Muhammadiyah Surakarta, Desember 2014.
Sudalmi, E, S., (2010), “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan”, Surakarta.
Sugiyono, A., (2000), “Pembuatan, Pemasangan dan Pengoperasian Tungku Perlakuan Panas untuk Pande Besi”,
Direktorat Teknologi Konversi dan Konservasi energi Deputi bidang teknologi informasi, Energi, Material
dan lingkungan BPPT.
Sularso, (2003), “Pompa dan Kompresor Pemilihan, Pemakaian dan Pemeliharaan”, PT Pradnya Paramita Jakarta.

465
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

ANALISIS KENYAMANAN TERMAL SISWA DI DALAM


RUANG KELAS
(STUDI KASUS SD INPRES TAMALANREA IV MAKASSAR)

Sahabuddin Latif1, Ramli Rahim2, Baharuddin Hamzah3


1
Mahasiswa Program Doktor Prodi Ilmu Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin
Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10 Makassar 90245 Telp 0411 586015
1
Prodi Arsitektur Universitas Muhammadiyah Makassar
Jl. Sultan Alauddin No. 259 Makassar 90221 Telp 0411 866972
2,3
Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin
Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10 Makassar 90245 Telp 0411 586015
Email: sahabuddinlatif@gmail.com

Abstrak

Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi tingkat kenyamanan dan preferensi termal pengguna
(murid/siswa) di dalam ruang kelas sekolah dasar di Kota Makassar. Penelitian ini menggunakan
metode kuantitatif yang pengambilan datanya melalui survei. Penelitian dilakukan dalam ruang kelas
sekolah yang dipilih sebagai studi kasus yaitu SD Inpres Tamalanrea IV Makassar. Adapun data yang
diambil meliputi data personal (pakaian dan metabolik rate) serta pengukuran parameter lingkungan:
temperatur udara, kelembaban udara, mean radiant temperature (MRT) dan kecepatan aliran udara.
Pada saat yang bersamaan murid/siswa diminta mengisi kuisioner yang menanyakan tingkat
kenyamanan yang dirasakan penghuni dengan menggunakan thermal sensation vote (TSV) dan
thermal comfort vote (TCV). Selain itu responden diminta pula untuk memberi pendapat tentang
kondisi termal yang diinginkan (thermal preference), apakah lingkungan termal pada saat itu dapat
diterima atau tidak. Pengukuran parameter lingkungan dijadikan referensi untuk menghitung
Operative Temperature (OT). Terpilih siswa/murid kelas 4a, 4b, 5a, 5b, 6a dan 6b yang dijadikan
sampel penelitian. Hasil pengukuran pada jam 08.00-10.50 WITA menunjukkan temperatur tertinggi
32,52○C dengan kelembaban relatif udara berkisar 60-76%. Walaupun hasil pengukuran
menunjukkan temperatur yang tinggi dan lembab, hasil survei kenyamanan pengguna menunjukkan
bahwa sebagian responden tetap merasa nyaman. Hal ini barangkali diakibatkan oleh karena
responden sudah terbiasa dengan temperatur yang ada. Hasil model TSV dan model TCP dari
penelitian ini sangat jauh perbedaannya, maka disarankan untuk melakukan penelitian tambahan
dengan data yang lebih banyak lagi dan sebelum pengisian kuisioner, responden sudah harus
memahami dengan baik makna dari istilah-istilah yang di pakai.

Kata kunci: Kenyamanan Termal; Preferensi; Sensasi; Sekolah Dasar

Pendahuluan
Kenyamanan termal dalam ruangan akan meningkatkan produktivitas kerja, tidak terkecuali bagi ruang kelas
yang digunakan sehari-hari oleh murid-murid/siswa-siswa dalam menuntut ilmu. Sebuah studi lama menyebutkan
bahwa ada pengaruh dari kualitas termal suatu ruangan kelas dengan prestasi belajar siswa (Pepler & Warner, 1968).
Karena itu kenyamanan termal menjadi suatu hal yang sangat penting diperhatikan pada ruang kelas, demi
tercapainya proses belajar yang kondusif dan memberi hasil yang memuaskan bagi peserta didik. Beberapa studi
belakangan ini juga menunjukkan adanya hubungan positif antara kualitas ruangan (termasuk di dalamnya kondisi
termal) dengan prestasi siswa (Mendell & Heath, 2005; Sensharma, Woods, & Goodwin, 1998).
Standar kenyamanan termal seperti ASHRAE standard 55 (ASHRAE, 2004) dan ISO7730 (ISO, 1995) telah
banyak digunakan sebagai standar kenyamanan termal diberbagai negara. Namun standar ini lebih banyak
digunakan untuk ruangan dengan pengkondisian buatan (AC). Pada bangunan dengan pengkondisian alami, standar
yang ada tidak cocok digunakan (Feriadi dan Wong, 2004).
Guna memperediksi kenyamanan termal yang dirasakan oleh penghuni dalam ruangan Fanger (1970) meng-
usulkan Predicted Mean Vote (PMV). PMV dihitung berdasarkan parameter lingkungan berupa: temperatur udara
dan temperatur radiant, kelembaban relatif, kecepatan aliran udara, dan parameter personal yang meliputi aktifitas
(metabolic rate) serta pakaian yang digunakan (clo).

466
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Hasil penelitian Feriadi & Wong (2004) menunjukkan bahwa prediksi kenyamanan termal menggunakan
PMV dari Fanger (1970), menghasilkan nilai yang berbeda dengan nilai TSV yang dirasakan oleh pengguna ruangan
(responden). Oleh karena itu masih dibutuhkan studi-studi sejenis untuk mengungkap kenyamanan termal di
Indonesia pada umumnya dan di Makassar pada khususnya.
Sesuai dengan peta jalan penelitian di Laboratorium Sains dan Teknologi Bangunan, Jurusan Arsitektur,
Universitas Hasanuddin, dimana pengusul bergabung maka telah dilaksanakan penelitian tentang kenyamanan
termal yang dilaksanakan bersama dengan tim dan mahasiswa. Dari tahun 2012, pengusul bersama tim dan
mahasiswa telah melakukan penelitian tentang kenyamanan termal, khususnya pada ruang kuliah di Kampus
Fakultas Teknik Unhas Gowa. Hasil penelitian tahun 2012 menunjukkan ada ketidaknyamanan mahasiswa baik di
ruang lobby maupun di dalam ruang kelas Gedung Kuliah FT-Unhas Gowa. Hasil penelitian ini telah
dipresentasikan pada seminar nasional Semesta Arsitektur Nusantara (SAN) 1 dengan judul “Kenyamanan Termal
Gedung Kuliah Bersama Kampus Baru Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin” (Baharuddin, dkk, 2012).
Hasil penelitian tahun 2013 memperlihatkan tingkat temperatur udara yang tinggi, baik pada ruangan yang
menggunakan penghawaan alami, maupun yang menggunakan pengkondisian buatan (AC). Namun demikian,
kebanyakan responden (mahasiswa) tetap memilih tingkat kenyamanan di zona +1, 0 dan -1. Hasil penelitian ini
telah dipresentasikan di seminar nasional Semesta Arsitektur Nusantara (SAN) 2 di Universitas Brawijaya, dengan
judul “Analisis Kenyamanan dan Lingkungan Termal pada Ruang Kuliah dengan Ventilasi Alami (Studi Kasus:
Kampus II Fakultas Teknik Unhas Gowa)” (Baharuddin, dkk, 2013). Sedangkan hasil penelitian tahun 2014
menunjukkan bahwa responden (mahasiswa) cenderung lebih toleran terhadap panas pada ruang kelas dengan
ventilasi alami. Mereka akan tetap nyaman walaupun temperatur sekitar 31oC. Pada ruang kelas dengan ventilasi
buatan (AC), banyak responden (mahasiswa) yang tidak nyaman dengan suhu yang lebih rendah. Hasil penelitian ini
telah dipresentasikan di seminar internasional SENVAR dengan judul makalah “The Effect of Environmental
Factors on the Thermal Comfort of Occupants in Building Interior” (Baharuddin dkk., 2014).
Berdasarkan uraian di atas maka dibutuhkan penelitian yang dapat mengungkap kondisi lingkungan termal
dan tingkat kenyamanan termal yang dirasakan oleh murid-murid/siswa-siswa di sekolah-sekolah dasar dan
menengah, serta faktor-faktor yang paling berpengaruh terhadap tingkat kenyamanan termal murid/siswa tersebut.
Hasil-hasil penelitian ini akan dijadikan sebagai dasar perencanaan ruang kelas yang nyaman bagi siswa sekolah
dasar dan menengah.

Metode
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif yang pengambilan datanya melalui survei. Penelitian
dilakukan dalam ruang kelas dari sekolah yang dipilih sebagai studi kasus yaitu SD Inpres Tamalanrea IV Makassar.
Adapun data yang diambil meliputi data personal (pakaian dan metabolic rate) dan pengukuran parameter
lingkungan: temperatur udara, kelembaban udara, mean radiant temperature (MRT) dan kecepatan aliran udara.
Pada saat yang bersamaan murid/siswa diminta mengisi kuisioner yang menanyakan tingkat kenyamanan yang
dirasakan penghuni dengan menggunakan thermal sensation vote (TSV) dan thermal comfort vote (TCV). Selain itu
responden diminta pula untuk memberi pendapat tentang kondisi termal yang diinginkan (thermal preference),
apakah lingkungan termal pada saat itu dapat diterima atau tidak. Pengukuran parameter lingkungan dijadikan
referensi untuk menghitung Operative Temperature (OT).

Hasil dan Pembahasan


Hasil pengukuran iklim mikro
Hasil pengukuran temperatur di kelas IV-B, V-B, VI-B, VIA dan V-B dapat dilihat pada Gambar 1.
Temperatur udara didalam kelas pada pengukuran tanggal 30 April 2016 jam 08.00-10.50 menunjukkan rata-rata
30,89ºC dengan nilai maksimum 32,52ºC dan nilai minimum 29,40ºC hal ini menunjukkan bahwa temperatur di
ruang kelas ini jauh diatas zona kenyamanan termal. Sehingga bisa disimpulkan bahwa kondisi kenyamanan termal
di ruang-ruang kelas SD Inpres Tamalanrea IV diatas zona kenyamanan termal, jika dibandingkan standar SNI T-
14-1993-03 yaitu 20,5-27,1ºC.
Hasil pengukuran kelembaban udara di kelas dapat dilihat pada Gambar 2. Kelembaban udara
didalam kelas menunjukkan rata-rata 70,41% dengan nilai maksimum 77,18% dan nilai minimum 60,58%
hal ini menunjukkan bahwa kelembaban udara di ruang kelas ini jauh diatas zona kenyamanan termal.
Sehingga bisa disimpulkan bahwa kondisi kenyamanan termal di ruang-ruang kelas SD Inpres
Tamalanrea IV sudah cukup nyaman jika ditinjau dari standar kelembaban relatif menurut SNI T-14-
1993-03 yaitu 50-80%.

467
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Gambar 1. Hasil Pengukuran Temperatur di Ruang Kelas

Gambar 2. Hasil Pengukuran Kelembaban Relatif di Ruang Kelas

Hasil pengukuran kecepatan aliran udara di kelas dapat dilihat pada Gambar 3. Kecepatan aliran udara di
dalam kelas menunjukkan rata-rata 0,06m/det dengan nilai maksimum 0,08m/det dan nilai minimum 0,05m/det hal
ini menunjukkan bahwa kecepatan aliran udara di ruang kelas ini sangat minim sehingga dapat disimpulkan bahwa
kondisi kenyamanan termal di ruang-ruang kelas SD Inpres Tamalanrea IV dibawah zona kenyamanan termal bila
ditinjau dari standar kecepatan aliran udara (0,1-1,5m/det, menurut Vector Olgay dalam Lippsmeier, 1995).

468
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Gambar 3. Hasil Pengukuran Kecepatan udara di Ruang Kelas

Hasil survei responden


Hasil survei karakteristik responden dapat dilihat pada Tabel 1. Persentasi dari subyek penelitian yang terdiri
dari variabel kelompok umur, jenis kelamin, pakaian yang dipakai, dan posisi duduk. Jumlah total responden 160
orang, terdiri dari 81 (50,6%) laki-laki dan 79 (49%) perempuan. Umur responden antara 9 hingga 14 tahun dengan
persentase terbanyak 10 tahun (25,6%), 11 Tahun (31,9%), dan 12 tahun (30,3%). Pakaian yang dipakai oleh
responden yaitu pakaian peramuka 81 orang (50,6%), pakaian olahraga 31 orang (19,4%) dan pakaian
pramuka+jilbab 48 orang (30%). Posisi duduk responden ditentukan berdasarkan kedekatannya dengan titik alat
ukur.

Tabel 1. Karakteristik Responden


Variabel Jumlah (n) (n=160) Persentasi (%)
Kelompok umur (tahun)
9 tahun 11 6,9
10 tahun 41 25,6
11 tahun 51 31,9
12 tahun 50 31,3
13 tahun 6 3,8
14 tahun 1 0,6
Jenis kelamin
Laki-laki 81 50,6
Perempuan 79 49,4
Pakaian
Olahraga 31 19,4
Pramuka 81 50,6
Pramuka dan jilbab 48 30,0
Posisi duduk
A 19 11,9
B 24 15,0
C 22 13,8
D 32 20,0
E 33 20,6
F 30 18,8
Hasil survei Thermal Sensation Vote (TSV) dapat dilihat pada Gambar 4. TSV diukur menggunakan tujuh
skala yaitu hot (panas, nilai 3), warm (hangat nilai 2), slightly warm (agak hangat, nilai 1), neutral (netral, nilai 0),
slightly cool (agak sejuk, nilai -1), cool (sejuk, nilai -2), dan cold (dingin, nilai -3). Secata umum responden memilih
agak hangat (slightly warm) nilai 1 dan agak sejuk (slightly cool) nilai -1. Pilihan ini menunjukkan bahwa 43,1%

469
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

responden merasakan panas dan 32,5% merasakan agak sejuk, sedangkan yang merasakan nyaman hanya 15% dari
responden.
Hasil survei Thermal Comfort Vote (TCV) dapat dilihat pada Gambar 4. TCV diukur dengan menggunakan
tujuh skala yaitu much too warm (sangat terlallu hangat, nilai 3), too warm (terlalu hangat nilai 2), comfortably
warm (nyaman hangat, nilai 1), comfortable (nyaman, nilai 0), comfortably cool (nyaman sejuk, nilai -1), too cool
(terlalu sejuk, nilai -2), dan much too cood (sangat terlalu sejuk, nilai -3). Secata umum responden memilih nyaman
(comfortable) nilai 0 kemudian nyaman hangat (comfortably warm) nilai 1. Pilihan ini menunjukkan bahwa
sebagian besar 46,3% responden merasakan nyaman dan 34,4% merasakan nyaman hangat, ada 8,8% responden
merasakan terlalu hangat (too warm) nilai 2
.

Gambar 4. Persentase Sensasi Termal (Thermal Sensation Votes) dan Persentase Thermal Comvort Vote

Hasil survei Thermal Preference dapat dilihat pada Gambar 5. Terdapat tiga pilihan pada Thermal
Preverence yaitu Lebih Panas, Tidak ada Perubahan dan Lebih Dingin. Sebagian besar responden memilih untuk
dilakukan perubahan agar ruangan lebih dingin sebesar 63,8%, ada 35,6% sudah merasakan nyaman dengan kondisi
yang ada, sedang 0,6% responden mengharapkan ruang yang lebih panas lagi.
Hasil survei Thermal Acceptance dapat dilihat pada Gambar 5. Terdapat dua pilihan pada penerimaan kondisi
termal (Thermal Acceptance) yaitu Diterima atau Tidak Diterima. Respon terhadap Thermal Acceptance
menunjukkan sebagian besar responden 91,3% memilih tidak menerima dengan kondisi termal ruangan dan hanya
8,8% yang menerima kondisi termal ruangan.

Gambar 5. Persentase Termal Preference dan Persentase Thermal Acceptance

Gambar 6. Persentase Thermal Acceptance dan Persentase Air Velocity Vote

470
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Hasil survei Air Velocity Vote dapat dilihat pada Gambar 6. Terdapat lima pilihan pada kuisioner untuk
menilai ada tidaknya aliran udara (Air Velocity) yang dirasakan oleh responden yaitu tidak ada aliran udara (nilai -
2), ada sedikit aliran udara (nilai -1), aliran udara sesuai (nilai 0), aliran udara kencang (nilai 1), aliran udara sangat
kencang (nilai 2). Sebagian besar responden 57,5% merasakan ada sedikit aliran udara dalam ruangan (nilai -1), ada
28,1% responden merasa aliran udara sudah sesuai (nilai 0), sedangkan 13,8% responden memilih tidak ada aliran
udara (nilai -2).
Hasil survei Air Velocity Preverence dapat dilihat pada Gambar 7. Terdapat tiga pilihan pada kuisioner untuk
menilai preferensi responden terhadap aliran udara (Air Velocity) dalam ruangan yang dirasakan yaitu kecepatan
dikurangi (nilai -1), tidak ada perubahan (nilai 0), kecepatan ditambah (nilai 1). Sebagian besar responden 53,8%
menginginkan penambahan kecepatan aliran udara di dalam ruang (nilai 1), ada 37,5% responden merasa aliran
udara sudah sesuai (nilai 0), dan hanya 8,1% responden menginginkan aliran udara dikurangi (nilai -1).
Hasil survei Humidity Vote dapat dilihat pada Gambar 7. Terdapat tujuh pilihan pada kuisioner untuk menilai
tanggapan responden terhadap kelembaban udara relatif (humidity vote) yaitu sangat terlalu lembab (nilai -3),
sangat lembab (nilai -2), agak lembab (nilai -1), sesuai (nilai 0), sedikit kering(nilai 0), agak kering (nilai 1), sangat
kering (nilai 2), sangat terlalu kering(nilai 3). Sebagian besar responden 34,4% merasakan ruang agak lembab (nilai
-1), ada 33,8% responden merasa sudah sesuai (nilai 0), dan ada 24,4% responden merasakan sedikit kering (nilai
1).

Gambar 7. Persentase Air Velocity Preverence dan Persentase Humidity Vote

Hasil analisis kenyamanan termal penghuni


Hasil analisis perbandingan (Regresi) antara Termal Sensation Vote (TSV) dengan Temperatur Operasional
(OT) dapat dilihat pada Gambar 8. Grafik menunjukkan bahwa nilai temperatur operasional (OT) berkisar antara
29,45-32,38oC. Dengan menggunakan persamaan regresi yang ada maka akan didapatkan temperatur netral berkisar
30,25oC. Nilai yang tinggi ini mungkin disebabkan oleh fisik anak-anak ini sudah terbiasa dengan kondisi termal
yang ada sehingga masih banyak yang merasa bisa menerima atau menganggap netral temperatur ruangan sudah
diatas standar netral.

Gambar 8. Regresi antara TSV dengan Top dan Regresi antara TCV dengan Top

Hasil analisis perbandingan (Regresi) antara Termal Sensation Vote (TSV) dengan Temperatur Operasional
(OT) dapat dilihat pada Gambar 8. Hubungan (regresi) antara nilai TCV dengan temperatur operasional (OT).

471
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Grafik menunjukkan bahwa nilai temperatur operasional (OT) berkisar antara 29,45-32,38oC. Dengan menggunakan
persamaan regresi yang ada maka akan didapatkan temperatur nyaman berkisar 27oC. Temperatur ini jauh lebih
rendah dari temperatur netral model TSV. Hal ini mungkin disebabkan oleh cara responden yang masih di sekolah
dasar dalam memaknai istilah-istilah yang dipakai untuk TSV (panas, hangat, agak hangat, netral, agak sejuk, sejuk,
dingin), dan istilah pada TCP (sangat terlalu hangat, terlalu hangat, nyaman hangat, nyaman, nyaman sejuk, terlalu
sejuk, sangat terlalu sejuk).

Kesimpulan dan Saran


Berdasarkan pembahasan, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: a) Kondisi ruang kelas pada SD Inpres
Tamalanrea IV Makassar memperlihatkan adanya temperatur yang tinggi terutama menjelang tengah hari sudah
mencapai 32 oC. Walaupun hasil pengukuran menunjukkan temperatur yang tinggi, hasil survei kenyamanan
pengguna menunjukkan bahwa sebagian responden tetap merasa nyaman. Hal ini barangkali diakibatkan oleh karena
responden sudah terbiasa dengan temperatur yang ada. b) Faktor yang paling berpengaruh terhadap tingkat
kenyamanan termal murid/siswa adalah temperatur ruangan.
Hasil model TSV dan model TCP dari penelitian ini sangat jauh perbedaannya, maka disarankan untuk
melakukan penelitian tambahan dengan data yang lebih banyak lagi dan sebelum pengisian kuisioner, responden
sudah harus memahami dengan baik makna dari istilah-istilah yang di pakai.
Oleh karena hasil penelitian menunjukkan bahwa walaupun temperatur tinggi, sebagian besar responden
tetap merasa nyaman. Agar hasilnya lebih akurat maka dibutukan penelitian lagi pada tingkat sekolah menengah
pertama dan sekolah menengah atas.

Daftar Pustaka
ASHRAE, (2004), “Thermal Environmental Condition for Human Occupancy (ASHRAE Standard 55)” ASHRAE:
Atlanta US.
Badan Meteorologi dan Geofisika, (2003), “Climate Information Di Beberapa Kota Indonesia Juni 2003”
http://www.meteo.bmg.go.id/klimatologi/ infoklimat.htm, diakses 8 Agustus 2003.
Baharuddin, Ishak, M T, Beddu, S, & Yahya, M., (2012), “Kenyamanan Termal Gedung Kuliah Bersama Kampus
Baru Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin” Paper presented at the Semesta Arsitektur Nusantara
(SAN) 1, Universitas Brawijaya, Malang.
Baharuddin, Ishak, M T, Beddu, S, & Osman, M Y., (2013), “Analisis Kenyamanan dan Lingkungan Termal pada
Ruang Kuliah dengan Ventilasi Alami (Studi Kasus: Kampus II Fakultas Teknik Unhas Gowa)” Paper
presented at the Semesta Arsitektur Nusantara (SAN) 2, Universitas Brawijaya, Malang.
Baharuddin, Rahim, MR, Ishak, MT, Amin, S., (2014), “The Effect of Environmental Factors on the Thermal
Comfort of Occupants in Building Interior” Paper presented at the International Seminar on 15th SENVAR
and 2nd AVAN, Jurusan Arsitektur, Universitas Hasanuddin, Makassar.
Bayong, T.H.K., (1987), “Iklim dan Lingkungan” Cendekia Jaya Utama. Jakarta.
Buratti, Cinzia, & Ricciardi, Paola, (2009), “Adaptive analysis of thermal comfort in university classrooms:
Correlation between experimental data and mathematical models” Building and Environment, 44(4), 674-
687.
Busch, J.F. (1990), “Thermal responses to the Thai office environment”. ASHRAE Transaction 96 (1) pp. 859-872.
Corgnati, Stefano Paolo, Ansaldi, Roberta, & Filippi, Marco, (2009), “Thermal comfort in Italian classrooms under
free running conditions during mid seasons: Assessment through objective and subjective approaches”
Building and Environment, 44(4), 785-792.
Corgnati, Stefano Paolo, Filippi, Marco, & Viazzo, Sara, (2007), “Perception of the thermal environment in high
school and university classrooms: Subjective preferences and thermal comfort” Building and Environment,
42(2), 951-959.
de Dear, R.J, Leow, K.G., Ameen, A., (1991), “Thermal comfort in the humid tropics. Part I. Climate chamber
experiments on temperature preferences in Singapore” ASHRAE Transaction 97 (1) pp. 874-879.
Departemen Pekerjaan Umum, (1993), “Standar Tata Cara Perencanaan Teknis Konservasi energi pada Bangunan
Gedung (SK SNI T-14- 1993-03)” Bandung: Yayasan Lembaga Penelitian Masalah Bangunan.
Fanger, P.O, (1970), “Thermal Comfort—Analysis and Applications in Environmental Engineering” Copenhagen.:
Danish Technical Press.
Feriadi, Henry, & Wong, Nyuk Hien, (2004), “Thermal comfort for naturally ventilated houses in Indonesia” Energy
and Buildings, 36(7), 614-626.
Hwang, Ruey-Lung, Lin, Tzu-Ping, & Kuo, Nai-Jung, (2006), “Field experiments on thermal comfort in campus
classrooms in Taiwan” Energy and Buildings, 38(1), 53-62.
ISO 7730, (1995), “Moderate Thermal Environments—Determination of the PMV and PPD Indices and
Specifications for Thermal Comfort (2nd ed.)” Geneva, Switzerland.: International Organisation for
Standardisation.

472
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Karyono, T.H., (2000), “Teori Adaptasi dan Keberlakuannya Bagi Penentuan Suhu Nyaman di Indonesia”. Kalang,
Jurnal Arsitektur Tarumanegara, Vol.II No.1.
Karyono, Tri Harso, (1993), “Higher PMV causes higher energy consumption in air-conditioned buildings: a case
study in Jakarta, Indonesia”. In F. Nicol, et al. (eds.) Standard for Thermal Comfort: Indoor Air
Temperature Standard for the 21st Century, Chapman & Hall, London, pp. 2-19-226.
Kwok, Alison G., & Chun, Chungyoon, (2003), “Thermal comfort in Japanese schools” Solar Energy, 74(3), 245-
252.
Lippsmeier, G., (1994) “Bangunan Tropis” Alih bahasa Syahmir Nasution. Erlangga. Jakarta.
Mangunwijaya, YB., (1988), “Pengantar Fisika Bangunan” Jakarta: Djambatan.
Mendell, M.J., & Heath, G.A., (2005), “Do indoor pollutants and thermal conditions in schools influence student
performance? A critical review of the literature” Indoor Air, 15, 27-52.
Mors, Sander ter, Hensen, Jan L. M., Loomans, Marcel G. L. C., & Boerstra, Atze C., (2011), “Adaptive thermal
comfort in primary school classrooms: Creating and validating PMV-based comfort charts” Building and
Environment, 46(12), 2454-2461.
Pepler, R.D., & Warner, R.E. (1968). “Temperature and learning: an experimental study” ASHRAE Transactions,
74(1), 211–224.
Satwiko, Prasasto, (2003), “Fisika Bangunan 2” Andi: Jogyakarta.
Sensharma, N.P., Woods, J.E., & Goodwin, A.K., (1998), “Relationship between the indoor environment and
productivity: a literature review” ASHRAE Transactions, 1A, 104.
Soegijanto, (1999), “Bangunan di Indonesia dengan Iklim Tropis Lembab Ditinjau dari Aspek Fisika Bangunan”
Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Stefano Paolo Corgnati, Marco Filippi, Sara Viazzo, (2007) “Perception of the thermal environment in high school
and university classrooms: Subjective preferences and thermal comfort” Building and Environment,
Volume 42, Issue 2, February 2007, Pages 951–959.
Teli, Despoina, Jentsch, Mark F., & James, Patrick A. B., (2012), “Naturally ventilated classrooms: An assessment
of existing comfort models for predicting the thermal sensation and preference of primary school children”
Energy and Buildings, 53(0), 166-182.
Wong, Nyuk Hien, & Khoo, Shan Shan, (2003), “Thermal comfort in classrooms in the tropics” Energy and
Buildings, 35(4), 337-351.

473
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

INTENSITAS PENCAHAYAAN ALAMI RUANG KELAS SEKOLAH


DASAR DI KOTA MAKASSAR

Irnawaty Idrus1*, Baharuddin Hamzah2 , Rosady Mulyadi3


1
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Arsitektur, Fak.Teknik, Universitas Hasanuddin Makassar
1
Dosen Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Makassar
(irnawatyiqbal@yahoo.co.id)
2,3
Dosen Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin Makassar,
(baharsyah@yahoo.com, rosady@unhas.ac.id)

Abstrak

Pencahayaan alami merupakan sumber pencahayaan terbaik bagi bangunan, tidak terkecuali untuk
bangunan sekolah. Intensitas pencahayaan alami yang baik, akan berdampak pada kenyamanan
proses belajar mengajar di ruang kelas. Sekolah dasar merupakan tahap kedua pendidikan anak
setelah melewati taman kanak-kanak, dimana pada tahap ini diajarkan ilmu-ilmu dasar pendidikan
formal anak. Berhasilnya proses belajar mengajar di sekolah dasar tentunya akan membentuk
pribadi-pribadi yang unggul untuk lanjut pada tahap pendidikan selanjutnya. Penelitian ini
merupakan penelitian awal mengenai kenyamanan visual di ruang kelas. Adapun metodenya yaitu
kuantitatif yang datanya diperoleh melalui survey dan pengukuran langsung di lokasi penelitian.
Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi intensitas pencahayaan alami di dalam ruang
kelas sekolah dasar dan meninjau kesesuaiannya dengan standar pencahayaan alami bangunan. Ada
tiga sekolah dasar di kota Makassar yang dijadikan sampel penelitian. Sampel dipilih secara
purposive sampling. Pada setiap sekolah, dilakukan pengukuran pagi hingga siang hari. Hasil
penelitian menunjukkan sebagian besar intensitas cahaya alami ruang kelas sekolah dasar di Kota
Makassar berada di bawah standar pencahayaan rata-rata SNI ruang kelas. Sebanyak 87,9%
dibawah nilai standar pencahayaan rata-rata SNI untuk ruang kelas dan hanya sebanyak 12,1% yang
diatas nilai standar SNI.

Kata Kunci: Intensitas; Pencahayaan Alami; Pencahayaan Ruang Kelas

Pendahuluan
Salah satu pengertian pendidikan yang sangat umum dikemukakan oleh Driyarkara (1980) yang menyatakan
bahwa pendidikan adalah upaya memanusiakan manusia muda. Pengangkatan manusia muda ke taraf insani harus
diwujudkan di dalam seluruh proses atau upaya pendidikan. Di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2
Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 ayat 1 dinyatakan bahwa “Pendidikan adalah Usaha sadar
untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan bagi peranannya di masa
yang akan datang”.
Tingkat satuan pendidikan yang dianggap sebagai dasar pendidikan adalah sekolah dasar. Di sekolah inilah
anak didik mengalami proses pendidikan dan pembelajaran. Secara umum pengertian sekolah dasar dapat kita
katakan sebagai institusi pendidikan yang menyelenggarakan proses pendidikan dasar dan mendasari proses
pendidikan selanjutnya. Pendidikan ini diselenggarakan untuk anak-anak yang telah berusia tujuh tahun dengan
asumsi bahwa anak seusia tersebut mempunyai tingkat pemahaman dan kebutuhan pendidikan yang sesuai dengan
dirinya. Pengertian sekolah dasar dapat dikatakan sebagai kegiatan mendasari tiga aspek dasar, yaitu pengetahuan,
sikap, dan keterampilan.
Di sekolah dasar, kegiatan pembekalan diberikan selama enam tahun berturut-turut. Pada saat inilah anak
didik dikondisikan untuk dapat bersikap sebaik-baiknya. Pengertian sekolah dasar sebagai basis pendidikan harus
benar-benar dapat dipahami oleh semua orang sehingga mereka dapat mengikuti pola pendidikannya. Tentunya,
dalam hal ini, kegiatan pendidikan dan pembelajarannya mengedepankan landasan bagi kegiatan selanjutnya. Tanpa
pendidikan dasar, tentunya sulit bagi kita untuk memahami konsep-konsep baru pada tingkatan lebih tinggi.
Proses belajar di sekolah khususnya pada tingkat sekolah dasar merupakan target untuk dapat mencetak bibit
unggul masa depan bangsa. Sekolah yang baik seyogyanya didesain sehingga dapat meningkatkan efektifitas proses
belajar mengajar. Selain itu, desain sekolah yang baik dapat membuat setiap warga sekolah termotivasi dan dapat
merasa diterima di lingkungan tersebut dan nyaman selama proses belajar mengajar (Perkins, 2001: 179).

473`
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Ruang Kelas adalah ruang untuk pembelajaran teori dan praktek yang tidak memerlukan peralatan khusus.
Rasio minimum luas ruang kelas di sekolah dasar adalah 2 m2/peserta didik, dengan luas minimum ruang kelas
adalah 30 m2, dimana lebar minimumnya adalah 5 m. Suatu ruang kelas diharuskan untuk memiliki jendela yang
memungkinkan pencahayaan yang memadai untuk membaca buku dan untuk memberikan pandangan ke luar
ruangan (Permendiknas, 2007).
Mangunwijaya (2000) berpendapat bahwa penerangan yang baik adalah apabila mata kita dapat melihat apa
yang ada di sekitar kita dengan jelas dan nyaman, atau dengan kata lain penerangan harus dapat memenuhi
persyaratan fungsional dan persyaratan keamanan. Kurangnya cahaya yang diterima atau cahaya yang berlebih
ditangkap oleh mata merupakan penyimpangan terhadap pencahayaan.
Cahaya adalah bagian mutlak dari hidup kita, karena kehidupan manusia sangat bergantung pada cahaya.
Penyelidikan menunjukkan bahwa sekitar 80% dari semua informasi yang diterima oleh otak kita ternyata melalui
mata. Proses ini hanya dapat terjadi bila ada cahaya, baik cahaya alami yaitu cahaya matahari langsung (day light) /
cahaya matahari yang dipantulkan oleh bulan (moon light) maupun cahaya buatan (artificial light) (Darmasetiawan
& Puspakesuma, 1991).
Menurut Ronny (1998), penerangan yang memadai bisa mencegah terjadinya astenopia (WHO: keluhan atau
kelelahan visual subjektif atau keluhan-keluhan yang dialami seseorang akibat menggunakan matanya) dan
mempertinggi kecepatan dan efisiensi membaca. Penerangan yang kurang tidak menyebabkan penyakit mata, tetapi
menyebabkan kelelahan mata. Arah datang cahaya yang tidak tepat pada posisi membaca atau menulis akan
menyebabkan silau.
Penglihatan adalah kemampuan untuk mengumpulkan informasi sinar yang masuk ke dalam mata (Lechner,
2001). Penglihatan sangat bergantung pada ketersediaan cahaya. Mata adalah organ kompleks yang pada dasarnya
berperan untuk mengkonversi cahaya menjadi sinyal sensorik yang dapat ditafsirkan dalam otak.
Pencahayaan alami siang hari dimaksudkan untuk memperoleh pencahayaan di dalam bangunan pada siang
hari dari cahaya alami. Manfaat pencahayaan alami dapat memberikan lingkungan visual yang menyenangkan dan
nyaman dengan kualitas cahaya yang mirip kondisi alami di luar bangunan. Selain itu juga dapat mengurangi atau
bahkan meniadakan pencahayaan buatan sehingga dapat mengurangi penggunaan listrik (Soegijanto,1998).
Menurut Mangunwijaya (2000), cahaya siang hari terdiri dari banyak macam unsur, yaitu:
1. Unsur penerangan yang datang langsung dari langit, termasuk pantulan-pantulan awan,
2. Unsur refleksi luar, yaitu pemantulan cahaya dari benda-benda yang berdiri di luar ruangan dan masuk melalui
jendela,
3. Unsur refleksi dalam, yaitu cahaya yang dipantulkan oleh benda-benda yang terletak rendah dan masuk melalui
jendela dan lubang-lubang lain serta menerangi langit-langit atau bagian atas ruangan, kemudian terpantul lagi
dan menerangi bidang kerja,
4. Unsur bahan jendela, misalnya jenis kaca, kemudian tingkat kebersihan kaca dan sebagainya.
Menurut Lippsmeier (1994), pancaran cahaya matahari pada suatu tempat ditentukan oleh:
1. Durasi radiasi;
Durasi radiasi matahari tergantung pada musim, garis lintang geografis tempat pengamatan, dan density
awan. Salah satu ciri khas daerah tropis adalah waktu remang pagi dan senja yang pendek, semakin jauh sebuah
tempat dari khatulistiwa, semakin panjang waktu remangnya. Pada saat bumi beredar mengelilingi matahari, sumbu
bumi tidak selalu tegak lurus terhadap garis sumbu antara inti bumi dengan inti matahari.
Pergeseran garis edar matahari akan menyebabkan terjadinya perubahan panjang hari atau lama penyinaran
yang diterima pada tempat-tempat di permukaan bumi. Selama satu tahun peredaran mengelilingi matahari durasi
penyinaran matahari berbeda-beda dengan interval waktu setiap 3 bulanan (Lippsmeier, 1994).
2. Intensitas matahari
Intensitas radiasi matahari ditentukan oleh energi radiasi absolut, hilangnya energi pada atmosfir, sudut jatuh
pada bidang yang disinari dan penyebaran radiasi.
3. Sudut jatuh matahari
Sudut jatuh matahari ditentukan berdasarkan pada posisi relative matahari, tempat pengamatan di permukaan
bumi (sudut lintang geografis pengamat), musim dan lamanya penyinaran matahari (yang ditentukan oleh garis
bujur geografis). Salah satu cara menentukan sudut jatuh matahari adalah melalui diagram matahari. Diagram
matahari digunakan dengan ketentuan dasar harus mengikuti ketentuan letak objek pengamatan yang berkaitan
dengan letak garis lintang dari lokasi objek pengamatan.
Untuk mengetahui intensitas cahaya alami pada suatu ruang, maka dilakukan Pengujian Pencahayaan Alami.
Apakah kondisi pencahayaan di dalam ruang tersebut telah sesuai dengan standar baku yang telah ditetapkan
ataukah belum. Pada SNI 03-2396-2001, diatur mengenai langkah pengujian pencahayaan alami, yaitu dapat
dilakukan dengan mengukur atau memeriksa:
1. Tingkat Pencahayaan
a. Tingkat pencahayaan di Titik Ukur Utama (TUU), Titik Ukur Samping (TUS), titik di luar ruangan di tempat
terbuka dan pengukuran dilakukan pada waktu yang bersamaan.

474`
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

b. Menghitung faktor langit pada TUU dan TUS


2. Indeks Kesilauan
Nilai tingkat pencahayaan dapat diukur langsung dengan menggunakan alat ukur. Alat untuk mengukur tingkat
pencahayaan/ iluminasi dinamakan luksmeter.

Tabel 1. Tingkat pencahayaan rata-rata, renderasi dan temperatur warna yang direkomendasikan.
Temperatur warna
Tingkat Kelompok
Fungsi Ruangan Pencahayaan Renderasi cool white
warm white < daylight >
(lux) Warna 3.300 K-5.300
3.300 K 5.300 K
K
LEMBAGA PENDIDIKAN
Ruang Kelas 250 1 atau 2 √ √
Perpustakaan 300 1 atau 2 √ √
Laboratorium 500 1 atau 2 √ √
Ruang Gambar 750 1 √ √
Kantin 200 1 atau 2 √ √
Sumber SNI 03-6197-2000

Pada ruang kelas yang memakai media pengajaran papan tulis, harus diperhatikan pencahayaan untuk media
tersebut. Hal ini untuk memastikan bahwa refleksi cahaya tidak menimbulkan masalah penglihatan bagi siswa
khususnya mereka yang duduk dekat papan tulis. Untuk media whiteboard maka kuat pencahayaan yang disarankan
adalah 250 lux, sedangkan untuk blackboard yang daya pantulnya tidak lebih dari 0,1 maka kuat pencahayaan yang
disarankan adalah 500 lux. Sedangkan ruang kelas yang menggunakan media LCD, pencahayaan umum yang
disarankan adalah 250-300 lux dengan menyediakan dimmer untuk mengatasi masalah pencahayaan (glare) yang
timbul (Bean, 2004).
Dari uraian yang telah dijabarkan, maka peneliti merasa penting untuk dapat mengidentifikasi dan
mengungkap informasi mengenai intensitas cahaya alami pada ruang kelas, khususnya yang berada di kota
Makassar sebagai lokasi studi. Sehingga dapat diperoleh informasi mengenai hal tersebut dan kesesuaiannya dengan
standar nasional pencahayaan bangunan (SNI). Informasi yang diperoleh akan menjadi acuan untuk menyusun
langkah-langkah optimalisasi atau sebagai data awal untuk mengidentifikasi mengenai tingkat kenyamanan visual di
ruang kelas.

Bahan dan metode penelitian


Penelitian ini adalah penelitian awal mengenai Kenyamanan Visual Ruang Kelas Sekolah Dasar di Kota
Makassar. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif. Penelitian kuantitatif ini adalah penelitian yang digunakan
untuk menjawab permasalahan melalui teknik pengukuraan yang cermat terhadap varaiabel-variabel tertentu,
sehingga menghasilkan kesimpulan yang dapat digeneralisasikan, lepas dari konteks waktu dan situasi serta jenis
data yang dikumpulkan terutama data kuantitatif. Penelitian kuantitatif banyak digunakan terutama untuk
mengembangkan teori dalam suatu disiplin ilmu. Penggunaan pengukuran disertai analisis secara statis di dalam
penelitian mengimplikasikan bahwa penelitian ini menggunakan metode kuantitatif. Dalam penelitian ini, data yang
diperoleh dari observasi dan pengukuran akan dibandingkan dengan ketentuan standar nasional yang mengatur
mengenai pencahayaan bangunan (SNI). Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini antara lain:
1. Mendata kondisi eksisting ruang kelas, ukuran dan data bukaan.
Data eksisting yang dimaksud antara lain dimensi kelas, warna dinding, lantai dan plafond, layout kelas,
orientasi kelas, intensitas cahaya (lux), kondisi langit, dimensi bukaan, dan material bukaan, elevasi lantai, dan
waktu pengukuran.
2. Data yang diperoleh di lapangan, kemudian diinput dan dianalisis dengan menggunakan software statistik SPSS
(Statistikal Product and Service Solutions). SPSS dapat membaca berbagai jenis data atau memasukkan data
secara langsung ke dalam SPSS Data Editor. Bagaimanapun struktur dari file data mentahnya, maka data dalam
Data Editor SPSS harus dibentuk dalam bentuk baris (cases) dan kolom (variables). Case berisi informasi untuk
satu unit analisis, sedangkan variabel adalah informasi yang dikumpulkan dari masing-masing kasus. Hasil-
hasil analisis muncul dalam SPSS Output Navigator. Beberapa kemudahan yang lain yang dimiliki SPSS dalam
pengoperasiannya adalah karena SPSS menyediakan beberapa fasilitas seperti Data Editor, Viewer,
Multidimensional Pivot Tables, High-Resolution Graphics, Database Access, dan Data Transformations.
Pada penelitian ini, teknik analisis data yang digunakan adalah Statistik Deskriptif. Statistik deskriptif
digunakan untuk penelitian populasi. Hal yang disajikan dalam statistik deskriptif adalah data yang berupa diagram
atau grafik, perhitungan mean, median, modus, standar deviasi. Selain itu, statistik deskriptif dapat dilakukan untuk

475`
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

mencari kuatnya hubungan antar variabel melalui analisis korelasi, melakukan prediksi dengan analisis regresi atau
membandingkan dua rata-rata atau lebih yang tidak perlu diuji signifikansinya.
Ada tiga sekolah yang menjadi sampel penelitian. Pemilihan sampel melalui metode Purposive Sampling
dengan mempertimbangkan lokasi sekolah di kota Makassar. Purposive sampling adalah salah satu teknik
pengambilan sampel yang sering digunakan dalam penelitian. Purposive sampling berarti teknik pengambilan
sampel secara sengaja. Maksudnya, peneliti menentukan sendiri sampel yang diambil tidak secara acak, tapi
ditentukan sendiri oleh peneliti.
Pengambilan sampel berdasarkan "penilaian" peneliti mengenai siapa-siapa saja yang pantas memenuhi
persyaratan untuk dijadikan sampel. oleh karena itu latar belakang pengetahuan tertentu mengenai sampel dimaksud
tentu juga populasinya agar benar-benar bisa mendapatkan sampel yang sesuai dengan persyaratan atau tujuan
peneliti sehingga mendapat atau memperoleh data yang akurat.
Sekolah yang menjadi sampel penelitian adalah SD Negeri Sudirman 1, SD Inpres Tamalanrea 4, dan SD
Unggulan Toddopuli. Pada tiap sekolah, pengukuran dilakukan pada lima ataupun enam kelas. Adapun waktu
pengukuran yaitu pagi hingga siang hari. Intensitas cahaya diukur dengan menggunakan alat HOBO Data Logger
yang mempunyai fungsi antara lain mengukur dan menyimpan data temperatur udara, kelembaban udara, intensitas
cahaya, dan kecepatan angin dalam ruang.

Hasil dan pembahasan


1. SD Negeri Sudirman 1
SD Negeri Sudirman 1 terletak di tengah kota Makassar, tepatnya di wilayah Barat kota Makassar.
Pengambilan data pada SD Negeri Sudirman 1 dilakukan pada enam ruang kelas. Yaitu kelas IVA, IVB, VA, VB,
VIA, dan kelas VIB. Keenam kelas yang menjadi lokasi pengukuran mempunyai orientasi kelas yang sama. Bukaan
pada kelas terletak pada sisi Timur dan Barat ruang kelas. Jendela yang terdapat pada kelas, terdiri dari jendela kaca
mati dengan material kaca bening dan juga jendela jungkit dengan material penutup kaca bening. Pengukuran
dilakukan pada tanggal 29 April 2016. Waktu pengukuran yaitu mulai pukul 08.00 sampai dengan 11.00. Cuaca
pada waktu pengukuran yaitu Cerah. Hasil pengukuran menunjukkan 100% data intensitas cahaya alami dalam
ruang keseluruhan kelas berada di bawah standar SNI pencahayaan rata-rata dalam ruang yaitu 250 lux. Tingkat
intensitas minimal dalam kelas yaitu 11,80 lux, intensitas cahaya maksimum yaitu 145,80 lux dan pencahayaan rata-
rata 63,47 lux.

Tabel 2. Intensitas Pencahayaan Alami Ruang Kelas, SD Negeri Sudirman 1 Makassar


Descriptive Statistics (Intensity of Daylight)
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
IntensityLUX 181 11,80 145,80 63,4746 21,88275
Valid N (listwise) 181

Gambar 1. Intensitas Cahaya Alami Ruang Kelas SD Negeri Sudirman1 Makassar

2. SD Inpres Tamalanrea 4
SD Inpres Tamalanrea 4 terletak di wilayah Timur kota Makassar. Pengambilan data pada SD Inpres
Tamalanrea 4 dilakukan pada lima ruang kelas. Yaitu kelas IVB, VA, VB, VIA, dan kelas VIB. Kelima kelas yang
menjadi lokasi pengukuran mempunyai orientasi kelas yang sama. Bukaan pada kelas terletak pada sisi Utara dan
Selatan ruang kelas. Jendela yang terdapat pada kelas, terdiri dari jendela kaca mati dengan material kaca bening

476`
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

dan juga jendela jungkit dengan material penutup kaca bening. Pengukuran dilakukan pada tanggal 30 April 2016.
Waktu pengukuran yaitu mulai pukul 08.00 sampai dengan 10.50. Hasil pengukuran menunjukkan 79,9% data
intensitas cahaya alami dalam ruang keseluruhan kelas berada di bawah standar SNI pencahayaan rata-rata dalam
ruang yaitu 250lux dan 20,1% data berada di atas standar SNI pencahayaan rata-rata dalam ruang yaitu 250 lux.
Tingkat intensitas minimal dalam kelas yaitu 59,10 lux, intensitas cahaya maksimum yaitu 508,50 lux dan
pencahayaan rata-rata 183,12 lux.

Tabel 3. Intensitas Pencahayaan Alami Ruang Kelas, SD Inpres Tamalanrea 4 Makassar


Descriptive Statistics (Intensity of Daylight)
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
IntensityLUX 154 59,10 508,50 183,1195 142,11217
Valid N (listwise) 154

Gambar 2. Intensitas Cahaya Alami Ruang Kelas SD Inpres Tamalanrea 4 Makassar

3. SD Negeri Unggulan Toddopuli


SD Negeri Unggulan Toddopuli terletak di wilayah Selatan Kota Makassar. Pengambilan data pada SD
Negeri Unggulan Toddopuli dilakukan pada enam ruang kelas. Yaitu kelas VB, VA, VIB, VIA, IVA, dan kelas IVB.
Keenam kelas yang menjadi lokasi pengukuran mempunyai orientasi kelas yang berbeda. Bukaan pada kelas VB,
VA, VIB dan VIA terletak pada sisi Timur dan Barat ruang kelas, dan bukaan pada kelas IVA dan IVB terletak pada
sisi Utara dan Selatan ruang kelas. Jendela yang terdapat pada kelas, terdiri dari jendela kaca mati dengan material
kaca bening dan juga jendela jungkit dengan material penutup kaca bening. Pengukuran dilakukan pada tanggal 12
Mei 2016. Waktu pengukuran yaitu mulai pukul 08.00 sampai dengan 11.35. Hasil pengukuran menunjukkan 83,9%
data intensitas cahaya alami dalam ruang keseluruhan kelas berada di bawah standar SNI pencahayaan rata-rata
dalam ruang yaitu 250lux dan 16,1% data berada di atas standar SNI pencahayaan rata-rata dalam ruang yaitu
250lux. Tingkat intensitas minimal dalam kelas yaitu 82,80 lux, intensitas cahaya maksimum yaitu 319,30 lux dan
pencahayaan rata-rata 192,14 lux.

Tabel 4. Intensitas Pencahayaan Alami Ruang Kelas, SD Negeri Unggulan Toddopuli Makassar
Descriptive Statistics (Intensity of Daylight)
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
IntensityLUX 186 82,80 319,30 192,1376 63,14717
Valid N (listwise) 186

477`
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Gambar 3. Intensitas Cahaya Alami Ruang Kelas SD SD Negeri Unggulan Toddopuli Makassar

Pengaplikasian warna dinding pada keseluruhan sampel yaitu putih. Hal ini sudah sangat tepat mengingat
tingkat refleksitas warna cerah yaitu 70-90%. Adapun material lantai keseluruhan sampel adalah keramik berwarna
putih, reflektansi material keramik sebesar 65-75%.
Apabila data sampel dipisah menurut orientasi bukaannya yaitu Orientasi Timur-Barat dan orientasi Utara-
Selatan, dapat diperoleh data bahwa tingkat intensitas cahaya orientasi Timur-Barat 99,2% yang nilainya dibawah
standar SNI Pencahayaan 250 lux dan 0,8% yang nilainya diatas standar SNI Pencahayaan. Sedang pada sampel
dengan Orientasi Bukaan Utara-Selatan, dapat diperoleh data bahwa tingkat intensitas cahaya 53,2% yang nilainya
dibawah standar SNI Pencahayaan 250 lux dan 46,8% yang nilainya di atas standar SNI Pencahayaan (Gambar 4).

Gambar 4. Intensitas Cahaya Alami Ruang Kelas Sekolah Dasar di Kota Makassar berdasarkan orientasi bukaan

Kesimpulan dan saran


Dari hasil pengukuran ruang kelas sekolah dasar, dapat ditarik kesimpulan bahwa sebagian besar intensitas
cahaya alami ruang kelas sekolah dasar di Kota Makassar berada di bawah standar pencahayaan rata-rata SNI ruang
kelas. Sebanyak 87,9% dibawah nilai standar pencahayaan rata-rata SNI untuk ruang kelas dan hanya sebanyak
12,1% yang diatas nilai standar SNI (Gambar 5).
Dari hasil analisis data mengenai orientasi bukaan, dapat ditarik kesimpulan bahwa ruang kelas yang
bukaannya terletak di sisi Utara-Selatan intensitas cahaya alami ruang kelasnya lebih tinggi jika dibandingkan
dengan ruang kelas yang bukaannya pada sisi Timur-Barat. Hal tersebut terkait dengan Posisi Edar Matahari pada
bulan April-Mei yang lintasannya condong ke arah utara.
Untuk penelitian selanjutnya, disarankan untuk menambah waktu pengukuran agar dapat memperoleh data
yang lebih banyak dan hasil yang lebih akurat.

478`
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Gambar 5. Intensitas Cahaya Alami Ruang Kelas Sekolah Dasar di Kota Makassar

Daftar pustaka
Mangunwijaya, YB. (2000), Pengantar Fisika Bangunan. Djambatan: Jakarta.
Adityananda, Rony. (1998), Pengendalian Cahaya Alami Sebagai Upaya Penghematan Energi pada Bangunan
Perkantoran. Tesis tidak diterbitkan. Program Pascasarjana UNDIP: Semarang.
Bean, Robert. 2004. Lighting Interior And Exterior. Massachusets: Architectural Press.
C, Darmasetiawan, L, Puspakesuma. 1991. Teknik Pencahayaan dan Tata Letak Lampu. Gramedia: Jakarta.
Dora, Purnama Esa. (2011), Optimasi Desain Pencahayaan Ruang Kelas SMA Santa Maria Surabaya, DIMENSI
INTERIOR, VOL. 9, NO. 2, Desember 2011: 69-79 70
Driyarkara. (1980), Tentang Pendidikan. Kanisius, Yogyakarta.
Lechner, Norbert. (2001), Heating, Cooling, Lighting: Metode Desain untuk Arsitektur Edisi Kedua. Terjemahan
oleh Sandriana Siti. 2007. Raja Grafindo Persada: Jakarta.
Lippsmeier, Georg. (1994). Bangunan Tropis. Erlangga: Jakarta.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No.24 Tahun 2007.
Soegijanto. (1998), Bangunan di Indonesia dengan Iklim Tropis lembab Ditinjau dari Aspek Fisika Bangunan.
Dirjen Dikti Depdikbud. Jakarta.
Mangunwijaya, YB. (2000), Pengantar Fisika Bangunan. Djambatan: Jakarta.
SNI 03-2396-2001: Tata Cara Perancangan Sistem Pencahayaan Alami pada Bangunan Gedung.
SNI 03-6197-2000: Konservasi Energi Sistem Pencahayaan pada Bangunan Gedung.
Perkins, Bradford. (2001), Elementary and Secondary School. Canada: John Wiley & Sons, Inc
Undang-Undang Republik Indonesia, Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 ayat 1

479`
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

PENGARUH LUASAN BUKAAN TERHADAP KENYAMANAN TERMAL


RUANG KELAS SISWA PADA BANGUNAN SD NEGERI SUDIRMAN 1
KOTA MAKASSAR

Muhammad Tayeb1, Ramli Rahim2, Baharuddin3


1
Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin Makassar
Jl. Poros Malino Kampus Unhas Kabupaten Gowa
2
Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin Makassar
Jl. Poros Malino Kampus Unhas Kabupaten Gowa
3
Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin Makassar
Jl. Poros Malino Kampus Unhas Kabupaten Gowa
Email: m.tayeb_m@yahoo.com

Abstrak

Kenyamanan termal dalam ruangan akan meningkatkan produktivitas kerja, tidak terkecuali bagi
ruang kelas yang digunakan sehari-hari oleh murid-murid/siswa-siswa dalam menuntut ilmu. Salah
satu pertimbangan yang perlu diperhatikan dalam mendukung proses belajar mengajar adalah
lingkungan belajar, yang berhubungan dengan kondisi iklim di ruang kelas, yang erat kaitannya
dengan kenyamanan termal.
Bangunan dalam hal ini adalah bangunan sekolah dasar negeri yang menjadi wadah aktivitas belajar
mengajar. Berdasarkan pengamatan peneliti, maka peneliti melakukan penelitian pada salah satu
sekolah SD Negeri Sudirman 1 dengan tujuan mengetahui apakah suhu yang dihasilkan oleh
luasan bukaan yang ada di SD NEGERI SUDIRMAN 1 Kota Makassar telah berhasil menciptakan
kenyamanan termal yang sesuai oleh standar yang berlaku, diantaranya yaitu suhu udara,
kelembaban dan kecepatan angin. Metode pengumpulan dan pengolahan data yang digunakan dalam
mengumpulkan data menggunakan kuesioner, observasi dan wawancara. Dalam observasi pada
tanggal 4 Mei 2016, menggunakan alat bantu diantaranya LSI-LASTEM Multi Logger, (b) HOBO
data logger, dan (c) HOBO data logger with external sensor dan meteran. Sedangkan untuk metode
pengolahan datanya menggunakan Ms. Excel dan SPSS.21.
Hasil kuesioner menunjukan bahwa sensasi termal semua responden di seluruh ruangan pengamatan
adalah netral. Hasil dari PMV menunjukan perbedaan nilai antara Kelas IV-B dan kelas V-A yaitu
pada kelas IV- (+2,0) dan pada ruang kelas V-A (+2,2), nilai tersebut menunjukan bahwa ruangan
tersebut memberikan sensasi sedikit panas bagi penghuninya sesuai dengan hasil wawancara.

Kata kunci: kenyamanan; termal; ruang kelas

Pendahuluan
Kenyamanan termal dalam ruangan akan meningkatkan produktivitas kerja, tidak terkecuali bagi ruang kelas
yang digunakan sehari-hari oleh murid-murid/siswa-siswa dalam menuntut ilmu. Sebuah studi lama menyebutkan
bahwa ada pengaruh dari kualitas termal suatu ruangan kelas dengan prestasi belajar siswa (Pepler & Warner, 1968).
Karena itu kenyamanan termal menjadi suatu hal yang sangat penting diperhatikan pada ruang kelas, demi
tercapainya proses belajar yang kondusif dan memberi hasil yang memuaskan bagi peserta didik. Beberapa studi
belakangan ini juga menunjukkan adanya hubungan positif antara kualitas ruangan (termasuk di dalamnya kondisi
termal) dengan prestasi siswa (Mendell & Heath, 2005; Sensharma, Woods, & Goodwin, 1998).
Karyono (2000) juga telah melakukan penelitian mengenai teori adaptasi dan keberlakuannya bagi penentuan
suhu nyaman di Indonesia. Beberapa penelitian tentang kenyamanan termal telah dilakukan di Jakarta (Karyono,
1993, 2000) yang difokuskan pada gedung perkantoran. Standar kenyamanan termal seperti ASHRAE standard 55
(ASHRAE, 2004) dan ISO7730 (ISO, 1995) telah banyak digunakan sebagai standar kenyamanan termal di berbagai
negara. Namun standar ini lebih banyak digunakan untuk ruangan dengan pengkondisian buatan (AC). Pada
bangunan dengan pengkondisian alami, standar yang ada tidak cocok digunakan (Feriadi dan Wong, 2004).
Guna memperediksi kenyamanan termal yang dirasakan oleh penghuni dalam ruangan Fanger (1970)
mengusulkan Predicted Mean Vote (PMV). PMV dihitung berdasarkan parameter lingkungan berupa: temperatur

480
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

udara dan temperatur radiant, kelembaban relatif, kecepatan aliran udara, dan parameter personal yang meliputi
aktifitas (metabolic rate) serta pakaian yang digunakan (clo).
Metode yang digunakan untuk menentukan kenyamaman termal dan telah menjadi standar baku
kenyamanan termal pada ASHRAE 55-2005 dan ISO 7730 adalah index termal PMV dan PPD. PMV (Predicted
Mean Vote) merupakan indeks yang dikenalkan oleh Professor Fanger dari University of Denmark yang
mengindikasikan sensasi dingin dan hangat yang dirasakan oleh manusia dengan melibatkan empat faktor yang
berasal dari lingkungan yaitu suhu udara, temperatur radiant, kelembaban udara, kecepatan angin, dan 2 faktor yang
berasal dari manusia yaitu laju metabolisme tubuh dan nilai insulasi pakaian, yang menghasilkan skala +3 panas
sekali, +2 panas, +1 hangat, 0 nyaman, -1 sejuk, -2 dingin, -3 dingin sekali. Menurut ASHRAE, “Handbook of
Fundamental Chapter 8” Physiological Principles,Comfort, and Health ASHRAE, USA,1989, untuk mengetahui
berapa banyak orang yang tidak puas dengan kondisi lingkungan dapat ditentukan dengan PPD (Predicted
Percentage of Dissatisfied). Semakin besar nilai presentase PPD maka semakin banyak yang tidak puas.
Hasil penelitian tahun 2012 menunjukkan ada ketidaknyamanan mahasiswa baik di ruang lobby maupun di
dalam ruang kelas Gedung Kuliah FT-Unhas Gowa. Hasil penelitian ini telah dipresentasikan pada seminar nasional
Semesta Arsitektur Nusantara (SAN) 1 dengan judul “Kenyamanan Termal Gedung Kuliah Bersama Kampus Baru
Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin” (Baharuddin, dkk, 2012).
Hasil penelitian tahun 2013 memperlihatkan tingkat temperatur udara yang tinggi, baik pada ruangan yang
menggunakan penghawaan alami, maupun yang menggunakan pengkondisian buatan (AC) (Baharuddin, dkk, 2013).
Pada penelitian 2014 menunjukkan bahwa responden (mahasiswa) cenderung lebih toleran terhadap panas
pada ruang kelas dengan ventilasi alami walaupun temperatur sekitar 31oC (Baharuddin dkk., 2014).
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara pada tanggal 4 Mei 2016 kepada sejumlah siswa di beberapa
ruangan SD Negeri Sudirman 1 Kota Makassar, sebagian besar siswa pada umumnya menyatakan bahwa ruang
belajar mereka kurang nyaman jika ditinjau dari segi kenyamanan termal yang mengakibatkan berkurangnya
konsentrasi pada saat belajar, karena siswa sering merasa kepanasan seiring meningkatnya temperatur ruangan
pada saat proses belajar mengajar.
Selain wawancara langsung dengan responden, pengukuran juga dilakukan dengan mengambil data yang
terdiri dari data temperatur ruang kelas yang diukur bervariasi setiap ruangan dari jam 08.00 Wita sampai pukul
11.00 Wita.

Metode Penelitian
Sekolah SD Negeri Sudirman 1 Kota Makassar jalan Sudirman terdiri dari 2 lantai, lantai pertama di
Gunakan oleh SD Negeri Sudirman 1 dan 2 sedangkan untuk ruang kelas pembelajaran di lantai 2 seluruhnya
digunakan oleh Sd Negeri Sudirman 1 Kelas 4 sampai dengan kelas 6 sebanyak 8 ruangan, yang selebihnya
digunkan untuk perpustakaan. Setiap ruang kelas memiliki luas ruangan sebesar 56m² dan terdapat siswa/siswa rata-
rata sebanyak 35 orang. untuk bukaan ruang kelas 4 sampai kelas 6 totalnya 107.506 m2, terdapat pada sisi timur
dan barat. pada sisi timur bukaannya dengan luasan bukaan 55.206 m2, sedangkan untuk sisi barat 52,3 m2.
Semua jenis pendingin para ruangan kelas tidak dinyalakan karena diinginkan menggunakan sistem
pengudaraan alami. Pada gambar 1 memperlihatkan skema ruangan serta penempatan titik-titik pengukuran pada
masing-masing ruangan kelas :

Gambar 1. Titik ruangan

481
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Gambar 2. Titik pengukuran

Gambar 3. Potongan arah barat

Gambar 4. Potongan arah timur

Pengukuran suhu yang akan dilakukan pada ruang kelas A, B, C, D, E dan F pada lantai 2 yang sudah di
tentukan akan di tandai titik pengukurannya. Setiap kelas memiliki 6 titik pengukuran, 2 titik pada bagian dekat
jendela sebelah kanan, 2 titik pada bagian jendela sebelah kiri dan 2 titik pada bagian tengah. Skema kelas IV A, B,
VB dan kelas VI B sama. Dalam penelitian ini melibatkan siswa sebagai responden dengan jumlah 180 orang,
terdiri dari 75 laki-laki dan 28 perempuan dengan menggunakan seragam yang sama. Metode pengumpulan data
dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Metode langsung dengan melakukan pengukuran dan pengamatan
langsung di ruang kelas sehingga didapatkan data primer.Penelitian pengaruh bukaan pada bangunan terhadap
kenyamanan termal para siswa dilakukan di dalam ruangan yang sudah di tentukan dimana ruangan tersebut hanya
mengandalkan bukaan alami sebagai pendingin ruangan. dilakukan pengukuran faktor yang berpengaruh
terhadap kenyamanan termal: suhu udara (Ta), kecepatan udara (Va), dan kelembaban udara (RH) didalam ruang
kelas.
Teknik pengumpulan data dengan memberikan daftar pertanyaan terperinci mengenai objek permasalahan
yang bersangkutan, yaitu para siswa yang berada di ruangan kelas. Data yang dikumpulkan dengan metode
kuesioner yaitu data sensasi termal yang dirasakan oleh siswa yang berada dalam ruangan. Sensansi termal
tersebut menggunakan Skala Sensasi Termal dari ASHRAE standard 55 menggunakan skala 7-poin guna mengukur

482
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

sensasi termal yang dirasakan (thermal sensation vote (TSV)). Ke 7-poin menurut skala ASHRAE ini diberi nilai +3
(hot), +2 (warm), +1 (slightly warm), 0 (neutral), -1 (slightly cool), -2 (cool), dan -3 (cold). Selain itu juga dilakukan
survei TSV dengan menggunakan skala Bedford.
Data yang diperoleh kemudian diolah dengan metode statistik yang dibuat secara grafik. Data primer di
tabulasi dan digambarkan secara grafik. Data yang di grafikkan tersebut pengukuran fakor yang berpengaruh
terhadap kenyamanan termal: suhu udara (Ta), kecepatan udara (Va), kelembaban udara (RH) dan jumlah siswa
yang ada didalam ruangan kelas. Sebagai instrumentasi pada penelitian ini digunakan alat-alat sebagai berikut ;
Kuesioner pribadi (personal questionnairre) yang digunakan untuk mendapatkan informasi pribadi resonden dan
psikologi termal responden, meteran yang berfungsi mengukur luasan bukaan di bangunan ini, dan daftar
pengukuran penelitan yang digunakan untuk mencatat hasil setiap pengukuran.

Hasil dan Pembahasan


Dari pengukuran didapat hasil sebagai berikut :

Gambar 5. Grafik suhu rata-rata R. Kelas

Gambar 6. Grafik kelembaban rata-rata R. kelas

Secara umum dari pergerakan suhu udara diatas pada ruang kelas IV-A, V-B, VI-A, VI-B dan V-A, lebih
stabil dibandingkan dengan suhu di kelas IV-B. Mulai pagi hari suhu ruang kelas IV-Bdari jam 08.00 sampai jam
08.30 mengalami kenaikan dari 29,32 °C naik mencapai 29,47 °C, kelas IV-B mengalami penurunan suhu dari
29,36 °C turun mencapai 29,10 °C, pengukuran dimulai pada jam 08.30 sampai jam 09.00, kelas V-Bdari jam 09.00
sampai jam 09.30 mengalami kenaikan dari 29,18 °C naik mencapai 29,40 °C, kelas VI-Adari jam 09.30 sampai
jam 10.00 mengalami kenaikan dari 29,59 °C naik mencapai 29,67 °C, kelas VI-Bdari jam 10.00 sampai jam 10.30
mengalami kenaikan dari 29,58 °C naik mencapai 30,03 °C, kelas V-Adari jam 10.30 sampai jam 11.00 mengalami
kenaikan dari 29,82 °C naik mencapai 29,96 °C. Dengan berjalannya waktu suhu udara di dalam ruang kelas
semakin siang maka suhu udara didalam ruangan semakin naik.

483
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Gambar 5. Grafik kecepatan angin rata-rata R. kelas

Secara umum dari grafik kelembaban diatas pada ruang kelas IV-A, V-B, VI-A, IV-B dan V-A,, lebih rendah
dibandingkan dengan kelembaban di kelas VI-B. Mulai pagi hari kelembaban ruang kelas IV-A dari pukul 08.00
sampai pukul 08.30 mengalami kenaikan dari 72,87 % naik mencapai 73,23 %, kelas IV-B dari pukul 08.30 sampai
pukul 09.00 mengalami kenaikan dari 74,36 % naik mencapai 74,90 %, kelas V-B dari pukul 09.00 sampai pukul
09.30 mengalami penurunan dari 74,12 % turun mencapai 73,10 %, kelas VI-A dari pukul 09.30 sampai pukul 10.00
mengalami penurunan dari 73,25 % turun mencapai 69,08 %, kelas VI-B dari pukul 10.00 sampai pukul 10.30
mengalami penurunan dari 69,09 % turun mencapai 66,31 %, dan kelas V-A dari pukul 10.30 sampai pukul 11.00
stabil di 66,69 %. Dengan berjalannya waktu kelembaban di dalam ruang kelas semakin siang maka kelembaban
di dalam ruangan semakin turun disebabkan semakin tingginya radiasi kenaikan suhu.
Secara umum dari grafik kecepatan angin diatas pada ruang kelas VI-B, lebih rendah dibandingkan dengan
kelembaban di kelas IV-A, V-B, VI-A, IV-B dan V-A. Mulai pagi hari kecepatan angin ruang kelas IV-B, VI-A dan
VI-B dari pukul 08.00 sampai pukul 11.00 mengalami penurunan. Kelas IV-B 24,32 m/s turun mencapai 24,19 m/s
pengukuran dimulai pukul 08.31 sampai pada pukul 09.00, kelas VI-A naik 23,94 m/s menjadi 24,17 m/s
pengukuran pada pukul 09.31 sampai pada pukul 10.00. kelas VI-B mengalami penurunan dari 23,30 m/s menjadi
23,06 m/s pengukuran pada pukul 10.01 sampai pada pukul 10.30. Kelas IV-A mengalami kenaikan dari 23,94 m/s
menjadi 24,17 m/s pengukuran pada pukul 08.00 sampai pada pukul 08.30. Dengan berjalannya waktu kecepatan
angin di dalam ruang kelas semakin siang semakin naik.

Kesimpulan
Bedasarkan paparan hasil analisa sebelumnya, maka dapat menghasilkan kesimpulan sebagai berikut :
1. Kelas yang memiliki rata-rata suhu tertinggi pada kelas V-A dalam penelitian di SD Negeri Sudirman 1
Makassar dengan besaran rata-rata suhu dari jam 010.30 sebesar 29,82 °C sampai dengan jam 11.00 sebesar
29,88 °C.
2. Kelas yang memiliki rata-rata suhu terendah pada kelas IV-B dalam penelitian di SD Negeri Sudirman 1
adalah dengan besaran rata-rata suhu dari jam 08.31 sebesar 29,36 °C sampai dengan jam 09.00 sebesar 29.10
°C.

Daftar Pustaka
ASHRAE (2004) Thermal Environmental Condition for Human Occupancy (ASHRAE Standard 55). ASHRAE:
Atlanta US.
Badan Meteorologi dan Geofisika. (2003). Climate Information Di Beberapa Kota Indonesia Juni 2003.
http://www.meteo.bmg.go.id/klimatologi/ infoklimat.htm, diakses 8 Agustus 2003.
Baharuddin, Ishak, M T, Beddu, S, & Yahya, M. (2012). Kenyamanan Termal Gedung Kuliah Bersama Kampus
Baru Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin. Paper presented at the Semesta Arsitektur Nusantara (SAN)
1, Universitas Brawijaya, Malang.
Baharuddin, Ishak, M T, Beddu, S, & Osman, M Y. (2013). Analisis Kenyamanan dan Lingkungan Termal pada
Ruang Kuliah dengan Ventilasi Alami (Studi Kasus: Kampus II Fakultas Teknik Unhas Gowa). Paper
presented at the Semesta Arsitektur Nusantara (SAN) 2, Universitas Brawijaya, Malang.
Baharuddin, Rahim, MR, Ishak, MT, Amin, S. (2014) The Effect of Environmental Factors on the Thermal Comfort
of Occupants in Building Interior. Paper presented at the International Seminar on 15th SENVAR and 2nd
AVAN, Jurusan Arsitektur, Universitas Hasanuddin, Makassar.

484
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Fanger, P.O. (1970). Thermal Comfort—Analysis and Applications in Environmental Engineering. Copenhagen.:
Danish Technical Press.
Feriadi, Henry, & Wong, Nyuk Hien. (2004). Thermal comfort for naturally ventilated houses in Indonesia. Energy
and Buildings, 36(7), 614-626.
Mendell, M.J., & Heath, G.A. (2005). Do indoor pollutants and thermal conditions in schools influence student
performance? A critical review of the literature. Indoor Air, 15, 27-52.
Karyono, T.H. (2000), Teori Adaptasi dan Keberlakuannya Bagi Penentuan Suhu Nyaman di Indonesia. Kalang,
Jurnal Arsitektur Tarumanegara, Vol.II No.1.
Karyono, Tri Harso. (1993), Higher PMV causes higher energy consumption in air-conditioned buildings: a case
study in Jakarta, Indonesia. In F. Nicol, et al. (eds.) Standard for Thermal Comfort: Indoor Air Temperature
Standard for the 21st Century, Chapman & Hall, London, pp. 2-19-226.

485
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

BIOGAS ENCENGGONDOK DAN FESSES SAPI


SEBAGAI ENERGI ALTERNATIVE

Renilaili1, Yanti Pasmawati2


1,2
Teknik Industri Universitas Bina Darma
Jalan Jenderal Ahmad Yani No.12, Palembang
Email: renilaili@mail.binadarma.ac.id

Abstrak

Energi berperan penting dalam hamper seluruh aktifitas manusia dan tidak dapat dilepaskan dalam
kehidupan manusia, pemanfaatan energi yang tidak dapat diperbaharui secara berlebihan dapat
menimbulkan masalah krisis energi, salah satu gejala krisis energi saat ini adalah kelangkaan
bahan bakar minyak, terutama energi fosil. Pengembangan teknologi untuk energi alternative
terus digalakkan, salah satunya adalah energi biogas. Sumatera selatan merupakan kota rawa dan
banyak ditumbuhi enceng gondok yang merupakan bahan baku utama untuk memproduksi biogas.
Komposisi dari Enceng gondok terdiri dari bahan organik sekitar 36 %, Karbon (C organik) 20 %,
Nitrogen sekitar 0,2%, Pospor dan Kalium,sekitar 60% berupa senyawa Sellulose dan Hemiselulosa
,kedua senyawa ini adalah Polisakarida kompleks yang merupakan campuran polimer yang jika
dihidrolisis akan menghasilkan produk campuran turunan yang dapat diolah dengan metode anaerob
digestion untuk memperoleh energi biogas(Ghosh, 1984). Selain dari tanaman enceng gondok sumber
utama untuk pembuatan biogas adalah kotoran ternak (fesses sapi) yang mempunyai rasio C/N
20-30 untuk pembentukan biogas (Fitrhry,2010). Tujuan Jangka panjang dari penelitian ini adalah
Komersialisasi biogas ramah lingkungan untuk peningkatan perekonomian masyarakat dengan cara
membuat Rancang Bangun alat pembuatan biogas sebagai Teknologi Tepat Guna yang bersifat
kerakyatan, yang dapat diterapkan di masyarkat. Eksperimen dilakukan didalam laboratorium
Proses produksi Teknik Industri Universitas Binadarma, peralatan yang dibutuhkan tangki digester
(Reaktor),thermometer (alat pengukur temperatur), pengukur Tekanan (Pressure gaugge/Tensi
meter),selang plastik (1/2 inchi),pipa tembaga sebagai penghubung, pH meter atau Kertas pH (untuk
menentukan pH),blender (penghancur Enceng gondok),alat on/off, Tee Kuningan, ban dalam roli
(alat penampung biogas).Metode penelitian ini dalam tahun pertama akan dilakukan experimen di
laboratorium dengan beberapa variasi campuran antara enceng gondok dan fesses sapi pada
proses anaerob, dengan beberapa kali experimen akan didapatkan kondisi operasi yang maksimal
untuk menghasilkan biogas.Rancang bangun alat pembuatan biogas untuk skala kecil akan
dilaksanakan pada tahun ke II. Metode analisis data eksperimen menggunakan analisis variansi
manova (Multivariate Analysis Of Variance) untuk menganalisis beberapa variasi campuran dengan
tujuan dari beberapa variasi campuran akan ditahui kondisi yang maksimum untuk mendapat kan
hasil biogas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Desain eksperimen III ( 3 kg enceng gondok, 3
kg feses sapi, 3 liter air, +0,6%CaCO3) merupakan desain ekperimen yang memiliki kondisi optimum
temperatur biogas yang paling cepat bereaksi membentuk biogas, (2) Desain eksperimen II (3 kg
enceng gondok, 3 kg feses sapi, 3 liter air, +0,3% CaCO3) merupakan desain eksperimen yang paling
cepat menghasilkan nilai pH dalam kondisi optimum, (3) Desain eksperimen memiliki variansi yang
sama dan setelah dilakukan uji manova Eksperimen I,II, dan III tidak mempengaruhi Temperatur dan
pH. Kondisi optimum temperatur yang paling cepat mencapai 28oC - 29oC yaitu desain eksperimen
III yang terjadi pada hari ke 14 sampai ke 49, sedangkan kondisi optimum nilai pH sebesar 7,5 – 7,6
yaitu desain eksperimen II yang terjadi pada hari ke 30 sampai hari ke 35.Kesimpulan berdasarkan
hasil pengamatan desain eksperimen biogas I, II, III, maka dapat disimpulkan sebagai
berikut,1.Temperatur optimum terjadi pada temperatur 28-29 oC sedang pH optimum pada 7,5-7,6
sedangkan tekanan tidak begitu berpengaruh.

Kata kunci: biogas; feses sapi; eceng gondok

486
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Pendahuluan
Energi berperan penting dalam hampir seluruh aktifitas manusia dan tidak dapat dilepaskan dalam
kehidupan manusia, pemanfaatan energi yang tidak dapat diperbaharui secara berlebihan dapat menimbulkan
masalah krisis energi. Salah satu gejala krisis energi saat ini adalah kelangkaan bahan bakar minyak,
terutama minyak tanah , bensin dan solar, akibat terjadinya peningkatan kebutuhan setiap tahunnya.Kebutuhan
akan bahan bakar yang merupakan sumber energi setiap harinya terus meningkat seiring dengan bertambahnya
jumlah penduduk, konsumsi bahan bakar yang terus meningkat ini tidak dapat diimbangi dengan
ketersediaannya yang kian hari kian menipis terutama untuk bahan bakar fosil.
Pengembangan teknologi untuk energi alternative terus digalakkan, salah satunya adalah energi biogas.
Sumatera selatan merupakan kota rawa dan banyak ditumbuhi enceng gondok yang merupakan bahan baku utama
untuk memproduksi biogas. Kegunaan enceng gondok selama ini belum termanfaatkan dan hanya dibuang begitu
saja, sehingga lama-kelamaan akan menimbulkan dampak terhadap lingkungan. Komposisi dari Enceng gondok
terdiri dari bahan organik sekitar 36 %, Karbon (C organik) 20 %, Nitrogen sekitar 0,2% , Pospor dan
Kalium,sekitar 60% berupa senyawa Sellulose dan Hemiselulosa yang merupakan bahan baku utama untuk
memproduksi energi biogas (Ghosh, 1984). Selain dari tanaman enceng gondok sumber utama untuk
pembuatan biogas adalah kotoran ternak (fesses) seperti fesses sapi atau kerbau ,ayam dan sebagainya yang
banyak mengandung selulose dan hemisellulose yang merupakan bahan pembuatan biogas, syarat lain yang
harus dipenuhi dalam pembuatan biogas yaitu rasio C/N untuk pembentukan biogas ,yaitu 20-30 (Fitrhry,2010).
Selanjutnya(Arnold,2013 )melakukan penelitian pembuatan biogas dari enceng gondok dan fesses sapi ,
untuk pre-treatment dilakukan dengan cara penambahan asam sulfat ( H2SO4 ) kedalam substrat , kemudian
memasukkan campuran kedalam biodigester..Hasil yang didapat pada variabel komposisi ,menunjukkan produksi
biogas terbesar pada komposisi ( 2 : 2,5 ) sebesar 1162,97 ml. Biogas ini merupakan energi terbarukan yang
ramah lingkungan, biogas ini didapat dari proses penguraian bahan –bahan organic oleh mikro organisma
dalam kondisi tanpa udara (anaerob), dalam biogas terdapat campuran gas yang sebagian besar merupakan gas
methana dan sebagian kecil adalah gas CO2 dan gas-gas lainnya. Selain dari tanaman enceng gondok sumber
utama untuk pembuatan biogas adalah kotoran ternak (fesses) seperti fesses sapi atau kerbau ,ayam dan
sebagainya yang banyak mengandung selulose dan hemisellulose yang merupakan bahan pembuatan biogas.
Oleh karena itu dalam penelitian ini akan memanfa’atkan tanaman enceng gondok dan fesses sapi sebagai
starter dalam pembuatan biogas. Campuran enceng gondok, kotoran sapi dan air dengan perbandingan
campuran yang sesuai untuk selanjut nya difermentasi secara anaerob, akan menghasilkan biogas.
Penelitian ini bertujuan utama adalah untuk mendapatkan Biogas dengan Nilai Kalor yang tinggi, dengan
cara memanfaatkan tanaman enceng gondok dan menggunakan kotoran sapi (Fesses) sebagai starter dalam
pembuatan biogas , serta peningkatan kualitas biogas dengan penggunaan bubuk kapur ( CaCO3) yang
digunakan untuk mengurangi kadar gas CO2 yang timbul bersama biogas.
Adapun tujuan khusus penelitian, antara lain:
1. Menentukan kondisi optimum dari variabel yang digunakan (tekanan, temperatur, komposisi bahan baku).
2. Membuat prototipe alat pembuatan biogas sebagai Teknologi Tepat Guna yang dapat diterapkan di masyarkat.
Biogas dari enceng gondok sebagai energi aternatif diharapkan mampu menggantikan peran dari energi
minyak bumi. Biogas dari enceng gondok mempunyai nilai kalor yang sangat tinggi. Besarnya energi dalam
biogas tergantung dari konsentrasi gas methana (CH4) didalam biogas tersebut. Semakin tinggi konsentrasi
methana maka semakin besar kandungan energi , Nilai Kalor dari biogas adalah 4800-6700 Kkal/m3 biogas (Efriza,
2009 ). Kualitas biogas dapat ditingkatkan dengan memperlakukan beberapa parameter yaitu menghilangkan
hidrogen sulphur, kandungan air serta Karbon dioksida (CO2). Apabila kadar CH4 yang dihasilkan lebih banyak
dalam komposisi biogas, maka kualitas biogas yang baik akan tercapai , serta akan mempunyai nilai kalor yang
tinggi, yang langsung bisa terlihat dari hasil uji test nyala dari biogas yang berwarna biru. Manfaat Penelitian
dengan adanya penelitian ini didapatkan biogas sebagai bahan bakar alternative yang ramah lingkungan. Energi
biogas merupakan energi terbarukan , bahan baku mudah didapat khususnya daerah sumatera selatan, banyak
sekali rawa-rawa yang ditumbuhi tanaman enceng gondok, yang dapat digunakan sebagai bahan baku , sedangkan
fesses sapi berfungsi sebagai starter.
Studi pendahuluan yang telah peneliti lakukan sehubungan dengan penelitian adalah Enceng gondok dapat
dimanfaatkan dalam produksi biogas karena mempunyai kandungan Sellulose dan hemisellulose yang cukup
besar dibandingkan komponen organik tunggal lainnya. Sellulose dan Hemisellulose adalah Polisakarida
kompleks yang merupakan campuran polimer yang jika dihidrolisis menghasilkan produk campuran turunan yang
dapat diolah dengan metode anaerob digestion untuk menghasilkan dua senyawa campuran sederhana berupa
methana dan karbon dioksida yang biasa disebut biogas (Ghoshet al,1984). Penelitian terhadap tanaman enceng
gondok dengan campuran kotoran sapi sebagai starter dari beberapa percobaan yang dilakukan dengan
perbandingan antara Enceng gondok dengan kototan sapi yaitu ( 100 : 0 ), (75 : 25 ), ( 50 : 50 ), (25 : 75 ) dan
(0 : 100 ) dari hasil penelitian diketahui bahwa, biogas yang paling banyak terbentuk pada perbandingan 75%
enceng gondok dan 25% kotoran sapi. Pembentukan biogas terjadi setelah fermentasi selama 10 hari, tetapi produksi

487
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

biogas tidak terjadi secara kontinyu, produksi biogas maksimal terbentuk setelah 35 hari yaitu biogas sebanyak
75,3 liter, tetapi setelah itu produksi nya terus menurun, dalam percobaan ini fermentasi dilakukan selama 60 hari
( Reni., 2014 ). Penelitian selanjutnya adalah meneliti biogas dengan menggunakanan reaktor fiberglass, fesses
sapi yang digunakan berasal dari 3 jenis sapi , yang pertama dari jenis sapi ternak yang digunakan untuk
pembiakan, sapi yang kedua merupakan sapi perah yaitu (jenis sapi yang akan diambil air susunya), serta
yang ketiga yaitu sapi potong yang dimanfaatkan dagingnya untuk dikonsumsi. Perbandingan antara fesses
sapi dan air dilakukan dengan perbandingan ( 1 : 1,1 ), ( 1 : 1,2), ( 1 : 1,3) , ( 1 : 1,4 ) dan ( 1 : 1,5 )
Fermentasi dilakukan selama 1 bulan . Dari hasil penelitian diketahui bahwa biogas yang didapat dari jenis sapi
perah dengan perbandingan ( 1 : 1,3 ) mengasilkan biogas yang paling maksimum, yaitu 2,9640 kg/m3/hari
(Reni, 2014). Selanjutnya penelitian yang sama dilakukan tentang biogas dengan menggunakan fesses sapi
yang sama yaitu dari fesses sapi jenis sapi ternak , reaktor yang digunakan ada 3 macam reaktor yaitu reaktor
kubah, reaktor balon dann reaktor fiberglass , sedangkan perbandingan antara fesses sapi dan air adalah
sama yaitu ( 1 ; 1,1 ), (1 : 1,2 ) , (1 : 1,3 ), (1 : 1,4 ) dan (1 : 1,5 ) , fermentasi dilakukan dalam waktu 1 bulan , dari
hasil penelitian dapat diketahui bahwa jenis reaktor balon menghasilkan biogas yang paling maksimal, yaitu
2,1720 kg/m3/hari. Disamping itu bahwa reaktor balon mempunyai keunggulan lainnya ,yaitu reaktor ini lebih
mudah dideteksi apabila terjadi kebocoran ( Reni, 2014 ). Hasil penelitian ini akan dijadikan sebagai referensi
dalam produksi biogas dan perancangan alat, khususnya reaktor karena jumlah volume bahan baku akan
menentukan besarnya kapasitas produksi. Selanjutnya ( Panggih, 2013) dalam penelitiannya, mengkaji produksi
biogas dan penyisihan bahan organik pada reaktor batch dan plugflow. Penelitian pendahuluan secara batch
bertujuan mengoptimalkan produksi biogas dari enceng gondok, dengan cara mencari komposisi enceng gondok
dengan air dan perbandingan komposisi enceng gondok dengan kotoran sapi yang optimal.Penelitian ini
menggunakan reaktor batch dengan kapasitas 1 liter , kemudian dilanjutkan menggunakan reaktor plugflow
kapasitas 30 liter. Pengamatan produksi biogas dilakukan dengan pengukuran volume biogas yang terbentuk
setiap hari sedangkan penyisihan bahan organik dengan mencari effisiensi penyisihan COD (Chemical Oxygen
Demand). Hasil dari penelitian tersebut memperlihatkan bahwa rasio yang optimum antara enceng gondok dan
air adalah ( 1 : 3 ), sedangkan perbandingan enceng gondok dan kotoran sapi yang optimum adalah ( 75% : 25% )
atau ( 3 : 1 ), sedangkan biogas baru terbentuk setelah 20 hari.
Pada prinsipnya biogas merupakan gas yang diperoleh dari proses penguraian bahan – bahan organik yang
dilakukan oleh mikroorganisme dalam kondisi tanpa udara (anaerob) atau yang terkenal dengan proses fermentasi.
(Efriza, 2009) melakukan penelitian tentang biogas dan mendapatkan bahwa komposisi dari biogas terdiri dari
(50-70% ) CH4,gas CO2 ( 30-40%) , gas H2S (0-3%) ,gas H2O (0,3%), O2 (0,1-0,5%) dan gas H2 (1-5%) dan gas-gas
yang lain dalam jumlah kecil. Biogas memiliki nilai kalor yang cukup tinggi, yaitu kisaran 4800 – 6700
Kkal/m3,sedangkan untuk gas methana murni (100%) mempunyai nilai kalor 8900 Kkal/m3.

Faktor-faktoryang mempengaruhi pembentukan biogas.


1. Rasio C/N
Rasio C/N, meupakan perbandingan kadar karbon (C) dan kadar Nitrogen (N) dalam suatu bahan organik,
apabila rasio C/N sangat tinggi maka nitrogen akan dikonsumsi dengan cepat oleh bakteri sebaliknya jika C/N
rendah maka banyak nitrogen yang bebas,semua makhluk hidup terbuat dari sejumlah besar bahan karbon (C) dan
nitrogen (N) dalam jumlah kecil.Untuk menjamin semuanya berjalan lancar , unsur-unsur nutrisi yang dibutuhkan
mikroba harus tersedia secara seimbang.
2. Lama Fermentasi
Secara umum menurut Candrika (2013), lama wakktu fermentasi untuk menghasilkan biogas sekitar 15
sampai 30 hari.
3. Temperatur
Bakteri metan memiliki kondisi optimum pada suhu 35 oC atau pada kondisi mesofilik berkisar 20oC - 35oC
(Wahyuni S ,2009).Pada dasarnya bakteri metan memiliki keadaan tidak produksi di saat suhu yang sangatlah tinggi
dan sangatlah rendah.Temperatur selama proses berlangsung sangatlah penting karena hal ini berkaitan dengan
kemampuan hidup bakteri pemroses biogas sekitar temperatur (27oC-28oC) Dengan temperatur itu proses
pembuatan biogas akan berjalan sesuai dengan waktunya.
4. pH (derajat Keasaman)
Pada umumnya produksi biogas akan tercapai secara optimum pada pH 6-8,akan tetapi pada proses
anaerob nilai pH akan memiliki kisaran tersendiri pada setiap tahap. Saat tahap hidrolisis nilai pH berkisar
dibawah 6,4 atau masih dalam kondisi asam.Nilai pH yang terlalu rendah bisa menghentikan proses fermentasi
untuk nilai pH yang stabil produksi metan berkisar 6,4-8,0.
5. Kandungan Bahan kering
Bahan isian dalam pembuatan biogas harus berupa bubur.Bentuk bubur ini dapat diperoleh bila bahan
bakunya mempunyai kandungann air yang tinggi.Bahan baku dengan kadar air yang rendah dapat dijadikan
berkadar air tinggi dengan menambahkan air kedalamnya dengan perbandingan tertentu. Bahan baku yang paling

488
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

baik mengandung 7-9% bahan kering.Aktifitas normal dari mikroba metan membutuhkan sekitar 90% air dan 7-
10% bahan kering (Wiratmana, 2012).

Bahan dan Metode Penelitian


1. Peralatan yang dibutuhkan
3 buah Tangki digester (sebagai reaktor), 3 buah thermometer (oC) , 3 buah alat pengukur tekanan
(mmHg),selang plastik ½ inchi , 3 buah pipa tembaga ( sebagai alat penghubung ) , Blender(sebagai alat
penghancur enceng gondok) dan Alat on/off.
2. Bahan yang dibutuhkan
Bahan utama yang digunakan pada proses pembuatan biogas adalah Enceng gondok yang didapat dari
daerah Musi II kota Palembang, Fesses sapi starter yang didapat dari daerah Peternakan sapi, sedangkan bahan
pembantu berupa bubuk kapur (CaCO3).
3. Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium kimia Analisa Politeknik Negeri Sriwijaya, Laboratorium Statistik
UBD, dan Laboratorium Desain Sistem Kerja dan Ergonomi UBD.
Dalam Eksperimen tersebut, proses yang terjadi pada digester adalah proses anaerob. Proses anaerob
adalah proses peruraian bahan organik oleh aktifitas bakteri metanogenik dan bakteri asidogenetik pada kondisi
tanpa udara. Bakteri ini secara alami terdapat dalam limbah yang mengandung bahan organik seperti kotoran
hewan , kotoran manusia dan sampah organik rumah tangga. Pembentukan biogas oleh mikroba pada kondisi
anaerob(Haryati,2006) meliputi 3 tahap proses yaitu tahap hidrolisa, tahap pengasaman serta tahap metanogenesis.
(C6H10O5)n + nH2O 3n CO2 + 3 n CH4
4. Analisis Variansi Manova (Multivariate Analysis Of Variance)
Manova merupakan uji beda varian. Jika pada anova varian yang dibandingkan berasal dari satu variable
terikat (Y), pada manova varian yang dibandingkan lebih dari satu variable terikat Y1, Y2, Y3, y4,….).

Hasil dan Pembahasan


Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode eksperimen di dalam laboratorium,ada 3 macam
eksperimen yang dilakukan, ke 3 macam eksperimen dilakukan dengan cara yang sama, hanya perbedaannya pada
eksperimen I tidak ada penambahan kapur, sedangkan pada ekxperimen II ada penambahan kapur sebanyak 0,3%,
sedangkan pada eksperimen ke III penambahan kapur sebanyak 0,6%. Perlakuan pertama dengan menghaluskan
enceng gondok, kemudian mencampurkan enceng gondok dengan fesses sapi dan air dengan perbandingan (1 : 1 :
3), setelah dicampurkan kemudian diaduk supaya mendapatkan komposisi campuran yang homogen. Setelah
campuran tersebut homogen kemudian dimasukkan kedalam reaktor dalam kondisi anaerob agar fermentasi bisa
berlangsung dengan baik.Selama Fermentasi berlangsung dilakukan pengamatan terhadap temperatur, tekanan dan
pH, selama 60 hari.

1. Rancangan Prototipe Tabung Biogas

G a m b a r4 . k e 3 E x p e rim e n t

Gambar 1. Rancangan prototipe tabung biogas

Prototipe tabung biogas terbuat dari galon air minum yang mampu menahan tekanan gas yang bersifat
tekanan rendah. Tabung biogas dilengkapi dengan alat ukur temperatur, alat ukur tekanan, dan lubang untuk
pengukuran nilai pH yang digunakan untuk data pengamatan hasil eksperimen.

489
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

2. Prototipe Kompor Biogas

G a m b a r 5 . K o m p o r B io g a s

Gambar 2. Prototipe kompor biogas

Kompor biogas yang dirancang merupakan modifikasi dari kompor gas elpiji, proses penggunaannya sama
dengan kompor gas elpiji, namun proses aliran penampung biogas ke kompor gas yang berbeda.

3. Reaksi kimia yang terjadi dalam pembuatan biogas ada 3 tahap

Gambar 3. Proses Hidrolisa, proses asidogenesis, dan proses metanogeneis

Pada tahap hidrolisis atau tahap pelarutan ini , bahan yang tidak larut seperti sellulose, polisakarida dan
lemak akan diubah menjadi bahan yang larut dalam air seperti karbohidrat dan asam lemak tahap pelarutan
berlangsung pada temperatur 25-26 oC. Pada tahap pengasaman dalam reaktor, akan terjadi reaksi pembentukan
asam laktat, dan asam butirat,sedangkan pada tahap metanogesis, bakteri metana akan secara perlahan
membentuk gas metana dalam kondisi anaerob, proses ini berlangsung selama 15 hari dengan suhu 28-29oC.

4. Perbedaan Tingkat Temperatur Biogas

Gambar 4. Perbedaan tingkat temperatur biogas

Pada tahap hidrolisis atau tahap pelarutan ini, bahan yang tidak larut seperti sellulose, polisakarida dan
lemak akan diubah menjadi bahan yang larut dalam air seperti karbohidrat dan asam lemak tahap pelarutan
berlangsung pada temperatur 25-26 oC. Pada tahap pengasaman dalam reaktor, akan terjadi reaksi pembentukan

490
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

asam laktat dan asam butirat, sedangkan pada tahap metanogesis, bakteri metana akan secara perlahan
membentuk gas metana dalam kondisi anaerob, proses ini biasanya berlangsung selama 15 hari dengan suhu 28-
29oC.
Berdasarkan hasil data eksperimen yang didapat, maka terjadi perbedaan waktu pembentukan gas metana
dalam kondisi anaerob, antara lain:
1. Eksperimen I terjadi pembentukan gas metana pada hari ke 39 – 52.
2. Eksperimen II terjadi pembentukan gas metana pada hari ke 34 – 49
3. Eksperimen III terjadi pembentukan gas metana pada hari ke 14 – 49

5. Perbedaan Tingkat Tekanan Biogas

Gambar 5. Perbedaan tingkat tekanan biogas

Berdasarkan gambar 5.4 di atas, dapat terlihat terjadi perbedaan tingkat tekanan dari ketiga eksperimen yang
dilakukan. Pencapaian tekanan tertinggi dari ketiga desain eksperimen terjadi pada desain eksperimen II terjadi pada
hari ke 48 yaitu sebesar 90 mmHg. Sedangkan tingkat tekanan tertinggi pada eksperimen I yaitu pada hari ke 47, ke
48, ke 49 sebesar 75 mmHg, dan tingkat tekanan eksperimen III yaitu pada hari ke 36 sebesar 60 mmHg.

6. Perbedaan Nilai pH

Gambar 6. Perbedaan nilai pH

PH optimum pada suatu proses pembuatan biogas yaitu sebesar 7,5 – 7,6, berdasarkan data yang diamati
pada ketiga desain eksperimen, maka kondisi optimum pada desain eksperimen I yaitu pada hari ke 32 – ke 47,
desain eksperimen ke II yaitu pada hari ke 30 – ke 35, dan desain eksperimen III yaitu pada hari ke 35 – ke 46.

7. Kondisi Optimum Tingkat Temperatur dan Nilai pH


Setelah dilakukan eksperimen dan pengamatan tingkat temperatur dan nilai PH dari desain eksperimen I, II,
III, maka dilakukan analisis kondisi optimum temperatur dan nilai pH dari ketiga desain eksperimen tersebut.
Kondisi optimum temperatur yang paling cepat mencapai 28oC - 29oC yaitu desain eksperimen III yang terjadi pada
hari ke 14 sampai ke 49, sedangkan kondisi optimum nilai pH sebesar 7,5 – 7,6 yaitu desain eksperimen II yang
terjadi pada hari ke 30 sampai hari ke 35.

491
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

8. Uji Manova
Hasil data eksperimen I, II, dan 3 dilakukan uji manova untuk mengetahui pengaruhnya terhadap temperatur
dan pH. Berikut hasil uji manova yang dilakukan:

Gambar 7. Tabel kolom eksperimen

Dari tabel di atas dilihat dari kolom Eksperimen dapat disimpulkan bahwa:
1. Eksperimen I,II, dan III tidak mempengaruhi Temperatur dengan P Value 0,232 yang artinya H0 Diterima H1
Ditolak
2. Eksperimen I, II, dan III tidak mempengaruhi pH dengan P Value 0,584 yang artinya H0 Diterima H1 Ditolak

Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan desain eksperimen biogas I, II, III, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Dari hasil pengamatan diketahui bahwa kondisi optimum terjadi pada temperatur 28-29 oC , sedang pH pada
kondisi 7,5-7,6 , dan ini baru terjadi setelah hari ke 35.
2. Hasil Pengujian dari pembakaran biogas dengan menggunakan kompor biogas ,dari ke 3 hasil eksperimen ,
ternyata warna nyala api terbaik (warna biru merata) terdapat pada hasil eksperimen 2 dengan tambahan
kapur sebanyak 0,3 %.

Ucapan Terima Kasih


Terima kasih kepada Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Direktorat Jendral penguatan riset dan
pengembangan Kementrian Riset, Teknologi dan pendidikan Tinggi Sesuai surat Perjanjian penugasan pelaksanaan
program penelitian Nomor : 002/SP2H/LT/DRPM/II/2016 tanggal 17 Februari 2016.

Daftar Pustaka
Arnold Y,A. (2013) Produksi biogas dari Enceng gondok kajian konsistensi dan pH terhadap biogas dihasilkan,
jurnal Teknologi Kimia dan Industri,Vol.2, No.2. Tahun 2013
Candrika W (2013 ) Perancangan sistem pengaduk pada bioreaktor batch untukmeningkatkan produksi biogas.
Jurnal Teknik POMITS Vol. 2 No.1, tahun 2013
Efriza Fitri (2009), Biogas Limbah Peternakan Sapi Sumber EnergiAlternatif Ramah Lingkungan,Universitas
Bengkulu.Gosh,S.
Ghosh , S.,M.P. Hendry dan R.W. Christopher(1984) “ Hemicellulose Conversio by Anaerobic Digestio” Institute of
Gas Technology dan United Gas Pipe Line Company.USA, Vol.6: 257-258
Haryati, T (2006) , Limbah peternakan yang menjadi sumber energi alternatif. Balai Penelitian Ternak Bogor.
Panggih W dan Yulina T, (2013). Produksi Biogas dari Enceng Gondok.jurusan Teknik Lingkungan, FTSP ITS,
Vol.12 : 1-16
Reni, (2014) Enceng gondok sebagai Biogas yang ramah lingkungan Jurnal Tekno, Vol 11. No.1, April 2014
Reni, (2014 ) Analisa Hasil Biogas dari fesses sapi dengan menggunakan 3 macam reaktor , Jurnal Tekno, Vol
11. No.2, Oktober 2014.
Reni, (2014) Analisa Hasil Biogas dengan menggunakan Reaktor Fiberglass dari 3 jenis sapi , Jurnal Tekno,
Vol.11. No.1, April 2014.
Wahyuni, S , (2009) Menghasilkan Biogas dari Aneka Limbah, PT ArgroMedia Pustaka, Jakarta

492
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

PENGEMBANGAN SEL SURYA DARI BAHAN MURAH DAN RAMAH


LINGKUNGAN MENGGUNAKAN METODE SPRAY DAN
ELEKTROPLATING

Mamat Rokhmat1,2, Sutisna3, Edy Wibowo4, Khairurrijal5, dan


Mikrajuddin Abdullah 6
1,3,4,5,6
Program Studi Fisika, Institut Teknologi Bandung
2
Program Studi Teknik Fisika, Universitas Telkom
E-mail: mamatrokhmat76@gmail.com

Abstrak

Pengembangan prototipe sel surya dengan menggunakan bahan murah, yaitu TiO2 (technical low
grade) telah berhasil dilakukan. Metode-metode yang sangat sederhana, yaitu metode spray dan
electroplating juga dilaporkan dalam makalah ini. Efisisensi sel surya di atas 1% dengan fill
factor di atas 0.3 telah berhasil dilakukan dari sel surya yang dikembangkan. Peranan pemakaian
impuritas pada TiO2 dan peranan material logam pada film TiO2 juga dikaji. Kedua peran
tersebut terbukti mampu meningkatkan efisiensi sel surya secara significant dibandingkan dengan
menggunakan TiO2 murni. Pengembangan sel surya dari bahan murah dan metode sederhana
seperti yang dilakukan di sini ke depannya akan sangat memberikan sumbangsih dalam rangka
mendapatkan sel surya yang murah dan ramah lingkungan

Kata kunci: Deposisi Partikel Tembaga; Elektroplating; Sel Surya; Spray; TiO2

Pendahuluan
Titanium dioksida (TiO2) adalah bahan yang memiliki stabilitas kimia tinggi, tidak beracun dan harga yang
murah (Buraidah, dkk., 2011). Pemanfaatan TiO2 dalam sel surya banyak digunakan dalam Dye Sensitized Solar
Cell (DSSC). Efisiensi tertinggi sel surya berbahan dasar TiO2 dalam DSSC dilaporkan sebesar 11% (Chiba, dkk.,
2006). Sel surya DSSC menggunakan dye sebagai media absorber foton dengan TiO2 dipakai sebagai media injeksi
electron. Meskipun banyak paper yang membahas TiO2 sebagai bahan utama sel surya, namun penggunaan TiO2
sebagai penyerap foton dan penghasil electron-hole sangat sedikit dilaporkan. Efisiensi yang dihasilkan pun masih
sangat rendah (Rahman, dkk., 2004, Zainun, dkk., 2012).
Paper kami yang terdahulu (Rokhmat, dkk., 2015) telah melaporkan hasil efisiensi tertinggi adalah 0,35% dan
1,24% dengan menggunakan TiO2 sebagai media penyerap foton. Struktur sel yang digunakan (Rokhmat, dkk.,
2015) adalah sandwich yang tersusun atas fluorin-doped tin oxide (FTO), lapisan partikel TiO2 yang disisipi partikel
logam tembaga, polimer elektrolit, dan aluminium sebagai counter elektrode. Lapisan TiO2 dibuat dengan proses
penyemprotan dan partikel tembaga disisipkan pada ruang antara partikel TiO2 dengan metode electroplating
menggunakan tegangan tetap sebesar 5 Volt. Pendeposisian partikel tembaga dimaksudkan untuk mengurangi proses
rekombinasi elektron dan hole yang pada lapisan TiO2. Terlihat dari hasil yang disampaikan (Rokhmat, dkk., 2015)
bahwa partikel tembaga berhasil ditumbuhkan dengan metode electroplating menggunakan tegangan tetap ini, dan
peningkatan efisiensi sel surya telah berhasil dengan penumbuhan lapisan tembaga ini. Namun, variasi waktu
elektroplating dan besarnya tegangan belum dilakukan secara rinci.
Dalam penelitian ini, dikembangkan sel surya berbahan dasar TiO2 dengan metode spray dan electroplating
seperti yang telah dilaporkan (Rokhmat, dkk., 2015). Penekanan penelitian di sini adalah pada pengembangan
metode elektroplating untuk menyisikan partikel tembaga pada ruang antara partikel TiO2. Metode elektroplating
yang dilakukan di sini menggunakan tegangan bolak-balik dengan potensial “up” sebesar 2,5 volt dan potensial
“down” adalah -2,5 Volt, dengan duty cycle dan waktu elektroplating dipakai sebagai parameter optimasi.

Material dan Eksperiment


Dalam penelitian ini, kami menggunakan FTO dari Solaronix-Swiss dan LiOH dari Kanto-Jepang. Bubuk
partikel TiO2 anatase, Alkohol 70%, aquadest, Polyvinyl Alcohol (PVA), CuSO4, aluminium, dan tembaga (II) nitrat
(Cu (NO3)2) diperoleh dari Bratachem-Indonesia.
Pertama, kami mempersiapkan substrat FTO dengan cara direndam dalam air suling selama 20 menit, dan
dalam alkohol selama 40 menit, dengan menggunakan Ultrasonic Bath Bransion 1510. Suspensi TiO2 dibuat dengan

493
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

mencampur 5 gram TiO2 dengan 0.07 gram copper(II) nitrate trihydrate dalam 20 ml aquadest. Campuran diaduk
menggunakan pengaduk magnetik sehingga tersebar merata. Lapisan TiO2 dideposisikan pada permukaan FTO
dengan cara menyemprotkan suspensi ke permukaan FTO dalam tekanan 120 psi. Film FTO/TiO2 kemudian
dipanaskan di atas hot plate dengan suhu 200 oC selama 10 menit dan dilanjutkan dalam Furnace pada suhu 450 oC
selama 30 menit.
Partikel tembaga disisipkan pada ruang antara partikel TiO2 dengan proses electroplating seperti yang
dijelaskan dalam (Rokhmat, dkk., 2015, Saehana, dkk., 2012), tetapi kami mengeksplorasi metode ini dengan
menggunakan sumber tegangan bolak-balik dengan duty cycle dan lamanya waktu elektroplating digunakan sebagai
parameter optimasi. Kami juga menggunakan elektrolit polimer yang terdiri dari PVA dan LiOH seperti dilansir
(Saehana, dkk., 2012). Akhirnya, prototipe sel surya yang merupakan struktur sandwich dari film FTO/TiO2/Cu,
polimer elektrolit dan aluminium diperoleh dengan cara menumpukkan semua komponen tersebut. Untuk
meningkatkan kontak antara aluminium, elektrolit, dan film, kami menggunakan metode NaOH post-treatment
seperti dilansir (Rokhmat, dkk., 2015).
Untuk mengamati morfologi dan unsur dari CuO atau film TiO2 / CuO / Cu, kami menggunakan Scanning
Electron Microscopy (SEM) (JEOL-JSM 6360LA) dan Energi-dispersif X-ray spektroskopi (EDS). IV meter
Keithley 617 digunakan untuk mendapatkan karakterisasi arus dan tegangan (IV) sel surya.

Hasil dan Diskusi


Struktur sel surya yang dikembangkan dalam penelitian ini sama seperti yang telah kami kembangkan dalam
penelitian sebelumnya (Rokhmat, dkk., 2015). Struktur sel surya dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Struktur sel surya yang dikembangkan (diambil dari (Rokhmat, dkk., 2015))

Gambar 2a memperlihatkan hasil karakterisasi SEM dari struktur lapisan TiO2 yang disemprotkan pada FTO.
Terlihat bahwa morfologi partikel TiO2 berbentuk bulat dengan ukuran rata-rata 200 nm. Gambar 2b adalah hasil
karakterisasi EDS dari lapisan TiO2. Meskipun TiO2 yang dipakai adalah TiO2 teknis (bukan murni), namun dari
hasil EDS ini menunjukkan bahwa kandungan Ti dan O yang terbaca pada hasil EDS dapat menunjukkan kemurnian
lapisan TiO2 sudah tinggi.

(a) (b)

Gambar 2. Hasil karakterisasi SEM (a) dan EDS (b) dari lapisan TiO2

Hasil karakterisasi SEM dan EDS laisan TiO2 setelah disisipi partikel tembaga dengan metode tegangan
bolak-balik (Vup=2,5 volt, Vdown=-2,5 volt) selama 120 detik dengan duty cycle sebesar 50% dapat dilihat pada
Gambar 3. Terlihat dari Gambar 3a bahwa telah terbentuk partikel tembaga berbentuk pyramid di antara partikel

494
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

TiO2 yang berbentuk bulat. Hasil ini sangat sesuai dengan hasil yang telah dilaporkan oleh (Saehana, dkk., 2012,
Rokhmat, dkk., 2015) Kehadiran partikel tembaga di antara partikel TiO2 juga dibuktikan melalui hasil karakterisasi
EDS yang diperlihatkan dalam gambar 3b dengan adanya puncak-puncak untuk Cu.

TiKa
5000
4500 Cu : 7,09 % mass
4000

OKa TiLl TiLa


3500

Counts
3000

CuLa
2500
2000

NKa

TiKb
1500

CuKa
CuLl

CuKb
1000
500
0
0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00 9.00 10.00
keV
(a) (b)

Gambar 3. Hasil karakterisasi SEM (a) dan EDS (b) dari lapisan TiO2 setelah disisipi partikel tembaga

Hasil karakterisasi arus-tegangan (IV) sel surya baik yang belum dan telah disisipi partikel tembaga dengan
metode elektroplating diperlihatkan dalam Tabel 1. Metode elektroplating yang digunakan menggunakan tegangan
bolak-balik (Vup=2,5 volt, Vdown=-2,5 volt) selama 60 detik. Terlihat dari tabel 1 bahwa dengan penyisipan partikel
tembaga, kinerja sel surya meningkat. Sebelum disisipi partikel tembaga di antara partikel TiO2, efisiensi yang
berhasil diraih adalah 0.002%, dan mengalami peningkatan terbesar menjadi 0. 46% untuk duty cycle sebesar 50%.
Ini menunjukkan bahwa duty cycle sebesar 50% adalah nilai duty cycle yang paling optimal. Kehadiran partikel
tembaga mampu memperbaiki fenomena migrasi dari electron yang telah dihasilkan lapisan TiO2 setelah disinari,
sehingga electron dapat dengan mudah menuju elektroda.

Tabel 1. Hasil karakterisasi IV sel surya yang dikembangkan dengan duty cycle sebagai parameter optimasi
(waktu electroplating: 60 detik)

Sel Surya Duty cycle (%) ISC (mA) VOC (V) Fill Factor Efficiency (%)
TiO2 murni - 0,007 0,135 0,20 0,002
TiO2/Cu 40 0,246 0,56 0,35 0,32
TiO2/Cu 50 0,321 0,56 0,38 0,46
TiO2/Cu 60 0,271 0,57 0,36 0,37
TiO2/Cu 70 0,252 0,55 0,35 0,33

Penambahan duty cycle lebih dari 50% pada proses electroplating menyebabkan efisiensi sel surya kembali
menurun. Fenomena ini disebabkan karena partikel tembaga yang sebenarnya berfungsi untuk mempermudah
elektron dalam bergerak menuju elektroda, dalam hal ini malah menutupi lapisan TiO2 dalam menangkap foton.
Untuk melihat seberapa besar kandungan partikel tembaga yang paling optimal sehingga mampu memperbaiki
proses migrasi elektron tanpa mengganggu kinerja TiO2 dalam menyerap foton, kami memvariasikan lamanya
waktu elektroplating dengan menggunakan duty cycle 50%. Hasil karakterisasi IV sel surya dengan proses
elektroplating menggunakan tegangan bolak-balik (Vup=2,5 volt, Vdown=-2,5 volt) dan duty cycle 50% yang
divariasikan terhadap lamanya electroplating diperlihatkan dalam tabel 2.

495
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Tabel 2. Hasil karakterisasi IV sel surya yang dikembangkan dengan waktu elektroplating sebagai parameter
optimasi (duty cycle: 50%)

Sel Surya Waktu ISC (mA) VOC (V) Fill Factor Efficiency (%)
elektroplating
TiO2/Cu 60 0,321 0,56 0,38 0,46
TiO2/Cu 90 0,376 0,62 0,37 0,58
TiO2/Cu 120 0,484 0,64 0,4 0,83
TiO2/Cu 150 0,412 0,58 0,37 0,59

Terlihat dari table 2 bahwa efisiensi tertinggi sebesar 0,83% dengan fill factor sebesar 0,40 diperoleh apabila
proses elektroplating menggunakan duty cycle 50% selama 120 detik. Jika dilihat dari gambar 3b maka dengan duty
cycle sebesar 50% selama 120 detik ini menghasilkan kandungan tembaga sebesar 7,09%. Hal ini menunjukkan
bahwa diperlukan kandungan tembaga hanya sebesar 7,09% untuk menghasilkan efisiensi paling tinggi jika
menggunakan duty cycle 50%. Hasil ini tidak berbeda jauh dengan hasil sebelumnya bahwa nilai kandungan
tembaga yang optimal hanya sebesar 5,77% apabila menggunakan electroplating dengan tegangan DC 5 Volt selama
10 detik (Rokhmat, dkk., 2015) .
Kesimpulan
Pembuatan prototype sel surya berbahan dasar TiO2 dengan penyisipan partikel tembaga pada lapisan TiO2 telah
berhasil dilakukan. Efisiensi sel surya tertinggi diperoleh sebesar 0,83% di mana penyisipan deilakukan dengan duty
cycle 50% selama 120 detik dan diperoleh kandungan Cu di dalam lapisan TiO2 sebesar 7,09% massa. Dari hasil ini
menunjukkan bahwa penyisipan partikel logam pada lapisan TiO2 mampu meningkatkan efisiensi sel surya.

Acknowledgement
Penelitian ini didanai oleh Kementrian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi melalui Hibah Penelitian
Disertasi Doktor Nomor: 105/SP2H/PPM/DRPM/II/2016

Daftar Pustaka
Garcia-Ochoa, F. F. and Gomez, E., (2004), "Theoretical prediction of gas-liquid mass transfer coefficient, specific
area and hold-up in sparged stirred tanks" Chemical Engineering Science, Vol. 59 (12) pp. 2489-2501.
Buraidah, M. H., Teo, L. P., Yusuf, S. N. F., Noor, M. M., Kufian, M. Z., Careem, M. A., Majid, S. R., Taha, R. M.
and Arof, A. K., (2011), “TiO2/Chitosan-NH4I(+I2)-BMII-Based Dye-Sensitized Solar Cells with
Anthocyanin Dyes Extracted from Black Rice and Red Cabbage“ International Journal of Photoenergy
pp. 1-11.
Chiba, Y., Islam, A., Watanabe, Y., Komiya, R., Koide, N. and Han, L., (2006), “ DSSC wih Conversion Efficiency
of 11.1 %” Japanese Journal of Applied Physics Vol 45 pp. 638-640
Rahman M. Y. A., Salleh, M. M., Talib, I. A. and Yahaya M., (2004), “Effect of ionic conductivity of a PVC–
LiClO4 based solid polymeric electrolyte on the performance of solar cells of ITO/TiO 2/PVC–
LiClO4/graphite” Journal of Power Sources 133 pp. 293-297
Rokhmat M., Wibowo, E., Sutisna, Khairurrijal and Abdullah, M., (2015), “ Enhancement of TiO2 Particles Based-
Solar Cells Efficiency by Addition of Copper(II) Nitrate and Post-Treatment with Sodium Hydroxyde”
Advanced Materials Research 1112 pp. 245-250
Saehana, S., Arifin, P., Khairurrijal and Abdullah, M., (2012),”A new architecture for solar cells involving a metal
bridge deposited between active TiO2 particles” Journal of Applied Physics 111 pp. 123109 1-7
Zainun, A. R., Tomoya S., Noor, U. M., Rusop M. and Masaya I., (2012), “New approach for generating
Cu2O/TiO2 composite films for solar cell applications, Materials Letters 66 (2012) 254–256” Materials
Letter 66 pp. 254-256

496
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

PERANCANGAN PRODUK PISPOT DUA BAGIAN DENGAN


PENDEKATAN QUALITY FUNCTION DEPLOYMENT (QFD) DAN
ANALISIS SWOT

Hery Murnawan1*, Wiwin Widiasih2, Sherly Tandriana3


1,2,3
Program Studi Teknik Industri, Fakultas Teknik, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
Jl. Semolowaru No. 45, Surabaya Indonesia, 60118, Telp (031) 593 1800
Email: murnawan_hery@yahoo.com

Abstrak

Keterbatasan gerak pada orang sakit membuat kurang luasnya aktivitas yang dilakukan. Hal ini
mengharuskan adanya alat bantu untuk tetap memenuhi kebutuhan hidup. Kebutuhan hidup manusia
dibedakan menjadi kebutuhan biologis,kebutuhan sosial, dan kebutuhaan penghargaan. Salah satu
kebutuhan yang perlu dipenuhi sehari-hari adalah kebutuhan biologis. Kebutuhan biologis adalah
kebutuhan berupa buang iar besar, buang air kecil, bernafas dan lain sebagainya. Pispot merupakan
salah satu contoh alat bantu untuk memenuhi kebutuhan biologis buang air besar laki-laki dan
perempuan dan buang air kecil bagi perempuan. Pispot umumnya dirancang sesuai kebutuhan umum
tujuan penggunaan pispot. Rancangan desain pispot selain memperhatikan kenyamanan pengguna,
juga perlu memperhatikan kenyamanan orang yang membantu pengguna. Kebersihan dan
kenyamanan dalam penggunaan pispot menjadi tujuan utama dalam desain produk pispot.
Berdasarkan faktor kebutuhan dan kenyamanan konsumen, pispot dapat dirancang ulang dengan
metode Quality Function Deployment. Desain baru hasil metode Quality Function Deployment
kemudian dianalisa menggunakan analisis SWOT sebagai analisa terakhir pengembangan produk.

Kata kunci: hygienis; perancangan; pengembangan produk; pispot; SWOT

Pendahuluan
Keterbatasan gerak pada seseorang yang sakit membuat kurang luasnya aktivitas yang dilakukan. Aktivitas
gerak orang sakit memerlukan alat bantu yang dapat memenuhi kebutuhan hidup. Kebutuhan hidup dapat dibedakan
menjadi kebutuhan fisiologis, kebutuhan keamanan, kebutuhan biologis, kebutuhan sosial, dan kebutuhan
penghargaan. Salah satu kebutuhan yang perlu dipenuhi sehari-hari untuk keberlangsungan hidup adalah kebutuhan
biologis. Kebutuhan biologis adalah kebutuhan berupa buang air besar, buang air kecil, bernafas, dan lain
sebagainya.
Dalam memenuhi kebutuhan biologis orang yang memiliki kerterbatasan gerak memerlukan alat bantu. Salah
satu contoh alat bantu yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan biologis adalah pispot. Pispot adalah alat bantu
dalam memenuhi kebutuhan yaitu buang air besar bagi laki-laki dan perempuan serta kebutuhan buang air kecil bagi
perempuan.
Pispot umum dirancang atau didesain sesuai kebutuhan umum pengguna. Pispot dirancang untuk
mempermudah pengguna dalam melakukan buang air kecil dan buang air besar. Rancangan desain pispot selain
memperhatikan kenyamanan pengguna, juga perlu memperhatikan orang yang membantu pengguna. Kebersihan dan
kenyamanan dalam penggunaan pispot menjadi tujuan utama dalam desain pispot.
Hasil eksresi manusia membawa zat-zat yang tidak baik dalam tubuh. Zat-zat atau kotoran yang tidak
diperlukan lagi dalam tubuh dapat menyebabkan bakteri atau virus menyebar bila terkena udara. Dalam
menanggulangi dampak buruk dari hasil ekresi manusia ini perlu dipertimbangkan desain alat bantu pispot. Dalam
hal ini, rancangan desain pispot yang hygienis menjadi pertimbangan utama dalam dunia medis. Harapannya,
pengguna pispot dan orang yang membantu pengguna pispot dapat merasa nyaman ketika menggunakan dan
mendapat jaminan kebersihan dalam membersihkan kotoran hasil eksresi. Rancangan desain yang akan dibuat akan
dianalisa untuk merancang pispot yang hygienis dan nyaman dalam penggunaannya.
Pengembangan produk merupakan serangkaian aktivitas yang dimulai dari analisis persepsi dan peluang
pasar, kemudian diakhiri dengan tahap produksi, penjualan, dan pengiriman produk (Ulrich dan Eppinger, 2001).
Untuk dapat menghasilkan produk yang bernilai komersial maka perlu dilakukan serangkaian perencanaan,
perancangan, dan pengembangan produk (Wignjosoebroto, 2000). Pada produk pispot ini, rancangan desain yang
akan dibuat akan dianalisa untuk merancang pispot yang hygienis dan nyaman dalam penggunaannya.

497
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menghasilkan rancangan desain pispot yang nyaman dan hygienis
untuk konsumen dan analisis SWOT untuk bersaing dalam dunia industri. Desain baru pispot diharapkan dapat
bermanfaat agar menunjang kenyamanan pengguna dan menambah nilai hygienis pispot. Selain itu, rancangan
desain pispot

Tinjauan Pustaka
Metode perancangan produk adalah tiap-tiap prosedur, teknik dan alat bantu tertentu yang mempresentasikan
sejumlah aktivitas tertentu yang digunakan oleh perancang dalam proses total perancangan (Rosnani Ginting, 2010).
Perancangan produk melalui beberapa tahap dari tahap pra perancangan produk yang meliputi penetapan asumsi
perancangan, orientasi produk dan tahap perancangan produk yang meliputi fase informasi, fase kreatif, fase analisa
dan fase pengembangan. Salah satu metode dalam perancangan yaitu Quality Function Deployment (QFD) dan
analisa SWOT.

a. Quality Function Deployment (QFD)


Metode QFD adalah sebuah metode yang terstruktur didalam pengembangan produk yang memungkinkan
tim pengembang produk dapat menetapkan dengan jelas semua keinginan dan kebutuhan konsumen, kemudian
secara sistematis dapat digunakan untuk mengevaluasi kemampuan tim pengembang produk tersebut untuk
memenuhi kebutuhan konsumen (Lao Cohen, 1999). Umumnya, QFD banyak dimanfaatkan untuk mengetahui
keinginan konsumen akan sesuatu yang ditawarkan, kemudian mengolah keinginan tersebut menjadi sebuah
kebutuhan. Pemanfaatan QFD pada pengembangan produk terlihat dalam penyusunan rumah mutu, seperti pada
Gambar 1.

Gambar 1. Rumah Mutu dan Bagian-bagiannya

Keterangan Gambar (Rosnani Ginting, 2010):


1. Kebutuhan konsumen
Bagian ini menunjukkan kebutuhan atau permintaan konsumen. Untuk mengisi kolom bagian ini dapat dilakukan
wawancara dengan konsumen. Disamping itu dapat dilakukan dengan identifikasi kuisioner, komunikasi melalui
media elektronik atau media masa lainnya seperti email, telepon dan surat menyurat.
2. Kriteria pengganti
Bagian ini yaitu subsitusi karakteristik kualitas dari produk yang diinginkan oleh konsumen. Kriteria pengganti
tersebut adalah respon teknik, yang merupakan alternatif jawaban dari kebutuhan konsumen. Pada bagian ini
kebutuhan konsumen yang bersifat kualitatif dirubah oleh desainer menjadi respon teknik yang bersifat
kuantitatif. Oleh karena itu dalam pengembangan produk kriteria pengganti ditargetkan secara kuantitaif.
3. Optimasi kriteria / Matrik atap
Bagian ini menjelaskan optimasi kriteria pengganti dan evaluasi hubungan antar kriteria tersebut. Optimasi yang
dimaksud adalah bagaimana kriteria pengganti harus diperlakukan, apakah diperbesar, diperkecil atau tetap
nilainya.
4. Matrik Hubungan
Bagian ini menjelaskan matik hubungan antara kebutuhan konsumen dengan kualitas berkarakteristik (kriteria
pengganti). Bagian ini merupakan matriks terbesar dari rumah mutu. Cara mengevaluasi hubungan antara
kebutuhan konsumen dengan kriteria pengganti misalnya jika hubungan tersebut kuat maka diberi nilai 9, jika
hubungannya sedang maka diberi nilai 3, dan jika hubungannya lemah sangat lemah diberi nilai 1.

498
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

5. Daya Saing
Bagian ini menjelaskan kompetensi (daya saing) produk. Daya sainh produk diketahui dengan membandingkan
beberapa produk sejenis yang beredar di pasaran. Produk diberi nilai atas kepuasan konsumen mulai dari angka
1, 2, 3, 4, 5. Nilai dengan rentang 1-2 dikatakan jelek, sedangkan rentang nilai 3 menjukkan bahwa produk biasa
atau sama dengan produk lain, dan rentang nilai 4-5 menyatakan produk baik.
6. Target
Bagian ini menjelaskan target yang ingin dicapai yang berupa besaran / nilai yang hendak dicapai kriteria
pengganti. Oleh karena itu target ditetapkan dalam bentuk angka-angka yang diikuti satuan. Jadi, target yang
ditetapkan desainer dalam bentuk kuantitatif.

Langkah-langkah dalam penerapan QFD menurut Rosnani Ginting (2010):


1. Mengidentifikasi keinginan konsumen ke dalam atribut-atribut produk
2. Menentukan tingkat kepentingan relative dari atribut-atribut
3. Mengevaluasi atribut-atribut dari produk pesaing
4. Membuat matriks perlawanan antara atribut produk dengan karakteristik
5. Mengidentifikasi hubungan antara karakteristik teknik dan atribut produk
6. Mengidentifikasi interaksi yang relevan diantara karakteristik teknis
7. Menentukan gambaran target yang ingin dicapai untuk karakteristik teknis
b. Analisis SWOT
Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi perusahaan.
Pada dasarnya analisis SWOT harusolah membandingkan kondisi sama yang dihadapi oleh pesaingnya berdasarkan
kriteria subjektif ataupun objektif (skala industri), sebab dengan membandingkan maka perusahaan yang
berkepentingan dapat menentukan rencana strategis untuk persaingan tersebut (Iskandar Putong, 2003).
Analisis SWOT dilakukan dengan cara melalu 4 analisis yaitu anailis kekuatan suatu produk dibandingkan
dengan produk yang sudah ada, analisis kelemahan suatu produk dibandingkan dengan produk yang sudah ada,
analisis peluang produk baru dalam dunia industri dan analisis ancaman keberlangsungan produk tersebut sudah ada
dalam industri.

Metodologi Penelitian
Metodologi penelitian merupakan gambaran secara umum mengenai tahapan dan urutan proses dalam
penelitian dan perancangan pispot dua bagian. Gambar 2 merupakan alur diagram proses penelitian.

Gambar 2. Metodologi Penelitian

a. Tahap preliminary literature study dilakukan identifikasi dan perumusan masalah.


b. Tahap research study dilakukan perancangan desain dan pengembangan produk.
c. Tahap market analysis dilakukan analisis competitor dengan metode QFD dan analisis SWOT produk.

Analisis Hasil dan Pembahasan


Berdasarkan analisa kebutuhan konsumen, maka didapat desain hasil perancangan produk dengan
menggunakan material stainless 0,4 seperti Gambar 3.

499
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Gambar 3. Perancangan Produk Pispot Dua Bagian

Uji kuisioner mengenai produk pispot dua bagian ini telah disebarkan kepada 30 responden. Berikut data yang
diperoleh berdasarkan kuisioner yang disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil Kuisioner

Atribut
No
Fungsi Kualitas Harga Estetika Model
1 16 8 12 8 12
2 16 8 9 8 12
3 15 10 10 6 13
4 16 8 12 8 12
5 18 10 14 6 15
6 16 8 12 8 12
7 19 6 12 8 15
8 16 8 12 8 12
9 19 7 12 8 14
10 17 9 13 8 14
11 13 6 11 6 12
12 14 9 12 9 14
13 15 9 10 8 12
14 16 9 12 8 12
15 16 7 8 6 9
16 17 9 11 10 12
17 14 5 10 8 10
18 13 8 10 9 12
19 17 9 11 7 12
20 20 7 11 7 11
21 14 9 11 10 11
22 16 9 12 7 12
23 15 6 9 8 11
24 13 6 8 7 10

500
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Atribut
No
Fungsi Kualitas Harga Estetika Model
25 16 7 8 9 10
26 17 9 11 8 12
27 17 9 13 8 12
28 16 9 11 8 10
29 15 6 11 7 10
30 18 10 12 7 12
Total 480 240 330 233 357
RII 16 8 11 7.76667 11.9

Berdasarkan desain yang telah diperoleh dan penyebaran kuisioner didapat analisa produk berdasarkan metode QFD
seperti pada Tabel 2, Tabel 3, dan Tabel 4.

Tabel 2. Analisa Produk

Karakteristik Produk
Produk
Bahan Baku Kualitas Harga Hygienis Kenyamanan

Produk Rancangan Stainless Kuat Mahal Sangat Baik Sangat Baik

Produk Pesaing 1 (Pispot Kurang Kuat


Plastik Murah Kurang baik Baik
plastik) (Mudah Pecah)

Produk Pesaing 2 (Pispot Cukup


Stainless Kuat Kurang baik Baik
stainless) Mahal

Tabel 3. Benchmarking
Benchmarking Evaluati Target
Atribut IR RII Weight %Weight
1 2 3 4 5 on Score Value
Fungsi 4 4 1 16.000 16.0 23.2

Kualitas 2 4 2 8.0 16.0 23.2

Harga 3 1 0.33333 11.0 3.7 5.3

Estetika 1 2 2 7.760 15.5 22.5

Model 2 3 1.5 11.900 17.9 25.9

lemah kuat 69.037 100.0

produk eksisting
produk yang dirancang

501
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Tabel 4. Rumah Mutu QFD

Re spon Te knis
Pe milihan
No Atribut Be ntuk Massa Ke nyama Pe namba Weight
Bahan Hygie nis
Produk Produk nan han Fitur
Baku
1 Fungsi 16.0
144.00 48.00 144.00
2 Kualitas 16.0
144.00 144 144.00 144
3 Harga 3.7
33.30 3.70
4 Estetika 15.5
46.50 139.5 139.50
5 Model 17.9
17.90 161.1
sun score 321.30 64.40 283.50 147.70 187.50 449.10 1453.50
priority 22 4 20 10 13 31 100.00
Ke te rangan : strong relation (9)
: medium relation (3)
: weak relation (1)

Dari hasil persebaran kuisioner, sebagian besar responden tertarik pada pispot dua bagian pada segi fungsi
untuk menunjang sisi hygienis. Selain itu, model pispot dua bagian diyakini dapat mempermudah konsumen dalam
proses pembersihan. Dari hasil evaluasi produk didapatkan bahwa atribut model memiliki bobot paling tinggi, hal
ini dikarenakan model pispot 2 bagian mempermudah pengguna dalam proses pembersihan agar lebih hygienis.
Prioritas kedua adalah fungsi dan kualitas yang memberikan pengaruh pada kekuatan pispot agar tidak mudah pecah
serta fungsi sebagai alat bantu. Prioritas ketiga adalah estetika yang mempunyai arti kenyamanan dalam penggunaan
proses pembersihan. Sedangkan prioritas keempat yang terkecil adalah harga karena harga pispot dua bagian terlalu
mahal berkisar antara 1,5 juta.
Selain analisa QFD, perancangan produk perlu dianalisa pada bagian SWOT. Analisa SWOT yang dilakukan
seperti pada Gambar 4.

Produk Rancangan (Pispot 2


S (Kekuatan, Potensi) W (Kelemahan)
bagian )
Menunjang ke hygienis
Bahan baku yang berat
an dalam proses
sehingga produk yang
O (Peluang) pembersihan, terbuat
dihasilkan cenderung berat
dari bahan yang tahan
Gambar 5. Evaluasi Produk dan harga mahal
lama
Strategi SO :
Memanfaatkan desain
Strategi WO : Mencari
Produk pispot lainnya tidak menggunakan supaya menjadi
alternatif bahan baku lain
penutup seperti produk yang dirancang. keunggulan di
yang lebih ringan dan murah
masyarakat dengan
lebih hygienis
T (Ancaman, Tantangan) Strategi ST :
Mempunyai manajemen Strategi TW : Mencari
pemasaran yang baik alternatif bahan baku lain
Produk pispot lainnya menggunakan bahan
agar tidak dikalahkan yang lebih ringan tapi tetap
lebih murah dan lebih ringan (ex. Plastik)
dengan ancaman yang hygienis
ada

Gambar 4. Analisis SWOT

502
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Berdasarkan analisis SWOT yang telah dilakukan, didapat hasil aspek kekuatan (strength) dari produk pispot
dua bagian ini yaitu mampu menunjang ke-hygienis-an dalam proses pembersihan dan terbuat dari bahan material
yang awet. Sedangkan kelemahan (weakness) dari produk pispot dua bagian ini yaitu bahan baku material yang
tergolong berat. Produk pispot dua bagian ini memiliki peluang (oportunity) yaitu bahwasannya produk pispot lain
tidak menggunakan penutup seperti produk yang dirancang. Adapun tantangan (threat) produk pispot lain
menggunakan bahan baku material yang ringan dan lebih murah.

Kesimpulan dan Saran


Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, desain pispot baru melalu pendekatan QFD dan analisis SWOT
membuktikan hasil desain sesuai kebutuhan konsumen yang ditunjang oleh bahan baku yang tahan lama dan model
yang mempermudah konsumen dalam proses pembersihan agar lebih hygienis. Sedangkan dari aspek harga produk
ini lebih mahal dari produk pesaing karena bahan yang digunakan terbuat dari bahan yang mahal dan ditunjang dari
kualitas yang kuat sehingga membutuhkan biaya produksi yang mahal. Pada penelitian selanjutnya diharapkan
adanya tahapan pengujian studi kelayakan pasar dan pemilihan alternatif lainnya yang memungkinkan produk tetap
hygienis dengan bahan baku yang lebih murah dan biaya produksi yang murah.

Daftar Pustaka
Cohen, Lao, (1999). QFD Handbook. John Wiley and Sons.
Ginting, Rosnani, (2010), “Perancangan Produk”, Yogyakarta : Graha Ilmu.
Made, I Londen Batan, (2012), “Desain Produk”, Surabaya: Guna Widya.
Putong, Iskandar., (2003), “Teknik Pemanfaatan Analisis SWOT Tanpa Skala Industri (A-SWOT-TSI)”, Jurnal
Ekonomi & Bisnis JIL. 8, NO. 2, pp. 65.
Wedhasmara, Ari., (2009), “Langkah-Langkah Perencanaan Strategis Sistem Informasi Dengan Menggunakan
Metode Ward And Peppard”, Jurnal Sistem Informasi (JSI), VOL. 1, NO. 1, pp. 14-22.

503
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

PERILAKU KUAT TEKAN DAN KUAT LENTUR DINDING PANEL


BATU BATA MERAH DENGAN PERKUATAN TULANGAN BAMBU

Muhammad Ujianto1 , Ifandi Baskoro2


1
Program Studi TeknikSipil, Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Surakarta
Jl. A. Yani Tromol Pos 1 Pabelan Kartasura 57102 Telp 0271 717417
2
Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Surakarta
Jl. A. Yani Tromol Pos 1 Pabelan Kartasura 57102 Telp 0271 717417
Email: ujianto@ums.ac.id

Abstrak

Pada umumnya tembok atau dinding dibuat dari bahan batu kali atau bata merah yang dilapisi
dengan mortar, pada volume besar dan letak bangunan di daerah yang memerlukan perlakuan
khusus, seperti didaerah gempa dan bangunan gedung bertingkat. Dinding panel adalah salah satu
dari perkembangan teknologi dibidang beton pracetak (precast). Dinding pracetak (precast) bukanlah
suatu elemen struktur. Penelitian ini bertujuan agar dapat menjadi alternatif pengganti dinding
konvensional yang lebih praktis dan efisien terhadap biaya dan waktu. Spesifikasi perencanaan
dinding panel memakai fas : 0,5 , perbandingan agregat halus dan semen 1: 4. Pada penelitian di
lakukan pembuatan benda uji kubus mortar dengan ukuran 10 cm x 10 cm dan dinding panel ini
memakai perkuatan tulangan bambu dengan ukuran 100 cm x 50 cm x 10 cm. Penelitian dinding
panel ini menguji kuat tekan dan kuat lentur. Benda uji kubus mortar yang dilakukan pengujian tekan
diperoleh hasil sebesar 2,65 MPa. Dinding panel dengan pengujian kuat tekan dihasilkan sebesar
1,878 MPa (tanpa perkuatan) dan 2,109 MPa (dengan perkuatan) mengalami kenaikan 12,300% dari
dinding panel tanpa perkuatan, kemudian pengujian kuat lentur diperoleh sebesar 1,493 MPa (tanpa
perkuatan) dan 3,080 MPa (dengan perkuatan) mengalami kenaikan sebesar 106,296%.

Kata Kunci: Dinding Panel, Kuat Lentur, Kuat Tekan, Bambu.

Pendahuluan
Pada umumnya tembok atau dinding dibuat dari bahan batu kali atau bata merah yang dilapisi dengan mortar,
pada volume besar dan letak bangunan di daerah yang memerlukan perlakuan khusus, seperti didaerah gempa dan
bangunan gedung bertingkat. Pembuatan dinding dengan bata merah yang dikerjakan di lapangan menimbulkan
dampak yang tidak baik di lapangan seperti pekerjaan lama, boros tenaga kerja, memiliki berat jenis tinggi dan
berbahaya ketika terjadi gempa. Untuk itu maka dibuatlah alternatif pengganti dinding/tembok batu kali/batu bata
dengan menggunakan dinding panel yang lebih tipis ringan dan memiliki kekuatan yang tidak kalah dari
dinding/tembok yang dibuat dari batu kali ataupun dari batu bata, bahkan kekuatan dari dinding panel ini bisa
melebihi dari bahan – bahan tersebut diatas.
Dinding panel adalah salah satu dari perkembangan teknologi dibidang beton pracetak (precast). Dinding
pracetak (precast) bukanlah suatu elemen struktur, yang mana dalam pemakainnya diupayakan memiliki berat yang
relatif ringan sehingga tidak memberikan beban yang berlebih bagi struktur bangunan. Dinding panel pada
umumnya dibuat secara fabrikasi secara massal menggunakan campuran beton normal (air, agregat halus, agregat
kasar, dan semen) dan diberikan tulangan di dalamnya. Tulangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
anyaman bambu. Bambu memang merupakan tanaman yang kuat. Wajar apabila bambu dijadikan sebagai kandidat
untuk menggantikan baja tulangan.
Mafaat menggunakan dinding panel antara lain meringankan sistem pondasi keseluruhan bangunan, kedap
suara dengan adanya selular (lubang-lubang partikel di dalam panel) yang membantu menurunkan volume suara
dibadingkan dengan tembok biasa atau dengan gypsum board, ukuran dinding panel beton bisa dipesan sesuai
dengan kebutuhan untuk ketebalan 4 - 12 cm dan panjangnya 275 – 300 cm, kualitas dinding beton yang lebih baik
dan kuat dibandingkan dengan dinding berbahan bata menjadi salah satu alasan pemilihan beton, pemasangan pada
bangunan lebih mudah dan waktu yang dibutuhkan relatif lebih cepat dibanding dinding konvesional dari bahan batu
bata. Dari beberapa mamfaat dinding panel, maka dinding panel tetap lebih memiliki kelebihan dibandingkan
dengan dinding konvesional dari bahan batu bata.

504
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini antara lain :
1. Menganalisis nilai kuat tekan kubus mortar.
2. Menganalisis nilai kuat tekan dan kuat lentur dinding panel batu bata dengan perkuatan anyaman bambu.
3. Mengetahui nilai kuat tekan dan kuat lentur dinding panel batu bata tanpa perkuatan anyaman bambu.

Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan adalah sebagai berikut :
1. Dinding panel dapat menjadi alternatif yang efisien dan efektif sebagai pengganti dinding konvesional.
2. Manfaat praktis, untuk mendapatkan nilai kuat tekan dinding panel bata merah dengan perkuatan anyaman
bambu.
3. Manfaat teoritis, membagi pengetahuan tentang konstruksi dinding panel bata merah sebagai pengganti dinding
bata konvensional yang memenuhi syarat.

Metodologi Penelitian
Dalam penelitian ini ada 5 tahap pelaksanaan yaitu pertama tahap persiapan alat dan penyediaan bahan.
Tahapan ini adalah tahapan dimana alat tempat dan penyediaan bahan harus dipersiapakan dengan baik di
laboratorium.
Kemudian tahap kedua yaitu pemeriksaan bahan, sebelum mencampurkan bahan untuk membuat mortar
sebaiknya semua bahan diperiksa sesuai syarat yang ditentukan. Bahan agregat halus, air dan semen harus diperiksa
dengan baik sebelum dilakukan pencampuran campuran mortar yang akan dibuat Pada tahap ini pemeriksaan yang
dilakukan adalah pemeriksaan berat jenis dan penyerapan pasir, dan pemeriksaan gradasi.
Selanjutnya tahap ketiga yaitu Perencanaan campuran dan pembuatan benda uji, perencanaan campuran
menggunakan cara perhitungan laboratorium (Kardiyono Tjokrodimuljo) dengan perbandingan pasir dan semen 1:4,
nilai fas digunakan 0,5. Pembuatan kubus mortar dengan cara mempersiapkan alat cetak kubus mortar yang
berukuran 5 cm, dinding bagian dalam etakan diolesi dengan minyak agar mudah saat dibuka. Menimbang pasir,
semen, air sesuai perencanaan campuran. Campurkan semua bahan yang telah ditimbang sesuai perencanaan
campuran mortar, aduk hingga menjadi ikatan yang baik dan homogen. Keluarkan adukan atau tuangkan dalam
cetakan kubus mortar dengan bertahap. Penuangan mortar pada cetakan dilakukan dengan perbandingan 1/3 volume
kubus mortar, setiap tuangan ditusuk-tusuk dengan tongkat baja agar tidak terjadi rongga. Setelah 3 kali tuangan
permukaan atas diratakan. Pada pembuatan benda uji dinding panel mortar yang di gunakan sama dengan yang
dibuat pada kubus mortar tetapi volume pada dinding panel lebih besar karena dinding panel berukuran 100 cm x 50
cm x 10 cm. Cara penuangan mortar dilakukan secara bertahap dengan tahap yang paling bawah mortar, tulangan
bambu untuk bagian bawah, lalu pasangan bata merah dengan dilapisi mortar tipis pada permukaan bata, setelah itu
tulangan bambu diletakan pada atas bata merah dan yang terakhir tuangkan mortarhingga penuh dan rata sampai
permukaan tertutup. Pada tahap selanjutnya setelah dilakukan pembuatan benda uji dan didiamkan hingga mengeras,
lalu benda uji dinding panel dilakukan perawatan dengan merendam pada bak air atau disiram air selama 28 hari
hingga proses pengujian dilaksanakan.
Tahap keempat pengujian benda uji yaitu dengan cara melakukan pelepasan begisting atau cetakan benda uji
kubus mortar maupun dinding panel yang sudah diolesi minyak agar mudah untuk pelepasan pada waktu akan diuji.
Setelah terlepas dari cetakan dilakukan pengujian kuat tekan dan kuat lentur pada umur 28 hari dengan prosedur
pengujian dan perhitungan menurut SNI dan ASTM. Jumlah sampel yang akan dibuat terdapat pada Tabel 1
dibawah ini.
Tabel 1.Rincian Benda Uji
Jenis Benda Uji Jenis Pengujian Umur Benda uji Tanpa Tulangan Dengan Tulangan
Kubus Mortar Kuat Tekan 28 hari 5
Dinding Panel Kuat Tekan dan 28 hari 5 5
Jumlah Sampel Kuat Tarik 15 sampel

Tahap yang terakhir ialah tahap analisa dan pembahasan, dari hasil pengujian yang dilakukan pada tahap
empat selanjutnya dilakukan analisa data yang diambil dari hasil percobaan pembuatan dinding panel. Dari langkah
tersebut kemudian dapat diambil kesimpulan dan saran dari penelitian.

Hasil dan Pembahasan


Pelaksanaan penelitian dilakukan untuk medapatkan data yang digunakan untuk membahas rumusan
masalah. Berdasarkan dari rumusan masalah, maka diambil data-data kuat tekan dan kuat lentur dinding panel pada
umur 28 hari.

505
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Hasil Pengujian Agregat


Untuk pengujian agregat halus dilakukan beberapa pemeriksaan seperti berat jenis, penyerapan air,
kandungan bahan organik, kadungan lumpur, gradasi dan modulus halus butir agregat. Setelah dilakukan pengujian
dapat dilihat hasilnya pada Tabel 2. dibawah ini :
Tabel 2. Hasil pengujian agregat halus
Jenis Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Syarat Keterangan
Kandungan bahan Organik No.3 (Orange) 1-5 Memenuhi syarat
Kandungan Lumpur 4,2 % < 5% Memenuhi syarat
Berat jenis SSD 3,77 ±3,75 Memenuhi syarat
Absorbsi (Penyerapan air) 4,71 % < 5% Memenuhi syarat
Gradasi Pasir Daerah II Memenuhi syarat
Modulus Halus Butir 2,88 1,5-3,8 Memenuhi syarat

Dari hasil pengujian agregat halus yang berasal dari tambang Kaliworo Klaten dapat dilihat bahwa parameter
pengujian diatas memenuhi syarat, sehingga agregat halus layak digunakan sebagai bahan penyusun dinding panel.

Adukan Mortar
Desain campuran mortar pada penelitian ini ialah dengan menggunakan metode cara pencampuran
laboratorium (Kardiyono Tjokrodimuljo). Perencanaan digunakan nilai fas 0,5 perbandingan pasir : semen 1:4.
Proporsi yang direncanakan dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 3. Proporsi Adukan Mortar
Semen Pasir
Benda uji Jumlah f.a.s Air (lt)
(kg) (kg)
Dinding Panel 15 0,5 15,125 60,5 7,5

Pengujian Slump
Pada penelitian ini nilai slump direncanakan sebesar 10 cm. Pengujian slump dilakukan untuk mengetahui
tingkat kekentalan suatu adukan beton, sehingga dapat diketahui apakah adukan beton kekurangan air, kelebihan air
atau sudah cukup air. Dari penelitian yang telah dilakukan, didapatkan nilai slump.

Tabel 4. Hasil pengujian slump


Nilai
No jenis dinding panel
Slump(cm)
1 Dinding Panel Tanpa Bracing Diagonal 10
2 Dinding Panel dengan Bracing Diagonal 10

Pengujian Mortar
Pada pengujian kubus mortar yang berumur 28 hari didapatkan hasil seperti pada tabel dibawah ini.
Tabel 5. Hasil rata-rata pengujian kubus mortar
Kuat Tekan
Luas Permukaan Kuat Tekan Kuat Tekan
No Rata-rata
(mm²) (kN) (N) (MPa) (MPa)
1 2500 5,55 5550 2,22
2 2500 5,55 5550 2,22
3 2500 6,55 6550 2,62 2,65
4 2500 6,8 6800 2,72
5 2500 8,7 8700 3,48
Pada pengujian kubus mortar didapat rata-rata sebesar 2,65 MPa.

506
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Hasil Pengujian Kuat Tekan


Pengujian Kuat Tekan dinding Panel Tanpa Perkuatan Bambu
Pada pengujian dinding panel tanpa perkuatan bambu didaptkan hasil seperti tabel dibawah ini.
Tabel 6.Hasil rata-rata pengujian kuat tekan dinding panel tanpa perkuatan
Kuat Tekan
Luas Permukaan Kuat Tekan
No Rata-rata
2 2 2
(mm ) (kN/m ) (N/mm ) (MPa) (MPa)
1 100000 180,288 180287,700 1,803
1,878
2 100000 195,288 195287,700 1,953

Pengujian Kuat Tekan dinding Panel Dengan Perkuatan Bambu


Pada pengujian dinding panel dengan perkuatan bambu didaptkan hasil seperti tabel dibawah ini.
Tabel 7. Hasil rata-rata pengujian kuat tekan dinding panel dengan perkuatan bambu.
Beban Maks Kuat Kuat Tekan
No b (mm) l (mm) h (mm) Tekan Rata-rata
(kN) (N/mm²)
(MPa) (MPa)
1 500 1000 100 197,288 197287,700 1,970
2 500 1000 100 221,000 221000,000 2,210
3 500 1000 100 215,000 215000,000 2,150 2,109
4 500 1000 100 213,000 213000,000 2,130
5 500 1000 100 208,000 208000,000 2,080

Tabel 8. Persentase Kenaikan Nilai Kuat Tekan Dinding Panel


% kenaikan terhadap dinding
No Jenis Dinding Panel
panel tanpa perkuatan
1 Dinding panel Tanpa perkuatan
2 Dinding panel dengan perkuatan 12,300 %

Grafik 1. kenaikan nilai kuat tekan dinding panel

Dari tabel dan grafik diatas diketahui rata-rata kuat tekan dinding panel dengan perkuatan bambu sebesar
2,109 MPa, mengalami penambahan kuat tekan sebesar 12,300 % dari kuat tekan tekan dinding panel
tanpa perkuatan bambu dengan rata-rata kuat tekan sebesar 1,878 MPa.

Hasil Pengujian Kuat Lentur


Pengujian Kuat Lentur Dinding Panel Tanpa Perkuatan Tulangan Bambu.
Pada pengujian dinding panel dengan perkuatan bambu didaptkan hasil seperti tabel 9.

507
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

Tabel 9. hasil pengujian kuat lentur dinding panel tanpa tulangan bambu.
Beban Kuat Rata-rata Kuat
b l h
Sampel Maks Lentur Lentur
(mm) (mm) (mm) (N) (MPa) (MPa)

1 500 1000 100 6400 1,300


1,493
2 500 1000 100 8000 1,600
3 500 1000 100 8000 1,600

Pengujian Kuat Lentur Dinding Panel Dengan Perkuatan Tulangan Bambu.


Pada pengujian dinding panel dengan perkuatan bambu didaptkan hasil seperti tabel dibawah ini.

Tabel 10. hasil pengujian kuat lentur dinding panel dengan perkuatan tulangan bambu.

Beban Kuat
b l h Rata-Rata Kuat
Sampel Lentur
(mm) (mm) (mm) Lentur (MPa)
(kN) (N) (MPa)
1 500 1000 100 13,5 13500 2,700
2 500 1000 100 16 16000 3,200
3 500 1000 100 18 18000 3,600 3,080
4 500 1000 100 16,5 16500 3,300
5 500 1000 100 13 13000 2,600

Tabel 11. Persentase Kenaikan Nilai Kuat Lentur Dinding Panel


% kenaikan terhadap dinding panel tanpa
No Jenis Dinding Panel
perkuatan
1 Dinding panel Tanpa perkuatan
2 Dinding panel dengan perkuatan 106,296 %

Grafik 2. perbandingan nilai kuat lentur dinding panel

Dari tabel dan grafik diatas diketahui rata-rata kuat lentur dinding panel tanpa perkuatan tulangan bambu sebesar
1,493 MPa dan rata-rata kuat lentur dinding panel dengan perkuatan bambu sebesar 3,08 MPa, mengalami kenaikan
kuat lentur sebesar 106,296 % dari rata-rata kuat lentur dinding panel tanpa perkutan tulangan bambu.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dinding panel dengan perkuatan tulangan bambu yang telah dilakukan, dapat
disimpulkan bahwa:
1. Dari hasil pengujian kuat tekan kubus mortar dengan fas 0,5 dan perbandingan 1:4 didapatkan kuat tekan
rata-rata sebesar 2,65 MPa.
2. Dari hasil pengujian kuat tekan dinding panel dengan perkuatan tulangan bambu dengan fas 0,5 rata-rata
sebesar 2,109 MPa, sedangkan pengujian kuat tekan dinding panel tanpa perkuatan tulangan bambu
didapatkan rata-rata sebesar 1,878 MPa, mengalami kenaikan sebesar 12,300 % dari kuat tekan dinding panel

508
Simposium Nasional RAPI XV – 2016 FT UMS ISSN 1412-9612

tanpa perkuatan tulangan bambu, maka disimpulkan dinding panel dengan perkuatan tulangan bambu
memiliki kuat tekan lebih tinggi daripada dinding panel tanpa perkuatan tulanga bambu, karena tulangan
bambu dapat menambah kekuatan pada dinding panel saat menerima gaya tekan maksimal.
3. Dari hasil pengujian kuat lentur dinding panel tulangan bambu dengan fas 0,5 sebesar 3,080 MPa, sedangkan
nilai kuat lentur dinding panel tanpa perkuatan bambu sebesar 1,493 MPa, menglamai kenaikan sebesar
106,296 % dari rata-rata kuat lentur dinding panel tanpa perkuatan bambu, maka disimpulkan dengan
penambahan tulangan bambu dapat menambah nilai kuat lentur dinding panel karena tulangan bambu
memiliki nilai kuat tarik yang tinggi sehingga lebih kuat menahan tekanan daripada dinding panel tanpa
perkuatan tulangan bambu. Oleh karena itu dinding panel dengan perkuatan tulangan bambu dapat digunakan
sebagai alternatif pengganti dinding konvensional.

Daftar Pustaka
ACI Committee 318. Building Code Requirements for Reinforced Concrete (ACI 318-02), American Concrete
Institut, Detroit, 2002.
ASTM, 2003, Standard Test Methods forCyclic (Reversed) Load Test for Shear Resistance of Walls for Buildings,
Designation: Vol 405, E 2126 – 02a.
FEMA 306, 1998, Evaluation of Earthquake Damaged Concrete and Masonry Wall Buildings, Basic Procedures
Manual, 555 Twin Dolphin Drive, Suite 550 Redwood City, California.
Gere, James M., dan Stephen P. Timoshenko, ,1996. Mekanika Bahan, penerjemah Wospakrik, Hans. J., Penerbit
Erlangga, Jakarta
Karyaningrum, N. A., 2011. Tinjauan Kuat Lentur Rangkaian Dinding Panel Dengan Tulangan Baja dan Agregat
Pecahan Genteng, Tugas Akhir, Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah
Surakarta (Tidak Dipublikasikan).
Nawy, G Edward. 1985. Reinforced Concrete a Fundamental Approach, second Edition. Prentice-Hall Inc. New
Jersey.
Nur Fahrudin, Zaim, 2013, Tinjauan Kuat Lentur Dinding Panel Beton Ringan Menggunakan Campuran Styrofoam
Dengan Tulangan Kawat Jaring Kasa Welded Mesh, Publikasi Tugas Akhir Program Studi Teknik Sipil
Universitas Muhammaduyah Surakarta,
Park. R, Paulay T. 1975. Reinforced Concrete Structure, Seventh Edition. John Willey & Sons Inc. Canada.
Paulay, T. Priestley M.J.N. 1992. Seismic Design of Reinforced Concrete Structure and Massonary Building, Third
Edition. John Willey & Sons Inc. Canada.
S. Fragomeni, J.H. Doh and D.J. Lee, 2012, Behaviour of Axial Loaded Concrete Wall Panels with Openings: An
Experimental Study, Journal Advances in Structural Engineering Vol. 15 No. 8, http://multi-
science.atypon.com/toc/ase/15/8
Tjokrodimuljo, K., 1996. Teknologi Beton, Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
Ujianto, Muhammad, 2010, Tinjauan Kekuatan Dinding Panel Beton Ringan dari Limbah Pecahan Genteng,
Proceeding Simposium Nasional RAPI IX 2010, Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Surakarta,
ISSN: 1412-9612.
Wang, C.K. and Salmon, Charles. 1985. Reinforced Concrete Design, Fourth Edition. Happer & Row, Inc. New

509

Anda mungkin juga menyukai